kembalinya mahkamah kalkulator - kodeinisiatif.org filepenyelenggara tingkat desa (11 kasus), dan...
TRANSCRIPT
1 | P a g e
LAPORAN HASIL PENELITIAN
KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR
Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil
Pilkada Serentak 2015
KERJASAMA OLEH.
KONSTITUSI DAN DEMOKRASI (KODE) INISIATIF
DAN PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM)
DIDUKUNG OLEH
INTERNATIONAL FOUNDATION FOR ELECTORAL SYSTEM (IFES)
2016
2 | P a g e
RINGKASAN
KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR Evaluasi atas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada Serentak 2015
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota memerintahkan agar perkara perselisihan hasil
pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Akan tetapi aturan ini memberikan pengecualian agar sebelum terbentuknya peradilan
khusus, tetap diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Terkait ini, undang-undang mengatur beberapa hal baru khususnya soal kedudukan hukum pemohon yakni syarat selisih suara tertentu untuk bisa mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Melaksanakan kewenangan itu, dalam Pilkada serentak 2015 MK
menerima permohonan sejumlah 147 daerah dari 264 daerah yang
menyelenggarakan pilkada. Daerah bersengketa itu terdiri dari 6 daerah provinsi, 115 daerah kabupaten, dan 11 daerah kota. Namun dalam
perjalanan, 5 daerah mencabut permohonannya. Berdasarkan permohonan tersebut, ada beberapa catatan penting
dalam proses penyelesaian sengketa. Pertama soal selisih pendapat tentang
syarat selisih suara. Undang-undang tidak menjelaskan tatacara menghitung selisih suara. Akibatnya muncul tafsir berbeda antara MK
dengan pemohon. MK menafsirkan cara penghitungan yang justru semakin mempersempit selisih suara sehingga banyak pemohon yang gugatannya gugur.
Kedua soal dalil permohonan yang banyak digunakan oleh pemohon. Dalil permohonan dari 147 kasus terbagi menjadi 7 kelompok yakni
kesalahan penghitungan suara (22 kasus), manupulasi DPT (12 kasus), ketidaknetralan penyelenggara pilkada (63 kasus), penambahan suara (5 kasus, masifnya politik uang (12 kasus) dan politisasi birokrasi (26 kasus).
Ketiga, penyelenggara yang banyak dipersoalkan paling banyak KPU Kabupaten/kota (81 kasus), KPPS (34 kasus), PPK (19 kasus), PPS/
penyelenggara tingkat desa (11 kasus), dan KPU propinsi paling sedikit dari yang lainnya (2 kasus). Namun penting menjadi catatan bahwa tinggi rendahnya angka itu terkait dengan tingkat penyelenggaraan. Mengingat
pilkada paling banyak di kabupaten/kota maka daerah ini yang paling banyak dipersoalkan.
Keempat, waktu pengajuan permohonan berlaku sangat terbatas yakni hanya 3 x 24 jam. Waktu pengajuan permohonan ini dinilai sangat terbatas sehingga mengakibatkan banyak daerah mengalami keterlambatan dalam
pengajuan permohonan. Keterlambatan itu umumnya disebabkan oleh kendala geografis, transportasi hingga masalah teknis diterbitkannya surat
keputusan KPU yang dijadikan objek pengajuan gugatan. Kelima, mekanisme pemeriksaan pendahuluan berjalan tidak
sebagaimana seharusnya. Esensi pemeriksaan pendahuluan ini adalah
untuk memberikan kesempatan bagi majelis hakim memberikan nasihat terhadap permohonan yang diajukan. Akan tetapi, pemohon tidak diberikan
kesempatan untuk memperbaiki permohonan berdasarkan nasihat majelis hakim. Mahkamah justru menjadikannya sebagai forum untuk pemeriksaan syarat selisih suara.
3 | P a g e
Keenam, proses pembuktian baik pemberian keterangan saksi, ahli maupun bukti berupa surat. Mahkamah dalam proses ini justru membatasi
jumlah saksi yakni maksimal 5 orang saksi. Akibatnya, tidak cukup ruang untuk menggali informasi mengingat masing-masing daerah mengajukan
persoalan jauh lebih banyak dari itu. Akibatnya, tidak setiap persoalan bisa dielaborasi secara mendalam. Sebagai proses peradilan yang mencari keadilan materil, sebaiknya tidak ada pembatasan saksi yang diharuskan
kepada pemohon. Selain itu, ditemukan banyak penyelenggara yang justru menjadi saksi para pihak bersengketa.
Berdasarkan beberapa catatan itu, telah menunjukkan bahwa langkah, gaya dan semangat yang diambil MK dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya.
Dimulai soal pandangan terhadap aturan syarat selisih suara yang sebenarnya tidak sinkron dengan beberapa hal. Pertama, jika memang
terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistemtis dan masif, maka pasti akan menghasilkan jumlah selisih suara yang banyak. Sarat selisih suara yang ditentukan undang-undang dengan ketidakjelasan politik hukum yang
ingin dibangun semakin keruh dengan penafsiran MK dalam peraturannya yang membuat syarat selisih semakin kecil. Dengan demikian, ketika MK hanya menerima perkara dengan selisih suara kecil maka disadari atau
tidak, MK sedang mengabaikan pelanggaran besar. Kedua, jika MK memutuskan untuk memerintahkan pemungutan
suara ulang, maka sedikit saja pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan pada pemungutan suara ulang dapat membuat pemohon memenangkan suara. Di sisi lain, bisa saja perolehan suara dari termohon
di beberapa TPS lain yang tidak dilakukan pemungutan suara ulang, juga terdapat kecurangan. Hukum Acara MK tidak dikenal mekanisme gugatan
rekonvensi, maka pihak terkait sulit untuk bisa membuktikan bahwa pemohon juga melakukan kecurangan di beberapa TPS lain. Hal ini paling hanya bisa diungkap dalam jawaban termohon atau pihak terkait.
Ketiga, syarat selisih suara yang diterapkan secara kaku oleh MK ini juga tidak sinkron dengan pertimbangan MK pada putusan-putusan yang
memerintahkan penghitungan suara ulang. MK mengeluarkan putusan tersebut berdasarkan pertimbangan pada pelanggaran di tahap proses. MK mendengarkan posita dan petitum pada pemohon yang notabene bisa saja
sama dengan posita dan petitum dari pemohon lain yang tidak dapat diterima perkaranya karena syarat selisih suara.
Berdasarkan hal itu, maka ada beberapa rekomendasi untuk perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa hasil kedepannya, yakni sebagai berikut:
1. Rekomendasi Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada a. Waktu pendaftaran permohonan
Dengan pertimbangan geografis, transportasi, cuaca, dan faktor
teknis penyiapan permohonan, maka idealnya waku pendaftaran permohonan diperpanjang menjadi 6 x 24 jam.
b. Pemeriksaan pendahuluan Proses ini mesti dikembalikan ke prinsip awal. Pemohon diberikan ruang bagi pemohon untuk mendengar masukan majelis hakim
terkait dengan permohonan yang disampaikannya. Proses ini
4 | P a g e
hendaknya tidak dijadikan ruang untuk menyatakan permohonan diterima atau tidak dapat diterima. Namun, menjadikan forum
untuk memeriksa kelengkapan permohonan, dan memberikan kesempatan bagi pemohon untuk melengkapinya sebelum diperiksa
ditingkat pleno. c. Syarat Selisih Suara
Ada dua alternatif pilihan soal ini yakni, Pertama, syarat selisih
suara dihapuskan sehingga kembali pada mekanisme lama. Kedua, syarat selisih suara ditingkatkan yakni dari 0,5% - 2% ditingkatkan
menjadi 10% suara. Namun, terkait dengan signifikansi suara apakah suatu permohonan layak dilanjutkan atau tidak, mesti dilihat MK dari bukti awal yang diajukan oleh pemohon. Ketentuan
ini tidak diformalkan di dalam regulasi, yang kemudian jadi dasar menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
d. Pembuktian Terkait dengan pembuktian, hukum acara MK mesti dinormakan secara jelas. Salah satu hal yang penting adalah, tidak boleh adanya
pembatasan saksi yang diajukan oleh para pihak. Namun, saksi yang diajukan mesti dilihat porto folio yang berkaitan dengan berpengaruh terhadap substansi perkara.
2. Rekomendasi Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
a. Penyelesaian Perselisihan Tetap di Mahkamah Konstitusi Hendaknya penyelesaian sengketa pilkada tetap menjadi kewenangan MK. Sebab jika melihat proses yang berjalan, MK
merupakan lembaga yang tepat dan memiliki kesiapan lebih dibanding lembaga lain. MK memiliki sistem penyelesaian yang
terbuka. Proses perselisihan hasil pilkada yang membutuhkan suatu proses peradilan yang transparan dan akuntabel, karena merupakan “panggung” untuk memperebutkan jabatan politik daerah, MK telah
memenuhi syarat sebagai peradilan modern yang dapat menyelesaikan kewajiban tersebut. MK memiliki teknis persidangan yang cukup rapi, dan dukungan teknologi dan informasi yang
maksimal untuk mendukung tugas dan wewenangnya. Yang diperlukan MK hanya memperbaiki beberapa persoalan dalam
hukum acara seperti catatan di atas. b. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
Jika merujuk penuh kepada ketentuan di dalam UU No. 8/2015,
maka pembentukan badan khusus penyelesai sengketa pilkada, maka fungsi yang dilakukan oleh MK hari ini, hanya
dipindahletakkan ke lembaga penyelesai sengketa. Kewenangannya hanya akan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada. Namun, jika memang hendak membuat suatu badan khusus peradilan pemilu,
maka penting untuk didiskusikan lebih jauh, bagaimana lembaga ini akan dijalankan. Misalnya, untuk menyelesaikan sengketa pencalonan, penanganan pelanggaran administrasi pemilu, dan
pelanggaran pidana pemilu. Oleh karena itu, kedepan perlu ada kajian lebih mendalam untuk menyiapkan alternatif penyelesaian
sengketanya.
5 | P a g e
A. PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU KEPALA DAERAH DI
INDONESIA
Dalam sistem pemilu yang berkeadilan, mekanisme penyelesaian
sengketa merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pemilu. Setiap warga
negara yang menjadi pemangku kepentingan dalam pemilu (penyelenggara,
bakal calon, calon dan pemilih) memiliki hak untuk menyampaikan
keberatan atau pelanggaran terhadap mekanisme dan hak-hak mereka
dalam pemilu. Hak-hak yang terdapat dalam rangkaian kegiatan pemilu
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian,
menjadi sebuah kewajiban negara untuk menyediakan saluran atau
mekanisme penyampaian dan penyelesaian keberatan tersebut. Negara
berusaha untuk memberikan kepercayaan pada setiap orang yang merasa
terlanggar haknya untuk dapat mengajukan complaint dan memprosesnya
secara hukum.
Keberatan terhadap proses, pelanggaran hak dan/atau perbedaan
pendapat terhadap hasil pemilu ini menjadi materi dari sengketa pemilu.
Sengketa pemilu secara harfiah mengandung pengertian yang luas. Hasil
penelitian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
mendefinisikan sengketa pemilu (electoral dispute) adalah “any complaint,
challenge, claim or contest relating to any stage of electoral process.”1 Kata
“challenge”, dalam konteks “electoral challenge”, diartikan sebagai “a
complaint lodged by an electoral participant or stakeholder who believes that
his or her electoral right have been violated.”2 Selain itu, Srdjan Darmanovic
mengatakan bahwa “Electoral disputes emerge where and when one or more
electoral actors deny validation of the election process, or put under question
election results or their consequences.”3 Dengan demikian, dapat ditarik
pengertian bahwa sengketa pemilu adalah keluhan dan penentangan
terhadap sesuatu yang terjadi pada tahapan proses pemilu, yang
1 Jesús Orozco Henriquez, etc. Electoral Justice : The International IDEA Handbook, (Sweeden: Bulls Graphics,
2010), hlm. 199. 2 Ibid., hlm. 198.
3 Srdjan Darmanovic, “Electoral Disputes – Procedural Aspects”, Paper on Unidem Seminar “Supervising
Electoral Processes”, European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission) In Co-Operation With The Centre For Political And Constitutional Studies (Cepc), Madrid, Spain, 23 – 25 April 2009. www.venice.coe.int/docs/2009/CDL-UD(2009)008-e.pdf
6 | P a g e
dianggap telah mencederai hak, atau mempertanyakan hasil pemilu,
yang dapat diajukan oleh setiap pemangku kepentingan dalam pemilu.
