kelompok 2_materi stress metabolik
DESCRIPTION
TugasTRANSCRIPT
Asuhan Gizi IVPatofisiologi Stres Metabolik
Dosen Pengampu:
Ahmad Syauqi, S.Gz, MPH
dr. Enny Probosari, M.Si.Med
Disusun oleh:
Daniel Adi Charisma 22030113130136
Daniel Korre 22030113120046
Farah Fauziyah 22030113120028
Gita Ramayani 22030113140118
Monikasari 22030113140100
Nur Rochmah 22030113120068
Nur Shibrina 22030113130084
Rahma Hardianti 22030113120010
Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Semarang
2016
A. Kelaparan dan Stres Metabolik
Gizi kurang dapat dialami seseorang ketika tidak mendapatkan asupan makanan yang
adekuat, pemanfaatan zat gizi yang tidak optimal, atau meningkatnya kebutuhan akan zat
gizi. Kelaparan atau puasa dan stres metabolik sama-sama dapat menyebabkan gizi kurang.
Akan tetapi, ada perbedaan mendasar antara kelaparan atau puasa dengan stres metabolik.
Perbedaan inilah yang akan menentukan pemberian asuhan gizi1.
Dalam kondisi kelaparan atau puasa, tubuh akan berusaha beradaptasi. Adaptasi yang
dilakukan tubuh adalah penurunan laju metabolisme basal dan pemecahan cadangan energi
seperti glikogen dan lemak untuk dipakai sebagai sumber energi. Penurunan laju metabolisme
dimaksudkan untuk menurunkan pengeluaran energi oleh tubuh sehingga keseimbangan
energi negatif tidak terlalu besar. Selain menurunkan laju metabolisme basal, tubuh juga akan
memecah cadangan energi yang ada. Pemecahan cadangan energi yang pertama adalah
glikogen. Apabila kadar glukosa darah terus menurun, maka tubuh akan berganti sumber.
Tubuh akan melakukan lipolisis untuk menghasilkan benda keton yang dapat dimanfaatkan
untuk mencegah terjadinya proteolisis1.
Lantas, apa yang membedakan kondisi kelaparan atau puasa dengan stres metabolik? Pada
orang yang mengalami stres metabolik, pengeluaran energi justru meningkat untuk
memperbaiki jaringan yang rusak dan pemanfaatan zat gizi pun tidak optimal akibat dari
perubahan yang terjadi selama stres metabolik1.
B. Stres metabolik
Stres metabolik adalah suatu kondisi hipermetabolik pada seseorang sebagai respon
pertahanan tubuh akibat adanya luka atau penyakit. Ketika terjadi luka atau penyakit, tubuh
akan merespon melalui tiga mekanisme, yaitu respon kardiovaskuler, respon imunologi, dan
respon metabolik. Ketiga mekanisme ini dimaksudkan untuk menjaga homeostatis di dalam
tubuh. Respon atau dampak yang terjadi pada orang dengan stres metabolik antara lain
pelepasan hormon, sintesis protein fase akut, hipermetabolisme, peningkatan aktivitas
glukoneogenesis, terganggunya keseimbangan cairan, dan penurunan volume urin.
Terkadang, respon yang diberikan tubuh tidak tepat dan memicu sindrom gangguan multi
organ. Adanya sindrom gangguan multi organ akan memperparah kondisi dan meningkatkan
mortaliats. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa seseorang dengan gangguan fungsi organ
harus segera ditangani1.
Stres metabolik terdiri dari 3 fase, yaitu fase ebb, fase flow, dan fase pemulihan. Fase ebb
merupakan fase pertama dan dimulai segera setelah terjadi stres (2-48 jam). Periode ini
ditandai dengan penurunan laju metabolisme, penurunan suhu tubuh, terjadinya syok yang
berdampak pada hipovolemia dan hipoksia jaringan. Terjadinya kedua hal ini akan memicu
penurunan luaran jantung dan urine. Oleh karena itu, terapi yang diberikan ditujukan untuk
menghentikan perdarahan, menjaga keseimbangan cairan, dan mempertahankan status
oksigen di jaringan1.
Apabila pasien dapat melewati fase ebb, maka fase flow pun dimulai. Pada fase ini terjadi
peningkatan konsumsi oksigen, hipertemia, peningkatan ekskresi nitrogen, dan peningkatan
aktivitas katabolisme. Respon imun dan hormonal tubuh juga akan berubah sehingga
hipermetabolisme dan reaksi katabolik terjadi. Pelepasan glukagon, kortisol, epinefrin,
neoepinefrin, dan respon imun akan memicu proses glikogenolisis, glukoneogenesis,
mobilisasi asam lemak, dan penurunan sintesis protein. Dalam usaha untuk menaikkan kadar
gula darah, proses glukoneogenesis yang terjadi membutuhkan alanin dan glutamin sebagai
substrat. Penggunaan alanin dan glutamin sebagai bahan baku dapat bermasalah. Alanin
diperoleh dari katabolisme sel otot rangka dan glutamin dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan enterosit dan limfosit T. Tidak hanya itu, sintesis asam amino cenderung
menurun akibat dari pelepasan hormon tersebut. Selain perubahan metabolik, protein fase
akut pada plasma juga meningkat. Hal ini dipicu oleh peningkatan produksi sitokin, IL-1, IL-
6, leukotrien, TNF, dan interferon akibat adanya cedera. Peningkatan produksi sitokin akan
menurunkan nafsu makan, demam, radang, dan kelainan metabolisme yang ada hubungannya
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya1. Oleh karena itu, terapi yang diberikan pada fase
ini lebih ditujukan untuk mengatasi infeksi atau trauma yang terjadi sehingga kondisi
hipermetabolik dapat teratasi. Terapi gizi yang diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan.
Aksis hipotalamus–hifofisis–adrenal (HPA) ikut berperan dalam mekanisme timbulnya
respons metabolik. Mekanisme yang memulai, mengatur, dan mempertahankan respon ini
belum sepenuhnya dipahami. Pasien yang mengalami trauma akan ditemukan hormon kontra
insulin seperti kortisol, glukagon dan katekolamin yang meningkat. Kadar insulin juga
meningkat tapi tidak mampu mengatasi hiperglikemia yang terjadi, selain hormon kontra
insulin yang ada hormon pertumbuhan, aldosteron dan vasopresin juga meningkat.
Mekanisme peningkatan hormon ini diduga sebagian melalui impuls saraf. Impuls dari saraf
aferen akan merangsang sekresi corticotropin releasing factor (CRF) dan vasoactive intestinal
peptide (VIP) yang akan merangsang hipofisis mengeluarkan prolaktin, vasopressin, hormon
pertumbuhan dan propoiomelanocortin yang akan diubah menjadi adrenocorticotropic
hormone (ACTH).
Kadar vasopresin akan meningkat pada berbagai kondisi stres seperti tindakan pembedahan,
pneumonia, infark miokard dengan atau tanpa gagal jantung dan terapi elektrokonversi.
Setelah tindakan pembedahan vasopresin akan meningkat dan menetap sampai beberapa hari
kemudian, lama dan kadar dalam darah sesuai dengan beratnya tindakan pembedahan.
Corticotropin releasing factor bekerja sinergistik dengan vasopresin merangsang sekresi
propiomelanocortin kelenjar hipofisis. Propiomelanocortin kemudian dimetabolisme menjadi
ACTH dan b-endorphin, yang menandakan ada hubungan antara opiod endogen dengan
HPA aksis. Selain itu ACTH juga merangsang kelenjar adrenal mengeluarkan katekolamin
dan enkefalin.
Peran prolaktin dalam stres tidaklah begitu jelas. Sekresinya diduga melalui rangsangan VIP.
Hormon lain seperti thyroid stimulating hormon (TSH), follicle stimulating hormon (FSH)
dan luteinizing hormone (LH) tidaklah terpengaruh akan tetapi LH dan FSH biasanya
menurun pada hari pertama operasi.
1. Katekolamin
Kadar katekolamin baik itu norepinefrin, epinefrin maupun dopamin meningkat pada
berbagai keadaan stres antara lain kecemasan, hipotensi, hipotermia, hiperkarbia dan
trauma. Katekolamin yang beredar bisa berupa kadar bebas atau terikat dalam bentuk
konjugasi sulfat yang mencapai 60-90% dari total katekolamin. Pada sakit kritis
proporsi antara kadar bebas terhadap kadar total tetap.
Epinefrin dilepas ke dalam sirkulasi dari kelenjar adrenal akibat rangsangan saraf
simpatis sedangkan norepinefrin masuk ke dalam plasma setelah lepas dari ujung
saraf simpatis. Sistem saraf simpatis diatur oleh hipotalamus yang juga mengatur
aksis HPA sehingga terjadi juga pelepasan CRF yang mengatur pelepasan hormon.
Kenaikan kadar epinefrin dan norepinefrin tidaklah selalu sebanding. Pada trauma
berat kadar epinefrin plasma meningkat hanya sampai 48 jam pertama sedangkan
norepinefrin bertahan sampai 8–10 hari. Tergantung juga pada lokasi pembedahan,
pada operasi abdomen dan jantung kedua katekolamin meningkat sebanding tetapi
operasi pelvis yang meningkat hanya epinefrin. Kadar plasma epinefrin
mencerminkan intensitas rangsangan pada korteks adrenal sedangkan kadar plasma
norepinefrin mencerminkan aktivitas rangsangan simpatis.
Pada dosis fisiologis epinefrin menyebabkan glikogenolisis, meningkatnya
glukoneogenesis di hati, penghambatan pelepasan insulin, resistensi insulin di perifer,
dan lipolisis. Epinefrin merupakan stimulator glukoneogenesis yang poten.
2. Glukokortikoid dan Steroid Lainnya
Beberapa peran kortisol antara lain merangsang glukoneogenesis, meningkatkan
proteolisis dan sintesis alanin, meningkatkan sensitivitas jaringan lemak terhadap
rangsangan hormon lipolitik (GH dan katekolamin) dan anti-inflamasi. Selain itu juga
menyebabkan resistensi insulin dengan menurunkan laju uptake glucose di jaringan
melalui aktivitas penghambatan reseptor post-insulin. Sekresi ACTH meningkatkan
kortisol dalam darah yang berdampak umpan balik negatif terhadap sekresi ACTH.
Pada keadaan stres sekresi kortisol meningkat, pada pasien dengan pemberian
etomidate yang menghambat sekresi adrenal menunjukkan angka kematian yang
tinggi demikian pula pada hewan coba yang dibuang kelenjar adrenalnya atau pada
pasien dengan penyakit Addison menunjukkan angka mortalitas yang tinggi. Hal ini
menunjukkan kortisol merupakan hormon vital karena mampu mensuplai penggunaan
glukosa dari otot ke otak, memudahkan aktivitas katekolamin dan mencegah reaksi
imun yang berlebihan saat terjadi trauma. Konsentrasi kortisol berbanding lurus
dengan lama dan beratnya operasi. Hormon androgen juga terpengaruh saat terjadinya
trauma. Penelitian menunjukkan hormon ini menurun saat pembedahan dan serangan
jantung. Pada penelitian menunjukkan hormon androgen dan estradiol menurun pada
pasien sakit kritis.
3. Glukagon dan Insulin
Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pankreas dan insulin dihasilkan oleh sel beta
pankreas kemudian masuk ke vena portal sehingga sel hati sangat terpapar oleh kedua
hormon ini dengan konsentrasi tinggi. Glukagon meningkatkan siklik AMP sel hati
dan meningkatkan glukoneogenesis, pada keadaan kelaparan dan ketoasidosis
diabetik glukagon juga meningkatkan glikogenolisis, lipolisis dan pembentukan benda
keton. Pelepasan glukagon dirangsang oleh hipoglikemia, asupan protein, pemberian
infus asam amino, endorfin, olahraga, GH, epinefrin dan glukokortikoid. Sedangkan
penghambatan sekresi glukagon melalui intake dan infus glukosa, somatostatin dan
insulin.
Insulin mempunyai efek sebaliknya dari glukagon yaitu menurunkan siklik AMP dan
mencegah glukoneogenesis. Insulin mempunyai efek anabolik, meningkatkan transpor
glukosa melalui membran ke sel otot dan sel lemak, merangsang pembentukan
glikogen, menghambat liposisis di jaringan lemak, menghambat ketogenesis di hati,
meningkatkan laju transport asam amino dan sintesis protein di otot, hati dan jaringan
lemak. Rasio glukagon dengan insulin inilah yang menentukan laju glukoneogenis.
Pada keadaan kelaparan rasio ini meningkat (glukagon>insulin) dan glukoneogenesis
meningkat dan sebaliknya pada keadaan maka rasio ini terbalik.
Pada kebanyakan tindakan pembedahan, glukagon pasien meningkat 18–48 jam
setelah pembedahan walaupun kadar puncaknya lebih lambat dibanding kortisol, rasio
glukagon : insulin juga meningkat. Kadar insulin menurun karena meningkatnya
katekolamin dan hilangnya lewat urin, keadaan dengan meningkatnya hormon kontra
insulin dan rendahnya kadar insulin merangsang glukoneogenesis. Pada keadaan
sepsis kondisi ini tidak terjadi sehingga timbul hipoglikemia. Pascaoperasi biasanya
insulin meningkat baik akibat peningkatan kadar glukosa maupun rangsangan
epinefrin walaupun kadarnya tetap lebih rendah dibandingkan kadar glikemia saat itu.
4. Growth Hormon
Growth Hormon disekresi di kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini mempunyai kerja
yang unik, 2–3 jam pertama setelah sekresi bekerja seperti insulin tapi setelah 3 jam
bekerja seperti kontra insulin dan efek anabolik. Hormon ini menyebabkan intoleransi
glukosa, resistensi insulin melalui efek post reseptor, menurunkan uptake glukosa di
hati atau meningkatkan absorbsi di usus. Pada keadaan trauma, luka bakar atau
pembedahan kadar GH meningkat.
C. Sepsis, Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS), dan Kegagalan Organ Multi Sistem
(MSOF/MODS)
Sepsis merupakan respon peradangan yang tidak terkendali karena adanya infeksi atau
trauma, sedangkan SIRS merupakan klasifikasi lain dari sepsis dengan etiologi mikroba.
Tubuh memiliki sistem imunitas bawaan dan imunitas adaptif. Komponen dari imunitas
bawaan termasuk sel fagositik, seperti : neutrofil dan makrofag yang dapat menelan dan
menghilangkan patogen sedangkan imunitas adaptif merupakan imunitas yang spesifik
terhadap patogen dan mempunyai memori imunologik untuk mencegah infeksi ulangan.
- Imunutas bawaan (Innate Immunity)
Merupakan respon awal tubuh terhadap bakteri patogen dengan aktivasi cepat. Sel
neutrofil dan makrofag dalam fase ini memiliki Pattern Recognition Receptors
(PRRs) yang terdapat dalam bakteri gram positif. Mekanisme ini memicu sekresi
berbagai sitokin, salah satunya adalah TNF-α.
Monosit juga akan mengaktivasi faktor transkripsi seperti PRRs intraselulerm, NOD1
dan NOD2 yang akan mengaktivasi sistem imunitas tubuh melalui NF-KB ketika
berikatan dengan molekul patogen yang difagositnya.
- Imunitas adaptif (Adaptive Immunity)
Imunitas adaptif berfungsi menghasilkan respon yang spesifik terhadap patogen dan
menghasilkan imunitas protektif terhadap re-infeksi oleh organisme yang sama.
Makrofag memfagosit patogen asing seperti bakteri dan virus akan memunculkan
protein permukaan dari mikroorganisme tersebut pada tempat pengikatan Major
Histocompatibilty Complex (MHC) akan menampilkan protein untuk menarik sel T
spesifik yang berperan dalam aktivasi sitokin serta antibodi yang sesuai. Limfosit B
(sel B) menghasilkan berbagai macam antibodi dan pengenalan antigen oleh reseptor
atau menginduksi daya tahan dari sel T yang terlibat sehingga dapat menimbulkan
memori imunologik. Sel T-helper (Th) yang terbagi menjadi 2 tipe (Th1 dan Th 2)
berfungsi untuk melawan infeksi, produksi antibodi (terutama pada respin IgE), dan
patogenesis reaksi hipersensitivitas.
Pada kondisi syok septik, ditemukan adanya peningkatan sel T regulator yang
berfungsi memodulasi pematangan sel imun untuk membatasi respon adaptif serta
apopotosis limfosit dan sel dendritik. Hilangnya sel limfosit dan dendritik akan
menyebabkan kerusakan pada imunitas adaptif. Pada fase awal respon imunitas tubuh,
Th-1 mendominasi karena berkaitan dengan infeksi patogen, selanjutnya terjadi
pergeseran menuju Th-2 ketika makrofag dan sel dendritik memfagosit produk
apoptosis sel imun dan kemudian menghasilkan berbagai sitokin. Pergeseran Th-1
menjadi Th-2 berdampak pada terjadinya imunoparesis.
1. Respon imun terhadap infeksi
Sistem kekebalan tubuh seperti sebuah tim yang melibatkan banyak pemain yang
berbeda-beda dan berinteraksi satu sama lain. Sistem kekebalan tubuh menanggapi
adanya patogen bergantung pada kedua bawaan dan komponen adaptif. Pertahanan
pertama dalam melawan patogen berupa hambatan fisik seperti kulit, serta lendir pada
membran gastrointestinal, penafasan dan genitourinari. Pertahanan kedua adalah
pertahanan olesh sistem kekebalan tubuh bawaan, seperti protein, sel sentinel fagosit,
dan sel-sel pembunuh alami, yang akan mengaktifkan aktivator dan berperan sebagai
pengendali adaptif sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh bawaan
mempunyai peran penting dalam menandakan adanya inisiasi reaksi immuno-
inflamasi serta infeksi gram-negatif yang dipicu oleh endotoksin dan infeksi gram-
positif yang terjadi akibat produksi eksotoksin atau karena fragmen membran sel.
Lipopolisakarida yang dikomplekskan dengan protein plasma tertentu akan berkaitan
dengan resptor membran (CD14) pada sel efektor seperti makrofag dan sel endotel.
Hal ini merupakan tanda mulainya transduksi sinyal intraseluler melalui mekanisme
reseptor spesifik (TLR).
2. Respon inflamasi terhadap infeksi
Setalah respon inflamasi dipicu, endoteium vaskular orchestrates mengarahkan
elemen seluler terutama leukosit ke lokasi infeksi. Kompleks interaksi endotel-
leukosit merupakan prekursor penting untuk mempertahankan respon inflamasi yang
diatur oleh urutan waktu pada ekspresi molekuler.
3. Leukosit-endotel adhesi dan migrasi
Marginasi leukosit awal dan yang berjalan sepanjang dinding endotel diatur oleh
glikoprotein yang dikenal sebagai selectins pada kedua permukaan endotel (P- dan E-
selectins) dan leukosit (L-selectin). Proses ini dipicu oleh berbagai mediator
proinflamasi termasuk TNF-α, interleukin 1 (IL-1), histamin, komplemen, leukotrien
dan radikal bebas. Kekuatan adhesi leukosit-endotel diikuti dengan transmigrasi
leukosit keluar dari pembuluh darah ke jaringan yang berada dibawahnya (dinding
pos-kapiler venula). Migrasi ini juga didukung oleh karena permeabilitas pembuluh
darah yang meningkat dan edema lokal.
4. Respon Endotel dan Jaringan Lokal
Sitokin pro-inflamasi dan neutrofil yang disekresikan ke dalam endotel pembuluh
darah akan menginduksi apoptosis (kematian sel terprogram) dalam sel-sel endotel,
aktivasi neutrofil menyebabkan kerusakan oleh kaskade kejadian yang mengarah pada
pembentukan radikal bebas oksigen O2 dan OH dalam sel endotel. Sehingga dari
interaksi endotel-leukosit menghasilkan cidera jaringan yang terjadi pada tingkat sel
endotel maupun jaringan bawahnya.
Pada sepsis, respon inflamasi mengalami istirahat dari anti-inflamasi sehingga dapat
meluas dan menyebabkan kerusakan sistemik.
5. Nitrat oksida dan efek potensial terhadap respirasi sel pada sepsis
NO dihasilkan dari L-arginin oleh aksi sitase nitrogen oksida enzim (NOS). Ada tiga
isoform dari NOS, yaitu : e NOS ditemukan di endothelium, n NOS ditemukan di
neuron, i NOS ditemukan di beberapa lokasi seperti makrofag, otot polos dan
endotelium. e NOS dan n NOS adalah enzim konstitutif yang dikelompokkan di
dalam c NOS. Sebaliknya, i NOS diinduksi oleh beberapa rangsangan yang
berhubungan dengan peradangan da jumlah i NOS yang dihasilkan jauh lebih besar
dari c NOS.
NO berfungsi mengatur respirasi sel dengan bertindak pada oksidase sitokrom C
mitokondria (kompleks IV) untuk mengurangi penggunaan oksigen.
Dalam sepsis rangsangan pro-inflamasi menyebabkan induksi i NOS selama beberapa
jam, sehingga menyebabkan produksi NO yang berlebihan. Dalam hal ini, ada O2
yang cukup untuk menggantikan NO dari kompleks IV. Akibatnya, rantai pernafasan
menjadi berkurang. O2 akan bereaksi dnegan NO bebas untuk membentuk anion
peroxynitrite (ONOO). ONOO menyebabkan kerusakan permanen pada kompleks I
dan III, sehingga menyebabkan inisiasi terjadinya apoptosis, yang dibuktikan dengan
adalanya disfungsi mitokondria di sejumlah jaringan selama sepsis, termasuk monosit,
mukosa usus, hati dan otot rangka. Tingkat disfungsi sesuai dengan tingkat keparahan
dari sepsis.
Multiorgan Distress Syndrome (MODS) yang sering disebut juga sebagai kegagalan organ
multisistem. Istilah lain yang sering digunakan adalah kondisi dari komplikasi sepsis dan
SIRS. MODS/MOSF termasuk disfungsi jantung, pernapasan dan sistem ginjal.
Kondisi patologis sepsis berat atau syok sepsis dapat mempengaruhi setiap komponen sel
mikro sirkulasi, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit dan jaringan. Mikro
sirkulasi menentukan ketersediaan oksigen untuk setiap sel dan jarigan, yang menjamin organ
dapat berfungsi dengan baik, jika tidak ditangani dengn baik dapat menyebabkan distress
respirasi pada jaringan dan sel, yang lebih lanjut akan menyebabkan disfungsi sirkulasi
makro dan akan menyebabkan kegagalan organ dan kegagalan multi organ.
Selain mengganggu konsumsi oksigen pada tingkat sel atau mitokondria, sepsis juga dikaitka
dengan gangguan beberapa organ, seperti :
A. Kardiovaskuler
Pada sistem kardiovaskuler sepsis dikaitkan dengan gangguan bruto fungsi
kardiovaskuler, seperti :
- Penurunan kontrol vasomotor
Pada sepsis terjadi vasodilatasi dan kehilangan reaktifitas katekolamin yang
berkaitan dengan gangguan dalam regulasi NO. NO memainkan peran penting
dalam regulasi vasomotor endotelium dan hemodinamik, maka dalam kondisi
fisiologis normal terjadi sintesis basal dan pelepasan NO oleh sel endotel.
Selanjutnya NO akan berdifusi ke sel-sel otot halus dan mengaktifkan enzim
guanylate cyclase yang menyebabkan peningkatan guanosin 3’, 5’-monofosfat
siklik (c GMP). Selama keadaan sepsis produksi NO yang berlebihan
menyebabkan vasodilatasi sistemik yang luas, yang dapat mengurangi suplai
oksigen ke jaringan.
- Disfungsi jantung
Terjadi disfungsi miokard yaitu penurunan tingkat kontraksi jantung dan relaksasi
sebagai respon terhadap sepsis. Hal ini berhubungan dengan absorbsi dan release
Ca2+ dari retikulum sarkoplasma melalui saluran Ca2+ di sarcolemma atau reseptor
ryanodine. Penurunan jumlah reseptor dalam fase hipodinamik dari sepsis
menyebabkan berkurangnya release Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, sehingga
terjadi pembatasan interaksi dengan protein kontaktil miokard selama fase sistol,
sedangkan penurunan tingkat reuptake Ca2+ ke retikulum sarkoplasma akan
menyebabkan penundaan timbulnya fase relaksasi diastole. Mekanisme yang
mendasari pengurangan jumlah aliran Ca2+ berhubungan dengan mediator TNF-α
dan NO.
B. Hematologis
Keadaan sepsis menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (KID) akut dengan
penurunan trombosit < 100.000/mm3, waktu untuk pemebkuan darah memanjang dan
hipofibrinogenaemia yang mengarah ke komplikasi perdarahan dan trombotik.
Mikrovaskuler trombosis dapat meluas, karena terjadi penurunan sistem koagulan
(antithrombin III dan thrombomodulin). Pemeberian protein C teraktivasi telah
terbukti mengurangi angka kematian pada beberapa pasien sepsis dan sedang menjani
uji klinis lebih lanjut.
C. Hati
Disfungsi hati ditandai dengan hepatomegali dan hiperbilirubinemia serta kenaikan
enzim hati ringan hal tersebut merupakan tanda umum pada sepsis. Kerusakan hati
terjadi jika aliran darah ke hati tidak mencukupi untuk kebutuhan oksigen yang
meningkat pada jaringan regional atau disfungsi hati tidak flow-dependent.
D. Paru-paru
Cidera paru akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang terjadi
dalam 60-70% pasien sepsis. Disfungsi endotel disebabkan oleh infiltrasi neutrofil
pada paru-paru merupakan proses utama yang mengarah ke peningkatan protein dan
ekstravasasi cairan ke dalam interstitium paru-paru dan ruang alveolar. Gejala sisa
termasuk rusaknya alveolar, shunting paru, hipoksemia, penurunan kapasitas residu
fungsional dan peningkatan kerja pernafasan. Peningkatan IL-8 diproduksi oleh
makrofag alveolar berhubungan dengan cidera paru-paru pada pasien sepsis.
E. Renal
Ginjal hiperfusi pada sepsis terutama disebabkan oleh vasodilatasi sistemil dan
hipovolemik relatif. Faktor neurohumeral lain termasuk endotelin, A2 tromboksan dan
masuknya bahan seluler (misalnya neutrofil dan faktor koagulasi) juga penting dan
mengakibatkan berbagai tingkat gangguan ginjal. Peningkatan kreatinin >0,3 mg/dl
dari nilai sebelumnya atau peningkatan >50%, serta oliguri <0,5 cc/kgbb/jam lebih
dari 6 jam menandakan gangguan gagal ginjal akut.
F. Sistem saraf pusat, ensenfelopati sepsis
Jika sumber infeksi di luar central nervous system (CNS), maka gangguan neurologik
yang terjadi dianggap sebagai ensefelopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat
menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, serta
hipertensi serebral keadaan syok. Gejala dapat bervariasi mulai dari agitas,
confussion, delirium, dan koma.
G. Traktus Gastrointestinal
Dapat terjadi iskemia splanchnis dan asidosis intramukosa selama sepsis. Tanda klinis
mencakup perubahan fungsi otot alus dan terjadinya diare. Pendarahan GIT
dikarenakan adanya stress ulcer yang juga merupakan manifestasi dari sepsis.
Monitoring pH intramukosa lambung yang digunakan untuk mengenali dan
merupakan petunjuk dari resusitasi. Peningkatan paCO2 intramural merupakan tanda
adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.
Tingkat mortalitas kasus sepsis adalah 16%, dan meningkat menjadi 20% pada sepsis berat dan
46% pada kasus septik syok. Tingkat kematian pada anak-anak kurang dari 10%, namun
meningkat hampir empat kali (38,4%) pada kelompok usia ≥ 85tahun, dan laki-laki sedikit lebih
tinggi (29,3%) dibandingkan dengan perempuan (27,9%).
Lebih dari 750.00 kasus sepsis teridentifikasi pada tahun 2008. Di negara Durthaler bahwa
sepsos menyumbang lebih banyak kematian dibandingkan dengan kanker payudara, AIDS,
dan gagal jantung kongestif.
Dari seluruh kasus yang terjadi bakteri memegang presentasi terbanyak penyebab sepsis,
dengan bakteri jenis gram-positif sebanyak 30-50%, bakteri gram-negatif sebanyak 25-30%,
polimikroba sebanyak 11-19%, serta 1-4 % adalah jamur, virus dan parasit.
Tanda-tanda utama awal sepsis meliputi peningkatan jumlah sel darah putih (>12.000 mm3),
peningkatan denyut jantung (>90 denyut jantung per menit) dan respirasi (>20 napas/menit),
dan demam (>380c) atau hipotermia (<360c). C-reactive protein, fibrinogen, melengkapi
protein, dan protein fase akut lainnya yang berhubungan. Nilai laboratorium lain yang juga
merupakan maniestasi klinis adalah adanya peningkatan serum laktat dan serum glukosa.
Pengobatan sepsis akan berpusat pada pengobatan sumber infeksi atau trauma dan
mendukung pasien dengan ventilasi paru-paru, dengan konsumsi antibiotik, dengan
hemodinamik dan penyakit ginjal. Terapi metabolisme intensif insulin,agen antimikroba,
koagulasi-modulasi obat (seperti vitamin C (drotrecogin alfa diaktifkan)) dan dukungan
semua nutrisi yang masuk dalam protokol medis dan mewakili langkah-langkah penting
dalam pengobatan yang efektif dari sepsis.
Terapi gizi untuk sepsis
Dukungan nutrisi merupakan langkah penting dalam pengobatan dan perubahan kondisi dari
sepsis. Memenuhi kebutuhan asupan pasien dengan sakit kritis terdapat banyak tantangan
seperti terjadi kelainan metabolisme, susah memperkirakan atau mengukur kebutuhan zat
gizi, pembatasan cairan, dan adanya multi-disfungsi organ.
D. Luka Bakar
Luka bakar merupakan luka yang terjadi pada jaringan kulit, otot, maupun tulang akibat
paparan panas, bahan kimia, radiasi, atau listrik. Tulang, otot, pembuluh darah, lapisan
dermal, dan epidermal dapat mengalami kerusakan akibat luka bakar dan nyeri akibat cedera
pada saraf. Apabila tidak ditangani segera, luka bakar akan menimbulkan berbagai
komplikasi seperti syok, infeksi, ketidakseimbangan elektrolit, dan kegagalan nafas
tergantung pada lokasi luka bakar, luas area, dan kedalaman luka. Usia, status gizi, dan faktor
komorbiditas lainnya mempengaruhi respon fisiologi terhadap luka, perawatan, dan
pemulihan. Berikut merupakan karakteristik luka bakar berdasarkan kedalaman luka.
Klasifikasi Penyebab Karakteristik
Penampakan Sensasi Waktu Bekas Luka
Sembuh
Superfisial Sinar ultraviolet,
paparan api
Kering dan memerah
atau memutih jika
ditekan
Nyeri 3-6 hari Tidak ada
Superficial
partial-
thickness
Air panas (tumpa-
han atau percikan),
paparan api
Melepuh, lunak,
berair, dan memerah
atau memutih jika
ditekan
Nyeri
karena
udara dan
suhu
7-20 hari Terkadang;
berpotensi
menimbulkan
perubahan
pigmen
Deep
partial-
thickness
Air panas (tum-
pahan), paparan api,
minyak, pelumas
Melepuh, mudah
terkelupas; basah atau
lembab; warna
bervariasi (belang,
putih, merah); tidak
memutih jika ditekan
Hanya
peka
terhadap
tekanan
>21 hari Beresiko tinggi
(hipertropik)
akan
contracture
Full-
thickness
burn
Air panas (teren-
dam), api, uap,
minyak, pelumas,
bahan kimia, listrik
bervoltase tinggi
Putih hingga keabu-
abuan hingga hangus
dan hitam; kering dan
inelastis; tidak
memutih jika ditekan
Hanya
peka
terhadap
tekanan
yang kuat
Permanen
(jika area
luka bakar
>2% total
area tubuh)
Selain komplikasi klinis, luka bakar juga dapat menyebabkan gangguan psikologis dan emosi
akibat dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, bekas luka, dan kecacatan yang
terjadi1.
Etiologi luka bakar yang paling sering adalah paparan langsung dari sumber panas seperti
terbakar api dan terkena air panas1. Selain itu, luka bakar dapat terjadi karena paparan bahan
kimia dan sengatan listrik. Pada sengatan listrik, kerusakan pada jaringan tubuh terjadi ketika
aliran listrik menjalar melalui jaringan dan tulang. Tingkat keparahan dari luka bakar
bergantung pada jumlah volt listrik, lokasi kontak di tubuh, dan lama waktu sengatan listrik
berlangsung. Sedangkan luka bakar akibat paparan zat kimia terjadi ketika tubuh terpapar
langsung oleh cairan asam atau alkali2.
