kejahatan kehutanan kontemporer: studi kasus riau
DESCRIPTION
Presentation by Susanto Kurniawan, Jikalahari, Kejahatan kehutanan kontemporer: studi kasus Riau, Objective : Seminar Upaya Penegakan Hukum Terpadu dalam Memberantas Pembalakan Liar. 29 June 2010, JakartaTRANSCRIPT
Pendahuluan• Berdasarkan data Departemen Kehutanan dari 2004-2008 ada 2000 kasus
kehutanan dimana s/d 2007 kasus yang belum terselesaikan berjumlah 600kasus
• Selama 2007 dilaporkan 1.749 kasus dengan TSK 1.717 orang dan kasus yangselesai 1.260 kasus dengan BB yang disita 503.471m3 dan 405.828 kayu bulat
• Data Bareskrim sepanjang 2006 jumlah TP pembalakan liar yang ditangganimencapai 3.711 kasus dengan TSK 5.217 serta jumlah kasus selesai 2.407 kasusdengan BB 494.810 m3 kayu olahan
• Data Bareskrim Mabes Polri dari 116 perkara hasil OHL di Papua 29 perkaratelah di vonis PN namun 17 diantaranya di vonis bebas dan sisanya divonisringan
• Selama 2006-2008 Departemen Keuangan melaporkan uang negara yangberhasil diselamatkan sebesar Rp 209,7M (2006) dan Rp 83,3 M (2007) danhasil 2 tahun ini sebanding dengan 3,6% dari jumlah total uang negara yangtelah diselamatkan periode 2004-2008 oleh Kejaksaan (sumber:www.kejaksaan.org)
• Kerugian materil akibat maraknya aksi pembalakan liar (illegal logging)mencapai Rp 562 Triliun dimana sebanyak Rp 532 Triliun merupakan akumulasikerugian ekonomi akibat dampak tidak langsung illegal logging terhadapkerusakan lingkungan dan sebanyak Rp 30 Triliun merupakan kerugian negaraakibat hilangnya potensi pendapatan dari sector kehutanan
Problem?
• Definisi tidak secara tegasdijelaskan dalam UU peraturan yang adapadahal pengertian menjadi sangat pentinguntuk memberikan batasan terhadaptindakan-tindakan apa yang termasukkedalam lingkup Illegal logging.
(dalam aturan yang ada, mengenal istilah penebangan
kayu ilegal)
Total Kasus yang masuk di Pengadilan(2006)
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Total Kasus
Status 65% 35%
Unsur pasal-pasal krusial yang mengatur tentang PKI seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 50 UUK cendrung hanya dapat menjerat pelakulapangan
• Secara umum illegal logging mengandungmakna serangkaian pelanggaran yang terjadidi bidang kehutanan meliputi penebangan,pengangkutan, pengolahan hingga kegiatanjual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yangtidak sah atau bertentangan dengan aturanhukum yang berlaku, atau perbuatan yangdapat menimbulkan kerusakan hutan.
• Essensi yang penting dalam praktekpenebangan liar (illegal logging) ini adalahperusakan hutan yang akan berdampak padakerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi,maupun sosial budaya dan lingkungan.
Unsur pasal-pasal krusial yang mengatur tentangPenebangan Kayu Illegal seperti apa yangditentukan dalam Pasal 50 UUK cendrung hanyadapat menjerat pelaku lapangan
Contoh: Dari 155 kasus ilegallogging di tahun 2006, hanya 10yang diajukan ke pengadilan dandari jumlah tersebut 9 diantaranyadi vonis bebas (sumber: ICEL)
Trend 2000-an, kasus TP Kehutananyang dilimpahkan ke pengadilansebagian besar memiliki izinpengelolaan hutan.
Unsur penting dalam pidana kehutananadalah “unsur melawan hukum” artinyatindakan baru dapat dikenai sanksipidana jika jika “setiap orang”melakukan kegiatan menebang,mengangkut, mengolah danmemeanfaatkan hutan dilakukan secaramelawan hukum..
Terhadap Kasus RiauProvinsi Riau merupakan salah satu provinsi diIndonesia yang laju degradasi hutan akibatpembalakan liar/illegal loging tergolong tinggi(Disertasi Marissa Haque)
Selama kurun waktu 26 tahun (1982-2008) PropinsiRiau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 4,1Juta hectare. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam diProvinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 hektar)dan hingga 2008 hutan alam yang tersisa 2,3 jutahectare (28% dari luasan daratan Riau).
Dalam Kurun waktu tersebut provinsi Riau rata-ratasetiap tahun kehilangan hutan alam-nya seluas160.000 Hectare/tahun
0,00
100.000,00
200.000,00
300.000,00
400.000,00
500.000,00
600.000,00
700.000,00
800.000,00
900.000,00
1999-2000 2000-2002 2002-2004 2004-2005 2005-2007
Masyarakat Konsesi HTI-HPH-Kebun
40%
60%
59%
32% 39%
61%
177,525.65
843,070.05
41%
48%
68%
52%
827,817.11
246,984.31218,708.86
KenaPa Bisa TerJadi?1. Sistem pengelolaan hutan yang masih membuka
ruang terjadinya praktek -praktek pengrusakanhutan, disamping ekspansi perkebunan yang jugamarak terjadi di hutan alam, misalnya : dalampasal 28:2 UU 41/1999 Usaha pemanfaatanHutan Tanaman diutamakan dilaksanakan padahutan yang tidak produktif dalam rangka“mempertahankan hutan alam”. Penjelasan inimenunjukan juga bahwa dengan alasan tertentumenebang HA untuk pembangunan HTIdiperbolehkan..
2. Perbedaan supply dan demand dimana terjadikesenjangan akan kebutuhan bahan baku dan inimenjadi pemicu dari maraknya ilegal logging
Terhadap Kasus-kasus Lain
• Penggunaan peraturan perundangan sebagai acuan: Dalamhal penetapan kawasan lindung gambut/KLG dalamRTRWP, DepHut menganggap bahwa RTRWP tidak dapatsebagai acuan, karena padu-serasi antara TGHK danRTRWP belum dilakukan. Oleh karena itu seluruh ijin HTI diRiau, menurut DepHut, menggunakan acuan TGHK danbukan RTRWP. Hal ini membawa konsekuensi tuduhanpelanggaran peraturan-perundangan menjadi rancu –akibat ketidak-pastian acuan hukum.
• Perbedaan interpretasi mengenai kriteria hutan tidakproduktif yang dapat dilakukan pembangunan HTI bahwabeberapa konsesi HTI dibangun di dalam kawasan hutanproduksi yang masih produktif.
984,395
441,912
329,894
192,946
MoF MoF principal District heads No information
Industrial Timber Plantation Concession Riau, 2005
Total: 1,949,147 ha
572,232
57,032
50,160
338,773
235,757
122,870
73,390
122,123
156,864192,946
APP APRIL Not Know n
Industrial Timber Plantation Concession, 2005
Total: 1,949,147 ha
APP: 679,424 haAPRIL: 697,400 haNot Known 545,323 ha
TINDAK
PIDANA
SKEMA PROSES PERIZINAN TERHADAP KAITAN DENGAN ILEGAL LOGGING
MENEBANG
HUTAN DGN
IJIN
PROSES
SURAT IJIIN
YG SALAH
PROSES
SURAT IJIN
YG BENAR
PEMEGANG
IJIN DGN
PROSES YG
BENAR
PEMEGANG
IJIN DGN
PROSES YG
SALAH
TEBANG HUTAN
SESUAI
KETENTUAN
TEBANG
HUTAN DI
KAWASAN
LINDUNG
TEBANG
KAYU
LARANGAN
TEBANG HUTAN
SESUAI
KETENTUAN
TEBANG
HUTAN DI
KAWASAN
LINDUNG
TEBANG
KAYU
LARANGAN
TINDAK
PIDANA
UU RI NO 23 / 1997
PSL 41 (1)
PASAL 46 (1)
UU RI NO 41 / 1999
PASAL 50
AYAT (2)
AYAT (3) huruf a
JO 78 ayat (1), (14)
Sk 10.1/2000 6 Nop 2000
Sk 21/2001 31 Jan 2001
1. Memberi kewenangan Kepala Daerah menerbitkan IUPHHK-HT2. Kriteria areal hutan untuk IUPHHK-HT : Hutan Produksi tetap berupa tanah
kosong, padang alang-alang, semak belukar, tidak terdapat pohonberdiameter lebih dari 10 cm untuk semua jenis kayu dengan volume < 5 M3
/ ha3. Bagian-bagian yang masih bervegetasi hutan alam di dalam areal usaha
hutan tanaman, dienclave sebagai blok konservasi untuk diadakanpengamanan oleh pemegang izin usaha hutan tanaman yang bersangkutandari berbagai gangguan sehingga dapat berkembang menjadi hutan alamyang baik (pasal 3 ayat 7 SK 10.1)
PP 34/2002 8 Juni 2002
1. Kewenangan Kepala Daerah menerbitkan IUPHHK-HT dicabut.2. Kriteria areal IUPHHK-HT: Pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau
semak belukar pada Hutan Produksi3. Skep IUPHHK-HT yang terbit setelah Tahun 2002 oleh Kepala Daerah berarti
menyalahi PP ini
PP 7 / 199016 Maret 1990
SK 200 / 1994
PP 6/2007 8 januari 2007
1. Kriteria Areal Hutan untuk HTI : Hutan Produksi yang tidak produktif2. Areal tidak produktif adalah areal dengan potensi maksimal 20 M3 /
HA
1. Mencabut PP 34/20022. Kriteria areal hutan untuk IUPHHK –HTI adalah pada areal hutan produksi
yang tidak produktif. (tidak berubah dari ketentuan sebelumnya)
Pemberian IUPHHK-HT
Pengajuan PermohonanRKUPHHK-HT
Pengajuan PermohonanRKLUPHHK-HT
RKTUPHHK-HT (Kadishut Prov)
BKUPHHK-HT
Setelah Keluarnya PP 34/2002
Sebelum Keluarnya PP 34/2002
•Cacat Hukum•Meninjaukembali/Membatalkanperizinan HTI•Verifikasi terhadap izin
Diajukan kepadaMenhut selambat 1tahun setelahIUPHHK-HT
Hanya dapatdiberikan 1 kali danberlaku selama-lamanya 12 bulansejak diterbitkannyaIUPHHKHT
Modus pelanggaran :Melakukan penebangan dengan menggunakanperizinan RKT‐BK IUPHHKHT yang tidak sesuaidengan ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.Membangun Hutan Tanaman Industri pada areal konsesi yang diperoleh dari perizinan yang saratdengan unsur suap / Korupsi
864,325 ha / 45% areal HTI berada pada kawasan gambut kedalaman lebih 3 m
230,624 ha atau 70% areal HTI perijinan dari Bupati berada pada kawasan gambut kedalaman lebih 3 m
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990
Kawasan Lindung Gambut
458,569 ha atau 23,9% areal HTI tumpang tindih dengan Kawasan Lindung RTRWP 1994
Kawasan Lindung RTRWP 1994
53,869 ha atau 16,3% areal HTI perijinan dari Bupati tumpang tindih dengan Kawasan Lindung RTRWP 1994
Kesimpulan dan Rekomendasi
• Banyak kasus pembalakan liar yang dituntut, pada akhirnyadivonis bebas murni di pengadilan sehingga dampak jeratidak terjadi terlebih jika dilihat dari unsur melawanhukum pada UU 41/1999 maka kecendrungan hanyapelaku lapangan saja yang akan terjerat.
• Meskipun dalam UU 23/1997, merusak hutan yangberdampak pada kerusakan lingkungan adalah kejahatan(sebagaimana dijelaskan dalam pasal 48) namun jikadisandingkan dengan UU 41/1999 dalam kaitan pemberianizin HTI, maka pembangunan HTI diperbolehkan menebanghutan alam dengan alasan tertentu.
• Pendekatan UU Tipikor dan Anti Money Laundry –dimungkinkan efektif untuk menjerat pelaku utama sertadugaan terhadap pemberi izin dan atau pejabat yangterkait dalam proses izin maupun pemberi rekomendasi.
Dalam UU 41/1999 Pasal 50, Setiap orang dilarang;
• Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan; membakar hutan; menebang pohon atau memanen ataumemungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal darikawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan suratketerangan sahnya hasil hutan; menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akandigunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabatyang berwenang; membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dankerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalamkawasan hutan; dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhandan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutantanpa izin dari pejabat yang berwenang. Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.