Keluhan dan penentangan terhadap sesuatu yang terjadi pada tahapan
proses pemilu, yang dianggap telah mencederai hak ini dalam praktek tentu
saja banyak macamnya, dapat berupa pelanggaran administrasi, kode etik,
pidana, perselisihan antar calon, perselisihan antara peserta dan
penyelenggara, hingga perselisihan hasil. Lebih dari itu, secara harfiah,
sengketa juga berarti “perselisihan” , dengan demikian segala perselisihan
yang terjadi seharusnya masuk dalam pengertian sengketa.
Namun demikian, dalam peraturan perundangan tentang pemilu di
Indonesia, istilah sengketa masih dipisahkan sesuai jenis pelanggarannya
dan dipisahkan pula proses penyelesaiaanya. Mekanisme atau model
penyelesaian sengketa pemilu yang digunakan oleh suatu negara, turut
menentukan legitimasi dari pemilu itu sendiri, yang pada dasarnya penting
untuk membangun sistem politik yang stabil. Mekanisme penyelesaian
sengketa pemilu diterapkan dengan cara yang berbeda-beda di setiap
negara, demikian pula dengan lembaga yang berwenang melaksanakannya.
Di Indonesia, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diselesaikan oleh
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pelanggaran administrasi
pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum, sengketa pemilu oleh Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), tindak pidana pemilu oleh Pengadilan Negeri ,
sengketa tata usaha negara pemilu oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, dan
terakhir perselisihan hasil pemilu oleh Mahkamah Konstistusi (MK).
Pemilu sendiri di Indonesia juga berkembang jenisnya. Salah satu
bentuk semangat reformasi Indonesia ditunjukan dengan diterapkannya
pemilihan langsung dalam memilih pemimpin secara konsisten, dari tingkat
pusat hingga ke tingkat daerah. Kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 19454, ditafsirkan dalam bentuk pemilihan langsung. Meski masih
dapat diperdebatkan apakah hal ini merupakan bentuk penyelarasan dan
penafsiran yang tepat, namun melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun
4 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 : “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”
7 | P a g e
2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2004) telah dimuat
ketentuan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung.
Ketentuan mengenai Pilkada langsung ini juga diikuti dengan aturan
mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada langsung. Berdasarkan
Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, keberatan berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon,
diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MA tersebut,
dicantumkan juga dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam perkembangannya, pilkada kemudian dimasukan dalam
pengertian “pemilu”. MK dalam Putusan Nomor 72-73/PUU-II/2004
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari
rezim pemilu. Melalui Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum barulah ditentukan;
“Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.” (cetak tebal Penulis)
Dalam Pasal 24C UUD 1945, memutus perselisisihan tentang hasil pemilu
merupakan kewenangan MK. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2008), dalam Pasal
236C menetapkan,
“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”
Pada tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA dan MK menandatangani Berita
Acara Pengalihan Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C
UU Pemda 2008. Setelah masuk ke MK, perkara pilkada disebut sebagai
“pemilukada” dengan kode perkara “PHPU.D”.
8 | P a g e
Hampir lima tahun MK menjalankan kewenangannya untuk
menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada dengan sangat progresif,
hingga pada tahun 2013 MK menerima perkara pengujian UU 12 Tahun
2008 Tentang Pemda terkait kewenangan MK menyelesaikan perselisihan
hasil pemilukada. Melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK
menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah merupakan rezim
pemerintahan daerah yang artinya bukan kewenangan MK untuk
menyelesaikan perkara perselisihan hasilnya.
Selanjutnya di akhir tahun 2014 pemilihan kepala daerah diatur dalam
satu undang-undang tersendiri dengan mekanisme pemilihan tidak
langsung.5 Keganjilan dalam dunia ketatanegaraan kembali terjadi karena
undang-undang usulan Pemerintah yang telah disepakati oleh Pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini hanya berumur satu hari setelah
penetapan, karena langsung dicabut melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu).6 DPR juga langsung menyetujui
Perppu tersebut dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang tersebut juga kemudian direvisi
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
(UU Pilkada 2015).
Dua hal utama yang baru dalam UU Pilkada 2015 ini adalah pertama
pilkada dilakukan secara langsung dan serentak di seluruh Indonesia7,
kedua penyelesaian perselisihan hasil pemilu dilakukan oleh sebuah badan
peradilan khusus.8 Pilkada serentak akan dilakukan secara bertahap,
dalam tujuh tahap. Dimulai dari desember 2015, Februari 2017, Juni 2018,
2020, 2022, 2023 hingga di tahun 2027 direncanakan dapat dilaksanakan
secara keseluruhan. Badan peradilan khusus dibentuk sebelum
5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, mengatur bahwa
kepala daerah dipilih oleh DPRD. 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
7 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
8 Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015.
9 | P a g e
pelaksanaan pilkada serentak nasional. Sebelum badan tersebut terbentuk,
perkara perselisihan hasil pilkada dilakukan oleh MK. Kode perkara pilkada
serentak 2015 di MK menjadi PHP.GUB dan PHP. BUP/PHP.KOT. Berbeda
dengan kode sebelumnya yaitu PHPU.D yang artinya adalah Perselisihan
Hasil Pemilu Daerah, kali ini dengan hanya menggunakan kata “pemilihan
gubernur, bupati atau walikota. Hal ini untuk menegaskan bahwa pilkada
ini bukan merupakan rezim pemilu.
Pilkada serentak tahap pertama telah usai dilaksanakan pada
Desember 2015 lalu. MK juga telah melaksanakan tugasnya untuk
menyelesaikan perselisihan hasil. Berkenaan dengan kewenangan MK pada
Pilkada serentak 2015 ini terdapat beberapa pengaturan baru dalam
hukum acaranya. Dengan demikian menjadi penting untuk ditelaah
bagaimana praktek mekanisme penyelesaian perselisihan hasil, kemudian
menginventaris masalah yang muncul dan mengevaluasinya.
Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian singkat yang dilakukan
pada proses penyelesaian perselisihan hasil pilkada serentak 2015.
Peneliatian dilakukan dengan melalui pengkajian terhadap semua perkara
perselisihan yang masuk ke MK dengan pendekatan deskriptif normatif
yang bertujuan untuk memotret proses penyelesaian perselisihan hasil dan
mengelvaluasinya.
B. HUKUM ACARA PILKADA SERENTAK
Di dalam Pasal 157 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 (Pilkada 2015)
mengatur “ perkara perselisihan hsil pemilihan diperiksa dan diadili oleh
badan peradilan khusus”. Kemudian pada ayat (2) “badan peradilan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan
pemilihan serentak nasional”. Kemudian pada ayat (3) “perkara perselisihan
penetapan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Namun UU Pilkada 2015 belum lengkap dalam menyusun hukum
acara dari badan peradilan tersebut. Hukum acara yang digunakan masih
hukum acara MK dengan beberapa aturan baru. Dalam hal ini MK
membuat beberapa Peraturan Mahkmah Konstitusi (PMK) sebagai tindak
10 | P a g e
lanjut dari UU Pilkada 2015 . Terdapat delapan PMK mengenai hukum
acara pilkada serentak, yaitu ;
1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota;
2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon,
dan Keterangan Pihak Terkait;
4. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan Satu Pasang Calon;
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
6. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun
2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan Satu Pasang
Calon;
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun
2015 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
8. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun
2015 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon,
Jawaban Termohon, dan Keterangan Pihak Terkait.
11 | P a g e
Dari beberapa PMK tersebut, berikut akan dijelaskan aturan dalam hukum
acara perselisihan hasil pilkada serentak yang relative berbeda dengan
hukum acara yang ada sebelumnya.
Pengaturan legal standing pemohon yang ada pada Pasal 6 PMK Nomor
5 Tahun 2015 dianggap paling berbeda apabila dibandingkan dengan
pengaturan legal standing pada pemilukada sebelumnya. Adanya syarat
selisih suara tertentu dengan pihak terkait dianggap cukup signifikan
terhadap permohonan yang akan diterima oleh MK. Syarat selisih suara
dengan pihak terkait adalah sebagai berikut :
1) Provinsi dengan jumlah penduduk < 2.000.000 jiwa, pengajuan
permohonan dilakukan jika terdapat selisih suara sebanyak 2 %
dengan pihak terkait;
2) Provinsi dengan jumlah penduduk antara 2.000.000 < x <
6.000.000 jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat
selisih suara sebanyak 1,5 % dengan pihak terkait;
3) Provinsi dengan jumlah penduduk antara 6.000.000 < x <
12.000.000 jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat
selisih suara sebanyak 1 % dengan pihak terkait;
4) Provinsi dengan jumlah penduduk > 12.000.000 jiwa, pengajuan
permohonan dilakukan jika terdapat selisih suara sebanyak 0,5 %
dengan pihak terkait.
5) Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk < 250.000 jiwa,
pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat selisih suara
sebanyak 2 % dengan pihak terkait;
6) Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250.000 < x < 500.000
jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat selisih suara
sebanyak 1,5 % dengan pihak terkait;
7) Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500.000 < x <
1.000.000 jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat
selisih suara sebanyak 1 % dengan pihak terkait;
8) Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk > 1.000.000 jiwa,
pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat selisih suara
sebanyak 0,5 % dengan pihak terkait.
12 | P a g e
C. POTRET MEKANISME PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL
PILKADA SERENTAK
Pada Pilkada serentak tahap pertama yang dilaksanakan 9 Desember
2015, terdapat 264 daerah yang dijadwalkan untuk menyelenggarakan
pemilihan secara serentak. Dari rencana awal 269 daerah, proses sengketa
pencalonan yang berlarut di lima daerah membuat pada 9 Desember 2015
hanya 264 daerah yang melaksanakan pemilihan secara langsung. 264
daerah tersebut terdiri dari 8 provinsi, 221 kabupaten, dan 35 kota.
Dari 264 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, terdapat
147 permohonan yang terdaftar di Mahkamah Konstitusi. 147 permohonan
tersebut terdiri dari 6 daerah provinsi, 115 daerah kabupaten, dan 11
daerah kota. Berikut adalah diagram sebaran daerah perselisihan hasil
yang masuk ke MK.
Diagram 1.
Sebaran Daerah Permohonan Perselisihan Hasil di MK
6
115
11 0
20
40
60
80
100
120
140
Provinsi Kabupaten Kota
Sebaran Daerah Sengketa
Sebaran DaerahSengketa
13 | P a g e
Secara lebih rinci daftar pemohon perselisihan hasil pilkada dapat dilihat
pada table berikut:
