mengintip masa lalu (kumpulan cerpen)
DESCRIPTION
Kumpulan cerpen kelas A & B Sastra Inggris 2013 UnesaTRANSCRIPT
MENGINTIp masa lalu
M A S A L A L U
M E N G I N T I P
M E N G I N T I P
sebuah buku persembahan kelas sastra inggris 2013
mengintipmasa lalumengintipmasa lalumengintipmasa lalu
dari balik lubang kunci yang disimpan dalam saku
pernahkah kamu sendirianmembayangkandi masa dulu
bagaimana kamu?
sedih,gelak,doa,haru,bahagia,pilu
dari sekian banyak manusiatuhan memilihmu
ini hanya sedikit bernostalgiabukan memungkiribukanmengadu
"the pow er of emak" — fmasyitha"the best choice of my life” — esti a
"tidak sedang tidak-tidak" — kemal a"harga mati untuk derajat orang tua" — galih j
"belum kaya bukan berarti tak bisa berbagi" — imroatul m
"copet sana-sini" — prita d"lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati" — revi cho
"dia, saat mereka berkata" — arvin a"sister school program" — aziz n
"arti sebuah pertemanan" — sri l"teman-temanku inspirasiku" — firda u
"bekerja keras demi masa depan" — ita"mengubah pesimis jadi optimis" — derit a
"aku mau ke mana??” — frida a"bapak profesor" — merry t
"my experience" — nur h"inspirasiku" — lela r
"jangan meremehkan orang lain" — laurenna y"life is struggle" — layyin m"polisi juga manusia" — lutfiatul i"‘sahabat’ penyemangat" — mayank p"perjuangan 600 ribu" — m t herlina
"angelku yang cantik" — w sisca"rumah kedua" — m nahrul"love it first" — w iw it w
"hati-hati kesandung, udah kesandung!" — regine"terima kasih, mbak acis!" — nia k
peraga — ranasyaa, dabira hpenggagas ide "titik nol" — ratih n
sampul, penyunting naskah, penata letak — ins uj
berbarisnama
pak slamet setiaw ansebagai
kepala jurusan, penyunting, dan teman.
terima kasih kepada
"perubahan itu perlu" — rafika y"sulitnya masuk kuliah” — ratna l"tokoh inspirasiku" — ravensca a"dia yang mengajarkanku ..." — rizky l
"w anita tua pedagang minuman" — lidiya r"keringat pejuang" — mariyama d
"aw as begal!!!" — nho"mas akbar" — nur l
"kibar 2010" — r arnas"keterbatasan bukan alasan" — sandi k"biarkan ayah dan ibu ..." — sheellviana d"sang w anita besi" — sri h
"kisah hidup osd" — zainiyah n"orang yang direndahkan" — mas a
"penjual amplop" — retno w"entahlah" — m iqbal
"tidak ada kata menyerah” — fikriyyatul u"’ojo w edi dadi santri!’" — h yaqin
"ibu" — ittaqi t"sahabat unmainstream" — laily d
"baharudin jusuf habibie" — astri r"membuat hidup lebih berarti" — azhar s
"lingnan impression ..." — dsp"pengakuan sederhana" — diana a"malaikat penolong" — fadhilah
"ayo jalan!" — afina u"prajurit dili 1992" — alfian ep
"inspiring story of mark zuckerberg" — alif b"ladang ilmu" — anindya k
"peduli, berbagi, dan berkontribusi" — arif s
berbaris
lamana sastra a
arvin a _______________________________________ 347
aziz n _______________________________________ 008
derit a _______________________________________ 039
esti a _______________________________________ 026
firda u _______________________________________ 067
fmasyitha ____________________________________ 283
frida a _______________________________________ 123
galih j _______________________________________ 274
imroatul m ____________________________________ 269
ita _________________________________________ 012
kemal a ______________________________________ 289
laurenna y ____________________________________ 182
layyin m _____________________________________ 034
lela r ________________________________________ 128
lutfiatul i _____________________________________ 186
mayank p_____________________________________ 046
merry t ______________________________________ 177
mt herlina ____________________________________ 053
m nahrul _____________________________________ 115
nia k ________________________________________ 137
nur h ________________________________________ 022
prita d _______________________________________ 060
regine _______________________________________ 065
revi cho ______________________________________ 171
sri l _________________________________________ 132
w sisca ______________________________________ 355
wijayanti _____________________________________ 001
sastra b
afina u ______________________________________ 151
alfian ep _____________________________________ 313
alif b ________________________________________ 200
anindya k _____________________________________ 71
arif s ________________________________________ 77
astri r _______________________________________ 205
azhar s ______________________________________ 82
dsp _________________________________________ 213
diana a ______________________________________ 88
fadhilah ______________________________________ 293
fikriyyatul u ___________________________________ 145
h yaqin ______________________________________ 192
ittaqi t ______________________________________ 323
laily d _______________________________________ 155
lidiya r _______________________________________ 220
mariyama d ___________________________________ 326
mas a _______________________________________ 95
m iqbal ______________________________________ 300
nho _________________________________________ 226
nur l ________________________________________ 247
rafika y ______________________________________ 108
ratna l _______________________________________ 100
ravensca a ____________________________________ 233
retno w ______________________________________ 251
rizky l _______________________________________ 160
r arnas ______________________________________ 164
sandi k ______________________________________ 257
sheellviana d __________________________________ 335
sri h ________________________________________ 263
zainiyah n ____________________________________ 241
berbaris
kata Awal perkuliahan semester genap Februari 2015 merupakan lembaran
baru bagi mahasiswa angkatan 2013 prodi Sastra Inggris, FBS Unesa.
Lembaran baru ini dihiasi dengan Gerakan Literasi meskipun dalam lingkup
kecil dan sederhana. Mahasiswa diwajibkan membaca buku pilihannya
sebelum pelajaran dan menulis artikel sesuai dengan tema kesepakatan
kelas, “Cerita inspiratif dari pengalaman pribadi”. Semangat sederhana dari
gerakan ini: menumbuhkan budaya baca dan membiasakan budaya tulis.
Cita-cita mulianya: menyiapkan lulusan yang tidak hanya dapat bersaing
tetapi juga memenangkan persaingan di era global.
Gerakan menuju era global menuntut generasi muda memiliki
kecakapan berkomunikasi; baik lisan maupun tulis. Pengetahuan dan
keterampilan yang mengarah pada kecakapan hidup juga diperlukan. Yang
tidak kalah penting adalah penguatan aspek mental kepada para generasi
muda; sikap mental sebagai pemenang. Pelajaran semacam ini tidak hanya
diperoleh melalui ruang-ruang kelas, pendidikan formal, orang-orang yang
empunya dua atau tiga title; namun bahkan kebanyakan pelajaran mental
diperoleh di mana saja, kapan saja, dari siapa saja. Artikel-artikel dalam
buku Mengintip Masa Lalu ini mampu membuktikannya. Berbagai pelajaran
mental dikemas dengan sajian menarik dikelompokkan dalam sub-sub
tema yang kreatif penamaannya.
Pemegang Kunci. Bagian pertama buku ini menampung paling banyak
cerita. Berbagai pengalaman pribadi yang menggambarkan usaha
mencapai impian ditulis dalam bahasa yang lugas dan sederhana.
Digambarkan betapa pentingya peran “niat kuat” dan “usaha keras” dalam
menggapai cita-cita. Tentu banyak rintangan yang menghalangi: izin orang
tua, keuangan, jarak, bahkan keterbatasan diri, dan lain-lain. Namun kisah-
kisah pribadi pada bagian ini menunjukkan bahwa rintangan bukanlah
suatu hambatan tetapi suatu tantangan. Kemampuan mengubah energi
negatif menjadi energi positif. Tidaklah dipungkiri bahwa pelajaran moral
yang disampaikan penulis sangatlah inspiratif.
Berkawan Terang: Bagian ini menyuguhkan cerita terkait pertemanan.
Teman adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan kehidupan. Tak
seorang pun dapat hidup tanpa kehadiran seorang teman. Bahkan teman
dapat membentuk karakter seseorang. Terkadang ada teman yang mampu
membuat kualitas hidup menjadi lebih baik, namun ada juga teman yang
menuntun kita ke arah keterpurukan. Pantaslah perkataan: Kalau ingin
tahu sifat sebenarnya seseorang, tanyakan siapa teman karibnya.
Berbagai pesan disampaikan pada bagian ini, salah satunya adalah: Teman
yang baik adalah teman yang berani menyampaikan secara jujur
kekurangan teman dekatnya.
Terinspirasi Inspirasi. Munculnya ‘greget’ (baca: niatan) untuk menjadi
lebih baik dapat terinspirasi dari orang lain yang terkadang tidak
disengaja. Bagian ini dipilih untuk tempat menampung cerita-cerita itu.
Ada seseorang yang awalnya diremehkan justru menjadi sumber inspirasi.
Ada seseorang yang awalnya dinobatkan sebagai sumber inspirasi, namun
karena suatu hal sumber inspirasi itu memudar dan akhirnya menimbulkan
kekecewaan. Ada seseorang yang memiliki perilaku paradoks di era ini
mampu menginspirasi orang lain. Contohnya: orang yang terlihat meminta
bantuan justru memberi sedekah; orang yang terlihat miskin justru kaya
hati; kebanyakan orang berusaha berbuat curang untuk mendapatkan yang
diinginkan justru ada orang berusaha jujur dalam menjalankan kehidupan.
Inspirasi juga datang tak terduga dari orang di atas kursi roda yang begitu
sabar lan narimo (sabar dan ikhlas) menjalani cobaan dan takdir Allah.
Cobaan dan takdir tidak dijadikan alasan untuk tidak berbuat kebaikan.
Tidaklah berlebihan bahwa salah satu pesan moral pada bagian ini adalah:
Don’t judge the book by its cover.
Mereka-ku. Anggota keluarga utamanya kedua orang tua adalah orang
terdekat yang berperan besar dalam menanamkan karakter dan mental
juara. Cara membangun karater dapat melalui ucapan, sikap, dan
perbuatan. Orang tua yang normal pasti menghendaki anak-anaknya
menjadi orang baik dan sukses. Untuk mencapai harapan itu, orang tua
rela dan ikhlas menanggung resiko. Dengan pengorbanan, si anak terlecut
semangat juangnya. Di sisi lain, keterpurukan keluarga bukanlah halangan
untuk tidak bangkit. Justru keterpurukan menjadikan anggota keluarga
menemukan jalan kesuksesan. Bagian ini memuat cerita-cerita yang
memuat paparan tersebut. Benang merah di antara cerita-cerita itu adalah
perlunya komunikasi dan kerjasama yang baik antara orang tua dan anak.
Titik Nol. Bagian ini menggambarkan ‘adanya ketiadaan’ yang dapat
memunculkan kebulatan tekad. Cerita-cerita yang disajikan mampu
melibatkan pembaca masuk ke dalam pusaran haru. Dari keharuan itulah
kebulatan tekad muncul dan menyala sepanjang masa. Karena keharuan
itu terjadi akibat suatu perpisahan abadi: kematian. Kematian orang-orang
tercinta yang meninggalkan wasiat. Pelajaran yang disampaikan adalah
orang-orang yang kita cintai memang benar mati, tetapi sesungguhnya
mereka tetap hidup dalam hati berbentuk semangat dan cita-cita yang
diwariskan melalui kata-kata yang telah dinasihatkan dan perbuatan yang
dicontohkan semasa hidupnya.
Karya sederhana ini merupakan hasil nyata gerakan literasi. Bagi
sebagian orang, mungkin cerita-cerita ini adalah hal-hal biasa. Namun,
tautan kata, frasa, dan kalimat yang dituangkan dalam sebuah cerita dan
dikumpulkan dalam buku ini merupakan refleksi mendalam dari proses
kehidupan yang dialami, direnungkan, disimpan, dan dikenang oleh masing-
masing penulis. Tidak hanya itu, cerita-cerita dalam buku ini mampu
menebar nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan meskipun sederhana adanya.
Selamat menikmati.
Surabaya, 8 Juni 2015
Slamet Setiawan
“Jika kamu ingin berhasilmaka
kamu harus menyukai apa
yang kamu lakukan terlebih dahulu
lalu lalu bersungguh-sungguh
memperjuangkannya.”
pemegang kunci
pemegang kunci | 1
satu
Love It First
(Wijayanti)
Pada saat aku masih di sekolah dasar, bahasa Inggrisku sangatlah
jelek. Ya, jelek dan aku tidak bohong. Mungkin alasan utamanya karena
aku tidak mendapatkan buku paket bahasa Inggris saat aku kelas 3, di
mana itulah sebenarnya titik awal murid-murid SD pertama kalinya
diperkenalkan pelajaran ini. Bukan karena aku tak mampu membeli,
malah sebenarnya aku sudah membayar uang buku tetapi sampai detik
ini Pak Guru bahasa Inggis, sebut saja Pak Budi, belum memberikan
bukunya padaku. Permasalahan yang simpel sebenarnya, aku bisa saja
membeli lagi buku yang sama di toko buku, tetapi sayang tidak ada yang
menjual buku seperti itu di toko-toko buku di daerahku. Aku sudah
pemegang kunci | 2
berulang kali dan tiada bosan menanyakan kapan bukuku akan diberikan,
tetapi Pak Budi juga sudah berulang kali dan tiada bosan mengatakan
dia lupa memesankan bukunya. Mungkin karena aku dulu begitu lugu dan
pemalu jadi aku menurut dan nunut saja pada guru dan tak pernah
sedetik pun terlintas di benakku untuk mencoba memfotokopi bukunya.
Oh, silly little me.
Sampai akhirnya tak terasa tahun ajaran telah berganti dan aku pun
akan naik kelas 4. Dan selama setahun aku di kelas 3, aku sama sekali
tidak bergantung pada buku paket bahasa Inggris. Setiap pelajaran
bahasa Inggris, aku terpaksa berbagi dengan teman sebangkuku yang
sudah mendapatkan bukunya. Akan menyenangan jika seandainya teman
sebangkuku adalah teman yang baik, pengertian akan kondisiku, juga
rajin menabung dan tidak sombong. Tapi apa boleh buat, teman
sebangku waktu itu adalah seorang anak laki-laki bertubuh tinggi besar,
berambut semir pirang, berpenampilan sangar, dan bergaya preman
pasar yang sebelumnya pernah tiga tahun tidak naik kelas. Untung-
pemegang kunci | 3
untung jika ia mau berbagi buku denganku, saling berinteraksi saja kami
jarang lakukan. Untuk menatap matanya pun aku tak kuasa dan tak ada
nyali apalagi memintanya untuk meminjami buku.
Tak ingin cari mati aku, pikirku galau. Jadilah selama setahun itu
aku meletakkan nasib nilai bahasa Inggrisku di tangannya. Jika ia
sedang berbaik hati maka ia akan membagi bukunya denganku
(meskipun ia akan menggerutu sepanjang pelajaran). Tapi lain cerita jika
ia sedang badmood, melihat ke arahku pun tidak.
Itulah sebabnya dulu aku sangat tidak tertarik pada pelajaran yang
berbau bahasa Inggris. Sampai lulus sekolah dasar pun tak ada secuil
minatku untuk belajar bahasa Inggris. Nilai terendahku saat ujian
nasional sudah bisa dipastikan pelajaran bahasa Inggris. Terkadang iri
rasanya melihat beberapa temanku piawai dalam pelajaran satu itu,
ingin rasanya bisa seperti mereka, tapi ah, biar saja toh aku sudah muak
dengan bahasa Inggris.
Memasuki sekolah menengah pertama, aku ternyata masuk ke
pemegang kunci | 4
dalam kelas unggulan di salah satu SMP favorit di daerahku. Keinginan
untuk (setidaknya) mempelajari dasar-dasar bahasa Inggris tak
disangka-sangka dan tiba-tiba muncul dalam benakku. Entah kenapa
muncul keinginan seperti itu—mungkin karena melihat teman-teman
lihai dan nyaman dalam menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya, sedikit
demi sedikit aku mulai fokus dan bersungguh-sungguh belajar. Tak lagi
sekadar masuk kuping kanan keluar kuping kiri, tapi sudah mulai
kukatakan, “It is not that bad,” sadarku menyadarinya. Perlahan-lahan
aku mulai menyukai bahasa Inggris. Aku tertarik dengan struktur
kalimatnya yang beraturan, cara pelafalan katanya yang berbeda, kosa
kata yang beragam, dan hal-hal lain yang membuatku ingin mempelajari
lebih dalam. Apalagi saat kakak pertamaku mendapat kesempatan
untuk pergi ke Inggris sebagai wakil Indonesia dalam pertemuan
mahasiswa sedunia EYP. Di situlah turning point-ku. Mendengar cerita
kakak tentang bagaimana hidup sementara di sana, bagaimana serunya
bertemu dengan orang-orang dari segala penjuru dunia, dan
pemegang kunci | 5
berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa Inggris,
menggugah hatiku untuk mengeksplor bahasa Inggrisku.
Mimpi dan cita-citaku berubah sejak itu. Aku ingin seperti kakak.
Bukan, aku ingin melebihi kakak. Aku ingin pergi ke Inggris, mempelajari
segala budaya yang ada di sana, bertemu dan berkomunikasi dengan
orang-orang dari segala penjuru dunia, saling berbagi cerita dan
pengalaman. Dan jika Tuhan mengizinkan, aku berharap sekali untuk
melanjutkan pendidikan sembari mengenalkan budaya Indonesia ke
sana. Sejak saat itu aku mulai lebih giat lagi belajar bahasa Inggris,
mengikuti kompetisi bahasa Inggris, meski terkadang aku tidak menjadi
juara tapi semua itu aku jadikan pengalaman dan pelajaran untuk lebih
baik ke depannya. Hingga bahasa Inggris yang membawaku untuk kuliah
di jurusan Sastra Inggris Unesa ini. Meskipun terkadang beberapa orang
beranggapan, “Apa masih jaman kuliah bahasa Inggris? Kupikir sudah
terlalu banyak orang yang melakukannya. Mau jadi apa ke depannya jika
mengambil jurusan seperti itu?” Anggapan dan ekspresi yang
pemegang kunci | 6
menunjukkan pemikiran seperti itu yang kadang kala tampak pada diri
beberapa orang ketika aku menjawab di mana dan jurusan apa yang
kuambil. Tapi aku akan tetap menjawab dengan bangga bahwa aku
berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.
People can talk whatever they want. People will judge. Let them be.
But I never let them falter my steps to my dreams. Because this is my
own choice. This is my life not theirs.
Aku jadikan pendapat-pendapat itu sebagai motivasiku untuk
mengembangkan diri, terus berjuang menggapai mimpi-mimpi, dan
membuktikan bahwa jurusan Sastra Inggris Unesa tidaklah seperti yang
mereka pikirkan.
Begitulah asal mulanya aku mulai menyukai, bukan, mencintai
bahasa Inggris. Benar kata orang,
“Jika kamu ingin berhasil maka kamu harus menyukai apa yang
kamu lakukan terlebih dahulu lalu bersungguh-sungguh
memperjuangkannya.”
pemegang kunci | 7
Terlihat sepele dan sering diabaikan memang. But how can you
expect more from it when you don’t really like what you do? It doesn't
work that way. You have to love it first. Seberapa pun kamu mencoba,
jika kamu tidak benar-benar menyukainya maka hal itu tidak akan
maksimal seperti yang kamu harapkan.
pemegang kunci | 8
Sister School Program
(Aziz N)
Hingga hari ini masih terkenang bayang-bayang hari itu. Hari di mana
saya yang tertutup membuka diri untuk memperluas wawasan dan
limpahan pengalaman. Tiga tahun lalu saya hanyalah seorang siswa
biasa tanpa prestasi. Jika pun ada, itu pun saat SMP, saya dipredikatkan
sebagai murid teladan. Namun itu bukanlah fokus cerita ini, jadi mari
kita kembali ke jalan yang benar.
Seperti yang saya akui pada baris ketiga, saya tidak memiliki
pencapaian akademik maupun non-akademik. Hal tersebut melahirkan
sebuah “kompleks” dalam benak yang mengakibatkan saya merasa iri
terhadap teman-teman yang berpretasi. Saya masih duduk di bangku
kelas 2 dan saya mendengar tentang program Sister School yang akan
diadakan pihak sekolah saya dan sekolah di Malaysia. Singkatnya,
program tersebut seperti program pertukaran pelajar di mana sekolah
kami mengirim beberapa perwakilan siswa untuk belajar di SMA yang
pemegang kunci | 9
berada di Malaysia. Sekolah yang dimaksud adalah Kolej Islam Sultan
Alam Shah sebuah boarding school berbasis Islam. Biasanya kita kenal
dengan istilah “pondok pesantren”. Awalnya saya tidak begitu tertarik
dikarenakan biaya yang sangat mahal sekitar tujuh juta rupiah. Namun,
karena dorongan ibu—yang juga seorang guru BK—saya putuskan “to
give it a shot”. Kebetulan ibu juga mengikuti tur tersebut.
Walaupun saya telah memutuskan untuk ikut, masih ada perasaan
bersalah karena faktanya tur itu akan memakan jutaan rupiah. Sebuah
jumlah yang cukup besar bagi seorang siswa seperti saya. Ditambah
lagi, saya memiliki kesusahan untuk bersosialisasi dengan peserta lain
karena banyak yang berasal dari generasi atas. Untungnya, ada
seseorang dari satu generasi meskipun beda kelas. Setidaknya saya
tidak terlalu canggung.
