kerangka acuan kunjungan kerja panitia kerja...

15
KERANGKA ACUAN KUNJUNGAN KERJA PANITIA KERJA KOMISI VI DPR RI KE JERMAN DALAM RANGKA MEMPERKUAT ANALISIS DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi diarahkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai salah satu tujuan pembangunan negara Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan, merupakan tugas konstitusional untuk memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi setiap warga negara berpartisipasi di dalam kegiatan ekonomi. Dalam kaitan di atas, maka perlu meningkatkan perlindungan melalui regulasi dengan maksud tidak hanya melindungi para pelaku ekonomi dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, namun juga melindungi konsumen melalui produk, harga, dan pelayanan dari pelaku usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan badan yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang dalam persaingan usaha di Indonesia. Peran KPPU diwujudkan dalam menyidik dan memutus perkara persaingan usaha atas inisitatif sendiri, selain atas dasar laporan. Dalam perannya, KPPU memiliki tugas ganda, selain juga berperan untuk menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha, namun juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat yang positif bagi pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam kenyataannya, peluang-peluang usaha yang tercipta selama beberapa dasawarsa belum membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor. Selama periode tersebut, perkembangan usaha swasta diwarna distorsi, dan di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat di dunia usaha adalah terjadinya inefisiensi alokasi sumber daya. Persoalan yang begitu komplek dalam penegakan hukum larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah berimplikasi pada tidak efektifnya pelaksanaan tugas dan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang serta banyaknya putusan KPPU tidak dilaksanakan oleh para pihak, baik pelaku usaha yang berada di Indonesia, bahkan pelaku usaha Indonesia yang berada di luar negeri. Masalah ini timbul akibat keterbatasan wewenang KPPU dalam mengusut indikasi praktik monopoli dan persaingan tidak sehat di dunia usaha. Dengan keterbatasan wewenang, salah satu kesulitan dalam proses penyelidikan perkara yang dilakukan oleh KPPU adalah mencari bukti kuat praktik-praktik tersebut. Peran lembaga pengawas persaingan juga niscaya akan semakin berat dengan makin terintegrasinya

Upload: nguyennhi

Post on 06-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KERANGKA ACUAN KUNJUNGAN KERJA PANITIA KERJA KOMISI VI DPR RI KE JERMAN DALAM RANGKA MEMPERKUAT ANALISIS

DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI

DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT I. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi diarahkan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai salah satu tujuan pembangunan negara Indonesia. Untuk mempercepat pembangunan, merupakan tugas konstitusional untuk memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi setiap warga negara berpartisipasi di dalam kegiatan ekonomi. Dalam kaitan di atas, maka perlu meningkatkan perlindungan melalui regulasi dengan maksud tidak hanya melindungi para pelaku ekonomi dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, namun juga melindungi konsumen melalui produk, harga, dan pelayanan dari pelaku usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan badan yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang dalam persaingan usaha di Indonesia. Peran KPPU diwujudkan dalam menyidik dan memutus perkara persaingan usaha atas inisitatif sendiri, selain atas dasar laporan. Dalam perannya, KPPU memiliki tugas ganda, selain juga berperan untuk menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha, namun juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat yang positif bagi pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi, dan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam kenyataannya, peluang-peluang usaha yang tercipta selama beberapa dasawarsa belum membuat seluruh masyarakat mampu dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor. Selama periode tersebut, perkembangan usaha swasta diwarna distorsi, dan di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat di dunia usaha adalah terjadinya inefisiensi alokasi sumber daya. Persoalan yang begitu komplek dalam penegakan hukum larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah berimplikasi pada tidak efektifnya pelaksanaan tugas dan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang serta banyaknya putusan KPPU tidak dilaksanakan oleh para pihak, baik pelaku usaha yang berada di Indonesia, bahkan pelaku usaha Indonesia yang berada di luar negeri. Masalah ini timbul akibat keterbatasan wewenang KPPU dalam mengusut indikasi praktik monopoli dan persaingan tidak sehat di dunia usaha. Dengan keterbatasan wewenang, salah satu kesulitan dalam proses penyelidikan perkara yang dilakukan oleh KPPU adalah mencari bukti kuat praktik-praktik tersebut. Peran lembaga pengawas persaingan juga niscaya akan semakin berat dengan makin terintegrasinya

ekonomi Indonesia secara regional. Salah satu persoalan penting yang harus disoroti adalah akan masuknya Indonesia ke dalam Komunitas ASEAN 2015. Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah pasar dan basis produksi tunggal kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata dan kawasan yang secara penuh terintegrasi ke dalam ekonomi global.1 Salah satu tujuan yang tercantum dalam Cetak Biru MEA adalah terciptanya kawasan ekonomi yang kompetitif di mana salah satu elemen pentingnya adalah kebijakan persaingan usaha. Pada saat ini, belum terdapat badan resmi di tingkat ASEAN sebagai badan kerjasama implementasi kebijakan hukum persaingan usaha yang berfungsi sebagai jaringan untuk badan-badan persaingan usaha atau badan terkait untuk tukar-menukar pengalaman dan norma-norma institusional dari Hukum Persaingan Usaha. Berdasarkan hal tersebut, Cetak Biru MEA yang dikeluarkan pada tahun 2009 tersebut mengamanatkan adanya tindakan-tindakan berupa: (a) mengupayakan kebijakan persaingan usaha pada seluruh negara ASEAN selambat-lambatnya pada 2015; (b) membentuk jaringan otoritas atau badan-badan yang berwenang atas kebijakan persaingan usaha sebagai forum untuk membahas dan mengkoordinasi kebijakan persaingan usaha; dan (c) mengembangkan pedoman kawasan mengenai kebijakan persaingan usaha selambat-lambatnya pada 2010, berdasarkan pada pengalaman masing-masing negara dan praktik-praktik internasional yang terbaik dalam rangka menciptakan iklim persaingan usaha. Penerapan Hukum Persaingan Usaha secara regional sebagaimana yang akan diterapkan dalam MEA dapat dibandingkan dengan penerapan Hukum Persaingan Usaha di antara negara-negara anggota Uni Eropa. European Commission (EC) di mana di dalamnya terdapat Direktorat Jenderal Persaingan Usaha, berfungsi sebagai koordinator penegakan Hukum Persaingan Usaha lewat mekanisme Jaringan Persaingan Usaha Uni Eropa atau European Competition Network (ECN). EC lewat ECN akan mengatur alur penerimaan informasi dari otoritas-otoritas persaingan usaha negara Uni Eropa dan merawat agar koherensi dan sistem yang integratif antara negara-negara anggota Uni Eropa tetap dapat berjalan dalam penegakan hukum persaingan usaha di tingkat Uni Eropa.2 Dari perbandingan dengan Uni Eropa sebelumnya, peran otoritas persaingan usaha akan semakin “menantang” ke depannya. Pendefinisian pasar yang semakin mengedepankan aspek ekstrateritorial antar negara ASEAN merupakan tantangan tersendiri bagi KPPU. KPPU akan berlaku layaknya Office of Fair Trading (OFT) di Inggris dan Bundeskartellamt di Jerman, yaitu sebagai otoritas persaingan usaha di sebuah negara dalam alam Hukum Persaingan Usaha yang terintegrasi secara regional.3 Untuk menghadapi pasar ekonomi tersebut, sayangnya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, masih belum memberi landasan hukum yang kuat di dalam peningkatan fungsi pengawasan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ada 6 (enam) persoalan utama yang menjadi hambatan implementasi UU No. 5 Tahun 1999 yang harus segera diperbaiki, yaitu: Pertama, Persoalan definisi dari pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-undang No.5 tahun 1999 juga menjadi hal yang cukup menghambat penegakan hukum persaingan usaha, khususnya terhadap praktek anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berdomisili hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi praktek anti persaingan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut berdampak bagi pasar dan perekonomian Indonesia.

1 Departemen Luar Negeri RI, “Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN,” Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar

Negeri RI, (2009), hal. 3. 2 Okeoghene Odudu, The Boundaries of EC Competition Law: The Scope of Article 81, (Oxford: Oxford University Press, 2006), hal.

44. 3 Dr. iur. Soendoro Soepringgo, SH., Bundeskartellamt The Berlin Conference 2015, April 2015

Kedua, Pengaturan yang kurang tepat mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merger) di dalam pasal 29 Undang-undang No.5 Tahun 1999, yaitu diberlakukannya rezim notifikasi pasca-merger sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 yang mengatur bahwa sebuah merger selambat-lambatnya dilaporkan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal merger tersebut berlaku efektif. Dengan pemberlakuan rezim notifikasi pasca-merger, mungkin saja terjadi KPPU memerintahkan pelaku-pelaku usaha yang telah melakukan merger untuk berpisah kembali karena merger tersebut dinilai anti persaingan. Pemberlakuan notifikasi pasca-merger tersebut sangatlah merugikan pelaku usaha, di mana hampir seluruh yurisdiksi Hukum Persaingan Usaha di negara-negara lain memberlakukan notifikasi pra-merger. Ketiga, Kewenangan yang diberikan Undang-undang No.5 Tahun 1999 masih dianggap kurang mendukung tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1999 kepada KPPU, di mana KPPU selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dibutuhkan di dalam proses pemeriksaan, dikarenakan selama ini bukti-bukti didapatkan KPPU tersebut sebagian besar masih sangat tergantung dari bukti-bukti yang diserahkan oleh pihak pelaku usaha yang diperiksa, yang hal ini sangat berpengaruh kepada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU. Keempat, Pengaturan yang belum komprehensif mengenai mekanisme dan tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha, seperti pelaporan, penyelidikan, pengambilan alat bukti, pemeriksaan pelapor, saksi, terlapor, dan ahli, alat bukti dan sistem pembuktian, persidangan, upaya hukum, dan eksekusi putusan di KPPU mengingat status KPPU sebagai lembaga semi-peradilan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, belum diatur juga mengenai perlindungan dan penghargaan kepada saksi pelapor yang memberikan informasi kepada KPPU. Kelima, Ketidakjelasan kedudukan KPPU sebagai lembaga dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang berimplikasi pada pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya. Selain itu, dalam kelembagaan KPPU juga belum diatus secara komprehensif status komisioner, proses rekrutmen, pengangkatan dan pemberhentian, penggantian antar waktu, kode etik, serta penegakan kode etik. Keenam, Ketidakjelasan kedudukan KPPU juga membawa implikasi pada sistem pendukung KPPU, di mana status kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional (meskipun pembiayaan operasional KPPU bersumber dari APBN), tidak jelasnya rekrutmen dan status pegawai yang ada (mayoritas pegawai yang diangkat oleh Ketua KPUU), pembinaan karir, dan tidak tepatnya kedudukan sekretaris KPPU sebagai lembaga pendukung administrasi sekaligus memberikan dukungan teknis.

