kebijakan madrasah
DESCRIPTION
contoh kebijakan pada madrasahTRANSCRIPT
TUGAS INDIVIDU
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
MADRASAH PADA ERA OTONOMI
DAERAH
Oleh
SUYUDINIM : 1210246991
PROGRAM PASCASARJANAMANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAUPEKANBARU
2013
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
MADRASAH PADA ERA OTONOMI DAERAH
Secara substansi, negara menjamin atas terselenggaranya pendidikan bagi seluruh
rakyat Indonesia, tanpa mengenal sekolah umum atau sekolah agama (madrasah dan
pesantren). Kedua bentuk lembaga pendidikan tersebut diakui keberadaannya dan dilindungi
oleh undang-undang di NKRI. Artinya, dalam perundang-undangan yang lebih tinggi dari
sekedar Permen, NKRI mengakui bahwa madrasah merupakan tanggung jawab negara.
Ekses dari reformasi disamping melahirkan Sistem otonomi daerah juga melahirkan
UUSPN No. 20 Tahun 2003, PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan dan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan. Lahirnya kebijakan hukum ini berdampak signifikan bagi
keberadaan serta perkembangan madrasah. Tetapi pada tataran implementatifnya banyak
terjadi diskriminatif terhadap keberadaan madrasah.
Terpinggirnya madrasah dari persaingan sesungguhnya juga dikarenakan dua faktor,
yaitu :
1. faktor internal:
Pertama, meliputi manajemen madrasah yang pada umumnya belum mampu
menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan
berkualitas.
Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah.
Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang
tidak memiliki visi, dan misi.
2. Sedangkan faktor eksternal:
pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap madrasah.
kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang madrasah selama ini lebih
didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. madrasah tidak
dianggap bagian dari sektor pendidikan, lantaran urusannya tidak di bawah
Kemendiknas. Faktor
ketiga, adalah adanya diskriminasi masyarakat terhadap madrasah. Ada sebagian
masyarakat selama ini memandang madrasah adalah pendidikan nomor dua dan
merupakan alternatif terakhir setelah lembaga pendidikan di lingkungan Diknas.
Kebijakan otonomi daerah yang cenderung diskriminatif terhadap madrasah
disebabkan oleh beberapa faktor;
Pertama, karena aturan perundang-undangan otonomi daerah yang dipahami secara
sempit oleh pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
Kedua, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah daerah atau antar
satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) baik koordinasi internal maupun eksternal dengan
kementerian Agama yang membawahi pendidikan madrasah.
Ketiga, faktor dominasi politik praktis yang seringkali mempengaruhi kebijakan
daerah.
Kebijakan Menteri dalam negeri yang keliru
Permendagri No 39 tahun 2012 yang merupakan perubahan atas Permendagri No 32 tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari dana
APBD, mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan bantuan pendidikan
pada madrasah apabila APBD mampu memberikan bantuan tersebut.
Hal ini selaras dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2), serta UU No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Secara substansi, negara menjamin atas terselenggaranya pendidikan bagi seluruh rakyat
Indonesia, tanpa mengenal sekolah umum atau sekolah agama (madrasah dan pesantren).
Kedua bentuk lembaga pendidikan tersebut diakui keberadaannya dan dilindungi oleh
undang-undang di NKRI. Artinya, dalam perundang-undangan yang lebih tinggi dari sekedar
Permen, NKRI mengakui bahwa madrasah merupakan tanggung jawab negara.
Tatkala kemapanan tersebut terbangun sejak lama, di penghujung tahun 2012 dunia
pendidikan madrasah digoyang melalui rencana pemerintah melalui kebijakan Menteri Dalam
Negeri yang menginstruksikan agar pemerintah daerah tidak lagi memberikan bantuan
kepada madrasah melalui dana APBD.
Pernyataan Mendagri yang demikian sangat tidak popular dan sangat tidak bijak tersebut
perlu dipertanyakan. Apakah pernyataan tersebut karena ketidaktahuannya atau
ketidakmampuannya dalam memahami madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga
pendidikan yang ada di Indonesia dengan perannya yang demikian besar bagi memajukan
bangsa ini jauh sebelum Indonesia merdeka.
Jika kebijakan ini dilakukan karena ketidaktahuan atau ketidakmampuannya dalam
memahami persoalan, ada dua pilihan yang perlu dilakukannya, yaitu: Pertama, bertanya
dengan ilmuwan yang ahli di bidangnya agar jangan keliru dalam membuat kebijakan.
Kedua, mundur dari jabatan karena ketidakmampuannya. Hal ini justru lebih terpuji.
Padahal, bila ditilik dari hasil Ujian Nasional (UN), kualitas lulusan madrasah mampu
melampaui lulusan sekolah umum. Kebijakan yang menganaktirikan madrasah ini sangat
menyinggung perasaan umat Islam di Indonesia.
Ada beberapa persoalan yang muncul akibat kebijakan yang tidak populer ini, antara lain:
Pertama, keberlangsungan madrasah yang sudah tertatih-tatih akan semakin terjerembab
dalam ketidakmampuan finansial. Sebab, keberadaannya tidak memperoleh perhatian dari
negara.
Bila hal ini terjadi, berarti negara berada pada garis berseberangan dengan UUD 1945 dan
UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Padahal, bila ada peraturan yang bertentangan dengan UUD
1945, berarti peraturan tersebut dipertanyakan keabsahannya. Kedua, munculnya
ketidakadilan.
Sebab, tatkala peraturan pelarangan berlaku bagi madrasah, namun tidak bagi lembaga
pendidikan keagamaan yang dikelola oleh umat lain.
Dengan dalih bahwa hanya “madrasah” yang dilarang memperoleh bantuan dari dana APBD,
maka lembaga pendidikan keagamaan yang tidak “madrasah” akan tetap memperoleh
bantuan. Ketiga, hilangnya sejarah dan dinafikannya kontribusi madrasah sebagai salah satu
lembaga pendidikan pribumi yang telah mencerdaskan ratusan ribu anak bangsa di negeri ini.
Peraturan yang sarat dengan nuansa politis dan ketidakmampuan pembuat kebijakan ini
menjadi isu yang hangat dibincangkan di media massa di penghujung tahun 2012, namun sepi
aksi dari kalangan intelektual.
Pemerintah perlu mengkaji ulang alasan larangan memberikan bantuan dari dana APBD
kepada madrasah. Sebab, tatkala dunia pendidikan negeri ini terkoyak dengan banyaknya
tawuran antarpelajar dan dekadensi moral, justru hal tersebut terjadi pada lembaga
pendidikan di luar madrasah.
Sedangkan melalui pola pendidikan dan kurikulum yang ditawarkan, madrasah mampu
menanamkan akhlak terhadap siswanya dengan pendidikan karakter yang mulia.
Dengan pola yang diterapkan, kondisi yang membuat pendidikan terkoyak justeru mampu
diminimalkan oleh pendidikan madrasah.
Padahal, pendidikan nasional sedang mengumandangkan teriakan pendidikan karakter.
Tatkala madrasah mampu membantu negara dalam membangun karakter generasi, justeru
keberhasilannya tersebut dihargai pemerintah dengan larangan pemerintah daerah
memberikan bantuan kepada madrasah dari dana APBD. Sungguh negeri yang lucu akibat
dikelola oleh pembuat kebijakan yang lucu.
Sudah saatnya negeri ini meninggalkan tradisi yang aneh dan tidak cerdas menuju tradisi
yang semakin cerdas dan bernas. Apatah lagi bila kebijakan tersebut justeru bertentangan dan
paradoks dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa “berikanlah sebuah urusan kepada yang
ahlinya. Tatkala sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa
kehancurannya”.
Sudah begitu banyak kehancuran yang telah Allah perlihatkan di negeri ini akibat urusan
yang diserahkan pada orang yang tidak ahlinya.
Jangan ditambah lagi kehancuran baru akibat lontaran kebijakan yang menampakkan
ketidakcerdasan dan ketidakmampuan. Wa Allahua’lam bi al-shawwab.