kemiskinan-perkotaan

13
1 KONSTRUKSI AKAR PERMASALAHAN DAN SOLUSI STRATEGIS KEMISKINAN DI PERKOTAAN Oleh Prof. Dr. Imam Santosa Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi SOSIOLOGI - FISIP UNIVERSITAS SEBELAS MARET http://sosiologi.fisip.uns.ac.id

Upload: sukardi-ardi

Post on 17-Sep-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kemiskinan3

TRANSCRIPT

  • 1

    KONSTRUKSI AKAR PERMASALAHAN DAN SOLUSI STRATEGIS KEMISKINAN DI PERKOTAAN

    Oleh Prof. Dr. Imam Santosa

    Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi

    SOSIOLOGI - FISIP UNIVERSITAS SEBELAS MARET http://sosiologi.fisip.uns.ac.id

  • 2

    Latar Belakang

    Globalisasi dunia di bidang ekonomi dan budaya telah menyebabkan berbagai krisis

    yang menggoncang hakekat kemanusiaan, yakni: peningkatan ketimpangan sosial dan

    kemiskinan, deteorisasi ekologi serta perebakan ketegangan sosial. Terlebih dari pada itu,

    globalisasi juga ikut mencerabut akar kemandirian komunitas lokal. Rentetan dampak

    lanjutan lain dalam proses itu juga menyebabkan kerentanan ekonomi lokal hingga tidak

    berdaya menghadapi ragam bentuk perubahan. Adapun dampak berikutnya yang lebih

    mencemaskan lagi terkait dengan persoalan kemandirian masyarakat desa dan kota yang

    kian melemah. Ketergantungan mereka terhadap produk dan jasa dari luar sistem kian

    tinggi tanpa terkendali. Tak jarang, akhirnya sampai menimbulkan pola hidup konsumtif,

    hedonis dan mudah terpengaruh oleh tekanan penetrasi pasar global dan pada gilirannya

    mengikis akar-akar kemandirian masyarakat.

    Sebenarnya pembagian dikotomi desa-kota dalam konteks penanggulangan

    kemiskinan belum dapat dikatakan tepat. Hal ini dapat disimak dalam penjelasan

    Schumacher (1999) yang menjelaskan terjadinya proses saling meracuni (mutual poisoning

    process) antara desa dan kota. Kota meracuni desa dengan ragam produk industry.

    Sementara, daya beli masyarakat desa rendah. Keputusan mereka tetap mengkonsumsi

    aneka produk industri mengakibatkan belitan kemiskinan di desa semakin menguat.

    Sebaliknya, desa meracuni kota dengan gerak arus urbanisasi kaum pengangguran yang

    sulit dibendung, Over urbanisasi terjadi tanpa terkendali terutama di negara-negara

    dengan ketimpangan pertumbuhan antar wilayah yang cukup tinggi.

    Beberapa ciri pembeda wilayah desa kota memang secara faktual dapat dilihat

    secara kasat mata yang menunjukkan bias pembangunan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan

    lingkungan. Berpijak pada ciri desa-kota tersebut kota lebih memberikan kesan yang lebih

    maju dari pada desa. Kehidupan di perkotaan seolah-olah memberikan suasana

    menjanjikan bagi setiap urban yang silau dengan corak kehidupan glamour, penuh

    kemewahan, fasilitas sosial dan fasilitas umum memadai, berbagai gedung menjulang

    tinggi dan masyarakat bergaya hidup modern. Semua sisi kehidupan kota seolah memberi

    kesan kemakmuran hidup. Padahal di balik itu ternyata beberapa studi yang dilakukan

  • 3

    Santoso (1991) dan Evers (1982) menemukan bahwa di sisi lain kehidupan kota yang

    menunjukkan kemajuan terdapat keterbelakangan yang mencerminkan potret

    ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada pemukiman kumuh (slum area).

