kearifan tradisional batak toba dalam memelihara ekosistem ... · community in harian subdistrict...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 1
Kearifan Tradisional Batak Toba Dalam Memelihara Ekosistem Danau Toba
R. Hamdani Harahap*
Corresponding author: [email protected]
Prodi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang kearifan lokal masyarakat BatakToba terutama yang menetap di Kecamatan Harian dan Kecamatan Silahisabungan dalam menjaga lingkungan secara tradisional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Harian sudah tidak menggunakan air danau untuk kebutuhan sehari-hari karena dianggap sudah tercemar. Tetapi masyarakat Kecamatan Harian masih memanfaatkan Danau untuk untuk irigasi, mandi, mencuci, dan budidaya ikan keramba jaring apung. Mereka hampir melupakan kearifan tradisional yang pernah ada. Hanya beberapa kearifan tradisional yang masih dilakukan oleh masyarakat Harian seperti pantangan dan larangan di danau, pantangan dan larangan di hutan. Sedangkan masyarakat di Kecamatan Silahisabungan menyatakan bahwa keberadaan Danau Toba adalah sebagai sumber kehidupan. Itu artinya Danau Toba adalah sebagai sumber rezeki, sumber mata pencaharian seperti tempat mencari ikan, tempat menaruh keramba jaring apung dan sebagai menambah rezeki dari kegiatan pariwisata. Semua kearifan lokal (local wisdom) yang ada masih tetap dilakukan dengan alasan karena mereka masih percaya, walaupun ada juga kearifan lokal yang sudah jarang dilakukan. Memudarnya kearifan tradisional baik di Kecamatan Harian dan Silahisabungan disebabkan oleh faktor kehadiran agama dan pemanfaatan ekosistem secara luas untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kata Kunci: : Local wisdom, Pelestarian, Pemanfaatan Ekosistem Danau Toba, Revitalisasi
Abstract
This paper examines the local wisdom of the BatakToba community, especially those who live in Harian Subdistrict District and Silahisabungan Subdistricts in protecting the environment traditionally. The results showed that the community in Harian Subdistrict no longer used lake water for their daily needs because they were considered polluted. But at the Harian Subdistrict community still uses the lake for irrigation, bathing, washing, and floating net cage fish farming. They almost forgot the traditional wisdom that ever existed. Only a few traditional wisdoms are still carried out by the Harian community such as taboo and ban on the lake, taboo and ban in the forest. Whereas the community in Silahisabung Subdistrict stated that Lake Toba was a source of life. That means Lake Toba is as a source of sustenance, a source of livelihood such as a place to find fish, a place to put a floating net cage and as an income generating from tourism activities. All local wisdom is still carried out for reasons because they still believe, even though there is also local wisdom that is rarely done. The waning of traditional wisdom both in the Daily and Silahisabung Districts is caused by the presence of religion and the widespread use of ecosystems to increase people's income. Keywords: local wisdom, preservation, utilization of Lake Toba ecosystem, revitalization
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 2
PENDAHULUAN
Saat ini kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan strategis
nasional dan objek pariwisata nasional. Namun dibalik penetapan ini, telah terjadi
penyusutan luas hutan yang dialihfungsikan menjadi ladang, sawah, alang-alang, semak,
dan pemukiman, serta pencemaran lingkungan dari kegiatan pertanian dan industri
rumah tangga (BLH Provinsi Sumatera Utara, 2011). Demikian juga dengan kegiatan
masyarakat dan pengusaha yang membakar alang-alang dengan tujuan untuk
mendapatkan rumput-rumput muda sebagai makanan ternak, pemanfaatan sumber
daya alam Danau Toba seperti pemukiman penduduk, peternakan, perikanan (keramba
jarring apung), pertanian, pariwisata, pasar, hotel dan restoran serta transportasi air
yang mengakibatkan pencemaran air. Dampak seluruh kegiatan tersebut adalah
produksi sampah dan limbah domestik yang secara langsung maupun tidak langsung
akan masuk kedalam perairan danau. Masalah pencemaran dan kerusakan ekosistem
Danau Toba sudah sangat lama, tetapi sampai sekarang belum ada solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Untuk itu tulisan ini bertujuan untuk menganalisis
kearifan lokal dalam rangka pelestarian Danau Toba serta untuk merekomendasi
bentuk revitalisasi kearifan yang masih tetap berjalan atau yang sudah jarang
dilakukan.
Salah satu bidang kajian ekologi manusia adalah tentang kearifan lokal. Kearifan
lokal adalah gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi
dikenal istilah local genius. Sementara Moendardjito (dalam Rohaedi, 1986: 40-41)
menyatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah
teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut
adalah sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki
kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (3) mempunyai kemampuan
mengintegrasikan unsur budaya luar kedalam budaya asli, (4) mempunyai kemampuan
mengendalikan, (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal sangat terkait dengan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri
adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan system kepercayaan,
norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam
jangka waktu yang lama. Menurut Bulmer (1982:66), pengetahuan masyarakat, baik
yang masih hidup atau yang sudah ditinggalkan namun telah hidup dalam jangka waktu
yang lama dan menjadi pandangan hidup tradisional adalah penting karena dua alasan.
Pertama, penelitian ilmiah tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat dipercepat jika
menggunakan orang lokal yang mengetahui hal tersebut. Kedua, suatu kehormatan bagi
pengetahuan dan konteks kebudayaannya yang memungkinkan digunakannya
pengetahuan tersebut bagi upaya konservasi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 3
Kearifan lokal merupakan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari satu generasi ke
generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya ataupun adat istiadat yang umumnya
dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu masyarakat. Keberadaan
kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses adaptasi turun menurun
dalam periode waktu yang sangat lama terhadap suatu lingkungan yang biasanya
didiami ataupun lingkungan dimana sering terjadi interaksi didalamnya.(Juniarta,
2013) Sedangkan menurut Ridwan dalam Juniarta (2013). Kearifan lokal atau sering
disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal
budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana
wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya
dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah, wisdom sering diartikan sebagai
kearifan/kebijaksanaan. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas
dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain
sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara
manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya.
