kebijakan orde baru terhadap etnis tionghoa skripsi

114
i KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat MemperolehGelarSarjanaPendidikan Program StudiPendidikanSejarah Oleh: DAUD ADE NURCAHYO NIM : 111314013 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 25-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

i

KEBIJAKAN ORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA

SKRIPSI

DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyarat

MemperolehGelarSarjanaPendidikan

Program StudiPendidikanSejarah

Oleh:

DAUD ADE NURCAHYO

NIM : 111314013

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagaiungkapankasih, skripsiinisayapersembahkankepada:

1. Kedua orang tuasaya, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidanIbunda

Anastasia DasilahS.Pd.

2. Ketigasaudarasaya, Yohanes Ari Wibowo, Veronica RiaMerdekaS.Pddan

Lea PuriDaniatiS.Pd.

3. Sahabat- sahabatsaya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

v

MOTTO

Kedisiplinan, hargadiri, dankepedulianmerupakanawaldarikeberhasilan (George

Washington)

Sayamemangberpendidikan di Barat, tapisayatetaplah orang Jawa

(Sri Sultan HB IX)

Sabarituilmutingkattinggi, belajarnyatiaphari, latihanyatiapsaat,

ujiannyamendadak, sekolahnyaseumurhidup, hadiahnyakebahagiaan

(Daud Ade Nurcahyo)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

viii

ABSTRAK

KEBIJAKANORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA

Oleh:

Daud Ade Nurcahyo

Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga

permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru

terhadap etnis Tionghoa; (2) Pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa; (3) Dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan:

pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),

interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan sosiologi dan pendekatan politik dengan model penulisan yang

bersifat deskriptif analisis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) latar belakang munculnya

kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dirunut dari masa kolonial

hingga meletusnya peristiwa 1965, (2) Pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah Orde Baru yaitu mencangkup beberapa bidang, di antaranya dalam

bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan bidang politik yang sangat menyandera

etnis Tionghoa, (3) dampak kebijakan yang dikeluarkanOrde Baru dalam bidang

sosial budaya adalah masyarakat Tionghoa umumnya kehilangan identitasnya,

dampak dalam bidang ekonomi menjadikan etnis Tionghoa sebagai komunitas

yang ekslusif karena mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus dan dampak

dalam bidang politik masyarakat Tionghoa menjadi apolitis sehingga ketika

reformasi muncul menjadilkan babak baru peran perpolitikan etnis Tionghoa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

ix

ABSTRACT

NEW ORDER POLICY

AGAINST CHINESE ETHNIC

By:

Daud Ade Nurcahyo

Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely (1) The

background of theemergence of the New Order policies against the Chinese ethnic

a group in Indonesia; (2) The implementation of the New Order policies against

theChinese; (3) The impact of the New Order policies against the Chinese.

The research method used was factual historic usius steps as follows:

selection of topics, heuristics (the collection of sources), verification (the source

criticism), interpretation and historiography (the history writing). The approaches

used wasa sociological approach and political approach. Model was used to report

the study descriptive analysis writing.

The results of this study indicated that (1) the background of New Order

policies of the Chinese ethnic could be traced from the colonial period up to the

outbreak of the 1965events, (2) the implementation of the policies issued by the

New Order government covered several fields, including the social and cultural

fields, economic field and political field which highly disaduantagedChinese, (3)

the impact of the policies issued by the New Order in the socio-cultural field was

making the Chinese societylose their identity; the impact in the economy made

Chinese ethnic economically exclusive. As a resuet the Chinese community

becomeapolitical. Therefore with the reformation, the Chinese ethnicgroup appean

to gain new political role.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa”. Skripsi ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas

Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu

Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma

yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

3. Dr. Anton Haryono, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah

sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan,

saran serta masukan selama penyusunan skripsi.

4. HendraKurniawanM.Pd. selaku dosen pendampingyang telah sabar

mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran

serta masukan selama penyusunan skripsi.

5. Drs.B. Musidi.M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah

membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada

penulis selama proses studi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

xi

6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang

telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis

menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Kedua Orang tua penulisan, AyahandaZachiusPaidiNotoHadidan

Ibunda Anastasia DhasilahS.Pd yang telah banyak memberikan

dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat meyelesaikan

studi di Universitas Sanata Dharma.

8. Ketiga kakak penulis Yohanes Ari Wibowo, Veronica Ria Merdeka,

S.Pd. dan Lea Puri Daniati, S.Pd. yang telah memberikan dukungan

selama menyelesaikan skripsi.

9. Teman – teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011

yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam

menyelesaikan skripsi

10. Kekasih saya, Chatarina Adventi Rose Susanta yang telah memberikan

dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi

ini.

11. Temanteman brotherhood, Esti, Bayu, Ardi,IndraPoku, dan Inayang

telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan

skripsi ini.

12. Teman- teman geng TIPIS, Tea, Dimas, Wawan, Galang, dan Bernad

yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan

skripsi ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv

HALAMAN MOTTO ....................................................................................... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................... vii

ABSTRAK ......................................................................................................... viii

ABSTRACT ....................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ....................................................................................... x

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5

C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 5

D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 6

E. Tinjauan Kepustakaan ....................................................................... 6

F. Landasan Teori .................................................................................. 9

G. Metodologi Penelitian Dan Pendekatan ............................................ 18

H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 22

BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKANORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA .................................................... 23

A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru ................................ 23

B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965 ............................................... 25

C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa ...................................... 32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

xiv

D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ................................. 34

BAB III PELAKSANAAN KEBIJAKANORDE BARU TERHADAP ETNIS

TIONGHOA ...................................................................................... 39

A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998 ...................... 39

B. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 42

1. Instruksi Presiden No. 14/1967 .................................................. 42

2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978 . 46

3. Peraturan Menteri Perumahan No.55.2-360/1988 ...................... 49

C. Bidang Ekonomi ............................................................................... 50

D. Bidang Politik ................................................................................... 53

BAB IV DAMPAK DARI KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAPETNIS

TIONGHOA ........................................................................................ 56

A. Bidang Sosial dan Budaya ................................................................ 56

1. Masalah SBKRI .......................................................................... 56

2. Diskriminasi Agama Konghucu .................................................. 58

3. Masalah Kelenteng ...................................................................... 60

B. Bidang Ekonomi ............................................................................... 64

C. Bidang Politik ................................................................................... 68

BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 76

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa merupakan masalah yang

krusial. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas

kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang

berkembang di Indonesia. Citra Etnis Tionghoa akhirnya dinilai negatif di

kalangan pemerintahan Orde Baru yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.1

Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak

mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa

peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia, antara lain :

1. Instruksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan

keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.

2. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan

masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang

berbau Indonesia

3. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang

pelarangan Impor, penjualan, dan Penggunaan bahasa Cina.

4. Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988, yang melarang

penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa

Cina di depan umum.

5. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang

penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas,atau memperbarui

Kelenteng.

6. Keputusan Presiden No. 56/1996 bertanggal 9 juli 1996. Isinya,

semua peraturan yang mensyaratkan SBKRI dihapus.2

1 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint,1988. hlm.63

2 Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22 Agustus

2004.hlm.16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

2

Orde Baru memberikan perlakuan diskriminatif dan membatasi golongan

etnis Tionghoa. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Orde Baru melanjutkan

kebijakan pembaharuannya dan memunculkan konsep SARA (Suku, Agama, Ras,

Antar golongan) yang ditunjukkan kepada media agar tidak memberikan hal-hal

yang menyangkut dengan konsep tersebut. Dalam kenyataannya, proses

pembaruan yang diimplementasikan oleh pemerintah tidak menuju kerukunan

hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya yang berkaitan dengan

etnis Tionghoa. Malahan yang terjadi sebaliknya, selama Orde Baru terjadi

sentimen anti Tionghoa yang menimbulkan kekerasan seperti yang terjadi pada

akhir kekuasaan Soeharto sekitar bulan Mei 1998.3

Sikap anti Tionghoa sering dipertanyakan dengan asumsi bahwa sikap anti

Tionghoa merupakan produk dari proses interaksi sosial dengan etnis lainnya

dalam kehidupan bermasyarakat yang berlangsung secara alami. Dalam

masyarakat sentimen anti Tionghoa didorong oleh faktor kesenjangan ekonomi.

Latar belakang sejarah di bidang ekonomi warga etnis Tionghoa telah melahirkan

mitos kekuatan ekonomi mereka. Terdapat pemukul ratataan bahwa WNI etnis

Tionghoa adalah kaya dan memperoleh akses pada kekuasaan tertinggi dalam

pemerintahan nasional sebagaimana dahulu mereka mendapatkan perlindungan

dan keistimewaaan dari pemerintah kolonial.4 Pandangan yang lain justru

membawa sikap anti Tionghoa yang dihasilkan atau direkayasa melalui kebijakan

negara sebagai alat peredam yang dipakai oleh penguasa untuk mempertahankan

kekuasaannya. Prasangka anti Tionghoa begitu mendalam dibandingkan terhadap

3 Mely G Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia,Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan

Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1979. hlm. 206 4 Ririn Darini, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis, Jurnal,hlm 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

3

pendatang asing lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, diantaranya berasal dari

sudut pandang ekonomi.

Kebijakan ekonomi yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru

mengakibatkan kesengsaraan bagi etnis Tionghoa sendiri. Kesempatan etnis

Tionghoa untuk berwirausaha dibebaskan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru.

Hal tersebut memicu ketidakpuasan kaum pribumi terhadap pencapaian ekonomi

etnis Tionghoa yang mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial. Kondisi ini

dimanfaatkan oleh masa untuk melakukan kerusuhan dengan bentuk

pengerusakan. Bila dirunut jauh ke masa lalu sentimen yang menimpa etnis

Tionghoa berpangkal pada politik devide et impera atau politik pecah belah yang

pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial tidak

menginginkan etnis-etnis non-pribumi yang ada di negeri jajahannya, termasuk

etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah

segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan. Atas dasar warisan

kolonial tersebut terciptalah ketidaksengajaan di kalangan pribumi terhadap etnis

Tionghoa.

Sudah sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda politik “Pecah belah”

golongan antar etnis telah diberlakukan. Sikap kebangsaan etnis Tionghoa di

Indonesia semakin dikebiri oleh negara, bahkan oleh masyarakat pribumi. Etnis

Tionghoa sangat dibatasi untuk menunjukkan sikap mereka dalam memaknai ke

Indonesiaannya. Kebudayaan serta kebiasaan yang mereka miliki „terpangkas‟

dengan adanya aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

4

negara. Stereotip5 yang tumbuh dan berkembang terlebih sejak masa Orde Baru,

semakin menguatkan kelemahan etnis Tionghoa yang kemudian berlabelkan

„minoritas‟, bahkan di Indonesia sendiri ketika mereka telah berasimilasi dan

berakulturasi menjadi warga negara Indonesia.

Sebenarnya apakah yang salah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia

sehingga mitos-mitos dan prasangka terhadap Etnis Tionghoa tertanam lekat

dalam benak kita sampai sekarang. Berkembangnya sentimen anti “Tionghoa”

tidak terlepas dari kebijakan negara. Negara dalam hal ini pemerintah, merupakan

suatu institusi yang selalu membuat isu-isu rasial demi mempertahankan status

quo. Sejak zaman penjajahan Belanda, penguasa telah menerapkan kebijakan

segregasi6 sosial terhadap Etnis Tionghoa. Langsung atau tidak langsung negara

memelihara prasangka dan memanipulasinya untuk mempertahankan

kekuasaannya.

5 Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok

dimana orang tersebut dapat dikategorikan atau dapat juga berupa prasangka positif dan juga

negative, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. 6 Segregasi adalah pemisahan kelompok rasa atau etnis secara paksa. Segregasi merupakan bentuk

pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

5

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa?

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?

3. Bagaimana dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini secara umum diarahkan pada upaya menjawab berbagai

masalah yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa. Maka penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan Orde Baru terhadap

etnis Tionghoa.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan kebijakan Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa.

3. Menjelaskan dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

6

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini sebagai berikut :

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi

khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, skripsi ini

diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi

pembaca dan pemerhati sejarah.

2. Bagi Penulis

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya

ilmiah khususnya tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

3. Bagi Pembaca

Skripsi ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari

tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai kebijakan

Orde Baru terhadap etnis Tionghoa.

E. Tinjauan Pustaka

Dikarenakan Keterbatasan sumber primer, maka skripsi ini lebih banyak

menggunakan sumber-sumber Sekunder. Beberapa sumber pustaka yang utama

antara lain:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

7

1. Dilema Minoritas Tionghoa7

Buku karangan Leo Suryadinata tentang Minoritas Etnis Tionghoa ini

menjelaskan tiga hal pokok. Pertama, peresepsi tentang bangsa Indonesia dan

minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi

ekonomi orang Tionghoa serta analisis sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat

Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan tentang kebijakan pemerintah

Indonesia, dan persepsi orang Indonesia terhadap pengambilan kebijakan

Misalnya, peresepsi kaum nasionalis sekuler mengenai etnis Tionghoa pada masa

Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan

setelah kudeta tahun 1965.

Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan keadaan ekonomi dan

politik pada waktu itu, terwujud dalam kebijakan pemerintah Indonesia terhadap

Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijakan

Indonesia terhadap RRC.

2. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa8

Buku karangan Leo Suryadinata ini berisi tentang persoalan-persoalan etnis

Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni di Indonesia dan

Malaysia. Buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di

Indonesia. Pemerintah Indonesia baru menerapkan kebijakan integrasi nasional

yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertiannya menciptakan

identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial.

Kebijakan terhadap kelompok “minoritas asing” berbeda. Pemerintah

7 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: Temprint 1988

8 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES.1999

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

8

menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan

identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas „pribumi‟ Indonesia.

Dengan kata lain, kecinaan dianggap „asing‟ dan „berbahaya‟ bagi pembentukan

kebudayaan Indonesia. Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih

merupakan perubahan total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai

bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan,

dan peraturan pergantian nama.

3. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis9

Buku karangan Charles A. Coppel ini berisi tentang latar belakang sejarah

keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan

pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam

pemerintahan. Selain itu kehidupan etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan

Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi

pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa

Orde Baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembaruan dan

asimilasi secara konsekwen.

4. Tionghoa Dalam Cengkraman SBKR10

Buku karangan Wahyu Efendi ini berisi tentang permasalahan surat bukti

kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). SBKRI, sebagai sebuah dokumen

tidaklah istimewa, hanya berbentuk buku saku hampir menyerupai paspor.

Persoalannya tidaklah sederhana dan terbatas sebagai dokumen yang “diharuskan”

untuk dimiliki ketika seorang anak dari orang tua warga Negara Indonesia etnis

9 Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993

10 Wahyu Efendi, Tionghoa dalam cengkraman SBKRI, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

9

Tionghoa beranjak 18 tahun atau sudah menikah, biarpun orang tua atau kakek

nenek buyutnya sudah menjadi warga Negara Indonesia dan mempunyai bukti

kewarganaegaran Indonesia. Layaknya sebuah “ritual generasi” ketika anak sudah

menjadi orangtua, dia pun harus mengurus SBKRI anaknya, begitu seterusnya

terjadi dari generasi ke generasi.

5. Setelah Air Mata Kering “Masyarakat Tionghoa Pasca –Peristiwa Mei

1998”11

Buku ini merupakan hasil seminar “Setelah Air Mata Kering” Sebagaimana

jelas dari judul tersebut, sesudah Tragedi Mei berlalu 10 tahun, dan sesudah air

mata banyak orang disiksa. Sumbangan gagasan dalam buku ini dapat menambah

sedikit pemikiran tentang kelompok etnis Tionghoa di Indonesi, yang selama 10

tahun terakhir telah ikut mengalami “reformasi”. Dari buku ini tampak bahwa

kelompok etnis Tionghoa tidak tinggal diam, tetapi telah berpikir dan berbuat

banyak.

F. Landasan Teori

Skripsi ini berjudul Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa. Untuk

menjelaskan permasalahan dan ruang lingkup skripsi dibutuhkan beberapa teori

konsep sebagai berikut:

11

Wibowo I dan Thung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa

Mei 1998, Jakarta: Kompas, 2010

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

10

1. Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebijakan berasal dari

kata dasar bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu menggunakan akal budi. Kata

dasar bijak ini diberi imbuhan ke – an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian,

kemahiran.12

Kebijakan dalam arti sempit dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan

dari suatu organisasi atau institusi. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai suatu

arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dan

kesempatan yang diharapkan dapat mengatasi halangan tersebut dalam rangka

mencapai sebuah cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta tujuan

tertentu.13

Kebijakan di sini adalah arah tindakan yang direncanakan untuk

mencapai suatu sasaran.14

Kebijakan dapat juga dikatakan sebagai suatu kumpulan

keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam

usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mecapai tujuan-tujuan itu. Pada

prinsipnya pihak yang membuat kebijakan mempunyai kekuasaan untuk

melaksanakannya.15

Selanjutnya kebijakan selalu menyangkut keputusan dan

tindakan , dengan pengertian bahwa keputusan adalah unsur yang lebih penting.

Tindakan untuk mencapai sasaran dapat dihasilkan dari kebijakan, apabila

keputusan menunjukkan dengan jelas apa yang terkandung dari pikiran pembuat

kebijakan baik sebagai sasaran ataupun sebagai prosedur.16

12

Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994,

hlm 131. 13

Soenarko, Public Policy,Surabaya, Ailangga University Pres: 2000, hlm 32 14

Dhlan Nasution, Politik Internasional : Konsep dan Teori, Jakarta: Erlangga, 1989, hlm 9. 15

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982, hlm 12. 16

Ibid,hlm 10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

11

2. Orde Baru

Orde Baru adalah bangunan sistem politik kekuasaan yang tidak terlepas

dari sosok Soeharto yang berperan sebagai arsitek. Sepanjang sejarahnya Orde

Baru memiliki dua pola kekuasaan. Pola pertama terbentuk pada masa

konsolidasi awal Orde Baru. Pada masa ini Presiden belum muncul sebagai

kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi di dalam kekuatan Angkatan

Darat atau militer. Pola kedua segera terbentuk setelah Golongan Karya (Golkar)

memenangkan dua kali pemilu, sehingga penguasa Orde Baru memiliki legitimasi

politik yang konkrit dan kokoh. Pada pola kedua, Presiden perlahan namun pasti

mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri, dan akhirnya menjadi sentral

kekuasaan.17

Pada awal perjalanannya pemerintahan Orde Baru menunjukkan langgam

libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru

bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada

bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap

sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak

penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai

menampilkan politik otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan

jalannya pembangunan.18

Pada pertengahan 1970-an, Soeharto telah menjadi dalang nasional,

menggunakan para perwira militer yang setia untuk menghancurkan musuh-

musuhnya. Orde Baru sangat berhasil dalam membuat dan menyebarkan cerita

17

Saefulah Fatah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru:Masalah dan Masa Demokrasi

Terpimpin Konstitusional, Bandung: Rosdakarya, 2000. hlm 46. 18

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006, hlm 196.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

12

versi mereka bagi sebagian besar orang Indonesia tentang “kudeta” 30 September

dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Partai Komunis. Para wartawan,

cendikiawan, seniman, dan pejabat yang dipekerjakan oleh rezim diarahkan untuk

menghasilkan laporan dan kisah tentang kudeta sesuai dengan versi Soeharto.

