kepemilikan tanah warga negara indonesia dalam … · kepemilikan tanah warga negara indonesia...
TRANSCRIPT
KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM HARTA
BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SYAFA ATUL UZMA
1110044100006
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
ii
KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM HARTA
BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SYAFA ATUL UZMA
1110044100006
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
vi
ABSTRAK
Syafa Atul Uzma. NIM: 1110044100006. Kepemilikan Tanah Warga
Negara Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran.
Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-
Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M. Xii + 75 halaman + 30 halaman lampiran.
Skripsi yang berjudul “Kepemilikan Tanah WNI dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran” ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan
ketentuan yang berlaku dengan fakta yang terjadi di masyarakat terkait kepemilikan
tanah bagi suami atau isteri WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian
perkawinan. Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris (sosiologi hukum) adalah
pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat. Di samping itu,
pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan model pendekatan “satu
tembakan” (one shoot model), yaitu model pendekatan yang menggunakan satu kali
pengumpulan data pada suatu saat. Dikatakan demikian, dikarenakan penulis
melakukan penelitian dengan beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali
pengumpulan data pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di
Indonesia secara terpadu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa status kepemilikan tanah WNI
dalam harta bersama akibat perkawinan campuran berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI
terkait status kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa kepemilikan
tanah bagi WNI akibat perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan adalah
dipersamakan dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas
hak pakai. Kepastian hukum bagi WNI saat ini agar berhak atas tanah dengan status
hak milik, yaitu dengan mendapatkan “Penetapan Pengadilan Pisah Harta”.
Kata Kunci : Perkawinan Campuran, WNI, Harta Bersama dan
Hak-hak atas Tanah.
Pembimbing : Nahrowi, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1996 s.d Tahun 2013.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad saw beserta kerabat dan para sahabatnya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Azizah Noor dan Ayahanda
Zainudin Qosim yang selalu memberikan dukungan baik materil ataupun moril serta
bimbingan, kasih sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Somoga Allah
senantiasa membalas kasih sayang tulus mereka serta memberikan kesehatan, panjang
umur dan senantiasa memberikan perlindungan kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan. Namun, syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah dan izin-Nya, serta
kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat
diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. H. J.M. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. dan Ibu Hj. Rosdiana, MA. selaku Ketua
Program Studi dan Sekretaris Program studi Hukum Keluarga Islam Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Nahrowi, SH., MH., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi
Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Khususnya kepada Ibu Dr.
Hj. Mesraini, M.Ag. yang senantiasa memperlakukan mahasiswanya selayaknya
anak sendiri, sehingga tanpa kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi
kepada penulis serta memberikan saran ataupun kritik yang membangun demi
kebaikan penulis.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Ibu Melva Nababan selaku Ketua Umum Persatuan Masyarakat Perkawinan
Campuran Indonesia (MPCI) beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan data-data yang diperlukan sebagai
bahan rujukan skripsi.
ix
7. Do’a dan harapan senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT untuk adinda
tersayang Nur Sabrina dan Widad Zahra Adiba yang senantiasa memberikan
semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat tersayang serta teman suka duka penulis : Wardhatul Jannah,
Rizki Amalia, Astri Damayanti, Riana Maharani, Widya Utami Syafaat, dan
Hanifa Farhana.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Sena Siti Arafiah, Gita Dwi Annesa,
Sainah, Neneng Khosyatillah, Yulianti, Arini Zidna, Inayah Maily Ridho,
Khoirunnisa, Rena Soraya, M. Fauzan, dan Rifki Abdurrahman.
10. Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memeberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan,
kebaikan dan kasih sayang yang telah mereka berikan kepada penulis dengan balasan
yang setimpal.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan skripsi ini.
Ciputat, 03 Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iv
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... v
ABSTRAK .............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Kerangka Metode Penelitian ......................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II :
PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA ........................................................................................................... 16
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ...... 16
B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 .................................................................. 20
xi
C. Kedudukan Suami dan Isteri dalam Perkawinan Campuran ......... 28
D. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran .................................. 29
BAB III MASYARAKAT PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA .. 45
A. Profil Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia .................... 45
B. Fakta Terkait Harta Benda Perkawinan dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran .................................................................. 49
BAB IV :
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN ............................................................................. 54
A. Faktor Penghalang Kepemilikan Tanah Suami atau Isteri WNI
dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran ................... 54
B. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Bagi Suami atau Isteri WNI
Akibat Pekawinan Campuran ........................................................ 60
C. Analisis Penulis ............................................................................. 65
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 68
A. Kesimpulan ................................................................................... 68
B. Saran .............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 72
xii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara
3. Pedoman dan Hasil Wawancara Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan
dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah
tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami-isteri), mereka saling
berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan
yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”.1
Pada hakikatnya, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki
dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini
disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti
sekarang ini, komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar
pengaruhnya terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar
negara. Bagi Indonesia, sejak dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat.
1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. I, h. 1.
2
Sejalan dengan kemerdekaannya, bangsa Indonesia mulai ikut serta secara
langsung dalam pergaulan bersama di antara bangsa-bangsa yang merdeka pula,
seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dan PBB (Persatuan
Bangsa-Bangsa) yang bisa mempererat hubungan antar bangsa atau antar warga
negara. Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional
membawa dampak tertentu pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan,
khususnya perkawinan. Di samping itu, manusia memiliki cita rasa yang universal,
tidak mengenal perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa,
sehingga bukanlah hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia
dengan kewarganegaraan yang berbeda, yaitu antara warga negara Indenesia
(selanjutnya disebut WNI) dengan warga negara asing (selanjutnya disebut WNA).
Perkawinan seperti ini di Indonesia dikenal dengan perkawinan campuran.2
Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan, bahwa :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam perkawinan campuran, yaitu :3
1) Perkawinan yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia;
2 Lawskripsi, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran Ditinjau
dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”, artikel diakses pada 16 Oktober 2013
dari http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92&Itemid=92.
3 Diah Utari Ayudhistiarini, “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan Akibat
Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan”, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Pasundan Bandung, 2011), h. 53.
3
2) Masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dikarenakan aturan tersebut di atas yang menyatakan kebolehan
perkawinan campuran, seiring berjalannya waktu semakin banyak perkawinan
campuran yang terjadi di Indonesia. Selanjutnya, dengan terjadinya perkawinan
campuran akan timbul beberapa permasalahan akibat terjadinya perkawinan
tersebut. Salah satu masalah krusial yang sekarang ini vokal dibicarakan, yakni
terkait kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama akibat terjadinya
perkawinan campuran.
Dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria dinyatakan, bahwa :
Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan,
demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-
undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika dalam jangka tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung.
Undang-undang di atas mengatur status hak atas tanah bagi WNA, dimana
WNA yang memperoleh hak milik karena warisan wajib melepaskan hak tersebut
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut. Begitu pula
hak milik yang diperoleh WNA karena percampuran harta (tanpa adanya
perjanjian perkawinan) akibat perkawinan campuran. Selain itu, bagi WNI yang
mempunyai hak milik kemudian kehilangan kewarganegaraannya, wajib pula
4
melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak ia kehilangan
kewarganegaraannya.
Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang
asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran harta
dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya tetap
berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya warga
Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang
tersebut di atas, jelas bahwa setiap WNI tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan
status hak milik. Namun, pada kenyataannya hak atas tanah dengan status hak
milik bagi WNI dalam perkawinan campuran sangat dipengaruhi dengan adanya
perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dinyatakan bahwa :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami, bahwa bagi WNI yang
melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan status hak atas
tanahnya menjadi dipersamakan dengan pasangan WNAnya, yakni hanya sebatas
5
hak pakai. Dikarenakan terjadi percampuran harta dengan pasangan WNAnya.
Yang mana WNA dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah pemegang hak
atas tanah dengan status hak pakai.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini di Indonesia sudah ada
Persatuan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia, yang berdiri dengan misi
dapat menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat
perkawinan campuran secara terpadu. Persatuan ini menaungi aspirasi pelaku
perkawinan campuran serta membantu mencarikan solusi yang terbaik untuk
mengatasi permasalahan krusial yang tengah mereka hadapi, yakni larangan
kepemilikan tanah dengan status hak milik bagi WNI dalam perkawinan
campuran tanpa perjanjian perkawinan.
Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik
untuk membahas masalah larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik
bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan dan
merumuskannya dalam sebuah karya tulis, yakni skripsi yang berjudul
“KEPEMILIKAN TANAH WARGA NEGARA INDONESIA DALAM
HARTA BERSAMA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah penulis uraikan,
bahwa perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang berbeda
6
kewarganegaraan, yaitu antara orang Indonesia dengan orang Asing. Hal
tersebut penting diatur, mengingat eksistesi bangsa dan negara Indonesia yang
tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan atau
internasional.4
Sehubungan dengan adanya aturan di negara ini yang telah mengatur
tentang kebolehan perkawinan campuran, selanjutnya akan timbul beberapa
permasalahan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, yakni
sebagai berikut :
(1) Keabsahan perkawinan;
(2) Pencatatan perkawinan;
(3) Harta benda dalam perkawinan;
(4) Status kewarganegaraan WNI dan anak (hasil perkawinan campuran);
(5) Perceraian; dan
(6) Warisan.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penulisan skripsi ini
penulis hanya akan fokus terhadap Kepemilikan Tanah Warga Negara
Indonesia dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran.
2. Rumusan Masalah
Menurut peraturan, hanya WNI yang dapat mempunyai hak atas tanah.
Namun, pada kenyataannya WNI yang melakukan perkawinan campuran
4 Nawawi. N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”, artikel diakses
pada 16 Oktober 2013 dari
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartikel.pdf.
7
tanpa perjanjian perkawinan tidak dapat mempunyai hak atas tanah ketika
melakukan perkawinan tersebut.
Maka berdasarkan rumusan permasalahan di atas, penulis merincinya ke
dalam 2 (dua) bentuk pertanyaan, yakni:
a. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan?
b. Bagaimana status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran berdasarkan pengalaman langsung pelaku
perkawinan campuran pada persatuan MPCI dan apakah ada kesesuaian
dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menganalisa status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
b. Memberikan kepastian hukum bagi suami atau isteri WNI terkait status
kepemilikan tanah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
2. Manfaat Penelitian
Secara lebih spesifik manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini
adalah :
a. Memperbaiki praktik-praktik yang telah berlangsung di masyarakat terkait
status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran.
8
b. Bagi penulis, manfaat penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan
sebagai wujud kontribusi positif dan dedikasi yang dapat penulis berikan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bentuk karya ilmiah yang bermanfaat
dan bahan rujukan bagi para mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat guna
menyelesaikan permasalahan kepemilikan tanah bagi suami atau isteri
WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
D. Kerangka Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian terapan (applied research), bila
dilihat dari aspek kebutuhan dan pemakaian penelitian. Penelitian terapan
dilakukan berkenaan dengan pemecahan masalah dan kenyataan-kenyataan
praktis, penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh
penelitian dasar dalam kehidupan nyata. Penelitan terapan berfungsi untuk
memecahkan masalah-masalah praktis. Tujuan penelitian terapan tidak
semata-mata untuk mengembangkan wawasan keilmuan, tetapi juga untuk
pemecahan masalah praktis, sehingga hasil penelitian dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia, baik secara individu atau kelompok, mungkin
9
juga untuk keperluan kelembagaan.5 Secara umum, tujuan penelitian terapan
ini adalah sebagai berikut :6
a. mengungkapkan praktik-praktik yang sudah ada;
b. memperbaiki praktik-praktik yang telah berlangsung.
Selanjutnya, setelah hasil studi dipublikasikan dalam periode waktu
tertentu, pengetahuan tersebut akan memengaruhi pola berpikir dan persepsi
para praktisi.7
Sedangkan bila dilihat dari aspek proses (pendekatan), penelitian ini
termasuk dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang dilakukan secara wajar dan natural sesuai dengan kondisi objek di
lapangan tanpa adanya manipulasi, serta jenis data yang dikumpulkan
terutama data kualitatif.8 Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna
yang diungkap yakni persepsi orang mengenai suatu peristiwa.9
Kajian utama penelitian kualitatif adalah fenomena atau kejadian yang
berlangsung dalam suatu situasi sosial tertentu. Peneliti harus terjun langsung
ke lapangan (lokasi) untuk membaca, memahami, dan mempelajari situasi.
Penelitian dilakukan ketika proses interaksi sedang berlangsung secara alami
5 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 33.
6 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, 2010), h. 23.
7 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 33.
8 Ibid, h. 140.
9 Ibid, h. 142.
10
di tempat penelitian. Kegiatan peneliti adalah mengamati, mencatat, bertanya,
dan menggali sumber yang erat hubungannya dengan peristiwa yang sedang
terjadi saat itu.10
Di samping itu, jenis penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif,
bila dilihat berdasarkan metode. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menjawab persoalan-
persoalan tentang fenomena atau peristiwa yang terjadi saat ini, baik tentang
fenomena sebagaimana adanya maupun analisis hubungan antara berbagai
variable dalam suatu fenomena. Salah satu pola penelitian deskriptif ini yaitu
studi kasus.11
Dimana penulis melakukan studi kasus terhadap pelaku
perkawinan campuran yang tergabung dalam Masyarakat Perkawinan
Campuran Indonesia (MPCI). Dalam melakukan studi kasus, penulis
melakukan penelitian secara mendalam dengan melacak dan menemukan
berbagai faktor terkait perkawinan campuran dan akibat yang ditimbulkan
setelahnya.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan Peraturan
Perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi
10
Ibid, h. 141.
