kelembagaan

20
EKONOMI KELEMBAGAAN PARADIGMA EKONOMI KELEMBAGAAN KELOMPOK : Bangun Putra Agung (1206105019) Yuusufa Ramanda Indra Asmara (1206105022) Nicho Wahyu Utomo (1206105025) FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA

Upload: niiwuu

Post on 09-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

institusional economic

TRANSCRIPT

EKONOMI KELEMBAGAAN

PARADIGMA EKONOMI KELEMBAGAAN

KELOMPOK :

Bangun Putra Agung

(1206105019)

Yuusufa Ramanda Indra Asmara

(1206105022)Nicho Wahyu Utomo

(1206105025)FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2015

BAB IPENDAHULUAN

Pada kesempatan ini akan coba dipaparkan secara detail paradigma yang melatari berdirinya aliran ekonomi kelembagaan. Hal penting yang harus diingat, teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Jadi, pada aras ini, teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial, yakni sejak awal harus disadari bahwa ilmu sosial memiliki 2 dimensi yang harus dipahami secara kritis. Pertama, jika berkaitan dengan (persoalan) negara, ilmu sosial tidak hanya memiliki daya penjelas atau kapasitas interpretatif, tetapi juga berpotensi melegitimasi dan mendelegitimasi. Kedua, bila bersinggungan dengan (urusan) masyarakat, maka ilmu sosial tidak berbicara tentang legitimasi dan delegitimasi, melainkan tentang ilmu-ilmu sosial instrumental dan ilmu-ilmu sosial kritis. Ilmu-ilmu sosial sosial instrumental bisa dimaknai sebagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang bertujuan akhir pada tindakan, yaitu pada dominasi masyarakat. Sedangkan ilmu-ilmu sosial kritis memiliki tujuan akhir pada emansipasi masyarakat. Emansipasi ini bertolak dari dalam, dengan memerdekakan kesadaran dari keadaannya yang tidak reflektif (Kleden, 1997:27-28). Dengan pijakan ini, setidaknya ilmu sosial mengusung satu pesan penting: tidak ada kebenaran tunggal.BAB IIPEMBAHASAN

II.1 PERILAKU TEKNOLOGIS DAN IDEOLOGIS

Analisis ilmu ekonomi bisa dibagi dalam empat cakupan: Alokasi sumberdaya Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan produksi dan harga. Distribusi pendapatan. Struktur kekuasaan. Menurut Veblen, kelembagaan adalah kumpulan norma dan kondisi-kondisi ideal yang direprodiksi secara kurang sempurna melalui kebiasaan pada masing-masing generasi individu berikutnya. Dengan demikian, kelembagaan berperan sebagai stimulus dan petunjuk terhadap perilaku individu. Para ahli kelembagaan berpendapat bahwa rentang alternative manusia ditentukan melalui struktur kelembagaan atau konteks dimana mereka lahir, yakni ruang untuk memulai analisis dengan melihat struktur kelembagaan.Ahli kelembagaan berusaha membuat model-model pola yang menjelaskan perilaku manusia dengan menempatkannya secara cermat dalam konteks kelembagaandan budaya. Model prediktif menjelaskan perilaku manusia dengan menyatakan secara cermat asumsi-asumsi dan menarik kesimpulan implikasi dari asumsi tersebut.dalam ekonomi Neoklasik,prediksi adalah pengambilan keputusan secara logis dari postulat atau asumsi mendasaryang telah dibuat. Jika prediksi secara logis diperoleh dari sebuah asumsi , maka ramalan biasanya secara statistic berasal dari model yang strukturnya berusaha menangkap hubungan ekonomi secara nyata.Ide inti dari paham kelembagaan adalah mengenai kelembagaan, kebiasaan, aturan dan perkembangannya. Pendekatan ahli kelembagaan bergerak dari ide-ide umum mengenai perilaku manusia, kelembagaan dan perkembangan sifat dari proses ekonomi menuju ide-ide dan teori-teori khusus yang berkaitan dengan kelembagaan ekonomi yang spesifik. Ekonomi kelembagaan bersifat evolusioner, kolektif, interdisipliner dan nonprediktif. Jdi dalam hal ini dunia nyata dianggap merupakan pertarungan kepentingan yang hasilnya sulit untuk dapat digeneralisasi.Aliran Veblen membedakan antara perilaku teknologis dan kelembagaan sebagai titik awal untuk menerangkan kontribusi teoritis dari aliran kelembagaan. Pikiran dan tindakan teknologis atau instrumental meliputi penjelasan dari sebab ke akibat. Tindakan ini adalah tindakan yang bukan bersifat kekerasan/paksaan dan menjadi pokok dari verifikasi empiris tentang kemampuanya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, perilaku kelembagaan dan seremonial dibengkokkan dengan pertimbangan-pertimbangan peringkat dan status. Perilaku ini dilakukan dengan tekanan social dan diservikasi melalui kewenangan yang ada. Aktivitas yang bersifat instrymental yakni upaya untuk menghentikan pemahaman keilmuan/keilmiahan, merupakan kekuatan dinamis dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya, kelembagaan adalah kebiasaan umum dari system status di masyarakat, seperti kelaziman, hokum, politik, agama, dan moralitas.Setiap analisis kelembagaan diminta untuk hati-hati dalam merumuskan perilaku. Perilaku yang mendasar pada akar tindakan manusia dalam struktur kelembagaan (norma, pekerjaan, peraturan-peraturan, pemanfaatan, dan keinginan) ketimbang ketimbang keinginan individual yang banyak dianggap tidak asli atau tidak bisa dipercaya karena sifat subjektif dan introspektifnya. Behaviorisme memahami keinginan individu , bila harus digunakan dalam analisis, sebagai suatu keinginan yang muncul dari kelembagaan budaya dimana individu tersebut lahir. Jadi individu tidak berdiri sendiri, tetapi beralas dari struktur social.Individu secara terbatas mengarah pada transaksi hukum dan kesepakatan. Dalam hal ini, Commons mendeskripsikan kepemilikan pribadi bukan sebagai kondisi alamiah (natural condition) tetapi lebih sebagai perkembangan diluar kondisi-kondisi historis dan menjadi subjek dari control manusia. Pemapanan hak-hak kepemilikan akan memberikan hak penggunaan dan kekuasaan didalam proses pertukaran, yang semakin meningkat dengan kian kencangnya proses industrialiasasi dan transaksi-transaksi diantara kelompok-kelompok yang berkompetisi.Dengan demikian oleh ahli kelembagaan, pasar tidak dilihat sebagai mekanisme yang netral untuk melakukan alokasi yang efisien dan kesederajatan distribusi. Namun, para ahli kelembagaan meliahat pasar