kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian...
TRANSCRIPT
KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAMPEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA PERCERAIAN(Analisis Putusan PATigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
CHAIDAR ALIF
NIM. 1111044100057
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A1437 H/2015 M
KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAMPEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA PERCERAIAN(Analisis Putusan PATigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
CHAIDAR ALIF
NIM. 1111044100057
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A1437 H/2015 M
KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAMPEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA PERCERAIAN(Analisis Putusan PATigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
CHAIDAR ALIF
NIM. 1111044100057
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A1437 H/2015 M
ii
iii
v
ABSTRAK
Chaidar Alif, 1111044100057. “Kekuatan Alat Bukti Elektronik DalamPembuktian Zina Pada Perkara Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan AgamaTigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama BantenNo.21/Pdt.G/2014/PA.Banten).” Konsentrasi Peradilan Agama, Program StudiHukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,2015, xii halaman + 85 halaman + 67 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hakim terhadapkekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara perceraian di PengadilanAgama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi AgamaBanten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten dan alasan serta pertimbangan majelishakim dalam memutuskan perkara tersebut. Metode penelitian yang digunakanadalah metode deskriptif kualitatif. Sumber penelitian terdiri dari data primer dansekunder. Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Agama Tigaraksa danPengadilan Tinggi Agama Banten.
Pembuktian dengan alat bukti elektronik dalam perkara perceraianmenurut pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan TinggiAgama Banten dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi dalam perkarapembuktian zina alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat buktikarena untuk membuktikan zina sesuai dengan al-Qur’an surah an-Nur ayat 4harus dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara langsung.
Dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara perceraian karena alasanzina dengan menunjukan alat bukti elektronik khususnya dalam putusanNo.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA. Banten, majelis hakimmenolak gugatan tersebut karena alat bukti elektonik berupa foto mesum yangditunjukan oleh penggugat tidak menggambarkan adanya perbuatan zina. Alatbukti elektronik dalam hukum perdata belum ditetapkan menjadi alat bukti yangmenguatkan. Alasan dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkaraperceraian tersebut didasarkan kepada surah an-Nur ayat 4 tentang pembuktianperzinaan harus dengan 4 (empat) orang saksi, sedangkan saksi dalampersidangan perkara ini hanya 2 orang, selain itu gugatan tersebut sudah pernahdiputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, hal ini mengikat asasNeb Is In Idem.
Kata Kunci : Alat Bukti Elektronik, Perkara Perceraian,Pembuktian Perzinaan, Hukum Acara Perdata,Pengadilan Agama Tigaraksa, Pengadilan TinggiAgama Banten.
Dosen Pembimbing : Afwan Faizin, M.A.Daftar Pustaka : 1974 - 2014.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمن الر حیم
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa memberi rahmat, taufik, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Kekuatan Alat Bukti Elektronik
Dalam Perkara Perceraian Permbuktian Zina (Analisis Putusan PA
Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten
No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten), dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam senantiasa penulis
sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya, sahabat-
sahabatnya, dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan
mengembangkannya hingga sekarang ini.
Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah
mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami. Penulis
menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis
secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan
bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta
staf pembantu Dekan Fakultas dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Bapak Arip Purkon, S.HI., M.A., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi dan Dosen Pembimbing
Akademik yang tak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya
untuk memberikan arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan
pelayanan selama melaksanakan studi.
5. Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., dan Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H., selaku
hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama
Banten yang telah membantu dan memberikan izin kepada penulis untuk
melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan
penelitian.
6. Teristimewa untuk kedua orangtua tercinta ayahanda Dadang Yusuf, yang
telah ikhlas memotivasi dengan moril maupun materil dan selalu menjadi
inspirasi penulis dalam penulisan sekripsi ini. Demikian pula, Ibunda tercinta
Yusmachilda, yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis,
yang tiada henti-hentinya mendoakan agar penulis menjadi laki-laki yang
tegar dalam menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan keluarga.
Aamiin.
viii
7. Untuk kakak-kakak dan adik tersayang: Hania Hanum, Apriliani Nurissifa,
Riki Ubaidillah yang dengan ikhlas mendo’akan, memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis. Serta keponakan-keponakanku: Bilqis Syahla
Raudatul, Raihana Albi, Muhammad Fahri, yang selalu memberikan hiburan
kepada penulis ketika sedang menghadapi kendala.
8. Teruntuk Ai Siti Wasilah, S.Sy yang selalu memberikan semangat dan
motivasi, serta mendengarkan keluh kesah penulis. Untuk sahabat-sahabatku:
Abdul Rohman, Syamsul Bahri, M. Shandika Rizkiandy, Edi Sudrajat dan, H.
Ahmad Firdaus yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi dan
tiada hentinya memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis
dikala penulis sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.
9. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Peradilan Agama kelas A dan B,
Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011, dan seluruh kader PMII
cabang Ciputat khususnya PMII Komfaksyahum yang telah memberikan
warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua
pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah
atas Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terimakasih penulis kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis hanya mampu
berdo’a semoga Allah menerima sebagian amal kebaikan dan membalasnya
dengan balasan yang lebih baik.
ix
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin.
Jakarta, 07 Oktober 2015 M23 Dzulhijjah 1436 H
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv
ABSTRAK . ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7D. Riview Studi Terdahulu ............................................................ 8E. Metode Penelitian ..................................................................... 9F. Sistematika Penulisan .............................................................. 14
BAB II PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI ELEKTRONIK, DANPERZINAAN
A. Pembuktian ............................................................................... 161. Pengertian Pembuktian ....................................................... 162. Asas-Asas Terkait Pembuktian .......................................... 183. Pengertian Alat Bukti.......................................................... 224. Macam-Macam Alat Bukti ................................................. 23
a. Alat Bukti Dalam Hukum Perdata ................................ 23b. Alat Bukti Dalam Hukum Pidana ................................. 36
B. Alat Bukti Elektronik ................................................................ 421. Pengertian Alat Bukti Elektronik........................................ 422. Macam-Macam Alat Bukti Elektronik................................ 43
xi
3. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Menurut Hukum diIndonesia ............................................................................ 43
C. Perzinaan .................................................................................. 481. Pengertian Zina ................................................................... 482. Pembuktian Zina ................................................................. 50
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSADAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa...................... 54B. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten............... 58
BAB IV PANDANGAN HAKIM TENTANG KEKUATAN ALATBUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADAPERKARA PERCERAIAN
A. Pandangan Hakim PA Tigaraksa dan PTA Banten MengenaiKekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraiandan Pembuktian Zina ................................................................ 66
B. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalamMemutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs danNo.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten ................................................ 731. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Memutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs.......... 732. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Memutuskan Perkara No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten.......... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 79B. Saran ......................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Surat Mohon Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing Skripsi
Surat Permohonan Data/Wawancara
Surat Keterangan Wawancara
xii
Transkip Wawancara dengan Hakim PA Tigaraksa
Transkip Wawancara dengan Hakim PTA Banten
Salinan Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs
Salinan Putusan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten
Dokumentasi Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan sudah diatur oleh
agama dari awal mula manusia di ciptakan sampai sekarang, untuk memenuhi
nafsu birahi sebagai manusia serta menjaga ras manusia agar tidak musnah.
Pernikahan merupakan penggabungan antara dua keluarga besar untuk saling
terikat diantara kedua belah pihak yang menjadikan sebuah persaudaraan
diantaranya.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan keTuhanan Yang Maha Esa.1
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di jelaskan bahwasanya:
“Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mustaqan
ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
Dari pengertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,3 dan setiap orang
yang menikah pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun banyak
1 Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV AkademikaPressindo, 2010), cet. ke-4, h. 114.
3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 135.
2
juga di antara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga
sehingga harus berakhir dengan penceraian.
Penceraian merupakan solusi terakhir yang dapat di tempuh oleh suami
istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian secara
maksimal. Perceraian dapat di lakukan atas kehendak suami atau permintaan istri,
penceraian yang di lakukan oleh pihak istri di sebut cerai gugat.4
Untuk melakukan penceraian harus ada cukup alasan, adapun alasan-
alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penceraian sebagaimana di
sebutkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan (pemboros,pemakai obat-obat terlarang).
2. Salah satu pihak meningglkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar
kemauannya (pergi tanpa kabar berita).
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
4 Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1991), h. 509.
3
6. Antara suami dan istri terus menerus ternjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga.5
Melihat alasan pada ayat (1) tersebut bahwasannya apabila diketahui salah
satu diantara suami dan istri telah melakukan perbuatan zina, mabuk, penjudi,
maka tidak memungkinkan akan ada dampak masalah baru seperti apa yang
tertulis didalam poin ke (6) antara suami dan istri terus menerus tenjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah
tangganya jalan akhir yang dapat di tempuh adalah dengan mengajukan
permohonan perceraian ke Pengadilan Agama. Dalam perkara perceraian, pada
umumnya pengadilan menggunakan asas in flagranti delicto artinya tertangkap
basah atau ketahuan seketika. Perbuatan zina tidak dapat didasarkan dari hasil
suatu konklusi, apalagi berupa dugaan sementara yang ditarik dari suatu
peristiwa.6
Dalam hal mengajukan cerai gugat atau cerai talak maka akan ada proses
yang harus dilalui oleh para pihak, salah satunya yaitu pembuktian. Pembuktian
adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa
yang dikemukakan.7 Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana
5 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006), cet ke-2, h. 17.
6 Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1979), h. 63.
7 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta:Pustaka Kartini, 1988), h. 55.
4
alat-alat bukti digunakan, diajukan, maupun dipertahankan sesuatu hukum acara
tertentu.8
Adapun alat bukti dalam perkara perdata antara lain: 1) alat bukti surat, 2)
alat bukti saksi, 3) alat bukti persangkaan, 4) alat bukti pengakuan, 5) alat bukti
sumpah9, 6) pemeriksaan ditempat10, 7) saksi ahli11, 8) pembukuan12, dan
pengetahuan hakim.13
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan canggih,
di Indonesia dokumen elektronik sudah banyak digunakan, meskipun secara
yuridis formal, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi dokumen
elektronik sebagai alat bukti.14 Dengan semakin meningkatnya aktivitas
elektronik, alat bukti yang dapat digunakan secara hukum juga harus meliputi
informasi atau dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti
yang sah secara hukum. Karena itu, dalam praktik dikenal dan berkembang apa
yang dinamakan bukti elektronik.
Pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti khususnya di
Pengadilan Agama masih dipertanyakan validasinya. Dalam praktik pengadilan di
8 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.
9 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 164), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet.ke-18, h. 141.
10 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 153), h. 133.
11 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 154), h. 134.
12 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 167), h. 149.
13 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 178 ayat (1)), h. 158.
14 Laporan Penelitian, Eksistensi Alat Bukti Elektronik Dalam Penyelesaian SengketaPerdata di Pengadilan Negeri Bandung Pasca Berlakunya UU No. 1 Tahun 2008 TentangInfromasi dan Transaksi Elektronik, (UNPAD: 2014).
5
Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah hanya berlaku
bagi pihak-pihak yang terjerat dalam kasus tindak pidana saja, padahal di
beberapa negara, informasi elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik
sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara baik pidana
maupun perdata.
Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut
Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi
elektronik.15
Alat bukti merupakan salah satu variable dalam sistem pembuktian,
sehingga perkembangan yang terjadi dalam lalu lintas hukum keperdataan harus
mengenal, mengakui, dan menggunakan alat bukti elektronik dalam pembuktian
didalam perkara keperdataan khususnya permasalahan cerai,waris dan lain
sebagainya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik untuk
membahas dan mengkaji terhadap permasalahan alat bukti elektronik tersebut
dengan membuat skripsi dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI
ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA
15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(ITE).
6
PERCERAIAN(Analisis Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs
dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah, agar dalam
pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan,
maka penulis membatasi masalah pada kekuatan alat bukti elektronik dalam
pembuktian zina pada perkara perceraian No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.
2. Rumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan
Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat bukti elektronik
dalam pembuktian zina pada perkara perceraian?
b. Apa alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.
Banten?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:
7
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat
bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian.
b. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten dalam
memutuskan perkara No. 1538/Pdt.G/2013/PA. Tgrs dan No.
21/Pdt.G/2014/PTA. Banten.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulis adalah
sebagai berikut:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu hukum di Indonesia yang menyangkut kekuatan alat
bukti elektronik dalam perkara perceraian.
b. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat
luas mengenai kekuatan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian.
c. Bagi Penulis
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir
kritis bagi penulis mengenai kekuatan alat bukti elekronik.
8
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan obyek yang sama, maka
pembahasan dalam penelitian ini penulis telah melakukan telaah studi terdahulu
pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang
akan diangkat oleh penulis, yaitu:
No Identitas Substansi Perbedaan1. Indaryati, Kekuatan
Alat Bukti PengakuanDalam PerkaraPerceraian KarenaAlasan Zina (StudiAtas Putusan PASlemanNo.39/Pdt.G/1998/PA.Smn danNo.209/Pdt.G/1999/PA.Smn), PeradilanAgama, FakultasSyari’ah, InstitutAgama Islam NegeriSunan KalijagaYogyakarta, 2001.
Skripsi ini membahasbahwa dalammemeriksa danmenyelesaikan perkaraperceraian karenaalasan zina, khususnyadalam putusanNo.39/Pdt.G/1998/PA.Smn danNo.209/Pdt.G/1999/PA.Smn. PA Slemanmenerima pengakuansebagai salah satu alatbukti yang mempunyaikekuatan pembuktianyang sempurna,mengikat, danmenentukan dalamHukum Acara Islamserta tidak memerlukanbayyinah.
