kehadiran gkp di tengah masyarakat sunda · 2017. 2. 20. · i kehadiran gkp di tengah masyarakat...

46
i KEHADIRAN GKP DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA Oleh, Felix Prasetyo Adi 712010044 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015

Upload: others

Post on 30-Jan-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    KEHADIRAN GKP DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA

    Oleh,

    Felix Prasetyo Adi

    712010044

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi

    guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga

    2015

  • ii

    PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

  • iii

  • iv

  • v

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

  • vi

    MOTTO

    “JADILAH DIRIMU SENDIRI, TETAPLAH

    RENDAH HATI,

    DAN SELALU BERSYUKUR UNTUK

    APAPUN YANG TERJADI”

    Matius 25:21

    “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai

    hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil,

    aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang

    besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Selama kurang lebih 4 tahun saya berproses di sini tentunya ada banyak pelajaran

    yang di dapat. Suka dan duka memberi warna dalam proses saya belajar maupun ketika saya

    menulis tugas akhir. Ada saat dimana sukacita yang dirasakan sangat membahana, namun ada

    juga saat dimana dukacita hadir menyapa. Melalui setiap proses belajar dengan diwarnai suka

    dan duka membuat saya berefleksi bahwa Tuhan Sang Pemberi Hidup senantiasa menuntun

    dan menyertai saya dalam setiap perjalanan studi saya. Puji syukur saya panjatkan kepada

    Yesus Kristus, Tuhan yang mau bersama-sama dengan saya dalam melewati masa-masa

    perkuliahan dan penulisan tugas akhir ini. Saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih

    kepada beberapa pihak yang telah mendukung saya selama masa perkuliahan dan penulisan

    tugas akhir:

    1. Bapak Dr. David Samiyono, sebagai dosen pembimbing 1 sekaligus sebagai wali

    studi. Terima kasih untuk bimbingan, sharing pengalaman, ilmu yang telah diberikan,

    dan kesediaan untuk mendengarkan curahan hati seorang mahasiswa dengan

    segudang permasalahannya. Dan untuk bapak Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo,

    sebagai pembimbing 2, terima kasih untuk nasihat-nasihat, masukan-masukan yang

    berharga selama kuliah maupun ketika membimbing saya menulis tugas akhir.

    Kiranya Tuhan memberkati pelayanan yang bapak lakukan dimana pun dan kapan

    pun.

    2. Untuk Dekan, Kaprogdi, seluruh dosen dan staff di Fakultas Teologi UKSW yang

    telah membantu saya menyelesaikan perkuliahan. Semua ilmu dan pengalaman bapak

    dan ibu semua sangat berguna bagi saya untuk berproses lebih lanjut lagi. Saya

    bangga menjadi bagian dari keluarga besar Fakultas Teologi UKSW.

    3. Untuk keluargaku: Papah, Mamah, Dwiky, dan Ersa. Terima kasih untuk doa dan

    kerja kerasnya selama saya berkuliah di Salatiga. Terima kasih juga untuk nasihatnya

    papah dan mamah, karena kalian saya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

    I love my family...

    4. Untuk Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan, terima kasih sudah memberikan

    kesempatan bagi saya untuk berkuliah di Fakultas Teologi UKSW dan terima kasih

    untuk dukungan yang diberikan. Untuk Ka Rani, terima kasih sudah mau

    “direpotkan” oleh saya selama saya studi.

    5. Untuk Jemaat dan Majelis Jemaat GKP Karawang, terima kasih untuk dukungan

    doanya. Tetaplah menjadi persekutuan yang hidup beralaskan kasih Kristus.

  • viii

    6. Untuk Komisi Tutorial Sinode, terima kasih untuk bimbingannya mengenal GKP

    lebih dalam lagi. Walaupun di Salatiga tidak ada GKP, saya bisa mengenal GKP dari

    pembinaan yang diberikan. Untuk teman-teman mahasiswa teologi GKP di UKSW

    Salatiga, UKDW Yogyakarta dan STT Jakarta, terima kasih untuk kebersamaannya

    selama ini. Semoga kita akan bertemu lagi di jemaat nanti.

    7. Terima kasih untuk Jemaat, Majelis Jemaat GKP yang ada di Klasis Wilayah

    Purwakarta, karena telah bersedia menjadi narasumber untuk penulisan tugas akhir

    ini. Juga terima kasih kepada BP Klasis Wilayah Purwakarta yang telah memberikan

    dukungan bagi saya untuk melakukan penelitian di jemaat-jemaat Klasis Purwakarta.

    Kiranya Tuhan memberkati.

    8. Untuk teman-teman Teologi angkatan 2010, terima kasih sudah mengisi hari-hari

    perkuliahan dengan penuh warna. Ada banyak sukacita yang saya rasakan selama 4

    tahun lebih bersama-sama dengan kalian. Ingat selalu, “karena kita satu... Two Zero

    One Zero!!!”

    9. Untuk GenkBenk, Bambang Purba, Jon Lamhot Sinaga, Jhon Purba, Olan Sembiring,

    Niko Tobing, Leo Purba, Franklin Korua, Sadrah Barus, Wilson Simanjuntak, Nando

    Sembiring terima kasih untuk kegilaannya selama ini, walaupun saya bukan orang

    Batak tapi mau menerima saya sebagai bagian dari orang Batak. Jangan pernah lupa

    sama kawanmu yang dari Sunda ini ya...!!!

    10. Kost Kembar 56, yang dulu sepi seperti di kuburan sekarang sudah ramai. Terima

    kasih untuk kebersamaannya, Ka Jakson, Ka Vian, Mas Kris, Ka Jerly, Ony, Okto,

    Pandu, Nanta, Presbi, Joko, Mas Tri dan lain-lainnya..

    11. Untuk kekasih, Maria Manurung SST.Pa, terima kasih karena mau mendengar keluh

    kesah saya selama menulis tugas akhir, dan selalu menyemangati ketika saya jenuh.

    12. Untuk semua yang terlibat tetapi tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih

    untuk dukungan yang diberikan bagi saya hingga saya bisa menyelesaikan

    perkuliahan di Fakultas Teologi UKSW.

    Salatiga, 13 Februari 2015

    Felix Prasetyo Adi

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman Judul .................................................................................................................... i

    Lembar Pengesahan ............................................................................................................ ii

    Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii

    Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ............................................................................... iv

    Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi .......................................................................... v

    Motto ................................................................................................................................... vi

    Kata Pengantar .................................................................................................................... vii

    Daftar Isi ............................................................................................................................. ix

    Abstrak ................................................................................................................................ xi

    1. Pendahuluan ................................................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 3

    1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 3

    1.4 Sumbangan Penelitian .............................................................................................. 3

    1.5 Metode Penelitian ..................................................................................................... 4

    1.6 Tempat Penelitian ..................................................................................................... 4

    1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................................... 4

    2. Landasan Teori ............................................................................................................... 5

    2.1 Survival Strategy ...................................................................................................... 5

    2.2 Model-model Gereja ................................................................................................ 8

    2.2.1 Model-model gereja ....................................................................................... 8

    2.2.2 Model Kehadiran Gereja di Indonesia ........................................................... 11

    3. GKP Klasis Wilayah Purwakarta ................................................................................... 16

    3.1 Demografi Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta ...... 16

    3.1.1 Kabupaten Karawang ..................................................................................... 16

    3.1.2 Kabupaten Purwakarta ................................................................................... 17

    3.1.3 Kabupaten Subang ......................................................................................... 17

    3.2 Gereja Kristen Pasundan Klasis Wilayah Purwakarta ........................................... 18

    3.3 Relasi dan Strategi Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta Yang Hadir

    Di Tengah Masyarakat Sunda ................................................................................ 19

    3.3.1 Kabupaten Karawang ..................................................................................... 19

    3.3.2 Kabupaten Purwakarta ................................................................................... 22

  • x

    3.3.3 Kabupaten Subang ......................................................................................... 24

    3.4 Cara Bertahan Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta ............................. 25

    4. Analisa Kehadiran GKP Klasis Wilayah Purwakarta Di Tengah Masyarakat Sunda ... 25

    5. Kesimpulan dan Saran .................................................................................................... 30

    5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 30

    5.2 Saran ......................................................................................................................... 31

    Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 33

  • xi

    ABSTRAK

    Agama Kristen yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia pada waktu penjajahan,

    membuat sebagian masyarakat Islam Indonesia menganggap sebagai agama penjajah. Stigma

    sebagai agama penjajah mengakibatkan banyak orang Kristen mengalami penolakan dan

    pergolakan. Begitu juga yang terjadi di Jawa Barat, yaitu di Gereja Kristen Pasundan.

    Keadaan tersebut mengharuskan GKP yang harus hidup berdampingan dengan masyarakat

    Islam memiliki strategi untuk dapat bertahan dan berkembang. Secara khusus, jemaat-jemaat

    GKP yang ada di Klasis Wilayah Purwakarta harus menerapkan strategi supaya dapat terus

    bertahan, tumbuh, dan berkembang.

    Kekhasan dan keunikan masyarakat Jawa Barat dan budaya Sunda dipakai GKP

    Klasis Wilayah Purwakarta sebagai strategi untuk bertahan dan bertumbuh. Selain dari pada

    itu, GKP Klasis Wilayah Purwakarta juga mengembangkan model kehadiran seperti apa yang

    sesuai dengan konteks wilayah pelayanannya. GKP Klasis Wilayah Purwakarta menyadari

    panggilannya bukan untuk menobatkan orang dari non-Kristen menjadi Kristen, tetapi untuk

    melayani sesama tanpa label kristenisasi. Yang oleh karenanya, GKP Klasis Wilayah

    Purwakarta hadir di tengah masyarakat Sunda bukan menjadi musuh tetapi menjadi tetangga

    yang baik sehingga GKP Klasis Wilayah Purwakarta dapat diterima dan bertahan, bahkan

    terus berkembang.

    Kata kunci: GKP Klasis Wilayah Purwakarta, survival strategy, model kehadiran gereja

  • 1

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Gereja adalah komunitas orang percaya yang telah dipanggil keluar dari kegelapan untuk

    masuk ke dalam terang Allah yang ajaib.1 Di dalam dunia, gereja terpanggil untuk melakukan

    tugas panggilannya yaitu bersaksi, bersekutu, dan melayani. Gereja Kristen Pasundan (GKP)

    adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, dan am di dunia, yang dipanggil untuk melaksanakan

    tugasnya secara khusus di wilayah Jawa bagian Barat.2 GKP lahir dari pekabaran Injil yang

    dilakukan oleh lembaga yang bernama Nederlansche Zendings Vereeniging (NZV) dengan

    beberapa tokohnya yang terkenal yaitu F. L. Anthing, Pdt. C. Albers, dan Pdt. S. Coolsma. Para

    utusan zending yang melakukan penginjilan kepada orang-orang di Jawa Barat khususnya suku

    Sunda mengalami kesulitan karena masih kuatnya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat

    dan tantangan dari agama Islam yang sudah lebih dahulu masuk dan mengakar kuat di wilayah

    Pasundan, bahkan H. Kraemer pernah mengungkapkan bahwa negeri Pasundan sebagai Nova

    Zembla3 rohani.

    4 Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya menaburkan benih Injil ke

    tengah-tengah masyarakat Pasundan.

    Perjumpaan masyarakat Sunda dengan agama Islam telah dimulai pada abad ke-13 M

    melalui pedagang Islam dari Gujarat, India.5 Sebelum Islam datang, telah lebih dulu datang

    agama Hindu-Buddha. Penyebaran agama Hindu-Buddha ini dapat dilihat dari peninggalan-

    peninggalan yang ada dan kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di tanah Jawa Barat, seperti

    Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran. Selain dari

    pada dua agama yang berkembang di wilayah Jawa Barat, masyarakat Sunda sendiri memiliki

    kepercayaan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka yaitu Sunda Wiwitan. Saat ini

    masyarakat Sunda yang masih menganut agama suku ini menamakan diri mereka masyarakat

    Baduy atau Kanekes dan tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,

    1 J. L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 2

    1 Badan Binalitbang Gereja Kristen Pasundan, Profil GKP Dalam Perspektif Kemandirian Teologi, Daya, dan Dana (Bandung:

    GKP, 2007), 1. 3 Nova Zembla adalah nama sebuah pulau di kawasan Arktik, yang melintang di antara Lautan Barents dan

    Laut Kara. Pulau itu terpisah dari daratan Uni Soviet oleh Selat Kara. Pulau itu merupakan daerah pegunungan dan

    perbukitan. Bila di utara terjadi musim dingin, salju yang menyelimutinya akan berlangsung cukup lama. 4 Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh 2 (Jakarta: GKP dan PGI, 1974), 34.

    5 Badan Binalitbang Gereja Kristen Pasundan, Profil GKP Dalam Perspektif Kemandirian Teologi, Daya, dan Dana (Bandung:

    GKP, 2007), 34.

  • 2

    Provinsi Banten. Orang Sunda berbeda dengan orang dari suku Jawa. Suku Sunda adalah

    penganut agama Islam yang taat dalam memenuhi syariat dan peraturan agama, jauh lebih kuat

    dari pada suku Jawa mematuhi agamanya.6

    Ketika NZV datang ke Tanah Pasundan, agama Islam sudah menjadi bagian dari

    kehidupan masyarakat Sunda. Selain itu sikap orang Sunda yang menutup diri terhadap Injil

    membuat medan pekabaran Injil yang dilakukan para zendeling dapat dikatakan sangat berat.

    Pada tahun 1870-an tenaga NZV sudah putus harapan melihat kegiatan penginjilan kepada

    masyarakat Sunda tidak akan membawa hasil yang berarti. Ini dapat dibuktikan ketika Pdt.

    Coolsma dan Pdt. Albers, utusan NZV, bersama-sama tinggal di Cianjur dan mengabarkan Injil

    hanya ada 3 orang Sunda yang menerima Injil dan dibaptis. Ketiga orang Sunda tersebut adalah

    Ismael dan istrinya Murti, serta seorang murid lainnya, tetapi hal itu menimbulkan perlawanan

    dari orang Islam. Mereka menganggap agama Kristen sebagai unsur asing yang harus ditolak.

    Agama Kristen adalah agama Belanda – agama penjajah, oleh sebab itu orang Sunda yang

    beralih ke agama Kristen dikucilkan dari kehidupan masyarakatnya. Beralih ke agama Kristen

    berarti memisahkan diri dari lingkungan hidup masyarakat.7 Pada waktu itu kehidupan orang-

    orang Kristen Sunda sangat berat dan mengalami tekanan secara langsung ataupun secara tidak

    langsung.

    Kaum Islam fundamentalis (Islam garis keras) sangat menunjukkan ketidaksukaannya

    terhadap orang lain, terutama kaum non-Muslim. Menurut Muhammad Iqbal Ahnaf, ada dua

    faktor yang melatarbelakanginya, yaitu faktor teologis yang berakar pada Alquran dan Hadits,

    dan faktor kedua adalah faktor sejarah yang sangat panjang yang mengeruhkan hubungan Islam-

    Kristen.8 Kuatnya tantangan dari para penganut Islam fundamentalis tidak mengendurkan

    semangat para zending. Berkat semangat penginjilan para zending, pada tanggal 14 November

    1934 GKP menyatakan diri sebagai gereja Tuhan yang melayani umat Tuhan secara khusus di

    wilayah Jawa Bagian Barat. Istilah Pasundan menunjuk pada wilayah pelayanan yang GKP

    lakukan yaitu bumi Sunda atau tanah Sunda. Pada tanggal 1 Januari 1937 jumlah orang Kristen

    di tanah Pasundan ada 6.215 jiwa, dimana dari suku Cina 1.441 jiwa dan sisanya 4.774 jiwa

    6 J. D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), 137.

    7 Koernia Atje Soejana, Benih Yang Tumbuh 2 (Jakarta: GKP dan PGI, 1974), 33.

    8 Richard M. Daulay, Kristenisasi Dan Islamisasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 13.

  • 3

    terdiri dari orang Sunda, Jawa, Ambon, Manado, dan sebagainya. Jumlah jemaat GKP sendiri

    sudah terdapat 39 jemaat.9

    Data ini menunjukkan bahwa betapa pun ada perlawanan dan penolakan, tapi akhirnya

    injil berkembang juga di masyarakat Sunda. Hal ini terlihat dari sebuah puisi yang ditulis untuk

    merayakan 75 tahun GKP mengungkapkan bahwa GKP hadir di tengah keberagaman tantangan

    namun tidak membuat GKP menyerah.10

    Dalam proses bertumbuhnya, GKP juga berjumpa

    dengan kehadiran agama Islam bahkan hidup berdampingan dengan Islam. Dapat dilihat secara

    demografi dari data salah satu kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang pada tahun

    2011, dimana penganut agama Islam sebanyak 2.200.571 jiwa sedangkan penganut agama

    Kristen sebanyak 20.760 jiwa. Dan jumlah rumah ibadah yaitu mesjid dan mushola sebanyak

    4.295, sedangkan jumlah gereja yang ada sebanyak 27 bangunan.11

    Diantara jumlah umat Kristen

    di Kabupaten Karawang, GKP hadir dan menyatakan diri menunaikan tugas dan panggilannya.

    Menarik melihat GKP yang hadir di bermacam tantangan tetapi membuatnya bertahan (survive)

    bahkan cenderung terus berkembang. Oleh karena itulah, penulis mengambil judul

    KEHADIRAN GKP DI TENGAH MASYARAKAT SUNDA, sebagai judul tugas akhir.

    1.2 Rumusan Masalah

    Penelitian ini akan menjelaskan tentang mengapa GKP dapat bertahan di tengah-tengah

    masyarakat Sunda yang sangat kuat dengan agama Islam?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana GKP dapat

    bertahan di tengah-tengah masyarakat Sunda yang sangat kuat dengan agama Islam.

    1.4 Sumbangan Penelitian

    Diharapkan melalui penelitian ini, dalam bidang akademik dapat memberi pemahaman

    dan pengetahuan kepada segenap bagian GKP bahwa GKP memiliki keunikan dan kekhasan

    9 J. D. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), 148.

    10 Tania Prameswari, “Mandirilah Gerejaku” dalam Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian, ed. Pdt. Supriatno, Pdt.

    Onesimus Dani, Pdt. Daryatno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). vii 11

    Sumber: http://migas.bisbak.com/3215.html di akses pada tanggal 5 Oktober 2014, pukul 17:45.

  • 4

    dalam melayani umat Tuhan di tengah tantangan yang dihadapinya, dan sumbangan pemikiran

    baru bagi teori survival dan model kehadiran gereja. Praktisnya, dapat menjadi salah satu bahan

    refleksi dan evaluasi gereja di dalam melayani di tengah masyarakat mayoritas.

    1.5 Metode Penelitian

    Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang bersifat

    deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaaan tertentu atau

    untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala lain dalam masyarakat. Jenis

    penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penulis mencoba

    mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-

    cakap berhadapan muka dengan orang tersebut.12

    Teknik pengumpulan data yang dipakai melalui wawancara: dalam hal ini penulis

    mencari informasi dengan menanyakan secara langsung kepada nara sumber dan memberi

    kebebasan untuk menjawab sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Nara sumber adalah

    mereka yang menjadi subjek penelitian penulis, yaitu pendeta, majelis jemaat, dan jemaat GKP.

    Selanjutnya melalui studi kepustakaan, penulis menggunakan buku-buku yang dapat digunakan

    untuk menyusun landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data

    penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.

    1.6 Tempat Penelitian

    Penulis mengambil tempat penelitian di GKP Klasis Purwakarta, dimana terdapat 7

    jemaat dan 4 pos kebaktian, yaitu Jemaat Purwakarta, Jemaat Sadang, Jemaat Sukamandi, Jemaat

    Karawang, Jemaat Telukjambe, Jemaat Bojongsari, Jemaat Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran,

    Pos Kebaktian Kampung Teko, Pos Kebaktian Cilamaya, dan Pos Kebaktian Jatiluhur.

    1.7 Sistematika Penulisan

    Pada bagian pertama penulis memaparkan tentang latar belakang masalah, judul

    penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian, tempat

    penelitian dan sistematika penulisan.

    12

    Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1981), 42, 162.

  • 5

    Bagian kedua akan dijelaskan teori tentang survival strategy menurut Talcott Parsons dan

    Herbert Spencer dan pembahasan tentang model-model kehadiran gereja menurut Avery Dulles

    dan Julianus Mojau.

    Bagian ketiga penulis akan memaparkan gambaran umum GKP Klasis Wilayah

    Purwakarta sebagai tempat penelitian.

    Bagian keempat penulis akan menganalisa hasil penelitian di lapangan dengan teori

    survival dan model-model kehadiran gereja.

    Bagian kelima penulis menyimpulkan seluruh pembahasan yang telah diuraikan dalam

    bagian-bagian sebelumnya.