    Kehidupan masyarakat di perkotaan kelas bawah dengan meminjam terminologi

    Hans Dieter Evers (1982) sebagai massa apung kota mencerminkan realitas sebuah

    kehidupan yang serba terbatas. Massa apung kota yang lebih dikenal dengan istilah warga

    miskin atau wong mlarat merupakan refleksi dari keberadaan kaum tak beruntung

    umpama: tunakisma, tunakarya, gelandangan, pengemis, buruh kasar dan anak jalanan.

    Mereka cenderung tinggal tak menentu di sembarang tempat seperti belakang gedung

    bertingkat, kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, tepi bantaran sungai, kios kosong di

    sudut pasar, trotoar pertokoan, pekuburan umum yang kontras berbeda dengan kondisi

    kehidupan gemerlap di permukaan kota. Adams (1964) menjelaskan kaum miskin di

    perkotaan biasanya hidup bergerombol dalam suatu kawasan yang sisebut kampung

    jembel. Sebagian massa apung kota di kampung jembel mendirikan rumah kardus, gubuk

    dan pondok reyot untuk difungsikan sebagai rumah tinggal.

    Kehadiran rumah kardus, gubuk dan pondok reyot hanyalah satu dari sekian ciri

    untuk menggambarkan potret kemiskinan di perkotaan. Gambaran ciri lain yang lebih

    menyedihkan dari kaum miskin kota seringkali kita lihat dari fakta: tingkat ekonomi

    rendah, tingkat pendidikan rendah, akses terhadap fasilitas kesehatan lemah, kesulitan

    memenuhi kebutuhan pokok, selalu terlilit hutang, pekerjaan tak tetap, lokasi pekerjaan

    berpindah-pindah dan sering diuber aparat. Tak jarang, warga miskin di perkotaan terlibat

    tindakan kriminal yang meresahkan kehidupan sosial. Potret lain dari kemiskinan kota

    yang mengharukan terekam dari kisah tragis Supriyono yang tidak kuat membayar

    pengobatan dan pemakaman anaknya Khairunisa sehingga terpaksa membawanya pulang

    ke kampung halaman dengan menaruh jenazah dalam gerobak. Kisah Supriyono adalah

    sebuah illustrasi kecil dari setumpukan masalah kemiskinan di perkotaan yang

    berlangsung ibarat gunung es (Error! Hyperlink reference not valid.). Masih banyak

    kemalangan lain yang kerap menimpa kaum tak beruntung dari segi ekonomi ini.

    Menyadari komplesitas persoalan kemiskinan di perkotaan mendorong pemerintah

    Indonesia melakukan beragam upaya untuk meredusir dampak yang dimunculkan. Meski

  • 4

    laporan mengenai penurunan jumlah penduduk miskin dalam lingkup nasional

    menggembirakan yakni pada kurun waktu Tahun 1999-2002 diinformasikan jumlah

    penduduk miskin berkurang 9,57 juta jiwa atau dari 47,97 juta orang menjadi 38,4 juta

    jiwa. Demikian pada Tahun 2005-2006 menjadi 39,3 juta jiwa dan Tahun 2007 menjadi

    37,17 juta jiwa dari total jumlah penduduk lalu setahun silam menurut versi BPS tinggal

    12, 49 persen atau setara dengan 30,02 juta jiwa namun persoalan kemiskinan tetap urgen

    diperhatikan secar serius. Bertolak dari persoalan kemiskinna di perkotaan memotivasi

    bahasan pada makalah di dipusatkan guna mengkaji tentang konstruksi akar

    permasalahan dan solusi kemiskinan di perkotaan.

    Perumusan Masalah

    (1) Bagaimana konstruksi akar permasalahan yang menyebabkan masyarakat di

    perkotaan rentan terbelit belenggu kemiskinan?

    (2) Solusi apa saja yang strategis dilaksanakan untuk mereduksi ancaman kemiskinan

    pada masyarakat di perkotaan?

