perempuan di ruang publik (kajian sayyidah ‘a
TRANSCRIPT
PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK
(Kajian Sayyidah ‘A<ishah Bint Abi Bakar yang Digambarkan
dalam Kitab S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>)
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Magister dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian
Oleh :
Nur Ikhlas
21151200100052
Pembimbing :
Prof. Dr. Zaitunah Subhan
KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sang
penguasa Jagad Raya yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
inayahnya sehingga penulis dapat merampungkan tesis dengan judul
‚PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK (Kajian Sayyidah ‘A<ishah Bint
Abi Bakar yang Digambarkan dalam Kitab S}ah}ih{ Al-Bukha>ri>). Shalawat
dan salam selalu tercurah pada murabbi terbaik kita Nabi Muhammad
saw beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikut setia beliau hingga
hari akhir. Penulis sangat menyadari bahwa dalam proses penulisan tesis ini
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik berupa
moril maupun materiil. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik
materil maupun moril dalam penyelesaian penelitian ini. Pertama,
kepada bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA selaku
Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran pimpinan,
Prof. Dr. Didin Syaefuddin, M.A., dan Dr. JM. Muslimin, M.A., juga
kepada seluruh civitas akademika dan Perpustakaan SPs UIN Jakarta.
Kedua, Prof. Dr. Zaitunah Subhan, M.A selaku dosen
pembimbing, penulis haturkan banyak terima kasih atas kesabaran dan
keikhlasannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
bisa menyelesaikan penelitian ini dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang
beliau berikan dan bermanfaat. Tidak lupa para dosen Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta yang telah memberikan ilmunya, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, M.A, Alm. Prof. Dr. M.
Bambang Pronowo, M.A., Prof. Salman Harun, M.A., Prof. Dr. Iik Arifin
Mansurnoor, M.A., Prof. Dr. Amani Lubis, M.A, serta para dosen
lainnya yang turut memberikan sumbangsih pemikiran sehingga
penelitian ini dapat diperbaiki dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, rasa ta’zhim dan terima kasih yang sangat mendalam
kepada ayahanda Taswin dan ibunda Mardiana tercinta yang telah
memberikan banyak waktu, pikiran, dan tenaganya sejak penulis lahir
sampai saat ini. Kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih sayang
keduanya yang tak pernah habis bahkan bermunajat tak henti-henti
untuk mendoakan penulis agar mendapatkan kesuksesan dalam
menyelesaikan studi. Merekalah obat bagi penulis dan selalu ada di hati
penulis, serta jasa beliau tidak bisa digantikan dengan apapun dan
kupersembahkan tesis ini untuk kalian. Apa yang telah diberikan
keduanya, akan selalu menjadi pijakan awal penulis untuk terus
berkarya. Keempat, rasa terimakasih yang tak terhingga juga penulis
ucapkan untuk adik Khairussalam, Akbar Siddiq, Khairul Ajma’in dan
Syahru Fitra. Dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan kasih
sayang, motivasi dan bimbingan serta do’anya.
Rasa terimakasih yang besar juga penulis ucapkan untuk
keluarga besar bapak Baharuddin, etek Olliwati Bahar, kak Ayu, dek
Liza. Mak ciak (Iyan Safri) dan tek Wid (Widya Marta Tanjung) yang
telah menjadi keluarga penulis selama dijakarta.
Kelima, tak lupa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada
teman dan sahabat seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Diah, Oga, ni Tya, Zikra, Reni,
Khaidir, Kak Aam, Hifni dan serta teman-teman yang lain dengan
kebijaksanaan mereka yang enggan untuk dituliskan namanya. Di
berbagai kesempatan dapat berdiskusi bersama kalian, dan satu persatu
berguguran di pelaminan. Dari yang bersemangat juang bak tentara
kemerdekaan hingga yang berjuang dengan omongan, penulis haturkan
terima kasih. Teman Folindo Pak Mardian, Mas Yusuf, bung yes, Pak
Ari, pak Heru, pak Nef juga bapak, Ibu teman yang lainnya (tidak bisa
disebutkan satu-satu) Karena masing-masing telah memberi andil dalam
suasana hati penulis. Kak Syarif yang selalu memberi masukan dan
bantuan selama penulisan tesis. Keenam, teman-teman kostan yang
selalu menghibur dan sama-sama berjuang jauh dari keluarga kk ika,
Usnul, Lia dan mba Umi. Ketujuh, penulis juga ucapkan terimakasih
banyak kepada senior yang selalu mau membantu dan direpotkan bang
Marjan Fadil. Jazakallah Khairan wa Ahsanal Jaza.
Semoga Allah memberikan imbalan pahala yang banyak dan
kesuksesan terhadap apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang
telah berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
penulis. Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini
masih jauh dari kata ‚sempurna‛ karena kekurangan dan keterbatasan
penulis. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran
sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 18 Februari 2018
Penulis,
Nur Ikhlas
iii
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa perempuan di ruang publik
sebenarnya sudah ada pada masa awal Islam. Hal ini dibuktikan dalam
kitab hadis Ja>mi’ S}ah}i>h} Al-Bukha>ri> yang digambarkan oleh sayyi>dah
‘A>ishah seorang perempuan yang hidup sebagai istri Rasulullah saw
pada abad 6-7 Masehi. ‘A>ishah sebagai seorang perempuan memainkan
peran penting terhadap masyarakat dan kaum hawa pada masa itu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengubah paradigma yang cenderung
memojokkan perempuan selama ini. Khususnya mengenai posisi
perempuan di ruang publik, di lihat dari sisi literature hadis dalam kitab
klasik.
Penelitian ini mendukung pendapat dari Mona Etienne
(1980),Handerson (1986) dan Catherine Scott (1995) yang menyatakan
bahwa pemahaman tentng subordinasi perempuan dalam sejarahnya telah
membalik pemahaman masyarakat tentang perempuan sebenarnya,
sehingga muncul pendapat yang cenderung memojokkan perempuan
selama ini, khususnya di ruang public. Pemahaman tentang ruang publik
yang didominasi oleh laki-laki memperkuat anggapan bahwa perempuan
hanya terlibat pada ruang privat keluarga saja. Penelitian ini menolak
teori dan pendapat dari Maria Mies (1986), Diane Rocheleau
(1996),Easter Wangari (1996), Friedrich Engeles (2012) dan Karl Marx
(2012) dengan teori Marxis nya mengatakan bahwa semua perempuan
mengalami penindasan dalam sejarahnya, laki-laki dan perempuan
melakukan pekerjaan yang berbeda-beda dimana perempuan cenderung
bertanggung jawab pada soal pengurusan dan perawatan anak saja.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan
memusatkan pengumpulan data melalui penelitan kepustakaan (library research) dengan membaca, mengamati, memahami, dan mempelajari
bahan-bahan yang dikumpulkan yang dianggap berhubungan dengan
pokok bahasan, kemudian dianalisa dan dipaparkan dalam tulisan. Data
primer dalam penelitian ini adalah kitab hadis Jami’ Shahih Al-Bukhari
dan sumber sekunder penelitian ini adalah semua referensi yang terkait
dengan pembahasan penelitian tesis berupa kitab-kitab hadis, buku,
jurnal, artikel, makalah, encyclopedia dan kamus.
Kata Kunci : Ruang publik, Perempuan, ‘Aishah, dan Al-Bukhari.
v
امللخص
البحث في هزه الشسالة يثبت أن دوس املرشأ فري املمع رع وفرشو ور
عصش الصذس ألاول و العاسيخ إلاسالوي، رلك سأينرا ور دوس الدر ذ عا رة
فررررري املمع رررررع وررررر كرررررالل دساسررررر نا فررررري عرررررا ال ررررر ملسو هيلع هللا ىلص صوجرررررة سسررررر ل
صوانهررراق البخررراسفق كرررذ ااشرررت عا رررة مافرررا دوسا وا رررا فررري املمع رررع واملرررشأ فررري
ويهرررذ هرررزا البحررررث نظرررل ام رررري شترررش الفاورررة اليرررر ممررراه املررررشأ الرررزف سأينرررراه
ال رر ، كص ررا فرري وررر ة دوس املررشأ فرري املمع ررع، نالبحررث عرر دوسهرر ورر
عا التياثق
( 0891) (Mona Etienne)هرررررررررزا البحرررررررررث ي يرررررررررذ سأف و شرررررررررا أم ررررررررر
( 0881) (Catherine Scott)واررامشي سرر (0891) (Handerson)وهاشذسسر ن
الكررررا ا ن نرررر ن مرررراسيخ اة ش ررررة اللدرررر ية ورررررذ رررري ه رررر املمع ررررع رررر ارررررش
أورررررر ال مرررررررنكي دوس املرررررررشأ فررررررري ررررررا ه و اة صررررررر دوسهررررررر فررررررري املمع رررررررع،
رراملمع ع عنرررذها و ررذان كرررا لاشجرررال ولفيررك نررراملشأ ال رر ي ررر ن دوسهررر
(1844) (Karl Marx)في الب وألاسرش ق ولفراسا البحرث سأف اراسل وراس ك
(Diane Rocheleau)وديررراري سويررر ا او (6891) (Maria Mies) وواسيرررا وررر ك
الكرررا ا ن نررر ن املرررشأ ع ررري Easter Wangari (0881) وأيدرررتي واشمررراسف (0881)
العرراسيخ وررذ ة كرر نررالتاا، الشجررال واملررشأ يف ارر ن فرري و ررا وخعا ررة وررع
و ل املمع ع مخص ي دوس املشأ في الب وسعاية ألاط الق
ي رررر ن البحررررث فرررري هررررزه الشسررررالة نحثررررا ش ع ررررا يررررعا ج ررررع وجا كرررر عرررر
عررر طشيرررل ويرررعا محا ررر وجا كررر (Library Research) طشيرررل البحرررث امليع ررر
الكرررررشا والذساسرررررة جرررررا ن انهرررررا عررررر طشيرررررل العحا ررررر ال ررررر يق ي ررررر ن املصرررررذس
ألاساسررر لابحررررث عررررا اة رررراوع ال رررر لابخرررراسف ررررا أشرررر م رررر ن املصررررادس
vi
إلاضررا ة لابحررث ورر اليعررا اة ذيت ررة واليعررا ألاكررشال واملمررال واملكرررا
وامل س عا واملع ا ق
أ ، عا ة، البخاسف ال ا ا امل عا ة: املمع ع، املش
vii
ABSTRACT
This study proves that women in the public sphere actually
existed in the early days of Islam. It is evidenced by the book of Hadi>th Ja>mi' S}ah}i>h} Al-Bukha>ri> which is described by Sayyidah ‘A<ishah a
woman who lived as the wife of the Messenger of Allah in the 6-7
century AD. ‘A<ishah served as an important woman foster community
and women at that time. This study aims to change the paradigm that
tends to discredit women over the years, especially the position of
women in the public sphere. It is viewed from the side of the hadith
literature in the classic book.
