keluarga dan krisis pendidikan karakter

7
KELUARGA DAN KRISIS PENDIDIKAN KARAKTER Peringatan hari pendidikan harus menjadi refleksi bersama terhadap pelaksanaan pendidikan nasional. Jika ditelisik terdapat ketidakseimbangan dalam pelaksanaan tiga ranah pendidikan (kognitif, psikomotorik, dan afektif). Sebagai contoh pemeringkatan peserta didik, pelaksanaan kegiatan ekstakulikuler/life skill, dan menjamurnya tempat les di berbagai daerah menunjukkan bahwa ranah kognitif dan psikomotorik mendapat perhatian lebih. Sementara ranah afektif seolah-olah terkebiri. Padahal komponen ranah afektif merupakan faktor utama pembentuk karakter seseorang. Mengutip penjelasan Benjamin S. Bloom dalam taxonomy of Educational Objective, Affectife Domain (1964) ranah afektif dideskripsikan sebagai ranah yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya. Menjadi pejabat jujur atau korupsi, pengusaha jujur atau curang, dan pribadi-pribadi yang baik atau buruk ditentukan oleh komponen ranah afektif. Bisa dibilang orang-orang pandai di Indonesia sudah banyak, bertolak dengan orang-orang berkarakter positif yang masih minim. Buktinya masih banyak pejabat bermental korup, mafia berkedok pengusaha di berbagai sektor, hingga pengusaha penghindar pajak.

Upload: laila-afif

Post on 10-Jul-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Untuk itu pengoptimalan ranah afektif dalam pendidikan tidak cukup dilimpahkan pada sekolah semata. Terdapat beberapa pertimbangan selain uraian di atas, pertama; waktu interaksi antara pelaku pendidikan di sekolah dengan peserta didik terbatas. Kedua; seorang guru bertemu dengan peserta didik rata-rata hanya dua hingga empat jam dalam seminggu. Ketiga; perbandingan jumlah pelaku pendidikan di sekolah dengan peserta didik sangat timpang.

TRANSCRIPT

Page 1: Keluarga Dan Krisis Pendidikan Karakter

KELUARGA DAN KRISIS PENDIDIKAN KARAKTER

Peringatan hari pendidikan harus menjadi refleksi bersama terhadap

pelaksanaan pendidikan nasional. Jika ditelisik terdapat ketidakseimbangan dalam

pelaksanaan tiga ranah pendidikan (kognitif, psikomotorik, dan afektif). Sebagai

contoh pemeringkatan peserta didik, pelaksanaan kegiatan ekstakulikuler/life skill,

dan menjamurnya tempat les di berbagai daerah menunjukkan bahwa ranah kognitif

dan psikomotorik mendapat perhatian lebih. Sementara ranah afektif seolah-olah

terkebiri.

Padahal komponen ranah afektif merupakan faktor utama pembentuk karakter

seseorang. Mengutip penjelasan Benjamin S. Bloom dalam taxonomy of Educational

Objective, Affectife Domain (1964) ranah afektif dideskripsikan sebagai ranah yang

berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap

moral dan sebagainya. Menjadi pejabat jujur atau korupsi, pengusaha jujur atau

curang, dan pribadi-pribadi yang baik atau buruk ditentukan oleh komponen ranah

afektif. Bisa dibilang orang-orang pandai di Indonesia sudah banyak, bertolak dengan

orang-orang berkarakter positif yang masih minim. Buktinya masih banyak pejabat

bermental korup, mafia berkedok pengusaha di berbagai sektor, hingga pengusaha

penghindar pajak.

Berangkat dari situ pemerintah menambah porsi ranah afektif dalam

kurikulum terbaru (kurtilas) secara total. Setidaknya ada dua hal dalam penilaian

afektif pada kurtilas, yaitu sikap spiritual dan sosial. Pada buku pegangan guru, teknik

penilaian sikap diuraikan secara rinci baik melalui observasi, penilaian diri, penilaian

antar teman, maupun jurnal. Namun di lapangan penilaian sikap peserta didik

semacam itu justru memberatkan tugas administratif pendidik, sehingga tak heran jika

pendidik menggunakan teknik ngaji (ngarang biji atau mengarang nilai) dalam

penilaian afektif. Hal itu karena seorang pendidik dituntut menilai 13 komponen

sikap kepada setiap peserta didik. Apabila dikalkulasi, standarisasi pendidik mengajar

24 jam (12 kelas) dengan jumlah tiap kelas rata-rata 30 anak, maka seorang pendidik

harus memasukkan sebanyak 4680 nilai sikap.

Page 2: Keluarga Dan Krisis Pendidikan Karakter

Urgensi Pelibatan Keluarga

Untuk itu pengoptimalan ranah afektif dalam pendidikan tidak cukup

dilimpahkan pada sekolah semata. Terdapat beberapa pertimbangan selain uraian di

atas, pertama; waktu interaksi antara pelaku pendidikan di sekolah dengan peserta

didik terbatas. Kedua; seorang guru bertemu dengan peserta didik rata-rata hanya dua

hingga empat jam dalam seminggu. Ketiga; perbandingan jumlah pelaku pendidikan

di sekolah dengan peserta didik sangat timpang.

Sebagai solusi terhadap kendala tersebut sekolah sangat perlu melibatkan

keluarga dalam pendidikan, terutama untuk membentuk karakter anak melalui ranah

afektif. Keluarga menjadi kunci pembentukan karakter anak, alasannya keluarga

merupakan elemen yang dekat dengan anak dan tahu tingkah laku anak. Hanya saja

selama ini belum ada instrumen ataupun pedoman bagi keluarga untuk ikut mendidik

anaknya. Sehingga ketika keluarga memberi nasihat pada anak, tak jarang diabaikan

begitu saja oleh anak.

Jurnal Keluarga

Langkah kongkret pelibatan keluarga dalam pendidikan dapat berupa

pembukuan aktifitas anak dalam jurnal. Jurnal berfungsi bagi keluarga untuk

mengevaluasi aktifitas anak di luar sekolah. Adapun aspek yang dimuat bisa aspek

keagamaan, sosial, personal, maupun penunjang sekolah.

Aspek keagamaan berisikan cheklis shalat lima waktu, puasa, kebaktian, dan

lainnya. Cheklis tersebut berguna bagi anak untuk membiasakan beribadah. Apabila

beribadah dilakukan secara terus-menerus, dengan sendirinya akan terinternalisasi

pada diri sang anak.

Aspek sosial dapat berupa uraian aktifitas sosial anak. Semisal di mana saja

anak bergaul, apa saja yang dilakukan anak saat bergaul, dan sejenisnya. Tentu

pengisian aspek ini jangan seolah-olah mengekang anak ataupun membatasi ruang

gerak anak. Dari uraian aktifitas itu, selain mengarahkan anak pada pergaulan yang

positif, bisa juga mensingkronkan jawaban anak dengan sidak, karena pergaulan anak

cenderung ajeg.

Page 3: Keluarga Dan Krisis Pendidikan Karakter

Aspek personal berupa evaluasi keluarga terhadap integritas anak yang

meliputi kejujuran, kesantunan, tanggung jawab, kerajinan, disiplin, dan lainnya.

Sedangkan aspek penunjang sekolah, berupa cheklis belajar dan keberangkatan anak

ke sekolah. Cheklis belajar bertujuan untuk mendorong anak supaya semangat

belajar. Sementara cheklis keberangkatan berguna untuk menutup celah anak bolos

sekolah.

Seyogyanya jurnal tersebut diterapkan sejak anak usia dini. Karena, apabila

diterapkan mulai Sekolah Menengah Atas sederajat dikhawatirkan anak akan kaget

bahkan brontak. Berbeda jika dimulai sejak dini, tentu ketika anak sudah memasuki

SMP sederajat atau SMA sederajat tidak merasa kaget, justru sudah menjadi

pembiasaan. Pembiasaan itulah yang akan membentuk karakter positif anak.

Jurnal tersebut dilaporkan secara berkala kepada pihak sekolah. Pihak

sekolah bisa menjadikan jurnal sebagai acuan utama untuk menentukan nilai afektif

anak pada laporan hasil belajar siswa. Seharusnya ada kesepakatan bersama untuk

menjadikan penilaian ranah afektif sebagai pertimbangan naik kelas, masuk jenjang

pendidikan lebih tinggi, dan masuk dunia industri/ usaha, mengingat selama ini

pertimbangan tersebut hanya berdasarkan ranah kognitif dan psikomotorik.

Page 4: Keluarga Dan Krisis Pendidikan Karakter

Identitas diri

Nama : Rifqi Hidayat

TTL : Jepara, 05 September 1992

Alamat : Kalipucang Wetan Rt 05 Rw 01, Kecamatan Welahan Kabupaten

Jepara

No. HP : 085642743887

Profesi : Guru Muda SMK Terpadu Hadziqiyyah Nalumsari Jepara

Page 5: Keluarga Dan Krisis Pendidikan Karakter