kejadian 3
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
Kejadian 3:1-7. Perjumpaan yang Membalikkan Banyak HalPosted on 1 March 2013 by ntprasetyo
3 Votes
Nats: Kejadian 3:1-7
Oleh: Ev. NT. Prasetyo, M.Div.
Umumnya di kalangan Kristen, malapetaka di dalam Kejadian 3 disebut “kejatuhan”
(fallness). Di dalam Alkitab Indonesia terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, Kejadian 3
juga diberi judul perikop berbunyi “Manusia Jatuh ke dalam Dosa”. Tapi ada tiga penulis
bernama Steve Jeffery, Mike Ovey, dan Andrew Sach, ketiganya menulis buku berjudul
“Tertikam oleh karena Pemberontakan Kita” (ini judul edisi Indonesia, diterbitkan oleh
Momentum), menyatakan bahwa peristiwa dalam Kejadian 3 ini lebih tepat disebut
sebagai “dekreasi”. Allah telah ber-“kreasi”; tapi iblis menggoda manusia dan
mengakibatkan terjadinya “dekreasi”, dan dengan kuasaNya Allah akan sepenuhnya
melakukan “re-kreasi” (penciptaan kembali).
Mengapa Kejadian 3 lebih tepat disebut sebagai “dekreasi”, karena pasal ini mencatat
“pembalikan dari banyak rencana Allah” bagi ciptaanNya yang semula. Semula, setelah
Allah menciptakan segala sesuatunya, Ia mengatakan dalam Kejadian 1:31, “sungguh
amat baik”, namun melalui peristiwa dalam Kejadian 3, apa yang telah Tuhan ciptakan
“sungguh amat baik” itu diobrak-abrik. Pembalikan ini terlihat sangat jelas di dalam
pertemuan antara si ular dan perempuan di dalam Kejadian 3:1-7 (Perempuan itu saya
sebut sebagai “perempuan” dan belum sebagai Hawa, karena sebutan Hawa baru
diberikan “setelah” dekreasi terjadi). Karena itu, kotbah kita sore ini sangatlah tepat
kalau diberi judul: Perjumpaan yang Membalikkan Banyak Hal.
Ada dua hal yang ular lakukan terhadap Perempuan:
A. Ular mengajukan Pertanyaan yang Menjebak.
Di ayat 1 dari pembacaan kita, si ular diperkenalkan sebagai mahluk yang “cerdik”.
Kecerdikannya ditunjukkan pertamakali dalam ayat 1 bagian b ketika ia mencobai
pengetahuan manusia akan Firman Allah, “Tentulah Allah berfirman, ‘Semua pohon
dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?’”.
Apakah ular tidak tahu bahwa manusia boleh makan buah dari semua pohon dalam
taman itu? Saya pribadi tidak yakin bahwa ular tidak tahu. Alkitab tidak jelas
menunjukkan hal itu. Melalui satu pertanyaan ini, saya melihat ular melancarkan
setidaknya dua jebakan! Dua jebakan, dari satu pertanyaan:
1. Ular hendak mengetes pengetahuan Perempuan.
Anda akan melihat bahwa ular sedang mencobai pengetahuan manusia akan Firman
Allah. Apakah sungguh perempuan mengetahui isi Firman Allah. Ini adalah sebuah
serangan tahap pertama atau jebakan pertama. Kalau ternyata melalui pertanyaan ini,
perempuan sudah menunjukkan ketidaktahuannya atau keragu-raguannya akan Firman
Allah, untuk apa ular repot-repot melancarkan serangan lebih lanjut?!
Dan ada sarjana Alkitab yang menunjukkan mengapa harus perempuan yang
pertamakali menerima cobaan iblis. Karena sebelumnya perintah tentang boleh dan
tidak boleh makan buah ditujukan kepada Adam. Jadi Adam adalah orang pertama yang
mendengar langsung perintah itu dari Allah. Kekuatan perintah itu di dalam diri Adam
tentu lebih besar, ketimbang dalam diri Hawa yang hanya menerimanya sebagai orang
kedua.
Jadi, ular betul-betul menunjukkan kecerdikannya disini! Ia tahu siapa sasaran yang
lebih berpotensi jatuh. Ia tahu bagaimana melakukan pendekatan pertama. Ia mencobai
pengetahuan perempuan, apakah betul perempuan tahu apa yang Allah firmankan?