This research stands on the views of Mona Etienne (1980),
Handerson (1986) and Catherine Scott (1995) who stated that the
understanding of women's subordination in history has reversed the
public understanding of women actually, so that opinions arise that tend
to discredit especially women in the public sphere all this time. An
understanding of the male-dominated in public sphere reinforces the
opinion that women are only involved in the private sphere. This
research different from the theories and views of Maria Mies (1986),
Diane Rocheleau (1996), Easter Wangari (1996), Friedrich Engeles
(2012) and Karl Marx (2012) with their Marxist theory saying that all
women are oppressed in history. Men and women do different jobs that
woman is only responsible for the keeping and caring for their child.
This study is a qualitative research with collecting data in the
library research by reading, observing, understanding, and studying the
collected materials that are considered related to the subject. Those data
analyzed and presented in this paper. The primary source in this study is
the Hadith books on the title Ja>mi' S}ah}i>h} Al-Bukha>ri> and the secondary
sources of this study are all references related with this topic consists of
Hadith books, journals, articles, papers, encyclopedias and dictionaries.
Keywords: Public spaces, Woman, ‘A<ishah, and Al-Bukha>ri>.
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR_i
ABSTRAK_iii
PEDOMAN TRANSLITERASI_ix
DAFTAR ISI_xii
BAB I : PENDAHULUAN_1
A. Latar Belakang Masalah_1
B. Permasalahan_14
1. Identifikasi Masalah_14
2. Rumusan Masalah_15
3. Batasan Masalah_15
C. Tujuan Penelitian_15
D. Signifikansi Penelitian_16
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan_16
F. Metodologi Penelitian_21
1. Jenis dan Sumber Data Penelitian_22
2. Metode Pengumpulan Data_22
3. Teknik Analisa dan Model Pembacaan Data_22
4. Teknik Penyajian Analisa Data_23
G. Sistematika Penulisan_23
BAB II : DISKURSUS POSISI PEREMPUAN DALAM BUDAYA
DAN AGAMA_25
A. Genetika Gender_25
B. Kehidupan Perempuan_32
1. Perempuan pada Abad Awal Islam_33
2. Perempuan pada Abad Pertengahan Islam_35
3. Perempuan di Masa Abad Modern_38
C. Potensi ‘A<ishah sebagai Perempuan _42
D. Kodrat Perempuan_43
1. Persamaan dan Perbedaan laki-laki dan
Perempuan_47
2. Dinamika Perempuan: Feminisme dalam Budaya dan
Islam_52
E. Status ‘A<ishah Perempuan di Ruang Publik Ditinjau dari
Kajian Hadis_55
xii
BAB III : REPRESENTASI KITAB HADIS AL-BUKHA<RI<_63
A. Konteks Sosio-Historis Kitab Hadis Ja>mi’ Al-S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>_63
B. Metode dan Sistematika Penulisan Kitab Ja>mi’ al-S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>_65
C. Status Kitab Hadis S}ah}i>h} Al-Bukha>ri> dalam Perdebatan
Otentisitas Kitab Hadis_71
D. Kritik terhadap Kitab Hadis Ja>mi’ Al-S}ah}i>h}_73
BAB IV : SAYYIDAH ‘A<ISHAH BINT ABI BAKAR PEREMPUAN
DI RUANG PUBLIK DALAM KITAB HADIS AL-
BUKHA<RI<_77
A. Sosok ‘A<ishah sebagai Peran Perempuan Sosialis_82
B. Peran ‘A<ishah Perempuan dalam Ruang Publik_84
1. ‘A<ishah seorang Pendidik_84
2. Penggiat Ekonomi_89
3. Keterlibatan ‘A<ishah dalam Politik_95
4. ‘A<ishah sebagai Pemimpinan dalam Islam_97
C. ‘A<ishah sebagai Perawi Hadis dan Penerus Tugas
Rasulullah_113
D. Eksistensi ‘A<ishah sebagai Gambaran Perempuan di
Ruang Publik dalam Kitab Hadis Al-Bukha>ri>_123
E. Gagasan Feminisme: Pergerakan dan Emansipasi
Perempuan Sosok ‘A<ishah sebagai Penokohan
Perempuan di Ruang Publik_128
BAB V : PENUTUP_141
A. Kesimpulan_141
B. Saran_142
DAFTAR KEPUSTAKAAN_145
GLOSSARY_159
INDEKS_163
TABEL HADIS_169
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah Islam, perempuan yang bernama ‘A<<ishah istri
Rasulullah saw telah memainkan peran penting sebagai seorang
perempuan Islam. Kenyataan serupa bisa terlihat pada perempuan pada
saat ini. Perkembangan ruang gerak dan kesejateraan hidup perempuan
telah meningkat pesat dalam lima puluh tahun terakhir.1 Di zaman yang
serba digital ini perempuan tampil dengan cakapnya di sektor publik
sehingga tidak terlihat lagi perbedaan yang menonjol antara perempuan
dan laki-laki. Hal ini juga terlihat ketika dikembangkannya konsep
emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki2. Pesan ini
kemudian sampai pada kesimpulan bahwa dari sudut pandang sosial
tidak ada perbedaan menonjol antara laki-laki dan perempuan. Hampir di
semua sektor kehidupan, perempuan ikut berperan dalam struktur
tersebut. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang akomodatif dan
pendidikan perempuan yang kian hari kian meningkat, Sehingga
memudahkan keterwakilan perempuan di ruang publik.
Perempuan di masa kini tidak sedikit kita temui mampu menjadi
perempuan karir yang aktif menjalankan perannya di sektor publik
seperti hal nya hakim, rektor, lurah, camat, anggota DPR/MPR, menteri,
wakil presiden atau bahkan presiden.3 Begitu juga dalam dunia non-
politik’ seperti organisasi Islam, NU, Muhammadiyah dan organisasi
lainnya.4 Perempuan dengan segala bentuk warna-warninya sukses
menjalani posisi sebagai perempuan yang aktif di ruang publik.5
1 Jane I. Smith, ‚Women in Islam: Equity, Equality, and the Search for
the Natural Order‛, Journal of The American Academy of Religion, vol. 47, No.
4 (Dec. 1997), 517-537. 2Khalilah, Mengurai Kepemimpinan Perempuan (Salemba: PB Kopri,
2008), 103. 3 John Naisbit & Patricia, The New Directions For The 1990’s
Megatrends 2000, Pent. FX Budijanto dengan judul ‚Sepuluh Langkah Baru
untuk Tahun 1990an Megatrends, 2000 (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990), cet. 1,
209. 4 Susan, Blackburn, ‚Indonesia Women Political Islam,‛ Journal of
Southeast Asian Studies, Vol. 39, No. 1 (Feb. 2008) 83-105.
http://www.jstor.org/stable/20071871 (Accessed: January, 18, 2017 02:46) 5 Kata ‚publik‛ (public) dan kepublikan (publicity) bukan berasal dari
bahasa Indonesia. Istilah ‘ruang publik’ sekurangnya mengacu pada dua arti.
2
Perempuan dalam hal ini juga tampil sebagai pengelola dalam rumah
tangga dengan melayani suami dan mendidik anak-anak.
Adanya ruang bagi perempuan di publik sudah selayaknya
sangat relevan jika dilihat di era modern sekarang. Hal ini dikarenakan
hal-hal yang menjadi kecemasan bagi perempuan seperti pelecehan,
merendahkan perempuan, diskriminasi dan sebagainya sudah sangat
minim terjadi. Perempuan sudah cukup aman untuk aktif di publik
karena mereka berhasil dilindungi oleh persamaan gender6 yang
diperjuangkan selama ini. Semua fasilitas di tempat umum telah
menyediakan tempat khusus untuk perempuan. Sebagai contoh seperti
yang terlihat di Indonesia misalnya kereta api, bus way dan sebagainya.
Ketersediaan transportasi dengan ruang khusus bagi kaum hawa itu telah
menunjang keamanan bagi perempuan dari berbagai kekhawatiran
terhadap pelecehan.
