karya tulis drh. made sukada, m.si, dkk · 2017. 6. 6. · interpretasi kejadian streptococcosis...

30

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • INTERPRETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BABI DI

    Drh. I Made Sukada

    Drh. A.A. Gde Oka Dharmayudha, MP (Nip.

    Drh. Made Suma Anthara, M.Kes (Nip. 195803071987021001)

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    KARYA TULIS

    INTERPRETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BABI DI

    DAERAH TABANAN

    Oleh :

    Drh. I Made Sukada, M.Si (Nip. 196210241989031003)

    Drh. A.A. Gde Oka Dharmayudha, MP (Nip. 197711202002121001)

    Drh. Made Suma Anthara, M.Kes (Nip. 195803071987021001)

    FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2016

    INTERPRETASI KEJADIAN STREPTOCOCCOSIS PADA BABI DI

    31003)

    197711202002121001)

    Drh. Made Suma Anthara, M.Kes (Nip. 195803071987021001)

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

    penulisan Karya Tulis ini dapat terwujudkan. Terimakasih kepada Dinas Peternakan,

    perikanan, dan Kelautan Kabupaten Tabanan atas kerjasamanya yang baik selama ini.

    Semoga segala pemikiran yang baik dalam tulisan ini dapat menumbuhkan semangat

    dalam kinerja di lapangan.

    Penulis menyadari bahwa Karya Tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

    karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

    demi penyempurnaan Karya Tulis ini. Penulis berharap semoga Karya Tulis ini dapat

    bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu

    kedokteran hewan.

    Denpasar, Januari 2016

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

    DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

    DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iii

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ iv

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2

    1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

    1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................. 2

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Etiologi Streptococcus sp. ........................................................................ 3

    2.2 Penyebab Streptococcosis pada Babi ....................................................... 3

    2.3 Epidemiologi Streptococcus sp ................................................................ 4

    2.4 Epidemiologi Streptococcosis di Indonesia............................................. 4

    2.5 Sumber Penularan dan Cara Penularan Streptococcosis pada Babi ......... 6

    2.6 Gejala Klinis Streptococcosis ................................................................... 6

    2.7 Patogenesis Streptococcosis ..................................................................... 6

    2.8 Pencegahan dan Pengobatan Streptococcosis .......................................... 7

    BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1 Hasil ........................................................................................................ 8

    3.2 Pembahasan .......................................................................................... 12

    BAB IV PENUTUP

    4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 12

    4.2 Saran ....................................................................................................... 20

    DAFTAR PUSTAKA

  • DAFTAR TABEL

    Hal

    Tabel 1. Jumlah populasi babi dan kasus Streptococcosis di Kabupaten Tabanan

    tahun 2015....................................................................................................................... 8

    Tabel 2. Kasus Streptococcosis pada Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada triwulan

    I, II, dan III....................................................................................................................... 9

  • DAFTAR GAMBAR

    Hal

    Gambar 1. Diagram Populasi Ternak Babi di Kabupaten Tabanan pada Triwulan

    I, II, dan III........................................................................................................... 8

    Gambar 2. Diagram Jumlah Kasus Streptococcosis pada Babi di Kabupaten Tabanan pada

    Triwulan I, II, dan III............................................................................................ 9

    Gambar 3. Grafik Perbandingan Kasus Streptococcosis pada babi Per Kecamatan di

    Kabupaten Tabanan pada Triwulan I,II, dan III................................................... 10

    Gambar 4. Prevalensi Kasus Streptococcosis Per Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada

    Triwulan I,II, dan III............................................................................................. 10

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Babi merupakan salah satu hewan yang dipelihara, dibudidayakan, dan

    diternakkan untuk tujuan memenuhi kebutuhan daging atau protein hewani bagi

    manusia. Peningkatan kebutuhan daging babi, sejalan dengan peningkatan jumlah

    penduduk tiap tahunnya. Konsumsi daging babi meningkat di Bali karena

    peningkatan kebutuhan protein hewani, dan penggunaan daging babi untuk upacara

    adat. Oleh karena itu perternakan babi di Bali semakin meningkat tiap tahunnya.

    Ternak babi dan atau produk olahannya cukup potensial sebagai komoditas

    ekspor nasional. Melihat hal tersebut, nilai ekonomis peternakan babi sangat

    signifikan sehingga perkembangannya ke depan cukup menjanjikan. Peluang ekport

    ke mancanegara masih sangat besar terutama dengan keunggulan Indonesia yang

    memiliki status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

    Perkembangan dan peningkatan jumlah populasi babi, diikuti pula dengan

    meningkatnya penyakit yang terjadi. Hal tersebut akan menjadi kendala yang

    dihadapi peternak dalam kegiatan pembibitan babi. Ada berbagai penyakit pada babi

    yang dapat mengancam produktivitas diantaranya: streptococcus sp., hog cholera,

    salmonellosis, maupun kolibasilosis (Doyle & Dolares, 2006).

    Streptococcus sp. adalah bakteri gram positif yang dapat menyebabkan

    berbagai penyakit. Pada saat sistem imun menurun maka bakteri streptococcus sp.

    akan masuk ke dalam tubuh baik melalui mulut, inhalasi, maupun penetrasi kulit. Jika

    bakteri ini masuk ke dalam peredaran darah dan menyebar ke organ tubuh lainnya

    maka akan merusak organ-organ tubuh tersebut dan menyebabkan berbagai penyakit

    (Entjang, 2003).

    Wabah streptococcus sp. pada babi telah dilaporkan terjadi di Bali pada bulan

    Mei hingga Juli 1994. Penyakit ini menyerang babi segala umur, jenis kelamin

  • dan ras. Tingkat morbiditas dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38%

    sedangkan case fatality rate mencapai 75% (Suarjana, 2012).

    Streptococcus suis merupakan bakteri yang sumber penularannya adalah

    hewan babi (Soedarto, 2003). Streptococcus suis pada hewan dapat ditemukan pada

    tonsil palatina babi dalam bentuk komensal atau pathogen oportunis (Salasia dan

    Lämmler, 1994). Klasifikasi menurut Lancefield, Streptococcus suis termasuk

    kedalam grup D (Quinn, 2002).

    Streptococcus suis pada ternak sering menimbulkan angka kematian yang

    tinggi yang berakibat fatal pada babi, hal ini nampak dengan terjadinya meningitis

    yang ditandai dengan demam, depresi, gangguan koordinasi dan kelumpuhan.

    Dari beberapa dampak yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri streptococcus sp.

    Diatas, akan sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan para peternak-

    peternak babi sehingga menghambat peternakan babi yang ada di Bali khususnya di

    Kabupaten Tabanan.

    1.2 Rumusan Masalah

    Bagaimanakah gambaran proporsi kejadian streptococcosis pada babi di daerah

    Tabanan kurun waktu 2015 ?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan laporan ini adalah mengetahui pluktuasi Streptococcosis

    pada babi serta tindakan yang telah dilakukan oleh Dinas Peternakan Tabanan dalam

    usaha pencegahan Streptococcosis pada ternak babi.

    1.4 Manfaat Penulisan

    Gambaran pluktuasi penyakit dapat sebagai pertimbangan dalam langkah

    pencegahan dan pengendalian streptococcosis di daerah Tabanan.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Etiologi Streptococcus sp.

    Streptococcus sp. merupakan golongan bakteri yang heterogen. Streptococcus

    sp. adalah bakteri gram positif, namun pada biakan yang lama dan bakteri yang mati

    Streptococcus sp. kehilangan gram positifnya dan terlihat seperti gram negatif. Hal

    ini dapat terjadi setelah inkubasi semalaman (Jawetz et al., 2007). Streptococcus sp.

    berbentuk bulat atau oval, coccus tunggal berbentuk batang atau ovoid dan tersusun

    seperti rantai, bersifat fakultatif aerob. Diameter bakteri berukuran 0,7-1,4µm.

    Strain Streptococcus patogenik memiliki beberapa faktor virulensi seperti

    antigen karbohidrat dan protein spesifik, produksi toksin maupun enzim (Vecht, et

    al.,1989). Menurut Vecht, et al.(1991) Streptococcus suis type 2 memiliki dua

    penanda antigen protein spesifik yang dikenal dengan Muramidase released protein

    (MRP) dan Extracellular factor (EF). Selanjutnya Vecht, et al. (1992) menemukan

    bahwa strain S.suis type 2 yang memiliki MRP dengan berat molekul 136 kDa

    (MRP+ ) dan EF dengan berat molekul 110 kDa (EF+) lebih virulen daripada strain

    MRP+ EF- dan/atau MRP- EF-. Strain yang memiliki MRP+ EF+ selain

    menimbulkan peradangan pada beberapa organ, juga menyebabkan meningitis pada

    babi. Sedangakan strain MRP+ EF- dan MRP- EF- tidak menimbulkan meningitis.

    2.2 Penyebab Streptococcosis pada Babi

    Kasus streptococosis yang terjadi pada babi bulan mei sampai juni tahun 1994

    di Bali disebabkan oleh agen penyakit Streptococcus beta hemolitik yang

    diidentifikasi sebagai Streptococcus equi subspecies zooepidemicus dan dikenal

    sebagai Streptococcal meningitis (Dharma, et.al.,1994).

    Streptococcus equi subspecies zooepidemicus yang disingkat S.

    zooepidemicus dan Streptococcus suis tipe 2 mempunyai morfologi bulat dan bersifat

    Gram positif. Untuk membedakan jenis Streptococcus sp. digunakan metode

    Lancefield yaitu mendeteksi perbedaan antigenik pada bagian polisakarida dinding

    sel atau kapsul bakteri. Pada media agar, darah kedua jenis Streptococcus sp. tersebut

  • memiliki koloni yang bersifat seperti lendir atau mukoid, dengan permukaan kasar,

    disertai zona betahemolitik yang timbul setelah 24 jam masa inkubasi.

    2.3 Epidemiologi Streptococcus sp.

    Wabah Streptococcus sp. pertama pada babi dilaporkan terjadi di Inggris pada

    1951 dengan angka kematian yang tinggi serta gejala meningitis dan artritis. Setelah

    itu dilaporkan terjadi di Belanda pada 1954, sampai akhirnya dilaporkan muncul juga

    di Amerika utara pada 1969. Gejala pada hewan pada umumnya ditandai dengan

    septikemia, meningitis, endokarditis, artritis, dan kadang-kadang infeksi lainnya.

    Kasus manusia pertama terinfeksi Streptococcus sp. dilaporkan di Denmark pada

    1968, dan sejak itu Eropa utara dan Asia Tenggara mengalami sejumlah wabah kasus

    meningitis pada manusia yang disebabkan oleh Streptococcus sp tipe 2. Di China

    terjadi wabah pada 1998 dengan 25 kasus manusia dan 14 meninggal. Gejala pada

    manusia berupa demam tinggi, tidak enak badan, mual dan muntah, diikuti dengan

    gejala syaraf, bercak kemerahan subkutaneus, syok septik dan koma pada kasus

    parah. (Ramirez 2011).

    Pada 2004, jumlah kasus menginfeksi manusia mencapai lebih dari 200 orang

    di seluruh dunia. Kemudian pada 2005, China mengalami wabah untuk kedua kalinya

    yang mendapatkan perhatian dunia akan potensi zoonosis dari Streptococcus sp. ini.

    Antara bulan Juni dan Agustus tahun tersebut, di Ziyang County, Provinsi Sichuan,

    terjadi wabah dengan 204 kasus dan 38 meninggal (angka fatalitas kasus 18,6%).

    Sampai saat ini, relatif hanya sekitar 700 kasus Streptococcus sp. dilaporkan di

    seluruh dunia, kebanyakan terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Di negara maju

    kebanyakan dikaitkan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan babi, seperti pekerja

    peternakan babi dan pekerja rumah pemotongan hewan. Di negara berkembang

    dengan sistem produksi babi yang intensif seperti di Asia Tenggara, risiko untuk

    terinfeksi Streptococcus sp tidak diketahui pasti mengingat penyakit ini bukan

    merupakan penyakit yang wajib dilaporkan (notifiable disease) dan umumnya kurang

    berhasil didiagnosa secara tepat (Wertheim et al; 2009).

    2.4 Epidemiologi Streptococcus sp. di Indonesia

    Streptococcosis pernah mewabah di Bali pada bulan april tahun 1994 dan

    telah menimbulkan kematian sekitar 2.200 babi di peternakan rakyat Bali. Secara

    bersamaan streptokosis juga menimbulkan kematian pada ratusan monyet di kawasan

  • Hutan Wisata Alam Bali, antara lain di Sangeh, Ubud, dan Alas Kedaton. Penyebab

    wabah tersebut telah diidentifikasi oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah

    VI Denpasar Bali yaitu bakteri Streptococcus sp zooepidemicus (Dibia et al, 1995).

    Penyakit ini menyerang babi segala umur, jenis kelamin dan ras. Tingkat morbiditas

    dan mortalitas pada babi berkisar 51% dan 38% sedangkan case fatality rate

    mencapai 75%. Disamping itu penyakit ini juga menyerang monyet yang ada

    dibeberapa Hutan Wisata Alam (HWA) di Bali. Angka mortalitas streptococcosis

    pada kera di HWA Sangeh, Padang tegal dan Alas Kedaton berturut-turut 15%, 9%

    dan 5,6% dan jumlah populasi kera yang diperkirakan berturut-turut : 500 ekor,200

    ekor dan 500 ekor. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bakteri tersebut diidentifikasi

    sebagai Streptococcus sp equi subspesies zooepidemicus yang diidentifikasi grup C

    menurut klasifikasi Lancefield (Soedarmanto et al., 1996).

    Wabah streptococcosis yang pernah terjadi pada tahun 1994 berpotensi

    merebak kembali, karena penyebaran penyakit dapat terjadi melalui hewan pembawa

    yakni babi, karena babi merupakan komoditi perdagangan yang diantarpulaukan.

    Bakteri Streptococcus sp Grup C (SGC) yang mewabah pada tahun 1994, dapat

    ditemukan pada babi yang secara klinis sehat dan dipotong di Rumah Potong Hewan

    (RPH) Denpasar-Bali pada tahun 1998. Selain itu, isolat SGC yang berasal dari babi

    sakit pada tahun 1994 secara genotip terbukti mempunyai kemiripan dengan isolat

    babi hasil isolasi pada tahun 1998. Awal tahun 2000 juga telah berhasil diisolasi

    bakteri SGC pada pekerja Rumah Potong Hewan dan pemandu wisata di Hutan

    Wisata Alam Bali (Salasia et al.,2005).

    Gejala klinis Streptococcosis yang muncul pada babi lebih beragam dan organ

    atau jaringan yang mengalami lesi lebih banyak dari pada monyet. Hal ini dapat

    dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh atau respon tubuh babi dan monyet

    terhadap infeksi Streptococcus sp zooepidemicus. Faktor ini dapat menjadi salah satu

    faktor penyebab terjadinya perbedaan gambaran histopatologi streptokokosis antara