Publikasi-publikasi yang ada membuktikan bahwa peristiwa itu adalah “Kudeta

PKI‟. 19

Intinya pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto berupaya menjaga

stabilitas politik dan sosial yang dilakukan secara keras sehingga dirasakan

sebagai pemerintahan yang posesif dan represif. Siapa yang berani mengkritik

Orde Baru dianggap musuh Panscasila atau pro-komunis dan G-30S, sehingga

harus disingkirkan dari kehidupan umum. Pada waktu itu, Soeharto sebagai

presiden berhasil menguasai semua lembaga pengawasan, termasuk MPR, DPR,

ABRI, Bepeka, BPKP, pengadilan, Pres, dan media masa lainnya. Pengawasan

hanya diperbolehkan terhadap pihak-pihak yang di luar lingkaran kekuasaan

Presiden termasuk yang bertentangan dengan kepentingannya. Semua itu terbuka

waktu negara Indonesia pada pertengahan tahun 1997 diserang oleh krisis moneter

dan krisis ekonomi yang menggetarkan seluruh masyarakat.20

Dari paparan di atas dapatlah ditegaskan, bagaimana politik atau kebijakan-

kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang mengatasnamakan Orde Baru

dijalankan. Pada dasarnya politik yang dilakukan Soeharto tampak untuk

melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih untuk stabilitas nasional dan agar

masyarakat dapat mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, maka

19

Ibid., hlm 262. 20

Selo Soemarjan, Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi, Jakarta: Obor, 2011, hlm 639.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

13

siapa pun yang menentang kebijakan Soeharto, termasuk organisasi manapun,

dianggap sebagai pembangkang negara dan berbahaya bagi negara. Di sini tampak

tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mengontrol kebijakan Soeharto. Untuk itu

dapat dianggap bahwa dalam menjalankan pemerintahannya, Soeharto layaknya

raja yang diktator.

3. Etnis Tionghoa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etnis berarti kelompok sosial

dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan

tertentu karena keturunan adat, agama, bahasa dan sebagainya. Narrol,

menyatakan bahwa yang disebut dengan etnis/kelompok etnis adalah sebagai

berikut:

1. Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa

kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain

dan dapat diterima oleh kelompok lain, dan dapat dibedakan dari kelomok

populasi lain.

Lain halnya dengan Narrol, Barth memberikan definisi etnis, yang

menujukkan pada suatu kelompok tertentu dimana karena kesamaan ras, agama,

asal usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai

budayannya.21

Barker juga memberikan definisi etnis sebagai sebuah konsep

21

Barth, Kelompok Etnis dan Batasannya, Jakarta: UI Press, 1988, hlm 9-20.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

14

budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan

praktek budaya. Terbentuknya “suku bangsa” bersandar pada penanda budaya

yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis,

sosial dan politis tertentu yang mendorong rasa memiliki, yang paling tidak

sebagaian didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama.22

Sedangkan

dalam penelitian ini etnis merupakan sebuah komunitas atau kelompok yang

memiliki kesamaan asal, yang kemudian terpusat pada kesamaan norma, nilai,

kepercayaan, simbol, dan praktek budaya.

Sebelum membahas mengenai kata Tionghoa, haruslah membahas dahulu

kata Cina yang merupakan sumber dari Tionghoa. Cina adalah sebuah negara

yang terletak di sebelah barat Korea, sebelah utara Vietnam dan sebelah selatan

Rusia. Asal mula penggunaan kata Cina diperkirakan terjadi pada Dinasti Chin ,

dimana kaisar pada saat itu adalah Chin Si Ong, seorang kaisar yang berhasil

membangun tembok besar. Pada masa itu, orang di daratan China seringkali

mengganti istilah kebangsaan mereka, ketika Dinasti Tang berkuasa, mereka

menyebut diri mereka orang Tang (Tang-jin), ketika Dinasti Han berkuasa,

mereka menyebut diri mereka orang Han (Han-jin). Demikian pula ketika bangsa

Chin berkuasa mereka menyebut diri mereka bangsa Chin. Dalam dialek Hok-

kian, ucapan Chin seringkali ada ujungnya, dan biasanya diucapkan dengan

akhiran “a” atau”ah”, yang oleh orang-orang ini kemudian dihafalkan menjadi

“Chin-ah” dan akhirnya lama-lama menjadi kata Cina.23

22

Baker, Cultural Studies,Yogyakarta: Kresai Wacana, 2005, hlm 201. 23

Mahar,Chellen,dkk,”Posisi Teoritis Dasar Dalam :Richard Harker Cheleen Mahar dan Cris

Wilkes,Yogyakarta: Jalansutra, 2009, hlm 32

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

15

Kata Tionghoa atau tionghwa itu sendiri sebenarnya merupakan istilah

yang dibuat oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata

Zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua berasal dari kata Zhonggua dan

sudah ditemukan pada naskah sejarah klasik dari abad 6 SM, penyebutan untuk

kekaisaran Dinasti Zhou. Pada masa itu, Dinasti Zhou merasa sebagai pusat

kebudayaan, dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. Kadang istilah Zhongguo

dipakai juga untuk menamai ibu kota pusat kekaisaran yang membedakannya

dengan penamaan kota di bawah kekuasaan pangeran yang berinduk pada kaisar.

Kemudian istilah Zhongguo juga dipakai sebagai singkatan penamaan dari

republik yang didirikan Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1911, yakni Zhonghua

Minguo. Selanjutnya hal yang sama juga terjadi pada tahun 1949, ketika

diproklamirkannya Zhonghua Renmin Gongheguo.

Istilah ini kemudian menjadi populer setelah Dr. Sun Yat Sen pada tahun

1911 memproklamirkan berdirinya republik setelah menumbangkan kekaisaran

Manchu (Ching) Da Qing Di Guo. Negara baru tersebut kemudian diberi nama

Chung Hwa Ming Guo (Zhonghua Minguo) yang memiliki arti harfiah Negara

rakyat Chungwa atau Republik Chunghwa, yang kemudian disingkat menjadi

Chung Guo dalam dialek Hokkian. Sedangkan warga masyarakatnya disebut

Chunghwa atau dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Sebutan Chungguo dan Chunghwa menjadi popular sebab revolusi

perubahan dari kekaisaran menjadi negara demokratis memberikan sebuah

harapan baru adanya perbaikan pada masyarakat umum. Tersirat juga di sana

persaingan primordial bahwa etnis Han terlepas dari dominasi etnis Manchu. Hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

16

ini sangat jelas terlihat ketika mereka yang merasa memiliki orientasi baru segera

memotong rambut panjang, suatu adat yang dipaksakan oleh pemerintah Manchu

ketika mereka pada periode awal berhasil menguasai kekaisaran Tiongkok.

Dengan adanya istilah baru ini tersirat semangat membangun kembali harga diri

bangsa dan negara yang telah lama terpuruk.24

Wacana Cung Hwa atau Tionghoa pertama kalinya dikemukakan di muka

umum pada Tahun 1900-an di Indonesia, dengan didirikannya THHK(Tiong Hoa

Hwee Koan/”Tjung Hwa Hwei Kwan”/Zhonghua Huiguan). Pada masa itu,etnis

Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) disebut dengan “Orang Tjin” oleh

masyarakat.

Istilah Tionghoa dan kemudian Tiongkok mulai popoler dengan bangkitnya

nasionalisme kalangan Tionghoa di Hindia Belanda pada dekade ke dua abad ke -

20. Penggunaan istilah Tionghoa sangat erat kemudian dengan penggunaan istilah

Zhonghua di daratan Tiongkok, di mana Zhonghua dalam dialek Hokkian

dilafalkan sebagai Tionghoa di Hindia Belanda. Melalui THHK dan sekolah-

sekolahnya dan juga pres, istilah Tionghoa kemudian disebarluaskan ke seluruh

lapisan masyarakat. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat mulai mengenal

istilah Tionghoa. Istilah lama Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang

berkaitan dengan status rendah dan menjadi target gerakan nasionalis Tionghoa.

Dalam konteks tersebut, orang Tionghoa di Hindia Belanda akan merasa dihina

apabila dipanggil dengan sebutan Tjina dan mereka ingin disebut dengan

Tionghoa saja.

24

Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoa-Tionghoa-chinachinese-

dan-cina)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

17

Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen,

dimana istilah Tjina diganti dengan istilah Tionghoa. Tahun yang sama Gubernur

Jendral Hindia Belanda juga memakai istilah Tionghoa sebagai istilah resmi.

Istilah Tionghoa dan Tiongkok juga mulai masuk pada pres pribumi. Pres

peranakan Tionghoa juga memakai istilah “Indonesier” tidak lagi memakai

sebutan “Boemiputra” untuk menyebut orang pribumi, sebutan “Hindia Belanda”

dan “Hindia Oland” diganti dengan sebutan Indonesia. Sebutan Indonesia mulai

dipergunakan pres peranakan pada tahun 1927 tepatnya 3 Febuari 1927 pada

Koran Sin Po, akan tetapi istilah ini baru popular pada tahun 1930-an.

Pada perkembangan berikutnya, zaman penjajahan Jepang hingga Indonesia

merdeka, istilah Tionghoa kemudian menjadi sebutan baku yang dipergunakan

tidak saja bagi kalangan Tionghoa sendiri tetapi juga kalangan pres.25

Jadi yang dimaksud dengan etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam

sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan

praktek budaya yang berasal dari Cina yang telah lama terintegrasi ke dalam

bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian integral dari negara Indonesia.

25

Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 100-106.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

18

G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan

1. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah

melalui tahap-tahap berikut:

a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik atau mengumpulkan sumber sejarah adalah tahap lanjutan setelah

tema dipilih. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung

bukti baik lisan maupun tertulis. Menulis sejarah tidak mungkin dapat dilakukan

tanpa tersedianya sumber sejarah.26

Dalam pengumpulan sumber ini dilakukan

beberapa teknik pengumpulan sumber, yaitu:

1. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan untuk memperoleh data dengan cara

mencari dan membaca buku- buku dan literatur yang relevan dengan tema

penelitian.

2. Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan keterangan dan informasi tentang

kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Wawancara dilakukan terhadap

informan, agar yang akan diwawancari mau menjawab dengan lancar

pertanyaan- pertanyaan yang diajukan maka harus dikembangkan suasana

yang harmonis kekeluargaan. Adapun pelaksanaan dari wawancara ini

menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin yang dimaksud disini adalah

bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan bersifat terbuka dan

26

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010,hlm. 30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

19

terarah. Sebelum wawancara dilakukan terlebih dahulu menentukan informan

yang akan diwawancarai. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya penulis

dapat menggali dan memperoleh informasi yang sesungguhnya dan informasi

yang semu. Dalam penelitian ini yang dijadikan informan adalah tokoh tokoh

etnis Tionghoa yang hidup pada era Orde Baru

b. Kritik sumber (Verifikasi)

Kritik sumber adalah upaya mendapatkan otentitas dan kredibilitas sumber.

Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti

metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.27

Dalam usaha mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan

untuk membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar atau palsu, apa yang

mungkin dan apa yang meragukan atau mustahil. Supaya memperoleh sumber

yang benar, sejarawan harus menggabungkan antara pengetahuan, sikap ragu

(skeptis), percaya begitu saja, menggunakan akal sehat, dan melakukan tebakan

inteligen. Jadi, fungsi dari kritik sumber adalah supaya karya sejarah merupakan

produk dari suatu proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil

dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi sejarawan.28

Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik

ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan

(akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu

kritik eksternal (otentitas dan integritas) dan kritik internal.

27

Ibid., hlm 35 28

Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm103.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

20

c. Interprestasi

Fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterprestasikan untuk menghasilkan

cerita sejarah. Sebenarnya interprestasi atau tafsir sangat individual, artinya siapa

saja dapat menafsirkan. Walapun datanya sama, tetapi interprestasinya bisa

berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Perbedaan interprestasi terjadi

karena perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, Jadi interpretasi

sangat subjektif, tergantung masing-masing pribadi.29

Dalam melakukan interpretasi, sejarawan tetap berada di bawah bimbingan

metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi

mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya supaya pembaca dapat

mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya.

Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sintesis menganalisis sama

dengan menguraikan. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik

secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Sedangkan sintesis berlawanan

dengan analisis. Sintesis sama dengan penyatuan. Data-data yang dikelompokkan

menjadi satu kemudian disimpulkan.30

d. Penulisan (Historiografi)

Tahap penulisan mencangkup interprestasi sejarah, eksplanasi sejarah,

sampai presentasi atau pemeparan sejarah sebenarnya. Ketika sejarawan

memasuki tahap menulis, ia harus menggunakan pikiran-pikiran kritis dan

analisisnya karena ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil

29

Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, hlm 55. 30

Ibid., hlm 56.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

21

penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut

historiografi (penulisan sejarah).31

1. Pendekatan Penelitian

Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang

lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain maka penelitian

sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari

pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian

tertentu. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan,yaitu

pendekatan sosial dan pendekatan politik.

a. Pendekatan sosial

Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang berorientasi pada peristiwa

sosial dengan segala implikasinya. Pendekatan sosial ini digunakan untuk

melihat teori- teori sosial yang sesuai dengan konsep kebijakan Orde Baru

terhadap etnis Tionghoa. Pendekatan sosial ini juga digunakan untuk

melihat masalah- masalah sosial yang melatarbelakangi timbulnya kebijakan

Orde baru terhadap etnis Tionghoa

b. Pendekatan politik

Dalam sejarah kebijakan pemerintah yang berdampak ke etnis Tionghoa,

pendekatan politik disini artinya suatu pendekatan yang muncul berupa

kebijakan politik untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru.

31

Helius Sjamsuddin,op.cit.,hlm 103-104

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

22

H. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul “Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis

Tionghoa”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I. Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka,

landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika

penulisan.

Bab II Menyajikan uraian tentang latar belakang kebijakan Orde Baru terhadap

Etnis Tionghoa

Bab III Menyajikan uraian tentang pelaksanan dari kebijakan Orde Baru terhadap

Etnis Tionghoa.

Bab IV Menyajikan uraian tentang dampak dari kebijakan Orde Baru terhadap

Etnis Tionghoa

Bab V Menyajikan kesimpulan yang berisi tentang jawaban-jawaban

permasalah yang ada dalam bab II, III, dan IV

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

23

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA KEBIJAKAN ORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Perlakuan Etnis Tionghoa Sebelum Orde Baru

Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada

tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah

kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi

sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrasi. Namun

warga Tionghoa dibolehkan dalam bidang politik sehingga terdapat sebagian

warga Tionghoa yang menduduki jabatan sebagai menteri, misalnya Lie Kiat

Teng sebagai Menteri Kesehatan dan Oey Tjoe Tat sebagai menteri pada Kabinet

100 menteri.

Pemerintah Soekarno juga membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan

kebudayaan mereka dan menjalankan agama atau keyakinan mereka. Namun

demikian segregasi tetap terjadi karena dalam kenyataannya tidak ada interaksi

yang efektif antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Akibatnya

beberapa konflik serius terjadi. Masalah utama adalah kesenjangan kemakmuran

Beberapa tokoh nasionalis di bawah Mr. Asaat pernah memperkenalkan

sebuah program ekonomi yang disebut program Benteng, yang intinya ingin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

24

meningkatkan partisipasi ekonomi warga pribumi dalam ekonomi nasional.32

Sistem ini diberlakukan untuk melindungi para importir nasional agar dapat

bersaing dengan orang asing yang masih beroperasi di Indonesia. Tujuan dari

sistem Benteng adalah agar terbentuk kelompok wiraswasta Indonesia yang

mampu menggerakkan perekonomian nasional. Program ini memberikan hak

kepada pengusaha pribumi untuk mendapatkan lisensi dan kredit impor.

Sebenarnya pemerintahan Soekarno ini ingin meminimalisir kebijakan ekonomi

politik sebagai pemicu segregasi sosial yang akan mengarah pada munculnya

sentimen anti Tionghoa. Tetapi target ini tidak tercapai dan hanya dimanfaatkan

oleh sekelompok elit politik untuk menumpuk kekayaan pribadi atau menghimpun

dana-dana politik, bahkan memelihara sebuah kerja sama Ali-Baba”. Dalam

kerjasama model ini pihak Indonesia asli yang tidak berpengalaman menjual izin

dan lisensi kepada pedagang warga etnis Tionghoa. Dengan cara ini orang

Tionghoa tetap mampu melanjutkan usahanya dan mendapatkan keuntungan,

sementara mitra Indonesia asli hampir tidak mendapatkan pengalaman bisnis yang

diperlukan bagi pengembangan ekonomi nasional.

Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga mengeluarkan peraturan

yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP No.10/1959 yang isinya

melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang melahirkan

sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak ekonomi

etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang sampai tingkat kabupaten

dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi di desa-desa.

32

Justian Suhandinata, WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan politik Indonesia,

Jakarta: Gramedia, 2009, hlm.312.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

25

Implikasinya, orang - orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa untuk

meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan ditunjukkan

kepada WNA Cina, dalam praktiknya pembedaan dengan mereka yang peranakan

tidak secara jelas diberlakukan. Selama tahun 1959-1960 kampanye pengusiran

berlangsung dengan dukungan pihak TNI-AD. Sebanyak 136.000 orang Tionghoa

meninggalkan Indonesia, sementara 100.000 orang di antaranya pulang ke tanah

leluhur Tiongkok.33

Kerusuhan anti Tionghoa tahun 1966 terjadi di berbagai daerah terutama di

Jawa Barat yaitu di Cirebon, Bandung, Sumedang, Bogor, Cipayung,

Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi. Selain itu kerusuhan juga terjadi di Solo,

Surabaya, Malang, dan Medan. Kerusuhan terjadi akibat kesenjangan

kemakmuran, etnis Tionghoa terkena imbas dari situasi politik-ekonomi saat itu,

yaitu inflasi yang melonjak tinggi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok,

frustasi terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Soekarno yang berantakan.

