kekerasan terhadap anak

154
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka akan terjadi komunikasi, tolong menolong, tetapi akan timbul juga suatu pertentangan dan perselisihan antara sesamanya di dalam kehidupan sehari-harinya itu, sehingga untuk menjaga jangan sampai timbul suatu pertentangan dan perselisihan maka di dalam masyarakat perlu adanya hukum. Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita-cita bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap mental, tekad, semangat, serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara Negara. Sehubungan 1

Upload: tondy

Post on 05-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Hukum Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Anak

TRANSCRIPT

Page 1: Kekerasan Terhadap Anak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia sebagai makhluk sosial, di dalam kehidupan sehari-hari

selalu berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Dengan adanya

interaksi tersebut, maka akan terjadi komunikasi, tolong menolong, tetapi

akan timbul juga suatu pertentangan dan perselisihan antara sesamanya di

dalam kehidupan sehari-harinya itu, sehingga untuk menjaga jangan

sampai timbul suatu pertentangan dan perselisihan maka di dalam

masyarakat perlu adanya hukum.

Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan Negara untuk mencapai

cita-cita bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap

mental, tekad, semangat, serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara

Negara. Sehubungan dengan itu, semua kekuasaan sosial politik,

organisasi kemasyarakatan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya perlu

menyusun program menurut fungsi dan kemampuan Masing-masing.

Setiap tahun, di Indonesia lebih dari 4000 anak yang berkonflik

dengan hukum dan terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP).

Berdasarkan database yang dikumpulkan Lembaga Advokasi Hak Anak

(LAHA) Bandung, tahun 2003 di Kota Bandung saja ada sedikitnya 170

Anak Konflik Hukum (AKH), sekitar 80% anak tersebut berkonflik

1

Page 2: Kekerasan Terhadap Anak

2

dengan hukum hanya karena Pelanggaran-pelanggaran kecil seperti

melanggar ketertiban umum, membawa senjata tajam, pencurian yang

nilainya tidak besar seperti mencuri beberapa batang coklat, sebotol

shampo, sekotak susu atau beberapa kotak rokok di Supermarket.

Anak sepertinya berada pada wilayah hitam atau putih, mudah

terpengaruh dan berada dalam masa tumbuh kembang, dalam situasi ini

seorang anak membutuhkan perlindungan yang lebih dibandingkan orang

dewasa. Anak terlibat dalam perkara pidana atau biasa disebut dengan

Anak Konflik Hukum (AKH) atas dasar situasi yang dihadapinya adalah

kelompok anak yang membutuhkan perlindungan lebih khusus dibanding

kelompok anak lainnya. Hal ini didasarkan pada kerawanan situasi yang

kerap dihadapi anak ketika menjalani proses hukum.

Menurut Elizabeth B Hurlock:1

“Masa Kanak-kanak dimulai setelah masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria, selain itu pula ia menggolongkan masa anak-anak ini kedalam dua tahapan yaitu :1. Awal masa Kanak-kanak; 2. Akhir masa Kanak-kanak.

Awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia ketergantungan secara praktis sudah dilewati, diganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir disekitar usia masuk Sekolah Dasar (SD).”

1 Elizabeth B Hurlock, terpetik dalam Milly Mildawati, Periode Anak-anak, Makalah Seminar Sehari, Bandung, 2006, hlm. 1.

Page 3: Kekerasan Terhadap Anak

3

Menurut Melani:2

“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci, demikian akidah Islam telah meletakkan anak sebagai makhluk mulia. Anak berada dalam proses tumbuh kembang menuju dewasa, sehingga anak melakukan tindakan negatif seharusnya dipandang sebagai korban dari situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, oleh karena itu anak melakukan tindak pidana seyogianya tidak dipandang sebagai kriminal cilik yang diperlakukan seperti halnya kriminal dewasa.”

Selanjutnya Melani berpendapat:3

“Perlindungan terhadap anak, termasuk anak yang melakukan tindak pidana merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di samping anak memiliki Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, anak sebagai umat manusia juga harus dibina agar tindakan-tindakannya tidak menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat dan hukum yang berlaku. Demikian pula bagi anak telah terlanjur melakukan tindak pidana harus ada penanganan dan sanksi khusus yang dapat membuat anak menyadari akan kesalahannya, membuat anak bertanggung jawab dan tidak mengulangi perbuatannya, penanganan dan sanksi tersebut sebaiknya dijatuhkan tidak melalui Proses Formal (Sistem Peradilan Pidana), karena dapat menimbulkan stigma.”

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri memperkirakan bahwa setiap

tahun terdapat 4000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan anak di

seluruh Indonesia. Jika tahun 2003 sudah terdapat 136.000 Anak Konflik

Hukum (AKH), tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 140.000 anak

yang terlibat dalam masalah hukum. Penulis berkesimpulan, bahwa

ternyata Anak Konflik Hukum sangat rentan dan rawan, terhadap perilaku

negatif, dan perlu upaya pembinaan dari Pondok Pesantren sebagai

2 Melani, Pembaharuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dikaitkan dengan Konsep Restorative Justice, Tesis, Unpad, Bandung, 2004, hlm.1.

3Ibid, hlm.2.

Page 4: Kekerasan Terhadap Anak

4

alternatif pembinaan akhlak, sehingga peranan pondok pesantren sangat

diperlukan dan anak melakukan perbuatan tercela cenderung berkurang.

Meningkatnya kasus pelanggaran hukum ini ternyata tidak diiringi

pembenahan sistem peradilan. Proses peradilan yang dijalani anak saat ini

dinilai tidak menempatkan anak sebagai anak. Putusan pengadilan-pun

tidak menjamin efektif untuk mencegah anak mengulangi perbuatan

serupa. Akhirnya diperlukan penanganan alternatif, seperti Restorative

Justice (Keadilan yang memulihkan) sebagai pilihan bagi penanganan

anak yang berkonflik dengan hukum.

Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan

anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana;;

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana;

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera;

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diubah dengan Undang-

undang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah;

Page 5: Kekerasan Terhadap Anak

5

9. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia;

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidanan Anak (Undang-Undang ini telah ditetapkan tetapi berlakunya

tahun 2014);

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak.

13. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung Republik

Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri

Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik

Indonesia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia. Tahun 2009 Tentang

Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.

Meskipun Undang-Undang mengatur tentang anak telah banyak

diatur, tetapi aplikasinya belum dirasakan oleh Anak Konflik Hukum

(AKH), sehingga timbul pertanyaan, bagaimana hukum dibuat hanya

dijadikan tumbal belaka, bukan penerapan semata untuk memperbaiki

sistem akhlak anak untuk lebih baik, tetapi penerapan Undang-Undang

Anak lebih identik Anak Konflik Hukum (AKH) 93% masuk melalui proses

pengadilan, tidak dilakukan preventif dengan upaya pendekatan secara

dialogis kemasyarakatan.

Pengadilan Anak (juvenile court) di Amerika Serikat, didasarkan

pada asas parent patria, penguasa harus bertindak apabila anak-anak

Page 6: Kekerasan Terhadap Anak

6

membutuhkan pertolongan dan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak

dijatuhi hukuman pidana tetapi harus dilindungi dan diberikan bantuan.

Tentu saja ini sangat jauh berbeda dengan realitas di Indonesia. Kendati

telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, tapi faktanya di Pengadilan Negeri Kabanjahe, Kabupaten

Tanah Karo, Sumatera Utara, LG (16 tahun) dijatuhi hukuman pidana

seumur hidup. Lalu M (17 tahun), selain dihakimi massa, media massa dan

penyidik menyiarkan identitas korban, pengadilan memeriksa perkaranya

dalam sidang terbuka untuk umum, juga adanya aparat penegak hukum yang

berkata : ia dapat dihukum mati sangat ironis. Padahal menurut ketentuan

Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 berbunyi sebagai

berikut :

“Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.”

Dari gambaran uraian tersebut di atas maka penulis tertarik untuk

melakukan sebuah penelitian dengan mengambil judul :RESTORATIVE

JUSTICE SEBAGAI ALTRENATIF DI LUAR SISTEM PERADILAN

PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR

3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK.

Page 7: Kekerasan Terhadap Anak

7

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka pembahasan ini

akan dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan Restorative Justice dalam Undang-Undang

Nomor3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak?

2. Bagaimana penerapan Restorative Justice bagi anak yang berkonflik

dengan hukum di Indonesia?

3. Upaya apakah yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum agar

pendekatan Restorative Justice dapat diterapkan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan Restorative Justice dalam

Undang-undang Nomor3 Tahun 1997.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji penerapan bagi anak yang berkonflik

dengan hukum.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya yang harus dilakukan oleh

aparat penegak hukum agar pendekatan Restorative Justice dapat

diterapkan.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa

kegunaan, baik kegunaan secara teoritis maupun secara praktis:

Page 8: Kekerasan Terhadap Anak

8

1. Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran,

baik dalam pengembangan hukum pidana pada umumnya maupun

hukum pidana materiil pada khususnya, terutama menyangkut

Restorative Justice sebagai alternatif di luar Peradilan dikaitkan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi para praktisi hukum, seperti Polisi, Penuntut Umum, Hakim

maupun Pembela atau pembuat perumus Undang-Undang atau Pihak-

pihak lain yang ada hubungannya dengan pembentukan Undang-

undang terutama dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak

secara umum.

E. Kerangka Pemikiran

Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Haha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin

Page 9: Kekerasan Terhadap Anak

9

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Menurut Distia Aviandari:4

“Peradilan pidana dibangun sebagai suatu mekanisme administrasi peradilan pidana dengan pendekatan sistem terdiri dari Komponen-komponen: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam konsep dan prakteknya kemudian penjatuhan pidana dalam peradilan pidana lebih banyak ditujukan untuk memberikan pembalasan kepada pelaku tindak pidana. Tidak heran kalau kemudian sistem peradilan pidana yang ada banyak memproduksi segala sesuatu sifatnya unwelfare baik berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi atau bahkan dera fisik bagi orang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan, guna mencapai tujuannya yang bersifat welfare ini tertuang dalam praktek sistem peradilan pidana sejak tahap penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejahatan, persidangan oleh pengadilan hingga puncaknya pemidanaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).”

Dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak disebutkan:

“Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum, dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.”

Dalam peraturan minimum standar Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) mengenai administrasi peradilan bagi anak (the Beijing rules) lebih

lanjut Pasal 66 huruf (e) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa penahanan dan pidana

penjara hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

4 Distia Aviandari, Mengembalikan Hak-hak Yang Terampas, Restorasi, Laha Bandung, Edisi IV/Vol 1, 2005, hlm.22.

Page 10: Kekerasan Terhadap Anak

10

Alasan penahananya diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana dalam pasal tersebut disebutkan

mengenai alasan subjektif dan alasan objektifnya. Alasan subjektif

sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dalam hal ini, dinyatakan

alasan subjektif karena hanya tergantung kepada siapa orang yang

memerintahkan penahanan tersebut. Berikut penjelasan terhadap

pengaturan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, antara lain:

1. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;

2. Harus berdasarkan bukti yang cukup, berupa laporan polisi ditambah

dua alat bukti, seperti BAP tersangka ataupun saksi-saksi, Berita Acara

di tempat kejadian, ataupun barang bukti yang ada;

3. Dilakukan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran

bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau

menghilangkan barang bukti, serta kekhawatiran tersangka akan

melakukan tindakan pidana lagi.

Adapun alasan objektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Dalam hal ini, dinyatakan sebagai alasan objektif karena alasan ini dapat

diuji terkait ada atau tindakannya tindak pidana oleh orang lain. Berikut

penjelasan terhadap pengaturan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, antara lain:

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau

lebih;

b. Tindak pidana yang diancam hukumanya kurang dari 5 (lima) tahun,

akan tetapi ditentukan dalam KUHP terdapat pasal-pasal berikut: Pasal

Page 11: Kekerasan Terhadap Anak

11

282 ayat (3), 296, 335 ayat (1), 351 ayat (1), 372, 378, 379 huruf (a),

453, 454, 455, 459, 480 dan Pasal 506 KUHP.

Menurut Romli Atmasasmita:5

Ciri pendekatan “sistem” dalam peradilan pidana ialah:

1. “Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana, terutama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;

4. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan”the administration of justice”.

Sistem peradilan pidana anak di Indonesia didasarkan pada

Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-

Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak. Disamping itu menurut penjelasan Undang-

undang Pokok Kehakiman, sistem peradilan anak berada pada sistem

peradilan umum.

Menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke

sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Menurut Pasal 22

Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terhadap

5 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung, 1996, hlm.9-10.

Page 12: Kekerasan Terhadap Anak

12

anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan

dalam Undang-Undang ini. Sedangkan menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-

Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pidana yang

dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana

tambahan. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut Pasal

23 ayat (2) Undang-undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak ialah:

a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan;

c. Pidana denda;

d. Pidana pengawasan.

Selanjutnya Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, menyebutkan bahwa selain pidana pokok

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga

dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu

dan atau pembayaran ganti rugi. Sedangkan Pasal 24 ayat (1) Undang-

Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tindakan yang

dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja;

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja.

Page 13: Kekerasan Terhadap Anak

13

Menurut Harkristuti Harkrisnowo:6

“Bahwa latar belakang sosial budaya dan pemahaman Sistem Peradilan Pidana (SPP) mengenai tindak kekerasan terhadap anak mempunyai dampak terhadap reaksinya atas kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilaporkan atau diadukan padanya. Bila mereka beranggapan bahwa masalah ini merupakan masalah keluarga yang tidak perlu diselesaikan melalui proses peradilan pidana kemungkinan besar kasus ini tidak masuk dalam register perkara yang ditanganinya. Akibat perlakuan semacam ini menegasikan efek pencegahan (deterrent effect) hukum pidana, karena pelaku tidak mengalami pemprosesan dalam sistem peradilan pidana, satu hal lain yang mempunyai pengaruh yang signifikan atas keputusan personel-personel Sistem Peradilan Pidana (SPP) tentang bentuk reaksinya terhadap tindak kekerasan pada anak adalah karakteristik korban sendiri.”

Secara umum pendekatan rehabilitasi di kedua lembaga masih

tidak terlepas dari sistem menghukum dan retribution, baik secara jelas

maupun terselubung. Pengalaman yang kurang menyenangkan yang lebih

cenderung untuk mempersoalkan unsur rehabilitasi di lembaga

mempengaruhi anak untuk memilih sistem nasehat.

Menurut Rokiah BT Haji Ismail:7

“Rehabilitasi itu adalah suatu upaya konstruktif yang mengarah pada proses reformasi bagi anak yang kurang bernasib baik, disadari bahwa dalam menemukan suatu keberhasilan bagi suatu acara rehabilitasi itu terdapat berbagai masalah dan keterbatasan. Namun demikian, untuk memastikan bahwa suatu kemajuan itu bisa berhasil secara baik lebih lagi dalam jangka waktu panjang mungkin bisa dianjurkan agar sebuah lembaga pemasyarakatan anak, untuk berhati-hati dalam melaksanakan pendekatan tersebut serta memperhitungkan dampak yang mungkin kurang diprediksi

6 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Kekerasan Terhadap Anak dan Upaya Perlindungan Anak Indonesia Suatu Tinjauan Sosio-Yuridis, Majalah Hakiki, Surabaya, Volume 2 No. 03/2000, hlm.9.

7 Rokiah Bt Haji Ismail, Bentuk dan Dinamika Hubungan Sosial dalam Sistem Rehabilitasi di Institusi Pelayanan bagi Anak-anak di Malaysia, Pro-Justitia, 1994, hlm.143.

Page 14: Kekerasan Terhadap Anak

14

tetapi mungkin bisa juga menyumbang kearah suatu perusakan elemental langkah reformasi bagi anak.”

Kehadiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, pada kesempatan ini akan dibicarakan menyangkut

beberapa masalah dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yang mungkin menjadi penghambat pelaksanaan atau

menyebabkan kegagalan dicapainya tujuan pembentukan Undang-Undang

tentang Pengadilan Anak di Indonesia dan perlu terlebih dahulu melihat

latar belakang dibuatnya Undang-Undang ini.