    babi dan monyet. Faktor genetik diketahui berperan terhadap kekebalan atau

    kerentanan suatu spesies terhadap penyakit (Suradhat, 2005). Meskipun babi dan

    monyet sama-sama tergolong sebagai hewan mamalia, namun aspek genetik yang

    berbeda antara kedua spesies ini harus tetap dipertimbangkan. Tingkah laku,

    fisiologis dan respon metabolik hewan terhadap tantangan dari luar tergantung pada

    latar belakang genetic (Terlouw, 2005). Genotip babi memiliki sensitivitas yang lebih

    tinggi terhadap patogen dan non patogen, yang diperlihatkan melalui produktivitas

    yang menurun dan mortalitas yang meningkat, selama tekanan atau stres penyakit

    atau dalam lingkungan sub-optimal (Leininger et al., 2000).

  • 2.5 Sumber Penularan dan Cara Penularan Streptococcosis Pada Babi

    Peralatan kandang, alat transportasi, dan keranjang pengangkut babi yang

    tercemar berperan sebagai sumber penular. Pembuangan limbah pemotongan babi

    yang kurang baik dan lalu lintas ternak babi yang pesat mempercepat penyebaran

    penyakit. Pada babi, penularan lebih banyak terjadi per os lewat ekskreta atau sisa-

    sisa pemotongan babi yang mencemari tempat minum.

    Penularan Streptococcus sius terjadi melalui kontaminasi cairan vagina ke

    rongga mulut dari anak babi pada saat partus (Amass et al. 1996) dan koloni pada

    tonsil setelah lahir (Amass et al., 1995).

    2.6 Gejala Klinis Streptococcosis

    Pada babi masa inkubasi penyakit berlangsung 1-2 hari. Gejala klinik yang

    ditemukan mula-mula adalah demam tinggi, kemudian diikuti oleh nafsu makan

    menurun sampai anoreksia dan lesu. Babi yang terserang penyakit ini tidak banyak

    bergerak dan bergerombol pada satu sudut. Keesokan harinya terlihat pincang pada

    salah satu atau lebih dari satu kakinya. Persendiaan membengkak unilateral ataupun

    bilateral. Kulit di bagian pinggir daun telinga dan di bawah perut berwarna merah

    keungu-unguan. Beberapa kasus menunjukkan gejala saraf seperti tremor,

    opistotonus, gerakan mengayuh (paddling movement), meningitis, arthritis,

    pneumonia, endokarditis, serositis, keguguran, dan abses lokal. Menjelang kematian

    dapat ditemukan darah keluar dari mulut dan hidung (Cole, 1990).

    2.7 Patogenesis Streptococcosis

    Babi yang menderita streptococcosis akan menunjukkan adanya meningitis

    akut yang ditandai dengan kongesti disertai infiltrasi neutrofil pada kapiler

    meninges. Pada beberapa kasus, selain meningitis juga dijumpai adanya peradangan

    pada organ lain seperti usus, hati, paru-paru dan limpa. Menurut Vecht, et al. (1989)

    pada umumnya kasus streptococcosis menimbulkan septikemia yang disertai adanya

    perubahan patologik pada berbagai organ. Selanjutnya Chanter, et al. (1993)

    mengatakan bahwa infeksi oleh S. suis type 2 dapat menyebabkan meningitis pada

  • babi oleh karena bakteri bersifat intraseluler dalam monosit atau makrofag kemudian

    mengikuti aliran darah sampai ke cairan cerebrospinalis melewati pleksus koroideus.

    Bakteri streptococcus memiliki hemaglutinin dan sebagai adhesin untuk perlekatan

    bakteri pada sel hospes. Selanjutnya monosit diperkirakan memproduksi sitokin yang

    dapat merangsang terjadinya reaksi peradangan.

    Menurut Salasia, et al.(2002) sifat hidrofobisitas pada Streptococcus

    zooepidemicus mempunyai hubungan dengan kemampuan hemaglutinasi. Bakteri

    yang mempunyai protein dengan sifat hidrofobik mampu melekat pada sel epitel dan

    mudah difagosit oleh sel polimorfonuklear leukosit. Selanjutnya Galina, et al.

