kelainan kromosom pada embrio dari pasangan dengan keguguran aneuploidi sebelumnya
TRANSCRIPT
Kelainan Kromosom Pada Embrio Dari Pasangan Dengan Keguguran
Aneuploidi Sebelumnya
Tujuan : Untuk membandingkan insidensi kelainan kromosom pada embrio
preimplantasi dari pasangan yang sedang dalam proses skrening genetik ( PGS )
setelah keguguran aneuploidi sebelumnya baik pada kehamilan alami ( NC )
ataupun pada kehamilan dibantu teknologi ( ART ) dibandingkan pasangan fertil
yang yang mengikuti PGS terhadap penyakit terkait kromosom X sebagai
kelompok kontrol.
Design : Penelitian Retrospektif
Tempat : Klinik IVF
Pasien : Pasien dengan kehamilan aneuploidi sebelumnya yang mengikuti PGS
Intervensi : Pengambilan embrio, fluorescence in situ hibridisasi
Ukuran Tujuan Utama : Jumlah embrio aneuploidi dan kehamilan dan jumlah
implantasi pada pasangan dengan aneuploidi pada autosomal atau kromosom seks
sebelumnya.
Hasil : Jumlah keseluruhan kelainan kromosom pada kelompok dengan
aneuploidi autosomal yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol ( 67, 8 % yang sebelumnya muncul aneuploidi setelah NC dan
65, 8 % yang sebelumnya meningkat setelah ART, vs. 34.0 % ) tidak terdapat
perbedaan signifikan yang diamati pada pasien dengan kelainan kromosom seks
sebelumnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada pasien dengan
aneuloidi sebelumnya setelah NC, tidak terdapat perbedaan yang muncul pada
insidensi kelainan kromosom dibandingkan dengan kelompok ART. Hasil secara
klinis yang lebih baik terdapat pada pasien dengan kelainan aneuploidi
sebelumnya setelah NC.
Kesimpulan : Pada embrio preimplantasi, insidensi kelainan kromosom kerena
keguguran akibat aneuploidi sebelumnya setelah NC ataupun ART secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Sehingga, insidensi
menjadi lebih tinggi ketika pada kelainan aneuploidi sebelumnya terdapat pada
kromosom autosomal; PGS direkomendasikan pada pasangan tersebut. ( Fertile
Steril 2012; 98 : 145 – 50. 2012 by American Society for Reproductive
Medicine ).
Kata Kunci : Skrening genetik preimplantasi, fluorescence in situ hibridisasi,
kelainan kromosom, konsepsi alamiah, Assisted Reproductive Technology.
Tidak kurang dari 10 % dari kehamilan yang terbukti secara klinis pada manusia
berakhir dengan aborsi spontan. Sebuah proporsi yang besar, jika tidak sebagai
mayoritas, pada kehamilan yang melibatkan konsepsi dengan kelainan secara
kromosom. Pada kenyataannya, perkiraan jumlah kelainan kromosom pada aborsi
spontan meningkat pada konsepsi alamiah ( NC ) beragam mulai dari 47, 9 %
sampai 83,0 % ( 1 – 5 ). Kelainan kromosom yang umum terjadi pada manusia
adalah jenis aneuploidi, yaitu berkurangnya jumlah kromosom ( monosomi ) atau
bertambahnya jumlah kromosom ( trisomi ). Aneuploidi merupakan kelainan
genetik yang menjadi penyebab utama keguguran ( 6, 7 ). Sedikit kelainan
kromosom autosomal trisomi ( 13, 18, dan 21 ) dan kelainan kromosom seks
aneuploidi ( 45, X ; 47, XXY; 47, XXX ; atau 47, XXY ) yang dapat bertahan
hidup, tetapi mereka umumnya menimbulkan kelainan kongenital yang serius dan
atau kelainan kognitif atau kelainan tingkah laku; memang, aneuploidi merupakan
penyebab utama retardasi mental dan kelainan kongenital pada manusia yang
diketahui saat ini ( 6 – 8 ). Sebagai kelompok, kromosom seks aneuploidi
menempati peringkat pertama kelainan kromosom yang terjadi pada bayi baru
lahir ( 6, 8 ). Dibandingkan dengan pada kromosom seks, aneuploidi pada
kromosom autosomal memberikan pengaruh yang lebih besar secara fenotip dan
kurang cocok dengan kehamilan yang sedang terjadi ( 9 ).
