kastaisme, persoalan pelik di bali · web viewapabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan...

43
MAKALAH KONSEP-KONSEP KONFLIK OLEH : KELOMPOK 6 NAMA KELOMPOK NI MADE FITRI ARIASTUTI 1111011082 KADEK CITARINI 1111011083 WAYAN PARNITI 1111011081 KADEK DWI ASTRI JAYANTINI 11110110 SRI EKA PARWATI 11110110 AYU PADMA WIRATI 11110110 AYU JUNI PRIHATINE 11110110 FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN BIMBINGAN KONSELING 1

Upload: ngokhue

Post on 23-May-2019

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MAKALAH

KONSEP-KONSEP KONFLIK

OLEH : KELOMPOK 6

NAMA KELOMPOK

NI MADE FITRI ARIASTUTI 1111011082

KADEK CITARINI 1111011083

WAYAN PARNITI 1111011081

KADEK DWI ASTRI JAYANTINI 11110110

SRI EKA PARWATI 11110110

AYU PADMA WIRATI 11110110

AYU JUNI PRIHATINE 11110110

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN BIMBINGAN KONSELING

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

TAHUN AJARAN 2011

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-

Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP-KONSEP KONFLIK” ini

dengan baik.

Dalam penulisan makalah ini saya banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

penulisan makalah ini.

Saya sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Hal itu di

karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi kita.

Akhir kata, saya memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat

banyak kesalahan.

Singaraja, Maret 2012

Penulis

2

DAFTAR ISI

Kata pengantar …………………………………………………………….. 1

Daftar isi …………………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang …………………………………………………………. 31.2 Rumusan masalah …………………………………………………….. 41.3 Tujuan …………………………………………………………………. 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian konflik secara umum …………………………………….. 5

2.2 Pengertian konflik menurut beberapa ahli …………………………... 5

2.3 Teori konflik ………………………………………………………….. 8

2.4 Penelitian mengenai beberapa konflik ………………………………. 11

2.5 Jenis-jenis konflik ……………………………………………………. 17

2.6 Faktor penyebab konflik ……………………………………………... 19

2.7 Akibat dari koflik ……………………………………………………… 21

2.8 Cara mencegah konflik ………………………………………………. 22

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 26

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 28

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi

ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik

yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan

produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan

hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk

mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.

Keajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi

ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah

ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang

dapat mengganggu stabilitas politik. Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen

kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah

mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan

yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar

masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal.

Perlakuan Negara yang demikian kean diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam

kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias stateitu mengarahkan

sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan,

dan dehumanisasi. Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam

masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan

mereka terhadappluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas

fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada

gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari

sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk

hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola

pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.Ketika negara mengalami defisit

otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku

sosial dan politik. Munculnya reformasitelah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi

artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi

4

pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang

mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi

kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon,

Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible

hand yangturut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.Jadi, reformasi yang

tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkaraspek struktural dan kultural

yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-

mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus

pula melakukan dislearn atas wacana dankonstruksi pemikiran masyarakat.

1.2 Rumusan masalah

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yaitu:

1. Apa pengertian konflik secara umum?

2. Apa pengertian konflik menurut beberapa ahli?

3. Apa teori konflik?

4. Apa saja penelitian mengenai beberapa konflik?

5. Apa saja jenis-jenis konflik?

6. Apa saja factor penyebab konflik?

7. Apa saja akibat dari konflik?

8. Apa saja cara mencegah konflik?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang akan didapat dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui pengertian konflik secara umum.

2. Dapat mengetahui konflik menurut beberapa ahli.

3. Dapat mengetahui teori konflik.

4. Dapat mengetahui penelitian mengenai beberapa konflik.

5. Dapat mengetahui jenis-jenis konflik.

6. Dapat mengetahui factor penyebab konflik.

7. Dapat mengetahui akibat dari konflik.

8. Dapat mengetahui cara mencegah konflik.

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian konflik secara umum

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan

kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya

masyarakat itu sendiri.