F. Metode Penelitian

Dalam rangka penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan

menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif analisis,

yaitu menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan hukum

dan teori-teori hukum yang berhubungan dengan Restorative Justice

sebagai alternative di luar peradilan dikaitkan dengan,Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala kepolisian Negara Republik Indonesia,

Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial

Republik Indonesia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Page 15: Kekerasan Terhadap Anak

15

dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor : 166

A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :

B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor : 10/PRS-

2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tentang

Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu

menguji dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan hukum

pidana Anak.

3. Tahap Penelitian

Berkenaan dengan digunakannya metode pendekatan yuridis normatif

maka penelitian ini dilakukan satu tahapan, yaitu penelitian

kepustakaan (library research), terdiri dari:

a. Bahan-bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang meliputi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri

Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor :

166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,

Page 16: Kekerasan Terhadap Anak

16

Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,

Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan

PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang berhadapan Dengan

Hukum.

b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan- bahan yang erat hubunganya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis

dan memahami, yakni berupa buku- buku ilmiah karangan para

sarjana dan hasil- hasil penelitian.

c. Bahan-bahan hukum tertier yaitu, bahan yang memberikan dan

menguatkan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan

sekunder, seperti artikel, Koran dan Internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan bahan-bahan, penulis menggunakan

teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan atau

dokumen (library research). Hal ini dilakukan dengan cara:

a. Penelitian hukum positif.

b. Penelitian terhadap asas- asas hukum.

c. Melihat sinkronisasi dan harmonisasi aturan baik secara horizontal

maupun vertikal.

d. Penelitian terhadap sistematika

5. Alat Pengumpulan Data

Page 17: Kekerasan Terhadap Anak

17

Alat pengumpulan data dengan metode observasi digunakan dengan

catatan atau studi kasus terhadap fenomena yang dapat ditangkap dan

pedoman wawancara bebas.

6. Lokasi Penelitian

Studi Pustaka Melakukan Berbagai Lokasi Diantaranya:

Perpustakaan

a. Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAS, Jl.Lengkong Besar No. 68

Bandung.

b. Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAD, Jl. Dipatiukur No.35

Bandung.

Instansi

a. LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandung, Jl. Ir. H. Djuanda No.

128-B Bandung.

b. LAHA (Lembaga Advokasi Hak Anak), Jl. Demak No. 5

AntapaniBandung.

c. LPA (Lembaga Perlindungan Anak), Jl. Karang Tinggal No. 33

Bandung.

d. BAPAS (Badan Pemasyarakatan), Jl. H. Ibrahim Adjie No.431

Bandung.

Page 18: Kekerasan Terhadap Anak

18

7. Analisis Data

Sesuai metode pendekatan yang digunakan, maka data-data yang

diperoleh untuk penulisan skripsi ini selanjutnya akan di analisis

dengan menggunakananalisis kuantitatif dalam arti bahwa dalam

melakukan analisis data yang diperbolehkan tidak di perlukan

perhitungan statistik.

8. Jadwal Penelitian

No KEGIATAN2012

Januari februari Maret April Mei Juni1 Persiapan/Penyusunan

Proposal

2 Seminar Proposal3 Persiapan penelitian4 Pengumpulan Data5 Pengolahan Data6 Analisa data7 Penyusunan hasil ke

Dalam bentuk Penulisan Hukum

8 Sidang Komprehensif9 Perbaikan10 Penjilidan11 Pengesahan

Page 19: Kekerasan Terhadap Anak

BAB II

SITEM PERADILAN PIDANA DAN KONSEP

RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

A. Sejarah Restorative Justice Terhadap Anak Di Indonesia

Pada hakekatnya pengertian anak dalam hukum pidana mencakup

beberapa dimensi. Pengertian ketidakmampuan anak untuk bertanggungjawab

tindak pidana, pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan

hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan dan tata negara

untuk mensejahterakan anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual

anak akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak memperoleh

pelayanan, asuhan dan hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

Deklarasi hak-hak anak tegas menyatakan, anak karena

ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan

pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan

sesudah kelahiran.

Ini hanya contoh buram-hitamnya sistem perlindungan bagi anak yang (disangka atau terbukti) melakukan tindak pidana, benar statement save the children international alliance, bahwa kondisi sekarang jauh lebih buruk bagi anak bahkan bila dibandingkan dari 100 tahun yang lalu, bahwa Indonesia bukanlah negara hukum, tetapi negara Undang-Undang, karena menyangkut perlindungan dan kesejahteraan anak, di Indonesia tak kurang ada 97 peraturan yang memiliki kekuatan hukum.8

8 Sulaiman Zuhdi Manik, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Antara Hukum dan Perlindungan, Bandung, 2005, hlm. 1.

19

Page 20: Kekerasan Terhadap Anak

20

Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah

dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb.1925 No.647

Juncto Ordonansi 1949 No.9 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang

Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang disahkan mulai berlaku

pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa Pasalnya seperti Pasal 45, 46

dan 47 memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak

pidana. Sebaliknya Pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lain,

memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat

hukuman, atau mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan

tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan merupakan

tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan pada tahun

1948 lahir Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang No. 12

Tahun 1948) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23 Juli

1979 lahir pula Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak dengan Peraturan Pelaksanaan (PP) Nomor. 2 Tahun 1988 tentang

Usaha Kesejahteraan Anak.

Secara Internasional pada tanggal 20 November 1989, lahirnya

Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden

Nomor. 36 Tahun 1960. Konvensi itu memuat kewajiban Negara-negara yang

meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya Hak-hak Anak.

Page 21: Kekerasan Terhadap Anak

21

Pro dan Kontra termasuk debat hukum dari Rancangan Undang-

Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) patut dikelola sebagai

momentum harmonisasi hak anak dalam rekodefikasi hukum pidana materil

nasional. Khususnya bagi anak sebagai pelaku (dader) yang kini disebut Anak

Konflik Hukum (Children in conflict with the law), dalam “Sistem Peradilan

Anak” diadili menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak. Bagi anak di bawah umur yang melakukan perbuatan

pidana, penjatuhan pidana (Straaft) bukan satu-satunya. Bisa pula hanya

dikenakan tindakan (Maatregel), yang bukan hukuman pidana versi Pasal 10

KUH Pidana, walaupun hakim tidak diwajibkan memberi prioritas pada

tindakan, bukan menjatuhkan pidana.

Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan

bahwa:

Jenis pidana yaitu:9

a. Pidana Pokok

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Kurungan;

4. Denda;

5. Pidana tutupan.

b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

9 Barda Nawawi Arief terpetik dalam Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana pada Korporasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, STHB, 2005, hlm.11-12.

Page 22: Kekerasan Terhadap Anak

22

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang komposisi jenis sanksi dalam

WVS Belanda, berbunyi:

1). Pidana pokok (Principle penalties):

Pasal 9 ayat (1 a)

1. Penjara (Imprisonment);

2. Kurungan (Detention);

3. Kerja sosial (Community service);

4. Denda (Fine).

2). Pidana tambahan (Additional penalties):

1. Pencabutan hak tertentu (Deprivation of specific rights);

2. Penempatan pada lembaga pendidikan Negara (Committal to a state

work house);

3. Perampasan (Forfeiture);

4. Pengumuman putusan hakim (Publication of the judgment).

3). Tindakan (Measures):

1. Penyitaan barang dan perampasan keuntungan yang diperoleh secara

melawan hukum (Confiscation and deprivation);

2. Pengiriman ke rumah sakit jiwa dan penempatan ke suatu institusi

berdasarkan perintah penyerahan (Committal to a psychiatric hospital

and placement on an entrustment order) Pasal 37 – 38.

Page 23: Kekerasan Terhadap Anak

23

Adapun jenis pidana dalam Rancangan KUHP tahun 2004 diatur dalam

Pasal 62, berbunyi sebagai berikut:10

1) Pidana pokok terdiri atas :

a. Pidana penjara;

b. Pidana tutupan;

c. Pidana pengawasan;

d. Pidana denda ; dan

e. Pidana kerja sosial.

2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat

ringannya pidana.

Sedangkan Pasal 64, mengatur tentang pidana tambahan:

1) Pidana tambahan terdiri atas;

a. Pencabutan hak-hak tertentu;

b. Perampasan barang tertentu dan atau tagihan;

c. Pengumuman putusan hakim;

d. Pembayaran ganti kerugian; dan

e. Pemenuhan kewajiban adat.

2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,

sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana tambahan yang lain;

3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau

kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang

diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam

perumusan tindak pidana;10Ibid, hlm.14 -15

Page 24: Kekerasan Terhadap Anak

24

4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan

pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Adapun ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan anak, Pasal 23 bahwa :11

1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan

pidana tambahan;

2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah :

a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan;

c. Pidana denda; atau

d. Pidana pengawasan.

3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap

anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan

barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi;

Pasal 24 menjelaskan bahwa:

1. Tindakan yang bisa dijatuhkan terhadap anak nakal ialah :

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh.

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja.

11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 9-10.

Page 25: Kekerasan Terhadap Anak

25

Apabila kita kaji Pasal 20 KUHP, WVS Belanda, RUU KUHP 2004

Pasal 62, dan Pasal 23-24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, masih jauh dari apa yang kita harapkan, bahkan cenderung

diskriminatif dalam implementasinya banyak pelanggaran terhadap hak-hak

anak, mulai dari penangkapan, penuntutan, pengadilan, hingga penanganannya

di penjara.

Bahkan banyak kasus terjadi anak ditahan bersama orang dewasa.

Akibatnya, menjalani tindak kekerasan, anak juga pendidikan dan

perkembangan kejiwaannya relatif kurang dan perlu pembinaan secara khusus,

Khusus anak yang berhadapan dengan hukum karena kejahatan dan

kriminal ringan seperti: Pencurian, Perkelahian, dan Narkoba. Data Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman & HAM RI tahun 2002

menunjukkan jumlah yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP)

Anak adalah 3.722 anak, tersebar di 13 (tiga belas) Lembaga Pemasyarakatan,

di seluruh Indonesia, angka ini belum termasuk anak yang ditahan di POLSEK,

POLRES, maupun POLDA.

Undang-Undang ini berangkat dari konsep bahwa kenakalan anak yang

kadang sampai menjurus pada perbuatan kriminal haruslah diadili sesuai

dengan prinsip pendidikan dan pembinaan anak.

Indonesia belum memiliki Rumah Tahanan (Rutan) Khusus Anak.

Padahal, sampai Juli 2003 terdapat 136.000 anak terlibat dalam hukum, dan

Page 26: Kekerasan Terhadap Anak

26

setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 kasus pelanggaran hukum yang dilakukan

oleh anak.12

Anak seolah tidak memiliki harapan dan hanya pasrah atas putusan

hakim di pengadilan pertama, sedangkan di LP Anak Tangerang 90% anak

berasal dari Jakarta, tetapi perhatian pemerintah DKI terhadap anak cenderung

diabaikan dan kurang perhatian.

Menurut Agustinus Pohan.13

“Pada tahun 1960 beberapa orang hakim telah dikirim ke beberapa negara di Eropa untuk mempelajari persoalan peradilan anak. Program inidilakukan dalam rangka merintis berdirinya peradilan anak di Indonesia. Usaha ini semakin menampakkan hasil bersamaan dengandiberlakukannya KUHAP tahun 1981 dimana KUHAP maupun Peraturan Menteri Kehakiman No. M. 06-UM. 01 Tahun 1983 telah mengatur secara terbatas mengatur tentang Tata Tertib Sidang Anak. Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran MA No.MA/Kumdil/10348/XI/1987 yang secara terbatas mengatur tentang Kewajiban bagi hakim yang mengadili terdakwa anak untuk memeriksa keadaan yang melatarbelakangi perbuatan pidana, serta perintah kepada Pengadilan Negeri untuk mempersiapkan diri dalam rangka pembentukan Pengadilan Anak. Perkembangan lain juga terjadi dengan diratifikasinya United Nation Convention on the Rights of the Child melalui Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990”.

Selain United Nation Convention on the Rights of the Child, masalah

pengadilan anak juga diatur oleh beberapa ketentuan/aturan lain yang berlaku.

International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR) telah

mengatur secara terbatas mengenai Pengadilan Anak. Ketentuan Internasional

yang secara khusus mengatur Pengadilan Anak adalah United Nation Standar

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (1985) atau dikenal

12 Kompas, Segera Benahi Sistem Pengadilan Anak, 18 September 2003, Jakarta.13 Agustinus Pohan, Beberapa Catatan dari UU Pengadilan Anak, Restorasi, Laha-Bandung,

2004, hlm.11.

Page 27: Kekerasan Terhadap Anak

27

sebagai Beijing Rules. Selain itu terdapat dua aturan lain yang berkaitan dengan

masalah Pengadilan Anak yaitu The United Nation Guidelines for the

Prevention of Delinquency (1990) atau dikenal sebagai Riyadh Guidelines dan

The United Nation Rules for theProtection of Juveniles Deprived of Their

Liberty (1990) atau dikenal dengan The JDL Rules.

Terbentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak ternyata tidak seperti yang diharapkan. Rancangan Undang-

Undang yang semula diajukan pemerintah adalah RUU tentang Peradilan

Anak. Semula idenya adalah membentuk suatu lembaga peradilan anak untuk

menyelesaikan masalah anak di bawah satu atap. Lembaga tersebut

dimaksudkan untuk menangani tidak saja anak yang melakukan tindak pidana

tetapi juga untuk anak terlantar, perkara perwalian dan perkara anak sipil.

Namun perdebatan di DPR menyangkut perkara perwalian tidak berhasil

mencapai kesepakatan. Akhirnya diputuskan untuk mengubah RUU yang

semula berjudul Peradilan Anak menjadi UU Pengadilan Anak dengan hanya

mengatur mengenai acara sidang pengadilan anak nakal.

Yesmil Anwar mengatakan bahwa Undang-Undang tentang Pengadilan

Anak dilahirkan secara tidak sempurna dan mengandung kelemahan.

Sebagaimana telah dikemukakan, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 dapat ditemukan beberapa permasalahan yang sangat mungkin

diselesaikan melalui praktek penerapan Undang-Undang tersebut. Namum

demikian hal-hal tersebut ternyata tidak pernah mengemuka dan luput dari

perhatian Mahkamah Agung (MA). Kalau saja persoalan-persoalan tersebut

Page 28: Kekerasan Terhadap Anak

28

dapat mengemuka, baik melalui suatu proses perkara atau cara-cara lainnya ke

tingkat Mahkamah Agung, MA melalui putusannya atau kewenangan lainnya,

seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Fatwa, dapat memperkaya

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Beberapa masalah tersebut, akan

dibicarakan dalam tulisan ini sebagai suatu sumbangan pemikiran.

Di negeri Belanda penanganan terhadap anak yang berperilaku

menyimpang diatur dalam Kinder Wetten 1901, sementara di Amerika Serikat

pembentukan Pengadilan Anak (Juvenile Court) telah ada sejak tahun 1899.

Asas yang dianut dalam Pengadilan Anak adalah “parentspatria,” yaitu bahwa

penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan,

sedangkan anak yang melakukan kejahatan bukannya di pidana melainkan

harus dilindungi dan diberi bantuan. Di Inggris Juvenile Court telah dibentuk

dengan Undang-Undang tanggal 25 Juli 1921 dan mulai berlaku tanggal 1

November 1922.

Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak telah terbukti

dari berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan baik oleh pemerintah

maupun oleh badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma

Permadi Siwi. Secara interdepartmental antara Depdikbud, Depnaker, Depkes

dan Mahkamah Agung pada tanggal 13 Oktober 1970 menyelenggarakan

workshop mengenai masalah anak dan pemuda dalam kaitannya dengan hukum

pidana dan acara pidana, pendidikan, sosial, kesehatan dan ketenagakerjaan.