Bukankah pola ini yang juga iblis gunakan terhadap Yesus ketika ia mencobai Yesus di
padang gurun? Iblis mencobai pengetahuan Yesus tentang identitas diriNya sendiri;
tentang siapa diriNya sebenarnya, lalu menuntut bukti dari pengetahuan itu dengan
“mengubah batu menjadi roti”! (Matius 4:3). Yesus yang telah memiliki pengetahuan
jelas tentang “siapa Saya”, tidak mau meladeni tuntutan ular itu. Yesus tidak berusaha
membuktikan pengetahuan diriNya tentang “siapa Saya”. Yesus sudah jelas mengenal,
siapakah diriNya sebetulnya.
Sampai tahap ini, kita melihat bahwa pengetahuan adalah penting! Para teolog biasa
menjelaskan bahwa apa yang disebut “iman” terdiri dari tiga unsur ini:
1. Notitia (pengetahuan) tentang apa yang diimaninya.
2. Assensus (persetujuan) atau setuju dengan apa yang diimaninya.
3. Fiducia (ketaatan) atau mau mentaati atau mempercayakan hidupnya ke dalam apa
yang dipercayai.
Jadi salah satu isi iman yang penting adalah “pengetahuan”. Bagaimana kita mau setuju
atau menyerahkan diri untuk taat kepada sesuatu, kalau kita tidak tahu apa yang harus
kita setujui dan taati?! Pengetahuan itu perlu.
Ironisnya, zaman sekarang banyak orang Kristen menganggap pengetahuan itu tidak
penting, dan yang penting adalah pengalaman atau mujizat. Bahkan banyak para
pendeta tidak memberikan teladan yang baik, dengan tidak bersedia untuk menempuh
studi teologi yang bertanggungjawab dan berharap pada hikmat Tuhan semata.
Untunglah kalau di dalam kerendahan hati orang itu, Tuhan masih berkenan pakai
(seperti seorang hamba Tuhan besar yang kotbahnya rutin saya dengarkan lewat radio
meskipun dia tidak berpendidikan teologi formal). Tapi banyak hamba Tuhan yang tidak
belajar teologi, tapi sombong pula dengan “ketidaktahuannya”. Padahal Tuhan Yesus
pernah berfirman, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37). Jadi akal budi tidak
boleh dicampakkan dalam melayani Tuhan.
Dalam 1 Timotius 1:13, Paulus menulis bahwa kehidupannya yang garang dan melawan
Allah di masa lalunya, adalah sebuah kehidupan yang telah ia jalani “tanpa pengetahuan
yaitu di luar iman.” Paulus juga mengajarkan bahwa ketika kita percaya Tuhan Yesus,
kita beroleh pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus,
dan pengetahuan itu memberikan kepada kita terang Allah, karena Allah membuat
terangNya itu bercahaya di hati kita (2 Korintus 4:6). Dan Ibrani 10:26 memperingatkan
orang yang telah “memperoleh pengetahuan kebenaran” tetapi dengan sengaja berbuat
dosa, “maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu” (Ibrani 10:26). Dari ketiga
ayat ini, kita membaca bahwa di dalam iman ada unsur pengetahuan, yaitu
pengetahuan akan kebenaran; pengetahuan akan kemuliaan Allah.
Setiap kali Anda mendengarkan pengajaran atau kotbah yang memaparkan kebenaran
Alkitab, maka Anda sedang mengisi diri Anda pengetahuan akan kebenaran;
pengetahuan akan kemuliaan Allah. Pengetahuan ini penting bagi Anda. Iblis akan
menuntut hal itu dari Saudara! Selama ini Saudara rajin ke gereja, rutin setiap minggu,
namun tahukah Saudara dengan sesungguh-sesungguhnya, akan apa yang Anda
lakukan? Tentang siapa diri Anda dan siapa Tuhan bagi diri Anda? Tentang perintah-
perintah Tuhan yang telah Tuhan sampaikan kepada Anda? Jangan-jangan Anda tidak
tahu, dan kalau sudah begitu, iblis tidak perlu repot-repot lagi melangkah ke tahap
serangan berikutnya!
