karakter tokoh utama dalam kumpulan cerpen …
TRANSCRIPT
KARAKTER TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN GADIS
PAKARENA KARYA KHRISNA PABICHARA (PENDEKATAN
PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
DEWI ANDRIANI S.
NIP: 10533 7211 12
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
2017
ii
MOTO DAN PERSEMBAHAN
"Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan
bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan
yang teguh."
Di atas segala asa, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Dialah puncak segala ketaatan. Berkat karunia-Nya yang besar
hingga akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, teriring penghargaan, terima kasih, cinta dan ketulusan,
kupersembahkan sebuah karya untuk mereka yang menantikan saat-saat ini.
Kupersembahkan karya ini sebagai tanda terima kasihku kepada
kedua orang tua tercinta Ayah Suryadi dan Ibu Kurniati, Suamiku
Alfirman Tato dan Anakku Muh. Fajar Alfirman, kakakku dan adikku
beserta keluargaku juga untuk teman-temanku yang senantiasa
memberikan do’a, harapan, dan semangat.
i
ABSTRAK
DEWI ANDRIANI. S, 2017. “Analisis Karakter Tokoh Utama Pada Kumpulan
Cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara (Pendekatan Psikologi Sastra)”.
Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh H. Tjoddin
SB., Pembimbing I dan Iskandar, Pembimbing II.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena
karya Khrisna Pabichara berdasarkan Pendekatan Psikologi Sastra Teori Sigmund
Freud. Data penelitian ini adalah kalimat-kalimat atau paragraf yang mengandung
aspek-aspek kepribadian dari tokoh utama. Sumber data penelitian ini adalah
kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara yang diterbitkan oleh
Dolphin pada tahun 2012 (cetakan pertama).
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik baca dan teknik
pencatatan atau pengartuan dengan menggunakan teknik analisis isi dengan
menggunakan teori Sigmund Freudn
Dari hasil analisis data dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan,
cerpen Mengawini Ibu dengan tokoh utama Rewa memiliki tiga aspek kepribadian
yaitu Id, Ego, dan Superego. Cerpen Silariang dengan tokoh utama Syarifuddin
Tola memiliki dua aspek kepribadian yaitu Id dan Ego. Id adalah segi kepribadian
tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum
lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan
biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan energi manusia. Ego adalah
segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari dalam realitas apa
yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Superego
adalah perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat
dimana individu itu hidup.
Saran dalam penelitian ini adalah (1) Bagi peneliti selanjutnya harus
mencari konsep dasar tentang pendekatan psikologi sastra secara meluas. Serta
mengembangkan kajian ini sehingga menghasilkan karya-karya yang di dalamnya
memaparkan tentang psikologi seseorang. (2) Penelitian terhadap kumpulan
cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara masih dapat diteliti lebih lanjut
dengan pendekatan yang lain untuk lebih memahami isinya.
Kata Kunci : Psikologi Sastra (Sigmund Freud) Id, Ego dan Superego
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhana Wataala atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Karakter
Tokoh Utama pada Kumpulan Cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara
(Pendekatan Psikologi sastra)” dapat dirampungkan untuk memenuhi salah satu
persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia pada
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mulai dari penyusunan proposal sampai
rampungnya skripsi ini berbagai macam hambatan dan rintangan yang penulis hadapi.
Namun, Alhamdulillah, berkat doa dan usaha yang penulis tempuh semua hambatan dan
rintangan dapat teratasi.
Ucapan terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan kepada Ayahanda
Suryadi dan Ibunda Kurniati, sembah sujud yang tidak terhingga atas segalah jerih
payah, kesabaran, dan ketulusan hati mendoakan dan mencurahkan kasih sayang kepada
penulis. Demikian pula kepada saudara-saudaraku (Hendra, Warni, Sutiawan, Vevti
Deningsi, Muammar Awansyah, dan Reza fahrul Ilmi) dan segenap keluarga atas
bantuannya selama ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. H. Tjoddin SB., M.Pd. pembimbing I
yang telah membimbing, mengarahkan , dan memotivasi penulis. Selanjutnya, kepada
Iskandar, S.Pd., M.Pd,. pembingbing II yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis, bahkan telah banyak memberikan bantuan kepada penulis berupa
arahan, nasihat, masukan serta semangat dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
dalam menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam merampung skripsi ini.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada; Dr. H. Adbul Rahman Rahim,
SE.,MM. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.
D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Makassar, dan Dr. Munirah, M.Pd., ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar beserta
seluruh dosen dan Staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan yang telah membekali penulis dengan rangkaian ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat.
Ucapan terima kasih yang teristimewa kepada Suamiku Alfirman Tato dan
Anakku Muh. Fajar Alfirman. Atas dukungan, doa, semangat selama ini kepada penulis,
semoga Allah Swt melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Ucapan terimah kasih kepada sahabat-sahabat Kelas G Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia angkatan 012. Terima kasih atas dukungannya, doa, semangat dan
kebersamaanya selama ini dengan penulis. Dari semua bantuan yang telah diberikan,
penulis tentunya tidak akan dapat membalasnya kecuali berdoa semoga Allah Swt.
Melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada hamba-Nya yang telah membantu
sesamanya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari berbagai keterbatasan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya,
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, Februari 2017
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................. i
MOTO DAN PERSEMBAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 4
C. Tujuan penelitian .......................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6
A. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 6
B. Kerangka Pikir ............................................................................................. 31
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 32
A. Fokus Dan Desain Penelitian ....................................................................... 32
B. Defenisi Istilah ............................................................................................. 33
C. Data Dan Sumber Data ................................................................................ 33
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 34
E. Teknik Analisis Data ................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 36
A. Penyajian Hasil Analisis Data ..................................................................... 36
B. Pembahasan Hasil Penelitian ....................................................................... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 56
A. Kesimpulan .................................................................................................. 56
B. Saran ............................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 57
LAMPIRAN ........................................................................................................... 59
A. Korpus Data
B. Cerpen
C. Gambar Cerpen
D. Riwayat Hidup
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena
itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
Pengarang sebagai objek invidual mencoba menghasilkan pandangan dunianya
kepada subjek kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual
terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada
kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian itu,
menjadikan iadapat diposisikan sebagai dokumen sosio-budaya Iswanto (dalam
Pradopo dkk, 2001: 59)
Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan produk dari suatu kejiwaan
dan pemikiran pengarang yang berada dalam bentuk situasi setengah sadar, setelah
mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar.
Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang.
Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu
mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta rasa
(Endraswara,2008: 96).
Karya sastra bukan hanya berfungsi sebagai media alternatif yang dapat
menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
1
2
datang, tetapi juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna
dalam upaya merancang manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah
di masa depan (Tang, 2007: 01)
Sastra menurut Jatman dan Roekhan (Endraswara, 2008: 87-88) adalah
sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan
yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra dapat
dikaji dengan menggunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi terlalu
dekat hubungannya. Meskipun sastrawan jarang berfikir secara psikologis, namun
karyanya tetap bisa bernuansa kejiwaan. Hal ini dapat diterima karena antara sastra
dan psikologi memiliki hubungannya lintas yang bersifat tak langsung dan
fungsional.
Cerpen (cerita pendek) sebagai salah satu genre karya sastra (prosa fiksi),
hadir sebagai bagian dari medium untuk mengetahui realitas sosial yang diolah
secara kreatif oleh pengarang. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin
mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realitas kehidupan lewat cerita
yang ada dalam cerpen tersebut. Cerpen dalam khazanah sastra indonesia menjadi
bagian penting sejarah sastra indonesia. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai
cerpen harus di tempatkan dalam mainstreamnya sendiri bukan sebagai tempelan
belaka atau sekedar pelengkap. Saat ini cerpen menjadi hidup dalam dunia pembaca
dan menelusuri kegelisahan kultural masyarakat pembaca.
Cerpen sering kali hadir di tengah-tengah masyarakat dengan kisah yang
menggetarkan, di mana pengarang biasanya menulis cerpen sesuai dengan kisah
3
nyata yang biasa terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Kumpulan cerpen Gadis
Pakarena karya Khrisna Pabichara terdapat empat belas judul cerpen. Namun,
peneliti hanya mengkaji duajudul cerpen saja, karena kedua judul tersebut hadir
dengan kisah-kisah yang menonjolkan kejiwaan tokoh utamanya, terutama pada
judul: Mengawini Ibu dan Silariang. Setiap tokoh utama pada kumpulan judul
cerpen tersebut mengalami konflik-konflik yang memilukan. Cerpen yang berjudul
Mengawini Ibu dengan tokoh utama Rewa, Naura Shabrina, dan Althan Adiva yang
kerap di panggil Daeng Sambang. Ketiga tokoh utama tersebut adalah keluarga,
Rewa adalah buah hati dari Naura Shabrina dengan Althan Adiva (Daeng
Sambang). Rewa sangat membenci ayahnya karena sering membawa perempuan
yang belum dinikahi ke rumahnya setelah Ibunya jatuh dari tangga sampai-sampai
tak kuasa memenuhi kebutuhan batin suaminya. Namun, perlakuan ayahnya
tersebut dibalas Rewa dengan menggauli semua perempuan yang pernah dinikahi
ayahnya. Pesan yang dapat dipetik pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya
Khrisna Pabichara yaitu janganlah berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hati
seorang perempuan, karena perbuatan yang buruk dapat balasan yang buruk juga
dan jadilah seorang laki-laki yang dapat menerima kekurangan seorang perempuan.
Dalam penelitian ini, penulis mengkaji secara detail problem kejiwaan yang
dialami tokoh utama dalam menghadapi konflik yang sulit diterimanya. Dalam
studi psikologi, problem kejiwaan selalu menjadi kajian penting. Peneliti memilih
pendekatan psikologis yang difokuskan pada psikologi Sigmund Freud sebagai alat
pisau bedah dalam melakukan penelitian ini. Adapun alasan peneliti memilih
4
kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara untuk dikaji karena
kumpulan cerpen ini lebih menonjolkan karakter tokoh utamanya. Adanya relevansi
antara pendekatan yang digunakan dan objek yang dikaji akan lebih memudahkan
peneliti di dalam mengkaji persoalan-persoalan psikologi yang terdapat pada
kumpulan cerpen tersebut.
Peneliti tentang psikologi telah dilakukan oleh Nakti, (2010), dengan judul
penelitian “Karakteristik Tokoh Utama pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
karya A. Mustofa Bisri, Budi Mulyadi, (2007), dengan judul penelitian “Karakter
Tokoh Utama Novel Utsukushisa To Kananshimi karya Kawabata Yasunari, dan
Rahmawati (2010), dengan judul penelitian “Analisis Watak Tokoh Utama Novel
Nayla karya Djenar Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra). Perbedaan
peneliti terdahulu yaitu terletak pada perbandingan objek kajian, sedangkan
penelitian pada kumpulan cerpen Mengawini Ibu fokus pada karakter tokoh utama.
Persamaan peneliti terdahulu dengan penelitian pada kumpulan cerpen Mengawini
Ibu yaitu masing-masing menggunakan psikologi kepribadian Sigmund Freud.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan saya
teliti dalam penelitian ini adalah ‘‘Bagaimanakah karakter tokoh utama pada
kumpulan cerpan Gadis Pakarena Karya Krisnha Pabichara dengan pendekatan
teori Sigmund Freud ?”
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan karakter tokoh utama pada
kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara dengan pendekatan
psikologi sastra teori Sigmund Freud.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diinginkan dari hasil penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih
rinci dan mendalam tentang karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis
Pakarena karya Khrisna Pabichara.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca, memberikan sumbangsi pemikiran atau bahan informasi pada
kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara.
b. Bagi pencinta sastra, sebagai bahan masukan dalam upaya pengkajian maupun
kajian-kajian yang lainnya.
c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian yang relevan
dengan judul penelitian ini.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang akan saya uraikan pada penelitian ini dasarnya adalah
sejumlah teori yang akan dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas
penelitian ini. Sehubungan dengan masalah yang akan saya teliti. Maka ada
beberapa teori yang dianggap relevan dan fokus yang akan saya kaji dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian yang relevan
Peneliti tentang psikologi telah dilakukan oleh Nakti, (2010), dengan judul
penelitian “Karakteristik Tokoh Utama pada kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
karya A. Mustofa Bisri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik tokoh
utama yaitu (a) Gus Jakfar dalam cerpen Gus Jakfar, Id, ego, dan superego dalam
diri Gus Jakfar bekerja secara harmonis. Keistimewaan yang dimilikinya untuk
membaca garis nasib seseorang tidak digunakan lagi setelah dihadapkan dengan
kehidupan nyata Kiai Tawakal dan semua kehidupan dan nasib seseorang hanya
dapat ditentukan oleh Tuhan. (b) Kang Kasanun dalam cerpen Kang Kasanun,
superego Kang Kasanun mampu mengalahkan id dan mendorong ego untuk
melaksanakan hal-hal yang bersifat moralitas. Kang Kasanun tidak lagi
menggunakan ilmu kanuragan yang dimilikinya untuk perbuatan jahat. Hal ini
dilakukan agar tidak merugikan masyarakat dengan ilmu yang dimilikinya. (c)
6
7
Ndara Mat Amit dalam cerpen Ndara Mat Amit, Berdasarkan konflik yang dihadapi
Ndara Mat Amit dengan Pak Min, maka mendominasi Id dalam diri Ndara Mat
Amit dapat dikendalikan oleh Superego melalui doronga Ego yang menjadi
pelaksana kepribadian yang bersifat moralitas agar tidak terjadi pertengkaran yang
tidak rumit, Ndara Mat Amit memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat
terjadinya pertengkaran. (d) Gus Muslih dalam cerpen Gus Muslih, dorongan
superego dalam diri Gus Muslih mampu menahan implus-implus Id dan mendorong
Ego dalam mengontrol Id dalam melaksanak nilai-nilai moralitas. Superego
ditunjukkan Gus Muslih dalam menolong anjing yang sedang sakit dijalan raya dan
membawanya pulang untuk diobati sampai sembuh Gus Muslih rela melepas jasnya
untuk membungkus anak anjing yang kedinginan dan berceceran darah agar tidak
mengotori mobil panitia yang mengantarnya. (e) Tokoh Aku dalam Cerpen Amplop
Abu-Abu , ego tokoh Aku mampu menjabatani dorongan Id dalam menemukan
pemecahan masalah atas masalah yang dihadapi tokoh Aku dengan lelaki misterius
yang selalu mengikutinya saat ia mengisi ceramah didaerah-daerah. Budi Mulyadi,
(2007), dengan judul penelitian “Karakter Tokoh Utama Novel Utsukushisa To
Kananshimi karya Kawabata Yasunari. Hasil dari penelitian ini menunjukkanbahwa
karakter tokoh utama dari segi fisik, Otoko digambarkan sebagai seorang pelukis
wanita terkenal yang cantik memesona. Kecantikannya itu tidak hanya dikagumi
kaum pria, wanita pun mengagumi kecantikannya. Pada usia remaja, Otoko
digambarkan sebagai remaja polos dan lugu. Karena kepolosan dan keluguhannya
itu Otoko terjebak kedalam hubungan cinta terlarang dengan seorang pria dewasa
8
yang sudah berkeluarga. Hubungan cinta terlarang itu membuat hidup Otoko penuh
dengan keindahan dan kepiluan. Otoko digambarkan memiliki banyak sifat terpuji
salah satu sifat terpujinya adalah kerendahan hatinya. Sifat terpuji lainnya adalah ia
bukan seorang pendendam. Ia tidak pernah merasa dendam terhadap Oki yang telah
menghabcurkan masa remajanya. Otoka digambarkan sebagai wanita yang bisa
belajar dari pengalaman masa lalu serta bisa bangkit dari keterpurukan. Penderitaan
masa lalunya dijadikan cambuk untuk menjadi orang sukses. Otoko sukses menjadi
seorang pelukis terkenal akan tetapi kesuksesannya itu menjadikan ia memiliki sifat
narsis. Sifat terpuji lain Otoko adalah kelapangan hatinya memaafkan orang yang
pernah menghancurkan hidupnya. Otoko juga bukan seorang pendendam. Otoko
digambarkan sebagi wanita yang apatis dan terobsesi pada kematian. Dari segi
kepribadian Otoko didominasi oleh Idyang ditunjukkan oleh sikapnya yang
cenderung hanya memikirkan kesenangan semata. Kehamilannya di luar nikah
adalah salah satu contoh dari hasil perbuatan Otoko yang tidak mempertimbangkan
moral. Hal itu merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang didominasi id. Akan
tetapi seiring dengan bertambahnya usia, kepribadian Otoko mulai berubah.
