kelompok 5_kebijakan fiskal
TRANSCRIPT
SEMINAR KEUANGAN PUBLIK
KEBIJAKAN FISKAL
KELOMPOK IV:
1. BAYU DWI NURCAHYO (06)
2. FATIMAH ERNAWATI (09)
3. NARARIA SANGGRAMA W. (15)
4. NINI DEWI HANDAYANI (18)
5. TAUFIK ISMAIL (26)
PROGRAM DIPLOMA IV AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2014
1
I. PENDAHULUAN
Pada awal perkembangannya, perekonomian pada suatu negara
dianggap akan selalu berada pada titik keseimbangan. Pemikiran yang
digagas oleh Adam Smith pada abad 18 ini beranggapan bahwa pemerintah
dalam suatu negara tidak perlu mencampuri urusan perekonomian dari
negara tersebut. Keseimbangan pada perekonomian disebabkan adanya
invisible hand dalam mengatur pembagian sumber daya, dan oleh karenanya
peran pemerintah menjadi sangat dibatasi karena akan mengganggu proses
ini. Konsep invisible hand ini kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme
pasar melalui harga sebagai instrumen utamanya. Pemikiran ini juga dikenal
dengan istilah Laissez-faire, dalam bahasa Prancis yang berarti biarkan
sendiri (leave alone).
Konsep Laissez-faire yang dikembangkan oleh Adam Smith bertahan
dalam jangka waktu yang sangat lama hingga pada tahun 1930 teori tersebut
terbantahkan dengan adanya kejadian The Great Depression. Pada saat itu
terjadi ketidakstabilan ekonomi dimulai dari anjloknya harga saham hingga
masalah pengangguran yang terjadi berlarut-larut. Kejadian tersebut menjadi
bukti bahwa keadaan ekonomi pada suatu negara tidak selamanya akan
mencapai titik keseimbangan dengan sendirinya tanpa campur tangan
pemerintah. Ketidakstabilan ekonomi yang tidak kunjung menemui titik terang
itu akhirnya mengilhami seorang ekonom bernama John Maynard Keynes,
melontarkan pendapat untuk memperbaiki keadaan melalui bukunya The
General Theory of Employment, Interest and Money yang terbit tahun 1936.
Dalam buku tersebut Keynes menyampaikan pokok pikiran berupa usulan
pemulihan dengan memasukkan peranan pemerintah dalam perekonomian
dalam rangka menstimulasi sisi permintaan. Keynes menyatakan bahwa
pemerintah dapat memepengaruhi produktivitas makroekonomi dengan
meningkatkan atau menurunkan level pajak dan pengeluaran publik. Hal
inilah yang menimbulkan adanya kebijakan fiskal sebagai salah satu
kebijakan pemerintah untuk melakukan hal tersebut.
2
II. KEBIJAKAN FISKAL
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal memiliki definisi yang bermacam-macam, tergantung
pada siapa ahli ekonomi yang mendefinisikannya. Beberapa ahli dari luar
seperti Norpin, Ph. D mengatakan bahwa kebijakan fiskal terdiri dari
perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk
mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indicator yang biasa
dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah
(dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak.
Menurut samuel dan Nordhaus kebijakan fiskal yaitu suatu proses
pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat untuk menekan
fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan
ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang
tinggi dan berubah-ubah. Menurut Sadono Soekirno kebijakan fiskal dapat
diartikan sebagai kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan
ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak)
pemerintah. Degan adanya campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah
diharapkan perekonomian pada suatu negara dapat mencapai keseimbangan
yang diinginkan. Kebijakan fiskal juga diartikan sebagai langkah-langkah
pemerintah membuat perubahan dalam perpajakan dan pengeluaran
pemerintah dengan maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam
perekonomian.
Dari berbagai contoh definisi tersebut diatas, dapet disimpulkan bahwa
secara garis besar kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok yaitu
perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Dengan
menggunakan dua komponen utama tersebut kebijakan fiskal mampu
menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengaruh penerimaan dan
perngeluaran negara terhadap kondisi perekonomia, tingkat pengangguran
dan inflasi. Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan
kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan untuk pengembangan aspek ekonomi
(seperti; pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan
3
pengangguran dan stabilisasi ekonomi) tetapi juga peningkatan aspek sosial
seperti, pemerataan, pendidikan dan kesehatan.
B. FUNGSI KEBIJAKAN FISKAL
Sebagai salah satu kebijakan ekonomi makro pada suatu negara,
kebijakan fiskal memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi tersebut adalah
fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi (Musgrave, 1956). Penjelasan fungsi
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Stabilisasi
Fungsi stabilisasi dari kebijakan fiskal dilakukan oleh pemerintah dengan
cara melakukan penyesuaian pada kebijakan di bidang perpajakn serta
pengeluaran pemerintah. Adanya pengeluaran tersebut diharapkan keadaan
perekonomian bisa berada pada tingkat harga yang stabil dan terserapnya
tenaga kerja ( full employment).
b. Alokasi
Fungsi tersebut dijalankan oleh pemerintah dengan cara mengalokasikan
sumber daya ekonominya. Sumber daya ekonomi tersebut dialokasikan oleh
pemerintah secara langsung dengan membeli barang-barang seperti
pertahanan dan pendidikan, dan secara tidak langsung melaui berbagai pajak
dan subsidi.
c. Distribusi
Fungsi dijalankan pemerintah dengan cara melakukan penyesuaian pada
pengeluarannya dengan tujuan untuk mendistribusikan barang-barang yang
diproduksi oleh masyarakat agar seluruh masyarakat dapat menikmati
barang-barang kebutuhannya secara adil dan merata.
C. Prinsip-prinsip kebijakan fiskal
Pada prinsipnya, suatu kebijakan fiskal dilaksanakan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, melindungi penduduk dari ketidakpastian dan pajak
yang eksesif, serta untuk membantu para pembuat peraturan perundangan
dalam mengatasi kesulitan ekonomi.
4
Instrumen yang dapat digunakan pemerintah dalam penerapan kebijakan
fiskal tersebut antara lain: pajak, subsidi, dan anggaran. Menurut Joseph L.
Bast, Steve Stanek, dan Richard Vedder, Ph.D, ada sepuluh prinsip yang
harus ditaati dalam penyusunan kebijakan fiskal, yaitu:
1. Menjaga tarif pajak yang rendah
Sejarah membuktikan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menghambat
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Suatu paradox yang terjadi di
Indonesia adalah dari tahun ke tahun pajak semakin menjadi andalan
pendapatan utama Negara dalam APBN. Namun hal itu dapat dimaklumi
sepanjang peningkatan diperoleh dari bertambahnya jumlah Wajib Pajak
yang mampu dan bukan dari peningkatan tarif pajaknya atau jumlah item
barang yang kena pajak.
2. Jangan memotong pendapatan atas investasi
Para investor datang untuk meningkatkan penghasilan atas investasi yang
ditanamkannya, sehingga jika dipotong pajak akan menurunkan minat
investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dilakukan
dengan tidak mengenakan pajak atas dividen dari pembagian laba
perusahaan. Namun untuk laba perusahaan yang memperoleh dana
investasi tersebut tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus (lihat prinsip
No. 6).
3. Hindari dosa pajak
Penerapan pajak yang tidak fair dan bersifat regresif. Contohnya
pengenaan PPN atas barang dan jasa yang cenderung berganda. Hal ini
sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan restitusi pajak
fiktif dan membebani masyarakat sebagai pembeli akhir. Keadilan pajak
seharusnya dapat mencontoh pada mekanisme pemungutan zakat,
misalnya zakat harta dikenakan sebesar 2,5% atas harta minimal (nisab)
yang setara dengan suatu hitungan emas tertentu (96 gram emas) dalam
satu tahun. Dimana jumlah prosentase zakat tetap, namun orang yang
lebih kaya akan membayar lebih banyak sesuai jumlah harta yang dimiliki.
4. Menciptakan mekanisme penyusunan anggaran yang transparan dan
akuntabel
5
Hal ini dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian dan sumber daya
untuk menyediakan pelayanan yang menjadi fungsi utama (the core
functions) pemerintah. Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan
anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak
dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung
dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang
terukur sesuai dengan perencanaannya.
5. Melakukan privatisasi atas Pelayanan Publik
Tujuan privatisasi bukan sekadar untuk memperoleh tambahan
pendapatan negara, namun merupakan suatu cara yang tepat untuk
mengurangi belanja pemerintah sekaligus untuk meningkatkan mutu
pelayanan publik tersebut. Dengan prinsip tersebut maka prioritas
privatisasi adalah kepada perusahaan negara/daerah tidak efisien yang
membebani keuangan negara (merugi), dan bukan kepada perusahaan
yang menguntungkan.
6. Hindari pembayaran subsidi kepada korporasi
Pemberian subsidi kepada korporasi atau pengurangan pajak secara
selektif dapat menimbulkan pertanyaan secara politik dan membawa
dampak buruk bagi perekonomian. Indonesia masih menerapkan susbsidi
kepada korporasi misalnya subsidi BBM kepada Pertamina, subsidi pupuk
kepada PT Pusri, dan subsidi listrik kepada PLN. Pemberian subsidi
korporasi berdampak pada terciptanya disparitas harga, kesulitan
mengukur kinerja korporasi yang disubsidi, rumitnya mekanisme
pencatatan akuntansi pada sisi keuangan pemerintah dan sisi korporasi,
serta kesulitan dalam pemeriksaan atas jumlah subsidi yang harus
dibayarkan.
7. Membatasi pajak dan belanja pemerintah
Pembatasan atas pajak dan pengeluaran pemerintah akan melindungi
pemerintah dari tekanan publik untuk membelanjakan surplus pendapatan
pajak pada saat kondisi ekonomi baik sebagai cadangan jika terjadi
kesulitan ekonomi (krisis). Prinsip ini menghendaki pada saat surplus
anggaran, pemerintah dapat melakukan penghematan dan menabung
sebagai cadangan agar dapat digunakan pada saat terjadi kesulitan
ekonomi.
6
8. Membiayai siswa dan bukan memberikan dana kepada sekolah
Berdasarkan pengalaman pemberian dana langsung ke sekolah seperti
block grant, dan BOS akan sulit diukur pencapaian tingkat kinerjanya,
dibandingkan dengan cara sekolah menetapkan jumlah biaya pendidikan
yang dibutuhkan oleh setiap siswa sesuai pencapaian akademis yang
diinginkan dan pemerintah harus membiayai siswa yang tidak mampu.
Misalnya dengan mekanisme pemberian beasiswa yang diberikan oleh
institusi atau yayasan, seperti Supersemar, Ausaid, USaid dll.