    2. LANDASAN TEORI

    2.1 Survival Strategy

    Setiap makhluk hidup pasti berjuang untuk dapat tetap bertahan hidup. Melalui proses yang

    sangat panjang dan mengalami berbagai rintangan yang jika dapat ditaklukan, maka makhluk

    hidup tersebut akan bertahan hidup. Demikian juga dengan manusia, sebagai makhluk hidup

    manusia pun bertahan hidup dengan berbagai cara. Kemampuan manusia untuk dapat bertahan

    hidup tidak hanya dilihat dari sudut pandang biologi atau ekologi semata, melainkan juga dapat

    dipandang dari sudut pandang sosiologis. Hal ini mengingat manusia sebagai makhluk sosial

    yang selalu berhubungan dan bergantung dengan sesamanya. Segala yang ada di sekitar manusia

    sebagai pribadi atau pergaulan hidup, disebut lingkungan hidup. Secara garis besar terdapat tiga

    macam lingkungan hidup yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan fisik,

    lingkungan biologis, serta lingkungan sosial. ketiga macam lingkungan tersebut senantiasa

    mengalami perubahan-perubahan dan supaya manusia dapat mempertahankan kehidupannya,

    maka manusia melakukan penyesuaian diri atau adaptasi.13

    Talcott Parsons menyebutnya sebagai

    teori evolusioner, di mana di dalam suatu masyarakat terjadi proses diferensiasi. Dengan

    asumsinya bahwa setiap masyarakat terdiri dari serangkaian subsistem yang berbeda baik di

    dalam hal struktur maupun signifikansi fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih besar. Ketika

    masyarakat berkembang perlahan-lahan, subsistem-subsistem baru didiferensiasi.14

    13

    Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 65. 14

    Geoge Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2012), 423.

  • 6

    Herbert Spencer adalah orang yang memakai istilah survival of the fittest, sebagai bentuk

    persaingan abadi untuk bertahan dalam kehidupan. Dalam teori evolusinya, Charles Darwin

    mengungkapkan persaingan untuk terus hidup merupakan hukum besi seleksi sejarah. Dapat

    dikatakan kehidupan manusia dan alam merupakan hasil pertarungan abadi, yang disebut seleksi

    alam. Siapa yang kuat dan menang akan terus bertahan, sebaliknya siapa yang kalah dan lemah

    akan tergilas oleh roda besi kehidupan.15

    Seleksi alam menurut Darwin ini bukan hanya yang

    terkuat dan menang yang akan terus bertahan, tetapi yang paling adaptif. Menurut

    Suwartiningsih survival strategy atau strategi kebertahanan hidup dari makhluk hidup dilakukan

    secara individual maupun secara kolektif, karena pada dasarnya makhluk hidup adalah

    organisme yang bersifat individu dan sosial.16

    Di dalam strategi terdapat unsur cara dan tujuan.

    Agar suatu masyarakat dapat bertahan ada banyak kondisi yang harus dipelihara dan

    dikembangkan oleh masyarakat yang ingin bertahan. Kondisi tersebut dikelompokkan menjadi 3

    hal:

    1. Adaptasi terhadap lingkungan eksternal, fisik, dan manusiawi

    Agar dapat bertahan, maka suatu kelompok manusia harus memiliki (menciptakan)

    teknologi yang memadai sesuai keadaan geografi, iklim, dan sebagainya untuk

    penyediaan pangan, sandang, dan papan yang mencukupi kebutuhan anggota kelompok

    tersebut. Kecuali itu, kelompok tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan

    jangka panjang mereka. Hal ini memerlukan pola pertahanan diri yang mencakup

    perlindungan diri dari kelompok manusia lain dan lingkungan alam.

    2. Adaptasi terhadap hakikat bio-sosial manusia

    Suatu kelompok (masyarakat) juga tidak mungkin bertahan apabila ia tidak berhasil

    memenuhi kebutuhan pribadi para anggotanya dalam aspek bio-sosial (kebutuhan

    biologis yang hanya dapat diperoleh melalui relasi dengan individu lain). Para ahli

    ilmu sosial belum berhasil menyusun daftar kebutuhan tersebut, namun sudah ada

    kesepakatan yang relatif mengenai macam kebutuhan pribadi yang dimaksudkan.

    15

    Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana

    University Press, 2014), 111-112. 16

    Sri Suwartiningsih, Absennya Negara Dan Survival Strategy Komunitas Terabaikan: Studi Pemulung di TPA Sampah

    Jatibarang Semarang (Salatiga: Penerbit Widya Sari, 2010), 74.

  • 7

    Kebutuhan-kebutuhan tersebut mencakup: ekspresi seksual, olah raga, dan rekreasi

    untuk melepaskan ketegangan, dan ekspresi emosional yang dikenali dengan kesenian.

    3. Adaptasi terhadap kondisi kehidupan kolektif

    Dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan bio-sosial dapat dikatakan merupakan

    penyebab keinginan individu manusia untuk hidup berkelompok. Tetapi setelah dia

    hidup bersama dengan sesamanya, dia menghadapi masalah-masalah yang berada di

    luar masalah pribadinya. Agar dia bisa tetap bertahan dalam kehidupan bersama

    dengan sesamanya itu, maka dia (sampai tahap tertentu) harus mengkoordinasikan dan

    mengintegrasikan perilakunya untuk menghindarkan terjadinya kekacauan dan

    kebingungan. Kemauan dan kemampuan mengkoordiansikan dan mengintegrasikan

    perilaku inilah yang dimaksud dengan adaptasi terhadap kondisi kehidupan kolektif.17

    Ada dua model untuk bertahan hidup, yaitu:

    a. Model kebertahanan hidup (survival) yang dicirikan dengan adanya

    kecenderungan adanya usaha untuk suatu jaminan, kepercayaan diri pada seseorang

    terhadap kebenaran tertinggi atau takdir ketika ada pada posisi sulit.

    b. Model emansipasi yang memiliki ciri adanya kecenderungan untuk memperbaiki

    posisi seseorang, dan adanya keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya

    kerjasama untuk saling mendukung. Dengan kata lain bahwa strategi survival dapat

    dilihat dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, strategi survival seseorang

    dalam menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki oleh

    seseorang, seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada Tuhan, keberanian

    menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki pandangan ke depan untuk memperoleh

    kehidupan yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh

    solidaritas sosial tempat seseorang bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling

    membantu.18

    Talcott Parson memberikan sumbangan AGIL di dalam sistem masyarakat supaya

    masyarakat dapat melestarikan dan mempertahankan kehidupannya dalam menghadapi

    17

    Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana

    University Press, 2014), 113-114. 18

    Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana

    University Press, 2014), 119.

  • 8

    perubahan-perubahan yang terjadi. Di dalam teori sistem tindakan-nya, suatu sistem harus

    melaksanakan empat fungsi:

    1. Adaptasi (Adaptation): suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang

    bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya

    dan mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.

    2. Pencapaian tujuan (Goal attainment): suatu sistem harus mendefinisikan dan

    mencapai tujuan utamanya.

    3. Integrasi (Integration): suatu sistem harus mengatur antar-hubungan bagian-bagian

    dari komponennya. Ia juga harus mengelola hubungan di antara tiga imperatif

    fungsional lainnya (A, G, L).

    4. Latensi (Latency): suatu sistem harus menyediakan, memelihara, dan memperbarui

    baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan

    menopang motivasi itu.19

    2.2 Model-Model Gereja

    2.2.1 Model-Model Gereja

    Definisi gereja secara luas adalah persekutuan umat Allah yang dipanggil keluar dari

    kegelapan untuk masuk ke dalam terang Allah yang ajaib. Definisi ini sangat umum, sehingga

    ada banyak ahli yang mencoba mendefinisikan gereja sesuai dengan konteks zaman yang terus

    berkembang. Gereja juga tidak hanya terpaku pada satu model saja, oleh karenanya Avery

    Dulles, S. J. memberikan beberapa model-model gereja. Model-model tersebut diantaranya:

    1. Gereja sebagai institusi

    Gereja Kristus tidak dapat melaksanakan misinya apabila gereja tidak memiliki pejabat-

    pejabat yang bertanggungjawab dan prosedur-prosedur yang sah.20

    Eklesiologi gereja Katolik

    Roma menekankan bahwa gereja memiliki suatu konstitusi, seperangkat hukum, badan

    kepemimpinan, dan sekelompok warga yang menerima konstitusi dan undang-undang itu sebagai

    kewajiban mereka. Ciri dari model gereja institusional ini adalah konsep tentang kekuasaan atau

    otoritas yang hierarkis. Gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggota yang

    19

    Geoge Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2012), 409-410. 20

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 33.

  • 9

    mendapat pelayanannya. Sikap yang dituntut dari orang beriman adalah patuh dan setia serta

    mempercayakan diri kepada pejabat-pejabat gereja.21

    2. Gereja sebagai persekutuan mistis

    Di dalam sosiologi modern dikenal istilah Gesellschaft, yang berarti relasi sosial yang

    bersifat formal dan institusional, dan Gemeinschaft, yang berarti relasi sosial yang bersifat

    informal dan cair. Konsep tentang gereja sebagai suatu persekutuan sesuai dengan gambaran

    biblis gereja, yaitu sebagai Tubuh Kristus dan Umat Allah. Ide tentang gereja sebagai Tubuh

    Kristus dijumpai dalam tulisan Paulus di mana pokok utamanya adalah persatuan timbal-balik,

    saling pengertian, dan saling merasa bergantung satu terhadap yang lain sebagai anggota

    persekutuan.22

    Gereja dilihat sebagai suatu persekutuan dari pribadi-pribadi yang bebas. Hakekat

    gereja sebagai Tubuh Mistis adalah bahwa gereja bersifat spiritual dan adikodrati. Tujuan gereja

    adalah memimpin orang-orang kepada persatuan dengan Allah.23

    3. Gereja sebagai sakramen

    Menurut Henri de Lubac, unsur ilahi dan unsur manusiawi di dalam gereja tidak pernah

    dapat dipisahkan. Model gereja sebagai sakramen mengadopsi pemakaian antropologi teologis

    dan filosofis. Kristus adalah sakramen dari Allah, yang berarti kita memandang Kristus datang

    dari atas tanpa merendahkan Kristologi dari bawah. Rahmat Allah mendorong manusia kepada

    persekutuan manusia dengan Allah, dan selama rahmat itu mempengaruhi manusia, mereka

    dibantu untuk mengungkapkan situasi keberadaan mereka seturut tingkat yang sudah dicapai

    mereka dalam proses penyelamatan.24

    4. Gereja sebagai pewarta

    Model gereja ini mengutamakan Sabda. Gereja dikumpulkan dan dibentuk oleh Sabda

    Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengarnya, diimaninya, dan yang sudah

    diserahkan kepadanya untuk diwartakan. Model ini bersifat kerigmatis, yang berarti gereja

    sebagai pewarta yang menerima kabar Suci dan mempunyai tugas untuk mewartakannya, di

    mana Kristus dan Kitab Suci sebagai saksi utama tentang Kristus.25

    Eklesiologi ini

    21

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 39. 22

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 48. 23

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 42. 24

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 64. 25

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 73.