Superego yang bekerja berdasarkan pertimbangan moral mulai mendominasi
kepribadian Otoko. Otoko mulai bersikap dewasa dan bijaksana. Sikap lapang dada
dan pemaafnya mendorong ia memaafkan semua kesalahan Okoi. Ketika Keiko
berniat membalas dendam kepada Oki, Otoko mencegahnya. Rahmawati (2010),
dengan judul penelitian “Analisis Watak Tokoh Utama Novel Nayla karya Djenar
Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra).Hasil dari penelitian ini
9
menunjukkan bahwa watak tokoh utama Nayla yaitu: (1) Emosionalitas : Mudah
marah, suka tertawa, perhatian tidak mendalam, tetap didalam pendiriannya, tidak
suka tenggang menenggang, jujur dalam batas-batas hukum, tidak ingin berkuasa,
(2) Proses pengiring/fungsi sekunder : Tenang, egoistis dan (3) Aktivitas : Riang
gembira, dengan keras menentang penghalang, pandangan luas, setelah bertengkar
cepat mau berdamai, cepat putus asa, segala soal dipandang berat, nafsu birahi
kerap kali menggelora, sulit membuka hati. Perbedaan peneliti terdahulu yaitu
terletak pada perbandingan objek kajian, sedangkan penelitian pada kumpulan
cerpen Gadis Pakarena pada judul Mengawini Ibu dan Silariang fokus pada
karakter tokoh utama. Persamaan peneliti terdahulu dengan penelitian pada
kumpulan cerpen Gadis Pakarenapada judul Mengawini Ibu dan Silariang yaitu
masing-masing menggunakan psikologi kepribadian Sigmund Freud.
2. Pengertian Sastra
Sastra (sansekerta/Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansakerta
sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini
bisa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang
memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusasteraan, satra bisa
dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak
banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana
untuk mengepresikan pengalaman atau bahasa (Sadikin, 2010: 6).
10
Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya
terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah,
dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati
pembacanya.
Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu menimbulkan kesan yang
mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni.
Apabila isi tulisan cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya buruk, karya
tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra, begitu juga sebaliknya.
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Mereka
beranggapan bahwa teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra
bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra
menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,
walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subyaktif manusia.
Menurut Sadikin (2010: 6-7) dalam kehidupan masyarakat, sastra mempunyai
beberapa fungsi yaitu:
a. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan
bagi penikmat atau pembacanya.
b. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya
karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.
c. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat atau
pembacanya karena sifat keindahannya.
11
d. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca
atau peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang
baik selalu mengandung moral yang tinggi.
e. Fungsi religius, yaitu sastra menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran
agama yang dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra.
3. Cerpen
Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen adalah salah satu genre
sastra yang termudah usianya dibandingkan dengan penerbitan puisi dan novel.
Hikayat, selingan, sketsa atau buah bibir adalah cikal bakal lahirnya bentuk cerpen.
Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu prosa fiksi dari segi kuantitas
menggunakan 500-an kata sampai dengan 20.000 kata atau sekitar lima puluhan
halaman. Dari segi kuantitas cerita pendek (cerpen) bervariasi. Ada cerpen yang
pendek (short story) bahkan sangat pendek sekali berkisar 500-an kata, cerpen yang
panjangnya cukup (middle short story) dan cerpen panjang (long short story),
terdiri dari puluhan ribu kata, (Nurgiyantoro,2007:10)
Menurut teori Poe, cerita dalam sebuah cerpen di lingkupi oleh dua efek. Efek
pertama adalah hasrat atau kengerian, efek kedua adalah usaha untuk menjelaskan
sesuatu secara cerdas atau disebut efek kecerdasan. Dua efek tersebut menguras
habis emosi dan intelegensi pembaca. Namun ulasan selanjutnya cerpen lebih
banyak dibangun oleh tema. Cerpen bukan lagi diintikan oleh efek melainkan
pemahaman yang sebagian diantaranya menyangkut masalah nilai.
12
Cerpen pada akhir abad ke – 19 sebagian besar telah bergaya realistis, dialog-
dialog yang ada didalamnya adalah cuplikan-cuplikan kehidupan sehari-hari, latar
yang terlukis sangat detail dan situasi-situasinya memungkinkan untuk dikendali.
Oleh karena itu sebagian besar pengarang modern berpendapat bahwa cerpen
adalah eksplorasi pengalaman tertentu. Pengalaman terdiri atas berbagai reaksi
terhadap kejadian nyata yang memproduksi aktualitas permukaan (Stanton,
2007:80).
Selanjutnya, Ajib Rosidi (dalam Tarigan, 1984: 176-177) memberikan
batasan dan keterangan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang merupakan satu
kesatuan dan ide. Sebuah cerpen harus lengkap, padat dan singkat dan semua
bagian saling terkait satu sama lain dalam satu kesatuan dan titik klimaksnya ada
pada akhir cerita.
Sebenarnya tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan
sastrawan memilliki rumusan yang tidak sama. Namun, Stanton (2007:76)
mengemukakan bahwa hal yang terpenting dalam cerita pendek adalah bentuknya
yang padat. Jumlah kata dalam cerpen harus jauh lebih berisi dibandingkan
dengan novel. Setiap bab novel menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya,
dalam cerpen pengarang harus mampu menciptakan karakter-karakter, semesta
mereka, tindakan-tindakan sekaligus secara bersamaan.
4. Karakter Tokoh
13
Peristiwa dalam fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari,
selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa mampu menjalani suatu cerita
disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku
dalam sebuah cerita disebut penokohan.
Tokoh cerita (charakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro,2010: 165).
Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan
keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh utama (tokoh sentral) dan
tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut sebagai tokoh sentral apabiala
memenuhi tiga syarat, yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling
banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu
penceritaan. Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006 :31).
Menurut Aminuddin (2010:80-81) ada beberapa cara yang digunakan untuk
memahami watak pelaku atau pribadi tokoh cerita, yaitu:
a. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.
b. Gambran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan
maupun caranya berpakaian.
c. Menunjukkan bagaimana perilakunya.
d. Melihat bagimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri.
14
e. Memahami bagaimana jalan pikirannya.
f. Melihat bagaimana tokoh lain itu berbicara tentangnya.
g. Melihat tokoh lain berbincang kepadanya.
h. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya.
i. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
5. Psikologi Sastra
Kehadiran psikologi sastra di tengah-tengah kita sebenarnya telah lama,
hanya belum disambut antusias. Meskipun agak sulit dipastikan, namun dapat diduga
bahwa psikologi sastra pun sebenarnya berniat melengkapi pemahaman sastra. Lebih
dari itu, belakangan psikologi sastra tampak telah menjadi kebutuhan akademisi.
Psikologi sastra semakin mendapat tempat khusus di bangku-bangku kuliah. Menurut
Semi (dalam Endraswara, 2008:7), ada beberapa asumsi yang memunculkan
psikologi sastra telah dianggap penting, yaitu:
a. Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah
mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar
(concius) dalam bentuk penciptaan karya sastra.
b. Mutu sebuah karya satra ditentukan oleh bentuk proses penciptaaan dari tingkat
pertama, yang berada di alam bawah sadar, kepada tingkat kedua yang berada
dalam keadaan sadar.
15
c. Di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh,
perlu pula mendapat perhatian dan penelitian, yaitu aspek makna, pemikiran,
dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra.
d. Karya yang bermutu menurut pendekatan psikologis, adalahkarya sastra yang
mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan, perlambangan yang bersifat
universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral,
budaya, dll.
e. Karya sastra yang bermutu menurut pandangan pendekatan psikologis adalah
karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin
manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi
kekalutan batinnya sendiri.
f. Kebebasan individu penulis sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga
mendapat tempat istimewa. Dalam hal ini, sangat dihargai individu yang
senantiasa berusaha mengenal dirinya sendiri.
Pada dasarnya psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis,
dalam kaitannya dengan asal-usul karya, artinya, psikologi sastra dianalisis dalam
kaitannya dengan psike dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Terdapat
beberapa pandangan yang menyatakan perkembangan psikologi sastra agak lamban
dikarenakan beberapa sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, psikologi sastra
seolah0olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan
peranan terhadap subjek individual, sehingga analisis dianggap sempit. Kedua,
dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga
16
para sarjana kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra. Alasan
di atas membuat psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti (Ratna, 2003:341).
Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan
proses dan aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya
dituangkan ke dalam bentuk conscious (Endraswara, 2003:960). Kedua, telaah
psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologi dalam diri para
tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa
terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya
terlibat dalam cerita.
Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara,
pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori
dan objek penelitian (Endraswara, 2008:89).
Selain itu, langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara,
pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menetukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi
17
yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, sastra simultan menemuka teori
dan objek penelitian (Endraswara, 2008:89).
6. Psikologi Kepribadian Sigmund Freud
Sigmund Freud dilahiran di Freiberg, pada tanggal 6 Mei tahun 1856 dan
meninggal dunia di London, Inggris pada tahun 1939 pada umur 38 tahun.Ia adalah
seorang keturunan Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam
bidang ilmu psikologi. Meskipun demikian ia lebih suka tinggal di Wina. Di sana ia
hidup hampir selama delapan puluh tahun. Andaikata kaum Nazi tidak menduduki
Austria dalam tahun 1937, yang menyebabkan Freud harus mencari perlindungan
di inggris, seluruh hidupnya, kecuali ketiga tahun pertama usianya, mungkin akan
dilangsungkan di ibu kota Austria itu. (Hall. 2000:1).
Sejak kecil ia ingin jadi ilmuan dan memahami secara mendalam berbagai
gejala alam yang diamatinya. Menurutnya cara terbaik dalam mencapai tujuan ini
adalah dengan menempuh pendidikan kedokteran. Sebagai dokter ia mula-mula
menaruh perhatian besar pada ilmu faal dan bercita-cita menjadi profesor di bidang
ini. Kenyataan yang dihadapinya, gaji seorang ilmuan faal ternyata kecil. Setelah
menikah dengan Martha Bernays (dan kemudian dikaruniai lima orang anak) ia
lebih memusatkan diri berpraktek sebagai dokter dengan kekhususan neorologi
pada Rumah Sakit Umum Wina. Melalui neorologi ia kemudian juga berkenalan
dengan beberapa psikiater terkenal. Tahun 1882 ia berkenalan dengan dr. Josef
Breur dari siapa ia belajar menyadari teknik penyembuhan gangguan kejiwan
18
dengan meminta pasien menceritakan sebanyak mungkin hal tentang gangguannya
dan awal terjadinya gangguan. Tahun 1885 di Paris ia belajar hipnosa dari dr. Jean-
Martin Charcot dan melihat bahwa gangguan histeria terjadi akibat permasalahan
psikis (Moesono, 2003:2).
Sejak itu Freud terus memperdalam pemahaman dan penangan berbagi
gangguan jiwa yang dialami pasien-pasiennya dan membentuk berbagai konsep
yang sama sekali baru waktu itu dan yang akan dinamakannya Psikoanatis.
Bersama Carl Gustav Jung dan Alfred Adler ia membentuk Internasional Psycko-
Analytic Association yang sampai sekarang masih eksis di berbagai kota besar di
Eropa dan Amerika. Pada tahun 1909 Freud diundang memberi sejumlah kuliah di
Clark University (Amerika Serikat) dan mendapat gelar doctor honoris causa.
Anugerah ini amat mengharukannya karena selama ini berbagai teorinya banyak
mendapat tentangan sengit di Wina (Moesono,2003:2).
Salah satu penemuan besar psikologi adalah adanya kehidupan tak sadar pada
manusia. Selama ini para ilmuan meyakini bahwa manusia adalah makhluk rasional
yang sepenuhnya sadar akan segala perilakunya. Ketidaksadaran ini adalah segi
pengalaman yang tak pernah kita sadari (karena terjadi pada tahap perkembangan
dimana kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi
di luar pusat perhatian kita) atau kita repres (secara tidak sadar tidak ingin kita
sadari karena kita anggap mengganggu diri kita).
Bagi Freud ketidaksadaran merupakan salah satu inti pokok atau tiang pasak
teprinya. Segi-segi terpenting perilaku manusia justru ditentukan oleh alam tak
19
sadarnya. Ia membayangkan kesadaran manusia sebagai gunung es dimana hanya
sebagian kecil saja yaitu puncak tertatasnya yang tampak terapung di laut. Bagian
yang terendam ini di bagi menjadi dua yaitu : bagian pra-sadar yang dengan usaha
dapat kita angkat ke kesadaran dan bagian tak sadar yang hanya muncul dalam
perbuatan-perbuatan tak sengaja, fantasi, khayalan, mimpi, mitos, dongend dan
sebagainya (dalam Maesono, 2003:3)
Tahun 1923 Freud (dalam Maesono, 2003;3-4) secara tegas mengemukakan
dalam bukunya The ego and the id pandangannya mengenai struktur kepribadian
manusia terdiri dari tiga bagian yaitu id, ego, dan super ego yang bekerjasama
menciptakan perilaku manusia.
a. Id
Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir
(bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan
dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/cadangan
energi manusia, sehingga dikatakan juga oleh Freud sebagai jembatan antara segi
biologis dan psikis manusia. Satu-satunya yang diketahui Id adalah perasaan
senang-tidak senang , sehingga dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip
kesenangan (pleasure principle). Teori Freud sebagai keseluruhan juga dikenal
sebagai teori penurunan ketegangan (Maesono, 2003: 3-4).
Id adalah sumber primer dari energi rohaniah dan tempat berkumpul naluri-
naluri. Id lebih dekat hubungannya dengantubuh dan proses-prosesnya daripada
dengan dunia luar. Id kekurangan organisasi dibandingkan dengan ego den
20
superego. Energinya berada dalam keadaan bergerak sehingga energi itu dapat
diredakan dengan segera atau dipindahkan dari suatu benda ke benda lain. Id tidak
berubah menurut masa; ia tidak dapat diubah oleh pengalaman, karena ia tidak ada
hubungannya dengan dunia luar. Akan tetapi ia dapat dikontrol dan diawasi oleh
ego (Hall, 2003: 22-23).
b. Ego
Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada Id dan harus mencari
dalam realitas apa yang dibutuhkan Id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda
ketegangan. Dengan demikian Ego adalah segi kepribadian yang dapat
membedakan antara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketegangan
dalam batas tertentu. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle) ,
artinya ia dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang
lebih sesuai dengan batasan lingkungan (fisik maupun sosial) dan hatu nurani. Ego
menjalankan proses sekunder (secondary process), artinya ia menggunakan
kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik
(Maesono, 2003:4).
Dalam seseorang yang wataknya tenang, ego adalah pelaksanaan dari
kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan super ego dan memelihara
hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian dan
keperluannya yang luas. Jika ego ini melakukan perbuatan pelaksanaannya dengan
bijaksana akan terdapatlah harmoni dan keselarasan. Kalau ego mengalah atau
menyerahkan kekuasaannya terlalu banyak kepada id, kepada super ego atau
21
kepada dunia luar, akan terjadi kejanggalan dan keadaan tidak teratur (Hall, 2000:
25).