Skripsi ini membahasbahwa pembuktian zinadengan alat buktielektronik pada putusanNo.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs danNo.21/Pdt.G/2013/PTA.Banten tidak dapatdijadikan sebagai alatbukti yang menguatkan,karena alat buktielektronik berupa fotodan SMS tersebut tidakmenjelaskan telah terjadiperbuatan zina. Dalammemutuskan gugatantersebut majelis hakimberdasarkan kepadasurah An-Nur ayat 4.
2. Siti AinunRachmawati,Kekuatan PembuktianDokumen ElektronikSebagai Alat BuktiDalam Sistem HukumPembuktian diIndonesia, ProgramMagisterKenotariatan,Fakultas Hukum,Universitas IslamDepok, 2011.
Tesis ini membahasbahwa dalam sistemhukum pembuktian diIndonesia alat buktielektronik berupadokumen elektronikyang telah diautentikasi olehlembaga yangberwenang dapatdisamakan sebagai alatbukti autentik dengannilai pembuktian
Skripsi ini membahasbahwa alat buktielektronik dalam perkaraperceraian bisa dijadikansebagai alat bukti yangsah, selama alat buktitersebut bisadipertanggungjawabkankebenaran secara ilmiahdan tidak menyalahiaturan yang berlakudilingkungan PengadilanAgama.
9
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku
yang diteliti.16 Sifat dari penelitian ini adalah deksriptif analisis, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisis
16 Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar, dan Aplikasinya,(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet. ke-6, h. 20.
sempurna.3. Johan Wahyudi,
Dokumen ElektronikSebagai Alat BuktiPada Pembuktian diPengadilan, FakultasHukum, UniversitasAirlangga Surabaya,Jurnal PerspektifVolume XVII No.2Tahun 2012 EdisiMei.
Jurnal ini mengangkatbahwa setelahdiberlakukannya UUITE dokumenelektronik atau hasilcetaknya merupakanalat bukti yang sah dandapat digunakan dimuka persidangan,sepanjang informasiyang tercantumdidalamnya dapatdiakses, ditampilkan,dijamin keutuhannya,dan dapatdipertanggungjawabkan, sehinggamenerangkan suatukeadaan. Dokumenelektronikkedudukannyadisetarakan dengandokumen yang dibuatdi atas kertas.
Skripsi ini membahasalat bukti elektronikpada persidanganperceraian di PengadilanAgama dapat dijadikanalat bukti yang sah. Alatbukti elektronik dalampembuktian zina tidakdapat digunakan sebagaialat bukti yang sah,karena dalam hukumIslam untukmembuktikan seseorangtelah melakukanperbuatan zina harusmendatangkan empatorang saksi yang melihatsecara langsung kejadiantersebut.
10
terhadap kejadian nyata dilapangan dari suatu objek,17 hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memaparkan hasil-
hasil penelitian yang bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta
hasil wawancara yang dimaksudkan untuk mengetahui pandangan hakim di
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai
alat bukti elektronik dalam pembuktian pada perkara perceraian.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif.18
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan
dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis gunakan
terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang penulis dapatkan dari petugas atau
sumber utamanya.19 Data tersebut berupa salinan putusan
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten, serta
wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag selaku hakim
17 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008), h. 174.
18 Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26.
19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2007), h. 37.
11
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Bapak Drs. H. Humaedi Husen, S.H.,
M.H selaku hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten.
b. Data Sekunder
Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen resmi.20 Bahan hukum tersebut terdiri dari buku-
buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tema
skripsi ini.21
c. Data Tersier
Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain.22 Data ini diperoleh dengan cara
mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus,
ensiklopedia atau internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai tindak lanjut dalam rangka memperoleh data sebagaimana
diharapkan, maka penulis melakukan pengumpulan data dengan dua teknik
penelitian, diantaranya:
20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Kencana, 2004), h. 141.
21 Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.
22 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia Publishing, 2008), h. 296.
12
a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis
mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya
dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan Pengadilan Agama
Tigaraksa No,1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, buku, artikel,
jurnal, skripsi, surat kabar, dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan
dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara
membaca, mengutip, menganalisa dan merumuskan hal-hal yang
dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research), dalam hal ini untuk mendapatkan
data-data dan informasi tentang kekuatan alat bukti elektronik dalam
pembuktian zina pada perkara perceraian, penulis langsung turun
kelapangan pada obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Tigaraksa
dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, dengan menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1) Wawancara
Wawancara yakni suatu proses komunikasi interpersonal
berupa tanya jawab lisan diantara dua orang atau lebih dengan cara
bertatap muka langsung antara pewawancara dengan orang yang
diwawancarai.23 Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu dengan tanya jawab secara langsung
menggunakan instrument pengumpulan data. Wawancara ini
23 Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),cet. Ke-III, h. 23.
13
dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi dari pihak
terkait yaitu hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim
Pengadilan Tinggi Agama Banten.
2) Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan langsung pada salinan putusan Pengadilan
Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan
Pengadilan Tinggi Agama No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten yang
kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan
bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain.24 Analisis data dalam penelitian ini
dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan tentang putusan
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, pandangan hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai
kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara
perceraian, serta dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.
24 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.244.
14
5. Teknik Penulisan
Adapun dalam teknik penulisan pada skripsi ini menggunakan
teknik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari
lima bab, yang perinciannya sebagai berikut:
Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab Kedua alat bukti elektronik dalam perkara perceraian merupakan alat
bukti yang sah, selama alat bukti elektronik tersebut dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah serta tidak menyalahi aturan yang berlaku di
Pengadilan Agama, akan tetapi alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai
pembuktian zina karena dalam hukum Islam pembuktian zina harus
mendatangkan empat orang saksi yang melihat secara langsung kejadian tesebut.
Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang pengertian pembuktian, asas-asas
terkait pembuktian, pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti, pengertian
alat bukti elektronik, macam-macam alat bukti elektronik, kekuatan alat bukti
elektronik menurut hukum di Indonesia, pengertian zina, dan pembuktian zina.
15
Bab ketiga membahas tentang gambaran singkat Pengadilan Agama
Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang meliputi profil dan sejarah
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.
Bab keempat membahas tentang pandangan hakim tentang kekuatan alat
bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian, yang meliputi
pandangan dari hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi
Agama Banten, alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten serta
analisis penulis mengenai putusan tersebut.
Bab kelima berisi tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yaitu
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-sarans
16
BAB II
KAJIAN TEORISTIS PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI
ELEKTRONIK, DAN PERZINAAN
A. Kajian Teoritis Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam kosa kata bahasa Inggris, berasal dari kata “bukti”
yang terbagi menjadi dua kata yaitu evidence dan proof. Kata “evidence”yaitu
informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan
bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara
itu,“proof” adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata
proof mengacu kepada hasil evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap
evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses
itu sendiri.1
Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu
yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedangkan pembuktian itu
sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukan
benar atau salahnya si terdakwa dalam Pengadilan. Sementara itu,
membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai
proses, perbuatan, atau cara membuktikan.2 Pengertian bukti, membuktikan,
1 Eddy O.S.Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama,2012), h. 2.
2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1990), h. 133
17
dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian
pada umumnya.
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti
memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.3 Pengertian
pembuktian menurut para pakar hukum berbeda-beda, diantaranya:
a. Menurut R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan.4
b. Menurut Muhammad at Thohir Muhammad Abd al aziz, membuktikan
suatu perkara adalah memberikan keterangan dan dalil hingga dapat
meyakinkan orang lain.5
c. Menurut Subhi Mahmasoni, membuktikan suatu perkara adalah
mengajukan alasan dan mengajukan dalil sampai kepada batas yang
meyakinkan. Artinya, hal yang menjadi ketetapan atau keputusan atas
dasar penelitian dan dalil-dalil itu.6
3 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,1985), h. 47.
4 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), cet. ke-17, h. 1.
5 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.
6 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h.26.
18
d. Menurut TM Hasbi Ash-shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang
dapat menampakan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain.7
e. Syaiful Bahri, pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-
alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh
hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan didalam
persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa
dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan.8
Dari beberapa definisi perihal bukti, membuktikan dan pembuktian,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bukti merujuk pada alat-alat bukti
termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
Sementara itu, pembuktian merujuk pada suatu proses terkait mengumpulkan
bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di
sidang Pengadilan.
2. Asas-Asas Terkait Pembuktian
Asas-asas yang dimaksud tidak hanya yang secara langsung terkait
dengan pembuktian, tetapi juga asas-asas yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi pembuktian, termasuk pula beberapa prinsip dalam hukum
acara diantaranya sebagai berikut:
7 Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PustakaPelajar,1998), cet. ke-II, h.135.
8 Syaiful Bahri, Hukum Pembuktian Dalam Praktek Pengadilan, (Jakarta: P3IH danTotal Media).
19
1. Due Process of Law
Due Process of Lawdiartikan sebagai seperangkat prosedur yang
diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal.
2. Presumption of Innocent
Presumption of Innocentdiartikan sebagai asas praduga tidak
bersalah.
3. Legalitas
Legalitas menurut sejarahnya asas ini merupakan produk aliran
klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan
individu dari kesewenang-wenangan Negara dan bukan untuk melindungi
masyarakat dan Negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana
modern.
4. Adversary System
Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan di mana
pihak-pihak yang berseberangan mengajukan bukti-bukti yang saling
berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan
pihaknya.
5. Clear and Convincing Evidence
Clear and convincing evidence diartikan sebagai standar
pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a
reasonable doubt. Preponderance of evidence, yakni kecukupan bukti
yang biasanya digunakan dalam perkara perdata. Sedangkan, beyond a
20
reasonable doubtadalah standar pembuktian yang digunakan dalam
Pengadilan pidana.
6. Actori In Cumbit Probation
Actori In Cumbit Probation secara harfiah berarti siapa yang
menggugat dialah yang wajib membuktikan.
7. Actori In Cumbit Onus Probandi
Actori in cumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut dialah
yang wajib membuktikan.
8. Secundum Allegat Iudicare
Secundum allegat iudicare dalam hukum acara perdata
menandakan bahwa hakim dalam perkara perdata bersifat pasif.
9. Judex Ne Procedat Ex Officio
Judex Ne Procedat Ex Officioberarti dimana tidak ada penggugat
disana tidak ada hakim.
10. Actus Dei Nemini Facit Injuriam
Actus Dei Nemini Facit Injuriam berarti tidak seorangpun dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat
dihindari.
11. Negativa Non Sunt Probanda
Negativa non sunt probanda berarti sebagai membuktikan sesuatu
yang negative sangat sulit.
12. Unus Testis Nullus Testis
Unus testis nullus testis berarti seseorang saksi bukanlah saksi.
21
13. Persona Standi Injudicio
Persona standi injudicio berarti orang yang berwenang dan cakap
hukum berperkara di pengadilan.
14. Plaintiff
Plaintiff diartikan sebagai pihak yang mengajukan perkara perdata
karena menderita kerugian.
15. Discovery
Discovery diartikan sebagai prosedur untuk mengungkapkan
informasi diantara pihak-pihak yang berperkara.
16. Directed Verdict
Directed Verdict diartikan putusan dalam persidangan yang
dijatuhkan hakim karena ketidakmampuan salah satu pihak untuk
menyodorkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung posisinya.
17. Unlawful Legal Evidence
Unlawful Legal Evidence berarti perolehan bukti yang tidak sah.
18. Audi Et Alteram Partem
Audi et alteram partem berarti dalam mengadili hakim harus
mendengar kedua belah pihak.
19. Probatio Plena
Probatio plena berarti alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian adalah alat bukti tulis atau alat bukti tertulis.9
9 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama,2012), h. 30-50.
22
3. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti berasal dari dua kata yaitu: “alat” dan ‘bukti”. “alat”
berarti: perkakas, berbagai-bagai alat.10 Sedangkan “bukti” berarti: tanda
kebenaran, memberi bukti, menerangkan dengan bukti.11
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan prihal kebenaran suatu peristiwa di Pengadilan. Mengenai
apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu
peradilan akan mengaturnya secara rinci. Alat bukti dalam hukum acara
pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara perdata. Demikian pula
alat bukti yang berlaku bagi acara persidangan dan perkara-perkara tertentu
seperti hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara dalam acara
persidangan kasus korupsi, hukum acara dalam persidangan kasus terorisme,
hukum acara dalam persidangan kasus perceraian, dan masih banyak lagi.12
Pengertian alat bukti menurut para pakar hukum bermacam-macam
diantaranya:
1. Menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya hukum acara perdata
menyatakan bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis
yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan
tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di
dalam pengadilan. Jadi para pihak yang berpekara hanya dapat
10 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2008), cet. ke-1, h. 39.
11 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 40.
12 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 52.
23
memuktikan kebenaran dalil gugatan dan dalil bantahan maupun fakta-
fakta yang mereka kemukakan dalam jenis atau bentuk alat bukti tertentu.
Hukum pembuktian yang berlaku di indonessia sampai saat ini masih
berpegang kepada jenis dan alat ukti tertentu saja.13
2. Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada
hubungannya dengan satu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan
bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.14
3. Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, alat bukti adalah sesuatu yang di
jadikan dasar oleh hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak,
dan kemudian menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.
Sedangkan alat bukti yang berkedudukan sebagai penambah keyakinan
hakim dalam memeriksa perkara.15
4. Macam-macam Alat Bukti
a) Alat Bukti dalam Hukum Perdata
Pembuktian merupakan inti pemeriksaan suatu perkara di
Pengadilan. Perihal bagaimana pembuktian termasuk alat bukti yang
digunakan, semuanya berdasarkan hukum acara persidangan masing-
masing perkara. Demikian pula halnya dalam persidangan perkara perdata,
13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet-10, h.554.
14 Printis Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan),h. 107.
15 Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,(Yogyakarta: Liberty, 1988).
24
mengenai apa saja alat bukti yang sah dan bagaimana cara pembuktiannya,
telah diatur dalam hukum acara perdata.