9. Reformasi mekanisme pemberian bantuan kesehatan
Pengeluaran untuk bantuan kesehatan biasanya menjadi tidak terkendali
atau terjadi penurunan mutu pelayanan yang diterima pasien dengan
bantuan kesehatan.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat
miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya
pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang
diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
10.Melindungi pegawai pemerintah (PNS) dari politik
Pemerintah harus mewaspadai penggunaan dana untuk keperluan politik
dari pembayaran yang dilakukan oleh pegawai pemerintah. PNS dalam
jumlah yang besar merupakan vote getter yang diperebutkan oleh partai
dan kandidat, sehingga akan mempengaruhi independensi dan tidak
menutup kemungkinan penggunaan fasilitas dan dana pemerintah untuk
kepentingan kelompok tertentu, sehingga layak dipertimbangkan bahwa
PNS juga tidak perlu menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu seperti
halnya anggota TNI dan POLRI. Selain itu berapa biaya Pemilu yang
dapat dihemat dari berkurangnya mata pilih dari PNS tersebut.
D. JENIS KEBIJAKAN FISKAL
Terdapat beberapa jenis kebijakan fiscal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah, diantaranya yaitu:
1. Kebijakan Fiskal Diskresi
Kebijakan fiscal diskresioner atau biasa disebut kebijakan aktif adalah
tindakan yang diambil pemerintah dalam bidang pengeluaran pemerintah
atau penerimaan pajak yang secara khusus dapat merubah sistem yang
7
ada. Tujuan pengambilan kebijakan ini adalah untuk mengatasi masalah-
masalah perekonomian yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan
masyarakat, sehingga tetap tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi
pada keadaan tingkat full employment dengan tanpa inflasi.
Kebijakan pemerintah yang bersifat diskresioner dapat dibedakan menjadi
dua bentuk yaitu kebijakan fiskal mengembang atau expansionary fiscal
policy dan kebijakan fiskal kontraksi atau mengecil atau contractionary
fiscal policy.
a. Kebijakan fiskal mengembang (Ekspansif)
Merupakan kebijakan pemerintah yang dilakukan untuk menambah
pengeluaran negara, sehingga memperbesar kegiatan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan nasional. Kebijakan ini sering diambil ketika
perekonomian sedang menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi
dan tingkat investasi yang rendah. Atau dalam pengertian lain,
Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam
rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik
dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada
saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional gap adalah suatu
kondisi dimana output potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan dengan
output Actual (Y1). Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi
perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran.
Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output
(Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun
penurunan pajak (T) terhadap output adalah sebagai berikut, pada grafik
(2.1) maka dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (ΔG)
naik atau selisih pajak (ΔT) turun maka akan menggeser kurva
pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1)
menjadi (Yf).
8
Menaikkan belanja negara dan menurunkan tingkat pajak netto untuk
meningkatkan daya beli masyarakat . Kebijakan dilakukan pada saat
perekonomian mengalami resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi.
Gambar Kebijakan Fiskal Ekspansif
b. kebijakan fiscal kontraksi
Merupakan kebijakan yang diambil dengan tujuan meningkatkan
penerimaan dari sektor pajak, sehingga kegiatan ekonomi dan
pendapatan nasional berkurang. Kebijakan kontraksi umumnya diambil
pemerintah ketika perekonomian Negara sedang mengalami masalah
inflasi yang tinggi dan deficit neraca pembayaran yang besar. Kebijakan
ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi
inflasi.
Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara
menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini
bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi.
kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada
pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika
perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat
munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi
9
dimana output potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output Actual
(). Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun
kenaikan pajak (T) terhadap output (Y) adalah sebagai berikut, secara
grafik kebijakan fiskal kontraktif diagram sebagai berikut:
Gambar Kebijakan Fiskal kontraktif
2. Kebijakan Fiskal Non‐Diskresi / Automatic Stability
Kebijakan fiskal non diskresi adalah tindakan - tindakan atau
mekanisme‐mekanisme di bidang fiscal yang bersifat non‐mandatory,
bersifat built in flexible atau pasif. Tindakan‐tidakan atau mekanisme -
mekanisme yang muncul tidak lebih dulu harus dimintakan persetujuan
kepada DPR. Kebijakan fiscal otomatis merupakan bentuk-bentuk system
fiscal yang sedang berlaku sekarang dan secara otomatis cenderung
dapat menimbulkan terjadinya kestabilan dalam kegiatan ekonomi.
Kebijakan ini sering disebut sebagai kebijakan tanpa kelambanan.
Kebijakan ini dirancang agar secara otomatis dapat mengatasi
kelambanan atau inside lags yang terkait dengan kebijakan stabilitasi.
Penstabilan otomatik merupakan kebijakan yang mendorong atau
menekan perekonomian ketika diperlukan tanpa melakukan perubahan
kebijakan yang disengaja sehingga kebijakan ini biasa disebut kebijakan
10
fiscal pasif. Instrument kebijakan fiscal otomatis biasanya dilakukan
dengan perpajakan yang bersifat progresif, proposional, dan sistem
asuransi pengangguran.
Instrumen perpajakan secara progresif akan mampu mengurangi gejolak
naik turunnya kegiatan perekonomian dari waktu ke waktu secara
otomatis. Ketika kegiatan ekonomi sedang mengalami resesi, maka pajak
yang dipungut dari masyarakat akan mengalami penurunan karena
pendapatan masyarakat turun. Sebaliknya ketika kegiatan ekonomi
sedang meningkat, kesempatan kerja naik, kemakmuran dan
kesejahteraan juga naik, maka penerimaan pajak dari masyarakat juga
akan naik. Asuransi pengangguran atau asuransi jaminan sosial
merupakan salah satu jenis penstabil otomatis. Diketahui bahwa asuransi
pengangguran dan jaminan social merupakan program yang dapat
mengurangi besarnya gejolak naik turunnya pendapatan nasional yang
berlaku jangka panjang.
Kebijakan otomatik memiliki kemampuan yang terbatas dalam
menciptakan kestabilan ekonomi suatu negara. Dalam keadaan ekonomi
dengan inflasi tinggi, penstabil otomatik tidak lagi mampu mengatasi
masalah inflasi tersebut. Ketika terjadi pengangguran yang tinggi, maka
kebijakan otomatis tidak lagi mampu berperan sebagai kebijakan yang
dapat menyelesaikan masalah pengangguran. Kebijakan otomatis ini
hanya mampu sebatas mengurangi besarnya dampak keseriusan yang
ditimbulkannya.
Pengaruh kebijakan fiscal terhadap perekonomian
Depresi Besar (Great Depression) pada tahun 1930-an sehingga
menyebabkan pengangguran besar-besaran dan penurunan pendapatan
menyebabkan banyak ekonom mempertanyakan keabsahan teori ekonomi
klasik. Mereka percaya mereka perlu model baru untuk menjelaskan
kemerosotan ekonomi yang dahsyat itu dan untuk menyarankan kebijakan
pemerintah yang bisa mengurangi kesulitan ekonomi yang masyarakat alami.
11
Pada 1936, John Maynard Keynes menulis The General Theory of
Employment, Interest and Money. Di dalamnya, ia mengusulkan cara baru
untuk menganalisis perekonomian, yang ia hadirkan sebagai alternatif dari
teori klasik. Keynes menyatakan permintaan agregat rendah bertanggung
jawab atas rendahnya pendapatan dan tingginya pengangguran yang
mencirikan kemerosotan ekonomi. Ia mengkritik teori klasik karena
mengasumsikan bahwa hanya penawaran agregat-modal, tenaga kerja, dan
teknologi- yang menentukan pendapatan nasional.
Model permintaan agregat yang dikembangkan disebut IS-LM
merupakan interpretasi utama dari kerja Keynes. Model IS-LM mengambil
tingkat harga yang ada dan menunjukkan apa yang menentukan pendapatan
nasional pada berbagai tingkat harga. Dengan model ini, dapat menunjukkan
penyebab perubahan pendapatan pada harga yang tetap atau penyebab
kurva permintaan bergeser.
Gambar pergeseran permintaan agregat
Pada model ini, terdiri dari dua kurva yaitu kurva IS dan kurva LM.
Kuva IS menunjukkan “investasi” dan “tabungan” dari pasar barang.
Sedangkan kurva LM menunjukkan “likuiditas” dan “uang” pada pasar uang.
Pada pembahasan kebijakan fiskal kali ini hanya akan membahas kura IS
yang terkait dengan pasar barang.
Kurva IS menyatakan hubungan antara tingkat bungan serta tingkat
pendapatan yang muncul di pasar barang dan jasa yanga kan dimulai dengan
perpotongan Keynesian (Keynesian Cross).
12
Dalam General Theory of Money, Interest and Employment (1936),
Keynes menyatakan pendapatan total perekonomian, dalam jangka pendek,
ditentukan sebagaian besar oleh keinginan belanja rumah tangga,
perusahaan, dan pemerintah. Semakin orang ingin belanja, semakin banyak
barang dan jasa yang dapat dijual perusahaan. Semakin banyak yang
perusahaan menjual, semakin banyak output yang produks dan semakin
banyak pekerja untuk dipekerjakan. Jadi, masalah selama resesi dan depresi,
menurut Keynes, adalah belanja yang tidak cukup. Perpotongan Keynes
adalah usaha untuk memodelkan wawasan ini.
Perpotongan Keynesian
Terdapat 2 bagian dalam perpotongan keynesian yaitu pengeluaran
yang direncanakan dan pengeluaran aktual. Pengeluaran aktual (actual
expenditure) adalah jumlah uang yang dikeluarkan rumah tangga,
perusahaan dan pemerintah untuk barang dan jasa (GDP). Pengeluaran yang
direncanakan (planned expenditure) adalah jumlah yang akan dikeluarkan
rumah tangga, perusahaan dan pemerintah untuk barang dan jasa.
Pengeluaran aktual dan pengeluaran direncanakan selalu berbeda
karena perusahaan mungkin terlibat dalam investasi persediaan yang tidak
direncanakan karena penjualan tidak memenuhi harapan. Ketika perusahaan
menjual produk lebih sedikit dari yang direncanakan maka stok akan
meningkat, begitu juga sebaliknya. Perubahan tersebut diperhitungkan
sebagai investasi sehingga pengeluaran aktual dapat di bawah atau di atas
pengeluaran yang direncanakan.