Ego dikuasai oleh prinsip kenyataan (reality principle). Kenyataan berarti apa
yang ada. Tujuan dari prinsip kenyataan ini adalah untuk menangguhkan perbedaan
energi sampai benda nyata yang akan memuaskan keperluan telah diketemukan
atau dihasilkan. Penangguhan suatu tindakan berarti bahwaego harus dapat
menahan ketegangan sampai ketegangan itu dapat diredakan dengan suatu bentuk
kelakuan yang wajar. Pembentukan prinsip kesenangan hanya dibekukan untuk
sementara waktu untuk kepentingan kenyataan. Akhirnya, prinsip kenyataan
menuju juga kearah kesenangan, meskipun seseorang harus menahan sedikit
kegerahan sambil mencari kenyataan (Hall, 2000:26).
Prinsip kenyataan diladeni oleh suatu proses yang telah Freud dinamakan
proses sekunder, oleh karena proses ini berkembang sesudah dan melingkupi proses
primer dari Id. Proses sekunder terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan
kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah berkembang melalui
pikiran dan akal (pengenalan). Proses sekunder tidak kurang dan tidak lebih
sifatnya dibanding yang biasa disebut pemecahan soal atau pemikiran. Kalau
seseorang melaksanakan suatu rencana tindakan untuk melihat apakah rencana itu
akan berjalan atau tidak, ia dikatakan sedang menguji kenyataan. Proses sekunder
menunaikan apa yang tidak dapat dilakukan oleh proses primer, yaitu untuk
memisahkan dunia pikiran yang subjektif dan dunia kenyataan wujud yang objektif.
22
Proses sekunder tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh proses
primer, ialah: menganggap gambaran suatu benda dan itu sendiri.
Hal yang harus diperhatikan dari ego ini adalah:
1. Ego merupakan bagian dari ide yang kehadirannya bertugas untuk memuaskan
kebutuhan id, bukan untuk mengecewakannya.
2. Seluruh energi (daya) ego berasal dari id, sehingga ego tidak terpisah dari id.
3. Peran utamanya menengahi kebutuhan id dan kebutuhan lingkungan sekitar.
4. Egobertujuan untuk mempertahankan kehidupan individu dan
pengembangbiakannya.
Untuk mencapai pemuasan dan perbedaan ketegangan, energi kita kaitkan
atau inventasikan dalam objek pemuas tertentu. Proses ini disebut kateksis.
Sebaliknya objek yang tidak dapat memuaskan dorongan naluri kita atau bila terjadi
hambatan dalam upaya mencapai pemuasan naluri dinamakan anti-kateksis. Sifat
energi yang lentur atau cair memungkinkan kita untuk mencari obyek pemuas
pengganti. Proses ini di sebut pemindahan (displacement). Freud yakin bahwa
seluruh peradaban manusia sebaimana terwujud dalam seni, ekonomi, politik,
agama dan sebagainya adalah hasil dari proses pemindahan naluri hidup dan naluri
mati. Pada tataran individu, proses kateksis-anti kateksis serta berbagai
keberhasilan dan kegagalan yang di sertai pemindahan, merupakan dinamika
kepribadian manusia. Hambatan terhadap libido dan ketegangan yang tak
tersalurkan menimbulkan kecemasan (anxiety) dan ini merupakan dasar
berkembangnya neurosa pada manusia. Pandangan ini ia buah pada tahun 1926
23
dengan mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberi peringatan
akan datangnya bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara melawan atau
menghindar. Dengan demikian kecemasan tidak selalu menjadi dasar
berkembangnya neurosa, tetapi juga memungkinkan dikembangkannya perilaku
perilaku adaptif (Meosono,2003:6).
c. Superego
Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada
dalam masyarakat dimana individu itu hidup. Anak mengembangkan superegonya
melalui berbagai perintah dan larangan dari orang tuanya. Titik perkembangan yang
amat penting dalam pembentukan superego adalah dilaluinya tahap oidipal dengan
baik. Freud membagi superego dalam dua subsistem yaitu hati nurani dan ego
ideal. Hati nurani diperoleh melalui penghukuman berbagai perilaku anak yang
dinilai ‘jelek’ oleh orang tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah (guilt feeling).
Sedangkan egoideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku
yang dinilai ‘baik’ oleh orang tua. Berbeda dengan ego yang berpegangan pada
prinsip realitas, superego yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri
(self control) selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran,
perkataan dan perbuatan (Maesono, 2003:4-5).
Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya larangan-larangan atau
perintah yang berasal dari luar (misalnya orang tua). Hal ini diolah sedemikian rupa
sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan demikian, larangan yang tadinya
dianggap “asing” bagi subjek, akhirnya dianggap sebagai berasal dari subjek
24
sendiri. Superego merupakan dasar moral seseorang. Peranannya superego dapat
dibandingkan dengan hakim. Sikap seperti observasi diri, kritik diri, berasal dari
superego (Bartens, 2006:33-34).
Penghargaan dan hukuman rohaniah yang dipergunakan oleh superego
masing-masing adalah perasaan bangga dari perasaan bersalah atau perasaan
kurang harga diri. Ego merasa bangga jika ia telah berkelakuan baik atau telah
mengandung pikiran-pikiranyang baik, dan ia merasa malu tentang dirinya sendiri
kalau ia telah mengalah kepada godaan. Kebanggaan sama dengan cinta diri
sendiri, dan rasa salah atau rasa kurang harga diri sama dengan kebencian terhadap
diri sendiri; semuanya adalah pengganti dalam batin dari cinta orang tua dan
penolakan orang tua (Hall, 2000:32-33).
Superego adalah wakil dalam kepribadian dari ukuran-ukuran dan cita-cita
tradisional masyarakat sebagai yang di sampaikan oleh orang tua kepada anak-
anak. Dalam hubungan ini harus diingat, bahwa superego anak bukanlah
pencerminan dari kelakuan orang tua, tetapi pencerminan dari superego orang tua.
Seorang dewasa dapat mengatakan sesuatu dan bertindak lain daripada yang
dikatakan tadi, tetapi apa yang dikatakannya iyulah, disokong dengan ancaman-
ancaman atau hadiah, yang ada artinya untuk membentuk nilai-nilai etika anak
(Hall, 2000: 33).
Tujuan dari superego adalah untuk mengontrol dan mengatur gerak hati yang
dinyatakan secara sewenang-wenang akan membahayakan kemantapan masyarakat.
Gerak hati itu adalah seks dan agresi. Anak yang tidak menurut, Bengal atau yang
25
ingin tahu tentang soal-soal seksual dianggap jahat dan amoral. Superego, dengan
jalan menempatkan kekangan bati terhadap ketidakpatuhan dan kekecauan,
memungkinkan seseorang untuk menjadi anggota masyarakat yang taat kepada
hokum (Hall, 2000: 33).
Jika id dianggap sebagai hasil dari evolusi dan sebagai wakil rohaniah dari
pembawaan biologis, dan ego sebagai hasil tindakan timbal-balik dengan kenyataan
yang objektif dan lingkungan proses rohaniah yang lebih tinggi, maka superego
dapat dianggap hasil sosialisasi dan adat tradisi kebudayaan (Hall, 2000: 33-34).
7. Metode Telaah Perwatakan
1. Metode Telling dan Showing
Metode Telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan
komentar langsung dari pengarang. Biasanya metode ini digunakan oleh para
penulis fiksi zaman dahulu atau bukan fiksi modern. Melalui metode ini
keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh
sangat terasa, sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan
tokoh berdasarkan paparan pengarang (Minderop, 2005:6). Metode langsung atau
Direct Method (telling) mencakup: Karakterisasi Melalui Penggunaan Nama
Tokoh, Karakterisasi melalui Penampilan Tokoh, dan Karakterisasi Tuturan
Pengarang (Minderop, 2005:8).
Karakterisasi melalui tuturan pengarang memberikan tempat yang luas dan
bebas kepada pengarang atau narator dalam menentukan kisahnya. Pengarang
26
berkomentar tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam
pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Dengan demikian, pengarang tidak
sekedar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang watak tokoh
tetapi juga mencoba membentuk persepsi pembaca tentang tokoh yang
dikisahkannya.
Metode Showing (tidak langsung) memperlihatkan pengarang menempatkan
diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk
menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action. Namun demikian,
bukan tidak mungkin, bahkan banyak pengarang masa kini (era modern) yang
memadukan kedua metode ini dalam satu karya sastra. Jadi, tidak mutlak bahwa
pengarang “harus” menggunakan atau memilih salah satu metode (Minderop,
2005:6-7). Metode showing mencakup: Dialog dan Tingkah Laku, Karakterisasi
Melalui Dialog – Apa yang dikatakan Penutur, Jatidiri Penutur, Lokasi dan Situasi
Percakapan, Jatidiri Tokoh yang Dituju oleh penutur, Kualitas Mental Para Tokoh
(Minderop, 2005:22-23). Karakterisasi Melalui Tingkah Laku Para Tokoh
mencakup: Ekpresi Wajah dan Motivasi yang Melandasi tindakan tokoh (Minderop,
2005:38).
2. Teknik Sudut Pandang (Point of View)
Sudut pandang adalah suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut
pandang dari mana cerita disampaikan. Sudut pandang persona ketiga-“diaan”-
digunakan dalam pengisahancerita dengan gaya “dia”. Narator atau pencerita
27
adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama
atau menggunakan kata ganti orang seperti “ia”, “dia” atau “mereka” (Minderop,
2005:96).
3. Gaya Bahasa Simile, Metafor, personifikasi, dan Simbol
Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain simile, metafor,
personifikasi, dan simbol. Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari
bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan
orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif
menjadi lebih segar dan berkesan.
a. Contoh Telaah Perwatakan melalui Simile
Simile adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang secara
esensial tidak selalu mirip. Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya
terdapat kata “seperti”, “bagaikan” , “seakan-akan” atau “laksana” (“engkau
laksana bulan”) dan “ketimbang” serta “daripada” (“ia lebih cantik ketimbang
mawar merekah”).
b. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Metafor
Metafor adalah suatu gaya bahasa yang membandingkan satu benda dengan
benda lainnya secara langsung yang dalam bahasa Inggris menggunakan to be.
Dalam bahasa Indonesia tidak ada to be dan bisa digunakan secara langsung,
contoh: “kehidupan ini binatang lapar” atau “cintaku burung terbang yang
berkelana ke segala penjuru”. Binatang lapar merupakan metafor kehidupan artinya
28
kehidupan yang rakus dan ganas dan burung terbang merupakan metafor cinta sang
penyair yang berkelana ke mana saja.
c. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Personifikasi
Personifikasi adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk
benda-benda non-manusia, termasuk abstraksi atau gagasan. Contohnya: bulan
diibaratkan seorang wanita karena kecantikannya. Terdapat banyak personifikasi
dari bermacam kualitas seperti virginitas, kejahatan atau keabadian. Penyair
mempersonifikasikan semua ini seakan-akan memiliki karakteristik seperti
manusia.
d. Contoh Telaah Perwatakan Melalui Simbol
Karya sastra yang bermutu, menurut pendekatan psikologis adalah karya
sastra yang mampu menyajikan simbol-simbol, wawasan, perlambangan yang
bersifat universal yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi,
moral, budaya dan lain-lain (Endraswara, 2008:8).
Simbol menurut kamus Webstren, “sesuatu yang berarti atau mengacu pada
sesuatu yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi, kebetulan ada
kemiripan... tanda yang dapat dilihat dari suatu yang tak terlihat. Sesungguhnya
simbol selalu berada didekat kita dan merupakan ungkapan (kata-kata) atau benda-
benda-yang tidak memunculkan diri, paling tidak dalam konteks tertentu-tetapi
memiliki hubungan yang mengandung makna dan perasaan. Misal kata home (yang
berbeda dengan house) bernuansakan kehangatan dan rasa aman serta adanya
29
hubungan pribadi antar keluarga, teman-teman, dan tetanngga; bendera Amerika
merupakan simbol kebangsaan dan Patriotisme.
Simbol dalam kesusasteraan dapat berupa ungkapan tertulis, gambar, benda,
latar, peristiwa dan perwatakan yang biasanya digunakan untuk memberi kesan dan
memperkuat makna dengan mengatur dan mempersatukan arti secara keseluruhan.
Simbol atau lambang dapat bersifat pribadi(arti simbol tersebut hanya
diketahui oleh satu orang), asli (arti simbol dijelaskan melalui konteks dalam suatu
karya tertentu), tradisional ( bila arti simbol itu dapat dijelaskan melalui
pendekatan budaya dan warisan turun-temurun). Contohnya, kata whale (ikan paus
putih) dalam MobyDick karya Herman Melville adalah simbol pribadi yang berasal
dari pengalaman Melville sendiri.
Dari konsep-konsep tentang simbol di atas dapat disimpilkan bahwa untuk
menentukan apakah kata-kata yang kita asumsikan sebagai simbol atau bukan,
adalah berdasarkan intensitas penampilan kata-kata tersebut. Bila si pengarang
kerap kali menggunakan kata tersebut dan selaras dengan konteks dari suatu karya,
maka kata-kata tersebut dan selaras dengan konteks dari suatu karya, maka kata
kata tersebut bisa merupakan perlambangan. Bila kata-kata atau suatu keadaan
seperti cuaca di negara empat musim dapat dikatakan simbol universal karena
dikenal secara luas.
30
8. Kerangka Pikir
Karya sastra terdiri atas tiga jenis yaitu prosa fiksi, drama, dan puisi. Salah
satu jenis karya sastra yang dilihat dari bentuknya adalah prosa fiksi merupakan
salah satu gendre sastra yang berupa cerita rekaan atau khayalan pengarang, seperti
novel (roman) dan cerpen (cerita pendek).
Peneliti melakukan pengamatan secara fokus terhadap karakter tokoh utama
pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, yang berjudul:
Mengawini Ibu dan Silariang.
Dalam peneliti ini peneliti memilih pendekatan psikologi sastra teori
Sigmund Freud yang terbagi atas tiga aspek kajian, yaitu id, ego, dan super ego
sebagai pisau bedah dalam penelitian ini mengingat kumpulan cerpen Gadis
Pakarena karya Khrisna Pabichara lebih menonjolkan aspek kejiwaan tokoh
utamanya. Dalam cerpen Mengawini Ibu, Rewa tokoh utama memiliki sifat yang
pendendam dan penyayang. Dalam Cerpen SilariangStarifuddin Tola memiliki
sifat yang pantang menyerah dan setia.
31
Bagan Kerangka Pikir
Karya Sastra
Kumpulan Cerpen Gadis Pakarena karya
Khrisna Pabichara
Mengawini Ibu Silariang
Rewa Syarifuddin Tola
Analisis Karakter
Tokoh
Temuan
Id Ego Superogo Penyayang Pendendam Id Ego Setia Pantang
Menyerah
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Fokus dan Desain Penelitian
Metode yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal yang berkaitan dengan
cara kerja dalam mendapatkan data sampai menarik sebuah kesimpulan. Penelitian
ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat deskriptif kualitatif. Masalahnya
yang akan dianalisis adalah karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis
Pakarena karya Krisnha Pabichara.
1. Fokus Penelitian
Ruang lingkup yang diamati dalam penelitian ini adalah karakter tokoh utama
pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Krisnha Pabichara berdasarkan
pendekatan teori Sigmund Freud.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif Kualitatif. Desain deskriptif
kualitatif adalah rancangan penelitian atau strategi yang tidak dalam bentuk angka-
angka atau statistik. Maksudnya, dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan atau
mendeskripsikan karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena
Karya Krisnha Pabichara, yang berjudul : Mengawini Ibu dan
Silariang,berdasarkan pendekatan teori Sigmund Freud. Dalam penerapan desain
penelitian ini, peneliti mula-mula mengumpulkan data, mengelola, dan selanjutnya
menganalisis data secara objektif.
32
33
B. Definisi Istillah
Untuk menghindari salah penafsiran dalam penelitian ini, perlu dikemukakan
defenisi istilah sebagai berikut:
1. Karakter tokoh adalah sifat-sifat kejiwaan yang dialami oleh tokoh dalam
menghadapi konflik atau masalah yang terjadi dalam hidupnya.
2. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai
aktivitas kejiwaan.
3. Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadian pertama, ada sejak lahir
(bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung
berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan
sumber/cadangan energi manusia.
4. Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada id dan harus mencari
dalam realitas apa yang dibutuhkan id sebagai pemuas kebutuhan dan pereda
ketegangan.
