kata pengantar -...

69
KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR Puji syukur dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 dapat diselesaikan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik menuju terwujudnya . Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan wujud transparansi serta pertanggungjawaban kinerja kepada masyarakat, disisi lain laporan akuntabilitas juga merupakan alat kendali dan alat pemacu peningkatan kinerja setiap unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai salah satu komponen Kementerian dalam Negeri berkewajiban melaksanakan akuntabilitas kinerja dalam lingkup Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam mendukung akuntabilitas kinerja Kementerian Dalam Negeri di bidang Kesatuan Bangsa dan Politik. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama tahun 2013 yang tertuang dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2010-2014. Pengukuran pencapaian sasaran dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditetapkan pada penetapan indikator kinerja dengan hasil yang dicapai Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama kurun waktu 2013. Dengan demikian akan terlihat seberapa jauh tingkat pencapaian target kinerja berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan/pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik tahun 2013. Berdasarkan analisis dan evaluasi yang dilakukan melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013, diharapkan dapat terjadi optimalisasi peran kelembagaan dan

Upload: dinhkhanh

Post on 07-Apr-2018

222 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat-Nya, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 dapat diselesaikan sebagai wujud akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik menuju terwujudnya . Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan wujud transparansi serta pertanggungjawaban kinerja kepada masyarakat, disisi lain laporan akuntabilitas juga merupakan alat kendali dan alat pemacu peningkatan kinerja setiap unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai salah satu komponen Kementerian dalam Negeri berkewajiban melaksanakan akuntabilitas kinerja dalam lingkup Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam mendukung akuntabilitas kinerja Kementerian Dalam Negeri di bidang Kesatuan Bangsa dan Politik.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan kegiatan yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama tahun 2013 yang tertuang dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2010-2014. Pengukuran pencapaian sasaran dilakukan dengan membandingkan antara target yang telah ditetapkan pada penetapan indikator kinerja dengan hasil yang dicapai Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama kurun waktu 2013. Dengan demikian akan terlihat seberapa jauh tingkat pencapaian target kinerja berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan/pemanfaatan sumber daya yang dimiliki Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik tahun 2013.

Berdasarkan analisis dan evaluasi yang dilakukan melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013, diharapkan dapat terjadi optimalisasi peran kelembagaan dan

peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kinerja seluruh jajaran pejabat dan pelaksana di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik pada tahun-tahun selanjutnya.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, Maret 2014

DIREKTUR JENDERAL KESATUAN BANGSA DAN POLITIK,

A. TANRIBALI L.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------------------------------- i

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------------------- iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ------------------------------------------------------------------------------ iv

BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------------ 1

A. LATAR BELAKANG ---------------------------------------------------------------- 1

B. MAKSUD DAN TUJUAN ---------------------------------------------------------- 2

C. KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGAISASI -------------------- 3

D. ASPEK STRATEGIS ORGANISASI ---------------------------------------------- 5

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS --------------------------------------------------------- 8

PERENCANAAN STRATEGIS TAHUN 2010-2014 ---------------------------- 8

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA ----------------------------------------------------------- 12

A. PENGUKURAN KINERJA TAHUN 2013 ---------------------------------------- 12

B. ANALISA CAPAIAN KINERJA TAHUN 2013 ----------------------------------- 58

C. AKUNTABILITAS KEUANGAN TAHUN 2013 ---------------------------------- 63

BAB IV PENUTUP ------------------------------------------------------------------------------ 64

1

BAB I

PENDAHULUAN

AAA... LLLAAATTTAAARRR BBBEEELLLAAAKKKAAANNNGGG

Salah satu prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah akuntabilitas, hal ini merupakan salah satu wujud komitmen organisasi penyelenggara pemerintahan dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan pada setiap akhir tahun. Hal tersebut ditegaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), bahwa Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban dalam mewujudkan Good Governance di lingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai salah satu komponen Kementerian Dalam Negeri yang memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara, khususnya upaya untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memerlukan suatu perencanaan yang strategis pada setiap program kegiatan agar apa yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan sasaran. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman yang matang dan terarah serta usaha yang maksimal dari setiap aparat, untuk berkomitmen memper-tanggungjawabkan seluruh kegiatan dan hasil akhir kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Pada tahun 2013, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik melaksanakan program kerja secara bertahap melalui pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja sebagai pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Proses penyusunan dokumen perencanaan dan anggaran tahunan dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada dokumen perencanaan serta berdasarkan pada visi dan misi Ditjen Kesbangpol sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Ditjen Kesbangpol Tahun 2010-2014 dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan dan sasaran organisasi Ditjen Kesbangpol.

LAKIP Ditjen Kesbangpol Tahun 2013 pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Ditjen Kesbangpl atas kinerja yang dilaksanakan dalam pencapaian visi

2

dan misi organisasi. Sehubungan denga hal tersebut, lingkup penyusunan LAKIP akan memberikan kondisi obyektif pada tahun 2013, perencanaan strategis, target dan pencapaian kinerja, dan evaluasi pencapaian kinerja berdasarkan Penetepan Indikator Kinerja Utama (IKU) berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-866 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-41 Tahun 2010 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri yang didalamnya terdapat target capaian kinerja utama Ditjen Kesbangpol dan Penetapan Kinerja Ditjen Kesbangpol Tahun 2013 sebagai kesepakatan target capaian kinerja antara Dirjen Kesbangpol sebagai penerima mandat dengan Menteri Dalam Negeri sebagai pemberi mandat.

BBB... MMMAAAKKKSSSUUUDDD DDDAAANNN TTTUUUJJJUUUAAANNN

Maksud penyusunan LAKIP Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 adalah: 1. Sebagai bentuk pertanggungjawaban secara tertulis Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa

dan Politik kepada Menteri Dalam Negeri selaku Pemberi Kewenangan dan Pengguna Anggaran Kementerian Dalam Negeri atas kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013;

2. Memberikan gambaran dan informasi mengenai tingkat pencapaian target yang telah ditetapkan untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran Kementerian Dalam Negeri maupun Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik;

3. Memberikan gambaran mengenai tingkat pencapaian target sasaran kinerja yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013.

Adapun tujuan yang diharapkan dari Penyusunan LAKIP Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 adalah:

1. Terwujudnya akuntabilitas kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013; 2. Memberikan umpan balik bagi pengambilan kebijakan strategik dan peningkatan kinerja

perencanaan program dan kegiatan maupun pemberdayaan sumber daya di lingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik khususnya dan Kementerian Dalam Negeri secara umum;

3. Terlaksananya sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan program/kegiatan kerja secara efisien, efektif dan responsif serta tanggap terhadap kondisi penyelenggaraan pemerintahan bidang kesatuan bangsa dan politik.

CCC... KKKEEEDDDUUUDDDUUUKKKAAANNN,,, TTTUUUGGGAAASSS PPPOOOKKKOOO KKK DDDAAANNN FFFUUUNNNGGGSSSIII OOORRRGGGAAANNNIIISSSAAASSSIII

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa

3

dan Politik berkedudukan sebagai unsur pelaksana Kementerian Dalam Negeri di bidang kesatuan bangsa dan poitik, yang dipimpin oleh Direktur Jenderal yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Adapun tugas pokok Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis dibidang kesatuan bangsa dan Politik. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai fungsi (a) perumusan kebijakan di bidang kesatuan bangsa dan politik; (b) pelaksanaan kebijakan di bidang kesatuan bangsa dan politik; (c) penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang kesatuan bangsa dan politik; (d) pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kesatuan bangsa dan politik; dan (e) pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

Selanjutnya berdasarkan struktur organisasi Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik sebagaimana Permendagri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai 6 (enam) Unit Eselon II yaitu 1 (satu) Sekretariat yang mempunyai 4 (empat) bagian dan masing-masing bagian mempunyai 3 (tiga) Sub Bagian serta 5 (lima) Direktorat yang masing-masing terdiri dari 5 (lima) sub direktorat dan masing-masing mempunyai 2 (dua) seksi, kecuali pada Direktorat Ketahanan Ekonomi terdiri dari 4 (empat) sub Direktorat dan 2 (dua) seksi pada masing-masing Direktorat, dengan bagan sebagai berikut:

4

5

DDD... AAASSSPPPEEEKKK SSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIIISSS OOORRRGGGAAANNNIIISSSAAASSSIII

Beberapa tantangan kedepan dalam rangka menjaga proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dan penegakan hukum, antara lain: (1) Pengembangan pola hubungan eksekutif dan legislatif dalam kerangka meningkatkan kualitas pelaksanaan demokrasi yang berdasarkan Pancasila; (2) Peran partai politik dan organisasi kemasyarakatan dalam melaksanakan agregasi politik, komunikasi politik, artikulasi politik, dan pendidikan politik bagi masyarakat; (3) Perbaikan proses politik melalui Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) terkait penyiapan perangkat peraturan perundangan sesuai jadwal, peningkatan kapasitas dan kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu, serta pemahaman dan kesadaran politik masyarakat yang lebih baik; (4) Peningkatan kepercayaan masyarakat terkait upaya menjaga nilai-nilai kebhinnekaan atau kemajemukan bangsa, termasuk komitmen melindungi kebebasan beragama, keyakinan politik, latar belakang etnis dan sosial budaya, serta menghindari bentuk-bentuk kekerasan dalam penyelesaian permasalahan dalam masyarakat; (5) Penguatan lembaga-lembaga penegak hukum dan indepedensinya yang semakin bersih dari berbagai kepentingan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; serta (6) Upaya pemberantasan korupsi yang didukung aparat penegak hukum yang memilki integritas.

Selanjutnya, aktualisasi partai politik sebagai saluran utama aspirasi politik rakyat belum sepenuhnya dapat berlangsung dengan optimal karena berbagai kondisi partai politik secara internal serta perkembangan lingkungan eksternalnya. Masih terdapat kekecewaan masyarakat kepada partai politik, juga terhadap mekanisme kaderisasi partai politik yang masih belum berjalan baik. Padahal, partai politik merupakan salah satu unsur aktor politik dalam infrastruktur politik yang sangat penting dalam mengembangkan mekanisme demokrasi yang sedang berlangsung dalam sistem politik yang sedang dimantapkan. Dalam konteks tersebut, diperlukan upaya dan dukungan bagi partai politik sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan antara lain dengan mendorong dan memfasilitasi partai politik untuk terus menerus meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan fungsinya melalui fasilitasi dan pemberian dukungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada sisi pendidikan politik masyarakat, serta penguatan persatuan dan kesatuan nasional, telah dilaksanakan penjajakan dalam rangka diskusi awal fasilitasi pendidikan politik yang bekerjasama dengan Center for Elektion and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia yang dilaksanakan di 3 (tiga) regional dengan melibatkan Perguruan Tinggi se- Indonesa dalam rangka peningkatan partisipasi politik bagi pemilih muda. Selain hal tersebut juga telah dilaksanakan pengembangan wawasan dan nilai-nilai kebangsaan, serta kesadaran masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta peningkatan partisipasi politik di daerah, melalui kerjasama dengan Organisasi Kemasyarakatan. Terkait dengan upaya menjawab adanya kebutuhan payung hukum bagi penyusunan program-program

6

pembangunan di daerah terkait penanganan dan pegelolaan konflik dalam rangka memelihara Stabilitas Politik dan Kesatuan Bangsa, antara lain: (1) Pemerintah bersama DPR telah menyelesaikan pembahasan RUU tentang Penanganan Konflik Sosial yang merupakan RUU inisiatif DPR dengan diterbitkannya UU No. 7 Tahun 2012, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri sambil menunggu terselesaikannya pembahasan RPP Penanganan Konflik Sosial; serta (2) diterbitkannya Permendagri No. 16 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah. Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, mempunyai tugas pokok merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis dibidang kesatuan bangsa dan politik. Sebagai salah satu komponen yang memiliki kewenangan urusan pemerintah tersebut, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik mempunyai hubungan kerja dengan Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penanganan masalah politik dalam negeri, masalah-masalah konflik sosial dan pemerintahan di daerah, dan dalam tataran penetapan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan, pengawasan penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan kapasitas aparatur di bidang bina ideologi dan wawasan kebangsaan, kewaspadaan nasional, ketahanan seni, budaya, agama dan kemasyarakatan, politik dalam negeri, maupun di bidang ketahanan ekonomi.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan serta kebijakan yang berkaitan dengan penanganan masalah-masalah sosial dalam kehidupan di masyarakat melalui pembentukan forum-forum dimasyarakat seperti Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) serta memfasilitasi pembentukan komunitas intelejen di daerah dengan melibatkan instansi terkait di Daerah. Pembentukan forum-forum tersebut berlangsung efektif dan dipercaya dapat memberi kontribusi dalam penanganan konflik. Meskipun bukan sebagai faktor tunggal, forum-forum yang ada telah memberikan kontribusi meningkatkanya komunikasi dan dialog yang kontruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk konflik sosial. Forum-forum dimaksud, dipercaya cukup efektif baik secara langsung maupun tidak langsung menekan angka konflik pada Tahun 2013 sehingga berkurang ditahun sebelumnya. Pada tahun 2010 telah terjadi 93 peristiwa konflik yang kemudian menurun menjadi 77 peristiwa konflik pada tahun 2011, pada tahun 2012 terdapat 128 peristiwa konflik dimana mengalami penurunan menjadi 92 peristiwa konflik pada Tahun 2013. Hubungan kerja yang melibatkan pemerintahan daerah khususnya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi dan Kabupaten/Kota, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan

7

Politik setiap saat selalu melakukan koordinasi melalui Pusat Komunikasi Informasi (PUSKOMIN) yang berada di pusat dan masing-masing daerah untuk memantau perkembangan situasi dan kondisi daerah di bidang kesatuan bangsa dan politik. Disamping itu Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik juga melibatkan elemen-elemen di masyarakat seperti OMS di daerah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pusat melalui kegiatan kerjasama program di bidang Pendidikan Politik dan Wawasan Kebangsaan serta Cinta Tanah Air serta memberikan izin pendirian kepada OMS yang baru. Disisi lain, dinamika globalisasi dan perdagangan bebas mengharuskan pemerintah dan rakyat Indonesia bekerja lebih keras untuk memenuhi salah satu aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang menyangkut produksi, distribusi, konsumsi, barang dan jasa yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan ekonomi nasional, dilakukan dengan perencanaan pembangunan ekonomi untuk mendukung ketahanan ekonomi baik daerah maupun nasional. Adapun upaya yang dilakukan Pemerintah dalam hal ini Direktorat Ketahanan Ekonomi yaitu melalui upaya mendorong pemerintah daerah untuk membentuk perusahaan daerah Bank Perkreditan Rakyat (BPR); mendorong percepatan budidaya Hutan Rakyat (HR); revitalisasi anjungan TMII; program diskusi dan sosialisasi tentang kredit-kredit program; pemantauan harga barang kebutuhan pokok masyarakat; serta kampanye publik cinta produk dalam negeri. Untuk itu peran Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di Daerah sangatlah strategis khususnya dalam penanganan masalah-masalah yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban di masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan NKRI.