11
Ibid, h. 41.
11
objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di masyarakat
yang berkenaan dengan objek penelitian.12
3. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum
adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat.13
Pendekatan ini menggunakan suatu prosedur yang mana untuk dapat
memecahkan masalah penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan
penelitian pada data sekunder kemudian dilanjutkan dengan mengadakan
penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut kepemilikan tanah
bagi suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran.
Di samping itu, pendekatan dalam penelitian ini dilakukan pula dengan
model pendekatan “satu tembakan” (one shoot model), yaitu model
pendekatan yang menggunakan satu kali pengumpulan data pada suatu saat.14
Dikatakan demikian, dikarenakan penulis melakukan penelitian dengan
beberapa pelaku perkawinan campuran dengan satu kali pengumpulan data
pada persatuan yang menaungi pelaku perkawinan campuran di Indonesia
secara terpadu, yakni Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI).
12
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Ed. I, Cet. I,
h. 105-106.
13
Ibid, h. 105.
14
Munawaroh, Panduan Memahami Metodologi Penelitian, (Malang, Jawa Timur :
Intimedia, 2012), h. 32.
12
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan:
Pertama sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, baik melalui wawancara maupun observasi yang kemudian diolah
oleh peneliti.15
Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa
narasumber terpercaya terkait permasalahan dalam skripsi ini, yakni pelaku
perkawinan campuran, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(selanjutnya disebut BPN RI), dan Ahli Hukum Keluarga.
Kedua sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku
yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian, skripsi dan
Peraturan Perundang-undangan. Data sekunder tersebut, dapat dibagi
menjadi:16
a. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Peraturan Perundang-
undangan yang terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini Peraturan-
Perundang-undangan yang dimaksud, yakni Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan RI, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria.
15
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 106.
16
Ibid, h. 106.
13
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah
hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan
hukum primer atau sekunder, yang berasal dari kamus, ensiklopedia, surat
kabar, dan sebagainya.
5. Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini diperoleh melalui data kepustakaan dan wawancara
atau interview. Data kepustakaan merupakan data yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan yang bersumber dari Peraturan Perundang-undangan,
buku-buku, publikasi, dan hasil penelitian.17
Wawancara merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan melalui percakapan dan tanya-jawab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan responden untuk mencapai tujuan
tertentu.18
Selama ini metode pengumpulan data yang diperoleh melalui
wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam
pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap efektif, dikarenakan
interviewer dapat bertatap muka langsung dengan responden (narasumber)
untuk menanyakan perihal pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan
pendapat ataupun persepsi diri responden atau bahkan saran-saran
17
Ibid, h. 107.
18
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 233.
14
responden.19
Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan metode
wawancara tak terstruktur (open-ended), yaitu wawancara dengan pertanyaan
yang bersifat terbuka dimana responden dapat secara bebas menjawab
pertanyaan tersebut.20
Wawancara dilakukan secara mendalam dengan
beberapa pelaku perkawinan campuran dalam Persatuan Masyarakat
Perkawinan Campuran Indonesia (MPCI) terkait hak milik WNI akibat
perkawinan tersebut serta BPN RI selaku pelaksana dari pada Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang kepemilikan tanah bagi WNI dan
Ahli Hukum Keluarga terkait kepemilikan harta bersama dalam perkawinan,
dengan harapan agar didapati suatu informasi dan data yang lebih mendalam,
jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Metode Analisa Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif analitis, maka
metode analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap
data primer dan data sekunder, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
penulis untuk menentukan isi dan makna dari aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
penelitian.21
19
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996),
Ed. I, Cet. II, h. 57.
20
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, h. 233.
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 107.
15
E. Sistematika dan Teknik Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan teknik
penulisan yang mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas mengenai Perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, kewarganegaraan, perkawinan dan kedudukan anak
menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006, kedudukan suami dan isteri dalam perkawinan campuran, dan harta
benda dalam perkawinan campuran.
Bab ketiga, bab ini akan memuat tentang profil Masyarakat Perkawinan
Campuran Indonesia serta fakta terkait harta benda perkawinan dalam harta
bersama akibat perkawinan campuran.
Bab keempat, pada bab ini penulis akan menguraikan faktor penghalang
kepemilikan tanah suami atau isteri WNI dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran serta kepastian hukum kepemilikan tanah bagi suami atau isteri WNI
akibat perkawinan campuran.
Bab kelima, bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian serta
saran bagi Perumus Undang-Undang, Pemerintah, Ahli Hukum dan WNI.
16
BAB II
PERKAWINAN CAMPURAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Pengertian Perkawinan
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti
yang termuat dalam Pasal 1 (ayat 2), perkawinan didefinisikan sebagai :1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan harus berdasarkan pada Pasal 2 undang-undang
perkawinan, yang berbunyi :
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Syarat-syarat Perkawinan
Orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam Bab II tentang
Syarat-syarat Perkawinan yang terdiri dari Pasal 6 s.d Pasal 12 undang-
undang perkawinan.
1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ‘Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 /1974 sampai KHI’, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. III, h. 42-43.
17
4. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dalam undang-undang perkawinan diatur dalam
Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29, yang isinya
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.2
5. Putusnya Perkawinan serta Akibatnya
Dalam hal putusnya perkawinan serta akibatnya berdasarkan undang-
undang perkawinan, hal tersebut diatur secara khusus dalam Bab VIII yang
terdiri dari Pasal 38 s.d Pasal 41.
6. Kedudukan Anak
Masalah anak sah diatur dalam undang-undang perkawinan pada Bab IX
tentang Kedudukan Anak dalam Pasal 42 s.d 44. Ketentuan lebih lanjut
perihal asal-usul anak diatur dalam Bab XII tentang Ketentuan-ketentuan
Lain dalam Pasal 55.3
7. Perkawinan Campuran
Berdasarkan undang-undang perkawinan, pengertian perkawinan
campuran diatur dalam Pasal 57, yang berbunyi :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
2 Ibid, h. 137.
3 Ibid, h. 281-282.
18
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan
Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58). Kewarganegaraan yang
diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum
perdata (Pasal 59 ayat 1). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di
Indonesia, dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini (Pasal 59 ayat
2).
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran dan perkawinan
tersebut sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dipenuhi, artinya
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan
hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam harus
sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya tersebut.
Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan
campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan,
sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan
kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor
Catatan Sipil.4
Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) sebagaimana telah diuraikan di atas,
bahwa :
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang- undang perkawinan ini.
4 Nawawi. N, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”.
19
Sebelum dilangsungkannya perkawinan, kedua belah pihak terlebih
dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum (negara
asal) masing-masing pihak. Bagi WNI yang hendak melangsungkan
perkawinan campuran, terlebih dahulu harus memenuhi ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 60 ayat (1), yang menyatakan bahwa :5
Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah
dipenuhi.
Syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI yang hendak
melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat perkawinan yang
terdapat dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
sebagiamana telah diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat
(1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku
bagi pihak masing-masing yang berwenang mencatat perkawinan, diberikan
surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi (Pasal 60 ayat 2). Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak (Pasal 60 ayat 3). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak
beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3)
(Pasal 60 ayat 4). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi, jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam
masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan(Pasal 60 ayat 5).
Tata cara pencatatan perkawinan campuran diatur dalam pasal selanjutnya,
yakni Pasal 60 s.d Pasal 62 Undang-undang tersebut di atas.
5 Tafonao, “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”, artikel diakses pada
10 Oktober 2013 dari http://lucasmem.blogspot.com/2012/11/perkawinan-campuran.html.
20
B. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
I. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
1. Kewarganegaraan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan RI dijelaskan bahwa yang dikatakan Warga Negara
Republik Indonesia :
a. Orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-
perjanjian dan/atau peraturan yang berlaku sejak proklamasi 17 Agustus
1945 sudah warganegara Republik Indonesia;
b. Orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warganegara Republik Indonesia,
dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indoaesia tersebut
dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan
bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu
berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun;
c. Anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia,
apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warganegara Republik
Indonesia;
d. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warganegara Republik Indonesia,
apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya;
e. Orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga negara Republik Indonesia,
jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak
diketahui kewarganegaraan ayahnya;
f. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua
orang tuanya tidak diketahui;
g. Seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia
selama tidak diketahui kedua orang tuanya;
h. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang
tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan
kedua orang tuanya tidak diketahui;
i. Orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu
lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya, dan selama
ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu;
21
j. Orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut
aturan-aturan Undang-undang ini.
Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia diatur dalam Pasal 5 s.d Pasal 6. Selanjutnya, pengaturan tentang
kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam Pasal 17 s.d Pasal 19. Syarat
dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia kembali, diatur dalam
Pasal 11, 12, 14, dan 16 Undang-undang tersebut di atas.
2. Perkawinan
Dalam memori penjelasan mengenai Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan RI dijelaskan, bahwa dalam suatu
perkawinan kedua mempelai sedapat-dapatnya mempunyai kewarganegaraan
yang sama. Pada dasarnya yang menentukan kesatuan kewarganegaraan itu
suami. Berhubung dirasakan berat untuk mengasingkan seorang warganegara
karena perkawinannya, maka menurut undang-undang ini seorang perempuan
WNI yang kawin dengan seorang asing tidak kehilangan
kewarganegaraannya karena perkawinan tersebut, kecuali ia melepaskan
sendiri kewarganegaraannya dan dengan melepaskan itu ia tidak akan
menjadi tanpa kewarganegaraan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 8.
Meskipun pada dasarnya kewarganegaraan suami yang menentukan,
undang-undang ini memberi kesempatan juga kepada laki-laki WNI untuk
melepaskan kewarganegaraannya karena mungkin hanya dengan jalan
demikian tercapai kesatuan kewarganegaraan. Maka dari itu, seorang
22
perempuan asing yang kawin dengan seorang laki-laki WNI tidak selalu
memperoleh kewarganegaraan RI. Ia memperoleh kewarganegaraan
suaminya seketika ia menyatakan keterangan untuk itu dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah perkawinan tersebut berlangsung atau apabila tidak ada
pernyataan serta keterangan yang sah dari suaminya untuk melepaskan
kewarganegaraan Republik Indonesianya 1 (satu) tahun setelah perkawinan
tersebut berlangsung, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7.
Keterangan melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia
sebagaimana telah diuraikan di atas, hanya boleh dinyatakan apabila tidak
akan menjadikan seorang tanpa kewarganegaraan. Sedangkan keterangan
untuk menjadi warganegara Indonesia, tidak boleh dinyatakan apabila dengan
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia ia masih mempunyai
kewarganegaraan lain.
3. Kedudukan Anak
Dalam hal kedudukan anak berdasarkan memori penjelasan Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI, pada umunya
yang dikatakan anak yang belum dewasa yaitu yang belum berumur 18 tahun
dan atau belum kawin.
Kewarganegaraan RI diperoleh karena kelahiran berdasarkan keturunan
dan berdasarkan kelahiran di dalam wilayah RI, untuk mencegah adanya
orang yang tanpa kewarganegaraan.
23
Dalam hal kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
menganggap selalu ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ibu.
Hubungan kekeluargaan antara anak dan ayah hanya ada apabila anak itu
lahir dalam perkawinan yang sah atau apabila anak itu (lahir di luar
perkawinan yang sah) diakui secara sah oleh ayahnya.
Apabila ada hubungan hukum kekeluargaan antara anak dan ayahnya,
maka kewarganegaraan ayah yang menentukan kewarganegaraan anak (Pasal
1 huruf b dan c). Akan tetapi, apabila sang ayah tidak mempunyai
kewarganegaraan atau karena kewarganegaraannya tidak diketahui, maka
kewarganegaraan ibu yang menetukan kewarganegaraan anak (Pasal 1 huruf
e). Begitu pula, apabila tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak dan
ayahnya, maka yang menentukan adalah kewarganegaraan ibunya (Pasal 1
huruf d).
Selanjutnya, kelahiran di dalam wilayah Republik Indonesia sebagi dasar
untuk memperoleh kewarganegaraan RI, hanya dipakai untuk menghindarkan
adanya orang tanpa kewarganegaraan yang lahir di dalam wilayah RI dan
hanya dipakai selama perlu untuk menghindarkan hal tersebut (Pasal 1 huruf
f, g, h, dan i).
Seorang anak adakalanya karena suatu aturan turut kewarganegaraan
ayahnya, sedangkan sesungguhnya ia merasa lebih berdekatan dengan ibunya
yang berkewarganegaraan Indonesia. Hendaknya kepada anak itu diberi
kesempatan untuk memeperoleh kewarganegaraan RI, apabila ia dianggap
24
sudah bisa menentukan kewarganegaraannya sendiri. Pemberian kesempatan
itu hendaknya dibatasi pada anak di luar perkawinan yang sah, karena anak
dalam perkawinan yang sah pada prinsipnya kewarganegaraannya turut
ayahnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3.
Negara yang memperkenankan orang dari luar bertempat tinggal menetap
di dalam wilayahnya, pada suatu saat negara tersebut sudah selayaknya
menerima keturunan dari orang luar itu dalam lingkungan kewargaanya.
Namun, dikarenakan kewarganegaraan itu janganlah dipaksakan kepada
orang yang sudah mempunyai kewarganegaraan lain, maka pemasukan dalam
lingkungan kewarganegaraan RI itu hendaknya datang dari keinginan orang
itu sendiri. Dikarenakan alasan-alasan tersebutlah (dan sebagaimana yang
terdapat pula dalam Pasal 3), maka kesempatan yang diberikan itu berupa
“permohonan”. Pengaturan mengenai permohonan tersebut diatur dalam
Pasal 4.