Pertama, istilah ini mengacu pada suatu ruang yang dapat diakses semua orang,
maka juga membatasi dirinya secara parsial dari adanya ruang lain, yaitu ruang
privat. Dalam arti pertama ini, ruang publik berbeda dari ruang privat yang
merupakan locus kewarganegaraan dan keadaban publik, karena ruang publik
dibentuk oleh para warga yang saling respek terhadap hak mereka masing-
masing. Arti pertama ini tidak bersifat normatif, melainkan deskriptif, yakni
sebagai sesuatu yang berkaitan dengan distingsi antara publik dan privat. Dalam
distingsi itu, hal-hal privat ingin dilindungi dari sorotan publik ataupun regulasi
kebijakan publik, sehingga kebebasan dan kemajemukan dimungkinkan. Kedua,
istilah ruang publik memiliki arti normatif, yakni mengacu pada peranan
masyarakat warga dalam demokrasi. Lihat, F.Budi Hardiman, Ruang Publik Melacak ‚Partisipasi Demokrasi‛ dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), 8-11. 6 Pemakaian kata gender dalam feminisme pertama kalinya dicetuskan
oleh Anne Oakley. Dia memulai dengan mengajak warga dunia untuk
memahami bahwa sesungguhnya ada dua istilah yang serupa, tetapi sama, yaitu
sex dan gender. Selama ini masyarakat menganggap kedua istilah itu sama saja,
yaitu sebagai sesuatu yang harus diterima secara taken for granted (menganggap
sudah semestinya begitu). Padahal berbicara tentang perubahan sosial (proses-
proses konstruksi, dekonsruksi, dan rekonstruksi) membutuhkan pemahaman
yang baik tentang mana wilayah yang bisa diubah dan mana yang harus
diterima begitu saja. Dengan kata lain, kita perlu memahami bahwa di dalam
kehidupan ini ada wilayah nature dan ada wilayah culture. Kedua istlah tersebut
merupakan derivasi dari bahasa Inggris yang sekarang telah banyak dipakai oleh
masyarakat Indonesia. Lihat, Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2004), 19. Daniel
Miller, and others, Gender: How the World Changed Social Media (UCL Press:
The Authors, 2016) : 114-127, http://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z35.15
3
Bangsa-bangsa di dunia telah berkomitmen dan terikat dengan
terlaksananya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), termasuk di
Indonesia. Upaya untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender
(KKG) dituliskan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GUU No. 25 th. 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004 dan dipertegas
dalam instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender (PUG) dalam pembangunan nasional sebagai salah satu strategi
untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.7 Hal di atas
termasuk salah satu upaya pemerintah untuk mencanangkan kesetaraan
gender dan menghilangkan perbedaan yang memojokkan perempuan
yang dipahami selama ini.
Tampilnya perempuan di ruang publik memberikan arti bahwa
perempuan tak kalah mahir di banding laki-laki dan sekaligus
menunjukkan bahwa perempuan bisa mengemban pekerjaan serta
amanah yang biasanya hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Hal ini
semakin membuktikan persamaan gender yang diperjuangkan itu
berhasil mengubah paradigma yang salah selama ini, di tanah air
khususnya. Akan tetapi, terlepas dari kebebasan perempuan itu tidak
semua emansipasi dan eksistensi yang dimiliki perempuan tersebut
dipandang dengan nilai positif. Setidaknya pergeseran persepsi yang
salah tentang perempuan sedikit demi sedikit telah berubah. Anggapan
bahwa dulunya perempuan selalu ditonjolkan dengan nilai-nilai negatif,
sekarang mereka sudah dihargai dan dihormati.
Pemahaman yang agak problematis adalah menjadikan
perempuan sebagai pangkal keburukan dan sumber kerusakan. Pendapat
senada juga dijumpai dalam tradisi agama-agama seperti Hinduisme,
Budhisme, Yahudi, ataupun Kristen/Katolik. Dalam tradisi Hindu,
perempuan dilihat sebagai pembawa keberuntungan karena haid, menjadi
istri dan melahirkan anak. Namun, dalam tradisi Buddha, perempuan
dianggap sebagai makhluk kotor suka menggoda laki-laki yang ingin
menjadi suci. Anggapan yang sama juga dijumpai dalam aturan
Hammurabi, di mana perempuan dianggap seperti binatang dan dia tidak
mempunyai hak untuk memiliki dan menggunakan harta. Begitu juga
kedudukan perempuan di bangsa Yunani dan Romawi, perempuan tidak
berhak memerintah atau melarang, mewarisi, memiliki, dan
menggunakan harta. Kaum Yahudi menempatkan perempuan dalam
7 Harjoni, Perempuan Yang Bekerja Dalam Perspektif Islam, dalam
buku Women In Publik Sektor (Perempuan Di Sektor Publik), (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), 231.
4
kedudukan sebagai pelayan, bahkan ayahnya berhak untuk menjualnya
tanpa adanya persutujuan dari si perempuan itu. Bagi kaum Yahudi dan
Nasrani, perempuan dianggap sebagai pangkal kejahatan sumber
kesalahan dan dosa.8
Pemahaman keagamaan seputar perempuan telah tegas
menggambarkan larangan keluar rumah, terkecuali bagi dia yang
didampingi suaminya jika ia sudah menikah. Para ulama beragumen
bahwa hal tersebut disinyalir akan menimbulkan fitnah. Pendapat ini pun
didukung dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu daud.
ن ابهلل واليوم األخ أن : ت ت أة عن أىب سعيد قال : قال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلصثساف سف ا فوق ثالثة أايم فصاعدا إت و عها أبوىا، أو أخوىا، أو زوجها، أو إبنها،
9و حم م عنهاأو ذ
‘’ Dari Abu Said ia berkata: Rasul ملسو هيلع هللا ىلص telah bersabda: tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah هلالج لج dan hari kemudian, yang akan melakukan perjalanan di atas tiga hari atau lebih, kecuali ia harus disertai oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, atau suaminya, anak laki-lakinya atau kerabatnya yang lain’’.
Teks hadis diatas apabila disalah tafsirkan terkesan mengikat dan
memberikan ruang gerak yang sempit terhadap perempuan. Karena tidak
mungkin sebuah agama mengajarkan keburukan kepada satu sama lain,
baik laki-laki maupun perempuan. Padahal untuk memahami suatu hadis
harus meggunakan banyak cabang keilmuan hadis yang dikenal dengan
ilmu fiqh al-hadi>th seperti nasi>kh wa mansu>kh al-hadi>th, jarh wa ta’di>l, asba>b al-wuru>d, tekstual dan kontekstual hadis, dan masih banyak ilmu
lainnya guna memberikan pemahaman yang konkrit untuk menerapkan
maksud riil dari suatu hadis agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam
memaknai hadis tersebut. Sehingga tidak menimbulkan kesan yang
menyebabkan sempitnya hukum Islam dalam memutuskan suatu perkara.
Begitu juga dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 33, Allah هلالج لج
berfirman:
8 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam
Timbangan Islam, 24 9 Abu> Daud, Sunan Abi> Daud (t.p: Dar al-fikr, 1990), cet. 1, Jilid 1,
389.
5
‚ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya‛. (Q.S Al-Ahzab: 33).
Menurut tafsir Departemen Agama dalam ayat di atas
menggambarkan bahwa isteri-isteri Rasul ملسو هيلع هللا ىلص agar tetap di rumah, dan
keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’, perintah
ini juga meliputi seluruh mukminat.10
Artinya, Departemen Agama
memberlakukan makna ayat di atas bagi semua perempuan. Dalam kitab
tafsirnya, Ibn Kathi<r menjelaskan bahwa perempuan mukmin lebih baik
banyak berdiam diri di rumah, dan boleh keluar jika itu karena urusan
penting dan diperlukan, misalnya ke masjid untuk shalat dan sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Rasul ملسو هيلع هللا ىلص.11
Ruang gerak
perempuan yang diperbolehkan adalah pada lingkup ibadah dan
peristiwa-peristiwa yang sangat urgen. Penafsiran yang agaknya terkesan
memihak ini justru kurang diterima dalam konteks budaya saat ini.
Para peneliti pada umumnya menegasikan banyak masyarakat
muslim telah termanipulasi riwayat-riwayat yang tidak otentik atau
salah memahami teks-teks agama sedemikian rupa. Hal tersebut
menciptakan jenis mentalitas primitif yang juga dijumpai di Eropa pada
abad pertengahan. Literatur Eropa abad pertengahan secara umum
menggambarkan bagaimana perempuan dipandang sebagai warga Negara
kelas dua (second class citizen). Jiwa-jiwa yang salah telah
merepresentasikan citra yang terdistorsi sebagai deskriptifitas Islam
yang sebenarnya. Hal ini disebabkan citra perempuan dalam Islam telah
didistorsi oleh penafsiran yang subjektif sehingga terlihat tak adil
kepada perempuan. Hal lain yang mengkhawatirkan adalah adanya
10
Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah al-Munawarah: Mujamma’ Malik Fahd,
1418 H), 672. 11
Lihat Ibnu Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az }i>m (Beirut: Da>r al-Fikr,
1992), jilid 3, 583.
6
kepentingan sehingga menciptakan sebuah pemahaman demi
kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Persepsi ulama fiqh dalam memandang persoalan perempuan
tidak terlepas dari aspek metodologi klasik yang telah mapan dan
cenderung menghasilkan fiqh yang bias gender. Sebab metode tersebut
digagas dan dirumuskan dalam horizon budaya patriarki yang bias
gender, sehingga menghasilkan metode yang maskulin. Namun
demikian, demaskulinisasi metode bukan mengarah kepada feminisme
metode. Demaskulinisasi metode lebih diarahkan kepada dekonstruksi
metode yang menempatkan perempuan sebagai obyek, tanpa pernah ada
perhatian yang serius untuk menjadikannya sebagai subyek yang setara
dengan laki-laki.12
Perempuan pada akhirnya berada pada posisi sebagai
bagian yang memodifikasi dominasi laki-laki. Relasi antara perempuan
dan laki-laki tampak sebagai sebuah relasi yang tidak adil, korup,
manipulatif, dan bersifat garis vertikal. Pengandaiannya seperti majikan
dan bawahan, tuan dan budak. Kondisi perempuan klasik yang tergambar
tersebut banyak terjadi dengan cara berkelanjutan.
Stigma manusia pada umumnya meyakini bahwa perempuan
merupakan manusia lemah, tak mampu menjaga dirinya secara
independen, dan tak dapat dipercaya dalam segala urusan. Ruang gerak
perempuan di dominasi oleh laki-laki, perempuan dianggap sebagai
korban yang tergantung pada laki-laki. Menggantungkan semua detail
urusan perempuan kepada makhluk laki-laki. Posisi perempuan yang
tidak akan pernah menjadi lebih baik dari laki-laki dalam struktur sosial
telah mengakar dalam ideologi Islam klasik.