Anda harus memiliki pengetahuan akan kebenaran dan kemuliaan Allah di dalam
Kristus! Itu dapat Anda peroleh dengan rajin membaca Alkitab dan belajar Firman Tuhan
melalui berbagai sarana. Dalam 2 Petrus 1:5, rasul Petrus mengingatkan, “Justru karena
itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada
imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan….” Pengetahuan sedikit yang
Engkau miliki ketika Engkau beriman kepada Tuhan Yesus, sewajarnya akan membawa
Engkau semakin menggali pengetahuan akan kebenaran dan kemuliaan Allah yang
lebih mendalam lagi. Istilah kerennya, “Faith seeking Understanding” (Iman mencari
pengertian). Iman berisi pengetahuan, dan akan mengejar pengetahuan! Terutama
pengetahuan akan kebenaran dan kemuliaan Allah di dalam Kristus.
Di ayat 2, Perempuan menjawab, “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami
makan.” Melalui jawaban ini, perempuan itu seolah-olah meralat pernyataan ular. Bukan,
bukan semua pohon “jangan” kamu makan, melainkan semua pohon “boleh” kamu
makan. Disini perempuan menunjukkan pengetahuannya akan Firman Allah, meski dia
hanya orang kedua yang menerima Firman itu, dan tidak mendengar langsung dari
mulut Allah.
2. Ular mencoba membuat Perempuan mencurigai Kebaikan Allah.
Tapi jebakan ular melalui pertanyaan pertamanya bukan terletak pada masalah
pengetahuan saja. Steve Jeffery, Mike Ovey, dan Andrew Sach menunjukkan jebakan
lain yang muncul dari pertanyaan pertama ular. Berikut ini saya kutipkan pernyataan
Jeffery, Ovey, dan Sach:
Ia (ular) juga mempertanyakan kebaikan Allah. Ini terbukti dari pertanyaan pertamanya,
di mana ia menyindir secara tidak langsung bahwa perintah Allah lebih mengekang
daripada yang sebenarnya: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini
jangan kamu makan buahnya, bukan?” (Kej.2:16; cetak miring ditambahkan). Bahkan,
Allah tidak pernah mengatakan hal semacam itu; Ia telah memberikan Adam dan Hawa
kebebasan yang besar – “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya
dengan bebas” (Kej.2:16; cetak miring ditambahkan). Dari sekian banyak kelimpahan
Taman Eden, hanya buah dari satu pohon yang dilarang (ay.17). Hawa nampaknya
menyoroti taktik ini, dan mengoreksi fitnah si ular: “Buah pohon-pohonan dalam taman
ini boleh kami makan” (Kej.3:2). Tetapi kemudian, tragisnya ia mengalah pada
kesalahan yang sama, pertama ia secara halus merendahkan ketetapan Allah yang
murah hati (ia tidak mengulangi rujukan Allah penuh anugerah tentang “semua pohon”)
dan kemudian secara halus melebih-lebihkan ketatnya larangan Allah dengan
mengklaim bahwa Allah telah melarang mereka bahkan untuk “[me]raba” (ay.3) pohon
pengetahuan yang baik dan yang jahat itu. (halaman 106 edisi Indonesia).
Jadi, pertanyaan pertama ular adalah semacam sindiran untuk mempertanyakan
kebaikan Allah. Dan jebakan kedua ular ini membuat perempuan jatuh dalam
perangkapnya. Ini adalah sebuah pembalikan. Harusnya manusia menaklukkan bumi,
termasuk hewan, dan bukan hewan menaklukkan manusia. Tapi karena termakan tipu
daya ular, perempuan mulai memperberat Firman Allah; atau membuat Firman itu
tampak lebih berat dari seharusnya. Di ayat 3, Perempuan menjawab ular, ” tetapi
tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu
makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Pertanyaannya, apakah Allah pernah
berfirman dalam Kejadian 2:16-17 bahwa “jangan meraba”? Perempuan sendirilah yang
menambah-nambahi Firman Allah. Dia sendiri mulai terjebak untuk meragukan kebaikan
Allah.