Konflik dilator belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.

perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,

pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri

individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat

dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau

dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya

masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di

masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang

tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

2.2 Pengertian konflik menurut beberapa ahli

A. Konflik menurut Robbin (1996:431)

Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict

Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja

6

kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk

meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik

itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik

disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini

merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan,

keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap

kebutuhan dan aspirasi karyawan.

2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan

bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok

atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di

dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar

anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna

mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan

sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau

organisasi.

3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong

suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi

yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak

aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu

dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di

dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.

B. Konflik Menurut Stoner dan Freeman

Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan

tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):

1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat

dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah

pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal,

konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam

7

merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak

manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.

2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor,

antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya.

Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi

konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta

kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

C. Konflik Menurut Myers

Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami

berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)

1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus

dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor

penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan

dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-

kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap

orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih

besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.

2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik

merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi

manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik,

tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan

antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang

wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan

harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya

bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

D. Konflik Menurut Peneliti Lainnya

1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan

apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan

8

perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik

berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu

proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-

sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982:

234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara

nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan

pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai

terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga

diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan

langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.

2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif

(Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana

pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak

selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di

balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa

bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa

yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu –

waktu terjadi kembali.

2.3 Teori konflik

pendeka t an kon f l i k , bukan la h kepen t i ngan d i da l am yang be r s i f a t “

subye k t i f “ se baga im ana dirasakan oleh orang – orang, melainkan kepentingan

yang secara “ obyektif “ melekat di dalam kedudukan sosial tertentu. Karena

kepentingan yang demikian tidak selalu disadari adanya, maka disebut sebagai

kepentingan – kepentingan yang bersifat laten (latent interest) sementara mereka yang

mem i l i k inya d i se bu t s ebaga i ke lom pok sem u (quasi-groups).

S eka l i pun be rbeda da r i kelompok yang sesungguhnya, kelompok semu tidak

memiliki hubungan sosial yang disadari, tetapianggo ta nya m emi l ik i kepe n t inga n dan

9

mode t i ngkah l aku yang s ama dan dapa t be rkem bang menjadi kelompok yang

biasa disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group)

De ngan de mik i an ke lompok s emu merupaka n s umber da r i pa r a

anggo ta ke lom pok  kepentingan berasal atau direcruit.

Ka rena kepen t ingan mas ing – m as i ng ke lompok t e r s ebu t  berlawanan satu

sama lain, maka kelompok – kelompok itupun secara potensial selalu berada da l a m

kond i s i kon f l i k pu l a . S emen t a r a i t u s ua tu ke lom pok s emu t i dak l ah dengan

se nd i r inya menjelma menjadi kelompok kepentingan.

Dahrendorf menyebutkan tiga macam prasyarat yang  be r s i f a t kond i s iona l

yang me mungk inka n sua t u ke lom pok se mu dapa t t e ro rga n i s i r ke

da l a m kelompok kepentingan .Tiga macam prasayarat tersebut adalah :

1. Kondisi – kondisi teknis dari suatu organisasi (technical condition of organization).

Yaitu munculnya sejumlah orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir 

latent interest  dari suatu kelompok semu menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang secara

sadar ingindicapai orang. Tanpa kondisi – kondisi teknis semacam itu suatu kelompok semu

tetap tidak akanterorganisir menjadi kelompok kepentingan.

2. Kondisi – kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organization).

Yaitu ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.

Bagaimanapun matangnya kondisi – kondisi teknis dari suatu organisasi, namun tanpa

kebebasan untuk  berorganisasi, kelompok semu tetap tidak akan dapat terorganisir ke dalam

bentuk kelompok kepentingan. Tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok

kepentingan hanyaakan bersifat potensial.

3. Kondisi – kondisi sosial dari suatu organisasi (  social   conditions of organization). Yaitu

adanyasistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu

berkomunikasisatu sama lain dengan mudah.