Superioritas laki-laki semakin jelas tergambarkan dalam wacana
tafsir yang terkait dengan status ontologis dan peran perempuan.
Manusia pertama dalam kebanyakan tafsir dipahami sebagai Adam, yang
lebih sering dipahami sebagai laki-laki13
ayah dari seluruh umat manusia,
sementara Hawa adalah perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk
Adam, bahkan tulang rusuk yang paling bengkok.14
Sebagai manusia
kedua perempuan juga memiliki kemampuan akal atau intelektualitas
dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam tafsir al-
Qurt}ubi< misalnya, dikatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan akal,
12
Nasarudin Umar, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender (Malang: UIN Maliki Press, 2011), 65.
13 Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana
Perempuan dalam Islam (Yogayakarta: Samha, 2003), 5. 14
Ibn Jari>r al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l al-Qur’a >n (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1978), Jilid VII, 81.
7
managerial, kejiwaan dan naluri, yang tidak dimiliki oleh perempuan.15
Naluri laki-laki diyakini didominasi oleh unsur panas dan kering yang
merupakan sumber kekuatan sementara naluri perempuan didominasi
unsur basah dan dingin yang merupakan sumber kelembutan dan
kelemahan.
Senada dengan al-Qurtubi, Zamakhshari< yang berasal dari
kalangan Mu’tazillah dan dikenal dengan rasionalitasnya mengatakan
bahwa laki-laki memiliki berbagai kelebihan diantaranya dalam hal akal,
ketegasan, kekuatan tekad, kekuatan fisik, dan karena itulah menurut
beliau laki-laki menjadi para Nabi, Ulama, kepala negara, dan Imam.16
Dari semua pemaparan di atas bisa tergambar bahwa perempuan hanya
sebagai manusia yang yang minim arti dan fungsi, padahal jika kita lihat
dan telusuri lebih dalam perempuan adalah sosok yang sangat
mempengaruhi berbagai ruang dan gerak bahkan sama dengan laki-laki.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta
memerosotkan kedudukan perempuan tersebut. Faktor ini antara lain
adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan. Apabila seseorang tersebut
matang dalam memahami agama, maka akan bebas dari penyakit cacat
jasmani dan juga ruhani dalam memahami teks agama. Di sisi lain juga
disebabkan oleh daya tubuh, daya hidup, daya akal dan daya kalbu.17
Apabila keempat daya tersebut digunakan dan dikembangkan secara
baik, maka kualitas pribadi akan mencapai puncaknya. Jika perempuan
punya kualitas diri yang bisa menutupi kekurangannya dengan empat hal
sebagaimana yang diuraikan di atas tidak diragukan lagi akan menjadi
pribadi yang beriman, berbudi pekerti luhur, memiliki kecerdasan ilmu
pengetahuan, keterampilan, keuletan serta wawasan masa depan dan
dengan fisik yang sehat. Empat daya di atas agaknya tidak hanya berlaku
kepada perempuan, namun juga kepada laki-laki kiranya.
Perempuan pada hakikat penciptaannya memang berbeda dengan
laki-laki, baik biologis maupun non-fisik. Secara garis besar perbedaan
non-fisik perempuan identik dengan lemah lembut, pengasuh, subjektif
dan emosional sementara laki-laki identik dengan ketegasan, kompetitif,
objektif dan rasional. Perempuan lebih eksklusif dibanding laki-laki
15
Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakar al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m Al-Qur’a>n (Riya>d}: Da>r ‘Alam Al-Kutub, 2003), Juz V, 169.
16 Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakar al-Qurt}ubi, al-
Ja>mi li-Ahka>m Al-Qur’a>n,195. 17
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2014), 439.
8
karena mengalami menstruasi, kehamilan, melahirkan dan menopause.18
Kondisi tersebut secara mendasar adalah perbedaan yang tidak bisa
dipungkiri antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan bawaan lahiriah
dari sang pencipta kepada sepasang makhluk manusia laki-laki dan
perempuan.
Ann D. Gordon dan kawan-kawan dalam artikelnya yang berjudul
‚The Problem of Women’s History‛19
dikatakan bahwa hal yang
signifikan dalam wanita adalah timelessness tak dibatasi oleh waktu,
perempuan lebih patut di rumah, mengandung dan memelihara anak. Hal
ini tentunya gambaran yang tidak adil tentang perempuan. Sehingga
secara mendasar posisi ini telah mendiskereditkan perempuan daripada
laki-laki.
Secara ideologis, pembatasan ruang gerak terhadap perempuan
juga dipicu oleh kekhawatiran kaum laki-laki. Mereka memiliki
kekhawatiran bahwa perempuan diduga akan menyaingi laki-laki jika
seandainya dia berkuasa di ruang publik. Hal tersebut dikarenakan
perempuan sangat berpengaruh pada pertumbuhan kehidupan
masyarakat.20
Kekhawatiran tersebut menciptakan ruang gerak yang
sempit untuk perempuan. Secara sadar ataupun tidak, pola-pola seperti
ini membentuk sebuah keyakinan bahwa laki-laki tidak selayaknya di
atur oleh perempuan. Sehingga menyebabkan adanya ketimpangan
antara perempuan dan laki-laki.
Perlu dipahami bahwa sebenarnya Islam memandang kaum laki-
laki dan perempuan secara utuh, dan masing-masing mempunyai peran
masing-masing. Boleh jadi dalam suatu peran bisa dilakukan oleh laki-
laki maupun perempuan seperti pekerjaan kantoran. Namun dalam peran-
peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh perempuan seperti hamil,
melahirkan, menyusui, yang hanya dapat diperankan oleh kaum
perempuan. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang secara
manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti pekerjaan
yang memerlukan tenaga lebih besar.21
Akan tetapi kebanyakan
penafsiran yang ada, justru membalik stigma positif tersebut. Padahal
18
Margareth W. M, The Psychology of Women, (Florida: Holt, 1987),
17. 19
Berenice A. Carroll, ‚Liberating Women’s History‛, Theoretical and Critical Essay, Urbana Champaign, Illinois (1995) : 75-76.
20 Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Perempuan Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 34 21
Nasarudin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: The Asia
Foundation, 1999), 22-23.
9
masing-masing individu laki-laki dan perempuan mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Kelebihan perorangan tersebutlah yang punya manfaat
untuk dikedepankan.
Perlu diperhatikan bahwa perempuan juga berpatisipasi dan turut
andil di ranah publik, terutama dalam bidang keilmuan agama. Sebagian
mereka ada yang menjadi muhadditha>t, faqih}a>t, dan muftiya>t.22 Sejarah
Islam menuliskan bahwa pada masa periode awal sebenarnya perempuan
di ruang publik sudah digambarkan oleh ‘A >ishah istri Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص.
Beliau perempuan pertama yang secara tidak langsung mempraktekkan
bahwa perempuan bisa berkiprah di ruang publik. Hal ini digambarkan
dalam hadis berikut:
حدثنا أبو عم حدثنا عبد الوارث حدثنا عبد العزيز عن أنس هنع هللا يضر قال : ملا كان يوم أحد اهنزم الناس عن النيب صلى هللا عليو و سلم قال ولقد رأيت عائشة، وأم
نقالن الق ب على سليم، وإهنما ملشم اتن أرى خدم سوقهما نقزان، وقال غريه: 23 توهنما، مث ف غانو ىف أفواه القوم
‘’Aku melihat Aisyah dan Ummu Sulaim sibuk melayani pasukan. Mereka menyingsingkan pakaian sehingga kelihatan gelang-gelang kaki mereka. Dengan langkah cepat mereka mengangkat girbah air untuk memberi minum pasukan Islam’’.
Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami perempuan di ruang
publik sudah ada pada masa awal Islam, seperti yang dilakukan oleh
‘A>ishah dan Ummu Salamah ketika perang. Hal ini tentunya bertolak
belakang dengan anggapan yang keliru mengenai perempuan, bahwa
perempuan dulunya hanya berdiam diri di rumah. Hadis di atas adalah
salah satu sekian banyak hadis yang menggambarkan keadaan
perempuan pada masa awal Islam khusus nya tentang perempuan di
ruang publik.
Selain itu ‘A>ishah juga dikenal sebagai seorang transmitter terkemuka ajaran hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص. Dengan modal pengalaman sebagai
aktivis lapangan semasa mendampingi Nabi ملسو هيلع هللا ىلص. ‘A>ishah kemudian
22
Omaima, Abou Bakr, ‚Gender: Muslim Women Intellectuals In The
Pre-Modern Period,‛ Pluto Journal of Arab Studies Quarterly, Vol. 32, No. 3
(2010), 127-144, http://www.jstor.org/stable/41858621 (accessed: January 18,
2017) 23
Abu> ‘Abdulla>h Muhammad bin Isma’il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h} (Beirut: D<ar ibn Kathi>r, 1987), Juz. 3, 1055.
10
mampu membentuk kekuatan oposisi untuk menentang rezim yang
berkuasa pasca wafatnya Nabi ملسو هيلع هللا ىلص.24
‘A>ishah adalah satu-satunya istri
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص yang memberikan kontribusi besar untuk dunia Islam pada
awal abad Islam.25
Peran ‘A>ishah diatas perlu dilakukan penelitian untuk
menggambarkan keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik pada
masa awal Islam. Pada masa Al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n (632-661),
aktivitas publik ‘A>ishah terus berlanjut. ‘A>ishah sering menyampaikan
gagasan-gagasannya kepada para penguasa dalam urusan kenegaraan.
