kebijakan pendidikan era politik etis

26
Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis Oleh Rum Rosyid Menurut Anthony Reid dalam bukunya Dari Ekspansi Hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450- 1680, adalah sebuah kesalahan persepsi jika dikatakan bahwa di masa itu, Asia Tenggara berada dalam periode statis, hanya masyarakat statis yang memiliki teknologi sederhana, tertutup dari dunia luar, tidak mau menerima ide-ide baru, dan berperadaban sederhana. Nenek moyang kita di masa itu berperadaban kosmopolitan, dilambangkan dengan berdirinya kota-kota yang teratur, keterbukaan terhadap pedagang asing, bahkan berada dalam tahap sejarah yang sama (merujuk pada teori sejarah Alvin Toffler) yaitu pada gelombang revolusi pertanian. Ketika Portugis dan Spanyol, kemudian Belanda dan Inggris, datang untuk menjajah dan menguasai Nusantara berkedok Gold, Glory and Gospel, seketika itu pula sejarah Nusantara berkutat pada perlawanan mengusir bangsa asing, tusuk-menusuk antar bangsa sendiri. Perdagangan Nusantara dimatikan oleh EIC dan VOC, sampai- sampai untuk mematikan perdagangan Nusantara ini, bandar Banten dihancurkan dan kesultanan Banten dimusnahkan, tinggallah para panglima dan prajuritnya lari ke hutan-hutan menjadi jawara Banten sampai sekarang dilanjutkan oleh keturunannya. Kalau sejarah yang ditulis di SMP dan SMA ditulis dalam bentuk bagaimana elit-elit politik, pedagang dan intelektual Nusantara melawan VOC Belanda, adalah sebuah kenyataan bahwa Bangsa Indonesia mampu bertarung di era globalisasi saat itu, untuk kemudian melawan Belanda sampai baru benar-benar berada dalam satu kekuasaan Hindia Belanda awal abad ke-20, disebabkan karena pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan semacam Meunasah di Aceh, Surau di Minang, Pesantren di Palembang, Sunda dan Jawa, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh pelosok nusantara, adalah tempat lahirnya para pemimpin Nusantara saat itu.

Upload: rumrosyid

Post on 26-Jun-2015

348 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis Oleh Rum Rosyid

Menurut Anthony Reid dalam bukunya Dari Ekspansi Hingga Krisis : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, adalah sebuah kesalahan persepsi jika dikatakan bahwa di masa itu, Asia Tenggara berada dalam periode statis, hanya masyarakat statis yang memiliki teknologi sederhana, tertutup dari dunia luar, tidak mau menerima ide-ide baru, dan berperadaban sederhana. Nenek moyang kita di masa itu berperadaban kosmopolitan, dilambangkan dengan berdirinya kota-kota yang teratur, keterbukaan terhadap pedagang asing, bahkan berada dalam tahap sejarah yang sama (merujuk pada teori sejarah Alvin Toffler) yaitu pada gelombang revolusi pertanian. Ketika Portugis dan Spanyol, kemudian Belanda dan Inggris, datang untuk menjajah dan menguasai Nusantara berkedok Gold, Glory and Gospel, seketika itu pula sejarah Nusantara berkutat pada perlawanan mengusir bangsa asing, tusuk-menusuk antar bangsa sendiri.

Perdagangan Nusantara dimatikan oleh EIC dan VOC, sampai-sampai untuk mematikan perdagangan Nusantara ini, bandar Banten dihancurkan dan kesultanan Banten dimusnahkan, tinggallah para panglima dan prajuritnya lari ke hutan-hutan menjadi jawara Banten sampai sekarang dilanjutkan oleh keturunannya. Kalau sejarah yang ditulis di SMP dan SMA ditulis dalam bentuk bagaimana elit-elit politik, pedagang dan intelektual Nusantara melawan VOC Belanda, adalah sebuah kenyataan bahwa Bangsa Indonesia mampu bertarung di era globalisasi saat itu, untuk kemudian melawan Belanda sampai baru benar-benar berada dalam satu kekuasaan Hindia Belanda awal abad ke-20, disebabkan karena pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan semacam Meunasah di Aceh, Surau di Minang, Pesantren di Palembang, Sunda dan Jawa, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh pelosok nusantara, adalah tempat lahirnya para pemimpin Nusantara saat itu.