Tanpa kondisi sosial yang demikian, maka tersedianya para pemimpin, ideologi, dan kebebasan

berorganisasi belum cukup menjamin bahwa para anggota kelompok kepentingan akan dapat

direkrut dengan mudah. Dengan demikian munculnyakelompok kepentingan menuntut

tumbuhnya mekanisme recruitment yang lunak. K e t i g a k o n d i s i t e r s e b u t s e c a r a

b e r s a m a – s a m a m e n j a d i i n t e r v e n i n g v a r i a b l e b a g i munculnya kelompok

10

kepentingan yang disebutkan selalu berada di dalam situasi konflik. Bentuk   pengenda l i an

kon f l i k – kon f l i k so s i a l ya ng pe r t ama dan yang pa l ing pen t ing a da l ah apa

yang disebut konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga

tertentu yangm e m u n g k i n k a n t u m b u h n y a p o l a d i s k u s i d a n p e n g a m b i l a n

k e p u t u s a n d i a n t a r a p i h a k y a n g  berlawanan mengenai persoalan yang mereka

pertentangkan.

Agar lembaga tersebut dapat berfungsisecara efektif, lembaga yang dimaksud harus

memenuhi sedikitnya empat hal berikut :

1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang bersifat otonom.

2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus

bersifatmonopolistis.

3. Peranan lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga kepentingan yang

berlawanan satusama lain itu akan merasa terikat kepada lembaga tersebut.

4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.

Tanpa had i rnya ke empa t ha l t e r s ebu t , maka kon f l i k – kon f l i k yang

t e r j ad i d i an t a r a  berbagai kekuatan sosial akan menyelinap ke bawah permukaan,

yang pada saatnya tanpa dapatdiduga sebelumnya akan meledak ke dalam bentuk

kekerasan.

Namun demikian, semuanya itu hanya dapat dilakukan apabila kelompok yang saling

bertentangan itu sendiri dapat memenuhi tigamacam prasyarat berikut :

1. Masing – masing kelompok menyadari akan adanya situasi konflik diantara mereka,

karena itu perlunya dilaksanakan prinsip – prinsip keadilan secara jujur bagi semua

pihak.

2. Pengendalian konflik – konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai

kekuatansosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.

3.Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan permainan

tertentu.

Tanpa semuanya itu, maka lembaga diskusi macam apa pun tidak akan dapat

berfungsidengan ba ik . S eba l i knya , kon f l i k j u s t ru akan men ja d i sem ak in

11

pa rah . D a l am kea daan yang demikian maka dibutuhkan suatu cara pengendalian

yang lain yang disebut mediasi (mediation),yaitu kedua belah pihak yang bersengketa

bersama – sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketigay a n g a k a n m e m b e r i k a n

“ n a s i h a t – n a s i h a t ” - n y a t e n t a n g b a g a i m a n a m e r e k a s e b a i k n y a

menyelesaikan pertentangan mereka.Apabila cara pengendalian inipun masih tidak cukup efektif,

maka suatu cara pengendalianyang ketiga, yaitu perwasitan (arbitration), mungkin sekali

akan timbul. Di dalam hal ini kedua  belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk

menerima atau “terpaksa” menerima hadirnya  pihak ketiga yang akan memberikan

“keputusan – keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik yang t e r j ad i d i an t a r a

mere ka . D i da l a m ben t uk med i a s i , kedua be l ah p iha k yang

be r t e n t angan menyetujui untuk menerima pihak ketiga sebagai wasit akan tetapi

mereka bebas untuk menerimaatau menolak keputusan – keputusan wasit. Lebih

daripada mediasi, sebaliknya, suatu perwasitan mene mpa t kan kedua be l ah p iha k

yang be r t en t angan pada kedudukan un tuk ha rus me ne r ima keputusan –

keputusan yang diambil wasit. Ke t iga j en i s penge nda l i an kon f l i k t e r s ebu t d i a t a s ,

ba ik d ipanda ng s ebaga i c a r a – ca r a  pengendalian konflik yang bertingkat – tingkat

maupun dipandang sebagai cara – cara yang berdirisendiri – sendiri, memiliki daya kemampuan

untuk mengurangi atau menghindarkan kemungkinan – kemungkinan timbulnya ledakan sosial

dalam bentuk kekerasan. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik –

konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan justruakan menjadi kekuatan yang

mendorong terjadinya perubahan – perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhi.

