kasus malpraktek dalam bidang orthopedy
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang
bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-
undang yang berlaku baik disengaja maupun akibat kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu
pelanggaran hukum, jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang
lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka
hal ini bisa dikatakan malpraktek.
Definisi malpraktek medis “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956)
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan risiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
PEMBAHASAN
1.Kronologis Kasus
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana
layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan
oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan
setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak
sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di ruang perawatan intensif dengan
bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya,
sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan
gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.
Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada
sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut
tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi.
Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan
bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda),
jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.
2. Analisis Masalah
2.1 Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan
unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek
dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter
yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun
kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi
yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan
terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja. Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam
menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan
celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang
dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin
praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan
malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap
dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban,
sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian
(culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para
dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik
dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya
izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk
dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan
kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2)
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
1.Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang
motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis
Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk
menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?.
Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya,
etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang
dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara,
notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal
ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka
dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan
sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan
memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga
peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya
pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat
umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada
penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar
dari tanggung jawab hokum profesinya.
Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau
bisa pasien kehilangan nyawanya. Diantaranya dapat dilihat bagaimana secara garis besar
agama Islam dan Khatolik memandang malpraktek.
• Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan,
biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya
sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk
pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya
memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri. Dari sini dapat kita
katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita
miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya
menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang
melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek
adalah suatu pelanggaran.
• Menurut pandangan Katolik
Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek adalah
mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah sejak kapan
satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang sudah
memiliki hak untuk hidup?.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus dianggap
sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal yang perlu
diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul)atau tidak? Agama
katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada waktu dilahirkan
janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan kewajiban moral terhadapnya.
Dari uraian singkat diatas kita dapat katakana bahwa, sejak si janin sudah terbentuk, kita
sebenarnya sudah tidak punya hak untuk memusnahkannya dan harus membiarkan atau
memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana
karena suatu kalalaian menakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakana sebagai
suatu perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah tidak
punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu maka setiap
kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa ditindaklanjuti
baik secara agama ataupun hukum.
Solusi
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta segala
macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini keselahan pemberian
atau pemasangan gas setalah oparasi paembedahan tulang di atas maka pencegahan terjadinya
malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan
hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai
lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah
tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak
dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara
berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan
medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan pengenalan akan segala macam alat
ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun semua tenaga
pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat
dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan
latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter. Diyakini bahwa hal
ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan
kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau
bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita
ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan
ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional
dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan
dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus
diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar
diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi
praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan,
dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat
profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam
hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek
kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional
bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya
yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode
etik yang berlaku.
Kesimpulan
Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan oleh
dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam tindakan
pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang
pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus
menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas
setelah operasi. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari
dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap
pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata
baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor
yang lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran
dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa
seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah
sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam
segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.
Saran
Bagi semua orang yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis serta siapa
saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang kesehatan,
hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk
mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam
dindakan pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.