Belanda tidak pernah bisa menghancurkan lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Kekurangan tenaga militer yang dimiliki Belanda, maupun cara pandang para pendidik yang akhirnya menganggap segala sesuatu yang berbau asing harus ditolak, sedikit banyak membuat kearifan lokal bangsa kita ini terjaga dari proses pemusnahan. Hanya saja, segelintir elit politik keturunan bangsawan, mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan modern ala Belanda.

Di penghujung abad 19, kaum liberal/borjuis (pengusaha dan pedagang) memperoleh kemenangan gemilang di parlemen Belanda melawan kaum konservatif (bangsawan). Sebagai pemenang, mereka kemudian merubah struktur negara Belanda dari kerajaan yang menyandarkan diri pada pertanian menjadi pada masyarakat Industri (monarkhi parlementer/konstitusional). Angin perubahan yang jauh terjadi di negeri seberang itu, ternyata sampai pula ke nusantara. Bentuk penghisapan sistem penjajahan di Hindia Belanda (Nusantara-Indonesia) kemudian dirombak, dari sistem penjajahan yang primitif menjadi sistem penjajahan yang lebih modern dengan menggunakan alat-alat modern (mesin).

Page 2: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

  Perubahan itu dimapankan dengan diterbitkanya undang-undang penanaman modal asing dalam sektor agraria pada tahun 1870 yaitu Agrarische Wet. Setelah itu mulailah para pengusaha dari Belanda, Inggris dan Amerika berbondong-bondong menanamkan modalnya dengan membuka perkebunan, pertanian, pertambangan, transportasi dan perbankan. Perubahan itu tentunya menimbulkan kebutuhan akan tenaga-tenaga ahli (buruh terampil) untuk menjalankan roda industi kapitalisnya. Namun, hal itu menemui kendala dengan minimnya tenaga ahli tersebut. Mayoritas masyarakat Indonesia masih belum banyak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tidak mungkin bisa menjalankan sistem modern tersebut. Dan kondisi itu tentunya juga tidak mungkin bisa disulap oleh Belanda dalam sekejap. Hal itu kemudian menimbulkan pemikiran pada penjajah Belanda, untuk membangun dan menyiapkan infrastruktur pendukung berjalannya sistem baru tersebut.

Ideologi Pendidikan : KolonialismePada jaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional.Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. Dalam sejarah pendidikan kita dapat dikatakan bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa.

Pada tahun 1899, seorang tokoh politik beraliran liberal bernama Van Deventer, pertama kali mengusulkan adanya Politik Etik (Balas Budi) kepada orang-orang Indonesia. Ia menulis sebuah artikel dalam majalah De Gids dengan judul Een Eeeres Chuld atau ‘Utang Kehormatan’. Dalam artikel tersebut, Van Deventer menjabarkan bahwa kemakmuran yang dinikmati oleh bangsa Belanda waktu itu, sebenarnya adalah perasan darah dan keringat penduduk pribumi Indonesia. Terutama berasal dari cultuur stelsel, pajak, maupun kerja rodi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila bangsa Belanda membayar utang kebaikan dengan meningkatkan kesejahteraan hidup bangsa Indonesia. Van Deventer menawarkan tiga solusi guna mencapai tujuan itu. Ketiga solusi tersebut adalah edukasi, irigasi, dan transmigrasi (khususnya perpindahan dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa).