    II. TUJUAN

    (1) Mengkaji dan menemukan konstruksi akar permasalahan yang menyebabkan

    masyarakat di perkotaan rentan terbelit belenggu kemiskinan.

    (2) Mengkaji dan menemukan solusi yang strategis dilaksanakan untuk mereduksi

    ancaman kemiskinan pada masyarakat di perkotaan.

  • 5

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Konstruksi Akar Permasalahan Kemiskinan di Perkotaan

    Kemiskinan acapkali divonis sebagai penyakit sosial ekonomi yang perlu dijauhi.

    Ada juga yang menyebutkan kemiskinan sebagai borok pembangunan yang perlu segera

    diobati. Ada pula beberapa pihak yang menyatakan kemiskinan identik dengan nasib atau

    suratan takdir yang ditentukan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Meski demikian, pada

    kesempatan ini perlu disepakati bahwa kemiskinan merupakan realitas sosial yang bisa

    menimpa suatu kelompok masyarakat tertentu karena dilatarbelakangi berbagai akar

    permasalahan. Oleh karena itu, kemiskinan bukanlah sesuatu fakta sosial yang secara

    mendadak muncul begitu saja akibat faktor penyebab tunggal. Belenggu kemiskinan

    bersifat multi dimensional dan cenderung membentuk siklus yang secara

    berkesinambungan dan terus berlanjut sehingga sulit diputus pada fase manapun yang

    dilalui.

    Pemahaman terhadap kemiskinan tidak boleh hanya didasari pada ketiadaan,

    kekurangan dan keterdesakan ekonomi semata. Lebih penting lagi dipahami bahwa

    kemiskinan juga merupakan perwujudan dari realitas kegagalan seseorang atau

    sekelompok orang dalam memenuhi: kebutuhan hidup, hak dasar, keadilan dalam

    perlakukan hukum, kesetaraan gender dan kehidupan yang beradab dan bermartabat.

    Kaum miskin dimanapun berada selalu menduduki posisi yang marginal. Eksistensi diri

    mereka senantiasa terpinggirkan. Aspirasi yang dipunyai kaum miskin tak tersuarakan

    karena keputusan yang diambil lebih baik memilih sikap diam.

    Kemiskinan tidak boleh dibiarkan berlangsung terus karena akan menjadi beban

    yang semakin berat dan berlarut bagi masyarakat. Sebelum memulai pemberdayaan

    masyarakat miskin perlu mengidentifikasi secara cermat akar permasalahan yang

    melatarbelakangi beserta kekuatan pengaruh yang ditimbulkan. Konstruksi hubungan

    antar beragam akar permasalahan juga perlu dipahami secara mendalam guna

    memudahkan perumusan solusi kemiskinan yang strategis direncanakan. Menurut hasil

    penelitian dari Santosa dan Priyono (2009) terungkap bahwa akar permasalahan

    kemiskinan memiliki konstruksi hubungan yang saling bertautan. Suatu ketika, tautan

  • 6

    antar akar permasalahan tersebut terkonstruksi dalam bentuk jaring laba-laba. Bagi

    masyarakat miskin di perkotaan konstruksi akar permasalahan yang dimaksud dapat

    dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Konstruksi Akar Permasalahan Pokok sebagai The Main Causes Kemiskinan di Perkotaan

    Kebijakan Pembangunan di Perkotaan tidak Pro Poor dan

    Pro Poorest

  • 7

    Akar permasalahan pokok (the main causes) yang tertera pada Gambar 1 ada yang

    bersifat internal dan eksternal. Kekuatan pengaruh setiap akar permasalahan pokok

    berbeda dalam menyebabkan tingkat keparahan kemiskinan di perkotaan

    Solusi Strategis Kemiskinan di Perkotaan

    Kendatipun kita secara eksplisit telah mengharamkan economic growth oriented,

    namun dalam banyak hal menunjukkan bahwa pendewaan terhadap pembangunan berupa

    angka-angka ini tetap menjadi target prioritas yang justeru mematikan kreativitas dalam

    membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Pembiaran terhadap kaum miskin untuk

    menghadapi sendiri berbagai persoalan hidup tentulah merupakan bentuk layanan buruk

    sektor perkotaan. Saya yakin banyak diantara kita hafal dan paham berapa sih angka

    pertumbuhan ekonomi yang dari tahun ke tahun menjadi impian para perencana dan

    pelaksana berbagai proyek pembangunan yang bersifat tidak pro poor apalagi pro poorest

    (ul-Haq, 1983). Kita menjadi terbiasa tatkala mendengar kaum miskin di perkotaan

    diklaim sebagai penduduk liar hingga membiarkan mereka terjebak dalam jerat persoalan

    pengangguran. Kita merasa awam mungkin karena kelalaian memikirkan berapa

    kebutuhan air bersih untuk warga miskin, yang terpaksa mereka beli walau harganya

    setara premium. Tidak hanya itu, kealpaan kita juga terkait ketidaktahuan tentang

    kebutuhan kaum miskin di perkotaan untuk memperoleh hunian layak dan fasilitas sanitasi

    yang manusiawi.

    Selanjutnya angka pertumbuhan ekonomi yang ada perlu dikritisi belum mencerminkan

    kondisi riil masyarakat. Ada kawan saya ahli ekonomi, dia dengan bangga menghitung

    bahwa jika Jabodetabek ini menjadi sebuah negara maka GNP mereka menjadi US $ 10000

    lebih atau setara dengan negara maju. Sementara GNP riil kita mengacu pada data World

    Development Indicators database yang dirilis oleh Bank Dunia pada 1 Juli 2009, Malaysia

    berada di urutan ke 79 dengan GNP per kapita sebesar US $ 13.740 per tahun, sedangkan

    Indonesia berada di urutan ke 146 dengan GNP per kapita sebesar US$ 3.830 per tahun. Itu

    setara dengan Rp 38 jutaan per tahun (). Mencermati data di atas tentunya kita janganlah

    melihat angka rata-rata nasional bahwa pendapatan kita rata rata 38/12 atau Rp 2,15 juta.

    Bukan ini yang kita lihat, tetapi bagaimana penyebarannya. Ada sekelompok masyarakat

  • 8

    yang berpenghasilan sangat tinggi dan ada banyak masyarakat yang harus dan terpaksa

    rela dengan penghasilan yang pas-pasan. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi yang

    berkualitas belum tercapai karena belum mencerminkan keadilan ekonomi.

    Wajah rumah kardus , gubuk dan pondok reyot yang menjadi salah korban dari

    kebijakan pertumbuhan ekonomi yang seolah meniadakan pentingnya memprioritakan

    pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Kita melihat bahwa bangsa yang maju sangat

    memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan serta pengembangan

    kualitas sumberdaya manusia. Cina merupakan salah satu negara yang mampu

    memberdayakan ketrampilan teknik dan kejuruan pada sebagian besar anggota

    masyarakat serta didukung oleh negara. Memang pendidikan ini butuh waktu yang relatif

    panjang namun hasilnya sangat efektif. Kebutuhan tenaga kerja kesehatan madya, misalnya,

    dihasilkan dengan cepat untuk mendongkrak derajat kesehatan masyarakat dengan

    barefoot doctor (dokter tanpa ijazah).

    Pencermatan data GNP untuk Qatar dan Kuwait yang dianggap sebagai negara

    kampiun dalam soal GNP (1990). Kuwait dan Qatar dinyatakan sebagai negara tertinggi di

    dunia. Akan tetapi, kita jangan terburu-buru concluded, bahwa Kuwait sebagai kampiun

    mengalami kemajuan dimana seluruh masyarakatnya sejahtera karena setelah dicermati

    dengan ukuran-ukuran keterbelakangan lain yang lebih rinci ternyata negara ini masih

    harus membangun pusat-pusat industrialisasi, menciptakan lapangan kerja, mendidik

    rakyat agar trampil dan supaya distribusi kekayaan tidak hanya terkonsentrasi di tangan

    segelintir elit yang berkuasa. Mereka juga harus melakukan redistribusi pendapatan pada

    rakyatnya secara lebih adil merata. Tentu hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan cepat

    teratasi (walaupun masalahnya tidak sekompleks di Indonesia).

    Persoalan lain yang menyandera kemiskinan kita tetap membandel yaitu berkenaan

    dengan masalah perekonomian nasional yang sudah semakin terbuka dengan adanya AFTA

    dan APEC serta sejenisnya. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi seperti di era

    sebelumnya sulit dipertahankan. Artinya, perekonomian domestik kian rentan, termasuk

    juga sistem perekonomian di perkotaan dan tentu saja mendera masyarakat kota. Salah

    satu faktor utama yang berpengaruh terhadap masalah tersebut yaitu terjadinya

    peningkatan harga-harga berbagai komoditas khususnya di perkotaan hingga tak

  • 9

    terjangkau oleh daya beli masyarakat miskin di perkotaan yang belum jua membaik.

    Masyarakat miskin perkotaan tidak dapat mengakses beberapa hal penting yang sangat

    dibutuhkan oleh mereka, yaitu: kebutuhan gizi ideal, kesehatan ibu dan anak

    balita,pendidikan dasar, aksesibilitas terhadap air bersih dan juga kecukupan kebutuhan

    sanitasi minimum di lingkungan pemukiman kumuh. Kelima kebutuhan dasar ini menjadi

    masalah yang serius bagi masyarakat perkotaan. Sebagai akibat dari tidak tercukupinya

    kebutuhan dasar minimum ini maka menjadikan mereka memperoleh kemajuan dalam

    kerapuhan, keterbelakangan, kerawanan, ketakberdayaan dan kerentanan.

    Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang serba minim tersebut

    Santoso (1991) menemukan bahwa pada kota-kota yang berbasis industri terdapat

    penyebab seseorang menjadi gelandangan (homeless community). Ada dijumpai

    perbedaan yang berarti pada latar belang yang mengakibatkan seseorang masuk kondisi

    miskin di perkotaan antara bercorak industry dengan non industri. Pada kota-kota non

    industri seseorang menjadi gelandangan atau pengemis lebih disebabkan oleh karena

    tekanan ekonomi di pedesaan, sedangkan pada kota industri penyebabnya menjadi lebih

    kompeks, termasuk di dalamnya disintegrasi keluarga (broken home), penggusuran dan

    depresi psikologis. Oleh karenanya, mestinya sistem penanggulangannya tidak dapat

    disamaratakan.

    Pada dasarnya, kepedulian untuk mewujudkan masyarakat kota yang lebih baik dan

    terbebas dari kemiskinan telah berlangsung selama ini melalui berbagai upaya yang dinilai

    strategis baik oleh warga masyarakat sendiri, maupun pemerintah, dan pihak-pihak yang

    lain, seperti: LSM, swasta dan bahkan sebagian pesantren. Upaya yang dilakukan beragam

    dan terus bergulir seperti yang ditawarkan pemerintah antara lain: Kredit Ketahanan

    Pangan (KKP), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin,

    Askeskin, P2KP dan terakhir PNPM mandiri perkotaan dan masih banyak program lain.

    Kesemua program tersebut memang diakui sudah memberikan kontribusi yang tidak kecil

    terhadap tahap awal pemberdayaan masyarakat. Sayang bahwa di balik keberhasilan yang

    dicapai, perlu dicatat dan direnungkan kembali bahwa aneka bentuk program itu belum

    optimal berhasil menyentuh semua kepentingan lapisan masyarakat khususnya kaum

    miskin, yang seyogyanya perlu segera mendapat prioritas. Menurut hemat kami (Suharto,

  • 10

    2006 dan Suharto 2004) serta Santoso (2006) ada beberapa kesalahan paradigmatik

    dalam memandang kemiskinan yakni:

    Pembangunan yang berlangsung sementara ini masih terlalu berorientasi

    ekonomi begitu juga sat memandang persoalan kemiskinan. Pada hal yang

    sebenarnya kemiskinan mestinya dipandang dari aspek multidimensional.

    Pembangunan lebih bernuansa karitatif ketimbang produktivitas. Kita lebih

    banyak memandang kemiskinan dari kemurahatian. Pemerintah yang murah hati

    itu yang mau memberi bantuan secara ekonomi dalam bentuk modal/uang.

    Kondisi ini tidak memunculkan dorongan dari dalam dari pihak si miskin untuk

    bangkit dari keterpurukan. Justeru yang terjadi adalah ketergantungan pada

    pihak lain dan akhirnya sulit diharapkan untuk menjadi produktif dan mandiri.

    Masyarakat miskin belum diposisikan sebagai subyek tetapi justeru sebagai

    obyek.

    Pemerintah masih dominan berperan sebagai penguasa bukan sebagai

    fasilitator. Jangan dilihat apa yang tidak dimiliki orang miskin, tetapi lihatlah apa

    yang dimiliki olehnya jadikanlah potensi personal diri.

    Adapun solusi strategis yang dinilai mampu menyelesaikan paling tidak mereduksi

    kemiskinan di perkotaan beragam. Beberapa diantaranya terinci pada Gambar 2.

  • 11

    Gambar 2. Alternatif Solusi Strategis Kemiskinan di Perkotaan

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kemiskinan masyarakat di perkotaan merupakan realitas sosial yang

    memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak terkait. Konstruksi akar

    permasalahan kemiskinan di perkotaan suatu ketika membentuk jaring laba-laba

    yang sulit diputuskan. Namun bukan berarti tidak ada jalan untuk meretas jalan ke

    arah kehidupan yang lebih baik. Peningkatan faktor-faktor non ekonomi, seperti :

    kesehatan dan sanitasi, pendidikan dasar dan ketrampilan dasar untuk dapat

    survive serta kebutuhan fisik minimum sangat perlu untuk diperhatikan. Penulis

    menekankan pada salah satu hal penting bagi penanganan kaum miskin kota pada

    akses pendidikan agar mereka survive. Pengalaman pejuang kemikinan di Kamboja

  • 12

    mengembangkan pendidikan patut mendapatkan apresiasi. Di tengah suasana pasca

    perang yang tidak kondusif masih selalu ada jalan untuk meretas kemiskinan. Di

    masa yang akan datang, kelihatannya knowledge base for reducing poverty ini masih

    akan terus relevan. Kerjasama yang integratif diperlukan untuk merealisasi solusi

    strategis bagi reduksi persoalan kemiskinan di perkotaan.

  • 13

    Daftar Pustaka

    Santosa, Imam. 1991. Gambaran Kehidupan Gelandangan di Kota Industri dan Kota Non Industri : Studi Kasus di Kota Yogyakarta dan Semarang. The Toyota Foundation dan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta.

    _________ dan Rawuh Edy Priyono. 2009-2011. Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Wisata Melalui Pengembangan Ekowisata Ramah Lingkungan. Hibah Kompetensi-Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. DP2M DIKTI. Jakarta

    Schumacher, E. F.; Small Is Beautiful: Economics As If People Mattered : 25 Years Later...With Commentaries (1999). Hartley & Marks Publishers .

    Evers, Hans-Dieter. 1982. Sosiologi Perkotaan-Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. LP3ES. Jakarta.

    Suharto, Edi. 2004. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.

    ___________. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung.

    Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Kata Penyunting Oleh: Parsudi Suparlan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

    ul Haq, Mahbub. 1983. Tirai Kemiskinan. Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga.

    Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.