Peningkatan penggunaan Assisted reproduktive Technology ( ART ) menimbulkan
pandangan bahwa hal tersebut kemungkinan terkait dengan peningkatan kelainan
kromosom pada kehamilan yang diinisiasi dengan ART, tetapi data yang ada
belum mendukung hal tersebut. Beberapa penelitian menemukan bahwa tidak ada
perbedaan secara statistik pada frekuensi total kelainan kromosom pada
kehamilan yang timbul setelah NC atau ART ( secara spesifik, fertilisasi in vitro
( IVF ) atau injeksi sperma intrasitoplasma ( ICSI ) (4, 5, 10, 11 ). Akan tetapi,
jenis kelainan kromosom yang terjadi berbeda : Bettio et al ( 2008 ) menjelaskan
dua lipatan meningkat pada poliploid setelah ART dibandingkan dengan NC,
sedangkan Martinez et al. ( 2010 ) menjelaskan adanya peningkatan terhadap
insidensi monosomi kromosom X dan penurunan poliploidi pada keguguran
setelah ICSI ( 4, 5 ). Lagipula, dengan ART itu sendiri, jumlah total aneuploidi
diantara ICSI dan IVF tidak memiliki perbedaan yang signifikan ( 4, 10 – 12 ),
tetapi kromosom seks aneuploidi lebih sering ditemui pada kehamilan dengan
ICSI dibandingkan dengan kehamilan yang berhubungan dengan konvensional
IVF ( 10 – 12 ).
Sebagai tambahan, penelitian telah melaporkan bahwa risiko fetal aneuploidi
meningkat pada pasangan yang sebelumnya mengalami abortus spontan atau
konsepsi aneuploidi karena kromosom autosomal maupun kromosom seks ( 13 –
17 ). Wanita yang memiliki riwayat kehamilan trisomi sebelumnya, yang usianya
< 35 tahun, muncul sebagai faktor risiko yang meningkatkan kehamilan trisomi
berikutnya ( 17 ).Faktorresiko relatif terhadap trisomi 21 berikutnya menjadi
trisomi 21 lebih tinggi pada wanita dengan usia < 35 tahun pada kehamilan
sebelumnya, sebagai faktor risiko terhadap terjadinya trisomi yang sama ataupun
trisomi yang berbeda berikutnya dibandingkan dengan trisomi 13 dan 18. Faktor
risiko relatif terhadap trisomi yang berbeda berikutnya dibandingkan menjadi
trisomi 21 sama baik pada wanita yang usianya < 35 tahun atau pada wanita yang
usianya ≥ 35 tahun pada kehamilan sebelumnya ( 17 ). Tidak terdapat perbedaan
yang terjadi baik pada kehamilan trisomi sebelumnya yang lahir hidup ataupun
lahir mati ( 13 ).
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membandingkan kelainan kromosom
yang terjadi pada embrio preimplantasi pada pasangan yang sedang menjalani
skrening genetik preimplantasi ( PGS ) dibandingkan dengan keguguran
aneuploidi sebelumnya yang muncul melalui NC ataupu ART. Selain itu,
frekuensi sperma yang aneuploidi dan diploidi dianalisi pada sampel sperma dari
pasangan subjek penelitian untuk mencari kemungkinan pengaruh paternal dari
kelainan kromosom yang diamati pada keguguran.
Material dan Metode Penelitian
Pasien
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang dilakukan dari bulan juli
2001 sampai dengan bulan April 2001, dimana terjadi 70 siklus PGS yang
dilakukan pada 56 pasangan dengan riwayat kehamilan dengan aneuploidi
sebelumnya baik dari NC ataupun ART. Partisipan wanita memiliki usia ≤ 37
tahun pada semua kelompok penelitian. Penelitian tersebut ditinjau dan disetujui
oleh Institutional Review Board ( IRB ) of the instituto Valenciano de Infertilidad.
Untuk menilai insidensi kelainan kromosom pada embrio preimplantasi, subjek
dibagi menjadi empat kelompok penelitian ( gambar 1 ) :
Kelompok 1 : 28 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom autosomal
aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan NC
Kelompok 2 : 22 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom autosomal
aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan ART.