Dalam perkara perdata yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh
karena itu, hakim terikat hanya kepada alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Dengan demikian, hakim dalam pemeriksaan perkara
perdata bersifat pasif, tergantung dari para pihak yang bersengketa. Akan
tetapi, dalam rangka mencari kebenaran materil atas perkara yang diajukan
oleh para pihak, hakim perdata pun bersifat aktif.
Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS disebutkan alat-alat bukti
terdiri dari: bukti tertulis (sebutan dalam KUHPerdata) atau bukti dengan
surat (sebutan dalam RIB dan RDS); bukti dengan saksi; persangkaan-
persangkaan; pengakuan dan sumpah. Sementara itu, alat bukti
ahli/keterangan ahli dasar hukumnya terdapat dalam RIB dan RDS.
Berikut ini adalah ulasan masing-masing alat bukti dalam perkara perdata
di Indonesia:
a. Bukti Tulisan/Bukti dengan Surat
Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang
sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Bukti
tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk kepentingan
pembuktian dikemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis
besar, bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam,
yaitu akta dan tulisan atau surat-surat lain.
25
Bukti tulisan atau bukti dengan surat sering kita kenal dengan
sebutan akta. Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh
pembuatnya. Pasal 1869 KUHPerdata menentukan keharusan adanya
tanda tangan dalam surat akta, sehingga karcis kereta api, resi dan lain
sebagainya tidak termasuk akta.16
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa suatu
surat dapat dianggap akta jika memiliki ciri sengaja dibuat dan
ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan
siapa surat itu dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam
KUHPerdata Pasal 1867 sampai Pasal 1880, Pasal 164 HIR serta Pasal
284 RBg.
Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan akta di bawah
tangan, diantaranya sebagai berikut:17
Pertama, akta autentik atau akta resmi yang berdasarkan Pasal
1868 KUHPerdata/Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg adalah suatu akta
yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut
undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di
tempat dimana akta itu dibuat.18 Pejabat umum yang dimaksudkan itu
16 Menurut Sudikno Mertikusumo dikutip oleh H.P. Panggabean, Hukum PembuktianTeori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2014), cet. ke-2, h. 52.
17 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h.70.
18 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 2014), cet. ke-2, h. 53.
26
ialah Notaris, Hakim, Pegawai Pencatatan Sipil (ambtenaar
burgerlijke stand),19 Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat,
Pegawai Pencatat Nikah, Panitera Pengadilan, Jurusita, dan
sebagainya.20
Berdasarkan undang-undang, suatu akta autentik atau akta
resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig
bewijs). Artinya, jika suatu pihak mengajukan suatu akta autentik,
hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di
dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak
boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.21
Kedua, adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak
dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang
mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani
surat perjanjian atau akta itu mengakui atau tidak menyangkal tanda
tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran
hal yang tertulis dalam surat perjanjian atau akta itu, maka akta di
bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang
sama dengan suatu akta autentik atau akta resmi. Sebaliknya, jika
19 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. ke-29, h.178.
20 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif h.71.
21 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 179.
27
tanda tangan itu disangkal, pihak yang mengajukan surat perjanjian
tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan
atau isi akta tersebut.22
Selain akta, bukti tulisan juga meliputi semua tulisan sebagai
surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.
Tulisan-tulisan atau surat-surat tersebut pada dasarnya merupakan
suatu bukti terhadap siapa yang membuatnya. Kekuatan pembuktian
surat-surat atau tulisan tersebut adalah sebagai alat bukti bebas.
Artinya, hakim tidak harus menerima atau mempercayai surat-surat
atau tulisan-tulisan tersebut, kecuali diperkuat oleh alat bukti lainnya.
Dengan demikian, agar surat-surat atau tulisan-tulisan selain akta
mempunyai kekuatan sebagai bukti atau untuk dapat dipercayai dan
diterima oleh hakim sebagai bukti, dibutuhkan corroborating
evidence.23
b. Kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139-152, 158-172 HIR
(Pasal 165-179 RBg), dan Pasal 1895/1902-1972 KUHPerdata.
Kesaksian adalah kesaksian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
22 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 179.
23 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 84.
28
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara.24
Seorang saksi dipanggil di muka siang untuk memberi
keterangan yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri peristiwa tersebut, namun ada juga saksi yang dihadirkan yang
dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum
pada saat peristiwa itu dilakukan di masa lampau (saksi ahli).
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus
memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian
dengan apa yang dikatakan dari segi lain tentang perkara yang
disengketakan, cara hidup, adat istiadat, dan martabat para saksi dan
segala sesuatu yang sekiranya memengaruhi tentang dapat tidaknya
saksi tersebut dipercaya (Pasal 172 HIR/Pasal 309 RBg, Pasal 1908
KUHPerdata).25
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi di depan
pengadilan dalam pengertian ada kewajiban hukum untuk memberikan
kesaksian di muka hakim. Pasal 139 HIR, Pasal 165 RBg, Pasal 1909
KUHPerdata, menentukan kewajiban memberikan kesaksian yang
diikuti sanksi jika tidak memenuhinya.26
24 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia, h.57.
25 Lihat Pasal 172 HIR, Pasal 309 RBg, Pasal 1908 KUHPerdata.
26 Lihat Pasal 139 HIR, Pasal 165 RBg, Pasal 1909 KUHPerdata.
29
Pembatasan terhadap asas kewajiban menjadi saksi, ditentukan
sebagai berikut:
1) Golongan yang dianggap tidak mampu menjadi saksi, dibagi
menjadi 2 (dua) jenis:
1. Mereka yang tidak mampu secara mutlak
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan
yang lurus dari satu pihak (Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal
172 ayat (1) sub RBg, Pasal 1910 KUHPerdata).27
b. Suami atau isteri dari salah satu pihak meski sudah bercerai
(Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg,
Pasal 1910 alinea 1 KUHPerdata).28
2. Mereka yang tidak mampu secara relatif. Mereka ini boleh
didengar tetapi tidak sebagai saksi.
a. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun (Pasal 145
ayat (1) sub 3, jo ayat (4) HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 4, jo
Pasal 173 RBg, Pasal 1912 KUHPerdata).29
b. Orang gila, meski kadang-kadang hidup sehat (Pasal 145
ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal
1912 KUHPerdata).30
27 Lihat Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal 172 ayat (1) RBg, Pasal 1910 KUHPerdata.
28 Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg, Pasal 1910 alinea 1KUHPerdata.
29 Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 3, jo ayat (4) HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 4, jo Pasal 173RBg, Pasal 1912 KUHPerdata.
30
3. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai penjelasan
belaka; mereka didengar tanpa harus disumpah (Pasal 145 ayat
(4) HIR/Pasal 173 RBg).31
2) Golongan yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberi kesaksian. Golongan ini yang
mengundurkan diri menjalankan hak ingkar (verschoningsrecht),
diatur dalam Pasal 146 HIR/Pasal 174 RBg, Pasal 1909 alinea 2
KUHPerdata, terdiri atas:
1. Saudara laki-laki dan perempuan atau ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak;
2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-
laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3. Semua orang yang karena martabat jabatan atau hubungan kerja
yang sah, seperti: dokter, advokat, notaris, polisi, dan lain
sebagainya.32
Keabsahan saksi sebagai alat bukti jika kesaksian tersebut
diberikan di bawah sumpah. Artinya, setiap saksi diwajibkan, menurut
cara agamanya, bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan
hal yang sebenarnya. Selain itu, kesaksian tersebut harus disampaikan
30 Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal 1912KUHPerdata.
31 Lihat Pasal 145 ayat (4) HIR/Pasal 173 RBg.
32 Lihat Pasal 146 HIR/Pasal 174 RBg, Pasal 1909 alinea 2 KUHPerdata
31
di depan sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum,
kecuali undang-undang menentukan lain.
c. Persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan atau vermoedens
adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence.
Artinya, alat bukti persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri.
Persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti
lainnya.33 Persangkaan merupakan kesimpulan yang diambil dari suatu
peristiwa yang sudah terang dan nyata, dari peristiwa itu ditarik
kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga
telah terjadi.34
Persangkaan menurut Pasal 1915 KUHPerdata, maka
persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah
peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Dengan demikian,
terdapat dua macam persangkaan, antara lain:
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijkvermoendes
praesumptiones facti) (Pasal 173 HIR). Dalam proses persidangan
hakim juga yang memutuskan berdasarkan kenyataan, seberapa
33 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 90.
34 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 181.
32
jauh kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu
dengan membuktikan peristiwa lain.35
2. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke rechtsvermoendes,
praesumptiones juris). Pada persangkaan berdasarkan hukum maka
undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa
yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak
diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum dibagi menjadi 2 (dua):
a. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan
hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan;
b. Praesumptiones juris et de jure yaitu persangkaan hukum yang
tidak memungkinkan pembuktian lawan.36
d. Pengakuan
Pengakuan (bekertenis/confession) diatur dalam Pasal 174, 175,
176 HIR, Pasal 311, 312, 313 RBg dan Pasal 1927/1928 KUHPerdata.
Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan
peristiwa hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.
Mengenai pengakuan yang dikemukakan oleh salah satu pihak, ada
yang dilakukan di depan persidangan ataupun diluar sidang
pengadilan.37
35 Mr. R. Tresna, Komentar HIR (Pasal 173), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet.ke-18, h. 141.
36 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1915.
37 Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah diIndonesia, (Jakarta: PT. Kencana, 2005), h. 52.
33
Pengakuan yang diberikan di depan sidang pengadilan
merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap pihak yang telah
melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang
yang khusus dikuasakan untuk itu. Suatu pengakuan yang dilakukan di
depan persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila
dibuktikan bahwa pengakuan itu merupakan akibat suatu kekhilafan
menganai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan tidak dapat ditarik
kembali dengan alasan seolah-olah orang yang melakukannya khilaf
mengenai hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg,
Pasal 1926 KUHPerdata.38
Pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak
dapat dipakai sebagai bukti, kecuali jika tidak diizinkan pembuktian
dengan saksi-saksi. Akan tetapi, kekuatan pembuktian suatu
pengakuan lisan di luar persidangan dikembalikan kepada
pertimbangan dan kebijaksanaan hakim. Artinya, penilaian kekuatan
pengakuan sebagai alat bukti sepenuhnya ada pada hakim. Diatur
dalam Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, Pasal 1927-1928 KUHPerdata.39
e. Sumpah
Menurut Yahya Harahap, sumpah sebagai alat bukti adalah
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan
38 Lihat Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg, Pasal 1926 KUHPerdata.
39 Lihat Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, Pasal 1927-1928 KUHPerdata.
34
tujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau
pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila ia berbohong.40
Pengertian bukti sumpah ditentukan dalam Pasal 155, 156, 157,
158 HIR tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dan Pasal 177
HIR tentang pembuktian.
Secara garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu sumpah
promisoir dan sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah
yang diucapkan oleh seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan
atau ketika akan bersaksi di pengadilan. Sementara itu, sumpah
confirmatoir adalah sumpah sebagai alat bukti.41
Sumpah confirmatoir dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Sumpah supletoir (sumpah tambahan), yaitu sumpah yang
diperintahkan oleh hakim secara ex officio. Sumpah ini tidak
diwajibkan oleh undang-undang dan pelaksanaannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Sumpah supletoir hanya dapat
dilakukan jika alat bukti yang ada belum dapat meyakinkan hakim.
Artinya, sumpah supletoir hanya boleh dilakukan jika sudah ada
pembuktian permulaan terlebih dahulu.
2. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksir),yaitu sumpah yang
dibebankan atau diperintahkan oleh hakim kepada penggugat untuk
40 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 745.
41 Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah danHukum UIN Jakarta, 2013), h. 63.
35
menentukan besarnya ganti rugi. Dengan demikian, sudah terbukti
bahwa ada kerugian dari pihak penggugat dan sudah ada penaksiran
ganti kerugian, tetapi kurang meyakinkan hakim. Hakim tidak wajib
membebani penggugat untuk melakukan sumpah aestimatoir.
Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir adalah sempurna, namun
masih memungkinkan adanya bukti lawan.
3. Sumpah decisoir (sumpah pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan
atas permintaan satu pihak kepada pihak lain. Sumpah decisoir
tersebut akan menentukan menang atau kalahnya penggugat atau
tergugat. Sumpah decisoir hanya dapat dilakukan jika tidak ada alat
bukti apa pun dan tidak dimungkinkan bukti lawan. Pasal 1936
KUHPerdata melarang mengajukan bukti lawan/tegen bewijs
terhadapnya karena undang-undang telah melekatkan sumpah
decisoir tersebut nilai pembuktian sempurna mengikat dan
menentukan.42
f. Pendapat Ahli
Pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan
khusus dibidang khusus, dengan perincian:
1. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis dibidang ilmu
pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten
dibidang tersebut.
42 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 91-92.
36
2. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan
(treaning) atau hasil pengalaman.
3. Hasil keterangan saksi tersebut dapat membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa (ordinary
people).43
Dalam Pasal 154 ayat (1) HIR, Pasal 215 Rv pengangkatan
saksi ahli dilakukan oleh hakim secara ex officio atau atas permintaan
salah satu pihak.
b) Alat Bukti dalam Hukum Pidana
Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.
Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan
pelaku diam, dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan
sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian
memberikan landasan dan argument yang kuat kepada penuntut umum
untuk mengajukan tuntutan.44
Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak,
obyektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil
kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara
pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara
pidana adalah kebenaran materiil.
43 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 790.
44 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 103.
37
Sistem hukum acara pidana melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP telah menentutan secara limitatif alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, artinya diperlukan alat-alat bukti tersebut tidak
dibenarkan pembuktian atas kesalahan terdakwa.45 Jenis-jenis alat bukti
dalam Pasal 184 KUHAP diperinci sebagai berikut:
1. Keterangan Saksi
Definisi saksi dan keterangan saksi secara tegas diatur dalam
KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan gunakepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkarapidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alamisendiri”.46
Sementara itu, Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan:“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidanayang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidanayang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri denganmenyebut alasan dari pengetahuannya itu.”47
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti paling utama
dalam perkara pidana, harus hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.