Rasa frustasi dengan mudah dapat diarahkan dengan mencari target kemarahan

yang termanifestasikan dalam kerusuhan anti Tionghoa, dan ini adalah bagian dari

pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara kekuatan kiri dengan

kanan.34

B. Etnis Tionghoa Pasca Peristiwa 1965

Setelah peristiwa 30 September 1965, banyak timbul konflik-konflik politik

dan sosial di Indonesia. Konflik yang timbul merupakan usaha yang dilakukan

33

J.A.C.Mackie,”Anti Chinese Outbreak in Indonesia1959-1968”,dalam The Chinese in

Indonesia:Five Essays, Melbourne: Thomas Nelson, 1976, hlm.82-85. 34

Ririn Darini, “ Kebijakan Negara Dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis”, Jurnal hlm 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

26

oleh TNI AD untuk terus menekan kepemimpinan Soekarno, setelah peristiwa 30

September 1965. TNI AD menggunakan kelompok mahasiswa untuk melakukan

hal tersebut, dengan mengizinkan demonstrasi-demontrasi yang mengakibatkan

semakin panasnya suhu perpolitikan Indonesia. Dengan kondisi perpolitikan yang

semakin memanas dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan

Soekarno, terhitung semenjak tanggal 22 Febuari 1967, Soekarno mengumumkan

pengunduran dirinya sebagai Presiden.35

Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa

30 September 1965, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat.

Pembunuhan masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada

masyarakat pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwa-

peristiwa tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang

Tionghoa lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai

bagian dari pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orang-

orang Indonesia yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang

menimpa etnis Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta

milik, seperti perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.36

Setelah peristiwa 30 September 1965, demonstrasi anti-Tionghoa pertama

kali terjadi di Makassar, pada tanggal 10 November 1965. Dalam aksi ini

mahasiswa dan pemuda anggota HMI dan Ansor berdemonstrasi di konsulat

Republik Rakyat Cina (RRC), kemudian aksi berlanjut ke pertokoan dan

pemukinan etnis Tionghoa. Para demonstran membakar mobil dan menjarah

35

Tim Penulis, Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Jakarta: Departemen Komunikasi dan

informatika, 2005, hlm,139. 36

Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hlm.124.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

27

pertokoan serta rumah milik orang Tionghoa. Demonstrasi anti-Tionghoa

berikutnya terjadi di Medan, pada 10 Desember 1965. Dibandingkan dengan

peristiwa yang terjadi di Makasar, peristiwa yang terjadi di Medan lebih brutal

dan menyebabkan korban jiwa di kalangan etnis Tionghoa. Hal ini disebabkan

tembakan yang ditujukan kepada para demonstran di Konsulat RRC, yang

mengakibatkan masa marah dan menikam orang-oang Tionghoa yang mereka

temui di jalan. 37

Munculnya prasangka di kalangan pribumi terhadap etnis Tionghoa

bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya

prasangka ini seperti aktivitas Baperki38

suatu organisasi etnis Tionghoa yang

ideologinya condong ke arah komunis. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya

kegiatan anti Tionghoa, karena tuduhan-tuduhan yang berkembang di masyarakat

bahwa Baperki merupakan antek PKI dan Republik Rakyat Cina (RRC). Baperki

sendiri dianggap sebagai organisasi yang mewakili kepentingan Tionghoa di

Indonesia. Selain itu, dalam susunan Dewan Revolusi terdapat nama Siauw Giok

Tjhan. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa

yang diwakili oleh Baperki dalam kegiatan politiknya, merupakan pendukung

paham komunis dan peristiwa 30 September 1965.

Anggapan tersebut muncul karena tindakan - tindakan yang dilakukan

Baperki pasca peristiwa 30 September 1965, yang mengutuk gerakan tersebut

37

Ibid,hlm.128 38

Pada tahun 1954 organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan

Indonesia (Baperki) didirikan oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa. Masalah yang dihadapi

para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan pada masa itu bukan lagi identitas ke-

Tionghoa-an yang mereka hadapi adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang. Baperki

berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam

mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

28

atapun mengeluarkan pernyataan duka cita atas meninggalnya para Jendral.

Anggapan ini diperkuat dengan dugaan yang belum terbukti, bahwa baperki

merupakan penyandang dana bagi PKI. Selain itu, ketidaksukaan masyarakat

terhadap etnis Tionghoa semakin besar karena adanya provokasi yang dilakukan

oleh RRC melalui siaran radio Peking, terhadap revolusi Indonesia dan sikap

mendukung gerakan 30 September yang ditunjukkan.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris, untuk mengalihkan

perhatian masyarakat Indonesia dari kegiatan anti Imperialisme Amerika Inggris.

Kedua negara tersebut melaksanakan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak

lagi mengarah kepada RRC yang dianggap sebagai musuh rakyat Indonesia yang

sebenarnya. Oleh sebab itu bisa dikatakan masa-masa setelah Peristiwa 30

September 1965/PKI, merupakan masa genting bagi etnis Tionghoa Indonesia,

akibat prasangka-prasangka masyarakat terhadap etnis ini.

Pada 15 April 1966, sebanyak 15.000 Tionghoa Indonesia berkumpul di

Lapangan Banteng, Jakarta, untuk mendengar sambutan pidato-pidato dan

sambutan tertulis Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang menyerukan kepada

etnis Tionghoa di Indonesia untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada

Indonesia. Senada dengan aksi demonstrasi di Medan, dalam rapat umum ini juga

mengutuk tindakan RRC yang mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan

menuntut kepada pemerintahan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan

RRC. Para demonstran juga menuntut untuk memulangkan orang Tionghoa asing

kembali ke Tiongkok, selain menuntut ditutupnya sekolah-sekolah Cina. Selain

itu 50.000 Tionghoa yang berkumpul di Lapangan Banteng, juga menyatakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

29

kesetiannya kepada Negara Republik Indonesia.39

Dalam aksi ini, demonstran

juga bergerak ke arah kedutaan besar Cina, merusak pintu gerbang,

menghancurkan peralatan kantor, dan melukai beberapa orang staf.

Menanggapi aksi demonstran yang dilakukan oleh orang Tionghoa

Indonesia yang menghasilkan pernyataan kesetiaan kepada Indonesia, pers

Indonesia menanggapinya dengan positif. Akan tetapi, menurut pers Indonesia,

kesetiaan tersebut akan menjadi tidak ada artinya jika mereka masih

mempertahankan keeksklusifan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab

itu diharapkan orang Tionghoa Indonesia, merubah cara hidup mereka yang

cenderung eksklusif untuk menghilangkan prasangka yang berkembang di

masyarakat.40

Aksi-aksi anti Tionghoa terus berlanjut, dan mengarah kepada masyarakat

pribumi untuk mengusir orang Tionghoa berkewarganegaraan Cina. Tuntutan

tersebut merupakan reaksi dari perdebatan antara pemerintah Indonesia dan

pemerintah Cina. Perdebatan berisi tuntutan pemerintah RRC kepada pemerintah

RI untuk menyediaan kapal bagi Tionghoa yang ingin kembali ke Cina. Hal ini

dikarenakan pemerintah Indonesia dinilai gagal menjaga kepentingan orang

Tionghoa asing di Indonesia. Jawaban terhadap tuntutan ini ialah pada prinsipnya

orang-orang Tionghoa asing bebas untuk pergi ke Tiongkok. Pemerintah RI juga

menolak untuk menanggung seluruh biaya pemulangan orang Tionghoa asing

39

Setiono Benny G, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2005, hlm.958. 40

Coppel, op., cit.,hlm.17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

30

kembali ke negaranya.41

Akhirnya permasalahan terpecahkan dengan pengiriman

kapal Kuang Hua oleh pemerintah RRC, pada akhir September 1966.

Di Aceh, Iskandar Muda Brigjen Iskah Djuarsa mengumumkan ke seluruh

orang Tionghoa berkewarganegaraan asing untuk segera meninggalkan Aceh,

sebelum tanggal 17 Agustus 1966. Pengumuman tersebut disampaikan pada 8 Mei

1966. Hal tersebut mengakibatkan 15. 000 orang Tionghoa meninggalkan tempat

tinggalnya, menuju ke Medan. Tuntutan untuk memulangkan orang Tionghoa

berkewarganegaraan Cina, terus berkembang hingga daerah-daerah lainnya di

Indonesia. Di Yogyakarta, KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)

menuntut kepada kepala daerah istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam, untuk

mengusir orang Tionghoa asing. Di Banjarmasin pemerintah telah memutuskan

untuk segera mengambil langkah-langkah dalam pemulangan orang Tionghoa

asing. Pemerintah daerah juga mengambil tindakan pengawasan terhadap

kegiatan mereka, sebelum kembali ke negeri asalnya.

Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, Angkatan Darat RI menyelenggarakan

suatu seminar bertempat di Bandung. Tujuan seminar adalah merumuskan

kembali doktrin Angkatan Darat dengan mengingat perubahan-perubahan politik

dan program Angkatan Darat karena perubahan politik yang terjadi semenjak

diadakannya Seminar Angkatan Darat I, Pada April 1965.42

Meskipun bertemakan

41

Ibid.,hlm.139. 42

Coppel,op. cit.,hlm. 171. Dalam seminar tersebut hadir pula para ekonom UI seperti Dr.Widjaja

Nitisastro, Emil Salim, Subroto, dan Sadli Sarbini, yang membahas permasalahan ekonom di

Indonesia dan memberikan solusinya. Selain itu,hadir pula K.Sindhunata dan dr.Lie Tek Tjeng,

membahas mengenai permasalahan Tionghoa. Dalam pembahasan mengenai permasalah

Tionghoa Indonesia,Dr.Lie Tek Tjeng berpendapat harus ditarik garis jelas untuk memisahkan

antara etnis Tionghoa Indonesia dengan etnis Tionghoa asing. Hal ini dikarenakan kesulitan untuk

membedakan keduanya, menyebabkan peraturan pemerintah yang ditunjukkan kepada warga

negara asing, terkadang berimbas kepada warga negara Indoneisa keturunan Tionghoa dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

31

perumusan kembali dokrin Angkatan Darat, seminar tersebut justru menghasilkan

keputusan yang berbeda jauh dengan tema yang diangkat. Dalam seminar

tersebut, diputuskan untuk mempergunakan kembali kata Cina untuk Republik

Rakyat Cina dan warga negaranya. Keputusan mengenai hasil seminar ini sebagai

berikut:

“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian Tjina telah

lazim terdapat di mana - mana, baik di dalam negeri, maupun di luar

negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan

Warga Negara. Maka patut pula kami laporkan bahwa Seminar telah

memutuskan untuk kembali memakai penyebutan bagi Republik

Rakyat Tiongkok dan warga negara, dirubah menjadi Republik rakyat

Tjina dan warga negara Tjina. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan

secara historis dan sosiologis”

Hasil dari seminar tersebut, sebenarnya ditunjukkan kepada warga

negara Cina beserta negaranya, yang dianggap sebagai pendukung PKI serta

Gerakan 30 September, serta sikap bermusuhan yang ditunjukkan kepada

pemerintah Indonesia, terutama kepada AD.43

Akan tetapi, pada

perkembangannya sebutan ini juga dipergunakan untuk menyebut WNI keturunan

Tionghoa. Konotasi yang terkandung dalam penyebutan Cina kepada etnis

Tionghoa Indonesia, memiliki makna menghina dan merendahkan, suatu hal yang

tidak pernah diakui secara eksplisit selama ini.44

Hal ini pun diakui oleh Muchtar

Lubis seorang penulis terkenal dan mantan pemimpin redaksi Indonesia Raya,

melakukan aktiitasnya di Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun mereka sudah

berkewarganegaraan Indonesia,statusnya masih disamakan dengan warga negara asing. 43

Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm 34. 44

Tan,op cit. hlm 198. Penggunaan kata Cina kepada Tionghoa memiliki konotasi yang sama

dengan penyebutan inlander kepada masyarakat pribum, pada masa Hindia belanda. Inlander

memiliki arti anak pribumi setempat, dimana penyebutannya tidak memiliki konotasi negative,jika

digunakan untuk menyebut orang Belanda di Netherland. Akan tetapi, kata tersebut menjadi

negative saat pemerintah Hindia Belanda mempergunakannya untuk menyebut orang Indonesia

pada masa itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

32

yang mengatakan bahwa pemakaian istilah Cina mungkin sesuai untuk

menunjukkan kemarahan bangsa Indonesia kepada Peking.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penggunaan istilah ini tidak dapat

dibatasi pada warga negara RRT saja, akan tetapi juga akan berdampak pada

warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.45

Menurut Dr. Lie Tek Tjeng,

penggunaan kata Cina untuk menyebut orang Tionghoa berwarganegaraan Cina,

tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan penyebutan kata Cina juga akan ditujukan

kepada WNI keturunan Tionghoa. Hal tersebut menurutnya akan membahayakan

stabilitas ekonomi/politik Kabinet Ampera, yang merupakan syarat dari suksesnya

pembangunan Orde Baru.

C. Sikap Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

Pada era pemerintahan Soeharto, insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai

tempat meskipun tidak meluas secara serempak di banyak tempat. Kebijakan

rezim Orde Baru terhadap warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan

kebijakan negara sebelumnya. Rezim ini membungkam keanekaragaman

kelompok etnis, salah satunya etnis Tionghoa. Pembungkaman dilakukan karena

kelompok etnis dianggap sebagai ancaman politik yang dapat mengguncang

kekuasaan. Jika ada kelompok etnis yang menentang kekuasaan akan segera

ditindas. Meski berada dalam kontrol kekuasaan, kebijakan politik Orde Baru

terhadap satu kelompok etnis dengan lainnya tidak seragam, diperlukan berbeda-

beda sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

45

Leo Suryadinata,Negara dan…,op.cit.,hlm.109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

33

Pada awal masa pemerintahannya Orde Baru menjalin hubungan dengan

orang Tionghoa untuk kepentingan ekonomi. Bersama dengan konsolidasi

kekuasaan Orde Baru orang Tionghoa, terutama kalangan pemilik modal, merapat

ke kekuasaan dan memperoleh keuntungan ekonomi. Proteksi politik ini membuat

pengusaha Tionghoa memonopoli sektor ekonomi sampai akhirnya dapat

membangun imperium bisnis di Indonesia. Dari sinilah muncul Cukong, taipan,

dan konglomerat. Bukan rahasia lagi, dalam menjalankan bisnisnya cukong,

taipan, dan konglomerat bekerjasama dengan petinggi- petinggi militer yang saat

itu menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh.

Akibatnya orang Tionghoa mendominasi sektor ekonomi yang luar biasa

besar. Orang Tionghoa menjadi masyarakat apolitis dan menjauhkan diri dari

kehidupan sosial politik. Pada saat yang sama penguasa Orde Baru selalu

menempatkan orang Tionghoa menjadi kambing hitam dari setiap persoalan

politik. Dengan demikian jika terjadi gejolak politik, apalagi yang berkaitan

dengan masalah ekonomi, orang Tionghoa selalu menjadi target kemarahan

kalangan pribumi. Meskipun ditempatkan dalam posisi sosial sedemikian rupa,

orang Tionghoa menganggap kekuasaan tetap melindungi mereka.

Agar kekuasaan Orde Baru bertahan lama Soeharto memelihara konflik

yang ditujukan kepada etnis Tionghoa dengan pribumi yang menyangkut SARA.

Konflik sering terjadi di bidang ekonomi, etnis Tionghoa yang berada dalam

lingkup daerah memiliki andil dalam perdagangan. Perdagangan yang dilakukan

oleh etnis Tionghoa berupa perdagangan besar maupun kecil, grosir maupun

eceran. Kegiatan perdagangan tersebut antara lain, membuka toko mebel, toko

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

34

barang kebutuhan pokok, toko bahan bangunan dan jenis toko lainnya. Sikap anti

politik etnis Tionghoa yang dibentuk oleh rezim Orde Baru membuat etnis

Tionghoa menjadi semakin giat meningkatkan usaha di bidang ekonomi. Hal

inilah yang membuat kecemburuan bagi masyarakat pribumi, karena etnis

Tionghoa dianggap „lebih kaya‟ dibandingkan masyarakat pribumi. Interaksi yang

pada awalnya dilandasi kerja sama antara penjual yakni etnis Tionghoa dengan

masyarakat pribumi sebagai pembeli menjadi sebuah rasa curiga dan benci

terhadap etnis Tionghoa dan begitu sebaliknya.

D. Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, mengklaim bahwa seluruh

orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda merupakan warga negaranya. Selain

itu, Undang-undang Kebangsaan Ching tahun 1909, menyebutkan bahwa seluruh

orang Tionghoa, di mana pun mereka dilahirkan merupakan warga negara Cina.

Oleh karena itu, etnis Tionghoa pada masa tersebut memiliki dua

kewarganegaraan.

Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang

Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di

Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan

tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri

dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturut-

turut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

35

dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika

mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.46

Akan tetapi ,warga Indonesia

keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun

1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu

kewarganegaraan Cina dan Indonesia.

Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia

terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara

Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang – orang komunis merebut kekuasaan

di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh

pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan

di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik

regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga

yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena

presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat

berasimilasi.

Pada tanggal 22 April 1955, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan atau yang

dikenal dengan Perjanjian Sunario-Chou En Lai, ditandatangani. Perjanjian ini

kemudian dijadikan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, pada tanggal 27 Januari

1958.47

Undang –Undang No. 2 Tahun 1958 mensyaratkan bahwa penolakan

kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di

kedutan-kedutan atau di konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang

ada di luar negeri, untuk mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Setiap

46

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116 47

Titi Sumbung,”Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwikewarganegaraan”,Sinar

Harapan,26 Febuari,1969,hlm.5.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

36

orang yang memiliki kewarganegaraan ganda sebelum tanggal 20 Januari 1960,

harus menolak kewarganegaraan Cina atau Indonesia dalam jangka waktu yang

telah ditentukan, yaitu 20 Januari 1960-20 Januari 1962.48

Diberlakukannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan pro dan

kontra di kalangan partai - partai politik. PNI dan PKI yang mendukung

diberlakukannya undang-undang tersebut menilai, bahwa Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan merupakan cara yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan

kewarganegaraan ganda masyarakat Tionghoa. Partai oposisi yang menentang

berpendapat bahwa dengan berlakunya perjanjian tersebut, maka dikhawatirkan

akan semakin banyak orang asing yang menetap di Indonesia.