5. Superego adalah perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat dimana individu itu hidup.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitianini adalah kutipan-kutipan teks yang berupa karakter
tokoh utama (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) pada
kumpulan cerpen Mengawini Ibu dan Silariang.\
2. Sumber Data
34
Sumber data dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Gadis Pakarena
karya Khrisna Pabichara, yang berjudul : Mengawini Ibu dan Silariang .
Penerbit Dolphin . Jakarta Selatan. Tahun 2012 (cetakan pertama) dengan tebal 180
halaman.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan dalam mengumpulkan
data (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) yang berhubungan
dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teknik baca, dan teknik catat. Kedua teknik tersebut akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Teknik Baca
Teknik baca dilakukan dengan cara membaca literatur dan sumber data utama
penelitian, yakni kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara, yang
berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang.
2. Teknik Catat
Teknik catat ini dilakukan dengan mencatat data yang mengandung
karakter tokoh utama (baik yang berupa kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf) yang
terdapat pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena Karya Khrisna Pabichara, yang
berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang. Data tersebut dicatat dalam kartu yang
telah dipersiapkan.
35
E. Teknik Analisis Data
Vredenbreght (dalam Ratna, 2007:48) mempertegas bahwa analisis isi
sebagai salah satu metode kualitatif, digunakan untuk menganalisis terutama
berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal, dalam bentuk bahasa,
maupun nonverbal. Dasar pelaksanaan metode ini adalah penafsiran yang
memberikan perhatian khusus pada isi pesan teks.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik interprestasi.
Analisis data yang di gunakan mengikuti langkah-langkah operasional sebagai
berikut:
1. Mengindentifikasi karakter tokoh utama pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena
kayra Khrisna Pabichara.
a. Mengidentifikasi karakter tokoh utama melalui tuturan pengarang.
b. Mengidentifikasi karakter tokoh utama berdasarkan pernyataan-pernyataan para
tokoh dan dialog antar tokoh.
2. Struktur kepribadian dianalisis sehingga menunjukkan karakter yang terbentuk
pada diri tokoh utama.
3. Karakter yang terbentuk pada diri tokoh utama dianalisis sehingga ditemukanlah
bentuk system id, ego, dan superego pada diri tokoh utama.
4. Setelah menganalisis karakter tokoh dengan psikologi sastra dengan teori
Sigmund Freud yang terdiri dari system Id, Ego, dan Superego pada tokoh
utama, maka dilakukanlah analisis psikis pengarang sebagai interpretasi psikis
tokoh utama.
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Analisis Data
Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan
terhadap karakter tokoh utama kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna
Pabichara dengan pendekatan psikologi sastra teori Sigmund Freud, yang terdiri
atas dua bagian. Bagian pertama, penyajian hasil analisis data yang
mengungkapkan karakter tokoh utama yang dikaji melalui suatu pendekatan
psikologi sastra Sigmund Freud. Kemudian bagian kedua adalah pembahasan hasil
penelitian yang menguraikan hasil analisis data.
Kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara, terdapat lima
judul cerpen yang akan dikaji: Mengawini Ibu dan Silariang. Untuk lebih
memperkuat hasil analisis data dalam menentukan karakter pada tokoh utama
tersebut, penulis melihat cara pengarang mengungkapkan karakter tokoh utama
melalui dialog dengan tokoh lain, penggambaran fisik atau postur tubuh, dan
bahasa yang digunakan pengarang dengan menggunakan pendekatan psikologi
sastra teori Sigmund Freud yang terdiri dari tiga aspek kajian yaitu id, ego, dan
super ego. Berikut ini uraian karakter tokoh.
36
37
1. Cerpen: Mengawini Ibu
Karater Tokoh Utama Rewa
a) Pendendam
Data 1
”Kelakuan Ayah seperti binatang. Ayah tidak menghargai Ibu, juga aku”.
Pada data (1) menjelaskan Dendam Rewa kepada Ayahnya yang bersifat
seperti binatang yang tidak menghargai ibunya juga dirinya, bahkan tidak peduli
kepada sesama. Bagaimana mungkin bisa menghargai sesama sementara dia
tidak prihatin sama sekali kepada keluarganya.
Data 2
“Kebiasaan kedua dan ketigalah yang membuat aku benci kepadanya
dengan benci yang sebenci-bencinya”.
Pada data (2) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya yang
mempunyai kebiasaan yang suka bermain perempuan dan juga dia pun gemar
bertitah bahwa semua orang harus patuh terhadap aturannya walaupun
menyakitkan.
Data 3
“Tersebabkan oleh berlaksa kesedihan yang terus ditahan, Ibu pun
digerogoti penyakit, tak perlu kusebutkan apa nama penyakitnya, hingga
akhirnya berpulang ke sisi-Nya. Sejak itulah bermula segala dendamku
kepada Ayahku”.
38
Pada data (3) menjelaskan dendam Rewa yang bermula saat melihat
Ibunya yang terus menahan kesedihan atas perlakuan Ayahnya yang kerap
bermesra-ria dengan perempuan lain hingga Ibunya pun digerogoti penyakit ,
sampai akhirnya meninggal dunia.
Data 4
“Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan kenapa aku ingin
membunuh Ayah”.
Pada data (4) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya hingga
meningkatkan amarahnya. Ia tidak suka melihat perilaku Ayahnya yang
menyakiti perasaan dan berpaling dari Ibunya hingga ia ingin membunuh
Ayahnya.
Data 5
“Sungguh, aku tak mampu memaafkan Ayah. Akibat syahwat dan lelaku
kawin cerainya itu, aku kehilangan Ibu, kehilangan segalanya”.
Pada data (5) menjelaskan dendam Rewa yang tidak mampu memaafkan
kelakuan Ayahnya, ia menyalahkan Ayahnya karena akibat syahwat dan
perilaku kawin cerainya dan suka gonta-ganti perempuan sehingga ia kehilangan
Ibunya dan kehilangan segalanya.
39
b. Penyayang
Data 6
“Aku yakin, kamu pasti juga tak betah melihat perempuan yang
mengandung dan melahirkanmu terus-menerus disakiti”.
Pada data (6) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya yang tidak
bisa melihat Ibunya terus menerus disakiti oleh Ayahnya, bahkan ia menyuruh
Ibunya untuk meminta cerai kepada Ayahnya.
Data 7
“Aku pernah berharap, sesekali Ibu merajuk atau berontak atau marah
kepada Ayah, bukan semata mengelus dada lantas berdoa semoga Ayah
lekas berubah”.
Pada data (7) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya dan selalu
berharap agar Ibunya berontak atau marah kepada Ayahnya yang sering
menyakiti perasaan Ibunya bukan hanya mengelus dada atau berdoa semoga
Ayah bisa berubah.
Data 8
“Kenapa aku tidak mencari Ayah saja? Bagaimana jika dia butuh
bantuanku? Bagaimana jika dia pingsan di tengah jalan atau ditabrak truk
atau digilas kereta atau dirampok dan dikeroyok kawanan preman?”
Pada data (8) menjelaskan Rewa yang bahkan penuh dendam kepada
Ayahnya tetapi ia masih masih mempedulikan Ayahnya semenjak Ayahnya
40
pergi dari rumah ia bahkan mencemaskan Ayahnya,dan ia berfikir untuk
mencari Ayahnya.
Data 9
“Apakah aku harus suka atau berduka? Aneh saja rasanya jika Ayah tak
ada”.
Pada data (9) menjelaskan Rewa bertanya pada dirinya apakah ia harus suka
atau berduka saat Ayahnya tidak ada dirumah. Karena rasa sayang kepada
Ayahnya ia merasa aneh dan sangat kehilangan saat Ayahnya pergi
meninggalkan rumah tanpa mengabarinya.
Karakter Tokoh Utama (Rewa) Berdasarkan Id
1) ”Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan saja kenapa aku
begitu ingin membunuh Ayah. Bencana ketika Ibu terjatuh di tangga rumah.
Semenjak itu Ibu tak bisa melayani berahi Ayah yang berlebihan. Semenjak
itu pula Ayah berpaling, mula-mula diam-diam, lalu terang-terangan”
(Pabichara, 2012:53).
Pembentukan reaksi yang dilakukan oleh Rewa yang merasa dendam
meningkatkan amarahnya adalah ego yang mendapat dorongan dari
superego, dan superego yang mendapat pengaruh dari id untuk mencapai
kepuasan. Ia tidak suka melihat perilaku Ayahnya yang berpaling dari Ibu
dan berencana membunuh Ayahnya. Sesuai dengan teori Freud yang
41
menyatakan bahwa superego orang yang berbudi tinggi dapat juga mencapai
kepuasan bagi id dengan jalan menyerang orang-orang yang dianggap
amoral.
2) “Aku terkejut saat membuka pintu. Ada orang lain di kamarku, seorang gadis
berbaju putih dengan rok abu-abu. Aku melangkah masuk, ragu-ragu. Aku
melihat dia menggeliat. Dadaku berdebar. Sesuatu di bagian tengah tubuhku
bergetar. Bau harum terhirup. Entah dari mana pangkal mulanya, aku tiba-
tiba bergairah. Kutatap gadis itu lebih lama, lebih dekat, lebih lekat.
Siapakah perempuan yang demikian cantik, seperti terkirim dari surga, yang
menderaskan darah remajaku ini? Mungkinkah dia sesaji baru untuk Ayah?
Sekonyong-konyong aku teringat pesan ibu: jadilah laki-laki, Nak, yang
bukan Ayahmu.sekedar kamu tahu, tak pernah sebelumnya aku sekamar,
apalagi seranjang, dengan perempuan, bahkan dengan Ibu sekalipun”
(Pabichara, 2012:55-56).
Perasaan terkejut Rewa saat melihat ada orang lain di kamarnya,
sehingga membuat dadahnya berdebar. Keinginan Rewa untuk melakukan
sesuatu bakal terjadi, pesan Ibu sebelum meninggal terabaikan. Sesuai
dengan teori Freud yang menyatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip-
prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau tanpa aturan),
tidak mengenal amoral, tidak memiliki rasabenar-salah.
3) “Selama tujuh belas tahun aku menelan ajaran Ibu dan memuntahkan nasehat
Ayah. Tetapi tidak untuk saat ini! Aku seakan dirasuki oleh roh Ayah. Kini
dia menjadi pandu berahiku. Terasa aneh olehku ketika kulitku merasakan
kehangatan tubuh perempuan ini. Ini pengalaman pertamaku, dan aku tak
kuasa mengendalikan akal sehatku. Karena dendam atau cintakah? Mungkin
42
keduanya: dendam kepada Ayah, cinta kepada Ibu. Sementara perempuan
bertubuh sempurna ini tertidur dengan cara wah. Dia menggeliat, terbangun
dan membuka matanya” (Pabichara, 2012: 56-57).
Keinginan Rewa untuk merasakan kehangatan tubuh perempuan
termasuk menyatu dalam sistem id, karena menunjukkan sifat bawaan yang
telah lama menyatu dalam diri Rewa, dan telah menjadi kebiasaan sehari-
hari. Kebiasaan tersebut menjadi prinsip kesenangan yang berkuasa atas
dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwaid bekerja
berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure priciple). Ia selalu mengejar
kesenangan dan menghindar dariketegangan.
4) “Tahukah kamu apa yang terjadi seusai peristiwa itu? Aku mulai ketagihan,
dan aku sekarang punya cita-cita baru: mengawini semua perempuan yang
diinginkan Ayah menjadi ibuku, pengganti ibu yang melahirkanku. Anehnya,
Ayah sama sekali tak tahu. Atau, jangan-jangan Ayah Cuma pura-pura tak
tahu? Tetapi, tidak. Ayah memang benar-benar tidak tahu, buktinya dia tidak
pernah menegur atau memearahiku atau mendampratku. Dia tetap rutin
memberiku uang harian, mingguan, dan bulanan, uang yang selama ini mulai
banyak kugunakan untuk menyumpal mulut ibu-ibu baruku. Kadang aku
sangat menyesal, tetapi gelagak marah lebih menguasaiku” (Pabichara,
2012:57-58).
Kebiasaan yang dilakukan Rewa dengan jalan menyumpal mulut ibu-
ibu barunya menunjukkan sifat bawaan yang telah lama menyatu dengan
diri Rewa, dan telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan tersebut
menjadi kesenangan yang berkuasa atas dirinya. Sesuai dengan teori Freud
43
yang menyatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan
(pleasure priciple). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindari
ketegangan.
Karakter Tokoh Utama ( Rewa) Berdasarkan Ego
1) “Begitulah jawaban Ibu setiap kali aku protes melihat ulah Ayah. Aku
menganggap Ibu terlalu lembut atau sangat penurut atau sebenarnya terjadi
lantaran takut. Entahlah. Sekat antara lembut, penurut dan takut sangat tipis.
Ibu selalu bisa tersenyum sabar ketika Ayah kedapatan sedang bermesra-ria
dengan perempuan lain di mall, pasar, bioskop, bahkan beranda rumah. Aku
pernah berharap sesekali Ibu merujuk atau berontak atau marah kepada
Ayah, bukan semata mengelus dada lantas berdoa semoga Ayah lekas
berubah. Tetapi, jagankan merujuk, berontak, apalagi marah, Ibu selalu
sepasrah-pasrahnya. Aku malah pernah bilang kepada Ibu untuk minta cerai
saja. Alhasil, Ibu malah sangat marah dan mengatai aku gila karena
menurutnya aku telah menganjurkan keburukan. Aku yakin, kamu juga pasti
tak betah melihat perempuan yang mengandung dan melahirakanmu terus-
menerus disakiti” (Pabichara, 2012:52).
Data di atas menunjukkan bahwa Rewa merasa tidak senang kepada
Ayahnya yang sering bermesra-ria dengan perempuan lain, sehingga
meminta kepada Ibunya agar menceraikan Ayahnya, ia tidak ingin melihat
perempuan yang mengandung dan melahirkannya terus-menerus disakiti.
Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi
44
ego yang memberikan peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus
dihadapi dengan cara melawan atau menghindar
2) “Bagaimana dengan Ibu? Kamu tak perlu bertanya. Jika saja kamu serumah
dengan Ibu, kamu pasti akan sependapat dengan apa yang kuceritakan ini.
Ibu, Naura Shabrina, adalah perempuan keturunan Makassar-Pakistan. Nama
itu sendiri bermakna kesabaran tanpa batas,dan memang bagitulah
kepribadian Ibu. Saking sabarnya, ayah sampai bebas melakukan apa saja
yang dia hasrati. Aku bingung jika kamu bertanya apa kekurangan Ibu
hingga Ayah suka berselingkuh” (Pabichara,2012: 52-53).
Perasaan bingung yang dialami Rewa adalah ego, kebingungannya
menimbulkan perasaan bingung yang muncul dari dunia luar yang
mengancam id. Sehingga hal inilah yang kemudian menimbulkan kecemasan
pada diri Rewa. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa
kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan peringatan akan datangnya
bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
3) “Begitulah, aku menjadi penyaksi keanehan Ibu dan kegilaan Ayah. Aku
diceburkan kedalam hidup yang liar dan tak masuk akal. Aku menyaksikan
pengkhianatan dan kesetiaan ganti-berganti di hadapan mataku sepanjang
waktu. Itu sangat memilukan hati bocahku yang masih sering terbata
membaca dunia. Aku merasa inilah matiku sebelum tuntas hidupku”
(Pabichara, 2012:54).
Perasaan ragu putus asa yang dialami Rewa adalah ego. Keraguannya
menimbulkan perasaan putus asa yang muncul dari dunia luar yang
mengancam id. Sehingga hal inilah yang kemudian menimbulkan kecemasan
45
pada diri Rewa yang membuatnya putus asa. Sesuai dengan teori Freud yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan
peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara
melawan atau menghindari.
4) “Ayah semakin gila, Ibu semakin aneh, aku semakin asing. Tahukah kamu,
aku merasa tak pernah belajar sesuatu yang besar dengan benar: Ayah
menukar perempuannya sesering dia bersalin baju; Ibu menata tangisnya
sekerap dia mengulum senyumannya; sedang aku membangun harapan
serapuh istana pasir yang setiap saat bisa dipelecet gelombang? Dari hari ke
hari Ayah semakin larut, Ibu semakin cuit, aku semakin kecut. Bagaimana
caranya agar aku bisa menghentikan semua kegilaan ini?”(Pabichara,
2012:55).