Kearifan tradisional yang dimiliki suatu komunitas seringkali merupakan aturan-
aturan yang sangat berguna bagi upaya konservasi, seperti yang dikemukakan
Poffenberger(1990) dan Alcorn dan Molnar (1990), bahwa pada dasarnya masyarakat
pedesaan telah sejak lama melakukan tindakan konservasi secara tradisional. Bukti
ekologis bagi dampak positif kegiatan manusia secara tradisional di beberapa area
membenarkan partisipasi masyarakat setempat dalam perlindungan, pengelolaan dan
pemulihan lingkungan (Walters, 1997). Mereka memiliki pengetahuan yang sangat kaya
tentang lingkungan alam mereka, yang dapat dipakai untuk mendesain strategi
pengelolaan pelestarian alam yang lebih efektif, yang cenderung mengikutsertakan
masyarakat lokal di dalamnya. Pengelolaan sumberdaya alam yang efektif dan
berkelanjutan seharusnya memasukkan praktek-praktek pengelolaan tradisional, dan
mengikutkan orang setempat mulai dari tahap perencanaan (Eghenter dan Bernard
Sellato, 1999).
Di Indonesia telah banyak penelitian mengenai kearifan lokal misalnya yang berkaitan
dengan ekosistem pesisir seperti yang dilakukan Zulkarnain dkk (2008), Juniarta dkk
(2013), Primadasa (2013), Zamzami (2016) dan konservasi lubuk larangan oleh Yuliati
dan Fatriyadi (2014). Juniarta dkk (2013) menjelaskan bagaimana membangun model
pengelolaan berbasis kearifan lokal masyarakat Desa Gili Ketapang (Pulau Gili
Ketapang) Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 4
Zulkarnain dkk (2013) tentang kearifan lokal dalam pemanfaatan dan
pelestarian ekosistem pesisir, dan Zamzami (2016) tentang dinamika pranata sosial
terhadap kearifan lokal masyarakat nelayan dalam melestarikan wisata bahari di
Nagari Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam. Utina
(2012)meneliti tentang kecerdasan ekologis dalam kearifan lokal masyarakat Bajo di
Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo, dan Sulaiman (2011) tentang kearifan tradisonal
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Aceh pada era otonomi khusus. Kearifan
lokal berkaitan dengan ekosistem pesisir terutama berkaitan dengan (i) menentukan
waktu menangkap ikan berdasarkan cuaca dan musim; (ii) mengembangkan alat
tangkap ikan dan alat pengumpul kerang, dan; (iii) menentukan kawasan penebangan
bakau. Termasuk berkaitan dengan (iv) upacara penghormatan terhadap laut; (v)
adanya komitmen untuk tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba, membuang
sampah ke laut, menggunakan songko bermesin dalam menangkap ikan dan
megumpulkan kerang, serta; (vi) menjaga hutan bakau di sekitar pinggiran pantai.
Selain itu tentang fungsi dan manfaat kearifan lokal yang ada di masyarakat dan upaya
membangun model pengelolaan berbasis kearifan lokal masyarakat. Juga kompleksitas
dinamika pranata sosial nelayan dengan lingkungan sekitar pesisir dalam wujud
pengelolaan budaya wisata bahari berdasarkan fenomena kearifan lokal.
Di Sulawesi Tengah yaitu pada masyarakat Kaili khususnya memiliki kearifan
lokal (local wisdom) dalam melestarikan ungkapan-ungkapan, pantangan atau pemali,
dan upacara adat lainnya, sebagian penganutnya masih dijumpai pada setiap kelompok
masyarakat tradisional. Ungkapan-ungkapan berlatar bahasa yang mengandung makna
dan interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka untuk beraksi, berdasarkan
interpretasi mereka terhadap ungkapan-ungkapan tersebut. (Saleh, 2013). Masyarakat
Kaili lebih menekankan kesakralan yang dimiliki perairan danau Lindu, hutan,
pantangan/tabu, ungkapan-ungkapan dan upacara adat lainnya. Kesakralan terhadap
sumber daya alam membentuk sikap dan perilaku mereka untuk tidak melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan adat. Menurut mereka jika dilanggar, maka orang
yang bersangkutan diyakini bisa kena “katula” berupa penyakit, cacat, atau meninggal.
Karena itu, untuk tetap melestarikan potensi sumber daya alam seperti, danau Lindu,
hutan dan beberapa pantangan atau tabu, maka yang bersangkutan akan dikenakan
sanksi berupa denda, dulam, kain mbesa, dan binatang lainnya (sapi atau kerbau).
Keselarasan dianggap akan mencegah konflik serta menjamin kerukunan antara
sesama unsur yang menjaga jagad ini (manusia pada umumnya), terhadap sesama
anggota warga masyarakat. Hal ini terjabarkan dalam sistem nilai dan sistem ritus dan
simbol (Daeng, 2000: 15), di mana ikatan sesama manusia, tanah, hasil bumi dan
kekuatan-kekuatan adikodrati dikukuhkan dalam keseimbangan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 5
Penelitian kearifan lokal yang berkaitan dengan hubungan manusia dan hutan yaitu
Suhartini (2016, Takiddin (2014), Akbar (2011), Hasbullah (2014), Permana, Raden
Cecep Eka, Isman Pratama Nasution dan Jajang Gunawijaya (2011), berkaitan dengan
hutan bambu oleh Yuliani dkk (2017), hutan dan rawa oleh Kumun, Yoseph, Su
Ritohardoyo dan Langgeng Wahyu Santosa (2010) dan kaitan hutan dan danau oleh
Saleh (2013) dan Rahadian, A.A.S Dewi, I.G.B. Sila Dharma dan I.N. Norken (2014).
Senoaji (2014) meneliti tentang pemanfaatan hutan dan lingkungan oleh masyarakat
Baduy di Banten Selatan terutama kaitan nilai-nilai kearifan yang dianut dan
hubungannya dengan pencegahan kebakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)
masyarakat Baduy yang selalu melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang
(huma), tidak terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor di wilayah Baduy;
(2) di wilayah Baduy banyak permukiman penduduk berdekatan dengan sungai, tidak
terjadi bencana banjir; (3) walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat
dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu,rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana
kebakaran hebat; dan (4) wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa
Jawa bagian Barat, tidak terjadi kerusakan bangunan akibat bencana gempa.
Berikutnya penelitian tentang kaitan kearifan lokal dan upaya pengembangan
masyarakat telah dilakukan Purwowibowo dan Nur Dyah Gianawati (2016 ).