Kelompok 3 : 12 siklus PGS pada pasien dengan kelainan kromosom seks
aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan NC
Kelompok 4 : 8 siklus PGS pada pasien dengan kelaian kromosom seks
aneuploidi sebelumnya yang berkaitan dengan ART.
Kelompok kontrol : 33 siklus PGS pada pasien dengan penyakit terkait
kromosom seks.
Sebagai perbandingan secara statistik, kelompok kontrol dari 28 pasangan fertil
yang mengikuti PGS terhadap penyakit terkait kromosom seks ( n = 33 siklus )
dimasukkan dalam penelitian ini. Dalam kelompok kontrol, semua pasangan laki
– laki merupakan normozoospermia dan usia wanitanya ≤ 37 tahun. Semua pasien
dan subjek kontrol memiliki kariotip yang normal.
Stimulasi Ovarium Dan Kultur Embrio
Setelah stimulasi ovarium, pengambilan oosit dilakukan melalui aspirasi ovarium
transvaginal dengan petunjuk USG. Fertilisasi dinilai selama 17 – 20 jam setelah
ICSI ( hari ke 1 ) dan pembelahan embrio dinilai 24 jam kemudian ( hari ke 2 ).
Pada saat ini, embrio ditumbuhkan dalam media IVF ( Media CCM, 1 : 1;
vitrolife) dan pada proses berikutnya ditumbuhkan pada media CCM dengan
monolayer EEC heterozigos ( sebelumnya dilakukan skrening untuk HIV, HBV,
HCV, dan sifilis ) mulai dari hari ke 2 sampai hari ke 5, dimana transfer embrio
dilakukan ( 18 ).
Pengambilan Embrio Dan Fiksasi
Embrio diletakkan pada medium droplet yang mengandung Ca2+ - dan Mg 2+-
bebas ( G – PGD; Vitrolife ), dan cairan Tyrode( vitrolife ) atau teknologi laser
( Octax ) digunakan untuk melubangi zona pellusida. Hanya embrio yang
memiliki ≥ 5 blastomer ternukleasi dan ≤ 25 % derajat fragmentasi yang diambil,
dan satu atau dua blastomer yang dilepas tergantung dari jumlah sel pada hari ke 3
( satu blastomer diambil dari embrio yang memiliki 5 – 7 blastomer, dua
blastomer diPengambilan dari embrio yang memiliki ≥ 8 blastomer ). Blastomer
sendiri difiksasi dalam object glass ( Superfrost ; Cole – Palmer ) di bawah
mikroskop terbalik menggunakan protokol yang modifikasi Tarkowski tanpa
dilakukan intervensi hipotonis.
Protokol FISH Pada PGS
Protokol tertentu kami termasuk analisis terhadap kromosom 13, 15, 16, 17, 18,
21, 22, X, dan Y pada dua tahap konsekutif fluorescence in situ hibridisasi
( FISH ). Pada hibridisasi tahap pertama, kromosom 13, 16, 18, 21, dan 22
dianalisis menggunakan panel probe Multivision PB ( Vysis ). Pada tahap kedua
hibridisasi, kromosom 15, 17, X, dan Y dianalisis menggunakan panel probe
multivision 4 macam warna ( Vysis ). Nukleus dengan sinyal nonkonklusif
( sinyal yang saling tumpang tinding, berupa serat, atau terbagi ) atau dengan
tanpa sinyal untuk beberapa kromosom uji yang dianalisis kembali menggunakan
probe subtelomerik. Pada protokol kami, sinyal FISH yang ambigus / tidak pasti /
tidak dapat dijelaskan di selesaikan menggunakan analisis rata-rata dengan probe
subtelomerik ( 20 ). Siklus dilakukan sebelum 2004 tidak dimasukkan ke dalam
analisis dari kromosom 15 dan 17. Pencucian temuan dan penilaian sinyal
dilakukan menggunakan petunjuk dari perusahaan kami. Analisis FISH dilakukan
menggunakan mikroskop Olimpus AX70 epifluorescen dilengkapi dengan filter
tiga lapis untuk 4’6 – diamidino – 2 – phenylindole / Texas merah / fluorescen
isothiocyanate ( FITC ), dan filter tunggal untuk FITC, Texas merah, dan aqua
biru.