Atas dasar itu, Komisi VI DPR RI memandang perlu untuk merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks baik di tingkat nasional maupun internasional. Untuk itu Panitia Kerja (PANJA) Komisi VI DPR RI akan melakukan pendalaman dalam rangka memperkuat analisis terhadap Penyusunan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ke negara Jerman yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 5 sampai dengan 11 Oktober 2015 guna memperoleh masukan dan gambaran langsung mengenai penerapan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Jerman. II. TUJUAN DAN KEGUNAAN Tujuan kunjungan kerja adalah memperkuat analisis dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat yang telah disusun secara yuridis normatif dan yuridis empiris oleh PANJA Komisi VI DPR RI. Secara yuridis normatif dilakukan melalui studi dokumen atau literatur (data sekunder), dengan cara mengumpulkan informasi melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil kajian atau referensi lainnya, dan penelusuran data serta informasi yang berkaitan dengan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun secara yuridis empiris dilakukan dengan mengkaji dan menelaah data primer yang diperoleh secara langsung dari para narasumber atau pakar, para pemangku kepentingan, dan masyarakat. Kegunaan dari kunjungan kerja ini adalah : 1. Menambah kajian yang logis dan rasional baik secara filosofis, sosiologis, juridis dan akademis

terkait dengan isu-isu perubahan regulasi larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, serta memuat jangkauan dan arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan undang-undang yang akan diubah.

2. Menjadi pedoman dalam penyusunan perubahan regulasi larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan pada pokok-pokok materi muatan yang akan diubah.

3. Dengan adanya perubahan atas UU no. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diharapkan :

Iklim berusaha di Indonesia menjadi lebih sehat dan kondusif serta dapat memberikan jaminan adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha;

Persaingan usaha yang sehat memacu pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi guna meningkatkan daya saing.

Kepentingan nasional terjaga dengan baik dan sumber daya alam Indonesia teralokasikan secara efisien

Terwujudnya ekonomi nasional yang efisien dan berkeadilan untuk kesejaheraan seluruh rakyat Indonesia

III. ALASAN PEMILIHAN NEGARA JERMAN

Belajar dan bercermin dari negara yang telah sukses dalam aplikasi dan supremasi hukum terutama tentang persaingan usaha di tatanan Uni Eropa, Jerman khususnya, diharapkan dapat menciptakan iklim berusaha di Indonesia menjadi lebih sehat dan kondusif serta dapat memberikan jaminan adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha sehingga dapatmeningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi guna meningkatkan daya saing. Regulasi yang mengatur persaingan usaha yang sehat di Jerman diatur dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen (GWB) yang dirancang untuk melindungi bisnis kecil dan menengah serta hukum kompetisi di Uni Eropa guna melindungi konsumendari perilaku anti kompetisi. Refleksi hukum dan ekonomi dari Uni Eropa dan Jerman diharapkan dapat menjadi pelajaran tersendiri bagi hukum persaingan usaha di Indonesia yang terbilang masih baru. Sejak tahun 1909 Jerman memiliki Gesetz gegen Unlauteren Wettbewerb (UWG) sebagai Undang-Undang Melawan Persaingan Tidak Sehat. Pada masa Nationalsozialismus ekonomi harus terus berjalan dalam keadaan perang, hal ini diatur dalam Undang-Undang Kartel Paksa tahun 1933 melalui dasZwangskartellgesetzvon 1933 dan di tahun 1942 menjadi Marktaufsichtverordnung.

Selanjutnya tahun 1947 diperkenalkan Dekartellierungsgesetze yang diwujudkan untuk memerangi kartel dan membebaskan kompetisi di Jerman. Sejak tahun 1950 Pemerintah Federal Jerman berusaha menghilangkan undang-undang dekartelisasi negara sekutu melalui Undang-Undang Kartel Jerman dimana titik poinnya terdapat larangan kartelisasi dan pengawasan merger dan akuisisi.Baru pada tahun 1957 Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen (Undang-Undang Anti Hambatan Persaingan Usaha) berhasil diundangkan dan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1958. Undang-Undang ini sejak diundangkan sampai sekarang sudah diamandemen tujuh kali dan telah dilakukan harmonisasi dengan hukum kompetisi usaha Uni Eropa. Kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama dalam hukum kompetisi usaha Uni Eropa. Agenda dasar dalam TFEU dan EC 139/2004 memiliki empat pilar kebijakan. Pertama adalah kebijakan mengenai kartel, kontrol kolusi dan praktik-praktik antikompetisi, diatur dalam TFEU artikel 101. Kedua adalah pengaturan pasar dominan, diatur dalam artikel 102 TFEU. Ketiga adalah pengaturan mengenai merger, akuisisi dan joint venture yang melibatkan perusahaan yang memiliki market share yang signifikan jumlahnya, diatur dalam 139/2004 EC. Keempattentang sejauh mana bantuan negara terhadap perusahaan di lingkup negaranya mendapatkan toleransi dalam hukum Uni Eropa, tertuang dalam artikel 107 TFEU. Perusahaan yang dalam istilah Uni Eropa disebut undertaking memiliki definisi setiap unit atau entitas yang melakukan aktivitas ekonomi (terkecuali unit yang melakukan aktivitas sosial). Klaim terhadap perusahaan tersebut tidak harus menemukan perjanjian tertulis antar dua perusahaan jika terjadi kejanggalan (gentleman agreement). Namun, Komisi Eropa berhak menginvestigasi perusahaan yang diduga melakukan kolusi untuk mengakali harga. Jadi dalam hal ini, jika terdapat dua perusahaan yang berbeda dan tidak melakukan komunikasi sama sekali namun memiliki kesamaan harga jual produk seolah mereka mengadakan komunikasi untuk berkolusi, pihak EC (European Commission)atau ECJ (European Court Justice) berhak melakukan investigasi untuk menelusurinya. Kajian ekonomi perlu diangkat untuk menyelidiki apakah suatu perusahaan berlaku dominan dalam kepemilikanmarket share. Secara ekonomi, kita bisa menggunakan CR (Concentration Ratio) atau HHI (Herfindahl Hirschman Index) untuk menentukan skala dominasi perusahaan dalam bisnis sejenis atau untuk menghitungmaraknya pasar yang dikuasai. Dalam GWB, penetapan dominasi perusahaan telah diatur dengan jelas. Misalnya, jika perusahaan memiliki market share setidaknya 40% (amandemen terbaru) dari total 100% struktur pasar. Hal ini penting dikaji karena perusahaan berpotensi monopolis bila memiliki posisi dominan dalam suatu pasar. Perusahaan itu akan leluasa mengatur harga jual produknya hingga jauh melampaui ongkos pembuatannya (marginal cost) yang berdampak pada tersedotnya kesejahteraan konsumen. Hukum kompetisi juga bermanfaat untuk perusahaan atau organisasi yang merasa dirugikan oleh tindak monopoli atau tindakan yang mengabaikan antitrust policy, lalu mengadukan ke lembaga hukum yang berwenang. Hukum kompetisi juga dapat digunakan untuk melindungi pelaku usaha dari perilaku pelaku usaha lain yang tidak efisien secara ekonomis atau secara sosial tidak diinginkan; mencegah industri yang menggunakan jalan tidak etis untuk meraup untung; mencegah kemunculan bisnis yang monopolis dimana mereka biasanya mengurangi kuantitas barang dan menaikkan harga; membuat standar spesifik etika dalam berbisnis antar perusahaan dengan tetap beracuan pada kepentingan konsumensebagai prioritas utama.

Dalam artikel 101 TFEU nomor 2 dan 3, kekecualian diberlakukan bagi sektor publik yang manfaatnya sangat dominan bagi keberlangsungan hidup masyarakat luas seperti misalnya gas, listrik, telekomunikasi, transportasi, kemajuan teknologi dan sebagainya, selama masih tidak mencederai semangat kompetisi satu dan lainnya. Dalam Bundeskartellamt The Berlin Conference 2015 yang diselenggarakan pada bulan April 2015 yang lalu, dibahas beberapa kondisi aktual persaingan usaha yang saat ini berada dalam era ekonomi digital, antara lain konvergensi pada penerapan pengendalian merjer internasional, posisi perusahaan-perusahaan BUMN di antara negara dan masyarakat sekaligus tantangan-tantangan yang dihadapi oleh badan regulator persaingan dalam bersinggungan dengan perusahaan BUMN, serta proses beracara yang efisien dan penjatuhan sanksi yang efektif dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha dan dihubungkan dengan mekanisme penegakan hukum perdata melalui gugatan ganti rugi. Dalam era ekonomi digital, penggunaan big data memainkan peran penting sebagai kunci utama dalam persaingan antar perusahaan. Ia akan menjadi aset ekonomi utama yang membentuk keunggulan signifikan dari daya saing perusahaan. Big data berkaitan dengan kumpulan informasi yang menyasar konsumen, tak hanya data-data dasarnya, namun juga perilaku kosumen. Badan-badan otoritas persaingan usaha di Eropa mulai mengidentifikasi dan mengumpulkan data, penggunaannya, dan implikasinya terhadap merjer lintas negara dan hukum persaingan usaha serta perlindungan konsumen Selain itu, posisi BUMN di dalam perekonomian nampaknya masih menjadi persoalan di berbagai negara. Pernyataan resmi dari Presiden Bundeskartellamt dalam pidatonya juga menyinggung posisi BUMN dimana setiap negara memiliki cara pandang yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing. Pokok bahasan dan subtansi materi yang dibahas dalam Bundeskartellamt The Berlin Conference 2015 tersebut tentunya sangat bermanfaat untuk memperkuat analisis dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat IV. WAKTU KUNJUNGAN Kegiatan kunjungan kerja ini akan dilaksanakan dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 11 Oktober 2015. V. SUSUNAN DELEGASI (terlampir) VI. PROGRAM PADA SAAT KUNJUNGAN KERJA

1. Melakukan pertemuan dengan KBRI di Jerman 2. Melakukan pertemuan dengan KPPU Jerman dan Perwakilan KPPU di Jerman. 3. Melakukan pertemuan dengan Parlemen Jerman terkait Regulasi Anti Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. 4. Melakukan pertemuan dengan Deutscher Industrie-und Handelskammertag (DIHK)/KADIN

Jerman. 5. Melakukan pertemuan dengan Kementerian Perdagangan (Atase Perdagangan) di Jerman 6. Melakukan pertemuan dengan Pimpinan The Indonesian Trade Promotion Centre di Jerman.

7. Melakukan pertemuan dengan para pelaku usaha yang terkait dengan Undang-Undang Persangan Usaha di Jerman.

8. Peninjauan ke pasar modern/tradisional yang ada di Jerman.

VII. DAFTAR PERTANYAAN

A. Kepada Parlemen Jerman (Bundestag) terkait Regulasi Anti Monopoli dan Persaingan Usaha

1. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam melakukan amandemen Gesetz

gegen Wettbewerbsbeschränkungen khususnya dalam memformulasikan korelasi antara persaingan usaha yang sehat dengan inflasi, tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan?

2. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam melakukan amandemen Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen khusunya mengenai harmonisasi dengan hukum kompetisi usaha Uni Eropa?

3. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam menjabarkan perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan pelaku usahadalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

4. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam formulasi prinsip-prinsip pengecualian tentang apa, siapa dan kegiatan apa saja yang dapat dikecualikan, khususnya bagi UKM dan BUMN Jermandalam amandemen Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

5. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam formulasi pre atau post notifikasi merjer, akuisisi aset dan pembentukan joint operation atau joint venture company dalam amandemen Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

6. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam formulasi mekanisme dan tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha, seperti pelaporan, penyelidikan, pengambilan alat bukti, pemeriksaan pelapor, saksi, terlapor, dan ahli, alat bukti dan sistem pembuktian, persidangan, upaya hukum, sanksi dan eksekusi putusan Bundeskartellamt?

7. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam formulasi kelembagaan Bundeskartellamt, khususnya mengenai Kedudukan, Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Wewenangnya, status komisioner, proses rekrutmen, pengangkatan dan pemberhentian, penggantian antar waktu, kode etik, serta penegakan kode etik?

8. Faktor apa sajakah yang dirumuskan oleh Bundestag dalam formulasi penerapan hukum Persaingan Usaha secara regional di antara negara-negara anggota Uni Eropa baik di tingkat European Commission (EC) maupun di tingkat European Competition Network (ECN).

B. Kepada KPPU Jerman (Bundeskartellamt)

1. Apa definisi pelaku usaha dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

2. Bagaimana Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen menjabarkan korelasi antara

persaingan usaha yang sehat dengan inflasi, tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan?

3. Seperti apakah penjabaran dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen yang mengatur perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan pelaku usaha?

4. Apakah Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen mengatur prinsip-prinsip pengecualian tentang apa, siapa dan kegiatan apa saja yang dapat dikecualikan, khususnya bagi UKM?

5. Bagaimana Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen mengatur pengawasan pre notifikasi merjer?

6. Bagaimana Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen mengatur kewajiban notifikasi untuk akuisisi aset dan pembentukan joint operation atau joint venture company?

7. Seperti apakah kewenangan Bundeskartellamtdi dalam proses pemeriksaan? sebab selama ini bukti-bukti didapatkan KPPU Indonesia sebagian besar masih sangat tergantung dari bukti-bukti yang diserahkan oleh pihak pelaku usaha yang diperiksa, dimana hal ini sangat berpengaruh kepada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU

8. Bagaimana pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha, seperti pelaporan, penyelidikan, pengambilan alat bukti, pemeriksaan pelapor, saksi, terlapor, dan ahli, alat bukti dan sistem pembuktian, persidangan, upaya hukum, sanksi dan eksekusi putusan Bundeskartellamt?