Usia dari seseorang juga terkadang menentukan penyebab dari luka bakar yang dialami. Pada
usia anak-anak, 70% luka bakar terjadi akibat sikap hiperaktif dan kontak dengan air panas.
Pada usia remaja dan dewasa muda, penyebab utama luka bakar ialah kecerobohan saat
menangani api dan cairan yang mudah terbakar. Sedangkan pada usia dewasa, luka bakar
akibat api menempati urutan pertama dengan 1/3 kejadian tersebut terjadi di tempat kerja.
Ada metode untuk menentukan besarnya area tubuh yang terkena luka bakar. Metode ini
disebut Rules of "Nines". Pada metode ini, tubuh dibagi dalam proporsi 9 atau turunan dari 9.
Perkiraan luas area yang terbakar membantu assesment dari tingkat keparahan luka, dan
membantu memperkirakan cairan yang dibutuhkan dan obat-obatan yang diperlukan.
Perubahan lokal pada area luka bakar dibagi manjadi 3 zona oleh Jackson. Zona koagulasi
pada bagian sentral luka atau jaringan yang paling lemah/rusak. Bagian paling luar atau
paling perifer disebut zona hiperemia. Zona hiperemia memiliki karakteristik yaitu adanya
vasodilatasi, serta terjadi tanda-tanda inflamasi namun tidak terjadi perubahan struktur.
Diantara zona koagulasi dan zona
hyperemia terdapat zona stasis. Zona
stasis merupakan zona yang mengalami
luka dermal sedang hingga luka dermal
dalam. Pada zona ini terjadi vaskular
stasis dan iskemia. Jaringan pada zona
ini memiliki potensi untuk sembuh,
namun dapat berubah menjadi lesi yang
lebih tebal. Progresi luka bakar diduga
terjadi akibat kegiatan apoptosis pada zona stasis.
Paparan panas dengan suhu lebih besar dari 40 derajat menyebabkan denaturasi protein pada
kulit yang menyebabkan hilangnya integritas membran plasma. Proses ini terjadi secara cepat
Gambar 1. The rules of nine
Gambar 2. Zona Jackson
dan hanya membutuhkan beberapa detik jika terpapar suhu lebih tinggi dari 60 derajat.
Mediator lokal yang dilepaskan adalah histamin, serotonin, bradykinin, nitrit oksida, oxygen-
free radicals, prostaglandin, tromboksan, TNF, dan interleukin. Histamin merupakan
mediator yang paling berperan untuk meningkatkan permeabilitas mikrovaskular pada fase
awal luka bakar terjadi. Histamin menyebabkan pembesaran celah endotelial sementara.
Perubahan patofisiologi setelah luka bakar mempengaruhi berbagai organ dan sistem tubuh
yang dapat menyebabkan syok, gangguan pencernaan, pernafasan, gagal ginjal, dan
imunosupresi. Sebagian besar luka bakar terkait dengan hipermetabolisme ekstrim dan
katabolisme yang terjadi ketika sadar dari fase syok luka bakar.
Sistem pencernaan akan terganggu oleh influks neutrofil dan pembengkakan pada lamina
propia (hari pertama setelah luka bakar), peningkatan myeloperoksidase usus (hari ketiga
setelah luka bakar), penurunan proliferasi sel epitel, migrasi dan ekspresi Ecadherin (hari
ketiga setelah luka bakar), peningkatan translokasi bakteri Efaecalis (hari ketiga setelah luka
bakar), apoptosis masif, dan nekrosis moderat/sedang. Kondisi-kondisi ini disebabkan oleh
dua hal utama, yaitu peningkatan stres oksidatif akibat hipoperfusi maupun perfusi yang
terlambat dan peningkatan produksi TNF-alpha yang diinduksi oleh makrofag yang diinduksi
oleh gamma delta sel T setelah terjadinya luka bakar. Iskemia yang terjadi memicu stres
oksidatif kepada produksi mediator molekular yang menyebabkan nekrosis dan apoptosis
jaringan. Mediator molekular yang diproduksi mencakup mukosal atau turunan makrofag
berupa monosit radikal oksigen sintase (ROS) dan NO sintase (NOS) yang mendorong
produksi H2O2 dan NO yang bersifat racun bagi enterosit.
Luka bakar juga mempengaruhi sistem imun seseorang. Pasien luka bakar parah mengalami
deplesi sel T dan sebagian menyebabkan terganggunya respon imun normal terhadap antigen
tertentu (anergy). Leptin menunjukan efek protektif terhadap apoptosis. NO, selain bertindak
sebagai imunoregulator dan proinflamator, juga memiliki efek cytostatic, apoptotic dan
nektrotik pada sel T aktif. Supresi imun awal (hari ketiga setelah luka bakar) menstimulasi
hiperrespons dari CD8(+) sel T. Heat shock proteins (HPs) melindungi sel dari berbagai stres
yang terjadi. Sebagian besar luka bakar menyebabkan peningkatan ekspresi HSPs di neutrofil
bersamaan dengan peningkatan aktivitas oksidatif dan penurunan apoptosis.
Pada pasien luka bakar, otot rangka akan melemah. Pasien dengan luka bakar yang parah
(TBSA >30%) memiliki tonus otot yang lemah hingga beberapa tahun setelah trauma.
Perubahan morfologis pada otot akibat luka bakar yang terjadi mencakup kerusakan
mitokondrial dan akumulasi lipid intraselular.
Sistem endokrin tubuh juga mengalami gangguan. Peningkatan hormon stres yang bersifat
proinflamasi seperti kortisol, glukokortikoid dan katekolamin lain yang diproduksi oleh
medula dan korteks adrenal. Hormon-hormon tersebut memiliki efek katabolik, namun
intensitasnya bergantung pada luas TBSA yang dialami2.
Pada pasien dengan luka bakar yang parah, hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik. Kontributor utama bagi hepatomegali yang terjadi adalah timbunan droplet besar lemak
intrahepatositik dalam hepatosit dan adanya kolestasis. Setelah kejadian luka bakar, terjadi
depresi kardiak output. Terjadi hipovolemia, berkurangnya volume plasme, dan berkurangnya
darah yang kembali melalui vena kemudian berpengaruh terhadap kardiak output. Meskipun
volume plasma telah meningkat dan terkanan arterial serta output urin telah normal,
penurunan jumlah kardiak output tetap ada. Ketika luka bakar, cardiomyocytes memproduksi
TNF-alpha, IL-1beta dan IL-6, yang kemudian sitokin-sitokin tersebut berpengaruh terhadap
disfungsi kardiak. Sebagian besar luka bakar juga mengganggu fluks ion kalsium diantara
retikulum sarkoplasma dan sitoplasma. Endotoksin dan lipopolisakarida menginduksi
terjadinya apoptosis yang dapat menyebabkan disfungsi kardiak 2.
Dalam 24 jam setelah luka bakar yang parah, hampir seluruh pasien mengalami oedema.
Terjadi oedema paru-paru akan mengganggu pertukaran gas dan mengurangi keleluasaan
bernafas. Disamping vasokonstriksi pada mikrosirkulasi, oedema pada paru-paru juga terjadi
akibat hipoproteinemia. Selain menyebabkan penurunan tekanan onkotik, hipoproteinemia
juga mengganggu matriks intestinal sehingga terjadi perpindahan cairan ke kapiler
endotelium dan menyebabkan intestinal oedema2.
E. Operasi
Operasi merupakan suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mendiagnosis dan
memperbaiki organ atau jaringan, sehingga operasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keseriusannya, kebutuhan, ataupun tujuannya.
Berdasarkan tingkat keseriusannya, operasi dibedakan menjadi operasi mayor dan minor.
Operasi mayor bersifat selektif dan untuk kebutuhan mendesak dan darurat. Operasi ini
dilakukan pada area kepala, leher, dada dan perut (abdomen). Biasanya, operasi mayor
membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan pasien dapat rawat inap untuk perawatan
intensif. Selain waktu yang lama, operasi mayor memiliki risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi setelah dilakukan tindakan. Pada anak-anak, yang termasuk operasi major yaitu
operasi tumor otak, mengkoreksi malformasi tulang tengkorak dan wajah, transplantasi
organ, memperbaiki cacat usus, operasi kelainan tulang belakang dan pengobatan cedera
serius. Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif. Waktu pemulihan
hasil operasi cenderung pendek dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa dengan cepat.
Operasi ini paling sering dilakukan pada pasien rawat jalan dan dapat pulang pada hari yang
sama. Komplikasi dari jenis operasi ini jarang terjadi. Contohnya operasi minor antara lain
pencabutan gigi, pengangkatan kutil, dan mengkoreksi patah tulang1.
Berdasarkan kebutuhan, operasi dibedakan menjadi operasi elektif (pilihan) dan darurat.
Operasi elektif tidak berarti operasi opsional, melainkan suatu prosedur yang direncanakan
terlebih dahulu. Contoh operasi elektif seperti penghapusan tanda lahir dan melakukan fusi
tulang belakang untuk memperbaiki kelengkungan parah tulang belakang. Operasi mendesak
atau darurat dilakukan pada kebutuhan medis yang mendesak, seperti mengkoreksi cacat
jantung bawaan yang mengancam jiwa atau perbaikan organ internal cedera setelah
kecelakaan mobil1.
Umumnya, tindakan operasi tidak menimbulkan permasalahan gizi yang signifikan dengan
orang berstatus gizi normal. Pada orang dengan malnutrisi, tindakan operasi akan
menimbulkan proses metabolisme yang berbeda dan dapat memperparah status gizi pasien.
Selain status gizi sebelum operasi, usia juga dapat berdampak pada status gizi pasca operasi.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko komplikasi umum pasca operasi, termasuk wound
dehisence (pembukaan luka setelah penutupan dengan jahitan) dan infeksi. Jika pasien
berstatus gizi buruk sebelum operasi, maka akan berisiko lebih besar untuk menderita
pneumonia atau infeksi luka lainnya yang disertai demam sebagai akibat dari sintesis protein
yang menurun. Hal ini dikarenakan kebutuhan energi tubuh akan dipenuhi
dari sumber endogen jika sumber eksogen tidak tersedia atau tidak memadai. Salah satu
sumber endogen yang dipakai adalah protein dari otot. Apabila protein otot terus dipakai,
maka protein otot interkostal, contohnya, dapat habis dan mengakibatkan pneumonia. Tidak
hanya itu, asam amino yang ada tidak memadai untuk mensintesis antibodi yang mengarah
pada gangguan respon imun pada infeksi akibat dari penggunaan asam amino yang tinggi
untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining dan uji prognostik untuk
mengidentifikasi pasien yang paling mungkin mengalami risiko gizi. Perubahan pra operasi
seperti berat badan, albumin, dan C-reactive protein dapat diukur untuk memprediksi hasil
operasi. National VA Surgical Risk Study, mengevaluasi hubungan banyak karakteristik
komplikasi dan angka kematian pada lebih dari 50.000 pasien. Hasil evaluasi menunjukan
bahwa albumin pra-operasi merupakan prediktor lebih baik untuk memperkirakan komplikasi
dan kematian daripada karakteristik lain seperti usia, merokok, dan nilai-nilai laboratorium
lainnya1.
Pasien diminta untuk puasa makan atau minum setidaknya selama dua belas jam sebelum
operasi. Pasien akan menerima anastesi umum, epidural, atau lokal. Pasca operasi, pasien
dapat menggunakan tabung nasogastrik untuk menghilangkan sekresi lambung dan kateter
urin untuk membuang urin sampai kontrol dalam buang air kecil kembali normal. Hal lain
yang menjadi perhatian pada pasien meliputi pemeliharaan fungsi dan sirkulasi pernapasan,
pencegahan infeksi, penyembuhan luka, dan kontrol nyeri1.
Anestesi umum dapat mengakibatkan postoperative ileus (kurangnya motilitas), yaitu
kelumpuhan general pada saluran pencernaan. Resolusi ileus umumnya terjadi dalam waktu
24-48 jam, tergantung pada jenis operasi. Secara tradisional, pasien diminta untuk tidak
makan atau minum sampai ileus selesai dan produksi gas atau bowel movement adalah tanda
resolusi ileus. Karena masih sulit untuk memastikan waktu saat fungsi GI kembali.1
Banyak pasien tidak dapat mencegah kehilangan berat badan bila telah melakukan operasi
dengan adanya kekurangan gizi. Penurunan berat badan lebih lanjut dapat meningkatkan
kemungkinan komplikasi dan memperpanjang waktu tinggal di rumah sakit.
Merekomendasikan pasien untuk makan segera setelah operasi bila memungkinkan dan aman
untuk dilakukan1.
F. Asuhan Gizi
I. Sepsis dan SIRS Fase Ebb
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total asupan energi, cairan dan elektrolis (hypovolemia).FH-1.2.1.1 Asupan Cairan
Data Antropometri (AD)
AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.
Biochemical Data (BD)
BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal
Terkait dengan penurunan fungsi ginjal dan hypovolemia
BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)
<110 mg/dL Kadar insulin menurun karena peningkatan kadar glukagon
BD-1.10.1 Hemoglobin (rendah, range normal
14-17)
Berisiko terjadi hipoksia
BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal
215-365 mg/dL)
BD-1.12.5 Volume urin Penurunan volume urin
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
PD-1.1.1 Kenampakan keseluruhan Lemas, pucat, demam
PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo
- Denyut Nadi < 90 x / menit
- Frekuensi Pernafasan< 20 x / menit
Penurunan cardiac output
PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh
- Tekanan darah menurun (hipotensi)
- < 36 0C (hipotermia)
B. Diagnosis Gizi
Excessive fluid intake (NI-3.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai
dengan penurunan berat badan, penurunan volume urin, demam, dan hipotensi.
C. Intervensi Gizi
1. Tujuan
Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit untuk membantu tubuh dalam bertahap
hidup.
2. Preskripsi
a. Modifikasi jumlah kalori
Pada kondisi awal (fase ebb) tidak diberikan energi dalam jumlah tinggi karena
terjadi peningkatan stress hormon, resistensi terhadap insulin dan hiperglikemia.
b. Modifikasi jumlah cairan dan elektrolitPada kondisi awal (fase ebb) terjadi hypovolemia sehingga rekomendasi resusitasi
cairan dan elektrolit diberikan untuk intervensi. Pemberian cairan sebanyak 600 ml
dengan 6 kali pemberian dimana setiap pemberian sebesar 100 ml.
3. Implementasi
a. Pemberian makanan dan zat gizi
Fase ebb merupakan fase pertama yang dialami oleh tubuh setelah mengalami
keadaan stress metabolik yang berlangsung 12-24 jam pertama. Dalam fase ini
metabolisme tubuh menurun karena focus perhatian tubuh pada upaya betahan
hidup. Peningkatan kadar katekolamin dan glucagon akan meningkatkan
penguraian glikogen (glikogenolisis) dan sintesis glukosa dari asam-asam amino
(gluconeogenesis) sehingga timbul keadaan hiperglikemia.
II. Sepsis dan SIRS Fase Flow
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total
asupan energi dan cairan karena terjadi penurunan nafsu makan.
FH-1.2.1.1 Asupan Cairan
FH-1.5.2.1 Total Asupan Protein Terjadi proteolisis
Data Antropometri (AD)
AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.
Biochemical Data (BD)
BD-1.1.3 Tekanan parsial CO2
pada arteri (PaCO2)Tekanan CO2 < 32 mmHg
Hiperventilasi
BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal
Penurunan fungsi ginjal
BD-1.4.2 Alanine aminotransferase (ALT)
(tinggi, range normal 4-
36 U/L)
Penurunan fungsi hati
BD-1.4.3 Aspartate aminotransferase (AST)
(tinggi, range normal 0-
35 U/L)
BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)
>110 mg/dL Hiperglikemia
BD-1.6.1 C-reactive protein (tinggi, normal < 1mg/dl) Meningkat karena adanya inflamasi
BD-1.10.1 Hemoglobin (tinggi, range normal
14-17)
Konsumsi oksigen meningkat
BD-1.10.2 Hematokrit (tinggi, range normal 40-
54%)
BD-1.11.1 Albumin (rendah, range normal
3,5-5 g/dL)
Hipoalbuminemia
BD-1.11.2 Prealbumin (rendah, range normal
16-35 mg/dL)
Menurun
BD-1.11.3 Transferin (rendah, range normal
215-365 mg/dL)
Menurun
BD-1.11.7 Antibody level Leukosit (>12.000 mm3)
Meningkat karena adanya inflamasi
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo
- Denyut Nadi- Frekuensi Pernafasan
Nadi > 90 x / menitPernapasan > 20 x / menit (Tachypnea)
PD-1.1.8 Kulit Terdapat selulitis
PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh
- Tekanan darah meningkat (hipertensi)
- > 38 0C (demam) atau < 36 0C (hipotermia)
B. Diagnosis Gizi
1. Peningkatan energi ekspenditur (NI-1.1) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan dengan penurunan berat badan 5% dalam tiga bulan atau 10% dalam 6 bulan.
2. Perubahan fungsi GI (NC 1.4) berkaitan dengan keadaan stress metabolik ditandai dengan penurunan napsu makan, mual, muntah, dan diare.
3. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi (NC-2.2) berkaitan dengan keadaan
stress metabolik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (> 12.000 mm3),
meningkatnya denyut jantung (>90 kali/menit) dan meningkatnya respirasi (>20
kali/menit), demam (>38oC) atau hipotermia (<36oC).
C. Intervensi Gizi
Sasaran intervensi gizi adalah etiologi (akar masalah). Namun pada kondisi stress metabolik
etiologi tidak dapat dirubah oleh praktisi gizi/dietisien, maka intervensi gizi ditujukan untuk
mengurangi tanda & gejala.
1. Tujuan
a. Memenuhi kebutuhan metabolik yang tinggi akibat kondisi stress metabolik.
b. Memenuhi total kebutuhan protein untuk mencegah terjadinya Kurang Energi
Protein (KEP) akibat proteolysis dan peningkatan katabolisme protein.
c. Memenuhi kebutuhan defisiensi zat gizi tertentu seperti vitamin dan mineral.
d. Mencegah terjadinya retensi natrium dan cairan.
4. Preskripsi
a. Modifikasi asupan energi
Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi
hanya mencapai 70% dari total kebutuhan kalori. Hal ini dikarenakan dapat
menimbulkan hiperglikemia dan meningkatnya produksi CO2. Rekomendasi
asupan energi sebesar 2000 kkal melalui oral karena pasien tidak mengalami
gangguan menelan maupun masalah pencernaan.
b. Modifikasi jumlah karbohidrat.Pemberian karbohidrat juga diketahui dapat menurunkan proses
proteolisis.Karbohidrat diberikan 55% dari total kalori tanpa melebihi 5
mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7
g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat
yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon
dioksida, peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat
yang diberikan yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena
pasien mengalami hiperglikemia.
c. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifikDiberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari
untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan
katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,
karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam
amino yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino
yang menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang
dipilih oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang
direkomendasikan adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun
pada sebuah penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada
pasien anak dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
d. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa
peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari
total energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber
lemak yang dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang,
alpukat, minyak zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah
minyak ikan, ikan tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.
e. Modifikasi bahan makanan tinggi antiinflamasi dan antioksidan.
Pemberian suplementasi vitamin dan mineral yang tinggi antioksidan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh karena terjadi inflamasi. Asupan vitamin dan
mineral yang diberikan seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium. Vitamin C 100
mg setiap 8 jam, 400 µg IV selenium setiap hari, 1500 IU vitamin E setiap 12 jam
selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU. Vitamin C dan selenium
diberikan secara intravena selama dua hari pertama kemudian diberikan secara
enteral untuk hari berikutnya.
f. Modifikasi jumlah cairan
Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi
natrium dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang
hilang dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water
lose. Pada dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 – 2 liter per
hari sehingga apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan
cairan yang bisa dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.
g. Rekomendasi pemberian makan enteral atau parenteral
Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan
mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena
pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi
atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.
5. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pasien yang mengalami stress metabolik akan menimbulkan respons
hipermetabolik yang panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari
penyakit, yang mana respons hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres
endokrin dan respons inflamasi (mediator multiple).
Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien.
Bila usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral
kalau tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah
perenteral (pipa lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah
kejadian) maupun pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat
memberikan manfaat secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons
katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien,
mempertahankan integritas usus, mempertahankan integritas/respons imunologis
dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit.
Pemberian antibiotik juga dibutuhkan untuk mengeliminasi benda asing atau yang
menyebabkan infeksi.
b. Pemberian Edukasi Gizi
Melatih keterampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/keluarga
dalam mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku sehingga dapat membantu
prosess penyembuhan. Edukasi ini meliputi edukasi gizi awal/singkat dan edukasi
gizi secara menyeluruh. Materi edukasi yang dapat diberikan meliputi gizi
seimbang untuk kondisi stress metabolik, menu diet yang dapat diterapkan
pasien/keluarga.
c. Pemberian Konseling Gizi
Konseling gizi diberikan sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Konselor
mengkaji beberapa data yang diperlukan seperti data riwayat makan dan data
klinis. Berdasarkan diagnosis medis dan diagnosis gizi, konselor menjelaskan
tujuan dan proses konseling gizi sehingga terjadi perubahan perilaku dan pola
makan pasien. Konselor memberikan gambaran kebutuhan zat gizi pasien dan
beberapa contoh menu untuk memudahkan pasien/keluarga. Melalui konseling gizi
ini diharapkan dapat meringankan keadaan stress metabolik yang dialami pasien.
d. Koordinasi Gizi
Kegiatan konsultasi atau koordinasi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain
dalam memberikan asuhan gizi yang dapat membantu atau mengelola masalah
metabolik stress.
III. MSOF/MODS
A. Pengkajian Gizi
DOMAIN DATA IDENTIFIKASI MASALAHFOOD/NUTRITION-Related HISTORY (FH)
FH-1.1.1.1 Total Asupan Energi Terjadi penurunan total asupan energi, cairan dan elektrolit (hypovolemia).
FH-1.2.1.1 Asupan Cairan
FH-1.2.2.5 Variasi Makanan Biasanya variasi menu yang dapat dikonsumsi berkurang
Data Antropometri (AD)
AD-1.1.1 Panjang/tinggi badan Data tinggi dan berat badan diperlukan untuk memperkirakan kebutuhan energi pasien
AD-1.1.2 Berat badan
AD-1.1.4 Perubahan berat badan Biasanya terjadi penurunan berat badan.
Biochemical Data (BD)
BD-1.1.3 PaCO2 Biasanya terjadi peningkatan PaCO2
BD-1.2.2 Kreatinin Serum kreatinin ≥ 2 kali batas normal
Terkait dengan penurunan fungsi ginjal dan hypovolemia
BD-1.4.6 Total bilirubin Biasanya terjadi hiperbilirubinemia
BD-1.5.1 Glukosa Darah Puasa (GDP)
<110 mg/dL Kadar insulin menurun karena peningkatan kadar glukagon
BD-1.10.1 Hemoglobin (rendah, range
normal 14-17)
Berisiko terjadi hipoksia
BD-1.11.3 Transferin (rendah, range
normal 215-365
mg/dL)
BD-1.12.5 Volume urin <0.3cc/kgBB/jam Penurunan volume urin/oliguri
Physical Findings / Penampakan Fisik yang berhubungan dengan gizi (PD)
PD-1.1.1 Kenampakan keseluruhan Lemas, pucat, demam
PD-1.1.3 Kardiovaskuler, system pulmo
- Denyut Nadi < 90 x / menit
- Frekuensi Pernafasan
< 20 x / menit
Penurunan cardiac output
PD-1.1.9 Tanda Vital - Tekanan Darah- Suhu tubuh
- Tekanan darah menurun (hipotensi)
- < 36 0C (hipotermia)B. Diagnosis Gizi
a. Kurangnya asupan energi berkaitan dengan MSOF ditandai dengan asupan energi
<80% dari kebutuhan.
b. Penurunan berat badan yang tidak dikehendaki berkaitan kurangnya asupan energi
ditandai dengan penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
c. Ketidaksiapan untuk merubah diet berkaitan dengan ketidakinginan untuk berubah
ditandai dengan ketidak percayaan pasien terhadap perubahan yang
direkomendasikan.
C. Intervensi Gizi
Intervensi gizi yang diberikan untuk mencegah perkembangan dari penyakit akibat dari masalah gizi yang ada.Tujuan
1. Memenuhi kebutuhan zat gizi
2. Mempertahankan atau memperbaiki status gizi
Preskripsi1. Modifikasi asupan energi
Tidak diberikan full kalori atau > 35 kcal/kg/24 jam pada 7 hari pertama, tetapi hanya
mencapai 70% dari total kebutuhan kalori. Hal ini dikarenakan dapat
menimbulkan hiperglikemia dan meningkatnya produksi CO2. Rekomendasi asupan
energi sebesar 2000 kkal melalui oral karena pasien tidak mengalami gangguan
menelan maupun masalah pencernaan.
2. Modifikasi jumlah karbohidrat
Pemberian karbohidrat juga diketahui dapat menurunkan proses
proteolisis.Karbohidrat diberikan 55% dari total kalori tanpa melebihi 5
mg/kgbb/menit baik pasien dewasa ataupun pasien anak, atau sama dengan 7
g/kgbb/hari pada pasien dewasa. Dampak metabolisme dari pemberian karbohidrat
yang berlebihan meliputi intoleransi glukosa, peningkatan produksi karbon dioksida,
peningkatan sintesis lemak, dan infiltrasi lemak hati. Jenis karbohidrat yang diberikan
yaitu karbohidrat kompleks dan indeks glikemik rendah karena pasien mengalami
hiperglikemia.
3. Modifikasi jumlah dan jenis protein dan asam amino spesifikDiberikan tinggi protein sebesar 20% dari total kalori atau 1.2-2 gram/kg BB/hari
untuk perbaikan jaringan karena pada kondisi stress metabolik terjadi peningkatan
katabolisme otot dan proteolisis. Pemberian protein yang optimal sangat penting,
karena dapat meningkatkan ketahanan hidup dengan diet tinggi protein. Asam amino
yang diberikan berupa glutamin. Glutamine merupakan jenis asam amino yang
menjadi berguna pada kasus stress metabolik karena merupakan substrat yang dipilih
oleh limfosit dan enterosit. Pada saat ini, dosis glutamine yang direkomendasikan
adalah 0,3 g/kgbb/hari yang diberikan selama 5-10 hari. Namun pada sebuah
penelitian menunjukkan pemberian glutamine kurang dari 3 hari pada pasien anak
dengan luka bakar tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna.
4. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Lemak merupakan nutrien yang tinggi kalori sehingga penambahan kalori tanpa
peningkatan osmolaritas dapat dicapai. Lemak yang diberikan adalah 25% dari total
energi dengan jenis asam lemak omega 3 sebagai anti inflamasi. Sumber lemak yang
dianjurkan adalah lemak tak jenuh seperti kacang, selai kacang, alpukat, minyak
zaitun, dan ikan. Bahan makanan tinggi kandungan omega 3 ialah minyak ikan, ikan
tuna, ikan bandeng, daging sapi, telur ayam, dan kacang walnut.
5. Modifikasi vitamin CVitamin C 100 mg setiap 8 jam, Vitamin C diberikan secara intravena selama dua hari
pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.
6. Modifikasi vitamin ASebanyak 600 mcg vitamin A diberikan setiap hari.
7. Modifikasi vitamin C1500 IU vitamin E selama 7 hari atau sampai pasien keluar dari ICU
8. Selenium400 µg selenium setiap hari, selenium diberikan secara intravena selama dua hari
pertama kemudian diberikan secara enteral untuk hari berikutnya.
9. SodiumAsupan sodium dibatasi tidak lebih dari 2g/hari.
10. Merekomendasikan jumlah cairan Kehilangan kalium dan nitrogen lewat urin meningkat sehingga terjadi retensi natrium
dan cairan. Pemberian cairan dilakukan berdasarkan jumlah cairan yang hilang
dengan ditambah jumlah keluaran urine serta feses dan insensible water lose. Pada
dasarnya setiap orang akan memerlukan cairan sebesar 1,5 – 2 liter per hari sehingga
apabila terjadi kondisi stress metabolik akan diperlukan penambahan cairan yang bisa
dicapai lewat pemberian infus, plasma atau darah.
11. Enteral dan Parenteral jika diperlukan Pemberian nutrisi enteral dapat memperbaiki fungsi saluran gastro intestinal dan
mencegah atrofi villi usus. Sedangkan pemberian nutrisi parenteral biasanya karena
pasien tidak bisa makan dengan sonde karena tractus gastro intestinal tak berfungsi
atau tidak bisa digunakan untuk memberikan istirahat usus post reseksi.
Implementasi a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pasien yang mengalami MSOF akan menimbulkan respons hipermetabolik yang
panjang yang bergantung kepada derajat keparahan dari penyakit, yang mana respons
hipermetabolik ini disebabkan oleh respons stres endokrin dan respons inflamasi
(mediator multiple).
Pemberian menu diet disesuaikan dengan kebutuhan energi dan kondisi pasien. Bila
usus masih berfungsi dengan baik mutlak pemberian nutrisi haruslah peroral kalau
tidak bisa makan karena koma, mual muntah maka alternatif adalah perenteral (pipa
lambung). Pemberian nutrisi enteral secara dini (6-12 jam setelah kejadian) maupun
pemberian makanan dengan konsistensi cair atau lunak dapat memberikan manfaat
secara klinis dan biologis antara lain memperkecil respons katabolik, mengurangi
komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan integritas usus,
mempertahankan integritas/respons imunologis dan memberikan sumber energi yang
tepat bagi usus pada waktu sakit.
Pemberian antibiotik juga dibutuhkan untuk mengeliminasi benda asing atau yang
menyebabkan infeksi.
b. Pemberian Edukasi Gizi Melatih keterampilan atau membagi pengetahuan yang membantu pasien/keluarga
dalam mengelola atau memodifikasi diet dan perilaku sehingga dapat membantu
prosess penyembuhan. Edukasi ini meliputi edukasi gizi awal/singkat dan edukasi gizi
secara menyeluruh. Materi edukasi yang dapat diberikan meliputi gizi seimbang untuk
kondisi stress metabolik, menu diet yang dapat diterapkan pasien/keluarga.
c. Pemberian Konseling Gizi Konseling gizi diberikan sesuai dengan kondisi penyakit pasien. Konselor mengkaji
beberapa data yang diperlukan seperti data riwayat makan dan data klinis.
Berdasarkan diagnosis medis dan diagnosis gizi, konselor menjelaskan tujuan dan
proses konseling gizi sehingga terjadi perubahan perilaku dan pola makan pasien.
Konselor memberikan gambaran kebutuhan zat gizi pasien dan beberapa contoh menu
untuk memudahkan pasien/keluarga. Melalui konseling gizi ini diharapkan dapat
meringankan keadaan stress metabolik yang dialami pasien.
d. Koordinasi Gizi Kegiatan konsultasi atau koordinasi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain dalam
memberikan asuhan gizi yang dapat membantu atau mengelola masalah MSOF.
IV. Luka bakar Fase Ebb
a. Pengkajian gizi
Domain Sub Domain Pengkajian Gizi
Anthropometric measurements (AD)
AD-1.1 Body composition/growth/weight history
AD-1.1.1 Height/lengthAD-1.1.2 Weight
AD-1.1.4 Weight changeAD-1.1.5 BMI
Biocemical data, medical test (BD)
BD-1.1 Acid base balance
BD-1.1.3 PaCO2
BD-1.2 Electrolyte and renal profile
BD-1.2.5 SodiumBD-1.2.6 ChlorideBD-1.2.7 PotassiumBD-1.2.8 MagnesiumBD-1.2.9 Calcium, SerumBD-1.2.10 Calcium, iodizedBD-1.2.11 PhosphorusBD-1.2.12 Serum osmolality
BD-1.6 Inflamatory profile
BD-1.6.1 C-reactive protein
BD-1.8 Metabolic rate
BD-1.8.1 Resting metabolic rate, measured
BD-1.8 Nutritional anemia profile
BD-1.10.1 HemoglobinBD-1.10.2 Hematokrit
BD-1.11 Protein profile
BD-1.11.7 Antibody level specific
Nutrition-focused physical finding (PD)-
PD-1.1 Nutrition-focused physical finding
PD-1.1.1 Overall appearancePD-1.1.4 Extremities, muscles, bones
- EdemaPD-1.1.8 Skin
- Terdapat luka bakarPD-1.1.9 Vital sign:
- Tekanan darah- Respiratory rate- Heart rate- Suhu tubuh
Client history (CH) CH-1.1 Personal data CH-1.1.1 Usia
CH-1.1.2 Jenis kelaminCH-2.1 Partient/client OR
CH-2.1.2 Cardiovascular
CH-2.1.3 Endocrine/metabolism
family nutrition oriented
CH-2.1.3 Excretory
CH-2.1.13 Respiratory
Comparative Standards (CS)
CS-1.1 Estimated energy needs
CS-1.1.1 Total estimated energy needs
b. Diagnosis gizi
Domain Sub Domain Diagnosis GiziIntake (NI) NI-3 Fluid intake NI-3.1 Inadequate fluid
intakeClinical (NC) NC-2 Biochemical NC-2.2 Altered nutrition-
related laboratory values
Kalimat P-E-S1. Peningkatan kebutuhan cairan (NI-2.1) berkaitan dengan adanya luka bakar ditandai
dengan dehidrasi berat yang terjadi.
2. Perubahan nilai laboratorium terkait dengan gizi, Elektrolit dan Profile Ginjal;
Sodium, Potassium, Magnesium, Calcium, dan Phosporus, (NC- 2.2) berkaitan
dengan adanya luka bakar ditandai dengan terganggunya keseimbangan elektrolit.
V. Luka Bakar Fase FlowA. Pengkajian gizi
Domain Sub Domain Pengkajian GiziFood/nutrition-related
history(FH)FH- 2.1.2 Diet Experience
FH- 2.1.2.5 Food AllergiesFH- 2.1.2.6 Food Intolerance
FH- 5.2 Avoidance behavior
FH- 5.2.1 Avoidance
FH- 5.4 Mealtime behavior
FH- 5.4.8 Willingness to try new food
Anthropometric measurements (AD)
AD-1.1 Body composition/growth/weight history
AD-1.1.1 Height/lengthAD-1.1.2 Weight
AD-1.1.4 Weight change
AD-1.1.5 BMI
Biocemical data, medical test (BD)
BD-1.2 Electrolyte and renal profile
BD-1.2.2 CreatinineBD-1.2.3 BUN: Creatinine ratio
BD-1.5 Glucose/endocrine profile
BD-1.5.1 Glucose, fasting
BD-1.8 Metabolic rate BD-1.8.1 Resting metabolic rate, measured
BD-1.8 Nutritional anemia profile
BD-1.10.1 HemoglobinBD-1.10.2 Hematokrit
BD-1.11 Protein profile BD-1.11.1 AlbuminBD-1.11.2 PrealbuminBD-1.11.3 TransferinBD-1.11.7 Antibody level specificPD-1.1.1 Overall appearance
Nutrition-focused physical finding (PD)
PD-1.1 Nutrition-focused physical finding
PD-1.1.4 Extremities, muscles, bones- Edema
PD-1.1.8 Skin- Terdapat luka bakar
Client history (CH)CH-1.1 Personal data CH-1.1.1 Usia
CH-1.1.2 jenis kelamin
Comparative Standards (CS)
CS-1.1 Estimated energy needs
CS-1.1.1 Total estimated energy needs
CS-2.2 Estimated protein needs
CS-2.2.1 Total estimated protein needs
CS-2.3 Estimated carbohydrate needs
CS-2.3.1 Total estimated carbohydrate needs
B. Diagnosis GiziDomain Sub Domain Diagnosis Gizi
Intake (NI) NI-1 Energy balance NI-1.1 Increased energy expenditure
NI-2 Oral or Nutrition support intake
NI-2.1 Inadequate oral intake
NI-5 Nutrient NI-5.1 Increased nutrient needs
NI-5.3 Inadequate protein-energy intake
Clinical (NC) NC-2 Biochemical NC-2.1 Impaired nutrient utilizationNC-2.2 Altered nutrition-related laboratory values
Kalimat P-E-S1. Peningkatan kebutuhan protein (NI 5.3) berkaitan dengan peningkatan kebutuhan gizi
untuk penyembuhan luka bakar ditandai dengan adanya luka bakar grade II dan kadar
albumin 2,5 gr/dl yang termasuk rendah.
2. Perubahan nilai laboratorium terkait dengan gizi, Albumin (NC- 2.2) berkaitan
dengan adanya luka bakar ditandai dengan asupan protein yang menurun dan kadar
albumin 2,5 gr/dl
C. Intervensi gizi
a) Fase Ebb
Setelah terjadi luka bakar, tubuh mengalami dua fase metabolik. Fase pertama yang
dialami tubuh disebut fase ebb, yaitu fase dimana terjadinya penurunan laju
metabolik.. Fase ebb atau fase awal, langsung terjadi tepat setelah terjadinya luka
bakar, dan berlangsung selama 24-48 jam pertama. Fase ini diantaranya ditandai
dengan penurunan konsumsi oksigen, hipotermia, hipovolemia, syok, hipoksia pada
jaringan, hiperglikemia, dan hipometabolisme.
1. Tujuan
a. Mencegah terjadinya dehidrasi
b. Mengurangi risiko komplikasi akibat luka bakar
2. Preskripsi
a. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
Penggantian cairan perlu dilakukan bagi pasien yang mengalami luka bakar >10%
(dewasa) dan 15% (anak). Penggantian cairan disesuaikan dengan usia pasien,
berat badan, dan tingkat keparahan luka. Tingkat keparahan luka diukur melalui
luas bagian tubuh yang terbakar (TBSA), dihitung dengan metode "rule of nines".
Untuk luka yang lebih kecil, hitung persen luka bakar menggunakan telapak
tangan pasien (termasuk jari). Satu telapak tangan mewakili 1% TBSA.1
24 jam pertama:
Perhitungan cairan menggunakan Modified Parkland Formula:
3-4 mL x Berat badan x TBSA
Pada delapan jam pertama, pasien luka bakar harus menerima separuh dari total
jumlah cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama. Separuhnya akan diberikan
pada 16 jam selanjutnya. Setelah itu, penggantian cairan harus tetap dilakukan
untuk mencegah dehidrasi dan menggantikan cairan yang hilang dari luka.
Digunakan larutan Lactated Ringer's untuk penggantian cairan. Anak yang
memiliki berat badan di bawah 30 kg membutuhkan tambahan 5% dekstrosa atau
N/2 saline untuk mempertahankan keseimbangan cairan.1–3
24 jam selanjutnya:
Dilakukan infusi koloid yang mengandung 5% albumin 0.3-1 mL/kg
BB/%TBSA/16 per jam2
Laju pemberian cairan:
Laju pemberian cairan disesuaikan dengan output urin. Berapapun kebutuhan
cairan dan apapun formula yang digunakan, output urin harus dipertahankan 0.5-
1.0 mL/kg/jam untuk dewasa, dan 1.0-1.5 mL/kg/jam untuk anak-anak.1,3
Hal yang perlu diperhatikan, pemberian makanan hanya dapat dilakukan jika
pasien sudah terhidrasi.4 Pada pasien luka bakar, pemberian makanan enteral
dalam 24 jam pertama dapat mencegah terjadinya infeksi akibat translokasi
bakteri dan penurunan katabolisme protein.5
3. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Pada fase Ebb, penggantian cairan merupakan hal yang sangat penting dilakukan
sebelum pemberian makanan. Penggantian cairan diberikan melalui jaringan yang
tidak terbakar. Penggantian cairan dilaukan untuk rehidrasi cairan yang hilang lewat
luka bakar. Setelah pasien terhidrasi, dilakukan initial feeding lewat jalur enteral.
Pemberian nutrisi enteral dipilih karena memiliki keuntungan salah satunya yaitu
dapat mencegah translokasi bakteri sehingga menurunkan kemungkinan infeksi.5
b. Koordinasi Gizi
Koordinasi dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang
terkait dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan yang
terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar fase ebb adalah dokter dan
perawat.
b) Fase Flow
Fase flow yang dibagi menjadi 2 fase, respons akut dan respons adaptif. Fase flow
yang ditandai dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme, katabolisme dan
perubahan respons imun serta hormonal, peningkatan cardiac output, konsumsi
oksigen, suhu tubuh, energy expenditure, dan jumlah katabolisme protein tubuh yang
diiikuti resusitasi cairan dan pemulihan transportasi oksigen. Peningkatan fisiologis
terjadi pada produksi glukosa, pelepasan asam lemak bebas, tingkat sirkulasi insulin,
katekolamin, glukagon, dan kortisol. Besarnya respon hormonal tampaknya terkait
dengan keparahan cedera.6
1. Tujuan
a. Untuk penyembuhan luka yang optimal dan pemulihan yang cepat dari
luka bakar
b. Untuk meminimalkan risiko komplikasi, termasuk infeksi selama masa
pengobatan
c. Untuk mencapai dan mempertahankan status gizi normal
d. Untuk meminimalkan gangguan metabolik selama proses pengobatan
e. Menjaga massa tubuh, massa tubuh terutama lemak
2. Preskripsia. Modifikasi jumlah kalori
Modifikasi jumlah kalori pada pasien burn karena adanya peningkatan
permintaan energ disebabkan peningkatan tingkat metabolisme, proses
abnormal dan tidak efisien zat gizi (Karbohidrat dan lemak), hipertermia,
dan glukoneogenesis berlebihan.7
a. Modifikasi jumlah karbohidrat.
CHO juga dapat menurunkan proteolysis. Pasien diberikan karbohidrat sekitar
60 sampai 70% dari total energi tetapi pemberian tetap hati-hati. jangan
melebihi kemampuan pasien untuk memetabolisme CHO.7
b. Modifikasi jumlah protein
kebutuhan protein meningkat karena peningkatan katabolisme otot, luka dan
perbaikan jaringan. Pemberian protein yang optimal sangat penting karena
ketahanan meningkat dengan diet tinggi protein. Protein sekitar 20% -25%
dari total kalori. Umumnya, orang dewasa akan membutuhkan 1,5-2 g protein
/ kg / hari, dan anak-anak akan membutuhkan 2,5-3,0 g protein / kg / hari.7
c. Modifikasi jumlah dan jenis lemak
Asupan lemak pasien luka bakar harus kurang dari 20% dari total energi.
Terlalu banyak lemak bisa menyebabkan gangguan fungsi sistem kekebalan
tubuh dan meningkatkan risiko resultan infeksi. Namun, omega-3 asam lemak
mungkin mengurangi risiko ini untuk fungsi kekebalan tubuh. Bahkan, asam
lemak omega-3 positif memodulasi respon inflamasi dan imunologi. Hal ini
wajar untuk memberikan 12% -15% dari lemak. Medium-chain triglycerides
(MCT) dioksidasi lebih baik dari trigliserida. Penggunaan MCT
meningkatkan sintesis protein dalam hati, mengurangi katabolisme protein dan
pengeluaran kalori. MCT memiliki keuntungan untuk pasien luka bakar,
karena dioksidasi dengan kecenderungan lebih rendah untuk endapan di
jaringan adiposa atau penggabungan di membran sebagai prekursor
prostanoid. Dalam hal apapun, lemak tidak boleh melebihi 2 g / kg / hari.7,8
d. Modifikasi asupan mikronutrien
Mikronutrien juga harus diperhatikan postburn karena protein dan energi tidak
efektif digunakan jika intake mikronutrien tidak memadai. Elemen seperti
seng dan tembaga yang hilang dalam eksudat dari luka bakar dan selenium
mungkin hilang selama prosedur bedah seperti eksisi dan grafting.