Selanjutnya pada tanggal 30 Mei sampai dengan 4 Juni 1977 Pra Yuwana

menyelenggarakan seminar mengenai Perlindungan Anak/ Remaja. Pada tahun

Page 29: Kekerasan Terhadap Anak

29

1979 Departemen Kehakiman RI memprakarsai penyusunan RUU Peradilan

Anak, akan tetapi baru diajukan ke DPR RI pada tahun 1995.14

Pada Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Paripurna, tanggal 1 Maret

1996 maka pada hakekatnya keterangan Pemerintah menyampaikan pokok

pikiran yang melatarbelakangi penyusunan RUU Peradilan Anak adalah :15

1. RUU Peradilan Anak disusun dengan dasar pemikiran-pemikiran bahwa

anak merupakan bagian dari generasi muda adalah aset bangsa.

2. Peradilan Anak meliputi semua aktivitas pemeriksaan dan pemutusan

perkara yang menyangkut kepentingan anak. Menurut analisis sejarah

bahwa keterlibatan pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarganya

ditujukan kepada upaya penanggulangan keadaan yang buruk sehubungan

dengan perilaku penyimpang dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

anak-anak, penelantaran anak, dan eksploitasi terhadap anak.

3. Indonesia sendiri, secara sosiologis perhatian terhadap anak sebenarnya

sudah sejak lama diberikan. Hal ini terbukti dari berbagai pertemuan

ilmiah yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh badan-

badan seperti Yayasan Pra Yuana dan Wisma Permadi.

4. Secara yuridis pemberian perlindungan Hak-hak anak oleh dunia

internasional dimulai sejak Deklarasi PBB Tahun 1959 tentang Hak-hak

Anak dan terakhir Konvensi Hak Anak (Convention of the Rights of the

Child) Tahun 1989 yang selanjutnya dituangkan dalam Resolusi PBB

Nomor 44/25 Tanggal 5 Desember 1989.

14 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. hlm. 10-11.15 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm.13-14.

Page 30: Kekerasan Terhadap Anak

30

Kemudian RUU Peradilan Anak tersebut dibahas dalam pembicaraan

Tingkat II pada Rapat Paripurna tanggal 8 Maret 1996. Bertindak selaku Ketua

Rapat adalah R. Sutejo. Pada Pembicaraan Tingkat II tersebut masing-masing

Fraksi menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU Peradilan Anak

selanjutnya pada Pembicaraan TingkatIII dalam Rapat Komisi Pimpinan DPR-

RI kemudian menetapkan susunan Pimpinan Panitia Khusus RUU tentang

Peradilan Anak yang diketuai oleh HR Ali Mursalam dibantu oleh 4 (empat)

Wakil Ketua dengan 41 (empat puluh satu) orang Anggota Tetap dan 21 (dua

puluh satu) orang sebagai Anggota Pengganti dan Pansus ini mulai bersidang

tanggal 9 Juli 1996 sampai dengan tanggal 9 Oktober 1996. Kemudian tahap

selanjutnya adalah Pembicaraan Tingkat IV dalam Rapat Paripurna DPR-RI

yang dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1996. Pada tingkat pembicaraan

ini Ketua Pansus H.R. Ali Mursalam, melaporkan hasil pembahasan RUU

tentang Peradilan Anak pada pembicaraan Tingkat III dan selanjutnya Fraksi-

fraksi menyampaikan pendapat akhirnya. Pada dasarnya, keempat fraksi

menyampaikan pendapatnya menyetujui RUU tersebut untuk dijadikan

Undang-Undang dan kemudian dikeluarkan Keputusan DPR-RI Nomor.

RU.01/5849/ DPR-RI/1996 tanggal 19 Desember 1996.

Akhirnya setelah mendapat perubahan, pada tanggal 19 Desember

1996 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui RUU Peradilan Anak

disahkan menjadi Undang-Undang Pengadilan Anak. Demikianlah pada

tanggal 3 Juni 1997 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Pengadilan

Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Page 31: Kekerasan Terhadap Anak

31

B. Konsep Restorative Justice Menurut Penerapan Hukum di

Indonesia

Anak berkonflik dengan hukum telah menjadi permasalahan di

Indonesia, khususnya di kota besar, kesenjangan ekonomi maupun

melemahnya ikatan sosial di kota besar dianggap menjadi salah satu

penyebab timbulnya anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Dan

tidak sedikit anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak

menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang

menyakitkan, baik oleh pelaku tindak kejahatan yang professional, seperti

preman, pemerkosa, perampok, dan sebagainya maupun oleh sanak saudara

atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan

permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak di bawah umur umumnya

masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak.

Perhatian terhadap masalah ini masih kalah bila dibandingkan dengan

maraknya kasus anak yang kurang gizi dan anak dan anak-anak busung lapar

akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung usai, tingginya angka

kesakitan anak karena penyakit infeksi, atau kasus tingginya kematian anak

yang secara factual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat.16

Berdasarkan data kasus anak yang ditangani oleh Lembaga Advokasi

Hak Anak (LAHA) tahun 2009-2011 diantaranya:

16 Sri Sanituti Hariadi, Tindak Kekerasan terhadap anak, Majalah Hakiki, Surabaya, 2000.hlm.12.

Page 32: Kekerasan Terhadap Anak

32

No Tahun L P Jumlah

1 2009 25 2 27

2 2010 26 - 26

3 2011 6 3 9

Sumber: Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA)

Data tersebut menunjukan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum

masih menjadi persoalan krusial saat ini dengan rata-rata anak tersebut

diputus dengan pidana penjara. Dan dari data tersebut di atas, perlu

pengendalian dan pengawasan secara khusus, baik Pemerintah maupun

masyarakat sehingga anak-anak yang terlibat dalam hukum senantiasa

diperlakukan dengan adil. Dibentuknya Undang-UndangNomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, Deklarasi Hak Anak-anak hanya dijadikan

ancaman yang menakutkan bagi anak dan cenderung masuk penjara, belum

menyentuh secara keseluruhan proses pemulihan untuk terapi anak.

Terhadap anak berhadapan dengan hukum ini Pasal 59 juncto Pasal 64

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

sebenarnya telah menegaskan dimana Pemerintah dan Lembaga Negara

lainnya wajib dan bertanggungjawab memberikan perlindungan khusus

melalui upaya :

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak

anak;

2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

Page 33: Kekerasan Terhadap Anak

33

3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;

5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;

6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua

atau keluarga; dan

7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk

menghinadari labelisasi.

Sebelumnya pula ditegaskan dalam Pasal 16, 17 dan 18 khusus Anak

sebagai pelaku dalam anak berhadapan dengan hukum disebutkan:

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

Page 34: Kekerasan Terhadap Anak

34

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Materi muatan ketentuan-ketentuan di atas, pada akhirnya membutuhkan

langkah-langkah kongkrit Pemerintah utamanya para penegak hukum

mengingat persoalan perlindungan anak dengan cluster perlindungan khusus

atau Children in need of Special Protection (CNSP) membutuhkan langkah-

langkah di luar kebiasaan atau kebijakan pemerintah di luar system peradilan

pidana (Criminal Justice System). Kebijakan ini disebut dengan kebijakan

Restorative Justice atau Keadilan Restoratif.

Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

Restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun

1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.Berbeda dengan

pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,

pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku,

korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.Restorative

Justice dianggap cara berpikir/paradigma baru dalam memandang sebuah

tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Terhadap Anak yang

melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal tentunya

sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan

perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan

pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan

Page 35: Kekerasan Terhadap Anak

35

kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)

seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak

pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang

dianggap lebih baik untuk anak.

Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait

dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian

terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan

pemulihan dan bukan pembalasan. Restorative Justice merupakan upaya

untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistim

Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 merupakan

salah satu wujud bentuk dari Restorative Justice  (keadilan restoratif) sebagai,

perwujudan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan

mengedapankan diversi untuk tidak melakukan penahanan.Model ini perlu

dikembangkan dalam penyelesaian kasus pidana, hal ini sangat bermanfaat

membantu mengurangi jumlah narapidana dan tahanan. Juga lebih untuk

mendorong terciptanya reintegrasi sosial pelaku tindak pidana ke masyarakat

secara cepat serta menghindari stigmatisasi.

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

Page 36: Kekerasan Terhadap Anak

36

menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang

dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:

“Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.”

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang

menempatkan Restorative Justicesebagai nilai dasar yang dipakai dalam

merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya

keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta

memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam

masyarakat.

Dalam hal ini Restorative Justice sebagai sebuah konsep keadilan bagi

anak masih belum tercermin dalam konsep hukum dalam sistem hukum

pidana Indonesia, dimana Undang-Undang sendiri masih didominasi oleh

pendekatan yang bersifat retributif.

Pembenahan persoalan anak-anak memang tidak dapat dilakukan

sendiri, berbagai upaya harus dilakukan secara proporsional sesuai persoalan

dan melihat akar persoalan yang ada. Selain hal di atas, ada beberapa hal yang

bisa dilakukan penanganan anak-anak secara proporsional:17

1. Kita harus menyadari bahwa anak-anak bukanlah barang dagangan jika band terkenal Serius melantunkan statement “Rocker juga manusia,” maka pada anak-anak kita juga harus menegaskan bahwa “Anak-anak juga manusia,” untuk memenuhi itu, pemerintah dan para orang dewasa harus

17 Hesma Eryani, Anak-anak Juga Manusia, Lampung Post, 2006.

Page 37: Kekerasan Terhadap Anak

37

memiliki komitmen nyata dan efektif terhadap prinsip-prinsip anak. Implementasi dari komitmen ini sangat mungkin dalam memberikan rasa aman, terlindung, dan lingkungan yang sehat bagi anak. Semua orang harus memiliki kesadaran dan memberi pengakuan akan hak setiap anak untuk berpartisipasi penuh dan menjadi bermakna. Biarkan mereka berbicara (meskipun bagi orang dewasa pembicaraan itu tak berkenan), libatkan mereka secara aktif dalam setiap pengambilan keputuasan, kala membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, bahkan evaluasi. Anak-anak akan merasa diuwongken karena mereka dilihat dari harkat dan martabatnya sebagai manusia;

2. Terkait eksploitasi dan kekerasan terhadap anak harus ada hukum yang tegas untuk melindungi mereka. Tak hanya itu, korban kekerasan ini harus direhabilitasi sedemikian rupa dengan program-program yang dapat membangun kembali kehidupan mereka sehingga terlepas dari trauma berkepanjangan;

3. Agar anak-anak tidak menjadi korban peperangan, baik perang berskala dunia maupun lokal/perang antar suku atau hal-hal lain seperti di Poso para pemimpin harus berupaya keras mencegah terjadinya konflik melalui dialog damai, bukan kekuatan. Jika peran telanjur terjadi, anak-anak ini harus dilindungi, misalnya di pengungsian dan diberi kesempatan sama dengan anak-anak yang lain.

Persoalan kemiskinan juga membawa anak dalam lingkaran setan.

Sebagaimana kita ketahui dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 versi amandemen ke-4

ditegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

Negara”. Hal ini menunjukan bahwa Negara secara serius memperhatikan

terhadap perlindungan Hak-hak anak.

Perlunya didorong adanya sebuah model penanganan anak konflik

dalam hukum, karena menurunya kesadaran kolektif masyarakat. Mereka

cenderung tidak peduli lagi terhadap individu lain disekitarnya. Saat ini

masyarakat lebih banyak mempercayakan penyelesaian kenakalan anak

Page 38: Kekerasan Terhadap Anak

38

kepada sistem hukum konvensional yang mengatur tata nilai di masyarakat.

Padahal, hal ini belum menjadi solusi terbaik dalam mengatasi Masalah-

masalah sosial.

C. Batas Usia Anak dan Implementasi Sanksi Hukum

Anak adalah titipan Tuhan, amanat yang harus dijaga, dipelihara, dan

dididik, agar menjadi manusia yang cerdas dan beretika. Ketidakmatangan

seorang anak, baik secara fisik maupun secara mental, membutuhkan

perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang

layak, sebelum dan sesudah lahir.

Sebagaimana diatas berdasarkan konvensi hak anak yang telah

diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui KEPPRES Nomor 36 Tahun 1990,

bahwa Negara mengakui hak setiap anak, dituduh atau diakui sebagai telah

melanggar Undang-Undang hukum pidana, untuk diperlakukan dengan cara

yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak yang memperkuat

penghargaan pada Hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari orang

lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk meningkatkan

penyatuan kembali hak anak dan peningkatan konstruktifnya dalam

masyarakat.

Terlepas dari hukum yang berlaku pada dasarnya kejahatan yang

dilakukan anak hanyalah kenakalan,

Menurut Diah Sulastri (Hakim Anak PN Bandung),18

18 Diah Sulastri, Vonis Bagi Anak bukan Hukuman, Pikiran Rakyat, 2004, hlm.10.

Page 39: Kekerasan Terhadap Anak

39

Segala bentuk vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa anak

bukan dakwaan, melainkan pembelajaran dan upaya mendidik

sang anak.

Namun apapun jenis kenakalannya, berat atau kecil pada

kenyataannya mereka harus menjalani proses hukum, dicabut

kemerdekaannya, yang kerap kali diikuti dengan tercabutnya hak-hak sipil

mereka. Lebih dari 90% anak-anak ini harus menjalani penahanan dan

pemeliharaan dalam proses hukum.

Dalam kepustakaan hukum, anak berhadapan dengan hukum

disebutkan adalah Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang

telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18

(delapan belas) tahun dan belum menikah. Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 yang

menyatakan bahwa :

1. Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan

tindak pidana;

2. Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar

sendiri terjadinya suatu tindak pidana.

Apong Herlina menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan

hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan

sistem pengadilan pidana karena:

Page 40: Kekerasan Terhadap Anak

40

1. Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;

atau

2. Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang

dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3. Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa

pelanggaran hukum.

Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang

berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi:

1. Pelaku atau tersangka tindak pidana;

2. Korban tindak pidana;

3. Saksi suatu tindak pidana.

(Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum,

Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta, 2004) Anak sebagai pelaku atau

anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa,

atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan

perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus mengikuti prosedur

hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini

bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan

kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu

kejahatan pada umumnya dan prilaku anak yang berkonflik dengan hukum

atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya19.

19Unicef, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, Unicef, Jakarta, 2004.

Page 41: Kekerasan Terhadap Anak

41

Sebagaimana yang telah kita pahami bersama bahwa seorang anak

belum sepenuhnya mengerti benar akan perbuatan ataupun kesalahan yang

telah ia perbuat. Anak belum mampu mempertanggungjawabkan seluruh

perbuatannya. Mereka masih membutuhkan perhatian, bimbingan dan

penanganan dalam spirit penuh kasih sayang, rehabilitatif serta

mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat, bukan penegakan

hukum semata yang pada umumnya didasarkan pada tindakan retributif atas

suatu prilaku salah.

Paradigma kenakalan remaja lebih luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya. Kenakalan remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga. Contoh yang sangat sederhana dalam hal ini antara lain pencurian oleh remaja, perkelahian di kalangan anak didik yang kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, mengganggu wanita di jalan yang pelakunya anak remaja. Demikian juga sikap anak yang memusuhi orang tua dan sanak saudaranya, atau perbuatan-perbuatan lain yang tercela, seperti menghisap ganja, mengedarkan pornografis dan coret-coret tembok pagar yang tidak pada tempatnya.20

Menurut Wagiati Soetodjo:21

“Kenakalan anak (juvenile delinquency) secara etimologis Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursilao, dan lain-lain”.

Metode untuk mempermudah klasifikasi kenakalan remaja dapat

dilakukan dengan cara melacak rentangan umur dalam kehidupan manusia,

20 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.12.21Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung, Refika Editama, 2006.

Page 42: Kekerasan Terhadap Anak

42

berdasarkan data UNICEF tahun 2005, perbandingan batas usia minimal

anak untuk dibawa ke pengadilan, sebagai berikut:22

NO NAMA NEGARA USIA (DALAM TAHUN)

1 Austria 142 Belgia 183 Denmark 154 Inggris 105 Finlandia 156 Perancis 137 Jerman 148 Yunani 129 Irlandia 710 Italia 1411 Luxemburg 1812 Belanda 1213 Irlandia Utara 814 Portugal 1615 Skotlandia 816 Spanyol 1617 Swedia 15

Pasal 533 (4):

“Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian pada seorang yang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun.”