Gambar pengeluaran yang direncanakan
13
Kurva di atas meliputi, PE (planned expenditure), C (konsumsi),
Y(penndapatan), I(investasi), dan kebijakan fiskal yang ditunjukkan G dan T.
adapun kemiringan garis menunjukkan kecenderungan mengkonsumsi
marjinal, MPC yang menunjukkan rencana peningkkatan pengeluaran ketika
pendapatan naik $1.
Pengeluaran mencapai titik equilibrium ketika pengeluaran aktual sama
dengan pengeluaran yang direncanakan atau Y = E (Y sama dengan
pedaptan total serta pengeluarana aktual). Kondisi ini dapat terjadi pada saat
perekonomian tidak pada posisi equilibrium sehingga perusahaan akan
mengalami perubahan yang mendorong perusahaan mengubah produksi
sehingga menggerakkan posisi pada kondisi equilibrium.
Gambar perpotongan Keynesian
Perpotongan Keynes tersebut menunjukkan bahwa pendapatan (Y)
ditentukan tingkan investasi (I) yang direncanakan dan kebijakan fiskal berupa
G dan T.
14
Gambar penyesuaian menuju equilibrium
Kebijakan Fiskal sebagai faktor pengganda
1. Belanja Pemerintah
Karena belanja pemerintah adalah salah satu komponen pengeluaran,
belanja pemerintah yang lebih tinggi berakibat pada pengeluaran
direncanakan yang lebih tinggi, untuk semua tingkat pendapatan. Kenaikan
belanja pemerintah ΔG meningkatkan pengeluaran yang direncanakan
sejumlah itu untuk semua tingkat pendapatan. Ekuilibrium bergerak dari A
ke B dan pendapatan meningkat. Ingat bahwa kenaikan pendapatan Y
melebihi kenaikan belanja pemerintah ΔG.
Gambar kenaikan belanja pada perpotongan Keynes
Kebijakan fiskal memiliki dampak pengganda pada pendapatan karena
menurut fungsi C=C(Y-T), maka pendapatan yang lebih tingga
meningkatkan konsumsi yang lebih tinggi. Ketika belanja pemerintah naik,
maka akan meningkkankan pendapatan dan selanjutnya meningkatkan
konsumsi dan seterusnya. Sehingga kenaikan belanja menaikkan
pendapatan yang lebih besar.
Pengganda belanja-pemerintah (government-purchases multiplier) :
ΔY/ΔG = 1 + MPC + MPC2 + MPC3 + …
ΔY/ΔG = 1 / 1 - MPC
15
2. Pajak
Pada peubahan pajak, sebesar ΔT secara langsung akan menaikkan
disposable income Y-T sebesat ΔT sehingga menaikkan konsumsi sebesar
MPCx ΔT. Pada pengurangan pajak, terjadi tax multiplier seperti pada belanja
pemerintah sebesar:
ΔY/ΔT = - MPC/(1-MPC)
Gambar pengurangan pajak pada perpotongan Keynes
Pengaruh Kebijakan fiscal pada Kurva IS
Pada perpotongan Keynesian, memperlihatkan bahwa tingkat
pendapatan tergantung pada G dan T. kurva IS digambarkan dengan
kebijakan fiscal tertentu, maka ketika kebijakan fiscal pada komponen G dan
T berubah maka secara otomatis kurva IS akan bergeser. Kurva IS
menunjukkan kombinasi tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang
konsisten dengan ekuilibrium pada pasar barang dan jasa. Perubahan-
perubahan kebijakan fiskal yang meningkatkan permintaan barang dan jasa
menggeser kurva IS ke kanan. Perubahan-perubahan kebijakan fiskal yang
menurunkan permintaan barang dan jasa menggeser kurva IS ke kiri.
16
Gambar perpotongan keynes dengan peningkatan belanja
Gambar kurva IS akibat kenaikan belanja
E. INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama dengan kebijakan
moneter, yaitu mengelola/ mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih
baik. Perbedaannya terletak pada instrumen kebijakannya.Jika dalam
kebijakan moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar, maka
dalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan
pengeluarannya.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran
pemerintahyang tertuang dalam APBN sebagai suatu rencana operasi
keuangan pemerintah.
17
a. Peningkatan penerimaan karena perubahan tarif pajak akan berpengaruh
padaekonomi,
b. Pengeluaran pemerintah akan berpengaruh pada stimulasi pada
perekonomianmelalui dampaknya terhadap sisi pengeluaran agregat,
c. Politik anggaran (surplus, berimbang, atau defisit) sebagai respon atas
suatu kondisi.
d. Strategi pembiayaan dan pengelolaan hutang.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan
berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya
beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan
jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli
masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Selain pajak, instrumen kebijakan fiskal lain yang digunakan oleh
pemerintah adalah pengeluaran agregat. Dengan memperbesar dan
memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah, jumlah transfer pemerintah,
dan jumlah pajak yang diterima pemerintah, pemerintah dapat mempengaruhi
tingkat pendapatan nasional dan tingkat kesempatan kerja.Untuk
menyeimbangkan perekonomian, dalam jangka panjang diusahakan adanya
anggaran belanja seimbang.Namun pada masa depresi digunakan anggaran
defisit, sedang dalam masa inflasi digunakan anggaran belanja surplus.
Sebagai contoh dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
yaitu ketika perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat
mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil
pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara
demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Contoh lain dari bentuk
kebikan fiskal yang sempat marak adalah BLT. banyak orang melihat BLT
hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. Sebenarnya di balik itu
ada tujuan khusus dari pemerintah, dimana BLT diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, daya beli masyarakat juga meningkat.Dengan demikian
permintaan dari masyarakat juga meningkat. Meningkatnya permintaan dari
masyarakat akan mendorong produksi yang pada akhirnya akan memperbaiki
18
kondisi perekonomian Indonesia.Pengeluaran pemerintah ditentukan dengan
melihat akibat-akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional.
Contoh lainnya, jika tujuan pemerintah adalah untuk mendorong laju
investasi, mendorong investasi sosial, dan menstabilisasi inflasi, yang akan
dilakukan oleh pemerintah adalah menaikkan pajak rumah tangga, mengatur
pengeluaran pemerintah untuk pengusaha tertentu, dan memberikan
rangsangan fiskal (insentif atau subsidi) pada pengusaha tertentu.
Pinjaman juga merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal.
Pinjaman dipakai sebagai alat untuk menekan inflasi lewat pengurangan dana
yang ada di masyarakat.Pada akhirnya, seluruh instrumen kebijakan fiskal,
pengeluaran pemerintah, perpajakan dan pinjaman; dipergunakan secara
terpadu untuk mencapai kestabilan ekonomi.
Dalam literatur teori ekonomi makro, penerimaan pemerintah
diasumsikan berasal dari pajak (tax) sehingga notasi yang digunakan untuk
penerimaan pemerintah adalah T. Sedangkan notasi untuk pengeluaran
pemerintah (government expenditure), adalah G.
a. Pengaruh pajak terhadap keseimbangan ekonomi
Kebijakan fiskal bertujuan untuk mengarahkan perekonomian ke kondisi yang
lebih baik, sehingga kebijakan fiskal mempunyai dampak terhadap
keseimbangan ekonomi. Dampak tersebut dapat dipahami dengan melihat
pengaruh pajak terhadap output keseimbangan.
Pengenaan pajak yang dilakukan oleh pemerintah akan mengubah titik
keseimbangan ekonomi menuju pada titik yang lebih rendah. Hal ini terjadi
karena sifat dasar dari pajak yang menjadi pengurang dari pendapatan yang
pada akhirnya akan berpengaruh pada turunnya kemampuan konsumsi
Contoh kasus :
Fungsi konsumsi (C) = 100+0,8Yd; Investasi (I) = 150. Jika pengeluaran
pemerintah (G) = 250, maka kondisi keseimbangan ekonomi adalah
Y = C + I + G
= 100+0,8Yd+150+250
= 500+0,8Y
19
0,2Y = 500
Y = 2.500
Bila pemerintah mengenakan pajak penghasilan nominal sebesar 100 maka
Yd = Y – 100, sehingga fungsi konsumsi (C) = 100+0,8(Y-100) = 20 + 0,8Y.
Dengan demikian, keseimbangan ekonomi menjadi :
Y = C + I + G
= 20 + 0,8Y + 150 + 250
= 420 + 0,8Y
0,2Y = 420
Y = 2.100
Ternyata, adanya pajak sebesar 100 telah menyebabkan output
keseimbangan berkurang sebesar 2.500 – 2.100 = 400.
b. Politik Anggaran
Dilihat dari perbandingan nilai penerimaan (T) dan pengeluaran (G), politik
anggaran dapat dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan anggaran
berimbang.Anggaran tidak berimbang dibedakan lagi menjadi anggaran
defisit(deficit budget) dan anggaran surplus (surplus budget).
E
E’
T
Y
Y’
Y
AEC+I+G
C’+I+G
20
1) Anggaran Defisit (Deficit Budget)
Anggaran deficit adalah anggaran anggaran yang memang direncanakan
untuk deficit sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari
penerimaan pemerintah.Politik anggaran deficit biasanya ditempuh bila
pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan ekonomi.Hal ini dilakukan bila
perekonomian berada dalam kondisi resesi. Pengaruh penerapan politik
anggaran deficit dapat dilihat pada contoh berikut :
Diketahui pada suatu perekonomian C=100+0,8Yd, I=150, G=250, dan T=250
Berdasarkan keadaan tersebut maka keseimbangan adalah :
Y= C+I+G
= 100+0,8(Y-250)+150+250
= 500+0,8Y-200
0,2 Y = 300, Y= 1.500
Jika pemerintah menerapkan politik anggaran deficit berarti jumlah perubahan
pengeluaran pemerintah (∆G) adalah lebih besar dari perubahan pajak (∆T).
Dimisalkan pemerintah mengubah jumlah pengeluaran sebesar 250 dan pajak
sebesar 150 maka :
G=250+250
Yd= Y-250-150=Y-400
Maka keseimbangan ekonomi berubah menjadi
Y = C+I+G
= 100+0,8(Y-400)+150+500
= 750-0,8Y-320
0,2Y = 430
Y = 2.150
Contoh di atas menunjukkan bahwa politik anggaran deficit bisa mengubah
titik keseimbangan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi.Pada keadaan seperti
ini diharapkan permasalah ekonomi seperti pengangguran.Pengaruh
anggaran deficit terhadap masalah pengangguran dapat dilihat pada kurva
berikut.
21
Garis AEf garis yang menunjukkan keadaan perekonomian berada pada
tingkat konsumsi tenaga kerja penuh (full employment).Pada awalnya
pendapatan nasional berada pada Y dengan tingkat pengeluaran agregat
adalah AE.Keadaan tersebut menimbulkan adanya jurang deflasi, yakni
jumlah kekurangan perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai
konsumsi tenaga kerja penuh dan karenanya timbul masalah pengangguran.