Harapan yang dilakukan oleh Rewa untuk menghentikan perilaku
Ayahnya hanya sia-sia, sehingga kecemasan selalu menghampirinya. Sesuai
dengan teori Freud yang menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego
yang memberikan peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus
dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
5) “Apakah aku harus suka atau berduka? Aneh saja rasanya jika Ayah tak ada,
Perasaan kehilangan dan dendam bertarung ketet didadaku, tak ada yang
kalah dan tak ada yang menang. Mungkinkah dia sedang rindu cabelong,
penganan kesukaannya itu? Mungkinkah dia tengah berburu perempuan baru
berinisial huruf”N”? atau mungkinkah dia merindukan suasana rumah yang
semua penghuninya tunduk dan takzim kepadanya? Atau jangan-jangan
karena dia mulai mencium pengkhianatanku dan meratapi betapa pedihnya
disakiti oleh darah daging sendiri? Atau mungkinkah dia mulai menyadari
46
hakikat sipakatau. Sampai kini Ayah tak kunjung kembali” ( Pabichara,
2012:59).
Rasa suka atau berduka yang dialami oleh Rewa merupakan
kecemasan yang muncul akibat adanya peringatan dari ego. Rewa merasa
aneh karena Ayahnya tak ada di rumah. Sesuai dengan teori Freud yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan
peringatan akan datangnya bahaya yang harus dihadapi dengan cara
melawan atau menghindar.
Karakter Tokoh Utama (Rewa) Berdasarkan Superego
1) “Sungguh, aku tak mampu memaafkan Ayah. Akibat syahwat dan lelaku
kawin-cerainya itu, aku kehilangan Ibu, kehilangan segalanya. Jika kelak
kamu bertemu Ibu di alam sana, kabarkan kepadanya bahwa aku baik-baik
saja. Kabarkan pula Ayah sekarang sudah mulai berubah; badan tegapnya
menyusut, matanya mengabur, pendengarnya melamur. Sampaikan juga,
sudah dua hari Ayah tidak pulang ke rumah. Pergi kemana? Entahlah. Dia
punya banyak rumah tempat singgah. Berkali-kali aku coba
menghubunginya, tapi tak ada jawaban. Mungkin dia sedang tak mau
diganggu. Sudahlah, tak perlu berpikir tentang Ayah. Biarkan saja, sudah
masanya dia menua dan kehilangan kegagahannya” (Pabichara, 2012:58).
Kutipan diatas menjelaskan bahwa Rewa merasa benci dengan apa
yang dilakukanAyahnya kepada Ibunya. Perasaan benci Rewa merupakan
superego yang memberikan hukum rohania kepada ego karena dianggap
47
telah melakukan kesalahan. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan
bahwa penghargaan dan hukum rohania yang dipergunakan oleh superego
masing-masing adalah perasaan bangga dan perasaan bersalah atau perasaan
kurang harga diri. Ego merasa bangga Jika ia telah berkelakuan baik atau
telah mengandung pikiran-pikiran yang baik, dan ia merasa malu tentang
dirinya sendiri kalau ia mengalah kepada godaan.
b) Cerpen: Silariang
Karakter Tokoh Utama Syarifuddin Tola
a. Setia
Data 1
“Sesungguhnya hubungan kami berlangsung sudah lama, sejak kami masih
kanak-kanak”.
Pada data (1) menjelaskan hubungan Syarifuddin Tola dan Aisha sudah
berlangsung lama bahkan sejak mereka masih kanak-kanak sampai mereka
beranjak dewasa. Di usia remaja mereka sudah saling jatuh cinta dan akhirnya
mereka berhubungan tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya.
Data 2
“Menjelang dewasa, aku mulai merasa asing bilamana jauh darinya karena
rasa rindu yang indah tapi menyiksa”.
Pada data (2) menjelaskan rasa rindu yang dirasakan Syarifuddin Tola
bilamana jauh dari Aisha. Ia merasakan rindu itu terasa sangat indah tetapi juga
48
menyiksanya. Ia terlalu cinta kepada Aisha gadis yang semasa kecil sudah akrab
dengannya.
Data 3
“Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan gadis yang kucintai selama
bertahun-tahun itu, gadis yang tak tergantikan oleh siapa pun, kapan pun,
dimana pun”.
Pada data (3) menjelaskan Syarifuddin Tola yang terus memikirkan gadis
yang dicintainya selama bertahun-tahun yaitu Aisha. Tak seorang pun yang bisa
menggantikan gadis itu didalam hatinya oleh siapa pun, sampai kapanpun, di
mana punkarena dia sangat mencintai gadis itu.
b. Pantang Menyerah
Data 4
“Tahukah kamu apa buah dari keganjilan sikapku itu? Bapak dan Ibuku
akhirnya melunak, begitu pula kerabat lain, termasuk kakakku”.
Pada data (4) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
akhirnya membuat hati Bapak dan Ibunya, serta kerabat lainnya, termsuk
kakakknya melunak dan mereka bermufakat hendak melamar Aisha.
Data 5
“Diawal kisah telah aku tuturkan bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang
menyerah kepadaku”.
49
Pada data (5) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola, sejak kecil
ia telah diajarkan untuk pantang menyerah dengan segala sesuatu. Meskipun ia
gagal mendapatkan restu dari orang tua Aisha tetapi ia terus berusahamencari
jalan agar ia bisa menikahi Aisha
Data 6
“Selalu ada jalan”, ujarku. Matanya mengerjap, kebingungan. “Jika semua
pintu tertutup, masih ada jendela untuk kita lewati”. “Silariang”.
Pada data (6) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
mengatakan selalu ada jalan, meskipun usaha nya untuk mendapatkan Aisya
tertutup dan ditentang oleh keluarga Aisha tetapi masih ada jalan lain yang bisa ia
lakukan yaitu Silariang atau kawin lari.
Data 7
“Bukankah cinta mesti diperjuangkan?”
Pada data (7) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
memperjuangkan cintanya dengan mengambil jalan kawin lari atau silariang, yang
dimana silariang itu artinya aib keluarga dan mencoreng nama baik keluarga.
Karakter Tokoh Utama (Syarifuddin Tola) Berdasarkan Id
1) “Tibalah malam bahagia, sekaligus menyedihkan, yang aku nantikan itu.
Aku dan sanak-kerabat bertandang ke rumahnya. Sepanjang jalan aku terus
memikirkannya, gadis yang kucintai selama bertahun-tahun itu, gadis yang
50
tak tergantikan oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun” (Pabichara, 2012:
92-93).
Perasaan Syarifuddin Tola yang terus memikirkan gadis yang
dicintainya selama bertahun-tahun itu, sehingga menjadi kebiasaan sehari-
harinya. Kebiasaan tersebut menjadi prinsip kesenangan yang berkuasa atas
dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa id bekerja
berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure priciple). Ia selalu mengejar
kesenangan dan menghindar dari ketegangan.
2) “Di awal kisah telah aku tuturkan bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang
menyerah kepadaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba,
akhirnya kami bersua juga. Sungguh luar biasa” (Pabichara, 2012:94).
Data diatas menunjukkan bahwa sikap pantang menyerah Syarifuddin
Tola selalu dijalani setiap hari. Kebiasaan tersebut menjadi prinsip
kesenangan yang berkuasa atas dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang
menyatakan bahwa id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure
priciple). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindar dari ketegangan.
Karakter Tokoh Utama (Syarifuddin Tola) Berdasarkan Ego
1) “Setiap hari aku mereka-reka cara agar bisa melihatnya meskipun diam-
diam dari kejahuan, tetapi hasilnya selalu berujung kecewa. Tak ada yang
paling menyakitkan selain merasa tak berdaya. Aku mulai gila, benar-benar
gila. Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin menatap bening matanya,
sekali saja, dan cukuplah itu bagiku” (Pabichara, 2012:92).
51
Data di atas menunjukkan bahwa Syarifuddin Tola merasa kecewa
karena keinginan untuk melihat orang yang dicintainya yaitu Aisha selalu
gagal, sehingga dia selalu merasa tak berdaya. Dari perasaan itulah muncul
kecemasan pada diri Syarifuddin Tola. Sesuai dengan teori Freud yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan
peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara
melawan atau menghindar.
2) “Tak ada penantian, tak ada ucap perpisahan. Keluargaku, juga aku,
meninggalkan rumahnya dengan kepala tertekuk. Pinangan itu berakhir
buntu karena dendam masa lalu yang menyungkupi hati. Aku mendengar
isak tangis dari bilik kamar Aisha, lamat dan lirih, tapi pedihnya
menyelusup hingga rongga hati” (Pabichara, 2012:93-94).
Perasaan dendam masa lalu yang menyungkupi hati Syarifuddin Tola
akan menimbulkan kecemasan pada dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan
peringatan akan datangnya bahaya dan yang harus dihadapi dengan cara
melawan atau menghindar.
3) “Sejenak terbayang jalan pintas menjanjikan untuk kami sasar. “Selalu ada
jalan,” ujarku. Matanya mengerjap, kebingungan. “Jika semua pintu
tertutup, masih ada jendela untuk kita lewati.”
“silariang?”
Aku mengangguk pasti. Aku tahu ini pilihan sulit” (Pabichara, 2012:94-95).
52
Data di atas menunjukkan bahwa Syarifuddin Tola mengangguk
karena mendapat pilihan yang sulit, sehingga muncul kecemasan pada
dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa kecemasan
adalah fungsi ego yang memberikan peringatan akan datangnya bahaya dan
harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
4) “Suara itu bak petir menyambar telinga. Tiga tombak di depan kami berdiri
tegap Arwan Situru, kakak Aisha, gadis yang segera mengerut di
punggungku. Andai saja kamu ada di sini, pasti kamu bisa melihat betapa
piasnya wajah kami, tak lebih cakap dari sepasang kucing yang yang
kedapatan mencuri ikan. Sepertinya semua harapan kami bakal buyar lagi.
Aku nekat melawan; tapi sungguh, kemampuan bela diri seadanya
membuatku mudah takluk. Baru kali ini aku menyesal mengapa tidak
pernah serius nelajar mancak, silat aliranTuratea, sehingga aku bisa
membela diri dan melindungi hati pujaan sendiri” (Pabichara, 2012:96).
Data di atas menunjukkan bahwa Syarifuddin Tola berusaha untuk
melawan Arwan Situru, walaupun akhirnya kalah dalam perkelahian
itu.reaksi yang ditunjukkan Syarifuddin Tola itu berusaha agar dampak yang
ditimbulkan kakak Aisha tidak berlebihan. Tindakan Syarifuddin Tola
mendapat pengaruh dari superogo dan ego telah mengabaikan id. Sesuai
dengan teori Freud yang menyatakan bahwa ego bekerja berdasarkan prinsip
realitas. Artinya ia dapat menundah pemuasan diri atau mencari bentuk
pemuasan lain yang sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani.
5) “Dadaku berdebar, darahku berdesir. Tidak banyak orang kampung yang
tahu rumah kami. Betapapun, kami, aku, dan Aisha, masihlah pelarian yang
53
dikejar-kejar maut setiap waktu. Memang keluargaku tahu di mana selama
ini kami bermukim, tapi mustahil mereka menyampaikan kepada banyak
orang karena sama saja dengan membuka gerbang kematian bagi kami.
Siapa gerangan dari kampung halaman yang bertandang ke rumah kami sore
ini? Meskipun di benakku terus bergelayut pertanyaan-pertanyaan dan
bayangan-bayangan ketakutan, aku segera bergegas ke beranda” (Pabichara,
2012:98).
Perasaan berdebar yang di alami Syarifuddin Tola karena ada orang
dari kampung yang bertandang di rumahnya, sehingga muncul kecemasan
pada dirinya. Sesuai dengan teori Freud yang menyatakan bahwa kecemasan
adalah fungsi ego yang memberikan peringatan akan datangnya bahaya dan
yang harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bab sebelumnya, penulis telah menyajikan data dan menganalisis
karakter tokoh utama dengan meluhat segi aspek kepribadian menurut teori
Sigmund Freud yaitu id, ego, dan superego dalam kumpulan cerpen Gadis
Pakarena karya Khrisna Pabichara. Oleh karena itu hasil dan temuan akan diuraikan
sebagai berikut.
Tokoh dalam fiksi dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan
keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh utama (sentral) dan tokoh
tambahan (periferal). Tokoh disebut sebagai tokoh tokoh sentral apabila memenuhi
tiga syarat, yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak
54
berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan
(Sayuti dalam wiyatmi, 2006:31).
Setelah dianalisis dengan analisis data dalam penelitian ini, maka diperoleh
aspek kepribadian berdasarkan pendekatan psikologi Sigmund Freud yang terdiri
atas id, ego, dan superego pada kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna
Pabichara yang berjudul: Mengawini Ibu dan Silariang.
Tokoh utama dalam cerpen Mengawini Ibuyaitu Rewa, cerpen ini
mengisahkan tentang kesetiaan seorang Ibu kepada Suaminya dan kebencian
seorang anak kepada Ayahnya. Pada cerpen ini terdapat tiga aspek kepribadian
tokoh utama yaitu: id, ego, dan superego. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip
yang amat primitif sehingga bersifat koatik (kacau tanpa aturan), tidak mengenal
amoral, tidak memiliki rasa benar-salah. Ego muncul karena adanya kecemasan
pada diri tokoh, kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan peringatan akan
datangnya bahaya dan harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
Superego memberikan hukum rohania kepada ego karena dianggap telah
qmelakukan kesalahan, penghargaan dan hukum rohaniah yang dipergunakan oleh
superego masing-masing adalah perasaan bangga dan perasaan bersalah atau
perasaan kurang harga diri.
Cerpen Silariang yang menjadi tokoh utama yaitu Syarifuddi Tola, cerpen ini
mengisahkan tentang dua orang anak yang nekat untuk kawin lari (silariang),
karena keluarga perempuan tidak merestui hubungan mereka yang diakibatkan oleh
dendam masa lalu. Pada cerpen ini terdapat dua aspek kepribadian tokoh utama
55
yaitu: id dan ego. Id bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif
sehingga bersifat koatik (kacau tanpa aturan), tidak mengenal amoral, tidak
memiliki rasa benar-salah. Ego muncul karena adanya kecemasan pada diri tokoh,
kecemasan adalah fungsi ego yang memberikan peringatan akan datangnya bahaya
dan harus dihadapi dengan cara melawan atau menghindar.
56
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data dari pembahasan pada uraian bab IV, penulis menarik
kesimpulan yaitu:
Karakter tokoh utama yaitu Rewa pada judul cerpen Mengawini Ibu
memiliki karakter yang suka bersenang-senang, pendendam, dan penurut.
Karakter tokoh utama yaitu Syarifuddin Tola pada judul cerpen silariang
memiliki karakter yang setia, pantang menyerah, dan pendendam.
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya harus mencapai konsepdasar tentang pendekatan
psikologi sastra secara meluas. Serta mengembangkan kajian sehingga
menghasilkan karya-karya yang di dalamnya memaparkan tentang psikologi
seseorang.
2. Penelitian terhadap kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna
Pabichara masih dapat diteliti lebih lanjut dengan pendekatan yang lain untuk
lebih memahami isinya.
56
57
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Bertens, K. 2006. Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama
Depdiknas. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko dkk. 2001. Metedologi Penelitian Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori,
danAplikasi). Yogyakarta: Medpress.
Endraswara, Suwardi, Metedologi penelitian sastra, Jogjakarta: Pustaka Widyatama,
2003.
Hall, S, Calvin. 2000. Libido Kekuasaan. Terjemahan S. Tasrif. Yogyakarta: Tarawang.
Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia. Jakarta: gramedia Pustaka Utama.