Tabel. 1
Daftar Pemohon Perselisihan Hasil Pilkada
No Nama Daerah Nama Pemohon
1. Kab. Labuhanbatu Selatan
H. Usman-Arwi Winata
2. Kota Medan Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma
3. Kab. Ogan Komering Ulu Hj. Percha Leanpuri-H.M Nasir Agun
4. Kab. Tana Tidung H. Akhmad Bey Yasin-H. Abdul Fatah Zulkarnaen
5. Kab. Konawe Utara H. Aswad Sulaiman P.-H. Abu Haera
6. Kota Gunungsitoli Martinus Lase-Kemurnian Zebua
7. Kota Labuhanbatu H. Tigor Panusunan Siregar-H. Erik
Adtrada Ritonga
8. Kab. Tanah Bumbu H. Abdul Hakim G.-Gusti Chapizi
9. Kab. Serdang Bedagai Syahrianto-M. Rizki R Hasibuan
10. Kota Sibolga Memori Eva Ulina Panggabean-Jansul
Perdana Pasaribu
11. Kab. Lima Puluh Kota H. Asyirwan Yunus-H. Ilson Cong
12. Kab. Bungo H. Sudirman Zaini-H. Andriansyah
13. Kab. Nias Faigi'asa Bawemenewi-Bezatulo Gulo
14. Kab. Organ Ilir H. Helmy Yahya-H. Muchendi Mahzareki
15. Kab. Berau H. Ahmad Rifai-H. Fahmi Rizani
16. Kota Balikpapan Heru Bambang-Sirajudin
17. Kab. Indragiri Hulu H. T. Mukhtaruddin-Hj. Aminah
18. Kab. Kotawaringin Timur Muhammad Rudini-H. Supriadi M.T.
19. Kab. Kotabaru H. M. Iqbal Yudiannoor-H. Sahiduddin
20. Kab. Pelalawan Zukri-Abdul Anas Badrun
21. Kab. Rejang Lebong Fatrolazi-Hj. Nurul Khairiyah
22. Kab. Kuantan Singingi Indra Putra-Komperensi
23. Kota Tangerang Selatan Ikhsan Modjo-Li Claudia Chandra
24. Kota Bandar Lampung Tobroni Harun-Komarunizar
25. Kab. Pesisir Barat Aria Lukita Budiwan-H. Efan Tolan
26. Kab. Toba Samosir Poltak Sitorus-Robinson Tampubolon
27. Kab. Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman-Alfian Aswad
28. Kab. Mahakam Ulu Ruslan-Valentinus Tingang
29. Kab. Gresik Husnul Khuluq-Ach Rubaei
14 | P a g e
30. Kab. Malang Dewanti Rumpoko-Masrifah Hadi
31. Kab. Samosir Raun Sitanggang-Pardamean Gultom
32. Kab. Bengkulu Selatan Reskan Effendi-Rini Susanto
33. Kab. Mamuju Bustamin Bausat-Damris
34. Kab. Ponorogo Sugiri Sancoko-Sukirno
35. Kab. Supiori Yan Imbab-Dwi Saptawati Trikora Dewi
36. Kab. Tanah Datar Edi Arman-Taufik Idris
37. Kab. Boven Digoel Yesaya Merasi-Paulinus Wanggimop
38. Kab. Banggai Laut Sofyan Kaepa-Trin Lulumba
39. Kab. Lebong Kopli Ansori-Erlan Joni
40. Kab. Muko Muko Sapuan-Dedy Kurniawan; Wismen A.
Razak-H. Bambang Afriadi
41. Kab. Pemalang Mukti Agung Wibowo-Afifudin
42. Kab. Wakatobi Haliana-Muhammad Syahwal
43. Kab. Karangasem I Wayan Sudirta-Ni Made Sumiati
44. Kab. Bengkalis Sulaiman Zakaria-Noor Charis Putra
45. Kab. Taliabu Zainal Mus-Abd. Majid
46. Kab. Humbang Hasundutan
Palbet Siboro-Henri Sihombing
47. Kab. Toli-Toli H. Yahya-Zainal M. Daud
48. Kab. Sragen Agus Fatchur Rahman-Djoko Suprapto
49. Kab. Batanghari Sinwan-H. Arzanil
50. Kab. Sumenep H. Zainal Abidin-Hj. Dewi Khalifah
51. Kota Sungai Penuh Herman Muchtar-Nuzran Joher
52. Kab. Pandeglang Aap Aptadi-H. Dodo Djuanda
53. Kab. Merauke Romanus Mbaraka-Sugiyanto
54. Kab. Barru HM. Malkan Amin-A. Salahuddin Rum
55. Kab. Nias Utara Edward Zega-Yostinus Hulu
56. Kab. Rokan Hulu Hafith Syukri-Nasrul Hadi
57. Kab. Karimun H. Raja Usman Aziz-Zulkhainen
58. Kab. Kapuas Hulu Fransiskus Diaan-Andi Aswad
59. Kab. Gorontalo Tonyny S Junus-Sofyan Puhi
60. Kab. Ketapang Andi Djamiruddin-Chanisius Kuan
61. Kota Ternate Sidik Dero Siokona-Djasman Abubakar
62. Kab. Situbondo Abd. Hamid Wahid-Ach. Fadil Muzakki Syah
63. Kab. Buton Utara Muh. Ridwan Zakariah-La Djiru
64. Kab. Banggai Laut Makmun Amir-Batia Sisilia Hadjar
15 | P a g e
65. Kab. Pangkajene
Kepulauan Abd. Rahman Assagaf-Kamrussamad
66. Kab. Nias Selatan Idealisman Dachi-Siotaraizokho Gaho
67. Kab. Gorontalo Rustam Hs. Akili-Anas Jusuf
68. Kab. Humbang Hasundutan
Harry Marbun-Momento Nixon M. Sihombing
69. Kab. Banggai Sofhian Mile-Sukti Djalumang
70. Kab. Kepulauan Meranti Tengku Mustafa-Amyurlis
71. Kab. Jember Sugiarto-M. Dwikoryanto
72. Kab. Kepulauan Sula Safi Pauwah-Faruk Bahanan
73. Kab. Bangka Barat Sukirman-Safri
74. Kab. Siak Suhartono-Syahrul
75. Kab. Manggarai Barat Mateus Hamsi-Paul Serak Baut; Maksimus Gasaa-Abdul Azis; Pantas
Ferdinandus-Yohanes Dionsius Hapan
76. Kota Tangerang Selatan Arsid-Elvier Ariadiannie Soedarto Putri
77. Kab. Musi Rawas Ratna Machmud-Zabur Nawawi
78. Kab. Nabire Zonggonau A-Isak Mandosir
79. Kab. Cianjur Suranto-Aldwin Rahardian
80. Kab. Nabire Yakob Panus Jingga-Melki Sedek Fi
Rumawi
81. Kab. Boven Digoel Yusak Yaluwo-Yakob Waremba
82. Kab. Pekalongan H. Riswadi-Nurbalistik
83. Kab. Solok Selatan Khairunas-Edi Susanto
84. Kab. Poso Frany Daruu-Abd. Gani T. Israil
85. Kab. Indramayu Toto Sucartono-Rasta Wiguna
86. Kab. Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid - Aulia Oktafiandi
87. Kab. Rokan Hilir Herman Sani-Taem
88. Kab. Mamberamo Raya Demianus Kyeuw Kyeuw-Adiryanus Manemi
89. Kab. Nabire Decky Kayame- Adauktus Takerubun
90. Kab. Raja Ampat Ferdinand Dimara-Abusaleh Alqadri
91. Kab. Bulukumba H. Askar HL-H. Nawawi Burhan
92. Kab. Pegunungan
Bintang Selotius Taplo-Rumin Lepitalen
93. Kab. Sigi H. Husen Habibu-Enos Pasaua
94. Kab. Konawe Kepulauan H. Muh. Nur Sinapoy- H. Abd. Salam
95. Kab. Wonosobo Sarif Abdillah-H. Usup Sumanang
96. Kab. Pahuwato Salahudin Pakaya-Burhan Mantulangi
97. Kab. Halmahera Selatan Bahrain Kasuba-Iswan Hasjim
16 | P a g e
98. Kab. Seram Bagian Timur Siti U Suruwaky-Sjaifuddin Goo
99. Prov. Kalimantan Utara H. Jusuf Serang Kasim-Marthin Billa
100. Kab. Yalimo Luter Walilo-Beay Adolf
101. Kab. Tasikmalaya FKMT/mantan PPS
102. Kab. Keerom Yusuf Wally-Sarminanto
103. Kab. Manokwari Selatan David Towan Siba-Ahoren
104. Kab. Humbang
Hasundutan Marganti Manullang-Ramses Purba
105. Kab. Minahasa Selatan Johny R.M. Sumual-Annie S. Langi
106. Kota Tomohon Johny Runtuwene-Vonny Jane Paat
107. Kab. Pemalang Mukhammad Arifin-Romi Indiarto
108. Kab. Minahasa Utara Sompie Singal-Peggy Mekel
109. Kab. Morowali Utara H.Idham Ibrahim-Heymans Larope
110. Kab. Kutai Barat Abed Nego-Syaparudin
111. Kab. Teluk Bintuni Agustinus Manibuy- Rahman Urbun
112. Prov. Bengkulu Sultan B Najamudin-Mujiono
113. Prov. Kepulauan Riau Soerya Repationo-Ansar Ahmad
114. Kab. Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit-Adolfus Gabur
115. Kab. Muna Rusman Emba-H. Abdul Malik Ditu
116. Kab. Halmahera Barat James Uang-Adlan Badi
117. Kab. Melawi H. Firman Muntaco-John Murkanto Ajan
118. Kab. Kepulauan Selayar H. Saiful Arif-H. Muh. Junaedy Faisal
119. Kab. Teluk Bintuni Petrus Kasihi-Matret Kokop
120. Kab. Halmahera Utara Kasman H. Ahmad-Imanuel Lalonto
121. Kab. Maluku Barat Daya Simon Moshe Maahury-Kimdevits Berthi Marcus
122. Kab. Sorong Selatan Dortheis Sesa-Lukman Kasop
123. Kab. Halmahera Barat Syukur Mandar - Benny Andhika Ama
124. Kab. Waropen Yesaya Buinei-Ever Mudumi
125. Kab. Gowa Andi Maddusila Andi Idjo-Wahyu
Permana Kaharuddin
126. Kab. Asmat Silvester Siforo - Yulius Patandianan
127. Kab. Kaimana Freddy Thie - Mohamad Lakotany
128. Kab. Tapanuli Selatan H. Muhammad Yusuf Siregar - H.
Rusydi Nasution
129. Prov. Sumatera Barat Muslim Kasim-Fauzi Bahar
130. Kab. Waropen Penehas Hugo Tebay - Jance Wutoi
17 | P a g e
131. Kab. Waropen Ollen Ostal Daimboa - Zeth Tanati
132. Prov. Sulawesi Tengah H. Rusdy Mastura-H. Ihwan Datu Adam
133. Prov. Sulawesi Utara Benny Jozua Mamoto-David Bobihoe Akib
134. Kab. Sumba Timur Matius Kitu-Abraham Litinau
135. Kab. Yahukimo David Silak-Septinus Pahabo
136. Kab. Pasaman Benny Utama-Daniel
137. Kab. Buru Selatan Rivai Fatsey-Anthonius Lesnussa
138. Kab. Mamuju Utara H. Abdullah Rasyid-H. Marigun Rasyid
139. Kab. Maluku Barat Daya Nikolas Johan KiliKily-Johannis Hendrik Frans
140. Kab. Kepulauan Aru Obed Barends-Eliza Lasarus Darakay
141. Kab. Kaimana Hasan Achmad-Amos Oruw
142. Kab. Solok H. Desra Ediwan Anantanur-Bachtul
143. Kab. Sekadau Simson-Paulus Subarno
144. Kab. Bone Bolango H. Ismet Mile-H. Ishak Liputo
145. Kab. Dompu H. Abubakar Ahmad-Kisman
146. Kab. Manokwari Bernard Sefnat Bonestar-Andarias Wam
147. Kota Tidore Kepulauan H. Muhammad Hasan Bay
Dari 147 perkara yang masuk, terdapat 5 daerah yang permohonannya
dicabut kembali oleh para pemohon. Kelima daerah tersebut adalah:
1. Kabupaten Bulukumba
2. Kabupaten Kota Baru
3. Kabupaten Pesisir Barat
4. Kabupaten Boven Digoel
5. Kabupaten Toba Samosir.
Sub bab selanjutnya akan mendeskrisipkan jalannya proses
penyelesaian perselisihan hasil pilkada.
a. Selisih Pendapat tentang Syarat Selisih Suara
Syarat selisih suara yang menjadi aturan baru dalam hukum acara
Pilkada Serentak untuk menentukan legal standing pemohon, menjadi
pintu persoalan pertama menuju persoalan lainnya. UU Pilkada 2015 Pasal
158 hanya menyebutkan syarat selisih suara untuk dapat menjadi
pemohon sesuai dengan jumlah penduduk. Tidak terdapat penjelasan lebih
18 | P a g e
lanjut tentang cara menghitung selisih suara tersebut. Berkenaan dengan
hal ini, MK menafsirkan sendiri cara perhitungannya dan menetapkannya
dalam PMK. MK menambahkan satu ayat pada Pasal 6 PMK Nomor 5
Tahun 2015.
Pasal 6 ayat (3) PMK Nomor 5 Tahun 2015 berbunyi “Persentase
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung dari suara
terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh
termohon”. Berikut adalah contoh simulasi cara perhitungan versi MK :9
2. Jumlah penduduk Provinsi “X” ( ∑P ) = 24.314 jiwa.
3. Jumlah perbedaan perolehan suara paling banyak ( ∑S ) = 2 %.
4. Perolehan suara pemohon = 5.966 suara. Perolehan suara pihak
terkait = 6.227 suara
5. Batas maksimal perbedaan suara ∑S = 2 % x 6.227 suara = 125
suara.
6. Selisih suara pemohon dan pihak terkait = 6.227 - 5.966 = 261
suara
7. Selisih suara pemohon lebih besar dari batas maksimalnya (261
suara > 125 suara), maka Kabupaten Mahakam Ulu tidak memenuhi
syarat untuk berperkara di MK.
Apabila perhitungan dilakukan sederhana sesuai dangan Pasal 158 UU
Pilkada 2015 maka berikut adalah simulasi cara perhitungannya :
1. Jumlah penduduk Provinsi “X” ( ∑P ) = 24.314 jiwa.
2. Jumlah perbedaan perolehan suara paling banyak ( ∑S ) = 2 %.
3. Perolehan suara :
Pemohon = 5.966 suara
Pihak terkait = 6.227 suara
Calon lain = 3.904 suara +
Total perolehan suara = 16.092 suara
4. Persentase perolehan suara pihak terkait :
Perolehan suara pihak terkait x 100% = 6.227 x 100% =
38,69 % Total Perolehan suara 16.092
9 Simulasi perhitungan pada Kabupaten Mahakam Ulu
19 | P a g e
5. Persentasi perolehan suara pemohon Perolehan suara pemohon x 100% = 5.966 x 100% = 37,07
% Total Perolehan suara 16.092
6. Selisih Perolehan suara :
38,68 % - 37,07 % = 1,62 % (lebih kecil dari 2% )
7. Dengan demikian seharusnya Kabupaten Mahakam Ulu dapat
berperkara di MK.