Pengembangan masyarakat secara bottom-up bertujuan untuk menjelaskan bahwa
seluruh aktifitas yang digagas atau dilakukan, dikontrol oleh masyarakat setempat
dengan pemimpin yang informal dan para anggotanya. Penelitian mengenai kearifan
lokal juga dilakukan berkaitan dengan pengeloaan air, seperti yang dilakukan oleh
Siswadi dkk (2011), pengelolaan rawa (Kamun, 2010) dan penelitian mengenai lubuk
larangan di Kabupaten Lima Puluh Kota yang dilakukan oleh Yuliaty dan Fatriyandi
(2014).
Ada juga beberapa penelitian kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan
dan sumberdaya alam secara umum seperti yang dilakukan oleh Indrawardana (2011)
yang meneliti kearifan lokal masyarakat Sunda Kanekes yang sangat akrab dengan
lingkungannya, atau yang dilakukan oleh Saleh (2013) mengenai masyarakat Kaili di
Sulawesi Tengah memiliki kearifan lokal yang masih terjaga dalam kaitan antara
manusia dan alam. Sedangkan penelitian kearifan lokal berkaitan dengan ekosistem
danau telah dilakukanoleh Rahadiani , A.A.S Dewi, I.G.B. Sila Dharma dan I.N. Norken
(2014) yang mengidentifikasi dan menganalisis partisipasi masyarakat sekitar Danau
Beratan dalam konservasi sumber daya air. Sedangkan penelitian yang berkaitan
dengan Danau Toba masih sebatas berkaitan dengan model konservasi sumberdaya air
Danau Toba (Sihotang, 2012) yang ditinjau dari disiplin ilmu konservasi tanah dan
lingkungan. Namun penelitian kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian
ekosistem Daau Toba masih belum banyak dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 6
Dasar kearifan lokal sebenarnya bersumber dari hukum adat dalam masyarakat. Karena
tidak semua hukum adat bisa dikategorikan dalam kearifan lokal menurut beberapa
ahli. Maka dari itu ketika sebuah hukum adat sudah bisa dikategorikan dalam kearifan
lokal, maka bisa dijadikan pedoman dan salah satu alat dalam usaha pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan terhadap kondisi yang berkelanjutan yaitu berpihak kepada
lingkungan, sosial tanpa meninggalkan aspek ekonominya. Menurut Belkes dalam
Juanita (2013) dalam Sulaiman dalam Juanita (2013) kearifan lokal bersifat kumulatif
dengan kepercayaan yang turun temurun terkait antara hubungan masyarakat dengan
lingkungan. Menurut beberapa ahli, kearifan lokal dibedakan dengan budaya dalam
suatu masyarakat tertentu.
Umumnya kearifan lokal memiliki efek secara langsung terhadap kelestarian
lingkungan yang didiami masyarakat yang memiliki kearifan tersebut. Secara turun-
temurun dan secara tradisional kearifan lokal tersebut sudah ada unutk mencegah
akses yang terlalu terbuka yang tentunya dengan konsekuensi merusak. Menurut
Sulaiman dalam Juanita (2013) mendefinisikan pengetahuan lokal secara lebih detil
sebagai “pengetahuan yang yang dibangun oleh kelompok komunitas secara turun
temurun terkait hubungannya dengan alam dan sumberdaya alam”. Pengetahuan lokal
masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dengan
lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan geografis. Menurut Christy dalam
Juanita (2013) ada enam hal yang harus dipenuhi sebagai syarat-syarat suatu kearifan
lokal untuk pengelolaan suatu wilayah. Diantaranya : a) Kondisi sumberdaya alam
harus memiliki karakteristik yang jelas. Misal berupa terumbu Karang atau ekosistem
mangrove. b) Batas-batas wilayah yang dimiliki harus jelas dan sudah ditentukan
sebelumnya. Misalnya sejauh mana kita boleh menangkap ikan. c) Teknologi
penangkapan. Harus ditentukan jenis alat dan jenis tangkapan yang akan diatur dalam
kearifan lokal. d) Budaya, budaya setempat harus sesuain dengan permodelan
pemberdayaan kearifan lokal sehingga tidak akan terjadi benturan. e) Distribusi
kekayaan. Harus melindungi model kelembagaan yang sudah ada. f) Otoritas
pemerintah dan lembaga terkait. Kewenangan dan ketegasan pemerintah juga harus
mampu membuat keputusan yang harus dintegrasikan dengan lembaga-lembaga lainya
yang terkait.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 7
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa kearifan tradisional bukan
hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia
dan bagaimana relasi yang baik diantara manusia satu dan manusia lainnya, melainkan
juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam
dan bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologi bisa berjalan
seimbang tanpa ada salah satu aspek yang tertinggal atau tertindih. Maka dari itu
kearifan lokal merupakan suatu jawaban dalam mencari landasan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dengan masyarakat sebagai subjek yang akan terlibat
langsung. Kearifan lokal dalam konteks pemanfaatannya sebagai salah satu alat
pemberdayaan masyarakat harus memiliki enam unsur tersebut (menurut Christy
1992).
Tulisan ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harahap dan
Humaizy (2017) dan Hasibuan (2017) pada dua kecamatan yang terletak di kawasan
ekosistem Danau Toba yaitu Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir dan Kecamatan
Silahisabungan, Kabupaten Dairi.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif,
dengan pendekatan kualitatif. Informan penelitian ini meliputi tiga macam yaitu:
(Suyanto, 2005:171) yaitu Informan kunci (key informan), informan utama, informan
tambahan. Populasi penelitian adalah Kecamatan Silahisabungan yang merupakan
wilayah wisata yang ada di Kabupaten Dairi. Sebagai pelengkap peneliti juga melakukan
wawancara dengan key informan, yang dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat
dan tokoh agama serta tokoh adat di lokasi penelitian. Tokoh masyarakat dalam hal ini
adalah orang atau organisasi yang aktivitas kesehariannya berhubungan pelestarian
ekosistem Danau Toba yang berbasis local wisdom. Data primer dan sekunder dicari
dan dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam. Selanjutnya dilakukan observasi
atau pengamatan terutama terhadap ritual atau upacara yang berkaitan dengan
pelestarian ekosistem Danau Toba.
