kekerasan terhadap anak
DESCRIPTION
Hukum Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap AnakTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam kehidupan sehari-hari
selalu berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Dengan adanya
interaksi tersebut, maka akan terjadi komunikasi, tolong menolong, tetapi
akan timbul juga suatu pertentangan dan perselisihan antara sesamanya di
dalam kehidupan sehari-harinya itu, sehingga untuk menjaga jangan
sampai timbul suatu pertentangan dan perselisihan maka di dalam
masyarakat perlu adanya hukum.
Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai
cita-cita bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap
mental, tekad, semangat, serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara
Negara. Sehubungan dengan itu, semua kekuasaan sosial politik,
organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya perlu
menyusun program menurut fungsi dan kemampuan Masing-masing.
Setiap tahun, di Indonesia lebih dari 4000 anak yang berkonflik
dengan hukum dan terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP).
Berdasarkan database yang dikumpulkan Lembaga Advokasi Hak Anak
(LAHA) Bandung, tahun 2003 di Kota Bandung saja ada sedikitnya 170
Anak Konflik Hukum (AKH), sekitar 80% anak tersebut berkonflik
1
2
dengan hukum hanya karena Pelanggaran-pelanggaran kecil seperti
melanggar ketertiban umum, membawa senjata tajam, pencurian yang
nilainya tidak besar seperti mencuri beberapa batang coklat, sebotol
shampo, sekotak susu atau beberapa kotak rokok di Supermarket.
Anak sepertinya berada pada wilayah hitam atau putih, mudah
terpengaruh dan berada dalam masa tumbuh kembang, dalam situasi ini
seorang anak membutuhkan perlindungan yang lebih dibandingkan orang
dewasa. Anak terlibat dalam perkara pidana atau biasa disebut dengan
Anak Konflik Hukum (AKH) atas dasar situasi yang dihadapinya adalah
kelompok anak yang membutuhkan perlindungan lebih khusus dibanding
kelompok anak lainnya. Hal ini didasarkan pada kerawanan situasi yang
kerap dihadapi anak ketika menjalani proses hukum.
Menurut Elizabeth B Hurlock:1
“Masa Kanak-kanak dimulai setelah masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria, selain itu pula ia menggolongkan masa anak-anak ini kedalam dua tahapan yaitu :1. Awal masa Kanak-kanak; 2. Akhir masa Kanak-kanak.
Awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia ketergantungan secara praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir disekitar usia masuk Sekolah Dasar (SD).”
1 Elizabeth B Hurlock, terpetik dalam Milly Mildawati, Periode Anak-anak, Makalah Seminar Sehari, Bandung, 2006, hlm. 1.
3
Menurut Melani:2
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, demikian akidah Islam telah meletakkan anak sebagai makhluk mulia. Anak berada dalam proses tumbuh kembang menuju dewasa, sehingga anak melakukan tindakan negatif seharusnya dipandang sebagai korban dari situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, oleh karena itu anak melakukan tindak pidana seyogianya tidak dipandang sebagai kriminal cilik yang diperlakukan seperti halnya kriminal dewasa.”
Selanjutnya Melani berpendapat:3
“Perlindungan terhadap anak, termasuk anak yang melakukan tindak pidana merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping anak memiliki Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, anak sebagai umat manusia juga harus dibina agar tindakan-tindakannya tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan hukum yang berlaku. Demikian pula bagi anak telah terlanjur melakukan tindak pidana harus ada penanganan dan sanksi khusus yang dapat membuat anak menyadari akan kesalahannya, membuat anak bertanggung jawab dan tidak mengulangi perbuatannya, penanganan dan sanksi tersebut sebaiknya dijatuhkan tidak melalui Proses Formal (Sistem Peradilan Pidana), karena dapat menimbulkan stigma.”
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri memperkirakan bahwa setiap
tahun terdapat 4000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan anak di
seluruh Indonesia. Jika tahun 2003 sudah terdapat 136.000 Anak Konflik
Hukum (AKH), tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 140.000 anak
yang terlibat dalam masalah hukum. Penulis berkesimpulan, bahwa
ternyata Anak Konflik Hukum sangat rentan dan rawan, terhadap perilaku
negatif, dan perlu upaya pembinaan dari Pondok Pesantren sebagai
2 Melani, Pembaharuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dikaitkan dengan Konsep Restorative Justice, Tesis, Unpad, Bandung, 2004, hlm.1.
3Ibid, hlm.2.
4
alternatif pembinaan akhlak, sehingga peranan pondok pesantren sangat
diperlukan dan anak melakukan perbuatan tercela cenderung berkurang.
Meningkatnya kasus pelanggaran hukum ini ternyata tidak diiringi
pembenahan sistem peradilan. Proses peradilan yang dijalani anak saat ini
dinilai tidak menempatkan anak sebagai anak. Putusan pengadilan-pun
tidak menjamin efektif untuk mencegah anak mengulangi perbuatan
serupa. Akhirnya diperlukan penanganan alternatif, seperti Restorative
Justice (Keadilan yang memulihkan) sebagai pilihan bagi penanganan
anak yang berkonflik dengan hukum.
Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan
anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana;;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana;
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera;
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diubah dengan Undang-
undang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah;
5
9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia;
10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidanan Anak (Undang-Undang ini telah ditetapkan tetapi berlakunya
tahun 2014);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.
13. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung Republik
Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia. Tahun 2009 Tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Meskipun Undang-Undang mengatur tentang anak telah banyak
diatur, tetapi aplikasinya belum dirasakan oleh Anak Konflik Hukum
(AKH), sehingga timbul pertanyaan, bagaimana hukum dibuat hanya
dijadikan tumbal belaka, bukan penerapan semata untuk memperbaiki
sistem akhlak anak untuk lebih baik, tetapi penerapan Undang-Undang
Anak lebih identik Anak Konflik Hukum (AKH) 93% masuk melalui proses
pengadilan, tidak dilakukan preventif dengan upaya pendekatan secara
dialogis kemasyarakatan.
Pengadilan Anak (juvenile court) di Amerika Serikat, didasarkan
pada asas parent patria, penguasa harus bertindak apabila anak-anak
6
membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak
dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan.
Tentu saja ini sangat jauh berbeda dengan realitas di Indonesia. Kendati
telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, tapi faktanya di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Kabupaten
Tanah Karo, Sumatera Utara, LG (16 tahun) dijatuhi hukuman pidana
seumur hidup. Lalu M (17 tahun), selain dihakimi massa, media massa dan
penyidik menyiarkan identitas korban, pengadilan memeriksa perkaranya
dalam sidang terbuka untuk umum, juga adanya aparat penegak hukum yang
berkata : ia dapat dihukum mati sangat ironis. Padahal menurut ketentuan
Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 berbunyi sebagai
berikut :
“Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.”
Dari gambaran uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian dengan mengambil judul :RESTORATIVE
JUSTICE SEBAGAI ALTRENATIF DI LUAR SISTEM PERADILAN
PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR
3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK.
7
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan ini
akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan Restorative Justice dalam Undang-Undang
Nomor3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak?
2. Bagaimana penerapan Restorative Justice bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di Indonesia?
3. Upaya apakah yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum agar
pendekatan Restorative Justice dapat diterapkan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan Restorative Justice dalam
Undang-undang Nomor3 Tahun 1997.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya yang harus dilakukan oleh
aparat penegak hukum agar pendekatan Restorative Justice dapat
diterapkan.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
kegunaan, baik kegunaan secara teoritis maupun secara praktis:
8
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran,
baik dalam pengembangan hukum pidana pada umumnya maupun
hukum pidana materiil pada khususnya, terutama menyangkut
Restorative Justice sebagai alternatif di luar Peradilan dikaitkan
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi para praktisi hukum, seperti Polisi, Penuntut Umum, Hakim
maupun Pembela atau pembuat perumus Undang-Undang atau Pihak-
pihak lain yang ada hubungannya dengan pembentukan Undang-
undang terutama dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak
secara umum.
E. Kerangka Pemikiran
Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat:
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Haha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin
9
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Menurut Distia Aviandari:4
“Peradilan pidana dibangun sebagai suatu mekanisme administrasi peradilan pidana dengan pendekatan sistem terdiri dari Komponen-komponen: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam konsep dan prakteknya kemudian penjatuhan pidana dalam peradilan pidana lebih banyak ditujukan untuk memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Tidak heran kalau kemudian sistem peradilan pidana yang ada banyak memproduksi segala sesuatu sifatnya unwelfare baik berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi atau bahkan dera fisik bagi orang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan, guna mencapai tujuannya yang bersifat welfare ini tertuang dalam praktek sistem peradilan pidana sejak tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejahatan, persidangan oleh pengadilan hingga puncaknya pemidanaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).”
Dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak disebutkan:
“Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.”
Dalam peraturan minimum standar Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengenai administrasi peradilan bagi anak (the Beijing rules) lebih
lanjut Pasal 66 huruf (e) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa penahanan dan pidana
penjara hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
4 Distia Aviandari, Mengembalikan Hak-hak Yang Terampas, Restorasi, Laha Bandung, Edisi IV/Vol 1, 2005, hlm.22.
10
Alasan penahananya diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana dalam pasal tersebut disebutkan
mengenai alasan subjektif dan alasan objektifnya. Alasan subjektif
sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, dinyatakan
alasan subjektif karena hanya tergantung kepada siapa orang yang
memerintahkan penahanan tersebut. Berikut penjelasan terhadap
pengaturan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, antara lain:
1. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
2. Harus berdasarkan bukti yang cukup, berupa laporan polisi ditambah
dua alat bukti, seperti BAP tersangka ataupun saksi-saksi, Berita Acara
di tempat kejadian, ataupun barang bukti yang ada;
3. Dilakukan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, serta kekhawatiran tersangka akan
melakukan tindakan pidana lagi.
Adapun alasan objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
Dalam hal ini, dinyatakan sebagai alasan objektif karena alasan ini dapat
diuji terkait ada atau tindakannya tindak pidana oleh orang lain. Berikut
penjelasan terhadap pengaturan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, antara lain:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
b. Tindak pidana yang diancam hukumanya kurang dari 5 (lima) tahun,
akan tetapi ditentukan dalam KUHP terdapat pasal-pasal berikut: Pasal
11
282 ayat (3), 296, 335 ayat (1), 351 ayat (1), 372, 378, 379 huruf (a),
453, 454, 455, 459, 480 dan Pasal 506 KUHP.
Menurut Romli Atmasasmita:5
Ciri pendekatan “sistem” dalam peradilan pidana ialah:
1. “Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana, terutama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan”the administration of justice”.
Sistem peradilan pidana anak di Indonesia didasarkan pada
Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-
Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. Disamping itu menurut penjelasan Undang-
undang Pokok Kehakiman, sistem peradilan anak berada pada sistem
peradilan umum.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke
sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Menurut Pasal 22
Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terhadap
5 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung, 1996, hlm.9-10.
12
anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini. Sedangkan menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-
Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana yang
dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut Pasal
23 ayat (2) Undang-undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak ialah:
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda;
d. Pidana pengawasan.
Selanjutnya Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, menyebutkan bahwa selain pidana pokok
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga
dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu
dan atau pembayaran ganti rugi. Sedangkan Pasal 24 ayat (1) Undang-
Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tindakan yang
dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja;
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
13
Menurut Harkristuti Harkrisnowo:6
“Bahwa latar belakang sosial budaya dan pemahaman Sistem Peradilan Pidana (SPP) mengenai tindak kekerasan terhadap anak mempunyai dampak terhadap reaksinya atas kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilaporkan atau diadukan padanya. Bila mereka beranggapan bahwa masalah ini merupakan masalah keluarga yang tidak perlu diselesaikan melalui proses peradilan pidana kemungkinan besar kasus ini tidak masuk dalam register perkara yang ditanganinya. Akibat perlakuan semacam ini menegasikan efek pencegahan (deterrent effect) hukum pidana, karena pelaku tidak mengalami pemprosesan dalam sistem peradilan pidana, satu hal lain yang mempunyai pengaruh yang signifikan atas keputusan personel-personel Sistem Peradilan Pidana (SPP) tentang bentuk reaksinya terhadap tindak kekerasan pada anak adalah karakteristik korban sendiri.”
Secara umum pendekatan rehabilitasi di kedua lembaga masih
tidak terlepas dari sistem menghukum dan retribution, baik secara jelas
maupun terselubung. Pengalaman yang kurang menyenangkan yang lebih
cenderung untuk mempersoalkan unsur rehabilitasi di lembaga
mempengaruhi anak untuk memilih sistem nasehat.
Menurut Rokiah BT Haji Ismail:7
“Rehabilitasi itu adalah suatu upaya konstruktif yang mengarah pada proses reformasi bagi anak yang kurang bernasib baik, disadari bahwa dalam menemukan suatu keberhasilan bagi suatu acara rehabilitasi itu terdapat berbagai masalah dan keterbatasan. Namun demikian, untuk memastikan bahwa suatu kemajuan itu bisa berhasil secara baik lebih lagi dalam jangka waktu panjang mungkin bisa dianjurkan agar sebuah lembaga pemasyarakatan anak, untuk berhati-hati dalam melaksanakan pendekatan tersebut serta memperhitungkan dampak yang mungkin kurang diprediksi
6 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Kekerasan Terhadap Anak dan Upaya Perlindungan Anak Indonesia Suatu Tinjauan Sosio-Yuridis, Majalah Hakiki, Surabaya, Volume 2 No. 03/2000, hlm.9.
7 Rokiah Bt Haji Ismail, Bentuk dan Dinamika Hubungan Sosial dalam Sistem Rehabilitasi di Institusi Pelayanan bagi Anak-anak di Malaysia, Pro-Justitia, 1994, hlm.143.
14
tetapi mungkin bisa juga menyumbang kearah suatu perusakan elemental langkah reformasi bagi anak.”
Kehadiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, pada kesempatan ini akan dibicarakan menyangkut
beberapa masalah dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang mungkin menjadi penghambat pelaksanaan atau
menyebabkan kegagalan dicapainya tujuan pembentukan Undang-Undang
tentang Pengadilan Anak di Indonesia dan perlu terlebih dahulu melihat
latar belakang dibuatnya Undang-Undang ini.
F. Metode Penelitian
Dalam rangka penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif analisis,
yaitu menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan hukum
dan teori-teori hukum yang berhubungan dengan Restorative Justice
sebagai alternative di luar peradilan dikaitkan dengan,Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial
Republik Indonesia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
15
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor : 166
A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :
B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor : 10/PRS-
2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu
menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan hukum
pidana Anak.
3. Tahap Penelitian
Berkenaan dengan digunakannya metode pendekatan yuridis normatif
maka penelitian ini dilakukan satu tahapan, yaitu penelitian
kepustakaan (library research), terdiri dari:
a. Bahan-bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang meliputi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri
Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor :
166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,
16
Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,
Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan
PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang berhadapan Dengan
Hukum.
b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan- bahan yang erat hubunganya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
dan memahami, yakni berupa buku- buku ilmiah karangan para
sarjana dan hasil- hasil penelitian.
c. Bahan-bahan hukum tertier yaitu, bahan yang memberikan dan
menguatkan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan
sekunder, seperti artikel, Koran dan Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan bahan-bahan, penulis menggunakan
teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan atau
dokumen (library research). Hal ini dilakukan dengan cara:
a. Penelitian hukum positif.
b. Penelitian terhadap asas- asas hukum.
c. Melihat sinkronisasi dan harmonisasi aturan baik secara horizontal
maupun vertikal.
d. Penelitian terhadap sistematika
5. Alat Pengumpulan Data
17
Alat pengumpulan data dengan metode observasi digunakan dengan
catatan atau studi kasus terhadap fenomena yang dapat ditangkap dan
pedoman wawancara bebas.
6. Lokasi Penelitian
Studi Pustaka Melakukan Berbagai Lokasi Diantaranya:
Perpustakaan
a. Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAS, Jl.Lengkong Besar No. 68
Bandung.
b. Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAD, Jl. Dipatiukur No.35
Bandung.
Instansi
a. LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandung, Jl. Ir. H. Djuanda No.
128-B Bandung.
b. LAHA (Lembaga Advokasi Hak Anak), Jl. Demak No. 5
AntapaniBandung.
c. LPA (Lembaga Perlindungan Anak), Jl. Karang Tinggal No. 33
Bandung.
d. BAPAS (Badan Pemasyarakatan), Jl. H. Ibrahim Adjie No.431
Bandung.
18
7. Analisis Data
Sesuai metode pendekatan yang digunakan, maka data-data yang
diperoleh untuk penulisan skripsi ini selanjutnya akan di analisis
dengan menggunakananalisis kuantitatif dalam arti bahwa dalam
melakukan analisis data yang diperbolehkan tidak di perlukan
perhitungan statistik.
8. Jadwal Penelitian
No KEGIATAN2012
Januari februari Maret April Mei Juni1 Persiapan/Penyusunan
Proposal
2 Seminar Proposal3 Persiapan penelitian4 Pengumpulan Data5 Pengolahan Data6 Analisa data7 Penyusunan hasil ke
Dalam bentuk Penulisan Hukum
8 Sidang Komprehensif9 Perbaikan10 Penjilidan11 Pengesahan
BAB II
SITEM PERADILAN PIDANA DAN KONSEP
RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA
A. Sejarah Restorative Justice Terhadap Anak Di Indonesia
Pada hakekatnya pengertian anak dalam hukum pidana mencakup
beberapa dimensi. Pengertian ketidakmampuan anak untuk bertanggungjawab
tindak pidana, pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan
hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan dan tata negara
untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual
anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak memperoleh
pelayanan, asuhan dan hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
Deklarasi hak-hak anak tegas menyatakan, anak karena
ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan
pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan
sesudah kelahiran.
Ini hanya contoh buram-hitamnya sistem perlindungan bagi anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana, benar statement save the children international alliance, bahwa kondisi sekarang jauh lebih buruk bagi anak bahkan bila dibandingkan dari 100 tahun yang lalu, bahwa Indonesia bukanlah negara hukum, tetapi negara Undang-Undang, karena menyangkut perlindungan dan kesejahteraan anak, di Indonesia tak kurang ada 97 peraturan yang memiliki kekuatan hukum.8
8 Sulaiman Zuhdi Manik, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Antara Hukum dan Perlindungan, Bandung, 2005, hlm. 1.
19
20
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah
dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb.1925 No.647
Juncto Ordonansi 1949 No.9 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang
Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku
pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa Pasalnya seperti Pasal 45, 46
dan 47 memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lain,
memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat
hukuman, atau mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan
tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan merupakan
tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan pada tahun
1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No. 12
Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli
1979 lahir pula Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak dengan Peraturan Pelaksanaan (PP) Nomor. 2 Tahun 1988 tentang
Usaha Kesejahteraan Anak.
Secara Internasional pada tanggal 20 November 1989, lahirnya
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak.
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden
Nomor. 36 Tahun 1960. Konvensi itu memuat kewajiban Negara-negara yang
meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya Hak-hak Anak.
21
Pro dan Kontra termasuk debat hukum dari Rancangan Undang-
Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) patut dikelola sebagai
momentum harmonisasi hak anak dalam rekodefikasi hukum pidana materil
nasional. Khususnya bagi anak sebagai pelaku (dader) yang kini disebut Anak
Konflik Hukum (Children in conflict with the law), dalam “Sistem Peradilan
Anak” diadili menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Bagi anak di bawah umur yang melakukan perbuatan
pidana, penjatuhan pidana (Straaft) bukan satu-satunya. Bisa pula hanya
dikenakan tindakan (Maatregel), yang bukan hukuman pidana versi Pasal 10
KUH Pidana, walaupun hakim tidak diwajibkan memberi prioritas pada
tindakan, bukan menjatuhkan pidana.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan
bahwa:
Jenis pidana yaitu:9
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Kurungan;
4. Denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
9 Barda Nawawi Arief terpetik dalam Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana pada Korporasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, STHB, 2005, hlm.11-12.
22
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang komposisi jenis sanksi dalam
WVS Belanda, berbunyi:
1). Pidana pokok (Principle penalties):
Pasal 9 ayat (1 a)
1. Penjara (Imprisonment);
2. Kurungan (Detention);
3. Kerja sosial (Community service);
4. Denda (Fine).
2). Pidana tambahan (Additional penalties):
1. Pencabutan hak tertentu (Deprivation of specific rights);
2. Penempatan pada lembaga pendidikan Negara (Committal to a state
work house);
3. Perampasan (Forfeiture);
4. Pengumuman putusan hakim (Publication of the judgment).
3). Tindakan (Measures):
1. Penyitaan barang dan perampasan keuntungan yang diperoleh secara
melawan hukum (Confiscation and deprivation);
2. Pengiriman ke rumah sakit jiwa dan penempatan ke suatu institusi
berdasarkan perintah penyerahan (Committal to a psychiatric hospital
and placement on an entrustment order) Pasal 37 – 38.
23
Adapun jenis pidana dalam Rancangan KUHP tahun 2004 diatur dalam
Pasal 62, berbunyi sebagai berikut:10
1) Pidana pokok terdiri atas :
a. Pidana penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda ; dan
e. Pidana kerja sosial.
2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat
ringannya pidana.
Sedangkan Pasal 64, mengatur tentang pidana tambahan:
1) Pidana tambahan terdiri atas;
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu dan atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim;
d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat.
2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,
sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana tambahan yang lain;
3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang
diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam
perumusan tindak pidana;10Ibid, hlm.14 -15
24
4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan
pidana tambahan untuk tindak pidananya.
Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan anak, Pasal 23 bahwa :11
1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan;
2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah :
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan.
3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi;
Pasal 24 menjelaskan bahwa:
1. Tindakan yang bisa dijatuhkan terhadap anak nakal ialah :
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh.
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja.
11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 9-10.
25
Apabila kita kaji Pasal 20 KUHP, WVS Belanda, RUU KUHP 2004
Pasal 62, dan Pasal 23-24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, masih jauh dari apa yang kita harapkan, bahkan cenderung
diskriminatif dalam implementasinya banyak pelanggaran terhadap hak-hak
anak, mulai dari penangkapan, penuntutan, pengadilan, hingga penanganannya
di penjara.
Bahkan banyak kasus terjadi anak ditahan bersama orang dewasa.
Akibatnya, menjalani tindak kekerasan, anak juga pendidikan dan
perkembangan kejiwaannya relatif kurang dan perlu pembinaan secara khusus,
Khusus anak yang berhadapan dengan hukum karena kejahatan dan
kriminal ringan seperti: Pencurian, Perkelahian, dan Narkoba. Data Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman & HAM RI tahun 2002
menunjukkan jumlah yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Anak adalah 3.722 anak, tersebar di 13 (tiga belas) Lembaga Pemasyarakatan,
di seluruh Indonesia, angka ini belum termasuk anak yang ditahan di POLSEK,
POLRES, maupun POLDA.
Undang-Undang ini berangkat dari konsep bahwa kenakalan anak yang
kadang sampai menjurus pada perbuatan kriminal haruslah diadili sesuai
dengan prinsip pendidikan dan pembinaan anak.
Indonesia belum memiliki Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Anak.
Padahal, sampai Juli 2003 terdapat 136.000 anak terlibat dalam hukum, dan
26
setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh anak.12
Anak seolah tidak memiliki harapan dan hanya pasrah atas putusan
hakim di pengadilan pertama, sedangkan di LP Anak Tangerang 90% anak
berasal dari Jakarta, tetapi perhatian pemerintah DKI terhadap anak cenderung
diabaikan dan kurang perhatian.
Menurut Agustinus Pohan.13
“Pada tahun 1960 beberapa orang hakim telah dikirim ke beberapa negara di Eropa untuk mempelajari persoalan peradilan anak. Program inidilakukan dalam rangka merintis berdirinya peradilan anak di Indonesia. Usaha ini semakin menampakkan hasil bersamaan dengandiberlakukannya KUHAP tahun 1981 dimana KUHAP maupun Peraturan Menteri Kehakiman No. M. 06-UM. 01 Tahun 1983 telah mengatur secara terbatas mengatur tentang Tata Tertib Sidang Anak. Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran MA No.MA/Kumdil/10348/XI/1987 yang secara terbatas mengatur tentang Kewajiban bagi hakim yang mengadili terdakwa anak untuk memeriksa keadaan yang melatarbelakangi perbuatan pidana, serta perintah kepada Pengadilan Negeri untuk mempersiapkan diri dalam rangka pembentukan Pengadilan Anak. Perkembangan lain juga terjadi dengan diratifikasinya United Nation Convention on the Rights of the Child melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990”.
Selain United Nation Convention on the Rights of the Child, masalah
pengadilan anak juga diatur oleh beberapa ketentuan/aturan lain yang berlaku.
International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR) telah
mengatur secara terbatas mengenai Pengadilan Anak. Ketentuan Internasional
yang secara khusus mengatur Pengadilan Anak adalah United Nation Standar
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (1985) atau dikenal
12 Kompas, Segera Benahi Sistem Pengadilan Anak, 18 September 2003, Jakarta.13 Agustinus Pohan, Beberapa Catatan dari UU Pengadilan Anak, Restorasi, Laha-Bandung,
2004, hlm.11.
27
sebagai Beijing Rules. Selain itu terdapat dua aturan lain yang berkaitan dengan
masalah Pengadilan Anak yaitu The United Nation Guidelines for the
Prevention of Delinquency (1990) atau dikenal sebagai Riyadh Guidelines dan
The United Nation Rules for theProtection of Juveniles Deprived of Their
Liberty (1990) atau dikenal dengan The JDL Rules.
Terbentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak ternyata tidak seperti yang diharapkan. Rancangan Undang-
Undang yang semula diajukan pemerintah adalah RUU tentang Peradilan
Anak. Semula idenya adalah membentuk suatu lembaga peradilan anak untuk
menyelesaikan masalah anak di bawah satu atap. Lembaga tersebut
dimaksudkan untuk menangani tidak saja anak yang melakukan tindak pidana
tetapi juga untuk anak terlantar, perkara perwalian dan perkara anak sipil.
Namun perdebatan di DPR menyangkut perkara perwalian tidak berhasil
mencapai kesepakatan. Akhirnya diputuskan untuk mengubah RUU yang
semula berjudul Peradilan Anak menjadi UU Pengadilan Anak dengan hanya
mengatur mengenai acara sidang pengadilan anak nakal.
Yesmil Anwar mengatakan bahwa Undang-Undang tentang Pengadilan
Anak dilahirkan secara tidak sempurna dan mengandung kelemahan.
Sebagaimana telah dikemukakan, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 dapat ditemukan beberapa permasalahan yang sangat mungkin
diselesaikan melalui praktek penerapan Undang-Undang tersebut. Namum
demikian hal-hal tersebut ternyata tidak pernah mengemuka dan luput dari
perhatian Mahkamah Agung (MA). Kalau saja persoalan-persoalan tersebut
28
dapat mengemuka, baik melalui suatu proses perkara atau cara-cara lainnya ke
tingkat Mahkamah Agung, MA melalui putusannya atau kewenangan lainnya,
seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Fatwa, dapat memperkaya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Beberapa masalah tersebut, akan
dibicarakan dalam tulisan ini sebagai suatu sumbangan pemikiran.
Di negeri Belanda penanganan terhadap anak yang berperilaku
menyimpang diatur dalam Kinder Wetten 1901, sementara di Amerika Serikat
pembentukan Pengadilan Anak (Juvenile Court) telah ada sejak tahun 1899.
Asas yang dianut dalam Pengadilan Anak adalah “parentspatria,” yaitu bahwa
penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan,
sedangkan anak yang melakukan kejahatan bukannya di pidana melainkan
harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris Juvenile Court telah dibentuk
dengan Undang-Undang tanggal 25 Juli 1921 dan mulai berlaku tanggal 1
November 1922.
Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak telah terbukti
dari berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan baik oleh pemerintah
maupun oleh badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma
Permadi Siwi. Secara interdepartmental antara Depdikbud, Depnaker, Depkes
dan Mahkamah Agung pada tanggal 13 Oktober 1970 menyelenggarakan
workshop mengenai masalah anak dan pemuda dalam kaitannya dengan hukum
pidana dan acara pidana, pendidikan, sosial, kesehatan dan ketenagakerjaan.
Selanjutnya pada tanggal 30 Mei sampai dengan 4 Juni 1977 Pra Yuwana
menyelenggarakan seminar mengenai Perlindungan Anak/ Remaja. Pada tahun
29
1979 Departemen Kehakiman RI memprakarsai penyusunan RUU Peradilan
Anak, akan tetapi baru diajukan ke DPR RI pada tahun 1995.14
Pada Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Paripurna, tanggal 1 Maret
1996 maka pada hakekatnya keterangan Pemerintah menyampaikan pokok
pikiran yang melatarbelakangi penyusunan RUU Peradilan Anak adalah :15
1. RUU Peradilan Anak disusun dengan dasar pemikiran-pemikiran bahwa
anak merupakan bagian dari generasi muda adalah aset bangsa.
2. Peradilan Anak meliputi semua aktivitas pemeriksaan dan pemutusan
perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menurut analisis sejarah
bahwa keterlibatan pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarganya
ditujukan kepada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan
dengan perilaku penyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
anak-anak, penelantaran anak, dan eksploitasi terhadap anak.
3. Indonesia sendiri, secara sosiologis perhatian terhadap anak sebenarnya
sudah sejak lama diberikan. Hal ini terbukti dari berbagai pertemuan
ilmiah yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh badan-
badan seperti Yayasan Pra Yuana dan Wisma Permadi.
4. Secara yuridis pemberian perlindungan Hak-hak anak oleh dunia
internasional dimulai sejak Deklarasi PBB Tahun 1959 tentang Hak-hak
Anak dan terakhir Konvensi Hak Anak (Convention of the Rights of the
Child) Tahun 1989 yang selanjutnya dituangkan dalam Resolusi PBB
Nomor 44/25 Tanggal 5 Desember 1989.
14 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. hlm. 10-11.15 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm.13-14.
30
Kemudian RUU Peradilan Anak tersebut dibahas dalam pembicaraan
Tingkat II pada Rapat Paripurna tanggal 8 Maret 1996. Bertindak selaku Ketua
Rapat adalah R. Sutejo. Pada Pembicaraan Tingkat II tersebut masing-masing
Fraksi menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU Peradilan Anak
selanjutnya pada Pembicaraan TingkatIII dalam Rapat Komisi Pimpinan DPR-
RI kemudian menetapkan susunan Pimpinan Panitia Khusus RUU tentang
Peradilan Anak yang diketuai oleh HR Ali Mursalam dibantu oleh 4 (empat)
Wakil Ketua dengan 41 (empat puluh satu) orang Anggota Tetap dan 21 (dua
puluh satu) orang sebagai Anggota Pengganti dan Pansus ini mulai bersidang
tanggal 9 Juli 1996 sampai dengan tanggal 9 Oktober 1996. Kemudian tahap
selanjutnya adalah Pembicaraan Tingkat IV dalam Rapat Paripurna DPR-RI
yang dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1996. Pada tingkat pembicaraan
ini Ketua Pansus H.R. Ali Mursalam, melaporkan hasil pembahasan RUU
tentang Peradilan Anak pada pembicaraan Tingkat III dan selanjutnya Fraksi-
fraksi menyampaikan pendapat akhirnya. Pada dasarnya, keempat fraksi
menyampaikan pendapatnya menyetujui RUU tersebut untuk dijadikan
Undang-Undang dan kemudian dikeluarkan Keputusan DPR-RI Nomor.
RU.01/5849/ DPR-RI/1996 tanggal 19 Desember 1996.
Akhirnya setelah mendapat perubahan, pada tanggal 19 Desember
1996 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui RUU Peradilan Anak
disahkan menjadi Undang-Undang Pengadilan Anak. Demikianlah pada
tanggal 3 Juni 1997 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Pengadilan
Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
31
B. Konsep Restorative Justice Menurut Penerapan Hukum di
Indonesia
Anak berkonflik dengan hukum telah menjadi permasalahan di
Indonesia, khususnya di kota besar, kesenjangan ekonomi maupun
melemahnya ikatan sosial di kota besar dianggap menjadi salah satu
penyebab timbulnya anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Dan
tidak sedikit anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak
menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang
menyakitkan, baik oleh pelaku tindak kejahatan yang professional, seperti
preman, pemerkosa, perampok, dan sebagainya maupun oleh sanak saudara
atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan
permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak di bawah umur umumnya
masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak.
Perhatian terhadap masalah ini masih kalah bila dibandingkan dengan
maraknya kasus anak yang kurang gizi dan anak dan anak-anak busung lapar
akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, tingginya angka
kesakitan anak karena penyakit infeksi, atau kasus tingginya kematian anak
yang secara factual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat.16
Berdasarkan data kasus anak yang ditangani oleh Lembaga Advokasi
Hak Anak (LAHA) tahun 2009-2011 diantaranya:
16 Sri Sanituti Hariadi, Tindak Kekerasan terhadap anak, Majalah Hakiki, Surabaya, 2000.hlm.12.
32
No Tahun L P Jumlah
1 2009 25 2 27
2 2010 26 - 26
3 2011 6 3 9
Sumber: Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)
Data tersebut menunjukan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum
masih menjadi persoalan krusial saat ini dengan rata-rata anak tersebut
diputus dengan pidana penjara. Dan dari data tersebut di atas, perlu
pengendalian dan pengawasan secara khusus, baik Pemerintah maupun
masyarakat sehingga anak-anak yang terlibat dalam hukum senantiasa
diperlakukan dengan adil. Dibentuknya Undang-UndangNomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Deklarasi Hak Anak-anak hanya dijadikan
ancaman yang menakutkan bagi anak dan cenderung masuk penjara, belum
menyentuh secara keseluruhan proses pemulihan untuk terapi anak.
Terhadap anak berhadapan dengan hukum ini Pasal 59 juncto Pasal 64
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
sebenarnya telah menegaskan dimana Pemerintah dan Lembaga Negara
lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus
melalui upaya :
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak;
2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
33
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum;
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga; dan
7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghinadari labelisasi.
Sebelumnya pula ditegaskan dalam Pasal 16, 17 dan 18 khusus Anak
sebagai pelaku dalam anak berhadapan dengan hukum disebutkan:
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
34
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Materi muatan ketentuan-ketentuan di atas, pada akhirnya membutuhkan
langkah-langkah kongkrit Pemerintah utamanya para penegak hukum
mengingat persoalan perlindungan anak dengan cluster perlindungan khusus
atau Children in need of Special Protection (CNSP) membutuhkan langkah-
langkah di luar kebiasaan atau kebijakan pemerintah di luar system peradilan
pidana (Criminal Justice System). Kebijakan ini disebut dengan kebijakan
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.
Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
Restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,
pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku,
korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.Restorative
Justice dianggap cara berpikir/paradigma baru dalam memandang sebuah
tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap Anak yang
melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal tentunya
sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan
perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan
pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
35
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak
pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang
dianggap lebih baik untuk anak.
Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian
terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan
pemulihan dan bukan pembalasan. Restorative Justice merupakan upaya
untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistim
Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 merupakan
salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice (keadilan restoratif) sebagai,
perwujudan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan
mengedapankan diversi untuk tidak melakukan penahanan.Model ini perlu
dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat bermanfaat
membantu mengurangi jumlah narapidana dan tahanan. Juga lebih untuk
mendorong terciptanya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat
secara cepat serta menghindari stigmatisasi.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
36
menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang
dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:
“Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.”
Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang
menempatkan Restorative Justicesebagai nilai dasar yang dipakai dalam
merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya
keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta
memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam
masyarakat.
Dalam hal ini Restorative Justice sebagai sebuah konsep keadilan bagi
anak masih belum tercermin dalam konsep hukum dalam sistem hukum
pidana Indonesia, dimana Undang-Undang sendiri masih didominasi oleh
pendekatan yang bersifat retributif.
Pembenahan persoalan anak-anak memang tidak dapat dilakukan
sendiri, berbagai upaya harus dilakukan secara proporsional sesuai persoalan
dan melihat akar persoalan yang ada. Selain hal di atas, ada beberapa hal yang
bisa dilakukan penanganan anak-anak secara proporsional:17
1. Kita harus menyadari bahwa anak-anak bukanlah barang dagangan jika band terkenal Serius melantunkan statement “Rocker juga manusia,” maka pada anak-anak kita juga harus menegaskan bahwa “Anak-anak juga manusia,” untuk memenuhi itu, pemerintah dan para orang dewasa harus
17 Hesma Eryani, Anak-anak Juga Manusia, Lampung Post, 2006.
37
memiliki komitmen nyata dan efektif terhadap prinsip-prinsip anak. Implementasi dari komitmen ini sangat mungkin dalam memberikan rasa aman, terlindung, dan lingkungan yang sehat bagi anak. Semua orang harus memiliki kesadaran dan memberi pengakuan akan hak setiap anak untuk berpartisipasi penuh dan menjadi bermakna. Biarkan mereka berbicara (meskipun bagi orang dewasa pembicaraan itu tak berkenan), libatkan mereka secara aktif dalam setiap pengambilan keputuasan, kala membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, bahkan evaluasi. Anak-anak akan merasa diuwongken karena mereka dilihat dari harkat dan martabatnya sebagai manusia;
2. Terkait eksploitasi dan kekerasan terhadap anak harus ada hukum yang tegas untuk melindungi mereka. Tak hanya itu, korban kekerasan ini harus direhabilitasi sedemikian rupa dengan program-program yang dapat membangun kembali kehidupan mereka sehingga terlepas dari trauma berkepanjangan;
3. Agar anak-anak tidak menjadi korban peperangan, baik perang berskala dunia maupun lokal/perang antar suku atau hal-hal lain seperti di Poso para pemimpin harus berupaya keras mencegah terjadinya konflik melalui dialog damai, bukan kekuatan. Jika peran telanjur terjadi, anak-anak ini harus dilindungi, misalnya di pengungsian dan diberi kesempatan sama dengan anak-anak yang lain.
Persoalan kemiskinan juga membawa anak dalam lingkaran setan.
Sebagaimana kita ketahui dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 versi amandemen ke-4
ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara”. Hal ini menunjukan bahwa Negara secara serius memperhatikan
terhadap perlindungan Hak-hak anak.
Perlunya didorong adanya sebuah model penanganan anak konflik
dalam hukum, karena menurunya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka
cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain disekitarnya. Saat ini
masyarakat lebih banyak mempercayakan penyelesaian kenakalan anak
38
kepada sistem hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat.
Padahal, hal ini belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi Masalah-
masalah sosial.
C. Batas Usia Anak dan Implementasi Sanksi Hukum
Anak adalah titipan Tuhan, amanat yang harus dijaga, dipelihara, dan
dididik, agar menjadi manusia yang cerdas dan beretika. Ketidakmatangan
seorang anak, baik secara fisik maupun secara mental, membutuhkan
perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang
layak, sebelum dan sesudah lahir.
Sebagaimana diatas berdasarkan konvensi hak anak yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui KEPPRES Nomor 36 Tahun 1990,
bahwa Negara mengakui hak setiap anak, dituduh atau diakui sebagai telah
melanggar Undang-Undang hukum pidana, untuk diperlakukan dengan cara
yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak yang memperkuat
penghargaan pada Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari orang
lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan
penyatuan kembali hak anak dan peningkatan konstruktifnya dalam
masyarakat.
Terlepas dari hukum yang berlaku pada dasarnya kejahatan yang
dilakukan anak hanyalah kenakalan,
Menurut Diah Sulastri (Hakim Anak PN Bandung),18
18 Diah Sulastri, Vonis Bagi Anak bukan Hukuman, Pikiran Rakyat, 2004, hlm.10.
39
Segala bentuk vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa anak
bukan dakwaan, melainkan pembelajaran dan upaya mendidik
sang anak.
Namun apapun jenis kenakalannya, berat atau kecil pada
kenyataannya mereka harus menjalani proses hukum, dicabut
kemerdekaannya, yang kerap kali diikuti dengan tercabutnya hak-hak sipil
mereka. Lebih dari 90% anak-anak ini harus menjalani penahanan dan
pemeliharaan dalam proses hukum.
Dalam kepustakaan hukum, anak berhadapan dengan hukum
disebutkan adalah Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang
telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18
(delapan belas) tahun dan belum menikah. Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 yang
menyatakan bahwa :
1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Apong Herlina menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan
hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan
sistem pengadilan pidana karena:
40
1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang
dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.
Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang
berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi:
1. Pelaku atau tersangka tindak pidana;
2. Korban tindak pidana;
3. Saksi suatu tindak pidana.
(Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,
Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta, 2004) Anak sebagai pelaku atau
anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa,
atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan
perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus mengikuti prosedur
hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini
bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan
kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu
kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum
atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya19.
19Unicef, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004.
41
Sebagaimana yang telah kita pahami bersama bahwa seorang anak
belum sepenuhnya mengerti benar akan perbuatan ataupun kesalahan yang
telah ia perbuat. Anak belum mampu mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya. Mereka masih membutuhkan perhatian, bimbingan dan
penanganan dalam spirit penuh kasih sayang, rehabilitatif serta
mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat, bukan penegakan
hukum semata yang pada umumnya didasarkan pada tindakan retributif atas
suatu prilaku salah.
Paradigma kenakalan remaja lebih luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya. Kenakalan remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga. Contoh yang sangat sederhana dalam hal ini antara lain pencurian oleh remaja, perkelahian di kalangan anak didik yang kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, mengganggu wanita di jalan yang pelakunya anak remaja. Demikian juga sikap anak yang memusuhi orang tua dan sanak saudaranya, atau perbuatan-perbuatan lain yang tercela, seperti menghisap ganja, mengedarkan pornografis dan coret-coret tembok pagar yang tidak pada tempatnya.20
Menurut Wagiati Soetodjo:21
“Kenakalan anak (juvenile delinquency) secara etimologis Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursilao, dan lain-lain”.
Metode untuk mempermudah klasifikasi kenakalan remaja dapat
dilakukan dengan cara melacak rentangan umur dalam kehidupan manusia,
20 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.12.21Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung, Refika Editama, 2006.
42
berdasarkan data UNICEF tahun 2005, perbandingan batas usia minimal
anak untuk dibawa ke pengadilan, sebagai berikut:22
NO NAMA NEGARA USIA (DALAM TAHUN)
1 Austria 142 Belgia 183 Denmark 154 Inggris 105 Finlandia 156 Perancis 137 Jerman 148 Yunani 129 Irlandia 710 Italia 1411 Luxemburg 1812 Belanda 1213 Irlandia Utara 814 Portugal 1615 Skotlandia 816 Spanyol 1617 Swedia 15
Pasal 533 (4):
“Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian pada seorang yang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun.”
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, sebagai berikut:
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
22 Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF Indonesia, 2004, hlm.204.
43
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan Negara yang baik dan berguna;
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan;
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar.
Pasal 11:
1. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi;
2. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat;
3. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun diluar panti;
4. Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat;
5. Pelaksanaan usaha kesejahteraan anak sebagai termaktub dalam ayat (1), (2), (3), dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa asas 2 Deklarasi Hak Anak–anak, sebagai berikut:
“Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental, akhlak, rohani, dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.”
Asas 6:
“Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara maksimal dan harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di bawah asuhan dan tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dan bagaimanapun
44
harus diusahakan agar mereka tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani.”
Anak di bawah usia lima tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya.
Masyarakat dan penguasa yang berwenang, berkewajiban memberikan
perawatan khusus kepada Anak-anak yang tidak memiliki keluarga dan
kepada Anak-anak yang tidak mampu. Diharapkan agar Pemerintah atau
pihak yang lain memberikan bantuan pembiayaan bagi Anak-anak yang
berasal dari keluarga besar.
Meskipun sudah diatur dalam Pasal 2, Pasal 4 Undang-Undang
Nomor4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, deklarasi hak anak dan
Asas 6, hanya dijadikan bahwa Undang-Undang sebagai kiasan dan tidak
perlu digunakan sebagai aplikatif untuk perubahan sehingga anak berkonflik
dengan hukum terorganisasi dengan baik. Pemerintah menutup mata dan
telinga, dan mengartikan anak berkonflik sudah gagal untuk dibina dan hanya
dijadikan sampah yang tidak ada nilainya.
Deklarasi Hak-hak anak tegas menyatakan, anak karena
ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan
pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan
sesudah kelahiran.
Menurut Seto Mulyadi:23
”Dalam Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
23 Seto Mulyadi terpetik dalam Jufri Bulian Ababil, Raju yang Diburu dan Buruknya Peradilan Anak di Indonesia, Pondok Edukasi, 2006.
45
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah dan Negara. Ini berarti kita tidak boleh memandang anak sekedar sebagai objek yang atas nama apapun, termasuk hukum, lalu mereka diperlakukan secara Sewenang-wenang”.
Apabila ada seorang anak yang diperlakukan berdasarkan ketentuan
hukum, tetap harus dilihat dengan hati nurani. Bahwa hukum adalah bukan
sekedar mesin-mesin belaka yang kaku dan mati sama sekali, dimana
kemudian unsur-unsur hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim hanya
berfungsi menjadi semacam sekerup-sekerup yang tidak berdaya.
Menurut Ahmad Sofian:24
“Akibat buruknya sistem Pengadilan Anak di Indonesia, telah mengakibatkan lebih dari 3.110 anak yang berkonflik dengan hukum harus mendekam dalam penjara yang situasinya sangat buruk. Akibat lebih jauh telah menuai kritik yang luar biasa. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Kompas PA) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan “Report” buruk terhadap pengadilan anak di Indonesia. Bahkan Komite Hak Anak PBB memberikan rekomendasi agar Indonesia segera memperbaiki sistem Pengadilan Anaknya. Dalam catatan Komite Hak Anak PBB tentang Pengadilan Anak di Indonesia ada beberapa kritik yang mereka sampaikan terutama soal batas umur seorang anak boleh dibawa ke pengadilan”.
Komite PBB ini menilai bahwa di Indonesia, batas umur 8 tahun
seorang anak boleh dibawa ke pengadilan adalah sangat rendah, sehingga
komite menilai bahwa batas umur ini harus segera dinaikkan menjadi lebih
rasional. Batas umur yang “Rasional” untuk masing-masing Negara adalah
berbeda-beda, namum kebanyakan Negara membuat angka 12 tahun seorang
anak boleh dibawa ke pengadilan ketika berkonflik dengan hukum. Batas
24Ibid
46
umur 12 tahun ini juga sesuai dengan Beijing Rules. Beijing Rules ini
mengatur tentang standard minimum PBB untuk pelaksanaan Peradilan Anak.
D. Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Restorative Justice
Menurut Hukum di Indonesia
Ujung tombak pelaksanaan Restorative Justice berada pada pihak
kepolisian dimana dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian
Republik Indonesia memiliki tugas Tri Brata yakni; Memelihara Keamanan
dan Ketertiban Masyarakat, Menegakan Hukum dan Memberikan
Perlindungan, Pengayoman, dan Pelayanan Masyarakat.
Akan tetapi pada prakteknya penegakan hukum yang dilakukan oleh
polisi senantiasa mengandung 2 (dua) pilihan. Pilihan pertama adalah
penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang pada
umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan oleh polisi untuk
menegakan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan Pilihan kedua
adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang ditekankan pada
moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada
anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan nama diskresi. Tindakan
tersebut diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
47
Indonesia, dimana polisi telah diberi kebebasan yang bertanggung-jawab
untuk melaksanakan hal tersebut.
Pasal 18 ayat (1) huruf L Jo. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Jo. TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006.
“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban
hukum/profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut,
tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup
jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.”Suatu pengalihan
bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke
alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut
kepentingan anak (TR Kabareskrim).
Kedua bentuk pengaturan ini dikuatkan lagi beberapa peraturan internal
kepolisian lainnya seperti Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 Tentang
Implementasi Prinsip Dan Standar Ham Dalam Penyelenggaraan Tugas
Polri.jo. Telegram Kapolri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 Tgl. 16 Nopember
2006 Tentang Pedoman Penanganan Dan Perlakuan Terhadap Anak
Berhadapan Hukum.jo. Telegram Kapolri No. Pol.: 395/DIT.I/VI/2008 Tgl.
9 Juni 2008 Tentang Penanganan Anak Berhadapan Hukum.Jo Surat Edaran
Kapolri Nomor: B/2160/IX/2009/BARESKRIM Tgl. 3 September 2009
Tentang Pedoman Penanganan Anak Berhadapan Hukum Jo. Surat Telegram
48
Kapolri Nomor : STR/29/I/2011 Tgl. 11 Januari 2011 Tentang Sosialisasi
Surat Keputusan Bersama Tentang Perlindungan Anak & Rehabilitasi Anak
Berhadapan Hukum.
Diharapkan adanya berbagai peraturan tersebut Pelaksanaan diversi dan
Restorative Justice bisa memberikan dukungan terhadap proses perlindungan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip
utama dari diversi dan Restorative Justice adalah menghindarkan pelaku
tindak pidana dari sistem Peradilan pidana formal dan memberikan
kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.
Diversi sangat berhubungan dengan konsep Restorative Justice, dan dapat
diterapkan apabila anak nakal mau mengakui kesalahannya, sekaligus
memberi peluang anak memperbaiki kesalahannya. Diversi adalah bentuk
intervensi yang baik dalam mengubah perilaku anak nakal, dengan adanya
keterlibatan keluarga, komunitas dan polisi, maka anak dapat memahami
dampak atas tindakannya yang telah dilakukan.25
Menurut sistem hukum kita, pemeriksaan terhadap perkara pidana
melibatkan:26
1. Kepolisian, selaku penyidik melakukan serangkaian tindakan penyelidikan, penangkapan, penahanan serta pemeriksaan pendahuluan;
2. Kejaksaan, selaku penuntut umum, sebagai penyidik atas tindak pidana khusus yang kemudian melimpahkan ke pengadilan;
3. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan di depan sidang pengadilan sebelum mendapat putusan hakim.
25Taufik Hidayat, Model Alternatif Penanganan Anak Konflik Hukum – 2006.26 Soedarto terpetik dalam, Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan
Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm.7.
49
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memuat sedikit
Pasal yang mengatur tentang kejahatan anak khususnya Pasal 45, 46, 47
KUHPmengatur tentang perlakuan terhadap anak-anak ini dan membatasi
umurnya yaitu di bawah 16 tahun, di samping Pasal-Pasal lain yang
mengatur. Misalnya Pasal 60 KUHP bahwa pidana perampasan dapat
diberikan kepada anak, yang memiliki, memasukkan atau mengangkut
barang-barang dengan melanggar:27
1. Ketentuan mengenai penghasilan Negara dan persewaan Negara;
2. Ketentuan mengenai pengawasan pelayaran;3. Ketentuan mengenai larangan memasukkan barang,
mengeluarkan dan meneruskan pengangkutan barang-barang.
Apabila yang terjadi demikian, maka ribuan anak-anak yang masih
berkonflik dengan hukum yang terperangkap di dalam puluhan tembok-
tembok berjeruji hasil di negeri ini masa depannya akan semakin hancur dan
bangsa ini tinggal menunggu waktunya untuk runtuh.
27Ibid, hlm.8
BAB III
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA
A. Perlindungan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Di Indonesia
Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang
melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Berdasarkan
konsep Parents Patria, yaitu Negara memberikan perhatian dan perlindungan
kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya, maka
penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan demi
kepentingan terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai-nilai Pancasila.
Rousseaumenegaskan:28
“Bahwa dalam segala persoalan yang berhubungan dengan Anak-
anak seyoginya kita lebih banyak membicarakan tentang Hak-
haknya daripada kewajibannya”.
Sedangkan Arief Gosita melihat perlindungan anak sebagai suatu kegiatan
bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan
kesejahteraan rokhaniah dan jasmaniah anak yang sesuaidengan kepentingannya
dan hak asasinya.29
Pada hakekatnya penanganan bagi anak dilakuakan bukan masalah yang
sederhana, diperlukan penyamaan persepsi, visi, mau dibawa kemana anak-anak
kita. Dan secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada
28Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988. hlm.21.29 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akademika Pressindo, 1985. hlm.45.
50
51
kegiatan menyerasikan hubungan-nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah yangmantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.30
Dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan
keadilan Restorative, menurut Pasal 13 Keputusan Besama Mahkamah agung,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan HAM, Menteri Sosial Republik Indonesia, Dan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor : 166/A/KMA/SKB/XII/2009
Nomor : 148/A/A/JA/12/2009
Nomor : B/45/XII/2009
Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009
Nomor : 10/Men.PP dan PA/XII/2009
Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
menyatakan: “Perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
sebagai berikut :
a. Penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak berhadapan hukum
dengan pendekatan keadilan Restoratif untuk kepentingan terbaik bagi
anak wajib melibatkan balai pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga
korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat.
b. Balai pemasyarakatan wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan.
30 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV Rajawali, 1983, .hlm.2.
52
c. Dalam hal anak ditahan maka penempatanya dipisahkan dengan tahanan
orang dewasa/titipan dirumah tahanan khusus anak.
d. Proses penyidikan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut
Umum dilaksanakan segera dengan mengikutsertakan pembimbing
kemasyarakatan Bapas.
e. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
dan hasil dari penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan penuntutan
dengan cara pendekatan keadilan Restoratif maka Jaksa Penuntut Umum
segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri.
f. Setelah menerima pelimpahan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim segera
melaksanakan sidang anak dengan cara pendekatan keadilan Restoratif.
g. Apabila putusan Hakim berupa tindakan, maka balai pemasyarakatan
wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan.
h. Pembimbingan, pembinaan, dan perawatan di Bapas, Rutan, dan Lapas
dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait
i. Dalam hal putusan Hakim menyerahkan anak yang berhadapan dengan
hukum kepada Dinas Sosial, maka Dinas Sosial wajib menerima dan
menyiapkan sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dan rehabilitasi
sosial anak.”
Sistem peradilan pidana hal ini amat rentan untuk tidak dipenuhi dan tak
jarang diabaikan. Posisi yang mendudukan seseorang sebagai pelaku bisa jadi
sangat instan dan subjektif, tak jarang korban yang sebenarnya justru didudukan
sebagai pelaku dan dimintai pula pertanggungjawabannya. Dalam memposisikan
53
salah satu pihak sebagai korban perlu kehati-hatian. Oleh karenanya perlu
diperhatikan bilamana penyelesaian perkara diluar sistem ingin dilakukan.
Mekanisme pembuktian tetap harus ditempuh untuk menjamin bahwa yang
bertanggungjawab adalah korban yang sesungguhnya dapat dilihat dalam
kacamata yang obyektif.
Keterbatasan data pada sisi lain menunjukkan bahwa penelitian,
pengamatan, kajian dan tentang situasi Anak yang berhadapan dengan hukum
menjadi amat penting dilakukan. Analisa situasi anak yang berada dalam sistem
peradilan merupakan analisa situasi terhadap proses peradilan yang dihadapi anak,
baik ketika anak berurusan dengan polisi, penuntut umum, maupun ketika anak
menjalani sidang pengadilan, ini mencakup juga ketika anak berada di dalam
lembaga penahanan atau pemenjaraan.
Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat
lebih dari 11,344 anak disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari
hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84,2%
anak berada di lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang dewasa dan
pemuda, jumlah anak ditahan tersebut, tidak termasuk anak yang ditahan dalam
kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama
yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak berstatus sebagai anak didik
(Anak sipil, Anak negara dan Anak pidana) tersebut di seluruh rumah tahanan dan
lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
54
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, karena banyak anak harus
berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak dalam tempat penahanan
dan pemenjaraan bersama orang lebih dewasa, menempatkan anak pada situasi
rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Oleh karena itu dibutuhkan
perhatian, dorongan dan upaya yang kuat agar dapat dilakukan pemantauan secara
terus-menerus, independen dan obyektif guna meminimalkan kerugian-kerugian
yang dapat diderita oleh anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum atau
sistem peradilan. Setidaknya upaya ini mengacu kepada standar nilai dan
perlakuan sejumlah instrumen lokal maupun Internasional yang berlaku,
diantaranya adalah Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989, Konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat manusia (Res.PBB No.39/46 Tahun 1984), Peraturan-
peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai
Administrasi Peradilan Anak/The Beijing Rules (Res.No.40/33 Tahun 1985),
kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berada di bawah
bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan (Res.PBB No.43/113 Tahun 1990),
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.31
Bahwa Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, sebagai berikut:
(1). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
31 Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, UNICEF Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2004.
55
(2). Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk
pelaku tindak pidana yang masih anak;
(3). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum;
(4). Penangkapan, penahanan atau penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir;
(5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi
sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali
demi kepentingan;
(6). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku;
(7). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak
memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Kepres Nomor 36 Tahun 1990 mengenai Konvensi Hak Anak:
Pasal 40
(1). ”Negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau
diakui telah melanggar Undang-Undang hukum pidana yang diperlukan
dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang
memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan dasar
56
orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk peningkatan
penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang
konstruktif dari anak dalam masyarakat.”
(2). Untuk tujuan ini, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan instrumen
Internasional yang terkait, Negara-negara peserta harus secara khusus
menjamin agar:
(a). Anak-anak tidak disangka, dituduh atau diakui telah melanggar
hukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaian yang tidak
dilarang oleh hukum nasional atau Internasional dimana
perbuatan itu dilakukan ;
(b). Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum
pidana setidaknya memiliki jaminan sebagai berikut:
(1). Dianggap tidak bersalah sampai terbukti menurut hukum;
(2). Memperoleh pemberitahuan secepatnya atau secara
langsung berkaitan dengan tuntutan terhadapnya, dan jika
mungkin melalui orang tua atau wali yang sah, dan untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya yang
diperlukan dalam persiapan atau pengajuan pembelaannya;
(3). Kasusnya ditangani oleh pihak yang berkopeten,
independent, dan tidak memihak ataupun oleh badan
hukum, disertai dengan bantuan hukum dan bantuan
lainnya yang sesuai dan kecuali hal tersebut dianggap tidak
sesuai dengan kepentingan terbaik anak, secara khusus
57
dengan mempertimbangkan usia dan situasinya, orang tua
ataupun walinya yang sah;
(4). Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian ataupun untuk
mengaku bersalah, untuk memeriksa saksi yang
memberatkan serta mendapatkan partisipasi dan
pemeriksaan saksi atas namanya dengan memakai prinsip
persamaan;
(5). Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, keputusan
ataupun langkah-langkah yang diambil sebagai
konsekuensinya harus mendapatkan pemeriksaan ulang
oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya yang kompeten,
independent dan tidak memihak atau pun badan peradilan
yang sesuai dengan ketentuan hukum;
(6). Mendapatkan bantuan intrepenter gratis jika anak tidak bisa
memahami ataupun menggunakan bahasa yang ada;
(7). Privasi sepenuhnya dihormati dalam semua tahapan
peradilan.
(3). Negara peserta harus berusaha mengembangkan Undang-Undang,
prosedur, otoritas, serta institusi yang secara khusus sesuai dengan anak-
anak yang disangka, dituduh atau diakui telah melanggar Undang-Undang
hukum pidana, dan secara khusus:
(a). Penentuan batas usia minimum dimana anak dianggap tidak
memiliki kapasitas pelanggaran hukum pidana;
58
(b). Jika mungkin dan jika sesuai, langkah-langkah untuk menangani
anak-anak tersebut dilakukan tanpa menggunakan proses
pengadilan, jika hak asasi manusia dan perlindungan hukum
dihormati sepenuhnya.
(4). ”Berbagai langkah, seperti bimbingan dan peraturan pengawasan,
konseling, masa percobaan, perawatan oleh orang tua, pendidikan serta
program pelatihan kejuruan dan alternatif perawatan lainnya harus tersedia
untuk menjamin agar anak ditangani dengan cara sesuai dengan
kesejahteraannya serta proporsional bagi perkara maupun
pelanggarannya.”
Pasal 37 (b)
”Tidak seorang anak pun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah
dan Sewenang-wenang. Penangkapan, Penahanan atau penghukuman anak
akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya
sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak.”
Pasal 39
”Negara peserta harus mengambil semua langkah-langkah yang sesuai
untuk meningkatkan pemulihan fisik dan psikis serta reintegrasi sosial
anak yang menjadi korban, segala bentuk penelantaran, eksploitasi, atau
perlakuan salah, penyiksaan atau bentuk perlakuan atau hukuman kejam
lainnya yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau
konflik bersenjata. Pemulihan serta reintegrasi semacam itu harus
59
berlangsung dalam lingkungan yang mendukung kesehatan, harga diri, dan
martabat anak.”
Sedangkan permasalahan sistem pertanggungjawaban, pada penanganan
anak konflik saat ini, cenderung tidak manusiawi dan anak menjadi korban,
sehingga penerapan hukumannya tidak jauh berbeda dengan penerapan hukum
orang dewasa, adapun permasalahan dalam peradilan anak, sebagai berikut:
1. Penahanan anak di tingkat penyidikan masih disatukan dengan orang
dewasa;
2. Waktu penahanan di tingkat penyidikan sering melampaui batas yang
ditentukan;
3. Persidangan ditunda-tunda tanpa alasan yang substansial;
4. Stigma/anggapan anak sebagai penjahat atau residivis pada tingkat
penyidikan dan tingkat peradilan lainnya masih kuat sehingga merugikan
anak;
5. Orang tua/ wali tidak langsung diberi tahu tentang penangkapan anaknya ;
6. Dalam proses penyidikan anak tidak didampingi oleh pengacara demikian
pula proses persidangan;
7. Persidangan masih menggunakan hakim majelis dan masih menggunakan
baju hakim (hitam-hitam);
8. Pertanyaan penyidik, jaksa, dan hakim kadang menyudutkan anak dan
merendahkan martabat serta harga diri anak;
9. Keputusan pemenjaraan masih jadi pilihan utama hakim, karena kurangnya/
tidak adanya alternatif hukuman bagi anak selain penjara;
60
10. Anak tidak ditempatkan pada LP Anak;
11. Masa penahanan sebelum putusan sangat lama (rata-rata 3 bulan).
Atas tuntutan masyarakat kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri),
karena sering terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
semakin meningkat, sementara masyarakat masih beranggapan apabila
penanganan dilakukan oleh polisi laki-laki masih sering terjadi kekerasan kedua
kali berupa pelecehan-pelecehan ataupun kekerasan fisik, sehingga melalui
Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan (LBPP) Derap Warapsari yang
merupakan LSM beranggotakan Purnawirawan Polwan mendesak pimpinan Polri
agar dibentuk suatu ruangan khusus diawaki oleh Polwan di dalam tubuh
organisasi Polri untuk menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak. Pada tanggal 16 April 1999 terbentuk Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di
Polda Metro Jaya dan jajarannya yang menangani korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak, keberadaan tim RPK tidak masuk dalam struktur organisasi
Polri, untuk tingkat Polda Metro Jaya di bawah unit Renakta (Remaja Anak dan
Wanita) Sat Serse Tipiter (Tindak Pidana Tertentu), sementara tingkat Polres di
bawah unit judi, susila. Berdasarkan keputusan Kapolri No. Kep/54/X/2002
Tanggal 17 Oktober 2002, unit Renakta Sat Serse Tipiter berdiri sendiri menjadi
Sat IV Renakta membawahi unit RPK di bawah Dit Reskrimum Polda Metro
Jaya, sementara tingkat Polres, Sub unit RPK di bawah unit Krimum Sat
Reskrim.32
32 Herti, Kebijakan Polri dalam Menangani Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Makalah Lokakarya, Jakarta, 2003, hlm.6.
61
Tugas dan tanggung jawab awak RPK adalah:33
1. Menegakan hukum untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak dari penyalahgunaan eksploitasi, diskriminasi dan kelalaian termasuk terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ;
2. Melayani dan mengayomi serta melindungi korban kekerasan terhadap anak dan perempuan ;
3. Memberikan konseling terhadap korban kekerasan, terhadap perempuan dan anak apabila kasus yang dialami tidak memenuhi syarat hukum atau belum diatur oleh Undang-undang ;
4. Menjalin kerjasama sesuai dengan Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Polri kepada instansi terkait maupun kepada LSM yang menangani masalah perempuan atau anak di bidang pendampingan dan advokasi.
Adanya RPK yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, diantaranya
dalam menangani pelaku tindak pidana anak adalah sejalan dengan Pasal 41
Undang-undang tentang Pengadilan Anak, mengenai penyidik khusus anak.
Dalam penyidikan anak terdapat prosedur khusus yang diatur dalam Pasal
42 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, yaitu memeriksa tersangka dalam
suasana kekeluargaan, wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya,
diberitahukan haknya untuk mendapat bantuan hukum dan proses penyidikan
wajib dirahasiakan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus atau
spesifik prosedur penanganan terhadap pelanggaran hukum yang berusia anak-
anak.
33Ibid.
62
Berdasarkan data pelaku kejahatan/pelanggaran yang dilakukan anak di
bawah usia 18 tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Resort Bandung, terdapat 123
perkara anak. Tahun 2000 terdapat 35 perkara, tahun 2001 terdapat 42 perkara dan
tahun 2002 terdapat 46 perkara. Dari 123 perkara tersebut jenis tindak pidana
yang dituduhkan yang paling banyak adalah pencurian (percobaan pencurian,
pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan
bermotor) sebanyak 81 perkara, sisanya adalah pemerasan, membawa senjata api,
penganiayaan, pembunuhan, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang,
perkosaan, perbuatan cabul, penadahan, melarikan perempuan, membawa senjata
tajam, dan mengedarkan VCD Porno. Dalam 123 perkara tersebut semua anak
ditangkap dan dikenakan penahanan. Usia anak berkisar antara 13 tahun sampai
18 tahun. Sedangkan berdasarkan data Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah Jawa Barat Resort Bandung per Mei tahun 2003, yaitu Januari sampai
dengan Mei 2003 terdapat 13 perkara dan dari data tersebut dapat diketahui
perlakuan polisi masih tetap sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu
menangkap dan menahan pelaku anak, padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak telah berlaku, dan dalam Pasal 16 ayat 3
Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa “Penangkapan, penahanan, atau
tindak pidana penjara anak hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Menurut Pasal 60 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, anak didik
pemasyarakatan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak yang harus
terpisah dari orang dewasa, dan anak yang ditempatkan di lembaga
63
pemasyarakatan berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat
dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, LAPAS dan
BAPAS, didirikan di setiap ibu kota, Kabupaten dan Kotamadya dan bila
dianggap perlu di tingkat Kecamatan atau kota administratif dapat didirikan
cabang Lapas dan cabang BAPAS.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah
diikuti oleh beberapa peraturan Pemerintah, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan
Tahanan.
Daftar Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak di Indonesia Tahun 2002
No LAPAS PROPINSI
1.
2.
Lapas Anak Medan
Lapas Anak Tanjung Pati
Sumatera Utara
Sumatera Barat
64
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Lapas Anak Pakan Baru
Lapas Anak Muara Bulian
Lapas Anak Palembang
Lapas Anak Kota Bumi
Lapas Anak Pria Tangerang
Lapas Anak Wanita Tangerang
Lapas Anak Kutoarjo
Lapas Anak Blitar
Lapas Anak Sungai Raya
Lapas Anak Pontianak
Lapas Anak Martapura
Lapas Anak Pare-pare
Lapas Anak Tomohon
Lapas Anak Gianyar
Lapas Anak Kupang
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Banten
Banten
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Bali
Nusa Tenggara Timur
Sumber: Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Kehakiman & HAM RI
Dengan melihat daftar LAPAS Anak tersebut di atas nampak tidak semua
Provinsi di Indonesia yang berjumlah 32 (Tiga puluh dua) Provinsi mempunyai
LAPAS Anak, sebagaimana halnya Provinsi Jawa Barat tidak mempunyai LAPAS
Anak.
Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung (Rutan Kebon Waru) misalnya,
dengan segala keterbatasannya, bersama masyarakat yang peduli kemanusiaan
tetap berupaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang diperuntukan untuk
para tahanan dan narapidananya
Beberapa masalah pelik di Rutan Kebon Waru yang berdampak pada
kesehatan penghuninya antara lain adalah melebihinya kapasitas (over capacity)
jumlah tahanan dari daya tampung yang disediakan. Daya tampung Rutan Kebon
Waru diperuntukan untuk 780 orang dan sekarang diisi lebih dari 1.600-1.700
65
orang. Hal tersebut memperburuk sanitasi rumah tahanan.
Selain itu, sampai dengan akhir 2003, kondisi air bersih di rutan sangat
memprihatinkan. Pada Mei 2004 telah terselesaikan satu buah sumur yang dalam
dan merupakan sumbangan dari masyarakat peduli sesama. Pembuatan sumur
tersebut sangat menolong dalam meningkatkan kualitas kesehatan para penghuni
rutan karena selama ini salah satu penyebab terjadinya penyakit adalah buruknya
kualitas air.
Pada Maret 2003, dari 102 orang yang dilayani kesehatannya terdapat
penyakit kulit menular (scabies) mencapai 90% sedangkan penyakit lainnya
adalah Infeksi Saluran Napas Atas (ISPA), pusing-pusing dan lain-lain.
Rumah Tahanan Kebon Waru memiliki sebuah klinik dengan peralatan
kesehatan yang belum cukup memadai. Dalam 1 minggu, 2 kali klinik rumah
tahanan buka, yaitu pada hari Selasa dan Kamis. Anggaran dana kesehatan yang
diberikan oleh Negara adalah sebesar Rp. 1.500.000,-/tahun untuk semua tahanan
dan narapidana. Program kesehatan yang ada hanyalah wajib olah raga bagi para
tahanan.
Saat ini terdapat 30-50 (selalu berubah) anak usia berusia dibawah 18
tahun yang tinggal di Rutan Kebon Waru, mereka adalah anak pidana (sudah
dijatuhi vonis hukuman oleh pengadilan) dan anak yang sedang menghadapi
proses peradilan. Tidak adanya rumah tahanan khusus anak di Bandung
mengakibatkan anak terpaksa ditempatkan di Rumah Tahanan Kebon Waru
dalam blok khusus tahanan anak (Blok C2) yang masih berada di lingkungan
tahanan dewasa.
66
Dalam menghadapi kendala berupa minimnya anggaran biaya dan
dukungan dana yang mencukupi bagi tahanan anak yang dihadapi pengurus rumah
tahanan dalam mengembangkan program khusus bagi anak, dukungan dan
partisipasi sangat diperlukan dari semua lapisan masyarakat dan instansi-instansi
yang relevan serta peduli terhadap anak-anak yang berada dalam konflik hukum
yang nyatanya mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan
perlindungan dan bimbingan.
Pentingnya pengembangan program khusus bagi anak yang “terpaksa”
harus berada ditahanan, mendesak untuk dilakukan segera. Perlu disadari tujuan
adanya rumah tahanan adalah sebagai tempat rehabilitatif dan reintergratif
sebagai salah satu sarana untuk menyatukan kembali mereka yang telah
melanggar perbuatanhukum untuk kembali ke masyarakat (terutama untuk Anak
Konflik Hukum). Oleh karenanya, kegiatan-kegiatan yang bersifat rehabilitatif
dan reintergratif mutlak diperlukan dan harus dilaksanakan.
Berdasarkan istilah yang digunakan, tampaknya Restorative Justice
merupakan pendekatan import dari barat. Namum sebenarnya tidak demikian,
karena Restorative Justice diadopsi dari nilai-nilai tradisional yang positif dan
tidak melanggar Hak Asasi Manusia dari Bangsa-bangsa di dunia, yaitu cara
penyelesaian melalui musyawarah.
Indonesia mulai mencoba mengimplementasikan model Restorative
Justice dalam penanganan perkara anak konflik hukum (AKH), untuk pertama
kalinya dipilih kota Bandung sebagai wilayah uji coba (pilot project). UNICEF
yang bekerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum (Kepolisian,
67
Kejaksaan, dan Pengadilan) serta melibatkan berbagai lembaga swadaya
masyarakat lainnya, telah membentuk kelompok kerja (working group)
Restorative Justice yang berkonsentrasi dalam penelitian dan penanganan perkara
anak.
Kelompok kerja Restorative Justice, Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Jawa Barat – UNICEF telah membuat suatu bentuk atau model Restorative
Justice, sebagai acuan dalam pelaksanaan penanganan perkara anak konflik
hukum (AKH) khususnya di kota Bandung. Model tersebut dapat dilihat pada
bagan sebagai berikut:34
34 D.S. Dewi, Model Restorative Justice, Seminar Peradilan Anak, UNPAD, Bandung, 2006. hlm 13 – 28
68
Pra kondisi Metode Hasil
Dari bagan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Pra syarat berdasarkan karakteristik Restorative Justice:
(a). Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku;
(b). Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian
diluar sistem peradilan pidana anak yang berlaku;
(c). Persetujuan dari kepolisian, sebagai institusi yang memiliki
kewenangan diskresioner, atau dari Kejaksaan;
(d). Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian
diluar sistem Peradilan Pidana Anak.
2). Kriteria kasus :
Model Restorative Justice (R.J)
Pra SyaratRJ
Musyawarah Pemulihan
KEPUTUSAN
Syarat-syarat Keputusan
Pihak-pihak:1. Korban dan keluarga2. Pelaku dan keluarga3. Wakil masyarakat
KriteriaKasus
Tempat pelaksanaan
Dua Kategori Kasus
Unsur pendukung
69
(a). Bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan
orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas jalan;
(b). Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa
manusia, luka berat atau cacat seumur hidup;
(c). Kenakalan anak tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap
kesusilaan yang serius menyangkut kehormatan.
3). Dua kategori kasus
(a). Kasus kenakalan anak yang telah bersentuhan dengan sistem
peradilan pidana;
(b). Kasus kenakalan anak yang belum bersentuhan dengan sistem
peradilan pidana.
4). Metode penyelesaian musyawarah pemulihan
(a). Sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga
dalam masyarakat;
(b). Dapat mengakomodasikan keterlibatan masyarakat atau pihak
ketiga lainnya dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan
pelaku);
(c). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah
untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah
diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.
5). Pihak-pihak yang dilibatkan dalam musyawarah pemulihan:
(a). Korban dan keluarga korban
70
(a). Penting karena dalam sistem peradilan pidana, korban
kurang dilibatkan padahal ia adalah bagian dari konflik;
(b). Suara atau kepentingan korban penting untuk di dengar dan
merupakan bagian dari putusan yang akan diambil;
(c). Keluarga korban perlu dilibatkan sebab umumnya dalam
masyarakat Indonesia, konflik pidana sering menjadi
persoalan keluarga, apalagi bila korban masih dibawah
umur.
(b). Pelaku dan keluarga pelaku
(a). Pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan;
(b). Keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih
disebabkan karena usia pelaku yang belum dewasa (anak);
(c). Pelibatan keluarga pelaku juga dipandang sangat penting,
karena keluarga sangat mungkin menjadi bagian dari
kesepakatan dalam penyelesaian seperti halnya pembayaran
ganti rugi.
(c). Wakil masyarakat
(a). Untuk mewakili lingkungan dimana peristiwa pidana
tersebut terjadi;
(b). Agar kepentingan-kepentingan yang bersifat publik
diharapkan tetap dapat terwakili dalam pengambilan
keputusan.
71
(d). Wakil masyarakat tersebut, haruslah memenuhi kriteria
(a). Tokoh atau pihak yang dianggap tokoh masyarakat
setempat (memiliki legitimasi sebagai wakil masyarakat);
(b). Tidak memiliki kepentingan dalam kasus yang dihadapi
(dapat bertindak impartial);
(c). Memperhatikan keseimbangan gender agar aspirasi
perempuan senantiasa terwakili dalam pengambilan
keputusan.
6). Tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan
(a). Musyawarah pemulihan dapat dilakukan pada tingkat Rukun warga
(RW) di lingkungan dimana kasus kenakalan anak tersebut terjadi
(Tempat Kejadian Perkara/ TKP);
(b). Di Sekolah, khususnya dalam hal kenakalan anak yang terjadi di
sekolah dan baik pelaku maupun korbannya berasal dari sekolah
dimaksud.
7). Unsur pendukung
(a). Pada tahap awal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dibutuhkan
sebagai inisiator untuk mendorong penggunaan musyawarah
pemulihan sebagai alternatif penyelesaian;
(b). Pada tahap awal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga
dibutuhkan sebagai konsultan dan fasilitator dalam tahap
pelaksanaan musyawarah pemulihan.
72
8). Syarat-syarat keputusan hasil musyawarah pemulihan
(a). Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri dengan tanpa
memerlukan bantuan instansi penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana;
(b). Putusan tidak bersifat punitif, tetapi lebih merupakan solusi dengan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, korban, dan
masyarakat, seperti misalnya berupa restitusi (ganti rugi) atau
community service order (kewajiban kerja sosial);
(c). Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang
terlibat dan dapat dilaksanakan.
(d). Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh
masyarakat dan atau dengan bantuan LSM sebagai inisiator.
Dengan menggunakan konsep ini, hasil yang diharapkan adalah
berkurangnya jumlah anak-anak yang terlibat proses peradilan pidana
menghapuskan stigma/cap negatif dan mengembalikan anak menjadi manusia
normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari, pelaku pidana
anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi kesalahannya,
mengurangi beban kerja aparat penegak hukum, menghemat keuangan Negara,
tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban,
korban cepat mendapat ganti kerugian, memberdayakan orang tua dan masyarakat
dalam mengatasi kenakalan anak dan mengintegrasikan kembali anak ke dalam
masyarakat.
73
B. Penerapan Konsep Restorative Justice Di Berbagai Negara
Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan
pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak
pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana
tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa “Dalam
menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan
suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Sedangkan Restorative Justice dalam hukum Islam tercantum dalam kitab
Jinayat. Pada masa penjajahan Belanda amat terlarang membaca kitab ini pada
sekolah agama oleh yang berwajib. Barang siapa yang berani mengajarkannya
kemungkinan sang guru digulkan, karena dipandang berbahaya. Oleh karena itu
orang cerdik/pandai di Indonesia ahli hukumnya tidak kenal dengan hukum
pidana dalam Islam atau Jinayaat.35
Jinayaat itu meliputi beberapa pelanggaran yang dibuat oleh pesakitan,
masing-masing mempunyai tata hukum tertentu. Sebab itu soal Jinayaat meliputi
hukum dalam perkara:36
35 Kasim Badri, Hukum Pidana Islam, Ramadhani, Semarang, 1958, hlm. 11
36Ibid, hlm. 12.
74
1. Qisash, yaitu pembalasan yang setimpal dengan perbuatan;2. Diyaat, yaitu hukuman denda;3. Hudud, yaitu hukuman dera, rajam, penjara dan dibuang ke luar
negeri atas orang yang berbuat pelanggaran tertentu.
Diyaat adalah bentuk pluralis, bentuk singularisnya adalah Diyah, Syarbini
Chatib merumuskan diyah sebagai:
Harta yang wajib oleh karena kejahatan atas orang merdeka mengenai jiwa
ataupun yang lain gantinya.37
Menurut Ibnu Rusjd:38
“Para ulama bermufakat bahwa Diyah diwajibkan dalam pembunuhan yang dilakukan oleh karena kesalahan (chataan). Dalam pembunuhan oleh karena kesengajaan, mereka bersatu pendapat, jika hal itu dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf, seperti orang gila dan anak-anak kecil.
Dari pendapat para pakar hukum Islam tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan, bila anak-anak melakukan tindak pidana, sekalipun perkaranya berat
dan disengaja seperti pembunuhan, dapat diselesaikan secara damai dengan jalan
membayar diyah.
Di Australia penanganan tindak pidana dengan pelaku anak dapat
dilakukan dengan cara:39
1). Police Cautions;
2). Juvenile Conference.
Police Cautionsberupa:1. Peringatan yang diberikan oleh petugas kepolisian kepada anak yang
melakukan kejahatan ringan/pelanggaran;
37 Syarbini Chatib, terpetik dalam Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut Adjaran Ahlussunah, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 309.
38Ibnu Rusjd, Terpetik dalam Haliman, Ibid.39 Widiati Wulandari, Restorative Justice, Makalah Pelatihan Restorative Justice, LPA –
UNICEF, Bandung, 2003, hlm. 3.
75
2. Peringatan ini biasanya diberikan di tempat kejadian, yang intinya polisi memberitahu anak bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan salah dan berdampak negatif;
3. Selanjutnya polisi memperingatkan anak tersebut untuk tidak mengulangi kesalahannya dan polisi berhak menyuruh anak tersebut untuk pergi dari tempat kejadian perkara/meninggalkan area tertentu;
4. Dalam kasus yang lebih serius polisi dapat memanggil anak beserta orang tua/walinya untuk datang ke kantor polisi untuk di dengarketerangannya dan selanjutnya memperoleh peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Juvenile Conferenceberupa:
1. Pelaksanaan Juvenile Conference berbeda di tiap-tiap negara bagian. Di beberapa negara pertemuan diselenggarakan oleh Departemen Of Social Welfare atau oleh organisasi keagamaan/gereja;
2. Pelaku tindak pidana anak diberi kesempatan untuk memilih mengikuti Juvenile Conferencing atau mengikuti proses peradilan di pengadilan anak;
3. Dalam pertemuan, pelaku tindak pidana anak hadir bersama-sama dengan orang tua, teman dekat atau saudaranya;
4. Korban juga dapat didampingi support group-nya;5. Pertemuan yang diselenggarakan oleh polisi dihadiri oleh perwakilan polisi,
sedangkan pertemuan yang diselenggarakan oleh Departemen Of Juvenile Justice dihadiri oleh perwakilannya;
6. Pertemuan dimulai dengan pelaku anak diminta untuk menceritakan kejadian dan alasan dilakukan tindak pidana;
7. Selanjutnya korban diminta untuk menceritakan kejadian serta akibat yang terjadi dan kerugian yang diderita;
8. Pelaksanaan pertemuan berhak untuk bertanya dan memberikan komentar atas pernyataan masing-masing pihak;
9. Pertanyaan dan pernyataan yang diajukan kepada pelaku anak ditunjukan untuk mengetahui apakah pelaku menyadari kesalahannya dan menyadarinya;
10. Pelaku anak didorong agar berempati pada korban dan selanjutnya meminta maaf kepada korban;
11. Pelaksana pertemuan menanyakan kepada korban apa yang diharapkan oleh korban;
12. Pelaksana pertemuan menanyakan kepada pelaku anak, apakah ia bersedia memenuhi permintaan korban;
13. Apabila bentuk kompensasi/sanksi telah disepakati selanjutnya dibuat rencana pelaksanaannya.
Upaya-upaya rehabilitasi akan lebih mantap apabila dilengkapi dengan
tindakan-tindakan positif yang lebih dititikberatkan kepada kesadaran sosial yang
menjadi embrio mental yang sehat. Anak-anak delinkuen yang sudah memiliki
76
kesehatan mental akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kondisi
mental yang demikian akan menimbulkan rasa solidaritas sosial yang kokoh. Di
samping itu tumbuh pula rasa interrelasi dan interdependen antara anak delinkuen
dengan anggota masyarakat yang lain. Upaya resosialisasi anak delinkuen sangat
kompleks arti dan maksudnya daripada sekedar rehabilitasi. Resosialisasi berarti
berhadapan langsung dengan masyarakat dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dalam hukum Islam terhadap semua jenis kejahatan, seperti delik
perlukaan, diperhalus dengan kemungkinan penggantian bentuk pidananya dengan
denda (diyat) yang dikaitkan dengan konsep pemaafan. Setiap korban dan
keluarga korban, lebih dan bahkan sangat dianjurkan untuk memaafkan daripada
menuntut qishas. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Asy Syura’ ayat
(40):
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim.”
Begitu damai, begitu indah, dan sangat bermanfaat ajaran Nabi
Muhammad apabila dapat dijalankan dengan baik dan benar oleh umatnya karena
memang Rasulullah diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak
manusia.
Hukum Islam sebagaimana termaktub di atas sangat mendukung sebagai
alternatif dan upaya penanganan anak konflik hukum (AKH) melalui Restorative
Justice, sebagaimana prinsip ultimum remidium, dan the last resort untuk
penanganan anak berhadapan dengan hukum, sedang berkembang pemilihan
untuk mereform UU No. 3/1997 yang memasukkan konsep Restorative Justice
77
pada anak-anak, konsep Restorative Justice ini, secara substansial bisa
dipergunakan dalam skema maatregel yang dijatuhkan hakim. Tentu RUU KUHP
tajam dalam mengelaborasi dan defalisasi bentuk-bentuk skema Restorative
Justice untuk merestorasi korban. Beberapa bentuk tindakan sudah masuk dalam
RUU KUHP, seperti Pasal 122 ayat (2) RUU KUHP, yang memasukkan (g)
perbaikan dari akibat tindak pidana; (h) rehabilitasi (korban tindak pidana); dan (i)
perawatan (korban) di lembaga. Namun, tidak dijelaskan penggunaannya secara
kumulatif atau alternatif. Disamping itu, syarat-syarat materil apa pelaku bisa
dibebaskan dari tanggung jawab pidana, misalnya adanya pemaafan dari korban
atau keluarganya, atau rekomendasi dari Laporan Penelitian Kemasyarakatan
(LITMAS) dari BAPAS.
Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1). Dibutuhkan kerjasama antara aparat penegak hukum, instansi pemerintah
maupun organisasi masyarakat sipil untuk mengetahui faktor pendorong anak
melakukan tindak pidana serta dampak psikologis terhadap anak dalam
menjalankan hukuman yang diberikan;
2). Perlu dilakukan sosialisasi hak-hak anak kepada instansi pemerintah, aparat
penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memberikan perlindungan
terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum;
3). Mengimplementasikan pasal-pasal konvensi hak anak dari UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak di dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam
proses pengadilan;
78
4). Perlu dilakukan upaya-upaya diskresi (tidak dilanjutkan dalam proses
persidangan) oleh aparat penegak hukum bagi kasus-kasus Petty Crime
(ringan) yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum;
5). Perlu Lembaga Pemasyarakatan khusus untuk anak yang dapat memberikan
kebutuhan anak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya;
6). Perlu segera mendidik penegak hukum yang ahli dan memahami tentang
anak, seperti, Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara, semuanya berlatarbelakang
dibidang hukum anak.
Kenakalan anak ini, menanganinya haruslah hati–hati, kalau salah
menangani bisa berakibat fatal. Masalah ini sudah menjadi fenomena dunia,
dimana pemenjaraan itu merupakan hal luar biasa. Dimana anak yang sudah
pernah masuk penjara rentan menjadi residivis. Penanganan pemenjaraan
merupakan upaya terakhir. Anak merasakan kekerasan selama proses
pemenjaraan.
Anak Konflik Hukum (AKH) adalah stigma dari masyarakat, stigma dari
masyarakat menjadi anak penjahat, anak pidana, bahwa anak setelah keluar dari
penjara mereka bingung untuk kemana. Masyarakat banyak menolak kehadiran
mantan AKH, keluarga tidak banyak yang menerima Napi anak. Persoalan lain
mereka rentan untuk dibujuk oleh para penjahat yang lebih senior, karena situasi
anak sudah terstigma maka anak sangat rentan terpengaruh. Dan memperburuk
situasi pemulihan AKH tersebut. Kota Bandung belum ada secara khusus
menangani AKH Pasca Pemidanaan. Masyarakat kita sangat banyak Pondok
Pesantren potensial untuk menangani AKH, hanya bagaimana memanfaatkan itu.
79
Minimal pemulihan pasca pemidanaan, bahwa Pontren dapat menjadi alternatif
untuk tempat AKH sebelum kembali ke masyarakat. Anak ini bisa menjadi sebuah
perhatian, mungkin selama ini luput dari perhatian kita, dimana sebenarnya
mereka butuh perhatian yang lebih baik.
BAB IV
RESTORATIVE JUSTICE DAN SISTEM PERADILAN
PIDANA
A. Pengaturan Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak telah disahkan tanggal 30 Juni 2012, namun baru belaku 2 (dua)
tahun kemudian, sehingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih
diberlakukan sampai dengan 30 Juni 2014.
Upaya modernisasi, perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang pesat
membawa perubahan nilai dan norma di dalam masyarakat ikut merasakan
dampak itu. Kedua orang tua “dipaksa” bekerja semua menyebabkan
pengawasan kepada anak berkurang. Sementara kemajuan pembangunan
(Modernisasi) menciptakan hal-hal baru yang tidak semuanya positif bagi
perkembangan anak. Permainan “game” yang menyajikan bentuk kekerasan
berupa aneka jenis perkelahian mendidik anak berbudaya kekerasan. Akhirnya
anak menjadi suka menganiaya temannya sendiri sehingga menyebabkan
dirinya terjerat tidak pidana. Anak juga cepat “dewasa” karena menonton film
biru. Akibatnya ada yang mencabuli temannya sendiri.
Dari sinilah muncul anak dengan predikat yang tidak menyenangkan
yaitu Anak Konflik Hukum (AKH), karena tidak ada siapapun yang kebal
hukum, anak yang melanggar hukum pun harus berhadapan dengan hukum.
80
81
Persoalannya bagaimana menangani anak yang berkonflik dengan hukum?
Karena anak mempunyai hak tersendiri yang berbeda dari hak orang dewasa,
penanganannya pun harus berperspektif hak anak.40
Oleh karena itu perlu penanganan khusus untuk anak yang berkonflik
dengan hukum. Persoalannya adalah apakah Undang-undang untuk menangani
anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga memahami permasalahan-
permasalahan anak yang berprilaku menyimpang? Apakah tersedia
infrastruktur yang memadai untuk menangani anak yang berkonflik dengan
hukum? Apakah hak-hak anak terpenuhi ketika ia berkonflik dengan hukum
sehingga diperlakukan secara adil dan manusiawi?
Pertanyaan penting lainnya adalah apakah ada satu sistem penanganan
anak yang melakukan pelanggaran hukum ditangani dengan tanpa melalui
proses pengadilan tetapi ditangani oleh tokoh masyarakat dalam menyadarkan
anak atas pelanggaran yang diperbuatnya.
Uraian di atas perlu kita diskusikan dan dibahas bersama agar anak
yang berkonflik dengan hukum tetap memiliki martabat dan harga diri serta
penyelesaiannya melalui cara-cara yang manusiawi sehingga tidak cenderung
mendorong anak menjadi penjahat profesional.41
Menurut H. Sofyan Farid Lembah, Komisioner Penguatan
Kelembagaan dan Kerjasama Antar Lembaga, Komnas Perlindungan Anak,
perlu dilakukan, akan tetapi saat ini ada beberapa aspek yang menjadi
40 Fathuddin Muchtar, Situasi Anak Yang berkonflik dengan hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006, hlm.61.
41 Hadi Utomo, Pola Advokasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Laha, Bandung,2002.
82
kelemahan dalam penerapan Restorative Justice terutama berkaitan dengan
penegakan hukumnya, antara lain42:
Aspek Hukum:
1. “Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak masih belum tegas tentang pelarangan pidana penjara anak. Lapas Anak bukanlah tempat yang layak bagi anak berhadapan dengan hukum sekalipun;
2. Perubahan KUHP hingga sekarang belum tuntas dilakukan perubahan terutama menyangkut soal pasal-pasal pemerkosaan dan pencabulan yang masih lemah dan bias gender dan bias PUHA (Pengarustamaan Perlindungan Hak Anak).
Aspek Penegak Hukum:
Pihak Kepolisian
1. belum sepenuhnya percaya diri menggunakan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum;
2. Pihak Kepolisian baik di jajaran POLDA maupun Polres hingga Polsek belum membentuk Kelompok Kerja Penanganan anak berhadapan dengan hukum dan kurang melakukan sosialisasi internal;
Pihak Kejaksaan
1. Kejaksaan Tinggi kurang mengefektifkan bimbingan dan pengawasan jalannya penuntutan terhadap anak berhadapan dengan hukum;
2. Pihak Kejaksaan belum mengefektifkan kelompok Kerja Penanganan anak berhadapan dengan hukum kurang melakukan sosialisasi internal soal anak berhadapan dengan hukum;
Pihak Kanwil Hukum dan HAM
1. kurang melakukan diskusi rutin dan pelatihan serta sosialisasi internal soal penanganan anak berhadapan dengan hukum;
2. Pihak Kakanwil Hukum & HAM perlu menetapkan kebijakan Pelayanan, Pembinaan, pembimbingan dan Perlindungan anak berhadapan dengan hukum;
3. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum menerbitkan SE. & SOP penanganan anak berhadapan dengan hukum dengan Keadilan Restoratif;
4. Pihak Kanwil Hukum dan HAM harus lebih mengefektifkan lagi pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya;
42 http://komnaspa.wordpress.com/2012/04/05/quo-vadis-implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/
83
5. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum membentuk Kelompok Kerja penanganan anak berhadapan dengan hukum;
6. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan terus kualitas pelayanan, penelitian kemasyarakatan, pembimbingan dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak berhadapan dengan hukum yang diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care);
7. Pihak Kanwil Hukum Dan HAM perlu meningkatkan kualitas perlindungan, pelayanan dan pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di RUTAN dan Lembaga Pemasyarakatan (LP);
8. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu mengembangkan PUSDATIN tentang Data dan Registrasi Anak Didik Pemasyarakatan, tahanan anak dan klien balai kemasyarakatan;
9. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum optimal melakukan pelatihan peningkatan kemampuan petugas Balai Kemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan Anak tentang Diversi dan Keadilan Restoratif;
10. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan penyediaan Sumberdaya Manusia, sarana dan prasarana untuk pelayanan pemenuhan hak anak berhadapan dengan hukum;
Pihak Dinsos
1. Belum menyiapkan pekerja sosial dan pendamping psikososial dalam pelayanan masalah sosial anak berhadapan dengan hukum bersertivikasi di Sulteng;
2. Pihak Dinsos belum optimal mendorong & memperkuat peran keluarga, masyarakat serta LSM untuk peduli anak berhadapan dengan hukum;
3. Pihak Dinsos belum menyusun Kebijakan, panduan dan pedoman SOP Perlindungan & Rehabilitasi Sosial penanganan anak berhadapan dengan hukum;
4. Pihak Dinsos belum membentuk POKJA penanganan anak berhadapan dengan hukum dan masih kurangnya sosialisasi internal;
5. Pihak Dinsos belum optimal memfasilitasi penjangkauan kasus anak berhadapan dengan hukum;
6. Pihak Dinsos belum optimal melakukan advokasi sosial agar terciptanya diversi penyelesaian kasus anak berhadapan dengan hukum;
7. Pihak Dinsos kurang berkoordinasi dengan BAPAS dalam memfasilitasi pendampingan psikososial selama proses peradilan sampai reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial;
8. Pihak Dinsos belum mensosialisasikan dan mengembangkan model berbasis institusi, keluarga dan masyarakat;
9. Pihak Dinsos belum membentuk Komite Perlindungan & Rehabilitasi Sosial anak berhadapan dengan hukum;
84
Pihak BPPKB
1. Belum mempunyai rumusan kebijakan penanganan anak berhadapan dengan hukum termasuk pembuatan Panduan & Pedoman SOP penanganan anak berhadapan dengan hukum;
2. Pihak BPPKB belum optimal melakukan koordinasi, sinkronisasi, sosialisasi, advokasi dan fasilitasi, termasuk mendorong peran serta masyarakat dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum;
3. Pihak BPPKB belum membentuk kelompok kerja penanganan anak berhadapan dengan hukum;
4. Pihak BPPKB belum optimal melakukan pelatihan-pelatihan, sosialisasi internal;
5. Pihak BPPKB belum mengembangkan mekanisme pemantauan, analisis, evaluasi dan system pelaporan;
Pihak Dikjar
1. Belum menetapkan kebijakan perlindungan anak berhadapan dengan hukum untuk memperoleh pendidikan dan alternative layanan pendidikan yang dibutuhkan anak berhadapan dengan hukum melalui pendidikan Formal, Nonformal dan Informal;
2. Pihak Dikjar belum memfasilitasi pendidikan anak berhadapan dengan hukum di dalam dan di luar lembaga yang menyelenggarakan Kesejahteraan sosial, LP Anak dan Rutan;
3. Pihak Dikjar belum mengembangkan model pendidikan anak berhadapan dengan hukum di daerah Khusus;
4. Pihak Dikjar belum menyediakan sarana dan prasarana dan tenaga untuk layanan pendidikan anak berhadapan dengan hukum;
5. Pihak Dikjar belum mengembangkan model pelatihan untuk petugas & Tenaga pendidik dalam pendidikan anak berhadapan dengan hukum;
6. Pihak Dikjar kurang berkoordinasi para pihak berkaitan dengan peserta didik yang diduga melakukan tindak pidana untuk tetap mengikuti pendidikan;
Pihak Dinkes
1. Pihak Dinkes belum mempunyai kebijakan penetapan Standard Pelayanan Kesehatan Anak di LAPAS dan FUTAN;
2. Pihak Dinkes perlu meningkatkan kualitas pembinaan kesehatan anak melalui pelayanan di Tingkat Dasar di Puskesmas dan pelayanan rujukan di Rumah Sakit;
3. Pihak Dinkes belum optimal menyediakan biaya pengobatan melalui JAMKESMAS bagi anak berhadapan dengan hukum yang terdaftar sebagai keluarga miskin dan anak berhadapan dengan hukum yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan terlantar atas rekomendasi Dinsos setempat.
85
Pihak Kanwil DEPAG
1. Pihak Kanwil DEPAG belum mengembangkan dan menetapkan kebijakan perlindungan anak berhadapan dengan hukum untuk lingkungan pendidikan di bawah DEPAG;
2. Pihak Kanwil belum menetapkan kebijakan alternative pelayanan pendidikan agama yang dibutuhkan anak berhadapan dengan hukumdalam bentuk formal, non formal dan informal;
3. Pihak Kanwil Agama belum mengembangkan model pencegahan tidak kekerasan terhadap siswa selama dalam proses pendidikan di lingkungan Depag yang dapat mengakibatkan siswa melakukan tindak pelanggaran tata tertib sekolah atau tindak pelanggaran hukum;
Aspek Sarana dan Prasarana:
1. Di jajaranPolres di kabupaten/Kota, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan Ruang Khusus Pemeriksaan untuk Perempuan dan Anak belum seluruhnya tersedia;
2. Pusat-pusat Penanganan Trauma, Rumah Aman dan Shelter atau Rumah Singgah belum tersedia di 11 kabupaten/kota;
3. Belum tersedianya Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di Sulawesi Tengah sebagai alternatif pengganti Lapas Anak yang lebih ramah anak;
4. Belum tersedianya lahan untuk pembangunan RPSA di Sulawesi Tengah.
Aspek Masyarakat:
1. Masih adanya persepsi negative masyarakat terhadap anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kejahatan yang tidak bisa membedakan dengan kenakalan anak/remaja;
2. Kesadaran masyarakat kurang mendukung reintegrasi, reunifikasi keluarga dan rehabilitasi sosial bagi anak berhadapan dengan hukum;
3. Pengucilan dan stigmatisasi atau labelisasi pelaku kejahatan terhadap anak berhadapan dengan hukummeski telah menjalani hukuman atau dijalaninya masa bimbingan lanjut (after care).
Aspek Budaya Masyarakat:
1. Belum tergalinya model pembinaan berbasis kearifan lokal dan budaya masyarakat;
2. Belum adanya model pembinaan anak berhadapan dengan hukumdengan pendekatan budi pekerti dan keagamaan.
Disamping aspek kesadaran hukum, ada aspek lain yang membimbing
kaum remaja untuk dapat menjadi anggota masyarakat dengan perilaku yang
86
positif. Internalisasi nilai-nilai kaidah sosial dan internalisasi nilai-nilai norma
agama dapat mendidik kaum remaja memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan memiliki penghayatan serta perilaku yang sesuai dengan
perintah agama, sedangkan terhadap larangan agama yang dianutnya tetap
meninggalkan. Perspektif ini akan mampu memberi sumbangan positif bagi
terwujudnya kehidupan sosial serta lingkungan yang sehat secara material
maupun secara moral/spiritual.
Ditinjau dari aspek sosiologis, anak remaja dituntut secara moral
memiliki rasa solidaritas sosial yang tebal sehingga mereka merasa ikut
memiliki kehidupan sosial dan ikut bertanggung jawab atas keamanan,
ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian dalam kelangsungan hidup kelompok
sosialnya. Pencapaian kondisi sosial ini penting sekali terutama dalam rangka
upaya dasar melakukan prevensi (pencegahan) dan penanggulangan terhadap
kenakalan remaja.
Tindakan prevensi (pencegahan) tersebut bermanfaat besar dalam
upaya menindakan problem sosial, minimal mengurangi secara kualitatif dan
kuantitatif problem sosial yang sering timbul di dalam masyarakat. Demikian
pula keberadaan norma-norma agama, baik agama samawi maupun agama non
samawi, memiliki korelasi relevan dengan adanya langkah-langkah positif di
dalam membina dan meluruskan perkembangan mental anak remaja. Juga
dalam mengupayakan terciptanya kaum remaja yang sehat dan utuh, baik
jasmani maupun rohaninya.
87
Langkah-langkah positif tersebut memerlukan partisipasi banyak
pihak agar manfaat maksimal dapat dicapai. Upaya preventif dan upaya-upaya
lain yang relevan perlu keikutsertaan masyarakat agar penyebarluasannya
dapat mencapai sebagian terbesar anggota masyarakat, khususnya anak-anak
remaja. Dalam lingkungan keluarga, tugas pembinaan dan pembentukan
kondisi yang berdampak positif bagi perkembangan mental anak sebagian
besar menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Kondisi intern keluarga yang
negatif atau tidak harmonis akan merusak perkembangan mental anak remaja,
terutama broken home dan quasi broken home dalam segala bentuk dan
jenisnya menghambat pertumbuhan mental anak remaja. Oleh karena itu
pembentukan kondisi yang baik dalam kehidupan intern keluarga seyogianya
diwujudkan sedini mungkin.43
B. Restorative Justice Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di
Indonesia
Nasib anak-anak di Indonesia maupun di Negara lain di dunia, kini
cenderung kurang menguntungkan. Padahal seharusnya masa kanak-kanak
penuh keceriaan, bermain dalam terangnya sinar matahari. Bukannya bermain
dalam mimpi yang menakutkan, bersumber dari kegelapan jiwa lantaran kian
kompleksnya persoalan anak-anak.
Menurut Pusdatin Komnas Perlindungan Anak (PA) Indonesia, selama
2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu,
327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara
43Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.6-7.
88
fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak
sebanyak 130 kasus.
Hasil konsultasi anak tentang kekerasan terhadap anak di 18 Provinsi
dan nasional, baru-baru ini mengungkapkan bahwa penganiayaan dan
kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang
terdekat anak, baik di sekolah, rumah, di institusi masyarakat dan Negara.
Selain itu, terdapat 3 juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya.
Setidaknya 30 % dari para pekerja seks perempuan di Indonesia berusia di
bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia 10 tahun dipaksa terlibat dalam
pelacuran. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang
diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial
di Indonesia dan luar negeri.
Sekitar 4.000 hingga 5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan,
lembaga rehabilitasi dan penjara. 84% dari anak-anak yang dihukum ini,
ditahan bersama penjahat dewasa. 80% lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan
rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, tingkat hunian melebihi kapasitas
sehingga hunian Lapas mencapai 40% di atas kapasitas yang tersedia.
Dari aspek pendidikan, 1,8 juta anak SD berusia 7 sampai dengan 12
tahun, 4,8 juta anak usia 13 sampai dengan 15 tahun, tidak bersekolah. 26 juta
anak usia SD putus sekolah. Jumlah anak di atas 10 tahun yang tergolong buta
huruf saat ini masih berjumlah 16 juta orang.
Berdasarkan catatan organisasi sedunia WHO, setiap tahunnya konon
ada 10 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai
89
usia lima tahun. Selain itu, ada lebih dari 150 juta orang menderita kurang
bahan pangan.44
Menurut Li Jong Wuk (Sekjen WHO):45
“Ada tujuh juta anak-anak di bawah usia lima tahun meninggal, karena mengidap lima penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan diobati yakni TBC, diare, malaria, batuk berdarah, dan kekurangan pangan”.
WHO melaporkan, virus Aids selain dari menjadi faktor utama
penyebab anak-anak kehilangan orang tua, juga menyebabkan kematian 4,5
juta di dunia dan satu setengah juta anak lainnya tengah mengidap penyakit
tersebut. Di Negara-negara miskin, anak-anak lahir dengan harapan hidup
yang singkat. Rata-rata harapan hidup rakyat Negara miskin ialah 38 tahun,
sebaliknya di 24 negara kaya, rata-rata harapan hidupnya adalah 70 tahun.
Namun tak banyak yang mengetahui bahwa Provinsi Jawa Barat
belum lama ini telah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat
No. 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak. Sebuah Perda yang diharapkan
ampuh untuk menjawab persoalan perlindungan anak di Provinsi yang kita
cintai ini.
Dapat dikatakan Jawa Barat merupakan Provinsi kedua di Indonesia
(setelah Jawa Timur) yang memiliki Perda Perlindungan Anak. UU
Perlindungan Anak sendiri baru dimiliki Indonesia empat tahun yang lalu
dengan lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, kemajuan lahirnya Perda, dengan demikian patut
44 Achmad Setiyaji, Masalah Anak dalam Pers, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006, hlm. 16.45 Li Jong Wuk terpetik dalam ibid, hlm. 16.
90
mendapatkan apresiasi sebagai sebuah langkah awal komitmen Jawa Barat
untuk mengedepankan upaya melindungi anak, ada tiga hal yang menjadi
pertimbangan bagi Jawa Barat dalam membentuk Perda ini, yaitu: 46
1. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri
anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, serta anak
sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus cita-cita bangsa.
Sebagai insan yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara
pada masa depan, anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar, baik secara
wajar, baik secara fisik, mental, maupun sosial ;
2. Di Jawa Barat masih banyak anak yang perlu mendapat perlindungan dari
berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi dan ketelantaran;
3. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan orang tua
berkewajiban serta bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.
Melalui peraturan daerah ini dapat lebih mengimplementasikan hak-
hak anak serta perlindungannya sehingga dapat dilaksanakan lebih
komprehensif, terintegrasi dan berkesinambungan baik unsur pemerintah,
keluarga, masyarakat serta lembaga-lembaga yang terkait dengan masalah
anak.
Menurut Iskandar Kamil:47
46 R. Valentina Sagala, Perda Perlindungan Anak Jabar, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006, hlm. 26.
47 Iskandar Kamil terpetik dalam Fathuddin Muchtar, Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta,2006, hlm.100.
91
“Problematika yang berkaitan dengan masalah anak mencakup spektrum yang sangat luas sejak pra embrio, dalam kandungan, kelahiran, kesejahteraan lahir bathin, kesehatan pendidikan di rumah, sekolah dan masyarakat. Aspek-aspek kehidupan tersebut diharapkan dapat menimbulkan anak menjadi manusia seutuhnya yang ideal”.
C. Upaya yang Dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum agar Pendekatan
Restorative Justice dapat Diterapkan
Upaya yang perlu disosialisasikan dan penanganan anak konflik
hukum (Anak Konflik Hukum) melalui model Restorative Justice , 20 tahun
lalu konsep Restorative Justice telah digulirkan sebagai alternatif penanganan
perkara pidana dengan pelaku anak. Hal tersebut mendasari nilai-nilai di
dalam konvensi hak anak yaitu pendekatan kesejahteraan, dimana para
pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh
peradilan pidana.
Model Restorative Justice tidak menekankan penyeragaman dalam
konflik dalam bentuk dan proses penanganan kenakalan anak. Dengan
demikian setiap Negara yang telah menerapkan konsep ini, akan
menyesuaikan pada karakteristik sistem hukum Negara masing-masing.
Namun demikian, terdapat prinsip-prinsip umum yang menjadi acuan
dilaksanakannya model Restorative Justice, yaitu:
1. Keadilan membutuhkan orang-orang yang dapat bekerjasama dalam
memulihkan orang-orang yang telah menderita;
92
2. Yang terlihat secara langsung dan yang terkena kejahatan harus memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi penuh untuk merespon jika dibutuhkan;
dan
3. Peraturan pemerintah adalah untuk melindungi kepentingan publik,
masyarakat yang membangun dan memelihara perdamaian.
Selain adanya prinsip-prinsip tersebut, model ini menggambarkan
karakteristik yang meliputi:
1. Membuat pelanggaran bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian
yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;
3. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman
sebaya;
4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
tersebut;
5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi
sosial.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan penelitian, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah
meletakkan dasar perlakuan dalam menghadapi dan menyelesaikan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak, untuk lebih melindungi dan mengayomi
anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain
itu, memberikan kesempatan pada anak agar melalui pembinaan akan
memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat dan
bangsa. Namun belum menyentuh diversi yang menjawab prinsip dari
Restorative Justice. Restorative Jastice hanya dituangkan berdasarkan
Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkaman Agung Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Dan menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor : 166
A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :
B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor :
93
94
10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tentang
Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
2. Penerapan Restorative Justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum
dirasakan belum optimal karenapenanganannya terkesan sama dengan
orang dewasa yang mempunyai masalah hukum.Dalam perjalanannya
penanganan kasus anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat karena
dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi
anak yang berhadapan hukum, antara lain karena:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) belum dapat
memberikan perlindungan khusus bagi anak
b) Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan dan
Undang-UndangKetentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, serta Undang-Undang pengadilan anak Nomer 3
Tahun 1997 tidak memberikan peluang bagi polisi, Jaksa dan
Hakimuntuk menggunakan kewenangan diskresi dalam perkara
anak dan.
c) Dasar hukumnya hanya berdasarkan Pasal 13 Keputusan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia,Jaksa Agung Republik
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri
Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia,Nomor : 166
95
A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :
B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor :
10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009
Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
3. Upaya yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum agar pendekatan
Restorative Justice dapat diterapkan diantaranya adalah:
a. Kepolisian dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan
hukum agar mengedepankan kepentingan terbaik anak, mencari
alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh
kembang anak serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan
anak dari proses peradilan formal.Hal ini sesuai dengan Pasal 42
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak.
b. Pengadilan Negeri perlu mengadakan ruang sidang khusus dan
ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan.Hal ini sesuai
dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak.
c. Dibentuk lembaga pemasyarakatan khusus untuk anak yang
bermasalah dengan hukum, sehingga anak tidak disatukan dengan
narapidana dewasa.Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
d. Dilakukannya program kesejahteraan sosial anak melalui
penyediaan panti sosial dan RPSA serta pusat trauma. Bantuan
kepada anak korban kekerasan dan penelantaran berupa bantuan
96
pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak dalam bentuk bantuan tunai
bersyarat khususnya anak dari keluarga miskin. Di samping itu
juga dibentuk kelompok-kelompok kerja perlindungan dan
rehabilitasi sosial ABH, dan lain-lain.Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
B. Saran
Bertolak dari kesimpulan penelitian ini, maka saran atau rekomendasi
yang dapat peneliti berikan adalah:
1. Pembentukan Undang-Undang harus selalu berpijak kepada
nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang diharapkan dapat
mengatasi masalah anak yang berhadapan dengan hukum.
berdasarkan Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkamah Agung,
Jaksa Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia,Nomor : 166
A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,
Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,
Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan
PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum.
2. Pada dasarnya Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan anak belum memadai untuk dapat
97
memberikan perlindungan maksimal terhadap anak yang
menjalanai proses pidana baik selaku tersangka, terdakwa
maupun terpidana, antara lain karena dasar hukumnya hanya
Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkamah Agung,Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial Republik
Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor : 166
A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,
Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,
Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan
PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum.
3. Agar peraturan perundang-undangan dapat ditegakkan dengan
baik, hendaknya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim
petugas memasyarakatan) yang akan diangkat untuk
menangani perkara anak diseleksi terlebih dahulu dan dipilih
dari orang-orang yang betul-betulmempunyai minat, perhatian,
dedikasi dan memahami masalah-masalah anak, dan
selanjutnya diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai,
anak-anak yang terpaksa harus ditahan atau menjadi Warga
Binaan Pemasyarakatan hendaknya diberi hak pendidikan pada
sekolah umum terdekat di luar RUTAN/LAPAS, sehingga
98
anak-anak tersebut dapat berintegrasi dengan masyarakat dan
tidak putus sekolah dan setelah berlaku Undang-Undang
Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
polisi dapat mengajukan Diversi sesuai dengan pasal 20 bagi
polisi, pasal 42 bagi Penuntun Umum dan pasal 52 bagi
Hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo Jakarta 1985.
Bismar Siregar dan Mulayana W Kusuma, Hukum dan Hak-Hak Anak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan C.V Rajawali, Jakarta, 1986.
Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Elizabeth B Hurlock, terpetik dalam Milly Mildawati, Periode Anak-anak, Makalah Seminar Sehari, Bandung, 2006.
Kasim Badri, Hukum Pidana Islam, Ramadhani, Semarang, 1958.
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005.
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988.
Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988.
Soedarto terpetik dalam, Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, 1984.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV Rajawal, 1983.
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Syarbini Chatib, terpetik dalam Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut Adjaran Ahlussunah, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.
Romli Atmasamita, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung, 1996.
Wagiati Soetedja, Hukum Pidana Anak, Rafika Aditama, Bandung, 2006.
Sumber Lain
Agustinus Pohan, Beberapa Catatan dari UU Pengadilan Anak, Restorasi, Laha-Bandung, 2004.
Achmad Setiyaji, Masalah Anak dalam Pers, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006.
99
100
Barda Nawawi Arief terpetik dalam Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana pada Korporasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, STHB, 2005.
Diah Sulastri, Vonis Bagi Anak bukan Hukuman, Pikiran Rakyat, 2004.
Distia Aviandari, Mengembalikan Hak-Hak yang Terampas Restorasi, LAHA Bandung edisi IV/Vol 1 2005.
D.S. Dewi, Model Restorative Justice, Seminar Peradilan Anak, UNPAD, Bandung, 2006.
Hadi Utomo, Pola Advokasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Laha, Bandung, 2002.
Harkristuti Harkrisnowo, Tindak kekerasan terhadap anak dan upaya Perlindungan Anak Indonesia suatu Tinjauan sosio-yuridis, majalah hakiki Surabaya, Volume 2 No.03/200.
Herti, Kebijakan Polri dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, Makalah Lokakarya, Jakarta, 2003.
Hesma Eryani, Anak-anak Juga Manusia, Lampung Post, 2006.
Fathuddin Muchtar, Situasi Anak Yang berkonflik dengan hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006.
Iskandar Kamil terpetik dalam Fathuddin Muchtar, Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006.
Kompas, Segera Benahi Sistem Pengadilan Anak, 18 September 2003, Jakarta
Melani, Pembaharuan Undang-undang nomor 3 tahun 1997, Tentang pengadilan Anak dikaitkan dengan konsep Restorative Justice, Tesis, UNPAD, Bandung, 2004.
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF Indonesia, 2004.
Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,UNICEF Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2004.
Seto Mulyadi terpetik dalam Jufri Bulian Ababil, Raju yang Diburu dan Buruknya Peradilan Anak di Indonesia, Pondok Edukasi, 2006
Sri Sanituti Hariadi, Tindak Kekerasan terhadap anak, Majalah Hakiki, Surabaya, 2000.
Sulaiman Zuhdi Manik, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Antara Hukum dan Perlindungan, Bandung, 2005.
Taufik Hidayat, Model Alternatif Penanganan Anak Konflik Hukum – 2006.
101
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan Anak, Sinar Grafik, Jakarta 2003.
UNICEF, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta, 2004.
Rokiah BT Haji Ismail, Bentuk dan Dinamika Hubungan Sosial dalam Sistem Rehabilitasi di Institusi Pelayanan bagi Anak-anak di Malaysia, Pro-Jastita, 1994.
R. Valentina Sagala, Perda Perlindungan Anak Jabar, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006.
Widiati Wulandari, Restorative Justice, Makalah Pelatihan Restorative Justice, LPA – UNICEF, Bandung, 2003.