    (1994) mengatakan kematian babi pada umumnya disebabkan oleh adanya lesi pada

    sistem saraf pusat.

    2.8 Pencegahan dan Pengobatan Streptococcosis

    Vaksin untuk mencegah Streptococcus sp. pada babi belum tersedia.

    Pemberian antibiotika dalam makanan pernah digunakan untuk membersihkan

    penularan dalam suatu peternakan babi. Dalam keadaan seperti ini, perlu diperhatikan

    waktu penghentian antibiotika (withdrawal time) sebelum babi dipotong agar tidak

    terdapat residu antibiotika dalam daging (Jawetz et al., 1986). Pencegahan kasus

    Streptokokosis suis, setiap luka lecet yang kecil sekalipun yang diderita pengolah

    daging babi harus ditutup rapat agar tidak terinfeksi kuman. Makanan dan minuman

    sebaiknya dimasak dengan sempurna (Zamzam, 2003).

  • BAB III

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1 Hasil

    Dari data populasi dan terjadinya Streptococcosis pada babi di

    Kabupaten Tabanan yang di dapat pada Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan

    dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Jumlah kasus Streptococcosis pada ternak babi di Kabupaten Tabanan,

    Babi pada tahun 2015.

    Tabel 1. Jumlah populasi babi dan kasus Streptococcosis di Kabupaten

    Tabanan.

    No. Bulan Jumlah kasus

    Streptococcosis pada

    sapi di Kabupaten

    Tabanan

    Jumlah

    populasi sapi

    tahun 2015

    Prevalensi

    (%)

    1

    2

    3

    Triwulan I

    Triwulan II

    Triwulan III

    199

    143

    307

    91.670 ekor

    91.720 ekor

    91.770 ekor

    0,21

    0,15

    0,33

    Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tabanan (2015)

  • Gambar 1. Diagram populasi ternak babi di Kabupaten Tabanan pada Triwulan I,

    Triwulan II, Triwulan III.

    Gambar 2 . Diagram jumlah kasus Streptococcosis di Kabupaten Tabanan pada

    Triwulan I, Triwulan II, Triwulan III.

  • Tabel 2. Kasus Streptococcosis pada Kecamatan di Kabupaten Tabanan pada

    Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

    Kecamatan Triwulan I Triwulan II Triwulan III

    1 2 3 1 2 3 1 2 3

    Baturiti

    Penebel

    Marga

    Kediri

    Tabanan

    Kerambitan

    Sel Tim

    Selemadeg

    Sel Bar

    Pupuan

    16.129

    17.311

    4.463

    2.379

    6.110

    6.763

    23.060

    4.302

    8.629

    2.524

    28

    34

    -

    25

    34

    -

    27

    12

    38

    1

    0,17

    0,19

    -

    1,05

    0,55

    -

    0,11

    0,27

    0,44

    0,03

    16.134

    17.316

    4.468

    2.384

    6.115

    6.768

    23.065

    4.307

    8.634

    2.529

    34

    4

    -

    33

    6

    -

    22

    8

    19

    27

    0,21

    0,02

    -

    1,38

    0,09

    -

    0,09

    0,18

    0,22

    1,06

    16.139

    17.321

    4.473

    2.389

    6.115

    6.773

    23.075

    4.312

    8.639

    2.534

    45

    18

    26

    24

    54

    -

    19

    44

    18

    27

    0,27

    0,10

    0,58

    1,00

    0,88

    -

    0,08

    1,02

    0,20

    0,02

    Total 91.670 199 91.720 143 91.770 307

    Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tabanan (Triwulan I,II

    dan III).

    Keterangan:

    1. Populasi ternak

    2. Kasus Streptococcosis

    3. Prevalensi Streptococcosis

  • Gambar 3. Grafik perbandingan kasus Streptococcosis per Kecamatan di Kabupaten

    Tabanan pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

    Gambar 4. Prevalensi kasus Streptococcosis per Kecamatan di Kabupaten Tabanan

    pada Triwulan I, Triwulan II dan Triwulan III.