Data sekunder dilakukan dengan menggunakan instrument studi
kepustakaanyaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, literature,
internet dan sumber-sumber lain yang memiliki kaitan dengan penelitian ini. Selain itu
dilakukan penelusuran dokumen yang ada dilokasi penelitian atau sumber-sumber lain
yang terkait dengan objek penelitian. (Bungin.2007:116-117)
Analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data (on going
analysis). Analisis kualitatif ini dilakukan mengikuti proses antara lain, reduksi data,
penyajian data, pembahasn dan menarik kesimpulan berdasarkan reduksi dan
penyajian data yang telah dilakukan sebelumnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kearifan Tradisional Masyarakat Harian Dalam Menjaga Hutan
Hutan berperan penting dalam menjaga ekositem Danau Toba. Hutan berfungsi dalam
siklus hidrologi danau. Menurut kearifan masyarakat Desa Harian, hutan dikuasai oleh
mahluk gaib. Oleh sebab itu sebelum pohon yang diinginkan ditebang di hutan ada beberapa
hal yang dilakukan yaitu berkomunikasi dengan roh (Huhuasi). Lalu mereka menancapkan
kampak (tekke) ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon tersebut. Bila
keesokan harinya kampak (tekke) masih ada di pohon tersebut maka mereka boleh
menebang pohon tersebut. Selanjutnya kayu yang sudah ditebang disambut di desa dan
dililitkan kain (ulos) dan tikar. Tujuan kegiatan ini agar kayu tersebut tidak mencelakakan
penggunanya. Etika menebang dijaga dengan ketat. Para pekerja diawasi pengetua desa.
Pekerja harus memperhatikan arah mana pohon roboh. Tujuannya untuk meminimalkan
pohon kecil menjadi korban dan mengurangi resiko pohon yang ditebang tidak patah. Kearifan
ini hampir sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat Baduy (Senoaji, 2004) dan
Indrawardana (2012) yang menjaga hutannya berdasarkan larangan yang ditentukan oleh
leluhurnya.
Etika masyarakat Harian dalam melestarikan hutannya perlu tetap dilestarikan seperti
yang dilakukan oleh masyarakat Bali dalam memelihara hutan bambu dengan konsep
palemahan yaitu pengetahuan dan sistem hukum yang telah mengatur aksi atau tindakan
hubungan manusia dengan lingkungan. Masyarakat Bali saat ini masih mempraktikkan nilai
dan norma perilaku palemahan dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus. Kondisi ini
menunjukkan adanya kesinambungan perilaku palemahan sejak dulu, sehingga dapat
dikatakan palemahan masih eksis pada masyarakat Bali. Kearifan lokal dalam mengelola hutan
bambu terbentuk melalui proses panjang pengetahuan nilai dan norma palemahan yang
berevolusi di dalam masyarakat. Bila mengacu kepada Christy adanya ketidakjelasan batas-
batas wilayah yang dimiliki dan sudah ditentukan sebelumnya. Teknologi penebangan kayu
juga tidak didefinisikan. Otoritas pemerintah dan lembaga terkait juga kurang memiliki
kewenangan yang kuat. Kurang diimplementasikan kewenangan dan sehingga ketegasan
pemerintah tidak tampak dalam melestarikan hutan yang ada. Tulisan yang berkaitan dengan
penguatan local wisdom yang berkaitan dengan adanya pelemahan karena factor luar.
Dilarang Buang Sampah Di Danau Toba
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Harian dilarang mengucapkan kata-kata
sembarangan (bahasa yang tidak sopan) dan juga tidak boleh membuang sampah di danau
karena penjaga danau bisa marah dan murka. Bila malanggar larangan tersebut maka ombak di
danau menjadi ganas dan akan menenggelamkan kapal dan bisa menimbulkan korban jiwa
serta pertanian akan gagal panen (tanaman diserang hama). Namun akhir-akhir ini kearifan ini
mulai hilang dari masyarakat di Kecamatan Harian. Masyarakat perlahan-lahan mulai
melanggar larangan tersebut. Memang dalam penelitian ini tidak diteliti sejauh mana
keterlibatan masyarakat dalam pelestarian ekosistem Danau seperti yang dilakukan oleh
Rahadiani dkk (2014). Namun masyarakat sekitar Danau Toba mulai meninggalkan aturan ini.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 9
Bila mengacu kepada Christy maka kelemahan peraturan ini adalah tidak didukung oleh
budaya yang menghargai kebersihan.
Ritual Hahomion Horja Bius
Ritual Hahomion atau upacara yang dilakukan untuk memberikan sesajen kepada roh
nenek moyang terdahulu. Roh nenek moyang yang berada di danau merupakan kakek (opung)
penjaga danau. Upacara di danau merupakan perwujudan harmonisasi manusia dengan alam.
Alam dipercaya selain dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuhan juga tempat
bersemayamnya mahluk supranatural. Mahluk tersebut mendatangkan kebaikan dan
keburukan kepada manusia. Atas kesadaran itulah, manusia membuat upacara memohon
keselamatan, menghormati maupun ucapan terima kasih kepada mahluk supranatural yang
disebut “Penunggu Danau”. Tradisi ini secara rutin dilakukan oleh masyarakat di desa sekitar
Danau Toba. Hal ini hampir sama dengan kearifan lokal masyarakat Kaili di SulawesiTengah
yang memiliki seperangkat pengetahuan lokal yaitu pola dari budaya Kaili yang diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari seperti pada pelestarian hutan, perairan danau Lindu, pantangan
atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya.(Saleh, 2013). Upacara
hahomion horja bius ini dilakukan saat agama leluhur yang disebut Parmalim masih dianut
masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. Sejak masuknya agama Kristen Protestan, tradisi
yang berkembang luas dalam kepercayaan Parmalim ini mulai ditinggalkan. Kalaupun ritual ini
dilakukan adalah dalam rangka atraksi wisata.
Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap
memantau kehidupan warga dan memohon kepada Tuhan (Mulajadi Na Bolon) agar
senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Upacara
adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang
Batak Toba yang terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang
mereka miliki untuk menarik wisatawan ke kawasan Danau Toba. Mereka percaya jika mereka
memberikan sesajen ini kepada kakek (opung) penjaga danau, kakek (opung) tersebut akan
memberi mereka keberkahan. Kepercayaan ini untuk menjaga danau agar tetap bersih karena
mereka takut dengan kakek (opung) penjaga danau tersebut.
Kegiatan Ekonomi Masyarakat Harian Pada Ekosistem Danau Toba
Di Kecamatan Harian, hanya ada 2 unit keramba jaring apung. Masyarakat kurang
tertarik membuat keramba jaring apung karena biayanya mahal. Pakan ikan berasal dari
bahan yang alami dan ramah lingkungan yaitu jagung yang direbus. Pakan dari jagung ini akan
mengurangi pencemaran air, dibandingkan dengan pakan pellet dari pabrik. Mereka
menggunakan pakan jagung karena mereka tahu dampak negatif pakan pellet. Alasan lain,
karena jagung sangat mudah didapatkan di Harian. Kegiatan ekonomi lainnya yang berkaitan
dengan ekosistem Danau Toba adalah pengolahan enceng gondok. Eceng gondok yang tumbuh
di Danau Toba dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi produk kerajinan yang bernilai jual
yaitu souvenir seperti tas, topi, tempat botol minuman, tempat pulpen, vas bunga, keset kaki,
taplak meja dan berbagai produk kerajinan lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 10
Selanjutnya kegiatan perekonomian yang dilakukan masyarakat adalah membuat
kawasan wisata di Kecamatan Harian seperti Bukit Holbung dan Penatapan di Menara Tele.
Dolok Holbung berada di Desa Janji Martahan, Kecamatan Harian. Dari bukit ini dapat
memandang Danau Toba dan perbukitan di sekitaran Danau Toba, serta perkampungan
penduduk di bawahnya. Bukit ini dikelola oleh masyarakat setempat. Setiap hari pemuda
penjaga Dolok Holbung ini membersihkan sampah yang ada ditinggalkan oleh pengunjung.
Dolok Holbung ini merupakan destinasi wisata baru di Kecamatan Harian.
Selanjutnya adalah Menara Pandang Tele. Menara Pandang Tele ini dibangun di sisi
jalan Tele-Samosir. Dari atas menara akan terlihat jelas panorama Danau Toba dan sebagian
daratan Pulau Samosir. Di sisi sebelah kiri terdapat Gunung Pusuk Buhit yang legendaris dan
dari sisi sebelah kanan, akan melihat barisan pegunungan yang menjulang dan rumah
penduduk di kaki gunung. Pengunjung juga dapat mengabadikan momen dengan berfoto
karena sudah disediakan tempat tulisan “Menara Pandang Tele” dengan tulisan seperti tulisan
“Google” membuat menarik wisatawan untuk berfoto. Kegiatan yang berkaitan dengan
pariwisata dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat disatu sisi menimbulkan
dampak sampah yang berserakan. Masyarakat tidak mau membersihkan sampah yang yang
ditinggalkan wisatawan.
Jumat Bersih (Gotong Royong) di Kecamatan Harian
Gotong royong adalah melakukan perkerjaan secara bersama-sama dengan maksud
dan tujuan yang sama. Gotong royong yang dilakukan masyarakat Kecamatan Harian adalah
gotong royong dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar di
Kecamatan Harian sangat bersih, tidak ada sampah di jalanan, bangunan rumah tertata rapi,
dan ada petunjuk arah yang jelas. Bila dibandingkan dengan kecamtan lain, Kecamatan Harian
memang yang paling bersih di Kabupaten Samosir. Masyarakat Harian seminggu sekali
melakukan gotong royong untuk membersihkan setiap desa. Gotong royong merupakan
kebijakan Camat Harian, dinamakan Jumat bersih, karena diadakan setiap hari jumat saja.
Jumat bersih ini dilakukan secara bergilir setiap desa. Jumat bersih dimulai pukul 08.00 Wib.
Sebelum memulai kegiatan Jumat bersih ada senam pagi dulu di kantor Camat dan di sekolah-
sekolah pukul 06.00 – 08.00 Wib. Setelah melakukan senam kemudian melakukan kegiatan
pembersihan di desa dan sekitaran danau sampai pukul 10.00 Wib, tetapi jika pukul 10.00
masih belum selesai pekerjaan tetap dilanjutkan sampai tuntas. Kegiatan Jumat bersih ini
langsung dipantau oleh camat sehingga terkoordinir dengan baik. Adanya perilaku gotong
royong untuk menjaga kebersihan desa di Kecamatan Harian menunjukkan bahwa kearifan
lokal adalah nilai-nilai yang mengatur hidup bersama antara makhluk hidup dalam suatu
tataran yang saling membutuhkan, saling tergantung, saling berelasi dan saling
memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan kebersamaan hidup yang harmonis.
Manusia harus dapat beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan
berkembang (Mateus Mali dalam Sunarko dan Eddy Kristiyanto, 2008:139).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 11
Persepsi Masyarakat Kecamatan Silahisabungan terhadap Ekosistem Danau Toba
Kecamatan Silahisabungan merupakan daerah kebudayaan (cultural area) sukubangsa
Batak Toba yang masuk kelompok marga Silahisabungan. Kelompok Marga Silahisabungan ada
8 marga yaitu 1. Sihaloho, 2. Situngkir / Sipangkar / Sipayung. 3. Rumasondi / Rumasingap /
Silalahi-Sihaloho / Silalahi-Sinabutar / Silalahi-Sinagiro / Silalahi-Sinabang / Nadapdap /
Silalahi-Sinurat / Nadapdap / Doloksaribu, 4. Sidabutar, 5. Sidabariba, 6. Sidebang, 7. Pintubatu
/ Sigiro dan 8. Tambun / Tambunan.
Persepsi masyarakat Kecamatan Silahiabungan terhadap keberadaan Danau Toba
adalah sebagai sumber kehidupan. Itu artinya Danau Toba sebagai sumber rezeki, sumber
mata pencaharian seperti menjadi nelayan mencari ikan, tempat menaruh keramba jaring
apung dan sebagai menambah rezeki dari kegiatan pariwisata. Ini menunjukkan bahwa
kearifan local akan tergerus waktu bila tidak terimplementasikan dalam kehidupan konkret
sehari-hari sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah.
Kearifan lokal juga harus terimplementasikan dalam kebijakan negara (Fajarini, 2014).
Bentuk lokal wisdom (kearifan lokal) pada masyarakat Silahisabungan dalam
melestarikan kawasan Danau Toba.
Beberapa bentuk kearifan lokal pada masyarakat Kecamatan Silahisabungan dalam
melestarikan kawasan Danau Toba adalah adanya tempat yang sakral yaitu nauli basa, batu
partonunan (liang namora) dan seluruh area Danau Toba yang terdapat di wilayah
Silahisabungan yang disebut Tao Silalahi yang dikuasai oleh Namboru Deang Namora. Batu
Parnamoraon atau Siliang Namora adalah tempat Namboru Deang Namora tinggal semasa sisa
hidupnya. Kisahnya di tempat itulah namboru menenun. Tempat ini disakralkan, yaitu tidak
boleh meludah ataupun membuang kotoran. Tao Silalahi adalah wilayah danau yang dianggap
suci sehingga dilarang meludah, buang kotoran, memakai perhiasan, berkata kotor di
pinggiran danau, berbuat asusila serta kalau mau mandi harus minta ijin dulu sama nenek
(opung) penjaga danau, tidak boleh mandi di atas jam 6 sore, tidak boleh membawa dan
makan daging babi atau anjing di pinggiran Danau Toba, tidak boleh mandi telanjang di danau,
dan dilarang tertawa-tawa sampai terbahak-bahak, serta bagi kaum perempuan jika ada yang
berambut panjang tidak boleh digerai tetapi harus diikat.
Bentuk kearifan lokal di atas sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Keraf (2002) dan
Gobyah (2009) yaitu merupakan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas dan juga merupakan kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Oleh sebab itu maka kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilai yang dianggap baik
dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Kearifan ini masih dilestarikan oleh masyarakat setempat namun di luar lokasi yang dianggap
sakral penduduk setempat dan pendatang yang sedang kegiatan pariwisata membuang
sampah sembarangan dan mandi di danau dengan bebas serta berteriak dan tertawa bebas.
Ada juga kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian hutan yaitu masuk hutan harus
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 12
menjaga perbuatan dan perkataannya seperti tidak berkata kasar atau sembarangan. Selain
itu mereka percaya bahwa sumber air masyarakat di Kecamatan Silahisabungan yang bernama
Aek Sipaula Hosa (air yang mengembalikan nafas) dipercayai akan menyembuhkan berbagai
penyakit, oleh sebab itu sampai saat ini tetap dijaga kelestariannya. Aek Sipaulak Hosa juga
dimanfaatkan sebagai sumber air minum bagi masyarakat Kecamatan Silahisabungan dengan
cara mengalirkan air melalui pipa ke rumah warga. Namun ironis di lokasi Aek Sipaula Hosa ini
juga ada sampah, dan botol plastik berserakan.
Adapun fungsi dari local wisdom adalah 1) untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam;2)untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara
daur hidup, 3)untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya upacara
adat tertentu, dan 4) sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. Dalam kasus
kearifan lokal di Kecamatan Silahisabungan ada lokal wisdom yang berfungsi untuk
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yaitu Upacara Tugu. Upacara ini dilakukan
selama tiga hari berturut-turut. Upacara itu terdiri dari ziarah, memberikan sesaji, dan makan
bersama. Tujuan upacara untuk mengenang sejarah terjadinya keturunan marga
Silahisabungan. Dulu bila ada warga yang menikah satu marga (endogami marga) diberikan
sanksi yaitu ditenggelamkan ke danau tetapi sekarang sanksinya hanya diusir keluar dari
kampung. Tujuan pesta tugu di Kecamatan Silahisabungan untuk mempererat hubungan tali
silaturahmi sesama keturunan (pomparan) Silalahisabungan sedunia. Juga untuk
mengingatkan generasi muda untuk melestarikan budaya leluhur Silahisabungan. Tujuan lain
dari pesta tugu untuk meminta berkah, meminta kesehatan, hasil panen yang melimpah dan
mengucapkan terima kasih pada leluhur (opung) Silalahisabungan. Pesta tugu ini juga
merupakan wadah untuk keturunan (popparan) Silalahisabungan supanya saling
menghormati dan mengasihi diantara mereka dalam satu sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.
Sampai saat ini memang belum ada upaya yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan
Silahisabungan, maupun tokoh adat, tokoh agama, maupun pemerintah baik pemerintah desa
sampai dengan pemerintahan kecamatan dan kabupaten untuk mempertahankan maupun
merevitalisasi keseluruhan kearifan lokal yang ada di Silahisabungan untuk menjadikannya
sebuah payung hukum seperti Peraturan Desa ataupun Peraturan Daerah. Bahkan ada juga
pemuka agama terutama yang berasal dari agama Kristen Protestan yang menganggap
kearifan lokal sebagai kegiatan yang musyrik atau menyalahi agama.
Kearifan lokal lainnya yang ada di Kecamatan SIlahissabungan adalah kegiatan Martua
Ama-ama yaitu upacara untuk meminta berkah kepada Tuhan Mula Jadi Na Bolon sebelum
menanam padi di ladang atau sawah. Martua Oma Oma adalah ritual yang dilakukan yakni
memotong kerbau lalu dibagikan kepada orang–orang untuk dimasak dan ditambahi dengan
membuat kue itak gurgur satu genggaman/kepalan jari tangan (pohul) yang kemudian
dipanjatkan doa bersama. Sebelum dipotong kerbau diberi jeruk purut (Citrus hystrix),
kemudian didoakan kepada sang pencipta dan dipotong setelah itu dibagikan kepada semua
orang tanpa terkecuali.
Lokal wisdom (kearifan lokal) yang ada masih tetap dilakukan, atau sebagian masih
dilakukan atau sudah tidak dilakukan sama sekali di Kecamatan Silahisabungan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 13
Kearifan lokal yang ada di Kecamatan Silahisabungan ada yang sudah tidak
dilakasanakan, namun ada juga yang masih tetap dilaksanakan, dan ada yang diusulkan untuk
dilakukan revitalisasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan, mereka menyatakan
bahwa semua kearifan lokal yang ada masih tetap dilakukan. Alasan mereka tetap
melaksanakan kearifan lokal tersebut adalah karena mereka percaya dan terbukti dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya kepercayaan terhadap kearifan lokal Simanappang yaitu
penjaga Desa Silalahi sebelah Utara, yang menyatakan jika ada seseorang yang berniat jahat
akan datang ke desa maka akan terdengar suara seperti lonceng. Suara itu dijadikan penanda
oleh orang desa. Suara lonceng keluar begitu saja tanpa ada wujud nyatanya. Area
Simanappang itu juga dijadikan tempat menaruh sajen untuk meminta sesuatu keinginan
kepada Opung (Tuhan Mula Jadi Na Bolon). Menurut informan bahwa belum lama ini masih
mendengar suara seperti lonceng (pagar sigiring) berbunyi, selain itu masih dipercaya bahwa
kerbau tidak ada yang mau lewat daerah ini karena sakral.
Contoh lain adalah sitappar api (nauli basa) tempat keramat yang disucikan sehingga
tidak boleh meludah dan buang kotoran, tidak boleh memakai perhiasan. Tempat untuk
memohon doa kepada nenek (Oppung Mula Jadi Na Bolon). Nauli Basa ini adalah penjaga desa
di sebelah Selatan. Demikian juga dengan penjaga danau Namboru Deang Namora yang tetap
masih dipercayai karena masih ada kejadian beberapa hari yang lalu perempuan dari
Sidikalang tenggelam di Danau Toba karena melanggar pantangan yaitu memakai perhiasan
dan tertawa berlebihan.
Demikian juga dengan Batu Partonunan atau Liang Namora yaitu sampai saat ini tempat ini
masih dijadikan tempat ziarah untuk berdoa meminta keturunan dan doa lainnya baik
peziarah yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Namun ada juga kearifan lokal
yang sudah jarang dilakukan seperti martua oma-oma, dalam 10 tahun terakhir masih sekali
dilakukan, alasannya karena biayanya sangat besar untuk membagikan daging kerbau kepada
seluruh masyarakat Silalahisabungan.
Cara yang efektif untuk merevitalisasi lokal wisdom yang ada selama ini adalah dengan
tetap melakukan ritual atau upacara Tugu, dan tetap mematuhi pesan/nasehat/petuah (Poda
sagu – sagu marlangan) yang isinya: saling mengasihi satu sama lain, tetap bersepakat untuk
saling sayang menyayangi terhadap seluruh keturunan Silahisabungan dan tidak boleh
bertikai, serta adil tidak memihak dan bila ada perselisihan di antara keturunan
Silahisabungan.
SIMPULAN
1. Bentuk kearifan tradsiional dalam menjaga ekosistem Danau Toba di Kecamatan
Harian yaitu menjaga hutan, dilarang buang sampah, dan ritual hahomion horja
bius.
2. Kearifan lokal dan kearifan tradisional memiliki peran penting dalam menjaga
ekositem Danau Toba.
3. Pengetahuan masyarakat Kecamatan Harian ada yang masih dilakukan dan ada
juga yang sudah tidak dilakukan lagi. Kearifan lokal dan kearifan tradisional yang
masih dilakukan seperti, dilarang membuang sampah, penggunaaan pakan ikan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 14
yang ramah lingkungan, dan gotong royong. Sementara yang tidak dilakukan lagi
seperti menjaga hutan dan ritual hahomion horja bius, karena masuknya
kepercayaan baru yang bertentangan dengan pengetahuan tersebut.
4. Persepsi masyarakat Silahiabungan terhadap keberadaan Danau Toba adalah
sebagai sumber kehidupan. Itu artinya Danau Toba adalah sebagai sumber
rezeki, sumber mata pencaharian seperti menjadi nelayan mencari ikan seperti
dulu ikan mujahir, ikan mas, ihan Batak, sampai ikan pora-pora, ikan nila dan
sekarang lobster, tempat menaruh keramba jaring apung dan sebagai
menambah rezeki dari kegiatan pariwisata.
5. Kearifan lokal pada masyarakat Silahisabungan yang masih dipercayai untuk
melestarikan kawasan Danau Toba adalah tempat yang sakral nauli basa, batu
partonunan (liang namora), seluruh area Danau Toba yang disebut Tao Silalahi
yang dikuasai oleh Namboru Deang Namora yang disucikan, kepercayaan
terhadap Simanappang yaitu penjaga Desa Silalahi sebelah Utara.
6. Kearifan lokal yang sudah jarang dilakukan seperti martua oma-oma, karena
biayanya sangat besar untuk membagikan daging kerbau kepada seluruh
masyarakat Sialahisabungan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Acep. 2011. Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan : Studi Kasus di
Hutan Mawas. Dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 3
September 2011. Hal. 211 – 230.
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara. 2011. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Kawasan Danau Toba. BLH Propinsi Sumatera Utara
Basyari, H Iin Wariin. 2014. Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) Tradisi Memitu Pada
Masyarakat Cirebon. (Studi Masyarakat Desa Setupatok Kecamatan Mundu). Dalam
Jurnal Edunomic Volume 2 No. 1 Tahun 2014.
Bulmer, R.N.H. 1982. Traditional Conservation Practices in Papua New Guinea. Boroko:
Institute of Applied Social and Economic Research.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan:Tinjauan Antropologis.
Yogyakarta: PustakaPelajar.
Dharmawan, Arya Hadi. 2007. Dinamika Sosio Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan
Ekologi Manusia, Sosiologi dan Ekologi Politik Dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. April.
Eghenter, Cristina dan Bernard Sellato (Penyunting). 1999. Kebudayaan dan Pelestarian
Alam: PenelitianInterdisiplinerdi Pedalaman Kalimantan. Bogor: SMKGrafika Mardi
Yuana
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 15
Fajarini, Ulfah. 2014. Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakater. Jurnal Sosio
Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014.
Hasbullah. 2012. Rewang : Kearifan Lokal Dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi
Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Dalam Jurnal Sosial
Budaya Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2012.
Indrawardana, Ira. 2011. Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan
Lingkungan Alam. Dalam Jurnal Komunitas Vol 4 No. 1.
Ihromi, T.O. 1994. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Juniarta, Hagi Primadasa, Edi Susilo, and Mimit Primyastanto. 2013. Review of Local Wisdom
Profile of Coastal Communities of Gili Island Sumberasih Sub-District, Probolinggo
District of East Java. In the Journal of ECSOFiM Vol. 1 No. 1, 2013.
Harahap, R. Hamdani dan Humaizi. 2017. Local Wisdom in Preservation of Lake Toba
Ecosystems (Study on Toba Lake Community in the Village of Silalahi I, District of
Silahisabungan, Dairi Regency, North Sumatera Province). Makalah pada Friendly
City4 International Conference. USU. Medan.
Hasibuan, Shofwan Alfaroqy. 2017. Kearifan Tradisional Batak Toba Dalam Memelihara
Ekosistem Danau Toba di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Skripsi Departemen
Antropologi. FISIP USU. Medan.
