bahasa sumbawa

24
Bahasa Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989). Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak . Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa , yang pada gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa . Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar. Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.

Upload: uthezain

Post on 27-Dec-2015

121 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahasa Sumbawa

Bahasa Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989).

Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, yang pada gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa.

Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.

Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.

Page 2: Bahasa Sumbawa

Budaya Samawa Sebagai Cermin Keluhuran BangsaBerangkat dari dinamika kesejarahan bahwa memang dialektika kehidupan mengalami proses aksentuasi nilai-nilai keragaman yang sangat kuat dan bermakna positif. Paradigma kebudayaan menjadi spirit bersama dalam memberikan kontribusi dan penataan nilai-nilai kemagisan dalam proses perubahan sosial yang lebih besar. Proses cultural sangatlah elastis dalam pemahaman seluruh masyarakat, namun di tingkat menengah bahwa cultural sangat di nikmati sebagai bagian dari reformasi individu dan kolektifitas yang merata dan kadang mendatar juga. Hal ini tidak mengherankan bahwa keberagaman yang ada dari berbagai model karakter dan kebudayaan merupakan sebuah konsekwensi logis dalam merasionalisasikan sebuah kondisi perubahan yang sesuai dengan keperluan masyarakat tersebut. Dalam konteks sosiologis bahwa masyarakat Sumbawa tidaklah orisinal akan tetapi sudah mengalami proses reformasi yang panjang dan lama. Kekuatan kebudayaan dapatlah di sajikan dalam bentuk yang lebih signifikan di seluruh aspek kehidupan yang nyata. Asal usul masyarakat Sumbawa adalah hasil migrasi dari berbagai latar belakang kultural termasuk Bugis, Jawa, Sumbawa, Bima, Sulawesi, Arab, irian Jaya, Sumba, Minangkabau dan lain sebagainya. Berangkat dari multikultural inilah, Sumbawa terkadang berada pada posisi suburdinat prilaku kebudayaan yang seharus dapat di jadikan sebuah kekayaan untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Jargon Sumbawa “Sabalong Samalewa Atau Seimbang Serasi Selaras Dan Adil”, jargon ini memiliki kekuatan tafsir yang sangat luas dalam dimensi keragaman baik di pandang dari sisi ideologis maupun sosiologisnya. Kendati demikian bahwa samawa merupakan refresentasi dari masyarakat yang menginginkan sebuah kebahagiaan yang tak terbatas karena samawa sebenarnya sudah besar dan mengalami perubahan dari sisi yang beragama. Maka oleh karena itu samawa sangat berpotensi dalam sebuah platform kehidupan yang lebih baik.

Di tengah maraknya radikalisasi ideologi dan gerakan faham keagamaan, sesungguhnya kata samawa berada dalam ruang yang sangat baik untuk menjadi cerminan keluhuran nilai bangsa, kendati samawa merupakan padanan kata yang sangat dekat dengan nuansa Islami. Relasi samawa ini terhadap sosio masyarakat sesungguhnya memiliki butir-butir keuniversalannya dalam melihat dan memaknai keragaman akan sebuah makna kehidupan. Kita bisa menikmati kehidupan di samawa dengan rasa nyaman dan damai yang walaupun banyak suku dan budaya yang berbeda namun orang sumbawa sangat menghargai orang lain. Coba kita menengok saja ke samawa ini bahwa di sana banyak sekali suku dan model budaya yang hidup dan sangat berdampingan tanpa ada yang bersifat iri hati terhadap perkembangan budaya yang ada, misalnya di kota sumbawa saja terdapat kampung Irian, kampong Arab dan lain sebagainya. Ini bukanlah sebuah kampong yang sengaja di buat namun kampong ini sudah menyatu dengan masyarakat kota sumbawa yang sebelumnya, karena mereka rata-rata pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia. Kampung Arab dan Irian sebenarnya tidaklah kebetulan karena sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat di Sumbawa, bahkan mereka sangat tenang dan nyaman dalam mengembangkan budaya mereka sendiri. Kemudian contoh lain adalah di Kecamatan Tarano dusun Bonto ada yang namanya kampung Bima, komunitas kampung ini terdiri dari seluruh orang bima yang sebelumnya datang nyinggu (panen padi) ke tanah samawa kecamatan tarano dari tahun 1950-an sampai sekarang, nah hal ini menunjukkan sebuah keragaman

Page 3: Bahasa Sumbawa

(multikulturalisme) yang sangat baik. Karena memang berbagai budaya yang ada di samawa memiliki otonomi sendiri untuk mengembangkan budayanya masing-masing akan tetapi tetap mentaati peraturan pemerintah atau peraturan adat Sumbawa.