Cara penghitungan yang ditafsirkan oleh MK membuat syarat selisih
suara menjadi lebih kecil lagi. Banyak daerah yang menghitung selisih hasil
suaranya secara sederhana dengan hanya membandingkan persentase
kekalahan mereka dengan persentase suara dari pemenang. Dengan
demikian hal ini berujung pada banyaknya permohonan yang tidak diterima
oleh MK.
Jika mengikuti cara perhitungan UU Pilkada 2015, dari 147
permohonan, maka setidaknya terdapat 23 permohonan dapat memenuhi
syarat selisih suara untuk bisa diperiksa pada tingkat
persidangan/pembuktian. Daerah-daerah tersebut antara lain:
Tabel 2.
23 Daerah Seharusnya Memenuhi Syarat Selisih Suara
No. Daerah Pemohon Selisih
Suara
Jumlah
Penduduk Status
1 Kab.
Pelalawan
Zukri-Abdul
Anas Badrun 1.14 % 359,792 Memenuhi
2 Kab.
Kuantan Singingi
Indra Putra-Komperensi 0.21 % 357,381 Memenuhi
3 Kab. Pesisir Barat
Aria Lukita Budiwan-H. Efan Tolan 1. 34 % 472.443 * Memenuhi
4 Kab. Mahakam
Ulu
Ruslan-Valentinus
Tingang 1.62 % 172.235 * Memenuhi
5 Kab.
Banggai Laut
Sofyan Kaepa-Trin Lulumba 1.95 % 183.883 * Memenuhi
6 Kab. Wakatobi
Haliana-Muhammad Syahwal 1.38 % 111,263 Memenuhi
7 Kab. Batanghari
Sinwan-H. Arzanil 1.33 % 306,326 Memenuhi
8 Kab. Barru HM. Malkan 0.81 % 169,172 Memenuhi
20 | P a g e
Amin-A.
Salahuddin Rum
9 Kab.
Rokan Hulu
Hafith Syukri-Nasrul Hadi 0.58 % 610,110 Memenuhi
10 Kab. Kapuas
Hulu
Fransiskus Diaan-Andi
Aswad 1.46 % 242,795 Memenuhi
11 Kab.
Gorontalo
Tonyny S Junus-Sofyan
Puhi 0.8 % 388,363 Memenuhi
12
Kab. Buton Utara
Muh. Ridwan
Zakariah-La Djiru 1.97% 61,454 Memenuhi
13 Kab.
Gorontalo
Rustam Hs. Akili-Anas
Jusuf 0.66 % 388,363 Memenuhi
14 Kab. Kepulauan
Sula
Safi Pauwah-Faruk
Bahanan 0.35 % 189,381 Memenuhi
15 Kab.
Bangka Barat
Sukirman-Safri 0.30 % 197,105 Memenuhi
16 Kab. Pekalongan
H. Riswadi-Nurbalistik 0.60 % 886,478 Memenuhi
17 Kab. Solok Selatan
Khairunas-Edi Susanto 0.66 % 193,298 Memenuhi
18
Kab.
Manggarai
Herybertus Geradus Laju Nabit-Adolfus
Gabur 1.28 % 314,224 Memenuhi
19
Kab. Muna
Rusman
Emba-H. Abdul Malik Ditu 0.03 % 321,595 Memenuhi
20 Kab. Halmahera
Barat
James Uang-
Adlan Badi 0.85 % 120,376 Memenuhi
21 Kab. Teluk
Bintuni
Petrus Kasihi-
Matret Kokop 0.54 % 64,493 Memenuhi
22
Kab. Maluku Barat Daya
Simon Moshe
Maahury-Kimdevits Berthi Marcus 1.38 % 78,205 Memenuhi
23 Kab. Pasaman
Benny Utama-Daniel 0.98 % 327,208 Memenuhi
21 | P a g e
Syarat selisih suara ini pada hakikatnya merupakan syarat
administratif formil yang seharusnya diperiksa dan diputuskan pada tahap
pemeriksaan berkas oleh panitera. Namun demikian entah karena terdapat
selisih pendapat mengenai cara perhitungan atau karena pertimbangan
lain, MK memeriksa syarat perhitungan suara ini pada tahapan
pemeriksaan pendahuluan. Hal ini awalnya cukup memberi harapan bagi
para pemohon karena sesuai hukum acara MK bahwa pada tahap
pemeriksaan pendahuluan ini hakim dapat memberikan nasihat untuk
perbaikan permohonan. Para pemohon berharap mendapat nasihat tersebut
dan dapat memperbaiki permohonan. Namun yang terjadi pada proses
pemeriksaan pendahuluan ini, hanyalah penerapan perhitungan versi MK
dan langsung mengeluarkan putusan diterima atau tidak dapat diterima.
Rumusan yang dipakai MK dalam menghitung syarat selisih suara
benar-benar membuat banyak daerah yang seharusnya memenuhi syarat
selisih suara menjadi tidak memenuhi. Pasca pemeriksaan pendahuluan,
hanya ada 7 daerah yang memenuhi syarat selisih suara, dan dilanjutkan
proses persidangannya ke tingkat pembuktian. Tujuh daerah tersebut
adalah:
1. Kabupaten Kuantan Singingi
2. Kabupaten Muna
3. Kabupaten Kepulauan Sula
4. Kabupaten Solok Selatan
5. Kabupaten Membaramo Raya
6. Kabupaten Teluk Bintuni
7. Kabupaten Halmahera Selatan.
b. Ragam Dalil Permohonan
Hukum Acara MK telah mengatur apa yang seharusnya menjadi dalil
permohonan, namun dalam praktek, para pemohon tidak mengikuti aturan
tersebut. Para pemohon merasa berhak mengadukan semua fakta yang
terjadi dan memohon apapun yang meraka inginkan. Seperti yang terjadi di
pilkada-pilkada sebelumnya bahwa pelanggaran yang terjadi pada tahap
proses begitu beragam dan mekanisme yang ada tidak optimal dalam
menyelesaikannya. Dengan demikian, ketika MK hanya berwenang
menyelesaikan hasil yang bersifat angka, maka hasil tersebut tidak pernah
22 | P a g e
akan bisa dipersoalkan sendiri. Pelanggaran yang begitu beragam akan
bermuara pada hasil dan MK- lah yang menjadi muara untuk
penyelesaiannya.
Pada Pilkada 2015, hal ini juga menjadi catatan penting. Pelanggaran
yang beragam menghasilkan dalil permohonan yang beragam pula. Bagian
ini akan memotret ragam dalil permohonan yang disampaikan oleh para
pemohon dalam 147 perkara yang disampaikan. Setelah menelusuri setiap
dalil permohonan dari setiap perkara, akan dilihat dalil utama pemohon
dalam mengajukan permohonan. Dalil utama ini juga dikategorikan sebagai
dalil yang paling sering disebut oleh pemohon di dalam permohonannya.
Dari 147 permohonan, dalil yang disampaikan oleh para pemohon
terbagi ke dalam 7 kelompok. Pertama, dalil yang menyebutkan mengenai
kesalahan penghitungan suara, jumlahnya 22 permohonan. Kedua, dalil
terkait dengan adanya manipulasi daftar pemilih (DPT) berjumlah 12
permohonan. Ketiga, dalil yang paling banyak disebutkan permohon yang
menyebutkan ketidaknetralan penyelenggara pilkada jumlahnya 63
permohonan. Keempat, dalil yang terkait dengan penambahan suara
sebanyak 5 permohonan. Kelima, dalil pengurangan suara sebanyak 6
permohonan. Keenam, pemohonan yang mendalilkan terjadinya praktik
politik uang yang massif berjumlah 12 permohonan. Terakhir, ketujuh
terkait dengan politisasi birokrasi berjumlah 26 permohonan. Berikut
adalah diagram ragam dalil permohonan tersebut.
23 | P a g e
Diagram 2.
Dalil Permohonan Utama dari 147 Permohonan
Selain diagram diatas, tabel dibawah ini akan menjelaskan lebih rinci,
daerah-daerah yang mendalilkan hal tersebut.
Tabel 3.
Dalil Permohonan Kesalahan Penghitungan Suara
No. Daerah Pemohon
1 Tana Tidung H. Akhmad Bey Yasin-H. Abdul Fatah Zulkarnaen
2 Labuhan Batu H. Tigor Panusunan Siregar-H. Erik Adtrada Ritonga
3 Kotabaru H. M. Iqbal Yudiannoor-H. Sahiduddin
4 Toba Samosir Poltak Sitorus-Robinson Tampubolon
5 Lebong Kopli Ansori-Erlan Joni
6 Wakatobi Haliana-Muhammad Syahwal
7 Sumenep H. Zainal Abidin-Hj. Dewi Khalifah
8 Bangka Barat Sukirman-Safri
9 Pekalongan H. Riswadi-Nurbalistik
10 Tana Tidung Khairunas-Edi Susanto
11 Nabire Decky Kayame- Adauktus Takerubun
12 Keerom Yusuf Wally-Sarminanto
13 Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit-Adolfus
Gabur
14 Teluk Bintuni Petrus Kasihi-Matret Kokop
15 Waropen Yesaya Buinei-Ever Mudumi
22
12
63
5 6 13
26
0
10
20
30
40
50
60
70
Dalil Permohonan
Dalil Permohonan
24 | P a g e
16 Gowa Andi Maddusila Andi Idjo-Wahyu
Permana Kaharuddin
17 Waropen Ollen Ostal Daimboa - Zeth Tanati
18 Pasaman Benny Utama-Daniel
19 Mamuju Utara H. Abdullah Rasyid-H. Marigun Rasyid
20 Kaimana Hasan Achmad-Amos Oruw
21 Solok H. Desra Ediwan Anantanur-Bachtul
22 Sekadau Simson-Paulus Subarno
Dalam dalil yang mengatakan terjadi kesalahan penghitungan suara,
salah satu bentuk perbuatan yang paling banyak disampaikan oleh
pemohon adalah terdapatnya kesalahan oleh Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) atau oleh Pantia Pemilihan Kecamatan (PPK)
dalam mencatat hasil penghitungan suara. Kesalahan terjadi ketika proses
pemindahan hasil penghitungan suara dari form C1 plano ke form C1-KWK.
Tabel. 4
Dalil Permohonan Manipulasi DPT
No Daerah Pemohon
1 Bungo H. Sudirman Zaini-H. Andriansyah
2 Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman-Alfian Aswad
3 Samosir Raun Sitanggang-Pardamean Gultom
4 Mukomuko Sapuan-Dedy Kurniawan; Wismen A. Razak-H. Bambang Afriadi
5 Batanghari Sinwan-H. Arzanil
6 Rokan Hulu Hafith Syukri-Nasrul Hadi
7 Gorontalo Tonyny S Junus-Sofyan Puhi
8 Kota Ternate Sidik Dero Siokona-Djasman Abubakar
9 Jember Sugiarto-M. Dwikoryanto
10 Raja Ampat Ferdinand Dimara-Abusaleh Alqadri
11 Kutai Barat Abed Nego-Syaparudin
12 Buru Selatan Rivai Fatsey-Anthonius Lesnussa
Untuk dalil yang mengatakan terjadi manipulasi daftar pemilih (DPT),
terdapat dua bentuk perbuatan yang umum disampaikan dalam
permohonan. Pertama, bentuk pelanggaran yang terjadi adalah adanya DPT
yang tidak sinkron antara DPT yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota,
dengan DPT yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Ini terjadi di daerah yang
Kabupaten/Kota dan Provinsinya banyak menyelenggarakan pilkada secara
bersamaan. Salah satunya adalah di Provinsi Sumatera Barat. Perbuatan
25 | P a g e
kedua, pihak terkait mendatangkan pemilih dari luar daerah, dimana
bukan warga dari daerah yang menyelenggarakan pilkada. Mayoritas
pemilih yang seperti ini datang ke TPS dan memilih dengan menggunakan
KTP.