Tentu saja, program ini bukan hanya perjalanan cuma-cuma. Sebagai
peserta, kami diwajibkan mempertontonkan sebuah pertunjukan
tradisional yang ditujukan kepada pihak Kolej Islam Sultan Alam Shah
pemegang kunci | 10
sebagai suatu prosesi pertukaran seni budaya. Maka dari itu, jauh
sebelum jadwal keberangkatan, kami dibimbing pihak sekolah untuk
berlatih memainkan gamelan.
Jika diperhatikan dari kemampuan kami, saya merasa kewajiban
tersebut sangat berat. Selain tidak adanya keahlian bermusik (dalam
hal ini, gamelan) kami juga tidak memiliki waktu senggang yang cukup
dikarenakan proses pembelajaran kami padat dan para siswa kelas tiga
sudah mempersiapkan diri untuk Unas. Namun, setelah menjalani
beberapa kali latihan, ternyata gamelan tidak sesulit yang kami kira.
Bisa dibilang kami mudah beradaptasi dengan alat musik dan
penyelarasan nada-nadanya.
Hari demi hari berlalu. Terkadang beberapa hal tidak berjalan mulus.
Salah satunya, keterlambatan peserta. Hingga akhirnya mencapai
puncak para guru pembimbing kami geram. Kami mendapat jatah kata-
kata pedas. Kami pun menyadari kesalahan kami dan berjanji tidak akan
mengulangi. Latihan pun berlangsung seperti biasa hingga jadwal
pemegang kunci | 11
keberangkatan ke Malaysia.
Tiba di Malaysia tepat di hari yang sama saat kami berangkat. Kami
menginap di Kolej Islam Sultan Alam Shah 4 hari 3 malam. Hari pertama
acara pengenalan sekolah hingga hari ketiga. Di hari terakhir kami pun
bersiap-siap untuk menampilkan performa kami. Kami bersemangat
walau sedikit was-was dengan penampilan kami nanti.
Hingga semua itu kacau ketika kami tampil. Ternyata gamelan
Malaysia berbeda dengan yang ada di Indonesia. Ada instrumen yang
tidak ditemukan di gamelan Malaysia sedangkan pihak Kolej tidak
memiliki set gamelan Indonesia. Sehingga kami menyanyikan lagu-lagu
yang seharusnya dibawakan oleh sinden-sinden sekolah kami.
Suasananya terasa aneh ketika tampil. Tentu saja teman-teman juga
merasakan hal yang sama. Kerja keras, keringat, dan air ludah guru
terbuang percuma. Namun, hal ini menjadi kenangan yang istimewa bagi
kami. Pasalnya kami telah menjadi keluarga dekat semenjak pelatihan
gamelan tesebut.
pemegang kunci | 12
Bekerja Keras Demi Masa Depan
(Ita)
Bagi mahasiswa yang masih bergantung dari biaya orang tua
memanglah tidak terlalu punya beban, tapi kadang kala kita harus tahu,
di balik orang tua yang bisa membiayai kita, di sana ada perjuangan dan
kerja keras.
Namaku Ita, aku hanya memiliki ibu dan satu kakak laki-laki. Ayahku
telah meninggal 15 tahun lalu, saat itu aku berumur 5 tahun. Tidak
mudah bagi ibuku, yang seorang penjahit, menafkahi keluarga termasuk
membiayai kuliahku.
Kadang aku berpikir, ingin rasanya memiliki pekerjaan paruh waktu
untuk meringankan ibu dalam membiayai kami, tapi ketidaksetujuan
kakak dan ibu membuang keinginanku. Mereka menginginkanku untuk
fokus pada kuliah. Ibu yang tahu kesulitan dalam jurusan yang aku
ambil, mengatakan lebih baik aku belajar lebih giat lagi, jangan
mengecewakan dan selalu bekerja keras bila ingin sukses di kemudian
pemegang kunci | 13
hari. Itulah yang selalu aku ingat.
Kehidupanku di kampus sama seperti yang lain, tapi ada
kelemahanku di sini: aku susah untuk memahami pelajaran lebih cepat.
Itulah yang selalu dikhawatirkan ibu terhadapku. Kadang aku berpikir
aku salah mengambil jurusan, tapi temanku berpikiran lain. Menurutnya,
tidak ada orang yang salah mengambil jurusan jika ia yang memilih
sendiri dan tanpa paksaan. Menurutku, ada benarnya juga. Sekarang
tinggal aku melatihnya agar bisa mencapai semaksimal mungkin dan
tidak mengecewakan ibu.
Dalam kelas yang hanya berjumlah 22 murid, aku selalu mengamati
setiap anak di sana. Mereka pintar, bahkan dalam urusan speaking
mereka jago-jago. Aku merasa minder dan tidak mampu, yang selalu aku
pikirkan adalah aku tidak mampu. Tapi, tidak bagi temanku yang selalu
mendukungku, menyemangati aku agar tidak menyerah di tengah jalan.
Aku mengerti maksud mereka, aku juga tidak akan mundur di tengah-
tengah.
pemegang kunci | 14
Mereka teman yang baik yang tidak hanya mementingkan diri
sendiri. Mereka selalu mengajariku seusai kuliah, aku senang memunyai
mereka sebagai temanku. Tidak hanya pintar, tapi baik terhadap semua
orang. Memang tidak mudah bagiku mengharuskan diri seperti mereka,
tapi apa salahnya mencoba.
Hingga suatu hari perasaan malasku mulai kambuh. Malas belajar,
malas mengerjakan tugas, malas apa pun yang berhubungan dengan
kuliah.
“Apa yang harus aku lakukan?” pikirku. “Aku harus mengejar
semuanya kembali, setiap apa yang aku pelajari harus aku ulangi lagi.
Aku harus bangkit. Tidak boleh seperti ini, tidak boleh gagal dan
mengecewakan ibu di sana.” Dari tekad inilah, aku mulai belajar entah
itu sendiri atau berkelompok.
Ibu, aku akan menunjukkan padamu suatu hari nanti bahwa aku
bisa, dan aku akan menjadi orang sukses. Aku mengerti, menjadi ibu
sekaligus ayah tidaklah mudah, tapi ibu bisa dan aku tahu ibu adalah
pemegang kunci | 15
orang tua yang hebat. Untuk teman-temanku, juga tanpa kalian aku
tidak akan bisa, kalian menginspirasiku untuk menjadi pintar seperti
kalian.
Semester 4 telah dimulai, bukanlah hasil yang aku cari, tapi
bagaimana aku bisa membuktikan kepada semua kalau aku bisa berada
di antara kalian. Semoga saja.
pemegang kunci | 16
Aku Mau ke Mana??
(Frida A)
Mau ke mana? Ini adalah salah satu pertanyaan yang mengerikan
saat kita sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Bukan hanya dipusingkan
dengan ujian sekolah dan ujian nasional tetapi juga dipusingkan dengan
mau ke mana atau mau ngapain. Semua anak SMA pasti berkeinginan
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena jaman sekarang ijazah
SMA tidak akan laku untuk melamar pekerjaan. Maka dari itu, semua
anak SMA pasti kebingungan ke mana mereka mau melanjutkan sekolah
begitu pun denganku.
Ada sebuah program yang diadakan oleh pemerintah untuk para
siswa yang ingin masuk ke universitas tanpa tes, tetapi menggunakan
nilai rapor sebagai pertimbangan. Nama program itu adalah SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Program tersebut
berlangsung sebelum ujian nasional. Aku pun mencoba peruntungan di
sana.
pemegang kunci | 17
Saat aku mau mendaftar SNMPTN, sebuah kabar datang, sungguh
booming. Kabar itu tentang seseorang yang bisa memberi kita nasihat
untuk masuk ke perguruan tingi mana. Saat itu hampir semua murid dari
SMA favorit di kotaku pergi ke sana, termasuk teman-temanku.
Sebenarnya aku tidak tertarik, tetapi karena mereka mengajakku—
walaupun sekadar main-main—akhirnya aku ikut. Kubawa buku rapor
untuk dilihat oleh orang-pemberi-nasihat itu.
“Ini antri sembako apa mau konsultasi?” tanyaku pada teman-
teman, karena yang kulihat memang antrian yang begitu panjang.
Mereka hanya tertawa sambil menunggu giliran kami masuk.
Setelah kira-kira 30 menit akhirnya giliran kami. Satu per satu dari kami
berkonsultasi. Dan sampailah giliranku. Pertama orang tersebut melihat
nilai-nilai raporku dari kelas 10 dan mulai berbicara.
“Kamu anak IPA ya?”
“Iya, Mas, aku anak IPA.”
“Kamu pengen masuk jurusan apa? Kalo yang di prodi IPA
pemegang kunci | 18
kelihatannya agak susah.” Entah bertanya, entah memprediksi.
“Engak kok, Mas, aku pengen masuk jurusan bahasa enggak yang
berhubungan dengan IPA, aku mau jurusan sastra Inggris.”
“Kamu mau masuk universitas mana?”
“Aku ngga ngerti mau masuk mana,” jawabku yang memang
kenyataannya aku kebingungan.
“Yaudah, bagaimana kalo kamu masuk Undip aja?”
Setelah dia memberi nasihat itu aku pun hanya mengangguk dan
mengiyakan apa yang dia ucapkan. Keesokan harinya saat aku dan
teman-teman berkumpul, kami hanya ketawa-ketawa dengan apa yang
kami lakukan kemarin. Banyak dari mereka yang enggak percaya
termasuk aku. Akhirnya kami mengisi form SNMPTN sesuai dengan apa
yang kami inginkan.
Dari awal aku memang berencana dan ingin masuk jurusan English
Literature. Waktu SNMPTN kami memiliki kesempatan memilih 4
jurusan di 2 universitas berbeda. Kuisi formku dengan jurusan Ahli Gizi
pemegang kunci | 19
dan English Literature Universitas Gadjah Mada dan English Literature
Universitas Negeri Malang. Aku memilih kedua universitas tersebut
sebenarnya karena UGM dari hometown-ku lebih dekat.
Pengumuman SNMPTN pun datang. Tetapi, sayangnya aku enggak
lolos pada seleksi ini. Sedikit kecewa memang, karena aku tahu teman
sekelasku yang nilainya tidak lebih bagus dariku diterima di universitas
dan jurusan yang aku pilih. Ini tidak adil. Bagaimanapun aku menerima
bahwa SNMPTN itu adalah tentang keberuntungan dan saat ini aku
belum terlalu beruntung untuk bisa lolos.
Setelah pengumuman itu, aku langsung kebingungan karena mau
tidak mau aku harus mengikuti seleksi selanjutnya, yaitu SBMPTN
(Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Seleksi ini
merupakan seleksi tulis dan berdasarkan kemampuan kita di akademik.
Aku pun harus berusaha keras untuk ini. Karena jurusanku waktu SMA
adalah IPA dan jurusan yang ingin kutuju bagian dari prodi IPS, jadi mau
ngga mau aku harus mempelajari IPS dari awal yang kenyataannya
pemegang kunci | 20
selama 3 tahun terakhir aku hanya berkutat dengan Biologi, Fisika,
Kimia, dan teman-temannya. Satu bulan setengah semuanya aku
siapkan untuk tes ini.
Pada saat SBMPTN aku memilih 3 universitas berbeda, tetapi
jurusan yang sama, yaitu English Literature, salah satunya Sastra
Inggris Universitas Negeri Surabaya. Untuk tes ini banyak pilihan
tempat, tetapi aku menentukan pilihan di Yogyakarta yang menurutku
kota yang jauh lebih dekat dari kotaku dibanding dengan Surabaya dan
Malang. Untung saja di Jogja ada mbak sepupuku yang berkuliah di sana.
Sehari sebelum tes, aku diantar mbak melihat lokasi tes yang
berada di kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Jogja sungguh besar
aku pun harus menghafal jalan sendiri karena mbakku besoknya tidak
bisa mengantarkan. Keesokan harinya, aku sampai tujuan dan
melaksanakan tesku dengan lancar. Alhamdulillah.
Saat tes aku sempat melihat beberapa anak yang ada di sebelahku.
Betapa aku shocked dengan lembar jawaban mereka. Lembar jawaban
pemegang kunci | 21
mereka hampir penuh tapi milikku malah banyak yang kosong.
Setelah pusing-pusing dengan SBMPTN, tinggal waktuku untuk
menunggu pengumuman di rumah. Saat aku dan seluruh keluargaku
berkumpul, tidak sengaja kami ngobrol dan membahas kuliahku.
“Frida, gimana tesmu kemaren?” ayahku bertanya.
“Alhamdulillah lancar, Yah, tapi enggak tau hasilnya nunggu aja dulu.”
“Semoga lolos ya, Nak, soalnya ayah enggak mampu kalo biayai di
universitas swasta,” nadanya sedih.
“Iya, Ayah, Frida yakin bisa kok.” Aku pun tersenyum padanya.
Mencoba sedikit menghibur.
Aku pun berpikir keras. Hanya ini satu-satunya kesempatanku untuk
berkuliah, hanya tes ini yang bisa mengubah hidupku. Aku berdoa setiap
hari, sampai akhirnya pengumuman tiba. Alhamdulillah aku diterima di
jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Semua anggota
keluargaku menangis bahagia bersamaku.
pemegang kunci | 22
My Experience
(Nur H)
Pengalaman ini saya dapat ketika saya lulus dari sekolah menengah
atas dan memutuskan lanjut ke jenjang lebih tinggi yaitu kuliah. Ketika
mendaftar ke perguruan tinggi, saya ingin sekali diterima di Universitas
Negeri Surabaya atau kerap disebut Unesa dan mengambil jurusan
English Literature.
Suatu hari saat pengumuman tiba, saya terkejut sekaligus senang
karena impian saya diterima di Unesa terwujud. Ketika saya mulai
menerima ilmu di kampus, saya syok. Ternyata, semua dosen
menjelaskan dalam bahasa Inggris. Awalnya saya kesulitan. Sewaktu
SMA, saya tidak terbiasa berbicara bahasa Inggris. Bahkan saat guru
menjelaskan materi juga jarang menggunakan bahasa Inggris. Jadi saya
gelagapan saat mengalami hal ini di bangku kuliah.
Kebingungan saya tidak cukup di situ. Saat mendapatkan mata
kuliah Sentence Writing, saya juga mendapatkan berbagai kesulitan.
pemegang kunci | 23
Apalagi tentang grammar-nya. Dari SD hingga SMA, saya paling tidak
suka dengan yang namanya grammar. Guru sedang menjelaskan, saya
hanya mendengar dari telinga kanan ke telinga kiri. Pada saat inilah
saya merasa sangat tertinggal dari teman-teman. Saya sempat berpikir
saya salah ambil jurusan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa pun
yang terjadi harus bisa dilewati. Saya meminta tolong teman untuk
mengajarkan materi dan menjelaskan ulang sampai saya benar-benar
mengerti. Akhirnya, usaha saya membuahkan hasil. Saya sudah
selangkah lebih maju. Sedikit lega karena bisa mengejar ketertinggalan.
Dari situ saya sadar bahwa saya harus berusaha lebih keras dalam
belajar. Dan tidak ada usaha yang akan sia-sia.
Selain itu, saya juga harus memperbaiki dan sering-sering berlatih
berbicara dalam bahasa Inggris. Saya sangat senang dengan program
ESC (English Speaking Community). Karena dari situlah saya bisa sering
belajar cara berbicara langsung menggunakan bahasa Inggris. Dengan
begitu, secepatnya saya akan terbiasa dengan suasana ini. Menurut
pemegang kunci | 24
saya, program tersebut sangatlah penting dan berguna bagi mahasiswa
untuk menambah skill mereka dalam speaking. Program ini biasanya
dilaksanakan setelah selesai jam kuliah. Namun terkadang di saat ada
jam kosong, kami manfaatkan untuk ESC.
Semenjak saya terus berusaha, saya mulai terbiasa dengan hal-hal
di kampus. Mulai dari penjelasan dosen yang menggunakan bahasa
Inggris sampai speaking. Saya juga sudah lebih mengerti grammar. Dari
pertama saya yang tidak tahu kapan harus menggunakan present tense,
past tense, past perfect tense, dan sebagainya.
Sampai-sampai pernah saat Writing ceroboh sehingga harus
merevisi. Awalnya bingung, setelah saya teliti lagi, ternyata saya salah
dalam penggunaan grammar. Beruntungnya saya memunyai teman-
teman baik hati yang mau mengajari saya sampai bisa. Jadi, jika
mengalami hambatan dalam belajar, saya belajar bersama mereka dan
saling berbagi ilmu.
Jika jenuh, saya akan mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran.
pemegang kunci | 25
Terkadang main game atau sekadar main ke kos teman. Menurut saya
otak pun perlu istirahat. Jadi kalau kalian lelah belajar, beristirahatlah
untuk mengumpulkan tenaga, baru belajar lagi.
Saya kira cerita di atas merupakan salah satu pengalaman saya saat
kali pertama menginjakkan kaki di Unesa hingga sekarang. Saya merasa
sangat senang bisa belajar di sini. Saya harus tetap belajar lebih rajin lagi
agar sukses dalam menuntut ilmu dari sekarang sampai nanti kelulusan
datang.
pemegang kunci | 26
The Best Choice of My Life
(Esti A)
April 2013, bulan yang penuh tantangan hidup, bisa dikatakan
separuh jiwa dan harapanku ditentukan pada bulan itu, bulan di mana
siswa kelas XII SMA disibukkan dengan ujian nasional dan dibimbangkan
menentukan pilihan usai lulus nanti. Bekerja dan melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi adalah dua pilihan yang harus
ditentukan dan dipersiapkan sejak dini. Aku pun tak ingin masa depanku
terbuang sia-sia hanya karena salah fokus dengan pilihan ini.
“Pendidikan sangat penting dan dibutuhkan, Nak,” saran ayah agar
aku melanjutkan ke perguruan tinggi.
Ayah dan bunda tidak memaksaku menuruti keinginan mereka agar
aku kelak menjadi seorang guru, tapi itu memang sudah salah satu cita-
citaku di masa kecil. Ingin menjadi guru, ingin menjadi arsitek, dan
pelukis handal seperti ayahku.
Sejak kecil aku senang melihat ayah menggoyangkan kuas
pemegang kunci | 27
warnanya di kanvas, membuatkan pesanan orang untuk menggambar
rumah mereka. Yang kuingat, dulu aku selalu mengganggu konsentrasi
ayah dengan segudang pertanyaanku, “Ini apa, Yah, namanya?”; “Kenapa
begini?”; “Ayah kalau gambar kok tidak pernah pakai penggaris?”; “Nanti
kalau garisnya melenceng bagaimana, Yah?” Kenapa begini dan kenapa
begitu. Haha... itulah pertanyaan konyol yang selalu aku lontarkan untuk
mengganggu ayahku.
Ayah adalah sosok inspirasi. Beliau adalah seseorang yang mampu
menggambarkan imajinasinya untukku. Namun, aku berpikir apakah bisa
aku menjadi sosok sehebat ayah sebagai pekerja seni? Setiap hari
kuhabiskan waktuku untuk menggambar. Sejak itulah aku cinta dengan
dunia seni lukis dan sejak itu pula aku sadar bahwa aku adalah anak
yang juga berdarah seni.
Tetapi niatku untuk menjadi seorang pelukis ataupun arsitek lama-
kelamaan mulai berubah karena mendengar cerita pengalaman ayah
menjadi seorang arsitek.
pemegang kunci | 28
“Kamu anak perempuan, ayah tidak mengijinkan kamu menjadi
seorang arsitek. Kamu bisa memilih pekerjaan lain, seperti guru, apa
yang pernah bundamu katakan.”
Cukup menarik juga untuk menjadi seorang pendidik. Sampai masa
putih abu-abuku tiba, aku menambah lagi daftar cita-cita di buku
impianku. Pertama seorang guru, kedua pramugari, dan yang ketiga
bekerja di bank. Walaupun tidak diizinkan oleh kedua orang tua untuk
menjadi seorang pelukis ataupun arsitek, aku tetap mendengarkan
wejangan-wejangan yang diberikan beliau. Karena aku yakin apa yang
dikatakan oleh ayah dan bunda itu yang terbaik bagi masa depanku.
Lagi-lagi ayah tidak setuju dengan cita-citaku. Entah apa yang ada
dalam pikiran ayah, padahal beliau berpesan untuk memilih pekerjaan
yang aku inginkan dan aku impikan selain menjadi seorang arsitek.
Sekarang aku sudah memiliki keinginan lain, menjadi pramugari, ayahku
tetap saja tak mengizinkannya. Sempat aku kesal. Aku ceritakan
semuanya pada teman terdekatku sejak SMP, Adillal namanya. Dialah
pemegang kunci | 29
yang selalu mendengarkan keluh kesahku selama ini dan dialah yang
selalu memberikan solusi dan nasihat di saat aku memiliki masalah.
“TIDAK.”
Itulah tanggapan Adilali setelah aku menceritakan masalah itu
padanya, dia malah berkata sama halnya dengan ayah. Aku sempat
bingung dengan jawabannya, biasanya dia selalu memberi jawaban yang
telah dia pertimbangkan sebelum mengatakan “ya” atau “tidak”. Tetapi
kali ini dia menjawab secara spontan dan malah kontras denganku.