  • 10

    membangkitkan keinginan yang kuat untuk mewartakan Injil kepada mereka yang belum

    mengenalnya. Mewartakan Injil selalu dikaitkan dengan keselamatan, sebab ia mengundang

    manusia untuk mengimani Yesus Kristus sebagai penyelamat.26

    5. Gereja sebagai hamba

    Sejak zaman Pencerahan, dunia menjadi semakin aktif dan bebas dari gereja. Berbagai

    ilmu pengetahuan dan disiplin ilmiah telah membebaskan dirinya satu demi satu dari kontrol

    gereja dan umumnya memperoleh keuntungan dari kebebasan itu. Seni dan ilmu pengetahuan,

    industri dan pemerintahan terus mengembangkan bentuk-bentuknya seturut jalan pikiran dan

    kebutuhan mereka sendiri. Gereja menasihati dunia, tetapi umumnya dunia tidak memperdulikan

    teguran itu dan semakin terus menciptakan teknik dan metodenya sendiri tanpa mengaharpkan

    bantuan dari otoritas gereja.27

    Metode teologis yang dikembangkan adalah bersifat sekular dan

    diagonal. Bersifat sekular karena gereja sudah seharusnya mengambil dunia sebagai tempat

    berteologi dan berusaha memperhatikan tanda-tanda zaman, dan bersifat diagonal karena gereja

    bermaksud untuk lebih bekerja pada batas antara dunia kontemporer dan tradisi Kristen.

    Gambaran yang selaras dengan sikap ini adalah gereja sebagai hamba. Dalam Surat Pastoral

    yang ditujukan kepada The Servant Church ditegaskan bahwa Yesus selalu beserta umat manusia

    dalam kekurangan dan kesusahannya. Dia melayani. Gereja harus sungguh-sungguh menjadi

    Tubuh Kristus, Hamba yang menderita dan karena itu ia harus menjadi gereja yang melayani .

    masing-masing orang Kristen dipanggil menjadi manusia bagi sesamanya.28

    6. Gereja sebagai persekutuan murid

    Dasar-dasar dari model gereja sebagai persekutuan murid-murid dapat ditelusuri dalam

    Perjanjian Baru dan dalam pelayanan Yesus selama hidup-Nya di dunia. Sebagai “masyarakat

    yang lain dari lain”, dengan peraturan-peraturan dan cara hidup tersendiri, muncul dalam diri

    Yesus dalam pelayanan-Nya di depan umum. Rencana-Nya yang semula, rupanya menobatkan

    seluruh bangsa Israel, dengan mengajak mereka untuk berbalik dari dosa dan menyambut

    kedatangan Kerajaan Allah tidak berhasil. Karena itu Yesus menyusun rencana untuk memilih

    beberapa orang dari para pengikut-Nya dan membimbing mereka di bawah pengawasan-Nya

    26

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 79. 27

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 84. 28

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 49.

  • 11

    sendiri. Diharapkan mereka mengerti maksud pewartaan Yesus yang sesungguhnya.29

    Bersama

    Yesus, murid-murid membentuk satu masyarakat yang lain dari lain, yang secara simbolis

    menghadirkan Israel Baru dan yang dibarui. Ia mempunyai misi untuk mengingatkan sisa umat

    akan nilai transenden Kerajaan Allah, yang tentangnya para murid memberikan kesaksian.

    Karena itu penting bagi mereka untuk menjalani pola hidup yang tidak menimbulkan kesan

    bertentangan dengan iman pribadi yang kokoh akan penyelenggaraan Allah dan kesetiaan-Nya

    terhadap janji-janji-Nya.30

    Gereja sebagai persekutuan murid memerlukan pelbagai macam

    karunia dan panggilan. Namun semua murid diharapkan untuk menyangkal diri, melayani

    dengan rendah hati, lemah lembut terhadap mereka yang berkekurangan dan sabar dalam

    kemalangan. Gereja harus meneruskan bentuk misi yang diberikan Yesus kepada pengikut-

    pengikut-Nya, harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan zaman.31

    2.2.2 Model Kehadiran Gereja di Indonesia

    Gereja telah berjumpa dengan agama-agama lain, kebudayaan-kebudayaan, dan sosial

    kemasyarakatan yang ada di sekitarnya. Secara khusus, gereja berjumpa dengan agama Islam di

    Indonesia. Kehadiran agama Kristen di Indonesia membawa “stigma sosial” sebagai agama

    kolonial dalam hubungannya dengan agama Islam Indonesia, yang kemudian menjadi stereotip

    sosial bagi sebagian kalangan umat Islam Indonesia bahwa Kekristenan Protestan Indonesia,

    memiliki “identitas kolonial”.32

    Julianus Mojau yang telah menganalisa dan merangkum

    pemikiran-pemikiran para teolog di Indonesia, memberika tiga model kehadiran gereja di

    Indonesia. Pembagian ini berdasarkan ciri khas respons teologis yang berbeda di kalangan umat

    Kristen yang sedang bergumul dengan identitas “Kristen post-kolonial.” Ketiga model tersebut

    adalah:

    1. Model Modernisme atau pembangunan ideologis

    Model ini menjelaskan bagaimana respons teologis umat Kristen dirumuskan melalui

    partisipasinya di dalam pembangunan ideologis yang dilancarkan oleh rezim Orde Baru. Pada

    model ini konteks yang sedang dihadapi oleh orang Kristen adalah pembangunan di masa Orde 29

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 188. 30

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 189. 31

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 53-54. 32

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 1.

  • 12

    Baru. Indonesia yang sedang membangun baik itu dari segi politik, sosial, budaya, dan yang

    sangat nyata adalah dalam hal pembangunan ekonomi. Para teolog yang setuju akan hal ini

    melihat bahwa pembangunan bangsa adalah salah satu jalan untuk menyatakan kehadiran

    Kerajaan Allah.33

    Gereja menerima Pancasila sebagai ideologi karena dianggap sebagai jaminan

    rasa kebangsaan, baik dalam arti politis maupun arti sturktural. Pancasila dinilai sebagai langkah

    strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia.

    Penerimaan Pancasila mencerminkan makin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan

    umat Kristen di mana umat Kristen selalu berhadap-hadapan dengan umat Islam sebagai musuh

    secara ideologis.34

    Gereja-gereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana

    pembangunan di masa Orde Baru dan berpartisipasi di dalamnya. Gereja menganggap bahwa

    kehadiran Kerajaan Allah dimulai dengan pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan,

    penderitaan, dan ketidakadilan. Model modernisasi ini juga harus dipahami dalam kondisi

    psikologis para teolog tentang bahaya Islam Politik dan Komunisme.

    2. Model Teologi Sosial Liberatif

    Model teologi sosial ini ingin mencari model hidup menggereja alternatif yang

    memungkinkan makin intensifnya komunikasi dengan mereka yang miskin dan lemah di dalam

    masyarakat Indonesia sebagai korban kebijakan pembangunan ideologis rezim Orde Baru, baik

    secara ekonomis maupun politis. Model ini memiliki keyakinan teologis yang kuat bahwa gereja

    sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus tidak bisa lain kecuali secara sungguh-

    sungguh mencerminkan visi dan misi kemanusiaan Yesus Kristus, yaitu memberlakukan Injil

    Kerajaan Allah sebagai kuasa yang membebaskan (liberatif) dan memberdayakan (empowering)

    mereka yang miskin dan lemah di dalam masyarakat Indonesia.35

    Para teolog model ini36

    menyatakan bahwa gereja adalah saksi kedatangan Kerajaan Allah. Hubungan dengan agama

    Islam dalam model ini kurang mendapat perhatian yang khusus, teologi sosial liberatif dapat

    dipandang sebagai kemungkinan yang cukup prospektif dalam meretas kebuntuan hubungan

    Islam-Kristen di Indonesia. Masalah pokok yang harus dihadapi ialah stereotip sebagian

    33

    Diantaranya adalah O. Notohamidjojo, T. B. Simatupang, P. D. Latuihamallo, S. A. E. Nababan, dan Eka Darmaputera. 34

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 128. 35

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012) ,143. 36

    Diantaranya adalah J. L. Ch. Abineno, Josef Widyatmadja, F. Ukur, E. G. Singgih, A. A. Yewangoe, H. M. Katoppo.

  • 13

    kalangan umat Islam (khusus Islam Politik) bahwa berbagai bentuk pelayanan sosial Kristen

    sering kali dipandang sebagai alat Kristenisasi. Akan tetapi, penekanan Abineno pada diakonia

    sosial-politik, Widyatmadja bahwa pelayanan sosial gereja sebagai pelayanan pemberdayaan,

    yang ditopang oleh solidaritas liberatif kehambaan yang ditekankan Singgih, dan semangat

    kekeluargaan yang ditekankan oleh Ukur, kiranya menumbuhkan kesadaran baru yang dapat

    mengatasi kepicikan sebagian kalangan umat Kristen yang masih sering kali mengartikan misi

    Kristen sebagai kristenisasi, dan kecurigaan yang fobia di kalangan Islam Politik yang selalu

    menganggap pelayanan sosial Kristen sebagai alat kristenisasi.37

    Teologi sosial liberatif sangat

    mencerminkan pergumulan nyata masyarakat Indonesia dan memberi pencitraan sosial umat

    Kristen Indonesia sebagai komunitas iman para murid Yesus bersama masyarakat Indonesia

    melawan rezim yang merendahkan citra manusia sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei).

    3. Model Teologi Sosial Pluralis

    Model teologi sosial ini berusaha mengembangkan kesadaran teologi sosial yang ingin

    mendorong hidup menggereja komunitas iman para murid Yesus Kristus menjadi komunitas

    iman yang lebih terbuka kepada komunitas iman lain, khususnya dengan umat Islam.38

    Teologi

    sosial pluralis adalah sebuah usaha teologis yang ingin merespons realitas masyarakat dan

    bangsa Indonesia yang plural. Citra diri gereja yang dominan di kalangan umat Kristen Indonesia

    adalah citra diri sebagai terang bangsa-bangsa. Pencitraan inilah yang mendorong lahirnya sikap

    teologi yang triumfalis, eksklusif, dan agresif di kalangan umat Kristen. Menurut Zakaria J.

    Ngelow, hal ini dikarenakan alasan umat Kristen yang merasa diri sebagai minoritas penuh

    kecemasan yang dibayang-bayangi oleh pihak Islam, masih kuatnya budaya harmoni dan struktur

    sosial yang paternalistis, dan warisan teologi yang piestis.39

    Ioanes Rakhmat menyebut agama

    Kristen dan Islam sebagai agama kasih karunia karena keduanya menekankan keterbatasan

    manusia dan hanya bersandar pada kemurahan Allah (yang dibahasakan sebagai kasih karunia

    Allah).40

    Identitas post-kolonial umat Kristen dapat dimengerti oleh pihak Islam Politik apabila

    37

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 278. 38

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 380. 39

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 340. 40

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 340.

  • 14

    ada dialog di antara umat Kristen dan umat Islam. Titik temu kedua agama ini adalah pada dua

    tokoh yaitu Yesus dan Muhammad, di mana keduanya berorientasi pada kemanusiaan,

    mempunyai visi dan misi liberatif. Gereja harus menjadi komunitas iman yang terbuka bagi

    komunitas-komunitas iman lain. Keterbukaan itu nyata dalam sikap saling menghargai

    “keberlainan” sesuai dengan tradisi iman mereka dalam semangat dialogis yang memajukan

    kemanusiaan, membawa semangat rekonsiliatif dan liberatif.

    Di dalam teologi sosial pluralis ini, salah satu tokohnya Zakharia J. Ngelow, ada dua

    model kehadiran gereja di Indonesia. Kedua model tersebut antara lain:

    1. Model Konfrontatif

    Menurut Ngelow, karena kepentingan dagang bangsa Portugis dan VOC, umat

    Kristen di Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda mengalami

    domestifikasi dalam ghetto perkampungan Kristen sehingga membuat agama Kristen

    mengalami keterasingan dari lingkungan sosialnya.41

    Orang-orang Kristen pribumi

    bukan lagi memahami dirinya sebagai bagian dari lingkungan masyarakat aslinya

    melainkan hidup dalam peniruan gaya hidup budaya asing, dalam hal ini budaya

    bangsa Barat. Ngelow membandingkan organisasi-organisasi keagamaan Islam

    Indonesia dengan organisasi-organisasi keagamaan Kristen yang tampaknya enggan

    menjadi sebuah gerakan sosial-politik yang anti-pemerintah kolonial. Dengan

    keadaan seperti itulah maka tidak heran apabila agama Kristen sering kali mendapat

    stigma sosial sebagai agama penjajah.42

    Diperlukan kesadaran ekumenis untuk

    membongkar sifat-sifat eksklusif tersebut dan untuk membangun dialog dengan umat

    Islam. Gereja sebagai nabi yang mewartakan pesan-pesan Allah seharusnya dapat

    berkonfrontasi dengan penguasa yang lalim bukan malah diam dalam status aman dan

    nyamannya.

    2. Pelayanan Sosial Tanpa Label Kristiani

    Ngelow menekankan betapa pentingnya pelayanan sosial yang dilakukan agama-

    agama di Indonesia secara bersama untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil dari

    41

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 334. 42

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 335.

  • 15

    penderitaan yang melilit mereka. Yang diperlukan di Indonesia dewasa ini bukanlah

    jenis kekristenan yang mengutamakan keberagamaan ritual-individual, melainkan

    yang menekankan etika sosial, kontekstual, dan yang terbuka terhadap hubungan

    dialogis dengan agama-agama lain. Ngelow menentang keras Gerakan Kharismatik,

    yang dalam penilaiannya merupakan gerakan fundamentalisme Kristen yang asosial

    dan eksklusif. Ngelow mengusulkan agar setiap bentuk pelayanan sosial kristiani,

    baik itu yang dilaksanakan oleh gereja-gereja di Indonesia sebagai lembaga formal

    maupun perorangan berdasarkan semangat altruistif-diakonis, dilakukan tanpa perlu

    ada label kristiani.43

    Ada banyak bentuk pelayanan sosial yang dapat gereja lakukan

    untuk membebaskan rakyat miskin dan kecil, misalnya dalam hal kesehatan,

    pendidikan, pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya. Usaha tersebut dilakukan

    bukan semata-mata untuk “menobatkan” seseorang menjadi anggota gereja, tetapi

    dilakukan dengan semangat melayani dan membebaskan.

    Edmund Woga menambahkan secara integral gereja harus menjadi manusia baru, secara

    inkulturatif ia menjadi tetangga, dan secara dialogis menjadi kawan seperjalanan.

    A. Menjadi Manusia Baru

    Misi adalah ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju kepada Allah, Sang Pencipta,

    yang merupakan tujuan seluruh ciptaan. Karya misi sebagai partisipasi pada karya

    penyelamatan Allah bertugas untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam

    setiap ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir

    zaman.

    B. Menjadi Tetangga

    Hidup menggereja yang institusional-sentralistis adalah masa lampau yang membuat

    gereja menjadi asing terhadap dirinya dan dunia sekitarnya. Padahal gereja harus

    mewartakan karyanya dan berinkarnasi di dalam dunia. Menjadi tetangga bagi siapa saja

    yang hidup berdampingan dengan orang Kristen menghindari ketertutupan gereja

    terhadap dunianya. Gereja tidak hidup menyendiri, gereja harus sadar bahwa iman dan

    agama Kristen tumbuh dan berkembang dari tengah-tengah kehidupan manusia setempat.

    43

    Julianus Mojau, Meniadakan Atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan Dengan Islam Politik Di Indonesia (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2012), 343.

  • 16

    C. Menjadi Kawan Seperjalanan

    Buah dari sikap optimistis terhadap rahmat Allah yang universal ialah kesadaran bahwa

    masa eskatologis tidak dijalani sendiri oleh gereja karena sejarah telah membuktikan

    bahwa agama-agama tetangga juga sedang menuju kesempurnaan Sang Pencipta. Gereja

    sadar bahwa karya keselamatan Allah bersifat universal sehingga penting di dalam karya

    misinya menyadari universalitas diri dan peranannya dalam karya penyelamatan Allah,

    tetap harus melihat kepentingan dirinya dalam karya penyelamatan Allah tidak terlepas

    dari peranan agama-agama lain, yang juga secara teologis mempunyai kepentingan yang

    legitim (dalam karya penyelamatan).44

    3. GKP KLASIS WILAYAH PURWAKARTA

    3.1 Demografi Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten

    Purwakarta

    3.1.1 Kabupaten Karawang

    Kabupaten Karawang adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang terkenal dengan

    hasil pertaniannya yaitu padi. Wilayah Karawang yang terletak di dataran rendah dan dialiri

    sungai Citarum membuat tanahnya subur dan cocok untuk persawahan. Hasil padi yang

    melimpah itulah yang membuat Karawang mendapat julukan “Lumbung Padi” di Jawa Barat.

    Masyarakat Karawang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaan, dan didominasi oleh suku

    Sunda. Masyarakat yang tinggal di perkotaan sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri,

    karyawan, dan pegawai swasta. Sedangkan masyarakat di daerah pedesaan bermata pencaharian

    sebagai petani dan pedagang. Suku Sunda masih menjadi dominan di Karawang meskipun ada

    banyak pendatang yang berasal dari berbagai daerah dan budaya yang berbeda. Kemajemukan

    pun dilihat dari beragam agama yang dianut oleh masyarakat Karawang. Agama Islam masih

    menjadi agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Karawang. Berikut adalah tabel

    penduduk Kabupaten Karawang berdasarkan agama yang dianutnya:

    Tabel 1.1 Kabupaten Karawang

    No. Agama Jumlah

    1. Islam 2.088.849

    2. Kristen Protestan 22.940

    44

    Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 221-225.

  • 17

    3. Kristen Katholik 4.738

    4. Hindu 459

    5. Buddha 5.277

    6. Konghucu 296

    Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010.

    3.1.2 Kabupaten Purwakarta

    Kabupaten Purwakarta berada dekat dengan Kabupaten Karawang dan berbatasan

    langsung dengannya. Kabupaten ini terkenal dengan adanya salah satu bendungan terbesar di

    Indonesia, yaitu Bendungan Jatiluhur. Secara geografis, Kabupaten Purwakarta tidak jauh

    berbeda dengan Kabupaten Karawang. Adanya bendungan Jatiluhur menambah potensi untuk

    bidang pariwisata karena dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata warga lokal dan warga yang

    berasal dari luar daerah. Mayoritas masyarakat Kabupaten Purwakarta terdiri dari suku Sunda

    dan pendatang dari luar daerah yang bekerja di Purwakarta. Terletak tidak jauh dari Kabupaten

    Bandung membuat adanya perbedaan antara orang Sunda yang ada di Purwakarta dengan orang

    Sunda di Kabupaten Karawang. Orang Sunda di Kabupaten Purwakarta berbahasa “lebih halus”

    dibandingkan dengan orang Sunda yang ada di Karawang. Dari segi keagamaan, agama Islam

    menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakatnya. Berikut adalah tabel yang

    menunjukkan agama yang dianut oleh masyarakat Purwakarta:

    Tabel 1.2 Kabupaten Purwakarta

    No. Agama Jumlah

    1. Islam 841.552

    2. Kristen Protestan 25.980

    3. Kristen Katholik 1.518

    4. Hindu 502

    5. Buddha 519

    6. Konghucu 79

    Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010.

    3.1.3 Kabupaten Subang

    Kabupaten Subang juga berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten

    Purwakarta. Terletak di utara Pulau Jawa sehingga kabupaten ini dilalui oleh jalur Pantura

    (Pantai Utara Jawa). Dapat dikatakan bahwa kabupaten ini hanya menjadi tempat persinggahan

    sementara. Hasil pertanian yang dominan dari kabupaten ini adalah padi. Hal ini dapat

    dibuktikan dengan adanya lembaga penelitian padi yang berfungsi untuk meneliti kualitas padi

    sebelum ditanam dan dipanen. Karena berada di jalur Pantura maka masyarakat Kabupaten

  • 18

    Subang pun beraneka ragam pekerjaannya. Mulai dari pegawai negeri, pegawai swasta, petani,

    pedagang, hingga jasa tambal ban. Masyarakatnya sebagian besar adalah orang Sunda dan

    beragama Islam. Keadaan masyarakat menurut agama yang dianut dapat dilihat melalui tabel

    berikut:

    Tabel 1.3 Kabupaten Subang

    No. Agama Jumlah

    1. Islam 1.455.229

    2. Kristen Protestan 4.382

    3. Kristen Katholik 1.237

    4. Hindu 31

    5. Buddha 326

    6. Konghucu 45

    Data terakhir diambil dari Sensus Penduduk oleh BPS tahun 2010.

    3.2 Gereja Kristen Pasundan Klasis Wilayah Purwakarta

    Pada masa kolonialisme, orang-orang Sunda yang telah menerima berita Injil dari para

    zending tidak mempunyai kesempatan untuk berkumpul bersama. Sekalipun ada, itu hanya

    sebatas pada kebaktian dan diadakannya sakramen seperti Perjamuan Kudus dan Baptisan

    Kudus. Jemaat-jemaat hasil pekabaran Injil dari para zending ini akhirnya kemudian berkumpul

    dalam satu Rad Ageng di tahun 1934, dan mereka menyatakan diri sebagai Gereja Kristen

    Pasundan sebagai suatu sinode. Jadi GKP lahir bukan karena pertama-tama adanya sinode

    kemudian lahir jemaat-jemaat Kristen, melainkan dari jemaat-jemaat Kristen yang berkumpul

    kemudian membentuk dan mengikat diri mereka di dalam satu wadah kebersamaan yang

    bernama GKP.

    Klasis adalah bentuk kerjasama antar-jemaat GKP dalam satu wilayah yang berdekatan

    sehingga di dalam satu klasis terdapat beberapa jemaat dan pos kebaktian GKP. GKP Klasis

    Wilayah Purwakarta terdiri dari 7 jemaat dan 4 pos kebaktian, yaitu Jemaat Purwakarta, Jemaat

    Sadang, Jemaat Sukamandi, Jemaat Karawang, Jemaat Telukjambe, Jemaat Bojongsari, Jemaat

    Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran, Pos Kebaktian Kampung Teko, Pos Kebaktian Cilamaya,

    dan Pos Kebaktian Jatiluhur. Secara geografis, Klasis Purwakarta hadir di 3 kabupaten, yaitu

    Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Subang.

  • 19

    3.3 Relasi dan Strategi Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta Yang Hadir Di

    Tengah Masyarakat Sunda.

    Di sini penulis akan menguraikan hasil wawancara dengan jemaat, majelis jemaat, serta

    pendeta GKP yang ada di Klasis Wilayah Purwakarta. Penulis akan membagi jemaat-jemaat

    tersebut berdasarkan kaupaten dimana jemaat tersebut hadir.

    3.3.1 Kabupaten Karawang

    Jemaat GKP yang ada di kabupaten ini antara lain Jemaat Karawang, Jemaat Telukjambe,

    Jemaat Cikampek, Pos Kebaktian Pebayuran, Pos Kebaktian Kampung Teko, dan Jemaat

    Bojongsari (jemaat ini terdapat di perbatasan antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten

    Bekasi, letaknya sangat dekat dengan Kabupaten Karawang tetapi secara administratif masuk

    dalam wilayah Kabupaten Bekasi).

    GKP Karawang salah satu GKP yang hadir di tengah daerah perkotaan, yang sebagian

    besar jemaatnya bekerja sebagai pegawai negeri dan karyawan. Kehadiran GKP Karawang

    pernah memicu ketegangan ketika ada salah seorang Muslim ingin menyatakan imannya menjadi

    pengikut Kristus. Pdt. Andris mengatakan, “dulu pernah ada seorang anak dari Muslim dan

    keluarganya semua Muslim, haji. Ketika dewasa memutuskan untuk katekisasi dan menikah

    dengan orang Kristen. Itu yang tidak direstui oleh orangtuanya. Orangtuanya kemudaian

    memanggil FPI Kabupaten Bekasi untuk melakukan intimidasi terhadap gereja”. Meskipun

    demikian, sampai saat ini relasi yang baik dengan masyarakat sekitar dijaga melalui program

    diakonia gereja untuk masyarakat sekitarnya seperti memberikan pengobatan gratis bekerjasama

    dengan rumah sakit milik GKP sendiri yang kebetulan berada di Karawang, ikut aktif dalam

    kegiatan donor darah yang diadakan oleh PMI, memberikan bingkisan kepada masyarakat pada

    waktu Lebaran, memberikan bantuan kepada korban banjir, dan memberikan bantuan kepada

    panti asuhan dan panti jompo. Meskipun berada di tengah kota besar yang sangat majemuk, GKP

    Karawang dapat mempertahankan dirinya dengan ikut terlibat bersama dengan masyarakat dan

    melakukan pelayanan-pelayanan bagi kebutuhan masyarakat. Namun program untuk masyarakat

    ini masih dirasa kurang oleh Majelis Jemaat sendiri, sehingga ke depannya akan menjadi

    pertimbangan dalam membuat suatu program kerja.45

    45

    Hasil wawancara dengan Pdt. Anna M. Sarniem dan Pdt. Andris Suhana, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang

  • 20

    Selain jemaat mandiri, GKP Karawang juga mempunyai 2 pos kebaktian, yaitu

    Pebayuran dan Kampung Teko. Kedua pos kebaktian tersebut juga berada di perbatasan

    Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Bekasi, namun secara administratif masuk ke dalam

    wilayah Kabupaten Bekasi. Relasi anggota jemaat Pebayuran dan Kampung Teko dengan

    lingkungan sekitarnnya terjadi cukup baik. Untuk Pos Kebaktian Kampung Teko sendiri anggota

    jemaatnya sebagian besar masih terikat erat dengan garis kekeluargaan. Sehingga relasi dengan

    masyarakat terjalin dengan baik karena adanya ikatan keluarga. Dikatakan oleh Pdt. Maria,

    “dengan pemimpin setempat masyarakat atau jemaat ada ikatan keluarga.” Belum pernah ada

    konflik berdasarkan agama. Bentuk strategi yang dibangun adalah ketika merayakan Natal, maka

    warga jemaat membuka pintu gereja lebar-lebar agar setiap orang dapat masuk dan melihat di

    dalamnya. Berbeda dengan Pos Kebaktian Pebayuran, dimana anggota jemaat di sini tinggal

    tidak jauh dari lingkungan pesantren. Pdt. Maria mengatakan, “ada perasaan lebih ke khawatir,

    cemas karena masyarakat di sekitar gereja mulai diwarnai kehadiran masyarakat yang

    ekstrim.”Hal tersebut berdampak pada pelayanan anggota jemaat kepada masyarakat dimana

    kegiatan yang jemaat lakukan takut di cap sebagai proses kristenisasi.46

    GKP Jemaat Bojongsari berdiri di dekat Pasar Bojong, Kabupaten Bekasi. Pada awalnya

    jemaat ini merupakan pos kebaktian yang menginduk ke GKP Karawang. Jemaat Bojongsari

    sudah menjadi dewasa selama 19 tahun dan pertumbuhan jemaat yang terjadi kurang signifikan.

    Artinya adanya jemaat yang keluar atau berpindah hampir sebanding dengan jumlah jemaat yang

    masuk. Sebagian besar jemaat bekerja sebagai pedagang dan beretnikkan Tionghoa. Sebelum

    menjadi jemaat mandiri, sebagian besar anggota jemaat berlatar belakang kharismatik sehingga

    pemahaman wawasan ke-GKP-an masih kurang. Relasi masyarakat dengan umat agama lain dan

    suku lain terjadi cukup baik. Pernah terjadi ketegangan ketika jemaat sedang merenovasi gedung

    gereja. Menurut Pdt. Adholfina, “Ada sekelompok orang yang mengaku diri sebagai LSM dan

    merasa keberatan dengan pembangunan gedung gereja. Setelah dilakukan mediasi ternyata

    sekelompok orang tersebut berasal dari luar daerah Bojong dan meminta uang sebagai

    “pemulus” jalannya renovasi gedung gereja. Di sekitar gedung gereja sendiri terdapat gereja

    lainnya, namun yang dicatat memiliki izin oleh pemerintah daerah hanya ada 4 gereja saja.

    Kemudian hal lainnya yang dipersoalkan oleh waraga sekitar adalah kehadiran kelompok

    46

    Hasil wawancara dengan Pdt. Maria Aprina, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang

  • 21

    Ahmadiyah yang meresahkan warga, secara khusus umat Islam.” Menjelang Natal 2014

    kemarin, kembali muncul isu demo besar-besaran yang dilakukan warga Kabupaten Bekasi yang

    menolak dibangunnya gereja Katholik di Cikarang. Tetapi demo tersebut tidak dilakukan

    terhadap gereja-gereja di Kabupaten Bekasi, hanya di kantor pemerintahan daerah saja. GKP

    Bojongsari menjalin relasi dengan masyarakat melalui program pengobatan gratis. Awalnya

    dikhususkan hanya untuk warga di sekitar lingkungan saja namun warga yang ikut serta berasal

    dari banyak tempat tidak hanya di sekitar lingkungan gereja saja. Pdt. Adholfina mengatakan,

    “jemaat memberitahukan bahwa bantuan pengobatan tersebut murni untuk membantu warga

    tanpa ada niat untuk melakukan kristenisasi. Meskipun ada yang antipati terhadap kegiatan

    tersebut, tetapi banyak juga warga yang antusias mengikutinya.”47

    GKP Telukjambe juga merupakan buah pelayanan dari jemaat Karawang. Jemaat

    Telukjambe di tempatkan di tengah komplek militer ditujukan untuk melayani tentara-tentara

    yang tinggal di sana. Seiring perkembangan jaman, bertambah juga jumlah anggota jemaatnya

    dan tidak terbatas pada tentara saja tetapi terbuka untuk siapa saja. Pertumbuhan yang terjadi

    dipengaruhi oleh banyaknya pendatang yang mencari pekerjaan di Karawang. Pdt. Winda

    mengatakan, “hubungan jemaat dengan masyarakat cukup baik meskipun pernah terjadi sedikit

    konflik, yaitu ketika akan mengadakan Kebaktian Rumah Tangga di kontrakan salah seorang

    anggota jemaat, pemilik kontrakan tersebut tidak memberikan ijin.”48

    Bp. Priyo menambahkan,

    “kehadiran GKP di tengah masyarakat Sunda dan pendatang yang ada di Telukjambe dirasakan

    kurang. GKP kurang memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitarnya. Seharusnya GKP

    dapat mengadaptasikan dirinya dengan masyarakat.”49

    Meskipun tantangan untuk mengabarkan

    Injil di tengah-tengah masyarakat yang sudah lebih dulu menganut Islam sangat kuat, GKP tidak

    boleh terfokus pada menobatkan jiwa-jiwa baru. Teologi yang harus dibangun adalah GKP harus

    menjadi bagian dari masyarakat dan turut serta dalam pergumulan masyarakat sekitarnya.50

    Untuk dapat terus bertahan, GKP tidak harus menobatkan jiwa-jiwa baru. Bp. Sutanto

    menambahkan, “karena GKP adalah gereja wilayah dan bukan gereja suku sehingga terbuka

    47

    Hasil wawancara dengan Pdt. Adholfina Tamberongan, Jumat, 9 Januari 2015, Bojongsari 48

    Hasil wawancara dengan Pdt. Winda Yustanti, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang 49

    Hasil wawancara dengan Bp. Priyo Sudibyo (M. J. Bid. Daya dan Dana), Kamis, 8 Januari 2015, Karawang 50

    Hasil wawancara dengan Pdt. Winda Yustanti, Kamis, 8 Januari 2015, Karawang

  • 22

    untuk sesama tanpa harus dari suku tertentu”.51

    Dalam bidang diakonia, Bp. Robert

    mengatakan, “ketika melakukan pelayanan kepada masyarakat GKP harus melihat situasi, ia

    harus berbaur dan tidak membeda-bedakan suku.”52

    GKP Cikampek hadir di tengah keramaian masyarakat industri, dimana banyak terdapat

    pabrik dan mobilisasi penduduknya cukup tinggi. Kehadiran GKP Cikampek dirasakan oleh

    warga sekitar melalui pelayanan yang diberikan. Pdt. Yanto menceritakan, “pernah terjadi ketika

    suatu gereja tertentu memberikan bantuan tetapi bantuan itu kemudian dibuang begitu saja.

    Juga pernah terjadi ketika isu kristenisasi melaui sekolah yang ada di Cikampek, GKP

    Cikampek menjadi sasaran kemarahan warga meskipun tidak sampai dibakar.” GKP Cikampek

    harus sadar dimana dirinya berada dan konteks masyarakat seperti apa ia hadir. Bukan lagi

    berdialog tentang dogma mengenai siapa yang benar tetapi harus diberikan kesadaran bahwa

    gereja hadir untuk membantu masyarakat dan teribat aktif di dalam pergumulan masyarakat.

    GKP Cikampek yang sebagian besar jemaatnya adalah pegawai dan karyawan, sangat baik di

    dalam menjalin relasi. Kemungkinan karena tingginya mobilisasi jemaat sehingga ketika

    bertemu tidak membicarakan hal-hal yang tidak penting seperti berdebat tentang agama,

    sehingga komunikasi seringkali hanya sebatas kehidupan sehari-hari jemaat dan masyarakat.

    Begitu juga halnya dengan Pos Kebaktian Cilamaya, yang masih dibawah koordinasi GKP

    Cikampek. Perlu ditekankan bahwa gereja hadir bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk

    bersama-sama bergumul dengan masyarakat mengatasi masalah-masalah kehidupan. Jika

    demikian, gereja dan anggota jemaat tidak menjadi eksklusif dan menutup diri dengan

    masyarakat lainnya.53

    3.3.2 Kabupaten Purwakarta

    Di Kabupaten Purwakarta terdapat dua jemaat dan satu pos kebaktian yaitu Jemaat

    Purwakarta dan Jemaat Sadang, serta Pos Kebaktian Jatiluhur.

    GKP Purwakarta hampir mirip dengan GKP Karawang terletak di tengah kota dan cukup

    strategis karena di jalan utama kota Purwakarta. Sebagian besar jemaatnya bekerja sebagai

    pegawai negeri dan swasta, dan masih ada jemaat yang bersuku Sunda di sini. Kehadiran GKP

    Purwakarta yang sudah cukup lama serta relasi dengan masyarakatnya pun cukup baik tetapi

    51

    Hasil wawancara dengan Bp. Sutanto (Jemaat), Kamis, 8 Januari 2015, Karawang 52

    Hasil wawancara dengan Bp. Robert Pua (M. J. Bid. Diakonia) Kamis, 8 Januari 2015, Karawang 53

    Hasil wawancara dengan Pdt. Heryanto Pakpahan, 11 Januari 2015, Cikampek

  • 23

    bukan tanpa tantangan. Ibu Isvandi mengatakan, “bermula dari berita tentang seorang anak

    perempuan yang kedapatan mencuri di salah satu toko milik warga etnis Tionghoa. Sang pemilik

    toko menghukum anak itu dengan disuruh untuk mencuci piring, kebetulan anak perempuan ini

    memakai kerudung. Ada warga yang melihatnya sehingga terjadi salah pengertian, berita yang

    disampaikan kepada orang-orang jadinya ada seorang anak perempuan disuruh mencuci piring

    menggunakan jilbab (kerudung). Padahal yang sebenarnya adalah anak perempuan yang

    memakai jilbab disuruh mencuci piring.” Karena kesalahpahaman inilah kemudian menyulut

    emosi warga lainnya sehingga terjadi kekacauan dan GKP Purwakarta terkena dampaknya.

    Beberapa tahun kemudian situasi sudah kembali normal dan kondusif. Pada saat ini GKP

    Purwakarta mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari segi kuantitas. Pertumbuhan

    jemaat bukan hanya terjadi perpindahan anggota jemaat tetapi juga adanya beberapa orang dari

    agama Islam yang ingin mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi. Pdt.

    Deru menambahkan, “cukup banyaknya jemaat yang berpindah dari Muslim justru membawa

    spirit bagi anggota jemaat yang akan masuk Kristen yang berasal dari Muslim”. Gereja harus

    siap menghadapi jika ada orang yang menjadi Kristen, dan di putus hubungan oleh keluarganya.

    Pelayanan tanpa membeda-bedakan suku, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan inilah yang

    dilakukan anggota jemaat GKP Purwakarta. Misalnya ketika Lebaran, maka para pedagang akan

    diberi bingkisan lebaran, juga melalui pengobatan gratis.54

    GKP Purwakarta memiliki satu pos kebaktian yaitu Pos Kebaktian Jatiluhur. Terletak di

    dekat bendungan Jatiluhur sehingga pelayanan yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal

    di sekitar bendungan. Bp. Rasimin mengatakan, “pada awalnya gereja ini dibangun oleh

    insinyur dari Italia dan Prancis sebagai sarana ibadah mereka yang bekerja membangun

    bendungan.”55

    Sampai saat ini pos kebaktian tersebut tetap bertahan walaupun anggota jemaat

    datang dan pergi. Program pelayanan yang dilakukan antara lain adalah memberikan bantuan

    beasiswa kepada siswa yang sedang bersekolah di sekolah yang tidak jauh berada di gedung

    gereja. Bantuan beasiswa ini tidak hanya untuk siswa-siswi yang Kristen tetapi untuk semua

    tanpa membeda-bedakan agama. Ibu Yenti dan Ibu Rini, mengatakan “mereka welcome kalau

    soal bantuan mah.”56

    54

    Hasil wawancara dengan Pdt. Deru Noron, Bp. Sahat, Ibu Isvandi, Bp. Anton, 24 Desember 2014, Purwakarta 55

    Hasil wawancara dengan Bp. Rasimin, 24 Desember 2014, Jatiluhur 56

    Hasil wawancara dengan Ibu Yenti dan Ibu Rini, 24 Desember 2014, Jatiluhur

  • 24

    GKP Sadang hadir berdekatan dengan komplek militer. Relasi dengan masyarakat

    sekitarnya pun sangat baik karena hal itu sudah dipelihara sejak lama. Pada tahun 1972 gereja

    menyumbang tikar untuk mesjid dan diterima dengan baik. Tahun 1973 anggota jemaat turut

    serta membangun sebuah madrasah dan masyarakat Islam pun tidak merasa alergi menerima

    bantuan dari orang Kristen. Gereja harus menjadi pionir dalam mewujudkan rasa kebersamaan

    dan membangun relasi yang baik, karena jika tidak demikian gereja tidak akan bertahan lama di

    satu wilayah yang sangat radikal. Gereja perlu melakukan karya nyata bukan sekedar

    disampaikan di mimbar saja. GKP Sadang contohnya, memberikan bantuan pengobatan mata

    gratis dan masyarakat sangat antusias. 57

    Gereja perlu beradaptasi dengan lingkungannya dan

    membangun dialog dengan masyarakat, menempatkan diri, serta melihat kondisi lingkungan

    sehingga gereja tidak hidup untuk dirinya saja.58

    Berbeda cerita dengan anggota jemaat lain yang

    tinggal lebih jauh dari gereja dimana ia mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.

    Awalnya ketika akan melakukan Kebaktian Rumah Tangga ada penolakan dari tetangga tetapi

    kemudian anggota jemaat memulainya dengan menyanyikan Kidung Kabungahan (kidung pujian

    rohani berbahasa Sunda) dan tetangga merasa heran apabila orang Kristen dapat menyesuaikan

    diri dengan adat Sunda. Ada juga penolakan dari seorang tokoh agama terhadap anggota jemaat

    yang berjualan makanan. Ibu Lina Heumasse mengalami sendiri dan mengisahkan, “dulu waktu

    ustdaznya masih yang lama kita tidak pernah ada masalah. Justru ketika ada seorang ustadzah

    datang dan mempengaruhi masyarakat. Memang ibu ustdaz itu dikenal fanatik. Tidak boleh

    mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen. Juga waktu saya berjualan makanan malah

    ada isu kalau makanan saya ini haram”.59

    3.3.3 Kabupaten Subang

    GKP Sukamandi adalah satu-satunya jemaat GKP yang ada di Kabupaten Subang. GKP

    Sukamandi sendiri sudah lama berdiri dewasa yang sebelumnya menginduk ke GKP Cikampek.

    Posisinya yang berada di samping jalur Pantura Subang ternyata tidak membawa pengaruh yang

    signifikan untuk pertumbuhan anggota jemaat secara kuantitas. Relasi dengan masyarakat pun

    cukup baik tetapi yang sering menjadi permasalahan adalah masyarakat yang berasal dari

    kecamatan lain (Kecamatan Ciasem). Karena masyarakat Ciasem sangat keras dalam

    57

    Hasil wawancara dengan Bp. Jhoni P, 9 Januari 2015, Sadang 58

    Hasil wawancara dengan Bp. Ari Welang, 9 Januari 2015, Sadang 59

    Hasil wawancara dengan Ibu Lina Heumasse, 9 Januari 2015, Sadang

  • 25

    berhubungan dengan agama Kristen. Pdt. Rosita mengatakan, “memori kelam yaitu ketika

    gedung gereja GKP Sukamandi hampir dibakar oleh kelompok-kelompok anti-toleran.” Saat ini

    anggota jemaat pun mencoba berelasi dengan masyarakat tetapi harus berhati-hati terutama

    dalam sikap hidup dan perbuatan sehari-hari. Relasi dengan pemerintah daerah yang terjalin

    cukup baik ternyata membawa pengaruh yang baik bagi keberadaan GKP Sukamandi hingga saat

    ini.60

    3.4 Cara Bertahan Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta

    Menurut hasil penelitian, maka ada beberapa cara yang dipakai jemaat-jemaat GKP

    Klasis Wilayah Purwakarta untuk dapat bertahan (survive) dan berkembang, yaitu:

    a. Dalam rangka pembinaan iman maka melalui kebaktian-kebaktian yang ada jemaat-

    jemaat di berikan pemahaman iman yang baik supaya tetap bertahan dengan imannya.

    Bukan hanya di kebaktian Minggu saja tetapi juga di kebaktian kategorial lainnya.

    b. Membangun relasi dengan pemerintah setempat. Dengan adanya hubungan yang baik

    dengan pemerintah, maka jemaat-jemaat dapat mengetahui permasalahan yang sedang

    terjadi di wilayahnya, sehingga jemaat dapat memberikan kontribusi aktif di dalamnya.

    c. Memakai budaya Sunda di dalam kegiatan-kegiatan khusus, seperti kebaktian penahbisan

    pendeta. Dengan demikian jemaat-jemaat diberikan pemahaman bahwa gereja tidak

    menutup diri terhadap budaya yang ada melainkan menyadari bahwa gereja hadir di

    budaya tersebut.

    d. Membuat kerjasama dengan umat agama lain, khususnya dengan umat agama Islam.

    Melalui JAKATARUB (Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama), GKP dapat

    membangun relasinya dengan agama-agama lain.

    4. ANALISA KEHADIRAN GKP KLASIS WILAYAH PURWAKARTA DI

    TENGAH MASYARAKAT SUNDA

    Berdasarkan data yang telah disebutkan, maka penulis akan menganalisa strategi

    kehadiran GKP Klasis Wilayah Purwakarta di tengah masyarakat Sunda. Charles Darwin yang

    terkenal dengan teori evolusinya berpendapat bahwa setiap makhluk hidup akan berjuang untuk

    60

    Hasil wawancara dengan Pdt. Rosita J. Permana, Bp. R. Nainggolan, Bp. Sukamto, Ibu Lina, Ibu Yatini, 4 Januari 2015,

    Sukamandi

  • 26

    tetap bertahan hidup dan meneruskan keturunannya, di mana setiap makhluk hidup yang tidak

    mampu maka akan punah dan tergerus oleh roda besi kehidupan. Pernyataan tersebut kemudian

    dimaknai apabila ingin bertahan maka makhluk hidup harus mampu beradaptasi dengan

    lingkungannya dan berevolusi (berubah secara perlahan-lahan mengikuti proses adaptasi). GKP

    Klasis Wilayah Purwakarta telah mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang

    sebagian besar adalah orang Sunda dan beragama Islam.

    Menurut penulis, sebagai komunitas iman GKP mampu beradaptasi dengan baik terhadap

    lingkungan sekitarnya. Bukan untuk meniadakan melainkan bersama-sama dengan masyarakat

    menggumuli permasalahan sosial yang terjadi seperti kemiskinan, kesehatan masyarakat, dan

    lingkungan hidup. Teori survival strategy menyatakan bahwa suatu komunitas dapat bertahan

    karena adanya model emansipasi, yang memiliki ciri adanya kecenderungan untuk memperbaiki

    posisi seseorang, dan adanya keinginan mengubah posisi orang lain serta adanya kerjasama

    untuk saling mendukung.61

    Dari temuan di lapangan, penulis melihat bahwa GKP Klasis

    Purwakarta berusaha memperbaiki posisi seseorang dengan bekerjasama untuk saling

    mendukung. Pelayanan kesehatan seperti pengobatan gratis menurut teori survival strategy

    iniharus dilihat sebagai usaha kerjasama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di

    sekitarnya. Tidak terbatas pada pelayanan kesehatan, tetapi juga pelayanan diakonia lain yang

    bersifat transformatif. Usaha kerjasama untuk memperbaiki posisi seseorang membuat GKP

    Klasis Wilayah Purwakarta dapat bertahan.

    GKP juga dapat bertahan karena mengadaptasi kebudayaan masyarakat yang ada di

    sekelilingnya. Misalnya ketika ibadah menggunakan lagu-lagu rohani berbahasa Sunda,

    memakai bahasa Sunda, bersikap sebagaimana orang Sunda hidup. Suku Sunda memang dikenal

    sulit untuk menerima berita Injil, tetapi sebenarnya mereka sangat ramah dan rasa kekeluargaan

    yang sangat kental dengan sesama orang Sunda. Falsafah hidup orang Sunda yaitu, bageur jeung

    batur sakasur, sadapur, sasumur, salembur, sagubernur62

    (yang artinya baik dengan teman

    sekamar, sedapur, sesumur, sekampung, dan segubernur). GKP memahami filosofi yang inklusif

    61

    Y. Y. F. R. Sunarjan, Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, Disertasi (Salatiga: Satya Wacana

    University Press, 2014), 119. 62

    Pdt. Supriatno dalam Sepenggal Waktu Serumpun Kesaksian (Kumpulan Khotbah) (Bandung: Sinode Gereja

    Kristen Pasundan, 2004), 97.

  • 27

    tersebut, yang membangun suasana bersahabat dengan keluarga, tetangga, dan lingkungan yang

    lebih luas tanpa dibatasi kesamaan suku atau agama.

    Melihat strategi bertahan GKP Klasis Wilayah Purwakarta ditinjau dari teori survival

    strategy tidak dapat dipahami terbatas pada pelayanan sosial seperti di bidang kesehatan saja.

    Survival strategy juga dipakai dalam mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi. Perubahan

    jaman yang semakin pesat dan maju, mau tidak mau GKP Klasis Wilayah Purwakarta juga

    bersiap menghadapinya. Dari hasil pengamatan penulis, GKP Klasis Wilayah Purwakarta sudah

    siap. Ini dibuktikan dengan anggota jemaatnya yang majemuk dan tinggal di wilayah yang

    majemuk. Jemaat berbaur dengan masyarakat dan bergaul dengan mereka didukung oleh pesan-

    pesan khotbah yang disampaikan. Hampir sebagian besar khotbah-khotbah berisi tentang

    bagaimana hidup berelasi dengan sesama di tengah kemajemukan dan kekuatan untuk

    memelihara iman.

    Avery Dulles S.J. yang memberikan model-model gereja yang ada. Terdapat enam

    model-model gereja dari seluruh dunia dengan seluruh perkembangannya. Keenam model gereja

    tersebut antara lain: gereja sebagai institusi, gereja sebagai persekutuan mistis, gereja sebagai

    sakramen, gereja sebagai pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid.

    Jemaat-jemaat GKP Klasis wilayah Purwakarta memang tidak lepas dari salah satu model gereja

    yang ada, tetapi dari keenam model gereja tersebut, maka model gereja sebagai hamba dan

    model gereja sebagai persekutuan murid perlu dilihat sebagai acuan untuk menganalisa temuan

    lapangan. Gereja sebagai hamba mau mengatakan bahwa gereja sebagai pelayan bagi dunia yang

    semakin aktif dan bebas.63

    Gereja harus meneladani sikap Yesus yang selalu beserta umat

    manusia di dalam kekurangan dan kesusahannya. Yesus mau melayani mereka yang menderita

    kekurangan dan hidup dalam kesusahan. Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Tubuh Kristus,

    Hamba yang menderita dan karena itu ia harus menjadi gereja yang melayani . masing-masing

    orang Kristen dipanggil menjadi manusia bagi sesamanya.64

    Menurut penulis, jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta telah menjadi Tubuh

    Kristus dan menjadi Hamba yang menderita. Jemaat Bojongsari misalnya, tetap melayani umat

    Tuhan walaupun menghadapi tantangan yang cukup berat. Anggota jemaatnya yang terdiri dari

    suku minoritas, kemudian juga beragama minoritas tidak membuat semangat jemaat untuk

    63

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 84. 64

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 49.

  • 28

    melayani sesama kemudian memudar. Strategi yang diterapkan tidak selalu harus strategi yang

    besar dan sulit, tetapi dengan menjadi hamba yang melayani gereja juga dapat terus bertahan di

    tengah arus jaman. Pengaruh perkembangan zaman yang terus berubah tidak selamanya

    membawa dampak positif bagi masyarakat. Ada banyak masyarakat yang menjadi korban karena

    ketidakadilan, penindasan, dan kemiskinan yang diakibatkan oleh perubahan jaman. Gereja tidak

    boleh tinggal diam dalam status quo. Gereja harus bergerak dengan menjadi hamba yang turut

    menderita bersama-sama dengan mereka. Pelayanan yang gereja lakukan juga harus menyentuh

    masyarakat tanpa harus membeda-bedakannya sebagaimana karakter dari Yesus Kristus. Dengan

    demikian gereja akan dapat tetap bertahan di tengah perubahan jaman dan tidak ditinggalkan

    oleh umatnya. Gereja juga dapat bertahan di tengah masyarakat mayoritas. Bukan berarti gereja

    mengalah, melainkan memberi diri untuk melayani dan menjadi pionir untuk umat lainnya.

    Jemaat-jemaat GKP Klasis Wilayah Purwakarta sendiri sudah mulai membuka diri dan

    melebur dengan masyarakat. Mereka hidup tidak eksklusif yang dibuktikan dengan diterimanya

    anggota jemaat di beberapa jabatan pemerintahan. Membangun relasi yang baik dengan sesama

    dan memeliharanya. Menurut hemat penulis, mempertahankan dan merawat apa yang sudah

    dibangun atau dicapai cukup sulit sehingga diperlukan kerendahan hati dan kemauan diri untuk

    melayani sesama demi menjaga relasi yang sudah terjalin dengan baik tersebut. Meskipun

    berbaur dengan masyarakat dan melayani masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam,

    anggota jemaat tidak kehilangan jati dirinya sebagai pengikut Kristus.

    Masih menyambung pada model gereja menurut Dulles, jemaat-jemaat Klasis Wilayah

    Purwakarta juga merupakan gambaran dari model gereja sebagai persekutuan murid. Sebagai

    “masyarakat lain dari yang lain” dengan misi mengingatkan umat akan nilai transenden dari

    Kerajaan Allah dimana para murid memberikan kesaksian.65

    Gereja sebagai persekutuan murid

    memerlukan berbagai macam karunia dan panggilan, tetapi semua murid diharapkan untuk

    menyangkal diri, melayani dengan rendah hati, lemah lembut terhadap mereka yang

    berkekurangan dan sabar dalam kesusahan. Gereja harus meneruskan bentuk misi yang diberikan

    Yesus kepada pengikut-pengikut-Nya, harus memperhatikan kebutuhan dan tuntutan jaman.66

    Jika di jemaat Sukamandi, Purwakarta, Cikampek, dan Bojongsari pernah mengalami

    pertentangan dari masyarakat sekitar oleh karena kehadiran mereka sebagai gereja, maka perlu

    65

    Avery Dulles, Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1987), 188. 66

    Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Mata Kuliah Eklesiogi Fakultas Teologi UKSW, 2013), 53-54.

  • 29

    dilihat juga bagaimana murid-murid Yesus mengalami hal yang sama karena cara hidup mereka

    yang berbeda dengan masyarakat mayorits lainnya. Ada strategi yang dapat diterapkan yaitu

    tetap melayani dengan rendah hati dan menjalin komunikasi yang baik sebagaimana model ini

    menyatakan bahwa misi yang di berikan kepada gereja tetap harus memperhatikan kebutuhan

    dan tuntutan jaman. Saat ini mungkin gereja bertemu dengan permasalahan kemanusiaan seperti

    kemiskinan, penyakit, korupsi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, radikalisme

    agama. Gereja tidak boleh menutup mata karena gereja berhadapan langsung dengan semua itu.

    Misi gereja harus disesuaikan dengan kebutuhan dan pergumulan jaman. Jemaat-jemaat GKP

    Klasis Wilayah Purwakarta mulai menyadari bahwa kehadiran mereka di tengah masyarakat

    untuk melayani mereka dan ikut ambil bagian dalam permasalahan yang terjadi. Sehingga misi

    gereja bukan lagi untuk menobatkan atau bahasa ekstrimnya mengkristenkan orang lain, tetapi

    bersama-sama dengan masyarakat melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang

    terjadi di tengah lingkungannya.

    Julianus Mojau dalam memberikan macam-macam model kehadiran gereja di Indonesia.

    Dengan memperlihatkan pemikiran-pemikiran dari para teolog di Indonesia, Mojau akhirnya

    mengkategorikan ke dalam tiga bagian besar tentang kehadiran gereja di Indonesia. Salah

    satunya adalah model teologi sosial pluralis. Model teologi sosial pluralis adalah sebuah usaha

    teologis yang ingin merespons realitas masyarakat dan bangsa Indonesia yang plural. Salah satu

    tokohnya adalah Zakharia Ngelow di mana ia memberikan alasan mengapa model ini perlu

    dikembangkan di Indonesia ka