2.4 Penelitian mengenai beberapa konflik

Ada beberapa konflik yang kami amati di Indonesia melauli media massa dan situs

internet yaitu:

Penelitian konflik Dayak dan Madura

Konflik antaretnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang

dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka memiliki

perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).

12

Sebuah penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura pernah

dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut berjudul Resolusi Konflik

berbasis Pranata Adat Pamabakng dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di

Kalimantan Barat. Hasil penelitian tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik

kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh faktor-faktor

struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor struktural dan kultural

ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak mengedepankan resolusi

yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat maka konflik kekerasan diperkirakan

akan terus berulang (2005 : vi).

Yohanes juga menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di

Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku

Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan

lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan

kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah

dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313).

Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan

Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan

tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon

amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula

(Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah

dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.

Penelitian lainnya yang peneliti angkat sebagai referensi untuk penelitian ini adalah yang

dilakukan oleh Julia Magdalena Wuysang. Wuysang (2003) melakukan penelitian yang berjudul

Pengaruh Stereotip etnik, Prasangka Sosial dan Kecenderungan Berperilaku terhadap Jarak

Sosial Antaretnik Melayu dan Etnik Madura di Kota Pontianak. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa dalam interaksi antara Etnik Melayu dan Etnik Madura, salah satu pesan

yang disampaikan yakni ciri, sifat, dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu etnik tertentu.

Perasaan negatif terhadap etnik lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat

komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi

13

karena perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya

memperbesar jarak sosial.

Wuysang juga menemukan bahwa individu dari kedua etnik itu memiliki kecenderungan

berperilaku diskriminatif dalam mereaksi pesan dari etnik lain, misalnya etnik Melayu cenderung

berperilaku diskriminatif terhadap etnik Madura, atau sebaliknya. Hal tersebut dilakukan dengan

kecenderungan untuk tidak menerima komunikator etnik lain dengan berbagai cara.

Dalam kesimpulannya, Wuysang meyatakan bahwa stereotip etnik, prasangka sosial dan

kecenderungan berperilaku diskriminatif yang ada di antara etnik akan memperbesar jarak sosial

antaretnik. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga mempengaruhi jarak sosial antara kedua

etnik itu adalah : faktor budaya asal, orang tua, kelompok pergaulan dan guru, kepribadian

individu, tingkat pendidikan, pekerjaan, perkawinan, media massa, tempat tinggal, pemukiman

dan lama tinggal, serta pola-pola interaksi intraetnik dan antaretnik. Dari penelitian tersebut,

Wuysang memperoleh beberapa konsep, yakni :

1. Perbedaan karakteristik etnik merupakan hal yang alami, esensinya adalah mencari dan

mengembangkan persamaan di dalam hubungan antar etnik;

2. Mengenali hambatan di dalam komunikasi antarbudaya dapat mengeliminir akibat yang

ditimbulkannya.

Selain penelitian yang berkaitan dengan penyebab konflik, peneliti juga melakukan kajian

pustaka terhadap kondisi setelah konflik. Salah satu yang menarik dan sangat relevan dengan

penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Sikwan pada tahun 2003. Penelitian

tersebut berjudul Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan

Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat

(Empowerment Program Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from sambas In

Pontianak, West Kalimantan). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelaksanaan program

pemberdayaan masyarakat pengungsi Etnik Madura asal Sambas yang selama ini dilaksanakan

oleh pemerintah setempat (aparat birokrasi) tidak melibatkan partisipasi aktif seluruh masyarakat

pengungsi secara luas dalam setiap kegiatan program pemberdayaan. Padahal, pembangunan

masyarakat (dalam hal ini adalah pengungsi) adalah proses yang dirancang untuk menciptakan

14

kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan sehat bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi

aktif mereka, serta berdasarkan kepercayaan yang penuh terhadap prakarsa mereka sendiri. Jadi,

pemerintah membuat program tanpa meminta masukan dari pengungsi, hingga akhirnya

program-program tersebut tidak relevan bagi pengungsi.