“Kenapa kamu langsung berkata seperti itu? Beri alasanmu
mengapa kamu tidak setuju.”
Dia membeberkan alasannya dan juga menyarankan aku untuk
menjadi guru saja atau pegawai bank daripada pramugari. Karena
menjadi seorang pramugari beresiko tinggi dengan jadwal penerbangan
yang tidak menentu. Dari semua penjelasannya, aku dapat
menyimpulkan bahwa kekhawatiran yang dia ungkapkan mungkin sama
dengan apa yang ayahku khawatirkan. Sempat jengkel ketika orang
pemegang kunci | 30
terdekatku tidak menyetujui keinginanku. Aku berpikir tak ada satu pun
orang yang mengerti dengan diriku ini, aku serasa tak ada gunanya lagi
dan aku merasa seperti robot yang selalu dikontrol oleh orang lain.
Pegawai bank atau guru??? Itulah yang sering membuatku galau.
Setelah aku pertimbangkan, aku lebih memilih untuk menjadi seorang
pegawai bank. Aku berunding dengan ayah dan bundaku, alhamdulillah,
mereka setuju dengan keputusan ini. Ayah membantuku untuk memilih
jurusan dan universitas yang harus aku pilih setelah lulus SMA.
Akuntansi, Administrasi Negara, itulah saran jurusan yang harus aku
tempuh untuk menjadi seorang pegawai bank. Di antara saran-saran
ayah, aku memasukkan lagi satu jurusan dalam daftar, yaitu Sastra
Inggris. Aku suka dengan bahasa Inggris. Sastra Inggris pilihan utama
dan diikuti Administrasi Negara lalu Akuntansi.
Hari pengumuman UN pun tiba, perasaan resah dan gelisah
menunggu pengumuman kelulusan dan pengumuman masuk perguruan
tinggi pun selalu menghantui.
pemegang kunci | 31
Teng teeeng....
“ESTI AYU KUSUMANINGRUM LULUS UJIAN NASIONAL.”
Dan
“ESTI AYU KUSUMANINGRUM DITERIMA DI UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA JURUSAN SASTRA INGGRIS”.
Raut muka yang tadinya resah dan gelisah tiba-tiba berubah menjadi
raut muka bahagia dengan sedikit tetesan air mata membasahi pipi. Aku
pulang dan memberikan amplop yang berisikan kabar baik itu kepada
ayah dan bunda. Aku lulus ujian dengan nilai yang memuaskan dan
langsung masuk perguruan tinggi dengan nilai-nilaiku dari awal masuk
SMA. Ayah dan bunda sempat meneteskan air mata, air mata bangga
melihatku bisa meraih cita-cita. Tak lupa aku memeluk dan mencium
mereka.
“Ayah, Bunda, Esti sangat berterima kasih kepada Ayah dan Bunda,
Esti ingin meminta restu kepada Ayah dan Bunda agar kuliah Esti kelak
diberi kelancaran.”
pemegang kunci | 32
Aku mempersiapkan segala sesuatu yang harus aku persiapkan ke
perguruan tinggi. Dua hari sebelum aku mulai aktif memasuki dunia
perkuliahan, pamanku datang dan membawa kabar kalau ada beasiswa
sekolah di pertambangan minyak di Cepu kabupaten Bojonegoro.
“Haaaaaah beasiswa?!” Kabar itu sungguh membuatku galau
bertubi-tubi. Aku menginginkan beasiswa itu, tetapi tinggal dua hari lagi
aku masuk dunia perkuliahan. Bunda menyuruhku tenang dan kami salat
istiqoroh bersama-sama meminta petunjuk pilihan mana yang baik
untukku ke depannya. Alhamdulillah, jawaban atas semua doaku dan
bunda terjawab dengan kata-kata paman bahwa beasiswa itu hanya
berlaku untuk laki-laki. Aku bisa bernapas lega.
Sampai saat ini aku enjoy dengan jurusan dan perkuliahanku. Aku
menekuni kuliah ini demi membuat bangga orang tua serta keluarga
yang telah membanggakanku. Keinginan, usaha, kerja keras, doaku, dan
doa orang tualah yang mengantarkanku sampai pada nikmat saat ini.
Ternyata inilah pilihan terbaik yang Allah persembahkan untukku, di
pemegang kunci | 33
antara sekian banyak pilihan yang sempat memusingkan, aku telah
dituntun menemukan pilihan terbaik ini.
This is the best choice of my life.
pemegang kunci | 34
Life is Struggle
(Layyin M)
Sejak beberapa bulan awal aku masuk kuliah, aku sudah ditawari
mengajar. Memang di awal aku masih canggung dan belum percaya diri,
namun karena kurangnya uang Bidikmisi untuk membiayai hidup dan
membayar kost—apalagi aku tidak mendapatkan dana tambahan dari
orang tua seperti teman-temanku—kuputuskan menerima pekerjaan
tersebut demi menambah pemasukanku. Kini sudah hampir setahun
setengah aku menjalani pekerjaan sebagai guru les anak TK sampai
dengan SMP di rumah teman pamanku, beliau berprofesi sebagai dosen
di berbagai universitas di Surabaya, beliau bernama Tuti Hariyanti. Beliau
selalu memberi aku semangat dan kadang menambah uang gajiku.
Sempat aku lelah ingin menyerah dan meninggalkan pekerjaan ini
bila teringat segitu banyaknya murid yang berbeda kelas dan berbeda
mata pelajaran, bahkan adakalanya mereka terlalu bandel dan aktif
buatku. Mungkin saat itu semangat dan kesabaranku sudah mulai
pemegang kunci | 35
melemah. Namun, dengan adanya semangat belajar mereka, kelucuan
mereka, dan tawa canda mereka mampu membangkitkan semangat
mengajarku dan membuatku menikmati manis pahitnya mengajar. Di
saat-saat itulah aku mulai berintrospeksi, barangkali inilah yang
dirasakan guru-guru yang pernah mengajarku, mereka juga mengalami
kejenuhan, kejengkelan dengan beberapa murid yang bandel. Dari situ
aku tahu bagaimana rasanya dan susahnya menjadi seorang guru.
Pernah suatu hari aku sedang tidak fit. Aku terserang demam dan
flu. Selain itu, aku juga memiliki tanggungan tugas-tugas yang
menggunung yang esok hari adalah deadline-nya. Hari itu aku ingin tidak
masuk, hampir saja mengirim pesan kepada pemilik bimbingan belajar
bahwa aku tidak dapat mengajar hari itu. Akan tetapi salah satu
pengajar yang sudah berada di tempat, mengirim pesan padaku kalau
murid-muridku ada ulangan esok hari dan mereka membutuhkan
tenagaku. Usai membaca pesan tersebut, mulai kusingkirkan ego,
bergegas mengajar. Namun, aku masih memunyai cobaaan lain. Temanku
pemegang kunci | 36
yang biasa mengantarkanku sedang sakit pula. Dan dalam kondisi
seperti inilah aku sering menyalahkan diriku sendiri karena aku belum
bisa mengobati trauma untuk mengendarai motor setelah setahun lalu
aku mengalami kecelakaan dengan sebuah mobil. Di sini aku mulai
cemas dan mencari teman lain yang bersedia mengantarku. Hampir
setengah jam aku menghubungi teman-teman, fortunately mbak kost-ku
datang dan dia bersedia mengantarkan.
Sampai di sana, mereka semua sudah bersiap menerima materi. Hari
semakin malam, beberapa murid masih sibuk dengan tugas-tugas
mereka dan salah satu murid malah terlalu malas untuk mengerjakan
tugasnya meski dia punya kepandaian yang cukup. Dia selalu
bergantung. Hampir semua nomor soal yang dia kerjakan, dia tanyakan.
Padahal aku sedang pusing, flu, demam, PMS, dan juga kepikiran tugas-
tugas yang sudah menunggu di kost yang belum satu pun aku lirik.
Untungnya tak jadi kuluapkan amarahku dalam atmosfer ruangan yang
begitu tenang. Aku berusaha menenangkan diri, dan membuat murid ini
pemegang kunci | 37
agar mau mengandalkan kemampuannya sendiri. Akhirnya, dia
selesaikan tugasnya.
Waktu berganti dan waktu mengajarku pun telah usai. Segera
kukembali ke kost dengan diantar salah seorang pengajar yang ada di
sana. Sampai di kost badanku menggigil lagi dan saat itu pula perut
masih kosong belum terisi karena seharian belum ada nasi atau
makanan apa pun yang mampu dicerna oleh lambungku. Sebisa mungkin
kutetap membuka mata dan menegakkan badan di depan layar laptop
lanjut mengerjakan tugas-tugas. Otakku rasanya masih kosong belum
ada ide yang masuk, belum ada inspirasi yang mampu ditangkap.
Sambil menunggu ide yang datang, aku mengisi perut dengan
sebungkus nasi harga 5 ribu. Mungkin kelaparan yang aku alami tadi
adalah salah satu penyebab macetnya kinerja otakku, karena setelah
selesai makan, ide mengalir begitu aja. Jemariku mulai lincah
memainkan keyboard laptop yang ada di depan mataku. Tanpa kusadari
waktu telah menunjukkan 01.00. Tak terasa aku sudah hampir
pemegang kunci | 38
menyelesaikan tugas-tugasku. Mata mulai terasa berat seperti ada
beban yang menggantung, badanku mulai lelah, dan obat yang tadi aku
cerna juga mulai terserap dan tersebar hampir ke seluruh aliran darahku.
Kini mulai kututup si kotak merah jambu—laptopku—dan kubaringkan
badan di atas kasur dan bantal yang selama ini telah menjadi drugs-ku.
Kupejamkan mata berharap semoga hasil kerjaku malam itu
mendapatkan hasil yang baik dan hari esok aku sudah dalam keadaan fit
kembali.
pemegang kunci | 39
Mengubah Pesimis Jadi Optimis
(Derit A)
Kisah kesuksesan ini ketika aku masih SMP di sebuah sekolah
negeri di kota Malang, tepatnya di MTs.N Malang 3 dan sekarang aku
sudah mahasiswa sastra Inggris di Universitas Negeri Surabaya. Ini
adalah kisah perjuanganku meraih kemenangan untuk mewakili
Indonesia sebagai juara. Ketika itu aku masih duduk di kelas 2, berusia
13 tahun, sangat polos, dan lugu. Bisa dibilang remaja seusiaku lebih
menyibukkan bermain ketimbang belajar, hampir separuh waktu belajar
kuselingi bermain.
Aku sangat nakal tapi cerdik, bila malas belajar di kelas, aku main
game atau sekadar membuka Friendster. Maklum, zaman itu belum ada
Facebook, Twitter atau Blackberry Messenger. Namun aku juga suka
mencari tulisan yang membuatku tidak jenuh.
Suatu hari, tanpa sengaja aku membuka berita tentang kiai dari
Jombang yang bernama Syekh Puji. Beliau adalah kiai yang menikahi
pemegang kunci | 40
gadis belia di bawah umur, padahal gadis itu lebih pantas memanggilnya
kakek atau opa, bukan kang mas atau abi. Pernikahan mereka menjadi
pro kontra di masyarakat. Aku sempat jengkel dengan pernyataan Syekh
Puji yang menganggap bahwa di Islam diperbolehkan, faktanya anak di
bawah umur dilindungi undang-undang negara. Wajarlah, Syekh Puji
harus memenuhi panggilan polisi karena masyarakat menilai itu tindak
pelecehan serta mencemarkan ajaran agama.
Tapi komentar itu tidak hanya aku simpan dalam hati, aku menulis di
buku harianku, loh. Kebetulan seminggu setelah aku menulis komentar
itu di buku harian, guru IT-ku mengenalkan kami dengan Blogger, dan
setiap siswa wajib membuat blog pribadi. Aku memulai membuat blog
meski belum canggih dalam mendesainnya. Dengan blog sederhana itu,
aku memosting tulisanku tentang Syekh Puji dan kuberi judul
“Pernikahan Syekh Puji yang Abnormal”. Alhasil, guruku membaca dan
membagikannya ke blog lain sehingga banyak yang berkomentar serta
memberi dukungan pada tulisanku.
pemegang kunci | 41
Pasca kejadian itu, guru IT-ku memintaku mengikuti perlombaan
web blog tingkat ASEAN yang diikuti semua pelajar dan mahasiswa se-
Asia Tenggara, perlombaan diselenggarakan oleh lembaga RELC di
Singapura. Aku sempat menolak, karena dalam perlombaan ini harus
menggunakan bahasa Inggris, dan aku tidak begitu pintar dalam
berbahasa Inggris, terutama kelemahanku pada grammar. Meskipun
perlombaan ini diadakan secara online, tetap saja aku tidak percaya diri.
Dengan sabarnya, guruku tetap membujuk akan membimbingku.
Beliau mengatakan, “Jangan takut kalah, tapi carilah pengalaman.”
Akhirnya aku setuju. Ada beberapa tema yang disajikan dalam
perlombaan ini, culture, art, sport, education yang berhubungan dengan
negara masing-masing peserta. Aku masih begitu ingat tema yang aku
pilih adalah culture. Kebetulan tanteku sebulan sebelumnya baru
menikah, jadi kuusung judul “Pernikahan Adat Jawa di Indonesia”. Foto-
foto pernikahan tante kujadikan bahan artikel blog. Satu per satu foto
menceritakan prosesi pernikahan. Mulai ijab kabul sampai seserahan.
pemegang kunci | 42
Perlombaan ini berlangsung selama 3 bulan, setiap peserta harus
saling berkomentar di blog lawan termasuk juri. Aku minder waktu itu,
karena lawanku dari Brunei Darussalam sangat detail dalam desain blog
dan artikelnya. Sempat, sih, aku mengeluh ke guru bimbinganku kalau
aku capek harus pulang setiap hari pukul 18. Aku merasa hampir tidak
ada waktu bermain dengan teman-teman dan aku merasa kesulitan
karena artikel harus kubuat dalam bahasa Inggris. Bayangkan ya, aku
sangat tidak suka bahasa Inggris waktu itu, bahasa yang aneh, sulit,
lucu aja kalau denger orang ngomong pakai bahasa itu. Tapi guruku
tetap membantuku, setiap pertengahan pelajaran aku diizinkan untuk
tidak ikut, justru harus fokus pada lomba ini. Aku merasa hampir mau
mati. Bagaimana tidak, kalau aku kalah, aku akan ketinggalan materi
selama 3 bulan dan nilaiku merosot. Pasti orang tuaku akan marah,
semua fasilitas akan diambil. Berbagai alasan selalu kulontarkan,
alasan cucian di rumah banyaklah, setrika numpuklah, apalah.
Sampai guruku menjawab, “Engkok lek kamu menang, uange iso
pemegang kunci | 43
digawe nyewa pembantu,” bujuknya dengan logat Jawa yang kental.
“Nanti kalau kamu menang, uangnya bisa buat nyewa pembantu.”
Tapi aku selalu mencibir di belakangnya, kesal. Ingin bermain
dimarahin, malah disuruh fokus ke lomba, pokoknya bikin jenuh. Akhirnya
aku lelah dan cuek di detik-detik terakhir perlombaan. Entah iseng-
iseng, kubuka artikelku ternyata ada komentar dari juri, “Great picture.”
Sontak aku bersemangat bahwa ada harapan menang walau hanya
beberapa persen.
Masih teringat seminggu setelah lomba ditutup, temanku
menelepon kalau aku menjadi juara 1 mewakili Indonesia. Awalnya, sih,
nggak percaya, pukul 21 aku diantar kakak ke warnet melihat
pengumuman. Ya Allah, aku diam termenung dan tidak berkedip. Kaget.
Keesokan harinya, aku tanyakan pada guruku dan beliau
menyanggah, “Siapa bilang kamu menang, itu salah ketik. Wong
artikelmu jelek kalau dibanding musuhmu.” Sudah kuduga pasti cuma
mimpi, ya sudah aku minta izin untuk masuk laboratorium bahasa Arab
pemegang kunci | 44
mengikuti pelajaran selanjutnya.
Tiba-tiba di tengah pelajaran, aku diminta kepala sekolah datang ke
kantor, ketika aku masuk, sudah banyak wartawan dari berbagai koran
dan majalah pendidikan, aku heran. Ternyata guru pembibingku juga
sudah ada di sana, rupanya beliau hanya menggoda supaya aku cemas.
Lalu aku mulai diwawancarai bagaimana perjalananku bisa menjadi
juara. Dari situ aku yakin bahwa aku memang harus mengembangkan
potensi, mengubah jiwa pesimis menjadi jiwa yang optimis, berani
mencoba dan tidak menyerah sebelum bertanding.
Karena prestasiku ini, aku berhasil diterima SMA favorit di kotaku
dan aku juga menjuarai kompetisi resensi novel. Setelah itu aku
mengikuti beberapa perlombaan web blog lagi dan terus melanjutkan
hobiku sebagai penulis. Aku yakin sekalipun aku berasal dari desa, suatu
hari aku bisa menjadi seorang penulis yang karyanya akan dibaca dan
diminati oleh semua, itu kenapa aku berusaha dan berjuang masuk di
Universitas Negeri Surabaya jurusan Sastra Inggris. Semoga saja rasa
pemegang kunci | 45
tidak sukaku terhadap bahasa Inggris mengubahku menjadi
mencintainya dan bersungguh-sungguh mempelajari supaya aku bisa
mewujudkan keinginanku.
Inilah prestasiku, dan aku berharap ini menjadi kesuksesanku kelak
yang akan disambut senyuman dan tangis bahagia orang tuaku. Aku
akan terus berkarya, hingga nanti aku bisa menerbitkan satu karangan
tulisanku yang bisa dibaca oleh kalian. Semoga kisahku ini bisa menjadi
inspirasi bahwa sesuatu yang tidak mungkin, dengan dukungan orang-
orang yang menyayangi kita bisa menjadi nyata dan menambah
semangat.
pemegang kunci | 46
‘Sahabat’ Penyemangat
(Mayank P)
Hai, Ini tulisan pertamaku yang mungkin akan dibukukan. Harapan
yang sudah lama terpendam akhirnya terwujud. Bisa dibilang aku baru
saja terjun di dalam dunia tulis-menulis. Semoga saja aku tidak
menyerah dan segera naik kepermukaan. Tulisan ini adalah sepotong
perjuanganku selama beberapa tahun terakhir, cukuplah sebagai tempat
berkeluh kesah. Tapi tenang, ‘curhatku’ ini tetap happy ending kok.
Check this out!
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Mayank Putri Anjani,
biasa dipanggil Mayank. Bukan anak seleb atau pejabat, namun dengan
bangga kuberitahukan bahwa aku adalah anak seorang ibu rumah
tangga yang rela kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dan ayah yang bekerja sebagai pelaksana proyek yang mau menerima
pekerjaan apa pun saat tidak dapat job.
Banyak tetangga yang berkata bahwa orang tuaku sangat beruntung
pemegang kunci | 47
memiliki anak sepertiku. Baik, penurut, pintar, dan selalu dapat bantuan
sekolah karena prestasi yang kubuat. Bahkan kuliah pun aku menerima
beasiswa bidik misi tanpa harus mendaftar. Namun, mereka semua
tidak tahu tentang perjuanganku selama ini. Mereka tidak tahu
bagaimana orang tuaku sangat sering spot jantung akibat ulahku.
Bukan, bukan ulahku. Tapi ‘sahabat’-ku.
Sejak kecil, aku sangat sering keluar masuk klinik dan rumah sakit
dengan bermacam penyakit. Hal itu menyebabkan aku tidak bisa
melakukan banyak hal seperti yang dilakukan teman-temanku. Bahkan
baru bermain keluar sebentar saja, ibu sudah menjemput untuk pulang.
Jika liburan tiba, kuhabiskan waktu di rumah bermain dengan ibu.
Karena memang aku anak pertama dan belum memiliki saudara.
Cerita ini bermula kala usiaku 7 tahun. Ibu datang ke tempat
tetanggga meneriakiku dari pinggir jalan bermaksud mengajakku pulang.
Namun, ibu tidak menyeberang, dengan alasan aku memang sudah ingin
pulang. Saat aku menyeberang, sebuah sepeda motor melaju kencang
pemegang kunci | 48
dan menabrakku hingga aku terguling-guling sampai di depan ibu. Aku
masih sadar, tapi tidak menangis, bahkan tidak merasa sakit. Malah ibu
dan para tetangga yang menangis melihat kondisiku sungguh
mengkhawatirkan. Akhirnya, aku dibawa ke dokter. Kata dokter aku
hanya luka luar saja, hanya perlu diberi salep dan semua akan sembuh.
Namun, justru itulah awal kedatangan ‘sahabat’-ku ini.
2 tahun kemudian, kelas 5 SD, tepat hari Senin. Aku bertugas
menjadi pembaca UUD di hadapan seluruh warga SDN Sroyo, kecamatan
Kanor, Bojonegoro. Setelah aku membacakan UUD dan kembali ke
barisan para petugas, aku terjungkal kebelakang. Aku pingsan! Semua
gelap. Sadarku kembali menguasai saat aku berada di kantor guru. Kata
guru-guru, mungkin aku kurang enak badan dari awal. Aku percaya saja.
Karena memang itu pingsan perdanaku.
Namun, kejadian pingsan terus dan terus berulang bahkan aku
sampai dilarang mengikuti upacara atau kegiatan yang terlalu berat.