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, sebagai berikut:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

22 Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF Indonesia, 2004, hlm.204.

Page 43: Kekerasan Terhadap Anak

43

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan Negara yang baik dan berguna;

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam

kandungan maupun sesudah dilahirkan;

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya

dengan wajar.

Pasal 11:

1. Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi;

2. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat;

3. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun diluar panti;

4. Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat;

5. Pelaksanaan usaha kesejahteraan anak sebagai termaktub dalam ayat (1), (2), (3), dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bahwa asas 2 Deklarasi Hak Anak–anak, sebagai berikut:

“Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental, akhlak, rohani, dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.”

Asas 6:

“Agar supaya kepribadiannya tumbuh secara maksimal dan harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di bawah asuhan dan tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dan bagaimanapun

Page 44: Kekerasan Terhadap Anak

44

harus diusahakan agar mereka tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani.”

Anak di bawah usia lima tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya.

Masyarakat dan penguasa yang berwenang, berkewajiban memberikan

perawatan khusus kepada Anak-anak yang tidak memiliki keluarga dan

kepada Anak-anak yang tidak mampu. Diharapkan agar Pemerintah atau

pihak yang lain memberikan bantuan pembiayaan bagi Anak-anak yang

berasal dari keluarga besar.

Meskipun sudah diatur dalam Pasal 2, Pasal 4 Undang-Undang

Nomor4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, deklarasi hak anak dan

Asas 6, hanya dijadikan bahwa Undang-Undang sebagai kiasan dan tidak

perlu digunakan sebagai aplikatif untuk perubahan sehingga anak berkonflik

dengan hukum terorganisasi dengan baik. Pemerintah menutup mata dan

telinga, dan mengartikan anak berkonflik sudah gagal untuk dibina dan hanya

dijadikan sampah yang tidak ada nilainya.

Deklarasi Hak-hak anak tegas menyatakan, anak karena

ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan

pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan

sesudah kelahiran.

Menurut Seto Mulyadi:23

”Dalam Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat

23 Seto Mulyadi terpetik dalam Jufri Bulian Ababil, Raju yang Diburu dan Buruknya Peradilan Anak di Indonesia, Pondok Edukasi, 2006.

Page 45: Kekerasan Terhadap Anak

45

harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah dan Negara. Ini berarti kita tidak boleh memandang anak sekedar sebagai objek yang atas nama apapun, termasuk hukum, lalu mereka diperlakukan secara Sewenang-wenang”.

Apabila ada seorang anak yang diperlakukan berdasarkan ketentuan

hukum, tetap harus dilihat dengan hati nurani. Bahwa hukum adalah bukan

sekedar mesin-mesin belaka yang kaku dan mati sama sekali, dimana

kemudian unsur-unsur hukum seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim hanya

berfungsi menjadi semacam sekerup-sekerup yang tidak berdaya.

Menurut Ahmad Sofian:24

“Akibat buruknya sistem Pengadilan Anak di Indonesia, telah mengakibatkan lebih dari 3.110 anak yang berkonflik dengan hukum harus mendekam dalam penjara yang situasinya sangat buruk. Akibat lebih jauh telah menuai kritik yang luar biasa. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Kompas PA) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan “Report” buruk terhadap pengadilan anak di Indonesia. Bahkan Komite Hak Anak PBB memberikan rekomendasi agar Indonesia segera memperbaiki sistem Pengadilan Anaknya. Dalam catatan Komite Hak Anak PBB tentang Pengadilan Anak di Indonesia ada beberapa kritik yang mereka sampaikan terutama soal batas umur seorang anak boleh dibawa ke pengadilan”.

Komite PBB ini menilai bahwa di Indonesia, batas umur 8 tahun

seorang anak boleh dibawa ke pengadilan adalah sangat rendah, sehingga

komite menilai bahwa batas umur ini harus segera dinaikkan menjadi lebih

rasional. Batas umur yang “Rasional” untuk masing-masing Negara adalah

berbeda-beda, namum kebanyakan Negara membuat angka 12 tahun seorang

anak boleh dibawa ke pengadilan ketika berkonflik dengan hukum. Batas

24Ibid

Page 46: Kekerasan Terhadap Anak

46

umur 12 tahun ini juga sesuai dengan Beijing Rules. Beijing Rules ini

mengatur tentang standard minimum PBB untuk pelaksanaan Peradilan Anak.

D. Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Restorative Justice

Menurut Hukum di Indonesia

Ujung tombak pelaksanaan Restorative Justice berada pada pihak

kepolisian dimana dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian

Republik Indonesia memiliki tugas Tri Brata yakni; Memelihara Keamanan

dan Ketertiban Masyarakat, Menegakan Hukum dan Memberikan

Perlindungan, Pengayoman, dan Pelayanan Masyarakat.

Akan tetapi pada prakteknya penegakan hukum yang dilakukan oleh

polisi senantiasa mengandung 2 (dua) pilihan. Pilihan pertama adalah

penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang pada

umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan oleh polisi untuk

menegakan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan Pilihan kedua

adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang ditekankan pada

moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada

anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan nama diskresi. Tindakan

tersebut diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Page 47: Kekerasan Terhadap Anak

47

Indonesia, dimana polisi telah diberi kebebasan yang bertanggung-jawab

untuk melaksanakan hal tersebut.

Pasal 18 ayat (1) huruf L Jo. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 Jo. TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006.

“Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak

bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban

hukum/profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut,

tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup

jabatannya, didasarkan pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan

yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.”Suatu pengalihan

bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke

alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut

kepentingan anak (TR Kabareskrim).

Kedua bentuk pengaturan ini dikuatkan lagi beberapa peraturan internal

kepolisian lainnya seperti Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 Tentang

Implementasi Prinsip Dan Standar Ham Dalam Penyelenggaraan Tugas

Polri.jo. Telegram Kapolri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 Tgl. 16 Nopember

2006 Tentang Pedoman Penanganan Dan Perlakuan Terhadap Anak

Berhadapan Hukum.jo. Telegram Kapolri No. Pol.: 395/DIT.I/VI/2008 Tgl.

9 Juni 2008 Tentang Penanganan Anak Berhadapan Hukum.Jo Surat Edaran

Kapolri Nomor: B/2160/IX/2009/BARESKRIM Tgl. 3 September 2009

Tentang Pedoman Penanganan Anak Berhadapan Hukum Jo. Surat Telegram

Page 48: Kekerasan Terhadap Anak

48

Kapolri Nomor : STR/29/I/2011 Tgl. 11 Januari 2011 Tentang Sosialisasi

Surat Keputusan Bersama Tentang Perlindungan Anak & Rehabilitasi Anak

Berhadapan Hukum.

Diharapkan adanya berbagai peraturan tersebut Pelaksanaan diversi dan

Restorative Justice bisa memberikan dukungan terhadap proses perlindungan

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini dikarenakan prinsip

utama dari diversi dan Restorative Justice adalah menghindarkan pelaku

tindak pidana dari sistem Peradilan pidana formal dan memberikan

kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara.

Diversi sangat berhubungan dengan konsep Restorative Justice, dan dapat

diterapkan apabila anak nakal mau mengakui kesalahannya, sekaligus

memberi peluang anak memperbaiki kesalahannya. Diversi adalah bentuk

intervensi yang baik dalam mengubah perilaku anak nakal, dengan adanya

keterlibatan keluarga, komunitas dan polisi, maka anak dapat memahami

dampak atas tindakannya yang telah dilakukan.25

Menurut sistem hukum kita, pemeriksaan terhadap perkara pidana

melibatkan:26

1. Kepolisian, selaku penyidik melakukan serangkaian tindakan penyelidikan, penangkapan, penahanan serta pemeriksaan pendahuluan;

2. Kejaksaan, selaku penuntut umum, sebagai penyidik atas tindak pidana khusus yang kemudian melimpahkan ke pengadilan;

3. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan di depan sidang pengadilan sebelum mendapat putusan hakim.

25Taufik Hidayat, Model Alternatif Penanganan Anak Konflik Hukum – 2006.26 Soedarto terpetik dalam, Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan

Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hlm.7.

Page 49: Kekerasan Terhadap Anak

49

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memuat sedikit

Pasal yang mengatur tentang kejahatan anak khususnya Pasal 45, 46, 47

KUHPmengatur tentang perlakuan terhadap anak-anak ini dan membatasi

umurnya yaitu di bawah 16 tahun, di samping Pasal-Pasal lain yang

mengatur. Misalnya Pasal 60 KUHP bahwa pidana perampasan dapat

diberikan kepada anak, yang memiliki, memasukkan atau mengangkut

barang-barang dengan melanggar:27

1. Ketentuan mengenai penghasilan Negara dan persewaan Negara;

2. Ketentuan mengenai pengawasan pelayaran;3. Ketentuan mengenai larangan memasukkan barang,

mengeluarkan dan meneruskan pengangkutan barang-barang.

Apabila yang terjadi demikian, maka ribuan anak-anak yang masih

berkonflik dengan hukum yang terperangkap di dalam puluhan tembok-

tembok berjeruji hasil di negeri ini masa depannya akan semakin hancur dan

bangsa ini tinggal menunggu waktunya untuk runtuh.

27Ibid, hlm.8

Page 50: Kekerasan Terhadap Anak

BAB III

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

A. Perlindungan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Di Indonesia

Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang

melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Berdasarkan

konsep Parents Patria, yaitu Negara memberikan perhatian dan perlindungan

kepada anak-anak sebagaimana layaknya orang tua kepada anak-anaknya, maka

penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan demi

kepentingan terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai-nilai Pancasila.

Rousseaumenegaskan:28

“Bahwa dalam segala persoalan yang berhubungan dengan Anak-

anak seyoginya kita lebih banyak membicarakan tentang Hak-

haknya daripada kewajibannya”.

Sedangkan Arief Gosita melihat perlindungan anak sebagai suatu kegiatan

bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan

kesejahteraan rokhaniah dan jasmaniah anak yang sesuaidengan kepentingannya

dan hak asasinya.29

Pada hakekatnya penanganan bagi anak dilakuakan bukan masalah yang

sederhana, diperlukan penyamaan persepsi, visi, mau dibawa kemana anak-anak

kita. Dan secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada

28Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988. hlm.21.29 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta, Akademika Pressindo, 1985. hlm.45.

50

Page 51: Kekerasan Terhadap Anak

51

kegiatan menyerasikan hubungan-nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

kaidah yangmantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.30

Dalam penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

keadilan Restorative, menurut Pasal 13 Keputusan Besama Mahkamah agung,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri

Hukum dan HAM, Menteri Sosial Republik Indonesia, Dan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

Nomor : 166/A/KMA/SKB/XII/2009

Nomor : 148/A/A/JA/12/2009

Nomor : B/45/XII/2009

Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009

Nomor : 10/Men.PP dan PA/XII/2009

Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

menyatakan: “Perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana

sebagai berikut :

a. Penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak berhadapan hukum

dengan pendekatan keadilan Restoratif untuk kepentingan terbaik bagi

anak wajib melibatkan balai pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga

korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat.

b. Balai pemasyarakatan wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan.

30 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV Rajawali, 1983, .hlm.2.

Page 52: Kekerasan Terhadap Anak

52

c. Dalam hal anak ditahan maka penempatanya dipisahkan dengan tahanan

orang dewasa/titipan dirumah tahanan khusus anak.

d. Proses penyidikan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut

Umum dilaksanakan segera dengan mengikutsertakan pembimbing

kemasyarakatan Bapas.

e. Dalam hal Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan

dan hasil dari penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan penuntutan

dengan cara pendekatan keadilan Restoratif maka Jaksa Penuntut Umum

segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri.

f. Setelah menerima pelimpahan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim segera

melaksanakan sidang anak dengan cara pendekatan keadilan Restoratif.

g. Apabila putusan Hakim berupa tindakan, maka balai pemasyarakatan

wajib melakukan pembimbingan dan pengawasan.

h. Pembimbingan, pembinaan, dan perawatan di Bapas, Rutan, dan Lapas

dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait

i. Dalam hal putusan Hakim menyerahkan anak yang berhadapan dengan

hukum kepada Dinas Sosial, maka Dinas Sosial wajib menerima dan

menyiapkan sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dan rehabilitasi

sosial anak.”

Sistem peradilan pidana hal ini amat rentan untuk tidak dipenuhi dan tak

jarang diabaikan. Posisi yang mendudukan seseorang sebagai pelaku bisa jadi

sangat instan dan subjektif, tak jarang korban yang sebenarnya justru didudukan

sebagai pelaku dan dimintai pula pertanggungjawabannya. Dalam memposisikan

Page 53: Kekerasan Terhadap Anak

53

salah satu pihak sebagai korban perlu kehati-hatian. Oleh karenanya perlu

diperhatikan bilamana penyelesaian perkara diluar sistem ingin dilakukan.

Mekanisme pembuktian tetap harus ditempuh untuk menjamin bahwa yang

bertanggungjawab adalah korban yang sesungguhnya dapat dilihat dalam

kacamata yang obyektif.

Keterbatasan data pada sisi lain menunjukkan bahwa penelitian,

pengamatan, kajian dan tentang situasi Anak yang berhadapan dengan hukum

menjadi amat penting dilakukan. Analisa situasi anak yang berada dalam sistem

peradilan merupakan analisa situasi terhadap proses peradilan yang dihadapi anak,

baik ketika anak berurusan dengan polisi, penuntut umum, maupun ketika anak

menjalani sidang pengadilan, ini mencakup juga ketika anak berada di dalam

lembaga penahanan atau pemenjaraan.

Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat

lebih dari 11,344 anak disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari

hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga

pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84,2%

anak berada di lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang dewasa dan

pemuda, jumlah anak ditahan tersebut, tidak termasuk anak yang ditahan dalam

kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama

yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak berstatus sebagai anak didik

(Anak sipil, Anak negara dan Anak pidana) tersebut di seluruh rumah tahanan dan

lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.

Page 54: Kekerasan Terhadap Anak

54

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, karena banyak anak harus

berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak dalam tempat penahanan

dan pemenjaraan bersama orang lebih dewasa, menempatkan anak pada situasi

rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Oleh karena itu dibutuhkan

perhatian, dorongan dan upaya yang kuat agar dapat dilakukan pemantauan secara

terus-menerus, independen dan obyektif guna meminimalkan kerugian-kerugian

yang dapat diderita oleh anak yang terpaksa berhadapan dengan hukum atau

sistem peradilan. Setidaknya upaya ini mengacu kepada standar nilai dan

perlakuan sejumlah instrumen lokal maupun Internasional yang berlaku,

diantaranya adalah Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989, Konvensi menentang

penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi

atau merendahkan martabat manusia (Res.PBB No.39/46 Tahun 1984), Peraturan-

peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai

Administrasi Peradilan Anak/The Beijing Rules (Res.No.40/33 Tahun 1985),

kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berada di bawah

bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan (Res.PBB No.43/113 Tahun 1990),

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak.31

Bahwa Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, sebagai berikut:

(1). Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan

atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

31 Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, UNICEF Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2004.

Page 55: Kekerasan Terhadap Anak

55

(2). Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk

pelaku tindak pidana yang masih anak;

(3). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan

hukum;

(4). Penangkapan, penahanan atau penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya

terakhir;

(5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapat perlakuan secara

manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi

sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali

demi kepentingan;

(6). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan

hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku;

(7). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan

memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak

memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Kepres Nomor 36 Tahun 1990 mengenai Konvensi Hak Anak:

Pasal 40

(1). ”Negara peserta mengakui hak setiap anak yang disangka, dituduh, atau

diakui telah melanggar Undang-Undang hukum pidana yang diperlukan

dengan cara yang sesuai dengan peningkatan martabat dan nilai anak, yang

memperkuat penghargaan anak pada hak-hak asasi dan kebebasan dasar

Page 56: Kekerasan Terhadap Anak

56

orang lain dengan memperhatikan usia anak dan hasrat untuk peningkatan

penyatuan kembali/reintegrasi anak dan peningkatan peran yang

konstruktif dari anak dalam masyarakat.”

(2). Untuk tujuan ini, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan instrumen

Internasional yang terkait, Negara-negara peserta harus secara khusus

menjamin agar:

(a). Anak-anak tidak disangka, dituduh atau diakui telah melanggar

hukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaian yang tidak

dilarang oleh hukum nasional atau Internasional dimana

perbuatan itu dilakukan ;

(b). Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum

pidana setidaknya memiliki jaminan sebagai berikut:

(1). Dianggap tidak bersalah sampai terbukti menurut hukum;

(2). Memperoleh pemberitahuan secepatnya atau secara

langsung berkaitan dengan tuntutan terhadapnya, dan jika

mungkin melalui orang tua atau wali yang sah, dan untuk

mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya yang

diperlukan dalam persiapan atau pengajuan pembelaannya;

(3). Kasusnya ditangani oleh pihak yang berkopeten,

independent, dan tidak memihak ataupun oleh badan

hukum, disertai dengan bantuan hukum dan bantuan

lainnya yang sesuai dan kecuali hal tersebut dianggap tidak

sesuai dengan kepentingan terbaik anak, secara khusus

Page 57: Kekerasan Terhadap Anak

57

dengan mempertimbangkan usia dan situasinya, orang tua

ataupun walinya yang sah;

(4). Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian ataupun untuk

mengaku bersalah, untuk memeriksa saksi yang

memberatkan serta mendapatkan partisipasi dan

pemeriksaan saksi atas namanya dengan memakai prinsip

persamaan;

(5). Jika dianggap telah melanggar hukum pidana, keputusan

ataupun langkah-langkah yang diambil sebagai

konsekuensinya harus mendapatkan pemeriksaan ulang

oleh pihak yang lebih tinggi tingkatannya yang kompeten,

independent dan tidak memihak atau pun badan peradilan

yang sesuai dengan ketentuan hukum;

(6). Mendapatkan bantuan intrepenter gratis jika anak tidak bisa

memahami ataupun menggunakan bahasa yang ada;

(7). Privasi sepenuhnya dihormati dalam semua tahapan

peradilan.

(3). Negara peserta harus berusaha mengembangkan Undang-Undang,

prosedur, otoritas, serta institusi yang secara khusus sesuai dengan anak-

anak yang disangka, dituduh atau diakui telah melanggar Undang-Undang

hukum pidana, dan secara khusus:

(a). Penentuan batas usia minimum dimana anak dianggap tidak

memiliki kapasitas pelanggaran hukum pidana;

Page 58: Kekerasan Terhadap Anak

58

(b). Jika mungkin dan jika sesuai, langkah-langkah untuk menangani

anak-anak tersebut dilakukan tanpa menggunakan proses

pengadilan, jika hak asasi manusia dan perlindungan hukum

dihormati sepenuhnya.

(4). ”Berbagai langkah, seperti bimbingan dan peraturan pengawasan,

konseling, masa percobaan, perawatan oleh orang tua, pendidikan serta

program pelatihan kejuruan dan alternatif perawatan lainnya harus tersedia

untuk menjamin agar anak ditangani dengan cara sesuai dengan

kesejahteraannya serta proporsional bagi perkara maupun

pelanggarannya.”

Pasal 37 (b)

”Tidak seorang anak pun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah

dan Sewenang-wenang. Penangkapan, Penahanan atau penghukuman anak

akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya

sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak.”

Pasal 39

”Negara peserta harus mengambil semua langkah-langkah yang sesuai

untuk meningkatkan pemulihan fisik dan psikis serta reintegrasi sosial

anak yang menjadi korban, segala bentuk penelantaran, eksploitasi, atau

perlakuan salah, penyiksaan atau bentuk perlakuan atau hukuman kejam

lainnya yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau

konflik bersenjata. Pemulihan serta reintegrasi semacam itu harus

Page 59: Kekerasan Terhadap Anak

59

berlangsung dalam lingkungan yang mendukung kesehatan, harga diri, dan

martabat anak.”

Sedangkan permasalahan sistem pertanggungjawaban, pada penanganan

anak konflik saat ini, cenderung tidak manusiawi dan anak menjadi korban,

sehingga penerapan hukumannya tidak jauh berbeda dengan penerapan hukum

orang dewasa, adapun permasalahan dalam peradilan anak, sebagai berikut:

1. Penahanan anak di tingkat penyidikan masih disatukan dengan orang

dewasa;

2. Waktu penahanan di tingkat penyidikan sering melampaui batas yang

ditentukan;

3. Persidangan ditunda-tunda tanpa alasan yang substansial;

4. Stigma/anggapan anak sebagai penjahat atau residivis pada tingkat

penyidikan dan tingkat peradilan lainnya masih kuat sehingga merugikan

anak;

5. Orang tua/ wali tidak langsung diberi tahu tentang penangkapan anaknya ;

6. Dalam proses penyidikan anak tidak didampingi oleh pengacara demikian

pula proses persidangan;

7. Persidangan masih menggunakan hakim majelis dan masih menggunakan

baju hakim (hitam-hitam);

8. Pertanyaan penyidik, jaksa, dan hakim kadang menyudutkan anak dan

merendahkan martabat serta harga diri anak;

9. Keputusan pemenjaraan masih jadi pilihan utama hakim, karena kurangnya/

tidak adanya alternatif hukuman bagi anak selain penjara;

Page 60: Kekerasan Terhadap Anak

60

10. Anak tidak ditempatkan pada LP Anak;

11. Masa penahanan sebelum putusan sangat lama (rata-rata 3 bulan).

Atas tuntutan masyarakat kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri),

karena sering terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang

semakin meningkat, sementara masyarakat masih beranggapan apabila

penanganan dilakukan oleh polisi laki-laki masih sering terjadi kekerasan kedua

kali berupa pelecehan-pelecehan ataupun kekerasan fisik, sehingga melalui

Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan (LBPP) Derap Warapsari yang

merupakan LSM beranggotakan Purnawirawan Polwan mendesak pimpinan Polri

agar dibentuk suatu ruangan khusus diawaki oleh Polwan di dalam tubuh

organisasi Polri untuk menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan

anak. Pada tanggal 16 April 1999 terbentuk Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di

Polda Metro Jaya dan jajarannya yang menangani korban kekerasan terhadap

perempuan dan anak, keberadaan tim RPK tidak masuk dalam struktur organisasi

Polri, untuk tingkat Polda Metro Jaya di bawah unit Renakta (Remaja Anak dan

Wanita) Sat Serse Tipiter (Tindak Pidana Tertentu), sementara tingkat Polres di

bawah unit judi, susila. Berdasarkan keputusan Kapolri No. Kep/54/X/2002

Tanggal 17 Oktober 2002, unit Renakta Sat Serse Tipiter berdiri sendiri menjadi

Sat IV Renakta membawahi unit RPK di bawah Dit Reskrimum Polda Metro

Jaya, sementara tingkat Polres, Sub unit RPK di bawah unit Krimum Sat

Reskrim.32

32 Herti, Kebijakan Polri dalam Menangani Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Makalah Lokakarya, Jakarta, 2003, hlm.6.

Page 61: Kekerasan Terhadap Anak

61

Tugas dan tanggung jawab awak RPK adalah:33

1. Menegakan hukum untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak dari penyalahgunaan eksploitasi, diskriminasi dan kelalaian termasuk terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ;

2. Melayani dan mengayomi serta melindungi korban kekerasan terhadap anak dan perempuan ;

3. Memberikan konseling terhadap korban kekerasan, terhadap perempuan dan anak apabila kasus yang dialami tidak memenuhi syarat hukum atau belum diatur oleh Undang-undang ;

4. Menjalin kerjasama sesuai dengan Hubungan Tata Cara Kerja (HTCK) Polri kepada instansi terkait maupun kepada LSM yang menangani masalah perempuan atau anak di bidang pendampingan dan advokasi.

Adanya RPK yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, diantaranya

dalam menangani pelaku tindak pidana anak adalah sejalan dengan Pasal 41

Undang-undang tentang Pengadilan Anak, mengenai penyidik khusus anak.

Dalam penyidikan anak terdapat prosedur khusus yang diatur dalam Pasal

42 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, yaitu memeriksa tersangka dalam

suasana kekeluargaan, wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli

pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya,

diberitahukan haknya untuk mendapat bantuan hukum dan proses penyidikan

wajib dirahasiakan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus atau

spesifik prosedur penanganan terhadap pelanggaran hukum yang berusia anak-

anak.

33Ibid.

Page 62: Kekerasan Terhadap Anak

62

Berdasarkan data pelaku kejahatan/pelanggaran yang dilakukan anak di

bawah usia 18 tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 dari Kepolisian

Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Resort Bandung, terdapat 123

perkara anak. Tahun 2000 terdapat 35 perkara, tahun 2001 terdapat 42 perkara dan

tahun 2002 terdapat 46 perkara. Dari 123 perkara tersebut jenis tindak pidana

yang dituduhkan yang paling banyak adalah pencurian (percobaan pencurian,

pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan

bermotor) sebanyak 81 perkara, sisanya adalah pemerasan, membawa senjata api,

penganiayaan, pembunuhan, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang,

perkosaan, perbuatan cabul, penadahan, melarikan perempuan, membawa senjata

tajam, dan mengedarkan VCD Porno. Dalam 123 perkara tersebut semua anak

ditangkap dan dikenakan penahanan. Usia anak berkisar antara 13 tahun sampai

18 tahun. Sedangkan berdasarkan data Kepolisian Negara Republik Indonesia

Daerah Jawa Barat Resort Bandung per Mei tahun 2003, yaitu Januari sampai

dengan Mei 2003 terdapat 13 perkara dan dari data tersebut dapat diketahui

perlakuan polisi masih tetap sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu

menangkap dan menahan pelaku anak, padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak telah berlaku, dan dalam Pasal 16 ayat 3

Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa “Penangkapan, penahanan, atau

tindak pidana penjara anak hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Menurut Pasal 60 Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, anak didik

pemasyarakatan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak yang harus

terpisah dari orang dewasa, dan anak yang ditempatkan di lembaga

Page 63: Kekerasan Terhadap Anak

63

pemasyarakatan berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat

dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, LAPAS dan

BAPAS, didirikan di setiap ibu kota, Kabupaten dan Kotamadya dan bila

dianggap perlu di tingkat Kecamatan atau kota administratif dapat didirikan

cabang Lapas dan cabang BAPAS.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah

diikuti oleh beberapa peraturan Pemerintah, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama

Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata

Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan

Tahanan.

Daftar Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak di Indonesia Tahun 2002

No LAPAS PROPINSI

1.

2.

Lapas Anak Medan

Lapas Anak Tanjung Pati

Sumatera Utara

Sumatera Barat

Page 64: Kekerasan Terhadap Anak

64

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Lapas Anak Pakan Baru

Lapas Anak Muara Bulian

Lapas Anak Palembang

Lapas Anak Kota Bumi

Lapas Anak Pria Tangerang

Lapas Anak Wanita Tangerang

Lapas Anak Kutoarjo

Lapas Anak Blitar

Lapas Anak Sungai Raya

Lapas Anak Pontianak

Lapas Anak Martapura

Lapas Anak Pare-pare

Lapas Anak Tomohon

Lapas Anak Gianyar

Lapas Anak Kupang

Riau

Jambi

Sumatera Selatan

Lampung

Banten

Banten

Jawa Tengah

Jawa Timur

Kalimantan Barat

Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan

Sulawesi Selatan

Sulawesi Utara

Bali

Nusa Tenggara Timur

Sumber: Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Kehakiman & HAM RI

Dengan melihat daftar LAPAS Anak tersebut di atas nampak tidak semua

Provinsi di Indonesia yang berjumlah 32 (Tiga puluh dua) Provinsi mempunyai

LAPAS Anak, sebagaimana halnya Provinsi Jawa Barat tidak mempunyai LAPAS

Anak.

Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung (Rutan Kebon Waru) misalnya,

dengan segala keterbatasannya, bersama masyarakat yang peduli kemanusiaan

tetap berupaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang diperuntukan untuk

para tahanan dan narapidananya

Beberapa masalah pelik di Rutan Kebon Waru yang berdampak pada

kesehatan penghuninya antara lain adalah melebihinya kapasitas (over capacity)

jumlah tahanan dari daya tampung yang disediakan. Daya tampung Rutan Kebon

Waru diperuntukan untuk 780 orang dan sekarang diisi lebih dari 1.600-1.700

Page 65: Kekerasan Terhadap Anak

65

orang. Hal tersebut memperburuk sanitasi rumah tahanan.

Selain itu, sampai dengan akhir 2003, kondisi air bersih di rutan sangat

memprihatinkan. Pada Mei 2004 telah terselesaikan satu buah sumur yang dalam

dan merupakan sumbangan dari masyarakat peduli sesama. Pembuatan sumur

tersebut sangat menolong dalam meningkatkan kualitas kesehatan para penghuni

rutan karena selama ini salah satu penyebab terjadinya penyakit adalah buruknya

kualitas air.

Pada Maret 2003, dari 102 orang yang dilayani kesehatannya terdapat

penyakit kulit menular (scabies) mencapai 90% sedangkan penyakit lainnya

adalah Infeksi Saluran Napas Atas (ISPA), pusing-pusing dan lain-lain.

Rumah Tahanan Kebon Waru memiliki sebuah klinik dengan peralatan

kesehatan yang belum cukup memadai. Dalam 1 minggu, 2 kali klinik rumah

tahanan buka, yaitu pada hari Selasa dan Kamis. Anggaran dana kesehatan yang

diberikan oleh Negara adalah sebesar Rp. 1.500.000,-/tahun untuk semua tahanan

dan narapidana. Program kesehatan yang ada hanyalah wajib olah raga bagi para

tahanan.

Saat ini terdapat 30-50 (selalu berubah) anak usia berusia dibawah 18

tahun yang tinggal di Rutan Kebon Waru, mereka adalah anak pidana (sudah

dijatuhi vonis hukuman oleh pengadilan) dan anak yang sedang menghadapi

proses peradilan. Tidak adanya rumah tahanan khusus anak di Bandung

mengakibatkan anak terpaksa ditempatkan di Rumah Tahanan Kebon Waru

dalam blok khusus tahanan anak (Blok C2) yang masih berada di lingkungan

tahanan dewasa.

Page 66: Kekerasan Terhadap Anak

66

Dalam menghadapi kendala berupa minimnya anggaran biaya dan

dukungan dana yang mencukupi bagi tahanan anak yang dihadapi pengurus rumah

tahanan dalam mengembangkan program khusus bagi anak, dukungan dan

partisipasi sangat diperlukan dari semua lapisan masyarakat dan instansi-instansi

yang relevan serta peduli terhadap anak-anak yang berada dalam konflik hukum

yang nyatanya mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan

perlindungan dan bimbingan.

Pentingnya pengembangan program khusus bagi anak yang “terpaksa”

harus berada ditahanan, mendesak untuk dilakukan segera. Perlu disadari tujuan

adanya rumah tahanan adalah sebagai tempat rehabilitatif dan reintergratif

sebagai salah satu sarana untuk menyatukan kembali mereka yang telah

melanggar perbuatanhukum untuk kembali ke masyarakat (terutama untuk Anak

Konflik Hukum). Oleh karenanya, kegiatan-kegiatan yang bersifat rehabilitatif

dan reintergratif mutlak diperlukan dan harus dilaksanakan.

Berdasarkan istilah yang digunakan, tampaknya Restorative Justice

merupakan pendekatan import dari barat. Namum sebenarnya tidak demikian,

karena Restorative Justice diadopsi dari nilai-nilai tradisional yang positif dan

tidak melanggar Hak Asasi Manusia dari Bangsa-bangsa di dunia, yaitu cara

penyelesaian melalui musyawarah.

Indonesia mulai mencoba mengimplementasikan model Restorative

Justice dalam penanganan perkara anak konflik hukum (AKH), untuk pertama

kalinya dipilih kota Bandung sebagai wilayah uji coba (pilot project). UNICEF

yang bekerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum (Kepolisian,

Page 67: Kekerasan Terhadap Anak

67

Kejaksaan, dan Pengadilan) serta melibatkan berbagai lembaga swadaya

masyarakat lainnya, telah membentuk kelompok kerja (working group)

Restorative Justice yang berkonsentrasi dalam penelitian dan penanganan perkara

anak.

Kelompok kerja Restorative Justice, Lembaga Perlindungan Anak (LPA)

Jawa Barat – UNICEF telah membuat suatu bentuk atau model Restorative

Justice, sebagai acuan dalam pelaksanaan penanganan perkara anak konflik

hukum (AKH) khususnya di kota Bandung. Model tersebut dapat dilihat pada

bagan sebagai berikut:34

34 D.S. Dewi, Model Restorative Justice, Seminar Peradilan Anak, UNPAD, Bandung, 2006. hlm 13 – 28

Page 68: Kekerasan Terhadap Anak

68

Pra kondisi Metode Hasil

Dari bagan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Pra syarat berdasarkan karakteristik Restorative Justice:

(a). Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku;

(b). Persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian

diluar sistem peradilan pidana anak yang berlaku;

(c). Persetujuan dari kepolisian, sebagai institusi yang memiliki

kewenangan diskresioner, atau dari Kejaksaan;

(d). Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian

diluar sistem Peradilan Pidana Anak.

2). Kriteria kasus :

Model Restorative Justice (R.J)

Pra SyaratRJ

Musyawarah Pemulihan

KEPUTUSAN

Syarat-syarat Keputusan

Pihak-pihak:1. Korban dan keluarga2. Pelaku dan keluarga3. Wakil masyarakat

KriteriaKasus

Tempat pelaksanaan

Dua Kategori Kasus

Unsur pendukung

Page 69: Kekerasan Terhadap Anak

69

(a). Bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan

orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas jalan;

(b). Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa

manusia, luka berat atau cacat seumur hidup;

(c). Kenakalan anak tersebut bukan merupakan kejahatan terhadap

kesusilaan yang serius menyangkut kehormatan.

3). Dua kategori kasus

(a). Kasus kenakalan anak yang telah bersentuhan dengan sistem

peradilan pidana;

(b). Kasus kenakalan anak yang belum bersentuhan dengan sistem

peradilan pidana.

4). Metode penyelesaian musyawarah pemulihan

(a). Sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah melembaga

dalam masyarakat;

(b). Dapat mengakomodasikan keterlibatan masyarakat atau pihak

ketiga lainnya dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan

pelaku);

(c). Tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah

untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah

diakibatkan oleh peristiwa kenakalan anak tersebut.

5). Pihak-pihak yang dilibatkan dalam musyawarah pemulihan:

(a). Korban dan keluarga korban

Page 70: Kekerasan Terhadap Anak

70

(a). Penting karena dalam sistem peradilan pidana, korban

kurang dilibatkan padahal ia adalah bagian dari konflik;

(b). Suara atau kepentingan korban penting untuk di dengar dan

merupakan bagian dari putusan yang akan diambil;

(c). Keluarga korban perlu dilibatkan sebab umumnya dalam

masyarakat Indonesia, konflik pidana sering menjadi

persoalan keluarga, apalagi bila korban masih dibawah

umur.

(b). Pelaku dan keluarga pelaku

(a). Pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan;

(b). Keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih

disebabkan karena usia pelaku yang belum dewasa (anak);

(c). Pelibatan keluarga pelaku juga dipandang sangat penting,

karena keluarga sangat mungkin menjadi bagian dari

kesepakatan dalam penyelesaian seperti halnya pembayaran

ganti rugi.

(c). Wakil masyarakat

(a). Untuk mewakili lingkungan dimana peristiwa pidana

tersebut terjadi;

(b). Agar kepentingan-kepentingan yang bersifat publik

diharapkan tetap dapat terwakili dalam pengambilan

keputusan.

Page 71: Kekerasan Terhadap Anak

71

(d). Wakil masyarakat tersebut, haruslah memenuhi kriteria

(a). Tokoh atau pihak yang dianggap tokoh masyarakat

setempat (memiliki legitimasi sebagai wakil masyarakat);

(b). Tidak memiliki kepentingan dalam kasus yang dihadapi

(dapat bertindak impartial);

(c). Memperhatikan keseimbangan gender agar aspirasi

perempuan senantiasa terwakili dalam pengambilan

keputusan.

6). Tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan

(a). Musyawarah pemulihan dapat dilakukan pada tingkat Rukun warga

(RW) di lingkungan dimana kasus kenakalan anak tersebut terjadi

(Tempat Kejadian Perkara/ TKP);

(b). Di Sekolah, khususnya dalam hal kenakalan anak yang terjadi di

sekolah dan baik pelaku maupun korbannya berasal dari sekolah

dimaksud.

7). Unsur pendukung

(a). Pada tahap awal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dibutuhkan

sebagai inisiator untuk mendorong penggunaan musyawarah

pemulihan sebagai alternatif penyelesaian;

(b). Pada tahap awal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga

dibutuhkan sebagai konsultan dan fasilitator dalam tahap

pelaksanaan musyawarah pemulihan.

Page 72: Kekerasan Terhadap Anak

72

8). Syarat-syarat keputusan hasil musyawarah pemulihan

(a). Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri dengan tanpa

memerlukan bantuan instansi penegak hukum dalam sistem

peradilan pidana;

(b). Putusan tidak bersifat punitif, tetapi lebih merupakan solusi dengan

memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, korban, dan

masyarakat, seperti misalnya berupa restitusi (ganti rugi) atau

community service order (kewajiban kerja sosial);

(c). Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang

terlibat dan dapat dilaksanakan.

(d). Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh

masyarakat dan atau dengan bantuan LSM sebagai inisiator.

Dengan menggunakan konsep ini, hasil yang diharapkan adalah

berkurangnya jumlah anak-anak yang terlibat proses peradilan pidana

menghapuskan stigma/cap negatif dan mengembalikan anak menjadi manusia

normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari, pelaku pidana

anak dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi kesalahannya,

mengurangi beban kerja aparat penegak hukum, menghemat keuangan Negara,

tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban,

korban cepat mendapat ganti kerugian, memberdayakan orang tua dan masyarakat

dalam mengatasi kenakalan anak dan mengintegrasikan kembali anak ke dalam

masyarakat.

Page 73: Kekerasan Terhadap Anak

73

B. Penerapan Konsep Restorative Justice Di Berbagai Negara

Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan

pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak

pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana

tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa “Dalam

menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing

Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial,

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum

lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan

suasana kekeluargaan tetap terpelihara.

Sedangkan Restorative Justice dalam hukum Islam tercantum dalam kitab

Jinayat. Pada masa penjajahan Belanda amat terlarang membaca kitab ini pada

sekolah agama oleh yang berwajib. Barang siapa yang berani mengajarkannya

kemungkinan sang guru digulkan, karena dipandang berbahaya. Oleh karena itu

orang cerdik/pandai di Indonesia ahli hukumnya tidak kenal dengan hukum

pidana dalam Islam atau Jinayaat.35

Jinayaat itu meliputi beberapa pelanggaran yang dibuat oleh pesakitan,

masing-masing mempunyai tata hukum tertentu. Sebab itu soal Jinayaat meliputi

hukum dalam perkara:36

35 Kasim Badri, Hukum Pidana Islam, Ramadhani, Semarang, 1958, hlm. 11

36Ibid, hlm. 12.

Page 74: Kekerasan Terhadap Anak

74

1. Qisash, yaitu pembalasan yang setimpal dengan perbuatan;2. Diyaat, yaitu hukuman denda;3. Hudud, yaitu hukuman dera, rajam, penjara dan dibuang ke luar

negeri atas orang yang berbuat pelanggaran tertentu.

Diyaat adalah bentuk pluralis, bentuk singularisnya adalah Diyah, Syarbini

Chatib merumuskan diyah sebagai:

Harta yang wajib oleh karena kejahatan atas orang merdeka mengenai jiwa

ataupun yang lain gantinya.37

Menurut Ibnu Rusjd:38

“Para ulama bermufakat bahwa Diyah diwajibkan dalam pembunuhan yang dilakukan oleh karena kesalahan (chataan). Dalam pembunuhan oleh karena kesengajaan, mereka bersatu pendapat, jika hal itu dilakukan oleh orang yang tidak mukallaf, seperti orang gila dan anak-anak kecil.

Dari pendapat para pakar hukum Islam tersebut di atas dapat ditarik

kesimpulan, bila anak-anak melakukan tindak pidana, sekalipun perkaranya berat

dan disengaja seperti pembunuhan, dapat diselesaikan secara damai dengan jalan

membayar diyah.

Di Australia penanganan tindak pidana dengan pelaku anak dapat

dilakukan dengan cara:39

1). Police Cautions;

2). Juvenile Conference.

Police Cautionsberupa:1. Peringatan yang diberikan oleh petugas kepolisian kepada anak yang

melakukan kejahatan ringan/pelanggaran;

37 Syarbini Chatib, terpetik dalam Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut Adjaran Ahlussunah, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 309.

38Ibnu Rusjd, Terpetik dalam Haliman, Ibid.39 Widiati Wulandari, Restorative Justice, Makalah Pelatihan Restorative Justice, LPA –

UNICEF, Bandung, 2003, hlm. 3.

Page 75: Kekerasan Terhadap Anak

75

2. Peringatan ini biasanya diberikan di tempat kejadian, yang intinya polisi memberitahu anak bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan salah dan berdampak negatif;

3. Selanjutnya polisi memperingatkan anak tersebut untuk tidak mengulangi kesalahannya dan polisi berhak menyuruh anak tersebut untuk pergi dari tempat kejadian perkara/meninggalkan area tertentu;

4. Dalam kasus yang lebih serius polisi dapat memanggil anak beserta orang tua/walinya untuk datang ke kantor polisi untuk di dengarketerangannya dan selanjutnya memperoleh peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Juvenile Conferenceberupa:

1. Pelaksanaan Juvenile Conference berbeda di tiap-tiap negara bagian. Di beberapa negara pertemuan diselenggarakan oleh Departemen Of Social Welfare atau oleh organisasi keagamaan/gereja;

2. Pelaku tindak pidana anak diberi kesempatan untuk memilih mengikuti Juvenile Conferencing atau mengikuti proses peradilan di pengadilan anak;

3. Dalam pertemuan, pelaku tindak pidana anak hadir bersama-sama dengan orang tua, teman dekat atau saudaranya;

4. Korban juga dapat didampingi support group-nya;5. Pertemuan yang diselenggarakan oleh polisi dihadiri oleh perwakilan polisi,

sedangkan pertemuan yang diselenggarakan oleh Departemen Of Juvenile Justice dihadiri oleh perwakilannya;

6. Pertemuan dimulai dengan pelaku anak diminta untuk menceritakan kejadian dan alasan dilakukan tindak pidana;

7. Selanjutnya korban diminta untuk menceritakan kejadian serta akibat yang terjadi dan kerugian yang diderita;

8. Pelaksanaan pertemuan berhak untuk bertanya dan memberikan komentar atas pernyataan masing-masing pihak;

9. Pertanyaan dan pernyataan yang diajukan kepada pelaku anak ditunjukan untuk mengetahui apakah pelaku menyadari kesalahannya dan menyadarinya;

10. Pelaku anak didorong agar berempati pada korban dan selanjutnya meminta maaf kepada korban;

11. Pelaksana pertemuan menanyakan kepada korban apa yang diharapkan oleh korban;

12. Pelaksana pertemuan menanyakan kepada pelaku anak, apakah ia bersedia memenuhi permintaan korban;

13. Apabila bentuk kompensasi/sanksi telah disepakati selanjutnya dibuat rencana pelaksanaannya.

Upaya-upaya rehabilitasi akan lebih mantap apabila dilengkapi dengan

tindakan-tindakan positif yang lebih dititikberatkan kepada kesadaran sosial yang

menjadi embrio mental yang sehat. Anak-anak delinkuen yang sudah memiliki

Page 76: Kekerasan Terhadap Anak

76

kesehatan mental akan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kondisi

mental yang demikian akan menimbulkan rasa solidaritas sosial yang kokoh. Di

samping itu tumbuh pula rasa interrelasi dan interdependen antara anak delinkuen

dengan anggota masyarakat yang lain. Upaya resosialisasi anak delinkuen sangat

kompleks arti dan maksudnya daripada sekedar rehabilitasi. Resosialisasi berarti

berhadapan langsung dengan masyarakat dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Dalam hukum Islam terhadap semua jenis kejahatan, seperti delik

perlukaan, diperhalus dengan kemungkinan penggantian bentuk pidananya dengan

denda (diyat) yang dikaitkan dengan konsep pemaafan. Setiap korban dan

keluarga korban, lebih dan bahkan sangat dianjurkan untuk memaafkan daripada

menuntut qishas. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Asy Syura’ ayat

(40):

“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim.”

Begitu damai, begitu indah, dan sangat bermanfaat ajaran Nabi

Muhammad apabila dapat dijalankan dengan baik dan benar oleh umatnya karena

memang Rasulullah diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak

manusia.

Hukum Islam sebagaimana termaktub di atas sangat mendukung sebagai

alternatif dan upaya penanganan anak konflik hukum (AKH) melalui Restorative

Justice, sebagaimana prinsip ultimum remidium, dan the last resort untuk

penanganan anak berhadapan dengan hukum, sedang berkembang pemilihan

untuk mereform UU No. 3/1997 yang memasukkan konsep Restorative Justice

Page 77: Kekerasan Terhadap Anak

77

pada anak-anak, konsep Restorative Justice ini, secara substansial bisa

dipergunakan dalam skema maatregel yang dijatuhkan hakim. Tentu RUU KUHP

tajam dalam mengelaborasi dan defalisasi bentuk-bentuk skema Restorative

Justice untuk merestorasi korban. Beberapa bentuk tindakan sudah masuk dalam

RUU KUHP, seperti Pasal 122 ayat (2) RUU KUHP, yang memasukkan (g)

perbaikan dari akibat tindak pidana; (h) rehabilitasi (korban tindak pidana); dan (i)

perawatan (korban) di lembaga. Namun, tidak dijelaskan penggunaannya secara

kumulatif atau alternatif. Disamping itu, syarat-syarat materil apa pelaku bisa

dibebaskan dari tanggung jawab pidana, misalnya adanya pemaafan dari korban

atau keluarganya, atau rekomendasi dari Laporan Penelitian Kemasyarakatan

(LITMAS) dari BAPAS.

Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan kepada anak yang

berkonflik dengan hukum perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

1). Dibutuhkan kerjasama antara aparat penegak hukum, instansi pemerintah

maupun organisasi masyarakat sipil untuk mengetahui faktor pendorong anak

melakukan tindak pidana serta dampak psikologis terhadap anak dalam

menjalankan hukuman yang diberikan;

2). Perlu dilakukan sosialisasi hak-hak anak kepada instansi pemerintah, aparat

penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memberikan perlindungan

terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum;

3). Mengimplementasikan pasal-pasal konvensi hak anak dari UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak di dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam

proses pengadilan;

Page 78: Kekerasan Terhadap Anak

78

4). Perlu dilakukan upaya-upaya diskresi (tidak dilanjutkan dalam proses

persidangan) oleh aparat penegak hukum bagi kasus-kasus Petty Crime

(ringan) yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum;

5). Perlu Lembaga Pemasyarakatan khusus untuk anak yang dapat memberikan

kebutuhan anak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya;

6). Perlu segera mendidik penegak hukum yang ahli dan memahami tentang

anak, seperti, Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara, semuanya berlatarbelakang

dibidang hukum anak.

Kenakalan anak ini, menanganinya haruslah hati–hati, kalau salah

menangani bisa berakibat fatal. Masalah ini sudah menjadi fenomena dunia,

dimana pemenjaraan itu merupakan hal luar biasa. Dimana anak yang sudah

pernah masuk penjara rentan menjadi residivis. Penanganan pemenjaraan

merupakan upaya terakhir. Anak merasakan kekerasan selama proses

pemenjaraan.

Anak Konflik Hukum (AKH) adalah stigma dari masyarakat, stigma dari

masyarakat menjadi anak penjahat, anak pidana, bahwa anak setelah keluar dari

penjara mereka bingung untuk kemana. Masyarakat banyak menolak kehadiran

mantan AKH, keluarga tidak banyak yang menerima Napi anak. Persoalan lain

mereka rentan untuk dibujuk oleh para penjahat yang lebih senior, karena situasi

anak sudah terstigma maka anak sangat rentan terpengaruh. Dan memperburuk

situasi pemulihan AKH tersebut. Kota Bandung belum ada secara khusus

menangani AKH Pasca Pemidanaan. Masyarakat kita sangat banyak Pondok

Pesantren potensial untuk menangani AKH, hanya bagaimana memanfaatkan itu.

Page 79: Kekerasan Terhadap Anak

79

Minimal pemulihan pasca pemidanaan, bahwa Pontren dapat menjadi alternatif

untuk tempat AKH sebelum kembali ke masyarakat. Anak ini bisa menjadi sebuah

perhatian, mungkin selama ini luput dari perhatian kita, dimana sebenarnya

mereka butuh perhatian yang lebih baik.

Page 80: Kekerasan Terhadap Anak

BAB IV

RESTORATIVE JUSTICE DAN SISTEM PERADILAN

PIDANA

A. Pengaturan Restorative Justice dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak telah disahkan tanggal 30 Juni 2012, namun baru belaku 2 (dua)

tahun kemudian, sehingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih

diberlakukan sampai dengan 30 Juni 2014.

Upaya modernisasi, perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang pesat

membawa perubahan nilai dan norma di dalam masyarakat ikut merasakan

dampak itu. Kedua orang tua “dipaksa” bekerja semua menyebabkan

pengawasan kepada anak berkurang. Sementara kemajuan pembangunan

(Modernisasi) menciptakan hal-hal baru yang tidak semuanya positif bagi

perkembangan anak. Permainan “game” yang menyajikan bentuk kekerasan

berupa aneka jenis perkelahian mendidik anak berbudaya kekerasan. Akhirnya

anak menjadi suka menganiaya temannya sendiri sehingga menyebabkan

dirinya terjerat tidak pidana. Anak juga cepat “dewasa” karena menonton film

biru. Akibatnya ada yang mencabuli temannya sendiri.

Dari sinilah muncul anak dengan predikat yang tidak menyenangkan

yaitu Anak Konflik Hukum (AKH), karena tidak ada siapapun yang kebal

hukum, anak yang melanggar hukum pun harus berhadapan dengan hukum.

80

Page 81: Kekerasan Terhadap Anak

81

Persoalannya bagaimana menangani anak yang berkonflik dengan hukum?

Karena anak mempunyai hak tersendiri yang berbeda dari hak orang dewasa,

penanganannya pun harus berperspektif hak anak.40

Oleh karena itu perlu penanganan khusus untuk anak yang berkonflik

dengan hukum. Persoalannya adalah apakah Undang-undang untuk menangani

anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga memahami permasalahan-

permasalahan anak yang berprilaku menyimpang? Apakah tersedia

infrastruktur yang memadai untuk menangani anak yang berkonflik dengan

hukum? Apakah hak-hak anak terpenuhi ketika ia berkonflik dengan hukum

sehingga diperlakukan secara adil dan manusiawi?

Pertanyaan penting lainnya adalah apakah ada satu sistem penanganan

anak yang melakukan pelanggaran hukum ditangani dengan tanpa melalui

proses pengadilan tetapi ditangani oleh tokoh masyarakat dalam menyadarkan

anak atas pelanggaran yang diperbuatnya.

Uraian di atas perlu kita diskusikan dan dibahas bersama agar anak

yang berkonflik dengan hukum tetap memiliki martabat dan harga diri serta

penyelesaiannya melalui cara-cara yang manusiawi sehingga tidak cenderung

mendorong anak menjadi penjahat profesional.41

Menurut H. Sofyan Farid Lembah, Komisioner Penguatan

Kelembagaan dan Kerjasama Antar Lembaga, Komnas Perlindungan Anak,

perlu dilakukan, akan tetapi saat ini ada beberapa aspek yang menjadi

40 Fathuddin Muchtar, Situasi Anak Yang berkonflik dengan hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006, hlm.61.

41 Hadi Utomo, Pola Advokasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Laha, Bandung,2002.

Page 82: Kekerasan Terhadap Anak

82

kelemahan dalam penerapan Restorative Justice terutama berkaitan dengan

penegakan hukumnya, antara lain42:

Aspek Hukum:

1. “Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak masih belum tegas tentang pelarangan pidana penjara anak. Lapas Anak bukanlah tempat yang layak bagi anak berhadapan dengan hukum sekalipun;

2. Perubahan KUHP hingga sekarang belum tuntas dilakukan perubahan terutama menyangkut soal pasal-pasal pemerkosaan dan pencabulan yang masih lemah dan bias gender dan bias PUHA (Pengarustamaan Perlindungan Hak Anak).

Aspek Penegak Hukum:

Pihak Kepolisian

1. belum sepenuhnya percaya diri menggunakan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum;

2. Pihak Kepolisian baik di jajaran POLDA maupun Polres hingga Polsek belum membentuk Kelompok Kerja Penanganan anak berhadapan dengan hukum dan kurang melakukan sosialisasi internal;

Pihak Kejaksaan

1. Kejaksaan Tinggi kurang mengefektifkan bimbingan dan pengawasan jalannya penuntutan terhadap anak berhadapan dengan hukum;

2. Pihak Kejaksaan belum mengefektifkan kelompok Kerja Penanganan anak berhadapan dengan hukum kurang melakukan sosialisasi internal soal anak berhadapan dengan hukum;

Pihak Kanwil Hukum dan HAM

1. kurang melakukan diskusi rutin dan pelatihan serta sosialisasi internal soal penanganan anak berhadapan dengan hukum;

2. Pihak Kakanwil Hukum & HAM perlu menetapkan kebijakan Pelayanan, Pembinaan, pembimbingan dan Perlindungan anak berhadapan dengan hukum;

3. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum menerbitkan SE. & SOP penanganan anak berhadapan dengan hukum dengan Keadilan Restoratif;

4. Pihak Kanwil Hukum dan HAM harus lebih mengefektifkan lagi pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya;

42 http://komnaspa.wordpress.com/2012/04/05/quo-vadis-implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/

Page 83: Kekerasan Terhadap Anak

83

5. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum membentuk Kelompok Kerja penanganan anak berhadapan dengan hukum;

6. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan terus kualitas pelayanan, penelitian kemasyarakatan, pembimbingan dan pengawasan serta pendampingan terhadap anak berhadapan dengan hukum yang diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care);

7. Pihak Kanwil Hukum Dan HAM perlu meningkatkan kualitas perlindungan, pelayanan dan pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di RUTAN dan Lembaga Pemasyarakatan (LP);

8. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu mengembangkan PUSDATIN tentang Data dan Registrasi Anak Didik Pemasyarakatan, tahanan anak dan klien balai kemasyarakatan;

9. Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum optimal melakukan pelatihan peningkatan kemampuan petugas Balai Kemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan Anak tentang Diversi dan Keadilan Restoratif;

10. Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan penyediaan Sumberdaya Manusia, sarana dan prasarana untuk pelayanan pemenuhan hak anak berhadapan dengan hukum;

Pihak Dinsos

1. Belum menyiapkan pekerja sosial dan pendamping psikososial dalam pelayanan masalah sosial anak berhadapan dengan hukum bersertivikasi di Sulteng;

2. Pihak Dinsos belum optimal mendorong & memperkuat peran keluarga, masyarakat serta LSM untuk peduli anak berhadapan dengan hukum;

3. Pihak Dinsos belum menyusun Kebijakan, panduan dan pedoman SOP Perlindungan & Rehabilitasi Sosial penanganan anak berhadapan dengan hukum;

4. Pihak Dinsos belum membentuk POKJA penanganan anak berhadapan dengan hukum dan masih kurangnya sosialisasi internal;

5. Pihak Dinsos belum optimal memfasilitasi penjangkauan kasus anak berhadapan dengan hukum;

6. Pihak Dinsos belum optimal melakukan advokasi sosial agar terciptanya diversi penyelesaian kasus anak berhadapan dengan hukum;

7. Pihak Dinsos kurang berkoordinasi dengan BAPAS dalam memfasilitasi pendampingan psikososial selama proses peradilan sampai reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial;

8. Pihak Dinsos belum mensosialisasikan dan mengembangkan model berbasis institusi, keluarga dan masyarakat;

9. Pihak Dinsos belum membentuk Komite Perlindungan & Rehabilitasi Sosial anak berhadapan dengan hukum;

Page 84: Kekerasan Terhadap Anak

84

Pihak BPPKB

1. Belum mempunyai rumusan kebijakan penanganan anak berhadapan dengan hukum termasuk pembuatan Panduan & Pedoman SOP penanganan anak berhadapan dengan hukum;

2. Pihak BPPKB belum optimal melakukan koordinasi, sinkronisasi, sosialisasi, advokasi dan fasilitasi, termasuk mendorong peran serta masyarakat dalam penanganan anak berhadapan dengan hukum;

3. Pihak BPPKB belum membentuk kelompok kerja penanganan anak berhadapan dengan hukum;

4. Pihak BPPKB belum optimal melakukan pelatihan-pelatihan, sosialisasi internal;

5. Pihak BPPKB belum mengembangkan mekanisme pemantauan, analisis, evaluasi dan system pelaporan;

Pihak Dikjar

1. Belum menetapkan kebijakan perlindungan anak berhadapan dengan hukum untuk memperoleh pendidikan dan alternative layanan pendidikan yang dibutuhkan anak berhadapan dengan hukum melalui pendidikan Formal, Nonformal dan Informal;

2. Pihak Dikjar belum memfasilitasi pendidikan anak berhadapan dengan hukum di dalam dan di luar lembaga yang menyelenggarakan Kesejahteraan sosial, LP Anak dan Rutan;

3. Pihak Dikjar belum mengembangkan model pendidikan anak berhadapan dengan hukum di daerah Khusus;

4. Pihak Dikjar belum menyediakan sarana dan prasarana dan tenaga untuk layanan pendidikan anak berhadapan dengan hukum;

5. Pihak Dikjar belum mengembangkan model pelatihan untuk petugas & Tenaga pendidik dalam pendidikan anak berhadapan dengan hukum;

6. Pihak Dikjar kurang berkoordinasi para pihak berkaitan dengan peserta didik yang diduga melakukan tindak pidana untuk tetap mengikuti pendidikan;

Pihak Dinkes

1. Pihak Dinkes belum mempunyai kebijakan penetapan Standard Pelayanan Kesehatan Anak di LAPAS dan FUTAN;

2. Pihak Dinkes perlu meningkatkan kualitas pembinaan kesehatan anak melalui pelayanan di Tingkat Dasar di Puskesmas dan pelayanan rujukan di Rumah Sakit;

3. Pihak Dinkes belum optimal menyediakan biaya pengobatan melalui JAMKESMAS bagi anak berhadapan dengan hukum yang terdaftar sebagai keluarga miskin dan anak berhadapan dengan hukum yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan terlantar atas rekomendasi Dinsos setempat.

Page 85: Kekerasan Terhadap Anak

85

Pihak Kanwil DEPAG

1. Pihak Kanwil DEPAG belum mengembangkan dan menetapkan kebijakan perlindungan anak berhadapan dengan hukum untuk lingkungan pendidikan di bawah DEPAG;

2. Pihak Kanwil belum menetapkan kebijakan alternative pelayanan pendidikan agama yang dibutuhkan anak berhadapan dengan hukumdalam bentuk formal, non formal dan informal;

3. Pihak Kanwil Agama belum mengembangkan model pencegahan tidak kekerasan terhadap siswa selama dalam proses pendidikan di lingkungan Depag yang dapat mengakibatkan siswa melakukan tindak pelanggaran tata tertib sekolah atau tindak pelanggaran hukum;

Aspek Sarana dan Prasarana:

1. Di jajaranPolres di kabupaten/Kota, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan Ruang Khusus Pemeriksaan untuk Perempuan dan Anak belum seluruhnya tersedia;

2. Pusat-pusat Penanganan Trauma, Rumah Aman dan Shelter atau Rumah Singgah belum tersedia di 11 kabupaten/kota;

3. Belum tersedianya Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di Sulawesi Tengah sebagai alternatif pengganti Lapas Anak yang lebih ramah anak;

4. Belum tersedianya lahan untuk pembangunan RPSA di Sulawesi Tengah.

Aspek Masyarakat:

1. Masih adanya persepsi negative masyarakat terhadap anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kejahatan yang tidak bisa membedakan dengan kenakalan anak/remaja;

2. Kesadaran masyarakat kurang mendukung reintegrasi, reunifikasi keluarga dan rehabilitasi sosial bagi anak berhadapan dengan hukum;

3. Pengucilan dan stigmatisasi atau labelisasi pelaku kejahatan terhadap anak berhadapan dengan hukummeski telah menjalani hukuman atau dijalaninya masa bimbingan lanjut (after care).

Aspek Budaya Masyarakat:

1. Belum tergalinya model pembinaan berbasis kearifan lokal dan budaya masyarakat;

2. Belum adanya model pembinaan anak berhadapan dengan hukumdengan pendekatan budi pekerti dan keagamaan.

Disamping aspek kesadaran hukum, ada aspek lain yang membimbing

kaum remaja untuk dapat menjadi anggota masyarakat dengan perilaku yang

Page 86: Kekerasan Terhadap Anak

86

positif. Internalisasi nilai-nilai kaidah sosial dan internalisasi nilai-nilai norma

agama dapat mendidik kaum remaja memiliki rasa tanggung jawab

kemasyarakatan dan memiliki penghayatan serta perilaku yang sesuai dengan

perintah agama, sedangkan terhadap larangan agama yang dianutnya tetap

meninggalkan. Perspektif ini akan mampu memberi sumbangan positif bagi

terwujudnya kehidupan sosial serta lingkungan yang sehat secara material

maupun secara moral/spiritual.

Ditinjau dari aspek sosiologis, anak remaja dituntut secara moral

memiliki rasa solidaritas sosial yang tebal sehingga mereka merasa ikut

memiliki kehidupan sosial dan ikut bertanggung jawab atas keamanan,

ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian dalam kelangsungan hidup kelompok

sosialnya. Pencapaian kondisi sosial ini penting sekali terutama dalam rangka

upaya dasar melakukan prevensi (pencegahan) dan penanggulangan terhadap

kenakalan remaja.

Tindakan prevensi (pencegahan) tersebut bermanfaat besar dalam

upaya menindakan problem sosial, minimal mengurangi secara kualitatif dan

kuantitatif problem sosial yang sering timbul di dalam masyarakat. Demikian

pula keberadaan norma-norma agama, baik agama samawi maupun agama non

samawi, memiliki korelasi relevan dengan adanya langkah-langkah positif di

dalam membina dan meluruskan perkembangan mental anak remaja. Juga

dalam mengupayakan terciptanya kaum remaja yang sehat dan utuh, baik

jasmani maupun rohaninya.

Page 87: Kekerasan Terhadap Anak

87

Langkah-langkah positif tersebut memerlukan partisipasi banyak

pihak agar manfaat maksimal dapat dicapai. Upaya preventif dan upaya-upaya

lain yang relevan perlu keikutsertaan masyarakat agar penyebarluasannya

dapat mencapai sebagian terbesar anggota masyarakat, khususnya anak-anak

remaja. Dalam lingkungan keluarga, tugas pembinaan dan pembentukan

kondisi yang berdampak positif bagi perkembangan mental anak sebagian

besar menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Kondisi intern keluarga yang

negatif atau tidak harmonis akan merusak perkembangan mental anak remaja,

terutama broken home dan quasi broken home dalam segala bentuk dan

jenisnya menghambat pertumbuhan mental anak remaja. Oleh karena itu

pembentukan kondisi yang baik dalam kehidupan intern keluarga seyogianya

diwujudkan sedini mungkin.43

B. Restorative Justice Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di

Indonesia

Nasib anak-anak di Indonesia maupun di Negara lain di dunia, kini

cenderung kurang menguntungkan. Padahal seharusnya masa kanak-kanak

penuh keceriaan, bermain dalam terangnya sinar matahari. Bukannya bermain

dalam mimpi yang menakutkan, bersumber dari kegelapan jiwa lantaran kian

kompleksnya persoalan anak-anak.