Penelitian Sikwan ini secara tersirat menunjukkan bahwa pada akhirnya pengungsi etnik Madura

harus memutuskan sendiri hal-hal apa yang harus mereka lakukan baik secara sosial maupun

ekonomi untuk dapat kembali kepada kehidupan yang normal. Bagi saya, hasil penelitian Sikwan

ini menyiratkan bahwa dalam berkomunikasi dan menjalin kembali hubungan dengan etnik lain,

khususnya Dayak dan Melayu, pengungsi Etnik Madura ternyata tidak dibimbing dan dibina oleh

aparat pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan. Etnik Madura bergerak atas

prakarsa dan kemauan mereka sendiri, karena program-program yang dilakukan pemerintah

tidak mencakup bagaimana mereka dapat kembali bersosialisasi dengan etnik lain.

Kastaisme, Persoalan Pelik di Bali

Liburan semester. Gus Eka, seorang lajang berkasta brahmana yang kuliah di Jawa,

mengajak seorang temannya liburan di rumahnya di Bali. Sebut saja nama temannya itu Andika,

seorang asal Malang.

Di rumah Gus Eka, Andika dan Gus Eka terlibat sebuah obrolan asyik dengan kedua orangtua

Gus Eka, ditemani suguhan kopi Bali. Andika yang kelelahan tidak kuasa melanjutkan obrolan

itu, kemudian permisi istirahat. Gus Eka masih asyik mengobrol dengan kedua orangtuanya

karena ia memang jarang pulang sejak kuliah di Jawa empat tahun lalu.

Di tengah obrolan itu Gus Eka dengan santai meminum kopi sisa Andika, karena kopinya sendiri

sudah habis. Betapa tercengangnya kedua orangtua Gus Eka melihat hal itu. Mata kedua orang

yang menginjak usia empat puluh lima itu membelalak tajam ke arah Gus Eka.

“Béh, nak suba biasa tiang kéné di Jawa. Yén sing kéné, sing idup apa ben ngoyong di désan

anak. Ngajeng magibung krana sing ngelah pipis nak suba biasa,” kata Gus Eka kepada kedua

orangtuanya, sambil menyeruput lagi kopi sisa temannya untuk kedua kalinya.

15

Entahlah, kedua orangtua Gus Eka bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih

shock melihat anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih

rendah.

Memang, dalam pola pikir kedua orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah

dibandingkan kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus

Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih.

“Eda ngalih kurenan nak beténan (maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak

Jawa. Ajinin raga gigis dadi nak Brahmana,” begitu nasihat mereka.

Kasta menjelma menjadi “doktrin” kuat yang berhasil merambah begitu banyak ruang dalam

kehidupan beberapa (garisbawahi: beberapa!) orang Bali – dari zaman kemunculannya hingga

kini. “Doktrin” ini menguasai sasarannya (orang Bali) sehingga pada suatu titik penguasaan ia

berhasil menjadi “isme” yang berakar mulai dari wilayah abstrak manusia – pikiran dan emosi –

hingga ke wilayah perilaku keseharian yang terindera.

Jika dihubungkan dengan konsep yang konon mendasari dan menjadi struktur seragam desa-desa

adat di Bali, yaitu Tri Hita Karana, kasta bukan hanya telah menyentuh pawongan, namun juga

palemahan, dan bahkan parhyangan. Dalam tiga ranah konsep ini, kasta adalah salah satu

“mesin” konflik. Malahan, yang paling keras memunculkan berbagai konflik justru pada tataran

parhyangan, yang notabene merupakan ranah konsep hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.