FISH Pada Sperma
Sampel sperma disiapkan untuk FISH untuk menganalisis kromosom 13, 18, 21,
X, dan Y ( Vysis ) seperti yang dijelaskan sebelumnya (21 ), dan sperma dengan
kromosom disomi dan diploidi dimasukkan dalam kategori abnormal. Sampel
sperma diklasifikasikan ke dalam golongan abnormal ketika jumlah spermatozoa
dengan abnormalitas minimal satu kromosom yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan yang diamati pada kelompok kontrol dari sepuluh donor
normozoospermia ( 22 ). Untuk menurunkan subjektivitas dari pengamatan, kami
menggunakan kriteria berikut ini : 1. Sperma yang saling tumpang tindih atau
kepala sperma yang tidak dapat dijelaskan dengan baik tidak dilakukan evaluasi;
2. Pada kasus disomi atau diploidi, semua sinyal memiliki intensitas yang sama
dan dipisahkan dari yang lainnya menggunakan jarak yang lebih dari ukuran satu
sinyal; dan 3. Nullisomi tidak dinilai secara langsung dan secara konseratif
dipertimbangkan senilai dengan insidensi disomi ( 23 ).
Uji Pasti Fisher dengan koreksi Yates digunakan untuk membandingkan
persentase embrio abnormal dan aneuploidi kromosom diantara kelompok
penelitian dan kelompok kontrol. Kami juga membandingkan variabel biner hasil
keluaran klinis dengan uji yang sama. Uji Mann – Whitney U digunakan untuk
membandingkan perbedaan kelompok penelitian dengan jumlah keguguran
sebelumnya, jumlah implantasi, dan konsentrasi sperma. Uji chi – square
digunakan untuk membandingkan hasil sperma FISH diantara kelompok
penelitian dan kelompok kontrol, dan koreksi Bonferroni digunakan untuk
perbadingan multipel.
Hasil
Tidak terdapat perbedaan secara statistik yang ditemukan pada rata – rata umur
wanita diantara keempat kelompok penelitian. Perbedaan ditemukan pada rata –
rata jumlah keguguran sebelumnya; secara spesifik, kelompok 3, dengan
aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya terkait NC, memiliki insidensi
tertinggi pada keguguran sebelumnya ( dibandingkan dengan kelompok 1 : 1,8 ±
1,6 vs. 0,7 ± 1,0; P = 0,021 ).
Kami mengamati secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan dalam
insidensi kelainan kromosom pada kelompok yang sedang menjalani PGS ( Tabel
1 ). Jumlah keseluruhan kelainan kromosom pada kelompok dengan kelainan
aneuploidi pada kromosom autosomal sebelumnya ( kelompok 1 dan 2 )
meningkat secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol ( masing –
masing 67, 8 % dan 65, 8 %, dibandingkan dengan 34,0 %; P< 0,001 ).
Selanjutnya, jumlah ini lebih tinggi pada dua kelompok dengan kelainan
aneuploidi pada kromosom autosomal sebelumnya dibandingkan dengan dua
kelompok dengan kelainan aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya. Oleh
karena itu, tidak terdapat perbedaan yang ditemukan pada insidensi kelainan
kromosom diantara pasangan dengan aneuploidi yang muncul dari NC
dibandingkan dengan yang berasal dari ART. Ketika menganalisis insidensi
aneuploidi pada pasangan dengan kehamilan yang mengalami kelainan aneuploidi
pada kromosom autosomal sebelumnya ( kelompok 1 dan 2 ), kelompok 1 secara
signifikan memiliki frekuensi aneuploidi pada kromosom seks yang lebih sering
dibandingkan dengan kelompok kontrol ( 19, 4 % dibandingkan 7, 5 % ; P =
0,007) ; Sebaliknya, kelompok 2 secara signifikan meningkat pada semua
kromosom autosomal teruji dibandingkan dengan kelompok kontrol ( P < 0,05 ).