Minderop, Albertine, 2006. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Mulyadi, Budi.2007. Karakter Tokoh Utama Novel Utsukushisa To Kanashimi karya
KawabataYasunari, (online), (Htpp: //eprints.undip.ac.id/16846/1/Budi
Mulyadi.pdf,diakses 14 Juni 2016).
Maesono, Annadewi.2003. Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Nakti, 2010. Karakteristik Tokoh Utama kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
MustofaBisri (Online, (Http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-
indonesia/article/view/7266, diakses 14 Juni 2016).
Nurgiantoro, Burhan 2007. Teori pengkajian Fiksi: Yokyakarta: gadja Mada University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
57
58
Pabichara, Khrisna. 2012. Gadis Pakarena. Jakarta Selatan: Dolphin.
Rahmawati. 2010. Analisis Watak Tokoh Utama pada Novel Nayla karya Djenar
Maesa Ayu (Sebuah Tinjauan Sastra), (online), (http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/5740,
diakses 14 Juni 2016).
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Penelitian Sastra, Toeri, Metode dan TeknikPenelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sadikin , Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia Edisi Terlengkap. JakartaTimur:
Gudang Ilmu.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Terjemahan. Sugihastuti dan Rossi Abi AlIrsyad.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tang, Rapi. 2007. Pengantar Teori Sastra Yang Relevan. Makassar: UniversitasNegeri
Makassar.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Waridah, Ernawati.2009. EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Jakarta:Kawan
Pustaka
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
KORPUS DATA
1) Pada data (1) menjelaskan Dendam Rewa kepada Ayahnya yang bersifat seperti
binatang yang tidak menghargai ibunya juga dirinya, bahkan tidak peduli kepada
sesama. Bagaimana mungkin bisa menghargai sesama sementara dia tidak
prihatin sama sekali kepada keluarganya.
2) Pada data (2) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya yang mempunyai
kebiasaan yang suka bermain perempuan dan juga dia pun gemar bertitah bahwa
semua orang harus patuh terhadap aturannya walaupun menyakitkan.
3) Pada data (3) menjelaskan dendam Rewa yang bermula saat melihat Ibunya
yang terus menahan kesedihan atas perlakuan Ayahnya yang kerap bermesra-ria
dengan perempuan lain hingga Ibunya pun digerogoti penyakit , sampai
akhirnya meninggal dunia.
4) Pada data (4) menjelaskan dendam Rewa kepada Ayahnya hingga meningkatkan
amarahnya. Ia tidak suka melihat perilaku Ayahnya yang menyakiti perasaan
dan berpaling dari Ibunya hingga ia ingin membunuh Ayahnya.
5) Pada data (5) menjelaskan dendam Rewa yang tidak mampu memaafkan
kelakuan Ayahnya, ia menyalahkan Ayahnya karena akibat syahwat dan
perilaku kawin cerainya sehingga ia kehilangan Ibunya dan kehilangan
segalanya.
6) Pada data (6) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya yang tidak bisa
melihat Ibunya terus menerus disakiti oleh Ayahnya, bahkan ia menyuruh
Ibunya untuk meminta cerai kepada Ayahnya.
7) Pada data (7) menjelaskan Rewa yang sayang kepada Ibunya dan selalu berharap
agar Ibunya berontak atau marah kepada Ayahnya yang sering menyakiti
perasaan Ibunya bukan hanya mengelus dada atau berdoa semoga Ayah bisa
berubah.
8) Pada data (8) menjelaskan Rewa yang bahkan penuh dendam kepada Ayahnya
tetapi ia masih masih mempedulikan Ayahnya semenjak Ayahnya pergi dari
rumah ia bahkan mencemaskan Ayahnya,dan ia berfikir untuk mencari
Ayahnya.
9) Pada data (9) menjelaskan Rewa bertanya pada dirinya apakah ia harus suka atau
berduka saat Ayahnya tidak ada dirumah. Karena rasa sayang kepada Ayahnya
ia merasa aneh dan sangat kehilangan saat Ayahnya pergi meninggalkan rumah
tanpa mengabarinya.
10) Pada data (1O) menjelaskan hubungan Syarifuddin Tola dan Aisha sudah
berlangsung lama bahkan sejak mereka masih kanak-kanak sampai mereka
beranjak dewasa. Di usia remaja mereka sudah saling jatuh cinta dan akhirnya
mereka berhubungan tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya.
11) Pada data (11) menjelaskan rasa rindu yang dirasakan Syarifuddin Tola
bilamana jauh dari Aisha. Ia merasakan rindu itu terasa sangat indah tetapi juga
menyiksanya. Ia terlalu cinta kepada Aisha gadis yang semasa kecil sudah akrab
dengannya.
12) Pada data (12) menjelaskan Syarifuddin Tola yang terus memikirkan gadis yang
dicintainya selama bertahun-tahun yaitu Aisha. Tak seorang pun yang bisa
menggantikan gadis itu didalam hatinya oleh siapa pun, sampai kapanpun, di
mana pun karena dia sangat mencintai gadis itu.
13) Pada data (13) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
akhirnya membuat hati Bapak dan Ibunya, serta kerabat lainnya, termsuk
kakakknya melunak dan mereka bermufakat hendak melamar Aisha.
14) Pada data (14) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola, sejak kecil
ia telah diajarkan untuk pantang menyerah dengan segala sesuatu. Meskipun ia
gagal mendapatkan restu dari orang tua Aisha tetapi ia terus berusahamencari
jalan agar ia bisa menikahi Aisha.
15) Pada data (15) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
mengatakan selalu ada jalan, meskipun usaha nya untuk mendapatkan Aisya
tertutup dan ditentang oleh keluarga Aisha tetapi masih ada jalan lain yang bisa
ia lakukan yaitu Silariang atau kawin lari.
16) Pada data (16) menjelaskan sifat pantang menyerah Syarifuddin Tola yang
memperjuangkan cintanya dengan mengambil jalan kawin lari atau silariang,
yang dimana silariang itu artinya aib keluarga dan mencoreng nama baik
keluarga.
17) Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan saja kenapa aku begitu
ingin membunuh Ayah. Bencana bermula ketika Ibu terjatuh di tangga rumah.
Semenjak itu Ibu tak bisa melayani berahi Ayah yang berlebihan. Semenjak itu
pula Ayah berpaling, mula-mula diam-diam, lalu terang-terangan (Pabichara,
2012:53).
18) Aku terkejut saat membuka pintu. Ada orang lain di kamarku, seorang gadis
berbaju putih dengan rok abu-abu. Aku melangkah masuk, ragu-ragu. Aku
melihat dia menggeliat. Dadaku berdebar. Sesuatu di bagian tengah tubuhku
bergetar. Bau harum terhidu. Entah dari mana pangkal mulanya, aku tiba-tiba
bergairah. Kutatap gadis itu lebih lama, lebih dekat, lebih lekat. Siapakah
perempuan yang demikian cantik, seperti terkirim dari surga, yang menderaskan
darah remajaku ini? Mungkinkah dia sesaji baru untuk Ayah? Sekonyong-
konyong aku teringat pesan Ibu: jadilah laki-laki, Nak, yang bukan Ayahmu.
Sekedar kamu tahu, tak pernah sebelumnya aku sekamar, apalagi seranjang,
dengan perempuan, bahkan dengan Ibu sekalipun (Pabichara, 2012: 55-56).
19) Selama tujuh belas tahun aku menelan ajaran Ibu dan memuntahkan nasihat
Ayah. Tetapi tidak untuk saat ini! Aku seakan dirasuki oleh roh Ayah. Kini dia
menjadi pandu berahiku. Terasa aneh olehku ketika kulitku merasakan
kehangatan tubuh perempuan ini. Ini pengalaman pertamaku, dan aku tak kuasa
mengendalikan akal sehatku. Karena dendam atau cintakah? Mungkin keduanya:
dendam kepada Ayah, cinta kepada Ibu. Sementara perempuan bertubuh
sempurna ini tertidur dengan cara yang wah. Dia menggeliat, terbangun dan
membuka matanya (Pabichara, 2012: 56-57).
20) Tahukah kamu apa yangterjadi sesuai peristiwa itu? Aku mulai ketagihan dan
aku sekarang punya cita-cita baru: mengawini semua perempuan yang
diinginkan Ayah menjadi Ibuku, pengganti Ibu yang melahirkanku. Anehnya,
Ayah sama sekali tak tahu. Atau, jangan-jangan Ayah Cuma pura-pura tak tahu?
Tetapi, tidak. Ayah memang benar-benar tidak tahu, buktinya dia tidak pernah
menegur atau mendampratku. Dia tetap rutin memberiku uang harian,
mingguan, dan bulanan, uang yang selama ini banyak kugunakan untuk
menyumpal mulut ibu-ibu baruku. Kadang aku sangat menyesal, tetapi gelagak
marah lebih menguasaiku (Pabichara, 2012: 57-58).
21) Begitulah jawaban Ibu setiap kali aku melihat Ayah. Aku menganggap Ibu
terlalu lembut atau sangat penurut atau sebenarnya terjadi lantaran takut.
Entahlah. Sekat antara lembut, penurut, dan takut sangat tipis. Ibu selalu bisa
tersenyum sabar ketika Ayah kedapatan sedang bermesra-ria dengan perempuan
lain di mall, pasar, bioskop, bahkan beranda rumah. Aku pernah berharap
sesekali Ibu merajuk atau berontak atau marah kepada Ayah, bukan semata
mengelus dada lantas berdoa semoga Ayah lekas berubah. Tetapi, jangankan
merajuk, berontak, apalagi marah, Ibu sepasrah-pasrahnya. Aku malah perna
bilang kepada Ibu untuk minta cerai saja. Alhasil, Ibu malah marah dan
mengatai aku gila karena menurutnya aku telah menganjurkan keburukan. Aku
yakin, kamu juga pasti tak betah melihat perempuan yang mengandung dan
melahirkanmu terus-menerus disakiti (Pabichara, 2012: 52).
22) Bagaimana dengan Ibu? Kamu tak perlu bertanya. Jika saja kamu serumah
dengan Ibu, kamu pasti akan sependapat dengan apa yang kuceritakan ini. Ibu,
Naura Shabrina, adalah keturunan Makassar-Pakistan. Nama itu sendiri
bermakna kesabaran tanpa batas, dan memang begitulah kepribadian Ibu. Saking
sabarnya, Ayah sampai bebas melakukan apa saja yang dihasrati. Aku bingung
jika kamu bertanya apa kekurangan Ibu hingga Ayah suka berselingkuh
(Pabichara, 2012: 52-53).
23) Begitulah, aku menjadi penyaksi keanehan Ibu dan kegilaan Ayah. Aku
diceburkan ke dalam hidup yang liar dan tak masuk akal. Aku menyaksikan
pengkhianatan dan kesetiaan ganti-berganti dihadapan mataku sepanjang waktu.
Itu sangat memilukan hati bocahku yang masih sering terbata membaca dunia.
Aku merasa inilah matiku sebelum tuntas hidupku (Pabichara, 2012: 54).
24) Ayah semakin gila, Ibu semakin aneh, aku semakin asing. Tahukah kamu, aku
merasa tak pernah balajar sesuatu besar dengan benar: Ayah menukar
perempuannya sesering dia bersalin baju; Ibu menata tangisnya sekeras ia
mengulum; sedang aku membangun harapan serapuh istana pasir yang setiap
saat bisa dipelecet gelombang? Dari hari ke hari Ayah semakin larut, Ibu
semakin cuiy, aku semakin kecut. Bagaimana caranya agar aku bisa
menghentikan semua kegilaan ini? (Pabichara, 2012: 55).
25) Apakah aku harus suka atau berduka? Aneh saja rasanya jika Ayah tak ada.
Perasaan kehilangan dan dendam bertarung ketat di dadaku, tak ada yang kalah
dan tak ada yang menang. Mungkinkah dia sedang rindu cabelong, penganan
kesukaanya itu? Mungkinkah dia tengah berburu perempuan baru berinisial
“N”? atau mungkinkah dia merindukan suasana rumah yang semua penghuninya
tunduk dan takzim kepadanya? Atau jangan-jangan karena dia mulai mencium
pengkhianatanku dan meresapi betapa pedihnya disakiti oleh darah daging
sendiri? Atau mungkinkah dia mulai menyadari hakikat sipakatau. Sampai kini
Ayah tak kunjung kembali (Pabichara, 2012: 59).
26) Sungguh aki tak bisa memaafkan Ayah. Akibat syahwat dan lelaku kawin-
cerainya itu, aku kehilangan Ibu, kehilangan segalanya. Jika kelak kamu
bertemu Ibu di alam sana, kabarkan kepadanya bahwa aku baik-baik saja.
Kabarkan pula Ayah sekarang sudah mulai berubah; badan tegapnya menyusut,
matanya mengabur, pendengarannya melaamur. Sampaikan juga, sudah dua hari
Ayah tidak pulang ke rumah. Pergi ke mana? Entahlah. Dia punya banyak
rumah tempat singgah. Berkali-kali aku coba menghubunginya, tapi tak ada
jawaban. Mungkin dia sedang tak mau diganggu. Sudahlah, tak perlu berpikir
tentang Ayah. Biarkan saja, sudah masanya dia menua dan kehilangan
kegagahannya (Pabichara, 2012: 58).
27) Tibalah malam bahagia, sekaligus menyedihkan, yang aku nentikan itu. Aku dan
sanak-kerabat bertandang ke rumahnya. Sepanjang jalan aku terus memikirkan,
gadis yang kucintai selama bertahun-tahun itu, gadis yang tak tergantikan oleh
siapa pun, kapan pun, di mana pun. (Pabichara, 2012: 92-93).
28) Di awal kisah telah aku tuturkan bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang
menyerah kepadaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba, akhirnya
kami bersua juga. Sungguh luar biasa (Pabichara, 2012: 94).
29) Setiap hari aku mereka-reka cara agar bisa melihatnya meskipun diam-diam dari
kejauhan, tetapi hasilnya selalu berujung kecewa. Tak ada yang paling
menyakitkan selain merasa tak berdaya. Aku mulai gila, benar-benar gila. Aku
tidak berharap banyak, aku hanya ingin menatap bening matanya, sekali saja,
dan cukuplah itu bagiku (Pabichara, 2012: 92).
30) Tak ada pamitan, tak ada ucap perpisahan. Keluargaku, juga aku, meninggalkan
rumahnya dengan kepala tertekuk. Pinangan itu berakhir buntu karena dendam
masa lalu yang menyungkupi hati. Aku mendengar isak tangis dari bilik kamar
Aisha, lamat dan lirih, tapi pedihnya menyelusup hingga rongga hati (Pabichara,
2012: 93-94).
31) Sejenak terbayang jalan pintas menjanjikan untuk kami sasar. “Selalu ada jalan,:
ujarku. Matanya mengerjap, kebingungan. “Jika semua pintu tertutup, masih ada
jendela untuk kita lewati .”
“silariang?”
Aku mengangguk pasti. Aku tahu ini pilihan sulit (Pabichara, 2012: 94-95).
32) Suara itu bak petir menyambar telinga. Tiga tombak di depan kami berdiri tegap
Arwan Situru, kakak Aisha, gadis yang segera mengerut di punggungku. Andai
saja kamu ada di sini, kamu pasti bisa melihat betapa piasnya wajah kami, tak
lebih cakap dari sepasang kucing yang kedapatan mencuri ikan. Sepertinya
semua harapan kami bakal buyar lagi. Aku nekat melawan; tapi sungguh,
kemampuan bela diri seadanya membuatku mudah takluk. Baru kali ini aku
menyesal mengapa tidak pernah serius belajar mancak, silat aliran Turatea,
sehingga aku bisa membela diri dan melindungi pujaan hati sendiri (Pabichara,
2012: 96).
33) Dadaku berdebar, darahku berdesir. Tidak banyak orang kampung yang tahu
rumah kami. Betapapun, kami, aku, dan Aisha, masihlah pelarian yang dikejar-
kejar maut setiap waktu. Memang keluargaku tahu di mana selama ini kamu
bermukim, tapi mustahil mereka menyampaikan kepada banyak orang karena ini
sama saja dengan membuka gerbang kematian bagi kami. Siapa gerangan dari
kampung halaman yang bertandang ke rumah kami sore ini? Meskipun di
benakku terus bergelayut pertanyaan-pertanyaan dan bayangan-bayangan
ketakutan, aku segera bergegas ke beranda (Pabichara, 2012: 98).
