kelimpahan dinoflagellata epibentik pada lamun

93
KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: Yean Paramita Nitajohan C64104034 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: ngominh

Post on 31-Dec-2016

251 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA

DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Oleh:

Yean Paramita Nitajohan C64104034

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 2: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, September 2008 Yean Paramita Nitajohan C64104034

Page 3: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

RINGKASAN

YEAN PARAMITA NITAJOHAN. Kelimpahan Dinoflagellata Epibentik pada Lamun Enhalus acoroides (L.F) Royle dalam Kaitannya dengan Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh RICHARDUS F. KASWADJI dan TUMPAK SIDABUTAR. Beberapa jenis dinoflagellata dalam kondisi sangat berlimpah mampu menghasilkan racun yang berbahaya dan merusak ekosistem perairan. Pemahaman terhadap dinoflagellata, khususnya yang menghasilkan racun, tidak cukup jika hanya berorientasi pada dinoflagellata oseanik, tetapi juga perlu memberikan perhatian khusus terhadap dinoflagellata epibentik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik yang menempel pada daun lamun Enhalus acoroides, mengkaji keterkaitan beberapa faktor fisika-kimia terhadap kelimpahan spesies dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun, dan mengkaji keterkaitan komunitas dinoflagellata epibentik terhadap komunitas lamun.

Pengambilan sampel dilaksanakan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta pada tanggal 14 Mei 2008 dan analisis plankton dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008. Jumlah stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kerapatan ekosistem lamun sebanyak 3 stasiun. Parameter biologi yang diukur meliputi kelimpahan dinoflagellata epibentik dan fitoplankton serta kerapatan lamun. Parameter fisika-kimia yang diukur meliputi suhu, salinitas, kedalaman, nitrat, fosfat, kecepatan arus, dan pH. Analisis data yang digunakan meliputi kerapatan, kelimpahan, indeks komunitas (keanekaragaman, keseragaman, dominansi, sebaran Morisita). Untuk menduga kelimpahan dinoflagellata epibentik sebagai fungsi dari parameter fisika-kimia maka digunakan analisis Regresi Linier Sederhana. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari bulan Mei 2008 didominasi oleh Bacillariophyceae, kemudian diikuti oleh Dinophyceae, dan Cyanophyceae. Dinoflagellata epibentik yang ditemukan sebanyak 5 genus yaitu Prorocentrum, Ostreopsis, Gambierdiscus, Coolia, dan Amphidinium dimana genus Prorocentrum mendominasi dengan 86,40%. Kelimpahan dinoflagellata epibentik berkisar antara 6 – 8101 ind/cm2. Struktur komunitas dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari memiliki indeks keanekaragaman dengan kisaran 0,586 – 0,788, keseragaman pada kisaran 0,563-0,757, dan dominansi pada kisaran 0,210-0,718. Pola persebaran dinoflagellata epibentik cenderung mengelompok kecuali pada spesies Ostreopsis ovata yang menyebar secara acak.

Dalam kaitannya dengan parameter fisika-kimia, didapatkan kecenderungan yaitu dengan semakin naiknya suhu dan kecepatan arus, maka kelimpahan dinoflagellata epibentik semakin menurun. Sebaliknya, dengan semakin naiknya salinitas, kedalaman, dan pH, maka kelimpahan dinoflagellata epibentik semakin meningkat. Kelimpahan dinoflagellata epibentik mempengaruhi keberadaan nitrat dan fosfat akibat pemanfaatannya untuk pertumbuhan. Begitu juga dengan keterkaitan antara komunitas dinoflagellata epibentik dan komunitas lamun, dimana dengan semakin rapatnya lamun maka kelimpahan dinoflagellata epibentik juga semakin meningkat.

Page 4: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA

DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Yean Paramita Nitajohan C64104034

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Page 5: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

©Hak cipta milik Yean Paramita Nitajohan, tahun 2008 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

Page 6: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

Judul : KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Nama : Yean Paramita Nitajohan NRP : C64104034

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc NIP. 130 367 095

Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc NIP. 320 005 538

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799

Tanggal lulus: 1 September 2008

Page 7: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur pada Allah SWT atas segala rahmat

dan hidayah-Nya sehingga skripsi berjudul ”Kelimpahan Dinoflagellata

Epibentik pada Lamun Enhalus acoroides (L.F) Royle dalam Kaitannya dengan

Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Jakarta”, dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc

selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan,

bimbingan, dan arahan selama proses penulisan skripsi

2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Dosen Penguji Tamu

3. Dr. Ir. Nyoman M. N. Natih, M.Si selaku perwakilan dari Program Studi

4. P2O LIPI Ancol atas kesempatan turut serta dalam kegiatan monitoring

tahunan 2008 di Teluk Jakarta

5. Bapak Wawan Kiswara dan Bapak Arifin dari P2O LIPI atas masukan dan

bantuan selama proses pengambilan data di lapangan

6. Kedua orang tua, kakak, dan keponakan tercinta atas limpahan doa,

semangat, dan kasih sayang yang diberikan

7. Edy Setyawan atas bantuan, dukungan, semangat, dan doa selama proses

penelitian hingga penulisan skripsi

8. Teman-teman ITK 41 atas persahabatan yang indah selama menempuh

masa kuliah. Dan juga Galih Kurniawan sebagai rekan selama

melaksanakan penelitian

9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan

penulisan skripsi ini

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2008

Yean Paramita Nitajohan

Page 8: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................... vii DAFTAR TABEL ................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1. Latar belakang ......................................................................... . 1 1.2. Tujuan ...................................................................................... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4

2.1. Dinoflagellata epibentik ............................................................ 4 2.2. Lamun ....................................................................................... 8

2.2.1. Enhalus acoroides (L.F) Royle ......................................... 10 2.2.2. Epifit pada lamun .............................................................. 11

2.3.Faktor lingkungan yang mempengaruhi dinoflagellata epibentik dan lamun ................................................................................. 12

2.3.1. Suhu .................................................................................. 13 2.3.2. Salinitas ............................................................................ 13 2.3.3. Kedalaman ........................................................................ 14 2.3.4. Nitrat ................................................................................. 14 2.3.5. Fosfat ................................................................................ 15 2.3.6. Arus .................................................................................. 15 2.3.7. pH ..................................................................................... 16

3. BAHAN DAN METODE ................................................................. 17 3.1. Waktu dan lokasi penelitian ..................................................... 17 3.2. Penentuan lokasi pengambilan contoh ..................................... 17 3.3. Alat dan Bahan ......................................................................... 19 3.4. Pengambilan contoh ................................................................. 19

3.4.1. Pengambilan contoh dinoflagellata epibentik ................... 19 3.4.2. Pengambilan contoh fitoplankton ..................................... 20 3.4.3. Pengambilan contoh lamun .............................................. 20 3.4.4. Pengambilan contoh air laut ............................................. 21

3.5. Pengukuran parameter Fisika dan Kimia ................................. 22 3.6. Analisis plankton ...................................................................... 22

3.6.1. Kelimpahan spesies dinoflagellata epibentik ................... 22 3.6.2. Kelimpahan fitoplankton .................................................. 23 3.6.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E), dan

Dominansi (C) dinoflagellata epibentik ............................. 24 3.6.4. Pola persebaran dinoflagellata epibentik .......................... 26

3.7. Analisis perhitungan lamun ..................................................... 27 3.7.1. Kerapatan lamun ............................................................... 27

Page 9: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

3.8. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan parameter fisika dan kimia ...................................................... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 29 4.1. Gambaran umum lokasi penelitian ............................................ 29 4.2. Fitoplankton .............................................................................. 30

4.2.1. Komposisi jenis fitoplankton ............................................ 30 4.2.2. Kelimpahan fitoplankton ................................................... 31

4.3. Dinoflagellata epibentik ............................................................ 34 4.3.1. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik .......................... 34 4.3.2. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik ..... 35 4.3.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi

dinoflagellata epibentik ..................................................... 39 4.3.4. Pola persebaran komunitas dinoflagellata epibentik di eko-

sistem lamun ..................................................................... 40 4.3.5. Keterkaitan antara setiap parameter fisika-kimia dengan ke-

limpahan dinoflagellata epibentik ..................................... 42 4.3.5.1. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan

dinoflagellata epibentik .......................................... 42 4.3.5.2. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dino-

flagellata epibentik ................................................. 44 4.3.5.3. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dino-

flagellata epibentik ................................................. 45 4.3.5.4. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik

dengan nitrat ............................................................. 48 4.3.5.5. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik

dengan fosfat ............................................................. 49 4.3.5.6. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan

dinoflagellata epibentik .......................................... 51 4.3.5.7. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata

epibentik ................................................................... 53 4.4. Komunitas lamun ..................................................................... 55

4.4.1. Kerapatan lamun Enhalus acoroides ................................ 55 4.5. Keterkaitan kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan kerapatan

lamun ........................................................................................ 56

5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 59 5.1. Kesimpulan ............................................................................... 59 5.2. Saran .......................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 61 LAMPIRAN .......................................................................................... 65 RIWAYAT HIDUP .............................................................................. 82

Page 10: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Karakteristik beberapa spesies dinoflagellata epibentik di perairan laut .. 7

2. Alat dan bahan penelitian ................................................................. 19

3. Parameter fisika-kimia beserta satuan dan metode ............................ 22 4. Nilai Indeks Morisita dinoflagellata epibentik beserta χ2 hitung, χ2 tabel,

dan pola sebaran ................................................................................ 40

5. Kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides (ind/m2) di semua stasiun ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................... 55

Page 11: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta lokasi dan stasiun penelitian ....................................................... 18

2. Contoh bentuk plot stasiun pengamatan (acak) di komunitas lamun .. 21

3. Komposisi jenis fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................................................................................ 30

4. Kelimpahan fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................................................................................ 32

5. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik pada lamun Enhalus acoroides

di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 34

6. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik pada lamun Enhalus acoroides di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................ 36

7. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) dinoflagellata epibentik di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ..................... 39

8. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di

ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 .................................... 43

9. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 45

10. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dinoflagellata epi- bentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 .................... 47

11. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan nitrat di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 49

12. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan fosfat di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 50

13. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............... 52

14. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................... 54

15. Keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan dinoflagellata

epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............... 57

Page 12: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 65 2. Kelimpahan dinoflagellata epibentik (ind/cm2) pada daun

lamun Enhalus acoroides, di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................................................................. 66 3. Genus dan kelimpahan fitoplankton (ind/l) di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 68 4. Jumlah tegakan (individu) lamun Enhalus acoroides di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................................ 70 5. Data pengukuran panjang, lebar, dan luas permukaan daun Enhalus acoroides ..................................................................................... 71 6. Contoh gambar spesies dinoflagellata epibentik yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari ...................................................... 74 7. Contoh gambar fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari ...................................................................................... 76 8. Gambar lamun Enhalus acoroides ................................................ 78

9. Deskripsi spesies dinoflagellata epibentik (Fukuyo, 1981) .......... 79

Page 13: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

1. PENDAHULUAN

Kehidupan di laut sangat bergantung pada fitoplankton sebagai kelompok

produsen primer. Fitoplankton menjadi mata rantai pertama dari rantai pangan

primer yang mampu membentuk zat organik dari zat anorganik (Raymont, 1981).

Diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan anggota

utama fitoplankton dan terdapat di seluruh perairan laut. Beberapa jenis

dinoflagellata dalam kondisi sangat berlimpah dan menghasilkan racun dapat

berbahaya dan merusak ekosistem perairan. Dengan kondisi demikian dibutuhkan

perhatian khusus untuk pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut sehingga

dampaknya tidak sampai meluas ke skala perikanan dan kelautan yang lebih besar

serta sektor-sektor kehidupan yang lain.

1.1. Latar belakang

Pemahaman terhadap dinoflagellata, khususnya yang menghasilkan racun,

tidak cukup jika hanya berorientasi pada dinoflagellata oseanik, tetapi juga perlu

memberikan perhatian khusus terhadap dinoflagellata epibentik. Dalam keadaan

blooming, dinoflagellata epibentik dapat merugikan dan menyebabkan perubahan

warna air laut menjadi merah, merah kecoklatan hijau atau kuning hijau, bahkan

putih, dan peristiwa tersebut dapat disebut dengan istilah Harmful Algal Bloom

(HAB). Lebih lanjut lagi, beberapa spesies dinoflagellata epibentik seperti

Gambierdiscus toxicus, Prorocentrum sp., Ostreopsis sp., Amphidinium sp., dan

Coolia monotis diketahui dapat menghasilkan racun Ciguatera yang dapat masuk

ke dalam rantai makanan di perairan melalui konsumsi ikan dan berpotensi

menyebabkan penyakit Ciguatera Shellfish Poison (CSP) pada manusia akibat

Page 14: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

memakan ikan yang terakumulasi racun tersebut. CSP telah dikenal sebagai

penyakit berbahaya yang telah ditemukan di Samudera Pasifik, Samudra Hindia

dan Laut Karibia (Ruff dan Lewis, 1994).

Ekosistem padang lamun merupakan tempat yang dapat memberikan

perlindungan dan tempat menempel berbagai jenis organisme epifit meskipun

tidak ada hubungan trofik dengan padang lamun tersebut sehingga akan

meningkatkan keragaman dalam komunitas (Den Hartog, 1970). Kepadatan

padang lamun akan meningkatkan kelimpahan organisme yang hidup di dalamnya

karena semakin bertambahnya sarana fisik yang berfungsi sebagai tempat

hidupnya, banyaknya ragam habitat mikro, sedimen yang stabil, sumber bahan

makanan, dan sarana bersembunyi dari serangan pemangsa. Namun dengan

adanya keberadaan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun, apalagi sampai

terjadi blooming, akan menyebabkan masalah yang lebih rumit. Dampak seperti

reduksi penetrasi cahaya dan kondisi anoksik yang diikuti dengan menurunnya

kapasitas fotosintesis dan biomassa daun pada hamparan lamun, akan berakibat

pada kerusakan ekosistem lamun sebagai penghasil produktivitas primer di laut

(GEOHAB, 2001).

Penelitian mengenai fitoplankton banyak dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan

Seribu, namun belum banyak yang mengkaji keberadaan fitoplankton beracun,

khususnya dinoflagellata epibentik yang hidup menempel pada substrat hidup,

seperti lamun. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai studi

dinoflagellata epibentik yang berpotensi menghasilkan racun, perlu dilakukan

sebagai acuan informasi dan upaya pencegahan lebih dini terhadap dampak

negatif yang diakibatkan oleh dinoflagellata epibentik tersebut. Keterkaitan

Page 15: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

antara sebaran beberapa spesies dinoflagellata epibentik dengan parameter

oseanografi (fisika-kimia) juga perlu dikaji lebih dalam guna memberikan

informasi penting mengenai kelimpahan, komposisi, dan pola sebaran spesies

dinoflagellata epibentik serta pengaruhnya terhadap kehidupan ekologis di

ekosistem lamun.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik yang

menempel pada daun lamun Enhalus acoroides.

2. Mengkaji keterkaitan beberapa faktor fisika-kimia terhadap kelimpahan

dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun.

3. Mengkaji keterkaitan komunitas dinoflagellata epibentik terhadap

komunitas lamun.

Page 16: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

2. TINJAUAN PUSTAKA Fitoplankton laut adalah tumbuhan laut berukuran renik yang bebas melayang

dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis. Fitoplankton terdiri dari satu

sel, tidak dapat berpindah tempat sendiri kecuali karena pergerakan air, sebagian

besar dari kelas alga dan bakteri, bergerak dengan flagella dan cilia, dan

berukuran kurang dari 1 µm sampai dengan lebih dari 1 mm (Sumich, 1992).

Fitoplankton merupakan organisme produser di laut. Menurut Odum (1998),

fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat

menggambarkan bagaimana kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah

satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Kelompok utama fitoplankton

di laut terdiri dari diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae)

(Nybakken, 1992).

Dinoflagellata merupakan jenis terbanyak dari fitoplankton laut setelah

diatom. Dinoflagellata merupakan fitoplankton bersel tunggal, diameter

berukuran 20-200 μm dan mempunyai flagella untuk bergerak. Banyak

diantaranya yang dapat berfotosintesis dengan kloropas yang menyatu dengan

strukturnya. Broekhuizen dan Oldman (2002) in Faust et al. (2005) menyatakan,

dinoflagellata rata-rata tumbuh lebih lambat pada kondisi konsentrasi nutrien

rendah dibandingkan kelompok alga yang lain. Umumnya lingkungan laut

dengan turbulensi rendah dan nutrien tinggi lebih disukai dinoflagellata.

2.1. Dinoflagellata epibentik

Dinoflagellata epibentik merupakan istilah untuk dinoflagellata yang

hidupnya menempel pada subsrat hidup yang ada di perairan laut. Dinoflagellata

Page 17: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

epibentik umumnya hidup dan menetap di pasir, detritus yang mengapung,

menempel di permukaan makroalga dan lamun, serta sisanya kadang berenang

bebas tetapi masih dekat dengan permukaan tempat berasosiasi (Anderson dan

Lobel, 1987). Faust (2000) menambahkan bahwa dengan keberadaannya yang

bisa ditemukan di berbagai tempat tersebut, maka dinoflagellata epibentik

mempunyai sifat ekologi yang kompleks. Dinoflagellata epibentik secara spesifik

berasosiasi dengan lamun dan makroalga dimana konsentrasi nutrien yang tinggi

tersedia untuk tumbuh (Steidinger, 1983 in Anderson dan Lobel, 1987).