Kebijakan anggaran deficit sebagaimana dijelaskan di atas berakibat pada
meningkatnya pengeluaran agregat sehingga diharapkan jumlah pengeluaran
agregat akan mencapai tingkat konsumsi tenaga kerja penuh.
2) Anggaran Surplus (Surplus Budget)
Anggaran surplus adalah politik anggaran yang dilakukan oleh pemerintah
dengan merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran.Anggaran
surplus biasanya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang
ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan
permintaan. Pengaruh penerapan politik anggaran surplus dapat dilihat pada
contoh berikut :
Diketahui pada suatu perekonomian C=100+0,8Yd, I=150, G=250, dan
T=250. Pemerintah menerapkan kebijakan anggaran surplus dengan
Jurang Deflasi
AE
Y
E
A
AE
AEf
45YfY
Efek Anggaran Defisit
22
mengubah pengeluaran pemerintah (∆G) sebesar 150 dan perpajakan (∆T)
sebesar 250. Dengan keadaan demikian maka :
Keseimbangan awal :
Y=C+I+G
= 100+0,8(Y-250)+150+250
=500+0,8Y-200
0,2 Y = 300
Y= 1.500
Jika kebijakan anggaran surplus diterapkan maka keseimbangan menjadi
Y = C+I+G
= 100+0,8(Y-250-250)+150+250+150
= 650+0,8Y-400
0,2Y = 250
Y =1.250
Salah satu manfaat dari kebijakan anggaran surplus adalah dalam mengatasi
masalah inflasi. Hal tersebut dapat dilihat pada kurva di bawah ini :
Kurva di atas menunjukkan bahwa pengeluaran agregat melebihi kemampuan
perekonomian untuk menyediakan barang dan jasa.Hal ini terlihat dari kurva
AE yang berada di atas kurva AEf (tingkat perekonomian pada full
AE
Y
A AE
AEf
45◦Yf Y
Efek Anggaran Surplus
23
employment). Hal tersebut akan mengakibatkan kenaikan harga. Dengan
adanya kebijakan anggaran surplus maka kurva AE diharapkan akan dapat
diturunkan hingga mencapai kurva AEf sehingga masalah inflasi dapat diatasi.
3) Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran
sama besar dengan penerimaan (G = T). Tujuan politik anggaran berimbang
adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran.
c. Multiplier kebijakan fiskal
Analisis multiplier menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pemerintah sangat
berpengaruh pada tingkat pengeluaran/permintaan seperti investasi. Pada
akhirnya kebijakan fiskal juga akan memberikan efek multiplier pada output.
Multiplier belanja pemerintah (government expenditure multiplier) adalah
meningkatnya PDB karena naiknya Rp1 pengeluaran pemerintah untuk
membeli barang dan jasa.Pengaruh naiknya pengeluaran pemerintah (G)
terhadap PDB sama dengan pengaruh naiknya investasi (I) pada PDB.
Apabila G naik, maka PDB akan naik dengan nilai yang lebih besar dari
naiknya G. Pengarug G terhadap PDB (Y) dapat digambarkan sebagai berikut
:
E
E’
T
Y
Y’
Y
AEC+I+G’
C+I+G
24
Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada saat pengeluaran
pemerintah untuk membeli barang dan jasa sebesar G, maka total permintaan
dalam ekonomi adalah ZZ yaitu C + I + G. Keseimbangan dalam pasar
barang terjadi ketika permintaan sama dengan produksi (Y) yaitu di titik E.
Output yang dihasilkan dalam perekonomian sebesar Y. Ketika pengeluaran
pemerintah meningkat dari G ke G’, total permintaan juga naik dari ZZ ke ZZ’,
sehingga dengan naiknya G menjadi G’ total permintaan menjadi C + I + G’.
Keseimbangan yang baru terjadi titik E’ yang merupakan perpotongan antara
permintaan dan produksi.Output yang baru juga berubah dari Y menjadi Y’.
Dari bagan tersebut juga terlihat bahwa naiknya output (dari Y ke Y’) lebih
besar dibandingkan naiknya pengeluaran pemerintah (dari G ke G’). hal ini
disebabkan adanya efek pengganda (multiplier efek).
Kondisi ini sebenarnya juga berlaku untuk investasi, naiknya investasi
akan berakibat pada naiknya PDB dengan nilai yang lebih besar dari naiknya
investasi tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya efek multiplier. Multiplier
pengeluaran pemerintah sama persis dengan multiplier investasi, dan kedua
multiplier ini sering disebut sebagai expenditure multiplier.
Efek pengganda ini berlaku untuk dua arah baik meningkat maupun
menurun. Apabila belanja pemerintah meningkat sebesar ΔG dan variabel
lainnya tidak berubah, maka produksi atau output juga akan meningkat
sebesar ΔG dikalikan multiplier. Begitu juga sebaliknya apabila belanja
pemerintah menurun sebesar ΔG, maka output juga akan berkurang sebesar
ΔG dikalikan multiplier.
Gambaran mengenai efek multiplier ini dapat dilihat pada tabel di
bawah ini. Tabel tersebut mengilustrasikan bahwa ketika belanja pemerintah
sebesar 200, keseimbangan terjadi pada saat output 3.600. Dalam kondisi ini,
total produksi dan total permintaan adalah sama. Ketika belanja pemerintah
meningkat menjadi 300 (ΔG = 100) dan variabel lainnya tidak berubah, maka
keseimbangan output akan berubah menjadi 3.900, dimana outputmeningkat
sebesar (ΔY = 300). Dalam kondisi ini, total produksi juga sama dengan total
permintaan. Kenaikan output yang lebih besar dari naiknya belanja
pemerintah ini disebabkan oleh multiplier effect.
25
Tabel Pengaruh Naiknya Belanja Pemerintah terhadap Output (Produksi)
Belanja pemerintah G = 200
PDB
awal
Paja
k
Pendap
atan
dispose
bel
Konsum
si
Investa
si
Belanja
Pemerint
ah
Total
Perminta
an
Kecenderung
an
ekonomi
4.200
3.900
3.600
3.300
3.000
300
300
300
300
300
3.900
3.600
3.300
3.000
2.700
3.600
2.400
3.200
3.000
2.800
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
4.000
3.800
3.600
3.400
3.200
Kontraksi
Kontraksi
Ekuilibrium
Ekspansi
Ekspansi
Belanja pemerintah G = 300
PDB
awal
Paja
k
Pendap
atan
dispose
bel
Konsum
si
Investa
si
Belanja
Pemerint
ah
Total
Perminta
an
Kecenderung
an
ekonomi
4.200
3.900
3.600
3.300
3.000
300
300
300
300
300
3.900
3.600
3.300
3.000
2.700
3.600
2.400
3.200
3.000
2.800
200
200
200
200
200
200
200
200
200
200
4.000
3.800
3.600
3.400
3.200
Kontraksi
Ekuilibrium
Ekspansi
Ekspansi
Ekspansi
F. HUBUNGAN KEBIJAKAN FISKAL DAN APBN
Seperti yang sudah dijelaskan di bagiansebelumnya, bahwa kebijakan
fiskal memiliki dua komponen utama, yaitu kebijakan terkait penerimaan
negara dan pengeluaran negara. Dengan menggunakan dua komponen
tersebut, kebijakan fiskal digunakan untuk menjawab permasalahan-
permasalahan mengenai pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara
terhadap kondisi berbagai aspek baik itu ekonomi maupun sosial, seperti
pertumbuhan ekonomi, tingkat pengnagguran, inflasi, pemerataan pendidikan
dan kesehatan, dan sebagainya. Dalam praktik di Indonesia, kebijakan fiskal
merupakan keputusan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) tentang besar penerimaan, pengeluaran, dan pinjaman
26
sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang ditetapkan dengan maksud untuk mengarahkan perekonomian
Indonesia mencapai kondisi tertentu.Terlihat jelas bahwa APBN merupakan
perwujudan dan menjadi instrument utama dalam pelaksanaan kebijakan
fiskal di Indonesia. Sebagai instrumen utama kebijakan fiskal, APBN
mempunyai peran penting dan strategis dalam upaya mencapai target
pembangunan nasional. Peran penting dan strategis APBN tersebut terkait
dengan tiga fungsi utama, yaitu untuk:
a. mengalokasikan sumber-sumber ekonomi;
b. mendistribusikan barang dan jasa; serta
c. menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi.
Kebijakan fiskal sendiri memiliki dua prioritas, yang pertama adalah
mengatasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan
pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah
mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain;
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca
pembayaran (Tulus TH Tambunan, 2006). Salah satu indikator kebijakan
fiskal yang digunakan oleh Pemerintah adalah besaran defisit anggaran.
Kebijakan fiskal ekspansif atau kontraktif menjadi alternatif kebijakan yang
akan ditempuh oleh Pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Dalam
beberapa tahun terakhir, Pemerintah melakukan akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan melalui kebijakan
fiskal ekspansif untuk menjaga kesinambungan perekonomian serta
mendukung pencapaian target pembangunan nasional.
Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap APBN dan Perekonomian
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap APBN dan perekonomian bisa
dianalisa dalam dua tahap, yaitu seperti tergambar dari dua pertanyaan
berikut ini:
1) Bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu
APBN?
2) Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian?
27
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas,perlu terlebih dahulu kita ketahui
mengenai APBN itu sendiri, pengertian APBN, bagaimana cara menyusun
APBN, apa saja yang tertuang dalam APBN. Hal-hal tersebut dapat dijelaskan
seperti berikut ini:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
APBN sendiri diartikan sebagai dokumen yang berisi daftar sistematis dan
terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama
satu tahun anggaran.
Menurut UU No.17 Tahun 2003, Anggaran Pendapatan Belanja
Negara atau APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah Negara
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945, Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 23 Ayat (2) UUD 1945, Rancangan Undang-Undang Anggaran
Pendapatan Belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama
DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Siklus Penyusunan APBN
28
Dapat dilihat dari siklus penyusunan APBN di atas, bahwa proses
penyusunan APBN didahului dengan penerbitan Kerangka EKonomi Makro
dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal yang disusun oleh Pemerintah.Pokok-
Pokok Kebijakan Fiskal merupakan acuan pemerintah dalam menyusun
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Secara
garis besar, Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal terdiri dari empat hal, yaitu:
a. pelaksanaan kebijakan fiskal tahun sebelumnya dan proyeksi tahun
berjalan;
b. perkiraan asumsi ekonomi makro tahun depan;
c. arah kebijakan fiskal tahun depan; dan
d. risiko fiskal tahun depan.