Kebutuhan vitamin tertentu juga meningkat, misalnya:
Vitamin C diperlukan untuk sintesis kolagen dan fungsi kekebalan tubuh,
vitamin A diperlukan untuk epitelisasi dan pemeliharaan respon imun. Intake
energi tinggi juga menyebabkan peningkatan permintaan untuk vitamin B.
Oleh karena itu vitamin dan mineral tambahan yang diperlukan untuk
penyembuhan luka. Trace elemen adalah mikronutrien penting karena tidak
dapat disintesis dalam tubuh. Trace elemen adalah komponen dari berbagai
enzim yang berperan dalam Stres oksidatif, penyembuhan luka, fungsi
kekebalan. The European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)
14 51 merekomendasikan pemberian trace elemen setidaknya9:
7-8 hari untuk luka bakar> 20-40%
2 minggu untuk luka bakar 40 -60%
30 hari untuk luka bakar> 60%
2. Implementasi
a. Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Implementasi pemberian makanan pada pasien sesuai dengan preskripsi diet.
kebutuhan gizi setelah luka bakar dapat dipenuhi jika mengikuti manajemen
diet. Namun, jika pasien tersebut kurang gizi, minuman tambahan mungkin
diperlukan serta suplemen mikronutrien tambahan untuk memperbaiki
kekurangan yang sudah ada sebelumnya. Selama pelaksanaan rencana
perawatan gizi, faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan: 1) volume
makanan yang disediakan; 2) kawasan yang terbakar - mengunyah dapat
menyebabkan nyeri pada luka bakar; 3) keadaan psikologis, rasa sakit dan
kecemasan dapat mempengaruhi nafsu makan dan harus dikontrol secara rutin;
4) pengaruh agama dan budaya perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan
asupan gizi.
b. Koordinasi Gizi
Pelaksanaan dan pemantauan asupan sangat bergantung pada komitmen tim
perawatan luka bakar untuk memastikan pengiriman yang optimal dari asupan
makanan dan menilai efek faktor psikologis pada asupan makanan. Koordinasi
dilakukan oleh ahli gizi dengan berbagai tenaga kesahatan lain yang terkait
dengan pengelolaan masalah pasien dengan luka bakar. Tenaga kesehatan
yang terkait dengan pengelolaan gizi untuk pasien luka bakar adalah dokter
dan perawat.
VI. Operasi
A. Pengkajian gizi
Domain Sub Domain Pengkajian GiziFood history (FH) Diet history (FH-2.1) FH-2.1.2.5 Food allergies
FH-2.1.2.6 Food intolerance
Beliefs and attitudes (FH-4.2) FH-4.2.12 Food preference)
Mealtime behaviour (FH-5.3) FH-5.3.1 Meal durationAnthropometric measurement (AD)
Body compotition /growth/weight history (AD-1.1)
AD-1.1.1 Tinggi badanAD-1.1.2 Berat badanAD-1.1.4 Weight changeAD-1.1.5 IMT
Biochemical data, medical test and procedures (BD)
Inflamatory profile (BD-1.6) BD-1.6.1 C-reactive protein
Protein profile (BD-1.11) BD-1.11.1 AlbuminNutrition focused physical finding (PD)
Nutrition focused physical finding (PD-1.1)
PD-1.1.1 Overal appearancePD-1.1.5 Digestive systemPD-1.1.9 Vital sign
Client history (CH) Personal data (CH-1.1) CH-1.1.1 UsiaCH-1.1.2 Jenis kelamin
Social history (CH-3.1) CH-3.1.1 Sosioeconomic factors
Tratments or therapy (CH-2.2) CH-2.2.2 Surgical treatment
B. Diagnosis Gizi
Domain Sub Domain Diagnosis GiziIntake (NI) Energy intake (NI-1.1) NI-1.1.1 Increased energy
expenditureNI-1.1.2 Inadequate energy intake
Oral or nutrition support intake (NI-1.2)
NI-1.2.1 Inadequate oral intake
Nutrien (NI-5) NI-5.1 Increased nutrient
needsClinical (NC) Functional (NC-1) NC-1.1 Swallowing
dificultyNC-1,4 Altered GI function
Biochemical (NC-2) NC-2.1 Impaired nutrient utilizationNC-2.2 Altered nutrition-related laboratory values
C. Intervensi Gizi
a. Tujuan
1) Memberikan asupan energi sesuai dengan estimasi kebutuhan, agar dapat
mempertahankan dan meningkatkan status gizi pasien post surgery
2) Mencegah terjadinya penurunan berat badan
b. Preskripsi
1) Modifikasi rute pemberian makan sesuai kemampuan pasien
2) Modifikasi jumlah energi
3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein
4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C
c. Implementasi
1) Modifikasi rute pemberian makan
Sebelum memberikan makanan kepada pasien paska operasi, harus
diperhatikan kondisi hemodinamik (denyut nadi, tekanan darah, suhu tubuh
dan respiratory rate) pasien harus stabil. Enhanced recovery of patients after
surgery (ERAS) menjadi fokus penting dalam manajemen perioperatif. Hal ini
bertujuan untuk memghindari periode puasa panjang paska operasi,
mengenalkan dini makanan melalui oral, mengontrol metabolisme tubuh
misalnya mengontrol glukosa darah, dan mengurangi faktor yang dapat
memicu memperburuk kondisi pasien1.
Makanan enteral dapat diberikan melalui oral maupun menggunakan tube
feeding memberikan kemungkinan pasien dapat memenuhi kebutuhan
energinya. Makanan enteral diindikasikan kepada pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi makanan secara oral diatas 60% dari asupan yang
direkomendasikan, sehingga dalam hal ini diperlukan nutrition support.
2) Modifikasi jumlah energi
Pemberian jumlah asupan energi diseuaikan dengan kebutuhan pasien.
Estimasi kebutuhan energi pasien dapat dihitung menggunakan rumus Harris
–Benedict x 1,3-1,5 (faktor stres) atau dapat menggunakan estimasi 25-30
kkal/kgBB2.
3) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian protein
Branched chain amino acid (BCAA) karena dapat meningkatkan kemampuan
tubuh untuk mensintesis protein dan perbaikan otot, mengangut energi ke otot
dan mencegah kerusakan jaringan otot3. Sebuah studi menunjukkan bahwa,
suplementasi asam amino dapat membantu proses pemulihan paska operasi4.
Jenis asam amino esensial yang dapat diberikan kepada pasien paska operasi
adalah glutamin. Dalam sebuah studi menunjukan bahwa, dengan pemberian
glutamin dapat meningkatkan laju sintesis protein pada sel enterosit5.
Penelitian lain menyebutkan, umumnya pemberian suplementasi glutamin
secara enteral kemungkinan meningkatkan glutamin plasma kecil, namun
berbeda dengan suplementasi parenteral, lebih memungkinkan meningkatkan
keseimbangan nitrogen. Intake protein dibawah 0,15 g N/kg/hari (1 g N = 6,25
g protein) dapat mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh.7 Pemberian
suplementasi glutamin pada pasien paska operasi berpengaruh terhadap
penurunan kejadian komplikasi karena infeksi di rumah sakit dan waktu
lamanya dirumah sakit. Sedangkan pada pasien critically ill menunjukkan
adanya penurunan komplikasi dan kematian6.
4) Modifikasi jumlah dan jenis pemberian vitamin C
Penurunan konsentrasi Vitamin C dalam darah saat operasi karena
peningkatan kebutuhan disebabkan redistribusi dan stres oksidatif. Vitamin C
sangat penting untuk kesehatan sistem imun, penyembuhan luka dan
antioksidan. Penurunan konsentrasi terjadi signifikan selama 7 hari setelah
operasi dan semakin terus menurun dengam adanya komplikasi. Asupan
harian yang direkomendasikan diatas kebutuhan untuk menormalkan
konsentrasi vitamin C plasma dan jaringan. Tubuh tidak dapat mensistesis
vitamin C sehingga diperlukan konsumsi asupan sumber vitamin C dari buah,
sayur dan makanan dari tumbuhan. Rata-rata suplemen multivitamin di US
mengandung 200 mg vitamin C.Pada pasien yang melakukan operasi
uncomplicated sulementasi vitamin C lebih dari 500 mg/hari dapat dibutuhkan
untuk membantu mempercepat penyembuhan luka.8
Daftar Pustaka
Nelms MN. Metabolic Stress and the Critically Ill. In: Cossio Y, editor. Nutrition Therapy & Pathophysiology. 2nd ed. Cengage Learning; 2010. p. 682.
Evers LH, Bhavsar D, Mailänder P. The biology of burn injury. Exp Dermatol. 2010;19(9):777–83.
Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al. ESPEN Guidelines on ENteral NutritionL Surgery including Organ Transpalntation. 2006;25(2):224-244.
ASPEN Nutrition Support Practice Manual. 2nd ed.Amino Acid Supplements Help Surgery Recovery. http://aminoacidstudies.org/amino-acid-
supplements-help-surgery-recovery/.Dreyer HC, Strycker LA, Senesac HA, et al. Essential Amino Acid Supplementation in
Patients Following Total Knee Arthroplasty. J Clin Invest. 2013. http://www.jci.org/articles/view/70160.
Bacquer L, Nasih H, Blottiere H, Meynal-Denis D, Laboisse C, Darmaun D. Effects of Glutamine Deprivation on Protein Synthesis in A Model of Human Enterocytes in Culture. Am J Physiol. 2001;281:G1340-G1347.
Novak F, Heyland D, Avenell A, Drover J, Su X. Glutamine Supplementation in Serious Illnes: A Systematic Review of Evidence. Crit Care Med. 2002;30:2022-2029.
Stroud M, Duncan H, Nightingale j. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients. Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12.
Forte. Pre-Op & Post Op:Science-based, Targeted Nutritional Support for the Surgical Patient. Utah; Forte Element.
Connolly S. Clinical Practice Guidelines : Burn Patient Management ACI Statewide Burn Injury Service Produced by : 2011;(August):33.
Haberal M, Abali AES, Hamdi Karakayali. Fluid management in major burn injuries. Indian J Plast Surg [Internet]. 2010;43(Suppl):S29–36. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3038406/
Warden GD. Burn shock resuscitation. World J Surg. 1992;16(1):16–23. Grodner. Nutrition & Medication and Metabolic Stress. p. 1–26. Available from:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOsNqM_arLAhWLcY4KHQF4C9QQFgglMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.coursewareobjects.com%2Fobjects%2Fevolve%2FE2%2Fbook_pages%2Fnutrition%2Fpdfs%2FgrodnerCh15.pdf&usg=AFQjCNFh3bVe8MulXjyYbwQScCrXzigT0A&sig2=lUWUNh6yFqg37W6PZ4neHg
Wanek S, Wolf SE. Metabolic response to injury and the role of anabolic hormones. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care 2007;10(3):272–7.
Deitch EA. Nutritional support of the burn patient. Critical Care Clinics 1995;11(3):735–50.Waymack JP, Herndon DN. Nutritional support of burned patients. World J Surg
1992;16:80–6.Rousseau A-F, et al. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional Therapy in Major
Burns, Clinical Nutrition (2013)