II. Kewarganegaraan, Perkawinan, dan Kedudukan Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
1. Kewarganegaraan
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI, yang di maksud dengan warga negara adalah warga
suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
25
Siapa warga negara Indonesia (WNI)? Menurut Undang-undang tersebut di
atas mereka yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia adalah :6
Pasal 4
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan /atau
berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
b. Anak yang lahir dari perkawinaan yang sah dari seorang ayah dan ibu
Warga Negara Indonesia;
c. Anak yang lahir dari perkawianan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing;
d. Anak-anak lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dari Warga
Negara Asing dan ibu dari Warga Negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara
Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum
negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia;
g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia;
h. Anak yang lahir diluar perkawianan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. Anak yang lahir diwilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu
lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. Anak yang baru lahir yang ditemukan diwilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan
ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan diluar wilayah negara Republik Indonesia dari
seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari
negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan
kepada anak yang besangkutan;
6 A. Ubaedillah, dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta :
ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Ed. III, Cet. VI, h. 91.
26
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Persyaratan dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 8 s.d Pasal 18. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mengajukan dan memperoleh kewarganegaraan RI diatur
dalam peraturan pemerintah (Pasal 22). Selanjutnya, pengaturan tentang
kehilangan kewarganegaraan RI diatur dalam ketentuan Pasal 23, 24, 28, 29,
dan 30. Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur
dalam Pasal 31 s.d Pasal 34. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI diatur dalam
Peraturan Pemerintah (Pasal 35).
2. Perkawinan
Dalam hal terjadi perkawinan antara warga negara Indonesia dengan
warga negara asing baik laki-laki ataupun perempuan, menyebabkan
seseorang dapat kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya atau
tetap berkewarganegaraan Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 19, 26, dan 27.
3. Kedudukan Anak
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tetang
Perlindungan anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
27
Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan
ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang
ini merupakan suatu pengecualian.
Dalam undang-undang ini, dimuat pengaturan mengenai anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah semata-mata hanya untuk memberikan
perlindungan terhadap anak tentang status kewarganegaraannya saja. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Undang-undang ini
menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas. Asas tersebut memiliki
pengertian, bahwa undang-undang ini memberikan kewarganegaraan ganda
bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6.
Selanjutnya, kewaraganegaraan RI yang diperoleh ayah atau ibu
menyebabkan anaknya secara otomatis berkewarganegaraan RI, sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 21. Sebaliknya, ayah atau ibu yang kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesianya tidak secara otomatis
menghilangkan kewarganegaraan RI anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 25.
28
C. Kedudukan Suami dan Isteri dalam Perkawinan Campuran
Mengenai akibat hukum perkawinan, dalam Hukum Perdata Internasional
(HPI) berkembang beberapa asas yang menyatakan akibat hukum perkawinan
tunduk pada :7
a) Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan/dilangsungkan (lex loci
celebrationis).
b) Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warganegara
setelah perkawinan (join nationality)
c) Sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama-sama
setelah perkawinan (join residence) atau tempat suami berdomisili tetap
setelah perkawinan.
Berdasarkan asas HPI di atas, maka menyangkut kedudukan suami isteri
dalam perkawinan campuran sebagai salah satu akibat hukum perkawinan tunduk
pada asas lex loci celebrationis, dikarenakan perkawinan campuran merupakan
perkawinan antara WNI dengan WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka
dari itu, kedudukan suami isteri dalam perkawinan campuran harus merujuk
kepada hukum perkawinan di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Dan sebagaimana tedapat dalam Pasal 59 ayat (2) :
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang- undang perkawinan ini.
Yang dimaksud kedudukan suami-isteri adalah dimana di dalamnya
terdapat pengaturan hak dan kewajiban suami-isteri. Hak dan kewajiban suami-
7
Ridwan Khairandy, dkk, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia,
(Yogyakarta : Gama Media, 1999), Ed. I, Cet. I, h. 137.
29
isteri diatur secara tuntas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam
satu bab yaitu Bab VI yang terdiri dari Pasal 30 s.d Pasal 34, yang berbunyi :8
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
D. Harta Benda dalam Perkawinan Campuran
Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan campuran sebagai
salah satu akibat hukum perkawinan, sebagaimana telah diuraikan di atas dalam
Hukum Perdata Internasional (HPI) tunduk pada asas lex loci celebrationis,
dikarenakan perkawinan campuran merupakan perkawinan antara WNI dengan
WNA yang dilangsungkan di Indonesia. Maka dari itu, pengaturan harta benda
perkawinan dalam perkawinan campuran merujuk pada hukum perkawinan di
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009),
Ed. I, Cet. III, h. 164-165.
30
Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 ayat (2) :
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang- undang perkawinan ini.
Selanjutnya, pengertian dan pengaturan mengenai harta benda dalam
perkawinan diatur dalam Bab VII yang terdiri dari Pasal 35 s.d Pasal 37, yakni :
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing- masing.
Sebenarnya apa yang disebut dalam Pasal 35 s.d Pasal 37 sebagaimana
tersebut di atas itu adalah sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di
Indonesia.9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) harta
benda perkawinan atau harta bersama dikatakan sebagai harta carian (gana-gini),
yakni harta yang diperoleh suami isteri selama hidup bersama. Sedangkan, harta
9 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2006), Ed. I, Cet. I, h. 106.
31
bawaan dalam KBBI dikatakan sebagai harta sendiri, yakni harta yang di bawa
dalam perkawinan yang bukan harta bersama.10
Menurut Muhammad Amin Suma : bahwa “harta kekayaan yang
dihasilkan setelah terjadinya perkawinan disebut dengan harta gono-gini atau
„harta bersama‟, yaitu harta yang diperoleh atas usaha bersama oleh suami isteri
terhitung sejak dilangsungkannya perkawinan. Itulah yang dimaksud dengan
harta bersama dalam hukum perkawinan di Indonesia atau bisa disebut juga
dengan „harta serikat‟”.11
Abdul Manan berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama
adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa
mempersoalkan siapa di antara suami isteri yang mencarinya dan juga tanpa
mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar”. Adapun yang
dikategorikan menjadi „harta milik pribadi suami‟ isteri adalah :12
1) Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka
dilaksanakan.
2) Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada
perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan warisan.
10
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka, 2007), Ed. III, Cet. IV, h. 390.
11
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.
32
Zainuddin Ali berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Harta bersama
dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan
perkawinan”.13
Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang mengutip perkataan Sayuti Thalib
dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia, harta benda dalam perkawinan
disebut juga dengan harta pencaharian. Yang dimaksud harta pencaharian adalah
harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan
berlangsung, baik atas usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka.14
Subekti berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “sejak dimulainya
perkawinan, terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan
isteri, jikalau tidak diadakan perjanjian perkawinan.15
Percampuran kekayaan
adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masing-
masing pihak ke dalam perkawinan, maupun yang akan diperoleh di kemudian
hari selama perkawinan”.16
Menurut KUHPerdata (Pasal 119), prinsip harta
benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami isteri.17
13
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h.
56.
14
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Ed. I, Cet. IV,
h. 29.
15
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet. XXXI, h. 31.
16
Ibid, h. 32.
17
Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2009),
Ed. Rev, Cet IV, h. 49.
33
Secara lebih khusus lagi pengaturan mengenai harta bersama juga diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang mana KHI merupakan pegangan
bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam mengenai hukum Islam yang
berlaku baginya, juga sebagai pegangan bagi para hakim Peradilan Agama (PA)
dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya.18
Apabila kita berbicara wujud dan makna harta bersama berdasarkan sudut
pandang Hukum Islam, maka ada baiknya diutarakan pendapat yang
dikemukakan Ismail Muhammad Syah dalam disertasinya “Pencaharian Bersama
Suami Isteri di Aceh Ditinjau dari Sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan
Hukum Islam”. Menurut beliau: “Pencaharian bersama suami isteri, mestinya
masuk dalam rub’ul mu’amalah. Tapi ternyata secara khusus tidak ada
dibicarakan, lebih lanjut beliau mengatakan, mungkin hal ini disebabkan karena
pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut (fiqh) adalah orang Arab,
yang mana adat Arab tidak mengenal adat mengenai pencaharian bersama suami
isteri itu. Akan tetapi, di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian
yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah.
Maka apabila melihat pada macam-macam perkongsian atau syarikat,
dapat disimpulkan bahwa harta bersama dalam perkawinan masuk dalam
golongan syarikah ‘abadan muwafadhah. Kesimpulan itu beliau ambil
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2010),
Ed. I, Cet. IV, h. 60.
34
berdasarkan fakta, bahwa pada umumnya suami isteri dalam masyarakat
Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha untuk menafkahi
hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.
Hal penting yang perlu dicatat dari uraian di atas adalah kenyataan
doktrin hukum fiqh tidak ada membahas masalah harta bersama suami isteri
dalam perkawinan. Hal tersebut diakui oleh para ulama Indonesia pada saat
mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan KHI. Namun, mereka sepakat
untuk mengambil syarikat ‘abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah
hukum yang berkenaan dengan harta bersama. Maka dalam merumuskan masalah
harta bersama yang terdapat dalam Bab VIII yang terdiri dari Pasal 85 s.d Pasal
97, panitia perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur aturan syarikat ‘abdan
dan hukum adat. Dan dari penggabungan antara keduanya lah pasal-pasal dalam
KHI yang mengatur harta bersama dirumuskan.
Selanjutnya, apabila ditinjau dari hukum adat dalam hal ini pendapat yang
dikemukakan Prof. Dr. R. Vandijk, bahwa segala milik yang diperoleh selama
perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi
lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat.19
Terbentuknya harta bersama ditentukan oleh faktor selama
beralngsungnya perkawinan antara suami isteri, dengan sendirinya barang atau
harta yang dihasilkan selama perkawinan tersebut termasuk ke dalam harta
19
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama ‘UU No. 7
Tahun 1989’, (Pustaka Kartini; anggota IKAPI jaya, 1997), h. 296-297.
35
bersama suami isteri. Kecuali, jika harta yang diperoleh berupa „warisan‟ atau
„hibah‟ oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tapi
jatuh menjadi harta pribadi si penerima.20
Semula, terdapat kesan bahwa dalam hukum adat lama; “keikutsertaan
isteri aktif membantu pekerjaan suami” merupakan syarat utama terbentuknya
harta bersama. Isteri yang hanya tinggal mengurus rumah tangga saja, dianggap
tidak berhak atas harta yang diperoleh suami. Dalam kasus yang demikian
diartikan, bahwa dianggap tidak pernah terbentuk harta bersama antara suami dan
isteri. Namun, pada zaman sekarang ini klausula “isteri harus ikut aktif
membantu suami secara nyata” sudah tidak layak dipertahankan, dikarenakan
pekerjaan suami juga yang tidak memungkinkan isteri untuk ikut turut serta
secara nyata dan langsung dalam usaha mata pencaharian suami. Sejak tahun
1950, terjadilah pergeseran konsepsi nilai-nilai hukum baru dan mulai lahirlah
berbagai yurisprudensi yang tidak lagi berpegang pada patokan klausula “isteri
harus ikut aktif membantu suami secara nyata”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi harta
bersama yang terdapat dalam Pasal 35 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Pasal 85 KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991) yang mana dikatakan, bahwa
harta bersama antara suami isteri adalah harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung adalah kaidah atau definisi yang dipegangi sekarang ini untuk
20
Ibid, h. 300.
36
menentukan pengertian hukum harta bersama. Klausula tersebut di atas tidak lagi
menjadi syarat utama dalam terbentuknya harta bersama.21
Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud.
Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-
surat berharga. Sedangkan yang tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.22
Benda berwujud, yaitu benda yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Yang dikategorikan benda berwujud, yakni benda bergerak dan benda tidak
bergerak. Sedangkan, yang dimaksud benda tidak berwujud yaitu hak-hak
subyektif.
1. Benda Bergerak
Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena
penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya :
kendaraan, surat-surat berharga, dan sebagainya. Dengan demikian,
kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat berpindah atau
dipindahkan (Pasal 509 KUHPer).
2. Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan
pemakaiannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak
bergerak, misalnya : tanah, bangunan, dan sebagainya.23
21
Ibid, h. 300-302.
22
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 108.
23
Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, h. 206.
37
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tanah termasuk dalam kategori
benda tidak bergerak. Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam
berbagai arti, maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui
dalam arti apa istilah tersebut (tanah) digunakan. Dalam Hukum Tanah, kata
sebutan „tanah‟ dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang
telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA).
Dalam Pasal 4 (ayat 1) jo Pasal 1 (ayat 4) UUPA dinyatakan, bahwa :
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah (Pasal 4 ayat 1)…. Dalam pengertian bumi, selain permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air
(Pasal 1 ayat 4).
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi (ayat 1). Sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.24
Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya untuk menggunakan dan/ atau mengambil manfaat
dari tanah yang dihakinya.25
24
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia ‘Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya’, (Jakarta : Djambatan, 2008), Ed. Rev, Cet. XII, h. 18.
25
Urip Santoso, Hukum Agraria ‘Kajian Komprehensif’, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2012), Ed. I, Cet. I, h. 10.
38
Hukum tanah merupakan suatu sistem yang berisi ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.26
Hukum tanah dapat
juga dikatakan sebagai hukum agraria secara teoritis, hukum agraria adalah
keseluruhan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya
berisi objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.27
Boedi Harsono berpendapat di dalam bukunya, bahwa : “Hak penguasaan
atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
„Sesuatu‟ yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat merupakan isi hak
penguasaan yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.28
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu :
1) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Lembaga Hukum
Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum
dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai
pemegang haknya.29
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 17.