Kriteria kekuatan alat bukti berupa keterangan saksi terbagi ke
dalam 5 (lima) macam, diantaranya:
a. Keterangan saksi harus diikuti sumpah atau janji;
b. Keterangan saksi itu memiliki nilai sebagai bukti;
45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 ayat (1).
46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 26.
47 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 27.
38
c. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan;
d. Keterangan saksi satu tidak dianggap cukup; dan
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. 48
2. Keterangan Ahli
Definisi keterangan ahli dalam KUHAP adalah “keterangan
yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.”49 Keterangan ahli dinyatakan sah sebagai
alat bukti jika dinyatakan di depan persidangan dan di bawah sumpah.
Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah
hal yang seorang ahli nyatakan di bidang pengabdiannya. Keahlian
dari seseorang yang memberikan keterangan ahli tidak hanya
berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal,
namun keahlian itu juga dapat diperoleh berdasarkan pengalamannya.
KUHAP membedakan antara keterangan seorang ahli di
persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di
depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan keterangan
secara langsung di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah,
keterangan tersebut adalah alat bukti yang sah. Sementara itu, jika
seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan keterangan tertulis di
48 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),cet. ke-II, h. 286.
49 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 186.
39
luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang
pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan
alat bukti keterangan ahli.50
Keterangan ahli biasanya bersifat umum berupa pendapat atas
pokok perkara pidana yang sedang disidangkan atau yang berkaitan
dengan pokok perkara tersebut. Ahli tidak diperkenankan memberikan
penilaian terhadap kasus konkret yang sedang disidangkan. Oleh
karena itu, pernyataan terhadap ahli biasanya bersifat hipotesis atau
pernyataan yang bersifat umum. Ahli pun tidak dibolehkan
memberikan penilaian terhadap salah atau tidaknya terdakwa
berdasarkan fakta persidangan yang dinyatakan kepadanya.51
3. Surat
Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat
bukti surat pun, hanya diatur satu pasal saja, yakni pada pasal 187.
Menurut ketentuan itu surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang
sah menurut undang-undang ialah:
Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.52
Secara garis besar, jenis-jenis alat bukti surat ditentukan dalam
Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut:
50 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 115.
51 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, h. 295.
52 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (PemeriksaanSidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, h. 306.
40
1. Surat biasa, yaitu surat yang sejak semula diperuntukkan untuk
membuktikan sesuatu.
2. Surat di bawah tangan, yakni yang dibuatkan untuk pembuktian.
3. Surat autentik, yakni bukti acara dan surat-surat yang lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum (oleh penyidik,
notaris, hakim) yang dapat diperinci menjadi 2 kelompok:
a. Acta ambteljk, yakni akta autentik yang dibuat sesuai kehendak
pejabat umum tersebut.
b. Acta partij, yakni akta autentik yang para pihak dihadapan
pejabat umum.53
Dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP bahwa surat terdakwa harus berdasarkan kesalahannya
terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan
hakim memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa.
4. Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan
sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.54
53 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 187.
54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 188.
41
Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Dalam konteks pembuktian, petunjuk adalah circumstantial
evidence atau bukti tidak langsung yang bersifat sebagai pelengkap atau
accessories evidence. Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri,
namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti
primer, dalam hal ini adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa.55
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam konteks hukum pembuktian secara
umum dapatlah disamakan dengan bukti pengakuan atau confessions
evidence.56 KUHAP memberikan definisi keterangan terdakwa sebagai
apa yang terdakwa nyatakan di depan sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Keterangan terdakwa yang dinyatakan mengandung nilai
pembuktian yang sah adalah sebagai berikut:
1. Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan;
2. Isi keterangannya mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa,
segala hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri;
55 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 110.
56 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 116.
42
3. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri;
4. Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.57
B. Alat Bukti Elektronik
1. Pengertian Alat Bukti Elektronik
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di Pengadilan nampaknya
masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek Pengadilan di Indonesia,
penggunaan data eletronik sebagai alat bukti yang sah memang belum bisa di
legalkan. Padahal dibeberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail
sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara
(perdata maupun pidana).
Dengan perkembangan teknologi Informasi yang pesat memungkinkan
bahwa segala tindak tanduk masyarakat yang berkenaan atau berhubungan
langsung dengan kegiatan hukum sering sekali terjadi. Dimana perusahaan-
perusahaan yang menawarkan jasanya melalui media online sering sekali
mengadakan perjanjian via internet dengan clientnya atau dengan
konsumennya. Perjanjian ini biasanya perjanjian jual beli atau sebagainya,
mana kala terjadi suatu sengketa terhadap perjanjian ini, bagaimana usaha
konsumen untuk menuntutnya di Pengadilan jika pengakuan data elektronik
belum dapat diterima sebagai alat bukti yang sah didalam pengadilan di
57 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
43
Indonesia. Oleh karena itu diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008.
Pengertian teknologi informasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-
undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.58
Sedangkan, pengertian informasi elektronik Pasal 1 butir 1 adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (elektronik mail), telegram, telex, telecopy, atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, symbol atau profesi yang telah dioleh yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.59
2. Macam-macam Alat Bukti Elektronik
a. bukti digital/alat-alat digital pada umumnya
b. e-mail,
c. surat dengan mesin faksimile,
d. tanda tangan elektronik, dan lain sebagainya.60
3. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Menurut Hukum di Indonesia
1) Menurut Undang-undang Hukum Pidana
58 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal1 butir 3.
59 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal1 butir 1.
60 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal1 butir 1.
44
Alat bukti e-mail atau alat bukti elektronik dalam hukum acara
pidana adalah sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 184 KUHAP), karena alat
bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain,
serta berkaitan juga dengan kekuatan alat bukti tersebut.61
Alat bukti elektronik dalam pasal 177 ayat (1) huruf c RUU
KUHAP merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas
maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.62
Alat bukti elektronik dalam ranah hukum pidana merupakan alat
bukti yang dapat dikatakan cukup berperan dalam proses penegakan
hukum. Sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto penegakan hukum
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat;
61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 184.
62 Lihat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal177.
45
e. Faktor budaya. 63
Dengan adanya alat bukti elektronik dalam hukum pidana sangat
berperan dalam membantu hakim mengkualifikasikan alat bukti, karena
dahulu hakim kesulitan apabila harus menafsirkan beberapa barang bukti
yang akan dikualifikasikan sebagai alat bukti.
2) Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dasar hukum mengenai
kekuatan alat bukti elekronik dan syarat formil dan materil alat bukti
elektronik agar dapat diterima di persidangan.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE diatur mengenai pembuktian
elektronik, yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam UU ITE.
Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atausekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronik dan interchange (EDI),surat elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atausejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yangtelah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yangmampu memahaminya. (Pasal 1 butir 1 UU ITE).64
Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalahsetiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
63 Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:Rajawali Pers, 2008), h. 8.
64 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,Pasal 1 butir 1.
46
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atausejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melaluikomputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas padatulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,tanda, angka, kose akses, simbol, atau perforasi yang memiliki maknaatau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.(Pasal 1 butir 4 UU ITE).65
Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak
dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah
data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen
Elektronik ialah wadah atau bungkus dari Informasi Elektronik. Sebagai
contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3
maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah
Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut
ialah mp3.
Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti
yang sah UU ITE mengatur bahwa adanya sarat formil dan sarat materil
yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa
Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah Dokumen atau Surat
yang menurut perundang- undangan harus dalam bentuk tertulis
b. Syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15,dan Pasal 16 UU ITE,
yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat
dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya. Untuk
65 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal1 butir 4.
47
menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam
banyak hal dibutuhkan Digital Forensik.66
Dengan demikian, email, file rekaman atas catting, dan berbagai
Dokumen Elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang
membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti Elektronik
yang di sajikan di dalam persidangan.
Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang
berlaku di Indonesia. Akan tetapi, ketentuan informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-
undang yang harus dibuat dalam bentuk tertulis, akan tetapi tidak terbatas
pada surat berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan
hukum perdata, pidana dan administrasi Negara, serta dokumen yang
menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta
yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Jika suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan
suatu keadaan.
66 Josua Sitompul, Tinjauan Aspek Hukum Pidana, (Jakarta: Tatanusa, 2012).
48
C. Kajian Teoritis Perzinaan
1. Pengertian Zina
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang
sama, yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan
pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat
kepemilikan.67
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa zina adalah koitus yang haram
pada kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam
kondisi atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di
daarul’adl (kawasan negara Islam yang dikuasai oleh pemerintah atau
pemimpin yang sah) oleh orang yang berkewajiban menjalankan hukum-
hukum Islam, tidak mempunyai hakikat kepemilikan, tidak mempunyai
hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat kepemilikan, tidak
mempunyai unsur syubhat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat
berupa kondisi samar dan kabur pada tempat kondisi samar dan kabur pada
kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.68
Jadi zina ialah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan yang sah menurut agama. Islam
memandang perzinaan sebagai dosa besar yang dapat menghancurkan tatanan
kehidupan keluarga dan masyarakat. Berzina dapat diibaratkan seperti
memakai barang yang bukan menjadi hak miliknya.
67 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Darulfikir, 2011), cet.ke-2, h. 303.
68 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, h. 303.
49
Perbuatan zina sangat dicela oleh agama dan dilaknat oleh Allah.
Pelaku perzinaan dikenakan sanksi hukuman berat berupa rajam. Mengenai
larangan berzina Allah swt berfirman dalam QS Al-Isra’ (17): 32
(32)
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, itu (zina) sungguh suatuperbuatan keji dan suatu jalan yang buruk...”
Berdasarkan ayat diatas, setiap umat Islam dilarang mendekati
perbuatan zina, karena perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang sangat
buruk, mengundang kejahatan, serta mengancam keutuhan masyarakat
disamping sebagai perbuatan yang sangat nista.
Al-Qur’an dan hadits secara tegas menjelaskan hukum bagi pelaku
zina baik yang belum menikah (ghairu muhshan) yakni didera seratus kali, hal
ini berdasarkan firman Allah swt QS. An-Nuur (24): 2
(2)
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralahtiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah be;askasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orangyang beriman.”
Sedangkan hukuman bagi pelaku zina yang berstatus muhshan (sudah
menikah) dikenakan sanksi rajam. Dasar penetapan hukum rajam tersebut
ialah hadits Nabi Muhammad saw:
50
Artinya: “ambillah (hukum itu) dariku, ambillah (hukum itu dariku. SungguhAllah swt telah menentukan jalan bagi mereka (perempuan) yaitu perempuanlajang (yang berzina dengan laki-laki lajang sama-sama didera seratus kalidan diasingkan setahun), sedangkan perempuan yang sudah menikah (yangberzina dengan laki-laki yang sudah menikah harus didera sebanyak seratuskali dan dirajam). (HR. Muslim)69
2. Pembuktian Zina
Para ulama telah bersepakat bahwa tindak pidana perzinaan dapat
ditetapkan berdasarkan pengakuan dari pelaku atau berdasarkan kesaksian.
Berbagai tindak pidana dengan ancaman hukuman hadd seperti zina, mencuri,
membegal, dan mengkonsumsi minuman keras tidak dapat ditetapkan dan
dibuktikan dengan berdasarkan pengetahuan hakim atas kejadian perbuatan itu
baik pada saat proses pengadilan maupun sebelumnya. Karena hukuman hadd
dihindari karena adanya syubhat dan disunnahkan untuk menutup-
nutupinnya.70
Seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan zina harus
dibuktikan dengan kesaksian (bayyinah) yang mencakup syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Saksinya berjumlah empat orang saksi laki-laki dalam kasus zina
berdasarkan ayat al-Qur’an.
QS. An-Nisaa (4): 15
69 Lihat Jaami’ Al-Ushuul juz 4, h. 264.
70 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, h. 323.
51
(15)Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yangmenyaksikannya).”
QS. An-Nuur (24): 4
(4)
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.”