sebagai mekanisme yang bias dari banyak hal. Dalam hal ini, pasar dianggap sebagai refleksi dari eksistensi kekuasaan; sehingga pasar tidak hanya mengontrol, tetapi juga dikontrol.II.2 REALITAS DAN EVOLUSIFilsafat kontemporer tentang ilmu pengetahuan telah digunakan untuk memahami metodologi ahli kelembagaan dan bagaimana kelembagaan ini berbeda dari ekonomi konvensional. Tentu saja, dalam perspektif ini,tugas utama ekonom modern adalah untuk memahami, menginterprestasikan, dan menjelaskan kenyataan yang ada di sekitarnya, Tetapi, tujuan utama ini seringkali memunculkan pertayaan, bagaimana proses penjelasan tersebut telah menjadi sumber kontroversi yang besar. Pada intinya adalah isu bahwa ilmu pengetahuan modern dibedakan hanya pada sisi persoalan subjek(subject matter), bukan dalam metode. Mazhab formal(formalism), yang meliputi positivisme logis dan rasionalisme, termasuk dalam kubu yang mempunyai pandangan seperti itu,sehingga sebagian besar ekonomi konvensional masuk kedalam kategori ini. Sebaliknya, aliran Holistik(Holisme), termasuk model-model pola dan cerita, mengungkapkan keyakinan bahwa perubahan subjek juga sekaligus memerlukan perubahan metode. Ekonomi kelembagaan, ekonomi politik radikal,dan marxisme masuk ke dalam kategori ini(Wilber dan Harrison,1988:96). Dengan kategorisasi ini, metode dalam tradisi ekonomi kelembagaan merupakan hal yang sama pentingnya dengan subjek itu sendiri. Bahkan,seringkali, subjek merupakan satu kesatuan dengan metode itu sendiri.Selanjutnya, subjek dan metode tersebut juga berkaitan dengan data. Robert Heilbroner menyatakan bahwa bentuk data ekonomi tertentu adalah tidak stabil. Dia mengklasifikasikan data ekonomi kedalam dua kategori berbeda, pertama, data berhubungan dengan the physical nature of the production process, sedangkan yang kedua, data yang berhubungan dengan the behavioral response to economic stimuli. Heilbroner kemudian menyatakan bahwa meskipun data prilaku cenderung menunjukkan tingkat stabilitas jangka panjang yang tinggi karena pengaruh kebiasaan,adapt,tradisi,dan pemanfaatan masyarakat,data teknis seperti fungsi produksi jangka panjang adalah sangat tidak stabil dan tidak mungkin untuk memprediksi dengan tingkat keakuratan yang memadai. Konsekuensinya, ketidakstabilan data ekonomi tersebut membuat generalisasi menjadi sangat problematis dan membatasi kemampuan para ahli ekonomi untuk memprediksi dengan baik (Wilber dan Harrison,1988:101). Oleh karena itu, prediksi dalam pendekatan ekonomi kelembagaan menempati prioritas buntut, karena yang dipentingkan adalah kemampuannya menangkap dinamika realitas social dan objek yang dikaji.Di lain pihak, seperti yang ditunjukkan oleh Wilber dan Harrison (1988:105), pada sebagian besar tingkatan analisis ekonomi kelembagaan dapat ditandai dengan adanya cara pandang yang holistic,sistematis dan evolusioner. Realitas social dilihat lebih dari sekedar seperangkat relasi-relasi yang spesifik, dimana relitas social dipahami sebagai proses perubahan yang inheren dalam kelembagaan social, yang kemudian disebut sebagai system ekonomi. Dalam pengertian ini, proses perubahan social tidaklah murni mekanis. Proses perubahan merupakan produk dari tindakan manusia, tetapi tindakan yang dibentuk dan terbatas oleh masyarakat tersebut hanya terjadi dalam konteks dimana tindakan tersebut berlangsung. Dengan demikian, aliran kelembagaan(institutionalism) bersifat holistic(menyeluruh) karena memfokuskan pada pola hubungan diantara bagian-bagian keseluruhan. Hal ini juga sekaligus merupakan tindakan yang evolusioner karena perubahan-perubahan didalam pola hubungan dilihat sebagai esensi dari relitas social. Pada tingkat yang lebih kongkrit, ekonomi kelembagaan memberi apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan dan konflik dalam proses ekonomi. Dengan dasar inilah, ekonomi kelembagaan meletakkan aspek social,budaya,hukum,politik dan lain-lain ebagai satu kesatuan unit analisis yang tidak dapat dipisahkan.Pandangan ini tidak berarti untuk menjustifikasi adanya perbedaan yang luas antara realitas ekonomi dan model-model ekonomi yang sekarang digunakan untuk memawakili