Spesies dinoflagellata epibentik meliputi Gambierdiscus toxicus,

Prorocentrum sp., Ostreopsis sp., Amphidinium sp., dan Coolia monotis

(Ballantine et al. (1985), Carlson dan Tindall (1985), Bomber dan Aikman (1989),

Bourdeau et al. (1995), Faust (1995), in Vila et al., 200l). Semua spesies tersebut

dapat melakukan fotosintesis. Spesies dinoflagellata epibentik dapat dikatakan

bersifat autotrof, tetapi tiga diantaranya, yaitu Ostreopsis, Gambierdiscus, dan

Prorocentrum merupakan mixotrof, yaitu hidup sebagai autotrof dan heterotrof

(Faust, 2000). Selanjutnya Jacobson dan Anderson (1986) in Faust (2000)

menambahkan bahwa mixotrof dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena yang

dapat menyediakan energi untuk pertumbuhan sel, dan sebagai upaya

perkembangan potensial pada dinoflagellata pada saat kondisi nutrien sedikit di

perairan laut.

Blooming dinoflagellata epibentik terjadi ketika spesies tersebut tumbuh dan

berkembang sangat pesat dengan jumlah yang melebihi rata-rata produksi bulanan

dalam keadaan normal serta berlangsung dalam waktu singkat (beberapa hari).

Blooming menyebabkan perubahan warna air laut menjadi merah, merah

Page 18: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

kecoklatan hijau atau kuning hijau, bahkan putih. Blooming tersebut juga dapat

menghasilkan racun dan dapat mengurangi oksigen di perairan setempat, maka

peristiwa tersebut dapat disebut dengan istilah Harmful Algal Bloom (HAB).

Adanya HAB akan mengakibatkan kematian massal pada ikan dan biota lainnya,

mencemari makanan laut dengan racun, yang selanjutnya menyebabkan masalah

kesehatan manusia secara serius dan berlanjut pada perubahan ekosistem secara

global (GEOHAB, 2001).

Semua spesies dinoflagellata epibentik dapat berpotensi menghasilkan racun.

Penelitian yang dilakukan Nakajima et al. (1981), Tindall et al. (1984), Yasumoto

(1987), in Anderson dan Lobel (1987) mendapatkan hasil bahwa banyak

dinoflagellata di daerah tropis yang hidup atau berasosiasi dengan makroalga,

lamun atau permukaan lain adalah beracun. Survei terhadap dinoflagellata

epibentik dari Okinawa, Jepang, menunjukkan adanya racun di semua (sembilan)

spesies yang diamati (Anderson dan Lobel, 1987). Lebih lanjut, spesies-spesies

tersebut menghasilkan toksin polyeter (ciguatoxin dan maitotoxin) yang dapat

masuk ke dalam rantai makanan di perairan dan menyebabkan penyakit

Ciguatera Shellfish Poison (CSP) pada manusia akibat memakan ikan yang

terakumulasi oleh racun tersebut (Steidinger, 1983 in Vila et al., 200l). Penyakit

CSP tersebut menyerang pencernaan dan lebih parah lagi, mengakibatkan

kematian.

Setiap spesies dinoflagellata epibentik memiliki karakter tersendiri dalam hal

potensi racun yang dihasilkan, keberadaannya di alam, dan respon terhadap

lingkungan. Karakteristik yang dimiliki beberapa spesies dinoflagellata epibentik

dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 19: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

Tabel 1. Karakteristik beberapa spesies dinoflagellata epibentik di perairan laut Spesies Dinoflagellata

Epibentik Deskripsi

Gambierdiscus toxicus

- Umumnya melimpah pada saat kondisi angin yang lemah, laut yang tenang, dan transparansi air yang meningkat (Popowski et al., 2001 in Delgado et al., 2006)

- Menyukai habitat yang lebih banyak dipengaruhi air laut dengan salinitas tinggi dan menghindari habitat dekat mulut sungai atau dengan run off tinggi (Taylor, 1985 in Anderson dan Lobel, 1987)

- Jarang ditemukan pada kedalaman perairan yang dangkal atau pada tempat dengan intensitas cahaya tinggi (Yasumoto, 1978 in Anderson dan Lobel, 1987)

- Menghasilkan protein larut ciguatoksin, penyebab penyakit Ciguatera

Prorocentrum sp.

- Memiliki distribusi yang luas di perairan seluruh dunia, dari daerah beriklim subtropis sampai tropis

- Mampu berfotosintesis dan jarang membentuk Red Tide (Fukuyo, 1981), berasosiasi dengan sedimen, detritus, patahan karang, pasir, permukaan makroalga, dan alga yang melayang. • P. lima - Menghasilkan racun Diarrheic Shellfish Poison (DSP) (Yasumoto et al., 1987 in Delgado et al., 2005) dan Okadaic acid (OA) (Murakami et al., 1982 in Delgado et al., 2005) -Toksisitas meningkat dalam kondisi suhu, salinitas, dan intensitas cahaya yang tinggi (Jackson et al., 1993 in Delgado et al., 2005) - Menghasilkan kista yang beristirahat pada kondisi yang kurang baik (Faust, 1990 in Hurbungs et al., 2001) • P. rhathymum - Menghasilkan racun Okadaic acid (OA) (Nakajima et al., in Faust 2000) - Dapat berenang bebas dan beradaptasi di perairan dengan karakteristik kimia berbeda (Anderson dan Lobel, 1987) • P. concavum - Menghasilkan racun Okadaic acid (OA) (Dickey et al., 1990 in Hurbungs et al., 2001)

Ostreopsis sp. - Tidak hanya ditemukan menempel pada substrat tetapi seringkali ditemukan menetap pada

Page 20: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

sedimen - Lebih menyukai habitat perairan yang

dipengaruhi guncangan atau pergerakan air (Vila et al., 200l)

- Menghasilkan senyawa palytoxin (PTX) yang beracun dan larut dalam air (Usami et al., 1995 in Rhodes et al., 2000). • O. lenticularis -Pemicu penyakit Ciguatera • O. ovata - Menghasilkan senyawa toksin yang larut dalam air dingin (Taylor, 1985 in Hurbungs et al., 2001)

Amphidinium sp.

- Menghasilkan racun dengan aktivitas haemolitik yang kuat (Nakajima et al.,1981 in Anderson dan Lobel, 1987) • A. klebsii -Berpotensi menghasilkan ichthyotoxin yang kuat • A. carterae -Menghasilkan haemolitik dan mungkin menyebabkan penyakit Ciguatera (Taylor, 1985 in Hurbungs et al., 2001)

Coolia monotis

- Dapat hidup pada kisaran temperatur yang luas (Anderson dan Lobel, 1987)

- Lebih menyukai habitat perairan yang tenang (Vila et al., 200l).

- Salah satu spesies yang tidak beracun atau sedikit beracun dan haemolitik (Hurbungs et al., 2001)

Koloni dinoflagellata epibentik beracun yang berasosiasi dengan lamun

maupun makroalga, berbeda dalam hal komposisi spesies dan konsentrasi sel pada

setiap lokasi yang berbeda (Tindall dan Morton 1998, in Vila et al., 200l).

Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi koloni substrat yang ditempeli,

maupun kondisi lingkungan di sekitarnya. Variabilitas dinoflagellata epibentik

beracun dihubungkan dengan perubahan alami dan antropogenik yang

mempengaruhi koloni substrat yang ditempeli, seperti suhu, turbulensi, nutrien,

perubahan dalam substrat, sumber air tawar, gelombang, masukan zat kapur pada

Page 21: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

karang mati dan lamun, begitu juga dengan efek badai dan front dingin yang kuat

(Taylor (1985), Diogene (1992), Grzebyk (1994), in Delgado et al., 2006).

2.2. Lamun

Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang dapat menyesuaikan diri untuk

hidup terbenam di dalam air laut. Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang

melimpah dan membentuk padang yang luas di perairan tropik. Sifat lingkungan

pantai, terutama dekat estuari, cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan

lamun. Faktor lingkungan seperti gelombang, sedimentasi, pemanasan air,

pergantian pasang surut dan curah hujan mempengaruhi adaptasi lamun

(Romimohtarto dan Juwana, 2001). Lamun umumnya dapat tumbuh pada semua

tipe dasar laut, namun padang lamun yang luas hanya dapat dijumpai pada tipe

dasar laut yang berlumpur pasir dan tebal. Padang lamun sering ditemukan di

perairan laut diantara hutan mangrove dan terumbu karang.

Jumlah jenis tumbuhan berbunga (angiospermae) di laut tidak banyak yaitu

sekitar 52 jenis. Di Indonesia hanya terdapat 12 jenis yang tergolong dalam tujuh

marga. Ke tujuh marga lamun di Indonesia terdiri dari 3 marga dari suku

Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thallassia, dan Halophila, serta 4 marga dari

suku Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan

Thalassodendron (Tomascik et al, 1997).

Menurut Den Hartog (1970), tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang

memungkinkannya untuk hidup di laut, yaitu:

1. Mampu hidup di media asin

2. Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam

3. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik

Page 22: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

4. Mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam

5. Mampu bertahan dalam kondisi lingkungan laut yang dangkal

Komunitas lamun akan membentuk suatu tipe vegetasi diantara beberapa

spesies di dalamnya. Vegetasi yang terdiri dari asosiasi dua jenis lamun yang

sering terjadi yaitu Enhalus acoroides-Thalassia hemprichii, Cymodocea

rotundata-Halophila ovalis, Halophila ovalis-Halodule uninervis, dan Thalassia

hemprichii-Cymodocea rotundata (Nienhuis et al., 1991).

Jenis lamun yang umumnya membentuk vegetasi monospesifik adalah

Thalassia hemprichii, Thallassodendron ciliatum, Enhalus acoroides, Cymodocea

sp., Syringodium isoetifolium, Halodule sp., Halophila sp. (Nienhuis et al., 1991).

2.2.1. Enhalus acoroides (L. F) Royle

Menurut Den Hartog (1970), Enhalus acoroides dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

Divisi : Spermathophyta

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Helobiae

Suku : Hydrocharitaceae

Sub Suku : Hydrocharitoideae

Marga : Enhalus

Jenis : Enhalus acoroides (L. F) Royle

Secara morfologi, Enhalus acoroides mempunyai akar rimpang berdiameter

13,15-17,20 mm yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras.

Akar berbentuk seperti tali, banyak dan tidak bercabang, panjangnya antara 18,50-

157,65 mm dan diameter antara 3,00-5,00 mm. Bentuk daun seperti sabuk,

Page 23: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

tepinya rata, dan ujungnya tumpul, panjang antara 65,0-160,0 cm dan lebar antara

1,2-2,0 cm (Kiswara, 1992). Gambar bentuk dan morfologi tumbuhan lamun

Enhalus acoroides dapat dilihat pada Lampiran 8.

E. acoroides umumnya hidup berdekatan dengan mangrove (Nienhuis et al.,

1991). Vegetasi murni dibentuk oleh spesies ini dan ditemukan berdekatan

dengan spesies lain. E. acoroides hidup di zona intertidal sampai kedalaman 6

meter. Seringkali mendiami daerah-daerah yang masih terendam air pada saat

surut di daerah litoral. Biasanya daun-daunnya tertutupi lapisan tipis partikel

sedimen. Spesies ini tidak akan ditemui jika banyak sungai bermuara di pesisir

tersebut (Den Hartog, 1970).

Dari hasil penelitian Kiswara (1992) di rataan terumbu Pulau Pari, dinyatakan

bahwa E. acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir berkoral yang

selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil

terdiri dari beberapa individu atau kumpulan-kumpulan individu yang rapat,

berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan

Halophila ovalis. Di rataan terumbu Pulau Pari yang merupakan daerah pasang

surut, kelimpahan E. acoroides rendah.

2.2.2. Epifit pada lamun

Lamun memproduksi sejumlah besar bahan organik sebagai substrat untuk

algae, epifit, mikroflora dan fauna. Di daerah padang lamun, organisme

melimpah, karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari

predator dan kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber bahan makanan

baik daunnya maupun epifit atau detritus. Epifit pada padang lamun selain

penting sebagai penghasil sedimen utama, juga untuk meningkatkan produktivitas

Page 24: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

di ekosistem lamun. Daun lamun memungkinkan ditempeli epifit dan asosiasi

biota lain karena mempunyai permukaan yang luas.

Menurut Nagle (1968) in Harlin (1980), faktor-faktor yang mempengaruhi

keberadaan epifit pada lamun adalah:

1. Tipe substrat (pasir dan lumpur)

2. Kedalaman zona fotik (proses fotosintesis)

3. Pergerakan air yang besar (gelombang dan pasut)

4. Pertukaran nutrien dengan lamun

5. Sumber karbon organik (bakteri dan alga heterotrofik)

Banyaknya organisme yang terdapat di padang lamun mendorong ikan dan

berbagai spesies dari crustacea terutama udang karang mencari makan di padang

lamun, meskipun kehadiran mereka bukan hanya untuk mencari makan tetapi juga

untuk berlindung dan sebagai tempat asuhan serta memenuhi siklus hidupnya

(Tomascik et al., 1997).

Dinoflagellata epibentik berasosiasi dengan lamun, bertujuan untuk

memperoleh substansi organik dan nutrien lain yang biasanya dikeluarkan oleh

lamun, yang nantinya digunakan untuk pertumbuhan. Di ekosistem lamun,

individu dinoflagellata epibentik bersaing dengan organisme heterotropik dalam

memperebutkan sumber makanan yang sama (Bochstahler dan Coats, 1993 in

Faust, 2000).

Dinoflagellata epibentik menempel pada daun lamun sehingga akan cenderung

mengikuti naik dan turunnya air. Dalam hal ini lamun dan dinoflagellata

epibentik lebih berinteraksi di permukaan/kolom air.

Page 25: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

2.3. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dinoflagellata epibentik dan lamun

Dinoflagellata epibentik merupakan jenis fitoplankton yang keberadaannya

dipengaruhi dan saling berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya dalam

tumbuh dan mempertahankan hidupnya. Faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi keberadaan dinoflagellata epibentik sebagai fitoplankton yang

menempel di lamun seperti berikut ini:

2.3.1. Suhu

Menurut Pescod (1973), suhu air mempengaruhi sifat fisika, kimia, dan

biologi perairan. Kenaikan suhu akan mempengaruhi kecepatan metabolisme dan

respirasi organisme air yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi

oksigen.

Suhu akan mempengaruhi keberadaan fitoplankton di suatu tempat. Adanya

fluktuasi suhu akan menyebabkan turunnya kelimpahan kelompok fitoplankton.

Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30 oC

(Effendi, 2003). Suhu optimum bervariasi pada masing-masing jenis fitoplankton.

Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh adanya intensitas cahaya dan konsentrasi

nutrien. Bagi lamun suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi seperti

fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi.

2.3.2. Salinitas

Salinitas adalah jumlah semua garam dalam air setelah semua karbonat diubah

menjadi oksida-oksidanya, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan

dinyatakan dalam satuan perseribu (Effendi, 2003). Menurut Nontji (2006),

salinitas berpengaruh penting terhadap organisme dalam mempertahankan tekanan

Page 26: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

osmosis antara protoplasma dengan perairan. Salinitas tinggi akan mengakibatkan

tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungan meningkat sehingga energi yang

diperlukan untuk menyesuaikan diri juga meningkat.

Salinitas berpengaruh langsung terhadap laju pembelahan sel, distribusi, dan

produktivitas fitoplankton. Fitoplankton laut dapat berkembang secara optimum

pada salinitas 35o/oo (Millero dan Sohn, 1992).

Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan

pertumbuhan. Lamun akan hidup secara optimal pada salinitas kurang lebih 33-

34 o/oo (Nybakken, 1992).

2.3.3. Kedalaman

Kedalaman perairan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari

menembus kolom perairan yang nantinya akan mempengaruhi laju fotosintesis.

Menurut Nybakken (1992), fitoplankton dapat melakukan aktivitas produksi

hanya pada kedalaman penetrasi cahaya. Dengan semakin bertambahnya

kedalaman, maka penetrasi dan intensitas cahaya akan semakin berkurang.

Erfteimeijer (1993) mengemukakan bahwa lamun dapat ada pada zona

intertidal sampai kedalaman lebih dari 40 meter. Distribusi kedalaman lamun

tergantung dari hubungan beberapa faktor, seperti gelombang, arus, turbiditas, dan

penetrasi cahaya.

2.3.4. Nitrat

Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan dan perkembangan

fitoplankton. Nitrat digunakan sebagai salah satu bahan pembentukan protein dan

Page 27: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

metabolisme seluler. Ketersediaan nitrat juga menentukan perkembangan lamun

di komunitasnya.

Mackentum (1969) menyatakan bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh

fitoplankton laut adalah 0,203 – 0,790 mg/l. Effendi (2003) menambahkan

bahwa kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya

eutrofikasi perairan, yang selanjutnya mempercepat pertumbuhan alga dan

tumbuhan air secara cepat (blooming).

2.3.5. Fosfat

Sumber utama fosfat di laut berasal dari sungai, penguraian sisa organisme

dan pengadukan di dasar laut (Odum, 1998). Selain itu juga berasal dari

pelapukan batuan yang masuk ke laut terutama melalui transportasi sungai,

degradasi bahan organik, serta buangan limbah deterjen dari daratan juga akan

menghasilkan fosfat (Sanusi, 2006).

Mackentum (1969) menjelaskan bahwa senyawa ortofosfat merupakan kadar

pembatas bila kadarnya di bawah 0,009 mg/l, sementara pada kadar lebih dari 1

mg/l fosfat dapat menimbulkan blooming. Terjadinya blooming tersebut akan

merangsang perairan menjadi bersifat anaerob yang akan menyebabkan kematian

massal organisme perairan.

