kejahatan dan ruang publik peper.docx
TRANSCRIPT
A. Latar Belakang Masalah
Realitas kehidupan manusia selalu berada dalam kondisi yang dinamis. Antara
kepentingan dan tujuan hidup selalu berada dalam tataran perubahan tersebut. Karena
keberadaan manusia ada dalam ruang dan waktu mengandaikan manusia terdorong untuk
mengalami perubahan?
Kita perlu mencermati kajian filsafat manusia secara singkat dan mendasar. Bahwasannya
diskusi klasik yang hingga kini masih diperbincangkan seputar manusia adalah pertanyaan
siapakah sebenarnya manusia itu. Dengan pertanyaan tersebut sejauh ini telah menghasilkan
bermunculannya berbagai teori, konsep, konstruksi pemikiran bahkan telah berkembang
menjadi banyak aliran terkait pemikiran tentang hakikat manusia.
Secara sederhana aliran tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa aliran utama, yaitu
materilalisme, idealisme, realisme, dan aliran teologi. Namun, hingga kini nampaknya
pertanyaan tentang manusia itu tampaknya belum juga terpuaskan atau belum final. Untuk
aliran meterialisme misalnya memiliki pandangan bahwa materi atau zat merupakan satu-
satunya kenyataan. Karena semua pristiwa itu dapat terjadi melalui proses material.
Demikian pula analogi yang terjadi pada manusia, yakni kejadian “ada-nya” adalah juga
bagian dari proses-proses material itu sendiri. Hal ini akan bertolak belakang dari aliran
idealisme. Menurut aliran idealisme, bukan materi yang menjadi kenyataan, kenyataan
sebenarnya adalah “ide” bersifat rohani dan berinteligensi. Karena itu oleh aliran ini manusia
dipandang bukan sebagai meteri tetapi sebagi mahkluk berjiwa spiritual.
Jika kita tarik benang merah dari beberapa pemikiran aliran di atas, umumnya berusaha
mendudukan hakikat manusia sebagai mahkluk diantara mahkluk lainnya di muka bumi ini,
sekaligus berusaha membandingkan diantara keduanya. Kesamaan manusia sebagai mahkluk
dengan mahkluk lainnya adalah pada dorongan naluriah (animal instinct) yang termuat pada
setiap persona. Namun, adapun perbedaan manusia dengan mahkluk lainnya adalah dalam
pengetahuan dan perasaan. Melalui pengetahuan yang dimiliki manusia, ia dapat hidup jauh
lebih berkembang (survival) dari pada pengetahuan mahkluk lainnya. Demikian juga melalui
perasaan manusia, ia dapat mengembangkan eksistensi kemanusiaannya menjadi lebih
beradab dibandingkan mahkluk lainnya.
Lantas, kita bisa menyimpulkan bahwa manusia memiliki eksistensi yang lebih tinggi dari
pada mahkluk lainnya: ia memiliki interligensi dan jiwa spiritual. Namun, apakah ini sudah
1
cukup untuk menggambarkan keberadaan manusia? Kompleksitas keseluruhan dimensi
manusia bukan dilihat dari hal yang lahiria semata, akan tetapi perlu pendekatan transendensi.
Diluar yang fisik ada sesuatu yang melekat, yang memproyeksikan identitas person.
Ketika kita meletakan manusia pada posisi yang paling unggul dari semua realitas
mahkluk hidup di bumi ini, maka apakah manusia memiliki stuktur survival-nya selalu baik?
Pertanyaan lebih lanjut: mengapa ada kejahatan di bumi ini? Apakah sumber kejahatan dari
manusia atau hewan dan tumbuh-tumbuhan?
Asumsi atas pertanyaan tersebut memberi pengertian dasar atas hakikat manusia. Jika
manusia memiliki inteligensi dan mahkluk spritual, mengapa ada kejahatan? Bukankah
kejahatan ciptaan manusia? Jika kejahatan terjadi dalam ruang publik siapakah yang akan
dirugikan?