Pandangan terhadap orang lain, terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang

ditunjukkan kedua orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh

pada tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering kali

menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral, dikultuskan, elitis, sehingga

menghalangi integrasi antarindividu.

Seorang petinggi daerah di Bali yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan “sistem 2D”

dalam perekrutan PNS. Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang

yang “2D”, yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).

16

Pada tataran palemahan, pada titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak

melatarbelakangi pola pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada

beberapa kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial

menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta

antarkelompok.

Perbedaan kasta antara kelompok satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham

yang berbeda pula di antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah

“kolektivitas sempit”, suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi tahun 2007

kemarin.

Salah satu contoh konflik berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah

konfrontasi antara konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini

memuncak menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari

tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah tentang siapa

yang seharusnya muput karya.

Sebelumnya, ritual-ritual di Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga

Brahmana Siwa (Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita

dari Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik dan

politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita dari berbagai

kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999 ini, “… walau dalam

suasana tegang,” tulis Pitana.

Bayangkan! Sebuah ritual keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama

manusia kepada Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah

bukan hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga, namun justru

elemen dalam lembaga agama sendiri.

Konflik antara dua kubu di atas, pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka

di sisi lainnya, mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut

kasus ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa dan status ini

17

adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan menggunakan ranah parhyangan

sebagai alatnya.

Sekali lagi, kasta di Bali memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing

kasta di Bali agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik,

layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini bergerak dengan

fundamentalisme pandangan terhadap kastanya.

Sejarah kemunculan kasta di Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri

Kresna Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna Kepakisan,

Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar ketiganya, diapresiasi

dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.

Sebagaimana isme yang lain, kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga

tidak menutup kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan –

berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan perlu dicatat,

kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia politik praktis, tidak jauh dari

kuasa dan uang.

Kalau dirunut dari sejarah kasta di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua:

politik kekuasaan, dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu

mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer yang

menegangkan semacam suasana dalam perang fisik

2.5 Jenis-jenis konflik

Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada empat jenis konflik yaitu

konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar

kelompok dan konflik antar organisasi.,

1) Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada

18

waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:

Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing

Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-

kebutuhan itu terlahirkan.

Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan

Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan yang

diinginkan.

Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :

a) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang

sama-sama menarik.

b) Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang

sama menyulitkan.

c) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang

mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

2) Konflik Interpersonal

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena

pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda

status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika

yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan

beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi

proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.

3) Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok

Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk

mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai

contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena

ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.

19

4) Konflik interorganisasi

Konflik intergrup merupakan hal yang tidak asing lagi bagi organisasi manapun, dan konflik ini

meyebabkan sulitnya koordinasi dan integrasi dari kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas

dan pekerjaan. Dalam setiap kasus, hubungan integrup harus di

manage sebaik mungkin untuk mempertahankan kolaborasi dan menghindari semua

konsekuensidisfungsional dari setiap konflik yang mungkin timbul.

Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap

sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini

berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk

baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara

lebih efisien.

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :

Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan

dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))

Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).

Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).

Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)

Konflik antar atau tidak antar agama

Konflik antar politik.

2.6 Faktor penyebab konflik

Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya konflik, yaitu:

1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap

manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan

perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan

perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor

20

penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak

selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik

di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda.

Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang

berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dalam pola-pola pemikiran

dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada

akhitnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Manusia memiliki

perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab

itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki

kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang

sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan

kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap

hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka

sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-

pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun

atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian

kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan

bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus

dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok

dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di

masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut

bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar

kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara

kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di

antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan

pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan

memperbesar bidang serta volume usaha mereka

21

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu

berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu

terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami

proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab

nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian

secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang

berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja

dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan

kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi

formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan

nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah

menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam

dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,

akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan

terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap

mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2.7 Akibat dari konflik

Mendengar kata konflik mungkin kita sebagai orang awam selalu menganggapnya sebagai

pertengkaran,kericuhan maupun hal-hal yang sifatnya cenderung mengarah ke arah yang

negatif,namun tidak hanya dari segi negative saja melainkan kita bisa melihan sisi positif juga,

inilah hal negatif dan positif  yang dihasilkan dari sebuah konflik :

meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik

dengan kelompok lain.

keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling

curiga dll.

22

kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.

dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan

respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan

kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa

sebagai berikut:

Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan

untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk

"memenangkan" konflik.

Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang

memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.

Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk

menghindari konflik.

2.8 Cara mencegah konflik

Konflik bisa dialami siapa saja, baik oleh orang dewasa maupun remaja. Pada usia remaja

konflik akan sering terjadi karena secara emosi mereka bisa dibilang belum stabil. Oleh sebab itu

konflik sering dialami para remaja. Berikut beberapa kiat untuk mengatasi konflik yang sering

dialami individu, yaitu :

1.Tetap percaya

Tetap percaya pada seseorang yang mempunyai masalah dengan kita. Dalam suatu hubungan

tidak selalu berjalan mulus, untuk itu kita tetap percaya bahwa masing-masing bisa menjaga

hubungan agar harmonis.

2.Bicara dari hati kehati

Ketika sedang menghadapi konflik dengan seseorang usahakan agar kamu bisa

membicarakannya dengan baik yaitu dari hati ke hati, dengan demikian anda akan mengerti apa

23

yang sebenarnya teman anda inginkan.

3.Curhat yang benar

Curhat memang perlu tapi hati-hati jika curhat dilakukan dalam suasana yang tidak tepat maka

itu malah akan menjadi boomerang bagi kalian.

4.Cari tempat yang enak

Untuk menyelesaikan pertentangan yang sedang kamu hadapi dalam membicarakan perlu

melihat lingkungan apakah mendukung untuk kamu dapat membicarakannya.

5.Kenang hal-hal yang lucu yang pernah kamu alami dengan temanmu tersebut

6.Beri maaf

Hal-hal yang paling penting adalah memberi maaf pada teman kamu yang sedang bermasalah

dengan kamu, sehingga ketika kamu saling memaafkan maka konflik yang

sedang terjadi bisa diatasi.

7.Introspeksi diri

Jangan langsung menyalahkan teman kamu yang menyebabkan konflik terjadi tersebut tetapi

usahakan bahwa kamu juga bisa mengoreksi diri siapa tahu kamu yang salah.

8.Jalin komunikasi

Komunikasi sangat diperlukan sehingga kamu akan saling mengerti keinginan masing-masing.

Bertengkar dengan teman adalah hal yang wajar tetapi yang penting adalah bagaimana kamu

dapat menyelesaikannya dengan baik.

Adapun cara lain untuk mencegah terjadinya konflik yaitu:

1. Terjemahkan apa yang sebenarnya Anda inginkan

Saat perdebatan dengan teman, kakak, rekan kerja, atau siapapun, dan suasana makin panas,

Anda akan mudah sekali terbawa emosi. Bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi untuk

mencari solusi bersama. Berhentilah untuk selalu berusaha memecahkan segala macam

persoalan. Hentikan perdebatan, lalu mulai tuliskan perasaan Anda, atau cari teman yang

dipercaya untuk mendengarkan masalah Anda. Intinya, cara ini membantu Anda memikirkan

hasil atau solusi yang paling tepat. Mengambil keputusan saat pikiran dikuasai amarah hanya

akan membuat Anda mencari-cari alasan pembenaran dan menyalahkan orang lain.