proses ekonomi secara teoritis. Sebabnya sederhana, proses ekonomi tidak pernah terisolasi. Proses ekonomi tidak bisa berlangsung tanpa adanya perubahan terus-menerus dengan mengubah lingkungan secara kumulatif, dan sebaliknya tidak dipengaruhi oleh perubahan tersebut. Ringkasnya, proses ekonomi dapat dipahami dan harus disajikan dengan tujuan anlitis sebagai system yang terbuka secara radikal, dimana energi perubahan dan hal-hal yang terkait dengan lingkungan dalam bidang perubahan kualitatif terjadi, baik berkenaan dengan lingkungan dan proses itu sendiri.singkatnya proses sosio-ekonomi bergerak dengan arah yang pasti dan tujuan itu perlu ditetapkan(Kapp,1988a:80-82). Bila proses ekonomi tersebut dibatasi sekedar sebagai pertukaran motif laba antar pelakunya, maka anlisis ekonomi akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh penjelasan motif-motif non-ekonomi yang seringkali menjadi basis dari pertukaran ekonomi itu sendiri.Pada level motivasi. Ekonomi kelembagaan telah mengenal pentingnya prilaku manusia nonrasioanal (nonrational human behavior) dalam pembuatan keputusan ekonomi. Prilaku haus kepada kekuasaan dan petualangan, rasa kemerdekaan, sifat mementingkan orang lain, keingintahuan,adat dan kebiasaan semuanya bisa menjadi motivasi yang kuat dari prilaku ekonomi individu. Lewat pijakan inilah ahli kelembagaan sangat kritis terhadap asumsi ekonomi neoklasik. Sifat-sifat institutionalisme, yaitu holistic, sistematik, evolutif, yang dikombinasikan dengan apresiasi terhadap sentralisasi kekuasaan, konflik, dan pengenalan pentingnya prilaku manusia nonrasional; telah membedakan aliran ekonomi kelembagaan dengan ekonomi konvensional. Pada titik ini model-model formal dianggap tidak dapat menangani rentang variabilitas, spesifisitas kelembagaan, dan non-generalisasi prilaku individu(Wilber dan Harrison, 1988:106). Keluhan inilah yang menjadi titik pijak pendekatan ekonomi kelembagaan untuk mengembangkan sebuah pandangan baru, yang menyakini bahwa individu atau kelompok bergerak tidak hanya dengan motif tunggal: laba (ekonomi). Sebaliknya, individu atau kelompok merupakan entitas yang memiliki multiekspektasi dan hal itu menjadi dasar bagi mereka untuk mengambil keputusan.Semuanya itu kemudian dirangkum oleh Rutherford (1994:52), yang mempercayai bahwa tindakan individu/kelompok dipengaruhi oleh kedua factor tersebut, yakni rasionalitas dan norma (nonrational). Dalam pendekatan NIE, aturan-aturan (rules) yang dibuat diharapkan bisa membantu individu untuk bertindak secara rasional. Namun, sebaliknya bisa pula aturan-aturan tersebut mengikuti tindakan-tindakan yang rasional yang dilakukan individu. Dalam posisi seperti ini, terdapat jalur untuk membuat kompromi. Alternatifnya, sebagian dari aturan main tersebut tidak harus bisa dijelaskan secara rasional, sehingga tindakan individu dapat dilihat dari kemungkinan tersebut: rasional dan non-rasional. Pada titik ini, masalah yang muncul bukan pada pemilihan satu model terhadap model lain, melainkan memahami bagaimana rasionalitas dan aturan tersebut bisa saling berhubungan: apakah masing-masing berjalan sendiri ataukah dikombinasikan. Meminjam istilah Elster (dalm Rutherford,1994:52) pencapaian tersebut dalam banyak hal merupakan hasil kompromi diantara dua hal diatas: kadang-kadang tindakan rasional menghalangi norma social, dan seringkali pula norma social merintangi keputusan rasional. Tetapi apapun hasilnya, memang tidaklah mungkin merangkum sekian banyak kemungkinan motif yang saling berpilin-pindan dari setiap individu atau kelompok hanya dengan variabel tunggal, yang dalam hal ini disebut sebagai tindakan rasional (motif ekonomi). Miyrdal (dalam Kapp, 1998b:75-78) dan yang lain telah menunjukkan dimensi dan kompleksitas yang beanr tentang, misalnya, masalah kemiskinan/keterbelakangan dalam hubungannya dengan kelembagaan, negara lunak (soft state), isu mendasar mengenai hubungan antara manusia dan lahan yang meliputi hubungan penguasaan lahan, relasi antara sumberdaya dan populasi, kemampuan baca tulis, tingkat dan substansi pendidikan rendah, kesehatan dan gizi yang buruk, pengetahuan teknis yang kurang ilmiah, sikap tradisional, system nilai, kelas, system pergaulan dan kasta, dan efek dominasi atau masalah lingkungan dengan dampak dramatisnya terhadap masalah perdagangan. Myrdal melihat kondisi-kondisi tersebut sebagai kondisi yang relevan untuk analisis dan interpretasi proses terjadinya keterbelakangan, yaitu produktivitas(output/pekerja; pendapatan/populasi); kondisi produksi (teknik,skala,intensitas modal, penghematan dan investasi,ongkos social, pemanfaatan pekerja, dan pekerjaan); tingkat kehidupan (gizi,perumahan,kebersihan,perhatian kesehatan, pendidikan dan pelatihan, kemampuan baca tulis, dan distribusi pendapatan); sikap terhadap produksi, pekerja dan kehidupan (disiplin,ketepatan waktu, prasangka, apatis,tinjauan dunia,agama, tidak adanya control kelahiran, dan sebagainya); kelembagaan (hubungan manusia dengan tanah, kondisi pekerjaan, struktur pasar, kelas, system pergaulan dan kasta, struktur nasional dan pemerintah local, administrasi dan sebagainya), kebijakan dan legislasi (kurangnya penyelenggaraan hokum, perpajakan, mobilisasi nyata dan surplus potensial).Tidak perlu dikatakan, bahwa semua ini tidak mewakili daftar factor-faktor dan kondisi relevan yang lengkap, namun harus dipahami bahwa daftar tersebut dapat dikelompokkan dengan cara berbeda tergantung pada masalah dan daerah yang harus diselidiki.Ahli kelembagaan telah menemukan konsep yang menyeluruh untuk mempertimbangkan tentang kekuasaan, konflik, distribusi, hubungan social, kelembagaan dan proses non pasar, dan yang lain daripada model-model formal. Namun demikian tetap terdapat beberapa keterbatasan menyangkut pendekatan holisme ini (Wilber dan Harrison, 1988:117-118). Pertama, karena kurangnya ketepatan (lack of precision), penggunaan konsep holistic harus dimonitor secara terus-menerus dengan referensi dari observasi, kasus-kasus, dan contoh-contoh. Holisme yang dipisahkan dari basis empirisnya mudah akan menjadi rentan dan spekulasi menjadi tidak terkontrol, sehingga ahli kelembagaan tidak boleh keluar dari sifat ini. Kedua, bahwa ketidaktepatan dan generalisasi konsep holistic menyebabkan verifikasi definitive hipotesis tidak mungkin dilakukan. Samuelson menyatakan pendekatan holistic merupakan hal yang tidak mudah diterapkan dalam konsep ekonomi karena; 1) spesifikasi; 2) dipisahkan dari masyarakat lain; dan 3) dibuat untuk tujuan analitis yang bisa dikelola, dimana hal ini tentu berbeda dengan tujuan yang dibuat untuk tujuan pengujian. Akibatnya, ahli kelembagaan yang menggunakan teori-teori holistic harus menyediakan ruang bahwa teori-teori ini selalu bersifat sementara dan menjadi subjek untuk perubahan.Sekilas, pendekatan umum yang dijelaskan diatas tampak cukup jelas, tidak perlu menambah yang baru. Namun, demi pemahaman yang lebih rinci, beberapa poin dapat dibuat untuk menanggapi penegasan ini (Hudgson, 1998:173). Pertama, terdapat derajat pemberian penekanan pada factor-faktor kelembagaan dan budaya yang tidak ditemukan dalam teori ekonomi. Kedua, analisis kelembagaan bersifat interdisipliner, khususnya dalam mengenali tinjauan politik,sosiologi,psikologi,dan ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, tidak ada sumber-sumber untuk penyususunan model agen/pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan. Keempat, teknik matematis dan statistic dianggap sebagai pelayanan teori ekonomi ketimbang esensi dari teori ekonomi sendiri. Kelima, analisis tersebut tidak dimulai dengan membangun model-model matematis, namun diawali dengan gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab-akibat. Keenam, pemanfaatan harus dibuat dari bahan empiris historis dan komparatif mengenai kelembagaan sosioekonomi. Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan basis metodologis yang menjadi kerangka analisis pendekatan ilmu kelembagaan. Dengan dasar metodologis tersebut, perspektif ekonomi kelembagaan menyakini bahwa struktur dan prilaku masyarakat harus mendapatkan ruang yang lebar dalam setiap anlisis ekonomi.II.3 METODE KUALITATIF: PARTIKULARITAS dan SUBYEKTIVITASMemahami individu atau masyarakat tidak hanya soal subyek tetapi juga metode. Metode itulah yang akan membawa kepada kebenaran dan kebenaran inilah yang hendak giuji dalam dua pendekatan penelitian ilmu sosial, yaitu metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metode penelitian kuantitatif ini terdiri dari tiga permis : general, obyektif, dan prediktif (terukur). Pendekatan ini percaya bahwa fenomena sosial berlaku secara universal dan setiap tindakan-tindakan individu merupakan turunan (derivasi) dari perilaku kumpulan individu. Sebaliknya, penelitian kualitatif dimengerti dengan tiga premis yang berlawanan dengan kuantitatif, yaitu : partikular, subyektif, dan nonprediktif. Premis-premis inilah yang menjadi dasar dari konstruksi penelitian kualitatif, yang sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan.Metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara tradisional sering dibedakan menurut pendekatan epistemologinya. Metode kualitatif bersandar pada pendekatan interpretatif sedangkan metode kuantitatif bersandar pada pendekatan positivistik (Meetoo dan Temple, 2003:5). Apabila pendekatan interpretatif dikaitkan dengan peneliti maka fokusnya adalah persoalan subyektifitas. Jika pendekatan interpretatif dihubungkan dengan obyek penelitian maka fokusnya adalah masalah partikularitas. Asas partikularitas berlalu apabila struktur sosialnya berbeda. Apabila penelitian kualitatif gagap dalam menjelaskan suatu fenomena, maka hasil penelitian tersebut tidak memiliki kekuatan ilmiah untuk disampaikan kepada masyarakat dengan kata lain telah gagal menjalankan fungsinya.Hubungan partikularitas dengan kapasitas penjelas : Penelitian kualitatif selalu berupaya untuk menjelaskan temuan yang diberikan tanpa meramalkan kejadian dimasa depan. Dan penjelasan dalam penelitian kualitatif selalu bersinggungan dengan latar sosial tertentu (partikular) dan tidak berlaku untuk segala latar belakang sosial (universal).Setiap penelitian harus berurusan dengan representasi, yakni pilihan dan jumlah sampel yang dipakai. Pada penelitian kualitatif tidak berbicara mengenai jumlah namun langsung menunjuk pada penggunaan satu daerah, komunitas, kellompok, dan lain-lain sebagai sampel penelitian. Hal tersebut berbeda dengan penelitian kuantitatif yang menganggap sampel mewakili gambaran populasi, sehingga jumlah sangat mempengaruhi layak tidaknya sampel tersebut menjadi representasi populasi.Dalam akademik, nilai keilmiahan biasanya diukur dengan pendekatan nomotetik (hukum obyektifitas dan universal) dan pendekatan idiosinkratik (tidak ada kebenaran tunggal) [Irwan, 1997:xxiii]. Dalam pendekatan idiosinkratik, selama proses penelitian seorang peneliti dinggap telah membawa nilai-nilai tertentu (seperti ideologi, agama, budaya, tradisis, dan lain-lain) yang kemudian digunakan untuk memaknai data atau fakta yang diperoleh.Apakah yang disebut dengan obyektifitas? : Obyektifitas dapat di pandang sebagai hasil belajar manusia, yang mempresentasikan tujuan ilmu pengetahuan dan bukti yang mungkin ada (Wallerstein, 1997:142). Dengan dasar itu, ilmu ekonomi beranggapan dapat menyajikan suatu penilaian yang obyektif, yang kemudian disebut sebagai fakta.Penelitian kuantitatif dianggap lebih obyektif karena keberhasilannya untuk dapat mengukur (measureable) dan membandingkan (comparable) atas data-data yang dimiliki.II.4 NONPREDIKTIF: NILAI GUNA DAN LIABILITAS DATAMembedakan Penelitian kuantitatif dan kualitatif berdasarkan sifat prediktif dan non prediktif bahwa penelitian kuantitatif biasanya berujung pada peramalan tentang kemungkinan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi akibat adanya pemantik yang diberikan. Misalnya peneliti bisa memperkirakan berapa jumlah orang miskin yang berkurang apabila subsidi pendidikan dan kesehatan diberikan kepada masyarakat. Sebaliknya, penelitian kualitatif tidak tertarik untuk menyodorkan daya ramal tersebut, tetapi justru berkonsentrasi untuk menyajikan karakter sebuah masalah atau fenomena. Sebagai contoh, peneliti lebih tertarik untuk meminta pemdapat kaum miskin tentang relevansi subsidi untuk peningkatan kesejahteraan merek.Dengan model ini peneliti lebih tergerak untuk memberikan informasi dari pada prediksi.

Penelitian kualitatif lebih banyak merujuk kepada pemaknaan konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. sebaliknya, penelitian kantitatif berkonsentrasi untuk mnghitung dan mngukur sesuatu berg (dalam erani). penelitian kualitatif dan kuantitatif berlainan dimana yang pertama memberikan penjelasan dan yang kedua menyodorkan ramalan.Ada dua alasan mengapa penelitian kualitatif tidak berminat meramalkan kejadian di masa depan yang pertama pada tingkat filosofis watak sebuah penelitian sosial tidak harus tahu tentang kejadian dimasa depan, seberapa besarnya peluang untuk melakukan itu. yang kedua pada tatanan pragmatis nilai guna sebuah penelitian bukan terletak pada kemampuannya untuk memprediksi, melainkan kesanggupannya untuk mnyodorkan pemahaman-pemahaman baru melalui analisis yang mendalam (ilmiah).Sifat penelitian yang fokus kepada penjelasan harus dipahami sebagai atas pilihan metode subyektif untuk mngenali fakta seperti diketahui pendekatan subyektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat subyektif dan sifat yang tetap melainkan bersifat interpretif. Lebih khusus lagi dikatakan Jalbert (mulyana dalam erani ) realitas sosial dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial yang bersifat komunikatif dengan dasar metode sunyektif inilah sebuah pengukuran menjadi mustahil dilakuakan, sebab didalam pengukuran implisit terdapat obyektifitas atau setidaknya didalam pengukuran terdapat sebuah kestabilan.Sifat non prediktif itu dengan sendirinya menjadi ukuran sampai sejauh mana penelitian kualitatif sanggup untuk memfungsikan dirinya. jika penelitian kualitatif tidak mampu memberikan gambaran bagi masyarakat (pemerintah) tentang efek suatu kebijakan maka keberadaannya masih bisa dimaklumi. namun apabila penelitian kualitatif gagal memberikan makna atau kesadaran atas peristiwa sosial yang menjadi obyek penelitian maka eksistensinya boleh diakatakan telah runtuh. hal ini jelas berbeda dengan penelitian kuantitatif yang kekuatnnya justru terletak pada daya ramal, walaupun dengan hanya mengandalkan fakta-fakta atau data-data yang sangat sederhana. Bahkan, bila data atau fakta yang terdapat dalam obyek penelitian teramat banyak atau sebagian tidak bisa dikuantifikasi maka penelitian kuantitatif membolehkan data tersebut dibuang agar sebuah ramalan dapat diambil.Heilbroner (Wilber dan Harrison dalam erani) membagi data ekonomi dalam dua katergori :Data yang berkaitan dengan sifat fisik dari proses produksi (The physical nature natural off production process) Data yang berhubungan dengan respon perilaku atas kebjakan ekonomi (The behavioral respons to economic stimuli), meskipun jenis data yang terkahir ini lebih stabil karena munculnya watak, tradisi dan kepercayaan didalam masyarakat tetap saja dala jangka panjang data-data tersebut akan mengalami perubahan (evolusi). Dengan keyakinan inilah penelitian kualitatif tetap teguh dengan premis yang di usungnya hingga kini bahwa yang terpenting bukanlah ramalan melainkan penjelasan.Hubungan antara pendekatan ekonomi kelembagaan dengan pendekatan kualitatif lebih mudah dipetakan, pendekatan ekonomi kelembagaan memberikan jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks sedangkan penelitian kualitatif mnyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akiabat dari proses social tersebut.Meskipun begitu penelitian kuantitatif tidak haram digunakan dalam analisis ekonomi kelembagaan. sampai batas tertentu ukuran-ukuran yang mungkin dikuantifikasi tetap bermanfaat sebagai analisis ekonomi kelembagaan. misalnya, ukuran efisiensi dalam ekonomi kelembagaan bisa dilacak dari biaya transaksi yang muncul. semakin besar biaya transaksi yang muncul dari pertykaran berarti menunjukkan kelembagaannya tidak efisian, untuk tiba pada kesimpulan efisien atau inefisien itulah seringkali dibutuhkan pengukuran (angka).PUSTAKA