Abu Hurairah r.a menerangkan:
أتى رجل رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهو يف : وعن أىب هريـرة رضي اهللا عنه قال أربع مرات يارسول اهللا، أين زنـيت ، فأعرض عنه حىت ردد عليه :فـناداه، فـقال -المسجد
ال، : أبك جنـون ؟ قال: : فـلما شهد على نـفسه أربع شهادات، دعاه النيب صم فـقال : قال ابن شهاب . اذهبوابه ، فارمجوه : نـعم، فـقال النيب صم : فـهل أحصنت ؟ قال : قال ع جابربن عبداهللا قال فأخ فـلما أذ لقته . كنت فيمن رمجه، فـرمجناه بالمصلى:بـر ين من مس
71)متـفق عليه (اه باحلرة، فـرمجناه احلجارة هرب، فضادركن
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra ia berkata, ada seorang laki-laki datangmenemui Rasululah saw yang tengah berada didalam masjid. Diamenyampaikan: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. NamunRasulullah memalingkan muka, sehingga dia mengulangi pernyataannyahingga empat kali. Dikala dia telah mengikrarkan pengakuannya sampaiempat kali. Nabi memanggilnya dan berkata: Apa engkau gila? diamenjawab: tidak. Nabi bertanya: apakah engkau telah muhsan? Diamenjawab: benar. Maka Nabi pun bersabda: bawalah orang ini danrajamkan. Ibnu Syihab berkata: telah diberitahukan kepadaku olehseseorang bahwa Jabir ibn Abdullah berkata: Aku termasuk orang yang
71 Kitab Al-Muntaqa Syarh Al-Muwwata’ Malik, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1999),h. 707.
52
merajamnya, dan kami merajamnya di Mushalla (tempat berlangsungnyashalat ‘Ied). Tatkala dia merasakan sakitnya lemparan batu, si terhukummelarikan diri, kami dapat menangkapnya kembali di Harrah, dan kamimelanjutkan hukuman rajam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas r.a menerangkan:
لعلك : لما أتى ماعزبن مالك النيب صلى اهللا عليه وسلم قال : عن ا بن عباس قال ه فع .نـعم : اليكين،قال : قـبـلت،أوغمزت أونظرت؟ قال رواه امحد (ند ذلك أمر برمج
72)والبخاري وأبوداود
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: tatkala Ma’iz bin Malik datang ketempat Nabi saw, Nabi bertanya: apakah barangkali engkau hanyamencium, atau mungkin engkau hanya sekedar bermain mata ataumungkin sekedar melihat? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah. LaluNabi bertanya: apakah engkau setubuhi dia? Dengan tidak menggunakankata sindiran ia menjawab: ya. Ketika itulah, lalu dia diperintahkan untukdirajam. (HR. Ahmad, Bukhari dan Abu Daud)
Dasar hukum diatas menjelaskan bahwa untuk membuktikan
seseorang telah melakukan perbuatan zina harus dengan empat orang saksi
yang melihat secara langsung, serta pengakuan dari pelaku sebanyak
empat kali.
b. Mukallaf (baligh dan berakal);
c. Laki-laki;
Kesaksian perempuan tidak diterima sama sekali sebagai bentuk
pemuliaan terhadap mereka para kaum perempuan karena perzinaan
adalah tindakan keji.
d. Adil;
e. Merdeka;
72 Kitab Al-Muntaqa Syarh Al-Muwwata’ Malik, h. 707.
53
f. Islam;
g. Ashaalah (orisinil);
h. Kesamaan obyek kesaksian;
i. Para saksi memberikan kesaksian mereka di satu majelis;
j. Terdakwa adalah orang yang kondisinya memang memungkinkan untuk
melakukan persetubuhan;
k. Terdakwa adalah orang yang mampu untuk mengajukan klaim adanya
unsur syubhat;
l. Kasusnya tidak kadaluwarsa (taqaadum) tanpa adanya uzur yang tampak;
dan
m. Para saksi yang ada masih tetap mempunyai ahliyyah (kelayakan dan
kompetensi untuk memberikan kesaksian) sampai dilaksanakannya
hukuman hadd.73
Pembuktian perbuatan zina harus diikrarkan sebanyak empat kali,
apabila kurang maka tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk
menjatuhkan hukuman. Apabila kesaksian empat orang saksi yang melihat
secara langsung tidak benar adanya, maka keempat orang saksi tersebut
mendapatkan hukuman hadd qadzf.
73 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, h. 324-327..
54
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
DAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa
1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa1
Pengadilan Agama Tigaraksa merupakan Pengadilan Agama yang
letaknya berada satu wilayah dengan Pengadilan Agama Kota Tangerang,
namun berbeda kompetensi wilayah. Pembatasan kompetensi wilayah ini
terbentuk sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 yang
memberikan otoritas penuh kepada Kota Tangerang sebagai kota mandiri
di samping Kabupaten Tangerang yang beribukota Tigaraksa.
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Tigaraksa adalah
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 1996 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Bitung, Palu, Unaaha, Bobonaro,
Baucau, Malang, Cibinong, Tigaraksa, dan Pandan. Keprres tersebut
menjadi landasan formil berdirinya Pengadilan Agama Tigaraksa yang
melengkapi Pengadilan Agama di wilayah hukum Pengadilan Agama
Banten.
Untuk menjalankan tugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat, Pengadilan Agama Tigaraksa sementara harus menyewa
rumah pribadi milik masyarakat untuk digunakan sebagai kantor yang
1 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa, h. 63.
55
beralamat di Jl. Serang KM. 12 Desa Bitung Jaya Kecamatan Cikupa
Kabupaten Serang (21 Agustus 1997- akhir Desember 2002). Fase
selanjutnya, Pengadilan Agama Tigaraksa mampu memiliki gedung kantor
sendiri di atas tanah ‘hibah’ Pemba Kabupaten Tigaraksa seluas +- 1.000
M2 dengan luas bangunan 600 M2, terletak di Komplek Perkantoran
Pemda tersebut. Pada tahun 2010, dengan alasan gedung sudah tidak
memadai dan terbatasnya ruang-ruang untuk pelayanan prima serta tidak
sesuai dengan aturan prototipe gedung pengadilan kelas IB, maka PTA
Banten mengusulkan agar gedung tersebut dapat direlokasi melalui
anggaran Mahkamah Agung RI. Atas kerja sama dengan Pemda setempat
usulan tersebut secara konkrit telah terealisasi dan tahun 2013 Pengadilan
Agama Tigaraksa telah menempati gedung baru yang lebih luas yaitu
1.442 M2 dengan luas tanag seluah 3.000 m2 yang terletak di Komplek
Pemda Kabupaten Tangerang Jl. Atik Suardi Tigaraksa-Tangerang.
Pengadilan Agama Tigaraksa merupakan Pengadilan Agama
dengan kapasitas penanganan perkara terbanyak se wilayah Pengadilan
Tinggi Agama Banten. Rata-rata perkara yang diterima setiap bulan
hampir mencapai 300 perkara lebih.
2. Landasan Yuridis Pembentukan PA Tigaraksa
a. Landasan Yuridis
Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 85 Tahun 1996.
56
b. Daftar Nama Ketua
1) Drs. H. Dimyati, S.H (Periode 1997 s.d 2000)
2) Drs. H. Maftuh Abubakar, S.H, M.H (Periode 2000 s.d 2006)
3) Drs. H. Khaerudin, S.H, M.Hum (Periode 2006 s.d 2011)
4) Drs. H. Jeje Jaenuddin, M.S.I (Periode 2011 s.d 2013)
5) Drs. H. Uyun Kamiluddin, S.H, M.H (Periode 2013 s.d sekarang)2
3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Tigaraksa
Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan
masa depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu
institusi. Sedangkan misi adalah sesuatu yang harus diemban atau
dilaksanakan oleh suatu institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan
lembaga dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.
Pengadilan Agama Tigaraksa sebagai underbow Mahkamah Agung
RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung
terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas
dasar itu maka Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan visi dan
misi tersebut dalam visi dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa, yaitu:3
VISI: “Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang modern dan
dipercaya”
MISI:
Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan professional dengan biaya
ringan
2 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa, h. 64.
3 www.pa-tigaraksa.go.id/sejarah diakses pada tanggal 06 Juli 2015 pukul 17.17 WIB.
57
Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output
eksternal pada peradilan
Memperbaiki akses pelayanan hukum dan peradilan
Mengupayakan sistem informasi sesuai program IT
4. Data Wilayah Hukum PA Tigaraksa
a. Wilayah Hukum
Wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa meliputi
Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, serta mencakup 35
(tiga puluh lima) Kecamatan.
b. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin (Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang Selatan) Tahun 2012:
1) Laki-laki : 2.271.457 jiwa
2) Perempuan : 2.184.624 jiwa
c. Jumlah penduduk berdasarkan Agama (Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang Selatan) Tahun 2012:
Agama Islam : 4.112.533 jiwa
Agama Kristen Protestan : 137.693 jiwa
Agama Kristen Katolik : 55.256 jiwa
Agama Hindu : 41.442 jiwa
Agama Budha : 107 jiwa
Agama Khong Hu Chu : 1.337 jiwa4
4 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa, h. 67.
58
B. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten
1. Sejarah Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten5
Pengadilan Tinggi Agama Banten lahir menyertai terbentuknya
provinsi Banten sebagai wilayah yang diberikan otonomi penuh sebagai
provinsi baru di Indonesia pada tahun 2000. Terbentuknya PTA Banten
merupakan konsekuensi logis yang disebut-sebut sebagai berkah atau
dampak positif dari terpisahnya wilayah Banten dengan provinsi yang
telah menjadi induknya yaitu provinsi Jawa Barat terlebih karena
kehadiran lembaga peradilan agama pada tingkat banding tersebut menjadi
harapan besar dan cita-cita dari masyarakat Banten sejak lama.
Pasca provinsi Banten terbentuk, banyak lahir pemikiran baru yang
berorientasi pada upaya untuk membuat kokoh dan menyempurnakan
eksistensi lembaga pemerintahan Banten antara lain dengan menyusun dan
melengkapi infrastruktur, sarana prasarana maupun melalui pembentukan
lembaga-lembaga penting sebagai penyangga atau penguat bagi
pemerintahan yang ada. Dan salah satu lembaga yang kemudian dibidangi
dan lahirnya Pengadilan Tinggi Agama Banten sebagai pengadilan tinggat
banding yang mewilayahi pengadilan agama di provinsi Banten, yang
telah lahir terlebih dahulu. Enam Pengadilan Agama kabupaten/kota yang
semua menginduk kepada Pengadilan Tinggi Agama Bandung beserta
pengadilan agama lainnya yang berada di wilayah priangan (Jawa Barat),
5 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama, h. 12-15.
59
seiring pemisahan wilayah secara otomatos beralih menjadi bagian dari
provinsi Banten.
Gagasan pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten secara
sistematis diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimotori oleh
Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Menyusun dan membentuk panitia,
melakukan konsultasi, koordinasi dengan pemerintahan provinsi Banten
dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh serta mengusulkan
perangkat perundang-undangan merupakan serangkaian upaya konkrit
yang dilakukan agar Pengadilan Tinggi Agama Banten segera terbentuk.
Dengan melibatkan berbagai tokoh dan kalangan seperti akademisi, ulama,
kesepuhan maupun tokoh masyarakat lainnya di samping tokoh peradilan
sendiri, diharapkan tujuan muliah segera tercapai. Dan Surat Keputusan
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung tertanggal 17 Februari 2004
Nomor: PTA.i/K/OT.00/478/2004 dan Surat Keputusan tertanggal 30
November 2005 Nomor: PTA.i/K/OT.00/1946/2005 tentang susunan
panitia pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten menjadi landasan
formil dari serangkaian upaya yang dilakukan tersebut di atas.
Tidak hanya tokoh peradilan yang harus proaktif berusaha keras
untuk segera menghadirkan lembaga peradilan agama pada tingkat
banding di provinsi Banten, secara formal Gubernur Banten sebagai kepala
pemerintahan memberi dukungan ekstra kepada tim pembentukan PTA
Banten antara lain dengan menyediakan lahan yang diperuntukkan bagi
60
gedung kantor seluas 6.000 M2 yang terletak di Blok Kemang Kelurahan
Penancangan Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang.
Langkah-langkah semua pihak untuk menyegerakan lahirnya
lembaga peradilan agama tingkat banding mulai memenuhi titik terang
saat RUU pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten masuk ke
dalam 284 RUU yang akan dibahas DPR RI dan menjadi program
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005-2009. RUU ini kemudian
menjadi cikal bakal UU Pembentukan PTA Banten disahkan secara resmi
bersamaan dengan UU yang sama tentang pembentukan PTA lain seperti
Bangka Belitung, Maluku Utara dan Gorontalo.
Tanggal 19 Oktober 2005 merupakan momen penting dari segala
upaya yang telah dilakukan kareena akhirnya keinginan untuk
mewujudkan peradilan agama tingkat banding di wilayah provinsi Banten
terwujud. Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama
Banten dinyatakan efektif dengan segala akibat hukumnya pada tanggal 03
April 2006. Atas kesepakatan seluruh instansi yang terkait antara lain PTA
Bandung, Dirjen Badilag MARI dan pemerintahan procinsi serta intansi-
intansi lainnya melalui konsultasi dan koordinasi yang dilakukan secara
intens pasca terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2005, ditetapkan tanggal 05
April sebagai tonggak awal PTA Banten berada di wilayah Banten secara
resmi. Penandatanganan prasasti oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof.
DR. Bagir Manan., S.H., M.CL dan pengguntingan pita pada gedung
61
sementara, merupakan lanjutan seremonial bagi lahirnya lembaga baru
tersebut.
Yang tidak kalah enting dari histori pembentukan PTA Banten
hingga mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas adalah momen
pelantikan Bapak Drs. H. Suryadi, S.H., M.Hum yang didaulat
mengemban amanah berat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Banten pertama seteah Undang-undang Pembentukan PTA Banten
diterbitkan yaitu pada tanggal 04 April 2006.pada fase selanjutnya,
sebagai syarat kelengkapan sebuah lembaga baru agar dapat menjalankan
tugasnya secara optimal, pada tanggal 12 April 2006 Ketua PTA Banten
terpilih melantik para pejabat struktural mulai Panitra/Sekertaris (Drs.
Agus Zainal Mutaqien) Wakil Panitra (Rifqi, SH., M.Hum), Wakil
Sekertaris (Hulaesi, SH., MH). Panitra Muda Banding (R. Jaya Rahmat.,
SH.,M.Hum), Panitra Muda Hukum (Drs.Baehaki), Kasubbag Umum
(Mirza., SH.), Kasubbag Kepegawaian (Djulia Herjanara., S.Ag., SH.).,
dan Kasubbag Keuangan (Ratna Sari Fitriani.,SH., MH).bertitik tolak
pelantikan para pejabat tersebut maka secara de fakto PTA Banten mulai
beroperasi (efektif) untuk melaksanakan tugas pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya, secara berturut-turut kekosongan pada jabatan-jabatan
strategis lain mulai terisi. Wakil Ketua PTA Banten (Drs.H. Tarsi
Hawi.,SH) dan beberapa Hakim Tinggi melengkapi kekuatan PTA Banten
pada tahap awal berkiprah secara mandiri di wilayah provinsi Banten.
62
Memiliki 6 (enam) Pengadilan Agama yang di limpahkan PTA Bandung
dengan segala kepastiannya, menjadi modal awal bagi PTA Banten untuk
membangun dan mensejahtrakan diri dengan PTA-PTA lain yang telah
dulu hadir di wilayah Indonesia.
Dari sisi kelembagaan yang mapan (memiliki dukungan
infrastruktur/gedung dan fasilitas yang memadai dan sesuai ketentuan),
PTA Banten di awal kehadirannya mengalami proses yang panjang,
hampirsama ketika berjuang agar PTA Banten terbentuk lahan yang
semula dialokasikan untuk gedung PTA Banten seluas -+ 6.000 M2
terletak di Kemang Serang mengalami perubahan karena alasan atau
keadaan yang kurang memungkinkan. Selanjutnya pimpinan dengan
segenap pihak terkait berupaya keras untuk mencari dan mendapatkan
lokasi pengganti berupa lahan yang strategis dan menenuhi kriteria yang
ditentukan sebagai lahan kantor pengadilan tinggi banding. Untuk
sementara, agar pelaksanaan tugas tetap dapat dilakukan, gedung hasil
sewa (ruko) dimanfaatkan seoptimal mungkin hingga -+ 2 tahun lamanya
(2006-2008), meskipun pada tanggal 6 Desember 2006 telah terbeli tanah
seluas 8.000 M2 yang berlokasi di Jl. Raya Pandeglang km. 7 Serang.
Alokasi lahan yang dibeli melalui anggaran PTA Banten yang saat itu
dititipkan ada DIPA PA Serang TA. 2006 dianggap strategis dan tepat
karena selain berapa dekat dengan pusat pemerintahan provinsi juga
letaknya berdampingan dengan letak gedung kantor lain seperti Pengadilan
Tinggi, Kejaksaan Tinggi, Lembaga Pemasyarakatan, dll sehingga
63
dianggap dapat memberi kemudahan untuk melakukan koordinasi ataupun
kegiatan dinas lainnya.
Lahan kantor seluas 8.000 M2 yang terletak di Jl. Pandeglang km.
7 Serang akhirnya menjadi lahan yang ditepati gedung PTA Banten secara
permanen sejak tahun 2008. Peletakan batu pertama yang menandai
pembangunan tahap I pembangunan gedung PTA Banten dilakukan pada
tanggal 10 Juli 2007 oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. Bagir
Manan., S.H. M.CL dalam proses penyelesaian dan pembangunan lanjutan
lahap ke-II yaitu pada tahun anggaran 2008, pimpinan dan seluruh unsur
yang ada berupaya memanfaatkan dan menggunakan fasilitas gedung yang
belum sempurna untuk menjalankan tugasnya dengan beralih dari ruko
sewa. Dan tepatnya tanggal 6 Desember 2008 penyelesaian pembangunan
PTA Banten dinyatakan selesai.
2. Landasan Yuridis Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten
a. Landasan Yuridis
Pengadilan Tinggi Agama Banten dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Negara Republik Nomor 4 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten.6
b. Daftar Nama Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten
Sejak Pengadilan Tinggi Agama Banten di bentuk sampai
dengan sekarang telah dipimpin oleh lima ketua, diantaranya:7
6 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten, h.15.
64
1) Drs. H. Suryadi., M.Hum (Periode 2006 s.d 2008)
2) Drs. H. Soufyan M. Soleh., S.H (Periode 2008 s.d 2010)
3) Drs. H. M. Thahir Hasan (Periode 2010 s.d 2012)
4) Drs. H. Sudirman Malaya, SH, MH (Periode 2012 s.d 2014)
5) Drs. H. Abu Amar, SH., MH (Periode 2014 s.d sekarang)
3. Data Wilayah Hukum PTA Banten
a. Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Banten
Wilayah hukum PTA Banten meliputi 4 (empat) kabupaten,
yaitu:8
Kabupaten Serang
Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Tangerang
Kabupaten Lebak
Dan 4 (empat) Kotamadya, yaitu:
Kota Cilegon
Kota Tangerang
Kota Serang
Kota Tangerang Selatan
7 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten, h.16.
8 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten, h.19.
65
Serta meliputi 155 (seratus lima puluh lima) kecamatan, 1267
(seribu dua ratus enam puluh tujuh) desa, dan 278 (dua ratus tujuh
puluh delapan) kelurahan.
b. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, diantaranya:9
Laki-laki : 5.741.942 jiwa
Perempuan : 5.507.005 jiwa
c. Jumlah penduduk berdasarkan agama, diantaranya:10
Agama Islam : 10.241.040 jiwa
Agama Kristen Protestan : 494.954 jiwa
Agama Kristen Katolik : 122.614 jiwa
Agama Hindu : 88.867 jiwa
Agama Budha : 299.222 jiwa
Agama Khong Hu Chu : 2.250 jiwa
9 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten, h.20.
10 Ditjen Badilag MARI 2014, Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten, h.20.
66
BAB IV
APANDANGAN HAKIM TENTANG KEKUATAN ALAT
BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA
PERKARA PERCERAIAN
A. Pandangan Hakim PA Tigaraksa dan PTA Banten Mengenai Kekuatan
Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian dan Pembuktian Zina
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya
masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek Pengadilan Agama di
Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti memang masih
sesuatu yang baru dan belum bisa dipergunakan. Padahal di beberapa negara
data elektronik sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu
perkara, baik itu perkara perdata atau pidana. Kiranya tidak perlu menunggu
lama agar persoalan bukti elektronik termasuk e-mail untuk mendapatkan
pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Masalah
pengakuan data elektronik memang menjadi isu yang menarik seiring dengan
pesatnya perkembangan dan penggunaan teknologi informasi (internet).
Sebenarnya Undang-Undang No.25 tahun 2003 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang dan
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi jauh lebih maju karena sudah mengadopsi alat bukti dokumen
elektronik.
67
Untuk memperkuat uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam bab-
bab sebelumnya yang telah dirumuskan dalam bab pendahuluan, maka penulis
mengambil salah satu contoh kasus yang telah ada untuk dianalisis guna
memperkuat penulisan hukum atau skripsi. Contoh kasus yang diambil adalah
perkara perceraian dengan nomor perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan melalui wawancara
dengan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu Bapak Fitriyel Hanif,S.Ag.,
M.Ag., dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten yaitu Bapak Drs. H.
Humaedi Husen, S.H., M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten).
Dan mempelajari berkas perkara yaitu putusan hakim dengan perkara
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten mengenai
gugatan perceraian dengan alasan perzinaan.
Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membuktikan sesuatu
(obyek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh digunakan dengan
cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu terbukti
ataukah tidak menurut undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa proses
pembuktian serta macam-macam alat bukti yang digunakan oleh Pengadilan
Agama telah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Keseluruhan
ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang
disebut dengan hukum pembuktian.
Dalam perkara perdata di pengadilan agama, alat bukti yang digunakan
hakim dalam mempertimbangkan gugatan penggugat adalah sebagai beriku:
68
1) Bukti tulisan/bukti dengan surat;
2) Saksi;
3) Persangkaan;
4) Pengakuan;
5) Sumpah;
6) Keterangan ahli.
Alat bukti tersebut merupakan alat bukti yang sah di dalam
KUHPerdata, RBg dan HIR. Lalu bagaimana dengan pembuktian dengan
menggunakan alat bukti elektronik? Berdasarkan hasil penelitian yang
dilaksanakan melalui wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten. Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa berpendapat bahwa:
“Pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dapat diakui danbisa saja digunakan dalam proses persidangan di Pengadilan Agama apabilaalat bukti tersebut bisa menguatkan secara ilmiah. Dalam artian alat buktielektronik tersebut sudah diakui oleh saksi ahli yang menguasai danmemahami mengenai boleh atau tidaknya alat bukti elektronik tersebutdijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan di dalam suatu persidangandan tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Saksi ahli tersebut bertugasuntuk menguatkan majelis hakim dalam pembuktian perceraian dengan alatbukti elektronik seperti foto, sms, video, ataupun alat elektronik yang lain.”1
Sedangkan menurut hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten:“Pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dapat dijadikansebagai alat bukti yang sah apabila alat bukti tersebut falid dan tidakbertentangan dengan hukum Islam dalam masalah perceraian. Alat buktielektronik dalam perkara perceraian bisa menjadi solusi dan memudahkanpembuktian selama hal tersebut dapat menjelaskan akan adanya kebenaran didalam putusan tersebut. Akan tetapi, alat bukti elektronik seperti foto dan
1 Wawancara pribadi dengan Fitriyel Hanif (Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa), padatanggal 22 April 2015 di Pengadilan Agama Tigaraksa.
69
video harus terlebih dahulu diputus oleh tindak pidana dan harus dibuktikanjuga dalam kasus perceraian tersebut di depan majelis hakim.”2
Pemerintah sebenarnya telah memberikan respon positif terhadap
perkembangan teknologi di tandai dengan hadirnya Undang-Undang Nomor
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE).
Sementara ini UU ITE setidaknya mampu mengakomodir tentang alat bukti
elektronik dalam pembuktian belum mempunyai status yang jelas. Meskipun
pada prakteknya pernah terjadi di persidangan seperti menjadikan SMS (Short
Messege Service), video, foto, dsb sebagai alat bukti.
Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Tigaraksa perkara
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama Banten perkara
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, majelis hakim menolak permohonan gugatan
perceraian yang di ajukan oleh N terhadap S, dengan dalil bahwa tergugat
adalah pezina yang suka berbuat zina dengan wanita Pekerja Seks Komersial
(PSK) dengan membuktikan keotentikan foto-foto mesum, BBM dan SMS itu.
Oleh saksi ahli ITB, foto dan data elektronik tersebut dinyatakan original dan
bukan rekayasa. Hal ini lalu dituangkan dalam akta notaris dan disodorkan ke
majelis hakim.
Namun meski telah menunjukkan bukti kuat tersebut, majelis hakim
menolak permohonan cerai tersebut, dikarenakan alat bukti elektronik berupa
foto pesta seks tersebut tidak mengarah ke kasus perzinaan, di dalam alat bukti
elekronik tersebut hanya foto-foto berpelukan saja, oleh karena itu alat bukti
2 Wawancara pribadi dengan Bapak Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H. (Wakil KetuaPengadilan Tinggi Agama Banten), pada tanggal 12 Mei 2015 di Pengadilan Tinggi AgamaBanten.
70
elektronik berupa foto tersebut tidak bisa dijadikan alasan seseorang telah
melakukan perbuatan zina, karena tidak menggambarkan suatu perbuatan
perzinaan.
Menurut Bapak hakim Pengadilan Agama Tigaraksa pembuktian
perzinaan dengan menggunakan alat bukti elektronik dapat dipertimbangkan
dan sangatlah kuat, karena pada masa Nabi saw kenapa tuduhan melakukan
perzinaan harus dibuktikan dengan menghadirkan empat orang saksi yang
melihat secara langsung, dikarenakan pada masa Nabi saw belum ada alat
bukti melalui alat bukti elektronik. Akan tetapi, di zaman modernisasi seperti
sekarang ini apabila disuatu ruangan ada yang melakukan perbuatan perzinaan
dan terekam di dalam sebuah sisi TV dan dilihat rekaman tersebut oleh empat
orang maka yang melihat rekaman tersebut telah menjadi seorang saksi di
dalam suatu persidangan pembuktian perzinaan.3
Sedangkan menurut Bapak hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten
pembuktian perzinaan dengan menggunakan alat bukti elektronik tidak bisa
dijadikan pedoman dalam kasus pembuktian perzinaan dikarenakan hal
tersebut sudah diatur di dalam hukum Islam itu sendiri, yaitu harus menghadiri
empat orang saksi yang tahu jelas kejadian perzinaan tersebut, seperti; waktu,
tempat, bahkan seperti apa cara melakukannya.4 Hal ini sesuai dengan al-
Qur’an Surah An-Nur ayat 4:
3 Wawancara pribadi dengan Fitriyel Hanif (Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa), padatanggal 22 April 2015 di Pengadilan Agama Tigaraksa.
4 Wawancara pribadi dengan Bapak Humaedi Husen (Wakil Ketua Pengadilan TinggiAgama Banten), pada tanggal 12 Mei 2015 di Pengadilan Tinggi Agama Banten.
71
(4)Artinya:”dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, makaderalah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlahkamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulahorang-orang yang fasik.” (QS. An-Nisa:4)
Selain itu pembuktian perzinaan tersebut harus melalui proses di
Pengadilan Negeri terlebih dahulu untuk membuktikan kebenarannya apakah
benar tergugat telah melakukan perzinaan, apabila sudah terbukti maka
bolehlah penggugat mengajukan alat bukti tersebut sebagai alat bukti
elektronik dalam perkara perceraian. Seperti di dalam perkara perceraian
No.21/Pdt.G/2014/PTA. Banten alat bukti elektronik tersebut tidak bisa
menguatkan pembuktian dikarenakan hukum yang dipakai oleh Pengadilan
Agama adalah sesuatu yang berlandaskan dengan syariat Islam atau kitab
KHI, yang telah mengatur untuk membuktikan bahwa seseorang melakukan
perbuatan perzinaan yaitu harus dengan empat orang saksi dan di dalam Al-
Qur’an maupun hadits yang menjelaskan tentang pembuktian perzinaan itu
bersifat qot’i atau hukum tetap yang telah diatur di dalam hukum Islam.5
Alat bukti elektronik sebagai alat bukti perzinaan di Indonesia tidak
disetujui karena hal tersebut telah menyalahi akan adanya hukum yang diatur
di dalam hukum Islam yang menjadi dasar pokok Pengadilan Islam yaitu
5 Wawancara pribadi dengan Bapak Humaedi Husen (Wakil Ketua Pengadilan TinggiAgama Banten), pada tanggal 12 Mei 2015 di Pengadilan Tinggi Agama Banten.
