kasus fox meyer

11
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Sistem informasi manajemen secara luas dapat diartikan sebagai sistem berbasis komputer yang menyediakan alat bagi para manajer untuk mengorganisasi, mengevaluasi, dan mengatur tiap-tiap bagian organisasi secara efisien. Sistem tersebut dapat membantu para manajer untuk mengidentifikasi suatu masalah, menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja. Banyak manfaat yang didapat perusahaan setelah mengimplementasikan sistem informasi. Pada tahun 2007, perusahaan-perusahaan di Amerika menghabiskan hampir $ 1 triliun untuk diinvestasikan pada hardware sistem informasi. Ditambah lagi perusahaan-preusahaan tersebut mengeluarkan $ 250 miliar untuk jasa konsultasi bisnis dan manajemen dalam mendesain ulang perusahaan agar dapat mengambil manfaat melalui teknologi baru yang terus bermunculan. Walaupun perusahaan mendapat keuntungan melalui implementasi sistem informasi, tidak jarang sistem informasi juga mendatangkan kerugian. Pada tahun 2005, hanya 35% dari proyek sistem informasi yang dapat dinilai sukses dalam mencapai tujuannya, sedangkan 65% sisanya mengalami kegagalan baik secara parsial ataupun total.

Upload: muhammadfachri

Post on 25-Dec-2015

902 views

Category:

Documents


151 download

DESCRIPTION

Kegagalan Implementasi Sistem Informasi

TRANSCRIPT

Page 1: Kasus Fox Meyer

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang

Sistem informasi manajemen secara luas dapat diartikan sebagai sistem

berbasis komputer yang menyediakan alat bagi para manajer untuk mengorganisasi,

mengevaluasi, dan mengatur tiap-tiap bagian organisasi secara efisien. Sistem

tersebut dapat membantu para manajer untuk mengidentifikasi suatu masalah,

menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi kinerja.

Banyak manfaat yang didapat perusahaan setelah mengimplementasikan

sistem informasi. Pada tahun 2007, perusahaan-perusahaan di Amerika menghabiskan

hampir $ 1 triliun untuk diinvestasikan pada hardware sistem informasi. Ditambah

lagi perusahaan-preusahaan tersebut mengeluarkan $ 250 miliar untuk jasa konsultasi

bisnis dan manajemen dalam mendesain ulang perusahaan agar dapat mengambil

manfaat melalui teknologi baru yang terus bermunculan.

Walaupun perusahaan mendapat keuntungan melalui implementasi sistem

informasi, tidak jarang sistem informasi juga mendatangkan kerugian. Pada tahun

2005, hanya 35% dari proyek sistem informasi yang dapat dinilai sukses dalam

mencapai tujuannya, sedangkan 65% sisanya mengalami kegagalan baik secara

parsial ataupun total. Salah satu contoh kegagalan sistem informasi yang terjadi pada

perusahaan FoxMeyer yang mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut pada tahun

1996.

Tujuan

- Mengetahu penyebab kegagalan sistem ERP pada FoxMeyer

Page 2: Kasus Fox Meyer

Bab II ISI

FoxMeyer adalah perusahaan penjualan obat terbesar kelima di Amerika

Serikat pada 1995 dengan penjualan tahunan sekitar $ 5 miliar dan pengiriman harian

melebihi 500.000 item. Di Ameika Serikat, FoxMeyer memiliki 25 lokasi pusat

distribusi. Kegiatan distribusi dilakukan melalui FoxMeyer Corp dan Ben Franklin

Retail Store, Inc.

Industri farmasi di Amerika Serikat merupakan salah satu segmen

perekonomian yang paling penting dan dinamis. Dengan terus berkembangnya ilmu

medis, obat-obatan telah menjadi elemen esensial dari sistem kesehatan modern.

Dalam dua puluh tahun terakhir industri ini mengalami perkembangan terus menerus

yang diikuti dengan merger dan akuisisi. Perkembangan tersebut juga diikuti dengan

peningkatan persaingan, memaksa perusahaan untuk menurunkan harga dan margin

profit agar dapat bersaing.

Agar dapat bertahan di dalam persaingan yang ketat, FoxMeyer membutuhkan

solusi yang dapat membantunya untuk membuat keputusan di dalam rantai suppply

yang kompleks dan biaya yang semakin meningkat. Berdasarkan analisis rantai

supply, manajemen memutuskan bahwa ERP (Enterprise Resource Planning) akan

menawarkan solusi yang tepat untuk FoxMeyer. ERP diharapkan dapat

mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang tidak diperlukan, membangun tingkatan

persediaan yang tepat, dan menyediakan costumer service yang responsif. Idealnya,

dengan menggunakan ERP, perusahaan dapat mengatur aktivitas pemesanan,

persediaan, dan penjualan dalam satu sistem yang dapat melakukan operasi dan

distribusi obat-obatan secara cepat dan efisien. Pada tahun 1992, FoxMeyer

memutuskan untuk menggunakan jasa perusahaan konsultasi Arthur Andersen untuk

mengimplementasikan SAP (systemanalyse and programmentwicklung) (R/3), sebuah

software ERP. FoxMeyer memilih konsultan nomor satu dan software yang telah

banyak digunakan untuk menjamin keberhasilan implementasinya.