Tabel 5
Dalil Ketidak Netralnya Penyelenggara Pilkada
No Daerah Pemohon
1 Labuhan Batu
Selatan H. Usman-Arwi Winata
2 Kota Meda Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma
3 Tanah Bumbu H. Abdul Hakim G.-Gusti Chapizi
4 Lima Puluh Kota H. Asyirwan Yunus-H. Ilson Cong
5 Ogan Ilir H. Helmy Yahya-H. Muchendi Mahzareki
6 Berau H. Ahmad Rifai-H. Fahmi Rizani
7 Kota Balikpapan Heru Bambang-Sirajudin
8 Indragiri Hulu H. T. Mukhtaruddin-Hj. Aminah
9 Kotawaringin Timur Muhammad Rudini-H. Supriadi M.T.
10 Pelalawan Zukri-Abdul Anas Badrun
11 Rejang Lebong Fatrolazi-Hj. Nurul Khairiyah
12 Kuantan Singingi Indra Putra-Komperensi
13 Bengkulu Selatan Reskan Effendi-Rini Susanto
14 Mamuju Bustamin Bausat-Damris
15 Ponorogo Sugiri Sancoko-Sukirno
16 Supiori Yan Imbab-Dwi Saptawati Trikora
Dewi
17 Tanah Datar Edi Arman-Taufik Idris
18 Boven Digoel Yesaya Merasi-Paulinus Wanggimop
19 Humbang
Hasundutan Palbet Siboro-Henri Sihombing
20 Toli-Toli H. Yahya-Zainal M. Daud
21 Sragen Agus Fatchur Rahman-Djoko Suprapto
22 Merauke Romanus Mbaraka-Sugiyanto
23 Nias Utara Edward Zega-Yostinus Hulu
24 Karimun H. Raja Usman Aziz-Zulkhainen
25 Kapuas Hulu Fransiskus Diaan-Andi Aswad
26 Ketapang Andi Djamiruddin-Chanisius Kuan
27 Situbondo Abd. Hamid Wahid-Ach. Fadil
Muzakki Syah
28 Buton Utara Muh. Ridwan Zakariah-La Djiru
29 Banggai Makmun Amir-Batia Sisilia Hadjar
30 Pangkajene
Kepulauan Abd. Rahman Assagaf-Kamrussamad
31 Nias Selatan Idealisman Dachi-Siotaraizokho Gaho
26 | P a g e
32 Humbang
Hasundutan
Harry Marbun-Momento Nixon M.
Sihombing
33 Kepulauan Meranti Tengku Mustafa-Amyurlis
34 Manggarai Barat
Mateus Hamsi-Paul Serak Baut; Maksimus Gasaa-Abdul Azis; Pantas Ferdinandus-Yohanes Dionsius
Hapan
35 Nabire Zonggonau A-Isak Mandosir
36 Nabire Yakob Panus Jingga-Melki Sedek Fi Rumawi
37 Boven Digoel Yusak Yaluwo-Yakob Waremba
38 Poso Frany Daruu-Abd. Gani T. Israil
39 Mamberamo Raya Demianus Kyeuw Kyeuw-Adiryanus Manemi
40 Bulukumba H. Askar HL-H. Nawawi Burhan
41 Konawe Kepulauan H. Muh. Nur Sinapoy- H. Abd. Salam
42 Wonosobo Sarif Abdillah-H. Usup Sumanang
43 Pohuwato Salahudin Pakaya-Burhan Mantulangi
44 Yalimo Luter Walilo-Beay Adolf
45 Manokwari Selatan David Towan Siba-Ahoren
46 Humbang Hasundutan
Marganti Manullang-Ramses Purba
47 Minahasa Selatan Johny R.M. Sumual-Annie S. Langi
48 Morowali Utara H.Idham Ibrahim-Heymans Larope
49 Teluk Bintuni Agustinus Manibuy- Rahman Urbun
50 Provinsi Bengkulu Sultan B Najamudin-Mujiono
51 Muna Rusman Emba-H. Abdul Malik Ditu
52 Halmahera Barat James Uang-Adlan Badi
53 Melawi H. Firman Muntaco-John Murkanto Ajan
54 Halmahera Utara Kasman H. Ahmad-Imanuel Lalonto
55 Maluku Barat Daya Simon Moshe Maahury-Kimdevits
Berthi Marcus
56 Sorong Selatan Dortheis Sesa-Lukman Kasop
57 Halmahera Barat Syukur Mandar - Benny Andhika Ama
58 Asmat Silvester Siforo - Yulius Patandianan
59 Kaimana Freddy Thie - Mohamad Lakotany
60 Waropen Penehas Hugo Tebay - Jance Wutoi
61 Sumba Timur Matius Kitu-Abraham Litinau
62 Yahukimo David Silak-Septinus Pahabo
63 Manokwari Bernard Sefnat-Andarias Wam
27 | P a g e
Di dalam permohonan yang mempersoalkan netralitas penyelenggara
pilkada, perbuatan yang disebutkan adalah tidak dibagikannya formulir C6
(pemberitahuan tempat memilih) oleh penyelenggara pilkada.
Tabel. 6
Dalil Permohonan Penambahan Suara
No. Daerah Pemohon
1 Konawe Utara H. Aswad Sulaiman P.-H. Abu Haera
2 Pulau Taliabu Zainal Mus-Abd. Majid
3 Banggai Sofhian Mile-Sukti Djalumang
4 Kota Tomohon Johny Runtuwene-Vonny Jane Paat
5 Minahasa Utara Sompie Singal-Peggy Mekel
Setelah netralitas penyelenggara pilkada, dalil yang dikemukakan oleh
pemohon adalah perihal perbuatan penambahan suara yang dilakukan oleh
pihak terkait. Bentuk perbuatan terhadap dalil ini yang disebut di dalam
permohonan adalah adanya proses penambahan suara untuk calon
tertentu, terutama pihak terkait ketika proses penghitungan pada tingkat
PPK.
Tabel. 7
Dalil Permohonan Pengurangan Suara
No. Daerah Pemohon
1 Mahakam Ulu Ruslan-Valentinus Tingang
2 Banggai Laut Sofyan Kaepa-Trin Lulumba
3
Karangasem
I Wayan Sudirta-Ni Made
Sumiati
4 Gorontalo Rustam Hs. Akili-Anas Jusuf
5 Kepulauan Sula Safi Pauwah-Faruk Bahanan
6 Halmahera Selatan Bahrain Kasuba-Iswan Hasjim
Dalam dalil yang menyatakan telah terjadi pengurangan suara, bentuk
perbuatannya hampir sama dengan apa yang terjadi pada praktik
penambahan suara. Namun dalam dalil yang disampaikan pada dalil
pengurangan suara tempat pengurangan suara terjadi pada proses
28 | P a g e
rekapitulasi di tingkat Kabupaten/Kota. Artinya, pada proses rekapitulasi
ditingkat Kabupaten/Kota, terjadi pengurangan suara pemohon.
Tabel. 8
Dalil Permohonan Politik Uang
No. Daerah Pemohon
1 Kota Gunung Sitoli Martinus Lase-Kemurnian Zebua
2 Kota Sibolga Memori Eva Ulina Panggabean-Jansul Perdana Pasaribu
3 Pesisir Barat Aria Lukita Budiwan-H. Efan Tolan
4 Bengkalis Sulaiman Zakaria-Noor Charis Putra
5 Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid - Aulia Oktafiandi
6 Rokan Hilir Herman Sani-Taem
7 Sigi H. Husen Habibu-Enos Pasaua
8 Tasikmalaya FKMT/mantan PPS
9 Kepulauan Selayar H. Saiful Arif-H. Muh. Junaedy Faisal
10 Provinsi Sulawesi Utara Benny Jozua Mamoto-David Bobihoe Akib
11 Kepulauan Aru Obed Barends-Eliza Lasarus Darakay
12 Bone Bolango H. Ismet Mile-H. Ishak Liputo
13 Kota Tidore H. Muhammad Hasan Bay-H. Mochtar
Sangaji
Dalam dalil yang mengatakan telah terjadi praktik politik uang, bentuk
perbuatan yang disebutkan dalam permohonan adalah adanya pemberian
uang kepada pemilih dalam aktivitas kampanye, dan mengarahkan pilihan
pemilih untuk memilih pasangan calon tertentu.
Tabel. 9
Dalil Politisasi Birokrasi
No Daerah Pemohon
1 Ogan Komering Ulu Hj. Percha Leanpuri-H.M Nasir Agun
2 Serdang Bedagai Syahrianto-M. Rizki R Hasibuan
3 Nias Faigi'asa Bawemenewi-Bezatulo Gulo
4 Kota Tangerang Selatan Ikhsan Modjo-Li Claudia Chandra
5 Kota Bandar Lampung Tobroni Harun-Komarunizar
6 Gresik Husnul Khuluq-Ach Rubaei
7 Malang Dewanti Rumpoko-Masrifah Hadi
8 Pemalang Mukti Agung Wibowo-Afifudin
9 Kota Sungai Penuh Herman Muchtar-Nuzran Joher
10 Pandeglang Aap Aptadi-H. Dodo Djuanda
11 Barru HM. Malkan Amin-A. Salahuddin Rum
12 Siak Suhartono-Syahrul
13 Kota Tanggerang Selatan Arsid-Elvier Ariadiannie Soedarto Putri
29 | P a g e
14 Musi Rawas Ratna Machmud-Zabur Nawawi
15 Cianjur Suranto-Aldwin Rahardian
16 Indramayu Toto Sucartono-Rasta Wiguna
17 Pegunungan Bintang Selotius Taplo-Rumin Lepitalen
18 Seram Bagian Timur Siti U Suruwaky-Sjaifuddin Goo
19 Provinsi Kalimantan Utara H. Jusuf Serang Kasim-Marthin Billa
20 Pemalang
Mukhammad Arifin-Romi Indiarto
21 Provinsi Kep. Riau Soerya Repationo-Ansar Ahmad
22 Tapanuli Selatan
H. Muhammad Yusuf Siregar - H. Rusydi Nasution
23 Provinsi Sumatera Barat Muslim Kasim-Fauzi Bahar
24 Provinsi Sulawesi Tengah H. Rusdy Mastura-H. Ihwan Datu Adam
25 Maluku Barat Daya
Nikolas Johan KiliKily-Johannis Hendrik Frans
26 Dompu H. Abubakar Ahmad-Kisman
Dalam dalil permohonan yang menyebutkan terjadinya politisasi
birokrasi, perbuatan yang disebutkan dalam permohonan adalah
menjadikan pegawai negeri sipil sebagai penyelenggara pemilu.
c. Letak Pelanggaran Pada Tahap Proses Pemilihan
Setelah pengelompokan dalil permohonan, bagian ini akan
menjelaskan tahapan penyelenggaraan pilkada yang paling banyak
dipersoalkan di dalam permohon perkara. Artinya, dalam setiap dalil yang
disampaikan oleh pemohon, penyelenggara bagian mana yang dipersoalkan
oleh pemohon. Dalam pembagiannya, penyelenggara pilkada mulai
dikelompokkan dari penyelenggara ditingkat TPS, penyelenggara yang
melakukan rekapitulasi suara, hingga penentuan pemenang pemilihan
kepala daerah. Pengumuman untuk pemilihan Bupati dan Walikota
diumumkan oleh KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk pemilihan
Gubernur, hasilnya diumumkan oleh KPU Provinsi.
30 | P a g e
Diagram 3.
Tingkatan Penyelenggara yang Dipersoalkan Dalam Permohonan
Temuan angka ini dilakukan dengan melihat seluruh permohonan
perselisihan hasil Pilkada 2015 (147 permohonan). Dari dalil permohonan
yang disampaikan, pada bagian itu juga kemudian dilihat penyelenggara
pilkada bagian mana yang paling banyak dipersoalkan. Dari data diatas,
terlihat bahwa penyelenggara pilkada yang paling banyak dipersoalkan
adalah KPU Kabupaten/Kota dengan total 81 permohonan. Urutan
berikutnya adalah KPPS dengan total 34 permohonan. Urutan ketiga PPK
adalah penyelenggara yang juga dipersoalkan dengan total 19 permohonan.
Setelah PPK, penyelenggara yang dipersoalkan adalah PPS, atau
penyelenggara ditingkat desa. Total angkanya ada 11 permohonan.
Terakhir, penyelenggara yang paling sedikit diprmasalahkan dalam
permohonan perselisihan hasil Pilkada 2015 adalah KPU Provinsi.