9. Seperti apakah kelembagaan Bundeskartellamt, khususnya mengenai Kedudukan, Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Wewenangnya, status komisioner, proses rekrutmen, pengangkatan dan pemberhentian, penggantian antar waktu, kode etik, serta penegakan kode etik?

10. Bagaimana peran Bundeskartellamt menangani persoalan persaingan usaha tidak sehat di sektor-sektor strategis seperti Sektor pangan, Sektor energi dan pertambangan, Sektor kesehatan dan pendidikan, Sektor keuangan, Sektor infrastruktur, logistik dan bidang-bidang kegiatan yang bersifat monopoli alamiah?

11. Bagaimana penerapan hukum Persaingan Usaha secara regional di antara negara-negara anggota Uni Eropa baik di tingkat European Commission (EC) maupun di tingkat European Competition Network (ECN).

12. Bagaimanakah kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh Busdesgerichtshofdalam menangani perkara persaingan usaha tidak sehat di Jerman?

13. Setelah ada putusan dari Bundeskartellamt, bagaimana cara pihak yang merasa tidak puas dalam mengajukan banding dan kasasi ke Busdesgerichtshof?

14. Bagaimana penerapan penanganan perkara persaingan usaha secara regional di antara negara-negara anggota Uni Eropa baik di tingkat European Commission (EC) maupun di

tingkat European Competition Network (ECN) yang mengajukan banding dan kasasi ke Busdesgerichtshof?

C. Kepada KADIN JERMAN (Deutscher Industrie- und Handelskammertag/DIHK)

1. Seperti apakah respon DIHK menyikapi kondisi aktual persaingan usaha yang saat ini berada dalam era ekonomi digital?

2. Bagaimana respon DIHK menyikapi konvergensi pada penerapan pengendalian merjer internasional baik di tingkat European Commission (EC) maupun di tingkat European Competition Network (ECN)?

3. Seperti apakah respon DIHK menyikapi regulasi persaingan usaha yang bersinggungan dengan perusahaan BUMN Jerman?

4. Bagaimanakah respon DIHK menyikapi proses beracara dan penjatuhan sanksi dari Bundeskartellamtdan atau Busdesgerichtshof?

5. Bagaimanakah pengecualian tentang apa, siapa dan kegiatan apa saja yang dapat dikecualikan, khususnya bagi UKM dan BUMN dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

6. Bagaimana respon DIHK menyikapi pre dan atau post notifikasi merjer yang diatur dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

7. Bagaimana respon DIHK menyikapi kewajiban notifikasi untuk akuisisi aset dan pembentukan joint operation atau joint venture company yang diatur dalam Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen?

8. Bagaimana respon DIHK menyikapi mekanisme dan tata cara penyelesaian perkara persaingan usaha, seperti pelaporan, penyelidikan, pengambilan alat bukti, pemeriksaan pelapor, saksi, terlapor, dan ahli, alat bukti dan sistem pembuktian, persidangan, upaya hukum, sanksi dan eksekusi putusan Bundeskartellamt?

D. Kepada KBRI di Jerman

1. Apa upaya yang sedang, telah dan akan dilakukan oleh KBRI di Jerman untuk memfasilitasi kerjasama antara Indonesia dengan Jerman khususnya yang memiliki korelasi langsung dengan terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan memacu pelaku usaha di kedua negara untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi guna meningkatkan daya saing?

2. Apakah ada regulasi dan atau kebijakan dari Pemerintah Jerman yang menyulitkan para pelaku usaha dari Indonesia?

3. Apakah ada regulasi dari Bundeskartellamt yang menyulitkan para pelaku usaha dari Indonesia dan apa upaya yang dilakukan oleh KBRI?

4. Apa saja peran yang dilakukan oleh KBRI dalam melakukan advokasi kepada para pelaku usaha dari Indonesia yang menghadapi perkara persaingan usaha di Bundeskartellamt dan Busdesgerichtshof?

5. Apa saja peran yang dilakukan oleh KBRI dalam menjembatani kerjsasama antara para pelaku usaha dari Indonesia dengan Deutscher Industrie- und Handelskammertag?

E. Kepada Atase Perdagangan RI di Jerman

1. Apakah selama ini regulasi anti monopoli Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memberikan jaminan adanya kesempatan sama bagi setiap pelaku usaha Indonesia untuk masuk ke pasar Jerman? Dan apakah selama ini telah mampu memberikan proteksi sepenuhnya kepada para pelaku usaha dari praktek yang merugikan pelaku usaha lain dan konsumen?

2. Apa dan bagaimana persoalan yang pernah dihadapi oleh para pelaku usaha Indonesia di Jerman dalam implementasi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

3. Bersama dengan KPPU, bagaimana peran Atase Perdagangan dalam memberikan pemahaman kepada para pelaku usaha Indonesia mengenai implementasi UU No. 5 Tahun 1999 untuk mengantisipasi terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat?

4. Apa saja peran Atase Perdagangan dalam melakukan advokasi kepada para pelaku usaha dari Indonesia yang menghadapi perkara persaingan usaha di Bundeskartellamt dan Busdesgerichtshof?

5. Bagaimana Atase Perdagangan menyikapi indikasi kartel, posisi dominan melalui merjer, akuisisi aset, pembentukan joint operation atau joint venture company yang dilakukan pelaku usaha di Jerman?

6. Apa upaya yang sedang, telah dan akan dilakukan oleh Atase Perdagangan untuk memfasilitasi kerjasama antara Indonesia dengan Jerman khususnya yang memiliki korelasi langsung dengan terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan memacu pelaku usaha di kedua negara untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi guna meningkatkan daya saing? Hambatan apa yang dihadapi oleh pelaku usaha Indonesia untuk masuk ke pasar Jerman/Eropa?

7. Apakah ada regulasi dan atau kebijakan dari Pemerintah Jerman yang menyulitkan para

pelaku usaha dari Indonesia?

8. Bagaimana upaya promosi dan penetrasi pasar yang telah dilakukan Atase Perdagangan di Jerman untuk memberdayakan usaha kecil dan menengah dan meningkatkan ekspor Indonesia?

9. Mohon data volume dan nilai ekspor produk unggulan Indonesia ke Jerman dalam beberapa

tahun terakhir (menurut komoditas).

F. Kepada Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) di Jerman

1. Apakah selama ini regulasi anti monopoli Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memberikan jaminan adanya kesempatan sama bagi setiap pelaku usaha Indonesia untuk masuk ke pasar Jerman? Dan apakah selama ini telah mampu memberikan proteksi sepenuhnya kepada para pelaku usaha dari praktek yang merugikan pelaku usaha lain dan konsumen?

2. Apa dan bagaimana persoalan yang pernah dihadapi oleh para pelaku usaha Indonesia di Jerman dalam implementasi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

3. Bersama dengan KPPU, bagaimana peran ITPC dalam memberikan pemahaman kepada para pelaku usaha Indonesia mengenai implementasi UU No. 5 Tahun 1999 untuk mengantisipasi terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat?

4. Apa saja peran ITPC dalam melakukan advokasi kepada para pelaku usaha dari Indonesia yang menghadapi perkara persaingan usaha di Bundeskartellamt dan Busdesgerichtshof?

5. Bagaimana ITPC menyikapi indikasi kartel, posisi dominan melalui merjer, akuisisi aset, pembentukan joint operation atau joint venture company yang dilakukan pelaku usaha dalam ITPC?

6. Apa upaya yang sedang, telah dan akan dilakukan oleh ITPC untuk memfasilitasi kerjasama antara Indonesia dengan Jerman khususnya yang memiliki korelasi langsung dengan terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan memacu pelaku usaha di kedua negara untuk meningkatkan efisiensi dan mutu produk serta melakukan inovasi guna meningkatkan daya saing? Hambatan apa yang dihadapi oleh pelaku usaha Indonesia untuk masuk ke pasar Jerman/Eropa?

7. Apakah ada regulasi dan atau kebijakan dari Pemerintah Jerman yang menyulitkan para pelaku usaha dari Indonesia?

8. Bagaimana kinerja ITPC di Jerman dan bagaimana upaya promosi dan penetrasi pasar yang telah dilakukan ITPC untuk memberdayakan usaha kecil dan menengah dan meningkatkan ekspor Indonesia?

9. Bagaimana upaya peningkatan kualitas pelayanan kelembagaan pusat promosi ekspor (ITPC) di Jerman guna menyesuaikan kebutuhan eksportir secara berkelanjutan dan rencana perluasan pembukaan kantor baru di negara/kawasan mitra dagang yang disesuaikan potensi pasar ekspor Indonesia?

10. Mohon data volume dan nilai ekspor produk unggulan Indonesia ke Jerman dalam beberapa tahun terakhir (menurut komoditas).

VIII. JADWAL KEGIATAN (Terlampir)

IX. PENUTUP Demikian kerangka acuan kunjungan kerja Panitia Kerja Komisi VIDPR RI ke Jerman dalam rangka memperkuat analisis dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disertai harapan hasil kunjungan kerja ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat.

Jakarta, 12 September 2015

PIMPINAN KOMISI VI DPR RI

JADWAL ACARA DALAM RANGKA PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DARI TANGGAL 5 OKTOBER 2015 SAMPAI DENGAN TANGGAL 11 OKTOBER 2015

NO

HARI/TGL PUKUL A C A R A TEMPAT

1. Minggu,

4-10- 2015

21.00 wib Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI berkumpul di Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta

Bandara Soekarno Hatta

2 Senin

5-10-2015

00.40 Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI take off dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Dubai

--

05.30 Tiba di Dubai --

08.30 Terbang menuju Dusseldorf --

13.30 Tiba di Dusseldorf --

14.30 Makan siang --

15.30 Menuju Bonn

19.00 Makan Malam di Restoran --

21.00 Check in Hotel Hilton Bonn. --

3. Selasa,

6-10-2015

06.30 Makan Pagi di Hotel - Check Out Hotel --

08.00 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI Menuju Kantor KPPU

--

09.00 Komisi VI DPR-RI melakukan Pertemuan dengan Perwakilan KPPU di Bonn

(dihadiri Presiden KPPU).

--

11.00-12.00 Makan Siang.

(dijamu oleh Presiden KPPU)

--

12.00 Perjalanan menuju Berlin Naik bus ± 8 jam

21.30 Tiba di Berlin / Makan Malam

23.00 Check in Hotel Crown Plaza City Centre Berlin.

4. Rabu

7-10-2015

08.00 Makan Pagi di Hotel

12.00 Makan Siang di Restoran

14.00 Komisi VI DPR-RI melakukan Pertemuan dengan KBRI dan Atase Perdagangan di Berlin

16.00 Tim Komisi VI DPR-RI kembali ke Hotel

19.00 Makan Malam

21.00 Kembali ke Hotel Crown Plaza City Centre Berlin

5. Kamis 07.00 Makan Pagi - Check Out Hotel

NO

HARI/TGL PUKUL A C A R A TEMPAT

8-10-2015 09.00 Komisi VI DPR-RI melakukan Pertemuan dengan Parlemen Jerman yang terkait Undang-undang KPPU di Berlin

12.00 Makan Siang

13.00 Perjalanan menuju Hamburg Naik bus ± 2 jam

15.00 Tiba di Hamburg

16.00 Check In Hotel Radisson Blu Hamburg.

18.00 Makan Malam di Restoran

20.00 Komisi VI DPR-RI kembali ke Hotel Radisson Blu Hamburg

6 Jumat,

9-10-2015

08.00 Makan Pagi di Hotel

09.00 Komisi VI DPR-RI on the spot ke Pelabuhan Hamburg (tidak ada pertemuan karena menurut informasi Kepala ITPC dan KJRI, Pejabat Otoritas Pelabuhan Hamburg sibuk).

10.00 Komisi VI DPR-RI melakukan Pertemuan dengan ITPC di Hamburg

12.00 Makan Siang di Restoran

16.00

Komisi VI DPR-RI melakukan Pertemuan dengan KADIN Jerman, HWF (Badan Investasi Hamburg), dan Pelaku Usaha di Hamburg

18.00 Makan Malam

(dijamu oleh KJRI)

20.00 Komisi VI DPR-RI kembali ke Hotel Radisson Blu Hamburg

7 Sabtu,

10-10-2015

08.00 Makan Pagi di Hotel / Check Out

09.00 Rapat Internal Tim Kunker Komisi VI DPR-RI

12.00 Makan Siang di Restoran

13.30 Komisi VI DPR-RI melakukan Peninjauan ke Pasar Modern

18.00 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI menuju Airport untuk Check in penerbangan kembali ke Tanah Air

19.00 Proses Check In dan Bagasi

21.15 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI Terbang menuju Dubai

8 Minggu,

11-10-2015

05.35 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI tiba di Dubai Transit di Dubai

11.15 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI Terbang menuju Jakarta

Dari Dubai

22.30 Tim Kunker Komisi VI DPR-RI Tiba di Jakarta

Catatan : Acara sewaktu-waktu bisa berubah disesuaikan dengan kondisi dan waktu setempat

Jakarta, 28 September 2015 SET. KOMISI VI DPR-RI

DAFTAR NAMA TIM KUNJUNGAN KERJA LUAR NEGERI KOMISI VI DPR-RI KE JERMAN DALAM RANGKA PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DARI TANGGAL 5 OKTOBER 2015 SAMPAI DENGAN TANGGAL 11 OKTOBER 2015

NO. NO.

ANGG N A M A KETERANGAN

1 A-465 IR.H. ACHMAD HAFISZ TOHIR PIMP. F. PAN

2 A-430 IR.H. AZAM AZMAN NATAWIJANA PIMP. F.PD

3 A-555 DR. Ir. H. M. FARID Al-FAUZI, MMT PIMP. F.HANURA

4 A-224 VANDA SARUNDAJANG F.PDIP

5 A-148 DARMADI DURIANTO F.PDIP

6 A-255 DR.H. LILI ASDJUDIREDJA, SE, Ph.D F.PG

7 A-257 EKA SASTRA F.PG

8 A-306 H. HASNURYADI SULAIMAN F.PG

9 A-413 HJ. MELANIE LEIMENA SUHARLI F.PD

10 A-487 H. SUNGKONO F.PAN

11 A-45 NENG EEM MARHAMAH ZULFA HIZ, S.Th.I F.PKB

12 A-97 DRS.H. ADANG DARADJATUN F.PKS

13 A-85 IR.H. TIFATUL SEMBIRING F.PKS

14 A-19 NYAT KADIR F. NASDEM

15 -- WAHYU PRAMESWARI, SH. M.Si KABAG SETKOM

16 -- RATU METY MULYANISARI, SE SETKOM

17 -- RAFIKA SARI, SE,M.SE P3DI