Page 3: Kasus Fox Meyer

SAP merupakan vendor software ERP terbesar pada saat itu. Software R/3

meliputi 70 modul akuntansi yang terintegrasi. Software tersebut dibuat berdasarkan

sudut pandang perusahaan. Melalui kerja sama dengan ahli bisnis dan ahli IT, SAP

secara bertahap mengembangkan pemahaman yang unik terhadap tantangan yang

dihadapi pengguna dan menyediakan solusi bagi pelanggannya. Software tersebut

membantu perusahaan untuk menghubungkan setiap prosesnya, sehingga seluruh

operasi dapat berjalan dengan mulus.

Pada tahun 1993, FoxMeyer menandatangani kontrak dengan SAP, Andersen

Consulting, dan Arthur Andersen & Co, perusahaan induk dari Andersen Consulting,

untuk mengimplementasikan software R/3. Biaya implementasi SAP yang

dianggarkan pada 1994 sebesar $ 65 juta yang terdiri dari.

a. $ 4.8 juta sistem komputer client/server dari Hewlett Packard

b. $ 4 juta untuk software SAP

c. Beberapa juta dolar untuk biaya konsultasi

d. Dan $ 18 juta untuk gudang terkomputerisasi seluas 103.630 m2.

Sistem ERP ini diproyeksikan dapat menghemat $ 40 juta per tahunnya.

Tahun 1994, FoxMeyer menandatangani kontrak kembali yang mengharuskannya

menambah 6 gudang. SAP dan Andersen menjadwalkan implementasi di gudang-

gudang tersebut pada Januari dan Februari 1995, dan kemudian berencana untuk

mengimplementasikan R/3 di 17 gudang lama yang tersisa. Namun pada November

1994 SAP memberitahu FoxMeyer bahwa R/3 hanya dapat digunakan pada gudang

yang baru. Gudang-gudang lama memiliki volume invoice lebih besar dari pada yang

dapat diproses oleh sistem. Gudang lama mampu menangani 420.000 transaksi per

hari, sedangkan sistem R/3 yang diterapkan di gudang baru hanya mempu memproses

10.000 transaksi per hari.

FoxMeyer mula menggunakan R/3 sesuai dengan jadwal, namun karena

terjadi kesalahan, data historis mengenai penjualan menjadi tidak akurat. FoxMeyer

harus membayar sekitar $ 16 juta untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi.

Page 4: Kasus Fox Meyer

Kemudian FoxMeyer mengharapkan bahwa hanya setengah dari penghematan yang

dapat direalisasi. Bahkan beberapa masalah tidak dapat diperbaiki yang

mengakibatkan kebangkrutan.

Pengimplementasian terakhir yang dilakukan menghabiskan dana lebih dari $

100 juta, tetapi performa R/3 tetap tidak bisa diharapkan. Saat itu sudah terlambat,

dana yang dikeluarkan sudah melebihi dari pada yang dianggarkan, namun software

tersebut gagal untuk mendatangkan manfaat bagi FoxMeyer. Pada tahun 1996,

FoxMeyer mengalami kebangkrutan dan diakuisisi oleh rivalnya, McKesson Corp,

sebesar $ 80 juta.

Pada tahun 1998, dewan pengawas kebangkrutan FoxMeyer menuntut $ 500

juta kepada SAP, dan tuntutan yang sama juga diajukan kepada Andersen Consulting.

FoxMeyer menuduh SAP berbuat curang dengan menawarkan FoxMeyer sebuah

sistem yang gagal. Sedangkan Andersen Consulting dinilai tidak dapat mengatur

implementasi dengan baik. Namun, keduanya menyangkal dan malah  menuduh

FoxMeyer  tidak bisa memanajemen perusahaan dengan baik.

Penyebab kegagalan ERP dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perencanan

dan implementasi.

1. Perencanaan

a. Pemilihan software yang buruk

SAP R/3 sebenarnya didesain untuk perusahaan manufaktur dengan

jumlah transaksi tidak lebih dari 10.000 transaksi. Namun FoxMeyer

merupakan distributor dengan total yang dapat mencapai 500.000

transaksi.

b. Tidak mempertimbangkan usulan konsultan yang lain

Salah satu perusahaan konsultan di Chicago telah memperingatkan

FoxMeyer bahwa SAP tidak dapat menyediakan apa yang dibutuhkan

FoxMeyer. Tetapi FoxMeyer tetap memilih SAP karena reputasi yang

dimilikinya.

Page 5: Kasus Fox Meyer

c. Tidak ada rencana kontijensi

Tidak ada rencana cadangan yang dibuat untuk mengatasi perubahan pada

operasi perusahaan.

d. Tidak melibatkan pengguna akhir

Proyek tersebut dilakukan menggunakan pendekatan top-down.

Perencanaan dibuat oleh manajer tingkat atas, Andersen Consulting, dan

beberapa teknisi. Hanya sedikit pengguna akhir yang dilibatan dalam

proses analisis dan desain. Sehingga menciptakan kesenjangan

komunikasi antara pengguna dan perencana sistem tersebut.

2. Implementasi

a. Tidak dilakukan restrukturasi proses bisnis

SAP tidak terintegrasi dengan baik karena FoxMeyer tidak mampu untuk

menata ulang proses bisnis mereka agar software dapat berjalan dengan

efisien.

b. Kurang dalam pengujian

Karena jadwal yang terburu-buru, beberapa pengujian modul dilewatkan.

Disamping itu, pengujian terhadap kemampuan sistem untuk mengatasi

transaksi dalam jumlah besar tidak dilakukan dengan benar.

c. Terlalu ambisius

Staff IS yang tidak familiar dengan hardware R/3, sistem software

tersebut, dan aplikasi software. Namun FoxMeyer secara bersamaan tetap

melakukan implementasi proyek gudang terkomputerisasi yang

membutuhkan dana $ 18 juta. Akibatnya beberapa masalah teknis tidak

dapat diselesaikan oleh staff IS, sehingga pengeluaran dan waktu yang

terbuang menjadi lebih banyak.

d. Tidak mendapat dukungan yang baik dari manajemen

Pada mulanya, manajemen mendukung dan berkomitmen terhadap proyek

tersebut. Namun setelah implementasi mulai dilakukan, manajemen

enggan untuk mengetahui masalah pada sistem tersebut. Manajemen gagal

dalam memahami kompleksitas dan risiko yang akan dihadapi dengan

Page 6: Kasus Fox Meyer

memajukan jadwal implementasi 90 hari lebih awal walaupun sistem

tersebut belum diuji secara benar. Manajemen tidak memahami waktu dan

sumber daya yang diperlukan dalam proses implementasi.

e. Kurangnya kooperasi dari pengguna akhir

Tidak adanya pelatihan terhadap untuk pengguna akhir. Karena tidak

dilibatkan, pengguna akhir kehilangan rasa kepemilikan terhadap proyek

tersebut dan terdapat kerenggangan antara mereka dan spesialis IT saat

menyelesaikan masalah.

Page 7: Kasus Fox Meyer

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan

Keputusan yang dilakukan oleh FoxMeyer untuk mengimplementasikan SAP R/3

perlu dikaji ulang agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar dan sesuai

dengan kebutuhan bisnisnya. Perusahaan perlu untuk melibatkan pengguna akhir

secara lebih mendalam karena perusahaan tidak boleh melupakan B2E atau

business to employment. Para pengguna akhir perlu dilatih untuk dapat mengerti

sistem yang akan diterapkan. Perencanaan yang baik akan menghindarkan perusahaan

dari sebuah kegagalan implementasi sistem informasi.

b. Saran

Evaluasi vendor sangat dibutuhkan mulai dari review vendor, proses demo,

adanya referensi (testimony dari perusahaan lain), dan ada tim yang berfungsi

untuk mengevaluasi kemampuan teknis atau fungsi-fungsinya. Selain itu,

pertimbangkan adanya beberapa penyesuaian dan pahami akan membutuhkan biaya

berapa seberapa besar, sehingga hal ini tidak menjadi masalah saat dilakukan

implementasi sistem yang baru.

Yang paling penting adalah bagaimana implementasi ERP diterima oleh

pengguna akhir dan pengguna akhir merasa nyaman dengan sistem yang baru,

sehingga dibutuhkan training secukupnya kepada mereka. Lebih jika pengguna

akhir diikutsertakan dalam proses uji coba dengan vendor sehingga mereka juga

bisa melakukan assessment. Peranan SDM disini menjadi salah satu faktor kritis,

karena berbicara tentang ERP adalah tentang sebuah sistem yang terintegrasi

sehingga jika terjadi kesalahan di berbagai titik akan berdampak signifikan bagi

proses bisnis perusahaan.

Page 8: Kasus Fox Meyer

Daftar Pustaka

FoxMeyer Case: A Failure of Large ERP Implementation

Harish, Insan; Martha Okrina; Mahdy Arief; dan Agung Insani Alam, “Kegagalan

Sistem Informasi ERP pada Perusahaan FoxMeyer”