Setelah melihat data ini, penting untuk digarisbawahi bahwa tinggi
rendahnya angka di tingkatan penyelenggara yang dipersoalkan tidak bisa
disimpulkan bahwa pada tingkatan itulah persoalan penyelenggara pilkada
banyak terjadi. Untuk penyelenggara ditingkat Kabupaten/Kota misalnya,
itu banyak terjadi karena memang daerah kabupaten/kota yang paling
banyak melaksanakan pemilihan kepala daerah. Untuk KPU Provinsi
misalnya, kenapa hanya dua, karena memang daerah provinsi hanya 9 yang
34
11
19
81
2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
KPPS PPS PPK KPUKab/Kota
KPU Provinsi
Tingkatan Penyelenggara yang Dipersoalkan
Tingkatan Penyelenggara yangDipersoalkan
31 | P a g e
melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2015. Apalagi
satu daerah juga ditunda, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah.
d. Tenggat Waktu
Mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilu harus bersifat
speedy trial, karena akan bepengaruh pada agenda ketatanegaraan dan
jalannya pemerintahan. Alasan inilah yang membuat proses
pelaksanaannya di MK memiliki tenggat waktu. Dimulai dari tenggat waktu
pegajuan permohonan, perbaikan permohonan, hingga pemeriksaan
perkara di persidangan.
Tengat waktu pengajuan permohonan adalah 3x24 jam sejak
pengumuman KPUD. Pada pelaksanaan pilkada serentak 2015 ini, ternyata
pengumuman dari KPUD tidak ditetapkan secara serentak waktunya,
sehingga setiap daerah memiliki batas waktu yang berbeda-beda. Untuk
menentukan batas waktu ini MK mengonversi semua bagian waktu ke
waktu bagian Indonesia Barat. Hal ini menimbulkan persoalan tersendiri
bagi daerah daerah di Indonesia Timur yang merasa kehilangan jatah
waktu. Selain itu juga terdapat persoalan-persoalan lain dari beberapa
daerah yang tidak dapat memenuhi aturan tengat waktu, sehingga
terlambat mengajukan permohonan perkara. Berikut adalah data daerah
yang terlambat mengajukan perkara, berikut dengan alasanya.
Tabel 10
DAERAH TERLAMBAT MENGAJUKAN PERMOHONAN
No. Daerah No Perkara Keter
lambatan
Penetapan
KPU
Waktu Daftar Alasan
Terlambat
1 Maluku barat daya
No 129/PHP.BPU-XIV/2016
1 Hari
Rabu, 18 Desember 2015 pukul
23.09 WIT (21.09 WIB)
Selasa, 22 Desember 2015 pukul
23.09 WIT (21.09 WIB)
pemohon tidak mengetahui.
2 Sumba timur, Prov. NTT
No 96/PHP.BPU-XIV/2016
2 Hari
Rabu, 16 Desember 2015 pukul
15.26 WIT (14.26 WIB)
Selasa, 22 Desember 2015 pukul
14.14 WIB
Kondisi geografis dan iklim/cuaca
yang menyulitkan
32 | P a g e
transportasi.
3 Kepulauan Aru
No 84/ PHP.BPU-XIV/2016
2 Hari
Rabu, 16 Desember 2015 pukul
14.00 WIT (12.00 WIB)
Selasa, 22 Desember 2015 pukul
22.15 WIB
4 Kab. Banggai
laut, sulteng
No 78/PHP.BPU-
XIV/2016
3 detik
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 23.1 WIT (22.16 WIB)
Sabtu, 19 Desember
2015 pukul 22.19 WIB
Mesin no urut
pengajuan permohonan (NUPPP)
yang mengalami kerusakan
(error).
5 Kab.
Tasikmalaya, Jabar
68/PHP.BPU-
XIV/2016
2
Hari
Rabu, 16
Desember 2015 pukul
13.30 WIB
Senin, 21
Desember 2015 pukul
12.06 WIB
6 Bengkulu selatan,
59/PHP.BPU-XIV/2016
2 jam
47 meni
t
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 15.20 WIB
Sabtu, 19 Desember
2015 pukul 18.07 WIB
7 Kab.
Mamuju utara
No
54/PHP.BPU-XIV/2016
5
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 23.15 WIT
(22.15)WIB
Selasa,
Desember 2015 pukul 18.10 WIB
8 Kab. Kutai
barat
No
47/PHP.BPU-XIV/2016
1
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 14.40 WIT
(13.40)WIB
Senin, 21
Desember 2015 pukul 14.18 WIB
Karena hari
minggu tanggal 20 desember
tidak dihitung
9 Kab. Buru selatan, maluku
No 43/PHP.BPU-XIV/2016
1 Hari
Jumat, 18 Desember 2015 pukul
12.20 WIT (22.15)WIB
selasa, 22 Desember 2015 pukul
16.28 WIB
Kendala geografis Buru selatan
menuju ambon
10 Kab. Manokwari
, Papua Barat
No 32/PHP.BPU-
XIV/2016
1 Hari
Kamis, 17 Desember
2015 pukul 17.40 WIT (15.40)WIB
Senin, 21 Desember
2015 pukul 17.00 WIB
11 Kab. Poso No 23/PHP.BPU-
XIV/2016
2 Jam
16 Detik
Kamis, 17 Desember
2015 pukul 16.16 WIT
Minggu, 20 Desember
2015 pukul 17.32 WIB
Kesulitan membaca
detail KKPU karena
33 | P a g e
(15.16)WIB terkait
penetapan jam dan tanggal
karena tidak dalam bentuk
angka
12 Kab.
Kaimana, Papua
Barat
No
14/PHP.BPU-XIV/2016
13
Menit
19 Desember
2015 pukul 18.20 WIT
(16.20 WIB)
Selasa, 22
Desember pukul 16.33
WIB
Tidak ada
keterangan jam dalam
keputusan
13 Kab. Bone Bolango,
Gorontalo
No 139/PHP.BPU
-XIV/2016
5 Hari
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 15.30 WIT
(14.30 WIB)
Selasa, 22 Desember
pukul 23.09 WIB
14 Kab.
Pemalang
No
138/PHP.BPU-XIV/2016
1
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 13.45 WIB
Senin, 21
Desember pukul 13.36 WIB
15 Tapanuli Utara,
Sumut
No 127/PHP.BPU
-XIV/2016
3 Hari
16 Desember 2015 pukul
15.55 WIB
Selasa, 22 Desember
2015 pukul 01.47 WIB
16 Kab. Siak, Riau
No 122/PHP.BPU-XIV/2016
17 Detik
Kamis, 17 Desember 2015 pukul
15.10 WIB
Minggu,20 Desember 2015 pukul
15.25 WIB
17 Kab.
Humbang Hasudutan, Sumut
No
70/PHP.BPU-XIV/2016
1
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 18.00 WIB
Senin, 21
Desember 2015 pukul 12.42 WIB
Pengajuan
waktu 3 hari kerja berdasarkan
PMK 15/2008
tidak berlaku lagi
18 Kab. Hulu
Sungai Tengah,
Kalsel
No
63/PHP.BPU-XIV/2016
7
Jam 05
Detik
Kamis, 17
Desember 2015 pukul
14.27 WIT (13.27 WIB)
20 Desember
2015 pukul 19.33 WIB
19 Pohuwato, Gorontalo
No 46 /PHP.BPU-XIV/2016
2 Hari
Rabu, 16 Desember 2015 pukul
15.17 WIT
21 Desember 2015 pukul 11.00 WIB
Karena termohon salinan surat
keputusan KPU Tanggal 18 Desember
Jam 11.00
34 | P a g e
20 Kab.
Kepulauan Selayar, Sulsel
No
141/PHP.BPU-XIV/2016
2
Hari
Rabu, 16
Desember 2015 pukul 17.53 WIT
(16.53 WIB)
21 Desember
2015 pukul 16.30 WIB
21 Kab. Gowa No
137/PHP.BPU-XIV/2016
1
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 18.09 WIT
(17.09 WIB)
Senin, 21
Desember 2015 pukul 22.53 WIB
22 Kota
Tomohoo, Sulut
No
131/PHP.KOT-XIV/2016
1
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 21.40 WIT
(20.40 WIB)
Senin, 21
Desember 2015 pukul 12.51 WIB
23 Kab.
Pasaman, Sumbar
No
88/PHP.BUP-XIV/2016
2
Jam 26
Detik
Kamis, 17
Desember 2015 pukul
14.00 WIB
Selasa, 22
Desember 2015 pukul
16.26 WIB
24 Kab. Tanah
Datar, Sumbar
No 76/PHP.BUP-
XIV/2016
2 Jam
35 Detik
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 18.10 WIB
Sabtu, 19 Desember
2015 pukul 20.45 WIB
25 Kab. Solok, Sumbar
No 73/PHP.BUP-
XIV/2016
2 Hari
Kamis, 17 Desember
2015 pukul 18.00 WIB
Selasa, 22 Desember
2015 pukul 22.56 WIB
26 Kab. Gersik, Jatim
No 60/PHP.BUP-XIV/2016
7 Menit
Rabu, 16 Desember 2015 pukul
16.30 WIB
Sabtu, 19 Desember 2015 pukul
16.37 WIB
27 Kab. Boven
Digoel
No
57/PHP.BUP-XIV/2016
1
Jam 39 Detik
Kamis, 17
Desember 2015 pukul 16.15 WIT
Minggu, 20
Desember 2015 pukul 15.54 WIB
28 Kab. Sakadau
No 53/PHP.BUP-
XIV/2016
3 Hari
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 15.33 WIB
Selasa, 22 Desember
2015 pukul 22.58 WIB
29 Kab. Malawi
No 39/PHP.BUP-XIV/2016
2 Hari
Rabu, 16 Desember 2015 pukul
18.00 WIB
Senin, 21 Desember 2015 pukul
16.14 WIB
30 Kab.
Amsat, Papua
No
35/PHP.BUP-XIV/2016
9
Jam 40 Detik
Jumat, 18
Desember 2015 pukul 14.40 WIT
(12.40 WIB)
Senin, 21
Desember 2015 pukul 23.00 WIB
31 Kab. No 1 Jumat, 18 Senin, 21
35 | P a g e
Yalimo 58/PHP.BUP-
XIV/2016
Jam
26 Detik
Desember
2015 pukul 12.50 WIT
Desember
2015 pukul 11.36 WIB
32 Kab.
Yahukimo, Papua
No
42/PHP.BUP-XIV/2016
2
Hari
Kamis, 17
Desember 2015 pukul
14.00 WIT
Selasa, 22
Desember 2015 pukul
14.48 WIT
33 Kota Tidore
Kepulauan, Malut
No
41/PHP.KOT-XIV/2016
5
Hari
Rabu, 16
Desember 2015 pukul 16.08 WIT
Sabtu, 26
Desember 2015 pukul 14.06 WIB
34 Kab. Nabire,
Papua
No 25/PHP.BUP-
XIV/2016
30 Detik
Kamis, 17 Desember
2015 pukul 23.00 WIT (21.00 WIB)
Minggu, 20 Desember
2015 pukul 21.40 WIB
35 Kab. Dompu,
NTB
No 2/PHP.BUP-
XIV/2016
4 Hari
Rabu, 16 Desember
2015 pukul 13.45 WIT
Rabu, 23 Desember
2015 pukul 15.10 WIB
Dari tabel di atas terlihat bahwa banyak faktor teknis yang terjadi di
lapangan yang bisa saja diluar perhitungan semestinya. Aturan bisa saja
mengatur bahwa permohonan bisa dilakukan secara online, namun kondisi
lapangan tidak sepenuhnya bisa ditentukan. Masalah ketepatan penafsiran
aturan, sistem informasi, kendala geografis, dan berbagai faktor lain masih
sangat mungkin terjadi.
Di sisi lain, objek perkara dari perselisihan hasil pilkada ini adalah
Surat Keputusan KPUD mengenai penetapan perolehan suara. Dengan
demikian, menjadi penting bagi KPUD untuk mengeluarkannya tepat waktu
berikut dangan keterangan waktu yang presisi. Jangan sampai KPU
menunda atau membuat para calon kepala daerah tidak mendapatnya. Hal
ini sempat terjadi pada pilkada serentak 2015, KPUD tidak langsung
menyerahkan salinan Surat Keputusan tentang hasil pilkada. Misalnya
yang terjadi di Pohuwatu (gorontalo), Yahukimo, dan Kota Tidore. Pemohon
dari daerah-daerah tersebut mengalami kesulitan sehingga terlambat atau
objek permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah bukan surat
keputusan KPUD melainkan berita acara hasil penghitungan. Tentu saja ini
menimbulkan error in objecto, bagi pemohon tersebut.
36 | P a g e
Dengan demikian, demi membuka akses untuk penyelesaian
perselisihan hasil maka perlu dipikirkan ulang mengenai aturan tenggat
waktu yang rasional (beyond reasonable doubt).
e. Hilangnya Esensi Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 23 PMK Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menyebutkan
“pemeriksaaan perkara pemilihan dilaksanakan melalui pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan persidangan”.
Ketentuan ini dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 24 ayat (1),
“pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
dilakukan untuk mendengarkan penjelasan pemohon mengenai pokok
permohonan”. Tidak ada penjelasan lebih lenjut terkait dengan mekanisme
pemeriksaan pendahuluan, termasuk juga di dalam PMK Nomor 5 Tahun
2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Beracara.