27
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), Ed.
I, Cet. I, h. 171.
28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 24.
29
Ibid, h. 25.
39
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah sebagai berikut :30
a. memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
b. menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan
dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu
penguasaannya;
c. mengatur hal-hal mengenai subyeknya, yakni siapa yang boleh
menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
2) Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Hubungan Hukum yang Konkret
Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret
(biasanya disebut „hak‟), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu
sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek
atau pemegang haknya.31
Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai suatu hubungan hukum yang konkret
adalah sebagai berikut :32
a. mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan
hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan
dalam poin 1a di atas;
b. mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
c. mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain;
30
Ibid, h. 26.
31
Ibid, h. 25.
32
Ibid, h. 26-27.
40
d. mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
e. mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah
Nasional adalah sebagai berikut :33
1) hak bangsa Indonesia atas tanah;
2) hak menguasai negara atas tanah;
3) hak ulayat masyarakat Hukum Adat;
4) hak perseorangan atas tanah, meliputi:
a. hak-hak atas tanah;
b. wakaf tanah hak milik;
c. hak tanggungan;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
Berdasarkan hierarki di atas, maka pembahasan selanjtunya hanya akan
dibatasi hanya pada ruang lingkup hak-hak atas tanah yang mana termasuk ke
dalam hak perseorangan atas tanah.
Dalam UUPA diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan
kepada seseorang atau badan hukum, sehingga penerima hak akan dapat
mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut.
Meskipun demikian, pemilik hak tidak dapat secara sewenang-wenang
mempergunakan haknya tersebut. Untuk itulah, dalam UUPA dilarang
menggunakan hak atas tanah itu apabila :34
1) dipergunakan bertentangan dan merugikan orang lain;
33
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 77.
34
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, h. 175.
41
2) dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukkannya, misalnya; hak untuk
pertanian dipakai untuk bangunan atau sebaliknya.
Macam-macam hak atas tanah :
(1) Hak Milik
Hak milik yaitu hak turun-temurun yang dapat diteruskan pada ahli
warisnya. Hak ini merupakan hak tertua dan terkuat karena memiliki
jangka waktu yang tidak terbatas dan merupakan induk dari hak-hak
lainnya.
Adapun yang berhak atas hak milik adalah warganegara Indonesia dan
badan hukum Indonesia yang ditentukan UUPA.35
Ketentuan mengenai Hak Milik (HM) disebutkan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf a UUPA. Secara khusus hak milik diatur dalam Pasal 20 s.d
Pasal 27 UUPA. Selanjutnya, hak milik diatur juga di dalam Pasal 50 ayat
(1) dan Pasal 56 UUPA.36
(2) Hak Guna Usaha
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam
Pasal 29, guna usaha pertanian, perikanan, atau peternakan (Pasal 28 ayat
1 UUPA). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan
guna perusahaan perkebunan.
35
Ibid.
36
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 92.
42
Adapun subjek hukum hak guna usaha adalah warganegara Indonesia
dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).
Ketentuan mengenai hak guna usaha (HGU) disebutkan Pasal 16 ayat
(1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d Pasal 34
UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha berdasarkan
Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas Tanah, yang secara khusus diatur dalam Pasal 2 s.d Pasal 18.37
(3) Hak Guna Bangunan
Pasal 35 UUPA memberikan pengertian hak guna bangunan, yaitu
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan bisa
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Adapun subjek hukum hak guna bangunan adalah warganegara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia).
Ketentuan mengenai hak guna bangunan (HGB) disebutkan dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf c UUPA. secara khusus diatur dalam Pasal 28 s.d
34 UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan
berdasarkan Pasal 50 ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah
37
Ibid, h. 101.
43
Nomor 40 tahun 1996 yang secara khusus diatur dalam Pasal 19 s.d Pasal
38.38
(4) Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari
lahan yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau pengolahan tanah.
Subjek hukum dari hak pakai adalah warganegara Indonesia, orang
asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, Departemen,
lembaga pemerintah non departemen dan Pemerintah Daerah, Badan-
badan keagamaan dan sosial serta Perwakilan Negara asing dan
perwakilan badan Internasional.39
Ketentuan mengenai hak pakai (HP) disebutkan dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 s.d Pasal 43
UUPA. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pakai berdasarkan Pasal 50
ayat (2) UUPA, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
1994 yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 s.d Pasal 58.40
38
Ibid, h. 109.
39
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, h. 177.
40
Urip Santoso, Hukum Agraria, h. 118.
44
(5) Hak Sewa untuk Bangunan
Menurut Pasal 44 ayat (1), dikatakan bahwa :
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa.
Berdasarkan pasal di atas dapat disimpulkan, bahwa hak sewa untuk
bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah milik orang lain
dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa
untuk bangunan. Dalam hal ini, negara tidak dapat menyewakan tanah
dikarenakan negara bukanlah pemilik tanah.41
Subjek hukum hak sewa untuk bangunan adalah warganegara
Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum
Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Ketentuan mengenai hak sewa untuk bangunan (HSUB) disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e. Secara khusus diatur dalam Pasal 44 dan
Pasal 45. Pengaturan mengenai hak sewa untuk bangunan diatur pula
dalam Pasal 53 jo Pasal 10 ayat (1) UUPA.
41
Ibid, h. 130.
45
BAB III
MASYARAKAT PERKAWINAN CAMPURAN INDONESIA
“MPCI”
A. Profil MPCI
1. Visi dan Misi
VISI
Membangun peran penting masyarakat perkawinan campuran bagi
Indonesia.
MISI
Menjadi wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat
perkawinan campuran secara terpadu.1
2. Tujuan MPCI
a. Mengukuhkan peran dan posisi masyarakat perkawinan campuran secara
aktif dan positif di dalam kehidupan bermasyarakat secara luas di
Indonesia;
b. Memperjuangkan perbaikan hukum yang lebih mendukung perlindungan
dan kesejahteraan kita;
c. Melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat perkawinan campuran sekaligus membawa manfaat bagi
masyarakat luas;
1 Perca Indonesia, “Tentang Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia”, Artikel
diakses pada 24 Juni 2014 dari http://percaindonesia.com/tentang/.
46
d. Menggali dan mengaktualisasikan potensi masyarakat perkawinan
campuran seutuhnya.2
3. Sasaran MPCI
a. Secara Idiil
Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan WNI dalam perkawinan
campuran, anak, dan keluarga perkawinan campuran.
b. Secara sosial
Meningkatkan kesadaran, baik di kalangan Perkawinan Campuran sendiri
maupun masyarakat umum bahwa kita adalah satu dan merupakan satu
kesatuan yang saling mendukung dan mengisi.
c. Secara budaya
Meningkatkan kerjasama lintas budaya dengan mengembangkan potensi
kekayaan dan keanekaragaman melalui interaksi, pemahaman serta
membangun sikap saling menghormati berbagai budaya bangsa yang
berbaur dalam masyarakat yang rukun dan harmonis, serta dengan tujuan
untuk mempererat tali persaudaraan secara nasional dan global.3
4. Landasan kegiatan MPCI
a. Untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus menjadi wadah pemersatu
masyarakat perkawinan campuran;
2 Ibid.
3 Ibid.
47
b. Untuk mengangkat isu aktual tentang perkawinan campuran melalui
kegiatan formal maupun informal secara konstruktif dan informatif
dengan senantiasa memperhitungkan momentum yang tetap untuk setiap
diskursus publik;
c. Untuk mewujudkan peran aktif masyarakat perkawinan campuran secara
positif di dalam kiprahnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang
lebih luas.4
5. Arti Logo
Logo MPCI merupakan identitas organisasi yang mengandung filosofi
pendirian organisasi ini. Dasar warna adalah Merah dan Putih, yang
merupakan warna agung negara kita. Merah yang artinya berani dan putih
yang bermakna suci.
Perkumpulan yang beranggotakan para pelaku perkawinan campuran,
baik laki-laki dan perempuan Warga Negara Indonesia yang menikah dengan
Warga Negara Asing ini, walaupun telah tergabung dalam unit keluarga
4 Ibid.
48
dengan campuran unsur, bahasa dan budaya asing, namun anggota dan
perkumpulan MPCI tetap mengedepankan rasa nasionalisme dan bangga
bertanah air Indonesia.
Keluarga adalah esensi kehidupan, yang tersimbolisasikan dalam
bentukan utama logo, berupa dahan yang berasal dari pohon yang kokoh.
Bentukan ini juga menggambarkan tangan yang memberi. Tiga helai daun,
yang melambangkan keluarga perkawinan campuran, di kemudian hari
diharapkan dapat menghasilkan tunas bangsa untuk menyongsong masa
depan yang sejahtera dan bahagia.5
6. Struktur Organisasi
5 Perca Indonesia, “Makna Logo Perca Indonesia”, Artikel diakses pada 24 Juni 2014
dari http://percaindonesia.com/arti-logo/.
49
B. Fakta Terkait Harta Benda Perkawinan dalam Harta Bersama Akibat
Perkawinan Campuran
1. Kepemilikan Harta Benda Perkawinan bagi Isteri WNI dalam Harta
Bersama Akibat Perkawinan Campuran
a. Kepemilikan tanah dan rumah
Kendala yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah, sudah
jelas Notaris-PPAT pasti akan mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan
campuran (perkawinan antara WNI dengan WNA) tanpa perjanjian
perkawinan tidak memungkinkan bagi mereka untuk kepemilikan rumah di
atas tanah. Hal tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 yang menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak
milik. Akan tetapi, karena pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT
menganjurkan begitu dibeli sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka
status kepemilikannya diturunkan menjadi hak pakai karena kepemilikan
rumah di atas tanah tersebut terjadi dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran.
Apabila tidak ingin melakukan hal yang demikian, biasanya notaris itu
akan memberikan kiat-kiat atau alternatif, seperti; KTP single, Nominee
agreement atau yang lebih unik lagi melakukan perceraian terlebih dahulu –
membuat prenup (perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali.
Salah satu alternatif lainnya yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas
sebidang tanah tersebut dilakukan dengan atas nama orang tua WNI –
50
kemudian orang tua WNI tersebut membuat akta hibah yang di dalamnya
menyatakan, bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah tersebut bukanlah
termasuk ke dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah dihibahkan kepada
seseorang yakni salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin campur).
Namun, ada pula alternatif lainnya yang paling aman dan terbaik untuk
saat ini, yaitu penetapan pengadilan „pisah harta‟. Dimana suami isteri pelaku
perkawinan campuran (tanpa perjanjian perkawinan) mengajukan
permohonan kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut di
atas), untuk mengeluarkan penetapan pengadilan pemisahan harta kekayaan
dalam perkawinan.
Lain halnya dengan rumah di atas tanah yang berstatus hak milik, status
hak atas bangunan/gedung (apartement/rumah susun) bisa berbentuk hak
guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP). Apabila statusnya adalah hak
pakai, maka orang asing setara dengan orang Indonesia yang berhak atas
apartement/rumah susun dengan status hak pakai (termasuk subjek atas hak
pakai). Akan tetapi, apabila statusnya masih berupa hak guna bangunan
(HGB), orang asing belum berhak atas apartement/rumah susun di atas tanah
tersebut.
Jadi, seorang yang melakukan perkawinan campuran (WNI ataupun
pasangan WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian
dilakukan dengan hak milik kemudian dalam jangka waktu setahun
dilepaskan hak milik atas tanahnya – kemudian diturunkan menjadi hak pakai.
51
b. Kepemilikan Kendaraan
Tidak ada kendala terkait kepemilikan benda bergerak dalam hal ini
kendaraan, tidak dipermasalahkan kepemilikannya baik itu atas nama isteri
WNI ataupun atas nama suami WNA.
Ketika pembelian kendaraan dilakukan secara kredit, pembelian harus
atas nama pasangan WNI. Tidak ada kaitannya dengan perkawinan campuran
yang dilakukan tanpa perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan benda
bergerak.6
Namun, suatu ketika ada kasus dimana seorang isteri WNI (dalam
perkawinan campuran) ingin mengajukan kredit kepemilikan sebuah
kendaraan kepada bank, pihak bank mempertanyakan tentang ada/tidaknya
perjanjian perkawinan. Jadi, tanpa adanya perjanjian perkawinan bahkan
untuk mengajukan kredit kepemilikan kendaraan isteri WNI mendapatkan
kesulitan karena ketiadaan perjanjian perkawinan dalam perkawinan
campuran, karena pihak bank merasa khawatir akan proses pencicilan yang
nantinya akan berlangsung dan suami (dari isteri WNI tersebut) yang
berkedudukan sebagai kepala keluarga, yang sudah seharusnya bertanggung
jawab atas perbuatan hukum isterinya adalah berkewarganegaraan asing.7
6 Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan, Jakarta, 22 Mei 2014.
7 Wawancara Pribadi dengan Juliani Luthan, Jakarta, 08 Mei 2014.
52
2. Kepemilikan Harta Benda Perkawinan bagi Suami WNI dalam Harta
Bersama Akibat Perkawinan Campuran
a. Kepemilikan tanah dan rumah
Pada dasarnya kepemilikan itu berada di tangan suami. Kepemilikan
tanah atas nama suami WNI dalam harta bersama akibat perkawinan
campuran tetap terjadi.8
Hal tersebut dikarenakan hukum di Indonesia
menyatakan, bahwa perempuan yang telah kawin pada umumnya tidak
diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh
suaminya. Ia termasuk dalam golongan orang yang oleh hukum dianggap
kurang cakap untuk bertindak sendiri.9 Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku
sebaliknya terhadap suami. Suami diperbolehkan bertindak sendiri dalam
hukum tanpa harus dibantu oleh isterinya.
Dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, status kepemilikan
atas tanah dalam perkawinan tersebut semua atas nama suami WNI. Suami
WNI dalam perkawinan campuran tidak mengetahui adanya aturan yang
mengatur tentang kepemilikan dalam percampuran harta akibat perkawinan
campuran.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan/isteri WNI
turut terkena imbas aturan tersebut di atas. Lain halnya dengan laki-
laki/suami WNI, mereka tidak turut terkena imbas aturan tersebut. Yang
8 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Fuad, Depok, 06 Juni 2014.
9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 20.
53
mana berdasarkan aturan di atas tidak hanya WNA saja yang harus
melepaskan hak miliknya dalam percampuran harta akibat perkawinan
campuran. Akan tetapi, pasangan WNI-nya (isteri/suami) juga harus
melepaskan hak miliknya.
Tanpa adanya perjanjian perkawinan (terjadi percampuran harta) ternyata,
jika itu suami WNI walaupun dalam perkawinan campuran tetap bisa
memiliki rumah di Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan
pembelian rumah tidak dipertanyakan warga negara pasangannya, apakah
warga negara Indonesia atau asing. Dikarenakan yang melakukan transaksi
tersebut adalah suami WNI, yang mana kedudukan laki-laki atau suami itu
kuat berdasarkan hukum Indonesia yang bersifat patriarkat (kedudukan laki-
laki lebih kuat dari pada perempuan).
b. Kepemilikan Kendaraan
Sedangkan terkait kepemilikan kendaraan di Indonesia, tidak
dipermasalahkan status kepemilikannya, baik itu dimiliki oleh saya (sebagai
suami) yang berkewarganegaraan Indonesia ataupun oleh isteri yang seorang
warga Negara asing.10
10
Ibid.
54
BAB IV
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
A. Faktor Penghalang Kepemilikan Tanah Isteri atau Suami WNI dalam Harta
Bersama Akibat Perkawinan Campuran
1. Perjanjian Perkawinan
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa perjanjian
perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2) Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan undang-undang di atas, bahwa perjanjian perkawinan hanya
dapat dilakukan ketika sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan.
Setelah disahkannya suatu perkawinan tidak lagi dapat dilakukan/dibuat
perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan berlaku sejak disahkannya
perkawinan dan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan
tidak dapat diubah, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak.
55
Seharusnya perjanjian perkawinan dapat dilakukan/dibuat baik sebelum
ataupun setelah disahkannya perkawinan. Dikarenakan konteks dalam
undang-undang tersebut adalah „perjanjian perkawinan‟ dan bukan „perjanjian
pra perkawinan‟. Di samping itu, perjanjian perkawinan bukanlah suatu hal
yang lazim dalam budaya Indonesia karena perjanjian perkawinan merupakan
pilihan bagi pihak yang melakukan perkawinan. Walaupun pada prinsipnya
diatur dalam Undang-undang Perkawinan (dimuat dalam Lembar Negara),
tetap saja masyarakat yang mafhum hukum sering kali alpa akan hal tersebut
belum lagi masyarakat awam.
Perjanjian perkawinan baru dirasa perlu ketika perkawinan sudah disahkan
dan suami isteri telah menjalani biduk rumah tangga. Dimana mereka dalam
suatu keadaan yang merasa perlu atau bahkan harus untuk membuat perjanjian
perkawinan.
Ketiadaan perjanjian perkawinan dalam perkawinan sesama WNI
mungkin tidak terlalu pengaruh. Namun, lain halnya dengan perkawinan yang
terjadi antara WNI dengan WNA (perkawinan campuran). Dalam perkawinan
campuran yang terjadi tanpa perjanjian perkawinan, menyebabkan WNI tidak
dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak milik.
2. Hak Milik dalam Harta Bersama Akibat Perkawinan Campuran
Ketentuan mengenai hak milik, sebagaimana telah disebutkan pada bab
sebelumnya diatur dalam Pasal 20 s.d Pasal 27 UUPA. Yang mana ketentuan
mengenai hak milik dalam harta bersama (percampuran harta) akibat
56
perkawinan campuran secara khusus diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan,
bahwa :
(1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik;
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya;
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pecampuran harta karena
perkawinan, demikan pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung;
(4) Selama orang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak
milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
Berdasarkan undang-undang di atas, yang dapat mempunyai hak atas
tanah dengan hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan hukum
tertentu. Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat dan/ atau yang memperoleh hak milik karena percampuran harta dalam
perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Begitu pula WNI yang mempunyai hak milik –
kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu 1 tahun setelah kehilangan kewarganegaraannya. Selanjutnya, orang
yang mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan
57
Indonesianya memperoleh hak milik, maka wajib melepaskan hak itu dalam
jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut.
Undang-undang di atas mengatur, bahwa yang berhak atas tanah dengan
hak milik adalah warga negara Indonesia. Namun, faktanya WNI yang
melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa perjanjian perkawinan
tidak berhak atas tanah dengan hak milik, dikarenakan terjadi percampuran
harta dengan warga negara asing.
Akan tetapi, mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada undang-
undang tersebut di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan.
Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul
Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika
subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan,
pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status
hak pakai.1
Jadi, yang tidak berhak atas tanah dengan hak millik hanyalah warga
negara asing baik karena pewarisan tanpa wasiat ataupun percampuran harta
dalam perkawinan dan warga negara Indonesia yang kehilangan
kewarganegaraannya.
1
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah
Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia : Tinjauan Hukum
Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari
http://percaindonesia.com/test2/.
58
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, warga negara
Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara asing
tetap menjadi warga negara Indonesia tunggal/ atau tidak mengikuti
kewarganegaraan pasangannya selama hukum negara asal pasangannya tidak
mengharuskan demikian berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan RI. Tidak seperti yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI yang lama,
bahwa warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan
warga negara asing memiliki pilihan untuk melepaskan kewarganegaraan
Indonesianya atau tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Mengenai kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran, sekalipun terjadi percampuran harta akibat perkawinan
campuran dan kepemilikan atas harta apapun menjadi kepemilikan bersama,
isteri/suami WNI seharusnya tetap berhak atas tanah dengan hak milik karena
kedudukannya tetap sebagai WNI. Lain halnya dengan suami/isteri WNA-nya
yang hanya berhak atas tanah dengan status hak pakai. Kepemilikan atas tanah
tersebut tetap kepemilikan bersama, hanya status atas tanah tersebutlah yang
berbeda. Dikarenakan hak atas tanah tergantung pada pemegang haknya atau
subyek pemiliknya.
3. Kedudukan Suami Isteri di Muka Hukum
Menurut B.W (Burgelijk Wetboek), seorang perempuan yang telah kawin
pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi
59
harus dibantu oleh suaminya. Perempuan yang telah kawin termasuk golongan
orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri.2
Perempuan yang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum,
hanya khusus dalam hal :3
a. membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau ijin dari suami (Pasal 108
KUHPerdata);
b. menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110
KUHPerdata).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dilihat, bahwa aturan yang dahulu
berlaku sangatlah bersifat patriarkat. Dimana kedudukan laki-laki/suami
selalu di atas atau lebih kuat dari pada perempuan/isteri, dikarenakan suami
yang berkedudukan sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah
tangga.
Dalam KBBI, patriarkat (patriark: bapak/kepala keluarga) diberi
pengertian yakni sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan
garis keturunan bapak.4
Sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPerdata di atas telah dicabut
dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 3 Tahun 1963.
2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 20.
3 Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, h. 24-25.
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 837.
60
Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :5
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Namun, sayangnya yang terjadi di lapangan dalam praktik perbankan,
ketika isteri berkewarganegaraan Indonesia dalam perkawinan campuran ingin
mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR), persetujuan suami merupakan
salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Sedangkan suami yang
berkedudukan sebagai kepala keluarga adalah warga negara asing dan tanpa
adanya perjanjian perkawinan menjadi semakin bermasalah, dikarenakan
terjadi percampuran harta dalam perkawinan campuran tersebut.
B. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah bagi Isteri atau Suami WNI Akibat
Perkawinan Campuran
1. Penetapan Pengadilan Pisah Harta
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, bahwa sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, WNI
yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan
dipersamakan status hak atas tanahnya dengan pasangan WNA-nya yakni
hanya sebatas hak pakai. Dikarenakan tanah dengan status hak milik tersebut
5 Simanjuntak, h. 25.
61
turut dimiliki pula oleh pasangan WNA-nya karena percampuran harta akibat
perkawinan campuran.6
Lain halnya, dengan pendapat salah satu Ahli Hukum Keluarga, yakni
Muhammad Amin Suma. Menurutnya, WNI yang melakukan perkawinan
campuran tanpa perjanjian perkawinan seharusnya tetap berhak atas tanah
dengan status hak milik, selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya
(tetap menjadi warga negara Indonesia). Walaupun terjadi kepemilikan
bersama atas tanah dengan status hak milik dalam perkawinan campuran
tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan status hak atas
tanahnya. Warga negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan status hak
milik, sedangkan pasangan warga Negara asingnya hanya berhak atas tanah
dengan status hak pakai.7
Menurut Notaris-PPAT, sebagaimana telah diuraikan pada bab
sebelumnya, mengenai kepemilikan atas tanah dengan hak milik bagi WNI
dalam harta bersama akibat perkawinan campuran masih dapat diusahakan.
Namun, dengan cara-cara ilegal, seperti; menggunakan KTP belum kawin
atau memanfaatkan perjanjian bawah tangan (nominee agreement) yang
berisiko tinggi.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan "kebiasaan"
ini. Menurutnya, masalah yang nyata di tengah-tengah masyarakat ini
6 Wawancara Pribadi dengan Sutoro, Jakarta, 30 Juni 2014.
7 Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
62
seharusnya tidak ada lagi di era globalisasi. "Harus ada kebijakan, perhatian,
insentif, dan disentif mengenai pernikahan campur. Di balik ini ada masalah
yang lebih serius, yaitu interkultural. Ini merupakan hal penting, kita perlu
merinci apa saja yang mau disampaikan. Penyamaan persepsi di antara pelaku,
yaitu Notaris-PPAT, Bankir, Pejabat Pertanahan, dan Ahli Hukum. Mungkin
saja masih ada kesulitan karena tidak tertulis dengan jelas di undang-undang".
Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan
dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk
berpikir dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang.8
Solusi terbaik saat ini yang juga merupakan dasar hukum yang kuat agar
dapat digunakan untuk kepemilikan tanah dengan status hak milik, yakni
„penetapan pengadilan pisah harta‟.9
Penetapan pengadilan pisah harta adalah penetapan pengadilan tentang
pemisahan harta bersama suami isteri setelah dikabulkannya permohonan
pisah harta atau dikeluarkannya penetapan pengadilan ini. Yang tadinya
dalam perkawinan campuran tersebut terjadi percampuran harta/harta bersama,
setelah berlakunya penetapan ini menjadi terpisah. Apa yang dihasilkan oleh
suami setelah penetapan ini adalah hanya menjadi milik suami dan begitu juga
sebaliknya, apa yang dihasilkan isteri adalah hanya menjadi milik isteri
8 Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel diakses pada 21
Oktober 2013 dari,
http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/Keliru.Tafsir.Turunkan.Status.Hak.Milik.
9 Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan, dkk, Jakarta, 08 Mei 2014.
63
seutuhnya. Namun, suami yang berkewarganegaraan asing sebagai kepala
keluarga akan dan harus tetap bertanggung jawab sepenuhnya untuk biaya
hidup keluarga dan juga pendidikan anak-anak yang telah dan akan dilahirkan
oleh isterinya yang berkewarganegaraan Indonesia.
Salah satu pengadilan yang telah mengeluarkan penetapan pengadilan
pisah harta ini adalah Pengadilan Negeri Bekasi, yakni Penetapan No.
67/PDT.P/2014/PN.Bks.
2. Dasar Putusan Hakim
Dalam Penetapan No. 67/PDT.P/2014/PN.Bks, hakim mempertimbangkan
beberapa hal tentang hukumya.
Menurut pertimbangan hakim, berdasarkan surat-surat bukti yang
dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon yang diberi tanda P-1; Kutipan Akta
Nikah tanggal 24 Februari 2001 No. 155/54/II/2001 adalah benar Pemohon I
sebagai WNA dan Pemohon II sebagai WNI terbukti sebagai suami isteri
yang sah, P-2; Passport Pemohon I; P-3; foto copy kartu tanda penduduk
(KTP) Pemohon II.
Hakim menimbang, bahwa berdasarkan hukum pertanahan di Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan
Pelaksanaannya dinyatakan, bahwa hanya warga negara Indonesia yang bisa
mempunyai hak milik atas tanah.
Menurut pertimbangan hakim, bahwa Pemohon II sebagai seorang isteri
adalah warga negara Indonesia sedangkan Pemohon I sebagai seorang suami
64
adalah warga negara asing dan apabila para pemohon akan membeli atau
memiliki harta berupa tanah dalam masa perkawinan tanpa adanya perjanjian
perkawinan sebelumya, yakni sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung,
maka Pemohon II tidak dapat mempunyai hak atas tanah yang kelak akan
dibelinya dengan status hak milik, karena harta bersamanya bercampur
dengan harta Pemohon I yang seorang warga negara asing.