  • 3.2 PEMBAHASAN

    Infeksi Streptococcus suis dapat diperoleh pada proses penyembelihan atau

    penanganan dan proses konsumsi daging babi, akan tetapi infesi tersebut dapat

    dicegah (Hiong, et al., 2014). Dalam aspek epidemiologi dibahas tiga aspek pokok

    yaitu frekuensi masalah kesehatan, penyebaran masalah kesehatan, dan faktor-faktor

    yang mempengaruhi.

    Data yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan pada tahun

    2015 triwulan I telah ditemukan kasus Streptococcosis sebanyak 199 ekor dari 91.670

    dengan prevalensi 0,21%, triwulan II ditemukan sebanyak 143 ekor dari 91.720

    dengan prevalensi 0,15%, dan triwulan III ditemukan sebanyak 307 ekor dai 91.770

    dengan prevalensi 0,33% populasi babi yang ada di Kabupaten Tabanan. Ratio

    prevalensinya mengalami penurunan pada triwulan II (0,15%) dan mengalami

    kenaikan lagi pada triwulan III (0,33%) sehingga kasus Streptococcus sp. mempunyai

    sifat endemik di Kabupaten Tabanan.

    Endemik merupakan kejadian penyakit pada suatu tempat tertentu yang terjadi

    dengan frekuensi menetap sepanjang tahun (Suparyanto, 2012). Dinas Peternakan

    Kabupaten Tabanan perlu melakukan tindakan upaya pencegahan, pengamanan, dan

    terapi terhadap ternak babi pada kecamatan terancam. Upaya pencegahan yang telah

    dilakukan Dinas Peternakan Tabanan terhadap penyakit hewan strategis yang terjadi

    di Kabupaten Tabanan meliputi sosialisasi, vaksinasi, eliminasi, pengawasan lalu

    lintas ternak, kontrol populasi, dan surveilans.

    .

    Prevalensi =

    • Prevalensi Streptococcosis = 0,21%

    • Prevalensi Streptococcosis Triwulan II = 0.15%

    • Prevalensi Streptococcosis = 0,33 %

    • Ratio kejadian penyakit Streptococcosis yang terjadi pada Triwulan I, Triwulan II,

    dan Triwulan III di kecamatan dengan kasus tetinggi dan terendah yang ada di

    Kabupaten Tabanan.

  • a. Triwulan I

    Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif

    Selemadeg Barat 38 8591

    Pupuan 1 2523

    Interpretasi :

    Proporsi kejadian kasus yang pluktuatif terjadi di setiap Kecamatan di

    Kabupaten Tabanan pada Triwulan I. Berdasarkan proporsi kejadian dapat

    menunjukkan perbedaan yang nyata antara dua kecamatan tertinggi dan terendah

    pada Triwulan I. Kejadian tertinggi terjadi di kecamatan Selemadeg Barat dengan

    jumlah kasus positif sebanyak 38 ekor, sedangkan yang terendah terjadi di kecamatan

    Pupuan dengan kasus positif hanya 1 ekor. Setelah diuji menggunakan program SPSS

    Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P

  • penyakit Streptococcosis pada Triwulan I di Kecamatan Selemadeg Barat dengan

    kejadian penyakit Streptococcosis yang terdapat di Kecamatan Pupuan.

    b. Triwulan II

    Kecamatan Kasus Positif Kasus Negatif

    Baturiti 34 16100

    Penebel 4 17312

    Interpretasi :