Menurut DR. Faesal dalam dialog “Kesamawaan” pada acara temu mahasiswa sumawa di Universitas Muhammadiyah Malang mengatakan bahwa di dunia ini ada dua daerah yang sangat besar dan memiliki makna yang sangat universal yakni Samawa Rea (Sumbawa Besar) dan Big di Inggris. Kedua daerah masing-masing memberikan interpretasi yang baik. Kalau dalam konteks Sumbawa besar tentu memiliki makna yang sangat arif dan bijak, kendati demikian bahwa Sumbawa besar diartikan dalam sebuah nomenklatur yang universalnya sangat dekat dengan komponen struktur masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Mengapa seperti itu ?, karena selain mayoritas Islam dan juga masyaraknya sangat tenang dan memiliki budaya malu yang sangat luar biasa yang selama ini di kenal “Rea Ila”. Budaya kangila (Malu Of Culture) ini sangatlah baik dalam dimensi kehidupan masyarakat dan berbangsa serta bernegara. Apalagi bangsa kita saat ini dilanda oleh krisis kepemimpinan dan krisis moralitas yang perilaku para pemimpin hanya berprasangka tidak baik dan suka korupsi (KKN). Budaya inilah yang sebenarnya sudah akut yang kemudian merusak dimensi moral bangsa ini karena generasi bangsa ini hanya bisa berfikir tentang kemungkaran tanpa ada hal yang positif untuk di kerjakan demi bangsa dan Negara ini lebih baik dan menjadi Negara maju.

Maka oleh karena itu kehadiran Budaya Kangila di sumbawa ini merupakan sebuah harapan untuk membangun kembali Optimisme For culture dan merekonstruksi tatanan moralitas kebangsaan untuk memajukan peradaban Islami. Samawa merupakan padanan dan komponen Islam untuk menuju jalan yang terbaik (khaerah ummah). Kata samawa merupakan sebuah interpretasi yang sangat dan harus di junjung tinggi karena samawa yang berarti Sakinah Mawaddah Warahmah. Bahasa ini merupakan sebuah jargon masyarakat yang sangat baik untuk di pertahankan dan di pelihara demi menjadi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Kecerdasan para sesepuh dan tokoh samawa untuk memilih namanya merupakan kehendak Allah untuk memberikan sebuah makna kemerdekaan individu maupun kolektif dalam masyarakat. Tipologi masyarakat samawa adalah cerminan masyarakat Indonesia dan memiliki nilai yang sangat luhur bagi bangsa dan Negara ini. Maka oleh sebab itu, memelihara kebudayaan sikap kepemimpinan “Tau Samawa” adalah kewajiban bagi seluruh generasi samawa untuk dapat di pertahankan sebagaimana mestinya. Tafsir kata Sakinah Mawaddah Warahmah adalah dimensi yang sangat rasional dan penuh makna di dalamnya, bayangkan saja sebuah pulau yang memiliki potensi yang sangat luar biasa dan apalagi sumbawa memiliki motto Sabalong Sama Lewa (perbaiki seluruh kehidupan samawa yang penuh berkeadaban dan keadilan), motto sabalong sama lewa ini ada makna yang tersirat dalam Al Qur’an dan sunah rasul yang mempunyai kekuatan magis dan spirit serta semangat untuk membangun peradaban yang baik tanpa ada benturan peradaban sebagaimana yang diinginkan oleh Samuel P Huntington dalam bukunya “Benturan Peradaban”. Samawa bukanlah daerah yang menjadi lahan subur rumusan hipotesis buku Samuel P Huntington untuk di lakukan perbenturan. Sesungguhnya harus di ingat bahwa kehadiran samawa adalah hipotesis kehidupan untuk menjamin kehidupan lebih baik di tengah penduduk yang multikulturalisme. Hal inilah yang harus di galakan oleh masyarakat sumbawa untuk menjaga kebudayaan aslinya agar tetap berada dalam ruang kehidupan yang berguna bagi masyarakat dan bangsa. Kedudukan samawa adalah sebuah takdir yang telah merebut sendi-sendi kemerdekaan sebagai warisan kebudayaan yang paling paripurna. Kebudayaan samawa

Page 4: Bahasa Sumbawa

adalah budaya paripurna dalam masyarakat samawa sendiri yang memiliki nilai keangungan yang tak tertandingi dan mempunyai filosofi yang baik.

Maka oleh karena itu samawa bisa di jadikan salasatu rumusan pemikiran untuk menuju prikehidupan yang lebih aman dan damai, kendati hal tersebut suatu kenyataan yang paling menggembirakan ketika samawa di pandang dalam ruang yang terbuka dan tetap berada sebagai penopang keluhuran bangsanya sendiri.

Page 5: Bahasa Sumbawa

Sejarah Perkembangan Lawas SumbawaSumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual.Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan.Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung (tembang) ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual (Suyasa, 2002:7).Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya (Tuloli,1991:2). Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. A.Teeuw (1984:330) mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing (tulis atau lisan). Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budayaSamawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk (struktur), isi, dan penyajian lawas.Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan

Page 6: Bahasa Sumbawa

masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar Samawa.Ekspresi sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian hari.Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan (lawas) sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan nusantara.2. Perjalanan Sejarah SumbawaSumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madia, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat Sumbawa.Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri (Jawa). Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama (1365) disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, Dempo(Dompu), Sapi(Sape), Bhima(Bima), Ceran(seran, seteluk), Hutan(Utan). Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa (yakni di KereBima tepatnya di teluk Sanggar) bagus. Selain itu dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu (Bedulu Bali) yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa (Sumbawa). Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima via Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo (Kronik Bima) yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger (1850) menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet (1876) juga menyebutkan selain

Page 7: Bahasa Sumbawa

kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan Arab.Sumbawa tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya (Syamsuddin, 1982:9). Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi (Makasar) yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang (Lombok) dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat ini.3. Lawas sebagai Puisi RakyatMembicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo (1991:60) dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) sastra lisan yang lisan (murni) adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan (2) sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan (menggunakan irama/tembang). Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater rakyat.Lawas sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia (Rayes, 1991:4). Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun (folk literature). Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakansama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” (Elong Ugi) syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari (3,4,6) baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata (1984:34). Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu (1985:75). Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya (kandungan isi) lawas dikenal sebagai lawas tau ode (anak-anak), lawas taruna dadara (muda-mudi), dan lawas tau loka (orang tua).Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi,

Page 8: Bahasa Sumbawa

lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan menidurkannya.Dede intan mua dewa Duhai sayang duhai gustiMua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulangCante jina asi diri Sungguh pandai meratap diriLawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sebagainya.Ajan sumpama kulalo Seandainya aku bertandangKutarepa bale andi Mampir di rumah adindaBeleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihanLawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin.Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukmaNamun pina buat lenge Jangan tunaikan laku burukPola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orangLawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu (temung) yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup (daerah dibagian timur /tempat matahari terbit) dan versi Ano Rawi (daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam). Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa (Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa), versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat (Taliwang, Seteluk,Jereweh), versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan melengking.Penyampaian lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan sakeco.Balawas, bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti pengantin sedang barodak (luluran) atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi nasehat.Gandang, sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune (seruling) atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang nuja.Saketa, lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk menyemangati.Ngumang, lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk (tarung tradisional

Page 9: Bahasa Sumbawa

ala Samawa) dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan lawas.Badede, menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur (menina bobokan). Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa.Basual, berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan berlangsung.Langko, penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan temung.Sakeco, bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi rakyat.4. Tonggak Budaya SamawaLawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini (Rayes, 1991:3).Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun agama.Kehadirannya dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya (Rayes, 1991:3).Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme

Page 10: Bahasa Sumbawa

yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan animisme.Sebagaimana salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat (kolektif Tau Samawa) sebagai ciri dari masyarakat komunal. Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan dipinangnya.Kaling anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkokSanteris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulaluiPendi ke aku rua na Kasihanilah dirikuSetelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilakan masuk ke dalam rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu pidato.Kaku ojong si parana Telah siap ku berpayungTiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyupUjan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyurKadatang sangka ku angkang Kuterima kedatangan anda dengan terbukaMole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bungaLema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harumPeristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat Samawa.Ketika masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan lawas mulai ditulis walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir (cerita), silsilah, dan sejarah pahlawan sakti yang ditulis dengan satra jontal (huruf Sumbawa) yang mirip dengan aksara suku Bugis (Lontara). Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk dikeahui isinya.Perkembangan lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas menciptakan lawas agama, beliau adalah Haji Muhammad Dea Kandhi (Alm) buku Pamuji yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sumbawa sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak para pencipta lawas mendokumentasikannya dalam buku

Page 11: Bahasa Sumbawa

cetakan atau mengumpulkan lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan kini sudah ada dalam bentuk cetakan. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa (2007) karangan Usman Amin judul kumpulan lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan dan Lawas Akhirat & Keagamaan.Lawas sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus samapai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawapertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakatnya.5. Konfigurasi Budaya NusantaraMenyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa lawas.Pengaruh dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB (Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok). Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh berikut.Ketengero muita Lihatlah bulan ituAliliq alibunna Lingkarannya bundarAtikkuq rilaling (Bugis) Begitu pula hatiku di dalamnyaKele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenalLamento sanyaman ate Kalau dia baik budinyaBenansi sanak parana (Samawa) Itulah dia saudara kitaDari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait tersebut.Jika diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan -budaya Makasar (Goa) yang sudah lama (tahun 1600-an)

Page 12: Bahasa Sumbawa

memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses pembauran.Mengingat tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman (tukang lawas) dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutir(prosa liris) Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam Sakeco.------------------------------- ---------------------------Kajiranan po sia e Setelah itu ya TuanMufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertigaBeling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkataOe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hatiSaboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmuCoba tupina batu gong Coba kita buat batu gongAda detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan matiLemanaka(ta) lupa kita Kita tidak akan dilupakanDadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarahMasa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangunDadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisataKunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang--------------------------------- ------------------------------------Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumabawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa lawas.Lawas-lawas yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu (Lord, 1976:30).Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco

Page 13: Bahasa Sumbawa

muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton (pendengar) kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira atau lucu, hal ini menyebabkankehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat.Pertunjukan sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi (Taliwang) bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua pasangan ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake (panggilan untuk Zakaria) dan Co (panggilan untuk Syamsuddin) yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana kita jumpai hampir disemua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco kita temui dalam seni Kentrung di Jawa Timur.Sakeco dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir (cerita). Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong (Bugis) yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud keindonesian.6. PenutupLawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk (struktur), isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan adalah sakeco.Daftar PustakaAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya (Kumpulan Lawas Sumbawa). Sumbawa : Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah.

Page 14: Bahasa Sumbawa

Bahri, Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram : Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi NTB.

Page 15: Bahasa Sumbawa

Babak Baru Newmont di Sumbawa SELAMA satu tahun terakhir, berbagai polemik muncul seputar keberadaan, dampak positif dan negatif dari PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). Bahkan Agustus –September 2011 terjadi amuk massa di sekitar tambang Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mengakibatkan hampir lumpuhnya aktivitas PTNNT. Akibatnya, menimbulkan kerugian perusahaan. Amuk massa ini mengindikasikan adanya sesuatu yang menghambat proses relasi antara masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Terlepas bahwa apakah relasi ini ditunggangi dengan berbagai kepentingan-kepentingan politis dan ekonomis. Akan tetapi amuk massa ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi suara-suara diam di masyarakat untuk mengekspresikan “frustrasi sosial” masyarakat lingkar tambang yang salah satu pintu masuknya soal tenaga kerja atau rekruitmen tenaga kerja. Amuk massa juga bisa dibaca melalui kaca mata bahwa ada disharmoni sosial dan ekonomi antara masyarakat di sekitar tambang dengan PTNNT. Apalagi masyarakat dihinggapi dengan perasaan bahwa mereka yang dekat dengan sumber alam yang sedang dikeruk tetapi sedikit mendapatkan manfaat balik dari kekayaan tersebut. Sekalipun secara legal formal kita mengenal Hak Menguasai Negara (HMN) atas kekayaan alam, dan inilah konsekuensi atas NKRI. Dengan HMN inilah atas nama negara kekayaan alam dikeruk, yang manfaatnya didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kembali ke daerah dengan berbagai skema pendapatan daerah. Sisi lain juga PTNNT juga melalui skema community development (comdev) sebagai mandat Kontrak Karya serta coorporate social responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan mandat UU Perseroan Terbatas, bekerja bersama masyarakat sekitar tambang Batu Hijau. Pertanyaannya adalah belum cukupkah atau sudah tepatkah semua skema manfaat balik dari pemerintah dan perusahaan pada masyarakat sehingga frustrasi sosial/amuk massa oleh masyarakat Batu Hijau itu terjadi? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh PTNNT ketika memulai babak baru di Blok Dodo Rinti Kabupaten Sumbawa. Sepintas potret-potret yang terjadi, menggambarkan bagaimana PTNNT diposisikan dan memposisikan selama belasan tahun sejak konstruksi 1998 hingga saat ini di Sekongkang Sumbawa Barat. Atau dengan bahasa lain, inilah buah dari proses ber-relasi selama ini, sebagai tamu di negeri Tana Intan Bulaeng. Mempertimbangkan hal ini, maka sudah saatnya paradigma tamu di negeri Tana Intan Bulaeng harus dirubah oleh manajemen PTNNT menjadi bagian dari masyarakat Tana Intan Bulaeng. Dengan kemauan baik (good will) PTNNT maka perlu melakukan reposisi dan redefinisi diri PTNNT menjelang masa eksplorasi di Blok Dodo Rinti Kabupaten Sumbawa. Untuk memulai babak baru Newmont di Sumbawa, maka sejumlah pertanyaan di atas harus dijawab. Membenahi Pola Relasi Ada tiga pihak yang terus menerus ber-relasi dalam konteks membangun babak baru Newmont di Sumbawa yakni Pemerintah Daerah, masyarakat dan PTNNT. Maka belajar dari pengalaman Newmont di KSB maka dapat dijadikan rujukan dalam membenahi pola relasi dengan tiga entitas di atas. Lokus sudah berbeda, maka fokus juga harus berbeda. Jangan sampai metode dan strategi lama digunakan untuk menyelesaikan masalah dan tantangan baru. Karena dinamika sosial serta aktor yang terlibat telah berubah. Telah timbul pandangan dan penilaian umum tentang Newmont, bahwa pola Newmont di KSB seperti “negara dalam negara”, entah bagaimana penilaian ini timbul dan menjadi wacana umum. Akan tetapi hal ini terkait dengan cara dan pola Newmont ber-relasi dengan pihak-pihak di sekitarnya. Maka hal ini harus bisa diminimalisir dengan perubahan pola relasi. Relasi dilandaskan pada prinsip mutual responsibility. Bahwa pola relasi melalui komunikasi antar pihak tidak harus ketika timbul masalah yang mengganggu proses eksplorasi akan tetapi membangun pemahaman bagaimana sejak awal memberikan manfaat optimal bagi rakyat pemilik sah kedaulatan kekayaan sumberdaya alam serta meminimalisir

Page 16: Bahasa Sumbawa

peluang yang akan berpotensi mengulangi dampak yang telah terjadi di Batu Hijau. Sehingga berbagi tanggungjawab (share responsibility) juga antar pemerintah dan Newmont akan betul-betul dapat diimplementasikan. Demikian pula segala rencana Newmont yang dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumbawa dapat juga dikomunikasikan bukan hanya informasi paket-paket proyek dari CSR atau Comdev tetapi juga terkait dengan baseline data sosial ekonomi budaya, metode dan strategi pemberdayaan masyarakat yang akan digunakan juga harus menjadi bagian dari bagaimana mewujudkan babak baru Newmont di Kabupaten Sumbawa. Selanjutnya, baseline data maupun hasil penjajakan kebutuhan masyarakat (need assessment) dapat juga menjadi bahan dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah. Di sinilah persinggungan kepentingan yang baik antara Newmont dengan pemerintah daerah. Adaptif Management Spirit manajemen Newmont untuk menggunakan pendekatan yang berbeda di Sumbawa dengan di KSB harus diapresiasi. Pendekatan tersebut dimulai dengan sejumlah kesepahaman (agreement) dengan Pemda dan kepala desa di sekitar wilayah eksplorasi, Dengan pola baru, diharapkan bukan sekedar lips servis sebagai upaya untuk mengambil hati masyarakat Sumbawa akan tetapi manajemen Newmont harus bisa menjadikan Samawa pang ate (Sumbawa selalui di hati menejemen Newmont) dan Newmont untuk kabalong desa darat (hadir bermanfaat bagi tanah dan masyarakat Sumbawa). Dalam lawas Sumbawa disebutkan Mana tau barang kayuq Lamin to sanyaman ate Yanan si sanak parana. Siapa saja harus diperlakukan sama, dengan tanpa memandang keturunan siapa orang itu, dari mana asalnya, dan apa tingkat pendidikannya. Yang penting kehadiran diri orang itu dapat membawa ketentraman hati. Ketentraman hati yang dapat dimunculkan oleh kehadiran diri individu yang lain, maka diri yang lain itu akan dipandang sebagai sanak keluarga. Dengan berprinsip pada nilai-nilai lokal setempat, maka manajemen Newmont harus adaptif dengan nilai tersebut. Apalagi ruang sangat terbuka agar Newmont dapat menjadi bagian integral dari masyarakat Sumbawa. Kehadiran tentu saja bukan sekadar diwujudkan dari sejumlah penghargaan yang dapat meningkatkan nilai saham tetapi dirasakan secara nyata oleh masyarakat yang paling dekat dengan sumberdaya yang sedang dikeruknya. Maka babak baru Newmont di Sumbawa dimulai dengan menghargai nilai dasar masyarakat setempat.