Menurut Pusdatin Komnas Perlindungan Anak (PA) Indonesia, selama

2005 dilaporkan terjadi 736 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah itu,

327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara

43Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.6-7.

Page 88: Kekerasan Terhadap Anak

88

fisik, 176 kasus kekerasan psikis. Sedangkan jumlah kasus penelantaran anak

sebanyak 130 kasus.

Hasil konsultasi anak tentang kekerasan terhadap anak di 18 Provinsi

dan nasional, baru-baru ini mengungkapkan bahwa penganiayaan dan

kekerasan terhadap anak dan perempuan justru dilakukan oleh orang-orang

terdekat anak, baik di sekolah, rumah, di institusi masyarakat dan Negara.

Selain itu, terdapat 3 juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya.

Setidaknya 30 % dari para pekerja seks perempuan di Indonesia berusia di

bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia 10 tahun dipaksa terlibat dalam

pelacuran. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang

diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial

di Indonesia dan luar negeri.

Sekitar 4.000 hingga 5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan,

lembaga rehabilitasi dan penjara. 84% dari anak-anak yang dihukum ini,

ditahan bersama penjahat dewasa. 80% lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan

rumah tahanan (Rutan) di Indonesia, tingkat hunian melebihi kapasitas

sehingga hunian Lapas mencapai 40% di atas kapasitas yang tersedia.

Dari aspek pendidikan, 1,8 juta anak SD berusia 7 sampai dengan 12

tahun, 4,8 juta anak usia 13 sampai dengan 15 tahun, tidak bersekolah. 26 juta

anak usia SD putus sekolah. Jumlah anak di atas 10 tahun yang tergolong buta

huruf saat ini masih berjumlah 16 juta orang.

Berdasarkan catatan organisasi sedunia WHO, setiap tahunnya konon

ada 10 juta anak-anak di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai

Page 89: Kekerasan Terhadap Anak

89

usia lima tahun. Selain itu, ada lebih dari 150 juta orang menderita kurang

bahan pangan.44

Menurut Li Jong Wuk (Sekjen WHO):45

“Ada tujuh juta anak-anak di bawah usia lima tahun meninggal, karena mengidap lima penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan diobati yakni TBC, diare, malaria, batuk berdarah, dan kekurangan pangan”.

WHO melaporkan, virus Aids selain dari menjadi faktor utama

penyebab anak-anak kehilangan orang tua, juga menyebabkan kematian 4,5

juta di dunia dan satu setengah juta anak lainnya tengah mengidap penyakit

tersebut. Di Negara-negara miskin, anak-anak lahir dengan harapan hidup

yang singkat. Rata-rata harapan hidup rakyat Negara miskin ialah 38 tahun,

sebaliknya di 24 negara kaya, rata-rata harapan hidupnya adalah 70 tahun.

Namun tak banyak yang mengetahui bahwa Provinsi Jawa Barat

belum lama ini telah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat

No. 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak. Sebuah Perda yang diharapkan

ampuh untuk menjawab persoalan perlindungan anak di Provinsi yang kita

cintai ini.

Dapat dikatakan Jawa Barat merupakan Provinsi kedua di Indonesia

(setelah Jawa Timur) yang memiliki Perda Perlindungan Anak. UU

Perlindungan Anak sendiri baru dimiliki Indonesia empat tahun yang lalu

dengan lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, kemajuan lahirnya Perda, dengan demikian patut

44 Achmad Setiyaji, Masalah Anak dalam Pers, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006, hlm. 16.45 Li Jong Wuk terpetik dalam ibid, hlm. 16.

Page 90: Kekerasan Terhadap Anak

90

mendapatkan apresiasi sebagai sebuah langkah awal komitmen Jawa Barat

untuk mengedepankan upaya melindungi anak, ada tiga hal yang menjadi

pertimbangan bagi Jawa Barat dalam membentuk Perda ini, yaitu: 46

1. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri

anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, serta anak

sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus cita-cita bangsa.

Sebagai insan yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara

pada masa depan, anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar, baik secara

wajar, baik secara fisik, mental, maupun sosial ;

2. Di Jawa Barat masih banyak anak yang perlu mendapat perlindungan dari

berbagai bentuk tindak kekerasan, eksploitasi dan ketelantaran;

3. Bahwa Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan orang tua

berkewajiban serta bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak.

Melalui peraturan daerah ini dapat lebih mengimplementasikan hak-

hak anak serta perlindungannya sehingga dapat dilaksanakan lebih

komprehensif, terintegrasi dan berkesinambungan baik unsur pemerintah,

keluarga, masyarakat serta lembaga-lembaga yang terkait dengan masalah

anak.

Menurut Iskandar Kamil:47

46 R. Valentina Sagala, Perda Perlindungan Anak Jabar, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006, hlm. 26.

47 Iskandar Kamil terpetik dalam Fathuddin Muchtar, Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta,2006, hlm.100.

Page 91: Kekerasan Terhadap Anak

91

“Problematika yang berkaitan dengan masalah anak mencakup spektrum yang sangat luas sejak pra embrio, dalam kandungan, kelahiran, kesejahteraan lahir bathin, kesehatan pendidikan di rumah, sekolah dan masyarakat. Aspek-aspek kehidupan tersebut diharapkan dapat menimbulkan anak menjadi manusia seutuhnya yang ideal”.

C. Upaya yang Dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum agar Pendekatan

Restorative Justice dapat Diterapkan

Upaya yang perlu disosialisasikan dan penanganan anak konflik

hukum (Anak Konflik Hukum) melalui model Restorative Justice , 20 tahun

lalu konsep Restorative Justice telah digulirkan sebagai alternatif penanganan

perkara pidana dengan pelaku anak. Hal tersebut mendasari nilai-nilai di

dalam konvensi hak anak yaitu pendekatan kesejahteraan, dimana para

pelanggar usia muda sebisa mungkin dijauhkan dari proses penghukuman oleh

peradilan pidana.

Model Restorative Justice tidak menekankan penyeragaman dalam

konflik dalam bentuk dan proses penanganan kenakalan anak. Dengan

demikian setiap Negara yang telah menerapkan konsep ini, akan

menyesuaikan pada karakteristik sistem hukum Negara masing-masing.

Namun demikian, terdapat prinsip-prinsip umum yang menjadi acuan

dilaksanakannya model Restorative Justice, yaitu:

1. Keadilan membutuhkan orang-orang yang dapat bekerjasama dalam

memulihkan orang-orang yang telah menderita;

Page 92: Kekerasan Terhadap Anak

92

2. Yang terlihat secara langsung dan yang terkena kejahatan harus memiliki

kesempatan untuk berpartisipasi penuh untuk merespon jika dibutuhkan;

dan

3. Peraturan pemerintah adalah untuk melindungi kepentingan publik,

masyarakat yang membangun dan memelihara perdamaian.

Selain adanya prinsip-prinsip tersebut, model ini menggambarkan

karakteristik yang meliputi:

1. Membuat pelanggaran bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian

yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas

dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;

3. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah dan teman

sebaya;

4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah

tersebut;

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi

sosial.

Page 93: Kekerasan Terhadap Anak

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan penelitian, maka kesimpulan yang

dapat diambil adalah:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah

meletakkan dasar perlakuan dalam menghadapi dan menyelesaikan tindak

pidana yang dilakukan oleh anak, untuk lebih melindungi dan mengayomi

anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain

itu, memberikan kesempatan pada anak agar melalui pembinaan akan

memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri,

bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat dan

bangsa. Namun belum menyentuh diversi yang menjawab prinsip dari

Restorative Justice. Restorative Jastice hanya dituangkan berdasarkan

Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkaman Agung Republik Indonesia,

Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik

Indonesia, Dan menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor : 166

A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :

B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor :

93

Page 94: Kekerasan Terhadap Anak

94

10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tentang

Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

2. Penerapan Restorative Justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum

dirasakan belum optimal karenapenanganannya terkesan sama dengan

orang dewasa yang mempunyai masalah hukum.Dalam perjalanannya

penanganan kasus anak masih tetap harus dikontrol dengan ketat karena

dalam kegiatannya masih sering terjadi pelanggaran atas hak-hak asasi

anak yang berhadapan hukum, antara lain karena:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) belum dapat

memberikan perlindungan khusus bagi anak

b) Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan dan

Undang-UndangKetentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, serta Undang-Undang pengadilan anak Nomer 3

Tahun 1997 tidak memberikan peluang bagi polisi, Jaksa dan

Hakimuntuk menggunakan kewenangan diskresi dalam perkara

anak dan.

c) Dasar hukumnya hanya berdasarkan Pasal 13 Keputusan Bersama

Mahkamah Agung Republik Indonesia,Jaksa Agung Republik

Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri

Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik

Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia,Nomor : 166

Page 95: Kekerasan Terhadap Anak

95

A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor :

B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009, Nomor :

10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009

Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

3. Upaya yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum agar pendekatan

Restorative Justice dapat diterapkan diantaranya adalah:

a. Kepolisian dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan

hukum agar mengedepankan kepentingan terbaik anak, mencari

alternatif penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan tumbuh

kembang anak serta seoptimal mungkin berupaya menjauhkan

anak dari proses peradilan formal.Hal ini sesuai dengan Pasal 42

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak.

b. Pengadilan Negeri perlu mengadakan ruang sidang khusus dan

ruang tunggu khusus untuk anak yang disidangkan.Hal ini sesuai

dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak.

c. Dibentuk lembaga pemasyarakatan khusus untuk anak yang

bermasalah dengan hukum, sehingga anak tidak disatukan dengan

narapidana dewasa.Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

d. Dilakukannya program kesejahteraan sosial anak melalui

penyediaan panti sosial dan RPSA serta pusat trauma. Bantuan

kepada anak korban kekerasan dan penelantaran berupa bantuan

Page 96: Kekerasan Terhadap Anak

96

pemenuhan kebutuhan dasar bagi anak dalam bentuk bantuan tunai

bersyarat khususnya anak dari keluarga miskin. Di samping itu

juga dibentuk kelompok-kelompok kerja perlindungan dan

rehabilitasi sosial ABH, dan lain-lain.Hal ini sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

B. Saran

Bertolak dari kesimpulan penelitian ini, maka saran atau rekomendasi

yang dapat peneliti berikan adalah:

1. Pembentukan Undang-Undang harus selalu berpijak kepada

nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang diharapkan dapat

mengatasi masalah anak yang berhadapan dengan hukum.

berdasarkan Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkamah Agung,

Jaksa Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum

dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik

Indonesia, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia,Nomor : 166

A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,

Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,

Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan

PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan

Dengan Hukum.

2. Pada dasarnya Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pengadilan anak belum memadai untuk dapat

Page 97: Kekerasan Terhadap Anak

97

memberikan perlindungan maksimal terhadap anak yang

menjalanai proses pidana baik selaku tersangka, terdakwa

maupun terpidana, antara lain karena dasar hukumnya hanya

Pasal 13 Keputusan Bersama Mahkamah Agung,Jaksa Agung

Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial Republik

Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor : 166

A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009,

Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02/2009,

Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan

PA/XII/2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan

Dengan Hukum.

3. Agar peraturan perundang-undangan dapat ditegakkan dengan

baik, hendaknya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim

petugas memasyarakatan) yang akan diangkat untuk

menangani perkara anak diseleksi terlebih dahulu dan dipilih

dari orang-orang yang betul-betulmempunyai minat, perhatian,

dedikasi dan memahami masalah-masalah anak, dan

selanjutnya diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai,

anak-anak yang terpaksa harus ditahan atau menjadi Warga

Binaan Pemasyarakatan hendaknya diberi hak pendidikan pada

sekolah umum terdekat di luar RUTAN/LAPAS, sehingga

Page 98: Kekerasan Terhadap Anak

98

anak-anak tersebut dapat berintegrasi dengan masyarakat dan

tidak putus sekolah dan setelah berlaku Undang-Undang

Nomor. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

polisi dapat mengajukan Diversi sesuai dengan pasal 20 bagi

polisi, pasal 42 bagi Penuntun Umum dan pasal 52 bagi

Hakim.

Page 99: Kekerasan Terhadap Anak

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo Jakarta 1985.

Bismar Siregar dan Mulayana W Kusuma, Hukum dan Hak-Hak Anak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan C.V Rajawali, Jakarta, 1986.

Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Elizabeth B Hurlock, terpetik dalam Milly Mildawati, Periode Anak-anak, Makalah Seminar Sehari, Bandung, 2006.

Kasim Badri, Hukum Pidana Islam, Ramadhani, Semarang, 1958.

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005.

Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988.

Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1988.

Soedarto terpetik dalam, Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.

Soedjono Dirdjosisworo, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, 1984.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, CV Rajawal, 1983.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Syarbini Chatib, terpetik dalam Haliman, Hukum Pidana Syariat Islam menurut Adjaran Ahlussunah, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.

Romli Atmasamita, Sistem Peradilan Pidana dan Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung, 1996.

Wagiati Soetedja, Hukum Pidana Anak, Rafika Aditama, Bandung, 2006.

Sumber Lain

Agustinus Pohan, Beberapa Catatan dari UU Pengadilan Anak, Restorasi, Laha-Bandung, 2004.

Achmad Setiyaji, Masalah Anak dalam Pers, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006.

99

Page 100: Kekerasan Terhadap Anak

100

Barda Nawawi Arief terpetik dalam Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana pada Korporasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, STHB, 2005.

Diah Sulastri, Vonis Bagi Anak bukan Hukuman, Pikiran Rakyat, 2004.

Distia Aviandari, Mengembalikan Hak-Hak yang Terampas Restorasi, LAHA Bandung edisi IV/Vol 1 2005.

D.S. Dewi, Model Restorative Justice, Seminar Peradilan Anak, UNPAD, Bandung, 2006.

Hadi Utomo, Pola Advokasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Laha, Bandung, 2002.

Harkristuti Harkrisnowo, Tindak kekerasan terhadap anak dan upaya Perlindungan Anak Indonesia suatu Tinjauan sosio-yuridis, majalah hakiki Surabaya, Volume 2 No.03/200.

Herti, Kebijakan Polri dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, Makalah Lokakarya, Jakarta, 2003.

Hesma Eryani, Anak-anak Juga Manusia, Lampung Post, 2006.

Fathuddin Muchtar, Situasi Anak Yang berkonflik dengan hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006.

Iskandar Kamil terpetik dalam Fathuddin Muchtar, Situasi Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Semarang, Samin, Yogyakarta, 2006.

Kompas, Segera Benahi Sistem Pengadilan Anak, 18 September 2003, Jakarta

Melani, Pembaharuan Undang-undang nomor 3 tahun 1997, Tentang pengadilan Anak dikaitkan dengan konsep Restorative Justice, Tesis, UNPAD, Bandung, 2004.

Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.

Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, UNICEF Indonesia, 2004.

Purnianti dan Mamik Sri Supatmi, Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,UNICEF Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2004.

Seto Mulyadi terpetik dalam Jufri Bulian Ababil, Raju yang Diburu dan Buruknya Peradilan Anak di Indonesia, Pondok Edukasi, 2006

Sri Sanituti Hariadi, Tindak Kekerasan terhadap anak, Majalah Hakiki, Surabaya, 2000.

Sulaiman Zuhdi Manik, Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Antara Hukum dan Perlindungan, Bandung, 2005.

Taufik Hidayat, Model Alternatif Penanganan Anak Konflik Hukum – 2006.

Page 101: Kekerasan Terhadap Anak

101

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan Anak, Sinar Grafik, Jakarta 2003.

UNICEF, Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta, 2004.

Rokiah BT Haji Ismail, Bentuk dan Dinamika Hubungan Sosial dalam Sistem Rehabilitasi di Institusi Pelayanan bagi Anak-anak di Malaysia, Pro-Jastita, 1994.

R. Valentina Sagala, Perda Perlindungan Anak Jabar, Pikiran Rakyat, Bandung, 2006.

Widiati Wulandari, Restorative Justice, Makalah Pelatihan Restorative Justice, LPA – UNICEF, Bandung, 2003.