Jika konsentrasi fosfat di kolom air padang lamun cukup tinggi karena

menerima masukan unsur hara dari luar perairan padang lamun (dekat sungai),

maka dapat memacu perkembangan epifit yang hidup di daun lamun.

Page 28: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

2.3.6. Arus

Pergerakan fitoplankton sangat tergantung dari pergerakan air . Arus perairan

dapat membantu penyebaran dan migrasi horizontal fitoplankton. Keberadaan

padang lamun dapat mengurangi pengaruh arus, sehingga mengurangi transpor

sedimen.

Arus perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifitik

dan partikel halus sedimen yang terperangkap diantara alga epifitik. Hicks (1986)

dan Armonies (1988) in Susetiono (1994) membuktikan bahwa laju penempelan

biota terhadap lamun dipengaruhi oleh adanya gaya-gaya hidrodinamika di dalam

massa air seperti arus dan gelombang yang menyebabkan pengadukan sedimen.

2.3.7. pH

pH perairan merupakan aktivitas ion hidrogen dan digambarkan sebagai

logaritma dari timbal balik aktivitas ion hidrogen dalam mol per liter pada

temperatur tertentu. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

aktivitas biologis seperti fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan

keberadaan ion-ion dalam perairan (Pescod, 1973).

Perubahan nilai pH air laut mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas

biologis. Kisaran pH yang baik untuk fitoplankton adalah pH yang mendekati

basa. Perairan dengan pH tinggi merupakan perairan yang produktif dan dapat

mengubah bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat

diasimilasikan oleh fitoplankton (Musa, 1992 in Widhiasari, 2003).

Page 29: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

3. BAHAN DAN METODE

Secara umum, kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu

pengambilan data di lapangan dan analisis di laboratorium. Pengambilan data di

lapangan meliputi pengukuran parameter fisika-kimia perairan dan pengambilan

sampel air, dinoflagellata epibentik, fitoplankton, dan lamun. Analisis plankton

dan nutrien (nitrat dan fosfat), masing-masing dilakukan di Laboratorium Bio-

Mikro dan Laboratorium Produktivitas Perairan dan Lingkungan, Departemen

Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor.

3.1. Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2008. Pengambilan data

dilakukan di ekosistem lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Terdapat 3

stasiun dalam penelitian ini (Gambar 1).

3.2. Penentuan lokasi pengambilan contoh

Lokasi pengambilan contoh ditentukan dengan pengamatan secara visual.

Dari pengamatan tersebut ditentukan tiga lokasi stasiun berdasarkan kerapatan

lamun, yaitu Stasiun 1 (jarang), Stasiun 2 (sedang), dan Stasiun 3 (rapat). Ketiga

stasiun tersebut diambil secara tegak lurus garis pantai dan menuju ke arah laut

lepas secara berurutan. Penentuan tersebut dilakukan dengan pertimbangan

bahwa terdapat perbedaan kondisi ekologi, seperti persaingan ruang, pemanfaatan

nutrien, dan pengaruh fisika-kimia lingkungan di setiap lokasi lamun yang

berbeda.

Page 30: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

Gambar 1. Peta lokasi dan stasiun penelitian.

INSERT

Page 31: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

3.3. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan penelitian

Parameter Alat dan bahan

Sampel plankton

Plankton Net, saringan, ember, botol sampel, formalin 5%, plastik bening, mikroskop binokular, gelas beker, pipet tetes, Sedgwick-Rafter cell, buku identifikasi Fukuyo (1981) dan Yamaji (1966)

Sampel lamun Transek kuadrat 50 x 50 cm2, plastik bening, gunting, meteran jahit, kalifer

Sampel air (kimia) Botol polyetilen, cool box

Suhu Termometer Hg

Salinitas Refraktometer

Kedalaman Tongkat berskala

Arus Floating droadge, stopwatch, kompas

Fosfat Spektrofotometer

Nitrat Spektrofotometer

pH Indikator Lakmus

Posisi stasiun GPS

Lain-lain Kertas label, sabak, pensil, Masker-Snorkel, kamera digital, dan kertas saring

3.4. Pengambilan contoh

3.4.1. Pengambilan contoh dinoflagellata epibentik

Pengambilan sampel dinoflagellata epibentik yang menempel pada daun

Enhalus acoroides dilakukan mengikuti metode yang diperkenalkan oleh

Yasumoto et al. (1980). Sampel dinoflagellata diambil dengan cara menggunting

daun sampai ke pangkalnya dari satu individu lamun di setiap plot stasiun lamun.

Daun Enhalus kemudian dimasukkan dalam kantong plastik beserta contoh air

yang berada di sekitarnya. Setelah itu dikocok selama 2 - 4 menit untuk

Page 32: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

mendapatkan sampel dinoflagellata yang terlepas dari daun lamun. Kantong

plastik kemudian diberi label untuk menandai setiap stasiun. Contoh air dari hasil

kocokan tadi kemudian disaring menggunakan plankton net dengan mata jaring 20

µm dan dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin

sampai dengan konsentrasi akhir 5%. Sampel daun lamun diambil kemudian

diukur panjang dan lebar daun pada kedua sisinya untuk menghitung luas

permukaan daun guna menentukan perhitungan kelimpahan dinoflagellata

epibentik.

3.4.2. Pengambilan contoh fitoplankton

Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan pada tiga titik di setiap stasiun.

Titik-titik tersebut mewakili setiap tempat di ujung dan tengah pada setiap stasiun.

Air pada kolom perairan diambil sebanyak 20 liter dengan ember kemudian

disaring dengan menggunakan plankton net. Hasil saringan tadi selanjutnya

dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan menggunakan larutan formalin

sampai dengan konsentrasi akhir 5%.

3.4.3.Pengambilan contoh lamun

Untuk mendapatkan contoh lamun digunakan metode kuadrat secara random

pada setiap stasiun di komunitas lamun. Transek kuadrat 50 x 50 cm2 ditempatkan

secara random/acak dengan cara melempar transek tersebut di sembarang tempat di

setiap stasiun pengamatan dan selanjutnya dilakukan penghitungan terhadap

kerapatan lamun. Pelemparan dan penempatan transek dilakukan sampai 10 kali

sehingga dihasilkan 10 plot pada satu stasiun. Penentuan dan contoh bentuk plot

stasiun dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 33: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Metode dan bentuk plot ini sekaligus digunakan untuk pengambilan sampel

dinoflagellata epibentik pada setiap plot stasiun. Selain daun Enhalus diambil

untuk penentuan perhitungan kelimpahan dinoflagellata, juga dilakukan

pengamatan terhadap kerapatan (density) lamun dengan cara menghitung jumlah

tegakan individu lamun Enhalus pada tiap plot di setiap stasiun.

Gambar 2. Contoh bentuk plot stasiun pengamatan (acak) di komunitas lamun. 3.4.4. Pengambilan contoh air laut

Contoh air laut diambil dan dimasukkan dalam botol sampel 500 ml. Label

yang bertuliskan keterangan lokasi stasiun, ditempelkan pada setiap botol sampel.

Kemudian botol sampel yang berisi contoh air tersebut disimpan dalam cool box

dan disaring dengan kertas saring sewaktu berada di daratan. Contoh air digunakan

untuk analisis kandungan nitrat dan fosfat.

Pantai

Plot 50x50 cm2

Laut

Page 34: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

3.5. Pengukuran parameter Fisika dan Kimia

Pengukuran parameter fisika seperti suhu, salinitas, kedalaman, dan arus, serta

parameter kimia seperti pH dilakukan secara insitu pada saat pengambilan sampel.

Pengukuran terhadap parameter kimia yang lain seperti nitrat dan fosfat dilakukan

di laboratorium.

Parameter fisika dan kimia yang diukur dengan satuan dan metode yang

digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

3.6. Analisis plankton

3.6.1. Kelimpahan spesies dinoflagellata epibentik

Pencacahan spesies dinoflagellata epibentik dilakukan sama halnya dengan

pencacahan fitoplankton pada umumnya. Fraksi dari sampel yang telah diencerkan

selanjutnya ditempatkan pada Sedgwick-Rafter sebanyak 1 ml dan diamati dengan

menggunakan mikroskop untuk menentukan jenis dan jumlah spesies. Jenis

spesies dinoflagellata epibentik diidentifikasi menggunakan buku identifikasi

Fukuyo (1981). Hasil cacahan spesies selanjutnya dihitung berdasarkan luas

permukaan daun dan dinyatakan dalam ind/cm2. Nilai kelimpahan yang didapat

Tabel 3. Parameter fisika-kimia beserta satuan dan metode Parameter Satuan Metode

FISIKA

Suhu 0C -

Salinitas o/oo -

Kedalaman m -

Arus m/s Eularian

KIMIA

Fosfat mg/l Ascorbic Acid

Nitrat mg/l Brucine

pH - -

Page 35: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

nantinya dikonversi dengan cara mengalikan nilai kelimpahan dengan masing-

masing jumlah tegakan lamun satu plot pada tiap stasiun. Perhitungan kelimpahan

dinoflagellata epibentik diperoleh dengan menggunakan rumus berikut :

  ……………………………………………… (1) dimana: N = Jumlah individu per cm2

n = Jumlah dinoflagellata epibentik tercacah

Vp = Volume air pengenceran (60 ml)

Vt = Volum air yang tersaring (30 ml)

L = Luas permukaan daun lamun cm2

3.6.2. Kelimpahan fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton dinyatakan dalam ind/l. Cacahan jenis-jenis

fitoplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwick-Rafter melalui suatu fraksi

sebanyak 1 ml yang diambil dari sampel yang telah mengalami pengenceran

sebanyak 60 ml. Kemudian fitoplankton diamati di bawah mikroskop dan

ditentukan jenis-jenis spesies di dalamnya menggunakan buku identifikasi Yamaji

(1966). Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung kelimpahan

fitoplankton dengan menggunakan rumus berikut:

  ……….................................................... (2)      dimana: N = Jumlah individu per liter

n = Jumlah fitoplankton tercacah

Vp = Volume air pengenceran ( 60 ml)

Vt = Volum air yang tersaring ( 30 ml)

Vd =Volume air yang disaring (20 liter)

Page 36: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

3.6.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)

dinoflagellata epibentik

Kemantapan struktur komunitas dinoflagellata epibentik dapat dilihat melalui

perhitungan Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks

Dominansi (C).

Perhitungan Indeks Keanekaragaman didasarkan pada rumus Shannon dan

Weaver (1963) in Parsons et al. (1984), dengan formula sebagai berikut:

……………………………. (3)  dimana: H' = Indeks keanekaragaman

ni = Jumlah sel dinoflagellata epibentik jenis ke-i

N = Jumlah total sel dinoflagellata epibentik

Semakin tinggi H' maka komunitas biota akan semakin beragam dengan semua

spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas. Semakin rendah H', dapat

dikatakan jumlah spesies yang terdapat dalam komunitas tersebut sedikit.

Kriteria Indeks Keanekaragaman (H') adalah sebagai berikut :

H' ≤ 1 : keanekaragaman rendah

1 < H' ≤ 3 : keanekaragaman sedang

H' > 3 : keanekaragaman tinggi

Untuk melihat keseragaman populasi dinoflagellata epibentik pada setiap

pengambilan sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu:

  ……………………………………………………. (4)

dimana: E = Indeks keseragaman

H = Indeks Diversitas

Page 37: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Hmaks= logS

S = Jumlah spesies

Keseragaman jenis menunjukkan keseimbangan komposisi individu tiap spesies

yang terdapat dalam suatu komunitas. Nilai E berkisar antara 0-1. Jika nilai E

mendekati 0, maka semakin kecil suatu keseragaman komunitas yang diindikasikan

dengan adanya dominasi jenis-jenis tertentu. Menurut Odum (1998), keseragaman

yang semakin besar berarti ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif baik. Hal

ini terjadi bila didapat E mendekati 1.

Untuk mengetahui adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi

digunakan Indeks Dominansi Simpson, yaitu:

  …………………………………………………….. (5) dimana: C = Indeks Dominansi Simpson

ni = Jumlah sel dinoflagellata epibentik jenis ke-i

N = Jumlah total sel dinoflagellata epibentik

Tidak adanya spesies tertentu yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya

mengindikasikan kondisi struktur komunitas yang stabil dengan keseragaman

spesies tinggi. Jika terdapat kecenderungan spesies tertentu yang mendominasi

spesies yang lain, menandakan suatu keseragaman spesies rendah. Bisa dikatakan

struktur komunitas dalam keadaan labil (Odum, 1998).

Kriteria Indeks Dominansi (C) adalah sebagai berikut :

0 < C ≤ 0,5 : dominansi rendah

0,5 < C ≤ 0,75 : dominansi sedang

0,75 < C ≤ 1 : dominansi tinggi

Page 38: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

3.6.4. Pola persebaran dinoflagellata epibentik

Pola dispersi atau persebaran plankton dapat mempengaruhi struktur

komunitasnya di alam. Pola dispersi atau persebaran dinoflagellata epibentik

dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks Morisita, dapat ditentukan dengan

rumus:

………………………………………. (6)

dimana: Id= Indeks dispersi Morisita

n = Jumlah stasiun pengambilan contoh

N= Jumlah individu total yang diperoleh

X= Jumlah individu tiap stasiun

Kemudian ditentukan kriteria pola dispersi berdasarkan Brower dan Zar (1989):

Id<1 : Pola dispersi seragam

Id=1 : Pola dispersi acak

Id>1 : Pola dispersi mengelompok

Pengujian dari kebenaran nilai di atas, dapat digunakan uji statistik khi kuadrat

sebagai berikut:

…………………………………….. (7)

Nilai khi kuadrat dari perhitungan di atas dibandingkan dengan khi kuadrat

tabel statistik dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α =0,05). Jika nilai

χ2 hitung lebih kecil dari nilai χ2 tabel, maka berarti tidak ada perbedaan yang nyata

dengan persebaran acak. Sebaliknya, jika nilai χ2 hitung lebih besar dari nilai χ2

tabel, maka berarti terdapat perbedaan nyata dengan persebaran acak, yaitu pola

persebaran mengelompok atau seragam.

Page 39: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

3.7. Analisis perhitungan lamun

3.7.1. Kerapatan lamun

Kerapatan lamun merupakan total individu dalam suatu luas area yang diukur

dalam transek. Dapat dihitung dengan rumus:

………………………………………. ……………… (8)

dimana : D = kerapatan pada satuan luas (ind/m2)

∑ N = jumlah individu/tegakan lamun pada transek

A = luas transek kuadrat (m2)

3.8. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan

parameter fisika dan kimia

Untuk mencari keterkaitan yang sesuai antara kelimpahan dinoflagellata

epibentik dengan setiap parameter fisika dan kimia, dapat ditentukan berdasarkan

kecenderungan yang didapatkan dari grafik hubungan regresi yang diolah

menggunakan microsoft office excel.

Secara statistik fungsi hubungan yang umum digunakan adalah Regresi Linear

Sederhana (Walpole, 1992), dapat ditentukan dengan rumus:

y = a + bx

dimana : y = kelimpahan total

x = parameter fisika-kimia

a, b = konstanta

Page 40: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan pengambilan data di lapangan dan analisis di laboratorium

menghasilkan data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan pembahasan

mengenai parameter biologi dan fisika-kimia yang terdapat di lokasi penelitian.

Parameter biologi yang dibahas meliputi fitoplankton, dinoflagellata epibentik,

komunitas lamun, dan keterkaitan antara kerapatan lamun dan kelimpahan

dinoflagellata epibentik. Parameter fisika-kimia yang dibahas adalah keterkaitan

antara parameter yang diukur dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik.

4.1. Gambaran umum lokasi penelitian

Gugus Pulau Pari terletak pada bagian paling selatan dari pulau-pulau di

Kepulauan Seribu, sekitar 40 km sebelah barat laut kota Jakarta, dengan batas-batas

yang terletak pada 05o46'15" LS - 05o59'30" LS dan 106o26'00" BT - 106o34'22"

BT. Gugus Pulau Pari merupakan sekumpulan dari pulau-pulau seperti : Pulau

Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, Pulau Tengah, dan Pulau Pari. Terdapat

delapan goba yang mengelilingi gugusan Pulau Pari, antara lain : Goba Soa Besar,

Goba Kuanji, Goba Lapangan Pasir, Goba Ciaris, Goba Besar I, Goba Besar II,

Goba Kurungan, dan Goba Buntu. Gugus Pulau Pari merupakan formasi karang

yang keadaan pantainya datar dan rendah.

Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau

Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km, lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian

terpanjang sekitar 400 m. Perairan Pulau Pari dikelilingi oleh padang lamun

dengan jenis yang bermacam-macam, seperti : Cymodocea rotundata, Enhalus

acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan

Page 41: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

T

ut

y

ra

(S

1

1

4

4

p

D

92

D

G

Thallassia he

tara. Jenis l

ang tumbuh

ataan terumb

Stasiun 1, 2,

06o37'04.1"

06o37'04.4"

.2. Fitoplan

.2.1. Komp

Hasil pene

enelitian, ya

Dinophyceae

2,76% untuk

Dinophyceae

Gambar 3. K2

emprichii. P

amun yang m

sampai ke r

bu umumnya

dan 3) masi

BT; 05o51'1

BT.

nkton

posisi jenis f

elitian menun

aitu Bacillari

(8 marga).

k Bacillariop

(Gambar 3)

Komposisi jen2008.

enelitian dil

mendominas

rataan terumb

a berupa pas

ing-masing b

15.7" LS-106

fitoplankton

njukkan ada

iophyceae (3

Komposisi m

phyceae, 2,3

).

nis fitoplank

akukan di ek

si di bagian u

bu Pulau Par

ir lumpur. T

berada pada

6o37'04.3" B

n

anya 3 klas y

36 marga), C

masing-mas

31% untuk C

kton di ekosi

kosistem lam

utara adalah

ri. Keadaan

Tiga lokasi s

posisi : 05o5

BT; dan 05o5

yang ditemuk

Cyanophycea

ing jenis kla

Cyanophycea

istem lamun

mun Pulau Pa

h Enhalus ac

n dasar dari d

stasiun penel

51'20.6" LS-

1'13.9" LS-

kan di stasiu

ae (1 marga)

as tersebut ad

ae, dan 4,93%

Pulau Pari,

ari bagian

oroides

daerah

litian

-

un

, dan

dalah

% untuk

bulan Mei

Page 42: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Bacillariophyceae (diatom) menjadi bagian kelompok yang paling berperan

karena proporsinya yang banyak di stasiun penelitian. Diatom menjadi

fitoplankton yang mendominasi karena mempunyai kemampuan reproduksi yang

tinggi dibandingkan jenis fitoplankton yang lain. Dalam kondisi yang optimal klas

Bacillariophyceae dapat berkembang cepat dengan laju penggandaan maksimal

kurang dari 10 jam (Raymont, 1981). Beberapa jenis tertentu dari klas

Bacillariophyceae mendominasi karena mempunyai kemampuan beradaptasi

terhadap kondisi lingkungan disertai dengan kemampuan yang cukup tinggi dalam

memanfaatkan nutrien yang ada di perairan.

Klas Cyanophyceae yang ditemukan dalam stasiun penelitian hanya terdiri dari

satu marga dengan jumlah individu yang rendah yaitu Trichodesmium, sehingga

klas ini kurang berperan dalam ekosistem lamun di lokasi penelitian. Menurut

Broekhuizen dan Oldman (2002) in Faust et al. (2005), dinoflagellata rata-rata

tumbuh lebih lambat pada kondisi konsentrasi nutrien rendah dibandingkan

kelompok alga yang lain. Hal ini yang membuat jumlah dinoflagellata sedikit di

suatu perairan, khususnya di stasiun penelitian ini. Tetapi, sekali bereproduksi,

dinoflagellata dapat tumbuh dan berkembang sangat pesat dalam waktu singkat dan

bila kondisinya menguntungkan bagi jenis ini maka akan menimbulkan blooming

yang dapat merugikan perairan dan biota lain di sekitarnya.

4.2.2. Kelimpahan fitoplankton

Fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri dari 45

marga, yang termasuk dalam tiga kelas, yaitu Bacillariophyceae, Cyanophyceae,

dan Dinophyceae. Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 982 – 4118 ind/l.

Gambar 4 menunjukkan bahwa klas Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang

Page 43: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

p

N

(1

la

m

G

9

b

sa

fi

k

fi

m

m

aling tinggi

Nitzschia, Co

1980), Nitzsc

amun. Bacil

musim hujan

Gambar 4. K2

Kelimpah

82 ind/l, 29

erada pada S

alinitas pada

itoplankton.

ondisi yang

itoplankton.

mempengaruh

memperkecil

di semua sta

oscinodiscus,

chia dan Coc

llariophyceae

(Arinardi et

Kelimpahan f2008.

han fitoplank

40 ind/l, dan

Stasiun 3. K

a stasiun ini m

Suhu sebes

cocok bagi p

Kecepatan

hi keberadaa

peluang fito

asiun. Kelom

, Amphora, N

cconeis meru

e umumnya

t al., 1997).

fitoplankton

kton untuk m

n 4118 ind/l.

Kelimpahan y

menunjukka

sar 30oC dan

peningkatan

arus yang re

an fitoplankt

oplankton un

mpok dari B

Navicula, da

upakan diato

tumbuh sub

di ekosistem

masing-masin

. Kelimpaha

yang tinggi t

an nilai yang

n salinitas seb

n laju fotosin

endah, yaitu

ton di Stasiu

ntuk terdistri

acillariophy

an Cocconeis

om yang me

bur di peraira

m lamun Pul

ng Stasiun 1

an fitoplankt

tersebut dika

g optimum ba

besar 32o/oo

ntesis dan per

sebesar 0,02

un 3. Arus y

ibusi ke temp

yceae didomi

s. Menurut

ndominasi e

an pantai set

au Pari, bula

1, 2, dan 3 ad

ton paling tin

arenakan suh

agi pertumbu

dapat memb

rtumbuhan

2 m/s, juga

ang lemah a

pat yang leb

inasi oleh

Harlin

ekosistem

elah

an Mei

dalah :

nggi

hu dan

uhan

berikan

akan

ih jauh

Page 44: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

karena pergerakan fitoplankton memang dipengaruhi oleh arus. Adanya

konsentrasi nutrien yang cukup tinggi, yaitu nitrat dan fosfat, masing-masing

sebesar 0,859 mg/l dan 0,052 mg/l, menyebabkan fitoplankton cepat merespon

terhadap pertambahan nutrien tersebut. Nutrien tersebut berasal dari kandungan

fosfat dan nitrat di kolom air. Fosfat dihasilkan dari degradasi bahan organik yang

dihasilkan dari lamun yang mati, sedangkan nitrat dihasilkan dari mengikat

nitrogen di udara. Selain itu, sifat stasiun lamun yang masih relatif homogen dan

dekat dengan daratan, makin menjadikan konsentrasi nutrien meningkat yang

dimungkinkan akibat limpasan dari daratan.

Klas Cyanophyceae memiliki kelimpahan terendah di semua stasiun.

Kelimpahan yang cukup tinggi dari klas ini (44 ind/l) ditemukan di Stasiun 3, di

mana stasiun ini paling jauh dari daratan sehingga salinitas lebih tinggi diantara

stasiun yang lain. Hal ini dikarenakan Trichodesmium sebagai satu-satunya jenis

fitoplankton dari klas Cyanophyceae, lebih menyukai perairan bersalinitas tinggi

sehingga selalu dijumpai agak jauh dari pantai (Praseno dan Sugestiningsih, 2000).

Secara umum kelimpahan fitoplankton berbeda pada setiap tempat akibat

perbedaan konsentrasi nutrien dan faktor lingkungan. Kelimpahan fitoplankton

akan tinggi apabila berada pada daerah yang memiliki suhu dan salinitas optimum

disertai konsentrasi nutrien yang juga relatif tinggi.

4.3. Dinoflagellata epibentik

4.3.1. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik

Dinoflagellata epibentik yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri

dari 5 genus, meliputi Prorocentrum sp. (86,40%), Ostreopsis sp.(5,83%),

Gambierdiscus toxicus (1,47%), Coolia monotis (3,17%), dan Amphidinium sp.

Page 45: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

(

ju

H

A

G

m

di

m

m

p

lu

(G

te

d

G

3,12%) (Gam

umlah genus

Hurbungs et a

Aux Biches, M

Gambar 5. Kd

Komposis

menyusun sua

inoflagellata

mendominasi

mempunyai to

enting karen

uas. Kebany

GEOHAB, 2

Kondisi li

ernyata sesua

engan penin

Gambierdiscu

mbar 5). Ke

s yang ditem

al. (2001) di

Mauritius.

Komposisi jendi Pulau Pari

si jenis meng

atu perairan

a epibentik d

i diantara gen

oleransi yan

na banyak sp

yakan dinofla

2001).

ingkungan d

ai bagi pertu

ngkatan toksi

us toxicus ya

eragaman ge

mukan dari h

i laguna Alb

nis dinoflage, bulan Mei

gindikasikan

. Dengan ad

di lokasi pen

nus yang lai

ng luas terhad

pesiesnya yan

agellata dari

dan substrat h

umbuhan dan

ik yang diha

ang mempun

enus yang dit

asil penelitia

ion dan Hurb

ellata epiben2008.

n persentase

danya kompo

nelitian. Gen

in dalam stas

dap lingkung

ng toksik ata

i jenis Proro

hidup (lamun

n regenerasi

asilkan dari j

nyai kompos

temukan ters

an Chineah

bungs et al.

ntik pada lam

keberadaan

osisi jenis da

nus Prorocen

siun peneliti

gan yang ber

au berpotens

ocentrum ber

n Enhalus) d

Prorocentru

enis ini. Lai

sisi terkecil,

sebut sama d

et al. (1999)

(2001) di la

mun Enhalus

kelompok y

apat diketahu

ntrum tampa

an. Genus i

rbeda dan di

si toksik sert

rsifat kosmo

di Pulau Pari

um, begitu ju

in halnya de

hal ini berar

dengan

) in

aguna Trou

s acoroides

yang

ui proporsi

ak

ni

ianggap

ta tersebar

politan

i ini

uga diikuti

engan

rti

Page 46: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

lingkungan tidak sesuai bagi kehidupan jenis ini. Menurut Carlson dan Tindall

(1984) in Anderson dan Lobel (1987), G. toxicus menempel pada banyak substrat

tanpa melihat strukturnya, hanya saja umumnya cenderung menghindari substrat

karang dan padang lamun. Dengan semakin sedikitnya G. toxicus yang ditemukan

maka peluang berkembangnya toksik Ciguatera juga semakin rendah. Kondisi

tersebut akan menguntungkan lingkungan di sekitarnya, mengingat Gambierdiscus

toxicus merupakan kontributor utama penyebab penyakit Ciguatera Shellfish

Poison (CSP) pada manusia akibat memakan ikan yang terakumulasi racun

tersebut. Apalagi biasanya Ciguatera dapat muncul pada daerah yang sebelumnya

belum pernah terjangkit penyakit ini, didukung dengan adanya pengrusakan

terhadap lingkungan ekosistem (Anderson dan Lobel, 1987).

4.3.2. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik

Kelimpahan dapat menunjukkan kondisi ekologis sebagai penentu kesuburan

suatu perairan. Nilai kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik pada

lamun Enhalus acoroides ditunjukkan dengan Gambar 6. Dari lima genus yang

ditemukan, terdapat 11 spesies di dalamnya, yaitu Prorocentrum lima, P.

rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P. compressum, Ostreopsis

lenticularis, O. ovata, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis, Amphidinium

klebsii, dan A. carterae. Spesies-spesies tersebut ditemukan di semua stasiun

penelitian tetapi kelimpahannya berbeda pada setiap stasiun. Pada metode

pengambilan contoh dinoflagellata epibentik yang dilakukan dengan cara

mengocok, ada kemungkinan organisme yang tidak lepas dari daunnya, oleh karena

itu kelimpahan yang akan disebut berikut ini merupakan nilai minimal.

Page 47: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

G

(L

p

3

ak

b

ep

m

la

in

se

ep

y

1

Gambar 6. K la

Kelimpah

Lampiran 2)

aling banyak

merupakan

kan diikuti d

anyak substr

pibentik untu

memberikan k

amun yang ja

nd/cm2. Hal

ehingga sem

pibentik.

Kelimpah

ang dipenga

996 in Faust

Kelimpahan bamun Enhalu

han spesies d

. Secara um

k dijumpai b

stasiun lamu

dengan penin

rat hidup (la

uk menempe

kenyamanan

arang, kelim

ini berkaita

makin sedikit

han dinoflage

aruhi topogra

t, 2000). Jad

beberapa speus acoroides

dinoflagellata

mum kelimpa

berada di Sta

un yang rapa

ngkatan kelim

amun) maka

el pada perm

n. Sebalikny

mpahan dinof

an dengan sem

tempat pene

ellata epiben

afi dan komp

di, selain dip

esies dinoflas di Pulau Pa

a epibentik b

ahan dinoflag

asiun 3, yaitu

at. Banyakn

mpahan dino

semakin ban

mukaan daun

ya, pada Stas

flagellata epi

makin jarang

empelan yan

ntik berhubu

ponen biotik

pengaruhi ko

agellata epibeari, bulan M

berkisar anta

gellata epibe

u sebesar 152

nya lamun En

oflagellata e

nyak pilihan

n Enhalus ya

siun 1 yang m

ibentik rend

gnya lamun

ng cocok bag

ungan dengan

k setempat (R

ondisi stasiun

entik pada ei 2008.

ara 6 – 8101

entik yang re

259 ind/cm2

nhalus yang

epibentik. Se

bagi dinofla

ang luas dan

merupakan s

dah, yaitu sek

yang tumbu

gi dinoflagel

n pengkayaa

Rutzler dan F

n dengan ker

ind/cm2

elatif

. Stasiun

tumbuh,

emakin

agellata

stasiun

kitar 1551

uh

llata

an nutrien

Feller,

rapatan

Page 48: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

lamun yang berbeda, kelimpahan dinoflagellata epibentik juga dipengaruhi oleh

kandungan nutrien dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kandungan nutrien yang

cukup tinggi, suhu dan salinitas yang relatif stabil, serta arus yang tenang di Stasiun

3, menjadikan dinoflagellata epibentik di stasiun ini lebih cocok untuk tumbuh dan

berkembang. Sama halnya pada Stasiun 1 yang memiliki kandungan nutrien nitrat

(0,968 mg/l) dan fosfat (0,057 mg/l) yang tinggi. Hanya saja kecepatan arus

sebesar 0,056 m/s di stasiun ini lebih tinggi ditambah pula jarangnya lamun yang

tumbuh sehingga menjadikan kelimpahan dinoflagellata epibentik lebih rendah.

Prorocentrum rhathymum tampak mendominasi di Stasiun 2 dan 3.

Kelimpahan spesies ini tinggi dikarenakan habitat hidupnya yaitu selain menempel

pada permukaan daun lamun, juga seringkali ditemukan berenang bebas di sekitar

koloni substrat yang ditempeli. Selain itu P. rhathymum lebih mudah beradaptasi

di perairan dengan karakteristik kimia berbeda sehingga sering ditemukan pada

kelimpahan yang tinggi.

Kelimpahan P. rhathymum diikuti dengan melimpahnya Prorocentrum lima.

Bentuk selnya yang pipih dan lebar dengan anterior dan posterior yang datar

membuat spesies ini lebih cepat menempel dengan mudah pada permukaan daun

lamun Enhalus. P. lima dianggap sebagai spesies yang penting karena dapat

menghasilkan Okadaic acid, penyebab penyakit Diarrheic Shellfish Poison (DSP)

(Yasumoto et al., 1987 in Delgado et al., 2005). Selanjutnya Bomber et al. (1985)

in Delgado (2006) melaporkan keberadaan P. lima yang melimpah pada bulan

November sampai Mei di karang Florida, begitu juga dengan hasil penelitian Heil

et al. (1998) in Delgado (2006), yang melaporkan tentang tingginya kelimpahan

spesies ini di sepanjang pantai Australia dan berasosiasi dengan Ciguatera. Dengan

melimpahnya keberadaan jenis Prorocentrum di Stasiun 2 dan 3, mengindikasikan

Page 49: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

bahwa konsentrasi nutrien dan kondisi lingkungan di kedua stasiun ini cukup

sesuai untuk kehidupan dinoflagellata epibentik.

Ostreopsis lenticularis memiliki kelimpahan yang tinggi di Stasiun 1. Kondisi

lingkungan Stasiun 1 dengan arus yang cukup kencang tampaknya cocok dan

nyaman bagi kehidupan jenis ini karena memang Ostreopsis menyukai habitat

perairan yang dipengaruhi guncangan atau pergerakan air, di samping

keberadaannya yang seringkali ditemukan menetap di sedimen.

Kelimpahan yang paling rendah dari semua stasiun yang diamati, adalah

kelimpahan yang dimiliki oleh spesies P. emarginatum dan diikuti spesies

Gambierdiscus toxicus. Penelitian yang dilakukan Thoha (1999), juga menemukan

keberadaan P. emarginatum di Pulau Pari. Kondisi ekosistem lamun yang dangkal

dan syarat akan intensitas cahaya yang tinggi tampaknya tidak menguntungkan

bagi pertumbuhan dan perkembangan G. toxicus, sehingga keberadaan spesies ini

sedikit melimpah di stasiun penelitian. Di samping itu, menurut Anderson dan

Lobel (1987), G. toxicus tidak ditemukan pada daerah dari dekat pantai yang

mendapatkan banyak masukan nutrien dari daratan, tetapi tumbuh subur di daerah

perairan laut yang terbuka.

4.3.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi dinoflagellata epibentik

Hasil penelitian menunjukkan ditemukannya jenis-jenis spesies dinoflagellata

epibentik yang sama di setiap stasiun penelitian. Walaupun begitu, jumlah individu

pada masing-masing spesies berbeda sehingga akan didapatkan nilai indeks

keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) berbeda di setiap

stasiun. Gambar 7 memperlihatkan grafik dengan variasi nilai indeks

Page 50: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

k

P

G

k

an

k

di

ju

st

k

la

ak

eanekaragam

ulau Pari.

Gambar 7. Ind

Nilai inde

eseragaman

ntara 0,210-

etiga stasiun

inoflagellata

umlah indivi

tasiun cukup

omposisi ind

Nilai inde

ain dalam ko

kibat domina

man (H’), ke

ndeks Keanedinoflagellata

eks keanekar

berkisar ant

0,718. Inde

n berada dala

a epibentik r

idu yang ren

p tinggi dalam

dividu menu

eks dominan

omunitas dan

ansi spesies-

eseragaman (

ekaragaman a epibentik d

ragaman ber

tara 0,563- 0

eks keanekar

am kisaran r

elatif sedikit

ndah dalam k

m komunita

uju kondisi e

nsi pada Stas

n menunjukk

-spesies terte

(E), dan dom

(H’), Keseradi Pulau Pari

rkisar antara

0,757, dan ni

ragaman spe

endah. Hal

t dan diikuti

komunitas. N

s. Hal ini me

kosistem yan

iun 2 relatif

kan struktur

entu (Odum,

minansi dino

agaman (E), i, bulan Mei

0,586 – 0,78

ilai indeks do

esies dinoflag

ini berarti ba

dengan pem

Nilai indeks

enandakan k

ng cukup ba

lebih tinggi

komunitas y

, 1998).

flagellata ep

dan Domina2008.

88. Nilai ind

ominansi be

gellata epibe

ahwa jumlah

merataan pen

keseragama

keseimbanga

aik.

daripada sta

yang cenderu

pibentik di

ansi (C)

deks

erkisar

entik di

h spesies

nyebaran

an di ketiga

an

asiun yang

ung labil

Page 51: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

4.3.4. Pola persebaran komunitas dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Tabel 4 menunjukkan nilai indeks Morisita untuk setiap spesies dinoflagellata

epibentik di ekosistem lamun, Pulau Pari. Kisaran nilai indeks Morisita berkisar

antara 0,986 – 1,582.

Dengan hasil perhitungan yang menunjukkan nilai indeks Morisita lebih dari

satu (Id>1), maka dapat ditentukan bahwa setiap spesies dinoflagellata epibentik

memiliki pola sebaran mengelompok di dalam habitatnya, kecuali spesies O. ovata

dengan nilai indeks Morisita kurang dari satu (Id<1).

Tabel 4. Nilai Indeks Morisita dinoflagellata epibentik beserta χ2 hitung, χ2 tabel,

dan pola sebaran.

Pengelompokan merupakan pola persebaran yang paling umum terjadi pada

individu dan dapat meningkatkan persaingan diantara individu dalam

memperebutkan unsur hara, makanan, atau ruangan (Odum, 1998). Persebaran

mengelompok yang terjadi pada beberapa spesies dinoflagellata epibentik

mengindikasikan bahwa spesies tersebut selalu ada dalam kelompok, sangat jarang

terlihat secara terpisah, dan umumnya dapat meningkatkan persaingan antara

individu tanpa diimbangi peningkatan daya hidup. Persebaran seperti ini

Spesies Id χ2 hitung χ2 tabel Pola sebaran Prorocentrum lima 1,342 207,218 5,991 mengelompok P. rhathymum 1,404 391,807 5,991 mengelompok P. concavum 1,136 8,375 5,991 mengelompok P. emarginatum 1,582 7,818 5,991 mengelompok P. compressum 1,179 29,975 5,991 mengelompok Ostreopsis lenticularis 1,534 75,174 5,991 mengelompok O. ovata 0,986 1,474 5,991 acak Gambierdiscus toxicus 1,351 13,943 5,991 mengelompok Coolia monotis 1,432 30,091 5,991 mengelompok Amphidinium klebsii 1,253 13,875 5,991 mengelompok A.carterae 1,319 13,167 5,991 mengelompok

Page 52: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

didasarkan pada hubungan kemiripan sifat dinoflagellata epibentik, kesamaan

kondisi fisika-kimia perairan tersebut, dan kondisi substrat hidup yang ditempeli

(lamun). Dinoflagellata epibentik memiliki kemiripan dalam pemenuhan sumber

kehidupan seperti nutrien, cahaya, dan ruang untuk pertumbuhannya. Di samping

itu, kondisi lingkungan yang relatif homogen dan morfologi daun lamun Enhalus

yang luas dan nyaman untuk ditempeli akan semakin memperkuat keberadaan

dinoflagellata epibentik di habitatnya.

Setelah dilakukan pengujian nilai indeks Morisita menggunakan uji Khi-

kuadrat dengan selang kepercayaan 95% (α =0,05), maka didapatkan χ2 hitung > χ2

tabel untuk Prorocentrum lima, P. rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P.

compressum, Ostreopsis lenticularis, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis,

Amphidinium klebsii, dan A. carterae. Hal ini berarti bahwa persebaran spesies-

spesies tersebut di ekosistem lamun Pulau Pari adalah berbeda nyata dengan

persebaran acak, dengan kata lain persebaran dinoflagellata epibentik bersifat

mengelompok. Berbeda dengan spesies yang lain, O. ovata memiliki persebaran

acak karena hasil uji Khi-kuadrat menunjukkan nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Hal ini

dikarenakan spesies tersebut ditemukan pada setiap stasiun dengan fluktuasi jumlah

individu yang lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain sehingga

menyebabkan indeks persebarannya rendah dan menyebar acak dalam habitatnya.

4.3.5. Keterkaitan antara setiap parameter fisika-kimia dengan kelimpahan

dinoflagellata epibentik 4.3.5.1. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik Kisaran suhu di ekosistem lamun Pulau Pari pada saat penelitian dilakukan

berkisar antara 29-31oC. Kisaran suhu tersebut tidak berbeda jauh termasuk sesuai

untuk pertumbuhan dinoflagellata epibentik, yaitu 20-30 oC, dan relatif stabil dalam

Page 53: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

ki

di

p

sp

te

p

y

se

&

di

d

b

li

G

isaran optim

inoflagellata

ada substrat

pesies-spesie

Setiap spe

erhadap suhu

erairan deng

aitu dengan

emakin men

& Tindall (19

imana beber

an Ostreops

erkebalikan

ima, dimana

Gambar 8. Ke

mal bagi pertu

a epibentik te

lamun hingg

es yang sam

esies dari din

u di suatu pe

gan kelimpah

semakin nai

nurun. Kecen

985) in Chan

rapa spesies

is lenticular

pada spesies

spesies-spes

Keterkaitan akosistem lam

umbuhan lam

etap dapat h

ga sampai m

a di habitatn

noflagellata

erairan. Gam

han dinoflag

iknya suhu m

nderungan te

ng et al. (200

s dinoflagella

ris berkorela

s yang lain,

sies ini berk

antara suhu dmun Pulau P

mun. Denga

idup dan sec

melakukan re

nya.

epibentik m

mbar 8 menu

gellata epiben

maka kelimp

ersebut didu

00) di daerah

ata epibentik

si negatif de

seperti Cool

orelasi posit

dengan kelimPari, bulan M

an kisaran su

cara aktif cen

egenerasi lag

memiliki resp

unjukkan bah

ntik didapatk

pahan dinofla

ukung oleh h

h tropik, yait

k, seperti Ga

engan suhu p

lia monotis d

tif dengan su

mpahan dinofMei 2008.

uhu yang dem

nderung men

gi menghasil

on yang berb

hwa antara su

kan kecende

agellata epib

asil penelitia

tu di Pulau V

ambierdiscus

perairan, teta

dan Proroce

uhu perairan

flagellata ep

mikian

nempel

lkan

beda

uhu

erungan,

bentik akan

an Carlson

Virgin,

s toxicus

api juga

ntrum

.

pibentik di

Page 54: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Adanya fluktuasi suhu selama pengukuran di ekosistem lamun menyebabkan

kelimpahan dinoflagellata epibentik menurun. Diduga beberapa spesies

dinoflagellata epibentik tidak dapat bertoleransi terhadap perbedaan suhu di lokasi

penelitian. Pada saat suhu berkisar antara 29 oC – 30 oC, kelimpahan dinoflagellata

epibentik cenderung meningkat dan pada kisaran suhu tersebut dimungkinkan

nilainya masih optimum untuk pertumbuhan spesies tersebut. Namun hal tersebut

berlanjut dengan menurunnya kelimpahan dinoflagellata pada saat suhu telah

melewati 30 oC. Pada suhu yang lebih tinggi tersebut, diduga metabolisme

dinoflagellata epibentik terganggu sehingga pertumbuhannya terhambat.

Beberapa spesies dinoflagellata epibentik, seperti G. toxicus, tumbuh pada

suhu optimum 26 oC. Pada suhu lebih dari 30 oC, dengan cepat akan membunuh

sel, dan umumnya pertumbuhannya lambat pada suhu di bawah 22 oC. Kisaran

suhu untuk pertumbuhan optimum biasanya terbatas, kemungkinan tergantung pada

kondisi asli tempat ditemukannya spesies dinoflagellata epibentik, dimana biasanya

terjadi sedikit variasi suhu (Clement, 1987). Akibat fluktuasi suhu yang terukur

selama penelitian diduga berpengaruh terhadap kemampuan tumbuhnya yang lebih

lambat sehingga kelimpahannya berkurang di suatu perairan.

4.3.5.2. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dinoflagellata

epibentik Salinitas berpengaruh penting terhadap keberadaan dinoflagellata epibentik

dalam mempertahankan tekanan osmosis antara protoplasma dengan perairan.

Pertahanan tersebut digunakan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan di

sekitarnya. Dari hasil pengukuran salinitas di ekosistem lamun, didapat kisaran

salinitas antara 30 – 32o/oo, sedangkan fitoplankton laut dapat berkembang secara

optimum pada salinitas 35 o/oo. Hal tersebut berarti nilai salinitas yang terukur

Page 55: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

su

ep

re

di

h

di

k

k

d

k

ti

di

tr

G

di

udah cukup

pibentik. La

endah untuk

ikhawatirkan

abitatnya.

Keterkaita

ilihat pada G

elimpahan d

elimpahan d

engan kenai

eberadaan b

nggi. Hal in

itemukan din

ransparansi a

Gambar 9. Kd

Salinitas y

inoflagellata

sesuai untuk

ain halnya de

kehidupan o

n akan menu

an antara ke

Gambar 9. D

dinoflagellata

dinoflagellata

kan kelimpa

eberapa dino

ni diperkuat

noflagellata

air yang men

Keterkaitan adi ekosistem

yang tinggi d

a epibentik, k

k pertumbuh

engan lamun

optimal lamu

urunkan laju

limpahan din

Didapatkan k

a epibentik.

a epibentik d

ahan dinoflag

oflagellata e

dengan hasi

epibentik de

nurun selama

antara salinitalamun Pulau

diketahui da

khususnya s

an dan perke

n, dimana ki

un. Dampak

u fotosintesis

noflagellata

kecenderung

Kenaikan s

di perairan.

gellata epibe

epibentik yan

il penelitian

engan kelim

a musim huj

as dengan keu Pari, bulan

apat meningk

pesies Proro

embangan d

saran salinit

k dari kondis

s dan pertum

epibentik de

gan antara sa

alinitas akan

Kenaikan sa

entik cukup b

ng lebih men

Delgado (20

mpahan renda

an.

elimpahan dn Mei 2008.

katkan toksis

ocentrum lim

inoflagellata

tas tersebut c

si tersebut

mbuhan lamu

engan salinit

linitas denga

n meningkatk

alinitas yang

beralasan di

nyukai salini

006) di Cuba

ah akibat sali

dinoflagellata

sitas dari

ma (Jackson

a

cukup

n di

tas dapat

an

kan

g disertai

karenakan

itas yang

a, dimana

initas dan

a epibentik

et al.,

Page 56: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

1993 in Delgado, 2005). Dengan didukung oleh kelimpahan yang banyak pada

stasiun yang juga memiliki nilai salinitas yang tinggi, dikhawatirkan toksisitas akan

semakin meningkat dan memudahkan persebaran racun Ciguatera maupun Okadaic

acid melalui akumulasi dalam tubuh ikan herbivora yang nantinya akan dikonsumsi

oleh manusia.

4.3.5.3. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dinoflagellata

epibentik Kedalaman dapat mempengaruhi kehidupan dinoflagellata epibentik dan lamun

melalui pengaruh efisiensi penetrasi cahaya matahari yang mendukung proses

fotosintesis. Habitat lamun sebagai lokasi penelitian, merupakan perairan dangkal

sehingga kedalaman akan mempengaruhi cahaya matahari yang dengan mudah

menembus kolom perairan hingga sampai ke dasar. Tentu saja kondisi seperti ini

sangat menguntungkan biota perairan, khususnya dinoflagellata epibentik dan

lamun itu sendiri.

Nilai-nilai kedalaman yang terukur selama penelitian bisa dikatakan rendah.

Kedalaman yang terukur berkisar antara 0,23 – 1,06 meter. Hal ini nantinya

berhubungan dengan kedalaman penetrasi cahaya yang optimal pada lokasi

penelitian. Dalam hal ini cahaya bukan merupakan faktor pembatas karena dengan

cepat dapat menembus seluruh kolom perairan. Kedalaman terendah sebesar 0,23

meter, terdapat pada Stasiun 1 dengan letak yang paling dekat dengan daratan.

Kedalaman tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (1,06 meter) dan bukan Stasiun 3

(0,92 meter) yang seharusnya lebih dalam karena semakin menjauhi pantai. Hal ini

disebabkan letak Stasiun 3 yang berada di dasar substrat yang agak tinggi karena

berdekatan dengan pulau kecil yang ditumbuhi beberapa pohon mangrove.

Page 57: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

k

di

se

ti

di

m

ep

G

p

te

se

pr

in

k

Berdasark

edalaman da

iikuti dengan

esuai dengan

nggi akan m

inoflagellata

matahari yang

pibentik (Jac

Gambar 10. Ke

Pada keda

erairan akan

erlalu tinggi

ehingga akan

roduktivitas

ntensitas cah

arena intens

kan informas

an kelimpaha

n peningkata

n pernyataan

mempengaruh

a epibentik y

g tinggi akan

ckson et al.,

Keterkaitan epibentik di

alaman yang

n dapat mem

dapat merus

n menggang

dan kelimpa

haya matahar

itas cahaya t

si dari Gamb

an dinoflage

an kelimpah

n Delgado (2

hi kelimpaha

yang toksik.

n semakin m

1993 in Del

antara kedalekosistem la

g rendah, inte

mpengaruhi ak

sak kloropas

ggu aktivitas

ahan. Sedan

ri cukup opti

tidak terlalu

bar 10, didap

ellata epiben

han dinoflage

2006), bahwa

an yang ting

Ditambahk

meningkatkan

lgado, 2005)

laman dengaamun Pulau

ensitas cahay

ktivitas foto

s yang dihasi

fotosintesis

ngkan pada k

imal untuk k

tinggi untuk

patkan kecen

ntik. Peningk

ellata epiben

a kedalaman

ggi dari beber

an juga bahw

n toksisitas d

).

an kelimpahaPari, bulan

ya matahari

sintesis. Int

ilkan dinofla

yang berdam

kedalaman y

kehidupan di

k aktivitas fo

nderungan a

katan kedala

ntik. Hubung

n dimana kec

rapa spesies

wa intensitas

dari dinoflag

an dinoflageMei 2008.

tinggi yang

tensitas mata

agellata epib

mpak pada r

yang lebih tin

inoflagellata

otosintesis. D

antara

aman akan

gan ini

cerahan air

s

s cahaya

gellata

ellata

sampai ke

ahari yang

entik

rendahnya

nggi,

a epibentik

Dalam

Page 58: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

ekosistem lamun yang menjadi obyek penelitian ini, diduga tumbuhan lamun itu

sendiri yang lebih dapat berperan dan berpengaruh terhadap kedalaman di lokasi

penelitian. Pada kedalaman yang cukup tinggi umumnya lamun tumbuh dengan

subur karena jarang terpapar langsung oleh sinar matahari yang membuatnya cepat

rusak dan mati. Apalagi ditambah kondisi lokasi penelitian yang merupakan

daerah pasang surut sehingga pada saat surut lamun akan dengan mudah terpapar

cahaya matahari yang kuat. Kondisi lamun yang rusak akan mengurangi jumlah

dinoflagellata epibentik yang menempel sehingga kelimpahannya sedikit di

perairan.

4.3.5.4. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan nitrat Nitrat sebagai nutrien di perairan merupakan salah satu faktor yang dapat

menggerakkan pertumbuhan dinoflagellata epibentik yang menempel pada daun

lamun. Nilai konsentrasi nitrat pada saat penelitian berkisar antara 0,493 – 0,968

mg/l. Konsentrasi nitrat tersebut bukan merupakan faktor pembatas di lokasi

penelitian karena kisaran nilainya masih berada pada kondisi yang memungkinkan

untuk pertumbuhan dinoflagellata epibentik.

Secara umum terlihat bahwa ada hubungan yang negatif antara nitrat dengan

kelimpahan dinoflagellata epibentik. Hal ini sulit dijelaskan. Kemungkinannya

adalah bahwa nilai nitrat di lokasi pengamatan sudah melewati nilai maksimum

secara alami sehingga ada pergantian fungsi antara nitrat dan kelimpahan. Gambar

11 menunjukkan keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan

nitrat yang telah ditukar fungsinya. Dari keterkaitan tersebut didapatkan

kecenderungan dimana peningkatan kelimpahan dinoflagellata epibentik diikuti

dengan penurunan nitrat di perairan. Kebutuhan fitoplankton akan nitrat berbeda

Page 59: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

d

(S

G

ep

di

k

k

te

p

di

ni

4

m

se

engan fosfat

Sverdrup, 19

Gambar 11. Kd

Dengan k

pibentik, tid

i perairan. T

arena habis

eberadaan d

ersebut. Kon

enelitian ada

inoflagellata

itrat yang ter

.3.5.5. Kete

Fosfat dig

metabolisme.

edangkan ka

t, fitoplankto

972).

Keterkaitan di ekosistem

kebutuhan nit

ak tertutup k

Terdapat sua

dikonsumsi

dinoflagellata

ndisi lain yan

alah suhu da

a epibentik a

rlarut dalam

erkaitan ant

gunakan oleh

Nilai kadar

adar fosfat te

on memerluk

antara kelimm lamun Pula

trat yang leb

kemungkinan

atu kondisi d

oleh dinofla

a epibentik m

ng juga dapa

an salinitas.

akan mening

m perairan.

tara kelimp

h dinoflagell

r fosfat tertin

erendah yaitu

kan fosfat da

mpahan dinofau Pari, bula

bih banyak d

n bahwa ka

dimana nitrat

agellata epib

mempengaru

at mempeng

Pada suhu d

gkat yang kem

pahan dinofl

lata epibenti

nggi yang d

u sebesar 0,0

an nitrat den

flagellata epan Mei 2008.

dibutuhkan o

dar nitrat ak

t akan semak

entik, dan da

uhi persediaa

aruhi kadar

dan salinitas

mudian diiku

flagellata ep

k untuk foto

didapat yaitu

042 mg/l. N

gan perband

pibentik deng.

oleh dinoflag

kan semakin

kin sedikit d

alam hal ini

an nitrat di p

nutrien di lo

s yang tinggi

uti dengan p

ibentik den

osintesis dan

u sebesar 0,05

Nilai kadar fo

dingan 1:7

gan nitrat

gellata

menurun

i perairan

perairan

okasi

i toksisitas

penurunan

ngan fosfat

n

57 mg/l,

osfat

Page 60: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

b

di

k

fo

K

ni

k

k

k

ti

se

un

p

G

p

erkisar antar

ianggap buk

arena kadarn

Sama haln

osfat dengan

Kemungkinan

ilai maksimu

elimpahan.

elimpahan d

ecenderunga

nggi kelimp

emakin men

ntuk konsum

ertumbuhann

Gambar 12. Kd

Dinoflage

enyerapanny

ra 0,042 – 0,

kan merupak

nya masih di

nya dengan n

n kelimpahan

nnya adalah

um secara al

Berdasarkan

dinoflagellata

an diantara k

pahan dinofla

nurun. Hal in

msi secara te

nya.

Keterkaitan di ekosistem

ellata epiben

ya melalui k

,057 mg/l. N

kan faktor pe

i atas 0,009 m

nitrat, secara

n dinoflagell

bahwa nilai

lami sehingg

n Gambar 12

a epibentik y

keduanya. D

agellata epib

ni disebabka

rus menerus

antara kelimm lamun Pula

ntik dapat me

olom air dan

Nilai yang di

embatas bagi

mg/l (Macke

a umum terd

lata epibentik

i fosfat di lok

ga ada perga

2, didapatkan

yang telah di

Dapat diinter

bentik di pera

an persediaan

s oleh dinofla

mpahan dinofau Pari, bula

empengaruh

n substrat hid

idapat relatif

i pertumbuha

entum, 1969

dapat hubung

k. Hal ini su

kasi pengam

antian fungsi

n keterkaitan

itukar fungsi

rpretasikan b

airan maka k

n fosfat di pe

agellata epib

flagellata epan Mei 2008.

i kadar fosfa

dupnya (lam

f homogen d

an biota pera

9).

gan yang neg

ulit dijelaska

matan sudah m

antara fosfa

n antara fosf

inya dan me

bahwa denga

kadar fosfat

erairan digun

bentik untuk

pibentik deng.

at dengan

mun) yang na

dan

airan

gatif antara

an.

melewati

at dan

fat dengan

enunjukkan

an semakin

akan

nakan

k

gan fosfat

antinya

Page 61: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

digunakan untuk metabolisme di dalam tubuhnya. Dengan pemanfaatan dari dua

sumber tersebut maka akan mempercepat penurunan kadar fosfat di perairan.

Hubungan yang saling berkecenderungan antara kelimpahan dinoflagellata

epibentik dan fosfat juga dipengaruhi oleh kondisi abiotik yang lain yaitu suhu dan

salinitas, dimana nilai kadar fosfat terlarut akan menurun seiring dengan

meningkatnya nilai suhu dan salinitas perairan. Sementara itu toksisitas beberapa

spesies dinoflagellata epibentik juga semakin meningkat seiring dengan

pertumbuhannya yang melimpah.

4.3.5.6. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan dinoflagellata

epibentik Arus permukaan berperan penting dalam persebaran spesies dinoflagellata

epibentik di perairan. Sifat dinoflagellata epibentik yang cenderung lebih suka

menempel pada substrat hidup yaitu lamun, tetap dipengaruhi oleh arus karena

kembali pada sifat dasarnya sebagai fitoplankton dimana memiliki ukuran yang

sangat kecil sehingga pergerakannya sangat tergantung pada arus di suatu perairan.

Kecepatan arus selama penelitian berkisar antara 0,020-0,056 m/detik dengan arah

arus 235o, 270o, dan 290o yang cenderung menuju ke arah barat.

Kecepatan arus relatif rendah dengan fluktuasinya yang lebih dipengaruhi oleh

dangkalnya perairan serta keberadaan komunitas lamun yang berperan dalam

meredam atau memperlambat gerak arus di perairan. Pola arah arus yang

dipengaruhi angin cenderung menuju ke arah barat. Hal ini tidak lepas dari

pengaruh waktu dilaksanakannya penelitian, yaitu pada bulan Mei, dimana pada

bulan tersebut masuk dalam musim peralihan dengan arah angin yang tidak

menentu. Pada musim peralihan, kekuatan angin jauh berkurang sehingga

menghasilkan arus yang tenang (Arinardi et al., 1997). Arus yang tenang ke arah

Page 62: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

b

p

ju

di

d

ep

k

k

ep

p

p

k

ar

b

G

arat akan me

ersebaran ya

uga akan me

Gambar 1

inoflagellata

engan semak

pibentik aka

ecepatan aru

encang seka

pibentik yan

encucian ole

adang lamun

eberadaan d

rus yang ma

erakibat pad

Gambar 13. K

embatasi per

ang lebih jau

emperkecil tr

13 menunjuk

a epibentik.

kin bertamba

an berkurang

us berkurang

aligus menan

ng menempe

eh arus dan b

n dan tubir y

dinoflagellata

asuk padang

da kelimpaha

Keterkaitan epibentik di

rgerakan din

uh. Dengan

ranspor sedim

kkan keterka

Didapatkan

ahnya kecep

g. Diduga ke

g. Akar-akar

ngkap sedim

l pada daun

berlanjut pad

yang cukup j

a epibentik.

lamun meng

an dinoflage

antara kecepekosistem l

noflagellata e

adanya peng

men di dalam

aitan kecepat

n kecenderun

patan arus, m

erapatan lam

r lamun akan

en di sekitar

lamun E. ac

da kelimpaha

auh tampakn

Adanya jara

galami peram

llata epibent

patan arus deamun Pulau

epibentik dan

garuh arus te

m ekosistem

tan arus dan

ngan diantara

maka kelimpa

mun yang ting

n meredam p

rnya sehingg

coroides aka

annya yang

nya juga me

ak tersebut a

mbatan sehin

tik cukup tin

engan kelimPari, bulan

n mencegah

enang terseb

m lamun.

kelimpahan

a keduanya,

ahan dinofla

ggi menyeba

pergerakan a

ga dinoflagel

n terhindar d

meningkat.

empengaruh

akan menyeb

ngga arusnya

nggi.

mpahan dinofMei 2008.

ut maka

dimana

agellata

abkan

arus yang

llata

dari

Jarak

hi

babkan

a kecil dan

flagellata

Page 63: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Karakter beberapa spesies dinoflagellata epibentik juga dipengaruhi oleh

keberadaan arus di perairan. Dari nilai kelimpahan yang didapat, G.toxicus

memiliki kelimpahan yang cukup rendah karena spesies ini lebih suka menetap di

substrat dengan perairan yang dipengaruhi arus kencang. Ditemukannya spesies

Ostreopsis dengan jumlah yang cukup melimpah di dekat pantai juga disebabkan

karena kesukaan spesies tersebut yang lebih menyukai perairan yang dipengaruhi

guncangan atau pergerakan air.

4.3.5.7. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik

Nilai pH yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7-8. Perairan laut

mempunyai sistem penyangga yang kuat untuk dapat mempertahankan kestabilan

nilai pH sehingga pH air laut tidak mudah mengalami perubahan. Hasil

pengukuran pH masih dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan dinoflagellata

epibentik yaitu 7 dan mendekati basa.

Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik dapat dilihat

pada Gambar 14. Semakin tinggi nilai pH di suatu perairan, kelimpahan

dinoflagellata epibentik di perairan tersebut akan bertambah pula. Dengan semakin

bertambahnya nilai pH maka perairan akan semakin produktif karena bahan

organik dalam air mudah diubah menjadi mineral-mineral yang dapat

diasimilasikan oleh dinoflagellata epibentik sehingga pemanfaatannya optimal

yang berakibat pada melimpahnya spesies-spesies dinoflagellata epibentik.

Page 64: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

G

ol

p

ce

N

m

D

si

pH

se

se

le

Gambar 14. Ke

Perubahan

leh aktivitas

erairan. Pro

enderung me

Nilai pH pera

menurun dan

Dengan begit

istem penyan

H akan naik

erta menyeb

ehingga ion

ebih basa.

Keterkaitan ekosistem la

n nilai pH da

s biologis sep

oses fotosinte

engurangi ko

airan juga dip

tekanan par

tu penurunan

ngga ke arah

k. Dalam hal

abkan kadar

H+ menurun

antara pH damun Pulau P

an kelimpah

perti fotosint

esis yang op

onsentrasi C

pengaruhi ol

rsial (pCO2)

n CO2 dalam

h kiri yang m

l ini peningk

r CO2 pada r

n, akibatnya

engan kelimPari, bulan M

han dinoflage

tesis, suhu d

ptimal selama

CO2 terlarut y

leh peningka

meningkat p

m air akan me

menyebabka

katan kelimp

reaksi kesetim

OH – menin

mpahan dinofMei 2008.

ellata epiben

dan keberada

a waktu pen

yang disertai

atan suhu. K

pada saat suh

enggeser rea

an penurunan

pahan dinofla

mbangan ber

ngkat yang be

flagellata epi

ntik tersebut

aan ion-ion d

yinaran mat

i dengan naik

Kelarutan CO

hu perairan m

aksi kesetimb

n H+, sehing

agellata epib

rgeser ke ara

erarti peraira

ibentik di

ditentukan

dalam

ahari akan

knya pH.

O2

meningkat.

bangan

ga nilai

bentik turut

ah kiri

an menjadi

Page 65: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

4.4. Komunitas lamun

4.4.1. Kerapatan lamun Enhalus acoroides

Kerapatan (density) lamun berbeda pada setiap stasiun. Kerapatan lamun

ditentukan oleh perbedaan jenis setiap lamun, perbedaan morfologi, dan struktur

komunitasnya serta faktor-faktor lingkungan tempat tumbuhnya (kedalaman,

kecerahan, dan tipe substrat) (Kiswara, 1997).

Berikut ini ditampilkan nilai kerapatan lamun Enhalus acoroides di ekosistem

lamun Pulau Pari dalam Tabel 5.

Tabel 5. Kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides (ind/m2) di semua stasiun

ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008.

Sumber : Diolah dari lampiran 3 dan 4 Kerapatan rata-rata jenis lamun E. acoroides berkisar antara 24 – 101 ind/m2.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa kerapatan rata-rata tertinggi terdapat di Stasiun 3, yaitu

sebesar 101 ind/m2, dan terendah pada Stasiun 1, yaitu sebesar 24 ind/m2 . Pada

Stasiun 3, lamun tumbuh dengan lebat dan saling berdekatan karena kondisi

lingkungan yang cocok. Kondisi Stasiun 3 yang cukup dalam tetapi agak jernih

menjadikan kerapatan lamun E. acoroides lebih tinggi dibandingkan stasiun yang

lain. Bentuk morfologi daun E. acoroides yang panjang dan besar juga

menentukan kerapatan jenis lamun itu sendiri di habitatnya. Sedangkan kondisi

Stasiun 1 yang masih dipengaruhi arus dan sedimentasi dari daratan sehingga

airnya keruh, menjadikan stasiun ini memiliki kerapatan lamun yang cukup rendah.

Stasiun P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 Total Rata-rata

1 28 16 16 16 28 20 40 36 28 12 240 24 2 64 44 64 56 72 80 32 60 68 72 612 61 3 92 108 104 96 96 100 88 112 92 120 1008 101

Page 66: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Enhalus acoroides memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap komunitas

padang lamun di Pulau Pari karena kemampuan beradaptasinya yang besar. Jenis

ini mampu beradaptasi pada berbagai substrat dan lingkungan yang berbeda.

Toleransinya yang lebar terhadap kondisi ekologi disertai kemampuan tumbuh

yang lebih cepat daripada jenis lamun lain menjadikan E. acoroides bersifat

kosmopolitan dan tersebar cukup luas pada habitatnya di Pulau Pari.

4.5. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan kerapatan

lamun

Interaksi dinoflagellata epibentik dengan permukaan substrat yang ditempeli

yaitu lamun, umumnya sangat dinamik di alam dan merupakan faktor penting

dalam perkembangbiakan dan pertahanan hidup jenis tersebut. West (1990) in

Kiswara dan Winardi (1994) menyatakan bahwa panjang daun dan kerapatan

lamun dapat mempengaruhi sebaran dan kelimpahan biota yang berasosiasi dengan

lamun, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan padang lamun sangat

menentukan distribusi dan kelimpahan biotanya.

Gambar 15 memperlihatkan kecenderungan antara kerapatan lamun dengan

kelimpahan dinoflagellata epibentik. Kelimpahan dinoflagellata epibentik akan

meningkat seiring dengan peningkatan kerapatan lamun di suatu perairan. Semakin

tinggi kerapatan lamun, semakin banyak tegakan lamun yang tumbuh maka

semakin luas permukaan daun lamun yang tersedia untuk ditempeli oleh

dinoflagellata tersebut.

Page 67: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

G

di

se

k

di

ki

K

ca

m

y

d

m

di

ac

le

Gambar 15. Ke

Keterkaita

ipengaruhi o

ekitarnya. K

emampuan m

inoflagellata

imia peraira

Kompetisi an

ahaya, dan m

menempel pa

ang tinggi.

an dinoflage

meningkatkan

Kelimpah

idukung oleh

coroides den

ebih stabil da

Keterkaitan epibentik di

an antara ker

oleh kemamp

Kemampuan

masing-masi

a epibentik y

an yang berb

ntar spesies d

makanan, jug

ada daun lam

Selain itu, k

ellata epiben

n kelimpaha

han dinoflage

h kestabilan

ngan permuk

an nyaman s

antara kerapekosistem la

rapatan lamu

puan adaptas

adaptasi din

ing jenis un

yang mudah

eda akan me

dinoflagellat

ga menentuk

mun, dimana

kondisi fisika

ntik di ekosis

an beberapa s

ellata epiben

substrat (da

kaan daunny

sehingga baik

patan lamun amun Pulau

un dan kelim

si, kompetis

noflagellata

ntuk menemp

beradaptasi

endukung ke

ta epibentik

kan eksistens

spesies yang

a-kimia yang

stem lamun y

spesies dinof

ntik berhubu

aun lamun) it

ya yang luas

k untuk temp

dengan kelimPari, bulan

mpahan dino

i, dan penga

epibentik di

pel dan berke

pada lamun

elimpahan je

dalam mem

si dinoflagel

g kuat akan m

g cocok untu

yang berbed

flagellata ep

ungan erat de

tu sendiri. L

akan memb

pat penempe

mpahan dinoMei 2008.

flagellata ep

aruh lingkung

ihubungkan

embang. Sp

dan karakte

enisnya di pe

mperebutkan

lata epibenti

memiliki ke

uk pertumbuh

a kerapatan

pibentik.

engan kerapa

Lamun Enha

erikan kond

elan dinoflag

oflagellata

pibentik

gan di

dengan

pesies

eristik

erairan.

ruang,

ik yang

limpahan

han lamun

akan

atan karena

alus

isi yang

gellata

Page 68: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

epibentik. Kerapatan lamun yang tinggi akan didukung dengan tumbuhnya lamun

yang saling berdekatan, kokoh, dan memiliki perakaran yang kuat. Kondisi

tersebut tentu akan menguntungkan dinoflagellata epibentik yang menempel karena

lebih mudah dalam memperoleh cahaya untuk kebutuhan fotosintesis serta

terhindar dari pengaruh pencucian arus di sekitarnya. Faktor-faktor yang demikian

di atas diduga akan semakin meningkatkan kelimpahan dinoflagellata epibentik

yang menempel pada daun lamun.

Dengan semakin melimpahnya dinoflagellata epibentik pada ekosistem lamun

maka terdapat peluang untuk blooming pada jenis tertentu. Akibatnya akan sangat

merugikan seperti reduksi penetrasi cahaya dan kondisi anoksik yang diikuti

dengan menurunnya kapasitas fotosintesis dan biomassa daun pada hamparan

lamun. Hasil akhirnya akan berakibat pada kerusakan ekosistem lamun sebagai

penghasil produktivitas primer di laut.

Page 69: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri dari 3 klas dengan

komposisi masing-masing, yaitu Bacillariophyceae (92.76%), Cyanophyceae

(2.31%), dan Dinophyceae (4.93%). Kelimpahan fitoplankton didominasi oleh

spesies Nitzschia, Coscinodiscus, Amphora, Navicula, dan Cocconeis.

Dinoflagellata epibentik yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu

Prorocentrum lima, P. rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P. compressum,

Ostreopsis lenticularis, O. ovata, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis,

Amphidinium klebsii, dan A. carterae. Komposisi dan kelimpahan tertinggi

dimiliki oleh genus Prorocentrum, khususnya spesies Prorocentrum rhathymum.

Didapatkan kecenderungan yaitu dengan semakin naiknya suhu dan kecepatan

arus, maka kelimpahan dinoflagellata epibentik semakin menurun. Sebaliknya,

dengan semakin naiknya salinitas, kedalaman, dan pH, maka kelimpahan

dinoflagellata epibentik semakin meningkat. Kelimpahan dinoflagellata epibentik

mempengaruhi keberadaan nitrat dan fosfat akibat pemanfaatannya untuk

pertumbuhan.

Dengan semakin rapatnya lamun maka kelimpahan dinoflagellata epibentik

juga semakin meningkat. Lamun E. acoroides dengan permukaan daunnya yang

luas memberikan kondisi yang lebih stabil dan nyaman sehingga baik untuk tempat

penempelan dinoflagellata epibentik.

Page 70: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

5.2. Saran

Saran-saran yang ingin disampaikan penulis dari penelitian yang telah

dilakukan, antara lain :

1. Hendaknya dilakukan pengkajian dengan membandingkan musim yang

berbeda sehingga didapatkan kelimpahan yang mewakili setiap musim.

2. Hendaknya dilakukan penelitian dengan kondisi lingkungan yang berbeda,

misalnya di perairan yang tenang, perairan yang telah terkena badai, dan

perairan yang dekat dengan pemukiman dan industri karena spesies

dinoflagellata epibentik umumnya sensitif terhadap lingkungan yang

berbeda.

3. Hendaknya dilakukan penelitian yang mengkaji objek yang lain, misalnya

makroalga karena sifat dinoflagellata epibentik yang suka menempel pada

berbagai substrat hidup di perairan.

4. Hendaknya dilakukan monitoring secara berkala pada lokasi perairan yang

berpotensi blooming spesies dinoflagellata epibentik beracun sebagai upaya

pencegahan dini terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.

Page 71: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. M. dan P. S. Lobel. 1987. The continuing enigma of ciguatera.

Biological Bulletin. 172 (1): 89-107. Arinardi, O. H., A. B. Sutomo, S. A. Yusuf, Trimaningsih, E. Asnaryanti, dan S. H.

Riyono. 1997. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di perairan kawasan timur Indonesia. P2O-LIPI. Jakarta.

Berwick, N. L. 1983. Guidellines for the analysis of biophysical impacts to

trophical coastal marine resource. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar. Conversation in Developing Countries. Problem and Prospects. Bombay. 122p.

Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and laboratory method for general ecology.

Wm. C. Brown Pulb. Dubuque. Iowa. Chang, F. H., Y. Shimizu, B. Hay, R. Stewart, G. Mackay, dan R. Tasker. 2000.

Three recently recorded Ostreopsis spp. (Dinophyceae) in New Zealand: temporal and regional distribution in the upper North Island from 1995 to 1997. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research., 34: 29-39.

Clement, M. D. 1987. Study of production and toxicity of cultured Gambierdiscus

toxicus. BioL Bull., 172: 108-121. Delgado, G., G. Popowski, C. Garcia, N. Lagos, dan C. H. L. Devece. 2005.

Presence of DSP-toxins in Prorocentrum lima (Ehrenberg) Dodge in Cuba. Rev. Invest. Mar. 26(3):229-234.

Delgado, G., C. H. L. Deveze, G. Popowski, L. Troccoli dan C. A. Salinas. 2006.

Epiphytic dinoflagellates associated with ciguatera in the northwestern coast of Cuba. Rev. Biol. Trop., 54 (2): 299-310.

Den Hartog, C. 1970. Seagrasses of the world. North Holland Publishing

Company, London. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan

perairan. Kanisisus. Jakarta. Erftemeijer, P. L. A. 1993. Factors limiting growth and production of tropical

seagrasses : Nutrient dynamic in Indonesian seagrass beds. Tesis. Netherlands Institute of Ecology. Netherlands.

Faust, M. A. 2000. Dinoflagellate associations in a coral reef-mangrove ecosystem:

Pelican and associated Cays, Belize. Atoll Research Bulletin., 473:133-149.

Page 72: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Faust, M. A., R. W. Litaker, M. W. Vandersea, S. R. Kibler, dan P. A. Tester.

2005. Dinoflagellate diversity and abundance in two belizean coral-reef mangrove lagoons: a test of margalef’s mandala. Atoll Research Bulletin., 534:103-131.

Fukuyo, Y. 1981. Taxonomical study on benthic dinoflagellates collected in coral

reefs. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish., 47: 967-978. GEOHAB. 2001. Global ecology and oceanography of Harmful Algal Bloom.

Science Plan. P. Glibert and G. Pitcher (eds). SCOR and IOC, Baltimore and Paris. 86p.

Harlin, M. M. 1980. Seagrass epiphytes dalam Handbook of Seagrass Biology. An

Ecosystem Perspective (R. C. Phillips and C. P. Mc Roy, Eds.).. Garlad STPM Press. New York. 117-151p.

Hurbungs, M. D., N. Jayabalan dan V. Chineah. 2001. Seasonal distribution of

potentially toxic benthic dinoflagellates in the lagoon of trou aux biches, Mauritius. AMAS. Food and Agricultural Research Council, Reduit, Mauritius.

Kiswara, W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu pulau Pari, pulau-

pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia vol. 25:31-49.Pusat penelitian dan pengembangan oseanologi LIPI. Jakarta.

Kiswara, W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia, hal 54-

61. Dalam: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II, Geologi, kimia, biologi, dan ekologi. P2O-LIPI.

Kiswara, W dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta

dan teluk Gerupuk Lombok selatan, hal.15-33. Dalam: W. Kiswara, M. K. Moosa dan M Hutomo (Eds), Struktur komunitas biologi padang lamun di pantai selatan Lombok dan lingkungannya. Puslitbang Oseanologi-LIPI.

Mackentum, K. M. 1969. The practice of water pollution biology. United State

Department of Interior. Federal Water Pollution Control. Administration Division of Technical Support.

Millero, F. J., dan M. L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC press. London.

529h. Moriber, G. 1974. Environmental science. Brooklyn College. Allyn and Bacon Inc.

Boston. Nienhuis P, dan H. C. Mathieson. 1991. Ecosystems of the World : Intertidal and

Littoral Ecosystem. Elsevier, Amsterdam. Nontji, A. 2006. Tiada kehidupan di bumi tanpa keberadaan plankton. Pusat

penelitian oseanografi. LIPI. Jakarta.

Page 73: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Nybakken, J. W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Diterjemahkan

oleh M. Eidman, Koesobiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukarjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar ekologi : Alih bahasa Samingan, T. Edisi ketiga.

Universitas Gadja Mada. Yogyakarta. Parsons, T. R, M. Takahashi, dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographyc

Processes. Pergamon Press. 3rd Edition. New York-Toronto. Pescod, N. B. 1973. Invesigation of rational effluent and stream for tropical

countries. AIT. Bangkok. Praseno, D. P. dan Sugestiningsih. 2000. Retaid di Perairan Indonesia. P3O-LIPI.

Jakarta. Raymont, J. E. G. 1981. Plankton dan produktivitas bahari. Alih bahasa :

Koesoebiono. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Rhodes, L., J. Adamson, T. Suzuki, L. Briggs, dan I. Garthwaite. 2000. Ostreopsis

siamensis and Coolia monotis in New Zealand. Journal of Marine and Freshwater Research., 34: 371-383.

Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang

biota laut. Djambatan . Jakarta. Ruff, T.A. dan R.J.R. Lewis. 1994. Clinical aspects of ciguatera: An overview.

Mem. Qld. Museum, Brisbane., 35: 609–619. Sanusi, H. S. 2006. Kimia laut: proses fisik kimia dan interaksinya dengan

lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB, Bogor. Sumich, J. L. 1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. Wm. C. Brown

Publishers. USA. Susetiono. 1994. Struktur dan kelimpahan meiofauna diantara Enhalus acoroides

di Pantai Kuta Lombok Tengah Dalam: W. Kasim, M. K. Moosa dan M. Hutomo. 1994 (eds). Struktur komunitas Biologi padang lamun di Pantai Selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Proyek pengembangan kelautan /MREP dan Pusat Penelitian Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. 125p.

Sverdrup, H. U., M. W. Johnson, dan R. H. Fleming. 1972. The oceans physics,

chemistry and general biology. Modern asia Edition. Prentice-Hall Inc. New Jersey. 1087p.

Thoha, H. 1999. Struktur komunitas diatom dan dinoflagellata di perairan sekitar

pulau Pari, kepulauan Seribu. Tesis. Program Studi Biologi. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Depok.

Page 74: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, dan M. K. Moosa. 1997. The ecology of the

Indonesian Seas. The Ecology of Indonesia Series. Vol. VIII. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. 1388 p.

Vila, M., E. Garces, dan M. Maso. 2001. Epiphytic dinoflagellates in the

Mediterranean Sea. Aquat Microb Ecol., 26: 51–60. Walpole, R. E. 1992. Pengantar statistika. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh

Bambang Sumantri. PT Gramedia. Jakarta. 370 hal. Widhiasari, R. 2003. Kandungan unsur hara N dan P serta struktur komunitas

fitoplankton di perairan litoral danau Matano, Sulawesi Selatan. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor.

Yamaji, I. 1966. Illustrations of the marine plankton of Japan. Hoikusha, Osaka.

Japan. Yasumoto, T., A. Inoue, T. Ochi, K. Funmoto, Y. Oshima, Y. Fukuyo, R. Adachi,

dan R. Bagnis.1980. Environmental studies on a toxic dinoflagellate responsible for ciguatera. Bull. Jpn. Soc.Sci. Fish., 46: 1397.

Page 75: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

L A M P I R A N

Page 76: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008

Stasiun Suhu (oC) Salinitas (o/oo) Kedalaman (m) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l) Arus

pH V(m/s) α (o) 1 31 30 0,23 0,968 0,057 0,056 270 7 2 29 31 1,06 0,493 0,042 0,022 290 7,5 3 30 32 0,92 0,859 0,052 0,02 235 8

Keterangan: Stasiun 1 = kerapatan lamun jarang Stasiun 2 = kerapatan lamun sedang Stasiun 3 = kerapatan lamun rapat

Page 77: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 2. Kelimpahan dinoflagellata epibentik (ind/cm2) pada daun lamun Enhalus acoroides, di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008

Stasiun 1

No. Spesies Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah

1 Prorocentrum lima 42 40 17 0 16 20 30 8 5 3 180 2 P. rhathymum 136 64 35 23 32 0 45 16 15 4 371 3 P. concavum 10 6 0 0 8 4 0 0 10 3 41 4 P. emarginatum 0 3 0 0 0 0 15 0 0 0 18 5 P. compressum 84 9 9 0 8 8 15 8 10 0 151 6 Ostreopsis lenticularis 84 37 56 58 72 133 15 16 10 4 485 7 O. ovata 21 3 4 12 16 16 15 8 5 1 101 8 Gambierdiscus toxicus 10 0 0 0 0 0 15 0 0 1 27 9 Coolia monotis 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 6

10 Amphidinium klebsii 10 9 9 29 24 39 30 0 5 0 156 11 A.carterae 10 0 4 0 0 0 0 0 0 0 15

Jumlah 409 171 134 127 176 219 181 55 61 16 1551 Stasiun 2

No. Spesies Plot 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah

1 Prorocentrum lima 290 234 199 161 455 596 56 179 209 113 2492 2 P. rhathymum 580 234 229 195 653 698 41 188 153 184 3154 3 P. concavum 51 8 0 0 10 0 19 81 32 14 214 4 P. emarginatum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 7 5 P. compressum 154 15 40 8 0 39 7 233 80 71 647 6 Ostreopsis lenticularis 51 15 70 25 10 8 7 18 0 0 205 7 O. ovata 51 23 20 0 0 0 4 27 0 0 1248 Gambierdiscus toxicus 68 53 0 17 30 8 7 9 0 7 199 9 Coolia monotis 68 15 50 51 40 94 0 0 0 0 318

10 Amphidinium klebsii 34 8 30 8 20 16 7 9 0 7 139 11 A.carterae 85 8 0 8 0 0 15 9 8 14 147

Jumlah 1434 611 638 474 1217 1459 164 751 482 417 7647

Page 78: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 2. (Lanjutan) Stasiun 3 No. Spesies Plot

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jumlah 1 Prorocentrum lima 917 958 336 216 182 1227 139 179 157 188 4499 2 P. rhathymum 917 1286 981 924 712 2074 406 243 314 244 8101 3 P. concavum 0 0 13 0 0 21 32 64 0 75 205 4 P. emarginatum 0 0 0 60 22 0 0 0 0 0 82 5 P. compressum 67 164 65 72 65 212 75 64 146 38 967 6 Ostreopsis lenticularis 13 82 52 12 15 106 32 13 22 19 3667 O. ovata 0 0 65 0 7 42 0 13 0 19 146 8 Gambierdiscus toxicus 27 0 65 12 7 0 11 13 0 0 134 9 Coolia monotis 108 137 116 48 44 0 0 0 0 0 453 10 Amphidinium klebsii 0 0 26 12 7 21 11 0 0 0 77 11 A.carterae 0 0 65 48 44 63 11 0 0 0 230 Jumlah 2051 2627 1782 1404 1104 3767 717 589 638 582 15259

Page 79: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 3. Genus dan kelimpahan fitoplankton (ind/l) di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008

No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Jumlah

total Rata-rata

total 1 2 3 Jumlah Rata-rata 1 2 3 Jumlah Rata-rata 1 2 3 Jumlah Rata-rata Bacillariophyceae

1 Cocconeis 12 6 6 24 8 18 18 120 156 52 120 120 144 384 128 564 188

2 Fragilaria 0 0 0 0 0 72 72 18 162 54 24 36 18 78 26 240 80

3 Nitzschia 576 744 396 1716 572 432 1230 1488 3150 1050 3420 1650 1320 6390 2130 11256 3752

4 Rhizosolenia 0 0 6 6 2 18 60 0 78 26 48 72 6 126 42 210 70

5 Coscinodiscus 6 6 6 18 6 288 1686 960 2934 978 1200 228 306 1734 578 4686 1562

6 Surirella 0 0 6 6 2 0 0 6 6 2 6 18 0 24 8 36 12

7 Amphora 48 234 60 342 114 30 324 210 564 188 954 84 102 1140 380 2046 682

8 Amphiprora 0 0 6 6 2 6 18 60 84 28 18 0 6 24 8 114 38

9 Thalassiothrix 12 24 12 48 16 18 6 0 24 8 54 48 6 108 36 180 60

10 Thalassiosira 0 0 6 6 2 0 54 6 60 20 54 24 12 90 30 156 52

11 Navicula 60 54 48 162 54 18 48 192 258 86 150 102 168 420 140 840 280

12 Diatoma 6 36 0 42 14 0 0 0 0 0 108 360 12 480 160 522 174

13 Rhabdonema 0 6 0 6 2 0 24 42 66 22 54 72 12 138 46 210 70

14 Pinnularia 0 0 0 0 0 0 0 60 60 20 0 6 18 24 8 84 28

15 Melosira 6 24 12 42 14 18 0 0 18 6 0 36 6 42 14 102 34

16 Pleurosigma 6 0 0 6 2 12 6 36 54 18 12 42 0 54 18 114 38

17 Spirulina 6 12 0 18 6 0 18 18 36 12 30 24 0 54 18 108 36

18 Leptocylindrus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 6 18 6 18 6

19 Skeletonema 18 6 0 24 8 0 24 6 30 10 42 30 12 84 28 138 46

20 Licmophora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 6 2 6 2

21 Bacillaria 0 0 0 0 0 0 12 12 24 8 6 6 6 18 6 42 14

22 Climacosphenia 6 18 0 24 8 60 0 0 60 20 0 48 12 60 20 144 48

23 Hemidiscus 6 0 0 6 2 0 0 12 12 4 0 24 12 36 12 54 18

24 Guinardia 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 6 12 4 12 4

Page 80: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

No Genus

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Jumlah total

Rata-rata total 1 2 3 Jumlah Rata-rata 1 2 3 Jumlah Rata-rata 1 2 3 Jumlah Rata-rata

25 Cymbella 6 72 0 78 26 0 12 18 30 10 0 24 0 24 8 132 44 26 Grammatophora 0 0 6 6 2 0 6 24 30 10 0 6 18 24 8 60 20 27 Gomphonema 0 0 0 0 0 6 0 0 6 2 0 0 0 0 0 6 2 28 Isthmia 0 6 0 6 2 42 0 0 42 14 48 0 0 48 16 96 32 29 Diploneis 0 12 0 12 4 18 0 6 24 8 18 0 6 24 8 60 20 30 Triceratium 6 6 0 12 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 4 31 Striatella 0 6 0 6 2 0 0 6 6 2 0 0 0 0 0 12 4 32 Stephanopyxis 0 0 6 6 2 6 0 12 18 6 0 6 6 12 4 36 12 33 Streptotheca 0 0 6 6 2 0 0 0 0 0 6 0 0 6 2 12 4 34 Synedra 0 0 0 0 0 30 0 0 30 10 24 0 6 30 10 60 20 35 Chaetoceros 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 6 2 6 2

Cyanophyceae

1 Trichodesmium 30 48 18 96 32 198 96 36 330 110 18 48 66 132 44 558 186

Dinophyceae 1 Protoperidinium 42 18 60 120 40 90 0 54 144 48 162 6 18 186 62 450 150 2 Peridinium 0 0 0 0 0 12 48 12 72 24 18 12 0 30 10 102 34 3 Gymnodinium 0 0 0 0 0 0 18 0 18 6 0 6 0 6 2 24 8 4 Alexandrium 0 0 36 36 12 6 48 108 162 54 78 0 0 78 26 276 92 5 Prorocentrum 60 0 0 60 20 6 0 42 48 16 54 18 96 168 56 276 92 6 Gonyaulax 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 0 0 36 12 36 12 7 Pyrocystis 0 0 0 0 0 6 0 0 6 2 0 0 0 0 0 6 2 8 Dinophysis 0 0 0 0 0 18 0 0 18 6 0 0 0 0 0 18 6

Jumlah 912 1338 696 2946 982 1428 3828 3564 8820 2940 6762 3186 2406 12354 4118 24120 8040

Page 81: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 4. Jumlah tegakan (individu) lamun Enhalus acoroides di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008

Plot Jumlah tegakan (ind)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 7 16 23 2 4 11 27 3 4 16 26 4 4 14 24 5 7 18 24 6 5 20 25 7 10 8 22 8 9 15 28 9 7 17 23 10 3 18 30

Page 82: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 5. Data pengukuran panjang, lebar, dan luas permukaan daun Enhalus acoroides

Stasiun 1 (jarang) Plot Daun Panjang (cm) Lebar (cm) Luas daun (cm2)

(dua sisi)

1

1 6 1,76 21,12 2 37 1,44 106,56 3 33 1,59 104,94 4 32 1,37 87,68

2

1 6 1,98 23,76 2 9,3 1,83 34,04 3 42,8 1,76 150,66 4 51,5 1,61 165,83 5 51,4 1,59 163,45 6 33,5 1,37 91,79

3

1 2,9 1,11 6,44 2 15,9 1,11 35,30 3 15 1,59 47,70 4 14,3 1,37 39,18 5 37,8 1,59 120,20 6 49,3 1,44 141,98 7 19 1,37 52,06

4

1 3,3 1,59 10,49 2 13,3 1,2 31,92 3 23,6 1,44 67,97 4 30 1,37 82,20 5 43,2 1,22 105,41 6 14,8 1,15 34,04

5

1 2,8 1,83 10,25 2 45,7 1,83 167,26 3 41,7 1,61 134,27 4 33,9 1,59 107,80

6

1 3,5 1,98 13,86 2 5,4 1,98 21,38 3 14,1 1,83 51,61 4 55,3 1,76 194,66 5 61,4 1,61 197,71 6 38,3 1,44 110,30 7 8,4 1,37 23,02

7 1 25,6 1,61 82,43 2 32 1,76 112,64 3 33,5 1,83 122,61

8

1 13,4 1,44 38,59 2 41,6 1,61 133,95 3 43,1 1,83 157,75 4 41,4 1,98 163,94 5 14,4 1,98 57,02

9

1 14,9 1,59 47,38 2 35,6 1,11 79,03 3 46 1,83 168,36 4 46,4 1,98 183,74 5 33,7 2,05 138,17 6 7,5 2,22 33,30 7 2,3 2,37 10,90

10

1 21,2 1,59 67,42 2 51 1,76 179,52 3 64,8 1,83 237,17 4 66,4 1,98 262,94 5 53 1,98 209,88 6 20,4 2,11 86,09 7 5,5 2,05 22,55

Page 83: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 5. (Lanjutan)

Stasiun 2 (sedang) Plot Daun Panjang (cm) Lebar (cm) Luas daun (cm2)

(dua sisi)

1

1 21,9 1,61 705,18 2 58 1,61 1867,60 3 50,6 1,59 1609,08 4 11,6 1,37 317,84

2

1 4,2 1,76 147,84 2 8,9 1,76 313,28 3 28,6 1,61 920,924 74,4 1,59 2365,92 5 69,2 1,44 1992,96 6 51,7 1,22 1261,48

3

1 8,9 1,98 352,44 2 25 1,76 880,00 3 72,5 1,61 2334,50 4 77,5 1,59 2464,50 5 56,6 1,44 1630,08 6 2 1,05 42,00

4

1 4 2,05 164,00 2 34,3 1,98 1358,28 3 80 1,83 2928,00 4 69,5 1,76 2446,40 5 32,9 1,59 1046,22

5

1 8,9 1,83 325,74 2 13,6 1,83 497,76 3 74,9 1,61 2411,78 4 89,2 1,76 3139,84 5 66,9 1,59 2127,42 6 8,5 1,37 232,90

6

1 8 2,05 328,00 2 13,5 2,05 553,50 3 62 1,98 2455,20 4 91 1,76 3203,20 5 85,6 1,76 3013,12 6 65,5 1,59 2082,90 7 20,9 1,44 601,92

7

1 6 2,11 253,20 2 50 1,98 1980,00 3 57,2 1,76 2013,44 4 77,4 1,91 2956,68 5 74,3 1,72 2555,92 6 13 2 520,00

8

1 11,9 1,65 392,70 2 42,3 1,76 1488,96 3 68 1,83 2488,80 4 58,5 1,98 2316,60 5 28 1,83 1024,80 6 8,7 1,94 337,56

9

1 32,2 2,05 1320,20 2 61 2,22 2708,40 3 76 2,22 3374,40 4 52,5 2,37 2488,50 5 5,5 2,44 268,40

10

1 2,5 1,25 62,50 2 50 1,65 1650,00 3 83,6 1,91 3193,52 4 83,9 1,92 3221,76 5 60,5 2,02 2444,20 6 26,5 2,12 1123,60 7 11,2 2,32 519,68

Page 84: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 5. (Lanjutan) Stasiun 3 (rapat)

Plot Daun Panjang (cm) Lebar (cm) Luas daun (cm2) (dua sisi)

1

1 2,2 1,83 80,522 59,1 1,61 1903,02 3 86 1,61 2769,20 4 81,4 1,59 2588,52 5 30,7 1,37 841,18

2

1 3,9 1,61 125,58 2 8 1,61 257,60 3 37,7 1,59 1198,86 4 59,9 1,44 1725,12 5 50,5 1,37 1383,70 6 1,9 1,2 45,60

3

1 4,1 2,37 194,34 2 18 2,05 738,00 3 56,3 2,05 2308,30 4 70,5 2,05 2890,50 5 66 1,83 2415,60 6 31,8 1,76 1119,36

4

1 7,6 1,83 278,16 2 72,3 1,76 2544,96 3 91,4 1,76 3217,284 82,3 1,61 2650,06 5 31,6 1,44 910,08

5

1 2,4 2,22 106,56 2 9,5 2,22 421,80 3 40,8 2,15 1754,40 4 86,7 2,15 3728,10 5 98,5 2,05 4038,50 6 95,5 1,98 3781,80 7 54,7 1,86 2034,84

6

1 2,6 1,83 95,16 2 51,5 1,61 1658,303 56,5 1,44 1627,20 4 65,3 1,59 2076,54 5 7,8 1,37 213,72

7

1 33,1 1,76 1165,12 2 63 1,98 2494,80 3 72,7 1,98 2878,92 4 51 1,98 2019,60 5 25 2,05 1025,00 6 6,5 2,22 288,60

8

1 31,4 2,05 1287,40 2 67,6 2,22 3001,44 3 78 2,22 3463,20 4 55,5 2,22 2464,20 5 5,9 2,37 279,66

9

1 14,7 1,26 370,44 2 56,8 1,83 2078,88 3 80 1,98 3168,00 4 68,4 2,05 2804,40 5 30,3 2,05 1242,30 6 4,4 2,22 195,36

10

1 38,4 1,59 1221,12 2 59,4 1,76 2090,88 3 67 1,76 2358,40 4 44 1,76 1548,80 5 8,2 1,83 300,12 6 3,8 1,98 150,48

Page 85: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

L

P

P

P

Lampiran 6

ProrocentruSumber : do

ProrocentruSumber : do

ProrocentruSumber : do

6. Contoh gaekosistem

um rhathymuokumentasi p

um lima okumentasi p

um emarginaokumentasi p

ambar spesm lamun Pul

um pribadi

pribadi

atum pribadi

ies dinoflaglau Pari

Pro Sum

Pro Sum

Ga Sum

gellata epibe

orocentrum mber : doku

orocentrum mber : doku

ambierdiscusmber : doku

entik yang d

concavum umentasi prib

compressumumentasi prib

s toxicus umentasi prib

ditemukan d

badi

m badi

badi

di

Page 86: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

L

Lampiran 6

OstreopsSumber

AmphidiSumber

Coolia m http://di

6. (Lanjutan

sis ovata : dokumenta

inium carter: dokumenta

monotis inos.anesc.ut

n)

asi pribadi

rae asi pribadi

tokyo.ac.jp/p

A

plankton/des

Ostreopsis lSumber : do

Amphidiniumhttp://dinos.

plankt

scription

lenticularis okumentasi p

m klebsii anesc.utokyton/descripti

pribadi

yo.ac.jp/ ion

Page 87: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 7. Contoh gambar fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari

Cocconeis sp. Coscinodiscus sp. Climacosphenia sp. Sumber : dokumentasi Sumber : dokumentasi Sumber : dokumentasi pribadi pribadi pribadi

Nitzschia sp. Diatoma sp. Navicula sp. Sumber : dokumentasi Sumber : dokumentasi Sumber : dokumentasi pribadi pribadi pribadi

Rhabdonema sp. Bacillaria sp. Skeletonema sp. Sumber : dokumentasi Sumber : dokumentasi pribadi

pribadi http://starcentral.mbl.edu/ microscope/portal.php

Page 88: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

L

Lampiran 7

Rhizhttp:micr

Licmhttp:

labs/

Prot http: toky

7. (Lanjutan

zosolenia sp.//starcentral

roscope/porta

mophora sp. //www.serc./phytoplankt

toperidinium://dinos.anes

yo.ac.jp

n)

. St

.mbl.edu/ htal.php m

Am.si.edu/ httton/guide la

m sp. Dsc.u-

triatella sp.ttp://starcent

microscope/p

mphiprora sptp://www.se

abs/phytoplan

Dinophysis shttp://dinos.tokyo.ac.jp

tral.mbl.edu/ortal.php

p. erc.si.edu/ nkton/guide

sp. .anesc.u-

Diploneis/ http://www edu/labs/ph plankton/g

Amphora http://www labs/phyto

Gonyaulax http://dinos tokyo.ac.jp

s sp. w.serc.si. hyto-

guide

sp. w.serc.si.eduoplankton/gu

sp. s.anesc.u- p

u/ uide

Page 89: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 8. Gambar lamun Enhalus acoroides

(a) Morfologi Enhalus acoroides Sumber : dokumentasi pribadi

(b) Enhalus acoroides dalam transek kuadrat 50x50 cm2 Sumber : dokumentasi pribadi

Page 90: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

Lampiran 9. Deskripsi spesies dinoflagellata epibentik (Fukuyo, 1981) 1. Prorocentrum lima

Panjang tubuh berkisar 30-40 µm dan lebar 26-30 µm. Bentuk tubuh ovoidal.

Batas tepi anterior berbentuk datar atau membentuk konkaf tanpa duri. Tubuhnya

terdiri dari dari dua katup yang berbeda bentuk dan berada di dekat lubang flagellar

dan delapan plat panjang. Kedua katup memiliki banyak pori trichocyst. Pirenoid

yang besar berada di bawah katup.

2. Prorocentrum rhathymum

Panjang tubuh berkisar 38-40 µm dan lebar 22-25 µm. Mempunyai satu duri kecil

anterior dengan sayap yang kecil berada di dekat rongga konkaf dan panjangnya

sekitar 2-3 µm. Tubuhnya berbentuk oval tampak dalam dan berbentuk ellipsoid

menuju oval jika tampak samping. Sudut anterior margin dan konkaf di bagian

tengah. Tubuhnya tertutup oleh dua katup besar dan tujuh atau delapan plat kecil yang

membentuk pori flagellar. Kedua katup memiliki banyak pori trichocyst. Selnya

memiliki nukleus pada setengah posterior.

3. Prorocentrum emarginatum

Panjang tubuh berkisar 35-36 µm dan lebar 32 µm. Sebuah duri yang kuat dengan

panjang 2 µm, tampak di belakang pada setengah bagian dari puncak sampai bawah

depresi. Badannya secara umum bisa dikatakan ovoidal jika tampak katup dan elips

jika tampak samping. Badannya tertutup oleh dua katup dan beberapa plat. Kedua

katup tersebut memiliki banyak pori trichocyst yang terletak secara radial dari tengah

dan tegak lurus ke margin katup. Kadang-kadang barisan dari pori tersebut tersusun

zig-zag atau membentuk 2 garis. Pada beberapa spesimen terdapat banyak depresi.

4. Prorocentrum concavum

Panjang tubuh berkisar 44-45 µm dan lebar 40 µm. Badan berbentuk ovoidal

tampak katup dan melebar di belakang bagian tengah. Margin anterior berbentuk

konkaf dari kedua sisi. Tidak ada duri. Tubuhnya tertutup oleh dua katup besar dan

delapan plat panjang yang membentuk dua pori. Kedua katup tersebut memiliki

depresi yang halus yang menutupi seluruh permukaan. Banyak pori trichocyst

menyebar di seluruh permukaan katup kecuali pada bagian tengah tetapi lebih padat

pada bagian margin. Dua pirenoid berbentuk kap berada pada tengah anterior dan

berada di bawah katup.

Page 91: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

5. Prorocentrum compressum

Panjang tubuh berkisar 30-50 µm dan lebar 25-30 µm. Badan berbentuk oval

tampak katup dan berbentuk compress (mampat) jika tampak samping. Periflagellar

mempuyai lima karakteristik penonjolan anterior, dengan perluasan pada lempeng

periflagellar, seperti kerah (poros). Katup ditutupi oleh barisan pori datar yang

menyebar di sekitar depresi.

6. Ostreopsis lenticularis

Panjang tubuh dorsoventral berdiameter 60-100 µm dan transdiameter 45-80 µm.

Badannya lenticular, mengarah ke bawah dan berbentuk antero-posterior mampat

tanpa duri atau tanduk. Katup atas dan bawah hampir sama tingginya. Cingulum

terletak di bagian tengah badan. Semua plat thecal memiliki pori trichocyst dan

tambahan plat panjang yang tersebar. Badannya berisi kromatofor kecuali paruh

bawah (transparan). Nukleus yang besar dan beberapa vakuola besar merah terletak

pada bagian dorsal badan.

7. Ostreopsis ovata

Panjang tubuh dorsoventral berdiameter 50-56 µm dan transdiameter 25-35 µm.

Badannya oval dan langsing tanpa duri dan tanduk. Cingulum sempit dan dalam.

Panjang badan dan transdiameter hampir sama. Diameter dorsoventral hampir 2 kali

lebih besar dari transdiameter. Semua thecal mempunyai pori panjang yang sangat

lembut dan jika dilihat pada perbesaran rendah tampak seperti titik yang tersebar

secara jarang. Mempunyai kromatofor. Beberapa individu mempunyai vakuola

pigmen merah pada bagian dorsal dari badan.

8. Gambierdiscus toxicus

Panjang tubuh berukuran 24-60 µm, dengan transdiameter 42-140 µm dan

diameter dorsoventral 45-150 µm. Badannya membundar dan elpsoidal jika tampak

apical, mampat secara antero-posterior. Cingulumnya dalam, sempit dan menaik.

Kedua ujungnya masuk ke dalam rongga sulcus. Plat thecal memiliki banyak pori.

Mempunyai banyak kromatofor dan satu vakuola besar. Nucleus terletak di dorsal.

9. Coolia monotis

Panjang tubuh berukuran 23-40 µm, dengan transdiameter 21-38 µm dan diameter

dorsoventral 21-40µm. Badan kecil dan berbentuk seperti lensa. Apex mengarah ke

Page 92: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

belakang, dan antapex dekat dengan daerah ventral. Epiteca agak sedikit lebih rendah

dari hipoteka. Cingulum dalam dan sempit, menaik oleh lebarnya tanpa menjalar.

Sulcusnya sempit, tertutupi oleh sayap yang keluar dari kedua sisinya. mempunyai

banyak kromatofor. Plat tecal tebal dan menghasilkan pori-pori kecil yang tersebar

jarang di seluruh permukaan tubuh.

10. Amphidinium carterae

Panjang tubuh berkisar 15-20 µm dan lebar 10-12 µm. Badannya mampat

dorsoventral, oval jika tampak katup, dan berbentuk elips jika tampak lateral.

Memiliki epicone kecil, berbentuk bulan sabit jika tampak bawah, kuat pada bagian

dasar dan datar pada bagian apex. Hipocone berbentuk ovoidal, dan mengkerucut

pada bagian anterior. Tubuhnya mengandung kromatofor besar berwarna kuning

keemasan, yang terletak di bawah periphery. Memiliki pirenoid di dekat persilangan

antara sulcus dan pelingkupnya. Nukleus terletak di antara pirenoid dan bagian

posterior dari hipocone.

11. Amphidinium klebsii

Panjang tubuh berkisar 25-53 µm dan lebar 13-32 µm. Badannya pipih

dorsoventral. Berbentuk ellipsoid sampai kuadrangular jika tampak bawah. Epicone

kecil, berbentuk bulan sabit jika tampak bawah/ventral, ramping pada bagian bawah

dan menggembung pada bagian apex. Pada bagian tengah anterior dari hipocone

terdapat partikel kecil yang tidak berwarna. Mempunyai kromatofor berwarna coklat

berbentuk batang yang meluas sampai ke periphery. Nukleus terletak pada bagian

setengah posterior pada hipocone.

Page 93: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 30

Mei 1986. Penulis merupakan anak ke-empat dari empat

bersaudara, dari pasangan Drs. Ruslan Sukendro dan Susminiati,

S.Pd.

Lulus dari SMU Negeri 2 Lamongan pada tahun 2004,

penulis langsung melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu

Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan

Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai pengurus Divisi Pengembangan Sumber Daya

Manusia tahun 2005-2006 dan pengurus Divisi Kewirausahaan tahun 2006-2007. Penulis

juga aktif sebagai Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia tahun 2007-2008. Selain itu

penulis juga ikut aktif dalam Paduan Suara Fakultas, ‘Endevour’ tahun 2005-2007.

Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Kelimpahan

Dinoflagellata Epibentik pada Lamun Enhalus acoroides (L.F)

Royle dalam Kaitannya dengan Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem

Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta”, di bawah bimbingan Dr. Ir.

Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc.