kehidupan sosial – ekonomi nelayan di sungai ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di...

81
KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI SEBANGAU, KALIMANTAN TENGAH OLEH: MARKO MAHIN WWF INDONESIA KALIMANTAN TENGAH OKTOBER 2011

Upload: others

Post on 23-Mar-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI SEBANGAU,

KALIMANTAN TENGAH

OOLLEEHH::

MMAARRKKOO MMAAHHIINN

WWWWFF IINNDDOONNEESSIIAA KKAALLIIMMAANNTTAANN TTEENNGGAAHHOOKKTTOOBBEERR 22001111

Page 2: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

KKAATTAA PPEENNGGAANNTTAARR

Baseline study ini dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi yang terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sebangau, yakni di daerah aliran Sungai Bakung, Sungai Rasau, dan Sungai Bangah. Data dan informasi yang diperoleh digunakan untuk menyusun Project Design Document, dengan mengikuti Climate, Community and Biodiversity Standards.

Baseline study ini bisa bisa terlaksana karena inisiatif dan bantuan banyak pihak. Karena itu dengan segala ketulusan hati, kami sampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. WWF Indonesia Kalimantan Tengah2. Masyarakat nelayan di sungai Sebangau3. Damang Basel Bangkan4. Semua pewawancara yang dengan tekun mengumpulkan data di

lapangan.

Kiranya laporan ini dapat berguna, secara khusus bagi pengembangan pola hidup yang lestari.

Palangka Raya, 9 Desember 2011

Marko Mahin

Page 3: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

DDAAFFTTAARR IISSII

KKAATTAA PPEENNGGAANNTTAARRDDAAFFTTAARR IISSII

BBAAGGIIAANN 11PPeennddaahhuulluuaann

1.1. Latar Belakang 11.2. Tujuan Kegiatan 41.3. Output Kegiatan 4

BBAAGGIIAANN 22MMeettooddee PPeenneelliittiiaann

2.1. Lokasi Penelitian 62.2. Penentuan Responden 102.3. Karakteristik Responden 112.4. Waktu dan Alur Penelitian 132.5. Cara dan Tahapan Pengumpulan Data 142.6. Metode Analisis Data 14

BBAAGGIIAANN 33HHaassiill PPeenneelliittiiaann

3.1. Situasi Pemukiman 163.2. Pembagian Musim 213.3. Kategori Nelayan 23

a. Berdasarkan Asal-Usul 23b. Berdasarkan Pola Kerja 26

3.4. Daerah Tangkapan 283.5. Pola Penguasaan dan Kepemilikan 32

a. Sungai Utama 32b. Rawa Terbuka dan Rawa Tertutup 33c. Sungai Kecil dan Saka 34d. Baruh dan Talaga 35e. Tatas 36

3.6. Mekanisme Pemanfaatan SDA 363.7. Tangkapan 383.8. Teknologi Tangkapan Ikan 40

Page 4: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

3.9. Pola Kerja 433.10. Pola Penjualan 443.11. Pekerjaan Lain 473.12. Tabat dan Hasil Tangkapan 563.13. Kebakaran Hutan dan Hasil Tangkapan 583.14. Penggunaan Racun dan Setrum Ikan 623.15. Kearifan Lokal 643.16. Perubahan Iklim 67

BAGIAN 4Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan 69

4.2 Saran 73

BAGIAN 5Penutup

5.1. Penutup 77

Page 5: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

1

11PPEENNDDAAHHUULLUUAANN

11..11.. LLaattaarr BBeellaakkaanngg

Pengelolaan Taman Nasional senantiasa memerlukan dukungan biaya dalam jumlah cukup besar. Biaya diperlukan antara lain untuk patroli pengamanan kawasan, penanggulangan kebakaran, membina hubungan dengan pemangku kepentingan di daerah, pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, dan tentunya komponen biaya rutin seperti untuk gaji pegawai dan biaya-biaya administrasi. Kawasan Taman Nasional Sabangautermasuk besar dalam ukuran, dimana luasnya lebih dari 500.000 hektar. Terletak di antara dua sungai, yakni Sungai Sabangau dan Sungai Katingan, dimana banyak anak-anak sungai dan danau-danau sampai ke bagian tengah kawasan. Secara administratif kawasan TN Sabangauberada pada tujuh wilayah kecamatan di tiga kabupaten/kota, yakni Kecamatan Tasik Payawan, Kamipang, Mendawai, Katingan Kuala (di wilayah Kabupaten Katingan), Sabangau Kuala (di wilayah Kabupaten Pulang Pisau), Sabangau, dan Bukit Batu (di wilayah Kota Palangka Raya). Sedangkan di sekitar kawasan terdapat 46 desa dan 5 kelurahan.

Tujuan ditetapkannya Taman Nasional Sabangau adalah untuk menyelamatkan ekosistem gambut beserta keanekaragaman hayati dan keunikan alam (landscape) untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup manusia generasi sekarang dan yang akan datang. Efektifitas pengelolaan diukur dari sejauh mana upaya-upaya untuk mencapai tujuan berjalan dengan baik. Sedangkan pengelolaan kawasan seluas ini memerlukan dukungan pendanaan biaya operasional yang kontinyu. Satu alternatif pendanaan yang muncul akhir-akhir ini adalah kredit karbon melalui

Page 6: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

2

skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation(REDD+, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).

Peluang kredit karbon diperoleh melalui upaya menaikkan permukaan air tanah agar lahan gambut tetap basah. Agar permukaan air tanah naik, kanal-kanal yang banyak dibuat untuk mengeluarkan kayu tebangan pada tahun 2000-an ditutup dengan dam-dam permanen dan semi-permanen. Lahan gambut melepaskan karbon ketika vegetasi di atasnya ditebang atau terbakar, dan bahan-bahan organik di dalamnya terurai. Dengan menjaga lahan gambut tetap basah, berarti juga akan mengurangi pelepasan karbon. Skema karbon yang dikembangkan di TN Sabangaudapat dikategorikan sebagai demonstration activity karena: (i) melakukan pengujian dan pengembangan teknologi untuk mengurangi emisi karbon dari lahan gambut: (ii) melakukan pengujian dan pengembangan metode pengukuran emisi karbon pada lahan gambut; (iii) percontohan skema pembagian manfaat antara Balai TN Sabangau selaku pengelola dengan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan—yang secara tradisional memanfaatkan sumber daya alam di tempat tersebut.

Project Design Document yang akan diajukan disusun mengikuti dua standar yang saat ini berlaku, yakni Verified Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community and Biodiversity Standards (CCBS). Voluntary Carbon Standards khusus menyoroti dan memastikan adanya pengurangan emisi gas rumah kaca. Sedangkan CCBS mensyaratkan jaminan manfaat proyek bagi iklim, masyarakat dan keanekaragaman hayati. Untuk memenuhi kelayakan CCBS maka dilakukan baseline study untuk menggali data dan informasi terkait aspek-aspek sosial dan ekonomi di lokasi proyek.

Page 7: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

3

Gambar 1. Peta Taman Nasional Sabangau, di Kalimantan Tengah, terdapat di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangka Raya. (Sumber: BKSDA Kalimantan Tengah, 2008)

Page 8: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

4

11..22.. TTUUJJUUAANN KKEEGGIIAATTAANN

Baseline study dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi yang terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai Bakung, Sungai Rasau, dan Sungai Bangah. Data dan informasi yang diperoleh digunakan untuk menyusun Project Design Document, dengan mengikuti Climate, Community and Biodiversity Standards.

11..33.. OOUUTTPPUUTT DDAARRII KKEEGGIIAATTAANN

Hasil yang diharapkan dari baseline study ini adalah:

a. Data demografi kelompok masyarakat yang secara intensif memanfaatkan sumber daya alam di lokasi kegiatan, yakni kelompok-kelompok nelayan di 12 pemukiman temporer tersebut di atas.

b. Keragaman budaya, pola mata pencaharian, dan peringkat kesejahteraan—berdasarkan inidikator yang bisa diterima secara universal—dari kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas.

c. Pola penguasaan/hak atas pengelolaan sumber daya alam di lokasi demonstration activity.

d. Pola pemanfaatan sumber daya alam di lokasi demonstration activity.

e. Identifikasi terhadap aturan-aturan dan mekanisme lokal terkait penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di lokasi demonstration activity.

f. Konflik atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam di lokasi demonstration activity dalam sepuluh tahun terakhir, baik yang terselesaikan maupun yang masih terjadi.

g. Identifikasi terhadap lokasi-lokasi yang memiliki nilai konservasi tinggi, yang meliputi: (i) kawasan yang menyediakan jasa lingkungan dalam bentuk tata air, pengendalian erosi, pengendalian kebakaran, dlsb.; (ii) kawasan yang secara fundamental

Page 9: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

5

menyediakan kebutuhan pokok masyarakat lokal seperti bahan pangan, kayu bakar, tumbuhan obat, atau bahan bangunan yang belum ada alternatif penggantinya; dan (iii) kawasan yang penting bagi identitas budaya tradisional dari segi ekologi, ekonomi, atau religi.

h. Potensi dampak demonstration activity terhadap kehidupan kelompok-kelompok nelayan tersebut di atas.

i. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh aktivitas masyarakat, yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activitybagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Resiko-resiko yang dimaksud misalnya pembakaran lahan dan hutan, atau penggunaan racun dan listrik untuk menangkap ikan.

j. Identifikasi resiko-resiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang kemungkinan mengurangi manfaat demonstration activitybagi masyarakat.

k. Identifikasi peluang-peluang keberlanjutan manfaat bagi masyarakat setelah jangka waktu demonstration activity berakhir. Peluang-peluang yang dimaksud antara lain: (i) pelembagaan aturan-aturan pemanfaatan sumber daya alam yang dibuat dan ditetapkan secara partisipatoris; (ii) pelembagaan penyelesaian konflik terkait penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan memperkuat lembaga-lembaga lokal; dlsb.

l. Rekomendasi mengenai bentuk monitoring dan indikator-indikator dari sudut pandang masyarakat terhadap manfaat dan dampak positif maupun negatif dari demonstration activity.

Page 10: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

6

22MMEETTOODDEE PPEENNEELLIITTIIAANN

2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di 12 (dua belas) pemukiman nelayan sungai yang berada di sepanjang sungai Sabangau. Secara administratif pemerintahan, lokasi penelitian berada di 2 (dua) wilayah yaitu: Wilayah Kota Palangka Raya dan Wilayah Kabupaten Pulang Pisau, yang tersebar yang tersebar di 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Sabangau dan Kecamatan SabangauKuala.

Dari 12 lokasi penelitian, terdapat 3 (tiga) lokasi yang merupakan lokasi demonstration activity REDD yaitu Bakung, Rasau dan Bangah. Pada 3 (tiga) lokasi ini, sejak tahun 2000 telah dilakukan penutupan kanal-kanal (tatas) yang digali pada masa tebangan liar sebagai sarana untuk mengeluarkan gelondongan-gelondongan kayu. Penutupan dilakukan dengan cara membangun dam-dam permanen dan semi-permanensebanyak 428 dengan rincian

a. Sungai Bakung : 141

b. Rasau : 141

c. Bangah : 146

Penutupan kanal-kanal bertujuan agar permukaan air tanah naik dan lahan gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar pada musim kemarau. Dengan menjaga agar vegetasi di atas lahan gambut itu tetap tumbuh, tidak ditebang atau tidak terbakar, maka bahan-bahan organik di

Page 11: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

7

dalamnya terurai. Dengan menjaga lahan gambut tetap basah, berarti juga akan mengurangi pelepasan karbon.

Semua lokasi penelitian berada di daerah aliran sungai Sabangau, dan berada di wilayah pinggiran atau penyangga Taman Nasional Sabangau.

Tabel 1. Nama Pemukiman Nelayan Lokasi Penelitian

No. Nama Pemukiman

Kelurahan/Desa, Kecamatan

Kota/Kabupaten

Keterangan

1. BakungDesa BantananKecamatan Sabangau

Kotamadya Palangka Raya

Lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau

2. UlesDesa BantananKecamatan Sabangau

Kotamadya Palangka Raya

3. RasauDesa BantananKecamatan Sabangau

Kotamadya Palangka Raya

Lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau

4. TimbaDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

5. KaranenDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

6. MangkokDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

7. SelowatiDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

8. Pakuyah (Uyah)

Desa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

9. Sungei Bandera

Desa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

10. BangahDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

Lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau

11. Galam Raya Desa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

12. BaluhDesa BantananKecamatan Sabangau KualaKabupaten Pulang Pisau

Page 12: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

8

Metode yang dipergunakan dalam penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu ada 12 (dua belas) pemukiman yang didasari pada beberapa alasan :

a. Ada kelompok masyarakat yang secara langsung terpengaruh oleh demonstration activity REDD. Nelayan-nelayan yang mencari ikan di anak-anak sungai (Sungei) misalnya Sungei Bakung, Rasau, dan Bangah, dengan kata lain tidak di sungai utama, dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang secara langsung terpengaruh oleh demonstration activity REDD.

b. Namun ada juga kelompok masyarakat yang secara tidak langsung terpengaruh oleh demonstration activity REDD. Nelayan-nelayan yang mencari ikan di sungai utama (Batang Danum) yaitu sungai Sabangaudi kategorikan sebagai kelompok masyarakat yang secara tidak langsung terpengaruh oleh demonstration activity REDD.

c. Kedua kategori kelompok masyarakat tersebut merupakan kelompok masyarakat yang melakukan pemanfaatan SDA secara langsung dengan kawasan Taman Nasional Sabangau.

Jadi, ada 3 (tiga) pemukiman yang mengalami intervensi dan 9 (delapan) lainnya tidak terinteraksi dengan demonstration activity REDD.

Page 13: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

9

Gambar 2. Peta desa-desa di sekitar Taman Nasional Sabangau yang terdapat di sepanjang sungai Sabangau

Page 14: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

10

2.2. Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 45 orang. Pemilihan responden dilakukan sbb.:

a. Responden sudah dikondisikan yaitu mendapat pemberitahuan sebelumnya.

b. Kepala Rumah Tangga (KRT), bila KRT telah meninggal dunia atau tidak ada ditempat, atau tidak bisa diwawancarai, maka Responden adalah Anak Tertua Laki-laki atau Menantu Tertua Laki-Laki yang masih tinggal di rumah itu.

c. Responden yang tidak berada di tempat karena merupakan nelayan sungai temporer, tidak diwawancarai, namun data demografi responden itu akan ditanyakan dengan tetangganya yang pada saat penelitiaan sedang ada di tempat atau menetap.

Tabel 2. Daftar Jumlah Responden Per Desa

No. Nama PemukimanJumlah Responden

1 Bakung 12 Ules 23 Rasau 44 Timba 35 Karanen 76 Mangkok 47. Selowati 58. Pakuyah (Uyah) 59. Sungei Bandera 110. Bangah 711. Galam Raya 112. Baluh 5

TOTAL 45

Page 15: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

11

Selain di pemukiman-pemukiman temporer tersebut di atas, baseline study juga dilaksanakan di tempat asal sebagian besar nelayan yang bermukim di sana, yakni di Kereng Bangkirai. Informasi tentang kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yang memanfaatkan sumber daya setempat secara insidental, akan dijaring melalui survey terhadap nelayan-nelayan tersebut di atas. Namun, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat yang secara langsung terpangaruh oleh demonstration activity, karena intensitas pemanfaatan terhadap sumber daya setempat rendah dan mereka mudah berpindah ke tempat lain.

2.3. Karakteristik Responden

Responden berjumlah 45 orang. Responden berjenis kelamin laki-laki terdiri dari 39 orang dan responden yang berjenis kelamin perempuan terdiri dari 6 orang.

Mayoritas informan berada pada usia produktif, yaitu usia dimana seorang manusia dianggap sudah dapat bekerja untuk menghasilkan uang guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok umur terdapat 39 orang merupakan kelompok usia produktif, sedangkan sisanya yakni 6 orang berada pada kelompok usia tidak produktif yaitu di atas 55 tahun. Pada kelompok usia produktif kecenderungannya berada pada kelompok usia 15-55 tahun. Sedangkan usia tidak produktif yaitu diatas 55 tahun memiliki persentase yang lebih kecil.

Tingkat pendidikan formal responden umumnya rendah yaitu SD. Di antara responden bahkan ada yang tidak mengenyam pendidikan formal. Pada tabel di bawah terlihat bahwa responden yang tidak pernah sekolah terdapat 5 orang, tidak tamat SD terdapat 18 orang sedangkan yang tamat SD terdapat 14 orang. Hanya ada 5 orang yang tamat SMP dan 2

orang tamat SMA.

Page 16: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

12

Tabel 3. Pendidikan Responden

No. Pendidikan Jumlah

1. Tidak Pernah Sekolah 52. Tidak Tamat SD/SR 183. SD Tamat 154. SMP Tamat 55. SMA Tamat ke atas 2

TOTAL 45

Secara etnisitas, sebagian besar responden adalah orang Dayak yaitu sebanyak 27 orang. Suku Banjar sebanyak 17 orang, sedangkan sisanya 1berasal dari suku Jawa.

Jumlah anggota keluarga nelayan di lokasi penelitian umumnya kecil. Yakni 58,86% responden memilki anggota keluarga 1-3 orang, 37,34% memiliki anggota keluarga 4 – 6 orang dan jumlah anggota keluarga 7 – 8 orang sebanyak 3,80%. Jumlah anggota keluarga yang kecil disebabkan banyak diantara responden merupakan keluarga muda dengan satu atau dua anak. Sedangkan mereka yang telah berusia lanjut hanya tinggal bersama anak yang belum berkeluarga.

Karena kondisi wilayah yang serba air (sungai, rawa, dan danau), sebagian besar pekerjaan utama responden adalah nelayan atau mencari ikan di sungai, rawa dan danau. Namun pada saat tertentu yaitu ketika hasil tangkapan turun dan sementara menunggu musim tangkapan banyak mereka melakukan beberapa pekerjaan sampingan untuk mendapat uang kontan yaitu:

Tabel 4. Daftar Pekerjaan Sampingan

No. Pekerjaan Sampingan1. Keramba2. Menangkap dan Menjual Anak Toman3. Menjerat Rusa4. Menjerat Babi5. Mencari Galam6. Mencari Burung7. Menoreh Karet8. Mencari Emas9. Menjadi Buruh Bangunan

Page 17: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

13

10. Menjadi Tukang Kayu11. Sewa Klotok12. Bekerja Dengan WWF

a. Membuat Tabatb. Penanaman Bibitc. Monitoring Pipa Air di Tabat

2.4. Waktu dan Alur Penelitian

Proses penelitian dilakukan dari September – Desember 2011 yang dibagi dalam empat tahap penelitian yaitu : • Tahapan perencanaan program dilakukan pada akhir September 2011• Tahap pelaksanaan program dilakukan pada Oktober 2011• Tahap penyusunan pelaporan dilakukan pada November 2011• Tahap pelaporan dilakukan pada awal Desembere 2011Dengan rincian sebagaiaman tabel di bawah ini:

Tabel 5. Jadwal Penelitian

No. Waktu Kegiatan1. 28 Sept. 2011 Rapat Awal Rapat awal dengan Socio Economic

Development Coordinator WWF Indonesia –Kalimantan Tengah”.

2. 29-31 Sept. 2011 Penyusunan kuesioner3. 1 Oktober 2011 Presentasi dan perbaikan kuesioner 4. 5 Oktober 2011 Pemilihan dan penetapan sample responden5. 10-11 Oktober 2011 Pelatihan Penelitian Sosial-Ekonomi Untuk

Program Konservasi.6. 13 – 22 Oktober 2011 Penyebaran kuesioner oleh para enumerator7. 25 Oktober 2011 Pengumpulan kuisioner. Pertemuan dengan para

enumerator dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi quisioner, berbagi pengalaman penelitian serta penggalian data kualitatif dari para enumerator.

8. 1-15 Oktober 2011 Pengolahan dan analisis data9. 15-20 Oktober 2011 Penyusunan laporan 10. 2 Desember 2011 Presentasi Laporan 11. 3 Desember 2011 Finalisasi Laporan Akhir

Page 18: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

14

2.5. Cara dan Tahapan Pengumpulan Data

Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner atau lembar cheklist. Data tersebut dapat dicatat sebagai sebuah bilangan atau data numerik. Metode kuesioner yang diberikan kepada responden berupa angket terbuka yang berisikan beberapa pertanyaan tentang data demografis, seperti jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga, pekerjaan utama, pendidikan terakhir, dan jumlah alat tangkapan.

Data kualitatif dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik pengamatan, wawancara informan kunci yang tidak terstruktur, dan studi dokumentasi atas dokumen resmi dan tidak resmi (Lihat Lampiran.....). Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam mengenai profilrumah tangga nelayan, maka tim peneliti melakukan wawancara mendalam yang dipandu dengan daftar pertanyaan-pertanyaan. Wawancara mendalam ini tidak untuk kebutuhan kuantifikasi, melainkan untuk lebih mendalami kasus per kasus dari beberapa keluarga nelayan yang ada.

2.6. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul dari tiap tahapan dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menjelaskan dan menguraikan semua variabel yang diamati selama penelitian. Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sesuai dengan fenomena yang ditemukan dan diuraikan dalam bentuk narasi sebagai penjelasan dari semua perubahan yang terjadi setelah pelaksanaan penelitian.

Data kualitatif diolah melalui tiga langkah pengolahan data kualitatif, yakni reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing and verification), yang dilakukan secara luwes, dalam arti tidak terikat oleh batasan kronologis.

Page 19: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

15

33HHAASSIILL PPEENNEELLIITTIIAANN

Sabangau adalah nama sungai yang membujur dari Kota Palangka Raya, melintasi Kabupaten Pulang Pisau, dan bermuara di Laut Jawa (Teluk Sabangau). Sungai dengan panjangnya ± 198.515 km, terletak di wilayah administrasi Kecamatan Sabangau dan Kecamatan Sabangau Kuala dapat di telusuri selama ± 4 jam perjalanan bila menggunakan speed boat dengan mesin Yamaha 115 PK, tetapi bila menggunakan klotok (perahu kecil bermesin diesel merk Dong Feng) memerlukan waktu ± 10 jam.

Menurut data sejarah1, Sabangau atau Sabangau merupakan salah satu permukiman tertua di Kalimantan, nama Sabangau sudah ada disebut di dalam Hikajat Banjar yang bagian terakhirnya ditulis pada tahun 1663. Dituturkan bahwa penghuni permukiman disebut sebagai sebagai orang

Sabangau.

Bagian muara sungai lebar Sabangau mencapai 30 - 40 m, lebih ke arah hulu lebar sungainya cenderung menyempit berkisar antara 10 – 20 meter. Penduduk yang bermukim di sepanjang sungai Sabangau umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan kehidupan mereka sepenuhnya sangat tergantung dengan sumber ikan yang terdapat di sungai tersebut.

Bagian ini merupakan potret kondisi sosial, ekonomi dan budaya para nelayan sungai Sabangau di 12 (dua belas) pemukiman yang ada di pinggir sungai Sabangau dan merupakan rangkuman hasil wawancara yang dilakukan terhadap 45 orang nelayan daerah tersebut yang dipilih secara acak pada bulan Oktober 2011.

1 Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff

Page 20: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

16

3.1. Situasi Pemukiman

Para nelayan sungai membangun pemukiman dengan pola penyebaran berkelompok seperti kelompok Ules, Rasau, Timba, Karanen, Selowati, Mangkok, Bangah dan Baluh. Hampir semua pemukiman itu berada di dekat atau sekitar muara sungai kecil, misalnya sungai Bakung, Rasau, Bangah, Mitra, dan Bandera. Di belakang pemukiman terdapat padang layap atau kawasan dataran rendah yang dapat diakses dari sungai Sabangau melalui parit atau sungai-sungai kecil. Sedangkan di depan rumah terdapat sungai Sabangau yang merupakan sungai utama. Di Bangah, pemukiman dibangun sepanjang muara sungai Bangah dan menghadap ke sungai Bangah.

Karena air selalu tergenang sepanjang tahun, maka rumah-rumah atau pondok-pondok sederhana dibangun dalam bentuk panggung, Antara rumah satu dengan rumah lain dihubungkan dengan titian kayu. Pola permukiman dibangun linier membentuk pola berderet memanjang di sempadan aliran sungai.

Gambar 1 Pemukimana Ules saat air surut pada musim kemarau

Page 21: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

17

Gambar 2 Pemukiman Selowati pada saat air sungai relatif dalam.

Samping kiri-kanan, maupun belakang rumah merupakan tempat untuk menyimpan alat tangkapan dan peralatan lainnya. Kalau digenangi air, bagian bawah rumah merupakan tempat menyimpan perahu mesin yang disebut alkon. Pinggiran sungai yang terdapat di depan rumah dijadikan sebagai tempat untuk meletakkan keramba-keramba apung untukmenyimpan dan memelihara ikan. Di depan rumah juga terdapat batangatau rakit kayu yang berfungsi sebagai pelabuhan tempat bertamabat perahu motor, sekaligus sebagai tempat mandi, cuci dan kakus (MCK).

Tabel 6. Jumlah dan Posisi Pemukiman Nelayan

No. Nama Pemukiman Jumlah Posisi Sungai Kecil Terdekat

1 Bakung 1 Kanan milir S. Bakung2 Ules 4 Kiri milir S. Ules3 Rasau 5 kanan milir S. Rasau4 Timba 2 Kanan milir S. Timba5 Karanen 5 Kanan dan kiri milir S. Karanen6 Mangkok 6 Kanan milir S. Mangkok7. Selowati 7 Kanan milir8. Pakuyah (Uyah) 8 Kanan milir9. Sungei Bandera 1 Kiri milir Sungei Bangah10. Bangah 15 Kanan dan kiri milir S. Bangah11. Galam Raya 1 Kiri milir12. Baluh 16 Sisi kanan milir S.Baluh, Gandis, dan

PamagatanTOTAL 71

Page 22: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

18

Rumah atau pondok yang dibangun ada yang sifatnya temporer, semi permanen, bahkan permanen.

a. Pondok temporer dibangun seadanya dan serba darurat, dengan tiang dan lantai kayu bulat, serta dinding dan atapnya dari daun rumbia atau daun kajang. Bahkan ada yang beratapkan kulit kayu galam dan dinding kulit kayu. Ada beberapa pondok yang atapnya sudah mulai bocor di sana-sini. Kalau hujan turun, air akan masuk ke dalam rumah. Karena itu, maka dilapisi dengan terpal.

b. Pondok semi permanen dibangun dengan tujuan agar dapat dipakai lebih lama. Karena itu untuk tiang pondok dipakai kayu-kayu kuat yang tahan lama dan bukan sekedar kayu bulat. Untuk mendapat kayu demikian, masyarakat mencari batang kayu Blangiran yang tumbang karena kebakaran dan telah lama tertimbun tanah. Batang kayu Blangiran itu mereka gali, diambil bagian teras atau inti batangnya, dipotong dan dijadikan tiang-tiang pondok. Namun ada juga nelayan yang menebang kayu blangiran yang masih muda untuk tiang yang mereka sebut blangiran kayu bulat. Lantai dan dinding pondok bisa terbuat dari papan tipis yang mereka beli dari desa Kereng Bangkirai. Sedangkan atapnya bisa daun rumbia.

c. Pondok permanen adalah pondok para nelayan menetap. Karena didiami setiap hari, maka bangunan pondok mereka lebih kokoh dan lebih baik. Dengan tiang dari kayu Blangiran atau Ulin, lantai dan dinding terbuat dari papan tebal, serta memakai atap seng.

Bagi para nelayan sungai, pondok-pondok yang dibangun bukanlahsekedar tempat tinggal semata. Pondok-pondok itu dibangun untuk menunjukkan aksesbilitas dan penguasaan sekaligus kepemilikan mereka terhadap segala sumber daya yang terdapat di muara dan hulu sungai kecil yang berada di dekat dan sekitar pemukiman mereka (ikan, kayu, gemor, pantung, hangkang, nyatu, katiau). Pondok-pondok itu sekaligus merupakan “penanda” bahwa rawa banjir atau dataran rendah yang berada di sekitar pondok itu, telah ada pemilik atau pengelolanya. Hal itu

Page 23: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

19

lebih diperkuat lagi dengan tersebarnya alat tangkapan ikan yang adalah milik penghuni pondok.

Hasil penelusuran sejarah, menunjukkan bahwa pemukiman dinamakan sesuai dengan nama sungai terdekat, kecuali pemukiman Selowati. Pada awalnya, pemukiman ini bernama Tangkaran Janggut. Dinamakan demikian karena merupakan tempat perhentian (tangkaran) orang yang pulang pergi, kebetulan yang berdiam menetap di daerah ini seseorang yang berjenggot (janggut) maka dinamakan Tangkaran Janggut. Pada zaman kayu, satu perusahaan kayu yang bernama Selowati masuk ke pemukiman ini, maka sejak itu namanya berubah menjadi Selowati.

Gambar 3. Beberapa pondok yang dibangun secara darurat

Page 24: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

20

Sedangkan nama sungai-sungai kecil (sungei) dibuat berdasarkan

fenomena alam yang terdapat di sekitar sungai atau suatu peristiwa yang

dahulu pernah terjadi di sekitar sungai.

1. Sungei Ules. Karena aliran air yang mengalir di sungai ini berputar yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut ha-ules, maka sungai itu disebut Sungei Ules.

2. Sungei Bakung. Karena banyak ditemukan tumbuhan Bakung maka dinamakan Sungei Bakung.

3. Sungei Rasau. Karena banyak ditemukan tumbuhan Rasau maka dinamakan Sungei Rasau.

4. Timba. Karena pernah ditemukan timba (alat penimba air dari dalam perahu) maka tempat ini dinamakan Timba

5. Karanen. Berasal dari nama sungi Karanen.6. Mangkok. Karena pernah ditemukan mangkok di bagian hulu sungai

maka tempat ini dinamakan Mangkok7. Selowati. Karena pada zaman kayu, satu perusahaan kayu yang

bernama Selowati masuk ke pemukiman ini, maka sejak itu namanya berubah menjadi Selowati.

8. Pakuyah (Uyah). Pada jaman dahulu di daerah ini ada banyak orang yang membuat ikan asin, untuk itu mereka membawa banyak garam (uyah) yang ditempatkan dalam bungkusan atau wadah yang disebut pak. Bungkusan garam atau pak uyah itu banyak tersisa, akibatnya tempat ini dinamai sebagai Pakuyah atau Uyah.

9. Sungei Bandera. Karena di bagian muara sungai ada didirikan tiang bendera maka disebut Sungei Bandera.

10. Sungei Bangah. Karena bentuk sungai yang terbuka (habangah), maka disebut Sungei Bangah.

11. Galam Raya. Karena ditemukan banyak kumpulan pohon galam maka dinamakan Galam Raya.

12. Sungei Baluh. Karena di sungai itu tempat orang bertanam baluh (labu) maka dinamakan Sungei Baluh.

Nama-nama sungai yang berada di daerah penelitian tidak ada menunjukkan data tentang kepemilikan sungai. Berbeda dengan

Page 25: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

21

beberapa sungai yang terdapat di bagian hulu tempat penelitian, nama sungai merupakan nama pemilik sungai (lihat Tabel 12).

3.2. Pembagian Musim

Menurut para nelayan di sungai Sabangau, kegiatan penangkapan ikan di wilayah sungai Sabangau dapat dibagi menjadi 4 (empat) wayah atau musim, yang disebut dengan wayah surung layap, wayah danum manahan, wayah marintak dan wayah pandang, yang dapat diringkas dengan tabel berikut:

Tabel 7. Pembagian Musim Menurut Para Nelayan Sungai Sabangau

NO MUSIMBULAN KE

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Surung Layap ▲ ▲ ▲

2. Danum Manahan ▲ ▲ ▲

3. Marintak ▲ ▲ ▲ ▲

4. Pandang ▲ ▲ ▲

a. Wayah Surung Layap adalah saat permukaan air berangsur‐angsur naik, terjadi setelah musim kemarau, pada awal musim penghujan (Oktober‐November) dan mencapai puncaknya pada bulan Desember. Pada saat surung layap air sungai meluap menggenangi hutan rawa di sekitar Sabangau, pada saat itu beberapa jenis ikan melakukan migrasi ke padang ayap, sungai-sungai kecil, baruh talagadan danau untuk memijah. Pada saat ini penangkapan dilakukan dengan menghadang ikan yang sedang bermigrasi.

b. Wayah danum manahan yaitu pada saat air mencapai puncaknya, pada saat ini air tidak mengalir tetapi tersebar merata menutupi padang ayap dan anak sungai (Januari‐ Maret ) Pada saat ini ikan menyebar karena itu sulit ditangkap. Hasil tangkapan nelayan kurang.

Page 26: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

22

c. Wayah marintak yaitu saat saat permukaan air berangsur‐angsur turun, atau air berfluktuasi kecil. Terjadi sekitar bulan Maret hingga Juni. Pada saat marintak ikan bergerak mengikuti arus menuju daerah cekungan yang lebih dalam, sehingga ikan ini mudah untuk dihadang. Para nelayan mengatakan pada saat itu suhu air di padang ayap sudah meningkat dan ikan turun untuk mencari daerah yang berair dalam di mana airnya tidak panas. Menurut para nelayan apabila ikan-ikan mulai turun atau pergi meninggalkan kawasan padang ayap menuju sungai-sungai kecil atau sungai utama hal itu merupakan pertanda akan datangnya musim kering atau wayah pandang. Para nelayan juga mengatakan bahwa pada saat marintak ikan lebih mudah ditangkap karena air sudah tidak tersebar kemana-mana. Luas tayap semakin mengecil, air semakin mengumpul di beberapa tempat saja hal itu juga membuat ikan semakin berkumpul sehingga mudah ditangkap.

d. Wayah pandang atau wayah danum surut yaitu saat kekeringan mencapai puncaknya. Biasanya terjadi sekitar bulan Juli-September. Air sudah sangat surut, padang ayap kering-kerontang, air hanya tersisa di anak sungai dan sungai utama, karena itu musim ini juga disebut wayah danum surut. Tangkapan sangat sedikit dan tidak bisa menjadi sandaran hidup, akibatnya banyak nelayan mencari pekerjaan lain.

Musim sangat berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan dan hasil tangkapan. Nelayan sungai Sabangau mengatakan bahwa mereka biasanya mendapat banyak ikan (surplus) pada musim surung layap dan marintak. Pada dua musim ini mereka mendapat uang banyak. Bang Jek yang tinggal di sungei Timba menyatakan musim ini sebagai musim terima gajih dalam jumlah besar. Ia menyatakan, “Gajih hai tiap nyelu awi lauk ngandarat” (Gajih besar tahunan karena ikan melimpah). Karena itu, tidak heran pula kalau pada kedua masa ini juga nelayan musiman juga datang.

Sedangkan tangkapan agak menurun pada saat danum manahan dan semakin menurun pada saat wayah pandang atau danum surut. Pak Nurlesbi di Baluh mengatakan jika musim kemarau ia sangat sedikit mendapatkan ikan. Hal itu dikarenakan susahnya mencari tempat

Page 27: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

23

memasang alat tangkapan yang hanya bisa dilakukan pada tepi sungai utama saja. Sedangkan jika musim hujan dan banjir, alat tangkapan bisa di pasang di daerah rawa.

3.3. Kategori Nelayan

Nelayan di sungai Sabangau mengkategorikan diri dan sesama nelayan dengan menggunakan dua cara. Pertama dengan berdasarkan asal-usul, dan kedua berdasarkan pola kerja.

a. Berdasarkan Asal-Usul

Berdasarkan asal-usul, maka nelayan sungai di tempat penelitian dapat dikategorikan menjadi: asli dan pendatang.1. Nelayan Asli adalah nelayan yang berasal dari desa Kereng Bangkirai.

Masyarakat desa Kereng Bangkirai berpendapat bahwa sungai Sabangau adalah warisan leluhur mereka yang bernama Ongko Surung. Pada mulanya belum ada sungai Sabangau seperti yang sekarang ini, yang ada hanya teluk Sabangau di bagian pesisisir dekat laut. Semuanya tertutup oleh kayu Rasau. Pada tahun meletusnya Gunung Karakatau2 telah terjadi kebakaran besar sehingga melalap habis kayu Rasau itu dan terbentuklah jalur sungai Sabangau dari hulu ke muara yang menuju ke arah laut Jawa. Sungai yang terbentuk itu menjadi tempat tinggal banyak ikan dan jalur ikan mudik untuk memijah telurnya. Pada waktu itu, Ongko Surung yang menjadi orang pertama yang mengetahui atau menemukan fenomena alam itu, dan memanfaatkan fenomena alam itu untuk kehidupan dirinya serta keturunannya.

2 Krakatau meletus pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Suara dentuman dari letusan Gunung Krakatau terdengar hingga Australia dan Pulau Rodrigues di dekat Afrika. Debu vulkanik mencekam langit dalam menenggelamkan dunia dalam kegelapan total selama dua hari penuh. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya dan alam serentak mengalami perubahan iklim global. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Krakatau. Fenomena alam ini membekas kuat dalam ingatan sejarah masyarakat Sabangau sehingga menjadi patokan kronologis waktu ketika mereka menceritakan sejarah asal-usul mereka [Informan: wawancara pribadi dengan Pak Yusran (52 tahun) dan Damang Basel A. Bangkan, pada tanggal 18 Oktober 2011]

Page 28: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

24

2. Nelayan Pendatang adalah nelayan yang tidak dari sejak semula tinggal dan menetap di sungai Sabangau atau desa Kereng Bangkirai. Mereka datang dari luar wilayah Kereng Bangkirai bahkan dari luar provinsi Kalimantan Tengah. Ada yang datang pada waktu belakangan, yaitu saat maraknya illegal loging (zaman kayu), kemudian alih profesi menjadi nelayan pada waktu ada pelarangan.

Nelayan pendatang dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar:- Dari dalam wilayah Kalimantan Tengah yaitu dari daerah sungai

Katingan (desa Keruing), dari daerah Kahayan (Garong, Gohong, Pulang Pisau, dan Bahaur. Mereka bisa datang dan menetap atau musiman.

- Dari luar wilayah Kalimantan Tengah, yaitu dari daerah Kalimantan Selatan dan Jawa. Mereka bisa datang dan menetap atau musiman.

Nelayan dari luar daerah Kalimantan Tengah terdiri darit 3 (tiga) kategori:1. Oloh Banjar disebut juga oloh nagara, atau oloh habasa, yaitu

nelayan sungai yang berasal dari daerah Kalimantan Selatan yaitu dari daerah Nagara3 Karena tidak bisa berbahasa Dayak Ngaju dan hanya menggunakan bahasa Banjar maka disebut oloh habasa.

2. Oloh Halalak disebut juga dengan oloh Barangas4 yaitu nelayan sungai yang tidak mengakui dirinya sebagai orang Banjar dan tidak berbahasa Banjar. Mereka memakai bahasa Barangas yang mirip dengan bahasa Dayak Ngaju5

3 Sungai Negara (bahasa Banjar: Sungaî Nagarā) adalah sebuah sungai yang mengalir di wilayah Kalimantan bagian tenggara, tepatnya di provinsi Kalimantan Selatan. Sungai ini merupakan sungai terpanjang kedua di Kalsel setelah Sungai Barito. Sungai ini merupakan anak sungai Barito sehingga muaranya berada di Sungai Barito. 4 Desa Berangas adalah sebuah desa yang terletak dipinggiran kota tepatnya berada diperbatasan antara Kota Madya Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala. Secara hukum desa Berangas terletak dikecamatan Alalak yang masih termasuk didalam wilayah Kabupaten Barito Kuala.5 Dalam buku Tjilik Riwut (1958) dijelaskan bahwa Suku Dayak Berangas/Barangas adalah salah satu subetnis Dayak Ngaju yang beragama Islam yang mendiami di bagian hilir sungai Barito, terutama sebagai pusatnya di Berangas, kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan. Suku Dayak Berangas/Barangas dapat digolongkan sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju Bakumpai jika ditinjau dari segi asal usul dan kemiripan bahasanya. Bahasa Berangas (Barangas) atau Bahasa Alalak (Halalak) adalah sub bahasa Ngaju (Bahasa Barito/bahasa Austronesia) yang dipertuturkan di hilir sungai Barito, Kalimantan Selatan.

Page 29: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

25

3. Oloh Jawa yaitu nelayan sungai yang berasal dari pulau Jawa dan dari suku bangsa Jawa. Pada mulanya adalah pekerja kayu namun kemudian alih profesi menjadi nelayan sungai.

Secara ekstrim, nelayan pendatang diidentifikasi oleh nelayan setempat sebagai atau oloh, yang dapat berarti sebagai non-dayak. Kata oloh memang dapat berarti “orang”, namun dalam konteks ini kata oloh berarti “orang lain”, “outsider”, “bukan bagian dari kita”. Identifikasi oposisional seperti ini memang dapat menjadi sumber konflik. Karena itu perlu dibangun pola peringatan dini dan manajemen konflik yang tepat.

Tabel 8. Data Nelayan Menetap Suku Banjar

No. Nama PemukimanNama Mulai Menetap Lama Menetap

1 Rasau Sebari 1999 12 tahunYusmadi 1975 36 tahunSukri 1975 36 tahunRusbandi 1973 38 tahun

2.Karanen

Syahrani Batung

20118 bulan

Sadra Ali 2001 10 tahunSaleh 2003 8 tahun

6Mangkok

Raudah (Samali)

199813 tahun

Sasi 1998 13 tahunUdin 2001 10 tahunJahri 1996 14 tahunJuhrani 2004 7 Tahun

7. Selowati -8. Pakuyah -9. S. Bandera -10. Bangah Iwan 2009 2 Tahun

11. Galam Raya Andri 2007 4 tahunAlli 2007 4 Tahun

12. Baluh Lianur 2009 2 TahunNurlesbi 2008 3 Tahun

TOTAL 17 Orang

Page 30: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

26

b. Berdasarkan Pola Kerja

Berdasarkan pola kerja, kelompok masyarakat nelayan di sungai Sabangaudapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: nelayan menetap, musiman

dan komuter.

a. Nelayan menetap adalah nelayan yang hampir sepanjang tahunnya berada di pemukiman penangkapan ikan dengan beberapa alasan yaitu:

- Untuk nelayan sungai pendatang, mereka harus menjaga wilayah kerja (pemukiman) mereka dan mengamankan asset yag mereka miliki (tempat tinggal dan alat tangkapan) agar tidak dirusak orang. Bila wilayah kerja ditinggalkan tanpa penghuni atau penjaga, maka orang lain berhak menduduki dan bekerja di wilayah pemukiman itu.

- Nelayan asli memilih menetap di pinggiran Sabangau, selain karena mengamankan asset, juga karena ada pekerjaan di tempat itu yang tidak bisa ditinggalkan. Misalnya keluarga Pak Zainudin di Salawati memilih menetap, karena di Salawati mereka memiliki warung yang merupakan persinggahan tempat orang makan dan minum. Keluarga Pak Hamid di Pakoyah menetap dengan alasan untuk menjaga asset yang mereka miliki.

b. Nelayan musiman adalah nelayan yang hanya datang pada musim tangkapan ikan banyak. Nelayan musiman dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu:

- Nelayan musiman yang bertempat tinggal tidak terlalu jauh atau berada sekitar wilayah sungai Sabangau antara lain Katingan, Pulang Pisau dan Kereng Bangkirai. Alat tangkapan, mereka persiapkan di tempat masing-masing dan dibawa pada saat musim ikan tiba. Mereka biasanya punya pondok-pondok darurat, yang baru diperbaiki pada saat menjelang musim ikan.

- Nelayan musiman yang jauh. Misalnya datang dari daerah Kalimantan Selatan yang secara sengaja diundang oleh sanak saudara atau kerabat yang telah menjadi nelayan menetap

Page 31: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

27

untuk memperbanyak jumlah tangkapan pada musim tangkapan banyak.

- Nelayan musiman dari Palangka Raya. Nelayan jenis ini mencari ikan hanya untuk kesenangan, hobby dan gaya hidup (lifestyle). Dipengaruhi acara “mancingmania” yang ditayangklan di televisi, pada musim kemarau mereka datang dengan peralatan pancing dan umpan yang lebih moderen untuk mementaskan ulang apa yang mereka tonton di televisi. Mereka umumnya hanya memancing di sungai utama saja.

Berdasarkan data lapangan diketahui bahwa pada tahun 2011 terdapat 35 orang yang datang sebagai nelayan musiman yang tersebar di 10

pemukiman sebagaimana tabel berikut:

Tabel 9. Nelayan Musiman Pada Tahun 2011

No. Nama Pemukiman Jumlah Nelayan Musiman

1. Pakuyah 32. Galam Raya 43. Karanen 54. Mangkok 75. Ules 46. Timba 37. Bangah 68. Baluh 3

35

c. Nelayan nyambulang atau komuter (berasal dari bahasa Inggris Commuter) adalah nelayan yang tinggal di Kereng Bangkirai (lewu leka melai) namun setiap pagi hari pergi ke tempat kerjanya (leka satiar) dan pada sore hari kembali lagi ke kampung tempat tinggal. Pola komuter ini oleh masyarakat setempat disebut nyambulang. Hal ini dilakukan oleh nelayan yang wilayah tangkapannya dekat dengan Kereng Bangkirai antara lain Bakung, Ules, Rasau, dan Timba. Pada musim tangkapan banyak mereka juga tinggal dalam waktu yang cukup lama di pemukiman penangkap ikan, sama seperti nelayan menetap dan musiman.

Page 32: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

28

Tabel 10. Daftar Nelayan Sesuai Kategori

No.

Nama Pemukiman

JumlahKK

Menetap Musiman Komuter

1 Bakung 1 12 Ules 4 43 Rasau 5 4 14 Timba 4 45 Karanen 5 4 16 Mangkok 6 4 2 07. Selowati 5 3 28. Pakuyah (Uyah) 7 3 4

9. Sungei Bandera 1 1

10. Bangah 15

11. Galam Raya 1 1

12. Baluh 10 10

TOTAL 71

3.4. Daerah Tangkapan

Nelayan suku Dayak Ngaju melihat sungai Sabangau (serta rawa-rawa, danau dan sungai-sungai kecilnya) dan hutan yang ada di sekitarnya sebagai tempat berusaha mencari nafkah. Mereka menyebutnya sebagai eka satiar. Sedangkan kampung halaman mereka yaitu Kereng Bangkirai mereka sebut sebagai lewu eka melai atau kampung tempat tinggal. Dua zonasi kehidupan ini memiliki konsepsi yang berbeda.

Untuk menyebut tempat usaha mencari ikan, nelayan Dayak Ngaju menyebutnya sebagai eka satiar malauk. Eka satiar adalah dunia temporer, bukanlah tempat menetap. Karena itu di eka satiar mereka hanya membangun pondok-pondok temporer yang sangat bersahaja yang disebut dengan pasah dukuh. Lewu eka melai adalah dunia permanen, dunia asali yang menetap. Karena itu mereka mendirikan atau membangun rumah yang relatif kokoh dan tahan lama dan disebut huma.

Page 33: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

29

Yang dimaksud dengan eka satiar malauk bagi nelayan Sabangau adalah:a. Batang Danum atau sungai utama/induk yaitu sungai Sabangau

sebagai sungai induk (batang danum), dengan segala bagiannya yaitu:- Luwuk (teluk), yaitu bagian sungai yang menjorok ke arah daratan- Bereng (tanjung) yaitu bagian daratan yang menjorok ke arah

sungai.- Saran batang danum adalah pinggiran sungai yang banyak

ditumbuhi pepohonan. - Bentuk batang danum adalah bagian tengah sungai.- Palempang yaitu tanah yang ada di bagian dasar sungai- Labehu adalah bagian sungai yang paling dalam). Beberapa

nelayan mengatakan bahwa labehu adalah bagian yang penting karena merupakan tempat perlindungan, bertahan dan penyelamatan ikan-ikan jenis tertentu pada saat datangnya musim kemarau.

Bagi orang Dayak Ngaju, sungai Sabangau diklasifikasikan sebagai batang danum kurik atau sungai utama kecil. Sungai utama yang besar (batang danum hai) adalah Katingan, Kapuas, Kahayan atau Barito.

Pada saat musim kemarau, tinggi permukaan air di Sungai Sabangauakan menurun, sebaliknya pada musim hujan tinggi permukaan air akan meningkat hingga menggenangi wilayah sisi kiri-kanan sungai. Sungai Sabangau adalah sarana transportasi sungai, karena itu selalu dilewati oleh transportasi air seperti kapal barang, kapal penumpang, dan perahu nelayan.

b. Padang napu atau padang ayap yaitu rawa banjiran terbuka sepanjang kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan akan menjadi kawasan luapan air, sehingga menjadi kantong ikan tangkapan. Terkadang bagian ini disebut juga dengan luwau. Sehingga disebut dengan luwau napu.

c. Datah adalah rawa banjiran tertutup karena ditumbuhi oleh hutan. Juga terdapat sepanjang kiri dan kanan sungai yang pada musim hujan

Page 34: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

30

akan menjadi kawasan luapan air, sehingga menjadi kantong ikan tangkapan.

d. Pamatang adalah bagian tanah yang tinggi yang tidak tergenang air kendatipun musim banjir.

e. Sungei atau (Batang/Bapa Sungei): Sungai kecil yang bermuara di sungai utama atau bermuara di cabang sungai utama. Misalnya sungei Rasau, Bakung, Bangah, Karanen, dst.

f. Sampang Sungei (Anak Sungei) yaitu cabang atau simpang dari sungai kecil utama, disebut juga anak sungei (anak sungai).

g. Saka (esun sungei) yaitu Sungai yang lebih kecil yang terbentuk secara alami disebut dengan Saka atau Cucu Sungai.

h. Tatas. Nelayan Sabangau juga mengenal sungai buatan atau kanal yang disebut dengan tatas, yang dibuat untuk menghubungkan suatu tempat atau dibuat untuk jalur tranportasi / angkutan hasil bumi dari suatu tempat ke tempat lain. Dulu pernah terdapat tatas Matal yang menghubungkan Sabangau dan sungei Parei Siang yang bermuara di sungai Kahayan. Tatas itu dibuat untuk memudahkan para pencarigemor membawa hasil kerjanya ke kampung Pahandut yang terdapat di pinggir sungai Kahayan. Tatas itu sekarang sudah hilang tertimbun pada waktu pembuatan bandara Cilik Riwut. Pada zaman illegal loging atau zaman kayu, tatas dibuat untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan banjir. Tatas dibangun untuk menghanyutkan kayu tebangan dari hutan menuju sungai .Tatas yang terhubung langsung dengan sungai utama, anak sungai dan saka biasanya menjadi tempat menangkap ikan.

i. Parit, adalah tatas dalam ukuran kecil.

Selain sungai utama atau anak sungai, pada musim kemarau mereka juga dapat menangkap ikan di tempat yang mereka sebut ruak, baruh atau talaga.

a. Ruak adalah cerukan tanah yang terbentuk secara alami sehingga membentuk kolam atau sumur kecil, pada musim kemarau menjadi tempat ikan berkumpul.

Page 35: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

31

b. Baruh atau talaga yaitu danau di tengah hutan atau di bantaran sungai yang terbentuk secara alami pada musim kemarau menjadi tempat ikan berkumpul.

Wilayah tangkapan ikan atau eka satiar malauk dapat diringkas dalam tabel berikut:

Tabel 11. Wilayah Tangkapan

NO. NAMA WILAYAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA

1. SUNGAI UTAMA (BATANG DANUM)

- Bagian Pinggir (Saran Batang Danum)- Bagian Tengah (Bentuk Batang Danum)- Bagian Dasar Sungai (Palempang)- Bagian Sungai Yang Terdalam (Labeho)- Teluk (Luwuk)- Tanjung (Bereng)- Anak Sungai Utama (Sungei)- Cucu Sungai Utama (Saka)- Tatas - Parit

2. RAWA (PETAK RANDAH)

- Pinggir sungai utama/sungai kecil/danau (Saran Batang Danum/Sungei/Danau).

- Rawa Terbuka (Padang Napu / Padang Ayap)- Rawa Tertutup (Datah)- Baruh- Ruak

Dalam beberapa literatur ilmiah, eka satiar malauk yang disebut oleh para nelayan Dayak Ngaju itu dapat dikenal dengan istilah rawa, hutan rawa gambut, rawa non pasang surut, atau rawa lebak. Mac Kinnon et al. (2000) menyebutkannya sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau banjir kiriman.

Page 36: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

32

Ardinor dan Gumiri, (2006) menyatakan bahwa istilah yang digunakan oleh masyarakat Dayak untuk rawa ini adalah Luwau Napu atau di Sumatera disebut Lebak Lebung. Perairan tipe sungai dan rawa banjiran seperti ini mempunyai ciri khas, yaitu fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dan musim kemarau. Pada musim penghujan air sungai meluap hingga menggenangi sebagian besar arealnya kecuali bagian tanah yang tinggi (pamatang atau kereng), sebaliknya pada musim kemarau air sungai menjadi surut dan sebagian besar arealnya kering kecuali bagian yang dalam yaitu meliputi sungai utama, anak sungai, ruak, baruh dan talaga.

3.5. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Daerah Tangkapan

Secara alami di kalangan nelayan sungai Sabangau telah terbangun pola penguasaan dan kepemilikan daerah tangkapan, yang mereka atur dan taati. Dalam pola itu diatur hak-hak kepemilikan (property right) yang mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), danmemanfaatkan (to use).

a. Sungai Utama

Sungai utama yaitu sungai Sabangau dilihat sebagai milik bersama (common property). Siapa saja boleh mencari ikan di sungai utama ini, namun ada peraturan jangan sampai ada tumpang-tindih alat penangkap ikan. Kalau sudah ada nelayan yang memasang alat penangkap ikan di satu tempat di bagian sungai utama, maka nelayan lain tidak boleh memasang alat penangkap ikan di tempat yang terlalu dekat atau di tempat yang sama. Ia harus mencari daerah tangkapan lain yang masih kosong.

Peraturan ini berlaku selama ada alat tangkapan di tempat itu. Bila tidak ada alat tangkapan berarti orang lain boleh masuk dan meletakkan alat tangkapannnya di tempat itu. Peraturan ini memiliki kelemahan karena hanya berpatokan pada alat tangkapan. Beberapa oknum nelayan

Page 37: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

33

memanfaatkan kelemahan itu dengan secara sengaja memperbanyak alat tangkapan pribadinya dan menyebarkannya pada wilayah yang luas, sehingga orang lain terhalang dan tidak bisa masuk ke wilayah itu. Nelayan ini telah melakukan penguasaan teritorial

Tiap nelayan memiliki wilayah pemukiman sendiri yang terdapat di wilayah pinggir-pinggir sungai utama atau sungai kecil. Di perairan sungai yang terdapat didepan pondok atau rumah itu, mereka menempatkan keramba dan alat transportasi mereka berupa perahu motor yang mereka sebut dengan istilah alkon atau kelotok.

Penguasaan teritorial di perairan sungai utama hanya terbatas untuk kepentingan penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain atau masyarakat umum dapat melewati teritorial tersebut dengan tanpa membayar. Penguasaan teritorial di sungai utama, biasanya diawali dengan survei untuk mengetahui wilayah mana saja yang banyak ikannya. Kemudian disusul dengan pembangunan pondok darurat. Agar wilayah itu tidak dimasuki atau diambil oleh orang lain, maka sepanjang tahun harus ada yang tinggal di wilayah itu, entah dengan cara menetap atau bergiliran.

b. Rawa Terbuka dan Rawa Tertutup.

Rawa terbuka (padang napu / layap) dan rawa tertutup (datah) yang terkoneksi dengan sungai utama, juga dilihat sebagai milik bersama (common). Namun rawa terbuka (padang layap) dan rawa tertutup (datah) yang terkoneksi dengan sungai-sungai kecil yaitu sungei dan saka menjadi milik keluarga atau perorangan. Hal itu terjadi karena pada musim kemarau akan terbentuk parit-parit dan jalur-jalur arus air alami yang menuju ke sungei dan saka. Di tempat itu biasanya dipasang alat tangkapan, yaitu hanya boleh dilakukan oleh pemilik sungei dan saka itu saja.

Page 38: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

34

c. Anak dan Cucu Sungai

Hampir semua anak sungai (sungei) dan cucu sungai (saka) ada pemiliknya. Untuk anak dan cucu sungai (sungei-saka) yang terbentuk secara alami, kepemilikan diawali dari siapa yang pertama kali bekerja ditempat itu, kemudian kepemilikan itu diwariskan kepada keturunannya. Sebagai contoh sungai Bakung pada mulanya adalah milik Ongko Surung Mantir, hal itu terjadi karena ia yang pertama kali bekerja mencari gemor, pantung, hangkang dan katiau di tempat itu. Kemudian sungai itu sekarang ini menjadi milik atau dikelola keturunannya yaitu keluarga Bapak Jumadi.

Pemilik atau pengelola sungei-saka berhak mengatur serta megawasi semua orang yang melakukan kegiatannya di sungai-saka yang dikelolanya. Apabila ada kegiatan komersil yang dilakukan di hulu atau sekitar sungai misalnya mencari gemor atau pantung, yang kegiatan masuk dan keluarnya alat angkutan dan barang harus melintasi sungai, maka pemilik sungai berhak memungut semacam uang pungutan atau feesungai. Bagi mereka yang bekerja mencari pantung dan gemor, besar uang pungutan adalah Rp. 20.000 per satu pikul atau 100 Kg hasil yang didapat.

Ada beberapa ketentuan tentang sungei dan saka yaitu:- Kepemilikan atau hak pengelolaan atas sungei dan saka diakui dan

dilindungi oleh hukum adat Dayak, dan kepada pengelola baik perorangan maupun kelompok bersama dapat diberikan keterangan Hak Pengelolaan secara tertulis oleh Damang Kepala Adat atau Tetua Kampung.

- Kepemilikan atau hak pengelolaan atas sungei dan saka tidak bisa diperjual-belikan, hanya boleh diwariskan kepada anggota keluarga atau keturunan.

- Orang luar dapat menangkap ikan sungei dan saka, apabila melakukan ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan.

Page 39: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

35

d. Tatas

Tatas adalah sungai kecil buatan (kanal) yang dibuat untuk menghubungkan suatu tempat atau dibuat untuk jalur tranportasi / angkutan hasil bumi dari suatu tempat ke tempat lain. Pada zaman illegal loging tatas digunakan untuk mengeluarkan batang kayu hasil tebang banjir. Kepemilikan atas tatas itu berdasarkan pada siapa pembuat tatas yang dikerjakan sendiri atau membayar orang lain untuk mengerjakannya.

Sama seperti sungei dan saka, pemilik tatas berhak memungut jasa pengelolaan dari setiap orang yang memanfaatkan tatas sebagai sarana transportasi atau tempat berusaha. Tatas yang dibuat oleh sesorang yang bermuara pada sungei dan saka yang dikelola oleh seseorang atau sekelompok orang, maka sepertiga dari jasa hak pengelolaan tatasmenjadi hak pengelola sungei dan saka tempat bermuara tatas tersebut.

Sehubungan dengan tatas, ada beberapa aturan yang tidak (belum) tertulis yaitu:

- Hak pengelolaan tatas tidak boleh dipindahkan atau diperjualbelikan kepada warga pendatang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan masyarakat adat setempat.

- Tatas yang bermuara pada sungai besar (batang danum), jika ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan atau pemanfaatannya menjadi hak bersama masyarakat setempat.

- Tatas yang bermuara pada sungei atau saka jika ditinggalkan oleh pemiliknya selama satu tahun berturut-turut, maka hak pengelolaan atas tatas tersebut sepenuhnya jatuh kepada pengelola sungai induknya.

- Hak pengelolaan tatas (kanal) hanya terbatas mengelola dan memanfaatkan tatas (kanal) saja selama yang pemiliknya melakukan kegiatan usaha di tatas tersebut, sedangkan tanah atau hutan disekitarnya bukan haknya.

Page 40: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

36

e. Baruh dan Ruak

Baruh atau danau kecil di wilayah sungai Sabangau umumnya dikuasai atau dikelola oleh pemilik sungei atau saka. Penguasaan hanya terbatas pada mengelola, bukan hak milik, tetapi pengelolaan yang telah dilakukan turun temurun diakui dan dilindungi oleh hukum adat, dan kepada pengelola dapat diberikan keterangan hak pengelolaan tertulis oleh Damang Kepala Adat atau Tetua Kampung.

Tabel 12 Daftar Nama Sungai dan Pengelola/Penguasa

No. Nama Sungai Penguasa/Pengelola

1. Sungei Tarantang atau Sungei Kumbul, atau Sungei Indu Saen

Bapa Hamsyin atau Icin Masaid, Nama istrinya Indu Saen

2. Sungei Purun atau Sungei Bapa Kanes Bapak Kanes (orang tua dari Bapak Petrus Senas), asal kampung Pahandut

3. Sungei Tukung atau Sungei Bapa Pulen Bapa Pulen4. Sungei Tangkasiang Bapa Sabran5. Sungei Murat Milik Murat6. Sungei Ules ...................................................7. Sungei Bandera Keluarga Pak Unda Jaelani8. Sungei Parupuk Tunggal Liwi, Bapa Dimbuk9. Sungei Bakung Keluarga Bapak Jumadi10. Sungei Rasau Keluarga Bapak Cakun11. Sungei Bangah Keluarga Bapak Rusli dan Bahran12. Sungei Timba Keluarga Bapak Teteh 13. Sungai Pakoyah Keluarga Bapak Hamid14. Sungai Baluh Haji Iyan, dibeli dari mertuanya (Pak

Arsi) Juga sungai (tatas ?) Gandis dan Pamagatan

15. Sungei Paduran Alam Bapak Salman

3.6. Mekanisme Pemanfaatan SDA

Berkaitan erat dengan pola penguasaan dan kepemilikan daerah tangkapan, juga teridentifikasi aturan-aturan dan mekanisme lokal terkait pemanfaatan sumber daya alam yaitu

Page 41: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

37

a. Dikenal ada wilayah komunal dan keluarga. b. Wilayah komunal bersifat umum misalnya sungai utama atau rawa

terbuka/tertutup yang terkoneksi langsung dengan sungai utama. Penguasaan dilakukan secara komunal oleh seluruh nelayan. Kendatipun bersifat komunal tetap ada norma-norma yang mengatur tata cara penangkapan ikan yaitu:

1. Tidak boleh mengambil/mencuri tangkapan orang lain2. Jangan tumpang tindih dalam pemasangan alat3. Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan setrum listrik4. Orang luar desa boleh menangkap ikan di wilayah komunal

hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi memancing

c. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati wilayah itu dengan bebas.

d. Sedangkan wilayah keluarga bersifat tertutup atau privat dengan tujuan untuk melindungi keberlanjutan mata pencaharian keluarga. Penguasaan dilakukan oleh pihak keluarga. Masyarakat lain dapat melewati wilayah itu dengan kontrol dari pihak keluarga. Sistem yang berkembang dalam wilayah keluarga adalah:

1. Orang luar yang non keluarga tidak boleh bekerja di dalam wilayah keluarga

2. Orang luar dapat menangkap ikan atau bekerja mencari penghasilan hidup di wilayah keluarga, apabila melakukan ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan.

3. Orang luar dapat memasuki dan mengakses wilayah keluarga yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun dengan ijin dan kontrol dari pihak keluarga, serta membayar kontribusi.

4. Penguasaan dan kepemilikan wilayah keluarga tidak boleh diperjual-belikan, harus diturunkan pada keturunannya.

5. Tidak boleh melakukan penangkapan ikan dengan cara yang memusnahkan ikan, misalnya dengan racun potas atau setrum listrik.

Page 42: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

38

3.7. Tangkapan

Nelayan sungai Sabangau mengkategorikan ikan tangkapan mereka menjadi 2 (dua) kategori yaitu lauk malisen dan lauk basisik.a. Lauk Malisen, secara literal berarti “ikan licin” yaitu ikan yang tanpa

sisik, yaitu: - Tampahas- Pentet

b. Lauk Batisik, secara literal berarti “ikan bersisik”, yaitu:- Behau - Karandang- Tahuman- Mihau- Bapuyu - Sasapat- Kakapar- Patung- Tabakang- Puhing- Saluang

Secara ekonomis mereka juga membaginya menjadi 2 (dua) kategori yaitu lauk barega dan lauk dia barega.

a. Lauk barega adalah ikan yang nilai ekonominya tinggi dalam artian cepat terjual baik dalam bentuk ikan segar maupun ikan asin. Jenis ikan yang masuk kategori ini adalah:

- Tampahas- Tahuman- Behau- Patung- Tabakang- Karandang- Mihau- Kakapar

Page 43: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

39

- Pentet- Puhing

b. Lauk dia barega. Adalah ikan yang tidak dapat dijual sehingga nilai ekonomisnya rendah (dia barega). Hal itu dikarenakan ikan tersebut tidak biasa dikonsumsi oleh nelayan setempat misalnya ikan Jajili atau ukurannya terlalu kecil waktu ditangkap. Ikan jenis ini biasanya dijadikan pakan ikan Tahuman yang berada di dalam keramba atau makanan bebek. Ikan itu dicincang atau diblender kemudian dimasukkan ke dalam keramba. Juga bisa dijadikan umpan banjur dan rawai.

Jenis ikan yang masuk dalam kategori ini adalah: - Tantawun, - Jajili- Pantik (anak Baung), - Pentet (anak Pentet)- Patung (anak Patung)- Puhing- Saluang, - Sasapat (anak sasapat)

Gambar 4. Ikan Patung hasil tangkapan nelayan

Page 44: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

40

Adanya ikan yang nilai ekonomisnya rendah merupakan salah satu faktor yang mendorong nelayan yang memelihara ikan tahuman keramba dan bebek, dengan tujuan sebagai tempat penampungan ikan-ikan yang nilai ekonomisnya rendah.

Sehubungan dengan tangkapan, para nelayan Sabangau tidak ada memiliki semacam aturan yang mengatur tentang ikan mana saja yang boleh dan tidak boleh ditangkap, baik dari segi jenis atau ukuran. Tampaknya semua jenis ikan yang masuk ke dalam alat tangkapan merupakan milik nelayan.

3.8. Teknologi Penangkapan Ikan

Alat tangkap ikan yang dipergunakan oleh para nelayan sungai Sabangau merupakan alat tangkap tradisional dan digerakan dengan tenaga manusia. Ada alat tangkap yang sifatnya pasif yaitu tidak digerakan dalam pengoperasiannya yaitu: tampirai, salambau, takalak, pangilar, kalak, rengge, rawai, buwu, tampirai, banjur Alat tangkap aktif adalah alat tangkap ikan yang harus aktif digerakkan pada saat dioperasikan. Alat tangkap jenis ini meliputi : lunta, dan pasat. Baik nelayan dari suku Banjar maupun Dayak, menyebut alat tangkap mereka dengan istilah pakarang.

Gambar 5 Bubu atau Buwu, salah satu alat tangkap nelayan sungai Sabangau

Page 45: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

41

Tabel 13 Daftar Alat Tangkapan

No. Nama Alat Tangkapan

Jenis Ikan Waktu & Tempat Pemasangan

1. Tampirai Patung, Kerandang, Kapar, Pentet, Tebakang, Kapar, Mihau, Puhing, Pantik, Tatawon.

Pinggir Sungai, Hutan, Rawa (Air Dalam)

2. Rawai Tempahas, Toman, Kerandang

Pinggir Sungai. Saat air dalam. Jika bertujuan untuk menangkap ikan Tahuman dan Biawan maka memakai umpan lipan.

3. Rengge Tempahas, Kerandang, Tabakang, Patung, Tatawon, Kuhing, Mihau

Pinggir Sungai

4. Salambau Tabakang, Karandang,Kakapar, Puhing,

Dipasang di tengah sungai utama atau muara sungai kecil, menunggu ikan yang milir setelah memecahkan telur

5. Buwu Kapar, Pentet, Mihau, Kapar, Patung, Pantik

Pada alur-alur air masuk ke daratan, di antara tetumbuhan rawa yang terdapat di kiri-kanan sungai . Parit, Saka, ketika surung layap saat air perlahan-lahan naik

6. Takalak Tabakang, Tempahas, Toman Dipasang di bagian yang paling sempit di hulu sungei/saka menghadap ke bagian hulu

7. Jala Tabakang, Tahuman , Kerandang,

8. Kalang Tampahas, Tabakang, Biawan Masuk Agak Kedalam pinggir sungai

9. Banjur Behau Tepi Sungai. Setiap saat. Di pasang di pinggir sungai. Memakai umpan ikan hidup misalnya saluang atau sepat, kakapar.

10. Pangilar / Pikat Toman, Tapah, Karandang, Biawan

Pada alur-alur air masuk ke daratan, di antara tetumbuhan rawa yang terdapat di kiri-kanan sungai

11. Pasat Saluang Sungai utama, pada musim kemarau untuk menangkap ikan Saluang, dengan umpan dedak

Teknik pembuatan alat tangkap dan teknik penangkapan mereka kembangkan berdasarkan pengetahuan yang diwariskan dari orang tua,

Page 46: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

42

didapat dari sesama nelayan, dan pengalaman pribadi. Teknik penangkapan yang dikembangkan adalah dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Fluktuasi atau ritme turun-naiknya permukaan air (surung-rintak), 2. Arah gerak arus air. Ikan berenang biasanya mengikuti arah gerak arus

air.3. Kondisi alam yang berparit dan berawa-rawa, serta tinggi rendahnya

permukaan tanah. 4. Suhu pada saat menjelang kemarau, suhu air di daerah ayap akan naik,

sehingga membuat ikan migrasi ke sungai,5. Kebiasaan makan ikan (karnivora atau omnivora). Ikan karnivora suka

dengan umpan daging ikan atau ikan kecil, sedangkan omnivora suka dengan dedak yang dicampur dengan tai lala. Kalau tai lala tidak ada diganti dengan tumbukan biji kelapa sawit.

6. Pola migrasi ikan secara periodik dari sungai ke rawa banjiran dan sebaliknya.

Alat penangkap ikan yang sudah tidak pernah dipakai lagi adalah tukung yaitu alat tangkap yang terbuat dari jalinan bambu menyerupai kandang ditempatkan di tengah sungei/saka, dibagian yang menghadap muara dan hulu sungai dibuat pintu menyerupai lekukan daun keladi atau bentuk hati terbuat dari jalinan bambu, sehingga ikan-ikan terperangkap dan hanyabisa masuk tapi tidak bisa keluar. Di sisi kiri dan kanan tukung ditancap hempeng (empang) yang terbuat dari jalinan bambu membentang di sisi kiri- kanan tukung yang disebut papar tukung.

Berkaitan dengan alat tangkap, dapat disimpulkan bahwa para nelayan sungai Sabangau masih menggunakan alat tangkap tradisional. Namun belum ada ketentuan yang mengatur tentang jenis alat tangkapan tradisional yang boleh dan tidak boleh dipakai. Ada nelayan yang mengusulkan agar ada pelarangan terhadap pemakaian salambau karena alat tangkap itu menangkap baik ikan yang besar maupun yang kecil, sehingga dapat memusnakan ikan. Juga ada usulan tentang pengaturan

Page 47: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

43

tentang penggunaan alat tangkap kalang, yaitu agar dibatasi jumlahnya karena dapat memusnahkan ikan Tampahas. , Hal yang positif adalah para nelayan sepakat untuk tidak menggunakan alat setrum listrik dan racun potas untuk meangkap ikan.

Gambar 6 Nelayan sedang membawa alat tangkapnya

3.9. Pola Kerja

Nelayan sungai yang berasal dari suku Dayak Ngaju menyebut profesi yang sedang mereka kerjakan sebagai palauk, yang secara literal berarti “pencari ikan”. Untuk kegiatan atau aktivitas disebut dengan malauk yang artinya “mencari ikan”. Sedangkan nelayan sungai yang berasal dari suku Banjar menyebut profesi yang sedang mereka kerjakan sebagai paiwakan, yang secara literal juga berarti “pencari ikan”. Untuk kegiatan atau aktivitas disebut dengan maiwak yang artinya “mencari ikan”.

Pola kerja nelayan tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Bila berupa perangkap dan pancing maka dikenal istilah nindan dan manukui. Nindan adalah kegiatan memasang alat perangkap ikan misalnya bubu dan tampirai. Alat tangkapan itu kemudian ditinggalkan dalam waktu

Page 48: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

44

tertentu tergantung pada musim ikan. Pada musim ikan, alat tangkapan hanya ditinggalkan sekitar 12 jam. Bila di pasang sore hari maka akan dijenguk pada pagi hari. Pada musim ikan sepi, alat tangkap baru dijenguk 2 atau 3 hari.

Sedangkan manukui adalah kegiatan menjenguk dan mengambil hasil tangkapan. Tentu saja, pada periode selanjutnya kegiatan manukui juga diiringi dengan nindan, karena nelayan selain menjenguk dan mengangkat alat tangkapan serta mengambil hasil tangkapan, ia juga kemudian memasang umpan dan memasang kembali alat tangkapannya, bisa di tempat semula atau ke tempat lain.

Umumnya pekerjaan menangkap ikan dilakukan pada siang hari. Dimulai sekitar jam 06.00 atau 07.00 pagi hari. Pada tengah hari istirahat makan siang di pondok, kemudian pekerjaan dilanjutkan lagi hingga pukul 18.00 sore. Di sela-sela dua kegiatan yaitu nindan danmanukui memang ada waktu senggang yang dapat dilakukan untuk melakukan aktivitas lain yaitusesuai tabel di bawah ini:

Tabel 14. Kegiatan Waktu Senggang

NO Kategori Orang/Responde1 Memperbaiki alat tangkapan 172 Menunggu/beristirahat 153 Membuat alat tangkap 64 Mencari kayu bakar 35 Membersihkan ikan untuk dijadikan ikan kering 17 Memberi Makan ikan Toman 29 Membuat pakan ikan Toman 1

3.10. Pola Penjualan Tangkapan

Setelah manukui, ikan hasil tangkapan akan dipilah menjadi 2 jenis yaitu ikan yang berharga dan ikan yang kurang berharga (lihat bagian 3.7). Ikan yang tidak berharga dipersiapkan menjadi umpan pancing, makanan bebek atau makanan ikan di keramba. Ikan yang berharga, yaitu ikan yang

Page 49: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

45

masih segar, akan dimasukkan ke dalam keramba jaring apung yangsebagai tempat penyimpanan sementara.

Apabila ikan sudah terkumpul cukup banyak maka ikan tersebut akan dijual kepada para pengepul yang oleh masyarakat setempat disebut panyambang. Para penyambang ini datang sendiri ke pemukiman para nelayan, dan melakukan proses jual-beli serta kemudian membawa ikan itu ke tempat lain untuk dipasarkan. Pada saat penelitian dilakukan berhasil diidentifikasi beberapa nama para penyambang yang membeli ikan dari nelayan di sungai Sabangau yaitu:

Tabel 15 Nama Para Penyambang/Pengepul Ikan

No Nama Penyambang/Pengepul Asal1. Wali Kereng Bangkirai2. Caca Kereng Bangkirai3. Ipan Kereng Bangkirai4. Dibar Kereng Bangkirai5. Indu Rolu Kereng Bangkirai6. Baharudin Kereng Bangkirai7. Utuh Mandomai8. Idul Pulang Pisau9. Awi Pulang Pisau10. Madi Pulang Pisau11. Mayob Garong12. Agan Garong

Para penyambang membeli ikan dengan harga yang bervariatif dan fluktuatif. Tentu saja harga di tangan para penyambang lebih murah bila dibandingkan dengan harga ikan di tangan para pengecer. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga ikan yang berlaku di kalangan para penyambang dan harga jual di kalangan pengecer di Pasar Simpang Kereng Bangkirai, adalah sebagaimana tabel berikut:

Tabel 16. Harga Ikan di Kalangan Penyambang dan Pengecer

No Jenis ikan Harga per kilogram Penyambang Pengecer

1. Kakapar Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-2. Mihau Rp. 11.000,- Rp. 24.000,-3. Pentet Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-

Page 50: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

46

4. Karandang Rp. 6.000,- Rp. 15.000,-5. Tampahas Rp. 20.000,- Rp. 28.000,-6. Patung Rp. 8.000,- Rp. 15.000,-7. Tahuman Rp. 20.000,- Rp. 35.000,-8. Biawan Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-9. Behau Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-

Hal yang menarik adalah selain bayar dengan uang kontan, proses jual-beli juga bisa dilakukan dengan cara barter. Di Mangkok dituturkan bahwa ikan hasil tangkapan biasanya dibeli oleh pengumpul langganan mereka. Nama pengumpul itu adalah Wali. Ia berasal dari Bangkuang, Barito. Biasanya ikan-ikan akan dibawa ke pasar Kereng Bangkirai untuk dijual kepada para pengencer. Cara penjualan menggunakan sistem barter yaitu para nelayan memberikan daftar belanja kepada Wali, lalu Wali membawa semua kebutuhan itu dari kota dengan bukti perincian dalam bentuk nota, lalu ditukarkan dengan ikan. Jika harga yang di nota pembelian lebih kecil dari harga ikan, maka Wali akan memberi uang kontan kepada para nelayan, namun apabila harga yang di nota pembelianlebih banyak dari harga ikan, maka para nelayan akan menimbang sejumlah ikan untuk menutup kekurangannya. Namun jika harga barang tetap lebih banyak sedangkan ikan sudah tidak ada lagi, maka ibu Raudah terpaksa berhutang dulu.

Selain dijual kepada para panyambang yang datang langsung ke pemukiman mereka, ada juga para nelayan yang membawa langsung hasil tangkapannya ke Garong,-Pulang Pisau atau Palangka Raya. Namun di tempat itu mereka juga menjualnya kepada para pengumpul atau pengecer dengan harga yang lebih tinggi sedikit dari harga para penyambang.

Fenomena terakhir adalah para nelayan di sungai Bangah, tidak lagi menjual ikan-ikanya kepada para penyambang atau para pengecer, tetapi mereka langsung menjualnya kepada para pembeli dengan harga yang relatif tinggi. Hal ini mereka lakukan dengan cara membangun rumah yang sekaligus warung di daerah Garong-Pulang Pisau yang adalah sentra penjualan ikan asin. Ikan hasil tangkapan mereka kebanyakan diolah menjadi ikan asin dan dijual langsung kepada para pembeli. Dengan

Page 51: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

47

demikian mereka dapat meningkatkan nilai ekonomis tangkapan dengan menjual langsung hasil tangkapan ke pasar.

3.11. Pekerjaan Lain

Selain bekerja sebagai penangkap ikan sungai, para nelayan sungai Sabangau juga mempunyai pekerjaan atau aktifitas ekonomi yang lain. Pekerjaan utama dilakukan pada saat tangkapan ikan banyak sedangkan pekerjaan lain dilakukan pada saat tangkapan sedikit. Masing-masing pekerjaan itu memiliki pola yang tersendiri.

Tabel 17. Daftar Pekerjaan Sampingan

No. Pekerjaan Sampingan1. Membuat Ikan Asin (Mamundang)2. Keramba (Mangaramba)3. Menangkap dan Menjual Anak Toman4. Menjerat Rusa (Manjarat Bajang)5. Menjerat Babi (Manjarat Bawui)6. Mencari Galam (Manggalam)7. Mencari Burung (Mamburung)8. Menoreh Karet (Mamantat)9. Mencari Emas (Manyedot)10. Menjadi Buruh Bangunan (Manguli)11. Menjadi Tukang Kayu (Batukang)12. Sewa Klotok (Manyampan)

13. Bekerja Dengan WWFa. Membuat Tabat (Manabat)b. Penanaman Bibit (Mimbul)c. Monitoring Pipa Air di Tabat (Mamipa)

a. Membuat Ikan Asin (Mamundang)

Ikan yang dibuat menjadi ikan asin adalah ikan yang mati selama menunggu penyambang. Namun ada jug a nelayan yang secara sengaja tidak menjual ikan segar dan membuatnya menjadi ikan asin, dengan alasan dalam bentuk ikan asin harganya lebih mahal. Dengan demikian tampak ada upaya dari para nelayan untuk memberi nilai tambah terhadap

Page 52: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

48

hasil tangkapannya sehingga memiliki nilainya yang relatif lebih tinggi. Namun pada sisi lain, ini merupakan strategi ekonomi para nelayan untuk menyimpan atau menabung sumber daya yang ada padanya, sehingga ia selalu mempunyai dana cadangan dalam bentuk ikan asin.

Pada saat penelitian perbandingan antara harga ikan segar dan harga ikan asin di kalangan para penyambang adalah sebagai berikut:

Tabel 18. Perbandingan Harga Ikan Basah dan Ikan Kering

No Jenis ikan Harga per kilogram Basah Kering

1. Kakapar Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-2. Mihau Rp. 11.000,- Rp. 20.000,-3. Karandang Rp. 6.000,- Rp. 15.000,-4. Tampahas Rp. 20.000,- Rp. 30.000,-5. Patung Rp. 8.000,- Rp. 15.000,-6. Tahuman Rp. 20.000,- Rp. 30.000,-7. Biawan Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-8. Behau Rp. 15.000,- Rp. 30.000,-9. Tabakang Rp. 25.000,-

Gambar 7 Ikan asin yang sedang dalam tahap penjemuran

Page 53: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

49

b. Membuat Keramba (Mangaramba)

Strategi lain untuk menambah pendapatan adalah dengan membuat keramba yaitu kotak kayu berbentuk persegi empat yang dibiarkan tenggelam sebagian di dalam air sungai. Karamba dibuat sendiri oleh nelayan dengan bahan baku dari kayu Blangiran atau bambu. Selain menambah pendapatan, karamba juga merupakan tabungan yang sangat berguna ketika hasil tangkapan menurun. Namun tidak semua nelayan memiliki karamba, karena untuk membuat keramba memerlukan modal yang cukup banyak. Pak Bahran di Sungai Bangah menuturkan bahwa untuk membuat keramba dengan ukuran 12 meter kubik memerlukan biaya Rp. 600.000,-

Jumlah kepemilikan karamba tiap nelayan berkisar antara 1 – 5 karamba dengan ukuran yang bervariasi. Jenis ikan yang dipelihara di karamba oleh nelayan adalah ikan toman. Benih ikan toman diperoleh dari penangkapan di perairan rawa berhutan atau membeli dari pengumpul anak ikan toman.

Ikan Toman yang dikurung di dalam keramba diberi pakan ikan-ikan kecil atau ikan-ikan yang diklasifikasikan sebagai ikan yang nilai ekonomisnya rendah. Ikan Toman baru bisa dipanen setelah berumur 10 bulan hingga 1 tahun. Pendapatan dari memelihara ikan di karamba bervariasi tergantung pada ukuran dan banyaknya keramba.

c. Menjual Anak Toman (Bajual Anak Tahuman)

Menjual anak-anak ikan Toman kepada para pemilik keramba atau pembeli dari luar. Bayi ikan Toman yang sebesar butiran beras ditangkap dengan menggunakan sahiyap atau halawit yang sangat rapat yaitu yang terbuat dari kassa atau kain kelambu. Kemudian ditampung dalam keramba yang terbuat dari kain kassa juga. Untuk pembesaran bayi-bayi Toman ini diberi pakan kuning telur cair. Setelah besar baru dikasih daging ikan yang diblender halus. Setelah agak besar, anakan ikan Toman itu dijual dengan harga variatif tergantung besarnya yaitu:

Page 54: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

50

Tabel 19. Harga Anak Ikan Toman

No. Besar Anak Toman Harga/EkorDi Kereng Bangkirai

Harga/EkorDi Luar Kereng Bangkirai

1. Jari Kelingking Rp. 500,- Rp. 900,-2. Ibu Jari Tangan Rp. 1.000,- Rp.2.000,-3. Ibu Jari Kaki Rp. 1.500,- Rp. 3.000,-4. Batu Batrei sedang Rp. 2.000,- Tidak ada data

Anak ikan Toman dari sungai Sabangau dijual kembali oleh para pengumpul ke pembeli dari luar Kalimantan Tengah yaitu untuk dibawa ke dan dijual di daerah Kalimantan Selatan yaitu di Bangkuang-Nagara atau di Kalimantan Timur, Samarinda.

Menurut para nelayan kegiatan ini mesti dihentikan karena memusnahkan anak ikan dan membuat hasil tangkapan ikan Toman sangat turun. Pak Cakun di sungei Rasau menceriterakan bahwa tangkapan ikan Toman tahun ini sangat kecil karena tahun lalu tetangganya secara besar-besaran melakukan penangkapan dan penjualan anak Toman. Menurutnya, tetangganya dalam satu kali jual mendapat untung sebesar Rp. 20.000.000,-

d. Mencari Rusa (Mambajang)

Kegiatan menangkap rusa dengan alat tangkap tradisional yang disebut jarat atau perangkap. Biasanya dilakukan pada musim kemarau. Karena jalur jejak rusa mudah terlacak ketika menuju bagian rawa yang masih berair. Pada jalur itu dipasang perangkap. Diantara para nelayan ada 3 (tiga) orang yang terkenal sebagai pambajang atau penangkap rusa yaitu Pak Bahran di sungei Bangah, Pak Madi di sungei Karanen dan Pak Teteh di sungei Timba.

Jika tidak mencari ikan Pak Bahran akan memasang jerat rusa. Ia memiliki 300 unit perangkap rusa yang disebarkan di sekitar sungei Bangah. Setelah

Page 55: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

51

dipasang atau dibenahi, perangkap-perangka rusa itu dijenguk oleh Pak Bahran hanya satu kali seminggu. Dalam satu minggu belum tentu ada yang kena. Menurut Pak Bahran rusa biasanya hanya akan turun dari tengah hutan pada saat bulan tertutup untuk mencari makan. Biasanya bulan tertutup ini berkisar 15 hari dalam sebulan. Dalam satu bulan, Pak Bahran bisa mendapatkan 2 ekor rusa dengan berat rata-rata berkisar antara 100-150 kg dan kemudian dijual dengan harga Rp. 35.000,- per kilogram.

e. Berburu Babi (Manjarat Bawui)

Kegiatan menangkap babi dengan alat tangkap tradisional yang disebut jarat atau perangkap. Juga dilakukan pada musim kemarau, karena babi turun ke sungai atau danau yang masih ada airnya. Hanya Pak Madi di sungei Karanen yang melakukan ini, karena beragama Kaharingan.

Perangkap untuk menangkap babi hutan juga disebut jarat. Tempat memasang jarat dipilih bekas lintasan binatang yang dilaluinya berulang-ulang atau disebut tanduhan dan di antara satu jerat dengan jerat yang lain dibuat bentangan penghalang dari ranting-ranting kayu dan rerumputan yang disebut papar jarat.

f. Mencari Kayu Galam (Manggalam)

Manggalam adalah pekerjaan mencari kayu Galam. Beberapa nelayan melakukan kegiatan ini pada musim banjir saja yang mereka sebut sebagai danum manahan. Alasannya karena dapat dilakukan sambil menunggu waktu mengangkat alat tangkapan. Alasan lain karena pada musim banjir lebih mudah membawa alkon (perahu motor) masuk ke hutan Galam, sehingga mereka tidak perlu cape memikul kayu Galam dan membawanya ke pinggir sungai. Usaha kayu Galam sekarang cukup sulit karena hutan kayu galam telah menipis sehingga mereka harus ke tempat yang jaraknya cukup jauh. Dari pekerjaan ini mereka bisa mendapatkan 10-20 batang dengan harga berkisar Rp. 500 – Rp 1.500per batang sesuai dengan diameter dan panjangnya.

Page 56: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

52

Untuk mendapatkan kayu galam masyarakat hanya menggunakan kapak atau pisau untuk menebang pohon galam di hutan sesuai dengan area kerjanya, kemudian membawanya dari hutan ke pinggir sungai, baik dengan ditarik melalui aliran sungai atau menggunakan perahu kecil (jukung), untuk dijual kepada pengumpul kayu galam.

Gambar 8. Gambar tumpukan kayu galam di pinggir sungai Sabangau

g. Mencari Burung (Mamburung/Mangarindit)

Mamburung adalah kegiatan mencari burung. Pada mulanya burung yang banyak dicari adalah burung Serindit, karena itu kegiatan menangkap burung itu disebut mangarindit. Namun sekarang kegiatan ini tidak hanya mencari burung Serindit, tetapi semua jenis burung yang berkicau, misalnya Murai, Kajajau dan Tangkarawen.

Kegiatan mamburung dilakukan masuk ke dalam hutan hingga 12 km dari pinggir sungai Sabangau. Para pencari burung (pamburung) memanfaatkan genangan air tabat untuk mencapai hutan dimana burung ini banyak didapat. Burung yang paling banyak dicari pada waktu penelitian ini diadakan (2011) adalah burung Cucak Ijo, yang juga disebut

Page 57: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

53

dengan nama Tampulu Batu atau Tangkarawen. Selain harganya bagus burung Cucak Ijo juga daya tahan tubuhnya kuat, tidak mudah strees sehingga mudah dipelihara, dan tidak mudah mati seperti jenis burung murai atau Kajajau.

Satu ekor burung Cucak Ijo yang betina dihargai Rp. 60.000,00/ekor sedangkan yang jantan dihargai sekitar Rp. 230.000 – Rp. 250.000/ekor. Ada perbedaan harga yang cukup jauh antara burung betina dengan burung jantan, hal itu disebabkan karena burung-burung jantan bisa diikutkan dalam kompetisi dan ketika mengikuti kompetisi suara burung jantan terdengar lebih bagus.

Satu orang pamburung bisa mendapat 1-10 ekor burung dalam sehari. Cara penangkapan burung tersebut, dia menggunaka seekor burung Cucak Ijo sebagai burung parit (untuk memanggil burung yang lainnya ) kemudian dia gunakan handphone untuk mengeluarkan sura burung seperti aslinya sehingga burung – burung mendekati burung parittersebut, ditangkaplah dengan menggunakan alat pancing.Dalam satu hari, seorang pencari burung bisa mendapat 1-3 ekor burung yang dijual kepada para pengumpul yang ada di desa Kereng Bangkirai.

Gambar 9. Seorang Nelayan sungai dengan burung Cucak Ijo

Page 58: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

54

Para pengumpul mendapat keuntungan yang banyak dari para pencari burung. Pak Snd, seorang pengumpul burung di desa Kereng Bangkirai dapat membeli satu unit mobil baru dari bisnis ini. Dalam satu minggu minimal ia mendapat untung Rp. 1,5 juta.

h. Menyadap Karet (Mamantat)

Dilakukan pada saat musim kemarau, pada saat ini cuaca selalu cerah sehingga sangat kondusif untuk menyadap karet. Para nelayan biasanya mendatangi para pemilik kebun karet, yang adalah juga saudara atau kerabatnya, untuk menyatakan keinginannya bekerja menyadap karet. Pemilik kebun karet biasanya memberlakukan sistem sadap bagi hasil yaitu 50 % untuk pemilik kebun dan 50 % untuk penyadap.

Pada saat penelitian ini dilakukan harga karet sadapan per kilogram adalah Rp. 12.000,-. Apabila dalam sehari seorang penyadap biasanya mampu mendapatkan paling sedikit 10 kg, maka ia akan mendapatkan hasil Rp. 60.000,-/ hari. Seorang penyadap yang mahir biasanya mampu mendapat 12-13 kg / hari.

i. Mencari Emas Secara Tradisional (Manyedot)

Juga dilakukan pada saat musim kemarau yaitu ketika tangkapan tidak banyak, maka beberapa nelayan pergi ke daerah sungai Katingan atau Kahayan bagian hulu untuk ikut saudara atau kerabatnya melakukan pencarian emas secara tradisional, yaitu dengan menyedot lapisan tanah aluvial dan menyaringnya sehingga didapatkan debu atau butiran emas.

Pak Jeklarana di Timba menceriterakan bahwa ia ikut manyedot ya ketika musim kemarau dan kalau tidak ada proyek di WWF atau ketika hasil tangkapan ikan kurang. Pendapatan selama musim kemarau bila ikut manyedot bisa mencapai Rp. 4.000.000,-

Page 59: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

55

j. Menjadi Buruh Bangun (Manguli)

Dilakukan di kota Palangka Raya yaitu seiring dengan maraknya pembangunan rumah-rumah hunian dan bangunan gedung. Para nelayan ikut menjadi buruh harian atau kernet tukang bangunan dengan upah antara Rp. 75.000,- hingga 85.000,- per hari

k. Menjadi Tukang Kayu (Batukang)

Ada beberapa nelayan yang mempunyai ketrampilan sebagai tukang kayu. Pada saat tertentu biasanya ada orang yang meminta ia melakukan pembangunan atas rumahnya yang terbuat dari kayu, tentu saja dengan upah atau borongan yang memadai. Namun terkadang para nelayan juga bisa hanya menjadi buruh harian yang membantu tukang kayu utama dengan upah berkisar antara Rp. 65.000,- hingga Rp. 85.000,- per hari.

l. Sewa Klotok (Manyampan)

Terkadang ada kelompok pemancing yang datang dari kota Palangka Raya atau dari kota lain. Maka para nelayan punya kesempatan untuk menyewakan klotok atau perahu motor mereka. Pada saat peneltian dilakukan tarif yang diberlakukan adalah sbb.:

- Untuk yang sudah dikenal atau langganan antara Rp. 300.000- Rp. 400.000,- per hari

- Untuk orang baru dan datang dari luar kota, misalnya Crew TV Mancing Mania, adalah Rp. 800.000,- per hari

Page 60: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

56

Gambar 10 Para Nelayan sedang “manyampan” yaitu mengantar para “mancing mania”

m. Bekerja dengan WWF (Manabat, Mimbul, Mamipa dan Manyampan)

Kehadiran WWF di juga menjadi sumber pendapatan bagi para nelayan. Pak Bahran di sungai Bangah menuturkan bahwa setiap tanggal 23 ia mengecek pipa (mamipa) monitoring kedalaman air tanah yang terdapat di samping kiri-kanan dam. Selain itu para nelayan juga terlibat dalam pembuat kanal atau tabat dengan upah Rp. Rp. 95.000/hari. Juga terlibat dalam kegiatan penanaman (mimbul) dengan upah borongan yaitu tiga 30 ha dengan borongannya sekitar Rp. 20.000.000, tapi yang mengerjakannya bisa mencapai sepuluh orang. Sehingga satu orang bisa mendapat hasil antara 2-4 juta rupiah. Selain itu bila ada turis datang para nelayan juga ikut ambil bagian untuk mengantar turis-turis dengan mengunakan kelotoknya yang disewa oleh WWF.

3.12. Tabat dan Hasil Tangkapan

Ketika ditanya pengaruh tabat terhadap hasil tangkapan, para nelayanmemberi beberapa jawaban. Ada kelompok nelayan mengatakan mengurangi hasil tangkapan, namun ada juga yang mengatakan

Page 61: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

57

menambah hasil tangkapan, serta ada juga yang mengatakan tidak mempengaruhi sedikit atau banyaknya tangkapan.

Nelayan yang mengatakan bahwa tabat membuat turun hasil tangkapan, memberikan alasan karena:1. Menghalangi naiknya ikan ke sungai-sungai kecil pada musim surung

danum layap.2. Menghalangi turunnya ikan ke sungai-sungai kecil pada musim air

surut, musim marintak

Bagi para nelayan ini, tabat tidak hanya menghempang air tetapi juga ikan-ikan. Bahkan bagi beberapa nelayan, tabat menghalangi keleluasaan perahu motor mereka masuk ke daerah hulu-hulu sungai. Keluhan ini terutama diajukan oleh mereka yang punya pekerjaan sampingan sebagai pencari burung (pamburung) dan gemor (panggemor).

Namun pada sisi lain, ada nelayan mengatakan bahwa adanya tabat berpengaruh menaikkan tangkapan mereka dengan alasan sbb.:

Tabel 20. Alasan Tabat Mempengaruhi Naik atau Banyaknya Hasil Tangkapan

No. Alasan1. Bisa menangkap ikan yang tertahan di dekat tabat terutama pada musim

kemarau2. Karena tabat menahan lajunya air dan membuat air terarah dan

terkonsentrasi ke satu tempat, hal itu memudahkan ia memasang bubu untuk menangkap ikan.

3. Tabat membuat hutan menjadi basah atau berair, sehingga ikan mempunyai tempat untuk berlindung, hidup dan berkembang biak

4. Tabat membuat hutan menjadi subur, hal itu membuat ikan juga subur atau banyak karena makanan melimpah pada hutan yang subur

5. Tabat membuat air tertahan lebih lama untuk sementara waktu, hal itu memberi kesempatan bagi ikan untuk berkembang biak.

6. Tabat membuat terjadinya arus-sambung atau air yang bertingkat, hal itu sangat disukai ikan tampahas.

Page 62: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

58

Tetapi ada juga nelayan yang mengatakan tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hasil tangkapan mereka dengan alasan sebagaimana tabel berikut:

Tabel 21. Alasan Tabat Tidak Berpengaruh Terhadap Hasil Tangkapan

No. Alasan1. Tidak berpengaruh karena mereka tidak mencari ikan di parit atau tatas

yang ditabat2. Tidak berpengaruh karena tabat dibangun di hulu sungai-sungai kecil,

sedangkan mereka mencari ikan di sungai utama saja3. Tidak berpengaruhi karena lokasi penabatan parit tidak mengenai lokasi

pencarian ikanTidak berpengaruhi karena lokasi pemukiman jauh dari lokasi kegiatan pembuatan tabat (pemukiman ules)

3.14. Kebakaran Hutan dan Hasil Tangkapan

Para nelayan mengatakan bahwa pada musim kemarau memang bisa terjadi kebakaran di sepanjang sungai Sabangau. Pohon Rasau yang mengering memang mudah tersulut api dan terbakar. Hal itu terjadi karena ada banyak pemancing dari luar datang memancing di sungai Sabangau. Mereka dengan sembarang membuang puntung rokok atau membuat api unggun di pinggir sungai namun tidak dipadamkan dengan baik.

Namun ada juga informasi menyatakan bahwa pinggiran sungai Sabangaudengan sengaja dibakar oleh nelayan dengan tujuan agar memudahkan pemasangan rawai . Rawai adalah suatu alat tangkap yang berbentuk tali panjang yang dibentangkan secara horizontal, pada tali panjang diikatkan tali-tali lain yang teratur secara vertikal ada ujung tali vertikal diikatkan mata pancing dan dipasang di dasar perairan dengan bantuan pemberat. Untuk mengetahui adanya alat tangkap di perairan digunakan tanda dengan bantuan pelampung yang dihubungkan oleh tali pelampung. Karena dibentangkan, maka pemasangan alat tangkap ini memerlukan tempat terbuka yang luas.

Page 63: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

59

Seorang informan dengan jujur mengatakan bahwa ia dengan sengaja membakar hamparan pohon Rasau atau pandan sungai yang terdapat di pinggiran sungai Sabangau. Tujuan pembakaran itu agar ada ruang terbuka tempat ikan bermain. Tempat yang demikian menjadi tempat berkumpulnya ikan, maka di tempat itu ia bisa mendapat tangkapan banyak.

Seorang nelayan lain mengatakan bahwa ikan tertentu yaitu ikan Patung atau Biawan, menyukai tempat yang agak terbuka dan bukan tempat yang gelap tertutup Rasau. Tampaknya di tempat yang agak terbuka ikan Patung mendapatkan banyak makanan. Karena banyak ikan Patung berkumpul di tempat itu, maka mengundang ikan predator lainnya juga datang ke tempat itu. Hal ini mendorong beberapa orang nelayan membakar dengan sengaja beberapa tempat yang padat dengan pohon Rasau dengan tujuan untuk mempermudah pemasangan alat tangkapan dan memperbanyak jumlah tangkapan.