Dengan semakin timbulnya banyak desakan yang menginginkan perbaikan taraf hidup orang pribumi, pemerintah Belanda terpaksa segera merealisasikan usulan Van Deventer itu. Di dunia pendidikan, Belanda mendirikan Van Deventer School, yakni beberapa

Page 3: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

sekolah mulai dari sekolah dasar hingga menengah untuk bangsa pribumi. Sebutlah misalnya, Holland Inlands School (HIS) diperuntukkan bagi jenjang sekolah dasar dengan lama pendidikan tujuh tahun. Setelah lulus jenjang sekolah dasar, selanjutnya dapat masuk ke Meer Uitgebried Lager Onderwigs (MULO) yang saat ini setingkat sekolah menengah pertama. Setelah itu untuk tingkat setaraf sekolah menengah atas pemerintah Belanda mendirikan Algemene Middelbare School (AMS). Akan tetapi, sekolah-sekolah bentukan Belanda tersebut dibatasi hanya untuk anak-anak dari kalangan priyayi.

Kebijakan Pendidikan : dari politik etis menjadi politik asosiasiPada tahun 1901 lahirlah kebijakan baru berdasar usulan dari Van de Venter, yang kemudian orang lebih mengenalnya dengan istilah Politic Etis (Politik Balas Budi). Bahwa pemerintah Belanda mempunyai utang budi dan tanggung jawab moral untuk menaikkan derajat dan kesejahteraan pribumi karena segala pembangunan dan kemewahan yang kini dirasakan masyarakat dinegerinya didataran Eropa merupakan hasil dari kejamnya penghisapan yang dilakukan selama proses politik tanam paksa (1830-1870). Peningkatan kesempatan pendidikan pada anak-anak bumi putera yang diperoleh lewat politik etis pada dasarnya hanyalah kedok belaka.

Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda, pemberlakuan politik etis di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan politik pintu terbuka. Dengan berakhirnya politik konservatif atau politik eksploitasi dan dengan di mulainya politik pintu terbuka telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang terdidik dan terampil di bidang Administrasi. Oleh karena itu pendidikan di Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata lain telah terjadi penyelewengan politik etis di dalam pelaksanaannya yakni menjadi politik Assosiasi, artinya di arahkan untuk kepentingan Belanda.

Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, yaitu :1. Sistem Dualisme, dalam sistem Dualisme diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.2. Sistem Konkordansi, sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.3. Sentralisasi, kebijakan pendidikan di Zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen pengajaran.4. Menghambat Gerakan Nasional, sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan di peruntukan agar masyarakat bumi putera dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.5. Perguruan Swasta yang Militan, salah satu sekolah swasta yang sangat gigih menentang kekuasaan kolonial ialah sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.

Proses panjang perjuangan pembentukan nasionalisme patriotik yang dimulai dengan lahirnya Boedi Oetomotanggal 20 Mei 1908. Sejak timbulnya Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang dipelopori oleh para mahasiswa Stovia (Kedokteran), a.l. Cipto

Page 4: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Mangunkusumo dan Wahidin Sudirohusodo mulailah bermunculan timbul banyak  organisasi pergerakan (antara lain Sarekat Islam pada tahun 1911). Memang Boedi Oetomo sebagai organisasi kebangsaan masih dalam taraf terbatas ruang lingkupnya (Jawa-Madura) dan masih terkait dengan suku Jawa-Madura. Meskipun demikian Boedi Oetomo yang menitik beratkan gerakannya dalam lapangan pendidikan dan budaya mempunyai arti penting dalam pembinaan jiwa nasionalisme.

Sekolah dan universitas mulai banyak didirikan atas nama politik etis. Sudah bukan merupakan rahasia umum bahwasannya Politik Etis merupakan representasi dari kemenangan Kaum Liberal di Negeri Belanda telah menciptakan suatu babak baru bagi sistem pendidikan di Nusantara. Di mana program politik etis (balas budi) bukan dimaksudkan untuk membalas budi, namun untuk membentuk kelas baru, kaum elit baru, demi memenuhi tenaga kerja dengan upah murah yang akan tetap membungkuk kepada orang Barat dan memandang rendah kaum inlander (bumiputera) kelas bawah. Kebijakan ini mencakup tiga hal yaitu Edukasi, Transmigrasi dan Irigasi. Awalnya Van Deventer yang berwatak Humanisme Liberal bermaksud memberikan pendidikan yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa jajahan, tetapi sekali lagi (setelah irigasi dan transmigrasi), sekolah-sekolah tersebut lebih dimanfaatkan untuk mencetak para pegawai rendahan yang sekadar bisa sedikit berbahasa Belanda, mampu memahami perintah atasannya, namun sekaligus dibuat sedemikian rupa agar tamatannya sangat loyal kepada Belanda.

Proyek-proyek Pendidikan : pendidikan yang diskriminatifBentuk pelaksanaan proyek pendidikan ini adalah dengan dibukanya beberapa sekolah umum di kota-kota besar di Nusantara. Misalnya, didirikan STOVIA di Jakarta, MULO di Yogyakarta, Toghsen Hoggenst school di Bandung dan Nederlands-Indische Artzhen School (NIAS) sekarang Unair di Surabaya. Bahkan ketika berdiri Sekolah Tinggi Hukum (Rechthoogeschool) dan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) di Jakarta pada tahun 1924 dan 1927, serta Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogescchool) di Bandung pada tahun 1920, ketiga perguruan tinggi ini bertujuan mendidik tenaga kerja terampil dan murah dalam bidang Hukum, Kedokteran dan Teknik, karena memang sarjana keturunan Eropa dan Indo Eropa tidak mau dibayar murah.

Pada tahun 1850, Belanda mendirikan STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandse Artsen), artinya adalah Sekolah Pelatihan (Opleiding) Dokter Pribumi, walaupun pendidikannya diselesaikan dalam waktu 9 Tahun. STOVIA menerima lulusan setingkat SMP saat itu, dan baru dibuka untuk pribumi pada awal abad ke-20. Kalau kita tidak jeli dan hanya melihat pada permukaannya saja, kebijakan itu pasti tampak sangat humanis (manusiawi). Akan tetapi bila digali lebih mendalam lagi, itu semua ternyata hanya diatas kertas saja. Pelaksanaan proyek tersebut masih tetap saja untuk melayani kepentingan pengusaha Belanda saja. Memuluskan dan memudahkan pengusaha Belanda, Amerika, dan Inggris dalam mendapatkan buruh-buruh murah yang terdidik dan terampil yang kemudian akan dipekerjakan dalam kantor-kantor pemerintahan, pabrik, jasa transportasi atau perkebunan.

Page 5: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Disinilah, untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia mulai bersentuhan dan mengenal sistem pendidikan formal. Anak-anak elite local ini ada yang belajar ke sekolah kedokteran dan pangreh praja, tetapi ada pula yang melanjutkan studinya ke Belanda, negeri sang penjajah. Di awal abad ke dua puluh ini jumlah kaum terpelajar dari seluruh wilayah Hindia Belanda ini tidak lebih seratus orang dan sekitar tiga puluhan orang belajar ke Belanda di antaranya Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Sjahrir, dan sebagainya. Politik Etis ini membawa perubahan struktural seperti semakin terbukanya akses pendidikan

Tapi sekolah ini sangat diskriminatif. Murid yang bisa bersekolah disana adalah hanyalah anak-anak dari Pejabat Belanda, Indo Belanda, Timur Asing (Eropa, Cina, Arab) dan tentunya keturunan bangsawan kerajaan. Sementara itu, anak petani dan buruh tidak diperbolehkan untuk bersekolah lebih tinggi. Hal ini adalah siasat licik Belanda agar tenaga mereka dapat digunakan secepatnya untuk menjalankan mesin-mesin produksi serta untuk mencegah perlawanan dari anak petani dan buruh, dua kelas sosial yang selama ini adalah lapisan masyarakat yang paling tertindas oleh penjajahan Belanda.Tapi alumni dan sarjana didikan Belanda ini bukannya tidak ada yang sadar kalau mereka dididik hanya untuk menjadi buruh berdasi. Mereka tetap berorganisasi untuk menjaga cita-cita memerdekan Indonesia serta berupaya mendidik rakyat Indonesia yang tidak memiliki kesempatan menikmati pendidikan. Baik dengan cara Tjokroaminoto dengan SI-nya, Soekarno dengan PNI-nya, Tan Malaka dengan PKI-nya, Hatta dan Sjahrir dengan PI-nya, Mohammad Yamin dengan Kongres Pemoeda-nya, dan lain-lain dengan cara masing-masing tapi dengan satu tujuan, Indonesia Merdeka.

Perubahan Struktural : berkembangnya organisasi kemerdekaan bangsaPolitik Etis ini membawa perubahan struktural seperti semakin terbukanya akses pendidikan terhadap masyarakat kecil dan membiakkan perkumpulan- perkumpulan yang berujung dengan penggugatan dan pembangkangan terhadap kekuasaan kolonial yang dilakukan lewat organisasi, serikat buruh, pers, dan sebagainya. Sementara itu kaum terpelajar yang di Belanda seperti Hatta dan Sjahrir membentuk perkumpulan yang bertujuan memerdekaan bangsa, yaitu Perhimpunan Indonesia.

Bergemuruhnya pembangkangan terhadap kuasa kolonial itu semakin nyata setelah muncul serikat-serikat buruh, organisasi massa, Indische partij, Sarekat Islam, yang kemudian diteruskan oleh Soekarnolewat Partai Nasional Indonesia, dilanjutkan Sjahrir dan Mohammad Hatta saat pulang dari Belanda mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru dan Gerindo oleh Amir Sjarifuddin yang melawan kuasa kolonial dengan mengumandangkan anti kolonialism, anti imperalisme sembari meneriakkan Menghadapi meluasnya perlawanan atas kuasa kolonial ini pemerintah Belanda denganmenggunakan kekerasan menindas kaum pergerakan kebangsaan kemerdekaan Indonesia.

Kekuatan buruh dan tani mengalami peningkatan. Sangat ditakuti dan diperhitungkan oleh Belanda karena mempunyai semangat radikal dan revolusioner dalam melakukan pemogokan-pemogokan. Salah satu Serikat Buruh yang terbesar pada waktu ini adalah ISDV (1919). Tapi sayangnya, perlawanan tersebut terhenti dan akhirnya meredup,

Page 6: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

seiring dengan kekalahan PKI pada saat mereka melakukan Perjuangan Bersenjata melawan kolonial Belanda (1926/1927) di Jawa dan Sumatera. Kemudian, tidak kurang dari 13.000 lebih kader PKI dibuang ke Pulau Digul, Papua.

Ketika mulai menguatnya gerakan perlawanan di Indonesia, pemerintah memberlakukan kontrol yang ketat pada setiap kegiatan sosial rakyat demi mencegah perlawanan. Menghadapi meluasnya perlawanan atas kuasa kolonial ini pemerintah Belanda dengan menggunakan kekerasan menindas kaum pergerakan kebangsaan. Tahun 1905 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Goeroe Ordonatie yang pada intinya bahwa pendidikan agama harus ada izin serta harus menyerahkan daftar peserta didik. Meskipun akhirnya di tahun 1925 peraturan ini dirubah sedikit lunak, yaitu dengan memberikan alasan pendidikan agama; tetapi daftar murid dan kurikulam harus tunduk pada pemerintah.

Teori Pendidikan Integralistik : Ki Hajar DewantaraPeriode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka membebaskan bangsa ini dari tangan penjajah. Mereka adalah tokoh dan pemimpin politik keagamaan yang dapat dipandang sebagai model yang pantas ditiru, seperti tokoh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, sesepuh NU KH Hasyim Asy’ari, dan Dr. Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab untuk mengentaskan bangsa dari keterbelakangan, kemelaratan dan kolonialisme.

Demikian pula, tutur tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (Di depan memberi tauladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi). Teori “dasar” dan “ajar” menurut Ki Hajar Dewantara pada hakikatnya sama dengan teori konvergensi. Makna dasar tidak lain adalah bakat dan kemampuan. Sementara ajar pada hakikatnya adalah proses mempengaruhi peserta didik, baik dari lingkungan maupun proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Teori ini berpendapat bahwa selain manusia itu memang telah dibekali potensi dasar berupa bakat dan kemampuan, tetapi bakat dan kemampuan itu akan dipengaruhi oleh ruang (space) dan waktu (time). Dalam hal ini, William Stern percaya bahwa sejak lahir manusia telah memiliki potensi. Jika potensi ini diibaratkan dengan bibit unggul, maka bibit unggul itu akan akan tumbuh secara optimal jika bibir itu mendapatkan tempat persemaian yang subur, dan memperoleh rawatan secara intensif.

Pada tahun 1920-an pemimpin pergerakan kebangsaan terkemuka Soekarno ditangkap dan dipenjara, Bergemuruhnya pembangkangan terhadap kuasa kolonial itu semakin nyata setelah muncul serikat-serikat buruh, organisasi massa, Indische partij, Sarekat Islam, yang kemudian diteruskan oleh Soekarno lewat Partai Nasional Indonesia, dilanjutkan Sjahrir dan Mohammad Hatta saat pulang dari Belanda mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru dan Gerindo oleh Amir Sjarifuddin yang melawan kuasa kolonial dengan mengumandangkan anti kolonialism, anti imperalisme sembari meneriakkan kemerdekaan Indonesia.

Page 7: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Tripusat PendidikanKi Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) mendirikan salah satu taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Dalam bentuk yayasan, mulai mendirikan Taman Indria, kursus guru, Taman Muda (SD), Taman Dewasa Merangkap Taman Guru (Mulo Kweekschool), Taman Madya, prasarjana, dan Sarjana Wiyata.Asas dan Tujuan Taman Siswa1. Bahwa setiap orang mempunyi hak mengatur dirinya sendiri, dengan terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum2. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.3. Bahwa pengajaran harus berdasarkan pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.4. Bahwa pengajaran harus tersebar luar sampai dapat menjangkau seluruh rakyat5. Bahwa untuk mengajar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaklah diusahakan dengan kekuatan sendiri, danmenolak bantuan dari siapapun yang mengikat, baik lahir maupun batin6. Bahwa setiap konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan7. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu ada keikhlasan lahir dan batin mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anakPanca Dharma Taman SiswaTahun 1947 Taman Siswa melengkapi asas 1977, yaitu dari wawasan guru yang dikenal dengan Panca Dharma, yaitu:1. Arti kemerdekaan harus diartikan disiplin terhadap diri sendiri oleh diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu atau anggota masyarakat. Kemerdekaan menjadi alzt pengembang pribadi yang kuat dat sadar dalam suatu perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat tertib damai di tempat keanggitaannya.2. Asas kodrat alam. Pada hakekatnya manusia itu seebagai mahluk adalah satu dengan koodrat alam. Ia tidak bisa lepada dari kehendaknya, tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam3. Asas kebudayaan4. Asas kebangsaan, tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus mkenjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan oleh dan oleh karena tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain5. Asas kemanusiaanTujuan Perguruan Taman Siswa1. Sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai2. Tujuan pendidikanTaman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertangung jawab atas keserasian bangsa tanah air serta manusia pada umumnya

Kemudian beliau juga sempat menulis berbagai artikel yang intinya memprotes berbagai kebijakan para penjajah (Belanda) yang kadang membunuh serta menghambat tumbuh dan berkembangnya pendidikan di Indonesia. Hingga salah satu artikel "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli : Als ik eens Nederlander was) yang pernah dimuat dalam

Page 8: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

surat kabar de Expres milik Douwes Dekker tahun 1913 adalah salah satu artikel yang mengubah paradigma banyak orang terlebih khusus para penjajah bahwa orang Indonesia khususnya penduduk pribumi membutuhkan pendidikan yang layaknya sama dengan para penguasa dan kalangan berduit. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kea rah keluhuran hidup kemanusiaan.Ki Hajar Dewantara memaknai pendidikan sebagai usaha penurunan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya dalam setiap zamannya. Pendangan Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dan kebudayaan ini tertuang dalam sebuah teori sebagai hasil pemikirannya yang dikenal dengan teori Trikon.Upaya pembudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni:1. Kontinyu2. Konsentris3. KonvergenPelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu:1. Alam keluarga2. Alam perguruan3. Alam pergerakan pemuda2. Bidang PengajaranPengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran (intelek) serta berkembangnya budi pekerti.Ki Hajar Dewantara di bidang pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran meliputi:1. Teori dasar-ajar2. Trisakti jiwa

Ki Hajar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya (Theo Riyanto, 2004). Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.

Integralitas pendidikan dikemukakan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang disebut Tripusat Pendidikan. Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia

Page 9: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand”.Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

Relasi antara pendidikan di keluarga, sekolah, dan masyarakat (Tripusat Pendidikan) di Indonesia hingga saat ini masih berkisar antara paradigma lama dan transisional. Hal demikian terindikasi dalam kondisi sebagai berikut: (1) Keluarga, sekolah, dan masyarakat masih memandang hasil belajar siswa lebih pada sisi kemampuan akademik dan pengetahuan, (2) Hubungan keluarga dan sekolah masih bersifat satu arah, hirarkis, dan birokratis, (3) Antara keluarga dan sekolah masih bersifat saling defensif, (4) Perbedaan kultural dan sosial masih kurang mendapatkan perhatian secara wajar, (5) Sekolah sering memandang masyarakat sebagai orang lain atau pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan.

Kemerdekaan Sebagai Tujuan PendidikanManusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Dalam kaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan sekolah dalam peningkatan mutu, Ki Hadjar Dewantoro memperingatkan: “Mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh nging ugo kuwat kuwoso amandiri pritangga”. (Merdeka itu artinya tidak hanya terlepas dari perintah, akan tetapi juga cakap kuat memerintah sendiri.(Majlis Luhur Taman Siswa, 2004). Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional.

Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan

Page 10: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa(Theo Riyanto, 2004). Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar

Page 11: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Jika dilihat dari apa yang menjadi misi Politik Etis dapat dikatakan mengalami kegagalan karena tujuannya tidak tercapai. Anak-anak didik sang penjajah yang sejatinya disiapkan mengisi birokrasi kolonial tidak terwujud, malah sebaliknya anak-anak didik (kaum terpelajar yang memelopori pergerakan kebangsaan) justru melawan kekuasaan Belanda. Perlawanan terhadap sistem pendidikan yang dinilai diskriminatif , tetap dilakukan oleh kaum pergerakan; dengan mengupayakan pendidikan rakyat dalam rangka membangkitkan kesadaran massa. Terdapat sebagian kecil dari mereka kemudian sadar dan membawa obor penerang pergerakan rakyat Indonesia. Mereka rela membuang kesempatan untuk hidup kaya dengan cara mengabdi kepada Belanda ini, dengan  rajin membentuk dan membangun berbagai organisasi-organisasi tani dan buruh sebagai wadah perlawanan. Melakukan pendidikan rakyat mengenai kondisi penjajahan dan juga membuat sekolah rakyat gratis untuk anak-anak Buruh dan Petani. Disinilah kosakata baru seperti Demokrasi, Sosialisme, Nasionalisme, dan Kemerdekaan mulai diperkenalkan dan disemaikan.

Bersatunya Kekuatan Bangssa : Sumpah PemudaPada perkembangan selanjutnya muncullah organisasi-organisasi pemuda kedaerahan  (seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lainnya) yang gerak langkahnya menjurus pada jalan politik, sehingga pada tahun 1928 mengumandangkan pernyataan  "Sumpah Pemuda": "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa – INDONESIA". Pada tahun 1928 Dr.Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro diasingkan ke Negeri Belanda, sejak itu Perhimpunan Indonesia yang semula adalah organisasi santai non politik, berubah menjadi organisasi politik yang tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Perhimpunan Indonesia mempunyai media yang namanya "Indonesia Merdeka".  Di samping itu Perhimpunan Indonesia tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, tapi sementara dari mereka juga berjuang melawan Fasisme Jerman di Negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia telah banyak menyumbangkan tokoh-tokohnya di dalam perjuangan mendirikan dan mempertahankan negara Republik Indonesia (Ali Sastroamidjojo, Sartono, Sunito, Sjahrir, Hatta, Abdulmadjid, Jusuf Muda Dalam, Setiadjid dan lain-lainnya).

Lalu tahun 1930-an Hatta dan Sjahrir ditangkap dan diasingkan. Setelah penangkapan dan pengasingan pemimpin pergerakan ini situasi politik agak mereda dan kekuasaan kolonial semakin represif dan konservatif. Pemerintah kolonial pada September 1932 memberlakukan Wilde Scholen Ordonatie. Praktis setelah itu hingga kedatangan fasisme jepang, pergerakan rakyat mengalami kelumpuhan dan para aktifis lebih banyak berjuang membangun kesadaran dan kekuatan rakyat lewat jalur bawah tanah (Underground), menghindari tindakan represif dari PID (Agen Intelijen belanda). Sikap pemerintah Hindia Belanda tersebut jelas bersandar pada kekuatan perlawanan rakyat yang banyak menggunakan sentimen agama. Bahkan kemudian bersamaan dengan penetrasi kapitalisme yang secara brutal pada zaman kolonial; ketika kaum borjuis transnasional mulai menguasai alat-alat produksi, mengubah struktur masyarakat, serta

Page 12: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

melakukan eksploitasi secara kejam; kontrol sosial yang dilakukan pemerintah makin mengakar dalam. Namun, kekuasaan kolonial yang represif itu tidak bertahan lama karena kekuasaan yang angker itu tidak berdaya alias bertekuk lutut ketika Jepang mengalahkan Belanda tahun 1942.

Pada perkembangan selanjutnya muncullah organisasi-organisasi pemuda kedaerahan  (seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lain-lainnya) yang gerak langkahnya menjurus pada jalan politik, sehingga pada tahun 1928 mengumandangkan pernyataan  "Sumpah Pemuda": "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa – INDONESIA". Pada tahun 1928 Dr.Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro diasingkan ke Negeri Belanda, sejak itu Perhimpunan Indonesia yang semula adalah organisasi santai non politik, berubah menjadi organisasi politik yang tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Perhimpunan Indonesia mempunyai media yang namanya "Indonesia Merdeka".  Di samping itu Perhimpunan Indonesia tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, tapi sementara dari mereka juga berjuang melawan Fasisme Jerman di Negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia telah banyak menyumbangkan tokoh-tokohnya di dalam perjuangan mendirikan dan mempertahankan negara Republik Indonesia (Ali Sastroamidjojo, Sartono, Sunito, Sjahrir, Hatta, Abdulmadjid, Jusuf Muda Dalam, Setiadjid dan lain-lainnya).

Lalu tahun 1930-an Hatta dan Sjahrir ditangkap dan diasingkan. Setelah penangkapan dan pengasingan pemimpin pergerakan ini situasi politik agak mereda dan kekuasaan kolonial semakin represif dan konservatif. Pemerintah kolonial pada September 1932 memberlakukan Wilde Scholen Ordonatie. Praktis setelah itu hingga kedatangan fasisme jepang, pergerakan rakyat mengalami kelumpuhan dan para aktifis lebih banyak berjuang membangun kesadaran dan kekuatan rakyat lewat jalur bawah tanah (Underground), menghindari tindakan represif dari PID (Agen Intelijen belanda). Sikap pemerintah Hindia Belanda tersebut jelas bersandar pada kekuatan perlawanan rakyat yang banyak menggunakan sentimen agama. Bahkan kemudian bersamaan dengan penetrasi kapitalisme yang secara brutal pada zaman kolonial; ketika kaum borjuis transnasional mulai menguasai alat-alat produksi, mengubah struktur masyarakat, serta melakukan eksploitasi secara kejam; kontrol sosial yang dilakukan pemerintah makin mengakar dalam. Namun, kekuasaan kolonial yang represif itu tidak bertahan lama karena kekuasaan yang angker itu tidak berdaya alias bertekuk lutut ketika Jepang mengalahkan Belanda tahun 1942.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Page 13: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

Page 14: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational

Page 15: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Page 16: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Page 17: Kebijakan Pendidikan Era Politik Etis

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education