Namun demikian, telah menjadi pengetahuan bersama bahwa dalam
Hukum Acara MK, pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan legal
standing sebelum memasuki pokok perkara. Pasal 39 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK)
mengatakan bahwa “sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah
Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan”. Semantara itu, pada ayat (2) menyebutkan “Dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi
wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari”. Jika diperhatikan konstruksi Pasal 39 ayat (2), terdapat kata
“wajib” bagi hakim konstitusi yang memeriksa perkara untuk memberikan
nasihat kepada pemohon, dan pemohon dapat melakukan perbaikan
permohonan berdasarkan nasihat hakim konstitusi. Hal ini merupakan
esensi dari tahap pemeriksaan pendahuluan.
Dalam proses persidangan perkara perselisihan hasil Pilkada 2015 ini
tahap pemeriksaan pendahuluan diisi oleh hal yang berbeda. Ruang
pemeriksaan pendahuluan hanya diisi dengan pembacaan permohonan dari
37 | P a g e
pemohon, jawaban dari termohon, dan jawaban dari pihak terkait.
Ketiadaan nasihat hakim membuat tidak ada kesempatan bagi pemohon
untuk melakukan perbaikan, kalaupun ada hanya bersifat redaksional.
Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya bahwa pada tahap ini
hakim MK justru fokus pada pemeriksaan syarat selisih suara. Tidak ada
masukan dari majelis hakim pada tahap pemeriksaan pendahuluan ini. Hal
ini kemudian dibuktikan dengan dikeluarkanya putusan dismisal yang
sebagian besar adalah “tidak dapat diterima” karena tidak memenuhi syarat
selisih suara.
Dalam PMK Tahapan, Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara
Perselisihan Hasil Pilkada, pemohon memang diberi waktu kembali untuk
melengkapi permohonan. Namun hal ini berbeda dengan esensi dari
pemeriksaan pendahuluan. Materi pemeriksaan pedahuluan tidak dapat
dipindahkan kedepan pada proses kepaniteraan. Apabila yang dijadikan
persoalan adalah keterbatasan waktu untuk melakukan pemeriksaan dan
memutus perselisihan hasil Pilkada 2015, waktu 14 hari yang dimaksudkan
dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK, tentu sangat mungkin untuk dikurangi,
menyesuaikan limitasi waktu pemeriksaan perkara yang dimiliki MK.
Dengan demikian, esensi dari pemeriksaan pendahuluan menjadi tidak
hilang.
f. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, berikut adalah tiga catatan penting yang bisa
disampaikan. Pertama, MK memberikat pembatasan saksi. Pada
pemeriksaan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Kab. Teluk
Bintuni, pada tanggal 1 Februari 2016, ditemui bahwa hakim MK
membatasi saksi dari masing-masing pihak hanya lima orang. Hal ini
penting untuk dipertimbangkan agar tidak dilakukan dalam proses
persidangan hasil pemilu kedepan. Sebagai proses peradilan yang mencari
keadila materil, sebaiknya tidak ada pembatasan saksi yang diharuskan
kepada pemohon.
Kedua, terkait dengan kategori orang yang dapat menjadi saksi. Pada
proses pemeriksaan sidang Perselisihan hasil Pilkada Teluk Bintuni KPU
38 | P a g e
Teluk Bintuni mengajukan Ketua KPU Tel.Bintuni menjadi saksi namun
kemudian ditolak. KPU Teluk Bintuni keberatan penyelenggara pemilu jadi
saksi pemohon. Keberatan dicatat majelis MK, namun penyelenggara
tersebut tetap diperbolehkan menjadi saksi.
Ketiga, apa yang dilakukan oleh MK di beberapa panel sidang yang
mengkronfrontir alat bukti di depan persidangan dengan beberapa saksi,
merupakan salah satu langkah yang patut untuk dipertahankan. Jangan
lagi apa yang terjadi pada proses perselisihan hasil Pemilu 2014 terjadi
kembali, dimana alat bukti tidak diperiksa di depan persidangan, namun
hanya diperiksa dibelakang “dapur” MK oleh panitera MK.
g. Putusan
Dari 7 perkara yang berlanjut ke tahap proses persidangan
pembuktian, putusan untuk Kabupaten Solok Selatan dan Kuantan
Singingi adalah ditolak selurunya. Kelima daerah lainnya diputus dengan
perintah pemungutan suara ulang. Berikut putusan-putusan tersebut:
1. Kabupaten Membaramo Raya, Provinsi Papua diperintahkan untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang pada 10 TPS di Kecamatan
Membaramo Tengah Timur;
2. Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang di Kecamatan Bacan, untuk
20 TPS;
3. Kabupaten Teluk Bintuni juga diperintahkan untuk melakukan
pemungutan suara ulang di 1 TPS di Kecamatan Moyeba, Provinsi
Papua Barat
4. Perintah pemungutan suara ulang juga diperintahkan dilakukan di
Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, total TPS yang akan
melakukan pemungutan suara ulang adalah 11 TPS, terdiri 3 TPS di
Kecamatan Sanana, 3 TPS di Kecamatan Mangoli Tengah, 2 TPS
Mangoli Utara Timur, dan 2 TPS di Kecamatan Sulabesi Selatan;
5. Perintah pemungutan suara ulang juga diperintahkan dilakukan di
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Perintah Pemungutan suara
39 | P a g e
ulang diperintahkan 2 TPS di Kecamatan Kotabu dan 1 TPS di
Kecamatan Marabo.
Pada perkara Kabupaten Halmahera Selatan, putusan awalnya adalah
perintah untuk penghitungan suara ulang.10 Namun hal ini tidak dapat
dilaksnakan karena ada beberapa kotak suara yang hilang (ditemukan di
toilet) sehingga tidak dapat dilakukan penghitungan. Selanjutnya putusan
tersebut diganti menjadi pemungtan suara ulang. Hal ini menunjukan
bahwa setelah putusan MK dikeluarkan, kontrol terhadap pelaksanaan
putusan tersebut juga mutlak dilakukan. Begitu pula dengan putusan
pemungutan suara ulang. MK tidak bisa menganggap semua pemungutan
suara ulang tersebut itu bebas dari pelanggaran.
Terkait dengan aturan syarat selisih suara, maka perintah
pemungutan suara ulang ini menjadi sangat riskan. Syarat selisih suara
membuat perkara yang diperiksa oleh MK adalah perkara yang kecil sekali
selisihnya, maka jika pemohon melakukan sedikit saja kecurangan pada
proses pemungutan suara ulang, maka dia akan menjadi pemenang.
Terlebih lagi dibutuhkan upaya dan biaya yang cukup besar dalam
melakukan pemungutan suara ulang.
Selanjutnya yang perlu diketahui adalah, putusan-putusan yang
dikeluarkan oleh MK ini merupakan putusan sela. Putusan sela pada
perkara perselisihan hasil pemilu ini sebelumnya memang telah menjadi
fenomena tersendiri. Di MK putusan sela awalnya dikenal dalam perkara
sengketa antar lembaga negara. Dalam perkara tersebut hakim dapat
mengeluarkan putusan sela berkaitan dengan penangguhan / penghentian
sementara pelaksanaan kewenangan yang sedang dipersengketakan.11
Dalam perkembangannya putusan sela di MK ini kemudian juga diterapkan
pada perkara PHPUD. Dalam Pasal 8 ayat (4) PMK Nomor 15 Tahun 2008
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dikatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah
10
Putusan Nomor 1/PHP.BUP-XIV/2016
11 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
2005.
40 | P a g e
dapat menetapkan putusan sela yang terkait dengan penghitungan suara
ulang”.
Sesuai dengan teorinya bahwa putusan sela/putusan provisionil
adalah putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam
pokok perkara, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk
kefaedahan salah satu atau dua belah pihak.12 Artinya tindakan-tindakan
yang diperintahkan untuk dilakukan adalah sebelum hakim memeriksa
pokok perkara dan demi kemanfaatan pada saat memeriksa pokok perkara.
Namun demikian yang terjadi di MK adalah putusan sela yang berkaitan
dengan pokok perkara. Pertimbangan hukum dalam putusan sela MK lebih
panjang dari pada putusan akhirnya.
D. KEMBALINYA MAHKAMAH KALKULATOR
Telah dijelaskan bahwa model penyelesaian sengketa pemilu di
Indonesia memisahkan antara persoalan pelanggaran pada tahap proses
dan persoalan hasil perhitungan suara. Model ini selanjutnya
memunculkan masalah ketika lembaga yang menangani complaint yang
terkait dengan hal-hal di masa proses pemilu tidak memiliki tenggat waktu
untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan permohonan untuk
mengajukan keberatan atas hasil pemilian ke MK diberi batas maksimal
yaitu 3 x 24 Jam setelah pengumuman dari KPUD. Permasalahan tenggat
waktu dari lembaga lain yang menyelesaikan masalah proses, tidak
compatible terhadap tenggat waktu untuk mengajukan permohonan ke MK.
Dengan demikian, persoalan keberatan atas hasil dari pemilihan menjadi
terpisah dengan akarnya, yaitu pelanggaran yang terjadi pada tahap proses.
Masalah ini dalam prakteknya membuat para pemohon mengabaikan
atau tidak menggunakan cara penyelesaian di lembaga lain sejak awal. Para
pemohon potong kompas dengan langsung mengajukan permohonan ke
MK. Para pemohon menjadi tidak ada pilihan selain menyampaikan apa
yang sebenarnya terjadi, bahwa keberatan atas hasil pemilihan yang
diajukannya adalah karena adanya pelanggaran pada tahap proses. Apalagi
kemudian persoalan ini diberengi dengan tingkat pelanggaran yang cukup
12 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1977, hlm. 156.
41 | P a g e
tinggi. Hal inilah yang terjadi dari praktek pemilu dari waktu ke waktu.
Hingga pada masa pemilihan serentak 2015 ini pun hal ini masih terjadi,
namun yang membedakan adalah rangkaian aturan undang-undang dan
reaksi MK terhadap aturan tersebut.
Hingga saat ini, MK telah menjalankan kewenangannya sebagai
lembaga penyelesaian perselisihan hasil pilkada lebih dari 8 tahun dan
menghasilkan perkembangan yang cukup dinamis, signifikan bahkan
kontroversial dibandingkan dengan pelaksanaan kewenangan penyelesaian
perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden. Di tahun-tahun awal
ketika MK menjalankan kewenangannya ini, dalam pertimbangan beberapa
putusan, dikatakan bahwa MK tidak hanya membedah permohonan dengan
melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan juga meneliti secara
mendalam adanya pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan
Masif (selanjutnya disebut TSM) yang memengaruhi hasil perolehan suara
tersebut.13 MK juga membuat kategorisasi berbagai pelanggaran yang
terjadi apa yang dapat ditaksir kerugiannya atau apa yang dapat
dipertimbangkan di MK serta apa yang tidak.14 Indikator TSM dan
pembagian kategori yang digunakan oleh MK ini juga berimbas pada
luasnya jangkauan objek perkara serta variasi model putusan perkara
PHPU.D.
Persoalan penegakan keadilan substantif, penjagaan hak-hak pemilu
dan nilai-nilai demokrasi adalah beberapa pertimbangan utama MK dalam
putusannya. MK bahkan mengampanyekan penegakan keadilan substantif
dan pengawalan demokrasi ini melalui iklan layanan masyarakat yang
dibuat oleh MK.15 Di akhir iklan tersebut dikatakan bahwa “jika masih ada
pelanggaranan, ajukan saja ke MK”. Hal ini semakin meneguhkan bahwa
Pemohon bebas memohonkan apapun ke MK.
Potret pengaturan dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil
pilkada serentak 2015 yang tergambar pada sub bab sebelumnya telah
13 Pertimabangan seperti ini misalnya terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.209-
210/PHPU.D-VIII/2010 Perkara PHPU.D Tangerang selatan hlm.224
14 Ibid. hlm.225
15
Lihat iklan layanan masyarakat tersebut pada, http://www.youtube.com/watch?v=2I9YwgNjJcQ , 27 Maret 2012, 02:44
42 | P a g e
menunjukkan bahwa langkah, gaya dan semangat yang diambil oleh MK
dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada kali ini 100%
berbeda dengan sebelumnya. Padahal alasan perbedaan masa penggantian
hakim yang berbeda-beda di MK, salah-satunya adalah untuk menjaga
kestabilan sikap dari waktu ke waktu, sehingga tidak terjadi perubahan
yang terlalu ekstrim. Namun demikian perubahan sikap MK kali ini sangat
dirasakan.