Padahal sebelumnya aku adalah anak yang aktif, mengikuti berbagai
pemegang kunci | 49
kegiatan seperti pramuka, paduan suara, dan marching band. Sejak itu,
aku selalu minder dan merasa berbeda dari yang lain. Namun ibu dan
ayah selalu menyemangati. Mereka bilang meskipun mereka belum tahu
tentang penyakitku, mereka yakin aku akan sembuh. Meskipun aku tahu
bila setelah berkata begitu, ibu akan menangis di belakangku.
Saat aku menginjak SMP pun keadaan tidak berubah. Tiap upacara
bendera dan olahraga aku selalu mundur teratur. Kondisiku sangat
lemah. Sehingga nilaiku dalam pelajaran olahraga tidak sebagus lainnya.
Aku makin terpuruk. Merasa tidak bisa apa-apa. Tapi beruntung, aku
sudah mengenal olahraga catur yang memang tidak perlu berdiri. Aku
terus berlatih sampai aku menjuarai tingkat provinsi yang membuat
sekolahku bangga. Sehingga sekolahku membebaskan biaya LKS satu
semester, memberikan bantuan, dan menjamin nilai olahragaku paling
tinggi di antara teman-teman.
‘Sahabat’ yang berada di tubuhku yang belum kuketahui identitasnya
itu, semakin lama semakin manja dan selalu membuatku dibawa ke
pemegang kunci | 50
rumah sakit. Lebih-lebih saat di SMA, tubuhku sempat kejang dan sesak
napas. Beberapa teman bahkan mengira aku kesurupan (mereka terlalu
percaya dengan film-film misteri sepertinya). Setelah menjalani segala
macam cek kesehatan, ditemukanlah fakta bahwa aku mengidap
Skoliosis. Tidak terlihat memang. Tapi sakitnya cukup membuatku
berteriak histeris.
Sakit itu terus mendera sampai aku diterima di Unesa ini. Bahkan
pada saat pre-test Penjas yang mengharuskan siswanya berlari keliling
lapangan atletik lima putaran, aku pingsan dan kaku di lapangan.
Walhasil, Pak Vega, selaku dosen, melarangku untuk ikut berlari (lagi).
Rasa tidak percaya diri dan mulai menyerah dengan keadaan makin
terasa saat aku harus istirahat di rumah satu bulan penuh. Apalagi
dokter sudah menyarankan operasi tulang belakang. Untungnya rencana
itu gagal karena aku mencoba bertahan. Bayangkan saja, untuk operasi
membutuhkan biaya jutaan rupiah. Untuk kuliah saja aku sangat
bergantung dengan bidik misi. Sempat aku disarankan untuk mundur
pemegang kunci | 51
dari penerimaan beasiswa oleh bagian kemahasiswaan dikarenakan aku
berkata bahwa aku sudah frustasi dan tidak bisa mempertahankan IPK
yang terlanjur tinggi.
Satu-satunya semangatku hanya harapan orang tua yang selalu
berkata, “Kamu nanti yang akan jadi tulang punggung keluarga, kamu
yang akan menyekolahkan adikmu dan merawat kami saat kami tua.”
Itulah kekuatanku. Terus mengejar mimpi dan harapan mereka. Menjadi
seperti yang mereka mau. Dan berjanji untuk selalu membanggakan
mereka.
Semester 2 dan 3 kulalui dengan tertatih. Setelah tertinggal begitu
lamanya, aku mencoba bangkit. Berhasil! Meskipun nilai sedikit turun,
tapi IPK-ku masih diatas 3,5. Di akhir semester 3 pun saat UAS kulalui
dengan mengerjakan ujian bersandar bantal. Banyak yang menertawai
karena aku membawa bantal ke kampus. Semua kujawab dengan
senyuman. Hasilnya? IPK-ku tetap kekeuh di tempatnya. Sekarang aku
justru merasa sebagai perempuan yang istimewa dan hamba yang lebih
pemegang kunci | 52
disayang oleh Tuhanku.
Kelainan tulang belakang bukan berarti tidak bisa jadi tulang
punggung yang baik, kan?
pemegang kunci | 53
Perjuangan 600 Ribu
(M. T. Herlina)
Life is never easy as tongue speaks a word. Life is too complicated
and unpredictable. We can’t guess, we can’t ask for something, we
can’t repeat our past and time just walks away to future time. Life is
like puzzle, if you can’t arrange it well it’ll be trouble. - M.T. Herlina
Aku adalah seorang yang beruntung karena dapat merasakan
bagaimana menjalani kehidupan kampus. Aku mendapat kesempatan
untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan jalan beasiswa bidikmisi.
Dari sinilah aku mampu mengenyam bangku pendidikan tinggi karena
aku berasal dari keluarga yang tidak berada atau boleh dibilang miskin.
Aku yang berasal dari desa dengan pekerjaan orang tuaku yang hanya
sebagai buruh serabutan tidak akan mampu mengenyam pendidikan
tinggi tanpa adanya beasiswa. Aku merasa sangat beruntung dari sekian
banyak siswa di sekolahku yang mendaftar, namaku tercantum ke
dalam 15 siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri. Aku merasa
pemegang kunci | 54
senang karena bisa membahagiakan kedua orang tuaku dengan segala
prestasi yang aku punya di sekolah dulu. Meskipun aku belum mampu
meringankan beban kedua orang tuaku namun setidaknya aku bisa
kuliah tanpa meminta biaya dari mereka. Aku tidak ingin membuat
mereka memiliki beban yang banyak karena adikku juga masih berada di
bangku sekolah dasar.
Dengan adanya beasiswa bidikmisi aku mendapat keringanan untuk
kuliah tanpa harus membayar uang SPP atau UKT karena telah dibiayai
oleh pemerintah. Selain itu, aku juga masih mendapat biaya hidup
sebesar 600 ribu rupiah setiap bulannya. Dari uang itulah aku berusaha
keras untuk bertahan hidup di kota Surabaya menjalani kehidupanku
sebagai mahasiswa.
Banyak hal yang telah aku alami selama hampir 2 tahun aku kuliah
di sana. Mulai dari yang menyenangkan sampai yang sangat
menyedihkan. Aku harus bertahan hidup dengan uang yang jumlahnya
sangat kecil itu sampai bulan berikutnya. Jika tidak, bisa-bisa tidak
pemegang kunci | 55
akan makan di akhir bulan nanti. Sedikitnya 200 ribu kusisihkan untuk
membayar sewa kost yang aku tempati. Belum lagi keperluan lain tak
terprediksi. Belum lagi awal semester harus membeli buku-buku
pelajaran. Dan terkadang di awal semester, uang bidikmisi tidak bisa
cair tepat waktu atau malahan akan cair sebulan bahkan dua bulan
berikutnya. Apabila aku tidak bisa menabung barangkali aku akan jadi
gelandangan pinggiran kota. Dari sinilah aku harus bisa pintar-pintar
mengatur keuangan. Karena aku tidak mendapat pemasukan lain selain
dari uang bidikmisi. Pemasukan pun mungkin hanya akan aku dapat bila
liburan tiba karena saat itu kugunakan waktuku bekerja di pabrik dekat
rumah untuk packing mainan anak-anak. Meskipun hasilnya tidak besar,
namun aku cukup senang karena bisa belajar mencari uang sendiri.
Kebanyakan orang akan berpikir jika menjadi mahasiswa bidikmisi
itu enak, tidak perlu memikirkan soal uang, hanya perlu belajar dan
kuliah dengan baik. Namun tahukah mereka betapa banyak perjuangan
dan pengorbanan yang harus dialami mahasiswa bidikmisi sepertiku?
pemegang kunci | 56
Tahukah mereka saat uang bulanan tak kunjung cair? Tahukah mereka
bagaimana rasanya harus menahan lapar dahaga demi bertahan hidup?
Mereka yang berpikiran pendek seperti itu tidak akan mengerti jika
mereka tidak mengalaminya sendiri. Ya, okelah, mungkin sebagian besar
mahasiswa bidikmisi memang tidak semiskin diriku jadi mereka bisa
meminta uang dari orang tuanya jika kehabisan uang bulanan. Agaknya
aku juga bisa seperti itu, tapi itu tidak akan aku lakukan kerena prinsip
hidupku adalah hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan,
semua itu butuh perjuangan, pengorbanan, usaha, derita, serta doa.
Namun, beruntunglah aku karena aku memunyai teman-teman yang
baik. Saat aku kekurangan ataupun kehabisan uang, aku bisa meminjam
pada mereka yang punya uang lebih dan aku akan mengembalikannya
setelah uang bulan berikutnya cair. Dari hampir dua tahun aku menjadi
mahasiswa aku merasa jika Allah selalu berada di sisiku. Kapan pun
saat aku merasa kesulitan yang luar biasa aku selalu ditunjukkan jalan
yang benar oleh-Nya. Saat aku butuh uang untuk berobat ke rumah
pemegang kunci | 57
sakit, saat aku butuh uang untuk membayar kost, saat aku butuh uang
untuk membeli buku, saat itu pula selalu ada jalan yang ditunjukkan oleh
Allah untukku. Selalu ada saja orang yang meminjamiku uang. Meski
adakalanya aku merasa putus asa namun aku selalu ingat nasihat dari
orang yang paling berarti dalam hidupku, orang yang paling aku sayang.
“Allah itu sayang pada semua hamba-Nya. Saat kamu mendapat
ujian itu tandanya Allah sayang sama kamu. Jika kamu bisa melalui ujian
itu maka akan dinaikkan derajatmu. Allah pasti bakal menunjukkan jalan
terbaik-Nya untukmu. Percayalah tidak ada yang tidak mungkin di dunia
ini.”
Dan memang benar. Dari apa yang aku alami memang begitu adanya.
Allah selalu membantuku saat aku membutuhkan-Nya dan juga
membimbingku agar selalu menjadi orang yang berbakti kepada kedua
orang tuaku.
Dengan uang 600 ribu aku menyambung hidupku. Berbeda sekali
dengan teman-temanku. Mereka bisa mendapatkan apa pun yang
pemegang kunci | 58
mereka mau karena terlahir dari keluarga yang sangat berada dan tidak
perlu hidup susah sepertiku. Namun, dari sinilah aku belajar apa arti
kehidupan sebenarnya. Aku senang, aku bangga terlahir dari keluarga
yang tidak berada karena aku dapat belajar untuk mengharagai apa pun
karunia Allah, belajar bersabar dan mengarungi kerasnya kehidupan.
Sebaiknya, janganlah bangga dengan harta yang orang tua kita karena
harta itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti harta
itu kembali pada-Nya. Jika suatu hari nanti harta itu lenyap maka hanya
akan ada penyesalan di dalam hati. Itulah mengapa aku lebih memilih
hidup menderita di masa mudaku saat ini agar nanti ketika aku tua aku
dapat mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan serta mengajarkan
nila-nilai yang baik kepada anak cucu. Karena dari sinilah aku belajar
menjalani susahnya hidup.
Not only is there often a right and wrong, but what goes around
does come around. There is always a day of reckoning. The good among
the great understand that every choice we make adds to the strength or
pemegang kunci | 59
weakness of our spirits—ourselves, our souls. That is every human’s
life work: to construct an identity bit by bit, to walk a path step by step,
to live a life that is worthy of something higher, lighter, more fulfilling,
and maybe even everlasting. - Donald Van de Mark
pemegang kunci | 60
Copet Sana Sini
(Prita D)
Surabaya, di sinilah tempat perantauanku, tempatku menuntut ilmu
sekaligus adu nasib tuk menyalakan setitik harapan tulus
membahagiakan orang tua. Dahulu kota ini yang selalu hadir di angan.
Bayangan seperti apa tempat ini, ada apa saja, dan bagaimana
kehidupan di sini selalu menghiasi otak kerdil di masa SMA. Yahhh...
jelas saja saya belum tahu banyak, maklum anak dari kampung ujung
Pulau Jawa, Banyuwangi namanya. Begitu berita diterimanya saya
sebagai mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, “Oo… Surabaya! Jadi
anak gaul cak cok cak cok dong?” (kalau orang bilang ini kata khasnya
Surabaya).
Ditanya senang? Jelas saya senang. Sebelum berangkat saya dapat
banyak sekali wejangan dari orang tua, saudara, dan juga teman-teman,
“Hati-hati, ya, banyak orang jahat di sana.” Setelah sekian lama, sekitar
1,5 tahun saya tinggal di sini ternyata wejangan itu benar, berdasarkan
pemegang kunci | 61
beberapa pengalaman yang saya alami sendiri saya menyatakan bahwa
memang benar tinggal di kota besar banyak resikonya karena banyak
pengaruh dari luar. Kalau bukan kita yang menjadi korbannya kita yang
menjadi pelakunya. “Kalau tidak dimakan ya memakan.” Rasanya
perumpamaan itu dihalalkan di kehidupan kota besar ini. Sejak awal
semester saya sudah menyaksikan dan mengalami banyak sekali
kejahatan.
Kali ini saya akan mencoba berbagi cerita dengan teman-teman
pembaca. Kala itu saya masih di semester 1. Libur lumayan panjang
selama 5 hari saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat itu saya
menaiki bus kota dengan membawa barang bawaan yang cukup banyak.
Orang di dalam sudah berjubel, namun karena saya terburu ingin sampai
jadi nekat tetap naik.di dalam bus. Awalnya saya berdiri, setelah
beberapa menit bus berjalan, ada seorang lelaki menawari saya duduk di
sampinganya. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya yang menarik
saya dan menawari tempat duduk juga. Saya putuskan duduk bersama
pemegang kunci | 62
ibu itu karena saya rasa duduk di samping perempuan di tempat umum
lebih aman.
Ternyata dugaan saya benar, ibu itu bilang, “Mbak tau kenapa ibu
paksa duduk di sini, padahal di sini juga sudah penuh? Karena mas yang
tadi nawarin duduk Mbak itu pencopet.”
Seketika saya terkejut, dengan suara lirih saya bertanya balik, “Dari
mana Ibu tau?”
Ibu itu menjawabnya dengan nada enteng, “Mbak, sudah kelihatan
dari gerak geriknya, meskipun penampilannya tidak mencurigakan tapi
ibu yakin sekali kalo dia pencopet, ibu ini orang Surabaya jadi sudah
sering lihat yang seperti ini, lain kali Mbak hati-hati.”
Kisah lainnya. Kala itu ibu menyuruh kami membeli kado untuk
ponakan yang akan khitan. “Kami”? Ya, kami, aku dan kakakku. Dia juga
tinggal di Surabaya namun tempat tinggal kami jauh. Saat itu saya
dijemput dari kost untuk ke sebuah pusat perbelanjaan. Tombol start
ditekan lalu melajulah motor kami perlahan. Sesampai di sana mulailah
pemegang kunci | 63
kami kebingungan memilih barang. Karena ingat akan kemungkinan
banyaknya copet jadi saya super hati-hati menjaga tas, saking was-
wasnya tas punggung saya arahkan ke depan. Perhatian kami terpusat
pada salah satu toko yang menjual jaket kulit. Saat kami mulai sibuk
memilih, datanglah wanita tua menghampiri, beliau meminta sedekah.
Karena iba, saya berniat memberi. Di saku tak ada uang lalu saya coba
ambil di dompet yang ada di dalam tas. Saya letakkan HP di lemari kaca
di samping saya. Ketika sibuk mencari dompet... tak terduga ternyata
tangan ibu itu sudah ingin meraih HP saya. Subhanallah, saya terkejut
tak menyangka. Seketika saya pergi menjauhinya dan memanggil kakak
untuk pulang saja. Ternyata keapesan saya tak berhenti sampai situ, di
parkiran kami ngobrol membahas ibu itu sambil mengenakan helm.
Cerobohnya, HP saya letakkan di jok motor, ehhh, 3 menit belum
berlalu HP melayang entah ke mana karena banyak orang lalu lalang.
Kejahatan di sekitar kita, ini bukan hanya karena niat namun
terkadang karena kesempatan. Dari cerita yang saya bagi dengan
pemegang kunci | 64
teman-teman pembaca semoga menjadi inspirasi dan mungkin sedikit
saran agar selalu hati-hati di mana pun kita berada. Apalagi kalian orang
baru di suatu tempat harus selalu waspada demi kenyamanan dan
keselamatan.
pemegang kunci | 65
Hati-Hati Kesandung, Udah Kesandung!
(Regine)
Mencoba kabur dari tradisi ternyata tidak semudah yang aku
bayangkan. Kadang walaupun sebuah tradisi itu kolot tapi bisa
membangun masyarakat yang lebih baik daripada mereka yang ingin
menjadi bagian dari orang Barat. Kalau menanyakan tentang moral,
sebenarnya Indonesia itu di urutan keberapa? Lebih baikkah kita
ketimbang mereka? Memang banyak sekali pertanyaan yang bisa aku
jawab sendiri dan kalau harus bertanya pada orang lain pasti merasa
malu pada awal hingga akhir.
Sebenarnya bukanlah orang yang berani diriku ini, bukanlah orang
yang patuh, bukanlah pula orang yang baik. Aku beranggapan bahwa aku
bukan orang yang sama seperti orang di sekelilingku. Pernahkah kamu
merasa seperti semen Tiga Roda? Di Indonesia tapi milik orang asing?
Iya, benar, itu tidak salah, aku selalu memiliki pikiran seperti itu dalam
diriku. Aku merasa apa yang orang lain lakukan di sini tidaklah sejalan
pemegang kunci | 66
dengan apa yang aku inginkan. Iya, benar, tidak salah, aku ingin
lingkungan ini seperti di Barat di mana orang cuek dengan yang
dilakukan orang lain, jadi aku bisa melalukan apa yang aku mau tanpa
khawatir komen pedas.
Kamu pasti sudah tahu apa yang aku maksud? Tapi jangan mikir
keluar batas. Aku yakin semua ada batasnya, tapi negara kita batasnya
berhenti di 3 sedangkan di barat berhenti di 10. Ayahku juga sudah
menasihati kalau aku perempuan jadi harus jaga diri.
Malam itu membuat senyumku tertutup oleh butiran kata-kata yang
terlalu bijak. Setiap nasihat yang baik kebanyakan aku rasa kolot.
Sebenarnya kenapa aku ini? Kalau orang lain tahu apakah mereka akan
men-judge-ku? Aku punya pikiranku sendiri, aku juga punya hatiku
sendiri, aku gak pernah pinjem hati orang lain. Tapi kalau kamu merasa
aku salah, ya, itu gak masalah bagiku.
Mungkin sangat konyol kalau aku harus bilang aku ingin keluar dari
negara ini karena mereka bukan yang aku inginkan. Kedengaran sadis?
pemegang kunci | 67
Padahal aku juga belum tahu bagaimana jika itu benar yang terjadi kalau
orang-orang yang aku anggap suit padaku ternyata orang yang jahat dan
dapat merusakku? Apalagi ketika aku lihat dan dengar sendiri orang
Barat bilang, “I love Indonesia, people are nice and friendly.” Nah, lho!
Terus apa yang aku pertanyakan? Kenapa mereka cinta Indonesia, lha
wong aku sebagai orang Indonesia aja gak merasa seperti itu.
Ada lagi pertanyaan, sebenarnya kita kulit coklat bisa rasis gak?
Jujur? Kalo aku? Wah itu sedikit mustahil untuk diungkap, tapi aku yakin
kamu tahu jawabannya. Demikianlah orang juga akan membenciku
karena sudah kubilang aku bukan orang baik, benarkan?
Kembali lagi ke awal. Kenapa aku mempertanyakan moral? Karena
itu yang disinggung ayahku. Karena kita punya peraturan agama yang
menjaga kita dari keterpurukan moral sedang di Barat adalah liberty
maka kamu tahu sebagai remaja usia akhir aku ingin melalukan apa
yang aku ingin, aku ingin melepas semua peraturan, aku ingin mereka
cuek padaku dan tidak membicarakan kalau aku melakukan sesuatu
pemegang kunci | 68
yang wow. Betapa bodohnya pikiranku ini. Tapi, sebentar! Aku lihat
teman-temanku yang pintar dan berwawasan (lebih) tinggi dariku.
Betapa simpelnya orang-orang itu. Semakin terlihat jelas betapa masih
bodohnya aku.
“Desire” kata yang indah tapi merusak. Jika belum siap maka jangan
melakukan, pikir dulu! Jelas ayahku benar, jelas aku salah. Sebagai
orang tua ayah ingin yang terbaik bagi anaknya. Tapi sebagai anak kamu
tidak tahu apa yang terbaik untuk ayahmu.
Mungkin aku memang kecewa rencanaku gagal, tapi ayah yang baik
tidak akan membiarkan anaknya menjadi mainan untuk dipermainkan
sesaat. Benarkan? Ini aku baru buka mata. Aku mungkin kecewa pada
awalnya setelah ayah bicara seperti itu padaku—melarangku berbuat
sesuatu—tapi aku akan lebih kecewa lagi kalau dipermainkan. It’s like
someone sucks all your blood and you are just dying but he’s gone. Gak
bisa bayangkan kalau itu beneran terjadi.
Aku gak berani bicara sama ayah, itu ideku bukan ide dia, ini
pemegang kunci | 69
salahku, bukan salahnya dia, tapi ayah menilai negatif ke dia bukan ke
aku. Terus gimana, nih? Aku ini emang goblok atau gak pintar sih? Tahan!
Tahan! Tahan! Dari sini mari kita ambil kesimpulan. Apa yang kita omong
dan rencanakan harusnya dipikir dulu, ini kalo pikiran negatif
dilimpahkan ke orang lain gak masalah, tapi kalo pikiran negatif
dilimpahkan ke seseorang yang kamu kasihi cuma gara-gara salah
planning, ya, kasihan si dia jadi dapat nilai -30 dong di depan calon
mertua hahahaha. Sampun.
pemegang kunci | 70
pemegang kunci | 71
Ladang Ilmu
(Anindya K)
Menjalani kehidupan di dunia ini selalu ada saja cerita yang
membekas bagi diri kita maupun orang lain. Terkadang apa yang kita
lakukan menjadi sumber ilmu dan tak jarang merupakan sebuah
pengingat bagi diri. Ilmu yang kita dapat tak hanya dari hal besar yang
kita telah lakukan, justru hal-hal kecil bisa memberikan kita gambaran
kehidupan.
Seperti yang saya alami saat saya menginjakkan kaki di tanah
Haram, Saudi. Banyak orang telah mengingatkan, saat kita di sana akan
ada kejadian berharga. Terkadang bentuknya tampak jelas, terkadang
hikmah tersebut berbentuk implementasi dari hal-hal yang kita alami.
Tak jarang pula jika pengingat itu merupakan kejadian yang sangat
pribadi. Madinah dan Makkah adalah dua kota di mana saya mengalami
pengalaman berharga. Banyak hal yang mengingatkan saya untuk
berhati-hati selama hidup di dunia.
pemegang kunci | 72
Pemandangan dan suasana kota yang baru sangatlah terasa.
Terutama dari segi agama. Nuansa islami sangat kental mewarnai kota.
Mulai dari pakaian hingga sikap mereka saat mendengar panggilan
beribadah. Saya menginap di sebuah hotel yang berada di sekitar
keramaian dan tak jauh dari masjid Nabawi, kurang lebih 200 meter.
Saya sangatlah semangat beribadah, dengan lokasi yang strategis, tak
butuh waktu lama untuk menuju masjid Nabawi. Satu jam sebelum azan
berkumandang saya sudah bergegas menuju masjid. Karena saya berada
di masjid lebih awal, tentunya hal yang saya dapat adalah lokasi yang
tepat, baris depan, dan tempat nyaman. Biasanya saya memilih lokasi
yang dekat dengan rak Alquran, untuk mempermudah akses meminjam
Alquran terjemah. Tak jarang pula saya membaca terjemahan Alquran
dalam bahasa lain, hanya untuk memenuhi rasa penasaran saja.
Mendekati waktu salat, jamaah masjid Nabawi mulai membludak,
walaupun tempat yang disediakan sangat lebar, masih saja tak cukup
untuk jamaah yang jumlahnya ribuan, bahkan jutaan itu. Alhasil, banyak
pemegang kunci | 73
jamaah yang salat di pelataran masjid.
Lima kali sehari dalam kurun waktu empat hari saya melakukan
strategi yang sama. Dan hasil yang saya dapatkan adalah sama seperti
kali pertama saya salat di masjid. Sekarang saya percaya, “Jika kita
bangun kesiangan maka rezeki kita akan dipatok ayam.” Hal ini
bermakna jika kita ingin mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan,
kita harus memulai dahulu dan berusaha sedikit lebih keras. Karena jika
saya tak berusaha melawan rasa lelah atau kantuk maka saya akan
berangkat lebih lambat dan tempat pelataranlah yang akan saya
dapatkan.
Di hari ke lima, setting tempat berganti menjadi Makkah. Di sini,
lokasi hotel saya semakin dekat kurang lebih 50 meter dari Masjidil
Haram. Suasana kota tak jauh beda dengan keadaan kota Madinah.
Semangat saya untuk beribadah tidaklah kurang. Strategi yang saya
gunakan saat di kota Madinah masih saya gunakan. Saya sempat
berpikir, karena lokasi sangat dekat, jika saya berangkat dengan waktu
pemegang kunci | 74
yang sama, mungkin saja saya akan mendapat posisi yang sama
strategisnya seperti di Masjid Nabawi. Saya sempat memikirkan posisi
salat sedekat mungkin dengan Kakbah.
Hari pertama, saya bisa masuk ke lokasi masjid, namun tidak terlalu
dalam. Banyak orang yang sepertinya menginap di masjid, karena satu
jam sebelum azan berkumandang telah banyak orang duduk di masjid,
bahkan ada yang tertidur. Tapi tak apalah, yang utama bisa salat di
dalam masjid. Hari kedua, keberuntunganku untuk mendapatkan lokasi
strategis tak semulus sebelumnya. Dari lima kali salat mungkin hanya
dua sampai tiga kali saja bisa salat di dalam masjid. Selain itu, saya
salat di pelataran. Tak hanya di pelataran masjid, saya juga merasakan
salat di pelataran mal yang ada di depan Masjidil Haram. Sungguh
momen yang tak pernah terlupakan. Hari ketiga dan keempat, saya
mengalami hal yang sama seperti hari kedua.
Ini sungguh pengalaman yang sangat unik, merasakan salat di
berbagai tempat. Mulai dari lokasi paling dekat dengan Masjidil Haram,
pemegang kunci | 75
pelataran masjid di siang hari saat matahari sangat terik (meskipun
udara sejuk), dan juga salat di depan mal.
Ini baru permulaan, saat saya berada di tanah haram Mekkah, saya
juga pernah salat di tengah pasar. Tentunya pasar baju dan oleh-oleh,
jangan membayangkan seperti pasar yang kotor. Pasar baju dan oleh-
oleh di sini berubin dan tidak kotor. Parahnya lagi, saya salat tanpa
beralas sajadah. Ini juga pengalaman baru di kota ini.
Mungkin saya lebih beruntung dari teman satu rombongan, saya
salat di atas lantai dan sekitar lokasi tidaklah kotor. Teman saya
sempat salat di jalan raya tak jauh dari Masjidil Haram. Mungkin tak
masalah, namun lokasi salatnya berdekatan dengan bak sampah. Ya, tak
terlalu dekat memang, namun cukup dekat.
Di sinilah pengalaman unik yang saya dapat dan temukan.
Melakukan ibadah di berbagai lokasi sekitar masjid. Mungkin bagi
sebagian orang, tulisan ini hanyalah curhatan belaka yang mungkin
konyol dan tak berbobot. Tapi, bukankan di setiap cerita selalu ada ilmu
pemegang kunci | 76
yang bisa dipetik? Iya, memang, cerita ini telah membuat saya lebih
berhati-hati dalam bertindak. Karena hal yang saya dapat bukanlah hal
sepele. Saya bisa mengambil sebuah pelajaran, yang mana kita hidup di
dunia ini tak selalu mengalami kehidupan yang menyenangkan, mulus,
dan enak. Tapi kadang di satu sisi kita akan merasakan di mana kita
berada di bawah, merasa kurang nyaman, dan melalui jalan yang tak
mulus. Namun, semua itu bergantung pada kita, bersyukur adalah hal
yang terbaik walau kita berada di posisi mana pun.
pemegang kunci | 77
Peduli, Berbagi, dan Berkontribusi
(Arif S)
Menurut saya, mahasiswa adalah figur penuntun pendidikan, dan
pena sastra di Indonesia. Secara individu, saya merepresentasikan
sosok mahasiswa sebagai sosok penuntun pendidikan karena kami
sudah diberi kesempatan untuk menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi,
sehingga bekal ilmu yang kami miliki nantinya dapat direalisasikan ke
dalam bentuk kepedulian melalui peran penuntun pendidikan di
Indonesia ke arah yang lebih baik. Sedangkan, sosok pena sastra adalah
mereka yang bersedia menuliskan, berbagi, serta berkontribusi lewat
berbagai macam media seperti catatan harian, media sosial, atau
bahkan buku. Saya sendiri, adalah salah satu di antara berjuta
mahasiswa aktif yang sedang menuntaskan kewajiban menuntut ilmu di
tingkat perguruan tinggi.
Peduli adalah sebuah istilah yang tidak hanya difungsikan sebagai
ungkapan yang berarti rasa ingin menolong, berbagi kepada sesama.
pemegang kunci | 78
Namun, juga sebuah gerakan untuk nantinya dapat segera
direalisasikan. Pedulinya seorang mahasiswa adalah pedulinya mereka
terhadap masyarakat. Di masa kuliah yang sudah memasuki semester 4
ini, saya telah menyalurkan rasa kepedulian saya untuk mengabdi
kepada masyarakat melalui kegiatan saya sebagai guru les bahasa
Inggris tingkat SMP dan SMA. Meskipun saya bukan dari jurusan
pendidikan, namun bukan berarti saya tidak bisa mengajar dan berbagi
ilmu kepada mereka. Di samping itu, kegiatan lain yang sudah saya
lakukan sejauh ini adalah mengajar untuk anak-anak jalanan atau
marjinal di kawasan Jembatan Merah. Saya baru satu bulan ini aktif
sebagai pengajar di sana melalui sebuah komunitas yang saya temukan
di media sosial.
Kata “berbagi” saya artikan sebagai sebuah niat, usaha, dan
semangat untuk menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapat. Berbagi itu
tidak saling menuntut dan membatasi diri. Banyak orang yang sudah
salah tafsir dalam menyikapi mahasiswa yang memiliki kegiatan di luar
pemegang kunci | 79
kampus, padahal tidak seluruh kegiatan di luar kampus itu membawa
dampak negatif. Dalam kegiatan pengajaran untuk anak-anak jalanan di
Jembatan Merah, saya tidak hanya sekadar meluangkan waktu belajar,
bahkan saya ikut belajar banyak hal di sana, dari adik-adik yang tetap
riang walaupun mereka tidak selalu dibahagiakan orang tuanya. Tidak
ada hal berharga apa pun yang bisa saya berikan untuk mereka,
melainkan hanya waktu dan tenaga. Dan sejujurnya, mereka pun juga
tidak menuntut apapun dari saya. Wilda, adalah salah satu dari mereka.
Dia masih duduk di bangku SD kelas 4, namun saya akui bahwa
semangat belajarnya sangat tinggi.
“Kak, bikinkan soal Matematika, Kak. Yang kali-kalian, ambek bagi-
bagian itu lho kak. 10 soal, ya,” pinta Wilda pada hari pertama saya
mengajar.
Saya tuliskan beberapa soal, kemudian dia kerjakan dengan penuh
semangat. Sesekali ia bertanya pada saya bagaimana cara
menghitungnya. Hari itu, saya benar-benar tersentuh bahwa sebenarnya
pemegang kunci | 80
tidak perlu bermandikan gelar sarjana, master, ataupun profesor untuk
dapat mengajar dan menjadi guru. Ketika saya hendak pulang, hari
sudah mulai gelap dan hujan sudah turun cukup deras. Saya pun
berteduh di dekat motor saya untuk memasang jas hujan. Anak-anak
jalanan itu beralih menjadi para ojek payung yang siap memayungi
orang-orang yang hendak pulang dari JMP. Tiba-tiba dari belakang, saya
dikagetkan dengan seorang anak kecil yang memayungi saya ditengah
hujan. Datang tanpa alas kaki, tubuh basah kuyup sambil membawa
payung kecil yang sudah usang, memayungi saya di tengah hujan deras.
Setelah menoleh ke belakang, ternyata Wilda.
Dia dengan lugunya berkata, “Loh, Kak, masih di sini? Tak kira sudah
pulang. Ini, Kak, payung, nanti kehujanan.” Sungguh, terenyuh hati saya
saat itu. Di hari pertama saya mengajar, saya tidak merasa memberi
apa-apa namun mereka telah dengan mudahnya mengingat saya di
tengah ramainya orang berlarian untuk berteduh. Hari itu benar-benar
hari yang tidak akan saya lupakan.
pemegang kunci | 81
Berkontribusilah yang kemudian menjadi motif utama saya untuk
tetap mengajar. Berkontribusi di sini merupakan sebuah tindakan
konsisten terhadap komitmen yang sudah saya buat. Saya punya
keterbatasan, baik dalam hal waktu, tenaga, dan ilmu. Namun, saya
yakin bahwa di setiap batas yang saya miliki, ada juga harapan dan
mimpi yang harus saya kejar. Saya masih muda, saya masih mau bekerja
keras.
Saat saya merasa lelah mengajar, sosok ibu adalah yang kali
pertama muncul. Ibu mengajarkan saya untuk tidak manja, harus tetap
survive dalam menghadapi situasi sulit. Beliau semangat saya, sosok
kuat, tegar, yang sampai saat ini sudah membahagiakan anaknya.
Kontribusi beliau pada dunia pendidikan membuat saya ingin terus
mengajar dan belajar.
pemegang kunci | 82
Membuat Hidup Lebih Berarti
(Azhar S)
Apa yang membuat hidup menjadi lebih berarti? Apakah dari
bagaimana cara kita dicintai? Atau karna harta yang kita miliki?
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan dan
tidak pernah dijawab karena memang jawabannya tidak untuk
diberitahukan melainkan untuk direnungkan. Aku mendapatkan jawaban
dari pertanyaan itu saat aku berumur 9 tahun dan mulai membuat hidup
yang lebih berarti.
Semua di mulai saat menginjak kelas 3 SD pada umur 8 tahun.
Semua teman sebayaku membenci dan mengolok-olokku hanya karena
sebuah kekurangan. Aku menderita kelainan aneh yang disebut
hyperhidrosis, kondisi di mana seseorang akan sangat mudah
berkeringat pada bagian tertentu dan pada kasus ini terjadi di seluruh
bagian tubuhku. Setiap hari kebencian yang terpendam tidak semakin
padam namun semakin menggila. Memiliki satu kekurangan membuatku
pemegang kunci | 83
menjadi orang yang membenci segalanya, termasuk Tuhan.
Ejekan dan perkelahian kerap menghiasi pagi dan soreku. Tiap hari di
sekolah pekerjaanku hanya berkelahi dengan teman sebaya. Dengan
ketrampilan beladiri yang diajarkan oleh orang tuaku sejak aku berumur
4 tahun dan postur tubuh tegap dan besar, aku tak pernah kalah sekali
pun dalam tiap perkelahian. Hampir setiap hari masuk ruang BK karena
berkelahi dengan teman satu sekolah. Tetapi pihak sekolah tidak pernah
berani memanggil orang tuaku karena beliau adalah salah satu orang
yang berpengaruh di sekolahku. Aku tidak tahu apakah aku sangat
beruntung atau sangat tidak beruntung karena semua kejadian ini.
Semua guru mulai membenciku karena kelakuan tidak terpujiku
tetapi tetap tidak melakukan apa pun karena ya itu tadi, orang tuaku.
Saat aku masih kelas 1 SD, tiap pagi ada satu atau lebih guru yang
menyapa karena beranggapan anak orang baik akan menjadi orang baik.
Meskipun telah menyadari bahwa aku telah mengecewakan banyak
orang, mundur bukanlah sebuah pilihan untukku. Guru atau siapa pun
pemegang kunci | 84
tidak akan pernah mengubah keputusan yang telah aku buat saat itu.
Jalan yang telah diambil menuntunku dalam kenyataan pahit yang
harus kulalui. Tiap hari bukan membaik tapi malah memburuk. Aku mulai
menyadari kalau aku tidak memiliki teman sama sekali. Hidup sendiri
bukanlah hal yang baru untukku tapi merasa sendiri bukanlah hal yang
bisa diterima. Dahulu meskipun aku tidak punya teman aku masih
memiliki musuh-musuhku, tapi sekarang aku benar-benar sendiri. Tanpa
teman. Tanpa musuh.
Setelah menginjak 5 SD, aku semakin menggila. Merasa tidak
memiliki musuh di sekolahku, aku mulai mencari lawan di sekolah lain.
Tawuran adalah pilihan yang aku ambil untuk mengisi kekosongan
hariku. Mulai mencari sekutu untuk diajak tawuran dan mulai menyulut
masalah untuk mencari pembenar melakukan tawuran. Dalam
melakukan tawuran, hampir tidak mungkin seseorang tidak
mendapatkan luka sama sekali. Begitu juga dengan yang aku alami.
Mengetahui pulang dalam kondisi babak belur, orang tuaku mulai
pemegang kunci | 85
bertanya-tanya apa yang telah aku alami. Tanpa sepatah kata pun aku
beranjak ke kamarku dan tidak menghiraukan kalimat orang tuaku.
Mereka mulai mencari tahu apa yang aku lakukan dari dulu sampai
sekarang. Tak perlu waktu yang lama, kedua orang tuaku telah
mengetahui semua kenyataannya. Bahwa semua akar permasalahan
terletak pada kekuranganku yang tak pernah bisa kuterima.
Mengetahui hal itu orang tuaku hanya diam dan memberiku waktu
merenung sejenak. Tidak dimarahi, tidak dipuji. Tidak dinasihati, tidak
dicaci maki. Sampai pada satu hari mereka merasa kalau waktu
merenungku sudah cukup. Beliau mulai melakukan sesuatu padaku.
Bukan menasihati ataupun memarahi, tetapi hanya mengajakku
berkeliling kota seperti sedang bersantai. Ternyata orang tuaku hanya
ingin menunjukan sesuatu padaku.
Orang tuaku membawaku ke sebuah tempat yang jauh dari
keramaian dan gemerlap dunia malam di perkotaan. Tidak ada
berandalan yang suka membuat onar dan kendaraan yang berlalu lalang.
pemegang kunci | 86
Hanya ada masjid dan beberapa rumah kecil sejauh mata memandang.
Terlihat jelas bahwa banyak anak kecil di sini, tapi ada sesuatu yang
aneh dari tempat ini. Setelah aku menoleh ke belakang, aku sadar
bahwa ini adalah panti asuhan. Bukan panti asuhan biasa namun panti
asuhan untuk orang berkebutuhan khusus.
Orang tuaku membawaku ke sini untuk menyadarkanku bahwa aku
sangat kaya saat ini. Dilahirkan dengan kondisi kedua tangan dan kaki
yang sangat sempurna harusnya telah membuatku jauh lebih bersyukur
ketimbang harus membenci semuanya hanya karena keringat yang sama
sekali tidak mengganggu. Memiliki penglihatan seharusnya digunakan
untuk melihat jalan cahaya, bukan keburukan manusia dan jalan menuju
ke sana. Memiliki akal dan pikiran yang sehat sempurna seharusnya
menjadikanku sebagai manusia dengan akhlak yang baik bukan seorang
pembuat onar yang dibenci semua orang dan membenci semua orang.
Menyadari akan apa yang telah kuperbuat adalah hal yang salah, aku
mulai membuka lembaran baru dan menghapus semua jalan yang telah
pemegang kunci | 87
kuambil. Setelah orang tuaku membawaku ke sana, aku mulai
memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Melupakan tentang semua
sumpahku dahulu yang hanya membawaku pada keburukan. Berjanji
tidak akan menggunakan kekerasan kalau memang tidak terpaksa.
Hidup manusia hanya akan menjadi lebih berarti jika dia melihat apa
yang dia miliki daripada harus kecewa akan apa yang tidak dia miliki.
Jawaban inilah yang membuat hidup seseorang jauh lebih berarti.
Karena manusia makhluk bernafsu yang tidak pernah puas, kekosongan
hati dalam hidup manusia hanya dapat diisi dengan bersyukur dan
bersujud kepada Tuhan yang Maha Esa. Manusia diciptakan dalam wujud
yang paling sempurna karena di balik kelebihan pasti ada kekurangan
dan di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Mulailah bersyukur karena
sesungguhnya, syukurlah yang membuat hidup lebih indah di saat susah
maupun senang dan berhentilah mengeluh karena seungguhnya
mengeluhlah yang membuat hidup lebih merana.
pemegang kunci | 88
Pengakuan Sederhana
(Diana A)
Kalbumu itu lebih kuat dari semua anggota badanmu.
Adalah sebuah kalimat yang telah terukir jelas dan tertanam dalam
pikiranku bahkan ketika mataku terpejam dalam kelelahan, hanya
rangkaian kata itu yang dapat menguatkanku. Sebuah kalimat biasa
yang terdengar dari seseorang dengan jalan hidup yang menakjubkan.
Terdengar berlebihan memang, tapi kalimat biasa itu yang ternyata telah
menyihir dan mengubahku menjadi lebih baik, dan secara mengejutkan
juga telah mengubahku menjadi lebih buruk. Entah sejak kapan kalimat
itu mulai aku percayai, menuntunku, namun juga menjerumuskanku.
Semuanya dimulai ketika aku melamun di kelas, menggenggam
sebuah bolpoin yang menghadap dan bertegur sapa dengan selembar
kertas penuh dengan gambar yang mencerminkan kebosanan dan di
saat itu juga ada seseorang yang menjelaskan materi di depan kelas
dengan gaya unik serta penuh rasa humor telah berhasil membuyarkan
pemegang kunci | 89
lamunanku saat seseorang itu melontarkan kalimat, “Kalbumu itu lebih
kuat dari semua anggota badanmu, ketika badan dan pikiranmu mulai
lelah tetapi kalbumu mengatakan kau bisa melakukannya, maka semua
akan bergerak dengan lincahnya seperti ada yang menggerakkan tanpa
disadari.” Kurang lebih seperti itu inti perkataan beliau. Dan seseorang
yang menjelaskan materi di depan kelas itu bukanlah seseorang yang
biasa dengan perawakan sederhananya, seperti yang aku sebutkan
sebelumnya bahwa beliau adalah seseorang yang jalan hidupnya dapat
menginspirasiku, bahkan membuatku bersyukur lahir di zaman modern
tanpa mengalami banyak keresahan yang melelahkan. Semula aku tidak
memercayai perkataan beliau karena kalimat itu terdengar begitu
religius di telingaku dan mungkin tidak akan ada efeknya terhadap orang
macam diriku. Tapi anehnya, secara tidak sadar aku membuktikannya
sendiri. Setiap hal yang harus kuhadapi sendiri, baik masalah, beban,
ataupun kewajiban-kewajiban yang sebelumnya hanya pikiran dan
tenagaku yang aku gantungkan maka yang terjadi hanyalah mengeluh
pemegang kunci | 90
dan mengucap beribu kata bahwa aku sepertinya lelah, aku mulai malas,
bisakah itu diselesaikan nanti? Kehilangan semangat dan harapan
meskipun berbagai doa telah aku panjatkan kepada Pemilikku untuk
membantu. Di situlah kalimat itu menutunku, membuktikan perbedaan
yang signifikan dan tanpa disadari aku benar-benar menyukai serta
bergantung pada kalimat itu.
Entah sejak kapan pula mantra yang aku ucap pada kalbuku bahwa
aku bisa melakukan dan menghadapi semua membuat semuanya
nampak lebih mudah dan seakan-akan telah memberiku dorongan untuk
tetap bertahan. Menuntunku untuk tetap menyelesaikan apa pun dengan
pasti walaupun aku mengerjakannya perlahan-lahan dan kemudahan itu
aku dapatkan seperti memenangkan undian setiap saat karena setiap
hal kecil maupun besar dapat terlewati bahkan seperti tidak terjadi,
seperti mengalir dengan sendirinya tanpa perlu repot-repot membuat
hilir. Meskipun aku tahu mungkin di luar sana ada orang lain harus
mengemban beban yang lebih berat dariku, tetapi aku merasa lebih baik
pemegang kunci | 91
dan lebih percaya diri dari sebelumnya. Aku benar-benar merasa bisa
melakukan semua dan itu lebih mudah dari yang aku pernah bayangkan.
Lama-kelamaan kemudahan yang aku dapat menimbulkan sebuah
kecurigaan dan keanehan.
Aku merasa ada sesuatu yang kurang dan begitu mengganjal tetapi
aku tak bisa menemukan keanehan itu. Seperti ada sesuatu yang hilang.
Sesuatu yang kurang. Sesuatu yang seharusnya ada tetapi terasa
kosong. Dan aku mulai merasakannya ketika aku percaya, ketika aku
yakin, tetapi semuanya berubah seolah-olah aku harus memperpanjang
masa aktif keyakinan itu dulu untuk mempertahankannya. Kemudahan
itu juga seperti berhenti dengan tiba-tiba atau bahkan menghilang. Apa
pun yang ingin dan harus kulakukan seakan semakin sulit diwujudkan.
Apa yang seharusnya bisa aku lakukan dengan mudah malah memiliki
hasil yang buruk, bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah kegagalan
yang aku dapat. Lalu bagaimana dengan hal yang di luar batasku? Tentu
saja semakin berat dan tidak mungkin diwujudkan. Dan ini berlangsung
pemegang kunci | 92
lama, bahkan lebih lama dari keberhasilan keyakinan itu. Berbagai
pertanyaan menyerang benakku, apa yang salah dengan keyakinanku,
apa ada yang salah denganku ataukah cara pandangku? Apa benar
kalimat yang terdengar religius itu memang tidak akan mempan kepada
manusia semacam diriku? Apakah kemudahan ini membuatku lupa siapa
aku? Bahkan berbagai pertanyaan tentang tiap langkah yang aku ambil,
semuanya menjadi pertanyaan tanpa mendapat jawaban.
Tanpa sadar, perlahan aku mulai mengingat setiap langkah itu dan
mendapat jawaban yang tak terduga dari kalbuku sendiri. Ternyata aku
terlalu terlena dengan semua kepercayaan itu. Keyakinan itu telah
menjerumuskanku dalam ketenangan tanpa usaha, tanpa aksi yang
berarti, karena aku yakin aku pasti bisa tetapi aku tak melakukan apa-
apa, tak beranjak untuk melakukan usaha dan selalu meyakini
kemudahan yang pernah aku dapat sebelumnya. Aku terlalu terpaku
dengan keyakinan itu, menjadi orang sombong yang meremehkan semua
hal yang ada di hadapanku, kewajibanku ataupun masalahku, bahkan
pemegang kunci | 93
hakku, aku merasa tak perlu ambil pusing untuk memikirkan atau
merenungkan itu semua karena biasanya kemudahan itulah yang
menyelesaikannya. Aku menjadi lebih malas, lebih memilih menunda
setiap tugas yang harus aku lakukan, bahkan lebih memilih
menyelesaikannya ketika aku baru memunyai alasan untuk
menyelesaikannya.
Aku menjadi sadar, bukan kalimat atau kepercayaan itu yang
menjerumuskanku, yang membuatku seolah berjalan di tempat yang
sama, atau bahkan mengiming-imingiku kemudahan, tetapi karena aku
percaya tapi aku tak berusaha. Aku yang merusak keindahan arti kalimat
itu, mengubah maknanya menjadi tak bermakna, malah menyesatkan.
Sebuah sifat buruk manusia karena ego. Seharusnya tidak akan seburuk
ini jika aku melakukan sesuatu, mengusahakannya, dan
menyelesaikannya. Dari situ aku harus mulai berubah, aku akan
meyakini, melakukan, dan mengusahakan. Mengubah arti kalimat itu
agar lebih bermakna dan tidak membuat seseorang yang mengucapkan
pemegang kunci | 94
kalimat itu menyesal karena seorang muridnya telah menyia-nyiakan
serta menyesatkan tujuan kalimatnya.
pemegang kunci | 95
Orang yang Direndahkan
(Mas A)
Mungkin bagi semua orang, lulus dari SMA adalah saat-saat di mana
kita beranjak menggapai cita-cita dan waktu untuk mencari jati diri
masing-masing. Setelah upacara kelulusan semua orang pasti sudah
memunyai target apa yang akan dilakukan setelah itu. Mendapat
dukungan dari teman, sahabat, keluarga, guru-guru adalah hal yang
sangat membahagiakan dan menjadi motivasi besar bagi seseorang
yang baru saja mendapat ijazah sekolah menengah atas. Hal itu
mungkin terjadi pada semua orang tetapi tidak bagi saya.
Sekitar 2 tahun lalu, saya mendapat sebuah pengalaman yang
membuat saya sangat depresi untuk waktu yang lama. Pada saat saya
memutuskan untuk masuk jurusan Sastra Inggris dan
memberitahukannya kepada seorang guru yang sangat saya kagumi agar
mendapat masukan, tetapi ia tidak mendukung saya malah kaget
mendengar kata-kata yang saya ucapkan. Hal itu mungkin terjadi karena
pemegang kunci | 96
ia melihat masa lalu saya di SMA yang menjadi seorang murid sangat
nakal dan sangat malas. Kejadian seperti itu pastinya membuat mental
seseorang down dan juga menghapuskan semua semangat dan rasa
percaya diri seorang siswa.
Kejadian yang menimpa saya itu saya ceritakan kepada sahabat
saya yang selalu menemani saya sejak kecil. Tidak mendapat jawaban
yang memuaskan justru dia mengeluarkan kata-kata yang tidak saya
sangka akan keluar dai mulutnya, “Kamu kuliah buat apa, Wis? Cuma
nyari ijazah aja kan, ijazah bisa beli.” Mendengar itu justru menambah
beban kepala dan membuat saya hampir putus asa untuk kuliah. Setelah
kejadian itu, saya memutuskan untuk membuktikan bahwa saya bisa
masuk univeritas negeri di jurusan Sastra Inggris. Saya mulai
membiasakan diri untuk belajar, karena saat masih duduk di bangku
SMA, jangankan belajar, membaca buku saja tidak. Mulai mengubah
kebiasaan-kebiasaan buruk dan mulai membiasakan untuk lebih yakin
pada kemampuan sendiri, itu yang saya lakukan setelah mendapat
pemegang kunci | 97
cemooh dari orang-orang yang saya kira tidak akan pernah melakukan
itu pada saya.
Saya berjanji kepada diri saya untuk berubah, agar mereka-mereka
yang telah mencemooh saya, tahu siapa sebenarnya saya dan
membuktikan apa yang saya impikan ini tidak semata-mata mimpi
belaka. Saya berterima kasih kepada mereka-meraka berkat cemoohan
dan tindakan mereka justru membuat saya semakin bersemangat untuk
menggapai impian saya dan allhamdulillah saya bisa di terima di Unesa
di jurusan S1 Sastra Inggris.
Tidak hanya di situ, pada saat saya akan melegalisir ijazah ke SMA,
saya bertemu dengan beberapa teman SMA yang datang ke sana, ada
beberapa yang hanya sekedar mampir dan ada beberapa yang sama-
sama akan melegalisir ijazah. Kami berbincang-bincang sambil
menunggu legalisir ijazah, kami mulai bertanya satu sama lain tentang
apa yang kami lakukan setelah lulus dari sana. Pada saat mereka
bertanya kapada saya untuk apa saya melegalisir ijazah, saya menjawab
pemegang kunci | 98
dengan jujur,
“Untuk daftar ulang kuliah.”
“Kamu masuk universitas mana dan jurusan apa, Wis?”
“Unesa, Sastra Inggris.” Mendengar saya masuk jurusan Sastra
Inggris, mereka seakan tidak percaya apa yang saya katakan dan
meraka mengira saya hanya bercanda. Saya menyadari, mungkin mereka
terkejut melihat saya yang sekarang karena mereka hanya mengenal
saya di masa lalu dan hanya mengenal keburukan saya yang saya
lakukan dulu bersama mereka. Mungkin karena saya sudah pernah
mengalami kejadian yang sama seperti ini, saya hanya menganggapinya
biasa saja.
Meskipun kita mendapat hinaan dari seseorang, mari kita ambil sisi
positifnya saja karena dengan mengambil sisi positif dari hal itu kita
dapat mengubah diri kita lebih baik lagi. Anggap saja kata-kata mereka
sebagai kekuatan bagi kita untuk mencapai apa yang kita impikan dan
apa yang bagi mereka adalah hal yang sia-sia. Kita tidak perlu membalas
pemegang kunci | 99
mereka dengan hinaan yang sama, tetapi balas dengan tindakan yang
membuktikan bahwa mereka salah menilai dan itu semua akan menjadi
bumerang bagi mereka-mereka. Janganlah takut untuk melakukan
sesuatu yang kita anggap benar, “Just do it and never give up.”
Meskipun tidak ada orang yang mendukung kita, masih ada Tuhan yang
selalu ada untuk kita.
pemegang kunci | 100
Sulitnya Masuk Kuliah
(Ratna L)
Sepanjang hidupku, aku belum pernah mengalami kejadian yang
menurutku merupakan pengalaman yang sangat menginspirasi. Oleh
karena itu, jika disuruh untuk menceritakan tentang pengalaman yang
menginspirasi, aku sedikit kesulitan menulisnya. Dan aku juga belum
terlalu suka menulis jadi tulisanku mungkin belum bisa dikatakan
sebagai tulisan layak karena aku masih dalam tahap belajar. Pada
kesempatan ini aku akan menceritakan sebuah pengalaman yang
menjadi salah satu momen terpenting dalam hidup. Mungkin ini bukan
pengalaman yang bisa menginspirasi orang lain, tapi setelah melewati
peristiwa ini aku mendapat pelajaran untuk bisa menerima kenyataan
yang ada walaupun itu pahit. Cerita ini tentang kesulitanku untuk bisa
kuliah di tempat yamg aku inginkan, dimulai dari seleksi SNMPTN yang
mengecewakan, seleksi SBMPTN yang aku ikuti setengah hati, juga
keinginan besarku untuk kuliah di STAN, hingga akhirnya keputusanku
pemegang kunci | 101
untuk kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa.
Seleksi pertama yang harus aku lalui untuk bisa kuliah adalah
SNMPTN. Pada seleksi ini aku sangat optimis bisa lulus, karena aku
sudah mendapatkan saran dari guru-guruku di SMA tentang jurusan apa
yang sesuai denganku dan universitas mana saja yang bagus. Aku
memilih Universitas Airlangga sebagai prioritas utama di mana aku ingin
kuliah, karena universitas ini merupalan salah satu universitas terbaik
di Jawa Timur. Sedangkan untuk jurusan, karena aku sangat suka
pelajaran Matematika, aku memilih jurusan Manajemen sebagai prioritas
utamaku dan jurusan Matematika di urutan kedua. Pada saat hasil
seleksi diumumkan, aku tidak mengira akan gagal karena banyak
teman-temanku yang sudah melihat pengumumannya dan bisa lulus
seleksi. Aku melihat pengumuman itu dengan perasaan senang karena
mendengar kabar dari mereka. Tapi kenyataan berkata lain, dalam
pengumuman itu tertulis,
pemegang kunci | 102
"Maaf anda tidak lulus seleksi."
Seketika itu juga perasaanku menjadi campur aduk, antara sedih,
marah, takut, bingung, dan perasaan lain yang berkumpul menjadi satu
berebutan untuk keluar dan mencari sasaran melampiaskannya.
Perasaan sedih karena tidak bisa diterima di tempat yang aku inginkan,
ada juga perasaan marah karena melihat teman-temanku yang biasanya
di sekolah mendapat nilai di bawahku bisa lulus, sedangkan aku harus
bisa bersabar karena tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan.
Tapi aku tetap berusaha tegar dan menata kembali perasaanku untuk
mengikuti seleksi lain agar bisa kuliah.
Seleksi lain yang aku ikuti untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri
adalah SBMPTN. Seleksi ini sedikit berbeda dengan SNMPTN, jika
SNMPTN hanya menggunakan nilai rapor, SBMPTN menggunakan tes
tulis. Dalam seleksi ini, aku tidak terlalu berharap banyak karena terlalu
kecewa dengan hasil SNMPTN. Jurusan yang aku pilih pun sebenarnya
bukan aku sendiri yang memilih, salah satu teman baikku
pemegang kunci | 103
memilihkannya untukku karena aku sudah malas untuk memilih. Dia
memilihkan jurusan Sastra Inggris di Unesa, menurutnya aku cukup baik
dalam pelajaran bahasa Inggris. Sedangkan pilihan lainnya, dia
memilihkan jurusan yang sama seperti saat SNMPTN yaitu Manajemen
dan Matematika tapi di UM (Universitas Negeri Malang). Aku memilih UM
karena ini adalah universitas di mana kakakku sedang menempuh gelar
S1 Teknik Sipil. Aku berpikir jika kuliah di tempat yang sama dengan
kakakku, akan mempermudah keadaanku. Untuk tempat tes, aku juga
memilih di Malang, walaupun lebih jauh daripada Surabaya, tapi aku
tidak mau ribet dengan tempat tinggal selama tes, karena tes ini
dilangsungkan selama dua hari. Sebelum tes berlangsung aku tidak
terlalu banyak belajar, aku hanya mengerjakan ulang soal tryout SBMPTN
yang pernah aku ikuti. Saat tes berlangsung, aku hanya mengerjakan
soal yang bisa kujawab, banyak yang tidak aku kerjakan karena malas
untuk berpikir terlalu keras. Selagi menunggu hasil SBMPTN keluar, aku
mencoba mengikuti seleksi lain, yaitu USM STAN.
pemegang kunci | 104
USM STAN atau Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Administrasi
Negara merupakan ujian yang sangat ingin aku ikuti. Sejak SMP, aku
sudah memunyai cita-cita untuk bisa masuk STAN. Keinginan ini muncul
karena salah satu guru SMP-ku memunyai anak yang kuliah di sana,
beliau sering bercerita tentang anaknya dan bagaimana atmosfer
perkuliahan di STAN. Cerita-cerita beliau menginspirasiku untuk belajar
lebih giat lagi agar bisa diterima di STAN. Untuk mewujudkan mimpiku
itu, aku mulai membeli banyak buku tentang USM STAN, mengikuti
tryout USM, dan mempelajari soal-soal USM tahun-tahun sebelumnya.
Untuk mengikuti USM, aku harus melewati banyak tahap yang menguras
tenaga dan pikiran. Mulai dari pendaftaran online yang sangat sulit
diakses, kemudian tahap verifikasi data yang diselenggarakan pada hari
pertama puasa Ramadan, tahap ini sangat melelahkan karena aku harus
menunggu dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang karena banyaknya orang
yang mendaftar. Untung saja cuaca tidak terlalu panas karena berada di
Malang. Tahap selanjutnya adalah tes tulis USM, tes dilaksanakan
pemegang kunci | 105
sekitar dua pekan setelah verifikasi data. Walaupun sedang puasa aku
mengerjakan tes ini dengan sungguh-sungguh dan berharap bisa lulus
sehingga dapat lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu tes kesehatan.
Setelah selesai mengikuti USM STAN, hasil SBMPTN diumumkan. Hasil
yang aku peroleh tidak terlalu membahagiakan, aku lulus seleksi dan
diterima di jurusan Sastra Inggris Unesa. Sebenarnya aku tidak berminat
kuliah di Unesa, jadi aku tidak langsung memberi tahu orang tuaku
tentang hasil ini. Aku berharap bisa lulus USM STAN sehingga tidak perlu
kuliah di Unesa.
Hari-hari menunggu pengumuman seleksi STAN adalah waktu paling
menyiksa, perasaan khawatir muncul, kalau aku tidak mengambil hasil
SBMPTN dan ternyata aku tidak masuk STAN juga, berarti aku tidak bisa
kuliah dan jalan satu-satunya adalah ikut ujian mandiri atau SPMB
seperti yang dilalui kakakku. Aku berpikir jika ikut SPMB pasti akan
sangat membebani kedua orang tuaku karena biaya kuliah jalur SPMB
sangat mahal. Dengan perhitungan itu akhirnya aku mengambil hasil
pemegang kunci | 106
SBMPTN dan melakukan daftar ulang di Unesa sambil menunggu hasil
seleksi STAN diumumkan. Kedua orang tuaku pun menyetujui
keputusanku jika aku bisa lulus masuk STAN, aku bisa melepaskan
kuliah di Unesa.
Hari pengumuman USM STAN pun tiba, perasaan khawatir tidak lulus
semakin bergejolak di hatiku. Karena ketakutan itu, aku tidak berani
melihat hasilnya dan menyuruh temanku yang juga mendaftar di STAN
untuk melihatnya. Betapa hancur hatiku mendengar kabar dari temanku,
kami berdua tidak lulus seleksi. Ternyata kekhawatiranku selama ini
benar, beruntung aku punya keluarga yang bisa menenangkan perasaan
sedihku karena kegagalan yang kedua kalinya untuk bisa kuliah di
tempat yang benar-benar aku inginkan. Orang tuaku memberi tiga pilihan
untukku, pilihan pertama aku meneruskan kuliah di Unesa tapi aku tetap
bisa mendaftar di tempat lain tahun depan, pilihan kedua aku bisa tidak
kuliah tahun itu dan mendaftar lagi tahun depan, sedangkan pilihan
ketiga aku bisa mendaftar di universitas lain lewat jalur SPMB. Dari
pemegang kunci | 107
ketiga pilihan yang diberikan orang tuaku, aku memilih pilihan pertama
setelah mempertimbangkan banyak hal. Aku memutuskan untuk tetap
kuliah di Unesa walaupun dengan setengah hati daripada aku harus
menganggur setahun atau ikut SPMB yang biayanya bisa berlipat ganda
dari jalur SBMPTN. Pertimbangan lain karena jika aku tidak betah kuliah
di Unesa aku bisa mendaftar di universitas lain tahun depan.
Bulan-bulan pertama kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa aku lalui
dengan keterpaksaan, tapi seiring berjalannya waktu aku bisa
melaluinya dengan perasaan senang karena teman-teman yang banyak
dan sangat ceria. Mereka adalah alasanku untuk tetap bertahan di
Unesa sampai tahun berikutnya. Setelah satu tahun berlalu keinginanku
untuk keluar dari sana pun menghilang, akhirnya aku putuskan untuk
tetap kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa. Aku menyadari mungkin
Allah telah memberikan jalan lain untukku. Memang benar orang bilang,
"Manusia boleh merencanakan tapi Tuhan menentukan."
pemegang kunci | 108
Perubahan Itu Perlu
(Rafika Y)
Perubahan itu bukan hal yang mengerikan, meski memang, tidak
semua orang bisa menerimanya begitu saja. Aku memulai, ingin memulai
jadi pribadi yang baru, yang lebih baik. Dimulai dari mengikuti kegiatan
organisasi yang tidak pernah aku ikuti selama bersekolah memakai
seragam. Bersikap berbeda dengan orang-orang di sekelilingku, bersikap
jadi lebih ramah dan lebih peduli dengan keadaan sekitar.
Pendaftaran panitia PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus
Mahasiswa Baru) 2014 dibuka. Aku tertarik untuk ikut menjadi panitia.
Hanya perlu menyerahkan selembar formulir dan foto 3x4, tanpa ba-bi-
bu, aku bersama teman-teman sekelas lainnya diterima menjadi panitia.
Aku dan salah seorang teman ditempatkan di sie konsumsi.
Di hari pra-PKKMB, tugas yang aku dapatkan masih dibilang ‘mudah’.
Aku dan salah satu teman sekelas ini hanya perlu meletakkan roti dan
air mineral di meja dosen-dosen yang akan menjadi pembicara di acara
pemegang kunci | 109
pembukaan PKKMB ini. Lalu, kerja sesungguhnya dimulai, selama enam
hari PKKMB itu. Setiap hari selama enam hari, aku dan teman-teman
panitia lainnya diharuskan sudah siap di kampus lebih awal dari peserta
PKKMB, yaitu pukul 04.30. Setiap hari selama enam hari itu juga, aku
dan teman-teman panitia lainnya baru pulang dan beristirahat pada
pukul 20.00 atau bahkan lebih dari itu. Pekerjaan tanpa uang ini benar-
benar melelahkan tenaga, pikiran, dan batin.
Ada beberapa kejadian dalam kegiatan ini yang secara tak langsung
mengubahku, mengubah pola pikirku. Salah satu kejadian itu adalah
saat aku dan temanku diminta untuk membeli roti dan air mineral untuk
diletakkan lagi di meja dosen-dosen. Koordinator sie konsumsi meminta
kami untuk membeli roti dus dan air mineral masing-masing sepuluh
buah. Tak lama kemudian dia meminta kami untuk membeli tambahan
dua buah lagi untuk masing-masingnya. Kemudian, baru beberapa menit
kami memarkir sepeda motor, salah seorang dari sie kesekretariatan
menyuruh koordinator sie konsumsi untuk membeli lagi tambahan
pemegang kunci | 110
sebanyak tiga buah untuk masing-masingnya. Koordinator kami lagi-lagi
meminta kami membelinya. Merasa bingung dan kesal sebenarnya.
Bukankah seharusnya anggota sie kesekretariatan itu tidak berhak
menyuruh kami ataupun koordinator kami? Ada yang salah dalam
koordinasi komunikasi di sini. Tapi yang nampak adalah koordinator kami
bahkan tidak peduli dengan kami yang kelelahan karena harus bolak-
balik. Dari kejadian itu, saya sadar akan tiga hal: Pertama, kita tidak
patut untuk ikut campur urusan atau pekerjaan orang lain. Apalagi bila
itu memang bukan hak atau kewajiban kita untuk menyuruh ataupun
mengatur mereka. Kedua, pemimpin yang baik seharusnya bisa tegas
dan punya pendirian pada apa yang menjadi kewajibannya, bukan tiba-
tiba seenaknya menuruti apa kata orang lain. Dan yang ketiga, aku sadar
bahwa manusia memang memunyai beragam karakter dari yang baik
sampai yang menyebalkan. Yang sebaiknya kita maklumi, untuk sabar
atas perbuatan mengesalkan mereka, setidaknya mengingatkan bahwa
yang mereka lakukan tidak sesuai dan merugikan orang lain.
pemegang kunci | 111
Merasa tak cukup “baru mencoba ikut berorganisasi”, aku mengikuti
lagi pendaftaran panitia untuk ospek jurusan di jurusanku, Bahasa
Inggris yang bernama English Leadership Training (Elit). Kali ini,
‘pekerjaan’ yang aku dapatkan lebih menantang. Aku terpilih menjadi
salah satu anggota sie pemandu, yang bertugas membimbing
mahasiswa-mahasiswa baru agar menjadi lebih mandiri, bertanggung
jawab, juga cekatan.
Sebelum acara yang sebenarnya dilaksanakan, aku dan teman-
teman panitia sie pemandu lainnya mengadakan simulasi, yaitu latihan
menghadapi anak-anak. Kami mengadakan acara buka puasa bersama di
bulan Ramadan yang lalu dengan beberapa anak-anak yatim piatu dari
yayasan panti asuhan Tumpuhan Harapan. Anak-anak yang kami hadapi
ini sebenarnya berbeda dalam segi usia. Karena anak-anak dari panti
asuhan rata-rata usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Sedangkan untuk kegiatan ospek jurusan nantinya, kami akan
menghadapi anak-anak yang usianya hanya berbeda satu tahun lebih
pemegang kunci | 112
muda dari kami. Tetapi meski begitu, aku senang karena untuk kali
pertama bisa menghibur mereka dengan sedikit mengajari beberapa
vocab di bahasa Inggris dan hal-hal kecil lainnya. Setidaknya dari
simulasi ini, aku berlatih tentang bagaimana membangun suasana yang
menyenangkan dalam suatu kelompok.
Hari berganti hari, tidak terasa kegiatan ospek jurusan pun dimulai.
Diawali dengan gathering sebanyak tiga kali. Dengan tujuan untuk lebih
mendekatkan pertemanan para mahasiswa baru sekaligus untuk
pengenalan di jurusan bahasa Inggris. Dengan menjadi salah seorang
anggota sie pemandu ini, aku lebih senang menempatkan diri sebagai
teman mereka, bukan sebagai kakak kelas atau apa pun itu. Aku
menganggap mereka sebagai teman baru yang membutuhkan semua
info tentang hal-hal di jurusan. Dari situ, kelompok 18 yang aku bimbing
ternyata menjadi kelompok yang menyenangkan, anggotanya bersikap
kritis, bertanggung jawab, dan juga kompak. Aku senang karena bisa
menumbuhkan suasana yang menyenangkan di kelompok ini.
pemegang kunci | 113
Di samping itu, keeratan hubungan antar panitia Elit 2014 pun juga
terjalin sangat baik. Kami semua sudah seperti keluarga besar. Senang,
terharu, pertengkaran, perdebatan, menjadi makanan sehari-hari kami
yang ternyata membuahkan hal manis berupa pertemanan yang semakin
erat. Satu semester lebih kami bersama untuk mempersiapkan kegiatan
ini. Dimulai dari kegiatan training untuk semua panitia, rapat yang ada
seperti tak ada habisnya, latihan simulasi yang terus-menerus.
Seperti candu yang susah hilangnya, ada keinginan untuk terus ikut
berorganisasi. Ternyata, aku nyaman dengan diriku yang sekarang. Aku
nyaman dengan diriku yang lebih ramah, lebih peduli dengan keadaan
sekitar, dan juga lebih suka menjalin hubungan pertemanan dengan
banyak orang. Seperti ada kesenangan tersendiri di dunia perkuliahan
ini.
Pengalaman yang aku tulis ini membuatku berpikir, bahwa semua
hal pasti ada gunanya dalam hidup, bahwa pengalaman itu akan
mengajarkan sesuatu tentang kehidupan, bahwa perubahan itu perlu.
pemegang kunci | 114
Sembari curhat, aku yakin bila tulisan ini membuatku teringat akan
memori dalam hidupku, serta membuatku terinspirasi. Dan aku harap
dari tulisan ini juga, orang lain juga akan terinspirasi, bahwa semua yang
ada di kehidupan ini tidak ada yang sia-sia.
berkawan terang
“Tanpa teman, mungkin tidak tahu
seperti apa bentuk ketulusan dan kepercayaan.”
berkawan terang | 115
dua
Rumah Kedua
(M Nahrul)
Banyak sudah tempat yang kusinggahi di Kota Pahlawan ini untuk
kujadikan tempat yang bisa kusebut “rumah”, di tahun keduaku ini telah
kutemukan rumah ketigaku. Aku harus beranjak dari rumah keduaku
karena sejumlah alasan, dan semua itu bermula di suatu pagi, Sulton,
teman kost-ku mendapat pesan dari seorang temannya, Siro, yang berisi
ajakan untuk menyewa sebuah rumah di salah satu celah sempit di
tengah perkampungan dekat kampusku. Siro telah mengajak dua orang
temannya, dan aku pun diajak olehnya, total ada lima orang yang
bersedia mendiami rumah kontrakan itu. Beberapa jam telah berlalu dan
hari sudah mulai gelap, Sulton dan aku bergegas menuju rumah kost
berkawan terang | 116
temanku untuk melihat keadaan rumah yang akan kami diami, aku tak
tahu mengapa ia sangat bersemangat kali ini, mungkin lantaran ia ingin
meringankan biaya hidupnya karena tempat kost kami sebelumnya
memiliki tarif yang cukup mahal.
Tepat setelah libur semester pertama, kami mendiami rumah itu.
Aku sekamar dengan Sulton dan Siro, di kamar sebelah ada Riki dan
Faruk. Tak butuh waktu lama untukku membaur dengan dua orang
teman baruku. Awalnya semua berjalan dengan baik, kami berlima bisa
saling mengakrabkan diri. Namun, selang beberapa bulan salah satu
teman kami mulai berulah, Sulton, membawa teman wanitanya ke
rumah. Sebenarnya hal itu wajar saja tapi yang membuatnya menjadi
persoalan adalah dia mengajak teman wanitanya singgah di salah satu
kamar. Secara tidak tertulis, kami berlima menyepakati satu peraturan
bahwa jika salah satu dari kami mengajak teman wanita, ia tidak boleh
menginjakkan kaki di anak tangga, apalagi menapakkan kaki di lantai
dua. Hal itu pun aku terapkan, jika ada teman wanita yang singgah, aku
berkawan terang | 117
hanya memperbolehkan dia bersandar di depan rolling door, kalau pun ia
ingin masuk, aku hanya mempersilahkannya menginjakkan kaki di lantai
pertama saja dan pintu rumah aku biarkan terbuka agar tidak timbul
prasangka buruk dari warga sekitar. Kami semua memperlakukan hal
yang sama pada teman wanita kami, kecuali satu teman kami yang
tidak mengindahkan peraturan itu.
Pada kejadian pertama, kami berempat masih bisa memaklumi. Tapi
setelah beberapa bulan berlalu, Sulton makin menjadi. Dulu dia hanya
mengajak temannya sebulan sekali atau dua kali, saat itu malah dia
lakukan hampir tiap minggu. Masih kuingat pesan darinya sebelum
mengajak teman wanitanya, “Rul, sewa kamar, yo? Hehehe.” Aku lupa
berapa kali ia mengirim pesan bernada sama, aku juga lupa berapa kali
aku sudah mengingatkannya. Setiap kali aku pulang kulihat ketiga
temanku berkumpul di depan rumah, dan dengan mudahnya aku
mengetahui alasan mengapa mereka melakukannya. Kami berempat pun
mulai merasa tidak nyaman karena kehadiran wanita tersebut—apalagi
berkawan terang | 118
kami tinggal di lingkungan yang masih peduli lingkungan sekitar serta
menjunjung tinggi nilai dan norma sosial—karena sejumlah warga sudah
mengingatkan, mereka mulai resah dan merasa tidak nyaman karena
melihat wanita keluar masuk pintu rumah kami. Oleh karena itu, aku
berusaha mengingatkan teman sekamarku namun ia tetap bergeming, ia
berdalih bahwa hal itu bukanlah masalah karena ia merasa warga
sekitar tidak memperhatikan gerak-geriknya selama ini. Sebenarnya,
yang membuat kami merasa tidak nyaman bukan hanya
ketidakpeduliannya terhadap lingkungan sekitar, tapi ia juga hanya
memiliki sedikit rasa kepedulian pada rumah kami, salah satunya dalam
hal kebersihan. Namun, itu bukanlah hal baru buatku, aku sudah
mengenalnya selama beberapa bulan dan aku bisa memakluminya, tapi
lain halnya jika dihadapkan pada tiga temanku, mereka tidak tahan
dengan kelakuan Sulton. Kami berempat pun bergantian mengingatkan
dia, tetap tidak ada hasil. Akhirnya, tiga temanku mulai bersikap dingin
terhadap Sulton. Hanya aku yang menjaga sikapku karena
berkawan terang | 119
begaimanapun ia tetap temanku, kami saling kenal sejak masa
“perploncoan” mahasiswa baru, dan kami sudah banyak melewati masa-
masa bersama, baik susah maupun senang. Ia akhirnya memutuskan
untuk tinggal sementara di rumah kontrakan temannya, mungkin karena
ia sudah merasa kalau kehadirannya sudah tak diharapkan. Ia hanya
mampir ke rumah bila ingin mengambil beberapa helai pakaian atau
sekadar menyegarkan diri dengan membilas air di sekujur tubuhnya.
Tak lama kemudian, sekitar dua bulan, ia kembali ke rumah. Aku tak
tahu mengapa ia tak pernah ke rumah temannya lagi, dia tak pernah
menceritakan hal tersebut, tapi aku dengar kabar kalau ia telah
mengalami konflik di rumah temannya, mungkin disebabkan oleh
permasalahan yang sama seperti di rumah kami. Setelah dua bulan tak
singgah, sikap ketiga temanku tak kunjung berubah, apalagi Faruk, tak
sepatah kata pun terlontar dari mulutnya yang ditujukan pada Sulton,
begitu pun sebaliknya. Hal itu karena mereka berdua memiliki
kepribadian yang sama: Sama-sama keras kepala. Ketiga temanku
berkawan terang | 120
berpikir dengan cara mendiamkan Sulton, maka ia akan sadar akan
kesalahannya dan masalah segera usai. Kenyataannya, tidak. Sulton
masih melakukan kebiasaan lama dan keadaan semakin rumit. Masa
kami untuk mendiami rumah tersebut juga segera habis. Hingga suatu
malam, kami berempat, aku, Faruk, Siro dan Riki, berkumpul untuk
membahas masalah kelangsungan rumah kontrakan.
Muncul dua pilihan, beranjak dari rumah tersebut dan mencari
tempat baru tanpa Sulton atau tetap tinggal juga tanpa sulton, pada
intinya mereka tidak menginginkan keberadaan Sulton lagi. Kami pun
memilih pilihan kedua, karena kami masih nyaman tinggal di rumah
tersebut jika tidak ada Sulton, jadi secara tidak langsung mereka
berniat mengusir Sulton, tapi mereka tidak mau mengutarakan
langsung, mereka menitipkan pesannya padaku agar kusampaikan pada
Sulton. Mereka berdalih bahwa aku adalah orang terdekatnya jadi dia
akan bersedia meninggalkan rumah kami. Aku pun menolaknya, karena
menurutku lebih baik hal itu dibicarakan bersama-sama secara baik-
berkawan terang | 121
baik, tapi mereka bertiga tetap tidak mau.
Pada akhirnya, aku terpaksa menyampaikan maksud dari ketiga
temanku, meski terasa berat di bibir tapi aku harus kulakukan demi
kebaikan bersama. Sayangnya, hasil yang aku peroleh tidak sesuai
harapan, ia tetap tidak mau beranjak dari rumah sebelum ketiga
temanku menyampaikan unek-unek mereka secara langsung. Sialnya,
mereka juga masih belum bersedia merundingkan bersama.
Masalah ini pun semakin berlarut-larut, dan tanpa sepengetahuanku
Sulton dan Faruk saling berkomunikasi, sepertinya terjadi
kesalahpahaman antara mereka dan keduanya pun memutuskan untuk
meninggalkan rumah. Masa sewa rumah pun tinggal dua hari, dua orang
sudah beranjak, kami tidak bisa menemukan pengganti mereka karena
waktu yang sangat mendadak. Lantaran uang yang tidak cukup, kami
semua memutuskan untuk tidak memperpanjang masa sewa kontrakan.
Kuhubungi semua temanku untuk menanyakan apakah ada tempat
kosong di kost-nya, dan kebetulan di salah satu kost temanku ada
berkawan terang | 122
kamar kosong. Esoknya, aku memindahkan semua barangku ke sana.
Tak ada lagi yang namanya rumah kedua.
Memang tak mudah menyatukan lima kepala dalam satu atap,
apalagi di antara lima kepala tersebut memiliki banyak macam
kepribadian. Tidak ada orang yang benar secara kesuluruhan, setiap
orang pasti punya kecacatan dalam setiap tindakannya, jika ingin
menjaga hubungan dengan orang lain ia harus mengedapankan rasa
toleransi dan tenggang rasa.
berkawan terang | 123
Teman-temanku, Inspirasiku
(Firda U)
Memasuki dunia perkulihan memang tak semudah bayangan. Awal
masuk kuliah di Unesa ini aku sudah harus mengikuti sejenis ospek
yang biasa disebut PKKMB. Hal tersebut harus aku lalui selama
seminggu, mulai Subuh hingga menjelang Magrib. Tidak hanya harus
bangun pagi-pagi, kami juga harus mengerjakan bermacam tugas dari
kakak-kakak senior—yang katanya tugas-tugas ini melatih mental kami
sebelum bertemu tugas-tugas yang sesungguhnya dari para dosen. Aku
sempat berpikir pentingkah hal seperti ini kulakukan? Apa untungnya
buatku? Aku juga merasa belum siap kuliah dan bosan, tak seperti
teman-teman baruku yang begitu giatnya.
Di saat aku bermalas-malasan mengikuti PKKMB, justru teman-
teman baruku dari berbagai daerah di Jawa bahkan dari luar Jawa harus
pergi ke Surabaya hadir di PKKMB. Jauh dari orang tua, rajin
mengerjakan tugas, bahkan aktif. Sedangkan aku? Anak asli Surabaya
berkawan terang | 124
yang rumahku hanya satu jam dari Unesa masih bermalas-malasan
berangkat pagi buta ke kampus. Aku melihat wajah semangat mereka di
pagi hari, dan itu bertahan sampai sore hari nanti. Meskipun mereka
mengeluh kalau mereka lelah, namun aku bisa melihat kalau mereka
senang melakukan semua itu, seperti ada semangat tertentu dalam diri
mereka.
Hari terakhir PKKMB, semua teman baruku menceritakan
pengalaman mereka selama di daerah asalnya dan semangat mereka
berkuliah. Aku mendengar cerita mereka dan aku sedikit tersadar.
Mereka bercerita bahwa salah satu semangat mereka untuk berkuliah di
Surabaya untuk mengubah nasib ingin mendapat masa depan cerah.
Mati-matian berjuang mendapatkan kursi di kampus ini, mati-matian
mendapatkan restu orang tua, bukan karena orang tua mereka tidak
tega anaknya merantau, tapi karena dana dan kebutuhan ekonomi tidak
cukup.
Kutertawakan diriku sendiri, merasa bahwa betapa beruntungnya
berkawan terang | 125
aku namun tak sadar akan hal itu. Aku hanya perlu menunggu
pengumuman SNMPTN dan tidak perlu mengikuti tes-tes lain untuk
masuk di kampus ini. Tinggal mengendarai motor selama satu jam dan
bisa bertemu orang tuaku tiap hari. Tidak perlu menunggu dan harus
berlama-lama duduk di bus untuk sampai kampus. Betapa lucunya aku
ini, bermalas-malasan dan selalu merasa kurang.
Hari pertama aktif perkuliahan, kami sebagai mahasiswa baru sudah
harus memasuki kelas dan bertemu para dosen. Aku merasa gugup dan
sedikit canggung karena para dosen sudah berbicara menggunakan
bahasa Inggris. Namun, aku merasa tak hanya aku saja yang merasakan
hal tersebut, teman-teman sekelas juga mungkin merasakan hal sama.
Aku berpikir mungkin kemampuan kami sama rata dan bahkan mungkin
aku lebih pintar dari mereka karena mereka berasal dari pedesaan dan
aku berasal dari Surabaya yang cenderung sistem pendidikan kota lebih
maju dari pada di desa. Jadi aku merasa santai saja, belum ada saingan
untuk mendapatkan IPK tinggi.
berkawan terang | 126
Minggu demi minggu berlalu, satu semester berlalu begitu cepat.
Aku pun mulai mengenal teman-teman sekelasku. Semua pemikiranku di
awal perkuliahan berubah. Mereka yang awalnya aku anggap biasa-biasa
saja ternyata luar biasa. Keluarbiasaan mereka mungkin tertutup
dengan sifat mereka yang sopan dan santun. Aku yang awalnya
menyepelekan mereka, menjadi kagum. Mereka dari luar kota atau
cenderung pedesaan bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku.
Mereka berusaha dengan keterbatasan mereka, jauh lebih rajin dalam
belajar, seakan-akan mereka berakting bahwa kemampuan mereka
standar, padahal mereka bisa mendapatkan nilai tingi saat ujian.
Aku belajar dari teman-temanku untuk menjadi anak yang lebih
mandiri dan tidak menyepelekan hal sekecil apa pun, karena dari hal
kecil dapat berdampak besar. Aku yang mengganggap mereka tidak ada
apa-apanya di depanku, justru mereka mengajariku bahwa aku bukan
siapa-siapa dan terlihat kecil di depan mereka. Mungkin ini salah satu
bukti bahwa kalimat don’t judge the book by its cover itu benar adanya.
berkawan terang | 127
Aku berharap teman-temanku yang kini inspirasiku tidak berubah, selalu
rendah hati, walau mereka memiliki banyak ilmu. Sekalipun mereka
berhasil menempuh masa depan yang cerah, aku berharap mereka selalu
menjadi dirinya sendiri dan tidak terpengaruh oleh keadaan maupun
orang lain.
berkawan terang | 128
Inspirasiku
(Lela R)
Saat itu, aku duduk di bangku kelas 12. Yeah, di SMAN 1 Taman. Aku
sangat sibuk dengan ujian praktik dan ujian sekolah. Detik-detik ujian
nasional pun terasa sangat menegangkan.
Hari berlalu sangat cepat. Tak terasa, sudah 4 hari aku dan teman-
teman melewati ujian itu. Saat ujian nasional dan ujian praktik
terselesaikan, liburan pun tiba. Yeah, liburan yang membuat semua
siswa kelas 12 menunggu hasil dari ujian-ujian itu.
