kebijakan luar negeri cina dalam the united...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE
UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA KONFERENSI
PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh:
Nova Febriyani
NIM: 107083003348
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Skripsi yang berjudul:
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE UNITED NATIONS
FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA
KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
iv
ABSTRAK
Cina mempunyai kebijakan luar negeri yang merupakan cerminan dari prinsip dan tujuan negaranya dan diaplikasikan dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen. Skripsi ini menjawab pertanyaan: Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan diplomasi lingkungan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan data-datanya terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berasal dari buku, jurnal, surat kabar dan berbagai artikel yang relevan. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dalam bentuk analisa deskriftif.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas, dijabarkan terlebih dahulu mengenai UNFCCC serta faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen. Pada konferensi Copenhagen, Cina menggunakan prinsip diplomasi lingkungan yaitu prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun, dan tanggung jawab negara-negara maju untuk mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut dijabarkan dalam tujuan kebijakan luar negeri Cina dan diimplementasikan dalam kebijakan luar pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen tahun 2009. Kebijakan luar negeri Cina pada konferensi tersebut, Cina berusaha untuk melakukan diplomasi agar penurunan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) dapat disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi negaranya. Selain itu, Cina berkomitmen untuk memotong tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 40-45 persen pada tahun 2020. Cina meminta negara indusri maju untuk bertanggung jawab sebagai aktor utama penyebab terjadinya perubahan iklim.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robill ‘Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi
Perubahan Iklim di Copenhagen Tahun 2009”. Selanjutnya, ucapan terima
kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua (Bapak Baskoro dan Ibu
Mulyati) yang senantiasa memberikan motivasi dengan penuh rasa cinta dan kasih
sayang yang tulus kepada penulis, dan memberikan dukungan materi serta
mengiringi penulis melalui doa dan restu.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
vi
4. Friane Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing skrispsi yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta
motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. Waktu
pembuatan skripsi memang singkat sehingga bagi penulis sangat berkesan
sekali bisa bersilaturahmi dengan Bu Rara. “Bu terima kasih atas waktu
bimbingan yang selalu diberikan setiap saat dan kadang menjadi “editor” yang
begitu pengertian walaupun penulis mengetahui bahwa pada saat-saat tertentu,
ibu sudah lelah mengajar”. Bagi penulis Bu Rara merupakan salah satu dosen
terbaik di HI UIN. Love U Bu…
5. Kiky Rizky, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan waktu luang kepada penulis untuk bertukar pikiran dan membuka
wawasan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi. Kenangan belajar bersama
Bapak/Ibu Dosen akan selalu terpatri dalam hati penulis selamanya.
7. Drs. Armein Daulay, M.Si. yang selalu memberikan motivasi dan info seminar
yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Selanjutnya, terima kasih kepada Rahmi Fitriyani, M.Si. yang bersedia
memberikan second opinion dan selalu memberi semangat kepada penulis.
8. Rendra Kurnia, S.H, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer,
Kementerian Lingkungan Hidup selaku narasumber yang bersedia untuk
diwawancarai serta memberikan informasi dan data-data sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
9. Dr. drh. Yanuarso Eddy, M.Sc., Ag dan drh. Erma Najmiyati yang telah
menjadi dosen pembimbing penulis selama magang di Balai Teknologi
Lingkungan (BTL) Puspiptek. Terima kasih atas semua bimbingan dan ilmu
yang diberikan mengenai lingkungan hidup secara lebih mendalam yang
selama ini belum diketahui oleh penulis.
10. Dr. Fadilah Hasim dan Yasunobu Kobuki selaku Presiden Indonesian
Education Promoting Foundation (IEPF). Terima kasih atas pengertian yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skrispi ini sehingga antara
kuliah dan pekerjaan bisa berjalan beriringan.
11. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dikala penulis jenuh
saat penulisan skripsi ini. Untuk kedua adik-adik penulis yang tersayang Novi
Tasari dan Shita Shahifa Iqlima. Tak lupa juga untuk nenek dan kakek penulis
yang selalu mendo’akan dengan setulus hati.
12. Pungo ku tersayang, Muhammad Zubir yang selalu memberikan bantuan dan
dukungan yang luar biasa di dalam kehidupan penulis baik dalam keadaan suka
maupun duka. Terima kasih karena telah menjadi “ojek cinta” selama 3,5 tahun
dan bersedia mengantarkan penulis untuk mencari bahan-bahan dalam
penulisan skrispsi ini.
13. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Alwiyah Binti Aly, Azzahratul Azizah, Diana
Raesha, dan Faiza Hasan yang selalu memberi motivasi penulis dalam
penulisan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan yang indah selama empat
tahun ini.
14. Teman-teman Mahasiswa/i Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007
khususnya kelas A. Tanpa mengurangi rasa sayang penulis, maaf tidak bisa
menulis nama kalian semua. Terima kasih telah telah memberikan rasa
viii
kebersamaan, keakraban, kepedulian dan silaturahmi yang telah terjalin selama
ini. Penulis akan selalu mengingat dan merindukan kalian semua.
15. Teman-teman Mahasiswa/i Hubungan Internasional mulai angkatan 2006
hingga 2010. Senang bisa kenal dan bersilaturahmi dengan kalian semua.
16. Fera Bayu Wati selaku rekan kerja di Indonesian Education Promoting
Foundation (IEPF) yang selalu memberikan pengertian dan kelonggaran waktu
kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
17. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan kedepan.
Jakarta, Agustus 2011
Nova Febriyani
ix
DAFTAR ISI ABSTRAK …………………………………………………………….. iv KATA PENGANTAR …………..……………………………………. v DAFTAR ISI …………………………………………………………… ix DAFTAR BAGAN ……………..……………………………………... xi DAFTAR TABEL …………………………………………………….. xii DAFTAR LAMPIRAN ...……………………....……………………... xiii DAFTAR SINGKATAN ..……………………………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1 B. Pertanyaan Penelitian ……………………………………….. 6 C. Kerangka Teori …...………………………………………..... 6 D. Metode Penelitian …………………………………………... 9 E. Sistematika Penulisan ……………………………………..... 10 BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE CHANGE (UNFCCC) A. Sejarah UNFCCC ………………………………………....... 13 B. Prinsip UNFCCC ………………………………………..….. 15 C. Tujuan UNFCCC ………………………………………..….. 17 D. Strukur UNFCCC …………………………………………... 18 E. Komitmen UNFCCC .……………………………………..... 22 F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC.…….. 22 G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen
Tahun 2009 …………...……………………...……..………. 25 BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG
MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC
A. Faktor Internal 1. Kondisi Geografis dan Demografis China ………..………... 33 2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah …..………….. 35 a. Dasar-dasar Negara ………………..……………...….... 36 b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah ………..…………... 37 3. Kondisi Ekonomi ……………………………..……..……... 40 a. Konsep Sistem Ekonomi China pada masa
Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009) …..……………... 40 4. Kebijakan Pemerintah China dalam Bidang Energi dan
Lingkungan …………………………………………...…..... 46 a. Kebijakan Energy Security ………...…………..…….... 48 b. Naskah Putih …………………………………..……… 52 B. Faktor Eksternal 1. China dalam Sistem Ekonomi Internasional …….……….. 55 2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global ……….…………. 56 3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup
Global ………………………………………...………….... 58
x
4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global …………,.…….………….……………. 59
BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
1. Prinsip Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC …… 65 2. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri China dalam
UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009…. 67 3. Tujuan Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC
pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009 …..……...…. 68 4. Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada
Konferensi Copenhagen Tahun 2009 .….………………….... 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………………………..………………………. 75 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..... xv
LAMPIRAN
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Struktur UNFCCC 18
Bagan 3.2 Proses Penyusunan Kebijakan Energi China Tahun 2008 49
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Annex 1 23
Tabel 3.1 GDP China Tahun 2008, 2009, dan 2010 43
Tabel 3.2 Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak China 51
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Copenhagen Accord
Lampiran II : Policy Speech PM Wen Jiabao di Jakarta 30 April 2011
Lampiran III : Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan
Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup
Lampiran IV : Konstitusi China, 4 Desember 1982
xiv
DAFTAR SINGKATAN
UNFCCC : The United Nations Framework Convention on Climate Change SEPA : State Environmental Protecting Agency COP : Conference of the Parties UNEP : United Nations Environment Program UNCED : United Nations Conference on Environment and Development CBD : The Convention on Biological Diversity UNCCD : The United Nations Convention to Combat Desertification GEF : The Global Environment Facility IPCC : The Intergovernmental Panel on Climate Change AWG-KP : The Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I
Parties under the Kyoto Protocol AWG-LCA : The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action
under the Convention SBSTA : Body for Scientific and Technological Advice SBI : Subsidiary Body for Implementation CMP : The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties
to the Kyoto Protocol EIT : Economic in Transition OECD : Organization for Economic Cooperation and Development NDRC : The National Development and Reform Commission NEA : National Energy Administration NEC : National Energy Commission CNOOC : China National Offshore Oil Corporation Sinopec : China Petroleum and Chemical Company CNPC : China National Petroleum Company MFA : Ministry of Foreign Affairs CDM : Clean Development Movement GRK : Gas Rumah Kaca SDA : Sumber Daya Alam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian negara berkembang di Asia seperti Cina dan India merupakan
negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat di kawasannya. Globalisasi ekonomi1
yang terjadi telah merubah sistem perekonomian suatu negara dari yang mulanya
lebih fokus pada perekonomian dalam negeri menjadi terlibat dalam pasar global.
Dampak globalisasi ini terhadap perekonomian Cina adalah penggunaan sistem
ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat (Irham
2009, 2). Dampak dari keterlibatan dalam pasar dunia ini, Cina memproduksi
berbagai macam barang dengan produksi masal tanpa memperhatikan dampak
lingkungan.
Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, Cina mempunyai slogan gaige
kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2). Wibowo
menjelaskan negara yang menganut sistem ekonomi terpusat selama 30 tahun ini
secara konsisten mulai mengurangi peran negara serta memberi kebebasan
berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan
ekonomi yang terpusat, tidak menentukan harga barang dan jasa, dan tidak
memegang monopoli dalam produksi barang. Kebijakan ekonomi Cina pada masa
ini menarik perusahaan swasta dan perusahaan asing untuk masuk dan berinvestasi
di Cina agar perkembangan industrinya semakin pesat (Wibowo 2010, 31).
1 Menurut Jackson & Sorenson (2005, 267), globalisasi ekonomi adalah pergeseran kualitatif menuju perekonomian dunia yang tidak lagi berdasarkan pada perekonomian nasional yang otonom, melainkan berdasarkan pada pasar global yang kuat bagi produksi, distribusi dan konsumsi.
1
2
Menurut Wibowo faktor pendukungnya adalah jumlah penduduk yang besar (Cina
merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia) dan tidak adanya serikat buruh
sehingga mereka dapat digaji murah.
Wibowo (2007, 163) menjelaskan bahwa dampak pengembangan industri
di Cina terhadap lingkungan, antara lain; polusi udara yang meningkat,
tercemarnya air sungai oleh limbah, serta pembukaan lahan hutan yang merupakan
salah satu contoh bagaimana pembangunan ekonomi mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Xhou Shengxian (Kepala Badan
Lingkungan negara Cina), mengatakan bahwa kondisi lingkungan di Cina
mengancam kesehatan masyarakat serta kestabilan sosial (Sommerville 2006).
Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca
(GRK) ke udara terbesar di dunia yang diakibatkan oleh berkembangnya industri
mereka (Saragih 2010). Karena Cina menjadi penghasil emisi terbesar di dunia,
maka Cina pun menjadi sorotan masyarakat internasional dan dituntut untuk
mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara.
Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi berbasis
industri tidak hanya terjadi di Cina sehingga menyebabkan terjadinya perubahan
iklim global yng membuat negara-negara di dunia merasa khawatir akan berbagai
bencana yang terjadi. Pemanasan global mengakibatkatkan mencairnya tudung es
di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran
wabah penyakit berbahaya, banjir besar, coral bleaching, dan gelombang badai
besar (Greenpeace, n.d.).
Untuk menghadapi masalah ini, negara-negara di dunia mengadakan
konferensi internasional untuk mencari jalan keluar guna mengatasi masalah
perubahan iklim. Konferensi lingkungan hidup internasional pertama yang
3
diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilaksanakan di Stockholm,
Swedia pada tahun 1972 (Erwin 2009, 171). Konferensi ini merupakan penentu
langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global yang
melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup.
Kerjasama tersebut diwujudkan dengan membentuk lembaga United Nations
Environment Program (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Kelanjutan dari konferensi Stockholm adalah pelaksanaan berbagai
konferensi lanjutan untuk membahas masalah perubahan iklim. Pada tanggal 21
Maret 1992 dilaksanakan konferensi lingkungan hidup di Rio de Jainero yang
mengangkat topik permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon
dan meluasnya penggundulan hutan (Erwin 2009, 173). Menurut Erwin (2009,
173) Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi
ini dapat berimbas pada kepentingan politik, ekonomi, dan sosial secara meluas di
seluruh dunia. Oleh karena itu, diharapkan hasil akhir dari setiap konferensi dapat
menciptakan perubahan yang lebih baik untuk pelestarian lingkungan dan dapat
dilaksanakan oleh seluruh negara yang menandatangani hasil konferensi tersebut.
Konferensi Rio berhasil membuat suatu kesepakatan yang pada akhirnya
diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang
perubahan iklim, yaitu The United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) (Deptan 2010). Selanjutnya, Deptan (2010) menjelaskan
bahwa UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir pada
taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan
terjadinya adaptasi ekosistem guna menjamin ketersediaan pangan dan
pembangunan berkelanjutan.
4
Pada Desember 1997 dilaksanakan Conference of the Parties (COP) ketiga
di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Protokol2 Kyoto (Eionet 2011). Protokol
Kyoto merupakan persetujuan di mana negara-negara industri akan mengurangi
enam macam gas emisi GRK mereka secara kolektif minimal sebesar 5 persen dan
terbagi dalam dua kategori (Eionet 2011). Kategori pertama adalah pengurangan
tiga gas yang paling penting yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan
oksida nitrat (N20) yang akan diukur berdasarkan tahun 1990. Kategori kedua
adalah pengurangan tiga gas industri berumur panjang yaitu hidrofluorokarbon
(HFC), perfluorokarbon (PFC), dan heksafluorida sulfur (SF6) yang akan diukur
berdasarkan pengukuran karbon tahun 1990 atau awal 1995. Setiap negara yang
menyetujuinya harus mencapai target tersebut pada periode tahun 2008 - 2012.
UNFCCC hingga saat ini mempunyai 194 negara anggota dan satu anggota
dari organisasi integrasi ekonomi regional (UNFCCC n.d. 3). Selain itu, pertemuan
Conference of the Parties (COP) masih rutin dilaksanakan secara bergantian di
negara-negara anggotanya. Pada periode 2007 hingga 2009 dilaksanakan
pertemuan COP-13 (Bali, Indonesia) pada tahun 2007, pertemuan COP-14
(Poznan, Polandia) pada tahun 2008, dan COP-15 (Copenhagen, Denmark) pada
tahun 2009.
Cina merupakan salah satu negara anggota UNFCCC. Cina merupakan
negara berkembang sehingga termasuk dalam kelompok Non-Annex (UNFCCC
n.d. 1). Pada setiap pelaksanaan konferensi perubahan iklim Cina mempunyai
sikap, peranan, serta diplomasi yang direalisasikan pada kebijakan luar negerinya
dalam pembuatan kesepakatan bersama dari suatu konferensi perubahan iklim.
2 Protokol yaitu komitmen negara-negara industri maju untuk melaksanakan penurunan tingkat emisi GRK
5
Menurut Heggelund (2007, 155) Cina tidak akan membuat suatu komitmen di
waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga
hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini membuat komitmen untuk
mengurangi emisi.
Namun, pada tahun 2007 Presiden Hu Jintao (dalam Naisbitt 2010, 80)
menyatakan bahwa model yang menjadikan Cina bintang pertumbuhan ekonomi
global telah usang karena Cina sedang menata model baru yaitu model
pertumbuhan pembangunan yang ilmiah. Sejak saat itu, pembangunan ilmiah
diterapkan dalam pembangunan ekonomi di Cina dengan memasukkan standar
kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA). Selain
itu, pada tahun 2007 Cina juga mengeluarkan kebijakan Naskah Putih yang
mempunyai tujuan low input, low consumption, and high efficiency untuk
mendorong konservasi energi negaranya (Mursitama & Yudono 2010, 56).
Meskipun pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan Naskah Putih
namun pada tahun 2009 negara ini tetap menjadi negara penghasil emisi terbesar di
dunia (Saragih 2010). Oleh karena itu, Cina ikut serta dalam pembuatan komitmen
pengurangan emisi GRK pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen
tahun 2009 yang tentunya karena mendapat tekanan dari dunia internasional.
Kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada
tahun 2009 menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini.
6
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research
question) yang diajukan oleh peneliti adalah:
1. Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi
Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009?
C. Kerangka Teori
Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu lingkungan hidup menjadi salah satu
isu yang berkembang dalam politik internasional. Hal ini terjadi khususnya sejak
penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (Isnaeni &
Wardoyo 2008, 225). Banyak kesepakatan atau perjanjian internasional yang telah
dihasilkan melalui proses panjang dari sebuah negosiasi dan kerjasama
internasional di bidang lingkungan hidup yang pada hakekatnya merupakan
refleksi atas pilihan yang dibuat oleh suatu negara dalam kebijakan luar negerinya
untuk menyikapi dinamika isu lingkungan di tingkat global. Skripsi ini
menggunakan teori kebijakan luar negeri untuk menjelaskan tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim
di Copenhagen tahun 2009. Selain itu, juga digunakan konsep diplomasi untuk
melihat bagaimana diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh Cina untuk
menghasilkan suatu kesepakatan pada saat konferensi berlangsung.
Kebijakan luar negeri tentunya mempunyai tujuan yang harus diaplikasikan
dalam setiap pelaksanaannya. Menurut William Wallace (dalam Clarke & White
(ed.) 1995, 5), kebijakan luar negeri merupakan arena politik yang merupakan
jembatan penting terhadap semua masalah (hambatan) yang ada di antara negara
7
bangsa dan lingkungan internasional. Selain itu, menurut Roy Jones (dalam Clarke
& White (ed.) 1995, 3), kebijakan luar negeri seperti menembus semua asas untuk
melanjutkan kehidupan manusia dan untuk mensejahterakan manusia di masa
depan. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan
luar negeri merupakan suatu jembatan penting untuk menghadapi setiap masalah
negara bangsa dan eksistensi hubungan antara negara-negara di lingkungan
internasional guna melanjutkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakatnya
pada masa depan.
Menurut Holsti (1992, 272), terdapat dua faktor yang mempengaruhi
kebijakan luar negeri, yaitu; internal (domestik) dan eksternal. Dalam penulisan
skripsi ini penulis mengambil beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang
paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada
saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009.
Holsti (1992, 272) menjelaskan bahwa faktor internal terdiri dari kondisi
sosio-ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktur pemerintahan, dan
atribut nasional serta opini masyarakat Cina tentang masalah ekonomi dan
lingkungan. Kondisi sosio ekonomi menggambarkan perubahan sistem ekonomi
Cina yang awalnya agraris namun berubah menjadi industrialis. Karakteristik
geografis dan demografis menggambarkan bahwa Cina merupakan negara besar
serta jumlah penduduknya merupakan yang terbesar di dunia. Struktur
pemerintahan menggambarkan bahwa struktur pembagian kekuasaan pemerintah
Cina terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif serta
kebijakan pemerintah Cina mengenai isu lingkungan hidup dengan membuat
kebijakan energy security dan Naskah Putih pada tahun 2007.
8
Sementara, faktor eksternal menurut Holsti (1992, 272) terdiri dari struktur
sistem, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, serta
hukum internasional dan opini dunia (Holsti 1992, 272). Struktur sistem
menggambarkan posisi dan peranan Cina dalam sistem ekonomi internasional.
Tujuan dan tindakan aktor-aktor lain menggambarkan respon dari negara
berkembang dan negara industri maju terhadap isu lingkungan hidup global.
Masalah regional dan global menggambarkan tentang masalah isu lingkungan
hidup global serta bagaimana dampaknya bagi kehidupan masyarakat global.
Hukum internasional dan opini publik dunia menggambarkan bahwa globalisasi
ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta
dampaknya bagi kehidupan global. Gambaran faktor internal dan eksternal tersebut
dapat melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan
iklim di Copenhagen tahun 2009.
Setiap negara yang ikut serta dalam setiap konferensi perubahan iklim
tentunya mempunyai kebijakan yang merupakan wujud dari kepentingan
negaranya. Menurut Hill (2003, 23), kebijakan luar negeri dapat ditafsirkan
sebagai sebuah instrumen ataupun sarana untuk menghubungkan tarik-menarik
kepentingan yang terus berjalan simultan antara tuntutan internasional dan
eksternal terhadap pemerintah. Oleh karenanya, menentukan pilihan atas cara yang
lebih demokratis atau lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak mudah dalam proses
pengambilan kebijakan luar negeri.
Menurut Watson (2005, 1-2), diplomasi adalah response to the recognition
by several decision-making beings that the performance of each one is matter of
permanent consequence to some or all the others. Oleh karena itu, diplomasi
merupakan salah satu cara yang dilakukan negara untuk mencapai tujuan dan
9
kepentingan negaranya dalam politik internasional, termasuk pada saat
pelaksanaan konferensi lingkungan global.
Menurut Susskind (1994, 44), terdapat tiga keuntungan bagi suatu negara
yang berperan aktif dan terlibat dalam negosiasi pembuatan suatu kesepakatan
pada konferensi lingkungan global. Pertama, suatu negara dapat membentuk
kebijakan internasionalnya yang merupakan hasil dari respon dan kepentingan
domestiknya. Kedua, suatu negara dalam negosiasi dapat memilih antara membuat
pencitraan positif bagi negaranya dengan menjadi negara yang patuh terhadap
kesepakatan atau memilih untuk menolak dan berusaha mencari opsi lain sesuai
dengan kepentingan nasional negaranya dengan cara mengajak negara lain yang
mempunyai tujuan sama untuk membentuk suatu aliansi. Ketiga, negara
berkembang dalam negosiasi lingkungan global dapat meminta agar negara maju
menjadi penanggung jawab penyebab utama masalah lingkungan global dengan
memberikan kompensasi.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Menurut Irham (2009, 22) metode ini
bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena tertentu atau untuk menentukan
ada tidaknya keterkaitan antara suatu gejala dengan gejala lainnya yang relevan
dengan masalah penelitian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
fenomena perubahan iklim pada tingkat global dan bagaimana mempengaruhi
kebijakan luar negeri Cina. Penelitian ini juga untuk melihat seberapa besar
sumbangan emisi Cina terhadap peningkatan pemanasan global.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terbagi
menjadi dua. Menurut Moleong (1999, 112-114) sumber data terbagi antara primer
10
dan sekunder. Moleong menjelaskan lebih lanjut bahwa data primer berasal dari
wawancara dan dokumen-dokumen. Sedangkan data sekunder berasal dari sumber-
sumber kepustakaan, seperti; buku, jurnal, hasil penelitian, dan data dari situs-situs
internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Kedua sumber tersebut digunakan dalam penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Teori
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Penulisan
BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC)
A. Sejarah UNFCCC
B. Prinsip UNFCCC
C. Tujuan UNFCCC
D. Struktur UNFCCC
E. Komitmen UNFCCC
F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC
G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009
BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC
A. Faktor Internal
1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina
2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah
a. Dasar-dasar Negara
b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah
11
3. Kondisi Ekonomi
a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009)
4. Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan
a. Kebijakan Energy Security
b. Naskah Putih
B. Faktor Eksternal
1. Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional
2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global
3. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global
4. Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global
BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA
KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
A. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC
B. Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009
C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009
D. Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen tahun 2009
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
12
BAB II
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC)
A. Sejarah UNFCCC
Pembentukan UNFCCC merupakan salah satu agenda Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dalam konferensi Rio di Brazil pada tahun 1992 (UNFCCC n.d. 2).
Konferensi ini menghasilkan tiga perjanjian internasional yang berada dalam
konvensi Rio, yaitu: The United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD) dan the United
Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).
Dari ketiga perjanjian internasional tersebut, masing-masing mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. UNFCCC menitikberatkan pada pengurangan tingkat
pemanasan global dan suhu bumi yang disebabkan oleh pelepasan emisi gas rumah
kaca (GRK) ke udara akibat industri di negara-negara maju yang mengakibatkan
perubahan iklim (UNFCCC n.d.2). Sedangkan CBD menitikberatkan pada
pelaksanaan perjanjian keanekaragaman hayati dengan memfokuskan kepada
pelestarian spesies mahluk hidup dan transfer teknologi. Selanjutnya, UNCCD
memberikan perhatian utama pada masalah penggurunan dan berupaya mengatasi
degradasi lahan dengan cara pengelolaan lahan yang tidak subur.
Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai konvensi UNFCCC.
Pasca penandatanganan kesepakatan Rio, PBB memberi tenggang waktu antara
tanggal 20 Juni 1992 hingga 19 Juni 1993 kepada seluruh negara di dunia untuk
menyetujui dan bergabung di dalam UNFCCC (UNFCCC n.d. 3). Selanjutnya,
12
13
sesuai Pasal 233 PBB, maka konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Maret
1994.
Konvensi UNFCCC menetapkan suatu kerangka menyeluruh bagi negara-
negara anggotanya untuk mengatasi perubahan iklim (UNFCCC n.d. 4). Di bawah
konvensi ini, negara-negara anggota mengumpulkan dan membagi informasi
tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK).
Setiap negara anggota dapat membuat kebijakan dan strategi nasional untuk dapat
mengatasi emisi GRK di negaranya sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap
dampak dari perubahan iklim. Negara-negara anggota UNFCCC bekerjasama
untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim dengan cara menyediakan
dukungan keuangan bagi perbaikan lingkungan yang rusak dan transfer teknologi
dari negara industri maju ke negara berkembang.
Sekertariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996
(UNFCCC n.d. 5). Sekretariat secara institusional berhubungan langsung dengan
PBB dan melaporkan secara rutin setiap hasil yang dicapai dalam konferensi
namun PBB memberikan kewenangan kepada UNFCCC untuk menyelenggarakan
suatu konferensi tanpa terintegrasi dengan program apapun. Sekretariat
mempunyai sekitar 400 karyawan dari seluruh dunia. Kepala dan Sekretaris
Eksekutif UNFCCC diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretaris Eksekutif
UNFCCC yang bertugas pada tahun 2006 – 2010 adalah Yvo de Boer.
Sekretariat UNFCCC terdiri dari tujuh fungsi utama, yaitu; fungsi pertama
adalah membuat peraturan mengenai pelaksanaan pada setiap sesi dalam
konferensi (UNFCCC n.d. 5). Fungsi kedua adalah memantau pelaksanaan
33 Pasal 23 PBB berisi setelah hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, dan persetujuan maka mulai berlaku suatu konvensi.
14
komitmen di bawah konvensi4 dan protokol5 melalui pengumpulan, analisis, dan
peninjauan atas informasi dan data yang diberikan oleh negara-negara anggota
UNFCCC. Fungsi ketiga adalah membantu negara-negara anggota UNFCCC
dalam melaksanakan komitmen mereka. Fungsi keempat adalah mendukung
negosiasi dalam kerangka kerja UNFCCC untuk menghasilkan suatu kesepakatan.
Fungsi kelima adalah mempertahankan agar negara-negara yang sudah meratifikasi
isi protokol untuk berkomitmen dan benar-benar melaksanakan hasil kesepakatan
protokol tersebut dalam mengurangi kredit emisi6. Fungsi keenam adalah
memberikan dukungan kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk mematuhi
Protokol Kyoto. Kemudian, Fungsi terakhir adalah berkoordinasi dengan
sekertariat badan internasional lain yang relevan, khususnya the Global
Environment Facility (GEF) serta lembaga pelaksana (UNDP, UNEP, dan Bank
Dunia), the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), maupun
konvensi lain yang terkait.
B. Prinsip UNFCCC
Konvensi UNFCCC menekankan kesetaraan dan keprihatinan
(precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan (Deptan 2010). Pada
konvensi ini juga terdapat prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu
di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah
kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda.
4 Konvensi merupakan materi negara-negara industri untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) 5 Protokol yaitu komitmen negara-negara maju untuk melaksanakan penurunan tingkat emisi GRK 6 Perdagangan emisi di kenal juga sebagai pasar karbon merupakan salah satu dari mekanisme Protokol Kyoto
15
Selain itu, UNFCCC mempunyai lima prinsip untuk mencapai tujuan
konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan konvensi (UNFCCC n.d. 6). Kelima
prinsip ini merupakan pedoman bagi negara-negara anggota UNFCCC.
Pertama: Negara anggota UNFCCC harus melindungi sistem iklim7 bagi
kepentingan generasi umat manusia pada masa sekarang dan pada masa depan.
Perlindungan ini atas dasar kesetaraan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan
bersama di mana masing-masing negara mempunyai tanggung jawab berbeda. Hal
ini berarti bahwa negara industri maju harus menjadi pemimpin dalam mengurangi
perubahan iklim dan efek dari perubahan iklim tersebut.
Kedua: Adanya kebutuhan dan keadaan khusus bagi negara berkembang
(khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil dan negara yang mengandalkan
sumber pemasukan negaranya pada minyak) karena mereka rentan terhadap
dampak perubahan iklim. Negara berkembang akan menanggung beban berat
terhadap dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim sehingga mereka harus
diberi pertimbangan penuh di bawah konvensi UNFCCC.
Ketiga: Negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan pencegahan untuk
mengatisipasi, mencegah, atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim dan
mengurangi dampak negatifnya.
Keempat: Negara anggota UNFCCC memiliki hak untuk dan harus
mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Pembangunan
berkelanjutan merupakan implementasi dari pembangunan nasional namun dalam
pelaksanaannya tetap harus diintegrasikan (digabungkan) dengan kebijakan untuk
7 Sistem iklim merupakan keseluruhan dari hidrosfer, biosfer, atsmosfer dan geosfer dan mereka saling berinteraksi
16
melindungi sistem iklim. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi seharusnya
berintegrasi dengan langkah-langkah dalam mengatasi perubahan iklim.
Kelima: Negara anggota UNFCCC harus bekerja sama untuk meningkatkan sistem
ekonomi internasional yang terbuka sehingga mampu menyokong pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara
berkembang. Dengan adanya sistem ekonomi internasional yang terbuka ini, maka
negara berkembang akan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di
negaranya.
C. Tujuan UNFCCC
UNFCCC mempunyai beberapa tujuan (UNFCCC n.d. 7), yaitu:
1. Meminimalisasi efek dari perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan
karena adanya kerusakan pada ketahanan, komposisi, atau produktifitas
ekosistem alam yang semuanya disebabkan pelaksanaan sistem sosial
ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
2. Mendorong negara-negara anggota UNFCCC untuk berkomitmen
mengurangi pelepasan emisi GRK ke dalam atmosfer dalam jangka waktu
yang telah disepakati dalam konvensi.
3. Mengikutsertakan organisasi integrasi ekonomi regional (Uni Eropa) untuk
mengimplementasikan konvensi atau protokol yang telah disepakati oleh
negara-negara UNFCCC agar berjalan lebih efektif.
17
D. Struktur UNFCCC
Bagan 2.1. Struktur UNFCCC
Execut
Note: BRM, Bali Road Map, which includes support to the Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) and the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA); COP, Conference of the Parties, CMP, Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol; SBSTA, Subsidiary Body for Scientific And Technological Advice; SBI, Subsidiary Body for Implementation (Sumber: UNFCCC n.d. 8)
Bagan 2.1 di atas menggambarkan bahwa dalam struktur, Bali Road Map
Support (BRM) yang di dalamnya didukung oleh Ad Hoc Working Group on
Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), Ad
Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention
(AWG-LCA), Conference of the Parties (COP), Conference of the Parties serving
as the meeting of the parties to the Kyoto Protocol (CMP), Subsidiary Body for
Scientific And Technological Advise (SBSTA), dan Subsidiary Body for
Implementation (SBI) . AWG-KP merupakan kelompok kerja yang dibentuk oleh
Conference of the Parties (COP) pada tahun 2005 (UNFCCC n.d. 9). AWG-KP ini
BRM Support
Executive Direction and Management
Office of the Deputy Executive Secretary
COP/MOP Support
Information Services
Conference Affairs Services
Sustainable Development Mechanisms
Legal Affairs
Financial and
Technical Support
Administrative Services
Reporting, Data and Analysis
Adaptations, Technology, and Science
SBSTA Support SBI
Support
BRM Support
18
merupakan kelompok kerja Ad Hoc yang berkomitmen lebih lanjut bagi negara-
negara Annex I yang berada di bawah Protokol Kyoto untuk mendiskusikan
komitmen pada masa depan bagi negara-negara industri yang berada di bawah
Protokol Kyoto.
Sementara, AWG-LCA dibentuk dalam COP-13 tahun 2007 di Bali,
Indonesia (UNFCCC n.d. 10). COP-13 di Bali ini menghasilkan Bali Action Plan.
Bali Action Plan merumuskan proses yang komprehensif agar memungkinkan
pengimplementasian secara penuh dan efektif di bawah konvensi melalui aksi
kerjasama jangka panjang (mulai tahun 2007 hingga tahun 2012) sesuai dengan
keputusan yang diambil pada sesi kelima belas dari COP-13. Pada sesi kelima
belas, diputuskan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan suatu badan
pendukung yaitu, AWG-LCA. AWG-LCA akan menyelesaikan pekerjaannya pada
tahun 2009 dan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP untuk diadopsi pada
pertemuan COP-15 di Copenhagen, Denmark.
Pada bagan di atas terdapat Conference of the Parties (COP) yang
merupakan otoritas utama dan sebagai badan tertinggi konvensi UNFCCC
(UNFCCC n.d. 11). COP bertugas meninjau secara teratur pelaksanaan konvensi
setiap negara anggota UNFCCC. Dalam melakukan tugas ini, COP dapat
mengadopsi dan membuat mandat atau suatu keputusan yang diperlukan untuk
mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari konvensi. COP bertanggung jawab
untuk mengkaji ulang implementasi konvensi dan instrumen legal lain terkait
dengan konvensi. COP juga berkewajiban membuat keputusan yang diperlukan
untuk meningkatkan implementasi konvensi.
Sesi pertemuan COP umumnya berjalan selama dua minggu dan dilakukan
paralel dengan sesi Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
19
(SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) (Deptan 2010). COP
terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan biasanya bertemu setiap tahun
selama jangka waktu dua minggu. Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah
negara anggota UNFCCC, pengamat organisasi, dan wartawan. COP mengevaluasi
status perubahan iklim dan efektivitas perjanjian. COP mengkaji apa yang sudah
dilakukan oleh setiap negara anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang
telah diambil. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau komunikasi nasional8
dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk melanjutkan
mengatasi perubahan iklim.
Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh beberapa badan resmi,
yaitu (UNFCCC n.d. 11):
a. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sebagai
penasehat COP mengenai masalah-masalah iklim, lingkungan, teknologi, dan
metode. SBSTA dan COP bertemu dua kali dalam setahun.
b. Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang membantu meninjau
bagaimana konvensi diimplementasikan, misalnya dengan menganalisis
komunikasi nasional yang disampaikan oleh negara anggota. Selain itu, SBI juga
berkaitan dengan masalah keuangan dan administrasi. SBI dan COP bertemu dua
kali dalam setahun.
c. Kelompok ahli berdasarkan konvensi UNFCCC, ada tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah Consultative Group of Experts (CGE). CGE
membangun komunikasi nasional dari negara non-Annex yang merupakan negara-
8 Komunikasi nasional yaitu setiap anggota UNFCCC harus menyampaikan laporan nasional atas pelaksanaan konvensi yang biasanya berisi tentang keadaan nasional, sumber daya keuangan dan transfer teknologi, pendidikan dan kesadaran masyarakat kepada COP.
20
negara berkembang untuk menyiapkan laporan nasional mengenai isu perubahan
iklim. Kelompok kedua adalah Least Developed Country Expert Group (LEG).
LEG memberikan saran pada negara-negara berkembang dalam mengintegrasikan
program-program nasionalnya dengan menjaga sistem iklim sehingga dapat
beradaptasi dengan perubahan iklim. Kelompok ketiga adalah Expert Group on
Technology Transfer (EGTT). EGTT bertugas untuk memacu transfer teknologi
dari negara industri maju ke negara berkembang.
d. Global Environment Facility (GEF) merupakan mitra instansi COP yang
bertugas mendanai proyek-proyek di negara-negara berkembang yang memiliki
manfaat bagi lingkungan global.
Pada dasarnya, COP merupakan badan tertinggi konvensi UNFCCC dan
juga terdapat the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to
the Kyoto Protocol (CMP) yang merupakan badan tertinggi dalam Protokol Kyoto
yang sama-sama tergabung di dalam bagan struktur UNFCCC (UNFCCC n.d. 12).
Fungsi CMP yang berkaitan dengan Protokol Kyoto sama dengan yang dilakukan
COP untuk konvensi. COP dan CMP sama-sama bertemu setiap tahun dalam
periode yang sama. Sama seperti COP, badan tetap yang membantu CMP
berdasarkan konvensi adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological
Advice (SBSTA) dan the Subsidiary Body for Implementation (SBI). CMP bertugas
mempersiapkan sidang para negara-negara anggota yang telah meratifikasi
Protokol Kyoto9. Peserta pada konvensi yang bukan merupakan negara dalam
Protokol Kyoto, dapat berpartisipasi dalam CMP tetapi tidak mempunyai hak
9 Pada pertemuan COP-13 di Bali tahun 2007, Australia meratifikasi Protokol Kyoto dan hingga saat ini dari seluruh negara anggota UNFCCC yang belum meratifikasi Protokol Kyoto hanya Amerika Serikat.
21
dalam pengambilan keputusan. Pertemuan pertama CMP dengan negara-negara
yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diadakan di Montreal, Kanada, pada
Desember 2005 bersamaan dengan dilaksanakannya COP-11.
E. Komitmen UNFCCC
Terdapat lima komitmen yang harus dilaksanakan oleh UNFCCC
(UNFCCC n.d. 13), yaitu:
1. Memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk mengambil
tindakan pengurangan emisi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan
iklim pada tingkat global, regional, dan nasional.
2. Memberikan dukungan penuh bagi pemerintah negara-negara anggota
UNFCCC dalam mengimplementasikan konvensi dan Protokol Kyoto.
3. Membantu negara-negara anggota untuk menciptakan dan memelihara
kondisi domestik yang kondusif sehingga dapat lebih efektif dan efisien
pada saat mengimplementasi Protokol Kyoto.
4. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan data yang dapat
dipahami oleh seluruh masyarakat di dunia tentang perubahan iklim serta
upaya-upaya untuk mengatasinya.
5. Mempromosikan dan meningkatkan keterlibatan aktif Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), bisnis dan industri, serta keterlibatan masyarakat
internasional dalam penanggulangan perubahan iklim melalui komunikasi
yang efektif.
F. Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC
UNFCCC hingga saat ini memiliki 194 negara anggota dan satu organisasi
integrasi ekonomi regional yang menjadi anggota konvensi UNFCCC (UNFCCC
22
n.d. 3). Negara-negara yang menjadi anggota UNFCCC ini terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu; kelompok negara Annex I, kelompok negara non-Annex, dan
observer.
Annex I merupakan negara-negara industri maju yang telah menjalankan
industrinya sejak tahun 1950-an dan merupakan anggota dari Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD)10, ditambah dengan negara-
negara dengan ekonomi dalam transisi (Economic in Transition/EIT), seperti;
pecahan Uni Soviet dan beberapa negara dari Eropa Tengah dan Timur (UNFCCC
n.d. 15). Kelompok negara Annex I ini harus menyediakan keuangan untuk negara-
negara berkembang dalam melakukan kegiatan pengurangan emisi sesuai amanat
konvensi serta membantu mereka untuk beradaptasi terhadap dampak dari
perubahan iklim.
Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1
No. Kelompok Annex I Negara 1. Negara yang
tergabung dalam OECD
Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Denmark, Estonia, European Union, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat.
2. Negara yang tergabung dalam EIT
Latvia, Lithuania, Malta, Belarus, Romania, Kroasia, Lietchtenstein, Monako, Federasi Rusia, dan Ukraina.
(Sumber: UNFCCC n.d. 14)
Kelompok kedua adalah kelompok negara non-Annex. Kelompok ini terdiri
dari negara-negara berkembang dan beberapa di antaranya diakui oleh konvensi
sebagai negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena
10 OECD merupakan forum di mana pemerintah negara-negara anggota dapat bekerja sama dan mendorong perubahan ekonomi (meningkatkan produktivitas, arus perdagangan global dan investasi), sosial, dan lingkungan.
23
merupakan negara kepulauan kecil yang mempunyai daratan rendah dan rentan
terhadap penggurunan dan kekeringan (UNFCCC n.d. 15). Selanjutnya, dalam
kelompok non-Annex terdapat 49 negara anggota UNFCCC yang diklasifikasikan
sebagai Least Development Countries (LDCs) oleh PBB yang diberi pertimbangan
khusus di bawah konvensi karena negara-negara tersebut mempunyai keterbatasan
dalam merespon dan beradaptasi pada efek perubahan iklim.
Dalam hal ini, Cina digolongkan ke dalam kelompok negara non-Annex
(UNFCCC n.d. 1). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi GRK
terbesar di dunia (Saragih 2010), sehingga Cina mempunyai pengaruh di dalam
pembuatan kesepakatan dalam konferensi perubahan iklim. Jika melihat posisi
Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, maka konferensi perubahan
iklim tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju namun juga oleh
segelintir kelompok negara berkembang yang mempunyai peranan penting
terutama dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Denmark.
Konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC selain
dihadiri oleh negara-negara anggota juga dihadiri oleh kelompok observer.
Observer merupakan kelompok atau lembaga yang diizinkan untuk menghadiri
dan bahkan berbicara di pertemuan internasional tetapi tidak berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan (UNFCCC n.d. 15). Observer termasuk orang yang berasal
dari organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM
sebagai observer dapat mewakili kepentingan bisnis dan industri, kelompok
lingkungan hidup, pemerintah daerah, lembaga penelitian dan akademik, badan-
badan keagamaan, organisasi buruh, dan kelompok penduduk seperti masyarakat
adat.
24
Dalam konferensi perubahan iklim, observer yang diizinkan untuk
menghadiri konvensi UNFCCC adalah lembaga antarpemerintah, seperti; the
United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations
Environment Programme (UNEP), the World Meteorogical Organization (WMO),
the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), the
International Energy Agency, dan the Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) (UNFCCC n.d. 15). Hingga saat ini, lebih dari 50 lembaga
antarpemerintah dan organisasi internasional menghadiri sesi dari COP. Selain itu,
lebih dari 600 LSM yang terakreditasi dapat berpartisipasi dalam pertemuan yang
berkaitan dengan konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh
UNFCCC.
G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009
UNFCCC hingga tahun 2009, telah melaksanakan Conference of the
Parties (COP) selama lima belas kali. COP-15 diadakan di Copenhagen, Denmark.
Sebelum COP-15 berlangsung, terdapat beberapa konferensi sebelumnya yang
dilaksanakan oleh UNFCCC. Salah satunya yang terpenting adalah COP-3 pada
tahun 1997 yang dilaksanakan di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut menghasilkan
Protokol Kyoto yang dipandang sebagai langkah penting pertama menuju rezim
pengurangan emisi secara global yang akan menstabilkan emisi GRK dan
menyediakan arsitektur penting dalam setiap perjanjian internasional tentang
perubahan iklim di masa mendatang (UNFCCC n.d. 16).
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-limabelas (COP-15) diselenggarakan
oleh pemerintah Denmark pada tanggal 7 – 19 Desember 2009 di Copenhagen
(UNFCCC n.d. 17). Pada konferensi tersebut dianggap penting bagi iklim dunia,
25
pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC. Untuk itu, baik
pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras
agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol
Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Erantis
2009). Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan
habis masa berlakunya.
Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120
kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500
orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput
konferensi ini (UNFCCC n.d. 17). Dengan banyaknya undangan yang hadir dan
mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global
dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat.
Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi (UNFCCC n.d. 17).
Pertama adalah konferensi sidang COP-15 (15th Conference of the Parties –
COP15) yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim,
UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang
yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat
negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari
1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain
itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari
300 konferensi pers.
Menurut Rendra Kurnia,11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara negara-
11 Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup
dalam wawancara di Jakarta, 19 April 2011.
26
negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock (jalan buntu) ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi.
Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam
kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara
tertinggal (Ashadi 2010). Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia,
Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India,
Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman,
Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan,
Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut
disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target
pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara
hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 (YD 2009).
Dalam Copenhagen Accord, negara-negara anggota UNFCCC membuat
komiten tentang pengurangan perubahan iklim dan harus disepakati oleh seluruh
negara anggotanya (UNFCCC n.d. 18). Berikut ini adalah kedua belas poin
Copenhagen Accord yang harus disepakati:
Pertama: Kami menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu
tantangan pada masa kini. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim sangat
27
mendesak untuk segera diselesaikan dengan prinsip common but differentiated
responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju
peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung
jawab yang berbeda-beda. Prinsip ini merupakan tujuan utama dalam konvensi
guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir hingga pada level yang tidak
berbahaya bagi sistem iklim. Karena itu, temperatur global harus diturunkan
sebesar dua derajat celsius dengan cara meningkatkan kerja sama jangka panjang
untuk menanggulangi perubahan iklim antarnegara-negara anggota UNFCCC
sehingga mereka akan mampu mengadapi dampak negatif dari perubahan iklim.
Kedua: Kami setuju untuk mengurangi tingkat emisi global yang merupakan
kewajiban semua negara-negara UNFCCC (terutama negara industri maju)
sehingga akan mampu menurunkan tingkat suhu global sebesar dua derajat celcius.
Kami akan bekerja sama untuk mencapai pengurangan tingkat emisi global dan
emisi nasional karena semakin cepat semakin baik. Kami mengakui bahwa saat ini
kerangka puncak pelepasan emisi terbesar akan berada di negara-negara
berkembang karena mengingat bahwa pembangunan sosial, ekonomi, dan
pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas utama negara-negara berkembang.
Oleh karena itu, penerapan pengembangan strategi emisi rendah12 di negara
berkembang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan.
Ketiga: Setiap negara harus beradaptasi untuk menghadapi efek negatif dari
perubahan iklim dan mereka harus mampu merespon dengan meningkatkan
kerjasama internasional yang merupakan kewajiban dalam pengimplementasian
12 Strategi pengembangan emisi rendah yaitu transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang agar negara berkembang dapat menggunakan teknologi yang lebih baik dalam pembangunan ekonominya sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah.
28
konvensi. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengurangi kerentanan terhadap
dampak perubahan iklim, khususnya di negara kurang berkembang, negara
kepulauan kecil berkembang, dan Afrika. Kami setuju bahwa negara-negara
industri maju harus dapat menyediakan dan menyokong sumber keuangan,
teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tindakan
adaptasi di negara-negara berkembang.
Keempat: Negara-negara Annex I berkomitmen baik secara sendiri-sendiri
ataupun bersama dengan negara lain untuk mengukur seberapa besar target emisi
yang akan dihasilkan dari perekonomian pada tahun 2020. Hasil komitmen
tersebut akan disampaikan dan dimasukkan oleh negara-negara Annex I dalam
lampiran I (Appendix I) yang akan diserahkan kepada Sekertariat UNFCCC pada
tanggal 31 Januari 2010. Negara-negara Annex I yang tergabung dalam Protokol
Kyoto akan memperkuat penggurangan emisi yang telah diprakarsai oleh Protokol
Kyoto. Pengurangan emisi dan bantuan pendanaan dari negara industri maju ke
negara-negara berkembang akan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (buktikan)
sesuai dengan garis pedoman selanjutnya yang telah diadopsi oleh Conference of
the Parties (COP).
Kelima: Negara-negara non-Annex berdasarkan konvensi akan mengimplementasi
tindakan mitigasi termasuk menyampaikannya kepada Sekretariat UNFCCC untuk
dimasukkan dalam lampiran II (Appendix II) pada tanggal 31 Januari 2010.
Kemudian, berdasarkan Pasal 4.1 dan Pasal 4.7 dalam konteks peningkatan
pembangunan bagi negara kurang berkembang dan negara kepulauan kecil
berkembang akan dilakukan tindakan sukarela atas dasar dukungan bagi kebaikan
bersama. Tindakan mitigasi selanjutnya akan diambil dan dipertimbangkan oleh
29
oleh negara-negara non-Annex, termasuk laporan inventaris nasional yang akan
dikomunikasikan agar terjaga konsistensi komunikasi nasional.
Keenam: Kami mengakui bahwa terdapat peran penting untuk mengurangi emisi
dari penebangan dan degradasi hutan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kembali
penyerapan GRK oleh hutan maka harus segera membuat suatu mekanisme agar
memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara
industri maju.
Ketujuh: Kami memutuskan untuk mengejar berbagai pendekatan termasuk
kesempatan untuk menggunakan pasar guna meningkatkan efektivitas biaya dan
untuk mempromosikan tindakan mitigasi kepada seluruh negara di dunia.
Pendekatan ini khususnya ditujukan bagi negara-negara berkembang karena
kondisi perekonomian mereka lemah maka harus diberikan insentif (dorongan)
agar mereka terus melanjutkan pengembangan pada jalur emisi rendah.
Kedelapan: Peningkatan dan penambahan pendanaan yang memadai serta
peningkatan akses harus disediakan bagi negara-negara berkembang sesuai dengan
ketentuan konvensi agar memungkinkan mereka dapat mendukung tindakan
mitigasi. Penambahan keuangan ini untuk digunakan dalam masalah deforestasi
dan degradasi hutan, adaptasi, serta peningkatan kapasitas pengembangan dan
transfer teknologi untuk pengimplementasian konvensi. Selanjutnya, negara-negara
industri maju akan menyediakan sumber daya baru dan tambahan, termasuk
investasi kehutanan melalui lembaga-lembaga internasional mendekati 30 milliar
USD antara tahun 2010-2012 untuk dialokasikan secara seimbang antara mitigasi
dan adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi dikhususkan bagi negara-negara
berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kemudian
dalam tindakan mitigasi, negara-negara maju berkomitmen untuk tujuan bersama
30
dengan menyalurkan dana 100 milliar USD pada tahun 2020 untuk mengatasi
kebutuhan di negara-negara berkembang. Dana ini berasal dari berbagai sumber
baik publik maupun swasta di mana sebagian dana tersebut harus mengalir melalui
Copenhagen Green Climate Fund.
Kesembilan: Untuk tujuan ini, suatu High Level Panel akan dibentuk di bawah
bimbingan COP dan akan bertanggung jawab pada COP. Tujuan pertemuan High
Level Panel untuk mempelajari kontribusi dari sumber-sumber pendapatan yang
potensial, termasuk sumber pembiayaan alternatif.
Kesepuluh: Kami memutuskan bahwa Copenhagen Green Climate Fund akan
dibentuk sebagai suatu eksistensi mekanisme keuangan dalam konvensi.
Copenhagen Green Climate Fund yang berfungsi untuk mendukung proyek-
proyek, program, kebijakan, dan kebijakan-kebijakan lainnya di negara
berkembang yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, pengembangan, serta transfer
teknologi.
Kesebelas: Dalam rangka meningkatkan tindakan dalam transfer serta
pengembangan teknologi, maka kami memutuskan untuk mendirikan Technology
Mechanism untuk mempercepat transfer dan pengembangan teknologi guna
mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi yang akan dipandu oleh pendekatan
negara pemberi (negara industri maju) berdasarkan pada keadaan nasional dan
prioritasnya.
Kedua belas: Kami menyerukan bahwa penilaian pelaksanaan Copenhagen
Accord ini akan selesai pada tahun 2015. Hal ini termasuk pertimbangan untuk
memperkuat tujuan jangka panjang karena kenaikan tingkat suhu bumi mencapai
1,5 derajat celsius.
31
Pada skripsi ini, pembahasan difokuskan pada kebijakan luar negeri Cina
pada saat konferensi Copenhagen berlangsung. Pada COP-15 di Copenhagen, Cina
memiliki peranan penting. Bab selanjutnya akan membahas faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi
UNFCCC, khususnya pada COP-15.
Berkaitan dengan konferensi UNFCCC, ada beberapa identitas Cina yang
memiliki relevansi dengan isu lingkungan hidup. Pertama, Cina sedang bersiap
menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade kedepan dan
tentunya negara tersebut sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi
(Song & Woo (ed.) 2008, 171). Kedua, Cina merupakan negara dengan populasi
penduduk terbesar di dunia (CIA 2011). Ketiga, secara geografis, Cina merupakan
negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan
Kanada (Naisbitt. 2010, 20). Keempat, pemerintahan Cina yang menganut sistem
sosialis komunis namun menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis dengan
mengikuti pesatnya globalisasi dan pasar bebas (Irham. 2009, 2). Kelima, negara
dengan kerentanan tinggi terhadap banyak masalah lingkungan hidup global,
(seperti, perdagangan dan penggunaan limbah berbahaya, pencemaran udara, serta
penggunaan sumber energi yang sangat besar untuk kebutuhan industri (CIA
2011). Kelima hal tersebut membuat Cina menjadi negara yang mempunyai
peranan penting dalam proses negosiasi internasional pada setiap forum atau
konferensi internasional terkait dengan isu lingkungan hidup khususnya di
konferensi Copenhagen tahun 2009.
32
BAB III
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC
Pada bab III penulis membahas tentang faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), khususnya pada konferensi perubahan
iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal dan eksternal yang digunakan
didasarkan pada konsep kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992, 272). Kedua
faktor tersebut akan menggambarkan sikap dan posisi Cina dalam pengambilan
kebijakan luar negerinya pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen.
Selanjutnya, kedua faktor tersebut akan dipaparkan lebih lengkap pada
pembahasan di bawah ini.
A. Faktor Internal
1. Kondisi Geografis dan Demografis Cina
Kondisi geografis dan demografis di Cina merupakan salah satu faktor
penting bagi masalah lingkungan di negaranya. Secara demografis, Cina
merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia dengan hampir 1,3 milliar
penduduk dan mayoritasnya bersuku bangsa Han (CIA 2011). Jumlah penduduk
Cina yang besar tidak diikuti persebaran penduduk yang rata. Hal ini
dilatarbelakangi oleh urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota.
Pada tahun 2009, sekitar 200 juta masyarakat pedesaan pindah ke kota
untuk mencari pekerjaan (CIA 2011). Dalam data CIA, kota yang dipilih sebagai
tempat urbanisasi adalah kota besar yang merupakan kota industri. Urbanisasi ini,
32
33
pada tahun 2009 menyebabkan lima kota besar di Cina yang memiliki penduduk
yang paling padat, di antaranya; Shanghai (16.575 juta penduduk), Beijing (12.214
juta penduduk), Chongqing (9.401 juta penduduk), Shenzen (9.005 juta penduduk),
dan Guangzhou (8.884 juta penduduk).
Secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan
negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada (Naisbitt 2010, 20).
Namun, hanya sepertiga wilayah daratan Cina yang dapat ditanami dan dua
pertiganya adalah pegunungan serta gurun. Lieberthal (1995, 278) membagi
topografi Cina menjadi tiga daerah. Pertama adalah daerah bagian barat laut yang
merupakan daerah kering yang disebabkan oleh kencangnya hembusan angin
(erosi angin). Kedua adalah daerah bagian barat daya yang merupakan daerah
dingin karena terdiri dari dataran tinggi. Terakhir merupakan daerah bagian timur
yang merupakan daerah aliran sungai.
Kondisi geografis Cina yang berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya, menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang muncul seperti masalah
kekurangan air dibeberapa daerah dan penyebarannya tidak merata. Menurut
Presiden Hu (dikutip dalam Naisbitt 2010, 108) menyatakan bahwa: “20 persen
jumlah penduduk Cina merupakan populasi dunia, namun Cina hanya memiliki
tujuh persen sumber daya air”. Salah satu contohnya adalah daerah Cina Utara.
Cina Utara adalah daerah kering secara alami dan hanya memiliki kurang dari 20
persen air dari total jumlah air di Cina tetapi memiliki 40 persen penduduk
negaranya.
Selain karena perbedaan topografi daerah, menurut Lieberthal (1995, 284)
masalah kekurangan air di Cina juga disebabkan oleh tingginya tingkat polusi yang
diakibatkan oleh kegiatan industri di negaranya. Salah satu contohnya adalah
34
hanya satu dari tujuh desa dan hanya setengah dari masyarakat perkotaan di Cina
yang dapat mengkonsumsi air bersih. Selanjutnya, Liberthal (1995, 287)
menjelaskan berdasarkan survei dari 434 kota di Cina ditemukan bahwa 188 kota
diantaranya kekurangan air dan 40 kota mengalami kekurangan air yang parah.
Pesatnya kemajuan industri Cina tidak hanya menyebabkan kekurangan air
bersih tetapi juga menyebabkan polusi udara. Menurut Saragih (Darmawan (ed.)
2006, 133) dari 20 kota di Asia yang mempunyai udara kotor, 11 kota diantaranya
berada di Cina. Dari kesebelas kota tersebut adalah Beijing, Chengdu, Chongqing,
Guangzhou, Harbin, Jinan, Shanghai, Shenyang, Tianjin, Wuhan, dan Xi’an.
Faktor penyumbang terbesar polusi di Cina adalah gas buangan dari mesin-mesin
dan penggunaan batubara oleh industri.
Dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang telah disebutkan di atas maka
hal tersebut mempengaruhi pemerintah Cina untuk turut serta dalam pembuatan
komitmen pada saat konferensi perubahan iklim terutama pada saat konferensi
perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Selain itu, pemerintah Cina
menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di negaranya jika terus
menerus diabaikan maka akan semakin memburuk di masa depan sehingga
tentunya sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan masyarakatnya.
2. Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah
Pembahasan struktur pemerintah Cina akan digambarkan berdasarkan
dasar-dasar negara dan pembagian kekuasaan pemerintah negara tersebut.
Pembahasan ini bersumber dari konstitusi negara Cina. Konstitusi Cina diadopsi
dari sidang kelima pada saat Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kelima untuk
diimplementasikan pada saat Proklamasi Kongres Rakyat Nasional pada tanggal 4
Desember 1982 (Lieberthal 1995, 355). Kemudian, konstitusi tersebut diubah
35
sesuai dengan amandemen Konstitusi Republik Rakyat Cina yang diadopsi pada
sesi pertama pada saat Kongres Rakyat Nasional (KRN) Ketujuh pada tanggal 12
April 1988, sesi pertama Kongres Rakyat Nasional Kedelapan pada tanggal 29
Maret 1993, sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesembilan pada tanggal
15 Maret 1999, dan pada sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesepuluh
pada tanggal 14 Maret 2004 (Chinesse Government’s Official Web Portal 2006).
Struktur pemerintahan tersebut akan dapat digambarkan mengenai pembuatan
kebijakan luar negeri Cina dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim di
Copenhagen tahun 2009.
a. Dasar-dasar Negara
Pasal 1 Konstitusi Cina (dalam Lieberthal 1995, 357) menjelaskan bahwa
Cina merupakan negara sosialis yang berdasarkan kelas (persekutuan pekerja dan
petani) serta sistem sosialis merupakan sistem dasar negara ini. Selain itu,
berdasarkan Pasal 5 Konstitusi Cina menyatakan bahwa semua badan
pemerintahan, prajurit militer, semua anggota politik, organisasi publik, dan semua
perusahaan dan institusi harus patuh pada konstitusi dan hukum negara (Lieberhtal
1995, 358). Hal ini berarti Cina menjunjung tinggi hukum agar terciptanya suatu
keadilan dan perdamaian di negaranya.
Menurut Elizabeth J. Perry (dikutip dalam Naisbitt 2010, 22): “Kita
memiliki pemahaman terbatas mengenai apa yang menyatukan struktur negara
Cina saat ini dan apa yang membuat sistem politiknya berjalan sedemikian
efektif”. Cina menciptakan masyarakat baru dan sistem politiknya sendiri. Negara
ini memulai langkahnya dengan menggunakan Marxisme - Leninisme, tetapi
segera menyesuaikan doktrin-doktrin tersebut dengan gagasan dan kebutuhannya
36
sendiri. Sosialisme Cina tampak pada Pasal 10 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995,
359) menjelaskan bahwa tanah merupakan milik negara sehingga tidak ada yang
dapat memilikinya tetapi hanya dapat menggunakannya.
b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah
Pada sub bab ini dijelaskan mengenai pembagian fungsi dan wewenang
pemerintah Cina untuk menjelaskan hirarki pemerintahannya serta siapa aktor
yang berperan dalam menjalin hubungan dan kerjasama dalam dunia internasional
seperti pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun
2009. Badan eksekutif Cina terdiri dari Presiden dan Perdana Menteri (PM). Pada
tahun 2009 yang menjabat Presiden Cina adalah Hu Jintao (Periode 15 Maret 2008
- sekarang) (CIA 2011). Pada Pasal 62 Konstitusi Cina berisi bahwa presiden
berwenang untuk memilih perdana menteri (PM) (Lieberthal 1995, 367).
Pasal 89 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995, 372-373) berisi bahwa PM
mempunyai beberapa fungsi, yaitu; mengikuti dan memimpin hubungan luar
negeri dan ikut serta dalam perjanjian dan persetujuan dengan negara lain. Dalam
hal ini, PM Cina lebih berperan aktif dalam pembangunan hubungan internasional
dengan negara lain, seperti mewakili negaranya yang tergabung dalam UNFCCC
dengan mengikuti konferensi perubahan iklim.
Dari penjelasan pembagian kekuasaan pemerintah Cina di atas, tampak
bahwa yang bertugas untuk mengikuti dan memimpin hubungan luar negeri dan
ikut serta dalam perjanjian dengan negara lain adalah Perdana Menteri (PM). Hal
tersebut diaplikasikan pada saat PM Wen Jiabao menghadiri konferensi perubahan
iklim di Copenhagen pada tahun 2009 (Xianzhi 2009).
37
3. Kondisi Ekonomi
a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada Masa Mao Hingga Saat Ini (tahun 1954-2009) Menurut Reynolds (1984, 73) Sekitar tahun 1950an, Cina merupakan
negara agraris yang sangat luas dan hasil pertaniannya mampu mencapai 35 persen
dari gross national product (GNP) dan sekitar 70 persen rakyatnya masih bekerja
di ladang. Selanjutnya, Lieberthal (1984, 56) menjelaskan bahwa pada masa
pemerintahan Mao Zedong (periode 1954-1959), sekitar 80 persen rakyatnya
tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani.
Pada saat itu, Cina hanya bergantung dari hasil pertanian, sehingga menjadikan
negara ini menjadi salah satu negara miskin di dunia.
Menurut Naisbitt (2010, 37) pada masa Mao Zedong terdapat sistem yang
disebut da-guo-fan yang berarti di dalam satu kuali besar. Sistem tersebut
dipandang sebagai jaminan bahwa kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan asumsi
bahwa setiap orang akan mendapat jumlah makanan yang sama tanpa memandang
nilai kerjanya dalam penciptaannya. Namun, sistem tersebut hampir tidak
memberikan hasil apa pun kepada semua orang.
Dalam penelitiannya Irham (2009, 1) menyebutkan bahwa pada tahun
1958, Mao Zedong mencetuskan kampanye lompatan jauh ke depan (the great leap
forward) yaitu program industrialisasi yang radikal namun mengalami kegagalan.
Wibowo (dikutip dalam Irham 2009, 1) menjelaskan bahwa kegagalan program ini
karena sikap Mao Zedong yang konservatif dan alergi terhadap keterbukaan
sehingga mengakibatkan Mao Zedong mengundurkan diri sebagai Presiden Cina
pada tahun 1959.
38
Reynolds (1984, 71) menjelaskan bahwa sebagai negara agraris, total
ekspor yang berasal dari produk hasil pertanian Cina pada awal tahun 1950 sekitar
50 persen, sementara pada tahun 1969 sekitar 37 persen, dan pada tahun 1979
menurun drastis hingga sekitar 23 persen. Namun, pada awal tahun 1980, Cina
menjadi negara importir produk pertanian sehingga total nilai impornya melebihi 1
Milliar USD. Hal ini terjadi karena pada tahun 1979 terjadi transformasi
perekonomian yang besar di Cina.
Kemudian, menurut Irham (2009, 1) pasca meninggalnya Mao Zedong
pada tahun 1976 terjadi transisi politik di Cina dengan munculnya Deng Xiaoping
sebagai pemimpin baru. Deng Xiaoping mempunyai visi baru mengenai
komunisme negaranya serta menghasilkan kemajuan perekonomian yang
signifikan. Visi baru tersebut diwujudkan dengan menjunjung tinggi ideologi
komunisme dengan tetap memegang teguh kekuasaan partai namun tetap memulai
proses liberalisasi dan modernisasi di Cina.
Elizabeth J. Perry (dikutip dalam Naisbitt 2010, 22) menjelaskan bahwa
Cina mengambil bagian-bagian kapitalisme sebagai alat yang bermanfaat untuk
mencapai sasaran ekonomi, tetapi tidak melepas pijakan politiknya. Pada sistem
pembangunan perekonomiannya, Cina mempunyai sistem ekonomi khusus yang
hanya dimiliki oleh Cina. Sistem ekonomi ini muncul pada tahun 1978 masa
pemerintahan Deng Xiaoping yang memiliki slogan gaige kaifang yang berarti
reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2).
Menurut Heggelund (2007, 158) Deng Xiaoping melaksanakan inisiatif
kebijakan ekonomi yang menjadi prioritas politik Cina dan dianggap telah berhasil
mengurangi kemiskinan serta dapat memperbaiki tingkat hidup masyarakatnya.
Heggelund menambahkan (2007, 158) bahwa bentuk kebijakan ekonomi Deng
39
Xiaoping dilakukan dalam empat bidang modernisasi, yaitu; pertanian, industri,
pertahanan nasional, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari kebijakan ini,
dapat terlihat dari pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina.
Menurut Irham (2009, 2) pada tahun 1978, Cina mulai menggunakan
sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat
yang digagas pada masa Mao Zedong. Sistem ekonomi Cina berorientasi terhadap
pasar namun tetap berada dalam bingkai sistem politik yang digariskan oleh Partai
Komunis Cina sehingga sistem ini sering juga disebut dengan Sistem Sosialis
dengan karakteristik Cina.
Kebijakan ekonomi pasar sosialis ini telah mendorong masyarakat
pedesaan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan guna mencari pekerjaan yang
lebih baik. Arus urbanisasi inilah, yang menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011),
merupakan permasalahan utama di Cina sebagai efek samping dari industrialisasi
nasional yang di mulai tahun 1978 sehingga Cina menjadi salah satu negara
dengan tingkat urbanisasi terbesar di dunia. Meskipun telah melakukan urbanisasi,
menurut PM Wen Jiabao, hanya sebagian masyarakat dan wilayah di negaranya
yang sudah kaya.
Data yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat Cina masih miskin
adalah data pada tahun 2007, yakni sebanyak 21,5 juta penduduk desa masih hidup
di bawah garis kemiskinan dengan rasio nilai pendapatan hanya 90 USD per tahun
(CIA 2011). Selanjutnya, data CIA juga menyebutkan bahwa 35,5 juta penduduk
desa yang hidupnya sedikit lebih baik namun masih tergolong dalam masyarakat
miskin dengan pendapatan hanya 125 USD pertahun. Hal ini membuktikan bahwa
pertumbuhan perekonomian Cina belum merata sehingga negara ini harus terus
meningkatkan perekonomian negaranya agar semua rakyatnya sejahtera.
40
Pada tahun 2008, sekitar 38,1 persen penduduk Cina bekerja di sektor
pertanian (CIA 2011). Menurut data CIA sekitar 34,1 persen penduduk Cina
bekerja di sektor jasa, dan terakhir sekitar 27,8 persen bekerja di sektor industri.
Dengan besarnya jumlah penduduk Cina, maka timbul persaingan kompetitif untuk
mendapatkan pekerjaan. Hal ini tampak pada jumlah pengangguran di tahun 2009
yakni sebesar sebesar 4,3 persen dari sekitar 1,3 milliar jumlah penduduknya (CIA
2011).
Sejak tahun 1978 hingga 2005, perdagangan internasional Cina meningkat
69 kali lipat dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 17 persen (Irham 2009,
3). Pada tahun 2005, Cina menjadi negara pengekspor terbesar ketiga di dunia.
Rasio angka impor dibandingkan ekspor dalam gross domestic product (GDP)
adalah 63 persen pada tahun 2005. Hal ini, menjadikan Cina masuk dalam jajaran
negara-negara yang terintegrasi ke dalam perekonomian dunia. Sementara itu,
perolehan devisa melonjak ke angka 1 triliun USD pada akhir tahun 2006. Tabel
berikut akan menjelaskan peningkatan jumlah GDP Cina dari tahun 2008 hingga
2010.
Tabel 3.1 GDP Cina tahun 2008, 2009 dan 2010
No. Periode Jumlah GDP Cina Jumlah GDP per kapita
Asal GDP tahun 2010
1. Tahun 2008
8,204 Trilyun USD 6.400 USD
2. Tahun 2009
9,144 Trilyun USD 6.900 USD
3. Tahun 2010
10,09 Trilyun USD 7.600 USD
Pertanian 9,6%
Industri 46,8%
Jasa 43,6%
(Sumber: CIA 2011)
Dari tabel 3.1 di atas dapat terlihat bahwa GDP Cina periode 2010 paling
besar berasal dari sektor industri. Pada tahun 2008 dan 2009 juga tentunya asal
GDP Cina tidak jauh berbeda dibandingkan tahun 2010. Untuk itu, dengan
41
tingginya tingkat perkembangan industri di Cina tentunya berdampak pada
kerusakan lingkungan baik di dalam negeri maupun global. Peningkatan sektor
industri Cina dikarenakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya
guna pemerataan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Menurut Wibowo (2007, 31) Peningkatan pertumbuhan ekonomi Cina saat
ini sering dikaitkan dengan berbagai macam kebijakan pemerintah dibidang
penanaman modal asing. Selanjutnya, Irham (2009, 3) menjelaskan bahwa selama
tahun 1986 hingga 2009, modal asing yang masuk ke Cina sebesar 620 milyar
USD. Investor asing mendapat berbagai macam kemudahan yang secara khusus
diberikan ke wilayah-wilayah yang disebut zona ekonomi khusus dan zona
pembangunan ekonomi dan teknologi. Terdapat empat zona ekonomi khusus yaitu
Shenzen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen. Sementara, zona pengembangan ekonomi
dan teknologi ada di kota-kota pesisir timur Cina.
Selanjutnya, menurut Wibowo (2007, 54) meskipun Cina sudah
mengizinkan investor asing untuk masuk, namun pemerintah Cina tetap melakukan
proteksi dalam beberapa sektor industri kunci. Sektor industri kunci yang
dimonopoli negara, diantaranya adalah sektor perbankan, listrik, telekomunikasi,
pos, kereta api, penerbangan, dan persenjataan. Selain itu, perusahaan swasta juga
tidak diizinkan masuk ke dalam produksi tembakau, baja, kimia berbahaya,
minyak dan gas, emas dan perak, serta pembuatan seragam untuk angkatan
bersenjata, dan sebagainya.
Menurut data CIA (2011) peningkatan industri Cina relatif cepat dan tinggi
sehingga menjadikan negara ini menjadi nomor dua setelah Amerika Serikat dalam
memproduksi jasa. Namun, peningkatan industri Cina tetap menjadikan
pendapatan perkapita negaranya di bawah rata-rata negara dunia disebabkan belum
42
meratanya kesejahteraan rakyatnya karena jumlahnya yang sangat besar. Selain itu,
pemerintah Cina juga mengalami beberapa tantangan ekonomi. Tantangan pertama
adalah pemerintah Cina harus mempertahankan pertumbuhan lapangan kerja yang
memadai bagi warganya yang menjadi imigran karena sekitar 200 juta pekerja dari
pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Kedua, pemerintah Cina harus
mengurangi korupsi dan kejahatan ekonomi di negaranya. Kemudian, tantangan
terakhir adalah pemerintah Cina arus mentransformasi perekonomian yang cepat
karena peningkatan industri mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Kegiatan industri yang dilakukan oleh Cina ini menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan. Sejak dimulainya kebijakan ekonomi baru Cina tahun
1978, terjadi beberapa masalah lingkungan dan yang terburuk terjadi pada tahun
1982 hingga 1989 (Lieberthal 1995, 282). Masalah lingkungan ini mengakibatkan
Cina kehilangan sepertiga hutannya dan lahan pertanian yang produktif berkurang
sebanyak 0,5 persen per tahun.
Dalam pelaksanaan Kongres Nasional Partai ketujuh belas pada musim
gugur tahun 2007, secara resmi ditegaskan bahwa terjadi pergeseran yang pada
awalnya fokus pada pertumbuhan ekonomi, menuju peningkatan kualitas hidup
dan pemulihan lingkungan hidup (Naisbitt 2010, 79). Naisbitt juga menyebutkan
(2010, 80) pada tahun 2007 menurut Presiden Hu Jintao, model pembangunan
ekonomi global yang menjadikan Cina sebagai bintang dalam peningkatan
perindustrian yang menyebabkan emisi GRK dinyatakan sudah usang. Model
pembngunan ekonomi global baru sedang disusun yaitu model pertumbuhan
pembangunan yang ilmiah sehingga sejak tahun 2007 pembangunan ekonomi di
Cina harus memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan
sumber daya alam.
43
Model pembangunan yang ilmiah menurut Presiden Hu Jintao, Cina sedang
berubah menjadi negara industrialis, berbasis informasi, metropolis, berorientasi
pasar, dan internasional (dalam Naisbitt 2010, 80). Dengan kata lain, Cina akan
memasuki bidang-bidang yang sekarang berada di negara Barat. Akan ada banyak
industri dibidang bio energi, teknologi pengendalian polusi, serta pengelolaan
limbah yang disesuaikan dengan praktik-praktik inovatif dalam pertanian
tradisional dan manufaktur.
4. Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan
Sejak tahun 1950, pemerintah Cina membuat kebijakan energi dan masuk
dalam perencanaan nasional Cina (Mursitama & Yudono 2010, 43). Kemudian,
perencanaan ini berkembang pada tahun 1990-an yang menghasilkan kebijakan
energy security dan kebijakan naskah putih untuk mengatasi ketersediaan energi
dan masalah lingkungan.
Menurut Jiang dan Hu (2008, 320-321) terdapat enam prinsip dasar bagi
strategi energi Cina, yaitu:
a. Memberikan prioritas untuk konservasi
Konservasi sumber daya merupakan dasar kebijakan nasional di Cina
dengan menggabungkan pengembangan dan konservasi energi. Prioritas
konservasi dengan mengubah bentuk pembangunan ekonomi, menyesuaikan
struktur industri dan mendorong pembangunan serta pengembangan teknologi
hemat energi.
b. Pasokan Domestik
Cina harus mengutamakan dan mengandalkan pada pasokan energi dalam
negeri untuk memenuhi meningkatnya permintaan energi domestik dengan terus
meningkatkan keamanan dan kapasitas pasokan domestik.
44
c. Pengembangan Diversifikasi
Cina akan menjamin pasokan energi dengan mempercepat pengembangan
pembangkit energi yang berasal dari minyak dan gas alam. Selain itu, Cina juga
akan mengembangkan sumber energi terbarukan seperti; tenaga air, pengembangan
nuklir, dan optimalisasi energi.
d. Sains dan Teknologi
Cina bergantung pada ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi untuk
pengembangan energi, serta untuk mencapai pengembangan teknologi energi baru,
dan menciptakan metode pengembangan energi baru.
e. Perlindungan Lingkungan
Cina memiliki tujuan membangun cadangan sumber daya serta masyarakat
yang ramah lingkungan. Untuk itu, Cina aktif mengkoordinasikan antara energi
dan pembangunan lingkungan, memberikan perlindungan dalam pembangunan
serta mengusahakan untuk pembangunan berkelanjutan.
f. Kerjasama yang Saling Menguntungkan
Cina menganut sistem kesetaraan dan saling menguntungkan. Untuk itu,
Cina membuat kerjasama energi dengan International Energy Agency (IEA) dan
masyarakat internasional. Selain itu, Cina perperan aktif untuk meningkatkan
mekanisme kerjasama global guna mencapai dan menjaga keamanan serta
stabilitas energi internasional.
Dari keenam prinsip dasar bagi strategi energi Cina di atas tampak bahwa
negara tersebut peduli terhadap kerusakan lingkungan dengan memberikan
prioritas untuk konservasi energi dan penghematan penggunaan energi dalam
pembangunan ekonomi. Bahkan Cina melakukan kerjasama dengan masyarakat
internasional untuk menjaga keamanan dan stabilitas energi internasional. Keenam
45
konten tersebut juga terdapat dalam kebijakan energy security dan Naskah Putih
2007 yang akan dibahas lebih lengkap berikut ini.
a. Kebijakan Energy Security
Hingga 2007, Cina menggunakan sebesar 12 persen dari energi dunia dan
merupakan konsumen energi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat
(Winters & Yusuf (ed.) 2007, 135). Emisi karbon Cina diakibatkan oleh
pertumbuhan penggunaan batubara dan minyak bumi. Selain itu, negara ini
merupakan negara dengan penduduk terbesar dunia dan mengalami peningkatan
ekonomi yang tinggi sehingga Cina mutlak membutuhkan sumber energi yang
besar untuk kelangsungan perekonomiannya (Kusuma 2008, 6). Kebutuhan sumber
energi yang besar tersebut dibutuhkan untuk menunjang industri yang terus
berkembang sebagai strategi dalam hal pertahanan dan keamanan energi yang
disebut dengan energy security.
Menurut Garnaut, Jotzo, dan Howes (2008, 171) Cina sedang bersiap
menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade ke depan
sehingga negara ini sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi.
Menurut Jiang dan Hu (2008, 310) dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi Cina
maka pada tahun 2007 total konsumsi energi utama Cina meningkat menjadi
hampir 1820 mega ton (Mtoe) dengan peningkatan rata-rata pertahun hingga 5,3
persen. Jiang dan Hu (2008, 310) juga menambahkan bahwa batubara merupakan
sumber energi utama yang menyediakan 70,7 persen dari total penggunaan energi
utama pada tahun 1978 dan pada tahun 2006 sebesar 71 persen.
Penggunaan energi batubara yang tinggi di Cina tentunya berdampak pada
kerusakan lingkungan. Untuk itu, menurut Garnaut, Jotzo, dan Howes (2008, 182)
menjelaskan bahwa pemerintah Cina sedang merencanakan atau sedang
46
berlangsung suatu program pengurangan emisi di luar sektor energi seperti
percepatan reboisasi dan pengembangan varietas rendah emisi metana serta
China’s Eleventh Five Year Plant yang memiliki target untuk mengurangi
intensitas penggunaan energi sebanyak 20 persen pada tahun 2005 hingga 2010.
Bagan 3.1. Proses Penyusunan Kebijakan Energi Cina Tahun 2008
Sumber: Mursitama dan Yudono (2010, 61)
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (the National Development
and Reform Commission (NDRC)) yang dibentuk pada tahun 2003 oleh
pemerintah Cina untuk melakukan reformasi birokrasi dalam penyusunan
kebijakan energi (Mursitama & Yudono 2010, 49-60). NDRC merupakan badan
yang berwenang untuk mengatur dan menyusun kebijakan energi oleh State
Negara Perdana Menteri Wakil PM Dewan Negara Sekertaris Jenderal Wen Jiabao Li Keqiang Hui Liangyu Ma Kai Zhang Dejiang Liu Yandong Wang Qishan Liang Guanglie Meng Jianzhu Dai Bingguo Kantor Urusan Legislatif Cao Kangtai Kantor Riset Xie Fuzhen
Komisi Pembangunan dan
Reformasi Nasional Zhang Ping
Komisi Energi Nasional
Administrasi Energi Nasional Zhang Gubaio
Komisi Pengawasan Aset dan Administrasi Negara
Li Rongrong
Perusahaan Minyak Negara CNPC Sinopec CNOOC
47
Council. Selanjutnya, NDRC memiliki beberapa biro untuk membantu kinerjanya.
Pertama adalah Biro Energi yang berfungsi untuk memutuskan setuju atau tidak
terhadap suatu proyek energi. Selanjutnya, Biro Harga yang memiliki kontrol
terhadap harga yang dikeluarkan oleh peerusahaan-perusahaan energi seperti gas,
listrik, dan lain-lain. Ketiga adalah Biro Konservasi Sumber Daya Energi dan
Perlindungan Lingkungan Hidup yang memiliki tugas mencapai target dan
efisiensi energi. Kemudian, terakhir adalah Biro Industri yang membuat kebijakan
industri yang berkenaan dengan insentif energi. Dengan demikian, semua
kebijakan energi nasional harus berpedoman pada kebijakan yang dikeluarkan oleh
NDRC.
Pada pelaksanaan pembangunan energi di Cina bukannya berlangsung
tanpa hambatan. NDRC memiliki beberapa kelemahan, yaitu; tidak memiliki
wewenang penuh dalam penyusunan kebijakan serta minimnya perangkat kerja
dan sumber daya manusia (Mursitama & Yudono 2010, 60). Hambatan ini juga
dikarenakan Cina tidak memiliki Kementerian Energi yang memiliki kewenangan
melakukan koordinasi total terhadap berbagai kepentingan semua aktor dalam
urusan energi nasional.
Selanjutnya, untuk mengatasi hambatan maka pada Juli tahun 2008
dibentuklah lembaga baru yaitu Administrasi Energi Nasional (National Energy
Administration (NEA)) (Mursitama & Yudono 2010, 60). NEA bertugas
memberikan izin usaha energi, menetapkan harga minyak di tingkat pengecer atau
ritel, dan melaksanakan kebijakan energi pemerintah pusat. Selain itu, sejak NEA
didirikan, lembaga ini mengambil alih tugas Biro Energi NDRC dan pelaksanaan
tugas harian Komisi Energi Nasional (National Energy Commission (NEC)).
48
Mursitama dan Yudono (2010, 44) menjelaskan bahwa untuk menunjang
pemenuhan kebutuhan energi di Cina, terdapat tiga perusahaan minyak milik
negara, yaitu; Cina National Offshore Oil Corporation (CNOOC), Cina Petroleum
and Chemical Company (Sinopec), dan Cina National Petroleum Company
(CNPC). Pemerintah Cina mengatur operasi ketiga perusahaan minyak tersebut
dengan memberikan segmen pasar yang berbeda. Pada tabel 3.2 di bawah ini akan
menjelaskan besarnya penggunaan energi minyak untuk kegiatan industri Cina
sehingga negara ini membutuhkan impor minyak yang tinggi setiap harinya.
Tabel 3.2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak Cina
No. Minyak Cina Tahun 2008 Impor Minyak Cina Tahun 2008
1. Produksi 3,991 juta barel/hari
2. Konsumsi 8,2 juta barel/hari
Impor
4.393 juta barel/hari
(Sumber: CIA 2011)
Dengan melihat tabel 3.2 maka tentunya hasil produksi minyak Cina tidak
sesuai dengan tingkat konsumsinya. Untuk itu, menurut Kusuma (2008, 47) dalam
rangka mendapatkan sumber energi demi menjaga kepentingan energy security
negaranya, Cina mulai menggunakan diplomasi bantuan (aid diplomacy) ke
negara-negara lain yang mempunyai banyak cadangan energi dengan cara
memberikan bantuan dana atau hibah, pinjaman dana, dan kerjasama militer.
Salah satu negara tujuan Cina adalah negara-negara di Afrika. Cina
melakukan diplomasi bantuan terhadap negara-negara di Afrika dengan
menghapuskan hutang dan pajak serta bantuan dana lunak untuk pembangunan
infrastruktur (Kusuma 2008, 48). Hal ini dilakukan karena Afrika terkenal sebagai
salah satu daerah penghasil minyak bumi yang potensial. Kusuma menambahkan
(2008, 49) bahwa pada tahun 2004, sebesar 25 persen import minyak Cina berasal
49
dari Afrika dan hingga saat ini mencapai 28 persen. Afrika memiliki nilai yang
sangat penting untuk memenuhi kepentingan Cina yang sangat membutuhkan
minyak bumi sebagai sumber energi bagi pembangunan industrinya.
b. Naskah Putih
Meskipun dalam penelitian Heggelund (2007, 155) menyatakan bahwa
Cina tidak akan membuat komitmen dalam waktu dekat karena energi merupakan
kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan
keengganan negara ini guna membuat komitmen untuk mengurangi emisi. Namun,
pada tahun 2007 Cina membuat berbagai kebijakan ekonomi dan energi yang lebih
ramah terhadap lingkungan seperti kebijakan Naskah Putih yang berjudul Cina’s
Energy Conditions and Policies untuk memenuhi kebutuhan energi Cina yang
semakin meningkat dengan berdasarkan pada prinsip low input, low consumption,
and high efficiency (Mursitama dan Yudono 2010, 54). Oleh karena itu, kebijakan
Naskah Putih ini merupakan salah satu bukti bahwa Cina berusaha untuk
mengurangi emisi negaranya.
Selain itu, Pemerintah Cina menekankan sangat pentingnya perlindungan
lingkungan dan telah menjadi dasar kebijakan nasional (Song & Woo (ed.) 2008,
319). Menurut Jiang dan Hu (2008, 319) pasca konferensi Rio de Jainero tahun
1992, Cina mengambil langkah komprehensif dibidang hukum dan ekonomi serta
cara lain untuk meningkatkan perlindungan lingkungan agar tercapai kemajuan
positif. Komponen utama dari kebijakan pengurangan ekonomi Cina tersebut
adalah managemen yang efektif dari kerusakan lingkungan dan polusi dalam
proses pengembangan dan pemanfaatan energi.
Sebelum dikeluarkannya kebijakan Naskah Putih tahun 2007, pada tahun
2001, pemerintah Cina telah membuat kebijakan Naskah Putih yang berisi tujuan
50
agar pemerintah Cina mendorong peningkatan investasi, baik dalam produksi dan
distribusi hasil industrinya (Mursitama dan Yudono 2010, 59). Kebijakan Naskah
Putih kemudian disempurnakan pada tahun 2007 dengan fokus pada pembenahan
jalur distribusi, pemasaran, serta diangkatnya isu lingkungan hidup. Secara garis
besar, kebijakan Naskah Putih tahun 2007 berisi sejumlah penyempurnaan dari
kebijakan Naskah Putih tahun 2001.
Menurut Mursitama dan Yudono (2010, 54) menyatakan bahwa pemerintah
Cina merealisasikan isi naskah putih ini dalam enam kebijakan. Kebijakan pertama
adalah memprioritaskan penghematan energi dengan membuat konservasi sumber
daya alam (SDA). Kebijakan kedua yaitu untuk memenuhi kebutuhan energinya,
Cina bergantung pada SDA domestik. Kebijakan ketiga adalah mendorong
penggunaan beragam energi seperti energi listrik, nuklir, dan gas. Kebijakan
keempat adalah mendorong sains dan teknologi untuk menghasilkan berbagai
inovasi di bidang energi. Kelima adalah memberikan perlindungan lingkungan
agar tercapai keseimbangan ekologi di Cina. Kebijakan keenam adalah mendorong
kerja mutualistis antara perusahaan luar negeri dan dalam negeri.
Selanjutnya, Mursitama dan Yudono (2010, 56) menjelaskan bahwa pada
Naskah Putih tersebut, pemerintah Cina juga perlu mengeluarkan kebijakan
konservasi energi. Untuk mendorong kebijakan konservasi energi, pemerintah Cina
menempatkan reformasi dan transformasi struktur industri energi sebagai poros
kebijakan tersebut. Tujuan reformasi dan transformasi adalah menghasilkan pola
pembangunan ekonomi dengan prinsip low input, low consumption, and high
efficiency. Cina juga akan mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi
tinggi di bidang energi agar dapat mengurangi pelepasan emisi langsung ke udara
sehingga dapat menjalankan komitmen dalam konvensi UNFCCC.
51
Untuk mengimplementasikan Naskah Putih tahun 2007, menurut
Mursitama dan Yudono (2010, 54) terdapat beberapa hambatan. Hambatan
pertama adalah kondisi energi sumber daya alam (SDA) negaranya yang terbilang
rendah karena hanya terdapat 1/15 dari cadangan dunia. Kondisi ini menyebabkan
pemerintah Cina membutuhkan investasi yang cukup banyak untuk
mengeksplorasi dan distribusi energi. Hambatan kedua adalah adanya
ketidakseimbangan produksi, distribusi, dan konsumsi yang berakibat sulitnya
pemerintah Cina untuk mengamankan jumlah suplai minyak bumi secara berkala.
Walaupun terdapat beberapa hambatan untuk merealisasikan kebijakan
Naskah Putih tahun 2007, namun Mursitama dan Yudono (2010, 56) menjelaskan
bahwa pemerintah Cina merancang beberapa strategi untuk merealisasikan
kebijakan ini. Pemerintah Cina mendorong pengembangan dan penggunaan
teknologi tinggi dibidang energi dan menghapuskan industri-industri yang tingkat
produktivitasnya tidak sesuai dengan target. Hal tersebut menurut Garnault, Frank
dan Howes (2008, 182) diwujudkan dengan kebijakan dan program yang dibuat
oleh NDRC untuk mengurangi konsumsi energi, seperti; menutup pembangkit
listrik yang tidak efisien, menutup pabrik-pabrik-pabrik kecil yang sudah
ketinggalan zaman, dan membuat kebijakan insentif bagi 1000 perusahaan besar.
Pemerintah Cina meluncurkan beberapa proyek penghematan energi seperti
penggunaan energi lain sebagai pengganti minyak bumi, pengembangan dan
pembangunan energi panas bumi, dan pembangunan konstruksi yang hemat energi
(Mursitama dan Yudono 2010, 56). Selain itu, pemerintah Cina telah mengajukan
target nasional yang mengikat tentang penurunan konsumsi energi per unit produk
52
domestik bruto (PDB) dan emisi polutan utama13, peningkatan reboisasi hutan,
serta persentase energi terbaharukan untuk tahun 2005 hingga 2010 (CRI 2009).
Dengan menurunkan tingkat penggunaan energi saja, Cina akan berkontribusi
dalam pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebanyak 1.5 milliar ton per
tahun. Setelah membahas faktor internal dalam kebijakan luar negeri Cina maka
selanjutnya akan dibahas mengenai faktor eksternal dalam kebijakan luar
negerinya.
B. Faktor Eksternal
1. Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional
Cina pada saat ini merupakan negara berkembang yang sangat pesat dalam
peningkatan perekonomian negaranya. Menurut Hadi (n.d.) pada tahun 2007
perekonomian Cina tumbuh sekitar 11,7 persen. Kemudian, dalam artikel yang
sama Hadi menambahkan pada Maret 2009, Bank Central Cina mengumumkan
bahwa cadangan devisa negaranya mengalami peningkatan sebesar 16 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 1,95 triliun USD. Hal ini
menunjukan bahwa meskipun Cina masih masuk ke dalam kelompok negara
berkembang namun perekembangan ekonominya berpengaruh terhadap
perekonomian global.
Pada tahun 2001, Cina secara resmi diterima dan tergabung menjadi
anggota World Trade Organization (WTO) (Wibowo 2007, 63-65). Dengan
menjadi anggota WTO, pemerintah Cina berharap akan dapat memacu ekspor
negaranya. Selain itu, dengan bergabungnya Cina dalam WTO dapat memicu
13 Penjelasan emisi polutan utama terdapat dalam bab I hlm. 4-5
53
peningkatan besar-besaran industrialisasi dalam negeri dan volume
perdagangannya (Irham 2009, 5).
Namun, menurut Wong (dikutip dalam Irham 2009, 5) keanggotaan Cina di
WTO mempunyai dampak pada terintegrasinya kegiatan perekonomian,
perdagangan, dan industri Cina dalam pasar global yang menyebabkan terjadinya
ekspansi besar-besaran dari industri manufaktur Cina ke seluruh dunia. Dengan
demikian, menambahkan keanggotaan Cina di WTO turut mendorong terbukanya
berbagai kegiatan industri diberbagai sektor di tingkat domestik, mulai dari
industri manufaktur dan kendaraan bermotor ke retail domestik serta menciptakan
kompetisi usaha yang lebih kompetitif.
Untuk meningkatkan perekonomiannya, Cina bekerjasama dengan negara
lain atau organisasi regional seperti Association of Southeast Asian (ASEAN). Hal
ini diperkuat dengan pernyataan PM Wen Jiabao (Jiabao 2011) mengatakan bahwa
Cina akan lebih memperkuat hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN.
Selain itu, Cina merupakan negara pertama yang mendirikan kemitraan strategis
untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian dengan ASEAN. PM Wen
menambahkan, antara Cina dan ASEAN memiliki target perdagangan hingga 500
milliar USD pada tahun 2015.
2. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global
Pada beberapa dekade terakhir ini, masalah lingkungan hidup global
menjadi salah satu isu yang menjadi fokus pembicaraan oleh seluruh negara di
belahan bumi. Manusia mengeksploitasi secara besar-besaran berbagai macam
sumber daya alam (SDA) tanpa memperbaharuinya sehingga mengabaikan
kepentingan dan kelestarian lingkungan. Berbagai macam eksploitasi SDA
dilakukan oleh manusia seperti penebangan hutan, pelepasan gas CO2 ke udara
54
yang menghasilkan efek gas rumah kaca pada lapisan ozon, dan penggunaan SDA
yang tidak dapat diperbaharui secara berlebihan seperti minyak bumi dan batubara.
Kemudian, pada saat ini, penggunaan bahan kimia berbahaya pada industri serta
pembuangan limbah secara sembarangan berdampak pada pencemaran tanah dan
air sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan manusia.
Masalah perubahan iklim global merupakan ancaman bagi kehidupan
manusia secara global. Dampak perubahan iklim global juga terjadi di Cina.
Menurut Zhidong (2009) kerusakan ekologi dan pencemaran lingkungan Cina
semakin akut dan bersifat lintas batas (cross-border). Kerusakan ekologi yang
terjadi di Cina seperti; air, tanah, dan udara mengalami pencemaran berat. Dalam
skala domestik sekarang ini hampir 70 persen populasi perkotaan telah tercemar
oleh polusi udara, 70 persen sumber air telah tercemar berat, serta 400 kota
kekurangan air bersih dan yang lebih mengkhawatirkan lagi akan terjadinya proses
desertifikasi yakni proses menjadi padang gurun.
Selain itu, akibat dari peningkatan industri Cina menyebabkan terjadinya
polusi lintas batas (transboundary pollution), terutama hujan asam (acid rain) dan
debu kuning (yellow dust) yang telah mencapai Semenanjung Korea dan Jepang
(Irham 2009, 9). Wihardi dan Manusiwa (dikutip dalam Irham 2009, 9)
menjelaskan bahwa polusi hujan asam diakibatkan oleh aktifitas pembakaran
batubara yang berlebihan di stasiun-stasiun pembangkit energi di Cina. Hujan
asam menyebabkan penurunan produktivitas biologis dari laut dan tanah di mana
sehingga pada jangka panjang dapat menyebabkan masalah kesehatan serta
kerawanan pangan yang serius di kawasan Asia Timur.
Jika melihat masalah lingkungan hidup global di atas, maka sudah saatnya
seluruh negara di dunia mengambil tindakan nyata dalam penanggulangannya.
55
Salah satu caranya adalah dengan mengimplementasikan komitmen yang telah
disepakati dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim baik berupa konvensi
maupun protokol. Masalah lingkungan hidup global harus segera diatasi karena
akan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.
3. Hukum Internasional dalam Isu Lingkungan Hidup Global
Setiap tahun UNFCCC menyelenggarakan pertemuan berupa konferensi
perubahan iklim bagi 195 anggotanya untuk menghasilkan suatu komitmen
bersama (UNFCCC n.d. 3). Setiap negara anggota berhak untuk menolak dan tidak
meratifikasi hasil dari konferensi, misalnya seperti kebijakan untuk meratifikasi
sebuah protokol. Hingga tahun 2007, dari semua negara anggota UNFCCC yang
belum meratifikasi Protokol Kyoto hanya Amerika Serikat. Hal ini membuktikan
bahwa belum adanya suatu hukum internasional yang dapat mengikat secara penuh
suatu negara.
Berbagai opini publik dunia membahas mengenai masalah lingkungan
global ini terutama mengenai masalah perubahan iklim global. Pada saat
konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, dalam surat kabar
bernama Frankfurther A. Zeitung disebutkan bahwa dinamika politik baru telah
ditampilkan di konferensi Copenhagen dan kemungkinan akan memperburuk
kebijakan iklim global (Andersen 2009). Andersen menambahkan hal ini
ditunjukkan dengan sikap di mana setiap negara anggota UNFCCC bisa melakukan
hak veto dan tidak mempunyai komitmen apapun. Kemudian, ditambah dengan
adanya berbagai kepentingan masing-masing negara, seperti negara-negara industri
maju yang ingin mempertahankan standar hidup mereka dan bagi negara-negara
berkembang yang ingin segera mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya dengan
meningkatkan perekonomian. Selain itu, tingginya tingkat populasi global serta
56
meningkatnya kebutuhan energi maka akan mengakibatkan emisi GRK semakin
besar. Dengan beberapa gambaran di atas, maka dirasa sulit untuk membuat suatu
kebijakan yang terbaik untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Selain itu, Garnault, Jotzo dan Howes (2008, 180) berpendapat bahwa pada
tahun 2030 akan terlambat bagi dunia untuk mulai bertindak dalam mengatasi
masalah perubahan iklim. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi Cina dalam dua
dekade kedepan akan menentukan perubahan iklim global. Kebijakan dan sikap
Cina dalam negosiasi internasional pada saat konferensi perubahan iklim akan
semakin berpengaruh dalam merespon perubahan iklim global.
4. Respon Negara Industri Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global
Terdapat perbedaaan pandangan antara negara industri maju dan negara
berkembang dalam menilai isu lingkungan global. Setiap negara akan
mempertahankan prinsipnya dan akan diaplikasikan dalam kebijakan luar
negerinya mengenai isu lingkungan global yang lebih spesifik membahas tentang
masalah perubahan iklim. Seperti dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di
Copenhagen, Obama sebagai Presiden AS mewakili negara industri maju
mengatakan bahwa saat ini negara-negara berkembang yang sudah besar (seperti
Cina dan India) harus mulai untuk pertama kali membuka diri dengan mengambil
tanggung jawab untuk membatasi pertumbuhan emisi GRK (Andersen 2009).
Selanjutnya, Presiden Obama memberikan solusi untuk mengatasi masalah
perubahan iklim yaitu dengan cara semua negara penghasil emisi harus bersama-
sama bertanggung jawab dan membuat mekanisme pendanaan untuk membantu
negara-negara yang paling rentan menghadapi dampak dari perubahan iklim.
57
Pandangan Presiden Obama tersebut di atas tidak diterima langsung oleh
negara berkembang seperti Cina dan India. Seorang pejabat Cina mengatakan
beberapa negara maju telah gagal untuk menghormati komitmen mereka dalam
mengatasi masalah perubahan iklim sehingga mereka tidak memenuhi syarat untuk
mengkritik negara-negara berkembang (Yang (ed.) 2009).
Pada akhirnya, setiap negara mempunyai kepentingan masing-masing yang
diimplementasikan dalam kebijakan luar negerinya. Sama halnya dengan Cina,
mempunyai kepentingan utama yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya pada
saat konferensi perubahan iklim. Faktor internal dan eksternal yang telah
dijelaskan di atas mempengaruhi latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada
saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal Cina
pada dasarnya adalah untuk meningkatkan perekonomian negaranya agar
kesejahteraan rakyatnya merata serta diimbangi dengan membuat kebijakan untuk
meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan
industri. Hal ini diperkuat Sheehan dan Sun (2008, 397-398) yang menjelaskan
bahwa pada 2008 salah satu tujuan penting pemerintah Cina adalah membuat
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan
mengurangi tingkat penggunaan energi, pengurangan penggunaan air, dan
mengurangi polusi. Selain itu, faktor kerusakan lingkungan domestik Cina juga
merupakan faktor pendukung keikutsertaan Cina dalam pembuatan komitmen pada
saat konferensi perubahan iklim. Faktor eksternal pada dasarnya keikutsertaan
Cina dalam UNFCCC agar semua negara sama-sama bertangung jawab atas
terjadinya perubahan iklim terutama negara industri maju. Oleh karena itu, pada
bab selanjutnya akan dibahas secara spesifik mengenai kebijakan luar negeri yang
dilaksanakan oleh Cina dalam konferensi Copenhagen berlangsung.
58
BAB IV
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
Sebelumnya menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri Cina, yaitu; faktor internal dan eksternal. Dalam faktor internal
dijelaskan bahwa akibat dari pesatnya kegiatan industri Cina untuk meningkatkan
perekonomian negaranya berdampak pada kerusakan lingkungan yang bersifat
akut. Selain itu, pemerintah Cina juga menyadari bahwa kerusakan lingkungan
yang terjadi di negaranya jika terus menerus diabaikan maka akan semakin
memburuk di masa depan sehingga akan membutuhkan biaya yang besar untuk
konservasi lingkungan.
Dalam pelaksanaan konservasi lingkungan domestik negaranya, pemerintah
Cina membuat kebijakan energy security dan Naskah Putih tahun 2007 yang berisi
kebijakan konservasi energi dengan prinsip low input, low consumption, and high
efficiency (Mursitama & Yudono 2010, 56). Selain itu, menurut Presiden Hu Jintao
(dikutip dalam Naisbitt 2010, 80) sejak tahun 2007 di Cina sedang disusun model
pertumbuhan pembangunan ekonomi yang ilmiah dengan memasukkan standar
kelestarian lingkungan, energi, dan sumber daya alam. Dengan model
pembangunan tersebut, Cina sedang berubah menjadi negara industrialis, berbasis
informasi, metropolis, berorientasi pasar, dan internasional.
Selain faktor internal juga terdapat faktor eksternal yang mendukung
kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di
Copenhagen. Dengan meningkatnya industri di Cina tidak hanya berdampak pada
kerusakan lingkungan domestik negaranya namun juga berdampak pada
lingkungan global. Dalam hal ini, akibat dari peningkatan industri di Cina
58
59
menyebabkan terjadinya polusi lintas batas terutama hujan asam dan debu kuning
yang telah mencapai Semenanjung Korea dan Jepang (Irham, 2009, 9). Selain itu,
pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi terbesar di dunia
(Saragih 2010, 10). Oleh karena itu, tentunya Cina mendapat tekanan dari dunia
internasional untuk menurunkan tingkat emisi negaranya.
Salah satu yang menekan Cina untuk menurunkan tingkat emisinya adalah
Amerika Serikat (AS). Menurut Forgaty (Reuters 2011) AS merupakan penghasil
emisi terbesar kedua di dunia setelah Cina. Forgaty menjelaskan AS belum
meratifikasi Protokol Kyoto karena negara-negara berkembang besar (seperti Cina)
belum memiliki komitmen yang mengikat dalam mengurangi tingkat emisi. Posisi
Cina sebagai penghasil emisi terbesar di dunia tersebut membuat Todd Stern
Kepala Delegasi Iklim AS mengatakan bahwa harus ada sebuah perjanjian yang
memiliki kekuatan hukum yang sama bagi negara-negara berkembang terutama
Cina, India, dan Brazil untuk mengatasi masalah perubahan iklim (Reuters 2011).
Hal ini berarti AS menekan Cina untuk segera membuat komitmen untuk
menurunkan tingkat emisi negaranya.
Walaupun Cina mendapat tekanan dari dunia internasional untuk
menurunkan tingkat emisi negaranya namun negara ini harus tetap meningkatkan
perekonomianya untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, kebijakan luar
negeri Cina dalam konferensi Copenhagen tahun 2009 akan lebih detail dijelaskan
di bawah ini.
A. Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC
Kebijakan luar negeri Cina secara konsisten berdasarkan pada independensi
yang berdasarkan pada lima prinsip (Lieberthal 1995, 357). Prinsip pertama
adalah adanya rasa kebersamaan dan saling menghormati antara satu negara
60
dengan negara lain. Selanjutnya, prinsip kedua adalah bersama-sama menentang
adanya suatu agresi. Kemudian, prinsip ketiga adalah tidak adanya intervensi dari
pihak manapun termasuk dalam pelaksanaan hubungan internasional. Prinsip
keempat adalah adanya persamaan hak dan keuntungan bersama. Kemudian
prinsip terakhir adalah adanya koeksistensi damai dalam pembangunan hubungan
diplomatik, ekonomi, maupun pertukaran kebudayaan dengan negara lain.
Menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), Cina mempunyai prinsip kebijakan
luar negeri yang bebas merdeka dan damai. Kebijakan ini mempunyai pengertian
bahwa semua negara harus merdeka (tidak ada imprealisme dari pihak manapun)
dan bebas mengembangkan berbagai aspek kepentingan negara seperti
pengembangan ekonomi, politik, dan sosial demi kesejahteraan bersama.
Selanjutnya, makna damai adalah negara ini menginginkan kehidupan yang damai
antar negara di dunia. Selain itu, Cina membangun kerjasama dengan negara-
negara lain seperti AS, Rusia dan Uni Eropa untuk membangun dunia agar damai.
Pada dasarnya, perkembangan Cina dalam berbagai aspek (contohnya: ekonomi,
politik, dan sosial) tidak akan mengganggu dan mengancam negara manapun
sesuai dengan prinsip kebijakan luar negerinya dan akan terus berjalan secara turun
temurun.
Pada pelaksanaan konferensi perubahan iklim (termasuk saat konferensi
Copenhagen 2009), menurut Chingk Lee (dikutip dalam Felisia 2008, 8) Cina
mempunyai sejumlah prinsip diplomasi lingkungan yang harus dipegang teguh,
yaitu; prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun (right to
development), serta prinsip tanggung jawab negara-negara maju untuk
mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang.
Felisia (2008, 8) menjabarkan prinsip-prinsip tersebut lebih lanjut. Prinsip
61
kedaulatan mengandung pengertian bahwa semua negara di dunia adalah sama dan
tidak ada pemisahan antara negara besar ataupun kecil, terutama tidak adanya
dominasi dari suatu negara.
Selanjutnya, independensi mempunyai pengertian bahwa semua negara
harus mandiri dan tidak tergantung dengan negara lain serta memiliki hak untuk
menentukan nasib sendiri. Kemudian, hak untuk membangun berarti semua negara
berhak untuk meningkatkan perekonomiannya guna mensejahterakan seluruh
warga negaranya. Prinsip terakhir adalah Cina menganggap aktor penyebab utama
terjadinya perubahan iklim adalah akibat dari kegiatan industri negara maju yang
telah berlangsung lama sehingga negara-negara tersebut harus bertanggung jawab
dengan memberikan bantuan finansial dan transfer teknologi ke negara-negara
berkembang. Dengan adanya prinsip ini, dampak negatif dari perubahan iklim
diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk menyadari bahwa tindakan yang
kongkrit dan cepat sangat dibutuhkan guna kemaslahatan hidup umat manusia pada
masa mendatang.
B. Aktor-aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen Tahun 2009
Pada pelaksanaan kebijakan luar negeri Cina, sesuai Pasal 89 konstitusi
negara ini, seorang perdana menteri (PM) mempunyai tugas untuk mewakili
negaranya dalam membangun hubungan internasional (Lieberthal 1995, 373). Pada
tahun 2009, PM Wen Jiabao, mewakili pemerintah Cina dalam UNFCCC pada
konferensi perubahan iklim di Copenhagen, Denmark (Xianzhi (ed.) 2009).
Selain PM Cina yang menjadi aktor dalam konferensi perubahan iklim
terdapat instansi pemerintah lain yang tergabung dalam delegasi tersebut seperti
Ministry of Foreign Affairs (MFA). Menurut Heggelund (2007, 173) MFA
62
memainkan peranan penting dalam proses politik internasional tentang perubahan
iklim meskipun instansi ini kurang dilibatkan dalam bidang sains dan teknis. Selain
itu, Heggelund menambahkan (2007, 173) dengan MFA mewakili pemerintah Cina
sebagai kepala negosiasi, perubahan iklim dipandang sebagai masalah dalam
kebijakan luar negeri dan karena itu dipengaruhi oleh isu lainnya di bawah lingkup
kementerian.
Selain MFA juga terdapat The National Development and Reform
Commission (NDRC). Menurut Heggelund (2007, 171) NDRC merupakan salah
satu komisi yang paling kuat di Cina dan merupakan komisi utama perencanaan
ekonomi serta bertanggung jawab bagi pembangunan ekonomi. Heggelund
menambahkan (2007, 172) selain menangani masalah ekonomi, NDRC juga
bertanggung jawab untuk mengembangkan energy security. Ketika NDRC menjadi
wakil ketua delegasi untuk negosiasi dalam perubahan iklim dan memimpin
diskusi tingkat tinggi, serta bekerjasama dengan MFA maka perkembangan
ekonomi dan isu-isu energi merupakan perhatian utama Cina (Heggelund 2007,
172).
C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009
Kebijakan perubahan iklim internasional secara umum merupakan topik
yang sensitif karena terkesan menghambat perkembangan ekonomi suatu negara.
Oleh karena itu, pada saat negosiasi, bagi MFA negara-negara industri maju harus
bertanggung jawab atas perubahan iklim global yang terjadi dan selalu
menekankan perlunya melakukan transfer teknologi dan membentuk mekanisme
pendanaan internasional (Heggelund 2007, 173). Transfer teknologi merupakan
pemberian teknologi maju dari negara industri maju ke negara berkembang, agar
63
dalam melakukan kegiatan industrinya dapat meminimalisasi pelepasan emisi ke
udara sehingga mampu mengurangi penyebab perubahan iklim.
Meskipun demikian, Cina sebagai salah satu negara yang menyumbangkan
pelepasan emisi ke udara, menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), akan bersedia
untuk melakukan transfer teknologi karena bagi Cina pembangunan suatu negara
harus berdasarkan ilmu pengetahuan (iptek). Pada setiap konferensi perubahan
iklim, tentu akan ada suatu komitmen yang harus diikuti oleh negara anggotanya
untuk memotong tingkat pelepasan emisi. Namun, pemotongan emisi tersebut bagi
Cina harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian negaranya.
Menlu Cina, Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) konferensi perubahan iklim
tahun 2009 di Copenhagen merupakan kesempatan penting untuk meningkatkan
kerjasama internasional untuk menangani masalah perubahan iklim. Yang Jiechi
(Xianzhi (ed.) 2009) menambahkan bahwa upaya bersama dari semua pihak dalam
konferensi harus menghasilkan hal yang signifikan dan positif yang terdiri dari tiga
aspek. Aspek pertama adalah tegas menjunjung tinggi prinsip common but
differentiated responsibilities (di mana setiap negara bersama-sama menekan laju
peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung
jawab yang berbeda-beda) yang ditetapkan oleh UNFCCC. Aspek kedua adalah
konferensi ini membuat langkah maju dengan adanya pemotongan emisi yang
mengikat bagi negara industri maju dan bagi negara berkembang harus melakukan
tindakan sukarela melakukan mitigasi (pengurangan emisi). Aspek terakhir adalah
konferensi menghasilkan konsensus penting mengenai isu-isu lingkungan dalam
jangka panjang untuk target pengurangan emisi global, dengan dukungan dana dan
transfer teknologi bagi negara-negara berkembang.
64
D. Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen Tahun 2009
Setiap negara dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya
mempunyai kebijakan luar negeri yang harus diaplikasikan. Pada pelaksanaan
konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Cina merupakan salah satu
negara kunci dalam konferensi karena pada tahun tersebut Cina merupakan negara
penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010).
Menurut Wakil Khusus Ministry of Foreign Affairs (MFA) Cina untuk
konferensi perubahan iklim, Yu Qingtai, mengatakan bahwa pengaplikasian
tanggungjawab masing-masing antara negara industri maju dan negara
berkembang adalah kunci sukses penyelenggaraan konferensi Copenhagen (CRI
2009). Selanjutnya menurut Yu Qingtai (CRI 2009), gagalnya perundingan untuk
mencapai kemajuan dari konferensi perubahan iklim disebabkan karena negara-
negara industri maju tidak cukup menunjukan kejujuran, maka negara-negara
tersebut diharapkan dapat mengubah janji untuk mengurangi emisi menjadi
kenyataan. Oleh karena itu, kunci utama dari penyelesaian masalah perubahan
iklim adalah semua negara anggota UNFCCC baik negara industri maju maupun
negara berkembang harus bersama-sama memenuhi tanggungjawab dan komitmen
mereka berdasarkan konvensi.
Namun, dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009
terdapat kelompok negara berkembang yang vokal dalam negosiasi untuk
menghadapi tekanan dari negara industri maju. Andersen (2009) menuliskan
bahwa terdapat kelompok Basic Group yang merupakan kelompok negara
berkembang yang perekonomiannya sedang berkembang pesat. Kelompok tersebut
terdiri dari Brazil, Afrika Selatan, India, dan Cina. Kelompok ini merupakan
65
kelompok yang vokal dalam konferensi perubahan iklim ke-15 di Copenhagen,
terutama saat menghadapi tekanan dari negara-negara industri maju untuk
memotong tingkat emisi GRK di empat negara tersebut. Keempat negara tersebut
aktif melakukan negosisasi dalam berbagai forum pada saat konferensi
berlangsung.
Dalam tulisannya Rapp, Schwagerl, & Traufetter (2010) menjelaskan
bahwa tekanan dari negara industri maju terlihat pada saat perundingan
berlangsung pada tanggal 18 Desember 2009 di Copenhagen, terjadi perdebatan
antara Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Cina Wen jiabao.
Dalam tulisan tersebut berisi bahwa Presiden Nicolas Sarkozy mengatakan negara-
negara anggota UNFCCC berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar
80 persen. Kemudian, PM Wen Jiabao menyatakan bahwa, “Cina akan segera
menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dan akan berkata pada dunia bahwa
komitmen berlaku untuk Anda tetapi tidak untuk kami”.
Pernyataan Presiden Nicolas Sarkozy tersebut bertentangan dengan tujuan
kebijakan luar negeri Cina seperti yang diungkapkan oleh Menlu Cina, Yang
Jiechi. Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) menyatakan bahwa antara negara industri
maju dan negara berkembang mempunyai tanggung jawab emisi yang berbeda.
Oleh karena itu, terdapat tanggung jawab dan kewajiban yang berbeda dalam
menangani masalah perubahan iklim. Negara industri maju harus lebih banyak
berkontribusi terhadap penanganan masalah perubahan iklim yang terjadi di dunia.
Menlu Cina Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) mengatakan bahwa
konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen bukanlah suatu tujuan
namun sebuah awal baru dan setiap negara anggota UNFCCC harus sesuai dengan
prinsip Common but differential responsibilities.
66
Dalam tulisannya Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010) menjelaskan
bahwa pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, PM Wen
mengirim negosiatornya yaitu He Yafei, ke pertemuan malam para pemimpin
dunia. Lebih lanjut dalam tulisan ini menjelaskan bahwa para pemimpin dunia
tersebut bersama-sama meminta tuan rumah Denmark, untuk mengurangi beberapa
dokumen yang menjadi kunci untuk mencapai kesepakatan akhir dari konferensi
Copenhagen. Isi dari dokumen tersebut bertujuan untuk membuat kesepakatan agar
semua negara anggota mengurangi emisi gas CO2 sebesar 50 persen secara global
yang harus dicapai pada tahun 2050 (dibandingkan dengan level emisi tahun
1990). Pada saat itu, delegasi Cina tidak setuju dengan ketentuan tersebut.
Pada saat sidang tanggal 18 Desember 2009, negosiator He Yafei
menyampaikan ketidaksetujuannya tersebut pada forum (Rapp, Schwagerl, &
Traufetter 2010, 2). Rapp, Schwagerl, & Traufetter (2010, 2) menuliskan bahwa
He Yafei berkata pada presiden forum, “Tuan Presiden, mengingat pentingnya
komitmen ini, kami tidak ingin terburu-buru dan kami perlu beberapa waktu lagi”.
He Yafei memperlambat waktu dengan terus-menerus meminta interupsi kepada
presiden sidang agar ia dapat berbicara dengan PM Wen Jiabao. Presiden sidang
pada sidang tersebut adalah seorang Kanselir Jerman bernama Merkel.
Dalam sebuah artikel Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010, 2)
menjelaskan bahwa Merkel bertekad agar India dan Cina bersedia membuat
komitmen dalam upaya perlindungan iklim. Namun, Cina dan India tidak bersedia
untuk membuat komitmen tersebut. Kemudian, kedua negara tersebut ditambah
Brazil dan Afrika Selatan melakukan perundingan tertutup diantara mereka
berempat dan mencapai kesepakatan untuk tidak menyetujui ketentuan tersebut.
Kelompok ini disebut Basic Group.
67
Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010, 2-3) dalam artikelnya menjelaskan
bahwa sidang yang dipimpin oleh Merkel terjadi banyak perdebatan antar kepala
negara. Lebih lanjut, akhirnya Merkel sebagai presiden sidang mengambil jalan
terakhir yaitu pengurangan gas rumah kaca sebesar 50 persen yaitu dengan cara
membatasi pemanasan global hingga dua derajat Celsius. He Yafei tetap tidak bisa
menerima keputusan tersebut. Menanggapi ketidaksetujuan tersebut, Obama
berbicara langsung kepada Cina “jika tidak ada rasa kebersamaan dalam proses ini,
maka akan sulit bagi kita untuk terus maju secara signifikan”.
Setelah terjadi perundingan yang alot antar kepala negara maka hasil akhir
dari konferensi Copenhagen adalah Copenhagen Accord14 (UNFCCC n.d.). Pada
Copenhagen Accord, Cina berkomitmen untuk mengkomunikasikan dan akan
berusaha keras untuk menurunkan tingkat emisi CO2 per unit GDP hingga 40-45
persen pada tahun 2020 yang dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2005
(UNFCCC n.d.). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi non-
fosil (non-minyak bumi) dan menjadikannya sebagai energi utama, sehingga
konsumsi energi fosil (minyak bumi) hanya sekitar 15 persen pada tahun 2020.
Komitmen Cina tersebut diperkuat dengan pernyataan PM Wen Jiabao. PM Wen
Jiabao (Xianzhi 2009) yang menyatakan bahwa sebagai negara berkembang, Cina
saat ini sedang pada tahap penting industrialisasi dan urbanisasi serta peranan
utama penggunaan energi dari batubara sehingga negara ini memiliki kesulitan
khusus dalam pengurangan emisi. Kemudian, Cina akan melakukan aksi mitigasi
nasional dan akan mengimplementasikan mitigasi tersebut sesuai dengan prinsip
dan ketentuan dalam konvensi UNFCCC.
14 Penjelasan Copenhagen Accord secara terperinci telah dipaparkan pada Bab II hlm. 27
68
PM Wen mengatakan bahwa untuk mengurangi emisi karbon dioksida
dalam skala besar tentunya Cina akan membutuhkan waktu dan upaya yang luar
biasa (Xianzhi (ed.) 2009). PM Wen Jiabao (Xianzhi (ed.) 2009) menambahkan
bahwa target pemotongan emisi tersebut akan dimasukkan ke dalam rencana
nasional Cina baik jangka menengah maupun jangka panjang bagi pembangunan
ekonomi. Pelaksanaan pemotongan emisi tersebut harus harus tunduk pada
pengawasan hukum dalam negeri Cina dan opini publik. Untuk melaksanakan
komitmen tersebut, Cina berkomitmen untuk lebih aktif terlibat dalam dialog dan
kerjasama internasional untuk bertukar informasi mengenai pengurangan emisi.
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan luar negeri Cina
dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen sesuai dengan
prinsip UNFCCC yaitu Common but differential responsibilities sehingga negara
industri maju merupakan aktor utama yang harus bertanggung jawab terhadap
masalah perubahan iklim. Walaupun demikian, Cina tetap ikut serta dan
bertanggung jawab terjadinya atas perubahan iklim tetapi tetap pada posisi dirinya
sebagai negara berkembang. Sehingga, setelah konferensi Copenhagen berakhir,
Cina berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisinya antara 40-45 persen pada
tahun 2020 dan akan mengupayakan maksimalisasi penggunaan sumber daya non
fosil (bukan minyak bumi) (UNFCCC n.d.).
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan luar negeri Cina dalam United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas di
Copenhagen, Denmark, mengacu pada empat prinsip diplomasi lingkungan hidup
yang ditentukan oleh pemerintah Cina. Prinsip pertama adalah prinsip kedaulatan
yang berarti bahwa semua negara sama sehingga tidak ada pemisahan antara
negara besar dan kecil, serta tidak adanya dominasi dan intervensi dalam
pelaksanaan konferensi. Prinsip kedua adalah setiap negara harus mandiri serta
tidak bergantung kepada negara lain, diaplikasikan dengan cara menentukan nasib
sendiri. Prinsip ketiga adalah hak untuk membangun perekonomian dan
mensejahterakan rakyatnya. Kemudian, prinsip terakhir yaitu perubahan iklim
yang diakibatkan oleh negara industri maju, sehingga mereka harus bertanggung
jawab secara penuh dengan menjadi aktor utama sebagai donatur utama dalam
upaya memperbaiki lingkungan yang rusak dan transfer teknologi ke negara-negara
berkembang.
Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut diaplikasikan pada saat
konferensi Copenhagen. Prinsip pertama yaitu kedaulatan. Pada saat konferensi,
Cina tidak menginginkan adanya intervensi dari negara industri maju dengan
membentuk kelompok Basic Group yang beranggotakan empat negara yaitu
Brazil, Afrika Selatan, India dan Cina. Kelompok ini vokal pada saat konferensi
Copenhagen berlangsung terutama saat menghadapi tekanan dari negara-negara
industri maju seperti Amerika Serikat.
69
70
Prinsip kedua adalah setiap negara harus mandiri dengan mampu
menentukan nasib sendiri. Prinsip ini diaplikasikan oleh Cina dengan mengubah
sistem ekonomi negaranya dari negara agraris menjadi negara industri agar mampu
menghadapi globalisasi. Selain itu, dengan peningkatan ekonominya maka Cina
dapat menentukan nasibnya sendiri dan menjadi salah satu kunci keberhasilan
setiap konferensi perubahan iklim karena negaranya mempunyai peranan penting
dan disegani oleh negara-negara di dunia.
Selanjutnya, prinsip ketiga diplomasi lingkungan Cina adalah hak untuk
membangun perekonomian dan mensejahterakan rakyatnya. Prinsip ini
diaplikasikan dalam kebijakan luar negeri Cina melalui delegasinya dalam
konferensi Copenhagen. Para delegasi menginginkan adanya keseimbangan antara
peningkatan perekonomian dengan kesepakatan pemotongan emisi GRK yang
tidak terlalu tinggi. Seperti sikap PM Wen Jiabao yang menentang pidato Presiden
Perancis Nicolas Sarkozy saat menginginkan semua negara anggota UNFCCC
untuk menurunkan tingkat pelepasan emisi GRK hingga 80 persen. Cina menolak
karena jika pemotongan emisi GRK hingga 80 persen maka akan menghambat
perekonomian negaranya.
Prinsip terakhir yang harus diaplikasikan Cina adalah tanggung jawab
negara industri maju yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim
dengan memberikan bantuan dana dan transfer teknologi ke negara-negara
berkembang. Bantuan dana dan transfer teknologi ini diutamakan bagi negara-
negara yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim seperti negara
kepulauan kecil. Selain menuntut tanggung jawab utama negara industri maju,
Cina juga turut serta dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pada tahun
71
2007, pemerintah Cina menyusun model perekonomian baru dengan memasukkan
standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA).
Hasil dari keikutsertaan Cina dalam konferensi perubahan iklim ke-lima
belas di Copenhagen tahun 2009 adalah negara tersebut sepakat untuk
mengkomunikasikan dan berusaha keras untuk menurunkan tingkat emisi GRK
hingga 40-45 persen pada tahun 2020 yang dibandingkan dengan tingkat emisi
pada tahun 2005. Penurunan emisi ini diwujudkan dengan pengurangan
penggunaan energi fosil dan menggantinya dengan sumber energi yang berasal dari
energi angin dan nuklir. Cina bekerja keras untuk mencapai target penurunan
penggunaan energi fosil negaranya menjadi 15 persen pada tahun 2020.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Bakri, Umar Suryadi (ed.). 1997. Pasca Deng Xiaopin “Cina, Quo Vadis?”. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Clarke, Michael & White, Brian (ed.). 1995. Understanding Foreign Policy “The Foreign Policy Systems Approach”. Edward Elgar Publishing Limited: USA.
Erwin, Muhammad. 2009. Hukum Lingkungan “Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup”. Refika Aditama: Bandung.
Garnaut, Ross, Jotzo, Frank & Howes, Stephan. 2008. China’s Rapid Emissions Growth and Global Climate Change Policy dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia
Hill, Christopher. 2003. The Changing Politics Of Foreign Policy. Palgrave Macmillan: London.
Holsti, K.J. 1992. Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis”. Prentice-Hall International, Inc: London.
Jackson, Robert dan Sorenson, Georg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Jemadu, Alexius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Graha Ilmu: Yogjakarta.
Jiang, Kejun & Hu, Xiulian. 2008. Energy and Environment in China dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia
Kusuma, Dwijaya. 2008. China Mencari Minyak “Diplomasi China ke Seluruh Dunia 1990-1997”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Depok.
Lampton, David M. 2001. The Making of Chinese Foreign and Security Policy in the Era of Reform 1978-2000. Stanford University Press: California.
Lieberthal, Kenneth. 1984. Domestic Policy and Foreign Policy dalam Garding, Harry (ed.). China’s Foreign Relations in the 1980s. Yale University Press: New Haven and London.
xv
xvi
Lieberthal, Kenneth. 1995. Governing China “From Revolution Through Reform”. W.W. Norton & Company, Inc: New York.
Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda Karya: Bandung
Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto”Implikasinya bagi Negara Berkembang”. Kompas: Jakarta.
Murdiyarso, Daniel. 2005. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi “Konvensi Perubahan Iklim”. Kompas: Jakarta.
Mursitama, Tirta N. dan Yudono, Maisa. 2010. Srategi Tiga Naga “Ekonomi Politik Industri Minyak China di Indonesia”. Kepik Ungu: Depok.
Naisbitt John dan Doris Naisbitt. 2010. China’s Megatrends “8 Pilar yang Membuat Dahsyat China”. Gramedia: Jakarta.
Reynolds, Bruce. 1984. China in International Economy dalam Garding, Harry (ed.). China’s Foreign Relations in the 1980s. Yale University Press: New Haven and London.
Sheehan, Peter & Sun, Fiona. 2008. Emission and Economic Development ‘Must China Choose?’ dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia
Susskind, Lawrence. 1994. Environmental Diplomacy “Negotiating More Effective Global Agreements”. Oxford University Press: New York.
Watson, Adam. 2005. Diplomacy The Dialogue Between States. Taylor & Francis e-Library: UK.
Wibowo, I. 2007. Belajar Dari Cina “Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam Era Globalisasi”. Kompas Media Nusantara: Jakarta.
Wibowo, I. 2010. Negara Centeng “Negara dan Saudagar di Era Globalisasi”. Kanisius: Yogyakarta.
Winters, Alan dan Yusuf, Shalid (ed.). 2007. Dancing With Giants “China, India, and the Global Economy”. Institute of Policy Studies: Singapura.
Jurnal:
Isnaeni, Nurul dan Wardoyo, Broto. Isu Lingkungan Hidup Global: Tantangan Kebijakan Luar Negeri dan Negosiasi Multirateral dalam Global Jurnal Politik Internasional Dinamika Fenomena Hubungan Internasional Pasca Neo-Liberal. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Vol. 9 No. 2 Desember 2007 – Mei 2008.
Heggelund, Gorild. China Climate Change Policy: Domestic and International Developments. Asian Perspective, Vol. 31, No.2, 20. Available From: <http://www.asianperspective.org/articles/v31n2-g.pdf>. [20 November 2010].
xvii
Skripsi & Tesis:
Felisia, Sarah. 2008. Proses Pembentukan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam Isu Perubahan Iklim Periode 1992-1997”. Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Irham, Mohammad. 2009. Isu polusi lingkungan China dalam hubungan China-Jepang perspektif human security (2001-2008). Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Media Massa:
Saragih, Simon. 2010. Pertemuan Iklim Tianjin ‘China dan Brazil Hambat Trik Barat’. Kompas 10 Oktober, p. 10.
Internet:
Sommerville, Quantine. 2006, Polusi Ancam Stabilitas Cina. Available from: <http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/11/061113/chinacondition.shtml>. [22 September 2010].
Yu, Xin. 2009, Blogger Petakan Polusi di China. Available from: <http://www.epochtimes.co.id/iptek.php?id=367>. [22 September 2010].
Greenpeace, n.d., Perubahan Iklim ‘stop ketergantungan terhadap energi kotor, revolusi energi terbaharukan sekarang’. Available from: <http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global>. [8 Mei 2010].
Deptan. 2010, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ‘Cancun, Mexico, 29 November – 10 Desember 2010’ Gambaran Umum Issue Perubahan Iklim. Available from: <http://www.deptan.go.id/kln/pdf/unfccc.pdf>. [12 Desember 2010].
Eionet. 2011, Legislative Instrument Details: UNFCCC. Available from: <http://rod.eionet.europa.eu/instruments/411>. [4 April 2011].
UNFCCC. n.d. 1, List of Non-Annex I Parties to the Convention. Available from: <http://unfccc.int/parties_and_observers/parties/non_annex_i/items/2833.php>. [20 April 2011].
UNFCCC. n.d. 14, List of Annex I Parties to the Convention. Available from: <http://unfccc.int/parties_and_observers/parties/annex_i/items/2774.php>. [20 April 2011]
UNFCCC. n.d. 5, The Secretariat. Available from: <http://unfccc.int/secretariat/history_of_the_secretariat/items/1218.php>. [20 April 2011].
xviii
UNFCCC. n.d. 11, Convention Bodies. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/convention/convention_bodies/items/2629.php>. [20 April 2011].
UNFCCC. n.d. 15, Parties and Observers. Available from: <http://unfccc.int/parties_and_observers/items/2704.php>. [20 April 2011]
UNFCCC. n.d. 13, The Secretariat ‘Secretariat Staff Vision’. Available from: <http://unfccc.int/secretariat/items/1629.php>. [20 April 2011 2011].
UNFCCC n.d. 8, Secretariat Structure. Available from: <http://unfccc.int/secretariat/programmes/items/2098.php>. [20 April 2011].
UNFCCC. n.d. 4, The United Nations Framework Convention on Climate Change. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/convention/items/2627.php>. [20 April 2011].
UNFCCC. n.d. 6, Full Text of the Convention ‘Article 3: Principle’. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1355.php. [18 April 2011].
UNFCCC. n.d. 7, Full Text of the Convention ‘Article 1: Definition’. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/2536.php. [18 April 2011].
UNFCCC. n.d. 9, Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). Available from: <http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/4577.php>. [18 April 2011]
Erantis. 2009, Copenhagen 2009 ‘Climate Conference in Copenhagen 6-18
Desember 2009’. Available from: <http://www.erantis.com/events/denmark/copenhagen/climate-conference-2009/index.htm>. [11 April 2011].
UNFCCC. n.d. 2, The Rio Conventions ‘Climate change, biodiversity, and desertification’. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/feeling_the_heat/items/2916.php>. [18 April 2011].
UNFCCC. n.d. 10, Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA). Available from: <http://unfccc.int/meetings/ad_hoc_working_groups/lca/items/4381.php>. [20 April 2011].
UNFCCC. n.d. 12, Kyoto Protocol Bodies. Available from: <http://unfccc.int/kyoto_protocol/kyoto_protocol_bodies/items/2772.php>. [18 April 2011].
xix
UNFCCC. n.d. 17, The United Nations Climate Change Conference in Copenhagen, 7-19 December 2009. Available from: <http://unfccc.int/meetings/cop_15/items/5257.php>. [18 April 2011].
UNFCCC. n.d. 16, Kyoto Protocol. Available from: <http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php>. [18 April 2011]
UNFCCC. n.d. 3, Status of Ratification of the Convention. Available from: <http://unfccc.int/essential_background/convention/status_of_ratification/items/2631.php>. [18 April 2011]
UNFCCC. n.d. 18, Copenhagen Accord. Available from: <http://unfccc.int/resource/docs/2009/cop15/eng/11a01.pdf#page=4>. [20 April 2011]
Ashadi, M. 2010, Copenhagen, dalam Transaksi Penanganan Iklim. Available from: <http://umum.kompasiana.com/2010/01/31/copenhagen-dalam-transaksi-penanganan-iklim/>. [18 April 2011].
YD. 2009, Konferensi Perubahan Iklim Hasilkan Copenhagen Accord. Available from: <http://www.nusantara-news.com/2009/12/konferensi-perubahan-iklim-hasilkan-copenhagen-accord.html>. [18 April 2011].
CIA. 2011, The World Factbook. Available from: <https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ch.html>. [30 April 2011].
Chinesse Government’s Official Web Portal. 2006, Constitution. Available from: <http://www.gov.cn/english/2005-08/05/content_20813.htm> . [7 Juli 2011].
Forgaty, David. 2011. Reuters. Analisys : World divided on new plan to combat global warning. Available from: <http://www.reuters.com/article/2011/10/03/us-climate-deal-idUSTRE79103V20111003>. [1 November 2011].
Xianzhi, Li. 2009, Chinese Premier’s Attendance at Copenhagen Summit Sends Hope, Confidence to World. Available from: <http://english.gov.cn/2009-12/20/content_1491967.htm>. [23 Juni 2011].
Hadi, Syamsul. n.d., Makna ganda krisis global bagi China Ada gejala menguatnya proteksionisme AS. Available from: <http://staff.ui.ac.id/internal/0906050086/publikasi/SyamsulHadi-MaknaGandaKrisisGlobalbagiChina.pdf>. [15 April 2011].
Zhidong, Li. 2003, Energy and Problems behind China’s High Economy Growth. Available from: <http://eneken.ieej.or.jp/en/data/pdf/188.pdf>. [24 September 2010].
Andersen, Morten. 2009, Copenhagen was more than accord. Available from: <http://www.denmark.dk/en/menu/Climate-Energy/COP15-Copenhagen-2009/Selected-COP15-news/Copenhagen-was-more-than-the-accord>. [20 April 2011].
xx
Andersen, Morten. 2009, Obama: A binding deal is our goal. Available from: <http://www.denmark.dk/en/menu/Climate-Energy/COP15-Copenhagen-2009/Selected-COP15-news/Obama-A-binding-deal-is-still-our-goal >. [20 April 2011].
Yang, Fang. 2009, China tells climate change “hijack” critics to honor obligations. Available from: <http://www.gov.cn/misc/2009-12/22/content_1494137.htm>. [23 Juni 2011].
CRI. 2009, Tiongkok Akan Dorong Konferensi Copenhagen Capai Hasil Akhir. Available from:<http://indonesian.cri.cn/201/2009/11/26/1s104775.htm>. [10 April 2011].
Rapp, Schwagerl, & Traufetter. 2010, The Copenhagen Protocol ‘How China and India Sabotaged the UN Climate Summit’. Available from: <http://www.spiegel.de/international/world/0,1518,692861,00.html>. [20 April 2011].
Seminar:
Jiabao, Wen. 2011. Strengthen Good-Neighborly Relations and Deepen Mutually Beneficial Cooperation. Balai Kartini. Jakarta.
Lampiran I The Conference of the Parties, Takes note of the Copenhagen Accord of 18 December 2009.
Copenhagen Accord The Heads of State, Heads of Government, Ministers, and other heads
of the following delegations present at the United Nations Climate Change Conference 2009 in Copenhagen: Albania, Algeria, Armenia, Australia, Austria, Bahamas, Bangladesh, Belarus, Belgium, Benin, Bhutan, Bosnia and Herzegovina, Botswana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia, Canada, Central African Republic, Chile, China, Colombia, Congo, Costa Rica, Côte d’Ivoire, Croatia, Cyprus, Czech Republic, Democratic Republic of the Congo, Denmark, Djibouti, Eritrea, Estonia, Ethiopia, European Union, Fiji, Finland, France, Gabon, Georgia, Germany, Ghana, Greece, Guatemala, Guinea, Guyana, Hungary, Iceland, India, Indonesia, Ireland, Israel, Italy, Japan, Jordan, Kazakhstan, Kiribati, Lao People’s Democratic Republic, Latvia, Lesotho, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Madagascar, Malawi, Maldives, Mali, Malta, Marshall Islands, Mauritania, Mexico, Monaco, Mongolia, Montenegro, Morocco, Namibia, Nepal, Netherlands, New Zealand, Norway, Palau, Panama, Papua New Guinea, Peru, Poland, Portugal, Republic of Korea, Republic of Moldova, Romania, Russian Federation, Rwanda, Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia, South Africa, Spain, Swaziland, Sweden, Switzerland, the former Yugoslav Republic of Macedonia, Tonga, Trinidad and Tobago, Tunisia, United Arab Emirates, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United Republic of Tanzania, United States of America, Uruguay and Zambia.
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,
Being guided by the principles and provisions of the Convention,
Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups,
Endorsing decision 1/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action and decision 1/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its work.
Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately.
1. We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time. We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and
xvi
respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis of equity and in the context of sustainable development, enhance our long-term cooperative action to combat climate change. We recognize the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to establish a comprehensive adaptation program including international support.
2. We agree that deep cuts in global emissions are required according to science, and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below 2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing in mind that social and economic development and poverty eradication are the first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission development strategy is indispensable to sustainable development.
3. Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the implementation of the Convention by enabling and supporting the implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and building resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries.
4. Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified economy wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified in accordance with existing and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent.
xvii
5. Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions, including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context of sustainable development. Least developed countries and small island developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I Parties, including national inventory reports, shall be communicated through national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those mitigation actions in national communications or otherwise communicated to the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement, reporting and verification the result of which will be reported through their national communications every two years. Non-Annex I Parties will communicate information on the implementation of their actions through National Communications, with provisions for international consultations and analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking international support will be recorded in a registry along with relevant technology, finance and capacity building support. Those actions supported will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the Parties.
6. We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries.
7. We decide to pursue various approaches, including opportunities to use markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation actions. Developing countries, especially those with low emitting economies should be provided incentives to continue to develop on a low emission pathway.
8. Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries, in accordance with the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation of the Convention. The collective commitment by developed countries is to provide new and additional resources, including forestry and
xviii
investments through international institutions, approaching USD 30 billion for the period 2010–2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation. Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing countries, such as the least developed countries, small island developing States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation, developed countries commit to a goal of mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure providing for equal representation of developed and developing countries. A significant portion of such funding should flow through the Copenhagen Green Climate Fund.
9. To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards meeting this goal.
10. We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as an operating entity of the financial mechanism of the Convention to support projects, program, policies and other activities in developing countries related to mitigation including REDD-plus, adaptation, capacity building, technology development and transfer.
11. In order to enhance action on development and transfer of technology we decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology development and transfer in support of action on adaptation and mitigation that will be guided by a country-driven approach and be based on national circumstances and priorities.
12. We call for an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective. This would include consideration of strengthening the long-term goal referencing various matters presented by the science, including in relation to temperature rises of 1.5 degrees Celsius.
xix
Lampiran II
Strengthen Good-Neighborly Relations and Deepen Mutually Beneficial Cooperation Speech by Premier Wen Jiabao at Balai Kartini
Jakarta, April 30, 2011
Foreign Minister Marty Natalegawa Your Excellencies Diplomatic Envoys, Young Friends, Ladies and Gentlemen, Good morning. I attach great importance to this speech. I began to prepare it almost a year ago. I want to let you know the domestic and foreign policies of China, the most populous country in the world, particularly its policies toward ASEAN. We in China know full well that only innovation can ensure the continuous progress of a nation, only openness and inclusiveness can bring prosperity to a nation, and only commitment to the path of peaceful development can enable us to achieve the goal of building a strong, democratic, harmonious and culturally advanced modern country. I am being truthful in introducing some basic views concerning China's domestic and foreign policies. Every sentence of mine is truthful, because only truthfulness can move people. I believe I can give a good speech, which will not let you down.
It gives me great pleasure to visit Indonesia, the beautiful country of thousand islands. I want to thank the Indonesian Council on World Affairs for its kindness in arranging this event. Let me first of all extend, on behalf of the Chinese people, warm greetings to the people of Indonesia, and sincere thanks to friends from all sectors who have long been committed to the friendship between our two countries.
Indonesia is a big developing country full of vigor and promise. Over the past few years, under the leadership of President Susilo Bambang Yudhoyono, the Indonesian people have engaged in a tremendous endeavor to develop their country. They emerged from the natural disasters stronger and tackled the international financial crisis with effective measures. I see in Indonesia a prospering country enjoying faster economic growth, sustained social stability, and greater harmony among ethnic groups. As an important member of ASEAN and the G20, Indonesia is playing a bigger role in regional and international affairs. I wish to take this opportunity to extend warm congratulations on your remarkable achievements.
Both China and Indonesia boast a long and splendid culture. The Borobudur in Yogyakarta and the Great Wall in China are both miracles of ancient Oriental civilizations. Eminent Buddhist monks in ancient China such as Faxian, Huining and Yijing lived and studied in Java and Sumatra. Six hundred years ago, the great Chinese Muslim navigator Zheng He helped build several mosques in places like Jakarta. Today, people in Semarang are still
xx
telling stories of how Zheng He, who visited the place during his voyages to the Western Seas, made friends with the local people. In modern times, people of our two nations sympathized with and supported each other during the hard struggles for national independence and forged a strong bond of friendship. As one of the first countries to establish diplomatic relations with the People's Republic of China, Indonesia helped New China break the trade embargo imposed by the West. The Chinese people will never forget those episodes.
Entering the new century, our two countries have enjoyed frequent high-level exchanges, deepening political mutual trust and fast growing business cooperation. The establishment of the strategic partnership in 2005 brought our bilateral relations to a new stage. Last year, two-way trade approached 43 billion U.S. dollars, making China one of Indonesia's major trading partners and export markets. In the face of the severe international financial crisis, our two countries worked together to tide over difficulties. We signed a bilateral currency swap agreement worth 100 billion RMB yuan and played a positive role in maintaining regional financial stability. Our two sides have maintained close communication and coordination in international affairs, which has enhanced the influence of developing countries. It is worth mentioning in particular that when major natural disasters truck, peoples of our two countries shared each other's pain and stood together to counter difficulty. For instance, in the wake of the earthquake in Wenchuan, China in 2008, Indonesia sent a medical team to the affected area. An 80-year-old village chief in Aceh traveled more than 2,000 km to deliver donations from his village to the Chinese Embassy in Jakarta. Likewise, when Indonesia was hit by an earthquake and tsunami in 2004, the Chinese international rescue team hastened to the disaster area. This fully shows that China and Indonesia are good neighbors and good brothers.
My visit this time is a journey of friendship and cooperation. It is also aimed at planning for the future. Yesterday, I had comprehensive and in-depth talks with President Yudhoyono. We reached important agreement and decided to further strengthen China-Indonesia strategic partnership. The two sides released a joint communique and signed several inter-governmental cooperation documents. President Yudhoyono and I set the new target of raising two-day trade to 80 billion U.S. dollars by 2015. Later today, the two sides will sign economic and trade agreements worth about 10 billion U.S. dollars. The Chinese side announced the decision to provide 1 billion U.S. dollars of preferential export buyer's credit and 8 billion U.S. dollars of credit line to support Indonesia in developing its infrastructure and priority industries. We decided to step up cooperation in mineral resources and clean energy and expand collaboration on maritime research and fishery. Indonesia plays an important role in affairs related to the Malacca Strait.
China will enhance coordination with Indonesia and provide support in this regard. The aforementioned projects, agreed amidst the continuing impact of the international financial crisis, are bound to lend strong impetus to our endeavors to sustain the good economic momentum and deepen mutually beneficial cooperation. They will raise our strategic partnership to a new high.
Being in Indonesia, I would be remiss if I did not mention the Bandung spirit. On my flight to Jakarta, I could not help but recall that during my visit to Indonesia 16 years ago,
xxi
I made a special trip to the venues of the Bandung Conference to pay my respects. In 1955, Premier Zhou Enlai, on behalf of the new People's Republic, came to Indonesia in defiance of danger and difficulty, and initiated, together with leaders of other Asian and African countries, the Bandung spirit, a spirit that is still highly relevant today. The Bandung Conference left us a most valuable legacy. Seeking common ground while shelving differences and embracing peaceful coexistence are the core of the Bandung spirit and they remain the guiding principle for handling state-to-state relations today. We must hold dear and carry forward the ever-lasting Bandung spirit.
Ladies and Gentlemen, Indonesia, being the largest country in ASEAN, has played a key role at many defining moments in ASEAN's development and made outstanding contribution to a stronger ASEAN through unity. As ASEAN's good partner, China highly commends Indonesia's efforts and rejoices at ASEAN's achievements.
All-round East Asian cooperation came into being in the wake of the Asian financial crisis in 1997. Today, in the face of the international financial crisis, China and ASEAN will further strengthen their relations, setting yet another example of mutual assistance and cooperation between developing countries. Under the principles of consensus, responsibility sharing and non-interference, ASEAN has promoted regional political stability, economic growth, and social progress in the ASEAN way. This is in keeping with the trend of peace, development, and cooperation of our time. It is a successful approach with has had an important and positive impact internationally. The ASEAN Charter has set the goal of establishing the ASEAN Political-Security Community, Economic Community and Socio-Cultural Community by 2015. We have every confidence that ASEAN will enjoy greater cohesion, influence and competitiveness and we look forward to the day when the goal becomes a reality.
China has all along supported a stronger ASEAN through unity. We highly value and have worked actively to promote our relations with ASEAN. China was the first country to establish the strategic partnership for peace and prosperity with ASEAN and the first big country outside the region to accede to the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia. We were also the first country to launch the FTA negotiation with ASEAN, and together, we have put in place the largest FTA among developing countries. All these endeavors accord with the trend of economic globalization and regional integration. They serve the interests of all ASEAN countries and China.
At the 7th China-ASEAN summit held in Bali in 2003, I stated China's commitment to a policy of securing an amicable, tranquil and prosperous neighborhood. Eight years on, people can see that China has kept its word. And China will remain committed to this policy no matter what changes may take place in the international landscape.
China firmly supports ASEAN's leading role in regional cooperation. Over the years, ASEAN has developed its principles and practices of regional cooperation in keeping with the realities of East Asia. These principles and practices have proved effective and mature and should and must be followed. The existing regional cooperation mechanisms in East Asia, including 10+1, 10+3 and the East Asia Summit, should always develop with the "10" or ASEAN in the driver's seat. East Asian cooperation will enjoy sound development
xxii
only if ASEAN continues to play its leading role. China's position on this issue is steadfast.
China is committed to deepening practical cooperation with ASEAN. Last year, China became ASEAN's biggest trading partner. We launched the largest FTA among developing countries. And we have set the target of 500 billion U.S. dollars in two-way trade by 2015. The Chinese government will continue to increase imports of competitive products from Southeast Asian countries and encourage Chinese companies to invest in ASEAN countries with a view to expanding our common interests. In the next 10 years, we will speed up the realization of land transport connectivity between China and ASEAN countries and provide financial support to road, rail, communication, electricity and other infrastructure development in ASEAN countries through bilateral aid and loans, the China-ASEAN Investment Cooperation Fund, commercial loans and other means. At the same time, we will, in the light of ASEAN's needs, increase input into maritime and air connectivity and take steady steps to promote facilitation and standardization of related areas in a bid to create better conditions for the free flow of goods, capital and information, people-to-people exchanges, and economic and social development in this region. Time will tell that the decision to set up the China-ASEAN FTA is one of strategic vision and will bring greater benefits to the businesses and people of both sides.
China will actively promote cultural and people-to-people exchanges with ASEAN countries. People play an essential role in enhancing state-to-state relations and interactions between people are instrumental to strong friendship. This year is the Year of China-ASEAN Friendship and Exchange. Over 40 large events have been planned for the year and are being implemented, covering culture, education, tourism, journalism, youth and other areas. Among them, the "Experience China" event has been launched in Indonesia. ASEAN will feature prominently in the Asian Culture Festival to be held in China. The two sides have drawn up the plan to increase the numbers of Chinese students in ASEAN countries and ASEAN students in China to 100,000 respectively by 2020. The spectacular natural beauty and the rich folk culture of China and Southeast Asia are our unique assets for promoting mutual understanding and friendship between our people. At the China-ASEAN Summit last year, a target was announced to have 15 million mutual visits between the two sides by 2015. We need to further tap the potential of cooperation in education and tourism, and encourage more two-way flow of students and tourists so that our traditional friendship will win greater popular support and be passed on from generation to generation.
China will continue to assist the less developed countries in ASEAN with no conditions attached. Due to historical reasons, some ASEAN members have yet to get rid of poverty. China will, as always, support their development endeavor and do what it can to help them. China's support and assistance are sincere and selfless with no strings attached. As an old Chinese saying goes, "It is better to teach one how to fish than simply give him a fish." China has learned from its own development that to shake off poverty and backwardness once and for all, a country must rely on well-trained professionals and science and technology. The Chinese government will increase input in capacity-building and human resources training to help the less developed ASEAN members gain faster progress towards their development goals.
xxiii
China stands ready to work with ASEAN to maintain regional security and stability. History tells us that peace is a blessing while chaos a scourge. There is no denying that there are some disputes over territorial sovereignty and maritime rights and interests in this region. We need to adhere to the principle of good-neighborliness and equal consultation, and work tirelessly for proper solutions to these issues through bilateral channels. China disapproves of any attempt to play up or create tensions and make the issues bigger and more complicated. We are firmly against the use or threat of force. Over the years, China and ASEAN members have made important contributions to maintaining the security of and unfettered access to the international shipping lanes. These contributions have been widely recognized. China will continue to honor its due responsibilities and obligations. China wants to work more closely with ASEAN to tackle such non-traditional security threats as terrorism, transnational crimes, natural disasters and communicable diseases, and foster a peaceful and harmonious social environment.
China supports efforts to steadily push forward East Asian cooperation and maintain its openness. Openness and transparency are the source of vitality of regional cooperation. East Asian cooperation has always been open and non-exclusive since its very beginning. In recent years, the East Asian region, including ASEAN, has become the most dynamic and fastest-growing region, with rising status and influence on the world economic stage. To involve countries and regions outside the region in East Asian cooperation is a natural choice that conforms to the trend of economic globalization. China welcomes all the proposals that are conducive to regional stability and development, and supports the participation of the United States, Russia, the European Union and other countries and organizations in the East Asian cooperation process. It is important to note that the independence and diversity of East Asia must be respected. And in advancing East Asian cooperation, we should follow a step-by-step approach. We should start with the easier tasks before moving on to the more difficult ones. The priority now is to bring into full play the role of the existing cooperation frameworks, including 10+1, 10+3, and China, Japan and the Republic of Korea, and at the same time explore other cooperation models consistent with the characteristics of the region.
Ladies and Gentlemen, Over the past 60 years since the founding of New China, particularly since reform and opening-up, China's economy has grown fast, the Chinese people's livelihood has improved significantly, and China's international standing has risen steadily. Yet China remains a developing country. There is no change of this basic feature about China. Nor is there any change in China's commitment to an independent foreign policy of peace, and to good-neighborliness and cooperation with ASEAN countries.
How do we Chinese see ourselves? And how do we view our relations with the world? I want to say we are both confident and clear-headed. We are confident about the development path we have chosen and about our future. We are clear-headed because we know full well the difficulties and risks we face. True, China's economic aggregates are growing year by year, yet when divided by 1.3 billion, they only ranked around 100th in the world. Much remains to be done if China is to meet the goal of building a moderately prosperous society in all respects. We still have a long way to go before we can achieve modernization.
xxiv
Lao Tzu, the Great ancient Chinese thinker, once observed in his well-known work, the Tao Te Ching, "He who knows others is intelligent; He who knows himself is wise." I am now in my ninth year as Chinese Premier. I am heartened by the development and progress of my motherland. Yet at the same time, I often find it difficult to eat or sleep with ease as I have to think long and hard about the ways to counter the various difficulties and challenges facing China. It is true that some regions and some people in China have become rich. But there are still those who have not come out of poverty and face pressing difficulties in education, medical care and social security. We have encountered all the difficulties that many other countries came across in their industrialization and urbanization process. We have even run into challenges that others never experienced. We cannot afford to slacken our efforts in the slightest if we are to live up the people's trust and expectations. We must be receptive to the good experience of other countries. More importantly, we must make bold experiment and exploration in keeping with China's national conditions. To advance national development and meet the needs of the 1.3 billion people represent hefty responsibilities on our shoulders and call for long and arduous efforts. China has no reason whatsoever to be complacent.
With a cultural heritage running several thousand years, the Chinese nation values peace and more than anything else. We keep good faith, build amicable ties, and treat others with respect. The ancient Silk Road was used to transport exquisite textiles, tea and porcelain to faraway countries. And Zheng He did not take a single inch of foreign land on his seven voyages to the Western seas. China cannot develop itself in isolation form the world. Nor can the world achieve prosperity without China. The Chinese people cherish their friendship and cooperation with other countries and peoples, and value even more deeply their hard-won independence. I believe this is a shared feeling among people in Southeast Asia and in China. China's development will not stand in the way of any country, nor will it ever pose a threat to any country. China is firmly committed to an independent foreign policy of peace and will always pursue peaceful development for generations to come.
Ladies and Gentlemen, As an Indonesian proverb reads, "jauh di mata, dekat di hati (Though living far, it is close to my heart)." The Chinese people cherish beautiful impression of indonesia. They are enchanted by its unique island landscape, diverse culture, and exotic atmosphere. Half a century ago, China, Indonesia and many other newly independent Asian countries came onto the international political stage, announcing the birth of an new Asia. Today, we are witnessing the all-round rise of Asia and a great rejuvenation of the Oriental Civilization. The dream of our forefathers for a thriving Asia is coming true in our time. And China and Indonesia are important force driving in this epoch-making change. Similar historical experiences brought us together, and a shared historical mission will link us even more closely. Let us join hands to strengthen our good-neighborly relationship, deepen comprehensive cooperation, create a bright future, and usher in an Asian century.
Terima Kasih. (Thank you.)
xxv
Lampiran III
Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi
Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta, 19 April 2011.
Penulis : Apa saja yang terjadi pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim
ke-limabelas
(COP-15) di Copenhagen tahun 2009?
Rendra : Pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-
15) di Copenhagen tahun 2009 terjadi perdebatan antar negara anggota
terjadi perdebatan yang cukup alot dan saat itu juga terjadi jalan buntu
(dead lock).
Penulis : Mengapa bisa sampai terjadi jalan buntu (dead lock)?
Rendra : Jalan buntu (dead lock) terjadi karena antara The Ad Hoc Working
Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-
LCA) yang membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama
dalam UNFCCC dengan The Ad Hoc Working Group on Futher
Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP)
yang membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada
konvensi UNFCCC, keduanya mencapai kesepakatan. Kesepakatan
keduanya sangat dibutuhkan untuk membuat suatu komitmen baru bagi
negara-negara anggota UNFCCC.
Penulis : Setelah tidak tercapainya kesepakatan antara AWG-LCA dengan AWG-
KP, lalu apa yang terjadi?
Rendra : Setelah itu, Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa
perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen
Accord. Pertemuan tersebut dinamakan green room. Namun, pertemuan
tersebut hanya membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC
dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, dan bukannya
mereduksi emisi.