24

2. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi

Ketika Anda sudah mengontrol pikiran Anda dengan lebih tenang, Anda akan lebih mudah

menghadapi orang lain. Jangan sekali-kali berasumsi bahwa Anda tahu betul sumber

masalahnya berdasarkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Cari tahu sumber

masalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan fakta sebelum mulai

membicarakan solusi. Misalkan, pasangan Anda kesal karena tagihan membludak akibat

belanja keperluan rumah tangga. Daripada membalas dengan bentakan dan amarah, lebih baik

tanyakan apa yang membuat ia kesal dengan anggaran yang sudah Anda buat. Apakah

menurutnya Anda belanja lebih banyak darinya? Apakah Anda harus melakukan pengurangan,

atau memang penggunaan uang harus diperketat? Lakukan riset kecil-kecilan, bandingkan

dengan pengeluaran rumah tangga pada umumnya (dengan standar tertentu), lalu diskusikan

perbandingan tersebut dengan keluhan suami. Berusaha memahami posisi orang lain (lawan

bicara) akan memudahkan Anda untuk mencari solusi bersama.

3. Tetapkan bentuk proses negosiasi

Jika pikiran sudah tenang dan terkontrol, tentukan kepada siapa Anda ingin bicara dan

menegosiasikan masalah, kapan dan dimana tempat yang paling tepat. Persiapan ini penting

untuk menciptakan kenyamanan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Siapkan juga alur

pembicaraan dan agendanya, sepakati bersama siapa yang memulai pembicaraan. Siapkan

waktu khusus untuk menyelesaikan masalah. Hal ini untuk menunjukkan itikad baik Anda.

4. Sampaikan pesan yang tepat

Mulailah berdiskusi untuk mencari solusi dengan memunculkan sejumlah saran dan ide.

Tunjukkan bahwa Anda mempunyai niat serius untuk memperbaiki keadaan. Katakan juga

bahwa niat baik ini adalah untuk mencari solusi yang bisa disepakati dan dijalankan untuk

kebaikan bersama. Tak cukup hanya dengan ucapan, Anda juga harus menyelesaikan masalah

dengan menunjukkan perilaku yang mendukung ke arah positif. Sikap tubuh yang keliru, yang

menunjukkan emosi, bisa memperkeruh suasana.

5. Negosiasi

25

Saat Anda memulai bernegosiasi untuk mencari solusi, kontrol diri Anda. Jangan memotong

pembicaraan; bicaralah saat sudah giliran Anda. Respons pernyataan lawan bicara dengan

tenang. Tarik nafas, dan berikan jeda beberapa detik untuk menjawabnya. Kontrol diri sangat

penting agar solusi bisa ditemukan dengan pikiran yang tenang dan bukan emosi.

BAB III

26

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapat dari pembahasan dalam makalan ini adalah sebagai

berikut:

1. Konflik diartikan sebagai suatu proses social antar dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkanya atau membuatnya tidak berdaya.

2. Menurut beberapa para ahli Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut

komunikasi dan Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi

sumber pengalaman positif.

3. Pendekatan konflik, bukan kepentingan di dalam yang bersifat subyektif

sebagaimana dirasakan oleh orang-orang, melaikan kepentingan yang secara

onyektif melekat dalam kedudukan social tertentu. Karena kepentingan yang

demikian tidak selalu disadari adanya, maka disebut sebagai kepentingan-

kepentingan yang bersifat laten, sementara mereka yang memilikinya disebut

sebagai kelompok semu.

4. Banyak konflik-konflik yang terjadi di Indonesia bahkan diluar negeripun konflik

sering terjadi, sehingga kita bisa bercermin dari konflik-konflik yang sudah terjadi

tersebut agar di Negara kita pada umumnya dan di wilayah kita khususnya agar

konflik tidak terjadi.

5. Ada beberapa jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal,

konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar

organisasi.

6. Factor penyebab konflik adalah Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan

pendirian dan perasaan, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga

membentuk pribadi-pribadi yang berbeda, Perbedaan kepentingan antar individu

atau kelompok, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam

masyarakat.

27

7. Akibat dari konflik adalah keretakan hubungan antar kelompok, kerusakan harta

benda , hilangnya jiwa manusia dan lain-lain.

8. Cara mencegah konflik adalah terjemahkan apa yang sebenarnya anda inginkan,

kumpulkan sebanyak mungkin informasi, tetapkan pentuk proses negosiasi,

sampaikan pesan yang tepat dan negosiasi.

DAFTAR PUSTAKA

28