kecemasan remaja yang sering pindah rumah brahma hemera
TRANSCRIPT
1
Kecemasan Remaja Yang Sering Pindah Rumah
Brahma HemeraPembimbing : Hendro Prabowo, S.Psi
ABSTRAKSI
Lingkungan baru sering sekali dikaitkan dengan sosialisasi, sehingga terdapat ketergantungan terhadap orang lain pada lingkungan baru tersebut. Seperti halnya pindah rumah yang tanpa disadari terkadang dapat menyulitkan proses sosialisasi dengan lingkungan baru. Dalam kehidupan nyata, masih terdapat masyarakat kita yang sering sekali pindah rumah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena harus mengikuti dinas kerja, mengikuti keluarga, kontrak rumah habis, rumah lama digusur, dan lain sebagainya. Sering pindah rumah juga akan menimbulkan dampak yang berakibat pada keadaan psikis individu. Dampak yang akan timbul diantaranya dapat menyebabkan frustrasi, stres, kecemasan, ketakutan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kecemasan karena sering berpindah-pindah rumah menjadi problem masyarakat.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran tentang kecemasan remaja saat menghadapi lingkungan baru karena sering pindah rumah dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kecemasan remaja yang sering pindah rumah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif berupa studi kasus, karena dalam penelitian ini pengambilan sampelnya dengan kriteria tertentu. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah seorang remaja pria berusia 20 tahun. Teknik pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti adalah metode wawancara terbuka dan catatan lapangan. Sedangkan alat bantu pengumpulan data penelitian menggunakan pedoman wawancara, catatan lapangan, alat perekam, dan alat tulis.
Setelah dilakukan penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran kecemasan remaja saat menghadapi lingkungan baru karena sering pindah rumah dan faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan remaja yang sering pindah rumah adalah subjek merasakan gejala-gejala seperti cemas dan takut jika seandainya subjek tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya, tidak menyukai suasana di rumah barunya, dan juga merasa tidak betah di rumah barunya. Subjek juga seorang yang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga subjek sulit untuk bersosialisasi.
Kata Kunci : Kecemasan, Remaja, Sering Pindah Rumah.
PENDAHULUANLatar belakang Masalah
Lingkungan baru sering
sekali dikaitkan dengan sosialisasi,
sehingga terdapat ketergantungan
terhadap orang lain pada lingkungan
baru tersebut. Seperti halnya pindah
rumah yang tanpa disadari
terkadang dapat menyulitkan proses
sosialisasi dengan lingkungan baru.
Dalam kehidupan nyata, masih
terdapat masyarakat kita yang sering
2
sekali pindah rumah. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya karena harus mengikuti
dinas kerja, mengikuti keluarga,
kontrak rumah habis, rumah lama
digusur, dan lain sebagainya. Sering
pindah rumah juga akan
menimbulkan dampak yang
berakibat pada keadaan psikis
individu. Dampak yang akan timbul
diantaranya dapat menyebabkan
frustrasi, stres, kecemasan,
ketakutan, dan lain sebagainya
(Conley, 2003). Kecemasan
merupakan suatu kondisi atau
keadaan emosional seseorang yang
kurang menyenangkan. Kecemasan
dapat sangat mempengaruhi kondisi
seseorang dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Dalam
kondisi cemas, seseorang akan
merasakan beberapa hal di dalam
dirinya, antara lain: ragu-ragu dalam
mengambil suatu keputusan, ada
perasaan tidak tenang, was-was,
sering kali curiga, dan sulit untuk
melakukan suatu tindakan. Seperti
contoh kasus seorang pelukis
ternama asal Belanda, Van Gogh,
yang kerap kali harus berpindah
tempat tinggal karena harus
mengikuti keluarga dan menjalani
studi di berbagai negara. Ia merasa
cemas akan kesendirian dalam
kehidupannya dan tidak menetap,
karena terus dibayang-bayangi oleh
perasaan cemas itulah, sehingga ia
memilih untuk mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri.