Nelayan yang lain mengatakan bahwa kebakaran hutan itu positif karena tempat bekas kebakaran hutan akan ditumbuhi rumput-rumput yang baru. Pada musim banjir tempat yang demikian merupakan tempat yang ideal untuk memasang tampirai. Sementara nelayan lain megatakan bahwa kebakaran hutan membuka jalan atau akses serta mempermudah mereka bisa masuk lebih jauh ke dalam hutan rawa untuk memasang alat-alat tangkapan. Nelayan lain menyatakan merasa diuntungkan oleh kebakaran karena melalui peristiwa itu ia mendapatkan banyak tempat untuk memasang tampirai. Sementara ada juga nelayan lain berpendapat bahwa kebakaran hutan juga membakar maka akan membuat hamparan tanah terbakar sehingga membentuk cerukan atau kubangan kecil dan di tempat yang seperti ini bisanya terdapat banyak ikan.

Beberapa pendapat yang menyetujui pembakaran di atas, dapat diringkas pada tabel berikut ini:

Page 64: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

60

Tabel 22. Alasan Setuju Pembakaran

No. Alasan1. Ada lahan terbuka tempat ikan Patung cari makan dan berkumpul2. Ada lahan terbuka tempat mudah memasang Rawai3. Membuat tumbuh rumput-rumput baru, tempat yang ideal untuk memasang

Tampirai pada musim hujan.4. Membuka akses ke hutan rawa dan memperluas tempat tangkapan5. Menimbulkan cerukan pada tanah yang nantinya menjadi kolam atau danau

kecil yang disukai ikan.6. Habis kebakaran biasanya jumlah tangkapan menjadi banyak

Data di atas bisa dibaca secara ilmiah bahwa nelayan telah memiliki pengetahuan tentang pola hidup dan pola makan ikan. Mereka juga mengetahui cara untuk mengumpulkan atau mengkonsentrasikan ikan pada satu tempat. Pengetahuan itu mendorong mereka mengambil tindakan pembakaran padang Rasau. Pada sisi ini, nelayan melihat kebakaran hutan itu positif dan menguntungkan.

Pada sisi lain, ada nelayan yang melihat kebakaran sebagai sesuatu yang negatif dan merugikan, dengan alasan sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:

Tabel 23. Alasan Tidak Setuju Pembakaran

No. Alasan1. Merusakan atau menghilangkan tempat memasang alat tangkapan2. Menghilangkan tempat ikan mencari makan atau membuat makanan ikan

habis3. Membuat ikan lari/sembunyi tidak mau datang lagi ke tempat bekas kebakaran4. Menghilangkan tempat ikan tinggal dan berlindung5. Menghabiskan telur-telur ikan, telur-telur ikan ikut terbakar6. Membuat ikan tidak mau menepi ke pinggir sungai dan masuk ke daerah rawa7. Merugikan karena alat tangkapan yang dipasang di hutan rawa juga ikut

terbakar

Yusmadi (50 th) di Rasau mengatakan bahwa kebakaran hutan menghancurkan tempat tinggal ikan. Kalau tempat tinggalnya hancur maka ikan semakin berkurang. Cakun (57 th) mengatakan kebakaran

Page 65: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

61

membuat hilangnya tempat ikan berlindung. Saberi (40 th) di Rasau menyatakan bahwa terbakarnya pinggiran sungai menghilangkan tempat berkumpul dan tempat bertelur ikan-ikan, sehingga ikan pergi dari daerah itu. tidak ada lagi tempat ikan berkumpul dan bertelur di tempat bekas kebakaran.

Samali (40 th) di Mangkok menyatakan bahwa kebakaran hutan mengganggu hasil tangkapan karena hal itu menyebabkan tidak adanya tempat menaruh atau menambatkan bubu lagi karena rawa atau tempatnya terbakar dan berubah menjadi seperti danau. Saleh (52 th) juga tinggal di Mangkok mengatakan ketika hutan atau Rasau terbakar ikan-ikan yang bersembunyi di bawah akar rasau akan berpindah tempat dan itu akan mengurangi hasil tangkapan.

Pak Rusbandi menyatakan bahwa kebakaran hutan sangat merugikan karena karena tampirai yang digunakan dan dipasang juga ikut terbakar. Sedangkan Nasri menyatakan bahwa kebakaran merupakan hal yang mengganggu karena membuat rawa menjadi bersih sehingga tidak ada lagi tempat ikan berlindung dan ikan menjadi lari. Menurut pak Nasrin ikan lebih suka berada ditempat yang rindang dan sejuk dan ikan juga tidak suka berada di tempat yang panas. Selain itu, kebakaran hutan juga membuat nelayan sulit mencari tempat memasang alat tangkapan.

Saleh (52) di Karanen mengatakan bahwa kebakaran hutan membuat ikan-ikan yang bersembunyi di bawah akar rasau akan berpindah tempat dan itu akan mengurangi hasil tangkapan. Jainudin (45) di Selowati mengatakan bahwa kebakaran hutan dapat mengganggu hasil tangkapan karena saat kebakaran hutan terjadi maka tempat ikan-ikan bertelur juga ikut terbakar, tidak hanya itu makanan ikan juga habis terbakar. Akibatnya adalah tempat itu tidak lagi didatangi ikan dan bukan tempat pemasangan alat tangkapan yang baik.

Menurut para nelayan, beberapa ikan tertentu seperti Kakapar, Tahumandan Karandang, meletakkan telur di tempat tertentu yang mereka sebut

Page 66: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

62

pasar yaitu tumpukan daun Rasau yang telah mati, tenggelam dan menumpuk di dasar sungai. Apabila pada musim kering daun Rasau ini terbakar maka ikan-ikan akan mencari tempat lain untuk meletakkan telurnya. Hal ini diperkuat oleh Pak Udin (36 th) di Mangkok yang menyatakan bahwa kebakaran hutan akan mengurangi tempat ikan untuk mencari makan dan bertelur pada waktu air banjir.

Pak Ayen (54 th) di Selowati mengatakan bahwa memang kebakaran itu berwajah ganda yaitu: kebakaran hutan dapat mengganggu hasil tangkapan karena bila terjadi kebakaran hutan maka tempat untuk memasang tampirai pun tidak ada lagi, akan tetapi kebakaran juga mendatangkan keuntungan karena menyediakan tempat bagi mereka yang menangkap ikan dengan menggunakan pancing rawai.

Dengan demikian untuk mengurangi pembakaran hutan, salah satu solusinya adalah mengurangi atau membatasi alat tangkap yang memerlukan tempat terbuka yang terlalu luas.

3.12. Penggunaan racun dan alat setrum

Sama seperti kebakaran hutan, para nelayan sungai Sabangaumenyebutkan bahwa pelaku penangkapan ikan dengan cara menggunakan racun ikan (potas) dan alat setrum adalah orang-orang luar. Mereka menyebutkan bahwa pelakunya masuk dari kanal (karukan) yang tembus dengan desa Garong. Hal itu diperkuat dengan beberapa peristiwa yang mereka lakukan antara lain:- Pengejaran dan penangkapan pelaku penyetruman ikan yang

perahunya mereka sita dan serahkan ke BKSDA.- Pembakaran pondok nelayan musiman yang menangkap ikan dengan

menggunakan setrum dan potas.

Ceritera tentang penyetruman oleh orang luar itu semakin diperkuat dengan adanya dua surat. Pertama, Surat Komitmen Bersama tertanggal 25 Agustus 2010, salah satunya menyatakan bahwa bersepakat dan berkomitmen untuk tidak melakukan penyetruman ikan. Kedua, laporan

Page 67: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

63

atau surat resmi tertanggal 26 Agustus 2010, yang pernah dikirimkan ke Kapolsek Kecamatan Sabangau Kuala yang meminta agar ada penertiban atas kegiatan penyetruman ikan.

Hampir semua nelayan mengetahui tentang peraturan, hukum atau larangan penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan alat setrum listrik. Hampir semua nelayan juga bisa memaparkan efek merugikan yang ditimbulkan dari kegiatan ini, yaitu turunnya tangkapan. Misalnya pak Jainudin (45) di Selowati mengatakan bahwa penyetruman ikanmempengaruhi jumlah tangkapan karena alat setruman mampu menarik ikan-ikan untuk datang. Setelah kegiatan penyetruman biasanya ikan menjadi liar dan sulit untuk ditangkap. Pak Kambrani (42 th) di Baluh mengatakan bahwa penggunaan alat setrum membuat ikan-ikan menjadi takut mendekati perangkap walaupun sudah dipasang umpan.

Selain itu, penggunaan racun juga akan sangat berpengaruh karena penangkapan ikan menggunakan racun bisa membunuh ikan dari yang rekecil sampai yang besar. Beberapa nelayan dengan lebih rinci menjelaskan bahwa penyetruman menyebabkan ikan cacat. Terutama pada ikan ttampahas, akan mengalami kemandulan yaitu tidak mau bertelur. Begitu juga dengan telurnya tidak mau menetas.

Kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat setrum dan racun ini biasanya terjadi pada musim kemarau pada saat air surut. Beberapa nelayan pendatang berpura-pura memancing atau menombak ikan (manyuar), namun sebenarnya mereka sedang menyetrum ikan. Kegiatan ini tidak kentara kalau tidak diamati secara jeli, karena genset atau mesin listrik yang mereka pergunakan memakai alat peredam yaitu knalpotnya dipasang pipa melengkung yang direndam di air. Penyetruman juga dilakukan dengan menggunakan 8-10 unit aki atau accu.

Beberapa nelayan secara diam-diam memberitahukan bahwa kegiatan penyetruman ikan terkadang juga dilakukan oleh nelayan setempat yang ingin secara cepat dan mudah mendapat ikan. Indikasi dari hal ini adalah padatnya tempat penyetruman aki / accu yang ada di desa Kereng

Page 68: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

64

Bangkirai, oleh nelayan setempat. Indikasi lain adalah adanya nelayan yang memiliki sendiri alat setrum aki / accu, yang tujuannya agar tidak ada yang curiga dengan kegiatan destruktifnya.

Penggunaan racun potas di sungai utama disebut dengan istilah marujak yaitu ujung rongga batang bambu yang dipakai sebagai teken (alat pendorong perahu) dimasuki dengan potas. Batang bambu itu ditusuk-tusuk di bagian akar pohon rasau atau pada bagian sungai yang dalam dengan tujuan agar ikan keluar dan dengan mudah ditangkap dengan jaring atau tombak ikan yang disebut sarimpang.

3.13. Kearifan Lokal

Para nelayan sungai Sabangau dalam menjalani kehidupannya sehari-hari secara alami menciptakan beragam aturan kehidupan yang tujuannya untuk keberlangsungan hidup mereka sendiri. Namun secara tidak direncanakan ternyata aturan kehidupan itu berdampak positif terhadap kelestarian mata pencaharian dan lingkungan hidup mereka. Aturan kehidupan yang oleh para akademisi disebut dengan “kearifan lokal” itu bersumber dari tuturan lisan nenek moyang dan diberlakukan secara sadar bahwa hal itu baik, berguna dan harus dilakukan. Memang ada beberapa aturan kehidupan itu nampaknya irrasional karena sulit diterangkan secara ilmiah, namun itu semua sudah mengindikasikan adanya upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan yang dilakukan masyarakat sejak lama.

Ada beberapa kearifan lokal yang terdapat di kalangan nelayan Sabangautelah perlahan dilupakan, misalnya tradisi tentang dewata air yang bernama Jata. Hanya beberapa orang nelayan yang masih bisa menuturkan tentang Jata dan hanya satu orang yang bisa dan masih melakukan ritual kepada Jata yaitu bapak Hamdi di Karanen. adalah sebagaimana tabel di bawah ini:

Page 69: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

65

Tabel 24. Daftar Kearifan Lokal di Kalangan Nelayan Sungai Sabangau

Jenis Kearifan Aturan Akibat Kalau Dilanggar

Perlakuan terhadap peralatan

Tidak boleh menancapkan alat pengayuh sewaktu menangkap ikan.

Hasil tangkapan kurang

Perlakuan terhadap tangkapan

Tidak boleh menangkap induk dari ikan Toman. Bila menggerombol dengan anaknya, boleh tangkap anak-anaknya untuk dibudi-daya, tetapi induknya dilepas.

Hasil tangkapan kurang

Kalau ada ikan-ikan yang kecil atau anak ikan masuk ke alat tangkap harus di lepas kembali

Hasil tangkapan kurang

Kalau mendapat ikan Toman dengan berat lebih dari 5 Kg harus dilepas kembaliKalau mendapat ikan Tampahas dengan berat lebih dari 50 Kg harus dilepas kembaliTidak boleh mengganggu atau menangkap ikan Tampahas yang sedang menetaskan telur.

Ikan akan jera bertelur di tempat itu

Perlakuan terhadap alat tangkap.

Tidak boleh menghempas-hempaskan bubu atau buwu yang berlumut ke air kalau membersihkannya.

Alat tangkapan akan diganggu dan dirusak oleh Berang-Berang.

Tidak boleh mendirikan bubu dengan muara atau mulut bubu menghadap ke atas.

Bubu akan di ganggu bai hutan atau buaya.

Hanya boleh alat tangkap tradisional tidak boleh setrum dan racun potas

Tangkapan menurun, karena mematikan induk ikan dan telurnya

Perlakuan terhadap daerah tangkapan

Tidak boleh dengan sengaja merusak tempat bertelur dan berkembang-biaknya ikan.

Hasil tangkapan kurang

Kalau bertemu ular air, tidak boleh dibunuh dengan dipukul atau dibacok dengan parang. Ular itu ditangkap cukup dimulut ular air itu diletakan tembakau jawa dimulutnya sehingga ia mati karena mabuk tembakau.

Darah ular akan mencemar tempat menangkap ikan, akibatnya ikan tidak mau datang di tempat itu

Ikan Tampahas tidak boleh ditangkap dengan cara menombak atau membacok dengan parang, sehingga

Darah ikan itu akan mencemar tempat menangkap ikan, akibatnya

Page 70: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

66

keluar darahnya. ikan tidak mau datang di tempat itu

Bila mendapat tangkapan banyak melakukan ritual dengan menenggelamkan 5-10 butir telur ayam atau bebek, sebagai tanda syukur kepada alam.

Hasil tangkapan kurang

Perlakuan terhadap binatang lain

Kalau bertemu ular atau buaya jangan diganggu,

Agar hewan itu tidak ganas dan menyerang manusia

Hari KerjaTidak menangkap ikan pada hari Jumaat, hanya istirahat di rumah

Tidak ada penjelasan

Tidak menangkap ikan pada hari permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri)Tidak bekerja kalau ada anggota keluarga yang meninggal dunia

Gambar 11 Bendera Kuning dan Bendera Merah di pinggir sungai sebagai tanda permohonan nazar agar pekerjaan mendatangkan hasil

Page 71: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

67

3.11. Perubahan Iklim

Nelayan sungai Sabangau sangat menggantungkan hidupnya pada situasi alam yaitu musim, curah hujan, tinggi-rendahnya permukaan air, dan kondisi alam (sungai, hutan, semak, perdu, dll.). Perubahan yang terjadi pada alam, misalnya iklim, sangatlah berpengaruh terhadap kehidupan mereka.

Dari beberapa wawancara didapatkan data bahwa nelayan sangat tidak menyukai situasi alam yang tidak teratur. Mereka tidak menyukai hujan yang turun mendadak dan kemudian berhenti mendadak juga. Hal yang serba mendadak itu membuat mereka tidak punya kesempatan banyak untuk mempersiapkan alat tangkapan, akibatnya adalah mereka kehilangan peluang dan kesempatan untuk mendapat tangkapan.

Situasi alam yang serba mendadak dan tidak teratur atau yang mereka istilahkan dengan meleset, sering terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Misalnya beberapa nelayan yang telah berusia lanjut mengatakan bahwa tanda-tanda alam yang pada jaman dahulu dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan kapan datangnya musim hujan atau musim kemarau, pada masa kini hal itu sudah tidak dapat dipakai lagi. Misalnya pada jaman dahulu mereka bisa memprediksi kapan datangnya musim hujan atau surung layap dengan memperhatikan warna dan bentuk dari telur-telur ikan yang masih bisa ditangkap pada saat musim kemarau. Namun kini hal itu tidak berlaku lagi. Musim bisa berubah bahkan bergeser, sehingga semua perhitungan menjadi meleset.

Nelayan sungai Sabangau menyukai situasi alam yang serba teratur, sesuai dengan hitungan dan prediksi. Mereka menyukai hujan turun secara konstan (batitir nanar) karena akan memberi kesempatan bagi ikan untuk berimigrasi dan menetas telurnya. Hal itu juga memberi kesempatan bagi nelayan untuk memasang alat tangkapan. Alam, cuaca dan iklim yang teratur bagi para nelayan sungai Sabangau adalah juga hasil tangkapan dan pendapatan yang teratur. Iklim yang tidak teratur membuat pola tangkap juga menjadi tidak teratur dan akhirnya membuat kehidupan tidak teratur.

Page 72: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

68

Satu hal yang diamati oleh para nelayan di sungai Sabangau adalah fenomena lauk bangai yang terjadi setelah pergantian musim kemarau ke musim hujan. Pada saat wayah lauk bangai ikan bermunculan ke permukaan air sungai Sabangau, atau berkumpul ke pinggir sungai hingga ada yang naik ke daratan. Ikan yang demikian oleh masyarakat setempat disebut dengan lauk bangai, nangau atau buseng tungape. Menurut nelayan sungai Sabangau, wayah lauk bangai terjadi bila warna air berubah hitam, berbau busuk dan rasanya masam. Menurut mereka kondisi air yang membuat ikan mabuk atau keracunan sehingga mengapung di permukaan air dan mati secara massal.6

6 Bangai adalah proses alami yang mengakibatkan kematian ikan sungai dalam jumlah banyak, yaitu naiknya belerang ke permukaan sungai melalui proses pembalikan (upwelling). Secara ilmiah fenomena lauk bangai ini dapat dijelaskan sebagai pengaruh dari pergantian musim kemarau ke musim hujan yang menyebabkan terjadinya proses pencemaran alamiah (. Pencemaran alamiah itu bermula dari tumbuhan kering yang mati terendam padam musim air dalam mengalami proses penguraian atau perombakan oleh bakteri atau organisme pengurai (dekomposer). Dalam proses tersebut bakteri maupun organisme pengurai memerlukan energi yang besar dengan cara mengkonsumsi oksigen yang besar pula, hal ini mengakibatkan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang. Besarnya energi yang dikeluarkan menyebabkan peningkatan hasil respirasi yang diikuti oleh peningkatan ekskresi seperti suhu, karbondioksida dan kadar amoniak dalam air sehingga pH menurun yang mengakibatkan air menjadi asam dan terbentuk senyawa H2S yang menimbulkan bau busuk. Pada keadaan ini kualitas air menurun drastis dan pada akhirnya ikan-ikan yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi air yang demikian akan mati dan aktivitas penangkapan juga jarang dilakukan. Lihat Rizmi Yunita, “Karakteristik perairan rawa Bangkau dan keragaman ikan di kabupaten Hulu Sungai Selatan propinsi Kalimantan Selatan”, dalam ECOTROPHIC 5 (1) : 34 – 40.

Page 73: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

69

44KKEESSIIMMPPUULLAANN DDAANN SSAARRAANN

Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian 3, beberapa hal yang dapat menjadi kesimpulan dan saran adalah sbb.:

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan pola kerja nelayan sungai Sabangau terdiri dari: nelayan menetap, nelayan musiman dan nelayan komuter.

2. Berdasarkan etnisitas, nelayan sungai Sabangau terdiri dari nelayan asli yaitu dari suku Dayak, dan pendatang yaitu dari suku Banjar, Berangas dan Jawa.

3. Suku-suku ini saling berbagi ruang kehidupan yaitu wilayah-wilayah tangkapan untuk mencari nafkah di empat musim tangkapan yang mereka sebut sebagai wayah surung layap, wayah danum manahan, wayah marintak dan wayah danum surut.

4. Masyarakat nelayan di sungai Sabangau telah memiliki pola tata ruang wilayah tangkapan yang diatur secara tradisional. Wilayah tangkapan sebagai ruang kehidupan dibagi menjadi ruang privat, semi privat dan ruang publik. Ruang publik yaitu sungai Sabangau boleh dimanfaatkan secara umum oleh masyarakat luas. Ruang semi privat yang rawa banjiran yang terdapat di sebalah kanan-kiri sungai menjadi wilayah tangkapan nelayan setempat. Ruang privat yaitu anak sungai, tatas, baruh dan talaga,k sungai, tatas, baruh dan talaga, menjadi milik keluarga pengelolanya. Orang luar boleh ikut menjadi milik keluarga

Page 74: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

70

pengelolanya. Orang luar boleh ikut apabila telah menjadi apabila telah menjadi anggota keluarga anggota keluarga melalui perkawinan.

5. Pola penguasaan dan pemilikan wilayah tangkapan berdasarkan pada hukum adat yaitu siapa yang mulai membuka dan mengelola maka ia dan keturunannya menjadi penguasa dan pengelola. Wilay.ah tangkapan tidak boleh diperjualbelikan hanya boleh diwariskan turun-temurun

6. Pola pemanfaatan sumber daya alam dilakukan melalui pekerjaan utama yaitu nelayan sungai dan juga melalui pekerjaan sampingan yaitu:

a. Membuat Ikan Asin (Mamundang)b. Keramba (Mangaramba)c. Menangkap dan Menjual Anak Tomand. Menjerat Rusa (Manjarat Bajang)e. Menjerat Babi (Manjarat Bawui)f. Mencari Galam (Manggalam)g. Mencari Burung (Mamburung)h. Sewa Klotok (Manyampan)i. Bekerja Dengan WWF

- Membuat Tabat (Manabat)- Menanaman Bibit (Mimbul)- Monitoring Pipa Air di Tabat (Mamipa)

7. Mekanisme pemanfaatan sumber daya alam diatur secara tradisional yaitu melalui mekanisme kekeluargaan dan kearifan lokal, yaitu: untuk ruang publik dan ruang semi privat diatur sbb.:

a. Tidak boleh mengambil/mencuri tangkapan orang lainb. Jangan tumpang tindih dalam pemasangan alatc. Tidak boleh menangkap ikan dengan racun dan setrum listrikd. Orang luar desa boleh menangkap ikan di wilayah komunal

hanya untuk kepentingan non komersial seperti rekreasi memancing

Page 75: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

71

e. Penguasaan wilayah komunal hanya terbatas untuk kepentingan penangkapan ikan, sehingga masyarakat lain dapat melewati wilayah itu dengan bebas.

Sedangkan ruang privat bersifat tertutup hanya untuk anggota keluarga dengan aturan:

a. Orang luar yang non keluarga tidak boleh bekerja di dalam wilayah keluarga

b. Orang luar dapat menangkap ikan atau bekerja mencari penghasilan hidup di wilayah keluarga, apabila melakukan ikatan kekerabatan dengan cara perkawinan.

c. Orang luar dapat memasuki dan mengakses wilayah keluarga yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun dengan ijin dan kontrol dari pihak keluarga, serta membayar kontribusi.

d. Penguasaan dan kepemilikan wilayah keluarga tidak boleh diperjual-belikan, harus diturunkan pada keturunannya.

e. Tidak boleh melakukan penangkapan ikan dengan cara yang memusnahkan ikan, misalnya dengan racun potas atau setrum listrik.

8. Konflik antar sesama nelayan masih bersifat tertutup atau laten yaitu masalah penguasaan wilayah tangkapan. Konflik dengan nelayan dari luar daerah yang melakukan penyetruman ikan dan pemakaian racun potas sudah bersifat terbuka.

9. Akibat penting dari pembuatan tabat adalah alam masih mampu memberi dukungan kehidupan kepada para nelayan dengan indikator utamanya adalah ekonomi tradisional nelayan di sungai Sabangaurelatif masih utuh dan bisa menjamin keberlangsungan hidup para nelayan. Mereka tidak hanya menjalankan kehidupan ekonomi yang subsisten tetapi juga komersil dalam skala kecil. Bila dibandinngkan dengan masyarakat tradisional yang berada di sekitar perkebunan besar sawit (PBS) mereka belum mengalami “proletarisasi” yaitu perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yang otonom menjadi sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yang

Page 76: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

72

dikendali oleh pihak lain. Kalaupun mereka mempunyai pekerjaan sampingan atau pekerjaan lain, itu semata adalah strategi adaptasi dalam menghadapi masa-masa paceklik dan sebagai indikator dari bagaimana mereka melakukan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Mereka juga belum mengalami apa yang disebut dengan ‘defisherisation’, yaitu suatu proses memudarnya atau hilangnya kegiatan nelayan yang mandiri menjadi sekedar buruh, pada sektor usaha yang bersifat kapitalistis. Karena itu harus diusahakan jangan ada pengalihan mata pencaharian. Kalau ada peluang kerja baru jangan sampai menggantikan pekerjaan yang sudah ada. Peluang kerja baru sifatnya hanyalah suplemen atau tambahan dan bukan pengganti pekerjaan pokok sebagai nelayan

10. Nelayan tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pengaruh penebangan pohon hutan dan kebakaran hutan terhadap sumberdaya ikan. Mereka juga tidak banyak mengetahui tentang kait-mengait antara kelestarian hutan dengan keberlangsungan nafkah hidup mereka sebagai petani, akibatnya mereka secara sadar melakukan pembakaran hutan agar dapat dengan mudah memasang alat tangkapan dan agar dapat memiliki akses masuk ke daerah rawa. Hal ini dapat membuat kegiatan penabatan menjadi kelihatan tidak bermanfaat.

11. Pembuatan tabat pada satu sisi memang menjadi semacam tabungan ikan yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Namun karena cara penangkapan secara tradisional yaitu “sistem bendung dan

keringkan” membuat tabat atau dam banyak dirusak dengan tujuan agar genangan air yang ada di sebelah hulu tabat kering dan kemudian ikan mudah ditangkap.

12. Perubahan iklim yang membuat musim tangkapan ikan bergeser dan munculnya fenomena ikan bangai, juga dapat membuat kegiatan penabatan menjadi kelihatan tidak bermanfaat. Perubahan iklim dapatmembuat musim paceklik lebih panjang sehingga dapat membuat nelayan sungai melupakan pekerjaan utama dan menekuni pekerjaan sampingan.

Page 77: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

73

B. Saran

Berdasarkan pola tata ruang, pola penguasaan, pola pemilikan daerah tangkapan, pola mekanisme pemanfaatan sumber daya, serta kearifan lokal yang sudah ada terdapat pada masyarakat nelayan di sungai Sabangau, dapat dikatakan bahwa masyarakat nelayan di sungai Sabangautelah memiliki satu sistem atau mekanisme pengaturan diri. Namun sistem atau mekanisme itu belum berwujud institusi atau kelembagaan formal. Karena itu disarankan agar WWF menginiasiasi suatu institusi atau kelembagaan formal yang lengkap dengan aturan, sanksi, dan pemegang legalitas tertulis. Hal itu dapat dilakukan dengan cara:

1. Melegal-formalkan kelembagaan informal (tradisional) yang telah ada di dalam masyarakat, yaitu lembaga adat Dayak

2. Menformulasikan suatu kelembagaan formal baru dengan mengembangkan kearifan lokal yang telah ada di dalam masyarakat, misalnya Formas, Kelompok Masyarakat Konservasi, etc.

3. Melegal-formalkan kelembagaan informal masyarakat lain yang cocok dengan karakteristik masyarakat nelayan di sungai Sabangau.

Institusi atau kelembagaan formal yang telah terbentuk mempunyai tugas utama:

1. Membangun kesadaran untuk menggiatkan kembali (revitalisasi) implementasi beragam kearifan lokal yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada di kawasan sungai Sabangau.

2. Mengeluarkan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan wilayah sungai, anak, sungai, baruh, talaga dan tatas serta segala sumberdaya yang terkandung didalamnya, yang menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang diperkenankan. Perangkat atau aturan yang dimaksud dapat berupa Hukum Adat Tertulis atau Peraturan Desa (Perdes) yang antara lain memuat:

Page 78: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

74

a. Batas Wilayah TangkapanMengatur tentang dimana wilayah yang boleh dilakukan penangkapan, dimana yang tidak boleh. Harus ada satu wilayah yang menjadi wilayah suaka ikan atau reservat.

b. Jenis Ikan

Mengatur ikan apa saja yang boleh ditangkap, baik dari jenis maupun ukuran. Bagian ini harus memuat tentang pelarangan penangkapan anak ikan Toman untuk diperjualbelikan keluar Sabangau

c. Alat Tangkap

Mengatur jenis alat tangkap apa saja yang boleh dan tidak boleh, baik dari segi jenis, bentuk dan ukuran. Juga mengatur tentang pembatasan alat tangkapan, sehingga dicantumkan jumlah maksimum alat tangkapan per keluarga nelayan.

d. Waktu Penangkapan

Mengatur waktu pengkapan. Harus ada larangan menangkap ikan pada waktu-waktu tertentu. Sehingga ikan mempunyai waktu dan kesempatan berkembang biak.

e. Pola Penangkapan

Mengatur cara penangkapan yang boleh dan tidak boleh. Misalnya apakah boleh memperbanyak tangkapan dengan membakar hutan rasau terlebih dahulu.

f. Pola Budi-DayaMengatur ikan apa yang sebaiknya dibudidayakan. Sebaiknya ada penggantian budidaya ikan predator

g. Pemegang Hak dan Legalitas

Mengatur tentang siapa saja yang berhak bekerja di daerah tangkapan. Juga dicantumkan tentang pembatasan jumlah nelayan yang ideal sesuai dengan daya dukung lingkungan.

Page 79: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

75

h. SanksiSanksi yang diberikan kepada pelanggar aturan dengan prinsip sbb. :

- Bagi masyarakat setempat, sanksi adalah hukuman sosial, diberikan secara bertahap dan lebih pada pembinaan dan penyadartahuan.

- Bagi pihak luar, sanksi harus memberikan efek jera dan diberikan secara langsung.

- Bagi pihak luar, komunitas atau kampung asal pelanggar aturandapat dituntut karena membiarkan warganya melakukan pelanggaran adat atau aturan.

Sehubungan dengan monitoring terhadap manfaat dan dampak positif maupun negatif dari demonstration activity perlu dilakukan rapat tahunan para nelayan yang bertujuan untuk:1. Mengevaluasi apakah pendapatan mereka menurun atau meningkat

dengan indikator:a. Jumlah tangkapanb. Panjang atau pendeknya masa tangkapan banyak dan

sedikit (masa paceklik).c. Jenis ikan apa saja yang semakin banyak dan semakin

sedikit.d. Kesejahteraan hidup

2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang membuat pendapatan mereka menurun atau meningkat.

3. Memetakan permasalah, peluang dan potensi yang mereka miliki, sehingga diketahui pola pengembangan yang tepat.

Page 80: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

76

55PPEENNUUTTUUPP

Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat nelayan di sungai Sabangau selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu secara dinamis. Karena itu apa yang disajikan dalam laporan ini adalah potret sesaat (snapshot) yang sangat boleh jadi akan berubah pada masa-masa mendatang. Karena itu pada masa-masa mendatang, secara periodik perlu dilakukan kajian sosial ekonomi dan budaya lanjutan untuk mengetahui dinamika perkembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan perbaikan upaya pemberdayaan masyarakat.

Pada saat laporan ini disusun telah terjadi perubahan pola penguasaan sungai Sabangau yang adalah ruang publik atau common property. Orang-orang kota yang terkena demam “mancingmania” yang menjadikan kegiatan memancing bukan sebagai mata pencaharian tetapi lebih sebagai gaya hidup (lifestyle), telah berbondong-bondong masuk ke sungai Sabangau. Mereka tidak sekedar menyewa perahu dan memancing dengan perlatan pancing yang serba mahal, tetapi juga mengkapling-kapling sungai Sabangau menjadi spot-spot atau lapak-lapak pemancingan pribadi, dimana orang lain (sesama pemancing mania) dilarang masuk ke spot-spot yang telah diklaim menjadi milik pribadi. Selain mengintroduksi pola tata ruang baru, fenomena ini juga mengintroduksi pola konflik baru.

Page 81: KEHIDUPAN SOSIAL – EKONOMI NELAYAN DI SUNGAI ......terkait dengan aspek-aspek sosial-ekonomi di lokasi demonstration activity REDD+ di TN Sabangau, yakni di daerah aliran Sungai

77

Juga pada saat laporan ini sedang disusun, ada beberapa nelayan di sungai Sabangau yang telah mendirikan warung di daerah Garong-Pulang Pisau. Di pinggir jalan trans Kalimantan, dimana telah terbangun sentra penjualan ikan asin, mereka juga membangun rumah yang sekaligus warung tempat menjual ikan asin. Mereka telah membangun pola penjulan ikan yang baru, yaitu menjual langsung kepada pembeli dan menyingkirkan para tengkulak atau panyambang.

Karena itu pada masa mendatang, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memprediksi trend atau pergeseran yang akan terjadi. Hal itu patut dilakukan karena dapat membuat demonstration activity yang sudah dilakukan menjadi tampak tidak bermanfaat. Juga perlu dilakukan baseline survey untuk melengkapi beberapa data dan informasi yang belum tercakup dalam laporan ini (pendapatan perkapita, gender, HCVA, dll) serta untuk mempertajam analisis untuk kepentingan peningkatan upaya pemberdayaan masyarakat.