CERPEN
1
MENGAWINI IBU
Kelakuan Ayah seperti binatang. Ayah tidak menghargai Ibu, juga aku. Tidak
berlebihan jika aku pernah sangat menyesal menjadi anaknya setiap kali menulis
namanya di kolom apa saja yang mengharuskanku menyebut nama orang tua.
Akupun yakin Ayah sudah tak peduli kepada sesama. Bagaimana mungkin bisa
menghargai sesama sementara dia tidak prihatin sama sekali kepada keluarganya?
Aku juga yakin Ayah bahkan tak menghargai dirinya sendiri dan sudah
mengabaikan tradisi sipakatau memanusiakan manusia. Maaf, aku terbawa
perasaan. Yang pasti, aku heran bagaimana Ibu bisa bertahan punya suami seperti
Ayah.
Cinta, nak, adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka.
Begitulah jawaban Ibu setiap kali aku protes melihat ulah Ayah. Aku menganggap
Ibu terlalu lembut atau sangat penurut atau sebenarnya terjadi lantaran takut.
Entahlah. Sekat antara lembut, penurut, dan takut sangat tipis. Ibu selalu bisa
tersenyum sabar ketika Ayah kedapatan sedang bermesra-ria dengan perempuan lain
di mal, pasar, bioskop, bahkan beranda rumah. Aku pernah berharap sesekali Ibu
merajuk atau berontak atau marah kepada Ayah, bukan semata mengelus dada lantas
berdoa semoga Ayah lekas berubah. Tetapi, jangankan merajuk, berontak, apalagi
marah, Ibu selalu sepasrah-pasrahnya. Aku malah pernah bilang kepada Ibu untuk
minta cerai saja. Alhasil, Ibu malah sangat marah dan mengatai aku gila karena
menurutnya aku telah menganjurkan keburukan. Aku yakin, kamu juga pasti tak
betah melihat perempuan yang mengandung dan melahirkanmu terus-menerus
disakiti.
Mencintai itu pekerjaan abadi, Nak, tak pernah selesai.
Ada baiknya aku membabar kisah ini dari awal. Ayah, Althan Adiva, lazimnya
orang Makassar lain, lebih kerap dipanggil Daeng Sambang. Dia menyukai
cabelong, penganan khas Jeneponto, dan perempuan; dia pun gemar bertitah bahwa
semua orang harus patuh terhadap aturannya walaupun menyakitkan. Kebiasaan
kedua dan ketiga itulah yang membuat aku benci kepadanya dengan benci yang
sebenci-bencinya.
Tak ada gunanya mengelak, Nak, seperti juga tak ada gunanya banyak berharap.
Bagaimana dengan Ibu? Kamu tak perlu bertanya. Jika saja kamu serumah dengan
Ibu, kamu pasti akan sependapat dengan apa yang kuceritakan ini. Ibu, Naura
Shabrina, adalah perempuan keturunan Makassar-Pakistan. Nama itu sendiri
bermakna kesabaran tanpa batas, dan memang begitulah kepribadian Ibu. Saking
sabarnya, Ayah sampai bebas melakukan apa saja yang dia hasrati. Aku bingung
jika kamu bertanya apa kekurangan Ibu hingga Ayah berselingkuh. Ibu adalah
sesosok perempuan yang sempurna. Dia tak suka mengelih, apalagi membantah. Dia
tak bernoda, tak bercela. Satu-satunya kekurangan Ibu, menurutku, adalah dia
terlampau kukuh memegang norma adat dan hukum agama. Pernah terlintas di
benakku, Tuhan salah menitiskan karakter kepada Ibu. Tetapi bukankah tak baik
menyeret-nyeret Tuhan ke dalam sebuah masalah seperti ini? Lagi pula, mana
mungkin Tuhan salah? Memang dasar Ayah yang gila, Ibu juga.
Bakti itu, Nak, adalah saudara kandung kepatuhan.
Siapa aku? Sudahlah, itu tak penting. Akan kuceritakan saja kenapa aku begitu ingin
membunuh Ayah. Bencana bermula ketika Ibu terjatuh di tangga rumah. Semenjak
itu Ibu tak bisa melayani berahi Ayah yang berlebihan. Semenjak itu pula Ayah
berpaling, mula-mula diam-diam, lalu terang-terangan. Aku pernah mendapati Ibu
menangis saat Ayah membawa Nia, sicentil bermuka tengil, ke rumah. Waktu itu
aku baru sebelas tahun, belum begitu paham apa itu kesetiaan dan perselingkuhan.
Yang kutahu, Ayah menciumi Nia didepan Ibu. Sebenarnya aku malu jika
menceritakan semua ini kepadamu. Akan tetapi, aku tak tahan. Aku ingin bicara,
aku tak sanggup berdiam diri terus-menerus. Tak lama berselang, Nindya menginap
di rumah. Lalu, seiring bertambahnya usiaku, muncul Nayla, Nisrina, Nadin, dan
banyak lagi perempuan berawalan huruf “N” lainnya. Aku mulai merasakan
keganjilan, bagaimana bisa Ayah tega menyakiti Ibu, perempuan yang bisa
melakukan apa saja untuknya, kecuali bercinta setiap saat, dan sesudah itu Ibu tak
pernah meminta apa pun kepadanya? Lebih ganjil lagi, kenapa semua nama
perempuan yang digandrungi Ayah selalu berawalan huruf “N”? jika ya, dan kamu
perempuan, sejelek apa pun wajahmu, kamu patut berhati-hati jika bertemu Ayah.
Jika ingin menerima yang terbaik, Nak, berikan juga yang terbaik.
Begitulah, aku menjadi penyaksi keanehan Ibu dan kegilaaan Ayah. Aku diceburkan
ke dalam hidup yang liar dan tak masuk akal. Aku menyaksikan pengkhianatan dan
kesetiaan ganti-berganti di hadapan mataku sepanjang waktu. Itu sangat memilukan
hati bocahku yang masih sering terbata membaca dunia. Aku merasa inilah matiku
sebelum tuntas hidupku.
Hidup, Nak, acap kali tak seperti yang kita bayangkan.
“Ini bodoh!” kataku kepada Ibu, suatu hari ketika usiaku beranjak renaja.
“Tidak, Rewa ini pilihan yang Ibu lakukan dengan penuh kesadaran.”
“Tanpa harapan?”
“Buah pembebasan.”
“Yang kosong!”
“Sama saja, Nak.”
“Ibu berhak menikmati hidup!”
“Waktunya sudah tak ada.”
“Aaargh!”
“Jangan dendam, Rewa. Seburuk apapun, dia tetap Ayahmu!”
Ayah semakin gila, Ibu semakin aneh, aku semakin asing. Tahukah kamu, aku
merasa tak pernah belajar sesuatu yang besar dengan benar: Ayah menukar
perempuannya sesering dia bersalin baju; Ibu menata tangisnya sekerap dia
menggulum senyumnya; sedang aku membangun harapan serapuh istana pasir yang
setiap saat bisa dipelecat gelombang? Dari hari ke hari Ayah semakin larut, Ibu
semakin ciut, aku semakin kecut. Bagaimana caranya agar aku bisa menghentikan
semua kegilaan ini? Tersebabkan oleh berlaksa kesedihan yang terus ditahan, Ibu
pun digerogeti penyakit, ai tak perlu kusebutkan apa nama penyakitnya, hingga
akhirnya berpilang ke sisi-Nya.
Sejak itulah bermula segala dendamku kepada Ayah.
Jadilah laki-laki, Nak, yang bukan Ayahmu.
Aku terkejut saat membuka pintu. Ada orang lain di kamarku, seorang gadis berbaju
putih dengan rok abu-abu. Aku melangkah masuk, ragu-ragu. Aku melihat dia
menggeliat. Dadaku berdebar. Sesuatu di bagian tengah tubuhku bergetar. Bau
harum terhidu. Entah dari mana pangkal mulanya, aku tiba-tiba bergairah. Kutatap
gadis itu lebih lama, lebih dekat, lebih lekat. Siapakah perempuan yang demikian
cantik, seperti terkirim dari surga, yang menderaskan darah remajaku ini?
Mungkinkah dia sesaji baru untuk Ayah? Sekonyong-konyong aku teringat pesan
Ibu: jadilah laki-laki, Nak, yang bukan Ayahmu. Sekadar kamu tahu, tak pernah
sebelumnya aku sekamar, apalagi seranjang, dengan perempuan, bahkan dengan Ibu
sekalipun. Terpampang dilayar benakku tubuh Ayah ketika menindih Nindya,
Nayla, Nisrina, Nadin, atau “N” lainnya. Apakah nama perempuan ini juga
berawalan huruf “N”?
Pengalaman yang dihidangkan Ayah lewat tontonan percintaan panasnya, disengaja
ataupun tidak, tengah menuntunku bagaimana semestinya memperlakukan gadis itu.
Tubuhku sering kapas melayang keatas tubuhnya.
Perempuan bukan boneka, Nak, mereka punya hati.
Selama tujuh belas tahun aku menelan ajaran Ibu dan memuntahkan nasehat Ayah.
Tetapi tidak untuk saat ini! Aku seakan dirasuki oleh roh Ayah. Kini dia menjadi
pandu birahiku. Terasa aneh olehku ketika hatiku merasakan kehangatan tubuh
perempuan ini. Ini pengalaman pertamaku, dan aku tak kuasa mengendalikan akal
sehatku. Karena dendam atau cintakah? Mungkin keduanya: dendam kepada Ayah,
cinta kepada Ibu. Sementara perempuan bertubuh sempurna ini tertidur dengan cara
yang wah. Dia menggeliat, terbangun, dan membuka matanya.
“Diamlah,” desisku,”aku laki-laki!”
Dan terjadilah. Tapi dia tak menangis meskipun telah kehilangan selaput darah.
“Terima kasih,” katanya.
Aku bingung,”Kamu siapa?”
“Apa artinya namaku bagimu?”
“Hmmmh!”
“Ibuku menjual kebebasan kepada Ayahmu.”
“Membayar utang?”
“Ya.”
“Kamu tidak menangis?”
“Lebih baik denganmu daripada Ayahmu.”
Tubuhku menggeletar menahan uap menggelisakan yang menyergap diri segala
penjuru ketika dia masih tersenyum hangat. Semoga Ibu dialam sana tak menonton
apa yang kulakukan ini. Dia sudah terlalu menderita di dunia. Cukup Ayah yang
menetak hatinya dengan seruntun petaka.
Penyesalan, Nak, selalu berada diurutan terakhir.
Tahukah kamu apa yang terjadi seusai peristiwa itu? Aku mulai ketagihan, dan aku
sekarang punya cita-cita baru: mengawini semua perempuan yang diinginkan Ayah
menjadi Ibuku, pengganti Ibu yang melahirkanku. Anehnya, ayah sama sekali tak
tahu. Atau, jangan-jangan Ayah cuma pura-pura tak tahu? Tetapi, tidak. Ayah
memang benar-benar tidak tahu, buktinya dia tidak pernah menegur atau memarahi
atau mendampratku. Dia tetap rutin memberiku uang harian, mingguan, dan
bulanan, uang yang selama ini mulai banyak kugunakan untuk menyumpal mulut
ibu-ibu baruku. Kadang aku sangat menyesal, tetapi gelagak amarah lebih
menguasaiku.
Maaf itu menyembuhkan, Nak, bagi yang dimaafkan dan yang memaafkan.
Sungguh, aku tak mampu memaafkan Ayah. Akibat syahwat dan lelaku kawin-
cerainya itu, aku kehilangan Ibu, kehilangan segalanya. Jika kelak kamu bertemu
Ibu dialam sana, kabarkan kepadanya bahwa aku baik-baik saja. Kabarkan pula
Ayah sekarang sudah mulai berbah: badan tegapnya menyusut, matanya mengabur,
pendengarannya melamur. Sampaikan juga, sudah dua hari Ayah tidak pulang ke
rumah. Pergi ke mana? Entahlah. Dia punya banyak rumah tempat singgah. Berkali-
kali aku coba menghubunginya, tapi tak ada jawaban. Mungkin dia sedang tak mau
diganggu. Sudahlah, tak perlu berpikir tentang Ayah. Biarkan saja, sudah masanya
dia menua dan kehilangan kegagahannya!
Tawa dan air mata, Nak, bergantung bagaimana kita menyikapinya.
Kenapa aku tidak mencari Ayah saja? Bagaimana jika dia butuh bantuanku?
Bagaimana jika dia pingsan di tengah jalan atau ditabrak truk atau digilas kereta
atau dirampok dan dikeroyok kawanan preman?
Bukan dendam, Nak, cintalah yang mesti kamu rawat!
Ini malam ketujuh sejak Ayah pergi. Sudah tak terhitung berapa kali aku tidur
bersama Nadira, nama ibu baruku, yang sudah aku ceritakan kepadamu apa yang
terjadi ketika aku menemukan dia lelap tertidur dikamarku dan membuatku
ketagihan setelahnya, juga dengan ibu-ibu baru lainnya.jangan gusar, tenanglah, aku
sudah berniat tobat. Begitu Ayah pulang, aku takkan merebut istri-istrinyalagi.
Apakah aku harus suka atau berduka? Aneh saja rasanya jika Ayah tak ada.
Perasaan kehilangan dan dendam bertarung ketat di dadaku, tak ada yang kalah dan
tak ada yang menang. Mungkinkah dia sedang rindu cabelong, penganan
kesukaannya itu? Mungkinkah dia tengah berburu perempuan baru berinisial huruf
“N”? Atau mungkinkah dia merindukan suasana rumah yang penghuninya tunduk
dan takzim kepadanya? Atau jangan-jangan karena dia mencium [engkhianatanku
dan meresapi betapa pedihnya disakiti oleh darah dagingnya sendiri? Atau
mungkinkah dia mulai menyadari hakikat sipakatau.
Sampai kini Ayah tak pernah kembali.
2
SILARIANG
Pernahkah kamu berhasrat melakukan sesuatu tetapi kamu merasa tak berdaya sama
sekali? Itulah yang kualami saat ini. Takdir mengajariku tabiat pantang menyerah,
namun takdir pula yang mengunjukkan kepadaku pedihnya berpasrah. Rasanya tak
perlu kita perdebatkan hakikat sabar sebab itu akan menyimpang terlalu jauh dari kisah
yang hendak kutulis ini. Selain itu, aku selalu tak yakin akan bisa bersabar atau ikhlas
atau apa pun namanya segala wujud kepasrahan, atau malah ketakberdayaan, itu. Toh,
itu tidaklah ada bedanya, takkan mengubah garis nasib atau jalan hidupku.
Apa perlu kusebut nama gadis yang aku cintai itu? Jika kamu memintanya,
baiklah, namanya Aisha Arissa Ashalina. Namanya cantik, bukan? Pernah sekali
waktu, aku iseng mencari arti namanya di kamus nama-nama indah dan kutemukan
makna namanya yang ternyata indah: putri yang cemerlang dan penyayang. Dia gadis
tercantik di kampungku, tetapi kecantikannya pudar disebabkan takdir yang tak bisa
diubahnya: dia putri seorang pengusaha dan juga musuh bebuyutan keluargaku.
Sementara aku, Syarifuddin Tola, seorang karaeng tikno, bangsawan Turatea, takkan
diperkenankan oleh adat menikah dengannya betapapun cantik, lembut, dan
cendekianya dia.
Itulah muasal cerita yang tengah kudaraskan ini.
Baiklah, sebaiknya kututurkan dari mana mulanya cerita ini. Sesungguhnya hubungan
kami berlangsung sudah sangat lama, sejak kami masih kanak-kanak. Usiaku terpaut tak
jauh darinya, hanya selisih satu tahun. Riwayat mencatat, dahulu bapaknya pernah
melamar adik bapakku, tetapi lamaran itu ditolak mentah-mentah. Limpahan harta tidak
serta-merta melunakkan hati Kakek. Bermula dari sanalah dendam itu berakar. Mereka
memandang keluargaku sebagai ahli waris lapuk kejawaan purba, sedangkan keluargaku
melihat mereka sebagai puak yang kemaruk harkat. Maka kesumat itu terajut diam-
diam, layaknya arus sungai yang tenang, dipermukaan tampak diam, di bawah terus
bergolak.