Kamun, Joseph, Su Ritohardoyo and Langgeng Revelation Santosas. Study of Water Potential
of Swamp and Local Wisdom as Basic of Yomoth Swamp Management as a Clean
Water Source in Agats District of Asmat Regency of Papua Province. In MGI Vol. 24, No.
2, September 2010 (157 - 173). Faculty of Geography UGM. Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ngindra, Fredrik. 1999. Pemenuhan Kebutuhan Pangan pada Masyarakat Suku Kenyang
Bakung di Desa Kong Aran. Dalam: Cristina Eghenterdan Bernard Sellato (Penyunting).
Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Inter disipliner di Pedalaman
Kalimantan. Bogor: SMK Grafika Mardi YuanPermana, Raden Cecep Eka, Isman
Pratama Nasution, and Jajang Gunawijaya. 2011. Local Wisdom on Disaster Mitigation
at Baduy Community. In the Journal of the Makara Sosial Humaniora. Vol 15, No. 1, July
2011: 67-76. Archeology Study Program. Faculty of Humanities. University of
Indonesia. Depok.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 16
Purwowibowo dan Nur Dyah Gianawati. 2016. Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Hutan
Mangrove Melalui Community Development. Dalam Jurnal Bina Hukum Lingkungan.
Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016.
Rahadiani, A.A.S. Dewi, I.G.B Sila Dharma and I.N.Norken. 2014. Community Participation
Around Lake Beratan In Water Resources Conservation. In Journal of Spektran Vol. 2,
No. 2, July 2014
Rambo, Terri A. Conceptual Approaches to Human Ecology: A Sourcebook on Alternative
Paradigms for the Study of Human Intercations with the Environment. East-West
Environment and Policy Institute. Honolulu, 1981
Saleh, Sukmawati. 2013. Local Wisdom of Kaili Community In Central Sulawesi. In Journal
Academica FISIP UNTAD. VOL.05 No. October 02.
Senoaji. 2014. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy di Banten
Selatan. Dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol.Xi. No.3. November 2004. PSLH
UGM. Yogyakarta.
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Antropologi. Bandung : CV Maulana
Media Grafika.
Sihotang, Hotland, M. Yanuar J.Purwanto, Widiatmaka, Sambas Basuni. 2012. Model
Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba. Dalam Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Vol. 2 No. 2 Desember 2012.
Siswadi, Tukiman Taruna, Hartuti Purnaweni. 2011. Kearifan Lokal Dalam Melestarikan
Mata Air. (Studi Kasus di Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal).
Dalam Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 9, Issue 2. Sunarko dan Eddy Kristiyanto.
2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi : Tinjauan Teologis atas Lingkungan
Hidup. Kanisius, Yogyakarta
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta. Tiara Wacana. Edisi II.
Sulaiman. 2012. Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Aceh
Pada Era Otonomi Khusus. Dalam Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11. No.2. Mei 2011.
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 17
Suparlan, Parsudi, 1983. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Persepsi Antropologi Budaya,
Manusia dalam Keserasian Lingkungan. Muhammad Soerjani (ed). Jakarta, Fakultas
Ekonomi UI.
Sukimin, Soetrisno. 2009. Pengendalian Gulma Enceng Gondok (Eicchornia Crassipes) dan
Kematian Masal Ikan Budidaya di Perairan Danau. Makalah disampaikan pada
Konferensi Nasional Danau Toba Indonesia 1, Bali.
Takiddin. 2014. Nilai-Nilai Kearifan Budaya Lokal Orang Rimba. (Studi pada Suku Minoritas
Rimba di Kecamatan Air Hitam Provinsi Jambi). Dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1,
No. 2 Des 2014.
Utina, Rami. 2012. Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo. Dalam
Prosiding Konferensi Dan Seminar Nasional Pusat Lingkungan Hidup Indonesia Ke 21.
13-15 September 2012. Mataram
Yeni, Irma, Dhani Yuniati, Husnul Khotimah. 2016. Kearifan Lokal Dan Praktek Pengelolaan
Hutan Bambu Pada Masyarakat Bali. Dalam Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan Vol. 13 No. 1 April 2016.
Yuliaty, Christina and Fatriyandi Nur Priyatna. 2014. Lubuk Larangan: Dynamics of Local
Knowledge of Society in Watershed Resource Management In Kabupaten Lima Puluh
Kota. In Journal Sosek KP Volume 9 No. 1 Year 2014.
Yuliani, Ni Kadek Yuliani, Industri Ginting Suka, dan Ida Bagus Gde Pujaastawa. Konservasi
Hutan Bambu Berbasis Kearifan Lokal di Desa Adat Penglipuran Kecamatan Bangli
Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Dalam Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Vol 18.1 Januari 2017: 178-185. Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana. Denpasar.
Zamzami, Lucky. 2016. Dynamics of Social Institution to Local Wisdom of Fisherman Society
in Preserving Marine Tourism. In the Journal of Anthropology: Social and Cultural
Issues. June 2016 Vol. 18 (1): 57-67.
Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah. 2008. Local Wisdom In The Use And
Preservation Of Coastal Resources. (Case Study in Panglima Raja Village Concong Sub-
District Indragiri Hilir Regency Riau Province). In the Journal of Community
Agribusiness, Volume 1, Number 1. July 2008, p. 69-84.
http://www.beritasatu.com/nasional/113971-masyarakat-serukan-setop pengrusakan-
hutan-di-sekitar-danau-toba.html( diakses tanggal 3 Oktober 2016)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020, Hal 1 - 18
http://senaspa.unimed.ac.id ISSN : 2716-3024 18
http://www.beritasatu.com/nasional/113972-bencana-longsor-makin-sering terjadi-di-
sekitar-danau-toba.html (diakse stanggal 3 oktober 2016)
http://regional.kompas.com/read/2013/06/02/18334022/Hutan.Tele.Terus.Ditebangi.Bup
ati SamosirTak.Dianggap (diakses tanggal 3 oktober 2016).Contoh:
Rahmathulla, V.K. Das P. Ramesh, M. & Rajan, R.K. (2007). Growth Rate Pattern and
Economic Traits of Silkworm Bombyx mori, L under the influence of folic acid
administration. J. Appl. Sci. Environ. Manage. 11(4): 81-84
Suharyanto, A. (2016). Pusat Aktivitas Ritual Kepercayaan Parmalim di Huta Tinggi
Laguboti, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA, 4 (2): 182-195.