Apakah Allah betul-betul baik, karena FirmanNya nampaknya sedikit berat. Pikiran inilah
yang dimunculkan ular ke dalam pikiran Perempuan. Inilah cara kerja Iblis di dalam
pikiran kita; mendorong kita untuk berpikir bahwa Firman Tuhan itu berat bahkan tidak
mungkin untuk anak-anak Tuhan lakukan. Memang bagi mereka yang tidak percaya
Yesus dan tidak memiliki Roh Kudus dalam hidupnya, tidak mungkin untuk melakukan
perintah Tuhan, namun bagi anak-anak Allah seperti kita, ada Roh Kudus yang
memberikan kepada kita kekuatan untuk melakukan perintah Tuhan.
B. Ular Menumbuhkan Kesan di Hati Perempuan bahwa Larangan Allah Tidak
Serius.
Ayat 4 lalu mencatat, “Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu
tidak akan mati.” Melalui ayat ini, ular hendak menimbulkan kesan dalam diri perempuan
bahwa ketika Allah memberikan perintah itu, Allah tidak benar-benar serius. Allah hanya
sedikit membesar-besarkan (dalam canda), seperti halnya perempuan pun telah
membesar-besarkan tuntutan Tuhan di ayat 3. Jeffery, Ovey, dan Sach menulis:
Si ular menekankan poin itu lebih lanjut, mengimplikasikan bahwa hukum Allah egois,
bahkan bersifat menindas: “tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu
memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang
yang baik dan yang jahat” (ay.5). Implikasi dari hal ini adalah bahwa ada sesuatu yang
baik yang Allah tidak berikan kepada umat manusia. Ini adalah sebuah penyangkalan
terhadap kebaikan Allah. (halaman 106 edisi Indonesia).
Jadi, ular hendak memberikan kesan dalam diri perempuan bahwa Allah itu egois dan
tidak baik, dan bahwa Allah itu membesar-besarkan masalah. Ular menumbuhkan kesan
dalam diri perempuan bahwa perintah Allah itu tidak perlu terlalu dianggap serius.
Artinya, ular mengajak perempuan untuk melanggar unsur kedua dan ketiga dari iman,
yaitu assensus dan fiducia. Perempuan tidak perlu menyetujui dan mentaati perintah
Allah. Allah sedang bercanda dengan agak kelewatan.
Tapi apa dampaknya jika perempuan mempercayai tipu muslihat iblis ini? Ilustrasi ini
dapat memperjelasnya bagi kita. Dahulu saya pernah punya cinta pertama; seseorang
yang saya cintai sebelum saya pernah mengenal wanita yang menjadi isteri saya
sekarang. Lima tahun saya mengejarnya, dan cinta saya tidak perlu diragukan lagi. Pagi
hari sebelum ia berangkat kerja, saya sudah menunggunya dari pukul empat atau lima
pagi di depan gang rumahnya. Saya menunggunya muncul di depan gang rumahnya,
dan biasanya dia muncul pukul setengah enam pagi. Lalu saya antar dia dari rumahnya
ke Jakarta dan di bus kota, di sepanjang perjalanan, saya merayu dia. Pokoknya, soal
cinta, saya tidak diragukan lagi (pada waktu itu!).
Tetapi saya tidak sungguh-sungguh belajar menganggap serius apa yang pernah ia
nyatakan tentang dirinya. Ia pernah menyatakan bahwa ia phobia dan sangat takut
kepada segala hal yang membentuk pola seperti pada sayap kupu-kupu. Jadi, bulu
ayam pada kemoceng yang memiliki pola tertentu, membuatnya sangat takut. Ia pernah
membahayakan anggota keluarganya karena phobia-nya tersebut.
Tapi pada waktu itu, saya tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Sampai
pada suatu kali, ketika dia berulangtahun, saya menghadiahi dia sebuah kado yang
saya bungkus dengan bungkus kado yang penuh bergambar kupu-kupu. Tentu saja dia
sangat takut! Saya tidak betul-betul menghargai apa yang ia pernah nyatakan tentang
dirinya. Saya anggap itu ringan saja.