Oh ya, keakraban kami di masa kanak-kanak tak pernah dipermasalahkan
keluargaku, tidak juga bagi keluarganya. Mungkin karena mereka mengita kami masih
kecil dan semua keakraban itu dimaknai sebagai keintiman ala kanak-kanak. Ternyata
dugaan mereka keliru. Lambat-laun keakraban itu terasa membahagiakan, setiap
berdua-dua dengannya aku merasa sangat hidup. Menjelang dewasa, aku mulai merasa
asing bilaman jauh darinya karena rasa rindu yang indah tetapi menyiksa. Dan tahukah
kamu apa yang paling membahagiakan bagiku saat itu? Dia ternyata memendam
perasaan serupa. Jadilah kami sepasang kekasih rahasia. Semakin hari semakin keras
tuak cinta berperam didada berdua.
Kamu mungkin menduga kisah kami berjalan mulus, kenyataannya tidak, bukan
itu yang terjadi. Aku tak mengira Karaeng Sijaya, kakak sulungku yang pendiam,
ternyata sejak lama memata-matai kami. Suatu sore, sesaat selepas berpisah dengannya
di Kassi, tempat rekreasi paling meriah di kampungku, Karaeng Sijaya berdiri kukuh
seperentang lengan saja di hadapanku.
“Kamu tidak bisa mengubah riwayat, Andik,” ujarnya ketika gadis yang kucintai
perlahan menghilang. “Bagaimana mungkin mereka akan menerima pinanganmu?”
“Riwayat sudah tamat, Daeng..”
Kakakku tersenyum lembut seraya berkata, “Aku tidak mau kamu terluka,
Andik. Dalam tubuhmu mengalir darah bangsawan, apa jadinya jika kamu dinistakan?
Sejak itu aku tak banyak bicara, meski masih terus berharap.kami tak mudah
lagi berjumpa, dia dipingit keluarganya, sementara gerak-gerikku diawasi sepanjang
hari. Tak ada lagi tawa bahagia, tak juga tatapan mesra. Pendulum hubungan kami
berbalik seratus delapan puluh derajat. Setiap hari aku mereka-reka cara agar bisa
melihatnya meskipun diam-diam dari kejauhan, tetapi hasilnya selalu berujung kecewa.
Tak ada yang paling menyakitkan selain merasa tak berdaya. Aku mulai gila, benar-
benar gila. Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin menatap beningnya matanya,
sekali saja, dan cukuplah itu bagiku.
Tahukah kamu apa buah dari keganjilan sikapku itu?
Bapak dan Ibuku akhirnya melunak, begitu pula kerabat lain, termasuk kakakku.
Lalu, tiba suatu hari mereka bermufakat hendak melamar Aisha. Aku tahu itu bukan
perkara mudah, bukan semata ritual meminang, melainkan juga pertaruhan harga diri
dan nama baik keluarga. Bagi masyarakat Bugis Makassar, ritual meminang gadis
sangatlah sakral. Bila pinangan diterima, sebuah pesta akan dihelat dengan dahsyat,
namun bila pinangan ditolak, itu tak ada bedanya dengan bencana, malapetaka
mahahebat yang memalukan keluarga. Dan, siri bagi keluarga bangsawan jikalau
pinangannya ditampik. Sementara, seperti telah kuceritakan kepadamu, keluarga Aisha
memusuhi keluargaku. Itu pertanda peluang pinangan diterima tidaklah sebesar peluang
penolakan. Sungguh sebuah pertaruhan. Tapi ini juga membuktikan, betapa sayang
keluargaku kepadaku.
Tibalah malam bahagia, sekaligus menyedihkan, yang aku nantikan itu. Aku dan
sanak-kerabat bertandang kerumahnya. Sepanjang jalan aku terus memikirkannya gadis
yang kucintai selama bertahun-tahun itu, gadis yang tak tergantikan oleh siapa pun,
kapan pun, di mana pun.
Aku rindu hangat senyummu.
Ternyata, malam itu ketika keluargaku sepakat meminangnya sebagai
pendamping hidupku, seperti talah ditilik sanak-kerabar menjadi perigi segala petaka.
“Apa? Mahar seratus juta?” seru kakakku, juru pinang keluargaku malam itu.
“Ya!”
“Semahal itu?”
“Ya!”
“Kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi biaya hajatan, beli kuda dan
kerbau. Bagaimana kalu lima puluh juta saja?”
Bapaknya tersenyum sinis. Ah, hanya itu sebatas kemampuan keluarga
bangsawan?” ujarnya.
“Tidakkah Bapak memikirkan perasaan mereka, Tola dan Aisha?”
Kali ini, bapaknya menggebrak meja. Mukanya memerah, semerah sebatang besi
yang sedang dipanggang.”Apakah keluargamu dulu memikirkan perasaan dan perasaan
keluargaku?”
Tak ada pamitan, tak ada ucap perpisahan. Keluargaku, juga ikut, meninggalkan
rumahnya dengan kepala tertekuk. Pinangan itu berakhir buntu karena dendam masa
lalu yang menyungkupi hati. Aku mendengar isak tangis dari bilik kamar Aisha, lamat
dan lirih, tapi pedihnya menyelusup hingga rongga hati. Sebaiknya kamu tahu, tradisi di
Turatea, kampung kelahiranku, memperlakukan kaum perempuan sewenang-wenang;
mereka di takar lewat setumpuk rupiah berdasarkan kecantikan, derajat, atau ilmunya.
Semakin cantik, semakin mahal, semakin tinggi derajatnya, semakin sulit mahar yang
harus ditebus untuk meminangnya.
Pahitnya, itu pula yang ditimpakkan takdir kepadaku!
Diawal kisah telah aku tuturkan bahwa takdir mengajarkan tabiat pantang menyerah
kepadaku. Begitulah adanya. Setelah berbagai helat kucoba, akhirnya kami bersua juga.
Sungguh luar biasa. Kamu tahu di mana? Aku bertemu di kolong rumahnya setelah dia
turun melalui pintu belakang, tepat ketika keluarganya sedang riuh menonton televisi di
ruang tamu. Supaya tidak bingung aku beritahukan kepadamu, rata-rata rumah
dikampung kami berbentuk panggung. Kami berbincang lama sekali. Kami larut dalam
melabuhkan rindu yang menua lewat senyum yang meraya. Tetapi lagi-lagi, waktu
kembali tak setia kepada cinta.
“Kamu harus pulang, Daeng,” desahnya, di sela isak yang tertahan.
Sejenak terbayang jalan pintas menjanjikan untuk kami sasar. “Selalu ada jalan,”
ujarku. Matanya mengerjap , kebingungan. “Jika semua pintu tertutup, masih ada
jendela untuk kita lewati.”
“Silariang?”
Aku mengangguk pasti. Aku tahu ini pilihan sulit. Orang-orang di kampung
kami menamainya silariang. Kamu boleh menyebutnya kawin lari. Hanya saja, kawin
lari disini tidak semata melarikan diri lalu menikah di kampung orang. Tidak
sesederhana itu, Kawan. Ketika silariang terjadi, itu artinya mencoreng aib di kening
kerabat keluarga sang gadis. Dan aib itu berarti siri, harga diri tak terbeli, yang harus
ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung
pacce, malu tak terperi. Tetapi bukankah cinta mesti diperjuangkan?
“Tidak mungkin?” bantahnya.
“Kenapa?”
Dia terdiam. Angin dingin membuat jantungku menggigil. Aku mengelus
rambur dan pelipisnya. Dia mendongak, lalu mengangguk dengan air mata yang
meruah.
Dia juga aku, memilih pergi bersama.
Dan tahukah kamu apa yang terjadi sesudahnya? Kami berjalan merambah kebun,
meniti jalan di bawah kerlip bintang. Rasantya seperti mimpi. Membahagiakan dan
mendebarkan. Menerobos gelap, ditelikung cemas, dilayangkan mimpi. Tubuh kami
serasa membumbung ringan, seolah tak menjejak tanah. Di benakku terbayang
keindahan masa depan, yang menggusur percintaan masa lalu yang suram. Sebentar lagi
cinta kami tunai, dan derita ini bakal usai.
“Berhenti!”
Suara itu bak petir menyambar telinga. Tga tombak di depan kami berdiri tegap
Arwan Situru, kakak Aisha, gadis yang segera mengerut di punggungku. Andai saja
kamu ada di sini, kamu pasti bisa melihat betapa piasnya wajah kami, tak lebih cakap
dari sepasang kucing kedapatan mencuri ikan. Sepertinya semua harapan kami bakal
buyar lagi. Aku nekat melawan; tapi sungguh, kemampuan bela diri seadanya
membuatku mudah takluk. Baru kali ini aku menyesal mengapa tidak pernah serius
belajar mancak, silat aliran Turatea, sehingga aku bisa membela diri dan melindungi
pujaan hati sendiri.
“Beginikah caranmu memperlakukan perempuan? Karena tak mampu membayar
mahar, kamu paksa Aisha silariang? Kamu pecundang Tola!” hardiknya.
Dia menjerit lirih ketika tangannya ditarik kakaknya dengan kasar. “Kak...”
“Pulang! Kamu tak bisa menjaga nama baik keluarga!”
Rasanya dunia tiba-tiba kiamat, dan ruwayat ini segerah tamat.
“Lepaskan Aisha, Arwan! Atau kamu harus berhadapan denganku!”
Tiba-tiba suara lain menyentak pendengaranku. Aku kenal suara itu. Ya, itu
suara kakakku. Lagi-lagi,andai saja kamu berada di sini menyaksikan runtutan peristiwa
ini, pastilah kamu melihat betapa cerah wajahku. Betapa tidak? Karaeng Sijaya,
kakakku yang pendiam itu, menantang Arwan berduel dengan sangat elegan. Pada saat
yang sama kakakku menoleh kepadaku, memberi isyarat agar aku segera membawa
Aisha meninggalkan tempat itu selekas-lekasnya.
Apakah aku harus pergi atau tetap di sini menyaksikan kesudahan yang bakal
terjadi? Ah, tidak, aku akan menuruti saran kakakku. Tak baik menyia-nyiakan peluang.
Aku dan gadis yang kucintai perlahan menjauh dari pertarungan dua lelaki yang
mempertaruhkan harga diri; yang satu atas nama siri dan nama baik keluarga, satunya
lagi demi pacce dan cinta sepasang manusia.
Aku tak pernah tahu bagaimana akhir duel itu. Apakah kakakku yang takluk,
ataukah Arwan, lelaki yang tak hendak memanggilku sebagai adik ipar? Entahlah. Yang
pastinya, aku dan gadis yang kucintai itu selamat!
Disinilah kami hari ini, di pinggiran Jakarta. Sekaarang kami sudah dikaruniai sepasang
anak. Yang sulung laki-laki, cerdas dan cekatan. Yang kedua, perempuan, cantik dan
pendiam. Sudah lima tahun sejak silariang itu terjadi, belum juga keluarga Aisha
mengikhlaskan dan merestui pernikahan kami. Padahal kami sudah mencoba segala cara
agar bisa diterima kembali sebagai bagian dari sebuah keluarga. Sayangnya, hasilnya
selalu nihil. Seluruh jalan seolah bernama satu; buntu. Sudah berkali-kali keluargaku
datang menjenguk, terutama kakakku, namun keluarganya belum juga datang
bertandang. Meskipun kami sepakat bahwa kaluargaku adalah keluarganya juga. Tetapi
keluarganya tak kunjung menerimaku.
Senja sedang mekar-mekarnya. Aku baru saja selesai mandi ketika Nurhadi, putra
sulungku berteriak dari beranda:
“Bapak, ada tamu dari kampung!”
“Tunggu sebentar, Bapak sedang berpakaian.”
Dadaku berdebar, darahku berdesir. Tidak banyak orang kampung yang tahu
rumah kami. Betapapun, kami, aku dan Aisha, masilah pelarian yang dikejar-kejar maut
setiap waktu. Memang keluargaku tahu di mana selama ini kami bermukim, tapi
mustahil mereka menyampaikan kepada banyak orang karena itu sama saja dengan
membuka gerbang kematian bagi kami. Siapa gerangan dari kampung halaman yang
bertanding kerumah kami sore ini? Meskipun dibenakku terus bergelut pertanyaan-
pertanyaan dan bayangan-bayangan ketakutan, aku segera bergegas ke beranda.
Di beranda, Aisha sedang gemetaran meringkuk memeluk Nurhadi dan adiknya.
Seperentangan lengan di hadapan mereka berdiri kukuh Arwan Situru dengan badik
teracung di udara.
“Tola, kamu pasti tahu, badik yang tercabut dari sarungnya pantang kembali
sebelum darah membasahinya!
LAMPIRAN GAMBAR
Sampul Depan Sampul Belakang
BIOGRAFI PENGARANG
Khrisna Pabichara lahir di Borongtammatea, Jeneponto sekitar 89 dari Makassar
Sulawesi Selatan pada 10 November 1975. Putra kelima dari sepasang petani, Yadli
Malik Dg. Ngadele dan Shafiya Djumpa. Giat mendaraskan tulisan-tulisannya dalam
beragam bentuk eksplorasi imajinatif, aktif sebagai penyunting lepas dan kerap
menerima “panggilan” untuk mengisis seminar, pelatihan, atau workshop tentang
motivasi pengembangan kecakapan diri. Saat ini berkutat dalam proyek impiannya,
menulis novel Natisha: Perempuan Simpanan dan The Dence of Parakang: Sebuah
Novel pergulatan Spritual. Dia juga telah melahirkan sebuah Novel berjudul Sepatu
Dahlan, buku seputar neurologi, dan belasan buku lainnya.
Ia telah menulis 12 buku Rahasia Pembelajaran Cemerlang {Kolbu, Januari
2007), Revolusi Berkomunikasi (Rumahkata, Maret 2008). Baby Learning: Cahaya
Cinta Cahaya Mata (Cakrawala, Juni 2009), Kamus Nama Indah Islami (Zaman, Juni
2010), Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, Juli 2010). Tiga cerpennya termuat
dalam Kolecer dan Hari Raya Hantu (Selasar Pena Talenta, Juli 2010).
Tulisan-tulisannya banyak dimuat di pelbagai media, semisal Republika, Jawa
Pos, Suara Karya, Media Indonesia, Jurnal Bogor, Padang Ekspres, Berita Pagi,
Analisa, Global, Fajar, Sumatra Ekspres, Batam Pos, Riau Pos, Pedoman Rakyat,
Assalamu’alaikum, Story, dan media-media lainnya. Saat ini bergiat di Komunitas
Sastra Jakarta (Koasakata), Komunitas Planet Senen, dan Komunitas Mata Aksara.
RIWAYAT HIDUP
DEWI ANDRIANI, dilahirkan di Enrekang pada tanggal 10 Maret
1993, anak ketiga dari enam bersaudara, buah hati dari pasangan
Suryadi dan Kurniati. Penulis memasuki jenjang pendidikan
sekolah dasar pada tahun 1999 di SD Negeri 110 Lura Kabupaten
Enrekang dan tamat pada tahun 2005. Pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP
Negeri 3 Anggeraja Kabupaten Enrekang dan tamat
pada tahun 2008. Pada tahun itu juga penulis tetap melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA
Negeri 1 Anggeraja dan tamat pada tahun 2011. Setelah menganggur selama satu tahun
penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pada tahun 2012 di Universitas
Muhammadiyah Makassar dan dinyatakan lulus sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Berkat rahmat Allah SWT dan iringan doa yang tiada henti serta harapan yang
ditanamkan oleh orang tua terhadap saya dan saudara tercinta, perjuangan penulis dalam
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dapat berhasil dengan memertahankannya skripsi
di hadapan tim penguji yang berjudul “Karakter Tokoh Utama Cerpen Gadis Pakarena karya
Khrisna Pabichara (Pendekatan Psikologi Sastra)”.