Salah seorang murid yang juga kemenakannya, ‘Urwah bin Zubayr,
menyebutkan bahwa ‘A >ishah juga aktif di bidang pendalaman keilmuan
yang meliputi kajian hukum, sejarah, sastra, dan geologi.26
Keterlibatan
perempuan di berbagai kegiatan publik tersebut berlanjut dan
berkembang hingga pada abad-abad berikutnya.
Dari uraian fakta di atas kita melihat bahwa adanya dua
pemahaman yang kotroversi. Salah satu sisi terdapat anggapan bahwa
dalam Islam terjadi ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki dan
pandangan lain yang mengatakan bahwa sebalikya tidak ada
ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan. Demi untuk
meluruskan hal tersebut, digambarkan sosok ‘A>ishah yang hidup pada
masa awal Islam dengan perspektif hadis. Hal ini juga dilatari oleh
sumber kedua yang dibutuhkan setelah al-Qur’an adalah hadits Nabi ملسو هيلع هللا ىلص.
24
Haleh Ashfar, ‚Islam and Feminism: An Analysis of Political
Strategies,‛ dalam Mai Yamani (ed), Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives (New York: New York University Press, 1996), 199.
25 Dalam beberapa hadis ‘A>ishah mengungkapkan beberapa peristiwa
yang di luar nalar tentang perbedaan seputar kehidupannya dan keunggulan
beliau sebagai seorang istri Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص. ‚Mereka yang dijadikan istri Nabi ملسو هيلع هللا ىلص
tidak seorangpun yang gadis kecuali aku; hanya kedua orang tuaku yang
melakukan hijrah, Allah telah mengungkapkan keadaanku yang tidak berdosa
setelah terjadinya peristiwa bohong. Malaikat Jibril telah membawa kepadanya
gambaranku dari surga, dan berkata, ‘Jadikan dia istrimu, dia adalah istrimu
kelak’; beliau dan aku berwud}u dalam bejana yang sama, yang tidak dilakukan
kepada istri-istri yang lain kecuali kepadaku, beliau biasa menerima wahyu
meskipun ketika bersamaku, yang tidak pernah di depan istri-istri yang lain
kecuali bersamaku, beliau wafat ketika berbaring di antara detak paru-paru dan
kerongkonganku, beliau wafat di waktu malam pada saat berada dalam
pelukanku, dan beliau dimakamkan di rumahku‛ (Ibn Sa’ad, Fi an-Nisa#’, 43-44). 26
Ali Munhanif, Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), xxviii.
11
Hadis-hadis yang terkumpul merupakan perjalanan kehidupan
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص yang sudah dilakukan oleh umat Islam periode awal.
Bahkan laporan-laporan tentang tindakan dan ucapan beliau dalam
bentuk anekdot atau peristiwa-peristiwa yang melibatkannya sudah
muncul semenjak ia masih hidup, meskipun hal itu dinyatakan terlarang
untuk menuliskannya. Larangan ini disebabkan oleh kekhawatiran Rasul
akan tercampur dengan al-Qur’an. Dia mengancam siapa pun dari
umatnya yang menulis tentang dirinya dengan ancaman api neraka.
Larangan menulis tentang dirinya itu begitu ketat dan ditaati hingga
sekitar seratus tahun setelah wafatnyanya, sehingga sampai awal abad
dua hijriah, tak satu pun laporan tertulis yang ditemukan mengenai
sunnahnya.27
Pada menjelang pertengahan abad ke dua hijriah mulai
tumbuh kesadaran kaum muslimin untuk menyusun suatu dokumen
mengenai ucapan, tindakan, dan ketetapannya. Hal ini terutama
disebabkan oleh kenyataan situasi dan kondisi pada masa itu, di mana
jumlah orang yang mengetahui dan menjadi saksi hidup utusan Allah
semakin lama semakin berkurang.
Usaha pengkodifikasian hadis tahap awal disebut juga periode
pertama, tepatnya pada abad 1 H.28
Memasuki abad II H
pengkodifikasian hadis-hadis sudah mengalami perkembangan dan
terhimpun dalam beberapa kitab Hadis hingga abad ke III H salah
satunya adalah metode ja>mi’ dalam kitab hadis Bukha>ri>.29
Pada abad-
abad berikutnya usaha-usaha yang berkaitan dengan hadis terus
dilakukan demi perkembangan pemahaman hadis di tengah masyarakat.
Sejumlah ulama pada masa itu memerintahkan murid-murid mereka
untuk menulis hadis, seperti yang dilakukan Sa’id ibn Musayyab (w.105
H) yang meminta muridnya, ‘Abd al-Rahma>n ibn Harmalah, menuliskan
hadis Nabi ملسو هيلع هللا ىلص. Pada masa itu pula khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-
102 H/717-720 M), seorang khalifah yang sangat terkenal dari Dinasti
Umayyah, secara resmi memerintahkan pembukuan hadis. Perintah itu
27
D.S. Margoliouth, The Early Development of Muhammadanism
(London: 1997), 65-94. 28
Para ulama mengklasifikasikan sejarah perkembangan hadis pada
tujuh periode, namun secara garis besarnya dibedakan kepada dua periode yaitu
periode sebelum abad ke-III H dan periode sesudah abad III H. Lihat Hasbi Ash-
Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997), 27. 29
Yaitu hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab Ja>mi’ tersusun
berdasarkan metode topik-topik masalah yang dibahas dalam agama seperti
masalah akidah, hukum, adab, tafsir, dan permasalahan lainnya.
12
tercantum dalam surat khalifah yang dikirim kepada Gubernur Madinah,
Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, dan gubernur lain di
wilayah kekuasaan Islam. Pada akhir abad ke dua hijrah, ditulis oleh
Malik ibn Anas (93-178 H), Al-Muwat}t}a’ sebuah buku pertama yang
menyusun cerita-cerita mengenai Nabi ملسو هيلع هللا ىلص,30
hukum-hukum keseluruhan
hadis (Fiqih) dan kehidupan komunitas Muslim awal secara sistematis.31
Namun tidak mencakup keseluruhan ruang lingkup permasalahan
kehidupan.
Beberapa tahun setelah penulisan kitab al-Muwat}t}a’, kitab hadis
yang muncul yaitu kitab hadis Imam Bukha>ri> yang sampai kepada kita
hingga hari ini. Beliau menulis kitab hadis yang khusus menghimpun
hadis-hadis shahih. Kitab itu diberi nama Al-Ja>mi’ al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtas{ar min ‘umu>ri rasu>lilla>hi S{allallahu ‘alaihi wa salam wa
Suna>nihi wa Ayyamihi (untuk selanjutnya akan ditulis kitab S}ahi>h al-
Bukha>ri). Selain karena ingin menulis kitab hadis yang khusus memuat
hadis-hadis shahih sekaligus memuat permasalahan yang mencakup
berbagai bidang masalah kehidupan sehari-hari manusia.
Kodifikasi hadis yang digunakan oleh Al-Bukha>ri> dalam
penyusunan kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> sama halnya dengan
Imam Malik yaitu dengan menggunakan format dan sistematika fiqh,
istinba>t} al-ahkam dan istidla>l bi al-aha>dith. Kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> ditulis salah satunya dilatar belakangi karena ketidakpuasan
Imam Bukha>ri> dalam metode penulisan kitab hadis pada masa sebelum
beliau. Terdapat kitab-kitab hadis yang menghimpun dan
mencampuradukkan kualitas keshahihan dan ked}a’i>fan hadis, metode
seperti ini kurang layak untuk dikonsumsi publik masyarakat awam
umumnya.32
Oleh karena itu Imam Al-Bukha>ri> berinisiatif untuk menulis
kitab hadis yang khusus menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih
saja. Meskipun diketahui bahwasannya terdapat hadis d}a’i>f (lemah)
dalam kitab shahih hadis Bukha>ri>. Namun hadis d}a’i>f yang terdapat
30
Merlin Swartz, Review Work(s): Al-Muwatta of Imam Malik ibn Anas: The First Formulation of Islamic Law, (The Islamic Classical Library.) Middle East Studies Association of North America (MESA), by Malik ibn Anas
and Asha Abdurrahman Bewley , (July 1991) : 102-103. 31
Ali Munhanif, Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, xv.
32 Ibnu Hajar al-Asqala>ni>, Fath al-Bari> Sharh S}ahih al-Bukha>ri> (Kairo:
Da>r al-Rayyan li al-Tura>th, tth), 311-312.
13
dalam kitab Bukha>ri> dinilai ada penguatnya sehingga bisa dinilai
menjadi hasan dan dapat dijadikan sumber hukum.33
Kitab Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> adalah kitab hadis yang
ruanglingkup isi hadis nya sangat luas, Jonathan A.C Brown mengatakan
bahwa kitab Bukha>ri> adalah salah satu kitab hadis yang layak untuk
dibaca dalam kurun waktu untuk tahun yang akan datang, karena kitab
ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap studi hukum Islam
dan Studi Hadis. Kitab hadis ini juga meberikan wawasan penting bagi
pemahaman budaya ilmiah Muslim, serta pembahasan yang mencakup
ruanglingkup dalam masyarakat ekskursi yang sangat informatif.34
Terdapat perbedaan para ulama dalam penamaan kitab hadis
Bukha>ri>, adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat ulama
‘Abdul Fattah Abu Ghadah yaitu Al-Ja>mi’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah Sallallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi. Dalam metode syarah kitab hadisnya Hafidzh
Ibnu Hajar mengatakan bahwa kitab hadis Bukha>ri> menggunakan dua
metode yaitu secara eksplisit dan implisit (Z}ahi>r dan Khafi<). Z}ahi>r yaitu
bersesuaian dengan fakta, semua yang terjadi pada masa Rasulullah
tanpa ada unsur kebohongan dan mengada-ada. Dan yang dimaksud
dengan khafi< yaitu masih membutuhkan penalaran lagi, perlu peninjauan
ulang baik itu dari permasalahan munasabahnya, penafsiran yang rancu,
penjelasan yang masih umum dan hal lainnya. Sedangkan dalam syarat
periwayatannya menurut Imam Nawawi Bukha>ri> terkesan tidak
konsisten dalam penetapan syarat periwayat dalam kitab hadisnya
karena ditemukan pendapat kontradiktif dalam syaratnya terkadang
shahih dan terkadang d}a’i>f seperti ditemukannya hadis mu’allaq
(gugurnya perawi di awal sanad).
Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> merupakan kitab yang paling bagus
penulisannya dibandingkan dengan kitab hadis yang lainnya, sistematis
isinya, dan tarajum35 kriteria urutan hadis merupakan kitab hadis yang
33
Ibn Hajar al-‘Asqala >ni>, Al-Nukat ‘ala> Kita>b ibn al-S}alah (Kairo:
Maktabah Al-Furqan. Ttp), 325-326. 34
Jonathan E. Brockopp, ‚The Canonization of al-Bukhari and Muslim.
The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon by Jonathan A.C.
Brown‛ Islamic Law and Society, Vol. 17, No. 2 (Brill, 2010): 279-282.
http://www.jstor.org/stable/25704011 Accessed: 28-04-2017 09:26 UTC 35
Tarajum merupakan lafaz jama’ dari kata tarjamah yang berarti
pengalihan bahasa, simbol, dan riwayat hidup. Akan tetapi yang dimaksud
dalam hal ini adalah simbol atau topik hadis dan kumpulan hadis yang
mencakup masalah tertentu seperti fiqh, tafsi>r, s}irah dan sebagainya. Lihat
14
paling mumpuni untuk dijadikan pedoman dalil umat Islam. Kitab hadis
Bukha>ri> ditulis selama enam belas tahun, beliau menulis dengan bab
yang sangat rapi tertata dengan detail sesuai tema dan sub-sub bab
kemudian tiap-tiap bab tersebut, beliau memaparkan semua hadis-hadis
yang berkaitan dengan pembahasan.36
Selain itu kitab Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> juga mempunyai syarah kitab hadis nya, sarah kitab hadis ini
mempunyai banyak versi, salah satu syarah yang terkenal itu adalah
fathul ba>ri karya Imam Hajar al-asqalani. Dalam kitab ini terdapat
banyak komentar dan ulasan dan juga menjelaskan secara rinci pendapat
yang palih rajih sehingga memudahkan para pembaca dalam memahami
secara jelas.37
Terlepas dari pro kontra pendapat tentang penilaian ulama
tentang kitab Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> dan kualitas nilai hadis-hadis yang
terkandung di dalamnya. Ada anggapan bahwa hadis-hadis yang terdapat
di dalam kitab Al-Bukha>ri> merupakan hadis Hasan, di sisi lain
beranggapan bahwa hadis hasan tersebut merupakan hadis yang
mendekati kualitas shahih. Meskipun demikian, kitab hadis Al-Bukha>ri>
telah memberikan kontribusi yang besar bagi khazanah pembukuan hadis
Nabi. Pada tataran lain melalui karya beliau telah membantu
pembentukan hukum Islam, melalui kekuatan dalil yang dihimpunnya.
Tulisan ini mengeksplorasi kesalahpahaman sebagaimana yang
telah diuraikan di atas. Hal ini juga berdampak pada gambaran
perempuan khususnya di ruang publik. Oleh sebab itu melalui tulisan ini
tergambar hadis-hadis mengenai perempuan dengan fokus bahasan sosok
‘A<ishah di ruang publik. Keterlibatan perempuan di ruang publik ini
digambarkan oleh sosok ‘A <ishah dalam kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri>.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang uraian di atas, maka perlu di
ungkapkan identifikasi masalah dalam penelitian ini ditinjau dari
berbagai aspek. Antara lain:
Muhammad bin Isma>’i >l al-Ami>r al-Sana>’i dalam judul bukunya Tawd}ih} al-Afka>r li Ma’a>ni Tanqih al-Anzar, tahqiq Muhammad Mahy al-Di>n ‘Abd al-Hami>d, cet.
1 (ttp: Maktabah al-Khaniji, 1945), 40. 36
Ahmad al-Hakim, ‚Shahih al-Bukhari’’. Jami’ As-Sunnah wa Syuruhiha, (Madinah: 2017)
37 Razak Hussein Sarhad, ‚Ta’kibat Ibnu Hajar fi Fath al-Bari ‘Ala
Arai al-Bayhaqi al-Hadisiyati‛, Iraqi University (2015), vol. 2. 165-200
15
a. Bagaimana penjelasan hadis tentang perempuan di ruang publik?
b. Terkait dengan pertanyaan di atas, bagaimana gambaran sosok
perempuan di ruang publik oleh ‘A>ishah dalam kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri>?
c. Ditinjau dari aspek keislaman dan feminisme, bagaimana
semangat keislaman dan feminisme serta eksistensi perempuan
di ruang publik yang dikemukakan pada masa awal Islam dalam
kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> ?
d. bagaimana konteks historis kitab hadis al-Bukha>ri>?
2. Rumusan Masalah
Identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah dipaparkan
di atas memperjelas persoalan utama yang ditelaah dalam penelitian ini
yakni:
a. Bagaimana kitab hadis Ja>mi’ S}ah}i>h} al-Bukha>ri> menggambarkan
‘Aishah sebagai perempuan di ruang publik pada masa awal
Islam?
b. Melalui sudut pandang Islam dan kritik feminisme eksistensialis
Simone de Beauvoir, bagaimana peran perempuan di ruang
publik yang digambarkan oleh sosok ‘A <ishah?
3. Batasan Masalah
Berdasarkan paparan luasnya permasalahan yang disebutkan di
atas, tentu gerakan perempuan secara luas tidak bisa dipaparkan
semuanya. Oleh sebab itu maka demi menghasilkan sebuah tesis yang
jelas, perlu diberikan batasan agar fokus ke pokok permasalahan dan
tidak melebar pada pembahasan yang terlalu jauh. Oleh sebab itu
kemudian tesis ini dibatasi pada semua hadis yang terdapat dalam kitab
Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> yang berhubungan dengan ‘A>ishah sebagai
perempuan di ruang publik. Tesis ini juga tidak banyak mengeksplorasi
perempuan-perempuan lain yang terdapat dalam hadis Bukha>ri>.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan tentu dengan berbagai tujuan. Tujuan
yang ingin diperoleh terangkum dalam berbagai aspek keilmuan yang
bersifat teoritis dan aspek praktis yang bersifat fungsional. Beberapa
tujuan itu adalah:
1. Mendeskripsikan hal-hal mengenai ‘A>ishah r.a di ruang publik
dalam konteks hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> dan mengungkap
16
bahwasannya perempuan di ruang publik telah digambarkan
dalam hadis pada awal abad Islam.
2. Menjelaskan melalui sosok ‘A<ishah bahwasanya ketimpangan
perlakuan terhadap perempuan dari masa awal Islam hingga
sekarang merupakan efek distorsi penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan.
D. Signifikansi Penelitian
Seperti yang diketahui bahwa kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> adalah kitab hadis yang menjadi acuan utama setelah al-Qur’an. Dengan
pernyataan demikian, hasil penelitian ini menjadi penting karena:
1. Dengan menganalisa hadis-hadis yang mengusung feminisme
dan kemerdekaan perempuan, kita dapat memahami; nilai sosial
yang terkandung dalam kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> khususnya. Selain itu, untuk melihat sosok ‘A >ishah sebagai
seorang perempuan diruang publik pada masa awal Islam.
2. Dari sisi praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
untuk membangun kesadaran bahwa perempuan sangat berperan
penting dalam kehidupan sosial.
3. Penelitian ini ingin memberikan bukti fakta ilmiah bahwa posisi
perempuan tidak selalu dimarginalkan dalam literature klasik.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Secara khusus, penelitian dan kajian tentang perempuan di ruang
publik terutama sosok ‘A>ishah dalam kitab Al-Bukha>ri> tidak ditemukan.
Akan tetapi penulis menemukan banyak penelitian tentang perempuan di
ruang publik, ‘A>ishah, dan kajian seputar kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri>. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Jumiatil Huda dengan tesisnya Peran Wanita Dalam Ranah Domestik Dan Publik Dalam Pandangan Islam,38 merupakan kajian
pandangan para aktivis PSW terhadap peran wanita dalam ranah publik
bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang aktivisnya bahwa
berdasarkan drive education perempuan memiliki kualitas akses dan
kesempatan yang sama, maka batas-batas apapun yang itu bisa
dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan. Sedangkan
38
Jumiatul Huda, ‚Peran Wanita Dalam Ranah Domestik Dan Publik
Dalam Pandangan Islam (Studi Pandangan Aktivis Pusat Studi Wanita-UIN
Yogyakarta Dan Aktivis Hibut Tahrir Indonesia)‛, Tesis Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015.
17
pandangan para aktivis HTI bahwa perempuan memiliki andil besar di
tengah-tengah masyarakat seperti berdakwah dan menuntut ilmu.
Sedangkan bekerja mereka menghukumi mubah atau boleh. Namun,
pada tingkat tertinggi seperti menduduki jabatan yang memiliki
kewenangan mengambil kebijakan umum. Adapun persamaan konsep
adalah bahwa dalam hal mendidik mereka memiliki pandangan yang
sama yaitu tugas mendidik adalah tugas bersama dan menentukan
pilihan apakah bekerja atau tidak, dalam artian apakah istri ingin tinggal
di rumah atau tidak. Namun, di PSW menekankan pilihan itu bukanlah
paksaan dari suami. Kedua dari sisi peran pada ranah publik. Di mana
keduanya sama-sama mengakui bahwa perempuan memiliki peran besar
dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan perbedaan konsepnya adalah
dalam domestik, aktivis PSW memandang bahwa yang menjadi kepala
rumah tangga tidak hanya laki-laki, perempuan pun berpeluang menjadi
kepala keluarga. Adapun pada ranah publik, menurut aktivis PSW
wanita memiliki peran dalam semua bidang tanpa terkecuali. Sedangkan
menurut aktivis HTI, wanita tidak diperbolehkan duduk ditampuk
penentuan kebijakan.
Tesis ‚Peran Publik Perempuan Dalam Islam Menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali‛39
ditulis oleh Umar Muchtar Al-Habsyi,
penelitian bersifat analisi-kritis, suatu penelitian yang mengkaji gagasan
primer Muhammad al-Ghazali tentang peran publik perempuan dengan
mendeskripsikan, membahas, dan mengkritik gagasan primer tersebut
dan dikonfrontasikan dengan gagasan primer lainnya. Dalam penulisan
tesisnya Umar Muchtar menggunakan tiga pendekatan yaitu normatif
Islamis, sosio-historis, dan filosofis Islami. Adapun metode
pengumpulan data yaitu libarary research. Temuan penelitian ini Umar
berkesimpulan bahwa konsepsi kesetaraan perempuan dan laki-laki yang
diajukan al-Ghazali merupakan konsepsi kesetaraan, perempuan dapat
berperan dalam wilayah publik ada peran yang bersifat wajib dan ada
peran yang bersifat mubah. Kritik Muhammad Al-Ghazali terhadap
marginalisasi perempuan di wilayah publik diarahkan pada konsepsi
tentang keseluruhan tubuh dan suara perempuan yang dipandang aurat,
konsep jilbab dalam artian menutup seluruh tubuh perempuan (termasuk
wajah), dan hijab yang membatasi ruang gerak perempuan di wilayah
publik, bahkan cenderung mendomestikasi perempuan secara eksrim.
39
Umar Muchtar Al-Habsyi, ‚Peran Publik Perempuan Dalam Islam
Menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali‛, Tesis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
18
Jurnal ditulis oleh Nafriandi dengan judul ‚Perempuan di Ruang Publik dalam Persfektif Hadis‛40
beliau mengatakan bahwa posisi antara
laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, namun potensi takwa yang
ada pada diri masing-masing yang dapat membedakan. Terjadinya
diskriminasi terhadap perempuan disebabkan adanya beberapa riwayat
atau interpretasi yang dapat dinilai lahir dari sisa-sisa pandangan lama
terhadap perempuan. Dari analisa matan terhadap hadis Ummu Sulaim
yang ikut dalam peperangan terlihat jelas bagaimana Ummu Sulaim
berinteraksi dengan sahabat laki-laki untuk mengobati luka dan
menyediakan air.
Wisnawati Loeis dengan jurnalnya Imam Bukha>ri> dan Metode Tashhih dan Tadh’if,41 tulisan ini menelisir metode periwayatan hadis
yang digunakan oleh Bukha>ri>. Wisnawati mendapati beberapa kategori
periwayatan hadis yaitu: secara eksplisit Bukha>ri> tidak menyebutkan
syarat keshahihan dan kedla’ifan sebuah hadis, hanya saja setelah
dilakukan penelitian ternyata beliau menggunakan syarat yang sangat
ketat yaitu Rawi yang ‘adil, tsiqah, dhabit serta bersambung sanadnya.
Dalam penetapan syarat liqa’ Imam Bukha>ri> menetapkan juga syarat
mu’asharah yang mana perawi harus hidup sezaman dan bertemu dengan
sumber hadisnya. Adanya pengulangan hadis dan terkadang muncul
hadis d}a’i>f pada kitab Ja>mi’nya dikarenakan Imam Bukha>ri> terlalau
percaya pada periwayat hadisnya.
Tesis Zulihafni ‚Interpretasi Hadis dan Afiliasi Mazhab (Kajian Syarah-Syarah Hadis Sahih al-Bukha>ri>‛,
42 dalam tulisan ini Hafni
mengatakan bahwa bahasan tentang interpretasi hadis hukum yang
terdapat dalam shahih al-Bukha>ri> dikaji melalui kitab-kitab syarah yang
memiliki latar belakang mazhab yang berbeda. Dengan menggunakan
pendekatan sosio-historis dan metode deskriptif-analitis zulhafni
mengatakan bahwa hal tersebut mempengaruhi penafsiran dan istinbath
hukum. Namun adri pembahasan tersebut diketahui bahwa tidak semua
interpretasi pensyarah hadis sesuai dengan pendapat dan pemikiran
imam mazhab atau mazhab yang dipegang. Muncul dan tumbuhnya
berbagai aliran, paham, mazhab dan corak pemikiran tersebut telah
40
Nafriandi, ‚Perempuan di Ruang Publik dalam Perspektif Hadis‛,
Jurnal Ilmiah Kajian Gender, Vol. VI, No. I, (2016): 57-72. 41
Wisnawati Loeis, ‚Imam Bukhari dan Metode Tashhih dan Tadh’if,‛
Turats, Vol. 4, No. 1, (Juni 2008). 42
Zulihafni, ‚Interpretasi Hadis dan Afiliasi Mazhab (Kajian Syarah-
syarah Hadis Sahih al-Bukhari), Tesis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010.
19
membawa umat Islam ke arah perbedaan pendapat, baik dalam bentuk
ide pemikiran maupun dalam bentuk gerakan. Ini menandai adanya
dinamika pemikiran dan erakan dalam Islam. Dari dinamika tersebut
telah melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi
tonggak perkembangan umat.
Tesis Evu Mahfudoh, ‚Kritik Terhadap Rijal Al-Bukha>ri> (Kajian Kritis atas Tanggapan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Hadyu al-Sari:Muqaddimah Fath al-Bari).43
Tesis ini mengungkapkan tanggapan
Ibnu Hajar al-Asqalani terhadap rijal al-Bukha>ri> yang dkritik ulama
hadis lain, dan bagaimana implikasi periwayatan hadis ari periwayat
yang tidak memenuhi kriteria ‘adl dan dabt dalam kitab al-Ja>mi’ al-
Sahih al-Bukha>ri>. Al-Bukha>ri> selalu memperhatikan sisi permasalahan
yang menjadikan periwayat tersebut ditolak hadisnya. Untuk periwayat
yang mengalami ikhtilat, Bukha>ri> tidak meriwayatkan hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat tersebut sesudah terjadinya ikhtilat. Untuk
periwayat yang megalami kemunduran ingatan karena usia tua, atau
karena kebutaan, dan sebagainya, padahal sebelumnya mereka termasuk
dalam golongan periwayat siqat, Bukha>ri> hanya meriwayatkan hadis dari
mereka semasa mereka masih menjadi periwayat siqat atau memenuhi
kriteria dan dabith. Bukha>ri> juga tidak meriwayatkan hadis yang
periwayatnya melakukan tadlis dalam sanad hadis bersangkutan, untuk
periwayat yang diperdebatkan biasanya Bukha>ri> tidak meriwayatkan
hadisnya sebagai hadis pokok, melainkan sebagai ziyadah, mutaba’ah,
atau syawahid.
Disertasi mahasiswa Indonesia kajian Ushul Fiqih fakultas
Syari’ah Universitas al-Ahgaff Hadramaut, Yaman yang telah dibukukan
ditulis oleh Du’a Mazin, dengan judul ‚Al-Qawa>’id Al-Us}u>liyyah Al-Mustanbat}ah min Fiqhi Sayyidati> ‘A>ishah‛.
44 Du’a Mazin memulai
pembahasannya dengan mendeskripsikan kecenderungan ijtihad para
Sahabat pasca wafat Rasul ملسو هيلع هللا ىلص. Menurut pembacaannya, metodologi yang
ditempuh para sahabat dalam berijtihad menjawab problematika baru
yang muncul sangatlah varian, namun hal tersebut bisa disimpulkan
dalam dua karakter utama; pertama, kelompok yang lebih cenderung
menggunakan aspek nalar yang memfokuskan aktivitas ijtihadnya dalam
43
Evu Mahfudoh, ‚Kritik Terhadap Rijal Al-Bukhari (Kajian Kritis
atas Tanggapan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Kitab Hadyu al-Sari:
Muqaddimah Fath al-Bari)‛, Tesis Universitas Islam Neger Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
44 Du’a Mazin, Al-Qawa’idul Ushu>liyy{ah al-Mustanbat}ah min Fiqhi
Sayyidati ‘A>ishah (Kairo: Darussalam, 2012).
20
bentuk menggali spirit utama dari bunyi harfiah teks syariat demi
menghasilkan ‘illat al-hukmi> (ratio legis) sebagai patokan beranalogi
(qiyas). Di antara pengusungnya adalah Umar bin Khattab dan Ibn
Mas’ud ra. Kedua, kelompok yang lebih memperhatikan aspek riwayat
dan memfokuskan aktivitas ijtihadnya pada pendalaman makna nash
syari’at. Pendapuk metode ini diantaranya Ibnu Umar dan Zayd bin
Tsabit. Tipologi yang digunakan ‘A>ishah, dalam pandangan Du’a Mazin,
adalah semacam sintesa dari dua tren yang ditempuh para sahabat kala
itu. Secara brilian, Ummul Mu’minin dianggap berhasil
mengkompromikan keduanya serta berani mengartikulasikannya dengan
pemikirinnya secara mandiri, sehingga lahirlah satu konsep teoritis
berfiqih yang segar, baru serta hidup.
Kesimpulan kaidah Usul Fikih dari kompilasi Fatwa ‘A >ishah,
Du’a Mazin menggunakan metode induktif, yaitu metode yang bertumpu
pada penelusuran hukum-hukum partikular (furu>’iyyah) yang telah
beliau cetuskan, kemudian menyimpulkannya menjadi kaidah tertentu
yang bersifat universal (kulli>) sebagai pijakan yang dijadikan landasan
berijtihad. Hal ini sangatlah wajar, karena sebagaimana diketahui, bahwa
Sayyi>dah ‘A>ishah tidak pernah menyatakan secara gamblang (s}ari>h) kaidah Usul Fikih yang beliau jadikan acuan dalam memproduksi
hukum. Kendati demikian, bagi Du’a Mazin, hal tersebut bukanlah
berarti menegasikan keberadaan metodologi yang absah dalam aktivitas
ijtihad beliau. Melainkan harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari
generasi setelahnya untuk merumuskan metodologi tersebut secara
intens dan komprehensif dengan menggunakan berbagai macam
pendekatan. Penulis ingin membuktikan bahwa Usul Fikih, sebagai
landasan berfikir dan berijtihad, bukanlah cabang ilmu yang asing dan
‛diada-adakan‛, melainkan fitrah dan sebuah keharusan yang telah
memiliki preseden sejak generasi awal umat Islam.
Arikel Hoda Elsadda45
menulis Biografi ‘A>ishah, Hoda Elsadda
menggambarkan perjalanan kehidupan ‘A>ishah lengkap dengan
keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki ‘A >ishah dari perempuan yang
lain di masa itu. Alasan Hoda memilih untuk menulis biografi ‘A >ishah di
dasari karena beliau adalah seorang figure pada masa Islam klasik,
sejarah Islam menyebutkan secara khusus dan menulis biografi
perempuan tentang ‘A>ishah. Hal ini menandakan bahwa ‘A >ishah
45
Hoda Elsadda, ‚Discourses on Women's Biographies and Cultural
Identity: Twentieth-Century Representations of the Life of 'A'isha Bint Abi
Bakr,‛ Journal Feminis Studies, Vol. 27, No. 1 (Spring, 2001) , 37-64,
http://www.jstor.org/stable/3178448 (Accessed January 18, 2017 02:48).
21
perempuan yang mempunyai kelebihan pada masa sejarah Arab yang
sengaja ditulis lengkap dengan detail dan dikaitkan dengan kehidupan
Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص.
Selanjutnya tesis Mimi Rahma Sari mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan judul ‚Aishah dan Kontribusinya Dalam Ilmu Kritik Hadis‛,
46 dalam tesis ini mimi menuliskan bahwa ‘Aishah
adalah salah seorang sahabat yang paling banyak mengkritik hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat. Hal tersebut di dukung oleh beberapa
faktor. Di antaranya adalah kebersamaan beliau dengan Rasulullah ملسو هيلع هللا ىلص.
Selain itu ia memiliki ingatan yang kuat, cerdas, analisa yang tajam dan
bersikap kritis terhadap setiap hadis yang ia terima. Sahabat datang
kepada ‘A>ishah untuk mengecek hafalannya atau sekedar untuk
menanyakan sebuah permasalahan. ‘A>ishah mempunyai peran dan
kontribusi yang cukup besar dalam merumuskan ilmu kritik hadis.
‘A>ishah telah memberikan inspirasi kepada ulama bahwa ada dua objek
yang perlu diperhatikan ketika hendak mengkritisi sebuah hadis, yaitu
kritik external dan internal (sanad dan matan).
Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang pernah
ditulis sebelumnya, letak perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian yang ada diatas terletak pada kajian perempuan di ruang
publik yang digambarkan olek sosok ‘A>ishah dalam kitab hadis Al-
Bukha>ri>. Kajian tentang perempuan di ruang publik, ‘A >ishah dan kitab
Al-Bukha>ri> mungkin sudah banyak diteliti akan tetapi sejauh ini belum
ada kajian perempuan diruang publik yang dilihat dari sosok ‘Aishah
pada masa awal Islam ditinjau dalam kitab hadis Al-Bukha>ri>. Oleh
karena itu, kajian analisis isi kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> inilah
yang menurut penulis letak dari perbedaan signifikansi penelitian ini.
F. Metodologi Penelitian
Untuk memberikan rincian kegiatan penelitian ini, penulis
menguraikan beberapa hal penting seputar penelitian dan metodologi
penelitian yang dilakukan, yaitu:
1. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, untuk memberi
jawaban atas pertanyaan penelitian dibutuhkan sumber data primer dan
46
Mimi Rahma Sari ‚Aisyah Dan Kontribusinya Dalam Kitab Ilmu
Kritik Hadis‛, Tesis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
22
sekunder.47
Penelitian ini merupakan studi analisa sosok ‘A >ishah dalam
kitab hadis hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri>. Sumber primer dalam
penelitian ini adalah kitab hadis Ja>mi’ S}ahi>h al-Bukha>ri> dan dikung
dengan syarah beliau kitab Fathul Baari. Sedangkan sumber sekunder
terdiri dari pelbagai buku, jurnal, artikel, makalah, encyclopedia, kamus
serta kitab lainnya yang berkaitan dengan penelitian tesis ini.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah jenis
metode penelitian kepustakaan (library research),48 yaitu mengamati,
memahami, dan mempelajari bahan-bahan hadis yang telah
dikumpulkan dari kitab hadis Bukha>ri> dan dianggap berhubungan dengan
objek yang ditulis yaitu ‘A@isyah sebagai sosok perempuan, secara
tematis baik itu sanad dari ‘Aishah maupun matan berkenaan dengan
‘Aishah, kemudian dipaparkan dan dibahas dengan teori Simone
Debeauvoir berdasarkan penjelasan tertentu sesuai dengan tema bahasan.
Selanjutnya dilakukan inventarisasi dan klasifikasi menurut ragam yang
diteliti. Setelah itu data yang telah dikumpulkan kemudian dipilah,
ditentukan dan dianalisis sebagai bahan penulisan, kemudian disusun
kembali dan dituangkan kedalam tulisan sebagai hasil penelitian.
3. Teknis Analisa dan Model Pembacaan Data
Pendekatan yang dipilih dalam menganalisa data dalam
penelitian ini adalah sosio-historis yang mana mengkaji sosok ‘A>ishah
dari sejarah sosial pada awal abad dan pertengahan serta ditinjau dengan
kehidupan perempuan pada abad sekarang. Penelitian ini akan diperkuat
dengan teori bantu feminisme eksistensialisme menurut Simone de
Beauvoir. Adapun langkah kerjanya adalah sebagai berikut: pertama,
dilakukan pembacaan secara utuh dan menyeluruh, sehingga penulis
memilah hadis-hadis yang berkaitan dengan penelitian. Teknik
pembacaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
(content analysis)49
merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk
memperoleh keterangan dari uraian yang sistematis dan dapat diuji
tentang isi manifes dan laten suatu wacana naratif, dan menghasilkan
kesimpulan yang valid tentang konteks naratif yang berdasarkan isi
47
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2014), 256. 48
Anton Bakker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 63.
49 Sujono dan Abdurrahman, Metode Penelitian (Suatu Pemikiran Dan
Penerapan) (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005), 15
23
deskriptifnya, yang disampaikan dalam bentuk hadis-hadis dalam kitab
Al-Bukha>ri>.50
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis penelitian yang bersifat melukiskan realitas sosial mengenai
perempuan di ruang publik yang ada dalam masyarakat pada masa abad
awal Islam.
4. Teknik Penyajian Analisa Data
Teknik penyajian analisis data yang dilakukan dalam penelitian
ini menggunakan metode deskriptif-analisis dan induktif, yaitu
mendeskripsikan data dan fakta-fakta yang ditemukan kemudian disusul
dengan analisis terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan yang
ingin dikemukakan oleh peneliti. Metode ini diharapkan mampu
menyajikan deskripsi analisis data secara cermat dan jelas, sehingga
penelitian ini jelas, lugas dan langsung pada pokok inti yang dimaksud.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini akan dibuat dalam lima bab
dengan sub bab yang secara umum digambarkan sebagai berikut:
Pada bab pertama akan dijelaskan Pendahuluan yang akan
menguraikan sub-sub bahasan di bab-bab selanjutnya yang terdiri dari
latar belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan,
tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian. Bab ini sangat penting karena memberikan
gambaran awal kepada pembaca terhadap keseluruhan isi di bab-bab
selanjutnya termasuk pendekatan, teori yang digunakan sebagai alat
untuk membantu memberikan solusi dalam permasalahan, serta tujuan
akan diperoleh dalam penelitian ini.
Pada bab dua diskursus Perempuan Dalam Budaya dan agama.
Gambaran tentang perempuan yang terdiri dari penciptaan perempuan,
kehidupan perempuan, potensi perempuan dalam contoh sosok ‘A<ishah,
kodrat perempuan, persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan,
dinamika perempuan dalam budaya Islam dan polemik status ‘A<ishah
sebagai perempuan di ruang publik dalam kajian hadis.
Pada bab ketiga akan dijelaskan representasi kitab Shahih Al-Bukha>ri> terdiri dari, latar belakang Imam Bukha>ri> selaku pengarang
Kitab Ja>mi’ S}ah}i>h}, sejarah kepenulisan dan perkembangan kitab hadis
50
Bernard Berelson, Analysis Research (New York: Stratford, 1952),
114.
24
Al-Bukha>ri>, status Al-Bukha>ri> dalam perdebatan otentisitas hadis dan
kritik terhadap kitab hadis Al-Bukha>ri>.
Pada bab keempat tergambar ‘A>ishah dalam kitab hadis Al-
Bukha>ri> sebagai peran perempuan di ruang publik, dalam kehidupan
sosial, sebagai pemimpin, sosok penda’wah yang membantu Rasulullah
dan sosok istri. Dalam bab ini juga akan menggambarkan eksistensi ملسو هيلع هللا ىلص
‘A<ishah sebagai gambaran perempuan di ruang publik hasil dari analisis
hadis-hadis mengenai perempuan di ruang publik. Dan terakhir gagasan
feminisme dari sosok ‘A>ishah.
Bab terakhir atau Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan ini didapatkan dari rumusan masalah yang telah dijelaskan
pada bab pertama.