Dimulai dengan sikap MK terhadap aturan syarat selisih suara yang
sebenarnya tidak sinkron dengan beberapa hal. Pertama, jika memang
terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistemtis dan masif, maka pasti akan
menghasilkan jumlah suara yang banyak, yang artinya menjadi selisih
suara yang basar. Sarat selisih suara yang ditentukan undang-undang
dengan ketidak jelasan politik hukum yang ingin dibangun ini semakin
keruh dengan penafsiran MK dalam PMK yang membuat syarat selisih
tersebut semakin kecil. Dengan demikian, ketika MK hanya menerima
perkara dengan selisih suara kecil maka disadari atau tidak, bahwa MK
sedang mengabaikan pelanggaran besar.
Kedua, jika MK memutuskan untuk memerintahkan pemungutan
suara ulang, maka sedikit saja pelanggaran atau kecurangan yang
dilakukan pada pemungutan suara ulang dapat membuat pemohon
memenangkan suara. Di sisi lain, bisa saja perolehan suara dari termohon
di beberapa TPS lain yang tidak dilakukan pemungutan suara ulang, juga
terdapat kecurangan. Hukum Acara MK tidak dikenal mekanisme gugatan
rekonvensi, maka pihak terkait sulit untuk bisa membuktikan bahwa
pemohon juga melakukan kecurangan di beberapa TPS lain. Hal ini paling
hanya bisa diungkap dalam jawaban termohon atau pihak terkait.
Ketiga, syarat selisih suara yang diterapkan secara kaku oleh MK ini
juga tidak sinkron dengan pertimbangan MK pada putusan-putusan yang
memerintahkan penghitungan suara ulang. MK mengeluarkan putusan
tersebut berdasarkan pertimbangan pada pelanggaran di tahap proses. MK
mendengarkan posita dan petitum pada pemohon yang notabene bisa saja
sama dengan posita dan petitum dari pemohon lain yang tidak dapat
diterima perkaranya karena syarat selisih suara.
43 | P a g e
Perbedaan gaya, langkah dan reaksi MK pada penyelesaian perkara
pilkada serentak 2015 juga dirasakan pada sikap MK yang menghilangkan
esensi pemeriksaan pendahuluan hingga membatasi proses pembuktian.
Semoga ini bukan tanda hilangnya komitmen MK untuk menegakan
keadilan substantif dan selalu mengingat bahwa tujuan dari penyelesaian
sengketa pemilu itu adalah memberikan kepercayaan pada setiap orang
yang merasa terlanggar haknya untuk dapat mengajukan complaint dan
memprosesnya secara hukum.
Apa yang diterapkan MK menjalankan kewenangannya ini seharusnya
semata-mata demi tercapainya keadilan substantive dan tidak terpasung
oleh keadilan procedural. Terhadap hal seperti ini MK memang akan
berhadapan dengan “kepastian hukum”. Hal ini merupakah cobaan yang
berat bagi hakim. Di satu sisi hakim perlu menjaga kewibawaan dan
kepastian hukum dengan menghormati apa yang telah diatur dalam
undang-undang. Di sisi lain, hakim bertanggung jawab untuk memberikan
keadilan.
Dalam Putusan PHPU.D Jatim, MK mengutip pendapat Gustaf
Radbruch,16
Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enactment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare, unless, the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule becomes in effect “lawlesslaw” and must therefore yield to justice.”
Pendapat Gustaf Radbruch ini menunjukan bahwa hakim memang harus
selalu mengacu pada hukum positif yang ada, namun tetap ada
pengecualian untuk kondisi tertentu. Hal ini juga dapat diartikan bahwa
memang harus selalu ada yang dipilih oleh hakim, seperti yang dikatakan
oleh Oliver Holmes :
”dalam perkara sering hakim menghadapi dua bahkan lebih
‘kebenaran’, yang seolah meminta kepastian mana yang ‘lebih unggul’ dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya, adalah kebenaran
versi aturan hukum. Sering kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang
16
G. Radbruch, Rechtsphilosophie, 4th ed. page 353.Fuller’s translation of formula in Journal of Legal Education. hlm.,181 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
44 | P a g e
kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah, seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus
‘memenangkan’ kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi.”17
Disaat memang terdapat ruang kebebasan bagi hakim dalam mengambil
keputusan, namun tetap disesuaikan dengan tujuan hukum itu sendiri.
Kewibawaan hakim menurut Benjamin Cardozo, justru terletak pada
kesetiaannya menjunjung tujuan hukum itu.18
UU Pilkada 2015 memerintahkan untuk membuat lembaga peradilan
khusus namun tidak mengubah desain penyelesaian sengketa pemilunya,
sehingga seolah hanya memindahkan fungsi MK ke badan peradilan
khusus. Hal ini bukan langkah yang tepat, sebab persoalan ada pada
desain penyelesaian dimana pengertian sengketa masih terpisah-pisah dan
diselesaikan oleh lembaga yang terpisah pula, maka persoalan hasil
menjadi terpisah dari akarnya. Terdapat berbagai pilihan model antara lain
penyelesaian tersendiri melalui “electoral court” atau peradilan khusus
pemilu. Menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai eksistensi peradilan
khusus ini, atau setidaknya untuk memilih model yang tepat bagi
Indonesia.
Lebih dari 8 tahun MK menjalankan kewenangannya untuk
menyelesaiakan perkara perselisihan hasil ditengah desain model
penyelesaian sengketa yang belum jelas dan penuh ruang kosong. MK telah
berusaha mengisi kekosongan tersebut dengan bersikap tidak hanya
sebagai Mahkamah Kalkulator.19 Terlepas dari kontroversi progresivitas
dangan segala akibatnya, MK pernah menjadi pahlawan hak substative.
Apa yang telah dilakukan MK sebelum masa pilkada serentak 2015 ini
adalah seperti halnya indikator pelanggaran terstuktur sistematis dan masif
yang dibuat oleh MK. Perubahan hukum acara yang dihasilkan oleh MK,
ibaratnya sangat terstruktur sistematis dan masif. Maka dengan gaya
penyelesaian perselisihan hasil seperti yang terjadi saat ini, masyarakat
justru bertanya “kemana perginya pahlawan keadailan subtastive itu ?” dan
17
Bernard L Tanya, et al. Teori Hukum strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing,2010),hlm. 167 18
Bernard L Tanya, et al. Op. Cit., hlm. 168. 19
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Themis Books, Depok, 2013, hlm.92.
45 | P a g e
apakah “MK sekarang justru sedang meneguhkan dirinya sebagai
Mahkamah Kalkulator ?”
E. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian diatas, maka perihal perselisihan hasil pilkada
akan diberikan dua rekomendasi untuk dapat dijadikan pedoman dalam
perbaikan kedepan. Salah satu bagian yang terdekat adalah revisi UU
Pilkada. Untuk rekomendasi ini, akan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
3. Rekomendasi Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
a. Penyelesaian Perselisihan Tetap di Mahkamah Konstitusi
Melihat proses pelaksanaan perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah yang sudah terjadi selama ini, MK adalah lembaga yang
paling ideal untuk tetap menyelesaikan perselisihan hasil
pilkada. Ada beberapa indikator yang bisa dilihat. Pertama,
secara kelembagaan dan supporting peradilan, MK adalah
lembaga yang dinilai jauh lebih siap dalam menyelesaikan
proses perselisihan hasil pilkada.
Kedua, setelah melihat kinerja MK selama lebih kurang 8 tahun
dan mengadili lebih 700 perselisihan hasil pilkada, MK cukup
terbuka dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Ketiga,
proses perselisihan hasil pilkada yang membutuhkan suatu
proses peradilan yang transparan dan akuntabel, karena
merupakan “panggungg” untuk memperebutkan jabatan politik
daerah, MK sangat memenuhi syarat sebagai peradilan modern
yang dapat menyelesaikan kewajiban tersebut. MK memiliki
teknis persidangan yang cukup rapi, dan dukungan teknologi
dan informasi yang maksimal untuk mendukung tugas dan
wewenangnya. Atas dasar itu, rekomendasi pertama untuk
kelembagaan, penyelesaian perselisihan hasil pilkada tetap
diselesaikan oleh MK. Hanya saja, benturan dengan
rekomendasi ini, UU No. 8/2015 memandatkan perselisihan
hasil pilkada diselesaikan oleh suatu badan khusus penyelesai
sengketa pilkada
46 | P a g e
b. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada
Jika merujuk penuh kepada ketentuan di dalam UU No.
8/2015, maka pembentukan badan khusus penyelesai
sengketa pilkada, maka fungsi yang dilakukan oleh MK hari ini,
hanya dipindahletakkan ke lembaga penyelesai sengketa.
Kewenangannya hanya akan menyelesaikan perselisihan hasil
pilkada. Hal ini tentu sangat mubazir untuk menyiapkan satu
lembaga baru, jika tugas dan fungsinya sudah dilaksanakan
dengan sangat baik oleh lembaga yang sudah ada saat ini,
yakni MK.
Namun, jika memang hendak membuat suatu badan khusus
peradilan pemilu, maka penting untuk didiskusikan lebih jauh,
bagaimana lembaga ini akan dijalankan. Misalnya, untuk
menyelesaikan sengketa pencalonan, penanganan pelanggaran
administrasi pemilu, dan pelanggaran pidana pemilu. Oleh
karena itu, kedepan perlu ada kajian lebih mendalam untuk
menyiapkan alternatif penyelesaian sengketanya.
4. Rekomendasi Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada
a. Waktu pendaftaran permohonan
Dengan pertimbangan geografis, transportasi, cuaca, dan faktor
teknis penyiapan permohonan, maka idealnya waku
pendaftaran permohonan diperpanjang menjad 6 x 24 jam. Jadi
bertambah dua kali lipat dari waktu yang sebelumnya. Hal ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada pemohon
untuk menyiapkan permohonan yang baik dengan tetap
memperhatikan limitasi waktu penyelesaian yang sangat
terbatas.
b. Pemeriksaan pendahuluan
Terkait dengan pemeriksaan pendahuluan, proses ini mesti
dikembalikan ke prinsip awalnya. Pemeriksaan pendahuluan
mesti memberikan ruang bagi pemohon untuk mendengar
masukan majelis hakim terkait dengan pemohonan yang
disampaikannya. Pemeriksaan pendahuluan jangan lagi
47 | P a g e
diberikan ruang untuk menyatakan permohonan tidak dapat
diterima. Namun, menjadikan forum pemeriksaan pendahuluan
untuk memeriksa kelengkapan permohonan, dan memberikan
kesempatan bagi pemohon untuk melengkapinya sebelum
diperiksa ditingkat pleno.
c. Syarat Selisih Suara
Syarat selisih suara adalah salah satu elemen penting untuk
dilihat sebagai salah satu instrument penting dalam proses
perselisihan hasil pilkada. Terkait dengan hal ini, terdapat dua
pilihan. Pertama, syarat selisih suara dihapuskan sehingga
kembali pada mekanisme lama. Kedua, syarat selisih suara
ditingkatkan yakni dari 0,5% - 2% ditingkatkan menjadi 10%
suara. Namun, terkait dengan signifikansi suara apakah suatu
permohonan layak dilanjutkan atau tidak, mesti dilihat MK dari
bukti awal yang diajukan oleh pemohon. Ketentuan ini tidak
diformalkan di dalam regulasi, yang kemudian jadi dasar
menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
d. Pembuktian
Terkait dengan pembuktian, hukum acara MK mesti
dinormakan secara jelas. Salah satu hal yang penting adalah,
tidak boleh adanya pembatasan saksi yang diajukan oleh para
pihak. Namun, saksi yang diajukan mesti dilihat porto folio
yang berkaitan dengan berpengaruh terhadap substansi
perkara.
48 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Makalah
Bernard L Tanya, et al. Teori Hukum strategi tertib manusia lintas ruang dan
generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing,2010)
G. Radbruch, Rechtsphilosophie, 4th ed. page 353.Fuller’s translation of
formula in Journal of Legal Education.
Jesús Orozco Henriquez, etc. Electoral Justice : The International IDEA
Handbook, (Sweeden: Bulls Graphics, 2010)
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Srdjan Darmanovic, “Electoral Disputes – Procedural Aspects”, Paper on
Unidem Seminar “Supervising Electoral Processes”, European
Commission For Democracy
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty,
Yogyakarta, 1977
Through Law (Venice Commission) In Co-Operation With The Centre For
Political And Constitutional Studies (Cepc), Madrid, Spain, 23 – 25
April 2009.
Veri Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Themis
Books, Depok, 2013
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Wali Kota
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHP.BUP-XIV/2016
Putusan Mahkamah Konstitusi No.209-210/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Kota Tangerang selatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
Website
www.venice.coe.int
http://www.youtube.com