72
Pengadilan Agama. Jadi, apabila ingin dilegalkan maka harus ada
pertimbangan kembali dikarenakan takut ada pertentangan di kalangan umat
Islam yang bernaung di dalam Pengadilan Agama yang menjadi naungan
untuk memperoleh suatu keadilan dalam hukum.6
Menurut penulis diera informasi seperti saat ini keberadaan suatu
informasi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting di dalam
kehidupan sehingga, ketergantungan akan tersedianya informasi semakin
meningkat. Perubahan bentuk masyarakat menjadi suatu masyarakat informasi
memicu perkembangan teknolongi informasi yang menciptakan perangkat
teknologi semakin canggih dan berkualitas.
Khususnya di Indonesia, perkembangan teknologi informasi semakin
pesat dan penggunanya pun semakin banyak. Tetapi perkembangan ini tidak
diimbangi dengan perkembangan hukumnya, data atau informasi elektronik
akan diolah dan diproses dalam suatu sistem elektronik dalam bentuk
gelombang digital. Sehingga mau tidak mau memberikan dampak bagi tatanan
sistem hukum yang berlaku dinegara ini terutama mengenai pembuktian
dengan menggunakan alat bukti elektronik.
Oleh karena itu, dengan diaturnya lima alat bukti secara tersendiri
dalam suatu pasal khusus, yaitu 164 HIR (sama dengan Pasal 284 RBg, Pasal
1866 BW) mengenai alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaan, pengakuan
dan sumpah, baru disusul dengan pasal tersendiri yaitu mengenai keterangan
ahli dan tersendiri lagi dengan pemeriksaan setempat, hal ini membuktikan
6 Wawancara pribadi dengan Bapak Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H. (Wakil KetuaPengadilan Tinggi Agama Banten), pada tanggal 12 Mei 2015 di Pengadilan Tinggi AgamaBanten.
73
bahwa pembuat undang-undang tidak bermaksud secara terbatas hanya
mengakui adanya sejumlah alat bukti tertentu.
Sudah seharusnya dipikirkan mengenai alat-alat bukti baru yang kini
muncul dalam lalu lintas keperdataan dunia modern, sejauh mana daya
pembuktiannya dalam hukum pembuktian. Pembuktian dengan menggunakan
alat bukti elektronik bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan
menguatkan, asalkan alat bukti tersebut terjamin kebenarannya dan bisa di
pertanggung jawabkan secara ilmiah. Disamping itu alat bukti elektronik
sudah di atur di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) Pasal 5 ayat 1 yang mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum
yang sah.7
B. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutusakan
Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Perkara
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten
1. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Memutuskan
Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs
Majelis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs menolak gugatan penggugat atas
dasar dan hukum sebagai berikut:
7 Lihat Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi ElektronikPasal 5 ayat 1.
74
1) Alat bukti elektronik berupa foto yang diajukan oleh penggugat tidak
mengambarkan akan adanya perbuatan perzinaan, hanya foto
berpelukan saja. Alat bukti elektronik tersebut dapat diterima oleh
majelis hakim akan tetapi tidak menguatkan. Untuk membuktikan
seseorang melakukan perzinaan harus menghadirkan empat orang
saksi yang melihat secara langsung, hal ini di jelaskan dalam surah An-
Nur ayat 4, yang artinya:
(4)“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuatzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralahmereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlahkamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulahorang-orang yang fasik”.
Majelis hakim berpendapat bahwa masalah perzinaan ini hal
yang sangat sensitif dan krusial. Dalam Islam, di butuhkan 4 (empat)
orang saksi yang mengetahui dan melihat secara langsung terjadinya
perzinaan. Jika ada saksi yang memberikan keterangan tidak benar
mengenai perzinaan, maka sangsinya akan sangat berat. Bahkan 4
(empat) orang saksi yang yang mengetahui secara langsung, tidak
boleh hanya sekedar melihat laki-laki dan perempuan sedang berduaan
di kamar, namun harus melihat secara langsung sedang terjadi
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.
75
2) Selain alasan mengenai alat bukti elektronik dalam perkara ini majelis
hakim menolak gugatan tersebut dikarenakan gugatan tersebut
merupakan memiliki kesamaan esensial dengan perkara gugatan cerai
terdahulu (vide Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banten No.
8/Pdt.G/2013/PTA.Banten dan Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa
No.51/Pdt.G/2012/PA.Tgrs) yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Dalam hal ini melekat asas ‘Ne Bis in Idem” sehingga menurut
hukum tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
2. Analisis dan Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
Banten dalam Memutuskan Perkara No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten
Dalam memutuskan perkara No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten
majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten menggunakan dasar dan
hukum sebagai berikut:
1) Alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai pembuktian perceraian
yang sah dan membantu majelis hakim dalam mempertimbangkan
perkara tersebut, asalkan alat bukti elektronik tersebut falid dan tidak
ada rekayasa didalamnya. Akan tetapi, untuk kasus perzinaan alat
bukti elektronik tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti atas perbuatan
perzinaan. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan aturan yang sudah
diatur dalam al-Qur’an Surah An-Nur ayat 4, disamping itu belum ada
undang-undang yang mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagai
pembuktian perzinaan. Karena hukum yang dipakai oleh Pengadilan
Agama berdasarkan dengan syariat Islam dan KHI.
76
2) Pembuktian dalam hal menuduh zina menurut hukum Islam telah
ditentukan secara tegas dan bersifat qath’i di dalam al-Qur’an surah
An-Nur ayat 4 yaitu dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi.
Dalam hal ini penggugat hanya mengajukan 2 (dua) orang saksi saja,
dan ternyata ke 2 (dua) saksi tersebut tidak memenuhi syarat materiil
kesaksian karena apa yang diterangkan saksi-saksi tersebut ternyata
hanya asumsi belaka, tidak melihat secara langsung perzinaan tersebut.
3) Zina merupakan perbuatan tindak pidana, maka jika
pembanding/penggugat tidak menerima sistem hukum pembuktian
menurut hukum Islam, seharusnya dapat membuktikan tuduhan zina
tersebut melalui putusan pidana.
4) Pembanding tidak dapat membuktikan perzinaan tersebut sesuai
dengan hukum pembuktian, baik menurut hukum acara dalam HIR,
yakni 2 (dua) orang saksi, atau dengan putusan pidana, maupun
menurut hukum islam, yaitu 4 (empat) orang saksi.
Alasan majelis hakim menggunakan dalil Al-Qur’an adalah karena
selain dari tiga kitab perundang-undangan di tambah Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menjadi dasar
hukum acara perdata dalam lingkungan Peradilan Agama. Al-Qur’an juga
merupakan sumber yang menjadi pegangan para hakim dalam
memutuskan perkara yang dihadapinya bilamana aturan hukum tersebut
tidak di temukan dalam kitab undang-undang. Diranah hukum perdata
dalam kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal,
77
sedangkan dalam hukum pidana kebenaran yang dicari hakim adalah
kebenaran materil.
Maksud dari kebenaran formal yaitu keterkaitan hakim terhadap
alat-alat pembuktian dalam hukum acara perdata hakim hanya semata-
mata terikat pada alat bukti yang sah. Para hakim hanya membuktikan
“peristiwa” yang disengketakannya saja sedang soal “hukumnya” adalah
menjadi tugas hakim.
Itulah sebabnya sebagian hakim berpendapat bahwa alat bukti
elektronik bukan merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat
sehingga tidak dapat memberikan kekuatan hukum tersendiri dan tidak di
terima sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, kedudukan sebuah alat bukti elektronik dalam
persidangan perceraian, berdasarkan hukum formil alat bukti berupa foto,
video, rekaman, kaset dan sebagainya tidak termasuk dari macam-macam
alat bukti yang diakui keautentikannya. Maka dapat diupayakan
keautentikannya dengan adanya legalisasi atau berdasarkan keterangan
ahli yang menyatakan bahwa benar foto dan video tersebut bukan hal
rekayasa. Maka hakim berhak menarik kesimpulan dengan berbagai tolak
ukur dan pertimbangan dari kebenaran materilnya.
Menurut pendapat penulis, dasar dan hukum yang digunakan oleh
majelis hakim PA Tigaraksa dan PTA Banten dalam memutuskan perkara
tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dilingkungan Pengadilan
Agama, untuk membuktikan seseorang melakukan perbuatan perzinaan
78
harus dibuktikan dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara
langsung, waktu, tempat, bahkan cara melakukan perzinaan tersebut.
Pembuktian perzinaan dengan alat bukti elektronik bisa diterima
sebagai alat bukti yang sah, asalkan alat bukti elektronik tersebut
menerangkan akan adanya perzinaan, serta bisa dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis jelaskan maka dapat
diambil kesimpulan bahwa para hakim memberikan pandangan berbeda-beda
mengenai kekuatan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian dengan alasan
perzinaan, diantaranya:
Hakim PA Tigaraksa dengan hakim PTA Banten menyetujui bahwa
pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik bisa digunakan dalam
proses persidangan perceraian di Pengadilan Agama, selama alat bukti elektronik
tersebut bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tidak memiliki unsur
rekayasa, serta sesuai dengan aturan yang ada di Pengadilan Agama. Akan tetapi,
pembuktian perzinaan dengan menggunakan alat bukti elektronik kedua hakim ini
berbeda pendapat, diantaranya: Hakim PA Tigaraksa dapat menerima alat bukti
elektronik sebagai alat bukti perzinaan, asalkan alat bukti tersebut
menggambarkan akan adanya perbuatan perzinaan, hal ini didasarkan atas
perkembangan zaman yang semakin modern dan diperkuat dengan UU ITE.
Sedangkan hakim PTA Banten menolak alat bukti elektronik bisa dijadikan
sebagai alat bukti perzinaan, dikarenakan hukum acara perdata belum mengatur
tentang hal tersebut dan bertentangan dengan al-Qur’an surat An-Nur ayat 4, yang
menjelaskan bahwa untuk membuktikan seseorang melakukan perzinaan harus
dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara langsuung.
80
Alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim menolak perkara perceraian
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten ialah alat bukti
elektronik berupa foto dan SMS yang diajukan oleh penggugat tidak menunjukkan
akan adanya perzinaan, saksi yang didatangkan oleh penggugat tidak memenuhi
aturan yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nur ayat 4 yaitu 4 orang
saksi. Dalam hal perzinaan seharusnya penggugat terlebih dahulu melaporkan ke
Pengadilan Negeri karena perzinaan merupakan tindak pidana. Oleh karena itu
pembuktian yang diajukan oleh penggugat tidak dapat menguatkan hakim untuk
memutuskan perceraian. Disamping itu selain persyaratan formil yang tidak dapat
terpenuhi oleh penggugat, ternyata penggugat sudah melaksanakan gugatan
sebelumnya dan mendapatkan putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan
hukum yang tetap. Dalam kata lain, gugatan ini mengikat asas “Ne Bis In Idem”
dan tidak dapat diajukan kembali.
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah dipaparkan maka diajukan beberapa saran
yang perlu disampaikan sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah diera serba modern ini, untuk masalah pembuktian perkara
perdata sudah seharusnya memasukkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti
yang sah dan dapat dipertimbangkan pembuktiannya.
2. Kepada para hakim di Pengadilan Agama untuk mempertimbangkan
pembuktian dengan alat bukti elektronik sebagai alat bukti perceraian, dan
dalam memutuskan jangan hanya berlandaskan pada al-Qur’an tapi harus
menyesuaikan dengan kondisi zaman saat ini, dikarenakan zaman semakin
81
modern dan masyarakat sudah banyak yang menggunakan dan mengetahui
informasi serta teknologi dalam kehidupan sehari-harinya.
3. Kepada masyarakat luas agar selalu memanfaatkan informasi dan teknologi
yang semakin canggih ini dengan sebaik-baiknya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV AkademikaPressindo. 2010.
Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan HukumPositif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: PustakaPelajar. 1998.
Bahri, Syaiful. Hukum Pembuktian Dalam Praktek Pengadilan. Jakarta: P3IH danTotal Media.
Darwan, Printis. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka. 1991.
Ditjen Badilag MARI. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa. 2014.
Ditjen Badilag MARI. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten.2014.
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2008.
Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyahdi Indonesia. Jakarta: PT. Kencana. 2005.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) EdisiKedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
Hiariej, Eddy OS. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Gelora AksaraPratama. 2012.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:Bayumedia Publishing. 2008.
83
Kamarusdiana. Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: FakultasSyariah dan Hukum UIN Jakarta. 2013.
Kitab Al-Muntaqa Syarh Al-Muwwata’ Malik. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.1999.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Mahmudunnasir. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.1991.
Mamitoho, Refly Aditia. Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam PemeriksaanPerkara Perdata. Vol 2 No. 1. 2014.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana. 2006.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2004.
M. Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya,2001.
Panggabean, H.P. Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia.Bandung: PT. Alumni. 2014.
Prakoso, Djoko. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana.Yogyakarta: Liberty. 1988.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Sanapiah, Faisal. Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar, dan Aplikasinya.Jakarta: PT. Rajawali Pers. 2003.
Sitompul, Josua. Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa. 2012.
Soedirjo. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta: CV AkademikaPressindo. 1985.
Sokanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1992.
84
Soekanto, Soejono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta:Raja Grafindo. 2001.
Soekanto, Soejono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Jakarta: Rajawali Pers. 2008.
Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita. 1991.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2001.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. 2004.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada. 2007.
Syahrani, Riduan. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.Jakarta: Pustaka Kartini. 1988.
Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2005.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan TransaksiElektronik (ITE).
Zuhaili (az), Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7. Jakarta: Darulfikir.2011.
Karya Ilmiah, Internet, Wawancara
Laporan Penelitian. Eksistensi Alat Bukti Elektronik Dalam PenyelesaianSengketa Perdata di Pengadilan Negeri Bandung Pasca Berlakunya UUNo. 1 Tahun 2008 Tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik. UNPAD.2010.
www.pa-tigaraksa.go.id/sejarah diakses pada tanggal 06 Juli 2015 pukul 17.17WIB.
Wawancara dengan Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., (Hakim Pengadilan AgamaTigaraksa), pada tanggal 22 April 2015 di Pengadilan Agama Tigaraksa.
Wawancara dengan Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H. (Wakil Ketua PengadilanTinggi Agama Banten), pada tanggal 12 Mei 2015 di Pengadilan TinggiAgama Banten.
TRANSKIP WAWANCARA
A. Identitas Narasumber
Nama Lengkap : Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag.
Tempat, tanggal lahir : Limakaum, 26 November 1971
Jabatan di PA Tigaraksa : Hakim Anggota dan Humas PA Tigaraksa
B. Pertanyaan-pertanyaan
1. Apa alasan dan pertimbangan yang mendasari Majelis Hakim untuk
menolak gugatan penggugat dalam perkara No.
1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs?
Jawaban: “Majelis hakim menolak gugatan penggugat dikarenakan alasan
dari gugatan tersebut tidak terbukti, alat bukti elektronik berupa foto yang
diajukan oleh penggugat tidak menggambarkan perbuatan perzinaan, di
dalam foto tersebut hanya telanjang dada dan tidak menggambarkan kedua
pelaku yaitu tergugat sedang berbuat zina, mungkin apabila foto tersebut
menjelaskan akan adanya perzinahan majlis hakim akan mengabulkan
permohonan cerai penggugat, seperti kasus yang telah Aril lakukan yang
jelas-jelas sedang melakukan perzinaan (hakim apabila mengabulkan
permohonan gugatan penggugat mereka akan di bilang sebagai orang yang
telah menuduh orang berzina maka Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
yang merujuk kepada al-Qur’an Surah An-Nur ayat 4 tentang pembuktian
perzinaan.
2. Bagaimana pandangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
mengenai kekuatan alat bukti elektronik dalam perkara penceraian?
Jawaban: Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa mengakui alat bukti
elektronik sebagai alat bukti yang sah asalkan alat bukti elektronik tersebut
bisa menguatkan secara ilmiah yaitu alat bukti elektronik tersebut telah di
akui oleh saksi ahli yang menguasai akan kebenaran apakah benar atau
tidaknya alat bukti tersebut yang di jadikan sebagai alat bukti didalam
persidangan.
3. Saksi ahli yang bernama Nurul Irfan (dosen UIN Jakarta) berpendapat
bahwa apabila dalam suatu foto yang menjelaskan apabila ada dua orang
yang jenis kelaminnya berbeda secara bersamaan didalam suatu ruangan
yang sama dengan kondisi keduanya telanjang dada, maka tidak menutup
kemungkinan mereka akan melakukan suatu perzinaan. Bagaimana
menurut bapak mengenai pendapat saksi ahli tersebut?
Jawaban: penganalisaan tersebut benar tentunya, akan tetapi menurut
hukum formil tidak bisa di terima. Apabila ditanya hati nurani saya cocok
dan secara keilmuan cocok akan tetapi menurut hukum formil hakim tidak
bisa menerima alasan tersebut dikarnakan di dalam hukum di Indonesia ini
tidak ada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki hanya milik Tuhan
yang Maha ESA dan di contohkan pula kasus pencurian sudah jelas orang
itu mencuri akan tetapi yang melihat orang tersebut mencuri tidak mau
memberikan kesaksiannya di dalam pengadilan sehingga pencuri tersebut
lepas akan hukumannya dikarenakan tidak bisa membuktikan secara
hukum formil (hukum tidak bisa hanya indikasi akan tetapi harus ada
kebenaran formil juga).
4. Menurut Bapak hakim seberapa kuatkah alat bukti elektronik dalam
perkara pembuktian perzinaan dalam sebuah penceraian?
Jawaban: sangat kuat, di zaman Nabi mengapa pembuktian perzinaan
harus dibuktikan dengan menghadirkan 4 (empat) orang saksi yang
melihatnya langsung, dikarnakan di zaman Nabi belum ada alat bukti
smelalui alat bukti elektronik. Akan tetapi, di zaman modernisasi seperti
sekarang ini apabila di suatu ruangan ada yang melakukan perbuatan zina
dan terekam di dalam sebuah sisi TV kemudian rekaman tersebut dilihat
oleh 4 (empat) orang atau lebih maka yang melihat rekaman tersebut bisa
menjadi seorang saksi di dalam suatu persidangan pembuktian perzinaan.
5. Bagaimana pendapat bapak hakim mengenai sistem elektronik yang
tercantum dalam Pasal 1 butir 5 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik?
Jawaban: hal tersebut tidak ada masalah selagi ada saksi ahli di dalam
pembuktian tersebut untuk menguatkan majelis hakim dalam pembuktian
alat bukti elektronik seperti foto, sms, video, ataupun alat elektronik yang
lain sepanjang alat bukti tersebut diakui secara ilmiah dan tidak
bertentangan dengan apa yang telah diajukan oleh penggugat, sehingga
majelis hakim mendapatkan suatu pencerahan yang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang yang ada di Indonesia dan seperti dicontohkan di
dalam perkara kekerasan berumah tangga ada kebengkakan di kepala
seorang korban lalu dibawa kedokter sebagai saksi ahli apakah benar
kebengkakan tersebut di karnakan telah terjadi pemukulan dengan benda
keras, selanjutnya dironsen dan ronsenan tersebut sebagai alat bukti
elektronik di ajukan ke persidangan bahwa benar kebengkakan tersebut
akan adanya kekerasan berumah tangga sehingga majelis hakim mendapat
pencerahan dalam memutuskan perkara tersebut.
6. Bukti elektronik yang sudah di jadikan pedoman di hukum pidana apakah
bisa dijadikan pula oleh hukum perdata dan Kompilasi Hukum Islam
khususnya kasus penceraian seperti perkara No.1538/pdt.G/2013/PA.Tgrs?
Jawaban: secara pribadi setuju, apabila telah ada dasar hukum yang
mengatur atau menjadi rujukan oleh majelis hakim dalam pembuktian
elektronik dikarnakan di dalam kasus ini sudah jelas tergugat telah
melakukan sesuatu perbuatan dosa dan telah melakukan perbuatan
perzinaan “zina mata, zina tangan ataupun zina yang di artikan
memasukan dzakar ke dalam farji” akan tetapi dalam kasus ini tidak bisa
dijadikan suatu landasan hakim dikarnakan belum ada undang-undang
yang mengatur tentang alat bukti elektronik dalam hukum perdata ataupun
KHI.
7. Pembuktian perzinaan dengan mendatangkan 4 (empat) orang saksi yang
melihat langsung yang telah di atur di dalam al-Qur’an surah An-Nur ayat
4 sangatlah susah dalam membuktikannya, apakah bisa di qiyaskan dengan
alat bukti elektronik yang telah di teliti oleh saksi ahli menjadikan
kesaksian dalam hukum acara pengadilan agama?
Jawaban: tentu saja alat bukti elektronik tersebut bisa dijadikan suatu
dasar untuk menjadikan bukti perzinaan selagi video atau foto tersebut di
akui secara ilmiah dan sudah tidak mungkin lagi di rekayasa di dalam
video atau foto tersebut atau sudah yakin bahwasanya video atau foto
tersebut benar adanya. Dan apabila kita masih berpedoman bahwa
membuktikan perbuatan perzinaan dengan 4 (empat) orang saksi yang
melihat secara langsung kejadian tersebut, yakinilah tidak akan pernah ada
kasus pembuktian perzinaan yang terbukti, hal harus kita sesuaikan dengan
era modernisasi pada saat ini bukan lagi diera masa Rasulullah saw.
Rasulullah mengatakan bahwasanya al-Qur’an itu cocok di semua zaman
dan apabila sekarang adalah zaman elektronik maka al-Qur’an akan masuk
kedalamnya dikarnakan telah ada kemajuan zaman dan kita sebagai
umatnya diperintahkan untuk terus perfikir dan berfikir untuk mencapai
kemaslahatan, dan apabila dianalogikan dahulu harus ada empat orang
saksi yang harus melihat langsung dan sekarang melihat video dengan cara
menontonnya maka boleh saja dianalogikan seperti itu akan tetapi hal
tersebut belum bisa untuk diterima dikalangan masyarakat muslim di
Indonesia dikarnakan ketakutannya akan ada rekayasa didalamnya, dan
menurut Mahkamah Agung sendiri telah diedarkan bukti elektronik
tersebut sah dan berharga selagi dilengkapi secara ilmiah.
8. Menurut bapak hakim seberapa besar dampak dan akibat alat bukti
elektronik dalam pembuktian perzinahan apabila di legalkan dalam
Undang-Undang di Indonesia?
Jawaban: saya setuju apabila akan ada undang-undang yang mengatur
tentang kekuatan alat bukti elektronik yang mengacu foto dan video
TRANSKIP WAWANCARA
A. Identitas Narasumber
Nama Lengkap : Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H.
Tempat, tanggal lahir : Serang, 10 Oktober 1948
Jabatan di PA Tigaraksa : Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten
B. Pertanyaan-pertanyaan
1. Apa alasan dan pertimbangan yang mendasari Majelis Hakim menolak
gugatan penggugat dalam perkara No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten?
Jawaban: karena keterangan-keterangan yang di ajukan oleh penggugat
beserta pengacaranya tidak menjelaskan akan adanya bukti perzinahan di
dalam bukti yang telah di ajukan oleh penggugat beserta ahli hukumnya.
2. Bagaimana pandangan bapak hakim mengenai kekuatan alat bukti
elektronik dalam perkara penceraian?
Jawaban: alat bukti elektronik dalam kasus ini dapat dijadikan sebagai alat
bukti akan tetapi tidak harus, tergantung terhadap majelis hakim yang
menyidangkannya dan didalam perkara ini majelis hakim tidak melihat
akan adanya alat bukti yang mengarah kepada kasus perzinaan. Didalam
alat bukti elektronik tersebut hanya foto-foto berpelukan saja sehingga alat
bukti elektronik tersebut tidak bisa dijadikan alat bukri perbuatan
perzinaan.
3. Menurut bapak hakim seberapa kuatkah alat bukti elektronik dalam
perkara pembuktian perzinahan dalam sebuah penceraian?
Jawaban: alat bukti elektronik dapat di jadikan alat bukti yang sah apabila
alat bukti tersebut valid dan tidak bertentangan dengan hukum Islam
dalam masalah penceraian. Sebagai contoh alat bukti foto dan video harus
terlebih dahulu di putus tindak pidananya dan harus di buktikan juga
dalam kasus penceraian tersebut di depan majelis hakim
4. Bagaimana pendapat bapak hakim mengenai sistem elektronik yang
tercantum dalam Pasal 1 butir 5 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik?
Jawaban: saya setuju akan adanya alat bukti elektronik dalam perkara
penceraian selama hal tersebut dapat menjelaskan akan adanya kebenaran
di dalam putusan tersebut, namun demikian tergantung musyawarah
majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut, dalam hal ini perkara
No.21/Pdt.g/2014/PTA.Banten.
5. Bukti elektronik yang sudah di jadikan pedoman dalam hukum pidana
apakah bisa dijadikan pula oleh hukum perdata dan Kompilasi Hukum
Islam khususnya kasus penceraian seperti perkara No.
21/Pdt.G/2013/PTA.Banten?
Jawaban: tidak bisa dikarnakan hukum yang dipakai oleh pengadilan
agama adalah sesuatu yang berlandaskan dengan syariat islam atau kitab
KHI. Dan menurut aturan itu untuk membuktikan seseorang melakukan
perzinaan harus dengan 4 (empat) orang saksi dan peraturan tersebut
bersifat qot’i sesuai dengan penjelasan dalam al-Qur’an dan hadits.
6. Pembuktian perzinaan dengan mendatangkan 4 (empat) orang saksi yang
melihat langsung yang telah di atur di dalam al-Qur’an surah An-Nur ayat
4 sangatlah susah dalam membuktikannya, apakah bisa di qiyaaskan
dengan alat bukti elektronik yang telah di teliti oleh saksi ahli menjadikan
kesaksian dalam hukum acara pengadilan agama?
Jawaban: alat bukti elektronik tidak bisa di jadikan pedoman dalam kasus
pembuktian perzinaan dikarnakan hal tersebut telah di atur di dalam
hukum islam itu sendiri, yaitu harus menghadiri empat orang saksi yang
tahu jelas kejadian perzinaan tersebut waktu, tempat bahkan seperti apa
cara melakukannya dan yang kedua harus melalui peroses di pengadilan
negeri (PN) untuk membuktikan kebenaran apakah benar tergugat tersebut
telah melakukan perzinaan, apabila sudah terbukti maka penggugat boleh
mengajukan alat bukti tersebut sebagai pembuktian perzinaan.
7. Menurut bapak hakim seberapa besar dampak dan akibat alat bukti
elektronik dalam pembuktian perzinaan apabila di legalkan dalam
Undang-Undang di Indonesia?
Jawaban: saya tidak setuju apabila alat bukti elektronik bisa dijadikan alat
bukti untuk pembuktian perzinaan, hal ini dikarenakan akan berdampak
buruk dan menyalahi hukum yang diatur di dalam hukum Islam yang
menjadi dasar pokok Peradilan Islam yaitu Pengadilan Agama di
Indonesia. Oleh karena itu, apabila ingin di legalkan maka harus ada
pertimbangan kembali dikarnakan takut ada pertentangan dikalangan umat
Gambar 1. Gedung Pengadilan Agama Tigaraksa
Gambar 2 dan 3. Bersama Bapak Hakim Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag
Gambar 4. Gedung Pengadilan Tinggi Agama Banten
gambar
Gas
Gambar 5 dan 6 Bersama Bapak Hakim Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H.