    Proporsi kejadian kasus yang pluktuatif masih terjadi di setiap Kecamatan di

    Kabupaten Tabanan pada Triwulan II. Kejadian tertinggi terjadi dikecamatan

    Baturiti dengan jumlah kasus positif sebanyak 34 ekor, sedangkan yang terendah

  • terjadi di kecamatan Penebel dengan kasus positif hanya 4 ekor. Setelah diuji

    menggunakan program SPSS Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda

    nyata (P

  • SPSS Chi-square Test maka disimpulkan bahwa berbeda nyata (P

  • BAB IV

    PENUTUP

    4.1. SIMPULAN

    Dari data yang didapat di Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan dapat

    disimpulkan adalah : Pada tahun 2015 kasus Streptococcosis mengalami pluktuasi di

    setiap Kecamatan. Pada triwulan I kasus Streptococcosis dengan prevalensi tertinggi

    terdapat di Kecamatan Kediri, pada triwulan II kasus Streptococcosis dengan

    prevalensi tertinggi terdapat di Kecamatan Kediri dan pada triwulan III tinggi

    prevalensi kasus Streptococcosis pada Kecamatan Kediri sama dengan Kecamatan

    Selemadeg.

    4.2. Saran

    Perlu adanya kerjasama dari masyarakat dan pemerintah dalam menangani

    kasus Streptococcosis agar terjadi penurunan kasus setiap bulannya, sehingga kasus

    Streptococcosis di Bali khususnya Kabupaten Tabanan dapat diminimalisir. Serta

    perlu dilakukan pengawasan dan penanganan yang lebih intensif terhadap Kecamatan

    Kediri yang hampir setiap bulan mempunyai tingkat prevalensi penyakit

    Streptococcosis yang cukup tinggi. Usaha dinas peternakan dalam melakukan

    sosialisasi terhadap peternak babi dan melakukan pemantauan lalu lintas ternak babi

    yang ketat pada Kabupaten Tabanan dirasa perlu ditingkatkan karena berdasarkan

    data yang ada, Kabupaten Tabanan merupakan daerah endemik Streptococcosis.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Cole Jr.J.R. (1990). “Streptococcus and Related Cocci”. Dalam: Diagnostic

    Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. Edisi ke-5.

    Gottschalk M. Porcine Streptococcus suis strains as potential sources of infections in

    humans: anunderdiagnosed problem in North America?. J Swine Health

    Prod. 2004;12(4):197-199.

    Hayati, Meutia. Data dan Karakteristik Vaksin Bakteri Untuk Babi yang Beredar di

    Indonesia. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan

    Gunungsindur – Bogor, Indonesia 16340

    Horby. P, Heiman. W, Nguyen. H.H, Nguyen, V.T, Dao, T.T, Walter, T, Nguyen,

    M.H, Trinh, T.M.L, Jeremy. F, Nguyen, V.K. 2009. Stimulating the

    Development Of National Streptococcus Suis Guidelines in Viet Nam

    Through a Strategic Research Partnership. Bull World Health Organ

    2010;88:458–461

    (diakses pada tanggal 17

    Januari 2014

    Jawetz, Melnick, dan Adelberg's. (2007). Medical Microbiology. Mc Graw Hill.

    Naipospos, Tri Satya Putri. (2011). Munculnya Penyakit Porcine Reproductive And

    Respiratory Syndrome (PRRS) Baru Dan Keterkaitannya Dengan Patogen

    Zoonosis Streptococcus suis. Jakarta, Indonesia.

    Suarjana, IGK, Widya,A. 2012. Karakterisasi Molekuler dan Uji Patogenesitas

    Streptococcus Patogen Isolat Asal Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 4

    No.1. :1-8. ISSN : 2085-2495

    Reams, R.Y, Lawrence, T.G, Daniel, D.H, Terry, L.B, Leon, T. 1993. Streptococcus

    suis infection in swine: a retrospective study of 256 cases. Part I.

    Epidemiologic factors and antibiotic susceptibility patterns. J Vet Diagn

    Invest 5:363-367

  • Zamzam. (2014). Identifikasi Streptococcus. (diakses pada tanggal 10 Januari

    2014).