8

BBBAAABBB IIIIII

PPPEEERRREEENNNCCCAAANNNAAAAAANNN SSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIIISSS

AAA... PPPEEERRREEENNNCCCAAANNNAAAAAANNN SSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIIISSS TTTAAAHHHUUUNNN 222000111000---222000111444

Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pemerintah harus dapat menempatkan posisinya sebagai katalisator dan motivator dalam menggerakkan sendi-sendi pemerintahan dalam tingkat pelayanan kepada masyarakat dan perwujudan pembangunan sebagai bentuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat menuju tatanan pemerintahan yang baik (Good Governance). Apabila kondisi tersebut dapat berjalan selaras dan berkesinambungan, maka penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah pada good governance akan terwujud dan dapat berjalan dengan baik.

Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 merupakan dokumen perencanaan strategis untuk memberikan gambaran dan arahan kebijakan dan strategi pembangunan pada tahun 2010-2014 sebagai tolok ukur dan alat bantu dalam melaksanakan tugas dan fungsi Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dibidang urusan dalam negeri. Dokumen ini berfungsi untuk menuntut segenap penyelenggara kegiatan dilingkungan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik untuk secara konsisten melaksanakan program/kegiatan pembangunan sesuai tugas dan fungsi yang diemban dibidang pembinaan kesatuan bangsa dan politik.

Penyusunan Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 dimaksudkan sebagai panduan kerja operasional yang visioner, sekaligus sebagai instrumen pokok dalam keseluruhan kerangka manajemen program di lingkungan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Juga dimaksudkan dalam rangka penyiapan dokumen perencanaan pembangunan 5 tahunan, serta bertujuan untuk memantapkan terselenggaranya kegiatan-kegiatan prioritas sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran strategis yang ingin dicapai oleh Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dalam periode 5 Tahun kedepan, yang disesuaikan dengan dinamika dan tuntutan perubahan yang ada dalam masyarakat, serta sinkronisasi perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam mendukung kebijakan Kementerian Dalam Negeri khususnya dan kebijakan pembangunan nasional pada umumnya.

9

Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-866 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061-41 Tahun 2010 tentang Penetapan Indikator Utama Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010-2014 merupakan parameter serta acuan dalam melaksanakan seluruh program dan kegiatan di lingkungan Ditjen Kesbangpol Tahun Anggaran 2012 yang juga merupakan kelanjutan dari indikator kinerja utama Ditjen Kesbangpol pada periode Renstra Tahun 2005-2009.

10

Sebagaimana yang dijelaskan diatas, yang juga tertuang dalam Renstra Kementerian Dalam Negeri 2010-2014 dan Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik 2010-2014 serta Penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010-2014 ditetapkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2010-2014 sebagai berikut :

Indikator Kinerja Utama (IKU) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 diimplementasikan sebagaimana tabel 5 diatas, dituangkan dalam Penetapan Kinerja (PK) Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 sebagai Kontrak Kinerja antara Direktur Jenderal Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik dengan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Januari 2013 sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Dimana Penetapan Kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik tersebut merupakan ikhtisar rencana kinerja yang akan dicapai pada tahun 2013 sekaligus sebagai tolok ukur keberhasilan organisasi dan menjadi dasar penilaian dalam evaluasi akuntabilitas kinerja pada akhir tahun anggaran 2013.

INDIKATOR KINERJA UTAMA DITJEN KESBANGPOL

Jumlah paket revisi Undang-Undang Bidang Politik khususnya revisi terbatas terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Kondisi 2009

Target 2014

Indeks Kinerja Lembaga Demokrasi

Indeks Organisasi Kemasyarakatan

Indeks Kebebasan Sipil

Paket UU Bidang Politik

Hasil revisi UU Bidang

62,72 70

0 3

86,97 80

Indeks Hak-Hak Politik 54,60 70

Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan

50% 80%

Persentase forum dialog publik yang efektif 50% 80%

Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).

50% 80%

11

Tabel

Penetapan Kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik

NO. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET

1 2 3 4 1. Meningkatnya kualitas

penyelenggaraan demokrasi (Pemilu/Pilpres).

1. Jumlah paket revisi undang-undang bidang politik khususnya revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

2 (dua) Dokumen

2. Indeks Organisasi Kemasyarakatan

3

2. Meningkatnya Komitmen Pemangku kepentingan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan

80%

3. Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan.

Persentase forum dialog publik yang efektif

80%

4. Meningkatnya kesadaran Warga Negara dalam partisipasi politik

Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).

75%

12

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

Pertanggungjawaban kinerja yang tepat, jelas dan terukur merupakan media untuk mengetahui kinerja Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri sesuai Rencana Kinerja dan Penetapan Kinerja Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013. Mengacu pada Kepmendagri Nomor 061-866 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Kepmendagri Nomor 061-041 Tahun 2010 tentang Penetapan Kinerja Indikator Utama (IKU) di lingkungan Kementerian Dalam Negeri disajikan dalam perbandingan antara target tiap indikator kinerja dengan realisasinya. Capaian kinerja Ditjen Kesatuan Bangsadan Politik Kementerian Dalam Negeri Tahun 2013 adalah sebagai berikut :

SASARAN 1

Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres)

CAPAIAN KINERJA SASARAN Tabel 3.1

Pengukuran Kinerja Sasaran 1 Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres)

Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Jumlah revisi paket Undang-Undang Bidang Politik khususnya Revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

2 (dua) Dokumen

Draft RUU 50%

Indeks Organisasi kemasyarakatan 3 (skala 1 sd 4)

3,1 (skala 1 sd 5) 1

85,61% (konversi skala)

Indikator 1: Jumlah revisi paket Undang-Undang Bidang Politik khususnya revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Dalam rangka penguatan persatuan dan kesatuan bangsa serta melanjutkan pengembangan sistem politik yang berkedaulatan rakyat dan kesetaraan dalam penyampaian aspirasi dengan memperhatikan asas dan prinsip demokrasi pancasila seperti pelaksanaan pemilihan umum, adanya partai politik dan organisasi sosial politik sebagai sarana saluran

1 Pengukuranindeksinimenggunakanskala1hingga5,yangdibagikedalam5kategoriyaitu(a).1-1,8:sangatburuk;(b)1,9-2,7:buruk;(c).2,8-3,6:cukup;(d).3,7-4,4:baik;(e)4,4-5:sangatbaik.

A. PENGUKURANCAPAIANKINERJATAHUN

13

aspirasi rakyat serta memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ke depan, tuntutan demokrasi yang berdasarkan pancasila diprediksi akan semakin menguat akan membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur politik sebagai implikasi dari dinamika lingkungan politik bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya sinergis dari seluruh pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun partai politik, untuk secara bersama membangun struktur politik dan menyempurnakan model demokrasi di masa mendatang. Akan tetapi, sasaran ke depan bukan hanya sebatas pada prosedural demokrasi tetapi menyentuh substansi Demokrasi Pancasila di Indonesia.

Kelembagaan pilar elemen bangsa (supra struktur2, infra struktur3 dan sub struktur4) yang kokoh dan didukung oleh stabilitas nasional adalah kunci bagi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kehidupan bermasyarakat. Demokrasi Pancasila merupakan landasan kehidupan sosial politik, untuk itu pembangunan politik dalam negeri diarahkan pada terwujudnya demorasi yang berkedaulatan rakyat melalui proses konsolidasi secara bertahap.

Kondisi ideal tersebut secara umum menggambarkan indikasi yang harus dicapai melalui upaya yang mengarah pada sasaran terwujudnya peningkatan kualitas penyelenggaraan proses demokrasi. Selanjutnya salah satu tanda dari kualitas penyelenggaraan proses demokrasi dapat dilihat dari partisipasi pada pemilu 2014 nanti, sebagaimana hasil survei terhadap tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu dibawah ini.

Gambar 3.1 Hasil Survei terhadap Pemilu Anggota DPR Tahun 2014

Berdasarkan data diatas, yaitu hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indo barometer terhadap pelaksanaan pemilu Anggota DPR Tahun 2014 dapat dipastikan

2 Supra struktur, menurut teori montesquieu adalah suatu lembaga formal yang menjadi suatu keharusan untukkelengkapansistembernegarayangdibagidalamtigakelompokyaitueksekutif,legislatifdanyudikatif. 3Infrastruktur,menurutteoriMontesquieuadalahlembaga-lembagapolitikyangadadidalammasyarakatyangdibentukdanbergerakdi tingkatmasyarakat itusendiri (yangmeliputi partai politik,kelompokkepentingan,mediakomunikasipolitik,organisasikemasyarakatandantokohmasyarakat. 4Substrukturadalahmasyarakat.

86.90%

3%

0.50%

9.60%

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Bisa dipastikan akan ikut memilih

belum pasti akan memilih atau tidak

bisa dipastikan tidak akan ikutmemilih

tidak tahu/tidak jawab

Sumber: Indo barometer

14

86,90% masyarakat akan ikut dalam pemilihan, sedangkan 3% mengatakan masih ragu-ragu apakah ikut dalam pemilihan atau tidak. 0,5% lainnya mengatakan tidak akan ikut dalam pemilihan dengan berbagai alasan yang dikemukan, kemudian 9,6% masyarakat yang disurvei mengatakan tidak tau/tidak menjawab.

Survei lain dilakukan oleh lembaga survei Poltracking dalam rangka mengetahui minat masyarakat dalam mengikuti pemilu Legislatif Tahun 2014. Dengan hasil survei dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Hasil Survei terhadap minat untuk menginkuti pemilu Legiskatif Tahun 2014

Terdapat 79% masyarakat yang berminat mengikuti pemilihan Anggota DPR

tahun 2014, dan 16% mengatakan tidak berminat sedangkan 5% lainnya tidak tahu/tidak menjawab apakah akan mengikuti pemilihan Anggota DPR. Sumber lain mengatakan keikutsertaan masyarakat dalam pemilu Anggota DPR Tahun 2014 akan diikuti oleh 76%, 18% lainnya mengatakan masih ragu-ragu, sedangkan 5% mengatakan tidak akan ikut memilih serta 1% masyarakat mengatakan tidak tahu/tidak menjawab. Hal tersebut berdasarkan data survei yang dilakukan oleh lembaga IRI. (dapat dilihat pada gambar dibawah):

16%

5%

79%

Tidak minat

Tidak tau/tidak jawab

Berminat

Sumber: Poltracking

15

Gambar 3.3 Hasil Survei terhadap pemilu Anggota DPR jika diadakan hari ini

seberapa besar keikutsertaan untuk memilih

NTT, Sulsel, Aceh, Jatim dan DKI

Jakarta) memiliki keinganan untuk mengikuti pemilu pada Tahun 2014 mendatang, baik Pemilu Presiden maupun Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yaitu lebih dari 70% pemilih. Secara umum, perkembangan demokrasi selama lima tahun terakhir sebagaimana tercermin dari perbaikan proses penyelenggaraan Pemilu dan meningkatnya partisipasi politik rakyat. Hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya sejumlah partai politik nasional dan lokal, serta terlaksananya agenda politik nasional, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Pada tingkat lokal, kekhawatiran terkait partisipasi politik masyarakat yang cenderung menurun dari setiap pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada sebagaimana ditunjukkan dari tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada, diharapkan tidak terjadi pada Pemilu Tahun 2014. Untuk mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan proses pemilu dimaksud, sejak awal telah disepakati perbaikan peraturan perundangan bidang politik.

Terkait dengan hal tersebut, pada tahun 2013 Pemerintah bersama dengan DPR RI merevisi 2 (dua) UU Bidang Politik yaitu Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hal ini merupakan kelanjutan pembahasan pada tahun 2012 yang seharusnya sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam dokumen Renstra, 2 (dua) UU Bidang Politik dimaksud tercapai pada tahun 2012. Namun demikian dikarenakan adanya beberapa prioritas lain pembahasan Undang-Undang oleh DPR RI sehingga pembahasan revisi terbatas UU Bidang Politik ini masih ditargetkan kembali pada tahun

76%

18%

5% 1%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

pasti ikut memilih mungkin ikut memilih tidak akan ikut memilih Tidak tahu/tidak jawab

16

2013. Hal tersebut mengacu pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Nomor 41A/DPR-RI/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014. Dari sisi capaian kinerja dapat dikatakan tercapai 50% yaitu mengalami progress/kemajuan pembahasan dari tahun sebelumnya yaitu 46,6%. Adapun capaian pembahasan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yaitu tersusunnya draft final pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) inisiatif pemerintah dengan tetap mengacu wacana pembahasan yang berkembang di Badan Legislasi DPR RI.

Sedangkan terkait dengan perkembangan pembahasan revisi terbatas UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pada hasil laporan dari Badan Legislasi DPR RI tentang Penarikan 2 (dua) RUU dari Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas tahun 2013 dalam rapat Paripurna DPR RI tanggal 22 Otober 2013, dimana di dalam laporan tersebut disampaikan bahwa terkait dengan revisi terbatas UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan rapat pleno Baleg terakhir mengambil keputusan bahwa UU tersebut tidak dilanjutkan/dihentikan pemahasannya dan menarik draft RUU dari daftar prolegnas RUU prioritas tahun 2013 dengan catatan; a. Dua fraksi (F-PPP dan F-partai Hanura) tetap minta untuk dilanjutkan dan tidak ikut

dalam pengambilan keputusan/walk out; b. Dua Fraksi (F-PKS dan F-Gerindra) tidak menyetujui keputusan untuk menghentikan

pembahasan penyusunan draft RUU tersebut dengan pertimbangan: Panja sudah bekerja selama + 1,5 Tahun yang tentunya juga mengeluarkan

biaya/anggaran yang tidak sedikit; Panja sudah melakukan pembahasan terhadap kurang lebih 262 pasal dan masih

menyisakan 1 pasal yang belum mendapatkan kesepakatan yaitu ketentuan mengenai presidential threshold.

Sementara pertimbangan 5 Fraksi lainnya (F-PD, F-PG, F-PDIP, F-PAN, dan F, PKB) untuk tidak melanjutkan pembahasan penyusunan draft RUU tersebut dengan pertimbangan yaitu: Kekurangan/kelemahan dalam pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009

yang bersifat teknis masih dapat diperbaiki/disempurnakan melalui Peraturan KPU; Ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 2008 masih memenuhi kebutuhan/relevan untuk

pelaksanaan pemilu Presiden dan wakil Presiden 2014. Sehingga mengacu pada hal tersebut, pembahasan revisi terbatas UU No. 42

Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang seharusnya tercapai pada tahun 2012 dihentikan pembahasannya pada tahun 2013 untuk kemudian direncanakan akan dikeluarkan Perppu pada tahun 2014.

17

Perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Amandemen Konstitusi sebagai pengaturan lebih lanjut dari lembaga Negara (khususnya lembaga legislatif). Memperjelas kedudukan, tugas dan fungsi lembaga legislatif dalam kerangka pembagian kekuasaan. Revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam kerangka paket politik mencakup UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dimana arah penyusunan paket politik adalah untuk mengefektifkan sistem presidensial dalam kerangka negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Pembangunan politik dalam negeri merupakan bagian integral dalam rangka pembangunan demokrasi pancasila yang berkarakter kebangsaan. Pemerintah bersama DPR RI telah merampungkan beberapa perbaikan regulasi bidang politik untuk memantapkan kehidupan demokrasi pancasila di masa mendatang. Perbaikan dimaksud adalah untuk menampung berbagai aspirasi yang telah menyoroti adanya kelemahan dalam proses pelaksanaan Pemilu 2009 yang lalu. Upaya perbaikan tersebut tidaklah dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai kepentingan politik melainkan lebih menekankan pada upaya untuk membangun etika dan budaya politik yang demokratis berdasarkan Pancasila, yang muara akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan rakyat, untuk membangun kedewasaan berdemokrasi serta menciptakan konsolidasi demokrasi pancasila melalui perbaikan regulasi politik dan pelaksanaan Pemilu yang demokratis, berkualitas, luber dan jurdil.

Untuk itu di samping adanya perbaikan regulasi bidang politik, Pemerintah bekerjasama dengan sejumlah pihak telah melakukan berbagai upaya yang berkelanjutan di bidang penataan sumberdaya manusia dalam kelembagaan politik agar implementasi produk perundang-undangan dapat diserap dengan baik yakni proses pendidikan politik bagi masyarakat di daerah. Pendidikan politik bagi masyarakat hendaknya tidak dimaknai sebagai sebuah kegiatan politik dari aspek kekuasaan saja tetapi hendaklah dimaknai sebagai upaya mensinerjikan pemahaman setiap warga negara akan hak dan kewajibannya. Hal ini perlu ditekankan agar kita semua sesuai dengan tanggung jawab masing-masing dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi ataupun kelompok. Dalam mendukung upaya dimaksud, telah dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka memberi dukungan pelaksanaan pemilu 2014 sebagaimana amanat pasal 126 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan Pasal 246 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD antara lain: Rapat Koordinasi Nasional dalam rangka persiapan pemilu 2014 telah dilaksanakan di 3 regional dengan peserta terdiri dari Sekda Provinsi dan Kabupaten/Kota, kaban Kesbangpol Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kepala BIN Daerah, Asisten Teritorial Kodam, Kasiter Korem, Karo Operasi Polda, Ketua KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketua Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketua Panwaslu Kabupaten/Kota dan Sekretaris KPU se-Indonesia. Rakor dimaksud diselenggarakan dalam rangka menyamakan persepsi serta menjalin sinergitas antar pemangku kepentingan pemilu; FGD (Forum Group

18

Discussion) dalam rangka peningkatan partisipasi pemilih muda yang diselenggarakan guna mencari metode pendidikan politik yang tepat untuk peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu 2014. Kegiatan dimaksud bekerjasama dengan Center for Election and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia yang dilaksanakan di 3 (tiga) regional; dan Fasilitasi kelembagaan pemberdayaan calon legislative perempuan dan forum pendidikan politik dalam rangka peningkatan kapasitas calon legislatif perempuan yang diselenggarakan guna memberi pembekalan bagi calon legislatif perempuan. Kegiatan dimaksud dilaksanakan dengan bekrjasama Kemen PPA dan dilaksanakan 10 angkatan.

Adapun permasalahan dalam pelaksanaan penyusunan 2 (dua) Undang-Undang Bidang Politik yaitu belum diserahkannya draft rancangan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Pemerintah dikarenakan masih dalam proses pembahasan di Badan Legislatif DPR RI sehingga pembahasan akan dilanjutkan pada awal tahun 2014.

Sebagai upaya tindak lanjut dalam mengatasi permasalahan serta kendala yang dihadapi maka pihak Pemerintah melakukan langkah antisipasi dengan menginventarisasi dan menyiapkan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang mengacu dari wacana pembahasan yang berkembang di badan Legislasi DPR-RI serta melakukan pembahasan bersama pakar dan instansi terkait dengan pokok bahasan menyiapkan antisipasi pendapat pemerintah. Namun demikian pihak Pemerintah yaitu Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik secara simultan akan terus berkoordinasi dengan DPR RI dalam rangka percepatan pembahasan pada saat draft diserahkan kepada Pemerintah.

Indikator 2: Indeks Organisasi kemasyarakatan

Pengukuran Indeks Kinerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam hal ini didasarkan pada tiga dimensi utama yaitu: kondisi organisasi, kondisi lingkungan (sosial, politik dan ekonomi) dan efektifitas. Ketiga dimensi tersebut diturunkan menjadi 9 variabel dan 38 unsur yang diukur dengan menggunakan skala likert berdasarkan 5 kategori yaitu: 1. Sangat Buruk 2.Buruk 3.Cukup 4.Baik 5.Sangat Baik.

Penggunaan skala likert dengan 5 kategori memunculkan lima interval, dimana jarak antar kategori sebesar 0,8 dengan rumus:

Interval= skor tertinggi skor terendah = 5 1 = 0,8

Kategori 5

Untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian Indeks Kinerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yaitu antara 20-100 maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan dengan nilai dasar 20, dengan rumus sebagai berikut:

19

NILAI KONVERSI = INDEKS OMS X 20 Berikut nilai persepsi dan interpretasi terhadap pengukuran Indeks Kinerja OMS

Nilai Persepsi

Nilai Interval Indeks

Nilai Interval Konversi Indeks

Indeks Kinerja Kinerja OMS

1 1-1,8 20-36 E Sangat Buruk 2 1,9-2,7 37-53 D Buruk 3 2,8-3,6 54-70 C Cukup 4 3,7-4,4 71-87 B Baik 5 4,5-5 88-100 A Sangat Baik

Pengukuran Indeks Kinerja OMS di tingkat nasional mengambil sampel di 8 (delapan) provinsi yaitu: NAD, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali dan Maluku. Berikut hasil perhitungan Indeks OMS secara keseluruhan di tingkat nasional.

Gambar 3.4

Segitiga Indeks OMS Nasional

Gambar 3.4 menunjukkan angka indeks masing-masing dimensi yang diukur melalui survey kepada anggota Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia. Jika dihitung secara akumulatif Indeks Organisasi kemasyarakatan di Indonesia adalah sebesar 3,1 atau sebesar 62,7 setelah dikonversi. Angka ini memberikan gambaran bahwa kinerja Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia berada pada kategori cukup baik.

Penilaian tersebut ditunjukkan melalui skor masing-masing dimensi yang berada di interval III (2,8-3,6). Dimensi kondisi organisasi memiliki skor tertinggi sebesar 3,3.

20

Sedangkan kondisi lingkungan (sosial, politik dan ekonomi) mendapatkan skor 3,1 dan yang paling rendah adalah efektifitas OMS dengan skor 3.

Perhitungan Indeks Organisasi kemasyarakatan berbasis daerah disajikan pada gambar 4.2. Berdasarkan data tersebut Indeks OMS tertinggi adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (3,5), berturut-turut diikuti Sumatera Barat (3,4), Maluku (3,4), DKI (3,3), Jawa Timur (3,3), Kalimantan Selatan (3,3), Sulawesi Selatan (3) dan Bali (2,5).

Gambar 3.5

Indeks OMS Berbasis Daerah

Berikut diuraikan skoring masing-masing dimensi berdasarkan variabel dan unsur yang dijadikan penilaian.

1. Kondisi Organisasi Dimensi kondisi organisasi mengukur beberapa variabel yaitu: nilai-nilai dalam

organisasi, manajemen SDM dan keanggotaan, manajemen keuangan, manajemen kerja dan humas/kerjasama.

21

Gambar 3.6 Skor Variabel Kondisi Organisasi

Berdasarkan Gambar 3.6 skor kondisi organisasi disumbang cukup besar dari variabel nilai-nilai organisasi dengan angka 3,7. Skor ini memberikan gambaran bahwa masyarakat yang menjadi anggota aktif organisasi kemasyarakatan memberikan

-nilai yang diperjuangkan oleh OMS. Sedangkan untuk

keanggotaan (3,4), manajemen keuangan (3,2), manajemen kinerja (3,2) dan hubungan massa/kerjasama di angka (3,2).

-nilai organisasi diuraikan melalui beberapa unsur yang menjadi dasar/fundamen organisasi meliputi visi dan misi, tujuan organisasi dan strategi aksi. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan terhadap anggota organisasi kemasyarakatan di Indonesia, didapatkan data yang menarik bahwa tujuan organisasi mendapatkan skor tertinggi sebesar 3,9. Sedangkan skor strategi aksi sebesar 3,7 dan visi misi organisasi justru mendapatkan nilai terendah sebesar 3,6.

Data pada gambar 4.3 memberikan gambaran bahwa persepsi masyarakat yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan terhadap keberadaan Organisasi kemasyarakatan lebih berorientasi pada hal yang bersifat praktis daripada yang ideologis. Hal ini sejalan dengan uraian sebelumnya bahwa pertimbangan utama masyarakat bergabung dalam organisasi kemasyarakatan didorong oleh kesamaan kepentingan sebesar 33,7 persen.

2.8 3.0 3.2 3.4 3.6 3.8

Nilai-nilai Organisasi

Manajemen SDM dan Keanggotaan

Manajemen Keuangan

Manajemen Kinerja

Humas dan Kerjasama

3.7

3.4

3.2

3.2

3.2

22

Gambar 3.7 Skor Unsur Nilai-nilai Organisasi

Di sisi yang lain, orientasi masyarakat yang cenderung praktis atau bahkan pragmatis ditunjukkan dengan skor strategi aksi sebesar 3,7. Pada beberapa kasus yang dijumpai di lapangan, OMS yang memiliki strategi aksi dalam bentuk program dan kegiatan yang konkret justru lebih banyak menarik minat masyarakat untuk ikut terlibat di dalamnya. Beberapa contohnya adalah OMS yang bergerak di bidang sosial, advokasi dan pendampingan yang banyak memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Strategi aksi juga memberikan persepsi kepada masyarakat tentang bagaimana OMS mampu mencapai tujuan-tujuan organisasinya, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.

Namun meskipun begitu bukan berarti visi dan misi organisasi menjadi tidak penting dalam sebuah organisasi. Pada beberapa contoh OMS yang berbasis keanggotaan dan berbadan hukum, visi dan misi merupakan kristalisasi nilai yang mendorong mereka berkumpul dan berasosiasi. Hanya saja memang ada sebagian masyarakat yang memiliki persepsi bahwa visi dan misi organisasi lebih banyak hanya menjadi simbol atau kelengkapan administrasi dari sebuah organisasi.

Variabel manajemen sumberdaya manusia dan keanggotaan yang memiliki skor 3,4 juga penting untuk dianalisis lebih dalam. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa skor tertinggi dalam variabel manajemen SDM dan keanggotaan adalah dalam rekrutmen anggota atau kader sebesar 3,5. Skor tertinggi berikutnya adalah penanaman nilai-nilai organisasi dan mekanisme pemilihan ketua/pengurus masing-masing 3,4. Standar dan kualifikasi staf dan pengurus masing-masing 3,3 dan rotasi penempatan individu dalam struktur OMS menjadi yang terendah dengan skor 3,2.

Tingginya skor pada rekrutmen kader atau anggota memberikan gambaran bahwa OMS di Indonesia mudah dalam penerimaan anggota/kader yang ingin terlibat di dalam organisasi. Hal ini tidak terkecuali bagi OMS yang berbasis keanggotaan. Meski

23

terdapat syarat tertentu, tidak lantas membuat OMS menjadi sangat eksklusif dan soliter dalam menerima anggota.

Skor berikutnya berkaitan dengan penanaman nilai-nilai organisasi dan mekanisme pemilihan ketua dan pengurus sama-sama di angka 3,4. Data ini menunjukkan bahwa kinerja OMS dalam menanamkan nilai organisasi kepada anggotanya s

Sedangkan unsur standar dan kualifikasi baik staf dan pengurus memperoleh

skor satu tingkat dibawahnya sebesar 3,3. Nilai terendah justru berkaitan dengan rotasi dan penempatan individu dalam struktur OMS yang hanya sebesar 3,2. Standar dan kualifikasi staf dan pengurus dalam beberapa jenis OMS memang tidak selalu menjadi perhatian utama. Terutama berkaitan dengan OMS yang berbasis massa, dimana yang menjadi tolok ukur adalah banyaknya jumlah anggota. Sehingga kerap juga mempengaruhi bagaimana individu/aktor di dalam OMS dikelola, ditempatkan dan diberi tugas sesuai kemampuannya. Skor rendah menunjukkan bahwa OMS sering tidak mengindahkan pr . Ketika ditelusuri lebih mendalam, hal ini sangat dipengaruhi dengan kondisi bahwa banyak OMS yang tidak memiliki standar gaji dan memberikan gaji bulanan kepada staf/pengurus. Seperti uraian sebelumnya bahwa hanya 11,9 OMS yang memiliki staf/pengurus yang digaji bulanan. Sebagian besar model penggajian atau honorarium baru ada ketika OM tersebut sedang mengadakan even atau kegiatan. Kondisi inilah yang menjadi penjelas mengapa OMS kerap tidak terlalu ketat dalam penempatan personil, pembagian tugas dan tata kelola organisasi.

Gambar 3.8 Skor Unsur Manajemen SDM dan Keanggotaan

24

Sedangkan skor untuk manajemen keuangan seperti yang diuraikan sebelumnya sebesar 3,2 dapat dijelaskan dengan menganalisis beberapa unsur yang menjadi indikator. Berdasarkan gambar 4.5 unsur tertinggi dalam manajemen keuangan adalah transparansi dalam pengelolaan keuangan sebesar 3,5. Skor tertinggi berikutnya adalah kondisi keuangan dan kemandirian keuangan sebesar 3,3. Sedangkan penggunaan standar akuntansi dalam pelaporan keuangan sebesar 3,1 dan yang terendah skor tentang audit keuangan berkala yang hanya sebesar 2,8.

Data tersebut menggambarkan bahwa pengelolaan keuangan yang transparan dan dikelola secara bersama-dalam organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan data sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat 43,1 persen OMS yang sumber pendanaannya melalui iuran anggota. Prosentase iuran anggota yang cukup besar ini memberikan dorongan kepada OMS untuk mengelola keuangannya secara terbuka. Di sisi yang lain, data ini juga memberikan penjelasan bahwa OMS secara ekonomi, meski presentase yang menerima bantuan pemerintah juga cukup banyak yaitu sebesar 20,4 persen.

Gambar 3.9

Skor Unsur Manajemen Keuangan

Manajemen kerja mendapatkan skor 3,2, nilai ini dapat dianalisis secara lebih mendalam dengan melihat skor setiap unsur di dalamnya. Skor tertinggi terdapat pada unsur pelaporan kinerja dan frekuensi rapat/koordinasi sebesar 3,3. Skor tertinggi berikutnya berkaitan dengan struktur organisasi dan pembagian tupoksi sebesar 3,2.

25

Sedangkan skor terendah terdapat pada unsur fasilitasi dan supervisi dalam pelaksanaan program dan kegiatan di angka 3.

Dari data tersebut diketahui bahwa dalam tata kelola (governance) OMS di Indobanyak berkaitan dengan tata kelola internal, yaitu pelaporan kinerja dan evaluasi internal, frekuensi rapat/koordinasi. Sedangkan unsur fasilitasi dan supervisi (melibatkan institusi luar) menjadi yang terendah dalam skoringnya. Sebagaimana data yang disajikan sebelumnya hanya 24,1 persen OMS yang memiliki mekanisme monitoring dan evaluasi dari lembaga eksternal.

Gambar 3.10 Skor Unsur Manajemen Kerja

Humas/Kerjasama memperoleh skor 3,2. Beberapa unsur yang digunakan untuk mengukur skor humas/kerjasama adalah komunikasi antar anggota, komunikasi dengan aktor/lembaga di luar organisasi, kerjasama/kolaborasi dengan lembaga di luar organisasi dan kerjasama dengan media massa. Berdasarkan gambar 4.7 skor tertinggi adalah komunikasi antar anggota sebesar 3,6. Berturut-turut diikuti oleh unsur komunikasi dengan aktor/lembaga di luar organisasi sebesar 3,4, melakukan kerjasama dengan aktor/lembaga dari luar organisasi sebesar 3,2 dan skor terendah berkaitan dengan kerjasama/pemanfaatan media massa sebesar 2,7.

Data tersebut memberikan gambaran bahwa OMS di Indonesia masih kurang dalam membangun sinergi antar elemen OMS maupun dengan lembaga pers/penyiaran publik. Di sisi yang lain, OMS di Indonesia lebih kuat dalam membangun komunikasi di dalam organisasi. Kondisi ini dapat dimaknai secara positif maupun negatif. Makna positif menunjukkan bahwa OMS di Indonesia memiliki soliditas internal yang cukup baik. Namun di sisi lain, kondisi ini dapat memunculkan eksklusivisme dalam bentuk sektarian maupun primordial. Sehingga justru dapat mengancam civil society di Indonesia.

26

Gambar 3.11 Skor Unsur Humas/Kerjasama

2. Kondisi Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik Kondisi sosial, ekonomi dan politik adalah dimensi di luar organisasi yang

memberikan pengaruh terhadap keberadaan serta kinerja organisasi kemasyarakatan. Dimensi ini terdiri atas lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan lingkungan politik yang melingkupi OMS sebagai bagian masyarakat. Berdasarkan pengukuran Indeks diketahui bahwa skor untuk dimensi lingkungan sebesar 3,1. Secara umum skor ini

organisasi kemasyarakatan. Jika dikaji lebih detail terpapar pada gambar 4.8. Dari data tersebut diketahui bahwa lingkungan sosial yang memiliki skor tertinggi sebesar 3,5. Sedangkan lingkungan politik di angka 3,1 dan yang terendah adalah lingkungan ekonomi sebesar 2,7.

Gambar 3.12 Skor Variabel Lingkungan

Skor 3,5 pada variabel Lingkungan sosial dapat dianalisis lebih mendalam

melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan masyarakat terhadap OMS, kepercayaan masyarakat terhadap OMS, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan OMS dan bantuan masyarakat (tenaga dan materi) terhadap kegiatan OMS. Pada gambar 4,9 skor unsur

27

tertinggi terdapat pada penerimaan masyarakat sebesar 3,6. Berikutnya berturut-turut unsur kepercayaan masyarakat dan keterlibatan masyarakat masing-masing sebesar 3,5 dan yang terendah adalah dukungan dan keterlibatan perguruan tinggi dalam kegiatan OMS sebesar 3,3. dan memberikan dukungan kepada OMS. Bahkan angka keterlibatan juga cukup tinggi hingga di angka 3,5. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah dukungan dan keterlibatan institusi pendidikan/akademis dalam hal ini perguruan tinggi justru berada pada skor terendah. Pengukuran mengenai dukungan institusi akademis dilakukan untuk mengetahui peran dan fasilitasi kalangan intelektual dalam kerja-kerja sosial, khususnya dalam OMS. Data ini konsisten dengan angka fasilitasi dan pendampingan dari lembaga diluar OMS yang memang rendah.

Gambar 3.13

Skor Unsur Lingkungan Sosial

Lingkungan politik diukur melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan

institusi pemerintah/negara terhadap OMS, dukungan/bantuan institusi pemerintah/negara terhadap kegiatan OMS, keterlibatan aktif pemerintah/negara dalam kegiatan OMS. Berdasarkan data yang disajikan pada gambar 4.10 ketahui penerimaan institusi negara/instansi pemerintah terhadap OMS sebesar 3,2. Sedangkan dukungan dan keterlibatan institusi negara/instansi pemerintah terhadap kegiatan OMS masing-masing skornya diangka 3,1.

menerima/mengesahkan keberadaan OMS namun masih rendah dalam pemberian dukungan atau bahkan terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan OMS. Data ini dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, rendahnya dukungan dan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan OMS dapat dimaknai bahwa institusi negara (state) tidak ingin terlalu campur tangan dan intervensi terhadap ruang-ruang sosial yang menjadi domain masyarakat, sehingga memberikan dampak positif terhadap penguatan dan

28

kemandirian masyarakat. Kedua, skor yang rendah berkaitan dengan dukungan institusi negara menggambarkan ketidakpedulian negara terhadap OMS.

Dua pemaknaan tersebut akan sangat tergantung dengan jenis OMS yang bersangkutan. Termasuk juga berkaitan dengan latar belakang dan tujuan pembentukan OMS. Ada sebagian OMS yang justru tidak ingin menerima bantuan dari negara karena akan mengganggu independensinya. Namun tidak sedikit juga yang memang berharap bantuan dari negara.

Gambar 3.14 Skor Unsur Lingkungan Politik

Lingkungan ekonomi diukur melalui beberapa variabel yaitu: penerimaan kalangan swasta/perusahaan terhadap OMS, dukungan/bantuan kalangan swasta/perusahaan terhadap kegiatan OMS, keterlibatan swasta dan perusahaan dalam kegiatan OMS. Berdasarkan gambar 4.11 skor per unsur untuk lingkungan ekonomi memiliki nilai paling rendah jika dibandingkan dengan lingkungan sosial dan politik. Skor penerimaan kalangan swasta/perusahaan terhadap OMS sebesar 3. Sedangkan dukungan dan keterlibatan swasta/perusahaan terhadap OMS masing-masing diangka 2,7 dan 2,6. Rendahnya dukungan dan keterlibatan swasta dalam kegiatan OMS sangat tergantung pada kesamaan dan kepentingan pihak swasta. Apabila memiliki kesamaan tujuan sangat mungkin pihak swasta mendukung kegiatan OMS. Di sisi yang lain, skema corporate social responsibility (CSR) terkadang tidak secara maksimal dirasakan oleh OMS. Dikarenakan rendahnya kesadaran korporasi serta minimnya dorongan dari institusi negara.

29

Gambar 3.15 Skor Unsur Lingkungan Ekonomi

3. Efektifitas Dimensi efektifitas fokus pada dampak OMS terhadap anggota serta kehidupan

sosial kemasyarakatan. Dimensi ini diukur untuk mengetahui kontribusi OMS secara riil baik untuk anggotanya maupun masyarakat (lingkungan sosial, ekonomi dan politik). Dari penghitungan yang telah dilakukan skor efektifitas OMS adalah sebesar 3 atau yang terendah jika dibandingkan dengan dimensi kondisi organisasi dan lingkungan OMS. Beberapa variabelnya yaitu kemampuan mempromosikan nilai-nilai organisasi kepada masyarakat, kemampuan merespon isu dan permasalahan anggota/masyarakat, kemampuan memperjuangkan aspirasi anggota/masyarakat, kemampuan memberdayakan anggota/masyarakat dan kemampuan mempengaruhi kebijakan publik, kemampuan meningkatkan tanggungjawab sosial pemerintah dan swasta.

Berdasarkan gambar 4.11 efektifitas kinerja OMS yang tertinggi adalah kemampuan mempromosikan nilai-nilai organisasi baik pada anggota maupun masyarakat sebesar 3,4. Kemampuan merespon isu dan permasalahan 3,3; kemampuan memperjuangkan aspirasi anggota dan masyarakat 3,2; kemampuan memberdayakan anggota dan masyarakat 3,2; kemampuan mempengaruhi kebijakan publik 2,6 dan kemampuan meningkatkan tanggungjawab sosial pemerintah dan swasta 2,6. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kinerja OMS memiliki efektfitas yang cukup tinggi hanya di internal anggota OMS dan masyarakat (lingkungan sosial). Sedangkan di lingkungan pemerintah dan swasta sangat rendah diangka 2,6 yang jika dikonversikan

.

30

Gambar 3.16 Skor Variabel Efektifitas OMS

Belum tercapainya target Indeks Organisasi Kemasyarakatan (Indeks Masyarakat Sipil) antara lain disebabkan oleh faktor kebijakan (peraturan perundangan-undangan) yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan dinamika kemasyarakatan pasca reformasi. Undang-Undang No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah tidak mampu mengakomodir euphoria kebebasan pasca reformasi dimaksud. Potensi permasalahan akan muncul ketika OMS masih sangat rentan terhadap godaan eksternal dan mudah terseret dalam permainan politik, dan masih lemahnya kemampuan OMS dalam memobilisasi sumber pendanaan secara mandiri serta masih rendahnya kesadaran OMS dalam menata organisasinya secara lebih baik, lebih berkualitas dan modern sehingga lebih kredibel dimata masyarakat. Diharapkan masalah tersebut dapat diselesaikan dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sehingga Indeks Kesehatan Organisasi Kemasyarakatan akan mengalami perbaikan secara berarti pada masa yang akan datang.

Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan dimaksud adalah dengan mengoptimalisasikan fungsi pemerintah sehingga dapat masuk kedalam agenda-agenda penting OMS, terutama dalam rangka penguatan ideologi, tata kelola dan pengelolaan keuangan OMS sehingga kedepan OMS lebih mandiri, dan lebih mampu mengembangkan organisasinya menjadi organisasi yang modern serta lebih akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan.

31

SASARAN 2 Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa

CAPAIAN KINERJA SASARAN Tabel 3.2

Pengukuran Kinerja Sasaran 2 Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian 1. Persentase kebijakan/peraturan perundangan

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

80% 72,73% 90,91%

Indikator 3: Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

Berdasarkan Permendagri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang kesatuan bangsa dan politik. Dalam merumuskan kebijakan tersebut, tentu harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya baik secara substansi maupun penormaannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam merumuskan kebijakan diperlukan partisipasi masyarakat, instansi terkait serta para pemangku kepentingan lainnya dalam hal keterlibatan dalam proses politik yang seluas-luasnya baik dalam pengambilan keputusan maupun monitoring kebijakan. Hal tersebut tentunya diarahkan demi terwujudnya situasi dan kondisi nasional yang kondusif dalam rangka tercapainya pembangunan nasional.

Penyusunan sebuah kebijakan termasuk peraturan perundang-undangan semestinya selain mempertimbangkan faktor-faktor normatif yang ideal juga harus memperhatikan faktor penerimaan dan kemampuan pelaksanaannya oleh para pemangku kepentingan terkait. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor utama dalam meningkatkan komitmen pemangku kepentingan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak mengalami penolakan dan dapat dilaksanakan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Bahwa upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui penciptaan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan syarat pokok pencapaian tujuan nasional, oleh karena itu perwujudan pencapaiannya harus

32

dilaksanakan melalui pelaksanaan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah termasuk untuk mewujudkan kondisi kehidupan masyarakat yang tenteram, tertib dan teratur sebagaimana diatur dalam Pasal 22 huruf a, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi perubahan paradigma birokrasi yang membawa konsekuensi terhadap mekanisme pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Amanat undang-undang tersebut secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum.

Sampai dengan saat ini, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik selama kurun waktu 2010-2013 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3 Capaian Implementasi Kebijakan/Regulasi

Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Periode 2010-2013

No Jenis Tentang Capaian Katego

ri

1 UU Nomor 2 Tahun 2011

Partai Politik > 25 Provinsi Baik

2 UU Nomor 15 Tahun 2011

Penyelenggara Pemilihan Umum

> 25 Provinsi Baik

3

UU Nomor 7 Tahun 2012

Penanganan Konflik Sosial > 25 Provinsi Baik

4 UU Nomor 8 Tahun 2012

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

> 25 Provinsi Baik

33

5 UU Nomor 17 Tahun 2013

Organisasi Kemasyarakatan 10-15 Provinsi Kurang

6 PP Nomor 18 Tahun 2013

Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri Yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Pelaksanaan Cuti Pejabat Negara Dalam Kampanye Pemilu

> 25 Provinsi Baik

7 Permendagri No. 16 Tahun 2011

Perubahan Atas Permendagri Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Komunitas Intelejen Daerah

> 25 Provinsi Baik

8 Permendagri No. 39 Tahun 2011

Perubahan Atas Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan Dan Lembaga Nirlaba Lainnya Dalam Bidang Kesatuan Bangsa Dan Politik Dalam Negeri

15-25 Provinsi Cukup Baik

9 Permendagri No. 36 Tahun 2010

Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik

> 25 Provinsi Baik

10 Permendagri No. 49 Tahun 2010

Pedoman Pemantauan Orang Asing Dan Organisasi Masyarakat Asing Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

34

11 Permendagri No. 50 Tahun 2010

Pedoman Pemantauan Tenaga Kerja Asing Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

12 Permendagri No. 29 Tahun 2011

Pedoman Pemerintah Daerah Dalam Rangka Revitalisasi Dan Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila

15-25 Provinsi Cukup Baik

13

Permendagri No. 38 Tahun 2011

Pedoman Peningkatan Kesadaran Bela Negara Di Daerah

15-25 Provinsi Cukup Baik

14 Permendagri No. 57 Tahun 2011

Pedoman Orientasi Dan Pendalaman Tugas Anggota DPRD Propinsi Dan DPRD Kab/Kota

> 25 Provinsi Baik

15 Permendagri No. 61 Tahun 2011

Pedoman Pemantauan, Pelaporan Dan Evaluasi Perkembangan Politik Di Daerah

> 25 Provinsi Baik

16 Permendagri No. 64 Tahun 2011

Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian

10-15 Provinsi Kurang

17 Permendagri No. 1 Tahun 2012

Pedoman Pemberian Tanda Penghargaan Pembauran Kebangsaan

10-15 Provinsi Kurang

18 Permendagri No. 33 Tahun 2012

Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah

10-15 Provinsi Kurang

19 Permendagri No. 71 Tahun 2012

Pedoman Pendidikan Wawasan Kebangsaan

15-25 Provinsi Cukup Baik

35

20 Permendagri No. 20 Tahun 2013

Perubahan Kedua Atas Permendagri No 44 Tahun 2009 tentang Pedoman Kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dengan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Nirlaba Lainnya dalam Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik

10-15 Provinsi Kurang

21 Permendagri Nomor 21 Tahun 2013

Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika

< 10 Provinsi Buruk

22 Permendagri Nomor 26 Tahun 2013

Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan, Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan

> 25 Provinsi Baik

Sumber data: Bagian Perundang-Undangan dan Kepegawaian, Desember 2013

Berdasarkan data tersebut diatas, telah dilakukan analisis dan pembobotan berdasarkan pada masing-masing kebijakan/regulasi yang dihasilkan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsan dan Politik selama kurun waktu 2010-2013 dengan katergori sebagai berikut:

Tabel 3.4 Kategori Kebijakan/Regulasi yang dilaksanakan

Pemerintah daerah dan Pemangku Kepentingan Lainnya

No. Nilai Kebijakan/Regulasi yang dilaksanakan Daerah Kategori Nilai

1. > 25 Provinsi Baik

2. 15-25 Provinsi Cukup Baik

3. 10-15 Provinsi Kurang

4. < 10 Provinsi Buruk

36

Dari total 22 peraturan yang dihasilkan selama kurun waktu 2010-2013 terdapat 10 peraturan yang telah diimplementasikan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya melalui berbagai regulasi yang ada di daerah baik dalam bentuk penyusunan Peraturan Daerah maupun penyusunan RPJMD, Renstrada dan Rencana Kerja Daerah yaitu sebanyak lebih dari 25 Provinsi dengan Adapun provinsi yang belum optimal melaksanakan implementasi terkait 10 kebijakan/regulasi bidang kesatuan bangsa dan politik yaitu Sumatera Utara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Kalimantan Utara. Sedangkan 6 peraturan bidang kesatuan bangsa dan politik lainnya dilaksanakan oleh 15-25 Provinsi

peraturan tersebut yaitu Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan Lampung, Aceh, Bali, Gorontalo, NTT, Maluku Utara, Kepri, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan kemudian terkait dengan 5 peraturan yang terbit tahun

eraturan tersebut ditindaklanjuti oleh 10 provinsi dalam bentuk penyusunan rencana kerja daerah yaitu melalui kegiatan sosialisasi di daerah. Terkait dengan 1 peraturan yaitu Permendagri No. 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika hanya ditindaklanjuti oleh kurang dari 10 Provinsi yaitu BNNP Jawa Barat, BNNP DKI Jakarta sebagai akibat peraturan dimaksud baru terbit pada tahun 2013 dan baru dilakukan sosialisasi pada bulan November 2013.

Adapun metode yang digunakan dalam rangka pengumpulan data dan Informasi terkait implementasi kebijakan/regulasi bidang kesatuan bangsa dan politik yaitu melalui review media dan dokumen perencanaan daerah (RPJMD, Renstrada dan Rencana Kerja Daerah); penyebaran kuesioner pada saat pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional bidang Kesatuan Bangsa dan Politik terakhir dilaksanakan pada tanggal 27-30 Januari 2013 dan 5-7 Desember 2013 di Jakarta; wawancara mendalam kepada pejabat terkait di daerah; dan monitoring dan evaluasi secara terus menerus melalui berbagai kegiatan di daerah.

Dari sisi capaian kinerja dari jumlah 22 regulasi/kebijakan bidang kesbangpol yang telah dihasilkan selama kurun waktu 2010-2013 dapat dikatakan tercapai 90,91% atau terealisasi 72,73% dari target 80% yang telah ditetapkan di dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra). Hal tersebut sebagai akibat terdapat 6 peraturan perundangan yang dikeluarkan tahun 2012 dan 2013 belum maksimal terimplementasi di daerah, sehingga hanya kurang dari 10 provinsi yang menindaklanjuti dalam bentuk pelaksanaan sosialisasi di daerah.

Adapun permasalahan dan kendala yang ditemui dalam pencapaian target kinerja implementasi kebijakan/regulasi bidang kesbangpol sehingga keberhasilan yang dicapai belum maksimal yaitu:

37

1. Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi serta konsolidasi dalam implementasi kebijakan/peraturan perundangan-undangan. Hal ini juga disebabkan adanya kekosongan dalam penyelenggaraan urusan-urusan lintas sektor yang tidak ditangani secara utuh oleh salah satu instansi termasuk SKPD Kesbangpol di daerah;

2. Masih adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Implementasi/tindaklanjut terkait peraturan perundang-undangan bidang kesbangpol di

daerah mengalami kesulitan dikarenakan adanya Kepala Daerah yang berbeda-beda dalam presepsinya serta belum adanya komitmen pemangku kepentingan;

4. Terbatasnya kemampuan APBD dan SDM yang memadai dalam rangka sosialisasi dan monitoring pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut terutama untuk Kabupaten/Kota;

5. Belum adanya penegasan untuk penyesuaian struktur organisasi/nomenklatur Kesbangpol Provinsi/Kabupaten/Kota dimana didalam amanat PP 38 Tahun 2007 disebutkan bahwa Kesbangpoldagri merupakan salah satu urusan wajib namun dalam PP No. 41 Tahun 2007 masih disebutkan nomenklatur Kesbangpol dan Linmas sementara amanat PP No. 6 Tahun 2010 bahwa linmas penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Satpol PP, terkait hal tersebut PP No. 41 Tahun 2007 perlu direvisi kembali.

Langkah-langkah yang perlu diambil dalam pemecahan permasalahan tersebut diatas adalah: 1. Perlu pengaturan yang lebih tegas terkait penyelenggaraan urusan kesbangpol dalam

konteks urusan pemerintahan umum sehingga dapat dilaksanakan secara lintas sektor. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan urusan tersebut maka diperlukan penataan kembali pada organisasi penyelenggara urusan di pusat maupun di daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota selain selaku kepala daerah juga perlu ditempatkan sebagai wakil pemerintah di wilayah (Kepala Wilayah) sehingga dapat meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi serta konsolidasi pemerintahan di daerah. Untuk mendukung tugas Kepala Wilayah dimaksud, perlu dibantu oleh unit kerja aparatur pusat yang menangani urusan tersebut;

2. Inventarisasi data yang akurat terkait kebijakan/peraturan perundangan Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik;

3. Perlunya sosialisasi dan pemahaman terhadap pejabat politik di daerah terutama kepada Kepala Daerah;

4. Perlunya simplifikasi dalam rangka penyusunan kebijakan/peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi duplikasi/tumpang tindih antara satu kebijakan/peraturan dengan kebijakan/peraturan lain;

38

5. Perlunya peningkatan kegiatan seperti pelaksanaan Bimbingan Teknis, Pendidikan dan Pelatihan, Rapat Koordinasi dan Seminar yang melibatkan Kesbangpol Provinsi/Kabupaten/Kota;

6. Penyesuaian kembali terkait struktur organisasi maupun nomenklatur Kesbangpol yang ada di Provinsi/kabupaten/Kota sehingga ada kejelasan baik secara hierarki maupun tupoksinya dengan harapan hal tersebut akan mampu memperjelas dalam penyusunan kebijakan maupun perbaikan mekanisme, prosedur penyelenggaraan kebijakan publik;

7. Pemantauan dan monitoring secara berkala terhadap implementasi pelaksanaan kebijakan/peraturan perundangan oleh pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.

SASARAN 3

Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan

CAPAIAN KINERJA SASARAN Tabel 3.5

Pengukuran Kinerja Sasaran 3 Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat

dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan

No. Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian1. Persentase forum dialog publik yang

efektif 80%

76,51% 95,64%

Indikator 4: Persentase forum dialog publik yang efektif

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan umum, dan meningkatkan daya saing daerah. Tujuan ini dicapai melalui penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan masing-masing daerah. Disamping urusan pemerintahan wajib yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah juga harus mencermati dan melaksanakan kewajiban daerah sebagaimana diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Bahwa dalam rangka otonomi daerah berkewajiban antara lain untuk melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat yang sama, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai Pasal 27 ayat (1) berkewajiban antara lain memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar

39

Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berkewajiban memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Perwujudan visi dan misi pembangunan nasional serta pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga menjadi tugas dan tanggungjawab masyarakat, termasuk yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan. Kontruksi hubungan kemitraan yang dibangun antara pemerintah dengan masyarakat seperti yang diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdiri dari kemitraan di bidang kewaspadaan dini melalui Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) berdasarkan amanat Permendagri Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah, dibidang kerukunan antar umat beragama melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Sedangkan kemitraan dibidang kerukunan antar etnis melalui Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan Di Daerah.

Mencermati situasi nasional yang terus berkembang selama ini, sebuah keprihatinan masih terjadinya konflik dan peristiwa kekerasan di sejumlah daerah. Berbagai peristiwa konflik yang terjadi dilatarbelakangi dengan beberapa motif, seperti: konflik pertanahan/lahan perkebunan, konflik pertambangan, konflik pemilukada, aksi tawuran pelajar/mahasiswa, bentrokan antar kelompok warga terkait pendirian rumah ibadah maupun terkait bentrokan etnis tertentu, peredaran narkoba dan aksi terorisme. Dalam kondisi tersebut peran strategis forum dialog publik seperti Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) menjadi sangat penting dalam rangka mengantisipasi timbulnya berbagai konflik dan kerawanan sosial ditengah masyarakat yang dapat mengancam stabilitas nasional.

Menyikapi permasalahan dan potensi yang dimiliki diatas diperoleh sebuah keyakinan bahwa metodologi yang efektif dalam menyelesaikan permasalahan keamanan dalam negeri terkait konflik sosial adalah melalui dialog-dialog publik yang efektif. Untuk itu dalam program pembinaan kesatuan bangsa dan politik dilakukan pendekatan melalui penguatan forum-forum dialog yang terdapat di masyarakat khususnya forum yang dibentuk melalui Permendagri sebagai upaya penciptaan rasa aman, terlindungi dan stabilitas kerukunan dalam masyarakat.

Terhadap indikator tersebut diatas, sasaran strategis Renstra Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik menargetkan 80% pelaksanaan forum dialog publik yang efektif terhadap ketiga forum yang ada di daerah yaitu FKDM, FKUB dan FPK termasuk Kominda. Forum

40

diaog yang berlangsung efektif ini dipercaya pula dapat memberi kontribusi dalam penanganan konflik. Memperhatikan perkembangan forum-forum yang ada tersebut diperoleh hasil yang cukup menggembirakan, setidaknya bila dilihat dari pembentukan forum-forum di daerah. Selanjutnya meskipun bukan sebagai factor tunggal, forum-forum yang ada telah memberikan kontribusi meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk konflik sosial. Dipercaya bahwa forum-forum yang ada cukup efektif baik secara langsung maupun tidak menekan angka konflik pada Tahun 2013 sehingga berkurang di banding tahun sebelumnya.

Gambar 3.17 Data Peristiwa Konflik Selama Kurun Waktu 2010-2013

Sumber Data: Pusat Komunikasi dan Informasi Ditjen Kesbangpol, Kemendagri

Adapun pencapaian tersebut dapat digambarkan sebagaimana data di bawah ini:

1. Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM)

Dalam Permendagri Nomor 12 Tahun 2006 ditegaskan bahwa penyelenggaraan kewaspadaan dini masyarakat di daerah menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh masyarakat, difasilitasi dan dibina oleh pemerintah daerah. Karena itu FKDM merupakan salah satu bentuk kemitraan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan kemitraan melalui FKDM diharapkan masyarakat mampu memberikan kontribusi positif demi terwujudnya keamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat.

93

77

128

92

-

20

40

60

80

100

120

140

Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013

41

Tabel 3.6 Data rekapitulasi pembentukan

FKDM Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia

Provinsi FKDM Provinsi FKDM Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

NAD 23 - SUMUT 23 10 SUMBAR 18 1 RIAU 12 - JAMBI 11 - SUMSEL 15 1 BENGKULU 9 1 LAMPUNG 15 - BABEL 6 1 KEPRI 7 - DKI JAKARTA 6 - JABAR 14 13 JATENG 35 - DIY 5 - JATIM 34 - BANTEN 8 - BALI 5 4 NTB 10 - NTT 21 1 KALBAR 10 4 KALTENG 14 - KALSEL 13 3 KALTIM 14 1 SULUT 15 - SULTENG 12 1 SULSEL 24 4 SULTRA 12 1 GORONTALO 6 - SULBAR 3 3 MALUKU 11 - MALUT 6 4

42

Provinsi FKDM Provinsi FKDM Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

PAPUA 9 20 PAPUA BARAT 5 8 KALTARA - X - 5

TOTAL 33 1 425 89 Sumber data: Direktorat Kewaspadaan Nasional, Desember 2013

Berdasarkan data diatas, sampai dengan akhir tahun 2013 FKDM yang terbentuk yaitu 33 Provinsi dari 34 Provinsi (97,05%) dan 425 Kab/Kota dari total 511 Kab/Kota (83,17%) dengan total keseluruhan sebesar 90,11% dari jumlah Provinsi/Kab/Kota yang ada. Dari total 90,11% yang terbentuk di Provinsi/Kab/Kota mencapai 64,19% efektif dalam melakukan deteksi dini, cegah dini dan lapor cepat terhadap potensi kerawanan konflik yang terjadi di daerah. Data tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2012 yaitu terbentuk hanya di 33 Provinsi dan 261 Kab/Kota atau sebesar 76,25% sehingga mengalami kenaikan sebesar 13,85%. Hal tersebut sebagai akibat pada tahun 2013 terdapat alokasi anggaran untuk dana dekonsentrasi melalui kegiatan pembentukan dan pemberdayaan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) sebesar Rp. 42.700.000.000,-. Alokasi anggaran dimaksud ditujukan untuk memfasilitasi pembentukan, pemberdayaan dan peningkatan peran serta fungsi Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) sebagai wadah bagi elemen masyarakat yang dibentuk guna menjaga dan memelihara kewaspadaan dini masyarakat dalam rangka mewujudkan ketentraman, ketertiban umum dan stabilitas keamanan dalam negeri. Adapaun sasaran yang dicapai dari pelaksanaan dekonsentrasi tersebut yaitu terbentuknya Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) baik di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia; meningkatnya peran dan fungsi Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM); meningkatnya koordinasi antara FKDM dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya dalam menjalankan tugas dan fungsinya; dan terpetakannya jenis dan sumber konflik di Kabupaten/Kota di se-Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui laporan pelaksanaan dana dekonsentrasi, terdapat 64,71% provinsi telah melakukan pembentukan bukan hanya di tingkat Kabupaten/Kota tetapi juga sampai pada tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan. Adapun provinsi dimaksud yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi,

43

Sumatera Selatan, Lampung, Kepri, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Banten, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku, dan Papua dengan tingkat prosentase yang berbeda satu dengan lainnya.

Data tersebut diperoleh dengan berbagai sumber yaitu melalui laporan pelaksanaan kegiatan baik secara langsung dalam bentuk hardcopy maupun melalui media elektronik seperti surat elektronik (email), pendataan pada saat dilaksanakannya Rapat Koordionasi Nasional terkait Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang dilaksanakan setiap tahunnya, dan juga berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan ke beberapa daerah serta melalui data kuesioner/wawancara kepada seluruh Kepala Badan Provinsi/Kabupaten/Kota.

Adapun kendala dari pembentukan maupun penguatan FKDM di daerah antara lain: a. Kurangnya dukungan dan respon dari anggota DPRD dalam hal penganggaran

terhadap forum dialog yang ada didaerah, dimana DAU APBD setiap tahunnya diprioritaskan untuk infrastruktur daerah, pendidikan dan kesehatan;

b. Terkait minimnya dukungan dana, disebabkan masih adanya anggapan bahwa forum dialog tersebut tidak terlalu penting sehingga dalam penganggaran belum diprioritaskan;

c. Di beberapa daerah, penganggaran program kerja Badan Kesbang ditentukan langsung oleh Kepala Daerahnya masing-masing bukan atas usulan/direncanakan oleh Satuan Kerja Kesbangpol terkait;

d. Belum adanya dukungan sarana dan prasarana untuk mobilitas; e. Adanya konflik pemilukada sehingga mempengaruhi proses penganggaran forum

dialog yang ada di daerah; f. Belum optimalnya pelaksanaan koordinasi dan konsultasi terkait FKDM kepada

Pemerintah Daerah.

Upaya tindak lanjut dari permasalahan yang terjadi terkait pembentukan dan penguatan FKDM di daerah antara lain: a. Perlu adanya Surat Edaran Mendagri yang bersifat instruktif terkait penganggaran

alokasi dana untuk pembentukan dan penguatan fasilitasi forum tersebut atau penganggaran terpusat melalui dana dekonsentrasi;

b. Penguatan komitmen, pemahaman dan sosialisasi terkait urgensi forum kepada anggota DPRD dan pemangku kepentingan lainnya sehingga ada dukungan alokasi dana dalam pembentukan dan penguatan forum;

44

c. Perlu pendekatan yang dilakukan oleh SKPD Kesbangpol kepada tokoh masyarakat setempat dalam pembentukan forum sehingga diharapkan dapat dibentuk sampai pada tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan;

d. Perlunya upaya peningkatan efektivitas FKDM melalui mekanisme pemberian reward dan punishment serta monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan.

2. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Dalam rangka memelihara ketertiban, kerukunan dan keharmonisan kehidupan antar umat beragama sebagaimana yang telah dijelaskan pada UUD RI Tahun 1945 Pasal 29 Ayat (2) b Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

Perlu dipahami bersama bahwa UUD RI Tahun 1945 selain menghormati hak-hak asasi manusia, pada saat yang sama juga mengatur tentang

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah telah membuat pengaturan tentang kehidupan keagamaan dalam rangka menjaga ketertiban, keharmonisan dan keserasian aktivitas kehidupan keagamaan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, antara lain melalui Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.

FKUB telah menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama dan mewujudkan suasana yang kondusif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keberadaan Dewan Penasihat FKUB, perlu terus didorong untuk melaksanakan pemberdayaan terhadap FKUB melalui peningkatan intensitas interaksi unsur-unsur Dewan Penasihat FKUB dengan

45

FKUB. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara Wakil Gubernur sebagai Ketua Dewan Penasihat FKUB Provinsi, FKUB dengan pemerintah daerah dalam rangka mengantisipasi berbagai kondisi yang berpotensi memicu konflik sosial bernuansa agama.

Tabel 3.7 Daftar rekapitulasi pembentukan

FKUB Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia

Provinsi FKUB Provinsi FKUB Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

ACEH 19 4 SUMUT 30 3

SUMBAR 14 5 RIAU 12 - JAMBI 11 - SUMSEL 15 1 BENGKULU 7 3 LAMPUNG 11 4 BABEL 4 3 KEPRI 6 1 DKI JAKARTA 6 - JABAR 26 1 JATENG 35 - DIY 4 1 JATIM 38 - BANTEN 8 - BALI 9 - NTB 10 - NTT 21 1 KALBAR 14 - KALTENG 14 - KALSEL 13 - KALTIM 10 - SULUT 13 2 SULTENG 12 - SULSEL 23 1 SULTRA 10 3

46

Provinsi FKUB Provinsi FKUB Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

GORONTALO 5 1 SULBAR 0 6 MALUKU 8 5 MALUT 2 8 PAPUA 3 26 PAPUA BARAT 6 7 KALTARA - X 5 - TOTAL 33 1 424 84 Sumber data: Direktorat Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan, Desember 2013

Berdasarkan pada data diatas, sampai dengan tahun 2013 telah terbentuk FKUB yaitu 33 Provinsi dari 34 Provinsi (97,05%), 424 Kab/Kota dari total 511 Kab/Kota (82,97%). Dari jumlah FKUB yang terbentuk terdapat 33 Provinsi dan 416 Kab/Kota (98,25%) yang efektif dalam membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya memelihara kerukunan antar umat beragama serta aktif dalam memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah terkait upaya penyelesaian kerukunan di daerah.

Dari data pembentukan FKUB di 33 provinsi terdapat 23 Provinsi atau 69,69% yang sudah menindaklanjuti dalam bentuk Peraturan Gubernur dan rutin menyampaikan laporan kegiatannya baik secara langsung maupun melalui Pusat Komunikasi dan Informasi (Puskomin). Adapun provinsi yang aktif melakukan komunikasi, koordinasi dan membangun jaringan kerja baik dengan forum komunikasi lainnya maupun berbagai pemangku kepentingan di daerah yang ada (seperti lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, pemuka budaya, LSM kerukunan dan kalangan penguasaha) serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait dengan permasalahan pemeliharaan kerukunan maupun konflik yang bersifat keagamaan di daerah yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Babel, Kepri, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Banten, Bali, NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulteng, Sulsel, dan Pabar. Efektifitas peran FKUB di daerah dapat dilihat dari bagaimana FKUB berperan aktif sebagai koordinator gerakaan pemeliharaan kerukunan di daerah; FKUB juga sebagai mitra Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan baik yang bersifat preventif maupun represif; dan FKUB juga aktif menangani pengaduan masyarakat terkait kasus konflik yang bersifat keagamanaan.

47

Salah satu contoh terkait pelaksanaan FKUB yang ada di Aceh, dimana Pemerintah Aceh telah menindaklanjuti kebijakan pemerintah terkait dengan pemeliharaan kerukunan antar umat beragama melalui penetapan beberapa dokumen Pemerintah Aceh seperti Qanun Aceh, Peraturan tentang Dokumen Perencanaan yaitu RPJMD, Renstrada dan Rencana Kerja Daerah dengan telah menetapkan 7 (tujuh) prioritas dan sasaran Pemerintah Aceh salah satunya adalah pembangunan agama, sosial dan budaya serta secara spesifik menindaklanjuti PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat melalui penetapan Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.

Selain data diatas, terdapat capaian di beberapa provinsi yang sudah melakukan pembentukan sampai dengan tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan yaitu DKI Jakarta Selatan, Banten (Serang), Sumatera Selatan (Muara Banyuasin), Jawa Tengah (Salatiga, Tegal, Pemalang), DIY (Sleman), Kepulauan Riau (Lingga), Sulawesi Selatan (Luwu Utara, Bitung), Lampung (Lampung Utara), Kalimatan Timur (Bontang), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku (Buru), NAD (Bener Meriah), Nusa Tenggara Timur (Manggarai) dengan tingkatan prosentase yang berbeda daerah satu dengan lainnya.

Bagi beberapa Kabupaten/Kota yang belum melakukan pembentukan dikarenakan hal-hal sebagai berikut : a. Di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat (Melawi), Kesbangpol hanya

merupakan salah satu bidang pada SKPD BPMD sejak tahun 2010 sehingga cakupan ruang lingkup dan alokasi dukungan dana sangat terbatas;

b. Masih kurangnya perhatian dari Kepala Daerah maupun DPRD dan pemangku kepentingan lainnya terkait FKUB, termasuk instansi yang secara teknis melakukan pembinaan terhadap FKUB di daerah, sehingga urgensi dan dukungan dana untuk pelaksanaan kegiatan sangat minim;

c. Belum optimalnya pemahaman anggota forum dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya di daerah;

Tindak lanjut terhadap kendala dan permasalahan yang dihadapi antara lain : a. Pemahaman dan sosialisasi kembali terkait Permendagri Nomor 41 Tahun 2010

kepada daerah sehingga ada kesamaan nomenklatur dalam mensinergiskan kegiatan pusat dan daerah;

b. Perlu dukungan dana baik melalui APBD maupun APBN (dana dekonsentrasi) agar ke depan FKUB menjadi lebih mandiri, profesional dan bertanggungjawab;

48

c. Perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan berkala terkait pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pembina teknis FKUB di daerah.

d. Peningkatan kapasitas anggota FKUB melalui berbagai pelatihan dan bimbingan teknis yang bekerjasama dengan instansi lainnya.

3. Forum Pembauran Kebangsaan (FPK)

Bangsa Indonesia terbangun melalui proses bersatunya keanekaragaman suku bangsa, agama, adat istiadat dan budaya yang ada di nusantara dari sabang sampai merauke, dan kemajemukan suku bangsa itu merupakan sesuatu yang patut disyukuri sehingga kedepan diharapkan kemajemukan tersebut tidak berpotensi menimbulkan masalah. Oleh karenanya upaya pengelolaan masyarakat yang majemuk secara baik

perlu dikembangkan secara sistematik dan berkelanjutan untuk menumbuhkan harmonisasi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dilatarbelakangi oleh kondisi tersebut dan dalam rangka meningkatkan rasa cinta tanah air di daerah serta sebagai

upaya mengembangkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan, maka keberadaan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) menjadi alternatif bagi masyarakat dalam membangun sikap untuk menghormati dan menghargai kemajemukan masyarakat. Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) sebagai mitra sekaligus ujung tombak pemerintah yang memiliki peran penting dan bermakna strategis dalam mengupayakan kerjasama antar warga masyarakat yang diarahkan untuk memantapkan kerukunan nasional.

Sebagai dasar pembentukan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) adalah Permendagri Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pembauran Kebangsaan di Daerah dan Surat Kementerian Dalam Negeri Nomor 061/149.D.I Tanggal 13 Februari 2008 perihal Pembentukan FPK dan Dewan Kehormatan FPK yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia.

49

Tabel 3.8 Data Rekapitulasi Pembentukan

FPK Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia

Provinsi FPK Provinsi FPK Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

NAD 17 5 SUMUT 2 31 SUMBAR - 1 19 RIAU 4 8 JAMBI 8 3 SUMSEL 15 - BENGKULU 1 9 LAMPUNG 3 12 BABEL 1 6 KEPRI 3 4 DKI JAKARTA - - 6 JABAR 6 20 JATENG 3 32 DIY - 1 4 JATIM 18 20 BANTEN 2 6 BALI 2 7 NTB 2 8 NTT 14 7 KALBAR 3 12 KALTENG 2 12 KALSEL - 13 KALTIM - 2 7 SULUT - 15 SULTENG 8 3 SULSEL 7 17 SULTRA 6 6 GORONTALO 1 5 SULBAR - - 5 MALUKU - - 11 MALUT 1 8

50

Provinsi FPK Provinsi FPK Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

PAPUA - - 29 PAPUA BARAT - - 11 KALTARA - 1 4

TOTAL 25 9 133 357 Sumberdata: Direktorat Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan, Desember 2013

Berdasarkan data diatas, sampai dengan Tahun 2013 FPK telah terbentuk yaitu 26 Provinsi dari 34 Provinsi (76,47%) dan 133 Kab/Kota dari 512 Kab/Kota (26,02%) dengan total keseluruhan yang terbentuk yaitu 26 Provinsi dan 133 Kab/Kota (51,24%). Dari jumlah Provinsi/Kab/Kota yang terbentuk terdapat 46,54% atau 33 Provinsi dan 48 Kab/Kota yang efektif dalam mengantisipasi terjadinya konflik terkait pembauran di daerah.

Sebagaimana dijelaskan dalam tabel diatas bahwa terkait Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) pembentukannya belum seluruh prov/kab/kota sehingga ke depan perlu kerja keras bersama semua pihak terkait sehingga seluruh Provinsi/Kab/Kota dapat tercapai. Namun demikian di beberapa Kabupaten/Kota sudah melakukan pembentukan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) sampai pada tingkat Kecamatan seperti Sigi (Sulawesi Tengah), Gayo Lues, Lhoksumawe (NAD), Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), Salatiga, Tegal (Jawa Tengah), Lingga (Kepulauan Riau), Luwu Utara (Sulawesi Selatan), Poso (Sulawesi Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Lampung Utara (Lampung) dengan tingkat prosentase yang berbeda daerah satu dengan daerah lainnya.

Namun demikian dalam pembentukannya di beberapa Provinsi/Kabupaten/Kota masih menemui kendala/permasalahan antara lain:

a. Rendahnya pemahaman pada unsur perencanaan daerah yaitu Kepala Daerah dan DPRD terkait pentingnya Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) sehingga alokasi dana pada APBD sangat minim, seperti pada Kabupaten Bitung Provinsi Sulawesi Selatan, untuk Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) masuk pada pos Kominda dan FKPD (Muspida) sehingga alokasi dana untuk FPK belum teranggarkan;

b. Kurangnya perhatian dari Kepala Daerah terkait kegiatan yang ada di Kesbangpol sehingga forum dialog seperti FPK kurang mendapat dukungan dalam penyelenggaraannya.

c. Masih minimnya kapasitas dan pengetahuan anggota forum dalam menjalankan tugas fungsinya.

51

Tindaklanjut yang perlu dilakukan dalam menangani kendala/permasalahan diatas antara lain:

a. Sosialisasi dan pemahaman kembali kepada Kepala Daerah dan SKPD terkait tentang pentingnya Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) sehingga pada masa yang akan datang, forum tersebut akan terfasilitasi secara kegiatan maupun anggaran sesuai dengan tugas fungsinya;

b. Pelaksanaan bimbingan teknis maupun pelatihan dan pendidikan kepada anggora FPK dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan dan juga dalam rangka penguatan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK);

c. Perlunya regulasi yang tegas terkait mekanisme reward dan punishment bagi daerah yang tidak melakukan pembentukan dan penguatan forum;

d. Perlu adanya dukungan dana APBN melalui dekonsentrasi.

4. KOMINDA (Komunitas Intelijen Daerah)

Dalam pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan Negara Republik Indonesia Bunyi

pembukaan tersebut, menyiratkan bahwa Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk melindungi setiap warga negaranya. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa wajib berpedoman pada 4 pilar utama kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Mencermati situasi dan kondisi nasional yang terus berkembang saat ini, salah satu upaya pemerintah untuk dapat

menjawab berbagai permasalahan yang berpotensi mengganggu kondisi keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat

telah di terbitkan Permendagri Nomor 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 16 Tahun 2011 tentang Perubahan Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah.

52

Tabel 3.9 Data Rekapitulasi Pembentukan

Kominda Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia

Provinsi Kominda Provinsi Kominda Kab/Kota

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

Sudah terbentuk

Belum terbentuk

NAD 23 - SUMUT 33 - SUMBAR 19 - RIAU 12 - JAMBI 11 - SUMSEL 15 - BENGKULU 10 - LAMPUNG 14 - BABEL 7 - KEPRI 7 - DKI JAKARTA 6 - JABAR 26 - JATENG 35 - DIY 5 - JATIM 38 - BANTEN 8 - BALI 9 - NTB 10 - NTT 21 - KALBAR 14 - KALTENG 14 - KALSEL 13 - KALTIM 14 - SULUT 15 - SULTENG 11 - SULSEL 23 - SULTRA 12 - GORONTALO 6 - SULBAR 5 - MALUKU 14 - MALUT 11 -

53

Sumberdata: Direktorat Kewaspadaan Nasional, Desember 2013

Berdasarkan data diatas, sampai dengan Tahun 2013 Kominda telah terbentuk di seluruh 33 Provinsi dan 509 Kab/Kota atau 99,45%. Dari total Kominda yang telah terbentuk hampir secara keseluruhan aktif dalam menjalankan peranannya di daerah dalam rangka mengantisipasi konflik di daerah. Hal tersebut, terlihat pada saat pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional yang dilaksanakan setiap tahunnya dihadiri oleh seluruh Ketua Kominda Prov/Kab/Kota, Kabinda, Kaban Kesbangpol Prov/Kab/Kota, Asintel Kodam/Korem, Asintel Kejati, Dir Intelkam Polda serta laporan rutin yang disampaikan baik melalui surat elektronik (email) maupun laporan yang disampaikan setiap harinya melalui Pusat Komunikasi dan Informasi yang ada di Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik terkait dengan situasi dan kondisi Ipoleksosbud dan keamanan daerah di seluruh Indonesia.

komunikasi dan dialog yang kontruktif antar anggota masyarakat dalam penyelesaian

sebesar 95,64%).

SASARAN 4

Meningkatnya kesadaran warga negara dalam partisipasi politik

CAPAIAN KINERJA SASARAN Tabel 3.10

Pengukuran Kinerja Sasaran 4 Meningkatnya kesadaran warga negara Target dalam partisipasi politik

Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar Negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI)

75%

97,17% 129,56

PAPUA 29 - PAPUA BARAT 11 - KALTARA - - 4

TOTAL 33 1 509 4

54

Indikator 4: Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait

Dinamika lingkungan strategis yang berkembang telah membawa implikasi berbagai penafsiran terhadap 4 (empat) pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka

Tunggal Ika dan NKRI) kondisi ini dikhawatirkan bangsa Indonesia akan menghadapi krisis ideologi.

Seiring dengan itu menguatnya pengaruh budaya asing (westernisasi) yang terjadi didalam perilaku dan gaya hidup masyarakat Indonesia yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai luhur

Pancasila, serta munculnya faham-faham radikal, menguatnya cauvimisme 5 kesukuan sehingga

membuat terjadinya disharmonis sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya kegiatan revitalisasi Pancasila dalam rangka penguatan karakter bangsa merupakan suatu program yang mendesak untuk diselenggarakan guna peningkatan partisipasi politik masyarakat melalui pelaksanaan pendidikan politik. Upaya-upaya dimaksud diselenggarakan dalam bentuk kegiatan sarasehan, seminar dan forum-forum diskusi yang diselenggarakan melalui kerjasama dengan berbagai unsur instansi pemerintah, elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Hal tersebut dalam rangka menyelaraskan persepsi dan interpretasi yang berbeda dalam memahami Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan falsafah negara, utamanya mengenai penguatan karakter bangsa.

Di era informasi dan dalam masyarakat madani, masyarakatlah yang harus berperan, ini adalah realitas politik dan juga bagian dari proses demokratisasi sebagaimana amanat konstitusi kita mengenai kebebasan berserikat pada pasal 28 UUD 1945 dan adanya kebebasan mengemukakan pendapat lisan dan tulisan. Oleh karenanya pendidikan politik menjadi bentuk nyata dan berkelanjutan yang harus kita laksanakan bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pembangunan politik dalam negeri yakni terciptanya pembangunan politik yang berkarakter dengan menjunjung tinggi etika dan budaya politik demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan politik dalam negeri dimaksudkan untuk mendukung penguatan demokrasi Pancasila khususnya dan menciptakan stabilitas politik secara nasional.

Pencapaian cita-cita nasional harus didukung oleh kemampuan manusia manusia Indonesia yang mampu menunjukkan profesionalisme, juga kualitas kisi-kisi kebangsaan yang terwujud dalam pola sikap dan perilaku cinta tanah air dan yakin akan perjuangan

5merendahkanbangsalain

55

menuju cita-cita nasional. Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi semata dalam mewujudkan cita-cita nasional tidaklah cukup, masih diperlukan landasan nilai-nilai kebangsaan guna tetap terjaganya upaya perekatan dan integritas nasional untuk kelangsungan dan kejayaan bangsa dan negara. Sikap perilaku cinta tanah air merupakan landasan dasar yang dapat menjadi pengarah (driving force) sekaligus penjamin bahwa upaya pembangunan nasional tetap berada dalam rel yang benar (on the right track), yakni rel kebangsaan Indonesia.

Pembentukan pola sikap dan perilaku bela negara merupakan bagian dari sistem building, sebagai sub sistem pengawal struktur kemasyarakatan dan kenegaraan yang mewarnai tidak saja akselerasi, tetapi juga arah perjuangan mencapai cita-cita nasional. Oleh sebab

-manusia Indonesia dengan penanaman nilai-nilai bela negara menjadi fondasi yang kokoh bagi upaya pembangunan nasional mewujudkan keindonesiaan yang dicita-citakan.

Sehubungan dengan hal tersebut dalam rangka mempertahankan kelangsungan dan tetap tegaknya NKRI, salah satu strategi dan kebijakan yang ditempuh diperlukan program yang melibatkan peran strategis masyarakat melalui program Peningkatan Wawasan Kebangsaan dan Cinta Tanah Air, Kesadaran Bela Negara dalam rangka penguatan persatuan dan kesatuan bekerjasama dengan OMS sehingga partisipasi masyarakat terkait sosialisasi peningkatan kesadaran bela negara dapat dilaksanakan secara optimal. Hal tersebut sebagai wujud peningkatan kesadaran bela negara dalam rangka membangun karakter dan jati diri bangsa dengan tujuan mendorong terjadinya pemahaman dan motivasi untuk meningkatkan pemahaman bela negara melalui forum-forum diskusi maupun dialog.

Dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan pelaksanaan pendidikan politik, pada tahun 2013 Kementerian Dalam Negeri melalui Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik telah bekerjasama dengan 846 Organisasi Kemasyarakatan dalam rangka peningkatan kapasitas OMS dan masyarakat bidang pembinaan kesatuan bangsa dan politik se-Indonesia.

Adapun uraian capaian indikator kinerja outcome tersebut diatas adalah sebagai berikut dalam beberapa kegiatan yaitu:

a. Meningkatnya kapasitas, pemahaman dan peran masyarakat utamanya pemuda, perempuan dan aparat pemerintah dalam bidang bina ideologi dan wawasan kebangsaan melalui 25 forum dialog dan sosialisasi pengembangan nilai kebangsaan;

b. Meningkatan partisipasi politik pemilih pemula yang diselenggarakan guna mencari metode pendidikan politik yang tepat untuk peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu

56

2014. Kegiatan dimaksud bekerjasama dengan Center for Election and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia yang dilaksanakan di 3 (tiga) regional;

c. Meningkatnya pemahaman masyarakat terkait kegiatan 4 pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, melalui kegiatan sosialisasi wawasan kebangsaan dan cinta tanah air dengan terlaksananya 99 kerja sama program/kegiatan Kementerian dengan OMS di daerah;

d. Meningkatnya pemahaman masyarakat dalam partisipasi politik dan sosialisasi 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI) melalui kegiatan penanganan konflik di daerah berupa pelaksanaan 97 kerja sama Kementerian dan OMS;

e. Meningkatnya pemahaman masyarakat dalam penyelenggaraan urusan pemerintah Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri melalui pelaksanaan sosialisasi dan seminar terkait 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI) dengan pelaksanaan 328 kerja sama program/kegiatan Kementerian dengan OMS tersebar di 33 Provinsi/Kabupaten/Kota;

f. Meningkatnya pemahaman masyarakat khususnya bagi kaum perempuan dan masyarakat di wilayah miskin, terisolasi, perbatasan dan marjinal melalui pelaksanaan pendidikan politik berupa kegiatan sosialisasi 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) melalui pelaksanaan 225 kerja sama program/kegiatan Kementerian dengan OMS;

g. Meningkatnya pemahaman masyarakat terkait pembinaan dan pengembangan ketahanan ekonomi dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemilu 2014 melalui pelaksanaan 100 kerja sama program/kegiatan Kementerian dengan OMS.

Dalam rangka meningkatkan kinerja kegiatan ini, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik sebagai mitra dari organisasi kemasyarakatan mempunyai

program/kegiatan yang bersentuhan langsung kepada masyarakat yakni program kerja sama di bidang politik dalam negeri yang ditujukan kepada masyarakat melalui OMS akan terus melakukan sosialisasi pelaksanaan kerja sama program/kegiatan Kementerian pada seluruh Provinsi/Kabupaten/Kota dalam upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan politik dan wawasan kebangsaan. Kegiatan ini dipandang sangat efektif untuk

melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah

57

khususnya di bidang Pendidikan Politik dan Wawasan Kebangsaan serta Cinta Tanah Air khususnya untuk daerah-daerah perbatasan dengan negara lain.

Selain itu indikator lainnya adalah terlaksananya sosialisasi 4 konsensus kehidupan berbangsa. Kualitas sumberdaya manusia terutama dengan organisasi-organisasinya yang berwawasan kebangsaan sangat menentukan bangsa kedepan, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah taktis dan strategis dalam menyiapkan sasaran tersebut. Salah satunya adalah merekonstruksi kembali rasa, faham dan semangat kebangsaan, kita yang berpegang pada 4 (empat) konsensus kehidupan berbangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sebagaimana telah diletakkan oleh Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Fathers). Alasan kegiatan dilakukan Sosialisasi 4 konsensus kehidupan berbangsa tersebut disebabkan masalah persatuan dan kesatuan bangsa bersifat kompleks dan dinamis, sejalan dengan kompleksitas dan dinamika masyarakat kita yang bersifat majemuk.

Negara dalam partisip n tercapai 97,17% dari target 75%.

ANALISIS REALISASI KINERJA SASARAN 1 Tabel 3.11

Perbandingan Realisasi Kinerja Sasaran 1 Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres)

Indikator Kinerja Target

Realisasi 2013 2012 2011 2010

Jumlah revisi paket Undang-Undang Bidang Politik khususnya Revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

2 (dua) DIM RUU

1 (satu) Dokumen

2 (dua) Dokumen

Draft RUU

Indeks Organisasi kemasyarakatan (skala 1 sampai 4)

3 3,1 - -

-

ANALISIS CAPAIAN KINERJA SASARAN 1

Tabel 3.12 Perbandingan Capaian Kinerja Sasaran 1

Meningkatnya kualitas penyelenggaraan proses demokrasi (Pemilu/Pilpres)

Indikator Kinerja Target

Capaian 2013 2012 2011 2010

Jumlah revisi paket Undang- 2 (dua) 50% 46,6% 40% 20%

B. ANALISISREALISASIDANCAPAIANKINERJATAHUN2013

58

Undang Bidang Politik khususnya Revisi terbatas Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu Indeks Organisasi kemasyarakatan (skala 1 sampai 4)

3 85,61% - - -

Jumlah revisi paket Undang-Undang Bidang Politik

penyelesaian 5 (lima) paket revisi Undang-Undang Bidang Politik dimulai sejak tahun 2010, namun demikian dalam perkembangannya terdapat prioritas pembahasan di Badan Legislatif DPR RI sehingga target yang telah ditetapkan belum tercapai. Adapun capaian progress dari masing-masing revisi perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Pada tahun 2010, dari pembahasan 5 (lima) paket revisi Undang-Undang Bidang Politik masih dalam bentuk draft RUU dikarenakan DPR RI belum menyerahkan draft tersebut kepada pemerintah, namun demikian pemerintah telah menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) inisiatif dengan pembahasan internal pemerintah terkait dengan revisi RUU dimaksud. Sehingga sampai dengan akhir tahun 2010 capaian tersebut dapat dikatakan masih rendah yaitu 20% dari target yang telah ditetapkan dalam Renstra.

b. Pada Tahun 2011, terdapat 2 (dua) Undang-Undang yang telah diselesaikan dari 5 (lima) paket revisi terbatas yang ditargetkan. 2 (dua) Undang-Undang tersebut yaitu penyelesaian penyempurnaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Januari 2011 dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 8 tahun 2011. Sedangkan terkait dengan penyusunan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah diundangkan pada tanggal 15 September 2011. Sehubungan dengan hal tersebut, dari sisi capaian target Renstra terkait dengan penyelesaian paket Undang-Undang Bidang Politik dapat dikatakan tercapai 40% dari target 5 (lima) Undang-Undang.

c. Pada Tahun 2012, terkait dengan sisa 3 (tiga) Undang-Undang Bidang Politik yang belum diselesaikan dan ditargetkan pada tahun 2012 telah selesai 100%, namun demikian sampai dengan akhir tahun 2012 baru tersusun 1 (satu) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Adapun untuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden masih dalam proses penyelesaian dikarenakan sampai dengan laporan ini disampaikan DPR RI belum menyampaikan draft RUU kepada pemerintah. Sebagai antisipasi, pemerintah melakukan

59

pembahasan internal dengan mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan mengacu dari wacana pembahasan yang berkembang di Badan Legislasi DPR-RI terhadap revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan kondisi tersebut capaian target penyusunan Undang-Undang Bidang Politik adalah 46.6%. Hal ini disebabkan penyusunan revisi UU tersebut merupakan inisiatif DPR RI serta adanya pembahasan Undang-Undang Bidang Politik lainnya yang lebih diprioritaskan dalam penyusunannya. Kondisi dimaksud mengacu pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Nomor 41A/DPR-RI/2009-2010 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional tahun 2010-2014.

d. Pada Tahun 2013, terdapat 2 (dua) Undang-Undang Bidang Politik yang masih dalam tahap pembahasan. Namun demikian terkait draft RUU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPRD belum disampaikan kepada pemerintah sehingga sampai dengan akhir 2013 pemerintah hanya menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dengan mengacu pada wacana yang berkembang di Badan Legislatif DPR RI. Untuk Rancangan Revisi UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan laporan dari Badan Legislatif DPR RI dihentikan pembahasannya dan ditarik dari Program Legislasi Nasional sehingga dari sisi capaian target dapat dikatakan tercapai 50% terkait dengan progress pembahasan DIM internal pemerintah.

Selanjutnya terkai Organisasi kemasyarakatantarget tahun sebelumnya sesuai dengan Renstra tidak ditargetkan. Sehingga pengukuran hanya dilakukan pada tahun 2013. Hal tersebut dihitung secara akumulatif berdasarkan Indeks Organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan sampel di 8 (delapan) provinsi yaitu: NAD, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali dan Maluku. Adapun nilai indeks tersebut yaitu sebesar 3,1 dari skala 1 sampai 5. Angka ini memberikan gambaran bahwa kinerja Organisasi kemasyarakatan di Indonesia berada pada kategori cukup baikdari skala 1 sampai 4.

Analisis Realisasi Kinerja Sasaran 2 Tabel 3.13

Perbandingan Realisasi Kinerja Sasaran 2 Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa

Indikator Kinerja Target Realisasi

2013 2012 2011 2010 Persentase kebijakan/peraturan

80% 72,73% 72% 75% -

60

perundangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

Analisis Capaian Kinerja Sasaran 2 Tabel 3.14

Perbandingan Capaian Kinerja Sasaran 2 Meningkatnya komitmen pemangku kepentingan dalam menjaga

persatuan dan kesatuan bangsa

Indikator Kinerja Target Capaian

2013 2012 2011 2010 Persentase kebijakan/peraturan perundangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan

80% 90,91% 92% 83,3% -

Berdasarkan pada indikator tersebut diatas, pada tahun 2011 terkait 3 (tiga) peraturan bidang kesatuan bangsa dan politik yang dihasilkan pada tahun 2010 telah implementasikan dengan baik kepada Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan lainnya. 3 (tiga) peraturan dimaksud yaitu Permendagri No. 36 Tahun 2010 tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik telah terimplementasi lebih dari 25

Pedoman Pemantauan Orang Asing dan Organisasi Masyarakat Asing di Daerah dan Permendagri No. 50 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemantauan Tenaga Kerja Asing telah dilaksanakan antara 15-yang diterbitkan Tahun 2011 terdapat 5 (lima) peraturan yang dilaksanakan oleh lebih dari

(empat) peraturan lainnya dilaksanakan oleh 15-tercapai 83,3%.

Pada tahun 2012, terkait dengan 5 (lima) peraturan bidang kesbangpol yang dihasilkan terdapat 2 (dua) peraturan yang telah dilaksanakan oleh 25 daerah dengan

-25 daerah dengan -15 daerah

ian dari target yang telah ditetapkan dapat dikatakan 92% tercapai dengan baik. Sedangkan pada tahun 2013 dapat dikatakan tercapai 90,91% dari target yang telah ditetapkan mengingat hampir keseluruhan daerah telah

61

mengimplementasikan peraturan yang diterbitkan kecuali peraturan yang baru diterbitkan pada tahun 2013.

Analisis Realisasi Kinerja Sasaran 3 Tabel 3.15

Perbandingan Realisasi Kinerja Sasaran 3 Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat

dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan

Indikator Kinerja Target Realisasi

2013 2012 2011 2010 Persentase forum dialog publik yang efektif

80% 76,51% 72,5% 65% -

Analisis Realisasi Kinerja Sasaran 3 Tabel 3.16

Perbandingan Capaian Kinerja Sasaran 3 Meningkatnya komunikasi dan dialog yang konstruktif antar anggota masyarakat

dalam penyelesaian persoalan kemasyarakatan

Indikator Kinerja Target Capaian

2013 2012 2011 2010 Persentase forum dialog publik yang efektif

80% 95,64% 93,5% 92,8% -

Capaian kinerja belum mencapai 100% dikarenakan masih ada beberapa Kabupaten/Kota yang

belum melakukan pembentukan sebagai akibat belum memadainya dukungan fasilitasi kegiatan dan anggaran untuk pembentukan forum dimaksud. Terdapat juga beberapa daerah yang sudah melakukan pembentukan tetapi masih menunggu SK Kepala Daerah. Sehingga masih terdapat daerah yang sudah melakukan pembentukan tetapi belum aktif dalam menjalankan tugasnya. Bagi daerah yang belum terbentuk forum dimaksud, Ditjen Kesbangpol telah mengeluarkan surat himbauan dan radiogram yang ditunjukan kepada Gubenur/Bupati/Walikota seluruh Indonesia.

Analisis Realisasi Kinerja Sasaran 4 Tabel 3.17

Perbandingan Realisasi Kinerja Sasaran 4 Meningkatnya kesadaran warga negara dalam partisipasi politik

Indikator Kinerja Target Realisasi

2013 2012 2011 2010 Persentase peningkatan 80% 97,17 % 99,5% 70% 52%

62

masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar Negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI)

Analisis Capaian Kinerja Sasaran 4 Tabel 3.18

Perbandingan Capaian Kinerja Sasaran 4 Meningkatnya kesadaran warga negara dalam partisipasi politik

Indikator Kinerja Target Capaian

2013 2012 2011 2010 Persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 pilar Negara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI)

75% 126,56 % 137.2% 100% 80%

Terkait dengan indikator persentase peningkatan masyarakat dalam kegiatan terkait 4 konsensus kehidupan berbangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tungga Ika, dan NKRI), pada tahun 2013 mengalami penurunan capaian dari tahun 2012. Hal tersebut sebagai akibat menurunnya tingkat partisipasi masyarakat melalui pelaksanaan kegiatan terkait 4 konsensus kehidupan berbangsa yang telah dikerjasamakan dengan mitra pemerintah di daerah, yaitu melalui pelaksanaan kerjasama dengan OMS dalam rangka peningkatan pendidikan politik yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, Ditjen Kesbangpol akan berupaya secara simultan melakukan sosialisasi tentang pelaksanaan kerjasama program dengan OMS sebab sebagai mitra pemerintah sangatlah efektif untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya di bidang Pendidikan Politik dan Wawasan Kebangsaan serta Cinta Tanah Air khususnya untuk daerah-daerah perbatasan dengan Negara lain.

Selain peningkatan partisipasi masyarakat dalam berpolitik melalui pelaksanaan kerjasama secara simultan setiap tahunnya, juga melalui pelaksanaan 25 forum dialog dalam rangka pengembangan nilai-nilai kebangsaan kepada pemuda, perempuan dan aparatur pemerintah.

63

CCC... AAAKKKUUUNNNTTTAAABBBIIILLLIIITTTAAASSS KKKEEEUUUAAANNNGGGAAANNN TTTAAAHHHUUUNNN 222000111333

Demi terwujudnya outcome yang dimaksud, Tahun 2013 Ditjen Kesbangpol mempunyai alokasi pagu sebesar Rp. 233.117.548.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Tiga Miliar Seratus Tujuh Belas Juta Lima Ratus Empat Puluh Delapan Ribu Rupiah), terdapat Rp. 42.700.000.000,- dialokasikan pada kegiatan fasilitasi kewaspadaan nasional terkait pembentukan dan pemberdayaan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) melalui dana dekonsentrasi. Kemudian dalam rangka pelaksanaan pendidikan politik kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR RI setiap tahunnya diberikan bantuan keuangan sebesar Rp. 9.928.900.000,-. Disamping itu terdapat alokasi anggaran sebesar Rp 43.468.000.000,- diperuntukkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama program pembinaan bangsa dan politik dengan Organisasi Keasyarakatan guna peningkatan partisipasi politik perempuan, wawasan kebangsan dan cinta tanah air, penanganan konflik, serta peningkatan kapasitas dalam pembinaan dan pengembangan ketahanan ekonomi. Alokasi tersebut terdapat pemotongan anggaran sebesar Rp. 8.139.411.000,- dalam rangka memberikan tunjangan kinerja pelaksanaan RefOMSi Birokrasi, sehingga total sisa anggaran yang dikelola langsung dalam menunjang tugas fungsi pelaksanaan program pembinaan kesatuan bangsa dan politik mencapai Rp. 137.020.648.000,-.

Berdasarkan data perkembangan laporan realisasi keuangan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun Anggaran 2013, sampai dengan akhir tahun 2013 realisasi mencapai Rp. 215.103.398.729,- atau 92.27%. Dengan rincian realisasi pusat sebesar Rp. 178.523.300.675,- atau 93,75% dari pagu Rp. 190.417.548.000,- dan realisasi daerah melalui kegiatan Fasilitasi pembentukan dan pemberdayaan FKDM serta peningkatan kapasitas anggota FKDM di daerah mencapai Rp. 36.580.098.054,- atau 85,67% dari pagu Rp. 42.700.000.000,-. Adapun capaian kinerjanya sebesar 97,04%. Berikut rincian realisasi per kegiatan sebagaimana grafik dibawah ini :

BinaIdelogidanWawasanKebangsaan

FasilitasiKewaspadaanNasional

Pagu

Realisasi

33.727.851.000

32.136.561.750

Capaian95,28%

Pagu

Realisasi

66.487.556.000

58.457.997.829

Capaian87,92%

63FasilitasiKetahananSeni,Budaya,AgamadanKemasyarakatan

Pagu 35.678.025.000 Capaian92,53%

64

Data tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2012 yaitu Rp. 162.486.895.989,- (95,80%) dari pagu anggaran Rp.169.607.200.000,-. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

1. Belum optimalnya penyerapan anggaran dana dekonsentrasi melalui pelaksanaan kegiatan fasilitasi pembentukan dan pemberdayaan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) sebagai akibat adanya prioritas daerah melaksanakan APBD dibandingkan dengan APBN;

2. Belum optimalnya penyerapan anggaran kerjasama dengan OMS bidang kesatuan bangsa dan politik sebagai akibat adanya ketidaksiapan OMS baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun pertanggungjawaban kegiatan sesuai dengan Permendagri No. 20 Tahun 2013;

3. Adanya proses revisi baik kareana adanya perubahan kebijakan nasional maupun adanya prioritas lain yang bersifat nasional sehingga menghambat proses pencairan dana maupun perubahan strategi.

Namun demikian jika dilihat dari sisi capaian kinerja mengalami kenaikan dari tahun 2012 yaitu 91,7% menjadi 97,04%.

Realisasi 33.013.226.448

FasilitasiPolitikDalamNegeri

Pagu Realisasi

45.472.718.000 42.451.802.359

Capaian93,36%

Pembinaandan PengembanganKetahananEkonomi

Pagu

Realisasi 15.905.641.000 15.304.742.850

Capaian96,22%

DukunganManaJemendanDukunganTeknisLainnya

Pagu

Realisasi 35.845.757.000 33.739.067.493

Capaian94,12%

TOTALPAGU

Pagu

Realiasasi 233.117.548.000 215.103.398.729

Capaian92,27%

65

BAB IV PENUTUP

AAA... KKKEEESSSIIIMMMPPPUUULLLAAANNN

Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Tahun 2013 merupakan kelanjutan laporan kinerja tahun sebelumnya yang dibuat untuk menggambarkan capaian kinerja dan prestasi maupun permasalahan yang dihadapi Ditjen Kesbangpol. Laporan Akuntabilitas Kinerja ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pencapain sasaran dalam Rencana Strategis (Renstra) untuk mengetahui sejauhmana manfaat program/kegiatan di bidang Pembinaan Kesatuan Bangsa dan Politik bagi masyarakat. Selain itu, laporan akuntabilitas kinerja juga merupakan acuan bagi pimpinan untuk mengontrol pencapaian kinerja pada masing-masing unit kerja dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi sebagai wujud pertanggungjawaban yang obyektif. Secara garis besar pencapaian sasaran kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri dari keseluruhan program/kegiatan mencapai nilai 97,04%. Selain itu, menyangkut capaian sasaran ditemukan : 1. Capaian sasaran dinilai cukup berhasil, selain karena kinerja Direktorat Jenderal Kesatuan

Bangsa dan Politik, juga merupakan hasil dari faktor-faktor lain diluar Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik.

2. Pada beberapa capaian sasaran yang dinilai berhasil dapat dilihat dari capaian target yang direncanakan, apabila dilihat dari perbandingannya dengan populasi sudah menunjukkan prosentase yang baik. Hal ini mengindikasikan penetapan target dapat tercapai dengan baik.

3. Sebagian besar program menunjukkan capaian kinerja yang baik, terutama pada indikator kinerja outcome maupun indikator kinerja output. Hal ini menunjukkan bahwa program dan kegiatan yang telah ditentukan harus dilaksanakan.

BBB... SSSAAARRRAAANNN

Berdasarkan kinerja yang telah dicapai oleh Ditjen Kesbangpol pada tahun 2013, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Secara umum kinerja Ditjen Kesbangpol dapat dikatakan sudah tercapai, namun demikian perlu ditingkatkan lagi pada tahun 2014;

66

2. Mengupayakan sinergi kegiatan antar unit kerja agar dilaksanakan secara bersama untuk optimalisasi kegiatan (hasilnya komprehensif) yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh pemangku kepentingan kesbangpol dalam penyelesaian masalah yang ada sehingga tidak tumpang tindih serta efisiensi waktu dalam pelaksanaannya;

3. Dalam pengelolaan anggaran agar lebih ditingkatkan baik dari sisi realisasi keuangan maupun realisasi kinerja outcome maupun outputnya, sehingga dapat memaksimalkan capaian kinerja organisasi;

4. Melakukan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan pelaksanaan kegiatan pada setiap lingkup unit kerja eselon II, yang diikuti identifikasi setiap permasalahan yang menghambat pelaksanaan kegiatan serta memilih solusi penyelesaiannya;

5. Perlunya pengawalan khusus dari masing-masing pimpinan unit kerja sehingga target yang telah di tetapkan dalam Penetapan Kinerja (PK) dapat tercapai;

6. Menerapkan asas-asas tertib administrasi, transparan, hindari pemborosan (efisiensi), dan cegah potensi timbulnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam upaya meningkatkan capaian riil (nyata) seluruh program, kegiatan dan anggaran lingkup Ditjen Kesbangpol.