kebijkan publik

17
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semakin berkembangnya perekonomian Indonesia membuat geliat bisnis semakin bergairah, hal ini di tandai dengan maraknya bisnis waralaba yang berkembang saat ini. usaha waralaba yang ada, tidak hanya barasal dari Indonesia, tetapi banyak waralaba asing yang berlomba-lomba masuk ke tanah air karena potensi pasar yang dimiliki Indonesia sangat besar. Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar, memperkirakan omzet sektor waralaba tumbuh 8% - 10% dari omzet tahun 2012, dan omset yang di bukukan bisa mencapai Rp 160 triliun. Setiap tahun, bisnis waralaba memang selalu tumbuh. Dari sisi omzet, tiap tahun nilainya terus naik. Pada 2008, misalnya, omzet waralaba masih sekitar Rp 81,1 triliun. Selang dua tahun, omzet sudah mencapai Rp 114,6 triliiun. Tren tersebut terus berlangsung hingga tahun 2011 yang menyentuh angka Rp 120 triliun. Disamping itu jumlah usaha waralaba terus bertambah. Sebagai gambaran, di tahun 2010, waralaba lokal masih berjumlah 1.500 unit usaha, termasukbusiness opportunity (BO). Namun tahun 2012, jumlahnya sudah mencapai 1.700 unit - 2.000 unit usaha. Sementara, jumlah waralaba asing sekitar 350 unit usaha. Kendati dari sisi kuantitas bisnis ini berkembang, unit usaha yang benar-benar memenuhi kriteria waralaba hanya

Upload: retno-apriani

Post on 04-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kebijakan publik, tata negara

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijkan Publik

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin berkembangnya perekonomian Indonesia membuat geliat bisnis

semakin bergairah, hal ini di tandai dengan maraknya bisnis waralaba yang

berkembang saat ini. usaha waralaba yang ada, tidak hanya barasal dari Indonesia,

tetapi banyak waralaba asing yang berlomba-lomba masuk ke tanah air karena

potensi pasar yang dimiliki Indonesia sangat besar.

Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar,

memperkirakan omzet sektor waralaba tumbuh 8% - 10% dari omzet tahun 2012,

dan omset yang di bukukan bisa mencapai Rp 160 triliun. Setiap tahun, bisnis

waralaba memang selalu tumbuh. Dari sisi omzet, tiap tahun nilainya terus naik.

Pada 2008, misalnya, omzet waralaba masih sekitar Rp 81,1 triliun. Selang dua

tahun, omzet sudah mencapai Rp 114,6 triliiun. Tren tersebut terus berlangsung

hingga tahun 2011 yang menyentuh angka Rp 120 triliun. Disamping itu jumlah

usaha waralaba terus bertambah. Sebagai gambaran, di tahun 2010, waralaba lokal

masih berjumlah 1.500 unit usaha, termasukbusiness opportunity (BO). Namun

tahun 2012, jumlahnya sudah mencapai 1.700 unit - 2.000 unit usaha. Sementara,

jumlah waralaba asing sekitar 350 unit usaha. Kendati dari sisi kuantitas bisnis ini

berkembang, unit usaha yang benar-benar memenuhi kriteria waralaba hanya

Page 2: Kebijkan Publik

2

sekitar 100-an. Selebihnya merupakan unit usaha yang bersifat kemitraan

dan business opportunity.1

Salah satu faktor yang membuat semakin berkembangnya bisnis waralaba di

Indonesia adalah membaiknya perekonomian bangsa Indonesia, yang ditandai

dengan meningkatnya jumlah kelas menengah, sebagian kalangan kelas menengah

ini memiliki disposible income yang di gunakan untuk melakukan investasi, salah

satunya adalah dengan berinvestasi pada waralaba. Waralaba di pilih karena relatif

mudah untuk dilakukan karena calon pemilik waralaba hanya menyediakan

modal, sementara model bisnisnya hanya mengikuti sistem yang telah di bentuk

oleh pewaralaba. Disisi lain bisnis waralaba juga menjanjikan Break Even

Poin yang relatif cepat, sehingga jadilah bisnis waralaba semakin diminati

masyarakat dan berkembang saat ini.