Sebenarnya, kecemasan dalam
menghadapi lingkungan baru seperti
sering pindah rumah ini adalah
gejala yang normal bila masih dalam
batas-batas yang kewajaran. Hanya
saja, bila gejala ini muncul dalam
kadar yang berlebihan, maka dapat
dipastikan hal itu akan menimbulkan
gangguan jiwa. Karena kecemasan
akan cenderung menimbulkan reaksi
yang mengarah pada reaksi yang
negatif bagi kesehatan jiwa individu
(Morgan, 1986).
Kecemasan yang timbul
akibat proses pindah rumah ini
sering sekali dirasakan oleh seorang
anak. Anak yang apabila memasuki
usia remaja akan lebih mudah
merasa cemas karena mereka
masih labil dalam mengungkapkan
emosinya (Hurlock, 1980). Ketika
sudah menginjak remaja, setiap
individu akan memiliki pergaulan
yang lebih luas, yaitu teman sebaya,
teman tetangga, dan teman sekolah.
Oleh karena itu, mereka akan lebih
menghabiskan waktunya untuk
bermain bersama dengan teman-
temannya. Perkembangan remaja
3
menuju kedewasaan tidaklah selalu
berjalan dengan lancar, tetapi
banyak mengalami rintangan baik
dari dirinya sendiri maupun
lingkungannya. Tugas
perkembangan yang tidak
terselesaikan dimasa sebelum
remaja merupakan penyebab utama
timbulnya kelainan pada tingkah laku
remaja (Sadli, dalam Willis, 1994).
Perkembangan sosial remaja dapat
dilihat dari adanya dua macam
kekuatan gerak, satu yaitu berusaha
memisahkan diri dari pengaruh
orang tua dan yang lainnya adalah
menuju kearah teman-teman
sebayanya. Secara umum, remaja
yang sedang mengalami kecemasan
akan kehilangan kepercayaan diri,
kecenderungan untuk melakukan
segala sesuatu secara berulang-
ulang, keraguan dan ketakutan yang
mengganggu terus menerus dengan
cara memeriksa segala sesuatu
yang sudah dilakukan, dan serangan
panik dalam mengekpresikan
perasaan kecemasan. Masing-
masing remaja akan menampakkan
cara yang berbeda-beda tergantung
kondisi tubuh secara fisik dan psikis
yang dapat menimbulkan
kecemasan (Monks, Knoers, &
Haditono, 2002).
Remaja adalah masa
peralihan dari masa kanak-kanak
menuju masa dewasa yang ditandai
dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial. Secara
kronologis yang tergolong remaja
berkisar antara usia 13-21 tahun
(Dariyo, 2004). Menurut Daradjat
(dalam Willis, 1994) remaja adalah
usia transisi dimana seorang individu
telah meninggalkan usia kanak-
kanak yang lemah dan penuh
ketergantungan, menjadi penuh
tanggung jawab baik terhadap
dirinya maupun terhadap keluarga
dan masyarakat. Remaja akan
sangat takut jika harus pindah
tempat tinggal dan meninggalkan
teman-teman lamanya, karena ia
memang lebih sering menghabiskan
waktu untuk bermain bersama
teman-temannya. Lingkungan
sangatlah penting baginya, karena
mereka akan berkembang menjadi
yang terbaik, jika lingkungannya pun
mendukung untuk itu. Sebaliknya,
jika selalu dihadapkan dengan
lingkungan-lingkungan yang baru,
hal positif dari remaja ini adalah
pengalaman hidup yang didapat
akan banyak, remaja ini pun akan
banyak mendapat pelajaran dari
alam, namun hal negatifnya adalah
kekhawatiran atau kecemasan yang
4
ada di dalam dirinya akan terus
membayangi (Santrock, 2002).
Berdasarkan uraian di
atas dan kejadian yang banyak
terjadi di masyarakat mengenai
kecemasan remaja yang sering
pindah rumah, pada umumnya
cemas. Dan hal ini sangat
mempengaruhi perilakunya.
TINJAUAN PUSTAKAKecemasan
Untuk memahami lebih
jauh lagi tentang kecemasan,
sebelumnya perlu diketahui
pengertian-pengertian tentang
kecemasan itu sendiri. Sampai saat
ini, telah ada beberapa ahli psikologi
yang mendefinisikan tentang
kecemasan sebagai berikut:
Wolfman (dalam Hall &
Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa
kecemasan adalah keadaan yang
tidak menyenangkan dan bencana
yang tidak diharapkan. Jeffrey,
Spencer, dan Beverly (2005)
mengatakan bahwa kecemasan
adalah suatu keadaan emosional
yang mempunyai ciri
keterangsangan fisiologis, perasaan
tegang yang tidak menyenangkan,
dan perasaan aprehensif bahwa
sesuatu yang buruk akan terjadi.
Evans (dalam Gunarsa, 2003)
mendefinisikan kecemasan sebagai
suatu keadaan stres tanpa
penyebab yang jelas dan hampir
selalu disertai dengan gangguan
pada susunan saraf otonom dan
gangguan pada pencernaan. Greist
(dalam Gunarsa, 2003) secara lebih
jelas merumuskan bahwa
kecemasan sebagai suatu
ketegangan mental yang biasanya
disertai dengan gangguan tubuh
yang menyebabkan individu yang
bersangkutan merasa tidak berdaya
dan mengalami kelelahan, karena
senantiasa harus berada dalan
keadaan waspada terhadap
ancaman bahaya yang tidak jelas.
Atkinson dan Hilgard
(2003) mendefinisikan kecemasan
sebagai emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai
dengan rasa khawatir, keprihatinan,
dan rasa takut yang kadang-kadang
dialami dalam tingkat yang berbeda-
beda. Sullivan (dalam Hall &
Lindzey, 1993) mengatakan bahwa
kecemasan adalah penghayatan
ketegangan akibat adanya ancaman
nyata dari luar yang membayangi
keamanan seseorang.
Chaplin (2001)
mengatakan kecemasan adalah
perasaan campuran berisikan
ketakutan dan keprihatinan
5
mengenai masa-masa mendatang
tanpa sebab khusus untuk ketakutan
tersebut. Freud (dalam Hall &
Lindzey, 1993) memberikan
kecemasan sebagai suatu keadaan
yang tegang yang merupakan
dorongan, seperti lapar dan seks.
Hanya saja tidak timbul dari kondisi
jaringan di dalam tubuh, melainkan
ditimbulkan oleh sebab-sebab dari
luar.
Sedangkan menurut
Kaplan, Sadock, dan Grebb (1994),
kecemasan adalah respon terhadap
situasi tertentu yang mengancam.
Pada kadar yang rendah,
kecemasan membantu individu
untuk bersiaga mengambil langkah-
langkah mencegah bahaya atau
untuk memperkecil dampak bahaya
tersebut.
Selain itu, menurut
Davidson dan Neale (dalam
Fauziah, 2003) kecemasan adalah
munculnya perasaan takut dan
kehati-hatian atau kewaspadaan
yang tidak jelas dan tidak
menyenangkan. Kecemasan
seringkali ditandai dengan gejala
fisik, seperti sakit kepala, jantung
berdebar cepat, dada terasa sesak,
dan tidak tenang.
Dari keseluruhan definisi
tentang kecemasan di atas, maka
dapat disimpulkan, pengertian
kecemasan adalah suatu keadaan
emosi yang tidak menyenangkan
yang ditandai oleh perasaan tegang,
takut, dan gelisah, sehingga
membuat seseorang menjadi sulit
untuk berkonsentrasi dan sulit untuk
mengambil suatu keputusan.
Faktor-faktor Yang Menyebabkan KecemasanMenurut Freud (dalam
Kaplan dkk, 1994) faktor-faktor yang
menyebabkan kecemasan yaitu
kecemasan eksternal yang nyata
dan kecemasan internal yang
neurotik sebagai respon terhadap
suatu situasi yang berbahaya. Freud
mengindentifikasi dua jenis situasi
yang menimbulkan (memprovokasi)
kecemasan. Satu situasi melibatkan
stimulasi instinktual yang melanda,
prototip dari ini adalah pengalaman
kelahiran. Dalam situasi varietas
tersebut, jumlah tekanan dorongan
yang berlebihan menembus barier
pelindung dari ego, menyebabkan
keadaan putus asa dan trauma.
Situasi kedua dan yang lebih sering
melibatkan kecemasan yang
berkembang dalam menghadapi
bahaya, ketimbang akibat dari
bahaya. Peringatan tersebut bagi
organisma, dikenal sebagai
6
kecemasan sinyal (signal anxiety),
bekerja pada tingkat bawah sadar
dan berperan memobilisasi kekuatan
ego untuk mengatasi bahaya.
Sumber bahaya eksternal maupun
internal dapat menghasilkan sinyal
tersebut yang menyebabkan ego
menyusun mekanisme pertahanan
spesifik atau menurunkan derajat
luapan instinktual.
Sedangkan menurut Jeffrey dkk
(2005) ada beberapa faktor-faktor
yang menyebabkan kecemasan,
yaitu
a. Faktor potensial penentu
kecemasan yang terdiri dari:
1) Pewaris genetik
Pada situasi mencemaskan
sesuatu, seseorang dengan
sejarah keluarga yang
memiliki kelainan dalam
kecemasan akan
cenderung memunculkan
kecemasannya.
2) Penyakit fisik
Walaupun secara langsung
tidak berhubungan, namun
dibutuhkan penanganan
pada penyakit fisik dan juga
simtom kecemasan, karena
penyakit fisik ini bersifat
menunjang timbulnya
kecemasan.
3) Trauma mental
Trauma mental dapat
menyebabkan individu
menjadi lebih mudah untuk
menjadi cemas pada situasi
serupa dengan pengalaman
yang menimbulkan trauma.
b. Faktor pencetus kecemasan
1) Masalah fisik
Masalah fisik dapat
menyebabkan simtom-
simtom, seperti kelelahan
atau depresi yang dapat
mempengaruhi emosi
seseorang.
2) Stresor eksternal yang
berat dan berkepanjangan
Kemunculan stresor yang
berat, seperti perginya
orang yang dicintai atau
kehilangan pekerjaan dapat
memunculkan reaksi
kecemasan. Stresor dapat
saja berlangsung terus-
menerus dalam jangka
waktu yang lama, sehingga
dapat mempengaruhi usaha
coping pada individu
menjadi lemah.
3) Kepekaan emosi
Stresor dapat menyerang
individu pada tingkat
kepekaan emosi tertentu.
Hal yang menimbulkan
7
kecemasan pada satu
individu belum tentu
berpengaruh pada individu
yang lain.
Simtom-simtom KecemasanMenurut Supratiknya
(1995) adapun simtom-simtom
dari gangguan kecemasan umum
sebagai berikut:
a. Senantiasa diliputi
ketegangan, rasa was-was
dan keresahan yang bersifat
tidak menentu.
b. Terlalu peka (mudah
tersinggung) dalam pergaulan
dan sering merasa tidak
mampu, minder, depresi, serta
sedih.
c. Sulit berkonsentrasi dan
mengambil keputusan.
d. Rasa tegang menjadikan yang
bersangkutan selalu bersikap
lamban. Bereaksi secara
berlebihan terhadap
rangsangan yang datang
secara tiba-tiba.
e. Sering mengeluh bahwa
ototnya tegang, khususnya
pada leher dan sekitar atas
bahu. Mengalami diare ringan,
sering buang air kecil, dan
menderita gangguan tidur
berupa insomnia.
f. Mengeluarkan banyak keringat
dan telapak tangannya sering
basah.
g. Sering mengalami anxiety
attack atau tiba-tiba cemas
tanpa ada sebab pemicunya
yang jelas. Gejalanya berupa
jantung berdebar-debar,
tekanan darah tinggi, sulit
untuk bernapas, berkeringat,
dan badan terasa dingin.
Sedangkan menurut
Atkinson dkk (dalam Riyanti &
Prabowo, 1998) ada beberapa
gejala kecemasan, yaitu
a. Tidak tenang
b. Tidur terganggu
c. Kelelahan
d. Sakit kepala
e. Pening
f. Jantung berdebar-debar
g. Kehabisan nafas
h. berkeringat
Remaja
Menurut Daradjat (dalam
Willis, 1994) remaja adalah usia
transisi dimana seorang individu
telah meninggalkan usia kanak-
kanak yang lemah dan penuh
ketergantungan, akan tetapi
penuh dengan tanggung jawab
baik terhadap dirinya maupun
8
terhadap keluarga dan
masyarakat. Adapun masa usia
remaja dimulai pada usia 13-21
tahun. Menurut Dariyo (2004)
remaja adalah masa peralihan
dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa yang ditandai
dengan adanya perubahan aspek
fisik, psikis, dan psikososial.
Secara kronologis, yang
tergolong remaja berkisar antara
usia 13-21 tahun.
Menurut Piaget (dalam Ali
& Asrori, 2005) remaja adalah
suatu usia dimana individu
menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia
dimana anak tidak merasa bahwa
dirinya berada di bawah tingkat
orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak
sejajar.
Jadi definisi remaja adalah
masa peralihan dimana individu
telah meninggalkan masa kanak-
kanak dan mulai berintegrasi
dengan masyarakat dewasa yang
berkisar antara usia 13-21 tahun.
Pindah RumahBerpindah-pindah tempat
tinggal atau pindah rumah dapat
dikatakan sebagai individu yang
nomaden. Menurut Poerwadarminta
(1988) nomaden merupakan
sekelompok orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap,
berkelana dari satu tempat ke
tempat lain, biasanya pindah dari
musim tertentu ke tempat tertentu
sesuai dengan keperluan kelompok
itu. Menurut Badrika (2006)
nomaden adalah kehidupan manusia
yang masih berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya yang
menyediakan kebutuhan hidupnya.
Dan menurut Mustopo (2006)
nomaden yaitu kelompok orang yang
tidak mempunyai tempat tinggal atau
tidak menetap.
METODE PENELITIANPendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu menggunakan pendekatan
kualitatif berupa studi kasus.
Menurut Heru Basuki (2006) studi
kasus adalah suatu bentuk
penelitian (inquiry) atau studi tentang
suatu masalah yang memiliki sifat
kekhususan (particularity), dapat
dilakukan baik dengan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, dengan
sasaran perorangan maupun
kelompok, bahkan masyarakat luas.
Menurut Moleong (2000) studi kasus
9
adalah studi yang berusaha
memahami permasalahan yang
rumit dan dapat memperluas
pengalaman terhadap apa yang
telah dikenal melalui hasil penelitian
yang lalu. Lebih lanjut dikatakan
bahwa studi kasus menekankan
pada rincian analisis kontekstual
tentang sejumlah kecil dari suatu
kejadian. Sedangkan menurut Yin
(2002) studi kasus yaitu studi
empiris yang menyelidiki fenomena
kontemporer dalam konteks
kehidupan nyata, khususnya ketika
batasan antara fenomena dan
konteks tidak jelas.
Pada dasarnya studi
kasus adalah suatu pendekatan
yang ditujukan untuk meneliti suatu
kasus atau lebih yang dilakukan
secara mendetail dalam upaya
memahami kompleksitasnya dalam
konteks ilmiah. Dari penjelasan yang
telah dijabarkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa studi kasus
merupakan suatu metode penelitian
yang menekankan pada suatu kasus
yang memiliki karakteristik tertentu
dan merupakan penelitian yang lebih
memberikan suatu gambaran yang
mendalam tentang suatu kasus yang
diteliti.
Karakteristik SubjekKarakteristik subjek dalam
penelitian ini yaitu seorang remaja
yang berada dalam keadaan cemas
karena baru saja pindah rumah dan
beberapa kali pindah rumah.
Jumlah SubjekPenelitian kualitatif tidak
menekankan pada upaya
generalisasi (jumlah) melalui
perolehan secara acak melainkan
berupaya memahami sudut pandang
dan konteks subjek secara
mendalam. Dengan fokusnya pada
kedalaman dan proses, penelitian
kualitatif cenderung memiliki jumlah
subjek yang sedikit.
Teknik Pengumpulan DataWawancara adalah
percakapan dengan maksud
tertentu, yang dilakukan oleh dua
pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan (Moleong,
2000).
Sedangkan menurut
Banister (dalam Poerwandari, 2001)
wawancara adalah percakapan dan
tanya jawab yang diarahkan untuk
10
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif
dilakukan bila peneliti bermaksud
untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan
topik yang diteliti.
Catatan lapangan,
menurut Poerwandari (2001) adalah
catatan tertulis tentang apa yang
didengar, dilihat, dialami, dan
dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data dan refleksi
terhadap data dalam penelitian
kualitatif. Catatan lapangan berisi
deskripsi tentang hal-hal yang
diamati, apapun yang oleh peneliti
dianggap penting. Catatan lapangan
harus deskriptif, diberi tanggal dan
waktu, dan dicatat dengan
menyertakan informasi-informasi
dasar seperti dimana observasi
dilakukan, siapa yang hadir di sana,
bagaimana setting fisik lingkungan,
interaksi sosial dan aktivitas apa
yang berlangsung, dan sebagainya.
Pada dasarnya catatan lapangan
berisi dua bagian. Pertama, bagian
deskriptif yang berisi gambaran
tentang latar pengamatan, orang,
tindakan, dan pembicaraan. Kedua,
bagian reflektif yang berisi kerangka
berpikir dan pendapat peneliti,
gagasan, dan kepeduliannya
(Moleong, 2000). Bagian deskriptif
adalah bagian terpanjang yang berisi
semua peristiwa dan pengalaman
yang didengar dan dilihat serta
dicatat selengkap dan seobjektif
mungkin. Bagian deskriptif berisi hal-
hal mengenai gambaran diri subjek,
rekonstruksi dialog, catatan tentang
peristiwa khusus, dan perilaku
pengamat. Bagian reflektif adalah
bagian yang disediakan tempat
khusus untuk menggambarkan
sesuatu yang berkaitan dengan
pengamat itu sendiri. Bagian ini
berisi spekulasi, perasaan, masalah,
ide, sesuatu yang mengarahkan,
kesan, dan prasangka. Catatan
lapangan juga berisi perasaan-
perasaan peneliti, reaksi terhadap
pengalaman yang dilalui, dan
refleksi mengenai makna personal
dan arti kejadian tersebut dari sisi
peneliti (Moleong, 2000).
Keakuratan Penelitian
Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu.
Teknik triangulasi yang paling
banyak digunakan ialah
pemeriksaan melalui sumber lainnya
11
(Moleong 2000).
Poerwandari (2001)
mengemukakan empat macam
triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan untuk mencapai
keakuratan penelitian, yaitu:
a. Triangulasi data
Membandingkan dan
mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam
metode kualitatif. Hasil
observasi dapat digunakan
untuk memperkaya data,
sehingga dapat memperjelas
masalah yang diteliti.
b. Triangulasi pengamat
Memanfaatkan peneliti atau
pengamat lainnya untuk
keperluan pengecekan
kembali derajat kepercayaan
data. Pemanfaatan pengamat
lainnya membantu mengurangi
kesalahan dalam
pengumpulan data.
c. Triangulasi teori
Penggunaan teori yang
berlainan untuk memastikan
bahwa data yang dikumpulkan
sudah memenuhi syarat. Fakta
tertentu tidak dapat diperiksa
derajat kepercayaannya
dengan satu atau lebih teori.
Hal itu dapat dilaksanakan dan
dinamakannya penjelasan
banding. Dalam hal ini, jika
analisa telah menguraikan
pola, hubungan, dan
menyertakan penjelasan yang
muncul dari analisa, maka
penting sekali untuk mencari
tema atau penjelasan
pembanding atau penyaing.
Teori-teori yang akan
digunakan dalam penelitian ini
adalah teori kecemasan dan
remaja. Dalam teori
kecemasan, terdapat dimensi
kecemasan yang terdiri dari
kognitif yang terwujud melalui
pikiran seseorang, motorik
yang terwujud melalui perilaku
seseorang, dan somatik yang
terwujud melalui reaksi fisik
maupun biologis seseorang.
Dalam teori remaja, terdapat
faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
remaja, antara lain: faktor
endogen yang menyatakan
bahwa perubahan fisik dan
psikis dipengaruhi oleh faktor
internal yang bersifat herediter
yaitu yang diturunkan oleh
orang tuanya. Selain itu juga
dipengaruhi oleh faktor
eksogen yang menyatakan
12
bahwa perubahan individu
sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang berasal dari luar
diri individu itu sendiri.
d. Triangulasi Metode
Pengecekan derajat
kepercayaan penemuan hasil
penelitian dengan beberapa
teknik pengumpulan data.
PEMBAHASANDari hasil penelitian di
atas dapat dijelaskan beberapa hal,
yaitu
1. Gejala-gejala kecemasan saat
menghadapi lingkungan baru
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kecemasan
saat menghadapi lingkungan baru
menimbulkan berbagai gejala-
gejala di dalam diri subjek, antara
lain: perasaan, kognitif, perilaku,
dan stres.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Supratiknya (1995)
yaitu senantiasa diliputi perasaan
cemas, takut, minder, mudah
tersinggung, dan sedih: subjek
memiliki pemikiran tentang rasa
cemas dan takut jika seandainya
subjek tidak dapat beradaptasi
dengan lingkungan barunya, tidak
menyukai suasana di rumah
barunya, merasa tidak betah di
rumah barunya, dan tidak ingin
meninggalkan teman-teman
lamanya. Saat sosialisasi subjek
merasa minder karena subjek
merasa sebagai orang asing di
lingkungan barunya. Subjek pun
juga seorang yang sulit untuk
beradaptasi dengan lingkungan
baru. Perasaan yang dirasakan
oleh subjek ketika sering pindah
rumah, subjek merasa sedih
karena harus sering pindah
rumah. Selain itu subjek juga
merasa sulit berkonsentrasi:
subjek merasa sulit untuk
berkonsentrasi saat ia sedang
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Terkadang subjek juga merasa
stres: subjek merasa stres saat ia
menjalani proses dalam
menempati rumah barunya,
karena subjek berpikir apakah ia
dapat mempunyai teman yang
seperti di rumah lamanya.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan
kecemasan
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kecemasan
remaja yang sering pindah rumah
disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain: faktor kontrak rumah,
faktor tempat kerja, faktor orang
tua, faktor lingkungan, peers,
13
adaptasi, lama adaptasi, dan
penguasaan diri.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Jeffrey dkk (2005) yaitu
faktor internal: subjek tidak ingin
terpisah dan meninggalkan
teman-teman lamanya, meskipun
pada akhirnya subjek harus
berpisah dengan teman-teman
lamanya. Walaupun demikian,
hubungan antara subjek dengan
teman-teman sebaya yang
berada di rumah lamanya tetap
baik, tetapi subjek menyadari
frekuensi pertemuan mereka
sudah jarang. Sehingga subjek
terkadang merasakan rindu
dengan teman-teman lamanya.
Saat beradaptasi subjek
mempunyai cara sendiri dalam
menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya, yaitu dengan
cara mengetahui karakter-
karakter orang yang berada di
lingkungan barunya dan setelah
itu ia akan memulai berkenalan
dengan orang yang berada di
lingkungan barunya. Subjek juga
menyadari bahwa ia yang harus
menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, bukan dari
lingkungan yang harus
menyesuaikan dirinya. Subjek
termasuk orang yang agak sulit
untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Ia memerlukan waktu
minimal 2 bulan untuk dapat
beradaptasi dan terbiasa dengan
keadaan subjek, karena ia harus
sering pindah rumah dan
mempunyai lingkungan yang
baru. Faktor eksternal: tempat
tinggal subjek yang baru berada
jauh dengan tempat tinggal
teman-teman lamanya. Situasi
dan lingkungan baru yang tidak
sesuai dan tidak bersahabat
dengan keinginan subjek.
Menurut subjek, semua orang
yang ada di lingkungan baru
subjek tidak memiliki rasa
kekeluargaan.
SARANAda beberapa saran yang
peneliti ingin berikan:
1. Saran untuk subjek
Dalam kesempatan ini penulis
ingin memberikan saran kepada
subjek agar subjek lebih bisa
tegar dalam menjalani hidup dan
jangan pernah lari dari
kenyataan, bahwa subjek
memang harus melewati ini
semua. Subjek juga harus bisa
berpikir positif, mengendalikan
perasaan-perasaan yang ada di
dalam diri subjek, dan juga harus
14
lebih mudah dalam
menyesuaikan diri.
2. Saran untuk orang tua subjek
Bagi orang tua subjek dan orang
tua lain pada umumnya, untuk
lebih mengerti tentang anaknya.
Mereka membutuhkan orang-
orang terdekat yang dapat
membuat nyaman dirinya dan
komunikasi yang baik dengan
anak dapat membuat anak lebih
tenang dalam menghadapi setiap
permasalahan di dalam hidupnya.
3. Saran untuk peneliti berikutnya
Bagi peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian yang
sudah dilakukan oleh peneliti,
seperti mencari subjek yang
mudah menyesuaikan diri dan
berjenis kelamin berbeda dengan
penelitian ini ataupun responden
yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKAAli, M. & Asrori, M. (2005). Psikologi
remaja. Jakarta: Bumi Aksara.
Atkinson, R.L. & Hilgard, E.R. (2003). Pengantar psikologi. Alih Bahasa: Nurjanah Taufik. Jakarta: Erlangga.
Badrika, W. (2006). Sejarah untuk SMA jilid 1 kelas X. Jakarta: Erlangga.
Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif. Depok: Gunadarma.
Chaplin, C.P. (2001). Kamus lengkap psikologi. Penerjemah: Kartini Kartomo. Jakarta: Rajawali Pers.
Conley, G. (2003). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gunarsa, S.D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulya.
Hall, C.S. & Lindzey, G. (1993). Psikologi kepribadian 1 teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius.
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jeffrey, S.N, Spencer, A.R. & Beverly, G. (2005). Psikologi abnormal. Jakarta: Erlangga.
Kaplan, H.L, Sadock, B.J. & Grebb, J.A. (1994). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Alih Bahasa: Dr. Widjaja Kusuma. Jakarta: Binapura Aksara.
15
Milles, M.B. & Huberman, A.M. (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, L.J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F.J. Knoers, A.M.P. & Haditono, S.R. (2002). Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers.
Mustopo, H. (2006). Sejarah. Jakarta: Yudhistira.
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan.
Prabowo, H. (1998). Pengantar psikologi lingkungan. Depok: Universitas Gunadarma.
Ramaiah, S. (2003). Kecemasan: Bagaimana mengatasi penyebabnya. Jakarta: Pustaka Popular Obor.
Riyanti, D. & Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Depok: Universitas Gunadarma.
Santrock, J. (2002). Perkembangan masa hidup. Jakarta: Erlangga.
Somantri, S. (2006). Psikologi anakluar biasa. Bandung: Refika Aditama.
Supratiknya. (1995). Psikologi abnormal. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Sanata Darma.
Suryabrata, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Willis, S. (1994). Problema remaja dan pemecahannya. Bandung: Angkasa.
Yin, R.K. (2005). Studi kasus desain dan metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.