Untuk pasien dengan kelainan aneuploidi pada kromosom seks sebelumnya
( kelompok 3 dan 4 ), kromosom 13 merupakan satu – satunya kromosom
autosomal dengan peningkatan insidensi kelainan aneuploidi ( 19, 6 %
dibandingkan 5, 2 % ; P = 0,037 ). Persentase embrio dengan kelainan aneuploidi
meningkat sedikit ketika kromosom 15 dan 17 dimasukkan ke dalam panel. Kami
mengecek untuk perbedaan tersebut terhadap semua kelompok penelitian dan
kelompok kontrol, dan peningkatan yang terjadi terdistribusi secara merata pada
semua kelompok tersebut.
Kami menemukan jumlah embrio dengan kelainan haploid yang sama diantara
semua kelompok : 1, 78 % dengan NC, 0, 59 % dengan ART, dan 1, 50 % pada
kelompok kontrol. Untuk poliploid, jumlahnya sebesar 1, 33 %, 0 %, dan 2,0 %
masing – masing pada NC, ART, dan kelompok kontrol.
Menariknya, hasil klinis mengindikasikan sebuah kecenderungan ke arah
keluaran yang lebih baik pada pasien dengan aneuploid9i autosomal sebelumnya
dalam NC, tetapi perbedaan ini tidak mencapai signifikansi statistik (Tabel 2).
Secara khusus, pada kedua kelompok dari pasien dengan aneuploidi sebelumnya
dalam NC, tidak terdapat keguguran setelah siklus PGS.
Kami juga melakukan analisis FISH pada spermatozoa 16 pasangan (Tabel
3). Hasil abnormal didapatkan hanya pada satu pasien, dari kelompok 4, yang
memiliki angka kromosom seks disomik yang meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol [0,59% vs 0,20%; P<.0005]. Tidak
terdapat perbedaan statistikal untuk semua autosom lain yang diperiksa. Angka
diploidi total untuk semua kromosom mirip di antara pasien dan subyek kontrol
(0,07% vs. 0,10%). Konsentrasi sperma dalam sampel, dengan hasil FISH
abnormal adalah 12,0 x 106 sperma/ml, dan konsentrasi rata-rata pada sampel
yang tersisa dengan hasil FISH normal adalah 48,0 x 106 sperma/ml. Konsentrasi
sperma rata-rata adalah 44,7 ± 31,4 x 106 pada kelompok 1; 48,3 ± 42,4 x 106
pada kelompok 2; 55,1 ± 32,8 x 106 pada kelompok 3, dan 30,1 ± 35,9 x 106 pada
kelompok 4; perbedaan-perbedaan ini tidak signifikan secara statistik.
PEMBAHASAN
Data kami sejak 10 tahun terakhir menegaskan angka yang lebih tinggi secara
signifikan dari embrio abnormal pada pasie dengan aneuploidi sebelumnya
dibandingkan dengan subyek kontrol, secara independen dari asal kehamilan
sebelumnya (NC atau ART). Selain itu, insidensi bertambah ketika aneuploidi
sebelumnya adalah pada autosom. Aneuploidi untuk kromosom 15 dan 22 lebih
umum pada pasien dengan aneuploidi autosomal sebelumnya pada NC; sebuah
peningkatan dalam aneuploidi untuk semua kromosom terdeteksi pada kehamilan
aneuploid sebelumnya yang berasal melalui ART. Angka kromosom seks
aneuploidi lebih tinggi pada semua kelompok penelitian dibandingkan dengan
kelompok kontrol, tetapi signifikan secara statistik hanya untuk mereka dengan
aneuploidi autosomal sebelumnya dalam NC.
Penelitian sebelumnya [13-17] menunjukkan risiko rekurensi untuk
aneuploidi fetal kromosom autosomal dan seks pada pasangan dengan aborsi
spontan sebelumnya atau konsepsi aneuploidi. Hasil kami menegaskan penemuan
ini untuk semua kelompok penelitian ketika aneuploidi sebelumnya merupakan
autosom. Meskipun begitu, setelah aneuploidi kromosom seks sebelumnya, kami
menemukan peningkatan signifikan pada rekurensi aneuploidi hanya untuk
kromosom 13 pada kehamilan sebelumnya dengan NC.
