kebudayaan suku sumbawa

17
Kebudayaan Suku SUmbawa A. Proses Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa Di dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah ini. Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”: Tutu’ si lenas mu gita. Mara ai dalam dulang. Rosa dadi umak rea. Terjemahannya: Lahirnya tak beriak. Seperti air di dulang. Namun sesekali bisa menjulang seperti ombak mendebur pantai. Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”, “Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.

Upload: victoria-sampson

Post on 29-Dec-2015

526 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Kebudayaan Suku SUmbawa

Kebudayaan Suku SUmbawa

A.      Proses Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa

Di dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh

hikayat yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau

Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai jenis suku

yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan

perkawinan dengan penduduk  yang lebih dahulu mendiami daerah ini. Walaupun mereka

tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam

lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya

merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa”. Dari pengaruh

percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang

Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa toleran. Pribadi mereka diabadikan

dalam suatu “lawas”:

Tutu’ si lenas mu gita.

Mara ai dalam dulang.

Rosa dadi umak rea.

Terjemahannya:

Lahirnya tak beriak.

Seperti air di dulang.

Namun sesekali bisa menjulang

seperti ombak mendebur pantai.

Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah seperti misalnya kampong atau

desa, mereka mempunyai sifat pembawaan masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai

kumpulan julukan yang diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri

memiliki julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”,

“Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo Pamangong”,

“Merang Taliwang” dn lain-lain.

Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya, benar-benar nyata kebhinekaannya

dengan masing-masing membawa kebudayaannya. Tetapi walau demikian, nyata pula

ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka bawa itu terelebur menjadi satu yaitu

“KEBUDAYAAN SAMAWA”.

Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat yang hidup di kalangan orang-orang

Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran adat-istiadat (cultur) Jawa dan

Page 2: Kebudayaan Suku SUmbawa

Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih

kita dapati, antara lain yaitu:

1)      Bidang bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat Kerajaan,

seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca Lima, Lelurah Pitu

dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara dan lain-lain.

2)      Bidang adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan pertama istri.

Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh lainnya, yaitu dari suku

Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan perpindahan anak-anak raja dari Goa dan

Bugis turut mewarnai adat-istiadat Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan.

Sehingga anak raj sebelum kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”.

Dalam berpakaian, baik dalam pakaian sehari-hari  terlebih lagi pakaian raja, para menteri

dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar. Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah

serupa dengan Bugis/Makasar yang lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.

Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu menyebabkan adat-istiadat asli suku

Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-

istiadat itu yang kini merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan

diatas, kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang,

Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran darah seni

dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis orang-orang tua, misalnya dalam

upacara peminangan dan lain sebagainya, maka kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan

sebagai pengantar kata, selalu dalam rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga

misalnya ada barang yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta.

Tetapi diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela, lebe

jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo baeng jampang”.

Orang-orang membuat kumpulan “lawas-lawas” yang dinamakan “bumbung”. Di atas

permukaan daun lontar yang telah dikuningkan dulu dengan kunyit, lebarnya kira-kira 2 cm

dan panjangnya kira-kira 12 cm. Lawas-lawas ditulis dengan cara menggoreskan daun lontar

dengan ujung “pangat”,  yaitu semacam pisau salah satu macam senjata orang Sumbawa.

Berpuluh-puluh daun lontar di beri lobang pada kedua ujungnya, demikian pula kulit pada

sebelah atas dan sebelah bawahnya yang dibuat dari kayu tipis diberi berlubang pada kedua

ujungnya masing-masing, kemudian kudua ujung yang berlubang itu masing-masing dicucuk

dengan benang yang dipilin, itulah yang dinamakan “bumung”.

                        Dalam bidang kesenian, secara sepintas kelihatan Sumbawa kering dalam hal

ini.B.     Bahasa Suku Sumbawa

Page 3: Kebudayaan Suku SUmbawa

Bahasa Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas

wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat.

Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989).

Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa

ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang pada gilirannya

termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa.

Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa

berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante,

dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen,

serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan

dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek

regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa

ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh

penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang

diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik

Mandar, Bugis, dan Makassar.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa

menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka,

konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi

kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan

menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek

Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja

Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat

Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis

menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau

regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek

regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.

Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa,

maka Basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni

bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar

kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai

bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya

basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para

penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar,

Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan

Page 4: Kebudayaan Suku SUmbawa

Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata

asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah

diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam

pembahasan bahasa-bahasa daerah.C.    Struktur Adat Suku Sumbawa

Golongan kesatuan sosial yang terkecil di Sumbawa adalah keluarga (gezin) yang

terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang belum bersuami atau beristri. Famili di Sumbawa

adalah himpunan dari pada deretan orang-orang atau individu-individu yang sealiran darah

dengan ayah atau dengan ibu daripada seseorang. Jadi susunan keluarga yang berlaku di

Sumbawa adalah susunan bilateral, yaitu mengakui setiap individu selaku anggota familinya,

disebabkan oleh keturunan  yang sama dengan ayah dan ibunya. Namun demikian perlu

dijelaskan disini, bahwa corak daripada famili yang bilateral pada suku Sumbawa tidaklah

akan dapat disamakan dengan apa yang terdapat pada beberapa golongan Suku Bangsa

Indonesia lainnya (umpama Toraja) yang pada hakekatnya masih merupakan kesatuan sosial

yang besar, bahkan juga menjadi golongan kesatuan ekonomi. Sehubungan hal yang tersebut

ini, maka diseluruh Kerajaan Sumbawa tidak dijumpai desa-desa yang tersusun daripada

anggota-anggota family yang merupakan kesatuan geneaologis.

Raja dalam masyarakat Sumbawa adalah sebagai “Orang yang dituakan”, figur

pemersatu. Keputusan adat tertinggi dihasilkan oleh tiga lembaga yang bersama-sama

merupakan “Majelis Lima Belas Orang” dan diketuai oleh Ranga sebagai Mangkubumi.

Keputusan-keputusan ringan cukup oleh “Tau Telu”, yaitu 1. Ranga, Ketua Dewan Menteri,

2. Longan Samapuin, Ketua Mamanca Lima dan 3. Ngeru, Ketua Lelurah Pitu. Segala

keputusan diteguhkan oleh Raja, sehingga dengan demikian lalu mendapatkan kekuatan

hokum. Keempat Lembaga yang menghasilkan hukum ini ialah Raja, Menteri Telu,

Memanca Lima, dan Lelurah Pitu, secara bersama-sama disebut “Catur Papat”. Segala

keputusan Adat diumumkan kepada rakyat selalu didahului dengan menyebut: “KASUKA

DEWA MASMAWA SERTA TANA’ SAMAWA”.

   Bala Rea

Bala Rea dapat disebutkan dalam bahasa Indonesia “Rumah Besar/Rumah Gadang”,

tetapi mempunyai fungsi yang berlainan. “Bala Rea” merupakan tumpuan kegiatan Kerajaan /

Pemerintahan. Disamping itu berfungsi juga sebagai kediaman Raja beserta keluarga dan

“abdi dalem” yang mengurus langsung kehidupan Raja dan keluarganya sehari-hari.

Page 5: Kebudayaan Suku SUmbawa

Salsalany’s Weblog o Just another WordPress.com weblog

o Pages

Computer   Freak’s

eBooks

Games

House of   Salsalany

Other side of   Us

Samawa   photos

Side of   Religi

Sound of   Eternity

Syndicate

o Entries

o Comments

Meta

o Register

o Log in

Home

Computer   Freak’s

eBooks

Games

House of   Salsalany

Other side of   Us

Samawa   photos

Side of   Religi

Sound of   Eternity

BUDAYA SUMBAWASuku Sumbawa atau tau Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan  sumbawa, wilayahnya seluas 8.493 km 2  yang berarti lebih dari setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2 , sedangkan bagian timur Pulau ini sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima. Sebagian besar wilayahnya terdiri atas perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi 1.730 meter berada di Gunung Batu Lanteh. Gunung ini berdiri tegak di antara lima pegunungan lainnya yang berada di bagian tengah dan selatan pulau.

Page 6: Kebudayaan Suku SUmbawa

Mengarah ke gunung ini terdapat sebuah sungai terbesar bernama Brang Beh yang juga mengalir menuju Teluk Lampui dan menuju daerah-daerah di sekitar pegunungan lainnya, kemudian bertemu dengan anak-anak sungai lainnya yang lebih kecil. Populasi tau Samawa tersebar di dua daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang wilayahnya mulai dari Kecamatan Empang di ujung timur hingga Kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Batas teritorial kedua daerah kabupaten ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Jumlah populasi suku Sumbawa sekarang diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa. Populasi Suku Sumbawa yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815. Para pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini, sedangkan sebagian penduduk yang mengklaim diri sebagai pribumi atau atau Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan dataran rendah yang dulunya menjadi daerah pemukiman mereka tidak dapat ditempati lagi pasca bencana alam Tambora yang menewaskan hampir dua pertiga penduduk Sumbawa kala itu.Sumbawa merupakan daerah beriklim tropis, pengaruh iklim dari Benua Australia pada bulan-bulan tertentu sangat terasa dengan temperatur berkisar antara 19,20C–34,20C, kelembaban maksimum 89% dan minimum 71% dengan tekanan udara rata-rata 1.008,2 mb sampai 1.013,4 mb. Arah mata angin terbanyak adalah 300 dengan kecepatan tertinggi 13 knot perdetik yang terjadi pada bulan Agustus, Oktober, dan November. Curah  hujan rata-rata 1.476 mm setahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 75 hari. Hujan mulai turun di Sumbawa pada bulan November sampai dengan Maret, setelah itu berganti musim kemarau di bulan April yang biasanya diawali dengan udara dingin dalam beberapa minggu. 

BAHASA, TULISAN DAN KESUSASTERAAN

Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak. 

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINANSistem kekerabatan dan keturunan tau Samawa pada umumnya bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misal eaq untuk

Page 7: Kebudayaan Suku SUmbawa

saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang  sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan diatas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai kekerabatan yang begitu kuat seperti tercermin dalam lawas:

Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa)

Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau)

Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati)

Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu)

Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja)

Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap)

Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda)

Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke tanah)

Mate bakolar ke lolo (rela hancur bersama sanak kerabat)

Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang

kompleks, mengadopsi prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan

(bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon

pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni

dan ruwatan dalam tradisi Jawa. Satu hal manarik dalam sistem perkawinan tau Samawa yang

dianggap ideal adalah perkawinan antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas:

Balong tau no mu gegan (secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap)

Lenge sempu no gantuna (sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya)

Denganmu barema ngining (bersamamu mengarungi suka dan duka)

Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi

Page 8: Kebudayaan Suku SUmbawa

tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa. Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau  loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau  tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Masyarakat Sumbawa beternak kuda, sapi, dan kerbau. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya. Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi sebagian kecil orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan.

SISTEM PEMERINTAHANSuku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa Besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan  Timor dengan ibukota di Sumbawabesar. Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict,

Page 9: Kebudayaan Suku SUmbawa

dan beberapa onderdistrict digabung menjadi  satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa. Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.  Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A). Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asalusulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri. Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan. Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat malu bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban.Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan

Page 10: Kebudayaan Suku SUmbawa

pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.     Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa. Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau  loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau  tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional.

Page 11: Kebudayaan Suku SUmbawa

Masyarakat Sumbawa beternak kuda, sapi, dan kerbau. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya. Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi sebagian kecil orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan.

SISTEM PEMERINTAHANSuku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa Besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan  Timor dengan ibukota di Sumbawabesar. Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi  satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa. Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.  Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A). Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat

Page 12: Kebudayaan Suku SUmbawa

Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asalusulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri. Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan. Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat malu bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban.Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asalusulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri. Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan. Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat malu bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban.Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa

Page 13: Kebudayaan Suku SUmbawa

kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tradisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) dan mencari lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa. Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbung, dapat pula memanfaatkan para atau  loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya. Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut. Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau  tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Masyarakat Sumbawa beternak kuda, sapi, dan kerbau. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya. Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi sebagian kecil orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari

Page 14: Kebudayaan Suku SUmbawa

Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang. Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan perusahaan.

SISTEM PEMERINTAHANSuku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa Besar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan  Timor dengan ibukota di Sumbawabesar. Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi  satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa. Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa. Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.  Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A). Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. 

Page 15: Kebudayaan Suku SUmbawa

  

About these ads