Dalam suatu kesempatan lain, ketika retreat aktivis, saya melihat dia meringkuk
ketakutan karena di atas tasnya ada kupu-kupu. Saya menyingkirkan kupu-kupu itu dari
atas tasnya. Saya tidak sadar, seandainya dia tahu bahwa saya telah melakukan itu,
mungkin itu sebuah bentuk tindakan kepahlawanan yang sangat berarti. Tapi pada
waktu itu dia tidak melihat tindakan itu. Yang terjadi justru sebaliknya, saya malah
menghadiahi dia sebuah kado dengan bungkus bergambar kupu-kupu. Apa akibatnya
bagi relasi? Merusak bukan? Seperti ini pula yang terjadi antara Perempuan dengan
Tuhan di Taman Eden! Ular berusaha menanamkan dalam pikiran Perempuan bahwa
perintah Tuhan itu “lebay” dan tidak serius. Ini adalah sebuah pembalikan, karena
harusnya manusia lebih serius mendengarkan perkataan PenciptaNya, dan bukan pada
perkataan ular, ciptaan yang lebih rendah dari manusia.
Sekarang kita melihat, dalam perjumpaan antara Perempuan dan Ular ini, ada dua
perkara yang dilakukan Perempuan:
A. Perempuan Menyikapi Situasi Berdasarkan Penilaiannya Sendiri.
Dengan tepat, Steve Jeffery, Mike Ovey, dan Andrew Sach menyatakan,
“Pemberontakan Hawa pada dasarnya adalah tindakan mengutamakan otonomi, di
mana ia menempatkan imannya bukan pada apa yang telah Allah nyatakan melainkan
pada penilaiannya sendiri terhadap situasi tersebut.” Baca ayat 6, “Perempuan itu
melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula
pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan
dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia,
dan suaminyapun memakannya.” Frasa “perempuan itu melihat” menunjukkan
bagaimana perempuan menilai situasi berdasar penilaiannya sendiri, dan tidak
berdasarkan pada kebenaran Firman Allah.
Disini kita melihat ada sebuah “dekreasi”. Harusnya urutannya adalah Tuhan baru
manusia. Tapi disini, perempuan itu menempatkan manusia di atas Tuhan. Penilaian
manusia di atas penilaian Tuhan. Manusia mengandalkan kepintarannya sendiri, dan
bukan petunjuk dari Tuhan. Manusia hidup diatur oleh dirinya sendiri, dan bukan oleh
Tuhan serta FirmanNya. Ada sebuah pembalikan kedudukan. Dan ketika Perempuan itu
memberikan buah terlarang itu pada laki-laki, Adam pun tanpa penilaian menerima saja.
Ini wujud lain dari dekreasi, harusnya laki-laki menaklukkan dunia, tapi malah laki-laki
takluk pada perempuan. Ini sebuah wujud pembalikan yang lain lagi.
Dan akibatnya adalah bencana! Ayat 7 mencatat, “Maka terbukalah mata mereka
berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon
ara dan membuat cawat.” Mata mereka terbuka tentang tipu muslihat iblis. Iblis memang
senang promosi di awal, padahal isi barang yang ditawarkan tidak seperti yang
dipromosikan. Ada ilustrasi, seorang laki-laki suatu hari bermimpi dan diperlihatkan oleh
iblis kenikmatan neraka. Ada pantai disana, penuh dengan wanita berbikini; ada pasir
yang indah; dan udara yang segar. Ia terbangun dari mimpinya, dan ia menceritakan
kemana-mana tentang indahnya neraka. Namun suatu hari ia mati. Dari hasil
penghakiman Allah, ia ditetapkan masuk Neraka. Namun betapa terkejutnya ketika
mengetahui bahwa keadaan neraka sangat mengerikan, panas, dan penuh penderitaan.
Laki-laki itu protes kepada iblis, karena pemandangan neraka yang dilihatnya tidak
seperti yang ia lihat dalam mimpin. Dan iblis pun menjawab, “Man, khan, dulu itu cuma
promosi, Man! Nah, inilah kenyataannya!” Jadi seperti orang mempromosikan suatu
produk untuk menarik pembeli, demikian setan “mempromosikan” neraka untuk
menyeret orang dihukum disana bersama-sama dengannya. Disini kita melihat ada
pembalikan. Harusnya manusia menilai situasi dari sudut pandang Tuhan yang
empunya segalanya, dan bukan menilai situasi berdasarkan otonominya sendiri yang
sudah dipengaruhi iblis.