Hakim menimbang, oleh karena perkawinan antara Pemohon I dan II telah
dilangsungkan pada tanggal 24 Februari 2001 dan sampai saat ini sudah
berlangsung kurang lebih 13 tahun, maka pemisahan harta bersama
berdasarkan penetapan yang akan dimohonkan adalah untuk harta yang akan
diperoleh di kemudian hari setelah adanya penetapan ini. Namun demikian,
Pemohon I sebagai kepala keluarga akan dan harus tetap bertanggung jawab
sepenuhnya untuk biaya hidup keluarga dan juga pendidikan anak-anak yang
telah dan akan dilahirkan oleh pemohon II.
Menurut pertimbangan hakim, berdasarkan pengakuan para pemohon dan
keterangan saksi-saksi, para pemohon belum membuat perjanjian perkawinan
di kantor Notaris tentang pemisahan harta bersama sebelum perkawinan
dilangsungkan karena kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon, sehingga
baru saat ini para pemohon berniat mengajukan permohonan penetapan pisah
harta bersama. Dan berdasarkan kutipan akta nikah, para pemohon ternyata
tidak terdapat catatan tentang perjanjian perkawinan.
65
Hakim menimbang, bahwa Pengadilan tidak menemukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma-norma hukum, agama, dan kesusilaan terhadap
alasan yang diajukan oleh para pemohon, maka permohonan para pemohon
patut dikabulkan seluruhnya.
C. Analisis Penulis
Mengenai perkawinan campuran, berdasarkan perspektif al-Quran Islam
tidak mengenal perkawinan campuran, dikarenakan kedudukan sesama muslim
adalah sama dan orang yang mulia di sisi Allah SWT. Ukurannya adalah
menunjukan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah bukan berdasarkan batas
wilayah atau negara.
Sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran surat al-Hujuraat (49) ayat 13 :
Artinya :
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.{QS. Al-
Hujurat (49) : 13}
66
Mengenai hak milik WNI yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang sudah berumur kurang lebih 40
tahun ini dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan, dikarenakan sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Menurut Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP)
Chairul Basri, hak kepemilikan atas tanah melekat pada subyek pemiliknya. Jika
subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik. Sedangkan, pasangan
WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak memiliki status hak pakai.10
WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan
seharusnya tetap berhak atas tanah dengan status hak milik, selama ia tidak
melepaskan kewarganegaraannya (tetap menjadi warga negara Indonesia).
Walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak milik dalam
perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa dipisahkan
status hak atas tanahnya. Warga negara Indonesia tetap berhak atas tanah dengan
status hak milik, sedangkan pasangan warga negara asingnya hanya berhak atas
tanah dengan status hak pakai.
Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya
masyarakat kita diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang
10
Perca Indonesia, “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah
Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia: Tinjauan Hukum
Terhadap Status Kepemilikan Properti”, Arikel diakses pada 21 Oktober 2013 dari
http://percaindonesia.com/test2/.
67
sedang berlaku di Indonesia sehingga sebagai warga Negara Indonesia tidak lagi
terlanggar hak-haknya dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum.11
11
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma, Jakarta, 02 Juli 2014.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul kepemilikan tanah
WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Mengenai status kepemilikan tanah WNI dalam harta bersama akibat
perkawinan campuran, berdasarkan undang-undang adalah dipersamakan
haknya dengan hak atas tanah bagi pasangan WNA-nya, yakni hanya sebatas
hak pakai. Hal tersebut, tidaklah sesuai dengan semangat sesungguhnya yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria.
Yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah larangan bagi orang
asing terhadap hak atas tanah dengan status hak milik akibat percampuran
harta dalam perkawinan (Pasal 21 ayat 3). Sedangkan bagi WNI seharusnya
tetap berlaku aturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yakni “hanya
warga Indonesia yang berhak atas hak milik”. Dalam Pasal 21 ayat (1)
undang-undang tersebut di atas, jelas bahwa setiap warga negara Indonesia
tanpa terkecuali berhak atas tanah dengan status hak milik. Namun, pada
kenyataanya mengenai kepemilikan tanah bagi WNI dalam harta bersama
akibat perkawinan campuran, hanya di titik beratkan pada Pasal 21 ayat (3).
69
Mengenai hak milik WNI yang di dasarkan pada undang-undang tersebut
di atas itu, dirasa sudah sangat perlu mengalami perubahan. Menurut
Penasehat Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FKKP) Chairul Basri,
hak kepemilikan atas tanah melekat pada pemegang haknya atau subyek
pemiliknya. Jika subyek adalah WNI, maka ia berhak atas status Hak Milik.
Sedangkan, pasangan WNA-nya sebagai subjek orang asing hanya berhak
memiliki status hak pakai.
2. Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, hak Milik masih dapat
diusahakan oleh WNI pelaku perkawinan campuran tanpa perjanjian
perkawinan, tetapi dengan cara-cara ilegal, seperti; menggunakan KTP belum
kawin atau memanfaatkan perjanjian bawah tangan (nominee agreement)
yang berisiko tinggi.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidique menyayangkan "kebiasaan"
ini. Ia mendorong adanya usaha perbaikan dan penyesuaian hukum dengan
dinamika yang terjadi di lapangan. Menurutnya, kini sudah waktunya untuk
berpikir dengan lebih jernih atas penafsiran undang-undang.
Kepastian hukum/solusi terbaik saat ini untuk memperoleh hak atas tanah
dengan status hak milik, yakni dengan mengajukan permohonan dan
mendapatkan penetapan pemisahan harta kekayaan kepada pengadilan yang
berwenang mengadili hal tersebut.
70
B. Saran-saran
Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut :
1. Kepada Perumus Undang-undang, diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam
merumuskan undang-undang. Diharapkan dapat menggunakan kata-kata yang
jelas dalam perumusan dan tidak banyak mengandung makna yang tersirat di
dalamnya yang membutuhkan penafsiran. Sehingga tidak akan terjadi banyak
kekeliruan penafsiran ke depannya dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat. Dikarenakan undang-undang berlaku untuk seluruh warga
Indonesia, tidak hanya untuk orang-orang yang mafhum hukum/ahli hukum,
tetapi juga warga Indonesia yang awam. Bahkan tidak sedikit para ahli hukum
dan/ atau pejabat pemerintah yang berwenang, keliru dalam penafsiran pasal-
pasal dalam peraturan perundang-undangan.
2. Kepada Pemerintah, harus memberikan perhatian lebih dalam
sosialisasi/penyebarluasan peraturan perundang-undangan. Sehingga seluruh
lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, mengetahui undang-undang
apa yang berlaku di Indonesia sekarang ini. Kurangnya sosialisasi dapat
menyebabkan warga Indonesia kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara
Indonesia yang seharusnya mendapat perlindungan penuh dari pemerintah.
Pejabat pemerintah diharapkan dapat lebih bijak lagi dalam menerapkan
hukum yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus memerhatikan jangka
71
waktu berlakunya suatu undang-undang agar dapat terus mengikuti dinamika
yang terjadi masyarakat.
3. Kepada Ahli Hukum, harus lebih cermat lagi dalam menafsirkan undang-
undang yang ada. Sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang kehilangan
hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, yang mana sudah seharusnya
tidak terjadi demikian.
4. Kepada Warga Negara Indonesia (WNI), diharapkan agar berperan aktif
dalam mencari tahu undang-undang apa yang sedang berlaku di Indonesia. Di
zaman sekarang ini teknologi sudah semakin maju, sehingga informasi sudah
dapat diakses dengan mudahnya melalui media apapun, kapanpun dan
dimanapun berada. Jangan sampai hanya karena kurangnya informasi dan
pengetahuan terhadap undang-undang yang sedang berlaku di Indonesia
menyebabkan hilangnya hak-hak sebagai WNI. Jadi, seorang warga negara
Indonesia haruslah aktif agar bisa melindungi hak-haknya. Ketika kita pasif,
maka kita akan kehilangan hak kita “once you are pasif, you loose everything”.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 2010).
Ed. I. Cet. IV.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Ed. I. Cet.
I.
___________ . Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007).
Asikin, Zainal. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Jakarta : Rajawali Pers, 2012). Ed.
I. Cet. I.
Ayudhistiarini, Diah Utari. “Perlindungan Hukum Terhadap WNI Perempuan Akibat
Perkawinan Campuran Beda Kewarganegaraan Menurut Pasal 26 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Jo. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Pasundan Bandung, 2011.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta : Balai Pustaka, 2007). Ed. III. Cet. IV.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.
7 Tahun 1989). (Pustaka Kartini ; anggota IKAPI jaya, 1997).
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya). (Jakarta : Djambatan, 2008). Ed.
Rev. Cet. XII.
Khairandy, Ridwan, dkk. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.
(Yogyakarta : Gama Media. 1999).
Lawskripsi. “Tinjauan Yuridis Kedudukan Anak dalam Perkawinan Campuran
Ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”. Artikel
73
diakses pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id
=92&Itemid=92.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. I.
Munawaroh. Panduan Memahami Metodologi Penelitian. Malang, Jawa Timur :
Intimedia, 2012.
N, Nawawi, “Perkawinan Campuran (Problematika dan Solusinya)”. Artikel diakses
pada hari Rabu Tanggal 16 Oktober 2013 dari
http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/PERKAWINANCAMPURANartik
el.pdf.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia
‘Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 /1974 sampai
KHI’. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006). Ed. I. Cet. III.
Perca Indonesia. “Bedah Kasus Penetapan Pengadilan atas Pisah Harta Setelah
Berlangsungnya Perkawinan bagi Pelaku Perkawinan Campuran di Indonesia:
Tinjauan Hukum Terhadap Status Kepemilikan Properti”. Arikel diakses pada
hari Senin Tanggal 21 Oktober 2013 dari http://percaindonesia.com/test2/.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan zakat menurut hukum Islam. (Jakarta : Sinar Grafika,
2006). Ed. I. Cet. IV.
Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2012). Ed. I. Cet. I.
Simanjuntak. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. (Jakarta : Djambatan, 2009).
Ed. Rev. Cet IV.
74
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, 2010.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 2003). Cet. XXXI.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2009).
Ed. I. Cet. III.
Tabita Diela, “Keliru Tafsir Turunkan Status Hak Milik”, Artikel diakses pada hari Senin
Tanggal 21 Oktober 2013 dari,
http://properti.kompas.com/read/2013/04/13/20271526/Keliru.Tafsir.Turunkan.Status
.Hak.Milik.
Tafonao. “Perkawinan Campuran; Hukum Perkawinan campuran”. Artikel diakses
pada hari Kamis Tangal 10 Oktober 2013 dari
http://lucasmem.blogspot.com/2012/11/perkawinan-campuran.html.
Ubaedillah, A, dkk. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Ed. III. Cet. VI.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996).
Ed. I. Cet. II.
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Amin Suma selaku Ahli Hukum Keluarga
dan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta, 02 Juli 2014.
Wawancara Pribadi dengan Sutoro selaku Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI. Jakarta,
07 Juli 2014.
Wawancara Pribadi dengan Juliani Luthan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan
campuran dan Wakil Ketua Umum MPCI. Jakarta, 08 Mei 2014.
Wawancara Pribadi dengan Melva Nababan selaku Isteri (WNI) dalam perkawinan
campuran dan Ketua Umum MPCI. Jakarta, 22 Mei 2014.
75
Wawancara Pribadi dengan Muhammad Fuad selaku Suami (WNI) dalam perkawinan
campuran. Depok, 6 Juni 2014.
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan ‘Metode dan Paradigma Baru’, (Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I.
HASIL WAWANCARA
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Lengkap : Melva Nababan Sullivan, Juliani Luthan, dkk
Hari/Tanggal : Kamis, 08 Mei 2014
Tempat : Sekretariat MPCI
Pertanyaan:
1. Menurut Ibu, fakta apa yang mendasari seorang WNI tidak berhak atas
kepemilikan tanah ketika melakukan perkawinan campuran?
Faktanya adalah Pasal 21 ayat 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria mengacu kepada Undang-Undang No. 62 Tahun
1958 tentang Kewarganegaraan RI (lama) yang di dalamnya terdapat pengaturan
tentang status kewarganegaraan WNI yang melakukan perkawinan campuran
yang menyatakan, bahwa apabila seorang wanita WNI menikah dengan warga
negara asing, maka dalam periode 1 tahun setelah pernikahannya ia harus
menentukan kewarganegaraannya (Pasal 8 ayat 1).
Dan dalam Pasal 21 ayat 3 secara implisit disebutkan, bahwa ketika
melakukan perkawinan campuran seharusnya dibuat perjanjian perkawinan agar
tidak terjadi percampuran harta. Sementara dalam budaya Indonesia perjanjian
perkawinan adalah sesuatu yang tidak wajib (merupakan pilihan bagi calon
pasangan suami isteri).
2. Menurut Ibu, apakah semua WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah ketika
melakukan perkawinan campuran atau yang termasuk kriteria tertentu saja?
Pada umumunya, secara hukum seorang WNI berhak atas hak milik. Lain
halnya, ketika seorang WNI melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian
perkawinan. Misalnya; seorang WNI yang melakukan perkawinan campuran
tanpa perjanjian perkawinan membeli tanah secara cash – mendapat sertifikat hak
milik (SHM). Akan tetapi, ketika menjual itu harus mendapatkan persetujuan
suami karena termasuk dalam harta bersama. Pada saat melakukan penjualan atas
tanah tersebut ada 2 (dua) hal yang mungkin terjadi di lapangan; Pertama, WNI
terkena masalah karena persetujuan atas nama suami seorang WNA yang mana
hak milik tersebut berarti termasuk dalam percampuran harta. Kedua, BPN tidak
mempermasalahkan persetujuan atas nama suami WNA/tergantung pada pejabat,
yang penting ada persetujuan dari suami bahwa isterinya yang namanya tertera
dalam buku tanah akan melakukan penjualan atas tanah dengan hak milik.
Sebenarnya ketika melakukan penjualan si WNI pasti terkena masalah,
karena faktor persetujuan suami WNA – WNA dalam undang-undang pokok
agraria adalah tidak berhak atas hak milik hanya berhak atas hak pakai. Dan
dikarenakan persetujuan WNA tersebut menandakan hak milik terjadi dalam harta
bersama, yang mana ketika terjadi percampuran harta maka dalam jangka waktu 1
tahun WNA harus menurunkannya menjadi hak pakai – berimbas pula kepada si
WNI yang harus melepaskan hak miliknya dan menurunkannya menjadi hak
pakai.
3. Penolakan seperti apa yang dikemukakan BPN RI terkait kepemilikan tanah WNI
dalam perkawinan campuran?
BPN tidak pernah melakukan penolakan – perpanjangan tangan dari BPN
adalah Notaris-PPAT yang mana mereka memiliki konsepnya masing-masing.
Yang pasti adalah kebanyakan pembelian rumah itu tidak pakai uang cash/
melalui KPR di bank – pihak bank dalam proses KPR itu harus berdasarkan
kepada perjanjian perkawinan ketika perkawinan campuran tidak ada perjanjian
perkawinan maka terjadi percampuran harta, hal tersebut yang dipermasalahkan.
Ketika pembelian rumah dilakukan secara cash, kontrol BPN sebatas pada
kartu keluarga (KK) yang mana suami asing tidak nampak di KK, kemudian
KTP; di KTP terlihat status kawin, tidak dipertanyakan apakah suami/isteri WNA
atau bukan. Selama sudah dilakukan akad jual-beli dan dilakukan pembayaran,
maka terjadi peralihan hak milik kepada si WNI sebagai pemilik atas
tanah/rumah.
Yang menjadi konsen BPN – Notaris-PPAT adalah ketika WNI
mengajukan KPR ke bank, Notaris-PPAT pasti akan menanyakan pasangan dari
suami/isteri WNI, orang asing atau WNI. Ketika pasangan si WNI adalah orang
asing, selanjutnya akan dipertanyakan ada/tidak perjanjian perkawinan.
4. Upaya apa yang telah dilakukan WNI dalam perkawinan campuran guna
memperjuangkan hak miliknya?
Salah satu upaya yang telah dilakukan yaitu permohonan penetapan pisah
harta. Jadi, permohonan penetapan pengadilan pisah harta itu diawali dari tesis
seorang notaris tentang perjanjijan pisah harta, perjanjian pisah harta itu
didasarkan pada undang-undang PT (perseroan terbatas) – undang-undang
tersebut menyatakan, apabila seorang direktur (laki-laki/perempuan)
perusahaannya bangkrut, maka seluruh aset pribadinya atau bahkan aset
suami/isterinya akan turut ikut digunakan untuk pembayaran kepada pihak ketiga.
Untuk mengamankan aset pribadi tersebut dilakukanlah pisah harta.
Saat ini, penetapan pengadilan pisah harta bisa dikatakan menjadi solusi
terbaik bagi WNI dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan,
untuk dapat memiliki rumah di atas tanah dengan status hak milik. Hal ini
dibuktikan dengan keberhasilan salah satu WNI dalam perkawinan campuran
tanpa perjanjian perkawinan dalam mengajukan KPR ke salah satu bank di
Indonesia. Pihak bank tersebut menerima penetapan pengadilan pisah harta
tersebut sebagai dasar hukum yang kuat menggantikan perjanjian perkawinan
(yang dapat memisahkan harta kekayaan bersama), sehingga bank tersebut
menerima pengajuan KPR oleh WNI dalam perkawinan campuran tanpa
perjanjian perkawinan. Ketiadaan perjanjian perkawinan digantikan dengan
penetapan pengadilan pisah harta.
HASIL WAWANCARA
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Lengkap : Melva Nababan Sullivan
Selaku/Jabatan : Isteri WNI/Ketua Umum MPCI
Hari/Tanggal : Kamis, 22 Mei 2014
Tempat : Sekretariat MPCI
Pertanyaan :
1. Kepemilikan tanah dan rumah
Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan tanah
dan rumah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?
Kendala yang dihadapi dalam kepemilikan rumah di atas tanah, sudah
jelas Notaris-PPAT pasti akan mengatakan, bahwa kalau terjadi perkawinan
campuran (perkawinan antara WNI dengan WNA) tanpa perjanjian perkawinan
tidak memungkinkan bagi mereka untuk kepemilikan rumah di atas tanah. Hal
tersebut dikarenakan, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yang
menyatakan, bahwa WNA tidak berhak atas hak milik. Akan tetapi, karena
pembelian dilakukan oleh WNI Notaris-PPAT menganjurkan begitu dibeli
sebidang rumah di atas tanah tersebut, maka status kepemilikannya diturunkan
menjadi hak pakai karena kepemilikan rumah di atas tanah tersebut terjadi dalam
harta bersama akibat perkawinan campuran.
Apabila tidak ingin melakukan hal yang demikian, biasanya notaris itu
akan memberikan kiat-kiat atau alternatif, seperti; KTP single, Nominee atau
yang lebih unik lagi melakukan perceraian terlebih dahulu – membuat prenup
(perjanjian perkawinan) – kemudian menikah kembali.
Salah satu alternatif lainnya yaitu hibah, yakni pembelian rumah di atas
sebidang tanah tersebut dilakukan dengan atas nama orang tua WNI – kemudian
orang tua WNI tersebut membuat akta hibah yang di dalamnya menyatakan,
bahwa ketika orang tua WNI meninggal tanah tersebut bukanlah termasuk ke
dalam harta ahli warisnya, melainkan sudah dihibahkan kepada seseorang yakni
salah satu anaknya (WNI yang melakukan kawin campur).
Namun, ada pula alternatif lainnya yang paling aman dan terbaik untuk
saat ini, yaitu penetapan pengadilan ‘pisah harta’. Dimana suami isteri pelaku
perkawinan campuran (tanpa perjanjian perkawinan) mengajukan permohonan
kepada pengadilan (yang berwenang mengadili hal tersebut di atas), untuk
mengeluarkan penetapan pengadilan pemisahan harta kekayaan dalam
perkawinan.
Lain halnya dengan rumah di atas tanah yang berstatus hak milik, status
hak atas bangunan/gedung (apartement/rumah susun) bisa berbentuk hak guna
bangunan (HGB) atau hak pakai (HP). Apabila statusnya adalah hak pakai, maka
orang asing setara dengan orang Indonesia yang berhak atas apartement/rumah
susun dengan status hak pakai (termasuk subjek atas hak pakai). Akan tetapi,
apabila statusnya masih berupa hak guna bangunan (HGB), orang asing belum
berhak atas apartement/rumah susun di atas tanah tersebut.
Jadi, seorang yang melakukan perkawinan campuran (WNI ataupun
pasangan WNA-nya) hanya berhak atas hak pakai. Ataupun pembelian dilakukan
dengan hak milik kemudian dalam jangka waktu setahun dilepaskan hak milik
atas tanahnya – kemudian diturunkan menjadi hak pakai.
2. Kendala dalam kepemilikan Kendaraan
Kendala apa saja yang Ibu hadapi sebagai Isteri WNI terkait kepemilikan
kendaraan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?
Tidak ada kendala terkait kepemilikan benda bergerak dalam hal ini
kendaraan, tidak dipermasalahkan kepemilikannya baik itu atas nama isteri WNI
ataupun atas nama suami WNA.
Ketika pembelian kendaraan dilakukan secara kredit, pembelian harus atas
nama pasangan WNI. Tidak ada kaitannya dengan perkawinan campuran yang
dilakukan tanpa perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan benda bergerak.
HASIL WAWANCARA
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Lengkap : Sutoro, SH., Msi
Jabatan : Kepala Seksi (Kasi) PPAT BPN RI
Hari/Tanggal : Senin, 07 Juni 2014
Tempat : Ruang Sub Direktorat Pembebanan Hak dan PPAT
Pertanyaan:
1. Bagaimana penafsiran BPN RI atas UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria Pasal 21 khususnya ayat 3?
a. Undang-Undang: Orang asing yang mempunyai hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan dan warga negara
Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan, wajib melepaskan hak itu dalam
jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangya
kewargaanegaraan itu.
b. Penafsiran BPN: Ketika terjadi perkawinan campuran tanpa perjanjian
perkawinan (percampuran harta/harta bersama), apabila WNI dalam
perkawinan tersebut ingin melakukan pembelian tanah dengan status hak
milik sementara tidak dibutuhkan persetujuan dari pasangan WNA-nya,
seperti; pembelian yang dilakukan secara cash, maka WNI tersebut
bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status hak milik. Walaupun
berdasarkan undang-undang tidak dapat demikian. Akan tetapi, dikarenakan
BPN RI dalam melakukan tugasnya hanya bersifat formil, yakni hanya
memproses berkas (yang sudah memenuhi persyaratan pendaftaran tanah)
yang sampai kepadanya, maka WNI tersebut di atas menjadi berhak atas tanah
dengan status hak milik.
Sedangkan, apabila WNI dalam perkawinan tersebut di atas ingin
melakukan pembelian tanah dengan status hak milik, sementara dibutuhkan
persetujuan dari pasangan WNA-nya, seperti; mengajukan KPR di bank,
maka WNI tersebut tidak bisa/berhak memiliki tanah tersebut dengan status
hak milik atau hanya berhak atas hak pakai. Dikarenakan persetujuan
pasangan WNA-nya mengindikasikan terjadi percampuran harta WNI dengan
WNA, yang mana WNA dalam aturan pertanahan di Indonesia hanya berhak
atas tanah dengan status hak pakai.
2. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Pasal 21 Ayat 1, hanya WNI yang dapat
mempunyai hak milik. Apakah WNI yang dimaksud dalam pasal tersebut
berdasarkan pengertian WNI yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI?
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 21 ayat (1):
“Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Benar, difinisi
warga negara Indonesia sekarang ini merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006. Yang mana yang dapat mempunyai hak milik adalah warga
Indonesia , baik warga negara pribumi maupun orang asing yang masuk menjadi
warga negara Indonesia berdasarkan proses naturalisasi dan lain-lain.
3. Apakah WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan
tidak berhak atas kepemilikan tanah, dikarenakan kepemilikan atas tanah tersebut
turut dimiliki pula oleh pasangan WNA-nya dalam harta bersama?
WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA tanpa
perjanjian perkawinan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) – Inpres Nomor 1 Tahun 1991, tetap terjadi harta
pribadi dalam perkawinan tersebut, yakni harta dari hasil salah satu pihak
(suami/isteri) yang diperoleh dari hadiah, hibah, dan warisan – tetap di bawah
penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menetukan lain dalam
perjanjian.
Mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara WNI
dengan WNA, hak yang dapat diberikan kepada WNI tersebut adalah hak pakai,
tidak dapat diberikan hak milik karena terjadi percampuran harta WNI dengan
WNA
4. Bagaimana penerapan yang dilakukan BPN RI terhadap pasal tersebut di atas?
Bila melihat pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, seharusnya WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA,
hanya diberikan hak pakai. Namun, pada kenyataannya Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dalam pelaksanaan tugasnya hanya bersifat formil, yakni BPN
hanya memproses berkas (yang telah memenuhi persyaratan pendaftaran tanah)
yang sampai/ atau diajukan kepadanya. Jadi, tetap saja apabila tidak ada kejujuran
dari pihak yang mengajukan pendaftaran tanah, bahwa tanah dengan hak milik
tersebut termasuk harta bersama dalam perkawinan campuran, maka BPN tidak
akan punya kontrol lebih lanjut (untuk proses pelepasan/ atau penurunan hak) atas
tanah dengan status hak milik tersebut.
5. Kontrol seperti apa yang dilakukan oleh BPN RI terhadap kepemilikan tanah
WNI dalam harta bersama akibat perkawinan campuran serta terhadap proses
pelepasan dan/ atau penurunan hak atas tanah WNI dengan hak milik dalam harta
bersama akibat perkawinan campuran?
Kontrol BPN RI, apabila tanah tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan
dengan dilampiri surat nikah dan akta yang dibuat ada persetujuan suami/isteri
berkewarganegaraan asing, maka secara langsung tidak dapat diberikan hak milik
– hanya dapat diberikan hak pakai dengan jangka waktu.
- 10 -
LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 Tahun 2010 TANGGAL : 25 Januari 2010
STANDAR PELAYANAN DAN PENGATURAN PERTANAHAN
I. PELAYANAN PENDAFTARAN TANAH PERTAMA KALI
1. Konversi, Pengakuan dan Penegasan Hak
Dasar Hukum Persyaratan Biaya Waktu Keterangan
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo. UU No. 20/2000
3. PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1996
4. PP No. 24/1997 5. PP No. 13/2010 6. PMNA/KBPN No. 3/1997
7. Peraturan KBPN RI No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon
dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat
5. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB)
6. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
tentang jenis
dan tarif atas
jenis
penerimaan
negara bukan
pajak yang
berlaku pada
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
98 (sembilan puluh
delapan) hari
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
- 11 -
2. Pemberian Hak:
a. Hak Milik
1) Hak Milik Perorangan
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo.
20/2000 3. PP No. 48/1994 jo.
PP No. 79/1996 4. PP No. 24/1997 5. PP No. 13/2010 6. PMNA/KBPN
No. 3/1997 7. PMNA/KBPN
No. 3/1999 8. PMNA/KBPN
No. 9/1999 9. Peraturan KBPN RI
No. 3/2006 10. Peraturan KBPN RI
No. 4/2006 11. Peraturan KBPN
No.7/2007 12. KMNA/KBPN
2/1998 13. KMNA/KBPN
6/1998 14. SE KBPN No. 600-
1900 tanggal 31 Juli 2003
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon
dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Asli Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Asli Surat-surat bukti pelepasan hak
dan pelunasan tanah dan rumah (Rumah Gol III) atau rumah yang dibeli dari pemerintah
6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
tentang jenis
dan tarif atas
jenis
penerimaan
negara bukan
pajak yang
berlaku pada
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
• 38 (tiga puluh delapan) hari untuk: - Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha
- Tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2
• 57 (lima puluh tujuh) hari untuk: - Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha
- Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2 s.d. 5.000 m2
• 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk: - Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 5.000 m2
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
5. Pernyataan menguasai tanah tidak lebih dari 5 (lima) bidang untuk permohonan rumah tinggal
Catatan: 1. Tidak termasuk
tenggang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran sesuai SK
2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
- 13 -
b. Hak Guna Bangunan
1) Hak Guna Bangunan Perorangan
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000 3. PP No. 48/1994 jo.
PP No. 79/1996 4. PP No. 40/1996 5. PP No. 24/1997 6. PP No. 13/2010 7. KEPPRES No.
32/1979 8. PMNA No. 3/1997 9. PMNA/KBPN No.
3/1999 10. PMNA/KBPN No.
9/1999 11. Peraturan KBPN RI
No. 3/2006 12. Peraturan KBPN RI
No. 4/2006 13. Peraturan KBPN RI
No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon
dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Surat pernyataan pemohon mengenai
jumlah bidang dan status tanah-tanah yang telah dimiliki
6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
tentang jenis
dan tarif atas
jenis
penerimaan
negara bukan
pajak yang
berlaku pada
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
• 38 (tiga puluh delapan) hari untuk luasan tidak lebih dari 2.000 m2
• 57 (lima puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 2.000 m2 sampai dengan 150.000 m2
• 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 150.000 m2
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
Catatan: 1. Tidak termasuk
tenggang waktu pemenuhan kewajiban pembayaran sesuai SK
2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
- 15 -
c. Hak Pakai
1) Hak Pakai Perorangan WNI
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960 2. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000 3. PP No. 48/1994 jo.
PP No. 79/1996 4. PP No. 40/1996 5. PP No. 24/1997 6. PP No. 13/2010 7. KEPPRES No.
32/1979 8. PMNA/KBPN No.
3/1997 9. PMNA/KBPN No.
3/1999 10. PMNA/KBPN No.
9/1999 11. Peraturan KBPN RI
No. 3/2006 12. Peraturan KBPN RI
No. 4/2006 13. Peraturan KBPN RI
No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon
dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Surat pernyataan pemohon mengenai
jumlah bidang dan status tanah-tanah yang telah dimiliki
6. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
7. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
tentang jenis
dan tarif atas
jenis
penerimaan
negara bukan
pajak yang
berlaku pada
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
• 38 (tiga puluh delapan) hari untuk:
- Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha
- Tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha)
• 57 (lima puluh tujuh) hari untuk:
- Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha
- Tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2 s.d. 150.000 m2
• 97 (sembilan puluh tujuh) hari tanah non pertanian untuk luasan lebih dari 150.000 m2
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
Catatan:
Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
- 16 -
2) Hak Pakai Perorangan WNA
DASAR HUKUM PERSYARATAN BIAYA WAKTU KETERANGAN
1. UU No. 5/1960 2. UU No.16/1985 3. UU No. 21/1997 jo.
UU No. 20/2000 4. PP No. 48/1994 jo.
PP No. 79/1996 5. PP No. 40/1996 6. PP No. 41/1996 7. PP No. 24/1997 8. PP No. 13/2010 9. PMNA/KBPN No.
7/1996 10. PMNA/KBPN No.
3/1997 11. PMNA/KBPN No.
3/1999 12. PMNA/KBPN No.
9/1999 13. Peraturan KBPN RI
No. 3/2006 14. Peraturan KBPN RI
No. 4/2006 15. Peraturan KBPN RI
No. 7/2007
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
2. Fotocopy identitas pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, Surat Ijin Tinggal Tetap/Kartu Ijin Menetap (KIM) yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
3. Surat Kuasa apabila dikuasakan 4. Bukti perolehan tanah/Alas Hak 5. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan
yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak)
6. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Sesuai
ketentuan
Peraturan
Pemerintah
tentang jenis
dan tarif atas
jenis
penerimaan
negara bukan
pajak yang
berlaku pada
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
• 38 (tiga puluh delapan) hari untuk luasan tidak lebih dari 2.000 m2
• 57 (lima puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 2.000 m2 sampai dengan 150.000 m2
• 97 (sembilan puluh tujuh) hari untuk luasan lebih dari 150.000 m2
Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan
penggunaan tanah yang dimohon
3. Pernyataan tanah tidak sengketa
4. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik
Catatan:
1. Hak Pakai ini khusus diberikan untuk rumah tinggal/hunian
2. Jangka waktu tidak termasuk waktu yang diperlukan untuk pengiriman berkas/dokumen dari Kantah ke Kanwil dan BPN RI maupun sebaliknya
HASIL WAWANCARA
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Lengkap : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM
NIP : 195505051982031012
Selaku : Ahli Hk. Keluarga/Guru Besar Fak. Syariah dan Hukum
Hari/Tanggal : Rabu, 02 Juli 2014
Tempat : Ruang Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
Pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum perkawinan di
Indonesia?
Pada dasarnya, seorang calon suami dan calon isteri memiliki harta
kekayaannya masing-masing. Bagi calon suami ketika sebelum terjadi
perkawinan memiliki harta kekayaan, baik itu pemberian orang lain ataupun atas
usahanya sendiri disebut dengan ‘harta gono’. dan bagi calon isteri apabila
sebelum terjadi perkawinan memiliki harta kekayaan, baik itu pemberian orang
lain ataupun atas hasil usahanya sendiri disebut dengan ‘harta gini’.
Sedangkan, harta kekayaan yang dihasilkan setelah terjadinya perkawinan
disebut dengan ‘harta gono-gini’ atau ‘harta bersama’, yaitu harta yang diperoleh
atas usaha bersama oleh suami isteri terhitung sejak dilangsungkannya
perkawinan. Itulah yang dimaksud dengan harta bersama dalam hukum
perkawinan di Indonesia atau bisa disebut juga dengan ‘harta serikat’.
2. Menurut Bapak, apa saja yang termasuk ke dalam harta bersama?
Harta bersama yakni bisa dalam bentuk benda bergerak, benda tidak
bergerak, dan benda yang bisa ditaksir dengan nilai mata uang. Hal tersebut sudah
bisa dikatakan termasuk dalam kategori harta bersama. Jadi, harta bersama bisa
dalam bentuk benda bergerak dan benda tidak bergerak.
3. Menurut Bapak, bagaimana kepemilikan atas harta bersama tersebut?
Kepemilikan atas harta bersama adalah kepemilikan bersama suami isteri
dan segala perbuatan hukum terkait harta bersama harus atas persetujuan kedua
belah pihak (suami isteri). Lain halnya dengan harta pribadi suami isteri, dimana
dalam melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi tersebut tidak memerlukan
persetujuan suami atau isterinya.
4. Menurut Bapak, apakah dengan terjadinya harta bersama dalam perkawinan
campuran mengakibatkan WNI tidak berhak atas kepemilikan tanah dikarenakan
kepemilikan atas tanah tersebut nantinya akan turut juga dimiliki oleh pasangan
WNA nya?
Kepemilikan atas tanah bagi WNI dalam perkawinan campuran sangat
bergantung dengan peraturan pertanahan di Indonesia. Dikarenakan perkawinan
campuran merupakan perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA di
daerah hukum Indoesia, otomatis hukum yang berlaku bagi pasangan perkawinan
campuran adalah hukum yang berlaku di Indonesia.
Jadi, seharusnya tidak dipermasalahkan ketika terjadi kepemilikan tanah
dengan status hak milik dalam harta bersama (percampuran harta) akibat
perkawinan campuran. Hal tersebut bisa diatasi, selama kedua belah pihak ada
itikad baik dalam menyelesaikan hal tersebut.
Yang terjadi di lapangan, memang kepemilikan atas tanah dengan status
hak milik dalam perkawinan campuran menjadi dipermasalahkan ketika tidak ada
perjanjian perkawinan. WNI yang melakukan perkawinan campuran tanpa
perjanjian perkawinan hak atas tanahnya dipersamakan dengan pasangan WNA-
nya, yakni hanya sebatas hak pakai. Padahal, faktanya pasangan perkawinan
campuran yang tidak memiliki perjanjian perkawinan, biasanya dikarenakan
ketidaktahuan mereka dan/ atau kurangnya sosialisasi pemerintah tentang adanya
undang-undang perkawinan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan – yang
mana ketiadaan perjajian tersebut dapat menghilangkan hak-hak WNI dalam
perkawinan campuran tersebut, yang seharusnya tidak terjadi demikian.
Memang ada kesulitan dalam memahami Pasal 21 ayat (3) Undang-
undang No. 5 Tahun 1960. Jalan keluarnya, diharapkan ke depannya masyarakat
kita diberikan pengarahan (sosialisasi) atas undang-undang yang sedang berlaku
di Indonesia sehingga sebagai warga negara Indonesia tidak lagi terlanggar hak-
haknya dan masyarakat kita lebih cerdas lagi tentang hukum.
Jadi, walaupun terjadi kepemilikan bersama atas tanah dengan status hak
milik dalam perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan, seharusnya bisa
dipisahkan status hak atas tanahnya. Selama seorang istri atau suami masih
berstatus warga negara Indonesia, tetap berhak atas hak milik. Sedangkan
pasangan warga negara asingnya hanya berhak atas status hak pakai. Namun, jika
terjadi persengketaan di kemudian hari, tanah dengan hak milik dalam
kepemilikan bersama tersebut dibagi sama rata kepada suami dan isteri tidak
dibedakan jumlah untuk salah satu dari pada keduanya.
HASIL WAWANCARA
KEPEMILIKAN TANAH WNI DALAM HARTA BERSAMA AKIBAT
PERKAWINAN CAMPURAN
Nama Lengkap : Muhammad Fuad
Selaku/Jabatan : Suami WNI/Dosen Satra Inggris Fak. Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Indonesia (UI)
Hari/Tanggal : Jum’at, 06 Juni 2014
Tempat : Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI)
Peranyaan :
1. Kepemilikan tanah dan rumah
Kendala apa saja yang Bapak hadapi sebagai suami WNI terkait kepemilikan
tanah dan rumah dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?
Tidak ada kendala yang saya hadapi sampai saat ini, karena pada dasarnya
kepemilikan itu berada di tangan suami. Kepemilikan tanah atas nama suami WNI
dalam harta bersama akibat perkawinan campuran tetap terjadi. Hal tersebut
dikarenakan hukum di Indonesia menyatakan, bahwa perempuan yang telah
kawin pada umumnya tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi
harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk dalam golongan orang yang oleh
hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, hal tersebut
tidak berlaku sebaliknya terhadap suami. Suami diperbolehkan bertindak sendiri
dalam hukum tanpa harus dibantu oleh isterinya.
Dalam harta bersama akibat perkawinan campuran, status kepemilikan
atas tanah dalam perkawinan tersebut semua atas nama suami WNI. Suami WNI
dalam perkawinan campuran tersebut tidak mengetahui adanya aturan yang
mengatur tentang kepemillikan dalam percampuran harta akibat perkawinan
campuran.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perempuan/isteri WNI
turut terkena imbas aturan tersebut di atas. Lain halnya dengan laki-laki/suami
WNI, mereka tidak turut terkena imbas aturan tersebut. Yang mana berdasarkan
aturan di atas tidak hanya WNA saja yang harus melepaskan hak miliknya dalam
percampuran harta akibat perkawinan campuran. Akan tetapi, pasangan WNI-nya
(isteri/suami) juga harus melepaskan hak miliknya.
Tanpa adanya perjanjian perkawinan (terjadi percampuran harta) ternyata,
jika itu suami WNI walaupun dalam perkawinan campuran tetap bisa memiliki
rumah di Indonesia dengan sertifikat hak milik. Ketika melakukan pembelian
rumah tidak dipertanyakan warga negara pasangannya, apakah warga negara
Indonesia atau asing. Dikarenakan yang melakukan transaksi tersebut adalah
suami WNI, yang mana kedudukan laki-laki atau suami itu kuat berdasarkan
hukum Indonesia yang bersifat patriarkat. Namun, saya belum mengetahui
bagaimana nantinya ketika melakukan penjualan atas tanah dan rumah yang saya
miliki dalam perkawinan saya, apakah saya turut terkena imbas/tidak dari aturan
tersebut di atas.
2. Kendala dalam kepemilikan Kendaraan
Kendala apa saja yang Bapak hadapi sebagai suami WNI terkait kepemilikan
kendaraan dalam harta bersama akibat perkawinan campuran?
Begitu pula terkait kepemilikan kendaraan, sampai saat ini belum ada
kendala yang saya alami ketika ingin melakukan pembelian kendaraan setelah
saya melakukan perkawinan campuran dengan isteri saya yang
berkewarganegaraan asing.
“Terkait kepemilikan kendaraan di Indonesia, tidak dipermasalahkan
status kepemilikannya, baik itu dimiliki oleh saya (sebagai suami) yang
berkewarganegaraan Indonesia ataupun oleh isteri yang seorang warga Negara
asing”.