Sutan Mangkuto, salah satu anggota parlemen dari Masyumi berpendapat

bahwa, Tionghoa Indonesia mempunyai kecenderungan untuk melakukan

kegiatan yang ilegal. Oleh sebab itu, pengakuan etnis Tionghoa sebagai warga

negara Indonesia, dapat membahayakan bangsa Indonesia. Undang-undang

mengenai kewarganegaraan ini baru bisa dijalankan pada tanggal 20 Januari 1960,

setelah Soekarno menguasai keadaan pada waktu itu.49

Kondisi hubungan diplomasi yang semakin kritis dan adanya tuntutan dari

pemuda dan mahasiwa, maka melalui sidang 9 oktober 1967, pemerintah

Indonsia memutuskan untuk membekukan hubungan diplomatik dengan RRC.50

48

Isi dari Perjanjian Dwi Kewarganegaran: 1. Orang Tionghoa asing yang telah memilih

kewarganegaran Cina,sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut, tidak mempunyai hak untuk

memilih lagi; 2. Orang Tiongoa yang memiliki kewarganegaraan ganda,akan diberi waktu 2 tahun

untuk memilih. Jika ia bertindak pasif,maka ia menjadi warga negara RRC; 3. Anak-anak yang

akan memilih kewarganegaraan saat berusia 18 tahun, untuk sementara akan dianggap

berkewarganegaraan seperti ayahnya. Suryadinata,Dilema Minoritas…,op.cit,hlm.125 49

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.124-125. 50

Setiono,op.cit.,hlm 981

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

37

Hal ini kemudian menyebabkan pemerintah Indonesia memutuskan Perjanjian

Dwi Kewarganegaraan secara sepihak. Pemerintahan Soeharto memiliki

pandangan yang sama dengan partai oposisi di jaman Soekarno, saat mereka

menolak untuk pemberlakuan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan.

Pemerintah Soeharto menilai diberlakukannya Perjanjian Dwi

Kewarganegaraan memberikan kesempatan kepada anak-anak yang orang tuanya

memiliki kewarganegaraan Cina untuk menjadi warga negara Indonesia, sampai

anak-anak tersebut mencapai umur 18 tahun, tanpa penyaringan secara ketat dari

pemerintah. Selain itu pemerintah juga berpendapat diberlakukannya perjanjian

tersebut memberikan suatu perlakuan khusus kepada golongan tertentu dari

penduduk Indonesia yang tidak dinikmati oleh golongan lainnya. Hal tersebut

sudah tentu menyimpang dari asas kesamaan kedudukan di muka hukum.51

Pencabutan secara sepihak Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menimbulkan

permasalahan baru. Dalam artikel yang ditulis oleh Titi Sumbung secara

bersambung, pada tanggal 26 dan 27 Febuari 1969 di Koran Sinar Harapan,

dinyatakan bahwa dicabutnya Perjanjian Dwi Kewarganegaran menyebabkan

status kewarganegaran yang kabur. Hal ini dikarenakan bagi anak-anak dari

orang tua yang telah memilih kewarganegaraan Cina, diharuskan untuk memilih

kewarganegaraan apa yang ia pilih saat ia telah mencapai usia umur 18 tahun.

‟‟….kalau ia memilih kewarganegaraan RI ia harus melepaskan RRT,

demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan

diplomatik antar RI-RRT, melepaskan kewarganegaraan RRT sudah

tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih

51

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas….,op.cit.,hlm.129.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

38

kewarganegaraan RRT, praktis sudah tidak ada yang menampung

lagi”52

Dengan dihapuskannya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, maka setiap

anak dari orang tua yang berkewarganegaraan Cina, jika memilih

kewarganegaraan Indonesia harus melalui proses naturalisasi, berdasarkan

Undang – Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Undang-undang

tersebut juga menyebutkan bagi anak-anak yang orang tuanya telah memilih

kewarganegaran Indonesia, atau salah satu orang tuannya merupakan warga

negara Indonesia, maka anak-anak mereka tetap menjadi warga negara

Indonesia.53

52

Sumbung ,loc.cit 53

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas…,op.cit.,hlm.129.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

39

BAB III

PELAKSANAAN KEBIJAKAN ORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Dikeluarkannya Instruksi Presiden Tahun 1967-1998

Orde Baru memulai kekuasaannya setelah Soeharto menjadi presiden . Saat

itu dimulailah penerapan kebijakan yang melarang segala hal yang berbau

Tionghoa. Sebuah rezim pro-Barat yang kemudian membawa Indonesia menjadi

negara yang sangat diskriminatif pada etnis Tionghoa.54

Sejak peristiwa 30 september 1965, ada trauma yang mendalam di kalangan

warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan

bidang politik. Mereka bahkan enggan berbicara tentang hal-hal yang terjadi pada

waktu itu. Orang - orang keturunan Tionghoa distigmatisasikan sebagai kelompok

yang berkiblat (komunis) ke Tiongkok selama Orde Baru.55

Sejak awal berdirinya

rezim Soeharto, ada keyakinan umum bahwa keturunan Tionghoa tidak memiliki

sentimen kebangsaan. Orang-orang keturunan Tionghoa dicurigai telah

mendukung politik kaum kiri karena RRT adalah negara komunis. Terjadi

identifikasi yang esensialis dan umum antara etnis Tionghoa dan komunisme.

Stigma sebagai Tionghoa dan keadaan sebagai Tionghoa karena telah terlibat

dalam kudeta komunis 1965 dianggap menular dan menurun ke generasi

selanjutnya.

54

Nurani soyomukti,”Soekarno & cina”,Yogyakarta: Garasi,2002.hlm.304. 55

Chang - Yau hoon,Inentitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya,Politik dan media, Jakarta:

Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012, hlm.176.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

40

Pengakuan terhadap identitas kultural sebagai hak yang perlu dimiliki oleh

setiap kelompok etnis juga dirasakan oleh orang-orang keturunan Tionghoa di

Indonesia. Keberadaan mereka hingga sekarang masih menjadi persoalan. Orang-

orang keturunan Tionghoa belum diterima secara penuh sebagai bagian dari

anggota bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya istilah baku bagi

orang-orang keturunan Tionghoa yang telah menanggalkan akar-akar kultur

mereka dari negeri asal.56

Pengakuan terhadap identitas kultur (keturunan Tionghoa) merupakan salah

satu bagian dari „masalah Tionghoa‟ yang belum terselesaikan. Pada masyarakat

pribumi berkembang pandangan yang tidak menguntungkan terhadap keberadaan

orang-orang keturunan Tionghoa yang cenderung eksklusif dan mempertahankan

hubungan „kekerabatan‟ dengan negeri leluhurnya. Selain masih berkembangnya

stereotip negatif di kalangan pribumi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa,

kebijakan pemerintah yang tidak jelas dalam menangani persoalan berbasis kultur,

merupakan wujud nyata dari “masalah Tionghoa” yang belum terselesaikan.

Masalah Tionghoa di Indonesia sangat berkaitan dengan sikap dan

kebijakan pemerintah yang tidak cukup tegas dalam persoalan kewarganegaran

orang-orang keturunan Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan menjadi

salah arah, karena muncul pandangan bahwa loyalitas orang-orang keturunan

Tionghoa hanya dapat dicapai melalui pengingkaran terhadap cirri - ciri kultur

mereka. Dalam kenyataannya, keragaman adalah sebuah fakta kehidupan, dan

56

Turnomo Rahardja, Kebijakan Pemerintah Tentang Etnis Cina, dalam Dialogue, JIAKP: l2,

No.2, Mei 2005, hlm.784

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

41

kesatuan dalam keberagaman dapat dicapai tanpa harus melakukan

penyeragaman.

Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menaruh curiga atas hubungan –

hubungan yang dijalin oleh etnis Tionghoa dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Pemerintah Indonesia begitu bersemangat untuk menciptakan sebuah “bangsa

yang homogen” sehingga pemeritah mengambil kebijakan asimilasi terhadap

kelompok etnis Tionghoa. Penting untuk dicatat bahwa yang disebut “bangsa

homogen” disini ditegakkan atas model pribumi. Kelompok etnis Tionghoa

dipandang sebagai “nonpribumi” dan karena itu harus menanggalkan identitas

ketionghoaan mereka jika mereka ingin menjadi “orang Indonesia tulen”. Namun,

identitas pribumi Indonesia yang harus diikuti oleh kelompok etnis Tionghoa itu

tidak didefinisikan dengan jelas.

Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru didasarkan pada

semboyan Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Indonesia

mempunyai masyarakat yang beraneka ragam, bergabung bersama sebagai

kesatuan Indonesia seperti yang digambarkan dalam lambang “Binneka Tunggal

Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Makna semboyan Bhineka Tunggal Ika berarti

berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu, sebab meskipun secara keseluruhannya

memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya satu, satu bangsa dan negara Republik

Indonesia. Semantara semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa57

memiliki makna

57

Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini dianut dan dipercaya oleh Presiden Soeharto pada

waktu itu karena Presiden Soeharto sendiri adalah seorang militer. Semboyan Tan Hana dharma

Mangrwa juga diterapkan di biang militer, sesuai dengan maknanya yaitu tidak ada keragu-raguan,

tidak ada kebenaran yang bermuka dua serta senantiasa berpegang dan berlandasan pada

kebenaran yang satu, karena di dalam militer sendiri kesetiaan dan kepercayaan hanya ada satu

yaitu kepercayaan kepada pemimpin. Semboyan Tan Hana Dharma Mangrwa ini diterapkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

42

yaitu tidak ada kebenaran yang bermuka dua, sesungguhnya memiliki pengertian

agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandasan pada

kebenaran satu.58

Orang-orang keturunan Tionghoa diharapkan meleburkan kebudayaannya,

adat istiadat serta ciri-ciri lainnya ke dalam kebinekaan masyarakat Indonesia.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menghendaki kesatuan bangsa, termasuk juga

kesatuan antara minoritas dan mayoritas. Golongan minoritas tidak bisa hanya

menuju ke suatu masyarakat yang adil dan makmur, tetapi harus juga memenuhi

dan melaksanakan cita-cita negara Indonesia yaitu arah kesatuan. Menuju ke arah

kesatuan ini hanya dapat dicapai dengan jalan asimilasi, sehingga ekslusiisme dari

minoritas hancur, sehingga hubungan –hubungan antara minoritas dan mayoritas

dipererat dan menambah perkawinan –perkawinan campuran. Dengan demikian

dapat tercapailah asimilasi ekonomi, sosial, politik dan lain-lain.

B. Bidang Sosial dan Budaya

1. Instruksi Presiden No.14/1967

Salah satu peraturan berkaitan dengan asimilasi, yang pertama dikeluarkan

pada masa pemerintahan Orde Baru yaitu Instruksi Prsiden No.14/1967. Isi

Intruksi tersebut adalah:

“Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan

menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Tionghoa yang memiliki aspek

kepada orang-orang keturunan Tionghoa karena mereka memiliki kesetiaan yang mendua yaitu

kesetiaanya kepada Indonesia, dan juga kepada negerinya Tiongkok. Dengan diterapkannya

semboyan ini, maka diharapkan orang-orang keturunan Tionghoa hanya mempunyai kesetiaan

yang satu yaitu kesetiaan kepada negara Republik Indonesia. 58

Brigaspad,‟Bineka Tunggal Ika‟……

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

43

afinitas kultur pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan

secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.”

Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan

Instruksi Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat

istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua upacara

agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di

lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan

melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa. Termasuk kepercayaan,

tradisi, adat istiadat, dan agamanya, dan mendorong terjadinya asimilasi secara

total.

Keluarnya Instruksi tersebut yang menyatakan adat istiadat orang Tionghoa

dilarang dipertontonkan di depan umum, membuat keturunan Tionghoa tidak

bebas melestarikan budaya leluhurnya di Indonesia. Tidak hanya itu, pelestarian

budaya leluhur orang-orang keturunan Tionghoa dikhawatirkan oleh pemerintah

akan menggangu proses program asimilasi yang direncanakan. Kebijakan

asimilasi mengakibatkan pengikisan bahasa serta kebudayaan Tionghoa.

Organisasi dibubarkan dan sekolah Tionghoa ditutup. Hal itu sejalan dengan

kebijakan asimilasi ini. Kebijakan asimilasi di Indonesia merupakan kebijakan

yang paling radikal, sebab kebijakan tersebut telah menghilangkan tiga pilar yang

menyangga keberadaan masyarakat dan identitas kultur orang – orang keturunan

Tionghoa, yaitu sekolah, media masa, dan asosiasi-asosiasi orang keturunan

Tionghoa.59

59

Rahardja T, Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam Komunikasi antara etnis,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2005.hlm.787

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

44

Selama 11 tahun sesudah Soeharto memegang kekuasaan, rezim yang baru

menyambut baik agama Konghucu. Pemimpin - pemimpin mereka menjalin

hubungan erat dengan militer. Mereka juga didukung oleh partai pemerintah

Golkar, pada pemilihan 1977. Tak lama kemudian, rezim Soeharto merasa cukup

kokoh sehingga tidak memerlukan dukungan kelompok penganut agama

Konghucu. Lagi pula para jendral merasa bahwa agama Konghucu adalah

penghambat bagi asimilasi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Sejak

tahun 1978, pemerintah mulai menjaga jarak terhadap agama Konghucu. Pada

awal tahun 1979 pemerintah Orde Baru juga menerbitkan sebuah surat keputusan

yang mengatakan bahwa agama Konghucu bukan agama. Berikut ini adalah

diskriminasi akibat dikeluarkannya Instruksi Presiden dalam masalah agama

Konghucu:

a. Diskriminasi Beribadah

Umat Konghucu hanya dapat beribadah secara sembunyi- sembunyi di

litang maupun di kelenteng. Akan tetapi ketika ingin mengadakan upacara-

upacara besar/Tahun baru Imlek dibatasi, bahkan kelenteng-kelenteng

disuruh ditutup.

b. Diskriminasi Pendidikan.

Umat Konghucu dipaksa untuk mengambil salah satu mata pelajaran

agama dari kelima agama yang ada. Hal tersebut dikarenakan tidak ada

guru yang mengampu pendidikan agama Konghucu. Rata-rata umat

Konghucu pada zaman dahulu mengambil mata pelajaran pendidikan

agama Katolik, Kristen atau Buddha. Ada pula yang akhirnya mengambil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

45

mata pelajaran pendidikan agama Islam. Dikarenakan siswa yang

keyakinan agama Konghucu di sekolah tidak mendapatkan hak

memperoleh pelajaran agama Konghucu, maka banyak masyarakat

Konghucu yang berpindah agama.

c. Diskriminasi Perkawinan.

Tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dalam perkawinan umat Konghucu

juga harus memilih perkawinan satu diantara lima agama yaitu Islam,

Katolik, Hindu, Buddha, dan Kristen. Menyikapi pemaksaan ini ada tiga

jalan : pertama, jalan seperti Budi dan Lani (Pasangan penganut agama

Konghucu) yang menggugat ke catatan sipil walaupun prosesnya panjang

sampai Mahkamah Agung. Kedua, jalan yang paling banyak ditempuh

oleh umat Konghucu mencatatkan dirinya secara agama lain missal agama

Katolik atau Buddha walaupun diberkati di litang/kelenteng agar

perkawinan diakui oleh negara.

d. Diskriminasi Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Karena dalam kolom agama tidak ada pilihan agama Konghucu sehingga

umat Konghucu dipaksa untuk memilih kelima agama yang ada.

e. Diskriminasi Aksara

Aksara kitab-kitab Konghucu tidak ditulis dalam bahasa mandarin

sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia murni dengan tidak

menampilkan aksara kitabnya. Dahulu tidak diperbolehkan, karena jika

ditampilkan dalam bahasa mandarin bisa ditangkap, disita dan

diintimidasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

46

Diskriminasi juga dialami dalam administrasi kependudukan seperti Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan akta kelahiran. Kebanyakan dari penganut Konghucu

akhirnya mencatatkan agama lain di akta kelahiran maupun KTP, jika tidak

memilih satu di antara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hak-

haknya sebagai warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di

catatan sipil, kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak

pendidikan bagi si anak. Akan tetapi jika umat Konghucu tersebut mencatatkan

agamanya di kolom KTP tidak sesuai dengan keyakinannya sama saja dengan

membohongi Tuhannya. Pada akhirnya kebanyakan umat Konghucu menulis

agama di KTP terserah dan tidak mempermasalahkan, yang penting keyakinan

mereka kepada Tuhan.

Kebijakan asimilasi terhadap orang Tionghoa didefinisikan dari sudut upaya

untuk menghapus komponen Tionghoa dari ”kebudayan Indonesia”, maka tidak

mengherankan apabila tidak lama sesudah agama Konghucu tidak diakui sebagai

agama, pemerintah mulai membina agama Buddha. Menurut pandangan rezim

Orde Baru agama Buddha lebih berciri Indonesia dibandingkan dengan agama

Konghucu. Indonesia memang pernah menjadi tempat tumbuhnya dua kerajaan

Buddhis yang besar, yaitu Syailendra dan Sriwijaya.60

2. Surat Edaran Menteri Kehakiman No.JHB 3/31/3 Tahun 1978

Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara

institusional di Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI yang terutama

60

Wibowo I dan Tung Ju Lan, Setelah Air Mata Kering:Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa

Mei 1998, Jakarta: Kompas, hlm.85.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

47

ditunjukan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara Indonesia beserta

keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda pengenal yang menyatakan bahwa

pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini

bersifat legalitas, SBKRI terutama diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada

dasarnya, pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha menempatkan warga

negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan“ di sisi

undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang WNI Tionghoa

yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga menutup mata” di tanah

Indonesia, setiap waktu harus membuktikan dirinya sebagai warga negara

Indonesia. Dalam berbagai proses administratif publik, dari pembuatan kartu

tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, menyatakan hak politik,

membuat surat perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia

pun harus membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.

Permasalahan pembuktian kewarganegaraan RI dan SBKRI, diatur dalam

Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan pelaksanaan

UU No. Tahun 1946 tentang penduduk dan warga negara didalamnya ditegaskan

secara eksplisit bahwa dalam sistem undang-undang warganegara Indonesia

suatu bukti kewarga negara Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang

tentu dan diharapkan tentu menjadi warganegara Indonesia : yaitu untuk orang

Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Artinya penduduk etnis Tionghoa

yang sudah menjadi WNI sejak kelahirannya tidak lagi membutuhkan pembuktian

atas kewarganegaraan RI-nya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

48

Dalam perkembangannya setelah terjadi penyerahan kedaulatan dalam

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, permasalahan pembuktian

kewarganegaraan RI muncul, klim politik pemerintahan Mao Tse Tung bahwa

semua orang Cina di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah warga negara

Republik Rakyat Tiongkok karena asas keturunan darah, yang kemudian

ditindaklanjuti dengan perjanjian dwi kewarganegaraan RI-RRT antara Perdana

Menteri RRT Chou En Lai, dan Menteri luar negeri RI Mr.Soenario pada tahun

1955.

Peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman

No. JHB 3/31/3 Tahun 1978 kepada semua pengadilan negeri dan semua kepala

perwakilan RI di luar negeri, bahwa SBKRI ditujukan kepada semua kaum

peranakan, misalnya golongan Tionghoa, Arab, dan India. Akan tetapi, dalam

prakteknya di birokrasi, kebijakan SBKRI hanya diterapkan kepada peranakan

Tionghoa, sedangkan peranakan lainnya tidak. Fenomena “rasial” inilah kemudian

menjadi awal dari segala kebijakan diskriminatif yang tidak berkesudahan hingga

saat ini.

Dalam perkembangannya SBKRI sendiri secara eksplisit sudah dihapuskan

penerapannya kepadaWNI Tionghoa dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.

56 Tahun 1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaran Republik Indonesia. Dalam

Keppres tersebut pasal 5 menyebutkan:

“Dengan berlakunya keputusan presiden ini, maka segala peraturan

perundang-undangan untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan

SBKRI dinyatakan tidak diberlakukan lagi”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

49

Kebijakan diskriminatif tersebut tetap saja diimplementasikan di berbagai

instasi pemerintahan. Pihak-pihak yang berwenang atas kebijakan ini menyatakan

berbagai alasan pemberlakuan SBKRI bagi WNI Tionghoa ini. Kenyataannya,

SBKRI selalu saja menjadi salah satu syarat yang diminta oleh instasi-instasi

terkait, seperti jajaran Departeman Dalam negeri ketika mengurus akta kelahiran,

perkawinan, bahkan surat kematian, serta di beberapa daerah juga dilakukan oleh

jajaran Departeman Kehakiman dan Ham.

3. Peraturan Menteri Perumahan No. 55.2-360/1988

Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi salah

satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, pemerintahan

Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng - kelenteng di Indonesia

melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2-360/1988, yang isinya melarang

penggunaan lahan untuk mendirikan, memperluas, atau memperbahurui

kelenteng.61

Istilah kelenteng yang menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa

tidak lagi digunakan dan diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Buddha).

Selama Orde Baru berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri

Dharma yang mencakup tiga agama sekaligus yaitu agama Konghucu, Tao, dan

Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang menjadi

perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim Soeharto berusaha

mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih mengacu sebagai tempat ibadat

agama Buddha sedangkan ajaran Taoisme dan Konghucu dianggap sebagai

sampingan saja dan harus berlindung di balik agama Buddha. Akibatnya, di

61

Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004,

hlm.37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

50

beberapa kelenteng, arca tokoh dari ajaran Buddha yang dulunya sebagai arca

tambahan ditempatkan di altar utama. Bahkan di beberapa kelenteng yang

sebelumnya tidak menganut ajaran Buddha, mencari keselamatan dengan men-Tri

Dharmakan diri dengan memasukkan arca dari ajaran Buddha. Fisik bangunan

kelenteng pun menjadi korban. Masyarakat Tionghoa pun dilarang membangun

atau memperluas bangunan, memperbaiki kerusakan pun tidak berani dilakukan,

Kalaupun dilakukan, pasti dengan sembunyi-sembunyi. Akibatnya, sampai tahun

1998 banyak sekali bangunan kelenteng dalam kondisi mengenaskan.62

C. Bidang Ekonomi

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1967 mewariskan keadaan

ekonomi yang sangat buruk bagi periode pemerintahan Orde Baru di Indonesia.

Pada tahun 1965, harga-harga umumnya naik lebih dari 500%. Keadaan paling

parah terjadi pada bulan Januari, Febuari, dan Maret 1966.63

Menghadapi

kenyataan tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil berbagai kebijakan untuk

mengatasi perekonomian negara yang semakin memburuk. Salah satu

kebijakannya adalah menggunakan etnis Tionghoa. Berdasarkan kecenderungan

tersebut pemerintah mengambil keputusan yang dipandang penting dalam upaya

menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor dan

investor asing. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah memberlakukan

62

Herwiranto M, Kelenteng:Benteng terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa

di Indonesia, hlm 83 63

Muhaimin Yahya A, Bisnis dan Politik:Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta:

LP3ES, 1990. hlm.51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

51

Undangan-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang

Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN), sebagaimana dijelaskan berikut:

“Di bidang ekonomi perubahan penting yang dilakukan Orde Baru

adalah dengan diterapkannya TAP No. XIII/MPRS/1966 tentang

penyelesaian masalah ekonomi dan keuangan, serta ditetapkannya

Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan

Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun

1968 yang menjamin keamanan modal asing di Indonesia.”64

Dengan adanya UUPMA dan UUPMDN tersebut, pemerintah Orde Baru

memberikan berbagai kemudahan yang memberi jaminan keuntungan dan

perlakuan istemewa terhadap investor asing. Kebijakan ini memberikan

kesempatan bagi para pengusaha Tionghoa untuk dapat memperbesar usaha,

sehingga mereka memiliki peranan penting dalam perekonomian di Indonesia.

Situasi ini dijelaskan berikut:

“Pada awal pemeritahan Soeharto, tahun 1966-1967 warga etnis

Tionghoa banyak diberi peluang, karena pada waktu itu mereka

dianggap memiliki akses ke luar negeri untuk menarik modal investor

asing, khususnya etnis Tionghoa berkewarganegaran Taiwan,

Hongkong, dan Singapura. Kenyataannya, strategi yang diterapkan

oleh pemerintah Soeharto waktu itu cukup berhasil menari investor

asing. Banyaknya investor asing yang pada umumnya memilih bekerja

sama dengan etnis Tionghoa, karena kelompok ini dianggap telah

menguasai jalur distribusi perdagangan dalam negeri dan dekat

dengan eliet pemerintahan Soeharo, sehingga mudah mendapatkan

konsesi dan lisensi.”65

Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah Orde Baru juga

menganjurkan kepada para pengusaha Tionghoa untuk melakukan kerjasama

usaha dengan perusahaan swasta nasional Indonesia. Pemberian kebebasan bagi

pengusaha Tionghoa untuk bekerjasama dengan perusahaan swasta maupun

64

Wirawan Yery, Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru: 1996-1968, Jakarta: Skripsi

Program Studi Sejarah Fakultas sastra Universitas Indonesia, hlm 47 65

Ibid, hlm 48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

52

pemerintah tersebut membawa dampak negatif seperti lahirnya kerjasama atau

pengusaha Tionghoa dengan pemerintah. Para elit pemerintah memberikan

perlindungan keamanan dan pemberian fasilitas kepada para pengusaha Tionghoa,

sementara itu pengusaha Tionghoa memberikan jaminan uang sebesar-besarnya

kepada elit pemerintah, guna memperlancar usaha mereka. Kerjasama semacam

ini kemudian dinamakan sistem Cukong atau Cukongisme yaitu istilah Tionghoa

(Hokkien) yang artinya majikan. Cukong diadopsi dari sistem ekonomi benteng

Ali Baba pada masa Orde Lama. Pada satu hal, kebijakan ekonomi pemerintah

tersebut banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dengan adanya keterbukaan penanaman modal asing yang mendorong terciptanya

pasar bebas, akhirnya muncul dominasi Tionghoa dalam sektor perekonomian

seiring dengan kondisi perekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil.

Meski pada awalnya para pengusaha Tionghoa diberikan kesempatan untuk

mengembangkan usahanya dalam rangka pembangunan ekonomi, dalam

prakteknya mereka harus berhadapan dengan birokrasi dan masalah keamanan

usaha dari ancaman pribumi yang selalu memendam prasangka terhadap mereka.

Untuk mengatasi kesulitan birokrasi tersebut mereka menjalin kerjasama dengan

para elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan. Adanya kerjasama itu dijelaskan

berikut ini:

“Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan

banyak pengusaha etnis Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia,

terutama dengan pihak militer. Kolaborasi tidak resmi yang sangat

umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis Tionghoa memberikan

dukungan modal dan mengelola usaha, sedangkan elit Indonesia

memberikan lisensi atau konsesi monopoli. Keduanya sangat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

53

diuntungkan oleh „kerja sama‟ semacam ini, yang dikenal waktu itu

sebagai „cukongisme‟66

Kerja sama tersebut menghasilkan sikap atau tindakan saling mengisi antara

elit pribumi dengan para pengusaha Tionghoa. Dengan adanya aksi-aksi

kerusuhan sebagai imbas dari dominasi mereka dalam perekonomian, mereka

tidak segan-sega memberikan sogokan dalam bentuk uang dan sebagainya dengan

jumlah besar. Sebagai jaminannya mereka diberikan perlindungan khusus oleh elit

pribumi yang besar. Mengenai praktek pemberian uang ataupun bantuan diuraikan

berikut ini:

“Kadang-kadang, para cukong tersebut memberikan sumbangan untuk

tujuan yang mereka anggap baik. Untuk beberapa saat, media massa

tersebar dengan laporan-laporan yang menginikasikan keterlibatan

mereka dalam pembiayaan kampanye politik Golkar sampai ke aksi-

aksi yang kurang transparan.”67

D. Bidang Politik

Pengalaman dari zaman Orde Lama memotivasi pemerintahan Orde Baru

mengubah kebijakan untuk mengatasi permasalahan perihal dominasi etnis

Tionghoa di Indonesia. Namun pergantian masa Orde lama tidak serta merta

membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh

etnis Tionghoa di Indonesia. Kenyataannya yang ada, diskriminasi rasial terhadap

etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Pada masa

pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Tionghoa menjadi masalah yang lebih

66

I Wibowo, Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka

Utama, 1999, hlm 59. 67

Yusiun Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina : Sebuah Intisari ealuasi 33 Tahun di Bawah

Rejim Soeharto, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm. 75.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

54

serius. Masalah tersebut begitu kompleks bukan hanya mengenai identitas

kebangsaan, akan tetapi berkaitan juga dengan masalah politik.

Kegiatan orang Tionghoa dalam bidang politik dibatasi seperti pelarangan

kegiatan yang mengarah pada hal yang berbau politik. Hal ini dituangkan dalam

Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada menteri dan kantor

catatan sipil.68

Setelah pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah Orde

Baru melarang semua organisasi sosio-politik Tionghoa. Mereka memandang

organisasi Tionghoa bersifat ekslusif dan ingin melihat orang Tionghoa

bergabung dalam ormas yang didominasi oleh pribumi. Hal tersebut dibenarkan

oleh Ang Tjing Kwang bahwa secara kasat mata tidak ada generasi yang lahir

setelah tahun 1965 menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintahan. Pegawai

negeri maupun pegawai pemerintahan mayoritas dipegang sepenuhnya oleh

kalangan pribumi.

Selama 30 tahun masa pemerintahan rezim Orde baru yang otoriter, akibat

peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang Tionghoa tidak dapat melakukan

kegiatan apa pun di bidang politik. Terjadinya sebuah sikap apolitik di kalangan

orang Tionghoa walaupun sikap yang sama tampak pada hampir semua kelompok

orang Indonesia. Seperti telah diungkapkan banyak pengamat, orang-orang

Tionghoa mengalihkan kegiatan mereka ke bidang ekonomi, satu- satunya bidang

kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan- lahan mereka mengubah

diri mereka menjadi economic animal yang pada gilirannya menimbulkan rasa

marah di kalangan orang-orang non-Tionghoa. Sikap apolitik di kalangan orang

68

Junus Jahja, Nonpri dimata Pribumi. Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991. hlm 224

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

55

Tionghoa telah membuat diri mereka benar-benar anti politik, sedemikian rupa

sehingga mereka menjahui segala sesuatu yang” berbau politik”. Sikap anti politik

inilah yang kini tertanam dalam-dalam yang sulit sekali untuk diatasi.69

69

Wibowo I, Setelah Air mata Kering „Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa mei 1998, Jakarta:

Kompas, 2010.hlm. 25-26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

56

BAB IV

DAMPAK KEBIJAKAN ORDE BARU

TERHADAP ETNIS TIONGHOA

A. Bidang Sosial dan Budaya

1. Masalah SBKRI

Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden No.4/1999

tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang menginstruksikan tidak

berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI, SBKRI

dicabut. Pencabutan secara nasional ini terinspirasi dari Surakarta. Ketika

Walikota Surakarta, Slamet Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan

dan praktik birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga

keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No 471/006/02/2004

yang dikeluarkan tanggal 19 Juli 2004 tentang penggunaan bukti

kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut pencabutan SBKRI secara nasional

sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya

masyarakat Tionghoa tidak lagi disibukkan dengan bukti kewarganegaraan

tambahan selain Kartu Tanda Penduduk (KTP).70

Masyarakat Tionghoa pada umumnya menerima kebijakan asimilasi

tersebut meskipun beberapa di antaranya enggan untuk berganti nama menjadi

70

Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang kewarganegaraan Republik Indonesia”, Jurnal: hlm 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

57

nama Indonesia. Beberapa yang lain juga enggan untuk mencatatkan pernikahan

di departemen terkait, karena permasalahan birokrasi yang dirasa sulit serta sarat

dengan penarikan uang secara tidak legal. Pengalaman Adong Wijaya, 37 tahun

salah satunya. Warga keturunan Tionghoa yang tinggal di perumahan Taman

Lopang Indah, Serang, Banten, ini gagal mengurus akta kelahiran anaknya yang

baru berusia dua bulan. Meskipun melampirkan SBKRI orang tuanya, Adong tak

mampu menunjukkan SBKRI atas namanya sendiri. Adong sempat beradu

argumentasi

“Tak ada gunanya reformasi. Saya tetap dipandang sebelah mata, ujar

Adong yang tengah menjadi ketua peringatan 17 Agustus di Wilayah

rukun tetangga tempat tinggalnya.”71

Kini, setelah 35 tahun berselang, SBKRI tetap menjadi momok bagi warga

keturunan. Padahal, secara resmi, pemerintah telah menghapus keharusan

menunjukkan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa dalam mengurus dokumen

apapun, termasuk paspor. Keputusan Pemerintah menetapkan bahwa SBKRI ayat

2 keputusan itu ditulis, „WNI yang telah memiliki KTP, Kartu Keluarga,atau Akta

kelahiran tak lagi membutuhkan SBKRI.

Tapi aturan tinggal aturan. Praktek lapangan sungguh masih jauh dari

kenyataan. Para petugas imigrasi, misalnya, selalu menanyakan SBKRI saat

warga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang paspor. Perlakuan yang

sama masih diterima saat mereka mengurus kartu tanda penduduk maupun akta

kelahiran.

71

Ibid.hlm 12

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

58

2. Diskriminasi Agama Konghucu

Pada tanggal 6 Desember 1967, Orde Baru mengeluarkan keputusan No. 14

Tahun 1967 tentang asimilasi atau pembaharuan, dalam hal ini yang dimaksud

adalah memaksa orang Tionghoa menghilangkan identitas budaya Tionghoa dan

diganti dengan identitas budaya setempat. Peraturan ini memang tidak langsung

berdampak bagi umat Konghucu tetapi hanya membatasi aktivitas budaya etnis

Tionghoa di depan umum. Namun pada perkembangannya peraturan tersebut turut

mempengaruhi aktivitas Umat Konghucu karena ajaran Konghucu merupakan

bagian dari budaya etnis Tionghoa.

Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tersebut menimbulkan keraguan pada

WNI keturunan Tionghoa untuk berpegang pada agama tradisional mereka.

Karena secara tersirat menggambarkan adanya identifikasi bahwa agama mereka

yaitu agama Konghucu identik dengan Tiongkok dan komunisme. Instruksi

tersebut tidak sejalan dengan pengakuan adanya agama Konghucu. Segala

peraturan yang bersifat diskriminatif semasa Orde Baru juga menghambat

aktivitas keagamaan umat Konghucu di Kelenteng.

Dalam menghadapi situasi Orde Baru terkait dengan segala peraturan

tentang agama dan budaya kelompok Tionghoa dan Umat Konghucu pada

khususnya, umat Konghucu memilih untuk menanggapi semua itu dengan jalan

damai. Mereka tidak berani melakukan aksi-aksi untuk menentang karena apabila

terlalu menentang peraturan-peraturan yang dibuat maka mereka akan dianggap

sebagai komunis dan dimasukkan ke penjara. Selain itu pelanggaran terhadap

tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Cina dalam aktivitas sehari-hari juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

59

sangat memberatkan umat Konghucu, bahkan di kalangan umat Konghucu tidak

ada yang berani menyimpan tulisan-tulisan berbahasa Cina tekanan serta

kekawatiran dicurigai sebagai anggota PKI.

Dalam urusan hak catatan sipil masyarakat Konghucu juga dihadapkan pada

permasalahan sulitnya mendapatkan pengakuan agama Konghucu baik saat nikah

maupun saat mendaftarkan diri untuk mendapatkan catatan identitas diri atau

KTP. Hal lain yang masih menekan umat Konghucu pada khususnya dan

masyarakat etnis Tionghoa pada umumnya adalah adanya proses asimilasi yang

begitu memberatkan serta sangat menguras tenaga.

Umat Konghucu menjadi serba salah, karena jika tidak memilih satu

diantara agama yang ada, sama saja dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai

warga negara. Seperti kesulitan dalam pencatatan perkawinan di catatan sipil,

kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak dan memperoleh hak pendidikan bagi

si anak. Namun, jika umat Konghucu mencatatkan agamanya di kolom KTP tidak

sesuai dengan keyakinannya sama saja dia membohongi Tuhannya. Pada akhirnya

kebanyakan umat Konghucu menulis agama di KTP terserah dan tidak

mempersalahkan, yang penting keyakinan mereka kepada Tuhan.

Selama berpuluh-puluh tahun Konghucu tidak pernah jelas statusnya

sebagai agama atau bukan di Indonesia. Namun, perjuangan umat Konghucu

untuk mendapatkan hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia terus

diupayakan. Terbukti pada era pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid

keluarlah Keppres RI No.6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun

1967. Pencabutan Inpres yang dilakukan tidak hanya faktor kedekatan tokoh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

60

Konghucu dengan Gus Dur, tetapi juga karena pemikiran Pluralisme yang Gus

Dur miliki. Peran Gus Dur dalam upaya mengembalikan posisi Konghucu sebagai

agama dan memperjuangkan hak-hak sipilnya sangat berarti bagi umat Konghucu.

Peran Gus Dur dalam melindungi hak-hak minoritas etnis Tionghoa menjadikan

beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

3. Masalah Kelenteng

Di awal pemerintahan Orde Baru, pengurus perhimpunan tempat Ibadah Tri

Dharma (PTITD) yang anggota-anggotanya terdiri atas puluhan TITD (Tempat

Ibadah Tri Dharma) akan dimusiumkan oleh pemerintah Orde Baru. Oleh para

tokoh PTITD saat itu lahirlah namanya agama Buddha Tridharma, menginduk

pada agama Buddha dan terdaftar di departemen agama RI sebagai agama Buddha

aliran Tridharma, yakni agama Buddha yang mempelajari ajaran Konghucu dan

ajaran Taoisme, termasuk dalam lingkup Buddha Mahayana. Inilah yang

menyebabkan kelenteng / TITD terlindungi.

Namun sikap ini 30 tahun kemudian menyebabkan masyarakat Indonesia

menyangka bahwa agama Buddha, agama Konghucu agama TAO adalah identik

atau sama, padahal sebetulnya berbeda, baik dalam ketuhanan, ajaran-ajaran, dan

kitab suci. Ketiga agama ini berdiri sendiri dan memiliki Nabi serta ajaran agama

sendiri-sendiri. Semua karena politik dikala itu. Mungkin banyak orang Tionghoa

bisa menahan tidak melihat, mendengar barongsai, liong, tulisan mandarin, lagu-

lagu mandarin, di tempat - tempat umum, sebagai warisan budaya nenek moyang

mereka dari Republik Rakyat Cina (RRC) selama 30 tahun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

61

Untuk urusan agama rasanya tidak bisa terpisahkan meskipun hanya

perjuangan PTITD menyatukan 3 agama minoritas di dalam 1 wadah keagamaan,

yakni TITD hanya bersifat administratif belaka, namun hal itu bisa dipahami,

mesikpun perjuangan tersebut dianggap belum memuatkan karena pada dasarnya

agama adalah hak manusia paling hakiki atau mendasar. Perayan-perayan agama

dan adat istiadat Tionghoa juga melarang kelenteng - kelenteng yang tidak ada

simbol agama Buddha. Hal ini disebabkan pada masa Orde Baru pemerintah

hanya mengakui Konghucu bila masuk dalam Tri Dharma. Peraturan tersebut juga

didukung Surat Keputusan Pepelrada No.22/6/1967 dikeluarkan oleh Mayjen M

Yasin yang menggantikan posisi Mayor Jendral Soemitro yang isinya menetapkan

penggantian istilah “Kelenteng “ menjadi “Tempat Ibadah Tri Dharma” (TITD)

dan kepada pemeluknya diberi kebebasan menjalankan ibadah di tempat- tempat

ibadah Tri Dharma. Melihat kondisi yang demikian para pengurus Kelenteng

segera merespon dan tidak mau mengambil jalan secara frontal. Sejak saat itu lah

Kelenteng berubah menjadi tempat ibadah Tri Dharma yakni tempat ibadah bagi

umat agama Konghucu, Buddha dan Tao sehingga Kelenteng masuk dalam

Penghimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).

Meskipun demikian berubahnya Kelenteng manjadi Tempat Ibadah Tri

Dharma dalam pelaksanaanya mayoritas umat Konghucu berusaha agar aktivitas

ibadah mereka tidak menyolok, artinya mereka berlindung di bawah identitas

agama Buddha yang diakui oleh pemerintah. Seluruh aktivitas kegiatan Umat

Konghucu tetap mendapat pengawasan yang ketat dari pihak keagamaan. Misal

pengurus Kelenteng dilarang melakukan renovasi dan perawatan bangunan. Demi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

62

menyambung nyawa dan menjamin keselamatan dirinya, warga Tionghoa di

Indonesia pun banyak yang berlindung dalam agama resmi yang ditetapkan

pemerintah. Kaum tuanya mungkin menyadari kesenjangan budaya ini tetapi

tekanan politik terasa berat. Mereka lebih mengutamakan keselamatan generasi

mudanya walaupun harus kehilangan sebagian besar budayanya. Bahkan,

beberapa diantara kaum tua Tionghoa ada yang sengaja menakut-nakuti kaum

mudanya untuk tidak belajar budaya leluhurnya demi keselamatan keluarga.

Akibatnya dapat dibayangkan bila 30 tahun kemudian terjadi kesenjangan budaya

antara generasi tua dan generasi muda Tionghoa di Indonesia. Memang unik juga

nasib bangsa Cina perantauan ini, mereka harus terpaksa mengorbankan sebagian

harga dirinya, yaitu kebudayannya untuk mempertahankan hidup dan memperoleh

bentuk harga diri yang lain.

Walaupun begitu, kebudayan Tionghoa tidaklah lantas lenyap seluruhnya

begitu saja. Sisa-sisa kebudayan ini masih tersimpan dan dilakukan semampunya

di dalam kelenteng. Meskipun bagian rusak dan tak terawat, bangunan kelenteng

masih menyimpan berbagai arca, ukiran, lukisan, dan berbagai ornamen. Secara

sangat terbatas dan sembunyi- sembunyi, berbagai arca ritual, kebudayan, dan

kegiatan sosial masih dilakukan di dalam lingkunagan kelenteng. Pendeknya

selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, kelenteng berfungsi menjadi

benteng terakhir kebudayan Tionghoa di Indonesia. Setelah menjadi salah satu

tumbal politik melalui peristiwa anti-Tionghoa Mei 1998, Era Reformasi

membawa banyak perubahan di Indonesia. Era pemerintahan baru di bawah

Presiden Abdurahman Wahid mencabut beberapa kebijakan yang diskriminatif

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

63

terhadap masyarakat Tionghoa. Walapun masih terjadi beberapa kendala di

lapangan, tetapi kebudayan Tionghoa kembali bangkit. Malahan di berbagai

tempat atau kalangan ditengarai terjadi eforia atau malah latah kebudayan

Tionghoa.72

Kelenteng menjadi pusat kegiatan. Banyak bangunan kelenteng mulai

diperbaiki atau direnovasi besar-besaran. Tarian Barongsai terlihat meramaikan

berbagai acara. Upacara arak-arakan dewa “gotong tepekong” yang banyak

mengikutsertakan kebudayan China, seperti pakaian, musik, dan tarian mulai

dilaksanakan di berbagai kota. Kelenteng kembali ramai didatangi oleh lebih umat

Tionghoa yang ingin bersembahyang. Pendeknya kelenteng menjadi salah satu

titik awal bangkitnya kembali kebudayan Tionghoa di Indonesia. Namun tiga

puluh tahun lebih dalam belenggu budaya membuat sebagian besar umat

Tionghoa kehilangan pengetahuan rohani dan budayanya. Sebuah kenyataan pahit

menjadi pemandangan sehari- hari dalam kelenteng, yaitu banyak umat Tionghoa

yang datang ke kelenteng hanya bersembahyang di depan arca para dewa tanpa

mengerti lagi siapa dan apa sebenarnya ajaran para dewa- dewi tersebut.

Pokoknya bersoja, mengucapkan hio dan menuang minyak di altar dewa tersebut,

beres urusan.

Juga dapat diperhatikan, bila memasuki sebuah kelenteng, perhatian umat

hanya tertuju pada arca dewa dewi saja. Isi kelenteng lainnya seolah bukanlah hal

yang patut diperhatikan, atau paling tidak dinikmati keindahanya. Ditambah lagi,

entah karena ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau bahkan ketidakpedulian dari

72

Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan

Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur hlm. 83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

64

umat dan pengurus kelenteng, ukiran atau lukisan yang menyimbolkan ajaran

banyak hal itu dianggap hiasan belaka sehingga kerap tampak tak terawat, kotor

tertutup debu, atau malahan hitam tak terlihat sama sekali terkena asap bertahun-

tahun. Jangankan untuk mengerti simbol apa yang terkandung, bahkan sering kali

mereka juga tidak tahu lagi apa sebenarnya hewan, tumbuhan, atau cerita apa

yang terukir atau terlukis tersebut.

Memang ada usaha dari beberapa kaum terpelajar Tionghoa untuk memulai

memperhatikan masalah ini. Akan tetapi, memang bukanlah hal yang mudah

untuk menghadapi akibat belenggu budaya yang telah membuat sebagian besar

kaum Tionghoa tua terlanjur apatis dan kaum mudanya tak lagi mengenali

budayanya.

B. Bidang Ekonomi

Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru memicu praktik korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN inilah yang

sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul dengan hadirnya

beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek

tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, William Soeryadjaya, Eka

Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya. Sementara itu orang-orang yang berasal dari

elit pribumi diantaranya adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan

beberapa petinggi militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru.

Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan

kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

65

Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin kedekatan dengan

Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat terbesar di Indonesia. Ini tidak

dapat dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha sukses yang mempunyai

beberapa perusahaan besar seperti PT. Indocement, bank Central Asia (BCA),

Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan lain-lain, yang merupakan deretan kelompok

usaha-usaha besar strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia.73

Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha Tionghoa dalam

perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para investor asing yang

menanamkan modalnya dan bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa hingga

lahirnya praktik percukongan yang menimbulkan KKN di tubuh elit kekuasaan

dan para pengusaha Tionghoa yang ikut terlibat di dalamnya, maka mucul kritik-

kritik terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kritik-kritik tersebut selanjutnya di

wujudkan dalam bentuk aksi demonstrasi. Tentang situasi tersebut digambarkan

berikut:

“Pada akhir 1975 situasi dikalangan mahasiswa memanas, karena

keresahan yang dialami rakyat melihat arah perkembangan ekonomi

yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru. Isu-isu korupsi,

percukongan, modal asing, serta peranan Jepang menjadi sorotan

mereka. Mahasiswa menilai bahwa pelaksanaan pembangunan

memberikan porsi terlampau besar kepada modal asing, terutama

modal modal Jepang sehingga menghancurkan modal dalam negeri.

Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti

Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko etnis Tionghoa.”74

73

Siswono Yudo H, Warga Baru:Kasus cina di Indonesia, Jakarta: Lembaga penelitian Yayasan

Padamu Negri.1985. hlm. 83 74

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik :Mengungkap fakta Sejarah tersembunyi

Orang Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Elkasa,2003. hlm. 1002

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

66

Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan

pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka

Lima Belas Januari). Peristiwa ini ditandai dengan penghancuran toko-toko milik

etnis Tionghoa dan pengrusakan produk-produk Jepang. Semenjak saat itu

pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan ekonomi mengenai

pembatasan dominasi etnis Tionghoa dan juga pihak asing dalam aktivitas

perekonomian di Indonesia.

Setelah peristiwa Malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan juga

penanaman modal asing dibatasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya aksi

demonstrasi yang mengarah pada etnis Tionghoa. Setelah masa itu pula, muncul

istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut digunakan sebagai

kritikan terhadap pengusaha etnis Tionghoa.

Untuk mengurangi ketegangan yang terjadi, pemerintah Orde Baru

mengeluarkan kebijakan ekonomi yang baru. Kebijakan ekonomi ini pada intinya

dalam rangka upaya mempribumikan atau Indonesianisasi dengan tujuan untuk

membantu para pengusaha pribumi agar dapat mengembangkan usahanya. Dalam

upaya ini, pada tahun 1974 dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan

semua investasi asing di Indonesia dikelola dalam bentuk patungan.

Adapun peraturan akhir dalam upaya pemribumian atau Indonesianisasi ini

adalah dengan dikeluarkannya Keppres No. 14 yang dikeluarkan 1979, yang

kemudian disempurnakan menjadi Keppres No. 14A tahun 1980 yang

menempatkan bahwa departeman dan lembaga-lembaga pemerintah memberikan

prioritas kepada para pengusaha dan kontraktor kelompok ekonomi lemah (yaitu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

67

pribumi Indonesia) untuk membeli barang-barang dan mengadakan kontrak.

Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan non pribumi digalakkan,

akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan aktif dalam perusahan

tersebut.75

Melalui Keppres tersebut dan dengan adanya upaya pemerintah dalam hal

merangsang tumbuhnya pengusaha pribumi, maka muncullah pengusaha-

pengusaha pribumi seperti Siswono Yudo Husodo, Fahmi Indris, dan Pontjo

Sutowo yang terutama bergerak di sektor konstruksi. Akan tetapi, walapun ada

aturan seperti Keppres no. 14A tahun 1980 ini scara keseluruhan, pengusaha etnis

Tionghoa ternyata lebih banyak tumbuh dan menjadi besar. Hal ini dikarenakan,

peraturan ini hanya membantu sebagian pengusaha pribumi saja, terutama mereka

yang memiliki hubungan dengan kekuasaan atau telah memiliki kerja sama

dengan pengusaha Tionghoa. Akhirnya, dominasi perekonomian Indonesia tetap

berada pada para pengusaha Tionghoa.

Dominasi etnis Tionghoa dalam perekonomian semakin jelas terutama

setelah jatuhnya harga minyak sehingga mengakibatkan pemerintah kembali

menjalin kerja sama dengan pengusaha Tionghoa dalam upaya mendorong

pendapatan bukan minyak. Bisnis etnis Tionghoa diharapkan dapat membantu

program pembangunan pemerintah Orde Baru. Hal ini tercermin dalam pidato

Presiden Soeharto berikut ini:

“Pemerintah hanya dapat menyediakan 54,1% dari keseluruhan

biaya yang dibutuhkan bagi pembangunan tahap i. sementara

sisanya 15,9% diharapkan dating dari sector swasta, terutama

untuk menunjang pengadaan lapangan kerja dan memperoleh

75

Suryadinata Leo, Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: LP3ES, 1999, hal. 94.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

68

dana bagi program pembangunan dari penerimaan ekspor non

migas.”76

Berdasarkan hal tersebut, kebijakan di bidang ekonomi ini secara jelas

ditunjukan dan menguntungkan kepada para pengusaha etnis Tionghoa, karena

hanya golongan ini yang memiliki kemampuan financial.

C. Bidang Politik

Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu

pilihan yang sulit. Mereka banyak yang dituduh terlibat dalam golongan kiri

terutama PKI sehingga banyak dikalukan penangkapan terhadap tokoh- tokoh

etnis Tionghoa. Tokoh – tokoh etnis Tionghoa dulunya aktif dalam kegiatan

organisasi seperti di Baperki dan ada juga yang aktif dalam partai politik yang

didominasi oleh penduduk Pribumi. Penangkapan – penangkapan yang dilakukan

pemerintah Orde Baru membuat etnis Tionghoa mengalami trauma politik.

Kebanyakan dari mereka tidak ingin aktif lagi dalam kegiatan politik dan lebih

menekuni bidang lain seperti ekonomi dan keagamaan.

Program asimilasi yang dicanakan oleh pemerintah tidak membawa ke jalan

yang dinginkan. Proses pembaharuan antara etnis Tionghoa dengan penduduk

pribumi agaknya kurang berjalan lancer. Penduduk pribumi memandang bahwa

etnis tionghoa pola kehidupanya masih esklusif, tidak banyak bergaul dengan

penduduk pribumi. Pandangan masyarakat pribumi yang seperti ini nampaknya

ingin diluruskan oleh Bapak Indra dengan menyatakan bahwa:

76

I Wibowo,op.cit, hlm 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

69

“Etnis Tionghoa juga masih banyak yang bersikap eksklusif

namun begitu bukannya etnis Tionghoa seperti itu semua. Adak

ok etnis Tionghoa yang bergaul dengan penduduk Pribumi dan

aktif dalam kegiatan RT misalnya, bahkan sekarang ada juga

yang menjadi ketua RT-nya77

Munculnya berbagai anggapan terhadap etnis Tionghoa membuat

pemerintah sebagai pembuat kebijakan ikut berpartisipasi dalam usaha mengatasi

permasalahan etnis Tionghoa. Selepas dibubarkanya Baperki karena diduga

terlibat peristiwa 30 september 1965 pemerintah membentuk suatu badan yang

mengurusi tentang masalah etnis Tionghoa, badan tersebut adalah Badan

Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom –PKB). Sikap etnis tionghoa

dalam pembentukan badan- badan tersebut memandang bahwa keberadaan badan

– badan itu justru tidak memecah masalah, karena badan- badan tersebut dijadikan

alat oleh pemerintah untuk mengekang kebebasan etnis Tionghoa. Sedangkan

Liong Kou Tjun menganggap pembentukan badan – badan tersebut diperlukan

dalam upaya menjaga keharmonisan hubungan antara etnis Tionghoa sebenarnya

ada yang dating dari dalam diri indiidu mereka sendiri.78

Politik etnis Tionghoa adalah tipe politik “broker” dimana etnis Tionghoa

mendekati penguasa untuk mendapatkan fasilitas yang diinginkan dalam kegiatan

bisnisnya. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Liem Sioe Liong yang

melakukan pendekatan kepada Soeharto agar mendapat kemudahan dalam

memonopoli barang termasuk mendistribusikannya, sempat dia menguasai

perusahan Bank Central Asia (BCA)

77

Wawancara dengan Bapak Indra tanggal 3 April 2016 78

Wawancara dengan Bapak Hendra Kurniawan 2 April 2016

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

70

Kedekatan dengan penguasa dilakukan dalam rangka mempermudah jalan

bisnis mereka, awalnya mereka menawarkan kerjasama yang meguntungkan

kedua belah pihak. Dalam prakteknya penguasa pribumi hanya mendapatkan

sebagian keuntungan dan yang lainnya dinikmati oleh etnis Tionghoa.

Etnis tionghoa mengalami traumaktik politik akibat adanya pembantaian

etnis Tionghoa yang dilakukan pada masa awal pemerintahan Soeharto.

Pembantaian etnis Tionghoa di sinyalir sebagai tindak lanjut pemerintah yang

mengambil dalih penumpasan peristiwa 30 September 1965, etnis Tionghoa

dituduh terlibat dengan gerakan kiri (PKI) dan dianggap sebagai antek RRT yang

menyebarluaskan paham komunis.

Dalam mengikuti kegiatan politik, etnis Tionghoa hanya ikut-ikutan kepada

politik yang berkasa pada saat itu. Pada masa awal pemerintahan Soeharto etnis

Tionghoa terlihat pasif dan tidak aktif dalam kegiatan politik. Pemilu 1971 bisa

dijadikan pedoman yang jelas dimana etnis Tionghoa banyak menyalurkan

aspirasinya ke Golongan Karya (Golkar), namun ada juga yang berfiliasi ke pDI

(Partai Demokrasi Indonesia). PDI sebagai partai nasionalis yang lebih pas

menurut mereka dapat memperjuangkan aspirasi mereka sebagai minoritas di

Indonesia. Kebijakan Pemerintah Orde Baru yang menyerderhanakan partai –

partai politik menjadi tiga partai politik ( PPP, Golkar, dan PDI) membuat etnis

Tionghoa tidak banyak mempunyai pilihan dalam mengapresiasikan politik

mereka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

71

Aspirasi Politik etnis Tionghoa yang hanya sekedar mengikuti arus

menjadikan mereka tidak bisa menduduki jabatan – jabatan penting, baik itu

ditingkat daerah maupun sebagai anggota legislatif.

Pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru merupakan masa dimana terjadi

berbagai sentimen negatif terhadap dominasi etnis Tionghoa di Indonesia. Krisis

moneter yang menimpa Indonesia memunculkan rasa ketidak puasan dari

kalangan masyarakat luas terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Maraknya

praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) diperburuk lagi dengan kenyataan

bahwa beberapa penguasa Tionghoa yang kaya adalah penyokong utama

pemerintah Orde Baru, keadaan ini kemudian memicu meletusnya kerusuhan pada

tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta. Kerusuhan ini kemudian mengundang

berbagai tindakan untuk melaksanakan aksi rasial anti Tionghoa di daerah antara

lain Purwakarta, Solo, Pekalongan, Jakarta, Situbondo, Rengasdengklok,

Banjarmasin, dan Makasar. Aksi tersebut bukan hanya ditunjukan pada kalangan

pengusaha kecil etnis Tionghoa tetapi juga kepada tempat ibadah seperti halnya

Gereja Kristen dan Katolik serta beberapa Wihara dan Kelenteng.79

Berbagai konflik antar etnis merebak di berbagai wilayah Indonesia, yang

pada awalnya disulut dengan isu anti-Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang

diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, rupanya belum

mampu menjawab persoalan konflik etnis keturunan Tionghoa dengan komunitas

pribumi secara tuntas. Kerusuhan Mei 1998 membuktikan bahwa tanpa memiliki

tendensi kekuatan politik, posisi orang Tionghoa di Indonesia yang selama ini

79

Beny G Setiono, Tionghoa….,op.cit.,hlm.1005

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

72

berkembang di masyarakat sebagai golongan yang sangat menonjol di bidang

ekonomi ternyata sangat rentang konflik. Keyakinan kalangan etnis Tionghoa

bahwa perlindungan yang paling aman adalah dengan mendapatkan perlindungan

kepada para penguasa ternyata keliru. Reaksi atas terjadinya tragedy Mei 1998

telah membuktikannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

73

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab IV, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangai kebijakan Orde Baru

terhadap etnis Tionghoa, mulai dari menerapkan politik ras atas nama

etnis. Akibatnya muncul sentimen rasial dalam kehidupan bernegara.

Sikap rasialis juga berkembang karena adanya prasangka- prasangka yang

hidup dalam masyarakat, misalnya bahwa orang Tionghoa itu hidup secara

eksklusif dan memiliki sikap oportunis. Pada era pemerintah Orde Baru,

insiden anti Tionghoa terjadi di berbagai tempat meskipun tidak meluas

secara serempak di banyak tempat. Kebijakan rezim Orde Baru terhadap

warga Tionghoa lebih sistematis dibandingkan kebijakan negara

sebelumnya. Pemerintah berpendapat behwa keterlibatan warga Tionghoa

dalam peristiwa 30 September 1965 merupakan hasil dari tidak

berasimilasinya warga Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab

itu pemerintah meluncurkan program asimilasi yang sangat gencar.

Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 mengenai

pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang menghalangi

ekspresi kehidupan sehari – hari warga Tionghoa.

2. Pelaksanan kebijakan yang dilakukan Orde Baru terhadap etnis Tionghoa

yaitu melalui proses marginalisasi dilakukan dengan cermat. Partisipasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

74

politik dihambat dengan berbagai alasan, termasuk dalam bidang sosial

budaya. Pemerintah melakukan kebijakan asimilasi terhadap orang-orang

Tionghoa dengan memutus hubungan leluhurnya yaitu mengenai

pergantian nama WNI yang memakai nama Tionghoa menjadi nama

Indonesia, diharuskanya memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan

Republik Indonesia) yang terkadang masih dipertanyakan, larangan

memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang barang cetak

dalam bahasa Cina, sekolah- sekolah Cina ditutup dan semua anak sekolah

harus pindah ke pengajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Etnis Tionghoa kembali berkonsentrasi dalam bidang ekonomi. Bentuk

ekonomi kerjasama atau ekonomi Ali- Baba seperti pada era presiden

Sukarno tetapi pada praktek bisnis pada masa Orde Baru dikenal sebagai

sistem cukongisme. Orientasi Orde Baru pada ekonomi membutuhkan

penciptaan basis investasi yang luas dan bersifat masal. Dalam hal ini yang

memenuhi syarat untuk menghimpun modal hanyalah golongan etnis

Tionghoa karena lemahnya struktur modal yang dimiliki oleh pengusaha

pribumi. Pemerintah Orde Baru benar- benar memberikan fasilitas untuk

kemajuan bisnis beberapa tokoh Tionghoa, misalnya Sudono Salim. Motif

di balik program pemerintah tersebut adalah untuk mengerahkan potensi

ekonomi Cina di Indonesia dan dengan demikian mendorong mereka

menarik lebih banyak modal asing. Segala fasilitas pemerintah yang

menguntungkan mempercepat kebangkitan kembali Cina dalam ekonomi

Indonesia dan mendesak perusahan-perusahan pribumi. Kebijakan Orde

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

75

Baru ini dalam bidang ekonomi dilatarbelakangi kepentingan politik dan

ekonomi yang tampak sebagai upaya untuk menyangga dan

melanggengkan kekuasaannya.

3. Adanya program pembaharuan yang dicanangkan Orde Baru dimasa

lampau berdampak langsung kepada kelompok etnis Tionghoa. Salah satu

akibat cukup fatal yang terjadi pada program pembaruan yang tidak dapat

berjalan mulus karena sarat dengan muatan politis. Kebijakan asimilasi

ternyata tidak menghasilkan sebuah pembauran budaya tetapi justru

menjadikan kelompok etnis Tionghoa terdiskriminasi dan terasing dari

banyak aspek kehidupan nyata karena yang terjadi adalah pembatasan –

pembatasan. Asimilasi total lebih bertitik tolak dari apa yang boleh dan

apa yang tidak boleh. Pembatasan tersebut terbentang dari yang bersifat

substansial hingga yang bersifat ritual. Contohnya masuk dalam perguruan

tinggi negeri, pembatasan untuk menjadi pegawai pemerintahan termasuk

menjadi anggota militer dan polisi serta pembatasan – pembatasan lainnya.

Di satu sisi khususnya sector ekonomi orang- orang Tionghoa diberi

peluang, yang sebenarnya tidak lain juga demi kepentingan penguasa, pada

sisi lain secara politik dan kultur mereka tertekan. Dampak kebijakan itu

adalah adanya perbedaan sosial ekonomi yang menyolok antara pribumi

dan non pribumi, yang akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan

sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi Mei 1998

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

76

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman Wahid. 1990. Beri Jalan Tionghoa, Non Pribumi Di Mata Pribumi.

Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa.

Barth, Frederick.1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI Press

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Chang-Yau hoon. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan media.

Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES.

Coppel, Charles A. 1993. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Sinar

Harapan

Dhlan Nasution. 1989. Politik Internasional : Konsep dan Teori. Jakarta: Erlanga

Helius Sjamsudin. 2012. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Cina dalam Stabilitas Ekonomi dan

Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Liem Yusiun. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari evaluasi 32

Tahun di Bawah Rezim Soeharto. Jakarta: Djambatan

Mackie. 1976. Anti Chinese Outbrek in Indonesia 1959-1968, Melbourne:Thomas

Nelson.

Moh Mahfud MD. 2006. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES

Miram Budiarjo. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia

Mohammad Zain. 1994. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan

Philipus dan Nurul Aini. 1988. Politik Internasional Kerangka Analitis. Jakarta:

Erlangga Press

Rahardja T. 2005. Menghargai Perbedaan Kultur: Mindfulness Dalam

komunikasi antara etnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saefulah Fatah. 2000. Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan

Masa Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

77

Selo Soemarjan. 2011. Pengawasan Sosial Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:

Obor.

Setiono Benny G. 2005. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa

Soyomukti Nurani. 2002. Soekarno dan Cina. Yogyakarta: Garasi

Suhartono W.Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta :Temprint

____________ . 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta:

LP3ES

_____________. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa. Jakarta: LP3ES

Tan, Mely G. 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu Masalah

Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia

Titi Sumbung.1969. Perjanjian RI-RRT Mengenai Masalah Dwi

Kewarganegaraan. Jakarta: Sinar Harapan.

Wahyu Efendi. 2008. Tionghoa dalam cengkraman SBKRI. Jakarta: Tranmedia

Pustaka

Wibowo I dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat

Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas

Wibowo I. 1999. Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina. Jakarta:

PT.Gramedia

Yahya A Muhaimin. 1980. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia

1950-1980. Jakarta: LP3ES.

Yudo H, Siswono. 1985. Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia. Jakarta:

Lembaga Penelitian Yayasan padamu Negri.

Sumber Internet :

Kusteja,2011:http://web.budaya-Tionghoa.net/home/625-istilah-tiongoa-

Tionghoa-chinachinese-dan-cina)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

78

Sumber Majalah dan Jurnal :

Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: edisi 16-22

Agustus 2004.

Darini Ririn, Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Perspektif Historis,

Jurnal,

Winara Frans H, “Upaya penghapusan Praktik Diskriminasi, Khasusnya Surat

Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasca Lahirnya Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik

Indonesia”, Jurnal

Herwiranto M,”Kelenteng:Benteng Terakhir dan titik awal perkembangan

kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, Jurnal Lingua Cultur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

79

SILABUS

Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia (Wajib)

Kelas : XII

Kompetensi Inti :

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),

santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi

secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin

tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,

kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang

kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di

sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

80

Kompetensi Dasar Materi Pokok Pembelajaran Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber Belajar

1.2 Mengamalkan

hikmah kemerdekaan

sebagai tanda syukur

kepada Tuhan YME,

dalam kegiatan

membangun

kehidupan berbangsa

dan bernegara.

2.3 Menunjukan sikap

peduli dan proaktif

yang dipelajari dari

peristiwa dan para

pelaku sejarah dalam

menyelesaikan

permasalahan bangsa

dan negara

Indonesia.

IBadrika, 2006.

Sejarah Untuk SMA

Kelas XI Program

Ilmu Pengetahuan

Alam, Jilid 2 Jakarta:

Erlangga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

81

3.5 Mengevaluasi

kehidupan politik

dan ekonomi bangsa

Indonesia pada

masa Orde Baru

4.5 Melakukan

penelitian sederhana

tentang kehidupan

politik dan ekonomi

bangsa Indonesia

pada masa Orde

Baru dan

menyajikannya

dalam bentuk

laporan tertulis.

Kehidupan

Bangsa Indonesia

di Masa Orde

Baru dan

Reformasi

Latar Belakang

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

terhadap Etnis

Tionghoa

Pelaksanaan

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

terhadap Etnis

Tionghoa

Dampak

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

Terhadap Etnis

Tionghoa

Mengamati:

Mengamati film

tentang kebijakan

Pemerintah Orde

Baru terhadap etnis

Tionghoa

Menanya:

Tanya jawab,

berdiskusi dan

memberi komentar

tentang Kebijakan

Pemerintah orde

Baru terhadap

Etnis Tionghoa

Mengumpulkan

Informasi:

Di dalam

kelompok, siswa

mendiskusikan

topik terkait dengan

latar belakang, serta

Observasi:

Mengamati

kegiatan

pesertadidik

dalam proses

mengumpulk

an data,

analisis data

dan

pembuatan

laporan

tentang

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

terhadap

Etnis

Tionghoa

Portofolio:

Menilai

laporan

makalah

peserta didik

tentang

2 x 45 menit.

Leo Suryadinata.

1988. Dilema

Minoritas

Tionghoa.

Jakarta: Temprint

--------. 1999.

Etnis Tionghoa

dan

pembangunan

Bangsa. Jakarta:

LP3ES

Charles A.

Coppel. 1993.

Tionghoa Dalam

Krisis. Jakarta:

Sinar Harapan

Efendi Wahyu.

2008. Tionghoa

Dalam

Cengkraman

SBKRI. Jakarta:

Trans media

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

82

pelaksaan dan

dampak dari

Kebijakan

Pemerintah Orde

Baru terhadap Etnis

Tionghoa

Mengasosiasi:

Menganalisis

informasi yang

didapat dari

berbagai sumber

mengenai

keterkaitan untuk

mendapatkan

kesimpulan tentang

latar belakang,

serta pelaksaan dan

dampak dari

Kebijakan

Pemerintah Orde

Baru terhadap

Etnis Tionghoa

melalui bacaan

atau internet

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

terhadap

Etnis

Tionghoa

Tes tertulis:

Menilai

kemampuan

peserta didik

dalam

penguasaan

materi

Kebijakan

Pemerintah

Orde Baru

terhadap

Etnis

Tionghoa

Pustaka

Wibowo I dan

Thung Ju Lan.

2010. Setelah Air

Mata Kering :

Masyarakat

Tionghoa Pasca-

Peristiwa Mei

1998. Jakarta:

Kompas

Setiono Benny G.

2005. Tionghoa

Dalam Pusaran

Politik. Jakarta:

Elkasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

83

Mengkomunikasikan

Membuat hasil

kajian dalam

bentuk tulisan

mengenai tentang

latar belakang,

serta pelaksanan

dan dampak dari

Kebijakan

Pemerintah Orde

Baru terhadap

Etnis Tionghoa,

melalui bacaan

atau internet

Yogyakarta, 2 Januari 2016

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Drs. Andar Rujito.M.H. Daud Ade Nurcahyo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

84

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Satuan Pendidikan : SMA Bopkri 1 Yogyakarta

Kelas/ Semester : XII / 2

Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia

Materi Pokok :

Pertemuan : 1

Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. KOMPETENSI INTI

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun,

ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan

pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai

permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan

sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa

dalam pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan dan menganalisis pengetahuan faktual,

konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,

dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,

dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan

pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak

terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara

mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

85

B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR PENCAPAIAN

KOMPETENSI

No. Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

1. 1.2 Mengamalkan hikmah

kemerdekaan sebagai tanda

syukur kepada Tuhan YME,

dalam kegiatan membangun

kehidupan berbangsa dan

bernegara.

1.1.1 Bersyukur kepada Tuhan

Yang Maha Esa

1.1.2 Berdoa sebelum dan sesudah

kegiatan pembelajaran

2. 2.3 Menunjukan sikap peduli

dan proaktif yang dipelajari

dari peristiwa dan para

pelaku sejarah dalam

menyelesaikan

permasalahan bangsa dan

negara Indonesia.

2.1.1. Mengembangkan sikap

peduli.

2.1.2. Mengembangkan sikap

kerjasama

2 3.5 Mengevaluasi kehidupan

politik dan ekonomi bangsa

Indonesia pada masa Orde

Baru

3.1.1 Mendeskripsikan latar

belakang Kebijakan Orde

Baru terhadap Etnis

Tionghoa

3.1.2 Mendeskripsikan

Pelaksanaan Kebijakan Orde

Baru Terhadap Etnis

Tionghoa

3.1.3 Mendeskripsikan Dampak

Kebijakan Orde Baru

Terhadap Etnis Tionghoa

3 4.6 Melakukan penelitian

sederhana tentang

kehidupan politik dan

ekonomi bangsa Indonesia

pada masa Orde Baru dan

menyajikannya dalam

bentuk laporan tertulis.

4.1.1 Melaporkan hasil tulisan

tentang kasus diskriminasi

kebijakan Orde Baru

terhadap etnis Tionghoa

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat:

1. Menunjukan sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah dengan belajar tekun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

86

2. Menunjukan sikap prilaku menghargai jasa-jasa pahlawan dalam melawan

penjajah.

3. Bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas

4. Menunjukan sikap dan prilaku jujur

5. Menjelaskankan latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis

Tionghoa

6. Menjelaskan pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

7. Menjelaskan dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

8. Mempresentasikan tentang kasus diskriminasi Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa

D. MATERI AJAR

1. Latar belakang Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

2. Pelaksanaan Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

3. Dampak Kebijakan Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa

E. METODE PEMBELAJARAN

1. Pendekatan pembelajaran : Saintifik

2. Metode pembelajaran : Ceramah, tanya jawab, diskusi, presentasi

3. Model Pembelajaran : Problem Based Learning

F. SUMBER BELAJAR

Leo Suryadinata. 1988. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Temprint

Hapsari, Ratna, M. Adil. 2013. Sejarah Indonesia untuk SMA Kelas XII.

Jakarta: Erlangga

I Wayan Badrika. 2006 . Sejarah Kelas XII. Jakarta: Erlangga

G. MEDIA PEMBELAJARAN

Alat : Laptop, speaker, LCD.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

87

Bahan : Power point, film tentang kebijakan Orde Baru terhadap etnis

Tionghoa

H. KEGIATAN PEMBELAJARAN

Kegiatan Deskripsi Alokasi

waktu

Pendahuluan Guru mengucapkan salam kepada siswa

Guru mengajak siswa untuk berdoa bersama

Guru mengecek kehadiran siswa

Apersepsi:

Guru menyampaikan pengantar tentang

peristiwa sejarah etnis Tionghoa masa

pemerintah Orde Baru yang diskriminatif

Menyampaikan tujuan pembelajaran

5‟

Menit

Kegiatan Inti Mengamati

Peserta didik mengamati Film tentang

kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa

Menanya

Guru memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk bertanya dan

menyampaikan pendapat tentang Materi

Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis

Tionghoa

Mengumpulkan informasi

Peserta didik mendiskusikan topik

permasalahan tentang Kebijakan Orde Baru

terhadap Etnis Tionghoa

Mengasosiasi

Peserta didik melakukan kegiatan

mengemukakan pendapat untuk menganalisis

tentang kebijakan Orde Baru terhadap Etnis

Tionghoa

Peserta didik merumuskan nilai-nilai yang

diperoleh dari Kebijakan Orde Baru yang

berdampak khususnya pada Etnis Tionghoa

Mengkomunikasikan

Peserta didik mempresentasikan analisis hasil

diskusi kelompok di depan kelas yang

70‟

Menit

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

88

diwakili oleh salah satu anggota kelompok

masing-masing, anggota kelompok lain

memberikan tanggapan.

Peserta didik menyajikan hasil simpulan

materi yang telah dipelajari di depan kelas.

Penutup Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang

kegiatan pembelajaran dan hasil belajarnya

Peserta didik diberikan pertanyaan lisan secara

acak untuk mendapatkan umpan balik atas

pembelajaran yang baru saja dilakukan

Konfirmasi

Peserta didik diberikan tugas untuk membuat

laporan tentang kasus dari Kebijakan Orde Baru

terhadap Etnis Tionghoa

Informasi materi pembelajaran yang akan

datang

15‟

Menit

I. PENILAIAN

A. Sikap Spiritual

a. Teknik Penilaian : Observasi

b. Bentuk Instrumen : Lembar observasi

c. Kisi-kisi:

No. Sikap/nilai Butir Instrumen

1. Bersyukur kepada Tuhan 1

2.

d. Instrumen:

Instrumen 1.

No. Nama

Peserta didik

Indikator:

NilaiAkhir Bersyukur kepada

Tuhan

(1-4)

Berdoa sebelum dan

sesudah kegiatan

pembelajaran

(1-4)

1.

2.

3.

4.

Kisi-kisi Indikator sikap spiritual: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan

pembelajaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

89

1. Berdoa dengan tidak sungguh-sungguh

2. Kadang-kadang berdoa dengan sungguh-sungguh

3. Sering berdoa dengan sungguh-sungguh

4. Selalu berdoa dengan sungguh-sungguh

Petunjuk Penyekoran :

Peserta didik memperoleh nilai :

Baik Sekali : apabila memperoleh skor 8

Baik : apabila memperoleh skor 6

Cukup : apabila memperoleh skor 4

Kurang : apabila memperoleh skor 2

B. Sikap Sosial

a. Teknik Penilaian: Non tes (Pengamatan sikap selama proses pembelajaran)

b. Bentuk Instrumen: Lembar penilaian

c. Kisi-kisi:

No. Sikap/nilai Butir Instrumen

1. Menghargai pendapat teman 1

2. Tidak memilih – milih teman 2

3.

d. Instrumen

No. Peserta

didik

Indikator

Jumlah Skor Menghargai

pendapat

teman

(1-4)

Tidak memilih

– milih teman

(1-4)

1.

2.

3.

4.

Kisi-kisi Indikator sikap sosial Menghargai pendapat teman:

Deskriptor Skor

Tidak menghargai pendapat teman 1

Kurang menghargai pendapat teman 2

Cukup menghargai pendapat teman 3

Sangat menghargai pendapat teman 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

90

Kisi-kisi Indikator sikap sosial Tidak memilih – milih teman:

Deskriptor Skor

Tidak memilih – milih teman 1

Kurang tidak memilih teman 2

Cukup tidak memilih teman 3

Sangat tidak memilih teman 4

Petunjuk Penyekoran :

Peserta didik memperoleh nilai :

Baik Sekali : apabila memperoleh skor 12

Baik : apabila memperoleh skor 9

Cukup : apabila memperoleh skor 6

Kurang : apabila memperoleh skor 3

C. Penilaian Sikap Diskusi

a. Teknik : Non tes(pengamatan sikap selamadiskusi)

b.Bentuk instrument : Lembar penilaian

c. Kisi- kisi :Sikap selama diskusi

No. Sikap/nilai Butir Instrumen

1. Keaktifan 1

2. Keseriusan 2

3. Mengemukakan pendapat 3

4. Bertanya 4

d. Instrumen:

No. Nama

Indikator

Keaktifan Keseriusan Bertanya MengemukakanPendapat NilaiAkhir

1.

2.

3.

4.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

91

Kisi-kisi indikator penilaian sikap diskusi:

Keaktifan, mengemukakanpendapat, bertanya

a. Skor 1 diperoleh siswa bila tidak terlibat dalam kelompok

b. Skor 2 diperoleh siswa bila terlibat dalam kelompok namun tidak

memberikan masukan

c. Skor 3 diperoleh siswa bila terlibat dan memberikan masukan

d. Skor 4 dperoleh siswa bila berperan aktif dalam kelompok

Keseriusan

a. skor 1 diperoleh siswa bila siswa tidak serius dalam mengerjakan tugas

b. skor 2 diperoleh siswa bila siswa cukup serius dalam mengerjakan tugas

c. skor 3 diperoleh siswa bila siswa serius dalam mengerjakan tugas

d. skor 4 diperoleh siswa bila siwa sangat serius dalam mengerjakan tugas

Petunjuk Penyekoran:

Peserta didik memperoleh nilai:

A = Baik Sekali : apabila memperoleh skor 12

B = Baik : apabila memperoleh skor 9

C = Cukup : apabila memperoleh skor 6

D = Kurang : apabila memperoleh skor 3

D. Pengetahuan (Kognitif)

a. Teknik Penilaian: Tes

b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas

c. Kisi-kisi: Tugas terstruktur

d. Instrument: Soal tes

Soal tes

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

92

1. Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?

2. Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru

terhadap Etnis Tionghoa?

3. Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?

Kunci jawaban

1. Bagaimana latar belakang Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?

Pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah penyerahan kedaulatan pada

tahun 1950 pada dasarnya mewarisi kebijakan yang ditinggalkan oleh pemerintah

kolonial. Pemerintah membiarkan warga Tionghoa terus aktif di bidang ekonomi

sambil membatasi keberadaan mereka sebagai pejabat di bidang birokrat.

Pada era Orde Lama masa demokrasi terpimpin, pemerintah juga

mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif di bidang ekonomi yaitu PP

No.10/1959 yang isinya melarang orang-orang Tionghoa berdagang di wilayah

pedesaan yang melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas

peran dan hak ekonomi etnis Tionghoa. Mereka hanya diperbolehkan berdagang

sampai tingkat kabupaten dan tidak boleh berdagang di tingkat kecamatan apalagi

di desa-desa. Implikasinya, orang –orang di berbagai daerah dilarang dan dipaksa

untuk meninggalkan permukimannya di pedesaaan. Sekalipun larangan

ditunjukkan kepada WNA Cina,

a. Etnis Tionghoa Pasca peristiwa 65

Selain konflik politik yang meliputi peralihan kekuasaan, setelah peristiwa

G30S/PKI, konflik sosial juga bermunculan di tengah masyarakat. Pembunuhan

masal yang timbul setelah kudeta berdarah, lebih ditujukan kepada masyarakat

pribumi anggota PKI dan simpatisannya, meskipun dalam peristiwa-peristiwa

tersebut etnis Tionghoa juga turut menjadi korban. Pembunuhan orang Tionghoa

lebih bersifat sporadis dan kurang sistematis, karena hanya sebagai bagian dari

pembunuhan besar-besaran pada umumnya, yang menimpa orang-orang Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

93

yang dianggap mendukung PKI. Pada umumnya kekerasan yang menimpa etnis

Tionghoa setelah kudeta lebih banyak berupa pengrusakan harta milik, seperti

perampokan, pembakaran toko, sekolah, rumah, dan mobil.

b. Pembatalan Dwi Kewarganegaraan

Saat Indonesia merdeka, pemerintah memberlakukan Undang-undang

Kewarganegaraan, 1946, yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di

Indonesia merupakan warga negara Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan

tahun 1946, menerapkan Jus Soli (berdasarkan daerah kelahiran) dan sistem pasif.

Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa warga negara Indonesia terdiri

dari orang asli yang lahir dan telah menetap di Indonesia selama 5 tahun berturut-

turut, serta mereka yang telah berumur 2 tahun. Kemudian orang-orang asing,

dalam hal ini adalah etnis Tionghoa, dapat menjadi warga negara Indonesia, jika

mereka tidak menolak kewarganegaran Indonesia.80

Akan tetapi ,warga Indonesia

keturunan Tionghoa juga terikat dengan Undang-undang Kebangsaan Ching tahun

1909, yang menyebabkan mereka masih memiliki dua kewarganegaraan, yaitu

kewarganegaraan Cina dan Indonesia.

Perjanjian Dwi Kewarganegraan lahir karena kekhawatiran Indonesia

terhadap paham komunis di Cina yang dapat disalurkan melalui warga negara

Indonesia keturunan Tionghoa, setelah orang –orang komunis merebut kekuasaan

di Cina daratan. Cina sendiri menyambut baik pendekatan yang dilakukan oleh

pemerintah Indonesia, karena setelah orang-orang komunis memegang kekuasaan

di Cina, mereka menginginkan untuk memegang peran dalam percaturan politik

80

Suryadinata, Leo, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Temprint, hlm.116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

94

regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga

yang mencurigainya. Selain itu, perjanjian dwi kewarganegaraan juga lahir karena

presepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokal, yang dianggap tidak dapat

berasimilasi.

2. Sebutkan dan Jelaskan Pelaksanan dari Kebijakan Pemerintah Orde Baru

terhadap Etnis Tionghoa?

Sewaktu Orde Baru berjaya, selama itu pula Etnis Tionghoa banyak

mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa

peraturan yang mengatur eksistensi Etnis Tionghoa di Indonesia,antara lain :

a. Intrusksi Presiden No. 14/1976 yang berisi larangan kegiatan

keagamaan,kepercayaan, dan adat Tionghoa di Indonesia.

Pada tanggal 6 Desember 1967 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi

Presiden Nomer 14 tahun 1967 tentang agama, Kepercayaan dan Adat

Istiadat Tionghoa. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa semua

upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh

dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi

Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan

Tionghoa. Termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya,

dan mendorong terjadinya asimilasi secara total.

b. Surat Edaran No. 06/Preskab/6/1967 yang isinya menyatakan

masyarakat Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang

berbau Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

95

Salah satu bentuk politik diskriminasi nyata yang dilakukan secara

institusional di Indonesia adalah penerapan ketentuan SBKRI yang

terutamanya ditunjukkan kepada kelompok etnis Tionghoa warga negara

Indonesia beserta keturunan- keturunannya. SBKRI adalah tanda

pengenalan yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara

Republik Indonesia. Walaupun peruntukan ini bersifat legalitas, SBKRI

terutamanya hanya diberikan kepada keturunan Tionghoa. Pada dasarnya,

pengamalan SBKRI sama artinya dengan usaha untuk menempatkan para

warga negara keturunan Tionghoa pada status yang “masih dipertanyakan

“di sisi undang- undang kewarganegaran Indonesia. Akibatnya seorang

WNI Tionghoa yang meskipun sudah beberapa generasi lahir “hingga

menutup mata” ditanah Indonesia, setiap waktu harus membuktikan

dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam berbagai proses

admistratif publik, dari pembuatan kartu tanda penduduk (KTP),

memasuki dunia pendidikan , menyatakan hak politik, membuat surat

perjalanan ke luar negeri, sampai menikah dan meninggal dunia pun harus

membuktikan dirinya warga negara Indonesia melalui SBKRI.

c. Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1988, yang melarang

penggunaan lahan untuk mendirikan ,memperluas,atau

memperbarui Klenteng.

Menilik berbagai fungsinya, tidaklah disangkal bila kelenteng menjadi

salah satu pusat kegiatan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi,

pemerintahan Orde Baru membawa perubahan besar terhadap kelenteng -

kelenteng di Indonesia melalui peraturan Menteri Perumahan No.455.2-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

96

360/1988, yang isinya melarang penggunaan lahan untuk mendirikan,

memperluas,atau memperbahurui kelenteng.81

Istilah klenteng yang

menunjukkan tempat ibadah orang Tionghoa tidak lagi digunakan dan

diganti dengan Wihara (tempat ibadah umat Budha). Selama Orde Baru

Berjaya mendirikan sebuah perhimpunan tempat ibadah Tri Dharma yang

mencangkup tiga agama sekaligus yaitu agama Khonghucu, Tao, dan

Buddha. Perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma kemudia berkembang

menjadi perhimpunan tempat Ibadah Tri Dharma se-Indonesia. Rezim

Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi Wihara yang lebih

mengacu sebagai tempat ibadat agama Budha sedangkan ajaran Taoisme

dan Konghuchu dianggap sebagai sampingan saja dan harus berlindung

dibalik agama Budha.

3. Jelaskan Dampak dari Kebijakan Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa?

Bidang Sosial dan Budaya

Dengan Keputusan Presiden No. 56/1996 dan instruksi Presiden

No.4/1999 tentang pelaksanaan keputusan Presiden No.56/1996 yang

mengintruksikan tidak berlakuknya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang

sudah menjadi WNI, sehingga SBKRI dicabut. Pencabutan secara

nasional ini terispirasi dari Surakarta. Ketika Walikota Surakarta, Slamet

Suryanto di tengah kesimpangsiuran antara ketentuan dan praktik

birokrasi, pihaknya melakukan penghapusan SBKRI bagi warga

keturunan Tionghoa di Surakarta. Melalui Instruksi Walikota No

471/006/02/2004 yang dikeluarkan tanggal 19 Juli 2004 tentang

penggunaan bukti kewarganegaraan RI merupakan tindak lanjut

81

Majalah Tempo, Etnis Tionghoa di Zaman yang Berubah, Jakarta: Edisi 16-22 Agustus 2004,

hlm.37

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

97

pencabutan SBKRI secara nasional sesuai Keppres Nomer 56 tahun 1996

dan Inpres No 4 tahun 1999. Selanjutnya masyarakat Tionghoa tidak lagi

disibukkan dengan bukti kewarganegaraan tambahan selain Kartu Tanda

Penduduk (KTP).

Bidang Ekonomi

Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru kemudian memicu praktek

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN

inilah yang sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini muncul

dengan hadirnya beberapa konglomerat yang memainkan peran sangat

dominan dalam praktek tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono

Salim, William Soeryadjaya, Eka Tjipta, Bob Hasan, dan sebagainya.

Sementara itu orang-orang yang berasal dari elit pribumi diantaranya

adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan beberapa petinggi

militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru.

Singkatnya pada masa Orde Baru, setiap pengusaha yang dekat dengan

kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi

pada Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Kemampuanya menjalin

kedekatan dengan Soeharto menjadikannya salah satu konglomerat

terbesar di Indonesia. Ini tidak dapat dipungkiri dari citranya sebagai

pengusaha sukses yang mempunyai beberapa perusahaan besar seperti PT.

Indocement, bank Central Asia (BCA), Hotel Mandiri, PT.Tarumate, dan

lain-lain, yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis

bagi perkembangan ekonomi Indonesia.

Bidang Politik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

98

Politik penerimaan disambut sangat antusias oleh masyarakat Tionghoa.

Mereka tidak hanya mewujudkanya dalam bentuk pendirian partai-partai

politik saja, melainkan juga organisasi kemasyarakatan. Sebagian tokoh

Tionghoa yang sejak awal tidak menyetujui didirikannya partai etnik,

memilih bergabung dengan partai politik yang dibentuk oleh orang

Indonesia non Tionghoa atau mendirikan organisasi masa yang lebih

berfungsi sebagai pressure grup. Fenomena ini sebenarnya sekali lagi

dapat dimaknai dan dapat menunjukkan bahwa mereka adalah sebuah

masyarakat yang tidak homogeny, tetapi multi etnik dan multi budaya

yang memiliki orientasi politik sebagai cermin orientasi budaya yang

berbeda-beda dan beragam.

Selain mendirikan partai dan bergabung dengan partai politik yang sudah

ada, beberapa kelompok warga tionghoa bergabung untuk berhimpun

dalam organisasi yang bergerak di berbagai bidang dan tujuan, mualai

profesi hingga sosial budaya bahkan etnis dan agama. Seluruh organisasi

tersebut, walaupun bermcam-macam tujuan dan kegiatannya namun

memiliki kesamaan antara satu dengan yang lainnya yaitu beranggotakan

Tionghoa. Beberapa organisasi yang menonjol adalah Paguyuban Sosial

Marga Tionghoa Indonesia dan Perhimpunan Keturunan Tionghoa

Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

99

Pedoman penskoran

No. Rambu-rambu skor Skor

1. Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat 20

2. Jawaban berdasarkan referensi yang relevan

dengan alasan seadanya

15

3. Jawaban kurang lengkap 6

4. Jawaban tidak sesuai dengan soal yang ditanyakan 4

Catatan : setiap soal skor maksimal 20

Keterangan:

- Siswa yang memperoleh nilai <75 dinyatakan tidak tuntas dan

mengikuti remidi

- siswa yang memperoleh nilai >75 dinyatakan tuntas dan mengikuti

pengayaan

E. Psikomotorik

a. Teknik Penilaian: Tes

b. Bentuk Instrumen: Lembar tugas

c. Kisi-kisi :

Tugas : Peserta didik diberi tugas untuk membuat artikel ilmiah.

d. Instrumen:

Soal : Buatlah artikel ilmiah tentang kasus diskriminasi Orde Baru

terhadap etnis Tionghoa

No.

Nama

Peserta

Didik

Aspek yang dinilai

Nilai

Akhir Relevansi

(1-4)

Kelengkapan

(1-4)

Pembahasan

(1-4)

Ketepatan

Waktu

(1-4)

1.

2.

3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: KEBIJAKAN ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA SKRIPSI

100

Petunjuk Penyekoran:

Peserta didik memperoleh nilai:

Baik Sekali : apabila memperoleh skor 13–16

Baik : apabila memperoleh skor 9 – 12

Cukup : apabila memperoleh skor 5 – 8

Kurang : apabila memperoleh skor 1 – 4

Yogyakarta, 2 Maret 2016

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Drs. Andar Rujito.M.H. Daud Ade Nurcahyo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI