kebahagiaan menurut aristoteles
TRANSCRIPT
KEBAHAGIAAN(Refleksi Filosofis da lam Perspektif Aristotele
Pendahuluan
Kehidupan manusia diwarnai dan dihiasi oleh bennacam-macam harapan dan tujuan.
Salah satu dari harapan atau tujuan tersebut yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan seolah-olah menjadi
semacam harapan atau tujuan yang didambakan dalam kehidupan manusia pada umumnya, Hal
ini tampak dengan adanya realita yang menunjukkkan bahwa manusia berusaha untuk
mengupayakan tercapainya kebahagiaan dalam menjalani hidup. Jatuh bangunnya usaha yang
dilakukan tidak lain merupakan harapan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan yang
didambakan.
Sementara itu, kebahagiaan yang didambakan oleh manusia masih berada pada titik yang
tidak tetap (labil). Dalam artian bahwa definisi dari kebahagiaan itu sendiri masih belum
"disepakati" dalam perspektif kebanyakan orang. Dinamika kebahagiaan hidup manusia tampak
begitu bervariasi, beraneka ragam dan berbeda antara satu kebahagiaan dengan kebahagiaan
yang lain, ada orang-orang yang menganggap kesuksesan dalam berkarir sebagai suatu
kebahagiaan, ada yang menganggap kebahagiaan ialah kesuksesan dalam studi, adalah sebuah
kebahagiaan bila memiliki harta yang banyak, menjadi sebuah kebahagiaan bila memiliki
keluarga yang harmonis, bahkan ada yang menyatakan sebagai suatu kebahagiaan bila dapat
melewati hari-hari tanpa masalah. Namun pada kesempatan ini, kebahagiaan perlu dikaji lebih
jauh. Bukan semata-mata untuk meletakkan kebahagiaan pada suatu titik atau posisi tertentu,
melainkan untuk melihat kebahagiaan secara ideal seturut pemikiran sangfilsuf, Aristoteles.
Kebahagiaan dalam bahasa Dalam Bahasa Yunani di kenal dengan istilah eudaimonia
(eUScauovia) yang memiliki arti kebahagiaan. Kata ini terdiri dari dua suku kata "en" ("baik",
"bagus") dan "daimon" ("roh, dewa, kekuatan batin"). kendati demikian, kata kebahagiaan dalam
bahasa Indonesia tersebut masih belum cukup kokoh untuk menjelaskan maksud pengertian asli
dari kata Yunani tersebut. Secara harafiah eudaimonia berarti "memiliki roh penjaga yang baik".
Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti
"mempunyai daimon yang baik" dan yang dimaksudkan dengan daimon adalah jiwa.1 Sementara
itu, terdapat sebuah pandangan yang berakar dari istilah ini, yaitu Eudaimonisme.
Eudaimonisme adalah pandangan hidup yang menganggap kebahagiaan sebagai tujuan
segala tindak-tanduk manusia. Dalam eudaimonisme, pencarian kebahagiaan menjadi prinsip
yang paling dasariah. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan
subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan
objektif menyangkut pengembangan selurah aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral,
sosial, emosional, rohani).
Kebahagiaan dalam Perspektif Aristoteles
Ada banyak pandangan yang diutarakan oleh para filsuf selain Aristoteles mengenai
kebahagiaan, namun Aristoteles juga memiliki pandangan pribadi dalam mengartikan definisi
atau makna dari kebahagiaan itu sendiri. Sama seperti kedua gurunya Sokrates dan Plato,
Aristoteles dalam Nicomachaean Ethics pun mengakui bahwa tujuan akhir manusia adalah
kebahagiaan (eudaimonia)2
Dengan mencapai kebahagiaan, manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Menurutnya,
sangatlah tidak masuk akal jika sudah mencapai kebahagiaan, manusia masih mencari hal lain
dalam hidupnya. Atau dalam bahasa Aristoteles: "di satu pihak kebahagian selalu dicari demi
dirinya sendiri, dan bukan demi sesuatu yang lain, dan di pihak satunya, kebahagiaan mencukupi
dirinya sendiri, artinya kalu kita sudah bahagia, tidak ada yang bisa ditambah”.3
Pandangan Aristoteles mengenai kebahagiaaan juga dapat dimengerti dalam dua pokok
ide. Dalam ide pertamanya, Aristoteles memandang kebahagiaan sebagai tujuan, la berpendapat
bahwa dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan, meneari sesuatu yang terbaik
baginya. Sesuatu yang menjadi tujuan tertinggi dalam hidupnya. Tujuan yang tertinggi menurat
Aristoteles adalah kebahagiaan (eudaimonia). Sementara itu dalam ide keduanya ia memandang
kebahagiaan menurut isinya.
Dalam hal ini, Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan haras disamakan dengan suatu
aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka, karena aktus mempunyai prioritas terhadap potensi.
1 K. Bertens.l999.Sejarah Filsafat Yimani. Jogjakarta. KANISIUS, him. 1082 http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/perkembangan-teori-etika, diakses pada tanggal 24 oktober 2012 , pada pukul : 14.35 WB3 Frans Magnis Suseno., Menjadi Manusia, Jogjakarta: Kanisius, 2009, hlm. 04
Suatu mahkluk mendapat kesempurnaannya bukan karena potensi begitu saja, melainkan karena
potensi sudah mencapai aktualisasinya.
Bagi Aristoteles, kebahagiaan ialah tujuan yang ingin dicapai oleh semua manusia.
Kebahagiaan adalah apa yang dicari oleh semua orang.4 Namun untuk sampai pada tujuan
tersebut manusia tidak berjalan pada jalan yang sama. Kebahagiaan diwujudkan dalam dan
melalui jalannya masing-masing. Kemampuan setiap orang untuk mewujudkan kebahagiaan juga
tidak sama. Tergantung dari seberapa sadar seseorang tersebut menghidupi tujuannya untuk
hidup bahagia. Semakin seseorang memandang kebahagian sebagai tujuan akhir dalam hidup,
maka semakin terarah dan mendalam aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Dalam hal ini,
Aristoteles menempatkan keutamaan dalam posisi yang istimewa. Menurutnya, supaya manusia
bahagia, ia harus menjalankan aktivitasnya "rnenurut keutamaan". Keutamaan membawa
manusia untuk sampai pada tujuan sejati dari hidupnya, yaitu bahagia.
Lalu yang menjadi pertanyaan ialah: keutamaan seperti apakah yang perlu dihidupi oleh
manusia? Hidup dalam keutamaan yang dimaksud oleh Aristoteles ialah hidup yang sunguh
ditata dengan baik. Sementara keutamaan (arete) yang dimaksud oleh Aristoteles ialah
keutamaan yang mengarahkan manusia pada perbuatan yang baik. Kehidupan yang dijalani
dalam rambu-rambu aturan-aturan moralitas dan etika yang berlaku secara wajar atau umum
dalam masyarakat tertentu. Aturan-aturan moralitas dalam hal ini perlu dipandang sebagai
sesuatu yang dapat dimengerti dan berasal dari dorongan manusiawi untuk menjalankannya,
bukan dorongan dari luarnya. Pada intinya, Aristoteles mengajak manusia untuk hidup secara
bermoral, yang ia anggap sebagai cara untuk dapat mencapai kebahagiaan.
Etika Aristoteles dalam Kaitannya dengan Kebahagiaan
Pandangan Aristoteles mengenai mencapai kebahagiaan sebagai tujuan akhir sejalan
dengan pandangan Sokrates mengenai rasio. Menurutnya, pengetahuan saja tidaklah cukup untuk
menjamin atau menjadi tolak ukur untuk memahami tujuan manusia hidup. Mau tidak mau,
manusia harus melakukan suatu tindakan. Tindakan yang dilakukan bukanlah tindakan yang
berkesan sembarangan atau sembrono belaka, tetapi melainkan tindakan yang mencerminkan
kemampuan manusia yang bernilai dan bermakna. Inilah yang disebut dengan rasio. Rasio
menciptakan dua pola kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Theoria
4 Ibid.
Theoria artinya memandang (theorem)-, yaitu merenungkan suatu realitas secara
mendalam. Hal ini melibatkan jiwa manusia ("logos" atau roh). Menurut Aristoteles,
kegiatan ini adalah kegiatan yang paling luhur dan membahagiakan.
2. Praxis
Praxis menjelaskan kebahagiaan dalarn relasi antar manusia. Praxis diwujudkan melalui
tindakan-tindakan dalam sebuah komunitas (keluarga, masyarakat, negara) untuk sebuah
pencapaian kebahagiaan bersama. Praxis yang benar dijelaskan dalam sebuah buku
"Ethica Nikomacheia", yang di dalamnya dirumuskan tentang keutamaan etis.
Keutamaan etis dirumuskan sebagai jalan tengah antara yang ekstrem dan berlawanan.
Selain keutamaan etis, terdapat juga keutamaan akal budi yang mengupayakan kesempurnaan
dari akal budi itu sendiri seperti kebijaksanaan dan kepintaran.
Tidak ada pengetahuan yang pasti tentang tindakan manusia. Tugas etika bukan
menyediakan aturan-aturan, melainkan menyediakan semacam visi atau perspektif. Etika
menghantar pemikiran atau pandangan manusia menjadi terarah pada jalur yang lurus, Yaitu
terarah pada kebaikan. Bagi Aristoteles sendiri etika atau yang ia sebut dengan keutamaan etis
dapat menjadi sarana yang matang untuk menghantar manusia pada tingkat hidup yang baik.
Dalam pandangannya, etika menghasilkan kemampuan untuk bertindak sesuai orthos logos.5
Etika yang diajarkan oleh Aristoteles merupakan etika teleologis, yaitu etika yang
mengukur benar atau salannya tindakan manusia, yang dilihat dari menunjang tidaknya suatu
tindakan ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia.
Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik
(agathos), Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan akhir (causa final is)
adanya sesuatu. Dalam hal ini berkaitan dengan kebahagiaan yang pada dasarnya menjadi tujuan
akhir manusia.
Aristoteles juga mengajarkan etika pengembangan diri, karena kebahagiaan (eudaimonia)
yang menjadi tujuan hidup manusia hanya tercapai jika manusia mengembangkan dirinya secara
penuh, sesuai dengan kodratnya yang luhur. Kodrat di sini dimaksudkan dalam arti metafisis,
yakni apa yang menjadi hakikat keberadaan manusia. Untuk mengenal apa yang menjadi kodrat
atau hakikat keberadaan sesuatu, Aristoteles melihat fungsi operasional (ergon) yang khas pada
5 mfaisolfatawi.blogspot.com/2009/12/pemikiran-etika-aristoteles.html, diakses padatanggal 26 Oktober 2012, pada pukul: 19.30 WIB
pengada tersebut. Finalitas atau keterarahan pada tujuan akhir suatu pengada bagi Aristoteles
merupakan suatu gagasan yang sentral untuk etikanya, karena menurut dia kodrat setiap pengada
mengarah pada tujuan akhirnya. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia baru tercapai kalau
manusia hidup sesuai dengan ergon-nya yang khas. Untuk menetapkan apa itu kebahagiaan bagi
manusia perlulah ia mengerti akan apa yang menjadi tujuan akhir kodrat keberadaannya sebagai
manusia.
Penutup: Refleksi
Kehidupan manusia tertuju pada satu tujuan akhir, yaitu kebahagiaan. Oleh karena tujuan
itu, manusia ditantang, didorong, dirangsang, dan ditarik untuk mengusahakan kemungkinan-
kemungkinan yang ada untuk dapat mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan sesuatu
yang harus dan perlu dicari dan diusahakan, karena kebahagiaan tidak dating dengan sendirinya
tanpa usaha atau pergulatan hidup yang mendalam dari sesosok manusia. Kebahagiian perlu
diposisikan sebagai tujuan ahir dari segala aktivitas-aktivitas yang dilakukan manusia. Entah itu
berpikir, bekerja, bergumul dengan pengalaman pahit, berefleksi, ataupun aktivitas-aktivitas
manusiawi lainnya.
Namun perlu disadari bahwa kebahagiaan tersebut tidak dicapai begitu saja dengan cara
hidup yang tidak tertata. Dalam pandangan filosoflsnya, Aristoteles mengajak manusia untuk
menata hidup dengan baik agar dapat samapi pada kebahagiaan itu sendiri. Menata hidup dengan
baik berarti mau hidup dalam kebaikan. Mengusahakan yang terbaik dalam menyikapi segala
sesuatu. Dalam hal ini kebaikan diperoleh dengan mempraktekkan keutamaan-keutamaan. Maka
untuk dapat mencapai kebahagiaan sebagai tujuan akhir, manusia perlu hidup "berkeutamaan".
Keutamaan yang duwujudkan melalui pengembangan keniampuan dalam memandang
dan melihat sesuatu secara lebih tajam, pengembangan kemampuan dan kesanggupan kodrati
manusiawi, serta kemampuan untuk hidup sebagai mahkluk utama, yang memiliki patokan-
patokan moralitas dan etis yang terealisasikan dalam peraturan-peraturan dan tata kehidupan
yang berlaku bagi semua.
Bertolak dari Etika Aristoteles, dapat dimengerti pula bahwa kehidupan yang ditata
sedemikian rupa tidaklah eukup bila hanya dilaksanakan demi tatanan itu sendiri. Keutamaan-
keutamaan, prinsip-prinsip tata hidup yang baik, dan aturan-aturan moralitas perlu dijalankan
dalam bentuk perwujudan yang memiliki keterarahan. Keterarahan itu menghantar manusia pada
tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, kebahagiaan ialah tujuan yang ingin dicapai.
Kebahagiaan perlu dipandang dari segi keseluruhannya. Tidak dilihat hanya sebagai sesuatu
yang terletak diakhir dari sebuah usaha atau pencarian, tetapi kebahagiaan perlu dilihat dalam
aspek keseluruhannya, yaitu yang menggerakkan untuk berbuat sesuatu, yang mendorong untuk
menata hidup yang baik, yang membantu menghayati aturan-aturan moralitas, serta yang
menjadi arah dari hidup yang dijalani manusia dalam rangka mencapai tujuan akhir hidup, yakni
kebahagiaan.
Daftar Pustaka
Bertens, K..Sejarah FilsafatYunani.Jogjakarta: KANISIUS. 1999
Copleston, F. A History of Philosophy Greece and Rome. New York : Continuum. 2 003
Magnis Suseno, Frans. Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles. Jogjakaita :KANISIUS. 2009
Rusell, Bertrand.Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno
Hingga Sekarang.Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2007 P.A. V. D. Weij. Filsuf-filsuf Besar
tentangManusia (terj. K. Bertens).Jakarta: Gramedia.1998
Sumber Internet:
http://foramkuliah.wordpress.com/2009/01/23/perkembangan-teori-etika, diakses padatanggal 24
oktober 2012 , padapukul: 14.35 WIB
mfaisolfatavvi.blogspot.corn/2009/12/pemikiran-etika-aristoteles.htiTil, diakses pada tanggal 26
Oktober 2012, pada pukul: 19.30 WIB