Salah satu waralaba yang paling berkembang dan menjadi tren adalah

waralaba sektor makanan atau kuliner. Hal ini dapat dilihat semakin menjamurnya

waralaba kuliner yang tersebar di tanah air. Waralaba kuliner pun di banjiri oleh

pemain lokal dan pemain asing. Diantara waralaba lokal di bidang kuliner yang

besar dan mendominasi industri kuliner di Indonesia adalah Klenger burger, Mr.

Burger, J.Co, Kebab Baba Rafi, Lele Lela, Tela-Tela, Waroeng Steak, Ayam

Bakar Wong Solo, Bebek Goreng Haji Slamet, California Fried Chicken (CFC)

serta banyak lagi. sementara merek waralaba asing yang mendominasi pasar lokal

diantaranya banyak berasal dari negara Ameriaka seperti Pizza hut, Kentucy Fried

1 Industri.kontan.co.id. “Bisnis Waralaba makin moncer, diakses pada tanggal 15 Juni 2015

Page 3: Kebijkan Publik

3

Chicken (KFC), Texas, Dunkin Donut, StarBucks, A & W serta banyak pemain

lainnya.2

Semakin maraknya bisnis waralaba di Indonesia membuat pemerintah merasa

perlu untuk membuat aturan terhadap industri waralaba khususnya pada bidang

kuliner, Salah satu peraturan yang dikeluarkan pemerintah melalui menteri

perdagangan yaitu Permendag No. 7/M-DAG/PER/2/2013 tentang pengembangan

kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman.

Adanya peraturan baru ini tentu memiliki dampak bagi usaha waralaba di

Indonesia, banyak pegusaha yang mendukung adanya peraturan yang dikeluarkan

pemerintah ini karena mereka menganggap kebijakan ini dapat mendukung dan

mendorong usaha mereka semakin berkembang, namun tidak sedikit pula yang

menolak, dengan asumsi peraturan pemerintah ini dapat menghambat usaha

mereka untuk lebih besar. Oleh karena itu perlu di lihat dampak adanya kebijakan

pemerintah ini terhadap bisnis waralaba di Indonesia.

2 Majalah Usahawan, 2010, Mengggempur Pasar Dengan Sistem Fraanchise, Edisi No.

11Tahun XX, November 1991, UI Press

Page 4: Kebijkan Publik

4

BAB II

PERMASALAHAN

A. Uraian Masalah

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau

badan terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan

barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat diamanfaatkan

dan/atau digunakan oleh pihak lain bedasarkan perjanjian waralaba.

Memasuki tahun 2013, terbit Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)

terbaru No. 07/M-DAG/PER/ 2/2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam

Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman. Pasal 4 dalam aturan

itu menyebutkan bahwa gerai yang boleh dimiliki dan dikelola sendiri oleh

pewaralaba maksimal sebanyak 250 unit. Jika melebihi jumlah tersebut,

pewaralaba wajib mewaralabakan gerai berikutnya ke pihak ketiga atau

dikerjasamakan dengan pola penyertaan modal. Pembatasan gerai ini berlaku lima

tahun sejak peraturan ini berlaku, bunyi Pasal 12 Permendag yang ditandatangani

oleh Mendag Gita Wirjawan pada 11 Februari 2013 lalu.3

Pembatasan gerai waralaba khususnya waralaba asing ini menuai kontroversi,

banyak dari pengusaha asing yang menolak diberlakukannya aturan ini sementara

disatu sisi masyarakat lokal masih merasakan bahwa pembatasan gerai waralaba

sebanyak 250 dinilai terlalu banyak untuk franchise asing. Dengan pembatasan

tersebut, asing masih memiliki peluang untuk memperbanyak jumlah waralaba.

3 Agustinus. 2013. Apindo nilai Permendag No.7/2013 ciptakan

pemerataan..http://ekbis.sindonews.com/read/2013/02/17/34/718609/apindo-nilai-permendag-no-

7-2013-ciptakan-pemerataan. Diakses pada tanggal 15 Juni 2015.

Page 5: Kebijkan Publik

5

Padahal, semangat lahirnya Permendag tersebut adalah untuk membatasi

franchise asing di Indonesia. Atas tekanan dari masyarakat lokal Pemerintah

akhirnya berkilah bahwa upaya pembatasan jumlah gerai waralaba asing tidak

bisa ditekan lagi karena akan berbenturan dengan aturan yang dikeluarkan oleh

World Trade Organization (WTO). WTO mengeluarkan kebijakan bahwa tak ada

perlakuan berbeda antara waralaba asing dan nasional.

Berdasarkan uraian singkat permasalahan di atas terlihat bahwa keberadaan

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 07/M-DAG/PER/2/2013

tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa

Makanan dan Minuman telah melanggar aturan WTO, sehingga dalam makalah

ini Penulis tertarik untuk menganalisis kedudukan Peraturan Menteri Perdagangan

(Permendag) No. 07/M-DAG/PER/2/2013 terhadap aturan WTO yang melarang

adanya perbedaan perlakuan antara pengusaha asing dan pengusaha lokal.

B. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah

untuk mengetahui kedudukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.

07/M-DAG/PER/2/2013 terhadap aturan WTO yang melarang adanya perbedaan

perlakuan antara pengusaha asing dan pengusaha lokal.

Page 6: Kebijkan Publik

6

BAB III

PEMBAHASAN

Pada tanggal 11 Februari Kemendag telah menerbitkan Peraturan Menteri

perdagangan Nomor 07/M-DAG/PER/2/2013 tentang pengembangan Kemitraan

dalam Waralaba untuk jenis jasa makanan dan minuman. Peraturan ini membatasi

kepemilikan waralaba minuman dan restoran memiliki gerai maksimal 250 outlet.

Secara garis besar adanya peraturan pemerintah melalui menteri perdagangan

yang mengatur mengenai waralaba di bidang kuliner tentu memberikan dampak

pada usaha waralaba yang bergerak di bidang kuliner di Indonesia

Peraturan mengenai waralaba nomer 7 tahun 2013 yang dikeluarkan

kementrian perdagangan ditanggapi pro dan kontra bagi pelaku usaha yang

bergerak di bidang waralaba. Mereka yang mendukung tentu memiliki alasan

tersendiri begitu juga mereka yang kontra. tentu kementrian perdagangan

memiliki pertimbangan tersendiri mengapa kebijakan ini di keluarkan, oleh karena

itu perlu di lihat dampak positif dan negatif dari adanya kebijakan ini agar kita

dapat melihat dengan cermat mengenai peraturan yang dikeluarkan oleh

kementrian perdangan tersebut.

Dampak Positif

Adanya peraturan menteri perdagangan nomor 7 tahun 2013 tentu memilki

tujuan, dan tujuan tersebut tentu diharapkan dapat memberi keuntungan bagi

pelaku bisnis lokal. Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan,

Page 7: Kebijkan Publik

7

pembatasan waralaba untuk jenis usaha makanan dan minuman, maksimal 250

outlet (gerai), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.

07/M-DAG/PER/2/2013 tanggal 11 Februari 2013 dimaksudkan untuk

memberdayakan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Melalui peraturan ini pemerintah ingin menciptakan iklim yang lebih

kondusif bagi waralaba kuliner. Peraturan ini juga dibuat berlandaskan pemikiran

untuk merangsang dan menumbuhkan para pengusaha, wirausahawan dan

business man yang unggul, kreatif dan profesional, sehingga diharapkan dapat

mampu bersaing dalam industri francaise ini terutama dengan pemain asing yang

sudah terlebih dahulu memiliki brand yang kuat dan terkenal dimasyarakat.

Adanya kebijakan ini juga dimaksudkan untuk penertiban bagi pelaku dalam

industri waralaba itu sendiri, hal ini karena masih banyak masyarakat yang tidak

berhasil memiliki usaha waralaba dimaksud. sehingga perjanjian antara pemberi

waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee) yang hanya

menunjuk satu penerima waralaba saja, dan tidak memberikan hak kepada

penerima waralaba untuk membuka sub-franchise. Ini menunjukkan adanya

dominasi kepemilikan di satu tangan dengan sistem waralaba yang justru keluar

dari konsep waralaba itu sendiri. Peraturan ini juga dikeluarkan karena dalam

pengamatannya kementrian perdagangan menyoroti sejumlah waralaba yang

menjual barang-barang yang tidak sesuai dengan peruntukan izin usaha yang

dimiliki. Ada waralaba yang memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW)

jenis usaha waralaba untuk kafetaria, tetapi barang-barang yang dijual sebagian

Page 8: Kebijkan Publik

8

besar adalah barang kelontongan yang bukan merupakan barang utama kafetaria

tetapi barang utama toko modern/minimarket.4

Dampak negatif

Walaupun peraturan pemerintah ini memiliki tujuan baik untuk melindungi

UKM dan memberdayakan pengusaha lokal, namun masih terdapat kelemahan

yang juga harus di perhatikan pemerintah dalam pemberlakuan kebijakan ini,

mengenai dampak negatif dari adanya peraturan ini, yaitu menguntungkan

pewaralaba asing untuk terus berinvestasi di Indonesia. hal ini dikarenakan dalam

Peraturan menyebutkan bahwa ketika jumlah gerai suatu waralaba restoran

melebihi batas 250 unit, maka perusahaan itu diwajibkan untuk mewaralabakan

dan/atau dikerjasamakan dengan pola penyertaan modal kepada pihal lokal.

Sehingga hal ini masih memungkinkan bagi pelaku usaha asing yang telah

memiliki jumlah outlet lebih dari 250 untuk tetap dapat membuka outletnya dan

memiliki kekuatan untuk mengontrol gerai yang di francaisekan karena

menggunakan pola penyertaan modal sejumlah 30-40 persen. Untuk nilai investasi

kurang dari atau sama dengan Rp10 miliar, jumlah penyertaan modal dari pihak

lain paling sedikit 40 persen. Sementara untuk nilai investasi lebih dari Rp10

miliar, jumlah penyertaan modal dari pihak lain minimal sekitar 30 persen.

Sehingga jika tidak ada pembatasan yang tegas tetap saja para investor asing dapat

menanamkan usaha waralabanya sebanyak-banyaknya dan akan mengancam para

pewaralaba lokal. Oleh karena itu diperlukan aturan kebijakan yang tegas, jelas

4 Setkab.co.id. “Mendag: Pembatasan Waralaba Restoran/Kafe Untuk Berdayakan UKM”.

Diakses pada tanggal 15 Juni 2015

Page 9: Kebijkan Publik

9

dan tepat dalam membuat peraturan pewaralabaan di Indonesia yang tentunya

dapat mengoptimalkan para pengusaha lokal khususnya untuk kalangan menengah

ke bawah.

Kedudukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 07/M-

DAG/PER/2/2013 terhadap aturan dan prinsip hukum WTO

Prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum merupakan jembatan antara

peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

masyarakatnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa melalui asas hukum ini

peraturan-peratran hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan

etis.5

Dari pengertian prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip hukum

adalah suatu yang sangat mendasar bagi suatu konsep hukum. Prinsip hukum

dalam pengertian substansinya tidak meerupakan bagian terpisah dari kategori

norma-norma hukum, melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya.

Prinsip-prinsip dasar yang melandasi GATT/WTO menurut Wil D. Verwey dalam

Ginanjar Kartasasmita ialah prinsip non diskriminasi yang mengundang tiga

bentuk perlakuan terhadap barang yang akan dijual di pasar internasional. Prinsip-

prinsip itu berakar dari filsafah liberalisme barat, yang dikenal dengan “Trinita”,

yaitu kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan asas timbal balik

(reciprocity).6

5 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 45.

6 Ginanjar Kartassasmita, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan, (Jakarta: Cidesindo, 1996), hlm. 100.

Page 10: Kebijkan Publik

10

Pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut menganggap semua pihak sama

kedudukannya. Dari prinsip-prinsip tersebut tersirat prinsip persaingan bebas

melalui kesempatan yang sama. Prinsip-prinsip hukum liberal tersebut

menganggap semua negara sama kuat. Namun demikian muncul persoalan ketik

muncul negara-negara berkembang yang baru merdeka setelah Perang Dunia

Kedua. Kehadiran negara-negara berkembang mengakibatkan negara industtri

maju yang kuat bersaing dengan negara berkembang yang lemah, akhirnya asas

persamaan tidak lagi membawa keadilan (equity), tetapi sering justru

memperbesar ketidakadilan.7 Oleh karena itu, perlulah peraturan-peraturan dasar

dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum WTO menjadi acuan sistem

perdagangan multinasional.

Dalam menghadapi era globalisasi yang tengah berjalan di segala sektor

dewasa ini, Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian penting yang

diantaranya adalah menjadi anggota WTO. Konsekuensi penting dari kenggotaan

suatu orgaanisasi dunia, seperti WTO yang diratifikaasi Indonesia melalui

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994

mewajibkan Indonesia berhati-hati dalam memberlakukan peraturan ekonomi.

Ratifikasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia atas Agreement Establishing the

World Trade Organization dilihat dari segi hukum merupakan suatu langkah yang

tidak dapat dicegah sebab sebagai negara yang berkembang dengan posisi lemah

dalam peraturan dagang internasional, Indonesia harus meletakkan tumpuan pada

suatu forum multilateral, yakni WTO sebagai wujud suatu kekuasaan

7 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2012), hlm. 40.

Page 11: Kebijkan Publik

11

internasional di bidang perdagangan antarnegara, yang diharapkan menegakkan

rule of law dalam masyarakat global.

Adapun prinsip-prinsip hukum dari perdagangan multilateral yang diatur

didalam GATT/WTO, meliputi prinsip non-diskriminasi (the principle of

nondiscriminatory), prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip penghapusan

hambatan kuantitatif, prinsip perdagangan adil (fairness principle), dan prinsip

tarif mengikat (tariff binding principle).

Prinsip non-diskriminasi adalah salah satu prinsip utama WTO, artinya

merupakan prinsip-prinsip yang menjadi landasan seluruh kebijakan dan tata

aturan perdagangan dalam sistem WTO. Prinsip non-diskriminasi berarti prinsip

yang menolak kebijakan atau tindakan yang diskriminatif.8 Terdapat dua prinsip

non diskriminasi dalam hukum organisasi perdagangan dunia (WTO/GATT) yaitu

kewajiban The Most Favoured Nation (MFN) Treatment dan kewajiban The

National Treatment.

Dalam hal keberadaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.

07/M-DAG/PER/2/2013 secara spesifik telah melanggar prinsip non-diskriminasi

yaitu The National Treatment.

Prinsip National Treatment memberikan persamaan perlakuan di dalam suatu

negara, baik terhadap orang asing maupun terhadap warga negara sendiri. Prinsip

ini melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestik yang

berarti bahwa pada saat suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri

suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar biaya masuk,

8 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT.

Alumni, 2010), hlm. 131.

Page 12: Kebijkan Publik

12

maka barang impor tersebut harus diperlakukan secara tidak lebih buruk daripada

hasil dalam negeri.

Suatu anggota WTO harus memberikan perlakuan yang sama bagi pemasok

jasa dari setiap anggota lain seperti yang diberikan kepada pemasok jasa nasional

dari anggota yang bersangkutan. Dengan kata lain, tidak boleh ada perlakuan

diskriminatif antara jasa-jasa dan pemasok-pemasok jasa nasional dan asing.

Negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan

produk-produk impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk

yang sama buatan dalam negeri. Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga

berlaku terhadap semua diskriminasi yang muncul dari tindakan-tindakan

perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku pula terhadap

perundangundangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum yang dapat

mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan

produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan

terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif

atau legislatif.

Dengan demikian bahwa prinsip national treatment ini menghindari

diterapkannya peraturan-peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang

ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan

dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan terganggunya kondisi

persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan

mengarah kepada pengurangan terhadap kesejahteraan ekonomi. Dengan

persaingan yang adil antara produk impor dan produk dalam negeri, maka terjadi

Page 13: Kebijkan Publik

13

perbaikan kinerja pada produksi dalam negeri untuk lebih efisien sehingga dapat

bersaing dengan produk impor. sedangkan bagi konsumen hal ini akan lebih

menguntungkan karena memungkinkan konsumen memperoleh barang yang lebih

baik dan harga yang lebih wajar. Dalam perspektif lain disebutkan bahwa justru

tindakan yang demikian dapat menyebabkan kurangnya minat investor untuk

menanamkan modalnya, karena berkurangnya keleluasaan investor untuk

mengambil keputusan bisnis yang lebih bebas.

Klausul National Treatment sering ditemukan dalam berbagai perjanjian

termasuk dalam GATT dan perjanjian-perjanjian persahabatan, perdagangan, dan

navigasi Penerapan prinsip ini acapkali dilakukan dengan menerapkan prinsip

resiprositas dalam hubungan ekonomi internasional. Praktik-praktik seperti ini

telah lama dilakukan. Misalnya, larangan pembatasan-pembatasan impor

kuantitatif yang ditandatangani antara Prancis dan Belanda pada tahun 1968;

antara Prancis dan Spanyol pada tahun 1654; antara Swedia dan Belanda pada

tahun 1679; dan antara Prancis dan Inggris pada tahun 1713.9

Menurut Herman Mosler dalam Taryana Sunandar, bahwa unsur-unsur

penting yang terkandung dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai

berikut:10

a. Adanya kepentingan lebih dari satu negara;

b. Kepentingan tersebut terletak di wilayah yurisdiksi suatu negara;

9 Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan Internasional

(WTO), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),. hlm. 38. 10

Taryana Sunandar, “Penulisan Karya Ilmiah tentang Perkembangan Hukum Perdagangan

Internasional dari GATT 1947 sampai terbentuknya WTO (World Trade Organizartion)”, Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman , 1996, hlm. 24.

Page 14: Kebijkan Publik

14

c. Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap

kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang berada di

wilayahnya; dan

d. Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan

rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain.

Penerapan prinsip National Treatment merupakan pencerminan dari

pembatasan kedaulatan suatu negara. Hal ini kerapkali diperjanjikan dalam rangka

mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dan kepentingan

internasional yang sering bertentangan. Tujuan daripada penerapan prinsip ini

adalah untuk menciptakan harmonisasi dalam perdagangan internasional agar

tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif antara produk domestik dan produk

impor, artinya kedua produk tersebut harus mendapatkan perlakuan yang sama.

Sehingga penerapan Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 tentang

pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan

minuman bagai dua mata pedang, jika diterapkan akan melanggar prinsip hukum

yang diratifikasi oleh Indonesia sebagai bagian dari negara anggota WTO dan jika

tidak diterapkan maka tidak ada satu regulasi pun yang mengatur tentang

pengusaha asing yang berkekspansi di Indonesia tanpa memandang berkurangnya

atau melemahnya kedudukan pengusaha lokal di negeri sendiri.

Page 15: Kebijkan Publik

15

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keberadaan yaitu Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 tentang

pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan

minuman bertentangan dengan prinsip hukum yang diratifikasi oleh Indonesia

sebagai bagian dari negara anggota WTO yaitu prinsip non-diskriminasi : The

National Treatment.

B. Saran

Pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam membuat kebijakan apalagi yang

berupa aturan yang mengatur tentang kegiatan perekonomian antar negara,

pemerintah harus kembali mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang

meratifikasi aturan WTO sehingga segala konsekuensi yang timbul akan

keikutsertaan Indonesia meratifikasi aturan WTO haruslah ditanggung.

Pemerintah tidak seharusnya membuat kebijakan yang membuat perbedaan

perlakuan antara pengusaha asing dan pengusaha lokal. Justru yang seharusnya

pemerintah upayakan adalah bagaimana pengusaha lokal dapat bersaing dengan

pengusaha asing.

Page 16: Kebijkan Publik

16

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal dalam Hukum Perdagangan

Internasional (WTO), (Jakarta: PT Industri.kontan.co.id. “Bisnis

Waralaba makin moncer, diakses pada tanggal 15 Juni 2015.

Kartassasmita,Ginanjar, Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan

dan Pemerataan, (Jakarta: Cidesindo, 1996).

Pandika, Rusli, Sanksi Dagang Unilateral: Di Bawah Sistem Hukum WTO,

(Bandung: PT. Alumni, 2010).

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006).

Sood, Muhammad, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2012)

Sunandar,Taryana “Penulisan Karya Ilmiah tentang Perkembangan Hukum

Perdagangan Internasional dari GATT 1947 sampai terbentuknya WTO

(World Trade Organizartion)”, Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman , 1996, hlm. 24.

Peraturan Perundang-undangan

Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba,

Permendag No.68/M-DAG/PER/10/2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha

Toko Modern

Page 17: Kebijkan Publik

17

Permendag No. 07/M-DAG/PER/2/2013 tentang Pengembangan Kemitraan

Dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman.

Jurnal dan Link

Majalah Usahawan, 2010, Mengggempur Pasar Dengan Sistem Fraanchise, Edisi

No. 11Tahun XX, November 1991, UI Press

Agustinus. 2013. Apindo nilai Permendag No.7/2013 ciptakan

pemerataan..http://ekbis.sindonews.com/read/2013/02/17/34/718609/ap

indo-nilai-permendag-no-7-2013-ciptakan-pemerataan. Diakses pada

tanggal 15 Juni 2015.

Setkab.co.id. “Mendag: Pembatasan Waralaba Restoran/Kafe Untuk Berdayakan

UKM”. Diakses pada tanggal 15 Juni 2015