kertas posisi walhi 2014 01 gambut
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
KERTAS POSISI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
MENYANDING RPP GAMBUT DENGAN UU PPLH
Metamorfosis KLH Menjadi Mesin Pencuci Hak
Rakyat terhadap Kawasan Gambut
Team Nurhidayati, Zenzi Suhadi, Kurniawan Sabar, Edo Rakhman
1 | P a g e
Kertas Posisi
Menyanding RPP Gambut dengan UU PPLH, Metamorfosis KLH Menjadi Mesin Pencuci Hak Rakyat
terhadap Kawasan Gambut
Pendahuluan
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut (RPP Gambut) merupakan salah
satu dari 21 PP yang harus yang dibuat
untuk menjalankan mandat dari UU nomor
32 tahun 2009 Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Secara spesifik RPP ini disusun dengan
pertimbangan ketentuan pasal 11, 21
56,57,75 dan 83 Undang Undang 32 Tahun
2009.
Analisis terhadap RPP Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP
Gambut) dilakukan dengan
membandingkan klausal dan bagian yang
termuat dalam RPP gambut dengan
Undang Undang 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup ( UU PPLH), dipilihnya metode
penyandingan RPP ini dengan Undang
Undang Induknya untuk melihat sejauh
mana substansi RPP ini dirumuskan untuk
menjalankan mandat dari UU PPLH.
Selain menyanding substansi dengan
Undang Undang 32 tahun 2009, prose
analisis juga dilakukan dengan
membandingkan makna yang terkandung
dalam substansi RPP dengan konteks rill
pada ekosistem gambut dan kehidupan
sosial masyarakat yang hidup di dalam dan
disekitar kawasan gambut. Proses
penarikan hubungan antara substansi RPP
Gambut dengan kondisi faktual lingkungan
da kehidupan masyarakat dilakukan untuk
melihat resiko dari roh rancangan
peraturan pemerintah ini terhadap
kehidupan komunitas dan eksistensi
ekosistem gambut itu sendiri, mengingat
dalam tahapan penyusunan RPP ini proses
penyerapan aspirasi rakyat secara
langsung dan pandangan masayrakat sipil
sangat minim dan cendrung tertutup.
Kajian yang dilakukan terhadap RPP
Gambut memberikan informasi tentang
ancaman dan resiko dimulai dari konteks
Inventarisasi, Pemanfaatan, Pengendalian
hingga Penanggulangan dan Pemulihan.
2 | P a g e
Inventarisasi
Tahapan Inventarisasi merupakan mandat
dari pasal 11 Undang Undang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Pasal 11 sendiri tidak bisa
dilepaskan dari pasal 5,6,7, 8 dan 9 karena
pasal 11 sendiri merupakan penjelasan
pengaturan lebih lanjut dari pasal 5,6,7,8
dan 9 kedalam peraturan pemerintah.
Dalam RPP gambut tahapan inventarisasi
masuk kedalam salah satu klausal tahapan
pada pasal yang mengatur tentang
perencanaan perlindungan dan
pengelolaan tentang
perencanaan yang terdiri dari
tahapan Inventarisasi ,
Penetapan fungsi ekosistem,
rencana pengelolaan.
Bila disandingkan dengan UU
PPLH maksut dan tujuan pada
makna inventarisasi di RPP Gambut
mengalami pendangkalan, dimana mandat
penting dari pasal 6 dan pasal
7 UU PPLH tidak diakomodir
dengan utuh , pendangkalan
itu terjadi karena
menghilangkan kewajiban
kewajiban yang harus
dipenuhi dalam proses
Penetapan Ekoregion,
setidaknya beberapa klausal
yang dihilangkan adalah
kewajiban
mempertimbangkan aspek Karakteristik
Bentang Alam, Sosial Budaya,
Kelembagaan Masyarakat dan Hasil
inventarisasi Lingkungan Hidup yang Utuh
sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 UU PPLH,
kewajiban mempertimbangkan aspek yang
berkaitan dengan karekteristik alam, pada
Undang Undang 32 tahun 2009 sudah
cukup baik sebagai upaya
mempertahankan fungsi dan daya dukung
lingkungan dengan mencegah generalisasi
perlakuan terhadap lingkungan, selain itu
aspek sosial budaya dan kelembagaan
masyarakat dapat dimaknai sebagai upaya
mengakui dan melindungi esensi
kehidupan rakyat yang mempunyai
interaksi dan saling terikat dengan
lingkungan disekitarnya.
Pasal 11 Undang Undang 32 2009
Pasal 6 ayat 2 UU 32 tahun 2009
3 | P a g e
Sedangkan pada Pasal 6. ayat 2. UU PPLH
menekankan beberapa kewajiban
mendasar dalam proses inventarisasi
ekoregion juga tidak diakomodir pada RPP
Gambut, seperti melakukan inventarisasi
terhadap Bentuk penguasaan,
Pengetahuan, Bentuk Kerusakan hingga
konflik dan penyebab konflik Pasal 6.
Harapan akan
adanya proses
penyelamatan,
pemulihan
terhadap kawasan
kawasan penting
tertitip pada
penekanan proses
inventarisasi
terhadap bentuk
penguasaan,
pengetahuan dan bentuk kerusakan di
pasal 6 UU 32 tahun 2009, dimana
perencanaan terhadap perlindungan dan
pengelolaan suatu kawasan harus
didahului dengan proses identifikasi
terhadap bentuk bentuk penguasaan dan
bentuk kerusakan, ini tentu untuk
memberi informasi dan data yang cukup
bagi pemerintah dalam membuat
pertimbangan penentuan kebijakan dalam
rencana pengelolaan. Begitupun dengan
makna penekanan inventarisasi terhadpa
bentuk dan penyebab konflik, tentu tidak
berdiri dan dicantumkan begitu saja
pada undang undang ini. Maraknya
perampasn wilaah kelola rakyat dan
penyebaran konflik di berbagai
tempat dan fakta berlarutnya
konflik telah dipertimbangkan
untuk melatar belakangi keharusan
invetarisasi bentuk dan penyebab
konflik sebelum penyusunan
rencana perlindungan dan
pengeloaan lingkungan hidup.
Hilangnya beberapa mandat mendasar di
pasal 7 UU PPLH pada RPP gambut sangat
berpengaruh terhadap roh dan semangat
RPP ini dalam proses penetapan kawasan
dan fungsi ekosistem gambut pada pasal
pasal berikutnya, dimana sebuah kawasan
dalam hal ini kawasan gambut tidak
diposisikan sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat di sekitar atau sebaliknya.
Selanjutnya hilangnya proses inventarisasi
terhadap bentuk penguasaan ,
pengetahuan, bentuk kerusakan, konflik
dan penyebab konflik di pasal 6 UU PPLH
pada RPP Gambut, selain akan membuat
pemerintah dalam hal ini meneteri dan
pemerintah daerah mengabaikan
kerusakan kawasan gambut yang telah
terjadi, juga tidak membuat RPP Gambut
menjadi bagian solusi dari konflik dan
kerusakan yang sudah terjadi.
Pasal 8 dan pasal 6 ayat 1 hurup C.
Pasal 7 ayat 2 UU 32 tahun 2009
4 | P a g e
Lebih jauh dikaitkan denan pasal 8 UU
PPLH yang mengatur tentang status daya
dukung dan daya tampung lingkungan
hidup, maka hilangnya beberapa mandat
pada pasal 6 dan 7 UU PPLH pada RPP
Gambut justru akan membuat RPP ini
menjadi pintu bagi cara dan mekanisme
pengerusakan yang baru karena rohnya
yang cendrung mengarah ke proses
penyediaan untuk budidaya yang diatur
kemudian dalam tahapan pemanfaatan.
Tahapan pemanpaatan pada RPP Gambut
sepertinya merupakan turunan dari klausal
Penetapan ekoregion pada UU PPLH,
hanya saja terjadi pembelokan makna dari
pasal 7 UU PPLH tentang penetapan
ekoregion, justru pada RPP Gambut (pasal
8 )menjadi klausal yang mengatur
Penetapan fungsi ekosistem dimana
Menteri Lingkungan hidup mempunyai
wewenang untuk mentapkan fungsi
ekosistem gambut( ayat 1), yang
selanjutnya dibagi atas 2 fungsi
yaitu fungsi lindung dan fungsi
budidaya (ayat 2), dalam
pembagian fungsi terdapat
klausal ayat 3 yang mengatur
presentase kawasan lindung
minimal 30 %.
Masuknya tahapan
pemenpaatan membuat RPP
gambut justru cendrung
mengakomodir undang undang
sektoral yang seharusnya
menjadi sasaran yang harus
dikendalikannya, ini terjadi
karena adanya klausal yang
mengatur adanya wilayah
budidaya dalam penetapan kawasan
gambut.
Kewenangan penetapan wilayah
berdasarkan fungsi oleh kementerian
lingkungan hidup, mengingatkan kembali
akan bahaya dari kewenangan
kementerian kehutanan dalam menunjuk
dan mentapkan kawasan kawasan hutan.
Dimana kewenangan suatu kementerian
beresiko mencabut hak masyarakat
terhadap suatu wilayah dan
mendelegasikan penguasaan ruang kepada
swasta atas dasar fungsi ekosistem
kawasan gambut, sedangkan ribuan
komunitas di provinsi Riau, jambi,
Sumatera Selatan, kalimantan Tengah,
kalimantan barat, kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur berada dan hidup dalam
kawasan gambut.
Lebih jauh RPP Gambut ini memandang
arti penting perlindungan kawasan
gambut cendrung mengedepankan
Pemenfaatan.
Pasal 8 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
5 | P a g e
pengurangan resiko pelepasan karbon
semata, sedangkan fakta sesungguhnya
kawasan gambut sebagai lingkungan
tempat dan faktor kualitas hidup
komunitas disekitarnya justru dikaburkan
dengan peneterjemehan fungsi kawasan
gambut yang terjebak kedalam defensi
teknis dan dangkal, baik itu dalam defenisi
kawasan lindung maupun kriteria baku
kerusakan ekosistem gambut.
Selain itu
penilaian arti
penting
kawasan
gambut
cendrung
mengedepankan
kepentingan isu karbon juga diperkuat
oleh cara pandang RPP Gambut
dalam melihat arti penting
kawasan gambut berbasiskan
luas area, menutup pengetahuan
akan nilai penting spot spot kecil
krusial yang tidak luas tetapi
memunyai peran penting
terhadap komunitas yang luas,
seperti fungsi kawasan gambut di
pantai barat sumatera cendrung
sempit dan tidak seberapa
dibangingkan luasan gambut di
pantai timur sumatera atau
kalimantan, tetapi mempunyai
fungsi yang sangat vital terhadap
perekonomian dan dan pangan
bagi masyarakat disekitar sungai yang
berada da terhubung dengan kawasan
gambut tersebut karena fungsi ekologisnya
sebagai daerah pemijahan berbagai jenis
ikan yang hidup dan tersebar sungai sungai
yang terhubung dengan kawasan gambut
tersebut. Begitu juga terhadap kawasan
Rawa yang cendrung memiliki gambut
sedikit atau sangat tipis seperti di
kabupaten Hulu Sungai Utara kalimantan
Selatan.
Adanya peluang perubahan fungsi
ekosistem gambut dalam kaitannya
dengan revisi dan penetapan serta rencana
tata ruang (pasal 11) juga membuka
peluang
kepala
daerah
untuk
menjadi
aktor yang
dapat
membuka akses pihak tertentu untuk
menguasai kawasan gambut, seperti
halnya kasus kasus review kawasan hutan
untuk wilayah administrasi dan tata ruang.
Pasal 11 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Pasal 22 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
6 | P a g e
Pengendalian
Kriteria baku kerusakan gambut dalam RPP
Gambut , dibagi atas
kriteria kerusakan fungsi
lindung dan kriteria
kerusakan pada fungsi
budidaya, pada fungsi
lindung adanya drainase
buatan menjadi kriteria
kerusakan, sedangkan
pada fungsi budidaya
diperbolehkan adanya
drainase buatan dengan syarat tinggi
permukaan air tanah tidak lebih dari 1
meter dari permukaan gambut.
Bila pengendalian ini mengacu kepada
pasal 6 dan pasal 7 UU PPLH maka cara
pandang pada pengendalaian akan
mengedepankan proses akomodir
keberhasilan adaptasi masyarakat pada
kawasna gambut dan menggunakan
kriteria kerusakan berbasiskan kerusakan
dalam defenisi komunitas sebagai pihak
yang akan pertama merasakan dampak
serta membantu pencegahan.
Ancaman kriminalisasi dapat terjadi
terhadap komunitas yang telah berada di
dalam ekosistem gambut, baik itu dalam
kawasan fungsi lindung maupung fungsi
budidaya sesuai kriteria baku kerusakan
gambut pada pasal 22 dengan adanya
larangan pada pasal 25. Sedangkan pelaku
usaha yang berbadan usaha akan terhindar
dari jeratan hukum pada kawasan gambut
fungsi budidaya dengan ketebalan kurang
dari 1 meter karena adanya klausal pasal
23 yang mengatur penetapan kriteria baku
mutu kerusakan dapat diatur pada izin
lingkungan.
Penanggulangan dan Pemulihan
Penanggulangan kerusakan
dibagi menjadi 3 ketentuan
mendasar pad RPP Gambut
dimulai dari kewajiban
penanggulangan oleh
pelaku, penanggulangan
oleh pihak ketiga,
pembebanan biaya
penanggulangan terhadap
pelaku, dan penghitungan
Pasal 23 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Pasal 28 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
7 | P a g e
biaya kerusakan. Pada pasal 28 ayat 1
disebutkan bahwa biaya penanggulngan
dihitung sebagai biaya kerugian
lingkungangan. Bahaya dari pasal 28 ini
terdapat pada ayat 2, dimana perhitungan
besaran biaya penanggulangan ditetapkan
atas kesepakatan pemerintah
(menteri/pemerintah daerah) dengan
pelaku usaha.
Tidak berbeda jauh dari penanggulangan
kerusakan, pasal pasal yang mengatur
pemulihan juga dibagi atas 3 klausar dasar;
kewajiban penanggulangan
oleh pelaku, penunjukan
pihak ketiga sebagai
pelaksana pemulihan oleh
pemerintah (menteri/kepala
daerah), pembebeanan biaya
pemulihan kepada pelaku,
dan penghitungan biaya
pemulihan. Pada pasal 31
ayat satu biaya pemulihan dihitung sebagai
besaran kerugian lingkungan, dan pada
ayat 2 potensi negosiasi dan kompromi
kerusakan lingkungan kembali
dimunculkan dengan bahasa besaran biaya
kerugian lingkungan ditetapkan
berdasarkan kesepakatan pemerintah
(menteri/gubernur/bupati/walikota)
dengan pelaku usaha atau kegiatan.
Walaupun pada pasal 39 diatur
kewenangan pemerintah untuk mencabut
izin lingkungan dan pada pasal 40
menjelaskan ketentuan pidana tidak hapus
oleh penggantian biaya penanggulangan
dan pemulihan kerusakan.
Pasal 28 dan pasal 31 ini berpotensi akan
kontradiksi dengan semnagat UU 32 tahun
2009 sendiri yang memandang pentingnya
perencanaan perlindungan dan
pengelolaan ekosistem tertentu karena
dipandang mempunyai multi value yang
kompleks. Penyederhanaan nilai berbagai
faktor lingkungan kedalam nilai ganti rugi
kerusakan dan pemulihan akan membawa
cara pikir pembangunan dan lingkungan di
Indonesia semakin jauh dari perlindungan
nilai nilai lingkungan itu sendiri, dimana
semua komponen penyusun ekosistem
lingkungan dipandang dapat dinilai dengan
uang. Lebih jauh resiko dari adanya makna
kompromi nilai pergantian biaya
penanggulangan dan atau pemulohan
lingkungan oleh pemerintah dan
pemegang tanggung jawab usaha,
sedangkan identifikasi terhadap multi level
value lingkungan dan sosial kultur belum
dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.
Pasal 31 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
8 | P a g e
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penyandingan RPP Gambut dengan UU PPLH Nomor 32 tahun 2009 serta menarik
konteknya dengan kondisi faktual lingkngan dan masyarakat di daearah, RPP Gambut ini
mempunyai muatan kepentingan yang beresiko terhadap kawasan Gambut itu sendiri dan
eksistensi kehidupan masyarakat di dalam dan sekitarnya. Ini dipengaruhi oleh beberapa
konten berikut :
1. RPP Gambut cenderung mengatur kewenangan dalam penyediaan kawasan untuk
perkebuanan skala besar dan industri sektoral berbasis perizinan lainnya, selain
beresiko terahadap munculnya sumber masalah agraria baru dengan kewenangan dan
sistemnya seperti keberadaan kementerian kehutanan.
2. RPP Gambut masih menjaadi bagian dari cara pandang yang mengampuni proses
pengerusakan lingkungan yang sudah terjadi
3. RPP Gambut tidak berangkat dari fakta kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan gambut dan cenrung akan menjadi media legitimasi pemisahaan kehidupan
rakyat dari lingkungannya dalam konteks hak akses dan fungsi jasa lingkungan
4. RPP Gambut berpotensi menjadi faktor yang justru mempercepat laju kerusakan
gambut Indonesia karena konteks kawasan fungsi budidayanya
Saran
Kehadiran RPP gambut harus merubah dua faktor penting penerbitannya, yang pertama pada
proses penyususnanya dan yang kedua substansi.
1. Proses penerbitan, harus ditunda dengan terlebih dahulu melakukan proses
penggalangan aspirasi dan diskusi dengan masyarakat terdampak langsung dan
organisasi masayrkat sipil.
2. Beberapa pasal yang beresiko menjadi faktor yang memperbesar kerusakan gambut
indonesia harus dihilangkan dan atau diganti dnegan substansi yang lebih prograsive
bagi perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan, peruabahan substansi juga
harus dilakukan untuk mebuat RPP ini mempnyai semangat pengakuan, pelibatan dan
perlindungan hak dan ketergantungan berbagai komunitas terhadap ekosistem
gambut di Indonesia.
Jakarta, 15 Juli 2014
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)