Sedangkan sebelum disusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-
Pokok Kebijakan Fiskal, Pemerintah terlebih dahulu menyusun Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) dimana di dalam RKP tersebut Pemerintah
mentapkan tema pembangunan dan sasaran-sasaran pembangunan yang
berbeda setiap tahunnya. Berdasarkan tema pembangunan dan sasaran
dalam RKP tersebutlah arah kebijakan fiskal disusun oleh Pemerintah guna
29
mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam RKP
sebelumnya.
Sebagai contoh: Tema pembangunan pada RKP tahun 2013 yang
disusun adalah “Memperkuat Perekonomian Domestik bagi Peningkatan dan
Perluasan Kesejahteraan Rakyat”. Tema ini memberi tekanan pada
pentingnya penguatan daya saing perekonomian domestik untuk mendukung
pencapaian kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, maka strategi perumusan kebijakan fiskal
hendaknya diarahkan agar mampu merespon berbagai perkembangan
perekonomian yang dinamis, mampu menjawab berbagai tantangan sekaligus
isu-isu strategis, dan mampu memberi dukungan yang optimal bagi
pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Memperhatikan
hal-hal tersebut diatas, tema arah kebijakan fiskal pada tahun 2013 adalah
“Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan melalui Upaya
Penyehatan Fiskal”. Substansi dari tema tersebut menekankan pentingnya
mengupayakan terwujudnya APBN yang sehat, yang tercermin dari
terjaganya kesinambungan fiskal melalui:
a. optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim investasi dan
dunia usaha;
b. meningkatkan kualitas belanja negara melalui efisiensi belanja yang kurang
produktif dan meningkatkan belanja modal untuk memacu pertumbuhan;
c. menjaga defisit anggaran pada batas aman (dibawah 3 persen PDB);
d. menurunkan rasio utang terhadap PDB dalam batas yang terkendali.
Melalui ke-empat langkah tersebut, APBN diharapkan dapat dikelola
secara efisien dan produktif. Dengan pengelolaan fiskal yang efisien dan
produktif tersebut diharapkan tidak hanya akan memberi kontribusi yang
optimal bagi kesinambungan fiskal tetapi juga berdampak pada peningkatan
daya saing perekonomian domestik. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan
dapat mendukung tujuan pembangunan nasional untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Postur APBN
Berikut ini adalah contoh dari postur APBN Indonesia:
30
Seperti terlihat dari postur APBN di atas, APBN secara umum masih bersifat
ekspansif dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap
mengendalikan defisit dalam batas aman. Sebagaimana juga tercantum di
dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal yang
disusun Pemerintah dalam tahap sebelumnya, kebijakan fiskal Pemerintah
tersebut diwujudkan melalui:
a. kebijakan pendapatan negara;
b. kebijakan belanja negara; dan
c. kebijakan defisit dan pembiayaan anggaran.
Pengelolaan kebijakan fiskal yang sehat dan berkesinambungan
diharapkan dapat menjaga sentimen positif para pelaku pasar dan
mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara sehingga
memberikan dampak multiplier yang positif bagi perekonomian nasional.
Sebagai contoh dari kebijakan-kebijakan fiskal di atas dapat dilihat dari
kebijakan fiskal dalam APBN 2014 seperti berikut ini:
31
Kebijakan pendapatan negara tahun 2014 akan diarahkan untuk
mengoptimalkan penerimaan dari bidang perpajakan dan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP). Di bidang perpajakan, kebijakan dan langkah penting
yang akan ditempuh dalam tahun 2014, antara lain (1) penyempurnaan
peraturan perpajakan untuk lebih memberi kepastian hukum serta perlakuan
yang adil dan wajar; (2) penyempurnaan kebijakan insentif perpajakan untuk
mendukung iklim usaha dan investasi; (3) penyempurnaan sistem
administrasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak; (4)
perluasan basis pajak dan penyesuaian tarif; serta (5) penguatan penegakan
hukum bagi penyelundup pajak (tax evation). Sementara itu, kebijakan di
bidang kepabeanan dan cukai antara lain terdiri dari: (1) ekstensifikasi barang
kena cukai; dan (2) penyesuaian tarif cukai hasil tembakau. Selanjutnya,
pokok-pokok kebijakan PNBP di tahun 2014 antara lain: (1) peningkatan
PNBP migas dan nonmigas; (2) peningkatan kinerja badan usaha milik
negara (BUMN) agar dapat berkontribusi lebih besar dalam dividen BUMN;
serta (3) terus melakukan upaya inventarisasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi
PNBP K/L. Optimalisasi PNBP tersebut juga akan disertai dengan
optimalisasi pendapatan badan layanan umum (BLU).
Kebijakan belanja negara dalam tahun 2014 diharapkan mampu
menstimulasi perekonomian dengan tetap mengendalikan defisit dalam batas
aman, mengendalikan keseimbangan primer (primary balance) sekaligus
menjaga kesinambungan fiskal. Prioritas pembangunan yang akan
dilaksanakan Pemerintah diharapkan dapat memantapkan perekonomian
nasional bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan RKP 2014,
pelaksanaan kebijakan belanja negara tahun 2014 secara substansial dan
konsisten tetap diarahkan pada empat pilar yaitu: (1) mendukung terjaganya
pertumbuhan ekonomi pada level yang cukup tinggi (pro growth); (2)
meningkatkan produktivitas dalam kerangka perluasan kesempatan kerja (pro
job); (3) meningkatkan dan memperluas program pengentasan kemiskinan
(pro poor); dan (4) mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan
(pro environment).
kebijakan defisit anggaran dalam tahun 2014 ditempuh dalam rangka
menjaga momentum pertumbuhan ekonomi melalui pemberian stimulus fiskal
32
secara terukur dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. Kebijakan
pembiayaan dalam RAPBN 2014 di antaranya adalah (1) mengupayakan
rasio utang terhadap PDB berkisar 22—23 persen pada akhir tahun 2014; (2)
memanfaatkan SAL sebagai fiscal buffer untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya krisis khususnya pada pasar SBN; (3) memanfaatkan pinjaman luar
negeri secara selektif dan mempertahankan kebijakan negative net flow; (4)
mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui
penerbitan sukuk yang berbasis proyek; dan (5) mengalokasikan dana
investasi Pemerintah dalam rangka pemberian PMN kepada BUMN/lembaga
untuk percepatan pembangunan infrastruktur, penjaminan KUR, dan
peningkatan kapasitas usaha BUMN/lembaga.
Melalui langkah-langkah tersebut, APBN diharapkan dapat dikelola
secara efisien dan produktif, sebagaimana diwujudkan ke dalam angka-angka
di dalam postur APBN, sehingga tidak hanya akan memberi kontribusi yang
optimal bagi kesinambungan fiskal, tetapi juga berdampak pada peningkatan
daya saing perekonomian nasional. Selanjutnya, hal tersebut diharapkan
dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional untuk
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan Anggaran APBN
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil
pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan
jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi
tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa kebijakan fiskal dituangkan oleh suatu
negara melalui anggarannya, dalam Pemerintah Indonesia adalah melalui
APBN. Untuk dapat menjawab pertanyaan terkait pengaruh APBN terhadap
perekonomian dapat dilihat dari dari kebijakan anggaran dari APBN itu
sendiri. Kebijakan anggaran dalam APBN dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu:
Anggaran Defisit / Kebijakan Fiskal Ekspansif
33
Kebijakan untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan
negara guna memberi stimulus pada perekonomian digunakan jika
ekonomi sedang resesif.
Anggaran Surplus / Kebijakan Fiskal Kontraktif
kebijakan untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada
pengeluarannya dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang
ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan
permintaan.
Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran
sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni
terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Kebijakan anggaran Pemerintah Indonesia dahulu selalu mengharuskan
kebijakan anggaran berimbang. Kebijakan anggaran berimbang terjadi ketika
pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan.
Namun pada saat ini kebijakan anggaran dapat menjadi kebijakan anggaran
defisit (defisit budget), anggaran surplus (surplus budget).
Kebijakan anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk
membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi
stimulus pada perekonomian. Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran yaitu
pembelian pemerintah atas barang dan jasa. Peningkatan pembelian atau
belanja pemeritah berdampak terhadap peningkatan pendapatan nasional.
Contohnya pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam
proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk
menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai
tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ
bertambah. Anggaran defisit memiliki keunggulan maupun kelemahan, salah
satu keunggulannya adalah terdapat penertiban pada angka defisit dan nilai
tambahan utang yang jelas dan lebih transparan serta bisa diawasi
masyarakat. Menurut mantan Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo
penerapan kebijakan anggaran defisit tujuannya untuk menciptakan ekspansi
fiskal dan menguatkan pertumbuhan ekonomi agar tetap terjaga pada level
34
yang tinggi. Umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang
resesif. Anggaran defisit salah satunya dengan melakukan peminjaman atau
hutang, dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan
cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia, yang
terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang
yang beredar di masyarakat sangat banyak. Untuk menutup anggaran yang
defisit dipinjamlah uang dari rakyat, sayangnya rakyat tidak mempunyai cukup
uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. Akhirnya, pemerintah
terpaksa meminjam uang dari luar negeri. Ini merupakan salah satu kasus
yang menggambarkan kelemahan dari anggaran defisit.
Sedangkan Anggaran surplus (Surplus Budget) atau Kebijakan Fiskal
Kontraktif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih
besar daripada pengeluarannya.Baiknya politik anggaran surplus
dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Cara kerja
anggara surplus adalah kebalikan dari anggaran defisit, uang yang didapat
pemerintah dari pendapatan pajak lebih banyak dari yang dibelanjakan,
pemerintah memanfaatkan selisihnya untuk melunasi beberapa hutang
pemerintah yang masih ada. Surplus anggaran akan menaikkan dana
pinjaman, mengurangi suku bunga dan meningkatkan investasi. Investasi
yang lebih tinggi seterusnya dapat meningkatkan akumulasi modal dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Terkait dengan kebijakan anggaran di atas, di dalam bukunya yang
berjudul Macroeconomics, Gregory Mankiw menyebutkan bahwa perdebatan
kebijakan atas utang pemerintah memiliki banyak sisi. Di dalam bukunya
tersebut, Gregory Mankiw mempertimbangkan pandangan tradisional dan
Ricardian atas utang pemerintah. Menurut pandangan tradisional, defisit
anggaran pemerintah memperluas permintaan agregat dan menstimulasi
output dalam jangka pendek tetapi menyebabkan banyak keluarnya modal
dan menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Menurut
pandangan Ricardian, defisit anggaran pemerintah sudah tidak ada efek ini,
karena konsumen memahami bahwa defisit anggaran mewakili hanya
penundaan beban pajak. Dari perbedaan kedua pandangan di atas, dapat
35
dikatakan bahwa defisit anggaran tidak selalu berarti negatif, akan tetapi
pemilihan kebijakan anggaran, apakah itu berimbang, defisit maupun surplus
sangat tergantung dari situasi yang tengah dihadapi oleh suatu
Pemerintahan.
Balanced Budgets Versus Optimal Fiscal Policy
Gregory Mankiw menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, banyak konstitusi
negara mengharuskan pemerintah negara bagian untuk menjalankan
anggaran yang seimbang. Sebagian besar ekonom menentang aturan ketat
yang mengharuskan pemerintah untuk menyeimbangkan anggarannya. Ada
tiga alasan mengapa kebijakan fiskal yang optimal dalam suatu waktu
membutuhkan defisit atau surplus anggaran, yaitu:
a. Stabilisasi
Defisit atau surplus anggaran bisa membantu menstabilkan
perekonomian. Intinya, aturan anggaran berimbang akan menarik kembali
kekuatan penstabil otomatis dari sistem pajak dan transfer. Ketika
perekonomian mengalami resesi, pajak secara otomatis turun, dan
transfer secara otomatis naik. Meskipun tanggapan otomatis membantu
menstabilkan perekonomian, tetapi mendorong anggaran menjadi defisit.
Dalam aturan anggaran berimbang akan mensyaratkan pemerintah untuk
menaikkan pajak atau mengurangi pengeluaran dalam resesi, tapi
tindakan ini akan lebih lanjut menekan agregat permintaan. Discretionary
kebijakan fiskal lebih mungkin untuk memindahkan dalam arah yang
berlawanan lebih kursus bisnis siklus. Pada tahun 2009, misalnya,
presiden Barack Obama menandatangani stimulus RUU otorisasi
peningkatan besar pengeluaran untuk mencoba mengurangi pengaruh
besar dari resesi, meskipun itu menjadikan anggaran defisit terbesar
dalam lebih dari setengah abad AS.
b. Tax Smoothing
Defisit atau surplus anggaran bisa digunakan untuk mengurangi distorsi
insentif disebabkan oleh
sistem pajak, dimana tarif pajak yang tinggi memaksakan biaya pada
masyarakat dengan mengecilkan kegiatan ekonomi. Pajak atas
36
penghasilan pekerja, misalnya, mengurangi insentif bahwa orang harus
bekerja selama berjam-jam. karena disinsentif ini menjadi sangat besar
pada tarif pajak yang tinggi, maka total social cost pajak diminimalkan
dengan pemeliharaan tarif pajak yang relatif stabil daripada menetapkan
tarif pajak yang tinggi dalam beberapa tahun dan rendah pada tahun
lainnya. Para ekonom menyebut ini kebijakan tax smoothing. Untuk tetap
menjaga tarif pajak tetap smooth, defisit diperlukan dalam tahun dimana
pendapatan sangat rendah (resesi) atau pengeluaran yang sangat tinggi
(perang).
c. Intergenerational Redistribution
Defisit anggaran dapat digunakan untuk menggeser beban pajak dari saat
ini untuk generasi mendatang. Sebagai contoh, sebagian ekonom
berpendapat bahwa jika generasi saat ini berperang untuk
mempertahankan kebebasan, maka akan menjadi manfaat bagi generasi
masa depan juga dan oleh karena itu harus ikut menanggung sebagian
dari beban yang terjadi akibat perang tersebut. Untuk mentransfer
sebagian biaya perang, generasi sekarang bisa mendanai perang dengan
defisit anggaran. Pemerintah kemudian bisa membayar utang yang terjadi
atas defisit tersebut dengan pembebanan pajak pada generasi berikutnya.
Pertimbangan-pertimbangandi atas menyebabkan sebagian besar
ekonom untuk menolak aturan anggaran berimbang yang ketat. Paling
tidak, aturan kebijakan fiskal perlu memperhitungkan situasi-situasi yang
terjadi, seperti resesi dan perang, selama wajar untuk pemerintah
menjalankan anggaran defisit.
Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi
Inflasi merupakan proses kenaikan harga secara terus-menerus dan
dapat memberikan suatu pengaruh bagi kestabilan perekonomian. Inflasi
dapat menyebabkan perubahan yang sangat luas terhadap kegiatan ekonomi
masyarakat. Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai
suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas
harga. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa instrument kebijakan
fiskal adalah melalui pengelolaan penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
37
Dalam masa resesi atau Pemerintah mengambil kebijakan anggaran defisit
dengan menaikkan pengeluaran Pemerintah atau dengan menurunkan tingkat
pajak, Pemerintah berusaha meningkatkan tingkat perekonomian dengan
menciptakan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya menyebabkan
peningkatan outpur produksi dan peningkatan pendapatan oleh rumah tangga
konsumsi. Peningkatan pendapatan oleh rumah tangga konsumsi ini pada
akhirnya akan meningkatkan pengeluaran untuk konsumsi dan berujung pada
kenaikan harga barang konsumsi, yang oleh teori Keynes disebut dengan
demand-pull inflation. Hal ini sejalan juga dengan yang digambarkan di
dalam kurva Philips bahwa inflasi berbanding terbalik dengan tingkat
pengangguran. Proses terjadinya demand-pull inflation dapat digambarkan
dalam kurva di bawah ini:
Kurvademand-pull inflation
Demand-pull inflation muncul ketika permintaan agregat dalam
perekonomian melebihi penawaran agregat. Hal ini umumnya digambarkan
sebagai "terlalu banyak uang untuk mengejar terlalu sedikit barang", karena
hanya uang yang dikeluarkan untuk barang dan jasa yang dapat
menyebabkan inflasi. Ini tidak akan diharapkan untuk terjadi, kecuali
perekonomian sudah pada tingkat full employment. Di dalam kurva Demand-
38
pull inflation di atas, menurut teori Keynesian, peningkatan kebutuhan akan
pekerja akan menyebabkan peningkatan permintaan agregat (AD), yang
mengarah lebih ke perusahaan untuk meningkatkan output. Karena
keterbatasan kapasitas, peningkatan dalam output pada akhirnya akan
menjadi sangat kecil sehingga harga barang akan naik. Pada awalnya,
pengangguran akan turun, menggeser AD1 ke AD2 , yang meningkatkan
permintaan ( tercatat sebagai " Y " ) oleh ( Y2 - Y1 ) . Peningkatan permintaan
berarti lebih banyak pekerja yang diperlukan, dan kemudian AD akan
bergeser dari AD2 ke AD3 , tapi kali ini jauh lebih sedikit diproduksi dari
dalam pergeseran sebelumnya , tetapi tingkat harga telah meningkat dari P2
ke P3, peningkatan jauh lebih tinggi di harga dibandingkan dengan
pergeseran sebelumnya. Peningkatan harga ini disebut dengan inflasi akibat
demand-pull.
Untuk mengendalikan masalah inflasi yang terjaddi tersebut,
Pemerintah dapat melakukan beberapa cara, salah satunya adalah melalui
kebijakan fiskal itu sendiri. Kebijakan fiskal yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah inflasi adalah:
a. Mengurangi pengeluaran pemerintah
Dengan melakukan kebijakan fiskal melalui upaya pengeluaran
pemerintah maka hal ini juga dapat mengurangi laju inflasi, karena
semakin sedikit biaya yang dikeluarkan pemerintah akan menyebabkan
jumlah uang beredar yang ada di masyarakat akan semakin berkurang
sehingga paling tidak laju inflasi dapat ditekan.
b. Menaikan pajak
Seperti kita ketahui bahwa jumlah uang beredar yang terlalu besar akan
menyebabkan terjadi nya inflasi, maka dengan menaikan pajak
diharapkan penghasilan seseorang akan berkurang, sehingga jumlah
uang beredar pun ikut berkurang yang pada akhirnya akan berdampak
pada penurunan laju inflasi.
c. Mengadakan pinjaman publik
Rencana pinjaman pemerintah dari keynes ini terkenal dengan istilah
Pinjaman paksaan, dimana dengan upaya tersebut sebagian dari gaji
39
pegawai dan buruh dipotong untuk disimpan menjadi pinjaman
pemerintah selama jangka waktu tertentu, sehingga jumlah uang beredar
yang ada di masyarakat pun juga ikut berkurang yang pada akhirnya akan
menurunkan tingkat inflasi.
G. PRAKTEK KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA
Secara universal pembangunan di suatu negara memiliki tujuan untuk mensejahterakan
masyarakatnya, terutama dalam masalah pembangunan. Keberhasilan
pembangunan tersebut tentu sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang
dimiliki oleh masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan
sumber daya, teknologi, efisiensi, budaya, kualitas manusia dan kualitas
birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan
menentukanseberapa besar peran pemerintah dalam proses pembangunan
tersebut serta pola kebijakanyang dilakukan. Dalam konsep ekonomi secara umum
dikenal dua kebijakan ekonomi yang utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Kebijakan moneter merupakan pengendalian sektor moneter, sedangkan
kebijakan fiskal merupakan pengelolaan anggaran penerimaan dan
pengeluaran pemerintah (budget ) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
Kebijakan Fiskal pada dasarnya alat atau instrumen pemerintah yang
sangat penting peranannya dalam sistem perekonomian. Instrumen fiskal itu berguna
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas basis kegiatan ekonomi
berbagai sektor, dan secarakhusus memperluas lapangan usaha untuk
menurunkan tingkat pengangguran
Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Fiskal Di Indonesia
Faktor yang memperngaruhi kebijakan fiskal di Indonesia bisa dilihat
dari dua sisi yakni faktor internal dan eksternal. Faktor Internal terdiri dari :
a. Arah dan strategi politik dan pembangunan yang ingin dilakukan dalam
mencapai tujuan bernegara yang berimplikasi pada kebijakan keuangan
negara.
b. Perkembangan dan kinerja perekonomian nasional yang menggambarkan
potensi, kapasitas dan struktur penerimaan negara.
c. Kemampuan perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian belanja
negara.
40
d. Kemampuan pengelolaan pembiayaan anggaran.
e. Faktor-faktor non-ekonomi seperti terjadinya bencana alam, perubahan
iklim, gejolak politik atau sosial, gangguan keamanan dan terorisme, serta
terjadinya perang.
Sementara itu, faktor eksternal penting yang juga turut berdampak
pada perkembangan APBN Indonesia di antaranya meliputi perkembangan
kondisi ekonomi global, pergerakan nilai tukar rupiah dan antar-mata uang
asing (khususnya mata uang kuat dunia yang menjadi mitra dagang utama
dan kerjasama ekonomi dengan Indonesia), harga minyak mentah di pasar
internasional, serta tingkat bunga internasional. (dikutip dari berbagai sumber)
A. Praktik yang pernah dilakukan pemerintah dalam hal penerapan
kebijakan fiskal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
demi kesejahteraan rakyat sebagai berikut
1. Pengadaan proyek-proyek pemerintah
Dampak yang dapat timbul dari sebuah proyek pemerintah lebih dari
sekadar tersedianya suatu barang publik atau fasilitas pemerintahan.
Misalnya dalam proyek pembangunan gedung sekolah. Selain
menghasilkan barang publik berupa bangunan untuk sekolah, dalam
prosesnya pemerintah meningkatkan secara tidak langsung telah
meningkatkan pendapatan sejumlah pihak yang terlibat dalam proyek.
Para pekerja yang mendapat upah akhirnya meningkat daya belinya.
Dengan demikian maka permintaan dari masyarakat juga meningkat.
Sehingga dampak selanjutnya adalah meningkatnya permintaan dari
masyarakat yang mendorong produksi sehingga pada akhirnya
diharapkan akan dapat memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia. Hal
ini dapat berdampak karena proyek pemerintah ada banyak dan
menyebar di seluruh daerah, sehingga secara makro akan dapat
mempengaruhi kondisi ekonomi nasional.
2. Kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak.
Ketika harga minyak dunia telah melebihi asumsi yang terdapat
dalam APBN. Pemerintah harus memikirkan dampak yang ditimbulkan.
Hal ini berkaitan dengan subsidi yang masih diberikan untuk beberapa
41
jenis BBM. Secara anggaran, kenaikan harga minyak dunia ini akan
membebani APBN. Subsidi merupakan pengeluaran pemerintah.
Sehingga kenaikan harga minyak bumi justru akan meningkatkan
pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Tingginya subsidi yang
harus dibayarkan akan membebani APBN. Kemudian, apa yang dilakukan
pemerintah untuk menekan pengeluaran subsidi tersebut, agar keuangan
negara (APBN) tetap aman? Pemerintah perlu mengubah pengeluaran
dan penerimaan dalam APBN untuk menyesuaikan dengan kondisi pada
waktu itu. Kebijakan yang dilakukan dengan cara mengubah pengeluaran
dan penerimaan negara yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas
ekonomi, kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, serta keadilan dalam
distribusi pendapatan yang kita kenal dengan kebijakan fiskal atau politik
fiskal.
3. Kebijakan pemberian Bantuan Langsung Tunai atau Bantuan
Langsung Sementara.
Secara tujuan, bantuan tunai kepada masyarakat ini diharapkan
mampu meredam gejolak kenaikan harga secara umum yang diakibatkan
oleh kenaikan harga BBM. Namun tidak hanya itu, pemerintah juga
memiliki maksud secara makro ekonomi. BLT diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat. Sama dengan
contoh pertama, dengan adanya peningkatan pendapatan masyarakat,
daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan demikian maka permintaan
dari masyarakat juga meningkat. Sehingga dampak selanjutnya adalah
meningkatnya permintaan dari masyarakat yang mendorong produksi
sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperbaiki kondisi
perekonomian Indonesia.
4. Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah yang disempurnakan dengan UU RI No. 33 tahun 2000 untuk
mendukung pelaksanaan desentralisasi fiscal ke daerah. Desentralisasi
fiskal adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali
42
sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari
pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan
investasi. Singkatnya pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk
menentukan regulasi terhadap anggaran. Tujuan awal dilakukannya
desentralisasi fiskal adalah mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan
antardaerah (horizontal fiscal imbalance). Selain itu diharapkan
meningkatkan peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah dan
mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah. Dan juga
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional. Dengan
adanya desentralisasi fiskal tata kelola keuangan transparan dan
akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah
yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil.
B. STUDI KASUS: KEBIJAKAN FISKAL DI ERA KRISIS EKONOMI 1997-
1998
I. Kondisi Perekonomian Indonesia tahun 1997
Pemerintah RI pernah menghadapi krisis moneter yang selanjutnya
merembet ke krisis ekonomi dan politik pada tahun 1997-1998. Ketika
krisis mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997 kondisi keuangan
negara kita sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996 APBN
(menurut cara pembukuan GFS yang sejak 2000 kita pakai) surplus
sebesar 1,9% dari PDB, hutang Pemerintah dengan luar negeri adalah
43
USD 55,3 milyar atau sekitar 24% dari PDB sedangkan hutang dalam
negeri tidak ada. Realisasi APBN 1997 sampai dengan Semester I juga
baik. Surplus anggaran setengah tahun itu mencapai 1,8% dari PDB dan
hutang pemerintah tidak banyak berubah.
Krisis mengubah itu semua. Defisit anggaran serta merta
membengkak dan hutang Pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998,
tahun yang paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi
dua penyakit ekonomi yang paling fatal: sektor riil yang macet dan
hiperinflasi. Tahun itu PDB kita anjlok dengan sekitar 13%, inflasi
mencapai sekiktar 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua
kali lipat, kurs melonjak-lonjak tak menentu dan serta merta anggaran
negara berubah dari surplus menjadi defisit 1,7% dari PDB.
Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan
rampung, utang Pemerintah mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8
miliar pada waktu itu) atau sekitar 96 % dari PDB. Melonjaknya beban
utang ini hampir seluruhnya karena timbulnya utang dalam negeri dalam
jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan
sektor perbankan yang berantakan dilanda krisis. Jumlah utang dalam
negeri sebesar Rp 643 triliun itu merupakan akumulasi dari biaya yang
timbul dari tiga kebijakan pokok untuk menopang perbankan nasional
selama krisis. Ketiga kebijakan tersebut dilaksanakan secara hampir
berurutan sejalan dengan tahap perkembangan krisis.
1. Kebijakan BLBI
Kebijakan yang pertama adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa
kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang
tidak terbendung dan makin membesar dari sistem perekonomian kita.
Pembelian dolar terjadi secara besar-besaran – dana rupiah nasabah
bank ditarik untuk ditukarkan dolar. Bank-bank kehabisan rupiah. Proses
penyedotan likuiditas ini makin diperparah oleh rentetan peristiwa yang
terjadi setelah itu. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional
runtuh terutama setelah penutupan 16 bank pada bulan November 1997.
Uang lari dari bank nasional ke bank asing atau ke luar negeri. Kemudian
mulai awal 1998 terjadi kenaikan harga yang luar biasa – hiperinflasi –
44
yang diwarnai oleh gejala umum orang enggan memegang uang (rupiah)
dan uang lari mengejar barang. Kegiatan ekonomi macet, PHK terjadi di
mana-mana, kehidupan makin berat dan selanjutnya kerusuhan sosial
meledak di berbagai daerah. Kali ini bukan hanya uang, tapi juga orang,
lari ke luar negeri.
Ini semua menimbulkan tekanan yang luar biasa terhadap perbankan
nasional yang dapat dipastikan akan ambruk total apabila tidak ada
dukungan likuiditas. Bank tidak dapat meminjam dari bank lain karena ia
juga sama-sama kesulitan likuiditas. Pinjam dari luar negeri (seperti
sebelum krisis) tidak mungkin karena kran-nya tertutup rapat. Satu-
satunya sumber likuiditas yang ada dalam keadaan seperti itu adalah
Bank Indonesia sebagai lender of last resort, suatu fungsi yang lazimnya
ada pada setiap bank sentral untuk menghadapi keadaan darurat.
Dukungan likuiditas dalam keadaan darurat ini dikenal sebagai Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
2. Kebijakan Penjaminan Bank
Kebijakan pokok yang kedua mulai dilaksanakan sekitar bulan Maret
1998, yaitu kebijakan penjaminan bank. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
mengatasi situasi perbankan kita yang sudah benar-benar kehilangan
kepercayaan dari para nasabahnya. Banyak dari mereka menarik
simpanannya di bank untuk dibelikan dolar atau barang (untuk
menghindari kerugian karena kurs dolar dan harga-harga yang terus
meningkat) atau dipindahkan ke bank asing (yang kemungkinan kecil
ditutup) atau dibawa ke Singapura, Hong Kong atau tempat lain yang
aman. Pemerintah menjamin bahwa uang mereka yang ada di bank aman
apapun yang mungkin terjadi dengan bank itu. Dengan kebijakan
penjaminan umum ini secara bertahap orang mulai berani lagi menyimpan
uangnya di bank. Manfaat kebijakan ini juga terbukti pada waktu
dilakukan serangkaian gelombang penutupan bank secara besar-besaran
selama tahun 1998-99. Tidak seperti pada waktu penutupan 16 bank
sebelumnya, kali ini tidak terjadi rush, masyarakat tidak menyerbu bank
karena mereka tahu uang bahwa mereka tetap aman meskipun banknya
45
ditutup. Kebijakan penjaminan bank ini merupakan sumber kedua dari
timbulnya utang dalam negeri Pemerintah sebagai akibat krisis.
3. Kebijakan Rekapitalisasi Bank
Sumber ketiga, dan yang terbesar, dari timbulnya utang dalam negeri
adalah kebijakan rekapitalisasi perbankan. Setelah kita melewati masa
kritis kesulitan likuiditas perbankan, dan setelah proses erosi kepercayaan
terhadap bank dapat dihentikan, langkah selanjutnya adalah bagaimana
membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses
penutupan pada tahun 1998-99 dapat beroperasi secara normal. Banyak
dari bank-bank yang dapat bertahan hidup setelah terlanda badai krisis
masih setengah sakit dan belum dapat beroperasi sebagai layaknya bank
yang sehat. Mereka dibebani kredit macet yang sangat besar dan modal
yang terkuras. Bank-bank yang memiliki modal yang memadai dan relatif
baik posisinya langsung diawasi oleh Bank Indonesia, sedangkan bank-
bank yang neracanya sarat dengan kredit macet dan tidak mempunyai
modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus oleh
BPPN, termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan
penambahan modal atau rekapitalisasi.
4. Kebijakan Divestasi
Kebijakan rekapitalisasi perbankan mempunyai dampak sampingan yaitu
menyebabkan kepemilikan Pemerintah di seluruh sektor perbankan pada
suatu saat pernah mencapai 95%. Jadi, dalam rangka “menormalisasi”
sektor perbankan, telah terjadi penumpukan kepemilikan di tangan negara
atau “nasionalisasi” perbankan. Ini jelas bukan situasi yang “normal” dan
bukan pula situasi yang sehat. Dalam sistem ekonomi yang
mengandalkan pada prakarsa dan kekuatan masyarakat dan dunia usaha
Pemerintah seyogyanya membatasi kepemilikannya atas aset-aset
produktif. Pengelolaannya sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan
dunia usaha dan tugas pokok Pemerintah adalah merumuskan aturan-
aturan main bagi mereka dan mengawasi agar aturan-aturan main itu
dipatuhi sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
rakyat. Kebijakan divestasi ini harus merupakan bagian integral dari
46
strategi penataan sektor perbankan nasional dan pelaksanaannya tidak
boleh ditunda-tunda. Kasus pembobolan bank biasanya terjadi pada
bank-bank milik Pemerintah seperti yang banyak terjadi di masa lampau
dan juga baru-baru ini. Kerentanan bank-bank milik Pemerintah terhadap
pembobolan dan penyalahgunaan menggaris bawahi urgensi dari
kebijakan divestasi ini!
II. Apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah?
Konsolidasi Fiskal Untuk Memulihkan Kepercayaan. Kenapa pulihnya
kepercayaan penting? Sebab hilangnya kepercayaan para pelaku
ekonomi adalah penyebab utama timbulnya krisis yang berkepanjangan di
negara kita dan kembalinya kepercayaan adalah kunci utama bagi kita
untuk keluar dari krisis dan untuk bangkit kembali. Krisis timbul karena
awalnya para pemodal luar negeri kehilangan kepercayaan terhadap
kemampuan dunia usaha kita untuk membayar kembali utangnya, karena
kemudian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap perbankan
nasional, karena kemudian masyarakat kehilangan kepercayaan kepada
rupiah, karena kemudian masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap
Pemerintah dan institusi-institusi lainnya sehingga terjadi gejolak sosial
dan pergolakan politik dan, yang lebih parah, kita nyaris kehilangan
kepercayaan pada diri kita sendiri. Strategi untuk keluar dari krisis tidak
bisa lain kecuali bertema dasar bagaimana mengembalikan kepercayaan.
Di bidang kebijakan fiskal, pemulihan kepercayaan juga
merupakan faktor sentral. Masalah yang kita hadapi bukanlah sekedar
bagaimana menyeimbangkan “buku fiskal” kita dengan segala cara.
Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana menyeimbangkannya
dengan cara-cara yang tidak merusak kepercayaan para pelaku ekonomi
dan kalau dapat justru mendorong pulihnya kepercayaan itu. Karena
prinsip inilah dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah mengambil
langkah konsolidasi fiskal secara hati-hati, bertahap dengan
pertimbangan matang mengenai dampaknya terhadap kepercayaan
pelaku ekonomi dan tidak memilih untuk mengambil jalan pintas atau
47
gebrakan atau ”terobosan” yang mengagetkan para pelaku ekonomi dan
akhirnya justru merusak kepercayaan mereka.
Berdasarkan pendapat dari ahli yaitu Ma’rie Muhammad dalam
makalahnya yang berjudul Kebijakan fiscal di Masa Krisis 1997
dinyatakan bahwa pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan dalam
rangka untuk menolong nilai rupiah dan mengembalikan kepercayaan
pasar dan para investor terhadap Indonesia berupa :
1. Kontraksi Rupiah secara besar-besaran melalui kebijakan fiscal
(APBN) dengan cara menekan pengeluaran dan menunda
pembayaran-pembayaran yang tidak mendesak
2. Bank Indonesia meningkatkan suku bunga sehingga suku bunga SBI
mencapai 70% dengan maksud membatasi ekspansi kredit
perbankan dan menarik uang yang beredar
3. Bank Indonesia melakukan intervensi pasar dengan menjual dollar jika
rupiah menunjukkan tanda-tanda penurunan yang mengkhawatirkan
4. Indonesia bersama-sama dengan jepang dan singapura melaukan
intervensi pasar bersama untuk memperkuat nilai rupiah, dengan cara
Bank Sentral Jepang dan SIngapura membeli rupiah dipasar
5. Deposito berjangka milik BUMN pada berbagai perbankan untuk
sementara dikonversikan ke dalam SBI dan secara bertahap
dilepaskan
6. Pembatalan dan penundaan berbagai mega proyek Pemerintah guna
memperketat pengeluaran meelalui APBN serta mengurangi import
barang agar cadangan devisa tidak semakin terkuras.
Risiko Kebangkrutan Fiskal Menurun. Apa yang kita lakukan beberapa
tahun terakhir ini adalah mengupayakan secara bertahap agar keuangan
negara dapat dikelola dan dikendalikan dengan aman (sustainable) dalam
jangka menengah dan panjang. Dan semuanya dilakukan dengan cara-
cara yang menunjang pulihnya kepercayaan para pelaku ekonomi. Berikut
ini adalah beberapa langkah penting yang diambil menuju anggaran
negara yang sustainable.
48
Dengan melihat perkembangan riil ekonomi kita, defisit disasarkan
menurun secara bertahap dari 3,5% dari PDB dalam 2001 menjadi
2,5% dalam 2002, 1,9% dalam 2003, 1,2% dalam 2004, dibawah 1%
dalam 2005 dan 0% dalam 2006.
Salah satu sumber kekhawatiran pasar mengenai keuangan negara
kita adalah besarnya jumlah utang (terutama utang dalam negeri)
yang jatuh waktu mulai 2004 dan seterusnya. Dalam periode 2004-9
jumlah total obligasi rekap yang jatuh waktu semula adalah sekitar Rp
379 triliun dan utang dengan Bank Indonesia sekitar Rp 137 triliun.
Ada dua hal pokok yang kita lakukan untuk menjawab tantangan ini.
Pertama, kita melakukan reprofiling terhadap obligasi rekap, yaitu
menggeser pola jatuh waktu obligasi tersebut supaya tidak
terkonsentrasi pada 2004-9 tetapi sebagian digeser ke tahun-tahun
sesudah itu. Prinsip reprofiling yang disepakati adalah
mempertahankan net present value obligasi yang di-reprofile jatuh
waktunya. Dengan prinsip ini Pemerintah dapat menggeser jatuh
waktu obligasinya sehingga tidak terkonsentrasi di tahun-tahun
tertentu tanpa merugikan bank.
Langkah penting kedua untuk mengurangi beban pembayaran hutang
adalah dengan menegosiasikan utang Pemerintah dengan Bank
Indonesia, juga dengan prinsip win-win solution yang meringankan
beban anggaran negara tetapi sekaligus tetap menjaga kesehatan
keuangan Bank Indonesia. Pada bulan Agustus 2003 disepakati pola
restrukturisasi Rp 144,5 triliun utang BLBI Pemerintah kepada Bank
Indonesia yang memenuhi prinsip tersebut. Pokok-pokok
restrukturisasi ini adalah sebagai berikut. Jatuh waktu utang ini
digeser 30 tahun dan dibebani bunga minimal (0,1%) sehingga
mengurangi beban pembayaran pokok pada tahun-tahun rawan dan
meringankan beban pembayaran bunganya bagi APBN.
Hasilnya Reprofiling obligasi rekap dan retrukturisasi hutang BLBI
sangat mengurangi risiko gagal bayar (default risk) Pemerintah di
tahun-tahun mendatang dan nampaknya telah dapat mengurangi
kekhawatiran pasar mengenai keuangan negara kita, seperti
49
tercermin pada terus menurunnya premi risiko Indonesia dan makin
meningkatnya peringkat kredit negeri ini. Kepercayaan para pelaku
ekonomi terhadap Indonesia terlihat berangsur-angsur pulih dan ini
telah memberikan dampak yang sangat positif pada kestabilan makro.
Dalam dua tahun terakhir ini kurs Rupiah menguat dan makin stabil,
inflasi dan suku bunga menurun secara berarti, harga saham
menguat dan produksi nasional mulai menunjukkan tanda-tanda
peningkatan
III. Langkah Selanjutnya
Reformasi Fiskal Yang Lebih Mengakar. Untuk memelihara
momentum ini perlu langkah-langkah yang lebih mengakar. Salah satu
cara agar proses konsolidasi itu berlanjut adalah dengan melembagakan
unsur-unsur pendukung utamanya, sehingga seandainya terjadi
pergantian personil dalam pemerintahan proses itu diharapkan tetap
berjalan. Dalam kaitannya dengan keuangan negara ada tiga bidang yang
diprioritaskan untuk direformasi dan proses reformasi itu sejauh mungkin
“dilembagakan” agar konsolidasi fiskal berlanjut. Ketiga bidang itu adalah
pilar utama dari setiap kebijakan fikal, yaitu bidang perpajakan,
kepabeanan dan anggaran.
1. Reformasi Perpajakan. Reformasi dan modernisasi administrasi
perpajakan sudah mulai dilaksanakan sejak pertengahan 2002 dan
bidang kepabeanan dimulai sejak awal 2003.
2. Reformasi Kepabeanan. Di bidang kepabeanan fokus utama adalah
pada penyederhanaan prosedur impor dan ekspor untuk mengurangi
biaya usaha dan menekan penyelundupan.
3. Reformasi Anggaran dan Reorganisasi Depertemen Keuangan. Arah
pembaharuan di bidang anggaran ditentukan oleh ketentuan-
ketentuan pokok yang tercantum dalam UU Keuangan Negara yang
baru (UU No: 17/2003) (
50
III. DAFTAR PUSTAKA
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/kebijakan_fiskal_moneter/bab2-
kebijakan_fiskal.pdf
http://fe.petra.ac.id/files/files/EK4219_bab_8_kebijakan_fiskal.pdf
http://yantiruby.blogspot.com/2013/05/kebijakan-fiskal.html diakses pada
tanggal 20 Mei 2014
http://www.organisasi.org/1970/01/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-
kebijakan-fiskal-instrumen-serta-penjelasannya.html diakses pada
tanggal 20 Mei 2014
http://pupungph.wordpress.com/2012/10/10/hello-world/ diakses pada tanggal
20 Mei 2014
http://en.wikipedia.org/wiki/Demand-pull_inflation
Boediono, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi: 'Kebijakan
Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya?'.43-55 pp, Subiyantoro dan S.
Riphat (Eds.). 2004. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2013
Muhammad, Ma’rie. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi :
‘Kebijakan fiscal di Masa Krisis 1997’. 2003. Penerbit Buku
Kompas, Jakarta
Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014
N. Gregory Mankiw Macroeconomics, 7th edition 2009