B. Manusia Berupaya Menutupi Keadaan Dirinya yang Sudah mengalami Dekreasi.
Dan apa reaksi “wajar” dari manusia yang telah mengalami dekreasi? Mereka
mengupayakan kebenaran diri mereka sendiri. Mereka “menyemat daun pohon ara dan
membuat cawat” untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan membuat pakaian yang
berwujud bikini itu. Dan upaya itu masih tergambar dalam kehidupan manusia bahkan
sampai abad ini. Saat ini orang berupaya membuat bikini-bikini bernama “agama”.
Manusia membuat banyak sistem agama untuk mencoba menutupi apa yang salah
dalam dirinya; dalam kehidupannya.
Ada something wrong dengan kehidupan ini. Tapi kebanyakan mereka tidak tahu,
karena itu perlu pengetahuan akan kebenaran. Itulah mengapa kita memberitakan Injil,
untuk memberitakan pengetahuan tentang kebenaran dan kemuliaan Allah di dalam
Kristus. Tetapi ada pula orang yang tahu tentang kebenaran, tapi tidak setuju
dengannya. Atau mereka tahu dan setuju, seperti Gus Dur, tapi tidak mempercayakan
diri dengan apa yang diketahui dan disetujui. Mereka memiliki mengenakan bikini-bikini
buatan mereka sendiri yang bernama “agama”. Disini kita melihat adanya pembalikan.
Harusnya manusia mengandalkan pertolongan yang dari atas ke bawah, dan bukan
mengandalkan diri dengan kekuatannya dari bawah ke atas.
Agama itu buatan manusia, berupaya membawa yang di bawah ke atas. Tapi Tuhan
mengaruniakan kepada kita lebih dari sekadar bikini, yaitu mengaruniakan Anak Allah
dari atas ke bawah. Bikini tidak cukup untuk melindungi kita dari panas dan dingin,
demikian juga agama tidak cukup menutupi kita dari pandangan Allah yang Mahasuci.
Tapi Ada Anak Allah yang turun ke bumi, menjadi manusia sama seperti kita, bernama
Yesus Kristus, menjalani kehidupan yang benar dan suci sesuai kehendak Allah, lalu
menderita dan mati di kayu salib untuk menggantikan kita menanggung murka Allah,
padahal harusnya kita yang berdosalah yang dihukum Allah. DarahNya tercurah dari
atas kayu salib dan kita terima dengan iman, untuk membasuh kita dari dosa-dosa kita.
Ketika kita telah disucikan dengan darahNya, Ia mengenakan kepada kita pakaian baru;
jubah yang putih bersih; Ia mengenakan kebenaranNya atas kita, dan bukan sekadar
bikini yang bernama agama.
Demikian kita, orang-orang yang atasnya kebenaran Kristus telah diperhitungkan, dapat
belajar tiga poin untuk kita praktekkan:
1. Persembahkan akal budimu kepada Tuhan dan kejarlah pengetahuan akan
kebenaran dan kemuliaan Allah di dalam Kristus.Anda perlu rajin membaca Alkitab;
tekun mempelajari Firman Tuhan melalui berbagai sarana yang mungkin.
2. Waspada dengan upaya iblis untuk membuat kita mencurigai kebaikan
Allah. Pengetahuan saja tidak cukup. Setan punya pengetahuan. Ini kita bisa baca
dalam Matius 4. Yakobus 2:19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu
baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Juga
dalam Injil pernah dinyatakan betapa iblis pun memiliki pengetahuan tentang siapa
Yesus. Tapi ini tidak cukup. Tidak sebatas tahu, kita harus setuju dan mempercayakan
diri pada kebaikan Allah.
3. Belajar menilai segala situasi dari Terang Firman Allah, bukan berdasarkan
otonomi manusia. Ketika kita sedang menghadapi pencobaan, disitulah kita
diperhadapkan pada pilihan: Otonomi Allah atau otonomi kita sendiri; Terang Firman
Allah atau hikmat manusiawi.
(Dikotbahkan dalam Persekutuan Komisi Pemuda GK Kalam Kudus Jayapura,
Kamis/28 Februari 2013).