B. Rumusan Masalah
Secara pendekatan keilmuan perbincangan tentang kejahatan tidak terlepas dari manusia.
Yang manjadi tolok ukur (menciptakan) kejahatan adalah manusia. Melalui ilmu antropologi
atau filsafat manusia kita bisa mendekatkan konsepsi kejahatan. Kata manusia berasal dari
bahasa Yunani anthropos berarti manusia. Dalam perkembangan sejarah filsafat manusia
lebih dekat dengan kajian psikologi, tetapi tampaknya pendekatan psikologi dianggap kurang
mampu mendiskusikan manusia secara holistik. Karena sesungguhnya diskusi tentang filsafat
manusia tidak saja membahas aspek jiwa dan raganya , tetapi roh dalam badannya.
Dalam pandangan Albert Snijers, filsafat manusia dirumuskan sebagai refleksi atas
pengalaman yang dilaksanakan secara rasional, kritis, serta ilmiah, dan dengan maksud diri
manusia dari segi yang paling esensial.1 Inilah menjadi konsepsi penulis atas penguraian
argumentasi kejahatan. Tolok ukur kejahatan adalah manusia. Manusia yang menciptakan
kejahatan; “sumber kejahatan”2 adalah manusia.
Sehingga, hal ini menjadi orientasi mendasar pembentukan asumsi tentang kejahatan.
Dengan adanya penganadain bahwa: jika ada kejahatan, maka ada hukuman. Jika ada
hukuman pasti ada problem tingkah laku manusia yang bertolak belakang dengan asas
kemanusiaannya. Oleh karena itu, hukuman diberikan kepada seseorang yang melanggar
1 Lih. Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran, Kanisius, Yogyakarta, 2006.2 Secara tegas penulis tidak mengklaim bahwa manusia menciptakan segala kejahatan. Namun, konsepsi atas kejahatan adalah manusia. Tentu, pernyataan tersebut sesungguhnya tidak menyikapi secara langsung pengreduksian terhadap kemanusiaan manusia. Disini penulis hanya menekankan soal asal mula adanya kejahatan adalah manusia yang menciptakannya.
2
aturan kemanusiaan manusia. Ia melanggar harkat dan martabat bersama orang lain. Sistem
nilai yang dikejar dalam kebersamaan memiliki koneksi atas segala tindakan manusia. Nilai
merupakan sesuatu yang diperjuangkan oleh manusia. Disini kita meletakan common good
sebagai nilai yang diperjuangkan oleh setiap individu sebagai anggota masyarakat.
Maka, kebaikan selalu menempatkan posisi yang tak terpisahkan dari sebuah tindakan etis
manusia terhadap tindakan pelanggaran hak dan kewajiban manusia. Jika manusia berbuat
kriminal, maka ia akan mendapatkan suatu tuntutan legal. Hukuman selalu diberlakukan bagi
mereka yang telah melakukan tindakan kejahatan, seperti kriminalitas: pembunuhan
berencana, perampokan, jambret, dll.3
C. Tujuan Penulisan
Secara mendasar penulisan tersebut membahas Kejahatan dan Ruang Publik. Dengan
asumsi dasar bahwa manusia merupakan pencipta kejahatan. Ketika manusia melakukan
kejahatan, maka perlu ada hukuman yang menfungsikan prinsip keadilan dan common good
dalam sebuah masyarakat.
Indikasinya adalah kejahatan selalu mengkaitkan dengan hukum. Karena hukum
merupakan tata aturan yang mengfungsikan dirinya sebagai hukum yang mengatur dan
melarang tindakan manusia. Sifatnya mewajibkan semua orang untuk mentaati. Jika
seseorang melanggar hukum, maka konsekuensinya adalah ia akan mendapat hukuman.
Hukuman bisanya dikenakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, hukum dalam tahap ini perlu mendominasi soal katatanan hukum yang
rasional- mendapat ruang kemasukakalan publik. Artinya produk sebuah hukum memiliki
unsur rasional. Selain itu, hukum harus memiliki sikap konsisten atas produk hukum yang
ada. Konsistensi hukum menempatkan suatu nilai ketahanan hukum yang bersifat legal-di
promulgasikan kepada publik secara merata.
Artinya, produk hukum tidak dibuat semena-mena demi kepentingan tertentu. Sehingga,
apa pun produk hukum yang telah dilegalisasi perlu diapresiasi secara positif. Nah, ketika
pelaku kriminal melakukan tindakan bejatnya, tentu secara hukum ia akan mendapat
hukuman. Karena, tindakannya telah melanggar tata aturan bersama. Namun, hukuman yang
3 Jambret Di-Ko Korban, Jawa Pos, Sabtu, 6 September 2014, hlm. 31. Upah Tak Cukup, Kuli Bangunan Menjambret, Jawa Pos, Selasa, 16 September, 2014, hlm. 27. Tangkap Terduga Teroris Bagian Logistik, Jawa Pos, Selasa 16 September, 2014, hlm. 12. Tangkap Pemilik Ladang Ganjah Bogor, Jawa Pos, Rabu, 17 September 2014, hlm. 10. Kuli Bangunan Curi Satu Truk Semen, Jawa Pos, ibid, hlm. 30. Pasutri Tipu Pencari Kerja, Jawa Pos, Jumat, 7 November 2014, hlm. 35.
3
diberikan harus bersifat rasional, bukan kompromitisasi atau manipulasi pasal-pasal agar
pelaku kriminal diberikan penitensi seberat-beratnya, atau sebaliknya.
Untuk itu, hukum perlu mendapat kritik secara mendasar bagaimana mekanisme
pelayanan keberlakuan hukum bagi pelanggar hukum secara adil dan merata di negeri ini.
Hukum bukanlah rekayasa imajiner manusia. Akan tetapi, hukum merupakan produk dari
argumentasi ontologis akal budi manusia. Maka, produk sebuah hukum bernilai karena ada
unsur kerja akal budi manusia. Manusia yang menghasilkan aturan hukum yang memiliki
fungsi untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat.
Dengan demikian, selain bertujuan untuk membahas Kejahatan dan Ruang Publik, dalam
penulisan peper tersebut bertujuan pula untuk melihat secara mendasar soal keberlakuan
hukum yang otentik. Sebab, keabsahan sebuah hukum perlu ada penempatan pelayanan yang
manusiawi. Bukan sebuah bentuk pelayanan diskriminatif.
4
BAB IPEMBAHASAN
A. Kejahatan dan Ruang Publik
Kata napi dalam sebuah acara televisi: “berjaga-jagalah dan waspadalah sebab kejahatan
akan selalu ada di sekitar kita”. Lalu, kita pasti akan bertanya: apa itu kejahatan? Siapa yang
membuat kejahatan? Siapa pelaku suatu tindakan kejahatan?
Kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang merugikan”. Secara lebih luas kita
bisa mengartikan kejahatan merupakan suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah
laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukuman penjara, hukuman mati dan
hukuman denda dan seterusnya.
Menurut hemat saya, kejahatan merupakan sebuah konsep yang universal. Karena ia
melekat dengan tendensi transendental manusia. Kejahatan terjadi karena adanya pemenuhan
kepentingan manusia. Dalam diri manusia terdapat dua macam kepentingan, yaitu
kepentingan individu dan kepentingan bersama.4 Kepentingan individu didasarkan manusia
sebagai mahkluk individu, karena pribadi manusia yang ingin memenuhi kebutuhan pribadi.
Misalnya, seseorang melakukan penjambretan karena ada usaha untuk memenuhi
kepentingan pribadinya.
Kepentingan bersama didasarkan sebagai mahkluk sosial (kelompok) yang ingin
memenuhi kebutuhan bersama. Dalam perjalananya, kepentingan-kepentungan tersebut
kadang saling berhadapan dan kadang saling berkait. Terkadang muncul suatu penolakan dan
penerimaan yang pada akhirnya bermuara pada etika, yaitu suatu ajaran tentang norma dan
tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan manusia. Artinya, titik kompromi antara
kepentingan individu dan bersama ditimbang menurut kadar etis tidaknya kedua kepentingan
tersebut.
Sehingga dalam pencapain “kepentingan” entah individu atau bersama selalu terkait
dengan manusia yang melanggengkan jasanya. Manusia sebagai mahkluk individu diartikan
sebagai person atau perseorangan atau sebagai diri pribadi. Manusia sebagai diri pribadi
merupakan mahkluk yang menciptakan secara sempurnah oleh Tuhan yang Maha Esa. Jelas
kedudukan manusia sebagai mahkluk mulia, karena itu tidak dibenarkan manusia melakukan
perbuatan tercela seperti jambret, mengkonsumsi narkoba, pemerkosaan, berjudi, korupsi, dll.
4 Kata kepentingan bersama, dalam hal ini dipersempit dengan pengertian yang mewakili kelompok keluarga atau semisalnya kelompok-kelompk kecil, seperti geng motor, dll. Kepentingan di sini dilekatkan pada presepsi seseorang akan kebangunan nilai yang diperjuangkan dalam hidupnya.
5
Manusia sebagai mahkluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam
kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan
sendiri. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi
dengan sesamanya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam sisi semacam inilah manusia meletakan tindakan
kriminalitasnya. Pandangan lain tentang manusia disampaikan Hobbes bahwa manusia pada
dasarnya memiliki sifat agresif atau jahat. Tetapi, Rousseau justru melihat sebaliknya, yaitu
manusia pada kodratnya adalah baik. Antara asumsi kedua filsuf tersebut justru meletakan
perbedaan pandangan yang signifikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa pemikir-pemikir
lain justru meletakan manusia sebagai yang tak berarti atau “keinginan” yang sia-sia. Inilah
menjadi perdebatan hakikat manusia (leben-philosophie).
Dari perdebatan semacam ini membuat kita lebih mendasar melihat realitas kejahatan
yang terjadi pada manusia dalam ruang lingkup yang lebih luas. Menurut hemat saya,
kejahatan selalu terjadi dalam ruang dan waktu. Dalam ruang dan waktu inilah ada proses
dinamisasi kehidupan manusia. Tidak heran konsep kejahatan perlu kita letakan pada ruang
publik.
Ruang publik merupakan suatu keadaan kompleks di mana terdapat kumpulan individu-
individu, yang memiliki kepentingan-kepentingan sebagai mediasi revitalisasi kehidupan
manusia menjadi survival. Namun, kita pun kembali pada kebangunan konsep awal bahwa
kejahatan yang terjadi dalam ruang publik karena adanya usaha pemenuhan kepentingan yang
bersifat dinamis, atau sebaliknya.
Dengan demikian, kejahatan yang dilakukan oleh manusia dalam ruang publik tidak bisa
dipisahkan dari ketentuan norna hukum yang berlaku dalam masyarakat. Antara pelanggar
hukum dan hukum memiliki konjungsional yang esensial. Tidak lain hukum selalu
menegakan keadilan sebagai usaha menciptakan common good. Maka, kepada siapa pun yang
melanggar norma hukum, selalu dikenakan sanksi.
B. Kebangunan Hukum Kriminal: Asas melawan Kejahatan
Perlu kita ketahui, apa yang menyebabkan adanya hukum kriminal? Secara logis ini
secara langsung mempertanyakan soal hakikat hukum. Hukum diartikan sebagai usaha untuk
mengikat tangkah laku seseorang dengan tujuan menciptakan common good. Maka, hukum
dalam tataran tersebut semakin obyektif keberlakuannya. Sifat dasar sebuah hukum adalah
mengikat tindakan seseorang, bahkan mendesak agar seseorang menjalankan aturan tersebut.
6
Lalu, apa tujuan keberlakukan produk hukum kriminal? Dalam proses pengajaran Filsafat
Hukum, secara langsung Romo Emanuel menandaskan bahwa tujuan keberlakuan produk
hukum kriminal adalah untuk mencegah perilaku yang secara serius mengancam atau
membahayakan baik hak individu maupun kepentingan publik.5
Selain itu bertujuan untuk melindungi hak individu. Sebagai tuntutan dasar bahwa setiap
individu perlu diberlakukan sama (sesuai dengan norma hukum, pasal yang terkait) di
hadapan hukum. Janganlah menjadikan hukum sebagai suatu bentuk manipulasi diskriminatif
“kapital”.
Dalam Declaration Of Human Rights menyatakan bahwa all are equal before law and
are entitled without discrimination to equal protection of law. All are entitled to equal
protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any
ecitement to such discrimination.6
Dihadapan hukum ditegaskan bahwa dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28 ayat 1 UUD
1945, menyatakan jaminan persmaaan di hadapan hukum. Sedangkan jaminan perlindungan
dari diskriminasi diatur dalam pasal 281 ayat 2 UUD 1945.7 Pernyataan persamaan dihadapan
hukum tidak hanya mengandung konsekuensi setiap orang memiliki hak dan perlindungan
yang sama dihadapan hukum, atau pelanggar hukum yang sama dikenakan hukum yang
sama.
Tujuannya adalah mencapai “keadilan”. Keadilan bukan diletakan pada soal keberlakuan
pasal yang ada. Namun, bagaimana kebijakan seorang hakim memberikan hukuman kepada
pelanggar hukum secara adil. Pada tatanan tersebut sikap hakim harus netral (proposional).
C. Hukum dan Bentuk-bentuk Perlindungan Hak (Asai Manusia)
Hukum sebagai rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku manusia. Salah satu
tugas hukum adalah melindungi hak (asasi manusia). Bentuk konkret aktivitas hukum adalah
mencegah, mengatasi dan merekonsilsiasi pelanggaran terhadap hak (sasi manusia) individu
atau publik.
Dari pelbagai pengalaman pelanggaran terhadap hak-hak (asasi manusia), produk hukum
dibuat sebagai antisipasi terhadap kejahatan (pelanggaran). Berdasarkan rangkaian
pengalaman atas tindakan kejahatan menjadi sumber aspirasi terbuatnya sebauh produk
hukum. Produk hukum yang dibuat untuk melindungi hak-hak (asasi manusia). Adanya
5 Prasetyono, Emanuel, Power Point Filsafat Hukum, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, 2014. 6 Gaffer,M, Janedjri, Demokrasi Konstitusional, Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm. 140. 7 Ibid, 140.
7
hukum mengantisipatif terjadinya tindakan kriminal yang heroik di dalam masyarakat (ruang
publik).
Ada tiga macam bentuk hukum sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak (asasi manusia): pertama, Property Rule. Peraturan yang menyangkut kepemilikan harta benda. Kedua, Liability Rule. Peraturan yang menyangkut tanggung jawab dan kompensasi atas perbuatan pelanggaran terhadap hak seseorang. Ketiga, Inalieability Rule. Peraturan yg melindungi hak subyek yg sifatnya hakiki, yang tidak terlepaskan secara esensial dari hakekatnya sebagai subyek, juga jika subyek tesebut tidak menghendakinya.8
D. Fungsi dan Kaitan Negara dalam Konteks Perumusan Kejahatan Kriminal dan Hukum Kriminal
Antara tatanan ideal dan realitas merupakan satu realitas konseptual. Suatu tatanan nilai
hanya dapat dikatakan ideal apabila dipercaya sebagai sesuatu yang baik dan benar oleh
masyarakat. Hanya tatanan nilai semacam ini memiliki manfaat bagi masyarakat. Hukum
dibentuk dengan menggabungkan antara kedua tatanan nilai tersebut sehingga mencapai
tujuan hukum, tidak hanya kepastian hukum, melainkan juga kemanfaatan hukum.
Hukum yang merefleksikan tindakan kejahatan manusia tidak dimaksudkan sebagai
hukum yang hanya menjadi pembenar bagi realitas sosial. Namun, sebaliknya, hukum yang
dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah kejahatan yang ada di masyarakat itu sendiri
dalam mewujudkan tatanan nilai ideal.
Hanya dengan demikian hukum dapat diberlakukan secara efektif. Karena, masyarakat
percaya bahwa nilai tersebut diyakini sebagai instrumen untuk menyelesaikan persoalan
kejahatan dalam masyarakat yang dihadapi bersama.
Dengan demikian tugas dan kewajiban negara adalah menjamin ketahanan tatanan hukum
yang adil. Maka, tugas hakiki negara adalah melindungi kepentingan publik. Pada prinsipnya,
hukum kriminal tidak berbicara tentang penyesuaian hak & kewajiban antara individu-
individu, tetapi antara individu dan negara.
Oleh karena itu, pembicaraan tentang pelaku kejahatan sungguh-sungguh relevan sejauh
menyangkut kepentingan negara, bukan kepentingan individu. Oleh karena itu, hukum
kriminal sangat penting bagi negara. Ia merupakan alat bagi negara untuk menjamin dan
membela kepentingan publik. Peran hukum kriminal bagi negara adalah menjamin
pembelaan kepentingan publik bukan sebagai proteksi total, melainkan sebagai PROTEKSI
OPTIMAL.9
8 Ketiga bentuk bentuk hukum sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak (asasi manusia) di kutip oleh penulis secara langsung dari : Prasetyono, Emanuel, Power point Mata Kuliah Filsafat Hukum, UNIKA Widya Mandala Surabaya, 2014. 9 Presetoyono, Emanuel, Power Point Filsafat Hukum, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya, 2014.
8
BAB IIIPENUTUP
A. Kritik
Menanggapi tentang keberlakuan hukum kejahatan perlu diberi ruang praktik yang
manusiwi. Artinya, keberlakuan produk hukum kriminal perlu diakui secara etis, memiliki
prinsip keadilan serta rasional. Bila tidak akan menimbulkan negara lemah dalam
mengentaskan kejahatan. Sebab negara menjamin ketahanan keamanan masyarakatnya secara
adil dan merata.
Tugas negara benar-benar aktif melegitimasikan produk hukum yang ada, agar tetap
membentuk suatu konstitusional negara yang common good. Proses tersebut sangat penting
mendorong tumbuh dan berkembangnya masyarakat ke arah yang lebih produktif, terjamin
keamanan masayarakat.
B. Kesimpulan
Negara menjamin ketertiban, menjaga keamanan masyarakat dari tindakan kejahatan
yang semakin marak terjadi dewasa ini. Kejahatan bermula dari kepentingan sepihak.
Pemanfaatan peluang sangat terdeteksi oleh perilaku kejahatan masyarakat saat ini.
Kebutuhan sandang, pangan, dan papan, belum tercukupi bisa jadi akan semakin marak
terjadinya tindakan kejahatan masyarakat. Pemicu kejahatan disebabkan oleh peluang kerja
masyarakat minim, sehingga tidak ada pendapatan yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi sehari-hari (bdk. foot note kasus).
Sehingga, ketika manusia melakukan kejahatan sesungguhnya ia mereduksi
kemanusiaannya. Sebab, sifat dasar manusia berbeda dengan mahkluk lainnya. Ia memiliki
tendensi transendental, bukan sekedar pengertian lahiria. Oleh karena, itu eksitensi manusia
menjadi mata rantai kebangunan common good yang semakin otentik (beradab).
9
Daftar Pustaka
Gaffer,M, Janedjri, Demokrasi Konstitusional, Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Hardiman, Budi, Ruang Publik, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Magnis, Franz, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta,
1987.
Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Untung, Budi, Hukum dan Etika Bisnis, ANDI, Yogyakarta, 2012.
Ujan, Ata, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.
10