kelompok 9

8
KELOMPOK 9 NAMA : EVI YUNISA NPM : 11140030 KELAS : 4.A KULTUR STELSEL Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari “forced specialization” yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo oleh pihak penjajah. Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank, 1981) Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari

Upload: deni-cahlam

Post on 23-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

fgfgf fg fgf

TRANSCRIPT

Page 1: KELOMPOK 9

KELOMPOK 9

NAMA : EVI YUNISA

NPM : 11140030

KELAS : 4.A

KULTUR STELSEL

Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan

hal ini merupakan manifestasi dari “forced specialization” yang didasarkan pada analisis manfaat

komparatif Ricardo oleh pihak penjajah.

Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa

atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini

mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal

pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank,

1981)

Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan

yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa

menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu,

dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang

sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang

tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik

pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi

tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial

di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup

memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai kasus

kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada

Page 2: KELOMPOK 9

tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa

tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa.

Kelompok proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial berikutnya, yaitu

pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatra Timur setelah cultuurstelsel

berakhir, menjadi sumber buruh murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini. Pengiriman

penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan kolonial

Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan gula disana.

Surplus ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat berjumlah 781 juta

Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-

perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-

1920 (Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan kemakmuran bagi

negara jajahannya.

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari

para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes

Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan

nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita

akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.

Namun demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah

berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan

yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa.

Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.

Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu

kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di

negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam

kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta,

sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana,

menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

Page 3: KELOMPOK 9

UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang

luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh,

kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam

bentuk sewa jangka pendek.

Hatta (1972) melaporkan bahwa upah buruh perkebunan pada tahun 20an adalah sekitar 50 sen

per harinya, sedangkan dividen yang diterima oleh pemegang saham modal swasta di negeri

Belanda di Negeri Belanda rata-rata berada di atas 40%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

kenaikkan produktivitas buruh Indonesia bukan dinikmati oleh penduduk negeri ini, tetapi oleh

para pemegang saham bangsa Belanda di Negeri Belanda.

Contoh lain akibat penindasan dan diskriminasi secara ekonomi ini, Hatta juga melaporkan

bahwa tahun 1925 pengeluaran pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak Indonesia hanya 32

sen per kapita. Sedangkan untuk pendidikan anak-anak Belanda di Indonesia, pemerintah Hindia

Belanda memberikan sebanyak 75 gulden per kapita atau lebih besar 225 kali lipat. Perbedaan

yang mencolok ini mengakibatkan perbedaan kualitas pendidikan antara bumiputera dengan

bangsa belanda.

Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem ekonomi kolonial Belanda baik berupa

tanam paksa ataupun pembukaan perkebunan oleh kaum pemodal-liberal Belanda di Indonesia

bukan hanya mengobrak-ngabrik struktur ekonomi Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi

terhadap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami oleh bangsa Indonesia.

KEPEMILIKAN TANAH DAN PENGARUH HUKUM BARAT

a. Pemilikan tanah pribadi secara turun-temurun.

Yang dimaksud dengan pemilikan tanah pribadi secara turun-temurun disini adalah tanah

warisan milik pribadi yang merupakan warisan yang dapat secara bebas dialihkan oleh

pemiliknya. Misalnya, dijual, dihadiahkan, atau dibagikan sebagai warisan. Dalam tanah pribadi

ini tidak ada hambatan legal ketika terjadi pembagian tanah garapan di antara sejumlah ahli

waris. Tanah-tanah garapan bukan sawah (tegal, pekarangan) hampir selalu merupakan milik

pribadi secara turun-temurun.

Page 4: KELOMPOK 9

b. Pemilikan bersama atas sawah (tanah irigasi)

Dalam pemilikan tanah ini petani penggarap yang mempunyai hak atas sawah desa tidak boleh

memindahkan haknya itu tanpa persetujuan pemerintah desa. Tanah tersebut tidak boleh dibagi-

bagikan di antara para ahli waris.

Dengan adanya pola pemilikan tanah tersebut sangat memungkinkan untuk terjadinya suatu

peralihan fungsi dan pemilikan tanah, misalnya saja yang terjadi di Indonesia. Dimana ada

peralihan fungsi tanah dari yang semula lebih berorientasi pada kegiatan pertanian berubah

menjadi usaha perkebunan. Adanya peralihan fungsi tanah tersebut tentunya juga ada faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah adanya politik liberal di Indonesia sejak

tahun 1870 yang ditanamkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan yang lebih penting adalah

dengan adanya UU Agraria 1870.

Tanah merupakan unsur paling penting dalam kehidupan manusia terutama yang mengandalkan

kegiatan ekonominya pada tanah. Di Indonesia sendiri pada masa pemerintah kolonial Belanda,

tanah merupakan suatu investasi yang sangat penting. Sebelum membahas lebih jauh tentang

tanah, sebelumnya pada tahun 1870 ada dua kategori utama pola pemilikan tanah, yaitu:

KEBIJAKAN PEMERINTAH BELANDA

1.politik perdagangan dan kebijakan pemerintahan voc

Peraturan-peraturan yg ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :

a).Verplichte Laverantie

Yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yg telah ditetapkan oleh VOC,dan melarang

rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.

b).Contingenten

Yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.

c).Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam.

d).Ekstirpasi

Page 5: KELOMPOK 9

Yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah- rempah agar tidak terjadi over produksi yg

dapat menyebabkan harga rempah-rempah merosot.

e).Pelayaran Hongi

Yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan

monopoli perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.

Beberapa gubernur jendral VOC yang dianggap berhasil dalam mengembangkan usaha dagang

dan kolonisasi VOC di Nusantara antara lain :

1.Jan Pieterzoon Coen (1619-1629)

Dikenal sebagai peletak dasar imperialisme Belanda di Nusantara.Ia dikenal pula dengan

rencana kolonisasinya dengan memindahkan orang-orang Belanda bersama keluarganya ke

Indonesia.

2.Antonio Van Diemen (1636-1645)

Ia berhasil memperluas kekuasaan VOC ke Malaka pada tahun 1641,Ia juga mengirimkan misi

pelayaran yang dipimpin Abel Tasman ke Australia,Tasmania,Selandia baru.

3.Joan Maetsycker (1653-1678)

Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan VOC ke Semarang Padang dan Menado.

4.Cornelis Speeldman (1681-1684)

Ia menghadapi perlawanan didaerah dan tidak berhasil mengalahkan Sultan Agung,Trunojoyo

dan Sultan Ageng Tirtayasa.

2.SISTEM BIROKRASI VOC

Guna memerintah wilayah-wilayah di Nusantara VOC mengangkat seorang gubernur jendral yg

Dibantu oleh 4 orang yg disebut Raad van Indie (dewan India)

Dibawah gubernur jendral diangkat beberapa gubernur yang memimpin suatu daerah.dibawah

gubernur terdapat beberapa Residen yang di-bantu oleh Asisten Residen,pemerintahan

dibawahnya lagi diserahkan pada pemerintahan tradisional,seperti Raja dan Bupati.VOC

menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung (Indirect rule) dengan memanfaatkan sistem

Feodalisme.

3.KEMUNDURAN VOC

Kemunduran dan kebangkrutan VOC terjadi sejak awal abad ke-18 disebabkan oleh :

1.Banyak korupsi yg dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC.

2.Anggaran pegawai terlalu besar sebagai akibat makin luasnya wilayah kekuasaan VOC.