kasus ok word sectio saecarian

32
LAPORAN KASUS SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 PLASENTA LETAK RENDAH DENGAN ANESTESI REGIONAL SPINAL Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anastesi Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Disusun oleh : Ajeng Sytami Putri (012106074) Dya Kusumawati (012106136) Elsita Lisnawati (012106144) Hana Tiyas Mustikawati (012106171) Syarifa Tris Hidayanti (012106282) Niken Tia Ratna (012116470) Pembimbing : dr. Wignyo Santosa, Sp.An KIC

Upload: ell-shita-lisna

Post on 08-Dec-2015

241 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kjgsdkjgkdagdjskrgeowurgasjdgekjdskjfeskfjgsdgshdfdhfwhdfuyefwjhdgeskfgiufglfhrouyroihfklhgeiorjhklghioerytlrkdghdiogheiohioghegiooaja

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus OK Word sectio saecarian

LAPORAN KASUS

SECTIO CAESAREA (SC) G3P2A0 PLASENTA LETAK RENDAH DENGAN ANESTESI

REGIONAL SPINAL

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anastesi Di Rumah Sakit

Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :

Ajeng Sytami Putri (012106074)

Dya Kusumawati (012106136)

Elsita Lisnawati (012106144)

Hana Tiyas Mustikawati (012106171)

Syarifa Tris Hidayanti (012106282)

Niken Tia Ratna (012116470)

Pembimbing :

dr. Wignyo Santosa, Sp.An KIC

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015

Page 2: Kasus OK Word sectio saecarian

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ajeng Sytami Putri

Dya Kusumawati

Elsita Lisnawati

Hana Tiyas Mustikawati

Syarifa Tris Hidayanti

Niken Tia Ratna

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Anastesi Periode 14 september- 10 Oktober 2015

Judul : Sectio caesarea (SC) G3P2A0 plasenta letak rendah dengan anestesi regional

spinal

Semarang, Oktober 2015

Mengetahui dan Menyetujui

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anastesi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Pembimbing

dr. Wignyo Santosa, Sp.An KIC

Page 3: Kasus OK Word sectio saecarian

I. IDENTITAS

Nama : Ny. N

Umur : 36 th/7 bl/29 hr

Alamat : Karanganyar Rt.08/ Rw.12 Muktiharjo Pedurungan Semarang

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

No RM : 01.24.65.22

Tanggal masuk : 29 September 2015

II. ANAMNESIS

KeluhanUtama

Pasien G3P2A0 mengeluh keluar darah segar per vaginam

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien G3P2A0 usia 36 tahun hamil 40 minggu. Janin 1 hidup intrauterin letak kepala

, mengeluhkan kontraksi rahim (+), keluar cairan (jernih dan dan tidak berbau) dari jalan

lahir, terasa gerakan janin (+). Selama kehamilan, janin dinyatakan sehat dan tekanan

darah dalam batas normal. Saat kehamilan sudah menjalani pemeriksaan 12x di bidan dan

dokter spesialis. Pada saat ANC ke-12 di dokter spesialis kandungan dilakukan USG dan

diketahui bahwa plasenta berada di bawah hampir menutupi jalan lahir. 2 minggu SMRS

pasien mengeluh keluar darah merah segar dari jalan lahir sedikit-sedikit. yang terasa

mengalir dari jalan lahirnya. 1 hari SMRS pasien mengeluh mengeluarkan darah merah

segar dari jalan lahir kurang lebih sebanyak ¼ gelas belimbing. Setelah berkonsultasi

dengan Dokter Spesialis Kandungan maka pasien dianjurkan untuk melahirkan secara

Sectio Caesaria (SC).

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat penyakit jantung : disangkal

3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal

6. Riwayat kejang : disangkal

7. Riwayat penyakit maag : disangkal

8. Riwayat alergi obat : disangkal

9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal

Page 4: Kasus OK Word sectio saecarian

10. Riwayat abortus : disangkal

11. Riwayat miopi : diakui, ODS -5 sejak usia 15 tahun

Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat penyakit jantung : disangkal

3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal

6. Riwayat kejang : disangkal

Riwayat Pribadi

1. Riwayat merokok : disangkal

2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

3. Riwayat minum jamu : disangkal

III. PERSIAPAN PRE OPERASI

Anamnesis

A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit

M (Medication) : (-)

P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-), Miopi (+)

L (Last meal) : Puasa mulai pukul 09.00 WIB (> 6 jam sebelum operasi)

E (Environment) : G3P2A0 hamil 40 minggu, janin 1 hidup intrauterine presentasi

Kepala

Pemeriksaan Fisik Pre-operasi

Tanda Vital

TD : 145/73 mmH

Nadi : 66 x/menit

RR : 15 x/menit

SaO2 : 100 %

Suhu : 36,3oC

TB : 154 cm

BB : 65 Kg

Mulut, gigi, jalan nafas : Paten

Paru : Suara dasar vesikuler +/+, Suara Tambahan Rhonki

-/-, Wheezing -/-

Jantung : Bunyi Jantung I-II regular

Page 5: Kasus OK Word sectio saecarian

Abdomen : TFU : 32 cm, His jarang

Leopold 1 : besar, bulat, lunak

Leopold 2 : Ki teraba tahanan memanjang

Ka teraba kecil – kecil

Leopold 3 : besar, bulat, keras

Leopold 4 : sudah masuk PAP

DJJ I + 11-12-11 ; DJJ II+ 12-11-12

Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-, Oedem ekstremitas -/- -/-

Lain lain : dbn

Pemeriksaan Penunjang (29 september 2015)

HEMATOLOGI

1. Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal

a. Hemoglobin : 12,3 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL

b. Hematocrit : 36,0 % (L) 33-45 %

c. Leukosit : 9,2 103/uL 3,6-11 103/uL

d. Trombosit : 222 103 /u (L) 150-400 103 /uL

e. Golongan Darah : O/positif

f. APTT : 25,6 detik 25 – 35 detik

g. Control : 26,5 20,2 -27,4

h. Waktu protombin : 9,9 detik 9,9-11,6

i. Control : 11,8 9,3-12,5

2. Kimia Klinik (Serum)

a. Gula Darah Sewaktu : 100 mg/dL 75-110 mg/dL

b. Natrium : 139,7 mmol/l 135 – 147 mmol/l

c. Kalium : 3,39 mmol/l 3,5 – 5 mmol/l

d. Chloride : 107,1 mmol/l 95 – 105 mmol/l DUPLO

3. Urine Lengkap

a. Warna : kuning

b. Kejernihan : agak keruh

c. Protein : negatif mg/dl <30mg/dl (negatif)

d. Reduksi : negatif mg/dl <15mg/dl (negatif)

e. Bilirubin : negatif mg/dl <1mg/dl (negatif)

f. Reaksi/PH : 6,0 4,8- 7,4

g. urobilinogen : 0,2 mg/dl <2mg/dl

h. Benda keton : negatif mg/dl <15mg/dl (negatif)

i. Nitrit : negatif negatif

Page 6: Kasus OK Word sectio saecarian

j. Berat jenis : 1,030 1,015-1,025

k. Blood : 25 Eri/uL <5 Eri/uL

l. Leukosit :negatif Leu/uL <10 Leu/uL

Mikroskopis

m. Epitel sel :16-18 /LPK 5-15

n. Erytrosit : 1-2 /LPB 0-1

o. Leukosit : 2-4 /LPB 3-5

p. Silinder : negatif /LPK 0-1(hialin)

q. Parasit : negatif negatif

r. Bakteri : negatif negatif

s. Jamur : negatif negatif

t. Kristal : Ca oksalat

u. Benang mukus : positif

4. Serologi-Imun

a. HbsAg : Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

Laporan Anesthesi Durante Operasi

Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)

Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level median.

Lama anestesi : 17.10 – 17.12 WIB

Lama operasi : 17.15 – 17.55 WIB

Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)

Induksi : Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml (4 ml)

Maintenance : O2 3 L/menit

Adjuvantia : Oxytocin 10 IU/ml

Methylergometrine Maleat 0.2 mg/ml

Ketorolac 3% 30 mg/ml

Reverse : -

Terapi cairan : Kristaloid : RL 500 ml

Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room

Page 7: Kasus OK Word sectio saecarian

IV. TINDAKAN ANESTESI

Tindakan Anestesi Regional

Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di

daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus

ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput

duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya

cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.

Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.

Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan

jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.

Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup dengan

kasa dan plester.

Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

PemberianCairan

Cairan masuk

Pre operatif : RL 500 cc

Durante operatif : RL 500 cc

Cairan keluar

Perdarahan : ± 200-300 cc

Produksi urin : ± 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)

Bromage Score : 1

Recovery Room

Masuk jam : 18.05 WIB

Pulang jam : 18.20 WIB

Keadaan Umum : Baik

Respon Kesadaran : Terjaga

Page 8: Kasus OK Word sectio saecarian

Status mental : Sadar penuh

Jalan nafas : Nasal

Pernafasan : Teratur

Terapi Oksigen : Nasal Canul

Kulit : Kering

Posisi Pasien : Semifowler

Nadi : Teratur

Infus : RL

Tanda Vital

TD : 156/85 mmHg

Nadi : 69 x/menit

RR : 20 x/menit

SaO2 : 95 %

TB : 154 cm

BB : 61 kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal

Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam

Infus : RL 20 tpm

Inj. Ketolorac 1 x 30 mg iv / 8 jam dimulai pukul 02.00 WIB

Boleh langsung minum, atau makan jika tidak mual muntah

Bila muntah berikan inj. Ondansetron 4 mg iv

Bila TD 100 mmHg (systole), beri :

Loading cairan RL 500 ml iv

Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv (diencerkan)

Konsul Sp. An

Page 9: Kasus OK Word sectio saecarian

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi Spinal

I.1 Definisi

      Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat

anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai

blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat

analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-

L5.

I.2 Mekanisme Kerja

Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya

khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi hasil yang

memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga

akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).

Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma

hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan

sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada

membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka

terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan

bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran akan

meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls

melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini

akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian

mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan

tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan

saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran

akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda

pada membran sel berupa :

1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.

Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar masuk

membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari Hille menegaskan

bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.

2.   Ekspansi membran.

Page 10: Kasus OK Word sectio saecarian

Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor.

Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak misalnya

barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.

Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat

menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk

melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan reseptor

di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya,

obat anestesi spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.

I.3 Teknik

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi

yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan

hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit

pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan

anestesi spinal adalah sebagai berikut :

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal

kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien

membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2

atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat

langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan

Page 11: Kasus OK Word sectio saecarian

penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira

2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke

lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum

(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah

keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya

nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan

keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)

diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin

ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º

biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan

anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

I.4 Indikasi

Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh

yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini

digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria),

perineum dan kaki.

I.5 Kontraindikasi

Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut

diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis

yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-

kasus pseudotumor cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan

(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak

diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda

vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli

anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat

meningkatkan risiko meningitis.

Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian

anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus

ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah

injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.

Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal ini penting untuk

menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum melakukan

Page 12: Kasus OK Word sectio saecarian

induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan

mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi

membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi

spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.

Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi diatas

umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi

spinal pada pasien dengan penyakit neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial

karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap

toksisitas obat bius lokal.

Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif terhadap

anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi

spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam

perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam

menempatkan anestesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam

kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa

kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi

spinal.

I.6 Komplikasi

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat.

Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.

a. Komplikasi sirkulasi :

1. Hipotensi

Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya terjadinya

pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 10

menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit

selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau

terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk

menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi,

akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,

Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan

oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati

dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal

Page 13: Kasus OK Word sectio saecarian

total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus

melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada

hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.

2.   Bradikardia

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok

simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg

intravena.

3.   Sakit Kepala

Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal yang

sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien

duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah

frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini

disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin

besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan

membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24

jam.

4.   Komplikasi Respirasi

a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru

normal.

b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena

hipotensi berat dan iskemia medulla.

d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-tanda

tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan

buatan.

5.  Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian

obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,

pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat

pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi

Page 14: Kasus OK Word sectio saecarian

lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan

meningkat.

II. Obat-Obat Anestesi Spinal

1. Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-butyl-N-

(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari

mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long

acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara

komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih

menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia

selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik

maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal

bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml

dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%,

volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.

Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan

dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain.

Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat

blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain

juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan

yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis

sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang

ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian

dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada

dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.

Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi

0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal

pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

2. KLONIDIN

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat antihipertensi

(penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif. Lebih jauh lagi,

klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga

ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena

(1-3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari

Page 15: Kasus OK Word sectio saecarian

pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi

(menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis.

Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi

intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional,

termasuk peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung

pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis.

Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering,

inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari

beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi

nafas dan mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja

secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk menurunkan

keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan

pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa

digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk

pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.

3. EFEDRIN

Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan

di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus

ini memegang peranan dalam “efek secara langsung” pada sel efektor.

Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α2. Efek pada α1 di perifer

adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui

stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi

penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin melalui kerja

langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya

takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan

menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas,

efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin

rasemik yang digunakan dalam klinik.

Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE

keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10

kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolik, sehingga tekanan

nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi

terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah

jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap

kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah

Page 16: Kasus OK Word sectio saecarian

koroner, otak dan otot rekat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis

rendah tidak nyata pada efedrin.

4. EPINEFRIN (ADRENALIN)

Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh bagian medula

kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-neuron tertentu yang

bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan stimulator yang kuat pada reseptor

adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut

jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek

metabolik lain.

Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai respon terhadap

hipoglikemia, stres dan rangsangan lain. Preparat

sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor topikal, stimulan

jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi.

Sedangkan norephineprin (noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon

yang dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga diekskresi

oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan dalam granul

kromafin.

Norephineprin merupakan neurotransmiter utama yang bekerja pada reseptor adrenergik α-

dan β1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat dan biasanya dilepaskan dalam tubuh

sebagai respon terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya

dalam bentuk garam bitartat.

III. ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CESARIA

Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida, dan

lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan

memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal

(biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal

akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater -

subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya

disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.

Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum

halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur

pada posisi operasi.

Page 17: Kasus OK Word sectio saecarian

2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea

Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang diinervasi oleh

cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :

1) Vaginal delivery

2) Ekstremitas inferior

3) Seksio sesarea

4) Operasi perineum

5) Operasi urologic

3. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :

1) Infeksi tempat penyuntikan

2) Gangguan fungsi hepar

3) Gangguan koagulasi

4) Tekanan itrakranial meninggi

5) Alergi obat lokal anstesi

6) Hipertensi tak terkontrol

7) Pasien menolak

8) Syok hipovolemik

9) Sepsis

4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea :

Obat anestetik yang sering digunakan:

1) Lidocain 1-5 %

2) Bupivacain 0,25-0,75 %

5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea :

1) Hipotensi

2) Brakikardi

3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi)

4) Menggigil

5) Mual-muntah

6) Depresi nafas

7) Total spinal

8) Sequelae neurologic

9) Penurunan tekanan intrakranial

10) Meningitis

11) Retensi urine

Page 18: Kasus OK Word sectio saecarian

PEMBAHASAN

Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat serta mendalam

pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang paling sering dan serius dari

penggunaan anestesi spinal pada persalinan Cesar adalah hipotensi, dengan insidensi kasus yang

dilaporkan lebih dari 80 %.

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi

terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anestesi. Kunjungan ini bertujuan untuk

mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-

obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi

pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.

Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien

berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien

mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan

kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform

consent.

History talking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan

obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi

(biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu

juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat

operasi dan anestesi sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat kebiasaan

sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat penenang, dan narkotika. Pertanyaan

tentang review sistem organ untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum

terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history talking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu

mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history talking, sedangkan history talking

membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda

vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru,

dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional

sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Page 19: Kasus OK Word sectio saecarian

Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum

elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien.

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak

dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori.

Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik

ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying

disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka

tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik

ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

KelasI :Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

KelasII : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,tanpa limitasi

aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

KelasIV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan

terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.

KelasV :Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat hidup/bertahandalam 24 jam,

dengan atau tanpa pembedahan.

Kelas E : Bila operasi dilakukan darurat/cito

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran

yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi

harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentusebeluminduksi anestesi.Pada

pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak

berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis

sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum

induksi anesthesia.

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan

maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan

elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat

diperkirakan dari tabel dibawah:

Page 20: Kasus OK Word sectio saecarian

Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama OperasiRingan 4 cc/kgBB/jamSedang 6 cc/kgBB/jamBerat 8 cc/kgBB/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena

durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu

puasa. Penggantian Cairan Selama Puasa

50 % selama jam I operasi

25 % selama jam II operasi

25 % selama jam III operasi

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan

induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

• Meredakan kecemasan dan ketakutan

• Memperlancar induksi anesthesia

• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

• Meminimalkan jumlah obat anestetik

• Mengurangi mual muntah pasca bedah

• Menciptakan amnesia

• Mengurangi isi cairan lambung

• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml. Ondansetron ialah suatu

antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah. 

2. Durante Operasi

Pemakaian Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan

anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa

sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses

konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding

lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine). 

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk

hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan

kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan

tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan

betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif

Page 21: Kasus OK Word sectio saecarian

dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan

dimasukkan secara perlahan-lahan. 

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan

darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30%

atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat

anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan

intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada

pasien ini tidak terjadi hipotensi, sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg

secara intravena.

Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1 ampul)

diberikan per-drip, dan Pospargino,2 mg/ml diberikan secara bolus IV Pemberian oksitosin

dan pospargin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus

secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5

menit. Selain oksitosin, juga diberi metergin 1 ml bolus IV, Mekanisme kerjanya merangsang

kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik sehingga

menghentikan perdarahan uterus.

Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat sebelum operasi selesai.

Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja

menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka

pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam.

Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya.

Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa,

sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa

polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar

intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan

seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement

yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat.

Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk

menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit

pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika

volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan

kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

Page 22: Kasus OK Word sectio saecarian

DAFTAR PUSTAKA

1. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of

Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins..

2. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.

Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

3. Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the move 1th editional. U.K.

Hodder Arnold.

4. Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Editor:Hartanto

Hurniawati, dkk. Jakarta:EGC;2006.

5. Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block.Editor Lee A. Fleisher. 2008. Diunduh 10 Juni 2015.

Available from: http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia-

subarachnoid-block-AN-procedure.aspx