Penelitian FISH pada sampel sperma ditemukan hanya satu pasien dengan
abnormalitas, khususnya angka yang lebih tinggi dari disomi kromosom seks
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, hasil ini tidak mengherankan,
karena mayoritas trisomi autosomal muncul dari kesalahan-kesalahan dalam
mitosis materal, yang secara tipikal terjadi selama metafase I, seperti pada
sindrom Down. Untuk aneuploidi kromosom seks, beberapa sama
kemungkinannya untuk berasal dari paternal maupun maternal, seperti 47,XXY
(sindrom Klinefelter; 50%). Sebagai perbandingan, nondisjungsi dari kromosom
seks paternal adalah predominan pada 45,X (sindrom Turner; 74%) [7,8,24].
Menariknya, sebuah peningkatan dari spermatozoa aneuploid telah dilaporkan
pada ayah dari anak dengan sindrom Down dan pasangan dengan abortus spontan
atau anak dengan abnormalitas kromosom seks seperti sindrom Turner atau
Klinefelter [25-31].
PGS untuk panel terpilih dari sembilan kromosom dalam penelitian ini
menghasilkan keluaran yang mirip pada semua kelompok. Sampai sekarang, satu-
satunya jalan untuk menyaring embrio aneuploidi adalah melalui PGS, sebuah
metode yang dapat mendeteksi kebanyakan abnormalitas kromosom numerik
yang digambarkan dalam keguguran menggunakan panel yang diperluas untuk
angka kromosom yang terpilih [32]. Lathi et al [32] menemukan perbedaan
signifikan di antara panel terbatas (5-probe) dan diperluas (9-, 10-, dan 12-probe),
tetapi tidak di antara panel-panel yang diperluas, dan menunjukkan bahwa FISH
untuk kromosom 13, 15, 16, 18, 21, 22,X, dan Y seharusnya mengidentifikasikan
sekitar 80% dari kebanyakan anomali kromosomal yang umum pada sampel dari
abortus spontan. Pada tahun 2004, Munne et al. [13] memeriksa apakah angka
aneuploidi pada wanita yang memiliki PGS bertambah dengan konsepsi
aneuploidi sebelumnya. Wanita yang memiliki PGS karena aneuploidi
sebelumnya dibandingkan dengan dua kelompok kontrol: wanita yang memiliki
PGS untuk diagnosis gangguan terkait kromosom X dan wanita yang memiliki
PGS karena kegagalan IVF berulang. Angka yang lebih tinggi dari aneuploidi
dilaporkan untuk embrio dari pasien muda yang memiliki IVF karena konsepsi
trisomi sebelumnya daripada enbrio dari kelommpok kontrol. Pengarang
menyimpulkan bahwa riwayat konsepsi trisomi berhubungan dengan peningkatan
risiko konsepsi aneuploidi yang lainnya [13].
Penelitian ini merupakan, sejauh yang kami tahu, yang pertama yang
menganalisa secara terpisah konsepsi aneuploidi sebelumnya termasuk autosom
dan mereka yang termasuk kromosom seks, dan juga membedakan antara
kehamilan ART dan NC untuk konseling yang lebih baikuntuk pasangan yang
menghadiri pusat IVF. Kami mengakui bahwa ini merupakan hasil pendahuluan
oleh sebab jumlah pasien yang masuk dalam penelitian ini, tetapi kesulitan dalam
memasukkan pasien dengan karakteristik seperti ini seharusnya diperhitungkan.
Sebagai kesimpulan, pada embrio preimplantasi, insidensi dari
abnormalitas kromosomal berhubungan dengan keguguran aneuploidi sebelumnya
diturunkan melalui NC atau ART secara signifikan lebih tinggi daripasa individu
tanpa konsepsi aneuploidi sebelumnya. Sebagai tambahan, insidensi ini
lebihtinggi ketika aneuploidi sebelumnya adalah autosom. Rekurensi aneuploidi
dapat dihindari menggunakan PGS untuk panel kromosom terpilih atau di masa
yang akan datang dengan uji CGH untuk semua 24 kromosom.
Ucapan Terima Kasih: Pengarang mengucapkan terima aksih untuk klinisi,
embriologis,dan teknisi dari klinik infertilitas Institut Valenciano untuk kerjasama
mereka dalam perkembangan penelitian ini. Nasser Al-Amar menyampaikan
ucapan terima kasih spesial untuksemua teman-temannya di labPGD di Iviomic
yang bertugas dalam analisis FISH untuk embrio dan sperma. Pengarang sangat
berterimakasih kepada Drs. Marcos Meseguer dan Nicolas Garrido untuk
dukungan statistikal.