Tepat 27 Mei 2013, pengumuman diedarkan dan pada hari itu pula
bertepatan dengan pengumuman jalur SNMPTN. Yeah, jalur SNMPTN
yang selalu dinanti semua murid kelas 12 seperti halnya menunggu
pengumuman UNAS.
“Ibaratnya, sih, kayak dapat rezeki gitu deh kalau lolos jalur SNMPTN
mah, yah alhamdulillah sekali… hehe,” ujar Diki. Dia adalah sahabatku
yang sangat baik dan pintar.
berkawan terang | 129
Pengumuman jalur SNMPTN pun di depan mata. Aku dan 2 orang
temanku menunggu bersama di masjid sekolah. Aku, Arnes, Diki, sama-
sama menunggu. Tepat pukul 16, satu per satu dari kami mulai
melihatnya di website. Dan... hanya dua orang dari kami yang lolos.
Diki, dia masuk perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang dia
inginkan. Yeah, Sistem Informasi. Dan alhamdulillah, aku sendiri lolos ke
universitas pilihanku juga. Tapi ada yang kurang, melihat hasil Arnes.
Arnes, dia adalah sahabatku yang sangat baik dan pintar. Pada saat
pengumuman, Arneslah yang tidak lolos. Aku dan Diki seketika terkejut
bahwa di antara kami bertiga, hanya Arnes yang harus berjuang kembali
untuk mendapatkan dan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dengan
jurusan yang dia inginkan melalui tes SBMPTN.
Tak terasa, tes SBMPTN pun tiba. Aku dan Diki menemani Arnes.
Detik demi detik pun berganti, tak terasa pula tes yang dilaksanakan
pada hari itu hanya selesai dalam hitungan jam. Yeah, dua jam waktu
yang harus dia selesaikan untuk mengerjakan soal tersebut.
berkawan terang | 130
Pengumuman dari hasil tes akan diumumkan sebulan setelahnya.
Dan... tiba saatnya di mana hasil SBMPTN diumumkan. Yeah, di sore
hari aku mencoba untuk melihatkan hasil tes Arnes. Dia meminta tolong
padaku.
“Lak,” begitulah Arnes memanggilku. Elak. “minta tolong, liatin hasil
tesku, ya, aku masih di rumah sakit jengukin nenek.” ujarnya melalui
telepon.
Dengan rasa penasaran, cemas, aku mulai melihatnya dan... rasa
cemasku kini berubah kagum, melihat pencapaian Arnes. Dia lolos di
perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang sangat dia idam-idamkan.
Lokasinya di Malang, jurusan Pendidikan Dokter.
Dengan rasa haru pun aku langsung meneleponnya, “Arnessssss
selamat ya! Kamu lolos! Sekali lagi selamat, teman!”
“Kamu serius, Lak? Alhamdulilah, Ya Allah. Thanks, ya, buat semua
doanya!”
Keesokan harinya, aku, Diki, dan Arnes pun bertemu dan berbagi cerita.
berkawan terang | 131
Di situ aku belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya.
Kegagalan hanyalah sebuah kesuksesan yang tertunda. Never give up on
something. Try, try, and try again till you get what you want.
Hal itulah yang sangat menginspirasiku, saat aku gagal dalam
perjalanan meraih kesuksesan. Meskipun aku gagal tahun kemarin dalam
suatu seleksi yang berhubungan dengan cita-citaku, aku yakin pasti akan
ada yang lebih baik dari yang terbaik untuk kucapai nantinya. Aamiin….
berkawan terang | 132
Arti Sebuah Pertemanan
(Sri L)
Saya memiliki sebuah kisah yang dapat menginspirasi diri saya
maupun orang lain. Kisah ini sendiri bukanlah kisah dari para tokoh
masyarakat melainkan dari kehidupan saya sendiri. Kisah ini dimulai
ketika saya berada di kelas X SMA swasta di sekitar Lamongan. Saya
bukanlah penduduk asli daerah Lamongan, bahkan juga bukan kelahiran
Indonesia. Saya lahir dan dibesarkan di Malaysia, bisa dibilang saya anak
dari orang perantauan.
Setelah 16 tahun berada di negeri seberang, saya harus pulang ke
negeri orang tua saya, Indonesia. Tepatnya, Jawa Timur. Dikarenakan
orang tua saya sudah tidak memiliki pekerjaan di Malaysia, mereka
memutuskan pulang untuk menjadi petani di sawah yang mereka
peroleh dari hasil jerih payah mereka di negara tetangga. Waktu itu saya
sudah lulus SMP dan saya harus merelakan studi saya di sana.
Saya merasa paling pintar dan sempurna dalam semua pelajaran
berkawan terang | 133
karena saya pikir sekolah yang saya masuki adalah sekolah swasta dan
pelajarannya lebih mudah—selain Sejarah dan PKn yang saya belum
bisa kuasai. Ternyata, saya salah besar. Semua mata pelajaran lumayan
susah buat saya. Banyak rumus-rumus dan kata-kata yang harus saya
pelajari lebih dalam. Ketika ujian juga, selain bahasa Inggris dan
Matematika, semua nilai saya di bawah rata-rata. Dari pengalaman saya
itulah, saya lebih giat belajar dan akhirnya ketika ujian datang lagi, saya
dapat nilai di atas rata-rata.
Semester demi semester, saya jadi lumayan terkenal di sekolah
baru saya hingga ke sekolah sebelah. Mungkin dikarenakan saya orang
Malaysia yang pindah ke Indonesia. Banyak anak dari adik kelas hingga
kakak kelas ingin dekat dengan saya. Ada juga yang membenci saya,
karena selalu dekat dengan semua teman bahkan para guru. Terkadang,
ketika saya duduk sendiri dan merenung, saya mungkin bukan siapa-
siapa dan tidak mungkin terkenal jika saya tidak memperkenalkan diri di
aula ketika menjalani MOS. Saya juga tidak meminta semua orang
berkawan terang | 134
mengenal saya dan saya juga tidak mau menjadi orang terkenal.
Misalkan saya hanya anak SMA yang lahir di negara ini, mungkin saya
tidak akan diperlakukan secara spesial begini. Saya juga bertanya-tanya
pada diri sendiri. Apakah teman-teman yang saya kenal selama ini tulus
atau hanya ingin berteman dengan orang yang dianggap terkenal saja?
Suatu saat, saya merasa banyak teman-teman menghindar dari saya
dan saya menanyakan kepada salah satu teman yang tidak pernah
menghindari saya. Dia bilang bahwa teman-teman mendapat berita jika
saya mengejar-ngejar kakak kelas karena saya ingin memoroti harta
kakak kelas tersebut. Saya hanya bisa tertawa mendengar berita itu,
saya bilang ke teman saya bahwa saya tidak pernah suka dengan kakak
kelas yang dituduhkan oleh mereka. Saya memang mengenalnya, namun
sebatas kakak saja. Saya juga bukan tipe gadis centil lalu memoroti
harta orang lain. Walaupun saya tidak tahu siapa yang menyebarkan
berita tersebut, tetapi saya, teman saya, dan si kakak kelas
menjelaskan ke semua anak SMA dengan cerita sebenarnya. Barangkali
berkawan terang | 135
80% anak-anak percaya dengan penjelasan kami dan 20% masih
percaya dengan berita tidak jelas itu.
Saya sangat bersyukur atas kejadian ini. Jika tidak, saya mungkin
tidak tahu teman yang tulus dan tidak. Saya juga bisa membedakan
teman yang mengenal saya dari sifat-sifat saya. Saya juga tidak
memarahi teman-teman saya yang mudah terpancing dengan berita
burung itu. Bahkan saya sudah memaafkan mereka sebelum mereka
meminta maaf. Hubungan kami semua mulai membaik kembali.
Pertanyaan yang selama ini menyelimuti benak saya sudah
terjawabkan. Tidak semua orang bisa tulus berteman dengan saya.
Mungkin hanya beberapa orang—dan bahkan bisa saja hanya satu
orang—yang tulus berteman tanpa melihat popularitas, harta,
penampilan, dan segala macam. Saya hanya ingin memunyai teman yang
tidak munafik serta saling memotivasi. Saya lebih nyaman
membicarakan sesuatu tentang kehidupan sekolah, asmara, atau entah
lainnya pada teman dibanding pada orang tua saya yang sangat cuek
berkawan terang | 136
dengan kehidupan anaknya.
Kejadian ini, menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang sebuah
pertemanan. Teman bisa membuat hidup kita berwarna. Teman adalah
orang kedua yang patut saya hargai dan saya percayai. Tanpa teman,
saya mungkin tidak tahu seperti apa bentuk ketulusan dan kepercayaan.
Teman mungkin tidak selamanya berada di samping kita. Tetapi, teman
akan selalu ada di saat kita senang maupun sedih walau hanya via
handphone untuk berkomunikasi.
berkawan terang | 137
Terima Kasih, Mbak Acis!
(Nia K)
Tak terasa awal tahun 2015 ini aku memasuki semester 4. Seperti
baru kemarin aku menjunjung laptop ke rumah tetangga sambil
menangis ketika memberi tahu ibu bahwa aku lolos jalur SNMPTN di
Unesa jurusan S1 Sastra Inggris. Masih kuingat jelas pelukan hangat ibu
sore itu, air matanya menetes membasahi bahuku. Belasan tahun sudah
tak kurasakan pelukan itu. Ibuku cukup keras, ia juga mudah marah. Ya
maklum, sih, ibu punya penyakit hipertensi yang diturunkan nenek, itulah
kenapa aku kurang suka bicara padanya. Intinya kami tidak saling
memahami dan anggap saja aku salah karena sebagai anak aku juga
tidak berusaha memahaminya. Aku lebih senang berdiam diri di kamar,
entah mengerjakan tugas atau sekadar ‘bercumbu’ dengan telepon
genggam putihku yang ‘tidak pintar’.
September 2013, aku resmi menjadi mahasiswa Unesa setelah
mengikuti serangkaian PKKMB yang teramat melelahkan. Senang
berkawan terang | 138
rasanya berada di tempat yang kuinginkan sejak lama. Suasana damai di
tepi kota, dikelilingi danau, sawah, dan pohon-pohon rindang. Hmmm...
benar-benar hidup baru. Apalagi kuliah semester 1 masih begitu
menyenangkan. Di masa aku masih berstatus “maba” alias mahasiswa
baru itu, aku berkawan dekat seorang teman kelasku, Insani. Aku
merasa sangat cocok dengannya mungkin karena kami berasal dari satu
daerah dan memiliki cukup banyak kesamaan.
Memasuki semester 2 aku dan Insani nggak sedekat dulu. Aku mulai
dekat dengan teman lain, teman sekelas juga. Aku lupa awal mula
kedekatan kami tapi sampai semester 4 ini kami masih ‘lengket’ saja.
Sisca namanya, namun karena dia gadis mungil yang baik dan tak
banyak bicara, panggilan Acis terdengar lebih cocok untuknya. Dia sering
menceritakan keharmonisan keluarganya. Benar-benar membuatku iri,
huuuh.... Aku bahkan tak mampu memimpikan suasana semacam itu.
Aku juga cerita padanya tentang hubunganku dengan ibu yang tak
seharmonis dia dan ibunya. Dia menasihati agar aku mendekati ibuku
berkawan terang | 139
dan mencoba memahami. Dia juga selalu marah kalau aku cerita
kekesalanku pada ibu, pokoknya yang salah selalu akulah. Aku kadang
sebel juga, dia kan nggak tahu sifat dan sikap ibuku tapi serta merta
membenarkannya. Sampai saat itu aku belum dapat alasan yang kuat
untuk memahami ibuku. Kalau direnungi memang aku ini keras kepala,
tapi ah, sudahlah.
Sekitar pertengahan semester 2 sampai masuk semester 3 Acis
menceritakan kondisi ibunya yang sakit. Sebagai teman dekatnya tentu
saja aku ikut khawatir karena sakitnya tak kunjung sembuh meski
dirawat beberapa kali di rumah sakit yang berbeda, dari medis sampai
nonmedis sudah dilakukan namun tak membuahkan hasil.
“Ibukmu loro opo, seh, Cis? Kok bolak-balek melbu rumah sakit,”
tanyaku yang memang sehari-hari berdialog dengan Acis dalam bahasa
Jawa. “Ibumu sakit apa, sih, Cis? Kok bolak-balik masuk rumah sakit.”
“Gak ngerti, jare dokter seje-seje. Ben seje rumah sakit diagnosae
yo seje sampek bingung aku,” jawab Acis yang justru tak berhasil
berkawan terang | 140
menjawab kebingunganku. “Gak tau, kata dokter beda-beda. Tiap rumah
sakit diagnosanya ya beda sampe bingung aku.”
Raut mukanya benar-benar menampakkan kesedihan. Gimana
enggak, libur semester selama 3 bulan tak sedikit pun dihabiskan
dengan bersantai karena harus mengurus ibunya. Mendengar ibunya
masuk rumah sakit untuk kesekian kali, kuputuskan untuk menjenguk.
Pulang kuliah aku dan teman sekelasku, Revi, berangkat. Sengaja kami
tak memberi tahu Acis kalau kami akan menjenguk ibunya karena kalau
dia tahu pasti dia melarang dengan alasan tidak mau merepotkan.
Acis kaget melihat kedatangan kami. Dengan mata sembab, dia
mempersilakan kami masuk. Hari itu untuk kali pertama aku bertemu
ibunya Acis. Kurus, tak seperti di foto yang pernah kutahu. Tak lama
kami di sana karena hari sudah sore dan perjalanan dari rumah sakit ke
rumahku cukup jauh. Sebelum pamit, ibu Acis bicara padaku, ”Mbak Acis
lak nang omah gak lapo-lapo, Mbak. Yaopo mene lak ditinggal ibuk e.”
Kalimat singkat itu pasti terdengar tidak indah di telinga Acis. “Mbak
berkawan terang | 141
Acis kalau di rumah nggak ngapa-ngapain, Mbak. Gimana kalau ibu
tinggal.”
Singkat cerita, 12 Oktober 2014, di rumahku ada acara keluarga.
Tiba-tiba aku mendapat pesan dari Acis,
Ibuku meninggal. Tolong handle kuliahku.
Kalimat pertama tentu seketika mengoyak-oyak perasaanku. Di
tengah gelak tawa, di antara anggota keluarga yang sedang asyik, aku
langsung masuk kamar, menyalakan kipas angin karena air mataku tak
kuasa kubendung.
Esok harinya aku langsung memberitahukan kabar duka itu pada
teman-teman sekelas, lalu kami melayat ke rumah Acis. Sepanjang
perjalanan, wajah Acis dengan linangan air mata tak mau lepas dari
otakku. Saat tiba di rumahnya ternyata tak seperti yang kubayangkan.
Dia tampak begitu tegar menyambut kami di depan pintu. Dia menangis
di pelukan Revi, menangis lagi di pelukanku. Air mataku jadi tumpah pula
waktu itu. Entah kenapa pertemuan itu benar-benar membuatku merasa
berkawan terang | 142
kehilangan, ehmm… mungkin lebih kepada perasaan kehilangan Acis
yang ikut kurasakan.
Sejujurnya aku sungguh tidak tega melihat Acis, dia yang
hubungannya sangat baik dengan ibunya justru dipisahkan. Nah aku?!
Aku mulai tersentuh. Otakku mulai bersedia memikirkan ibu. Mulai
memperhatikannya. Dia memang mulai tua. Sikapnya seperti anak kecil,
lucu, sih. Ibu-ibu seusia 46 tahun suka jajanan anak kecil, suka main
game yang biasa dimainkan anak kecil, belum lagi aksi joget centilnya,
kalau begitu benar-benar nggak kelihatan galaknya.
Aku mulai ‘melunakkan kepalaku’. Perlahan kudekati, kutemani,
duduk sore di depan rumah sambil berbagi jajanan kesukaan ibu. Hmm…
it’s not bad. Kami mulai sering bicara, dari hal sederhana sampai berbagi
cerita layaknya sahabat. Acis benar, aku pasti nyesel banget kalau
nggak berteman dengan ibu. Aku jadi semakin tahu rasa kehilangan Acis.
Lalu, aku sampai di titik di mana aku takut Tuhan juga memisahkan aku
dengan ibu saat kami sudah dekat.
berkawan terang | 143
Oh, ya, cerita ini kutulis bukan semata-mata untuk menginspirasi
orang lain, justru aku yang terinspirasi oleh kisah orang lain, bukan
orang lain, sih. Orang dekat. Ngobrol tentang ibu memang klise, tapi
menjadi tidak klise kalau sudah ‘tertampar’ seperti ini. Haaah... ampuni
aku karena baru sadar. Setidaknya aku masih punya waktu untuk
memperbaiki. Terima kasih, Mbak Acis!
berkawan terang | 144
berkawan terang | 145
Tidak Ada Kata Menyerah
(Fikriyyatul U)
Cerita ini kudapatkan dari sahabatku. Berawal dari sebuah obrolan
panjang yang tak sengaja hingga akhirnya menjadi cerita inspiratif
bagiku.
7 Maret 2014, hari itu dia menemani salah seorang temannya, untuk
mengikuti sebuah kompetisi dari salah satu cabang kompetisi bahasa
Jepang, yaitu Kanji Cup. Kanji Cup adalah salah satu ajang kompetisi
dari beberapa agenda tahunan yang diadakan oleh Konsulat Jenderal
Jepang dalam mempererat tali persaudaraan Jepang dengan Indonesia.
Kompetisi ini dimaksudkan untuk mengukur dan menguji seberapa hafal
dan paham dalam huruf kanji.
Informasi kompetisi itu baru dia ketahui seminggu yang lalu dari
selembar poster yang tertempel di dinding kelas. Kebetulan dia dan
temannya adalah teman satu kelas dalam lembaga kursus bahasa
Jepang yang sama. Dia sedikit menyesal karena tidak mengikuti
berkawan terang | 146
kompetisi saat itu. Karena tidak siap dan pengetahuan kanji yang dia
punya belum seberapa jadi dia memutuskan hanya untuk menjadi
pendukungnya saja.
Dia adalah mahasiswi jurusan Seni di salah satu universitas negeri
di Surabaya. Saat itu adalah kali pertamanya ikut menghadiri sebuah
ajang kompetisi di luar passion-nya. Kompetisi itu diadakan di sebuah
universitas swasta terkemuka di Surabaya. Dia sedikit gugup saat
memasuki sebuah gedung megah yang dipenuhi ratusan peserta yang
datang dari dalam ataupun luar pulau. Banyak dari mereka berusia
seperti dia, namun ada pula yang terlihat lebih senior, dan bahkan ada
pula yang jauh lebih muda. Dia berandai jika saat itu dia menjadi salah
satu peserta, mungkin dia akan jauh lebih gugup dan merasa tidak
percaya diri melihat semua wajah peserta yang ‘meyakinkan’ untuk
menjadi juara. Dalam kompetisi itu dia bahagia dapat bertemu banyak
orang yang sama sekali belum pernah dia temui. Seperti Konsulat
Jenderal Jepang, beberapa ahli bahasa Jepang dan beberapa pengajar
berkawan terang | 147
bahasa Jepang yang mereka semua tentu langsung datang dari Jepang.
Dalam sebuah auditorium yang besar itu, Dia sangat menyimak dan
duduk mengamati setiap tahap acara kompetisi hingga akhir. Dia
memang berencana untuk mengikuti kompetisi tahun depan meskipun
tidak tahu apakah kompetisi tahun depan akan berlangsung sama atau
tidak.
Di akhir acara, yaitu saat penentuan dan pengumuman pemenang,
adalah satu momen yang menurut dia paling berkesan. Pemenangnya
ternyata adalah pemenang dari lembaga yang sama dengan tahun lalu.
Mereka memang telah menjadi pemenang berturut turut dalam beberapa
tahun ini. Ketika mereka maju dan mendapat penghargaan langsung dari
Konsulat Jenderal Jepang, raut wajah mereka seketika terukir dengan
senyum dan tawa bahagia. Mungkin semua orang dalam ruangan itu
termasuk temanku berdecak kagum sekaligus heran bagaimana mereka
mempertahankan prestasi yang dibilang cukup sulit itu.
Saat itulah dia menjadi semangat kembali. Awalnya, di kompetisi
berkawan terang | 148
tahun depan dia tidak terlalu berharap menjadi pemenang. Cukuplah
menjadi peserta dan mendapatkan pengalaman. Hanya sebatas
mengukir sejarah kehidupan dalam bidang akademik. Namun setelah dia
cermati kembali, dia menjadi terinspirasi untuk menjadi pemenang
seperti mereka. Apalagi dia tak sengaja mendengar salah seorang
peserta berbicara bahwa sudah bukan hal yang baru jika pemenangnya
adalah seseorang yang passion-nya adalah bahasa Jepang. Ucapan dari
peserta itu seperti setrum yang menyengat kesadarannya. Karena
memang dalam sejarah kompetisi itu, pemenangnya selalu dari pelajar
yang passion-nya adalah bahasa Jepang dan belum pernah ada yang di
luar itu. Padahal kompetisi itu adalah kompetisi umum yang mana
semua orang dari berbagai kalangan bisa mengikuti.
Berharap menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi sudah pasti
adalah sebuah impian yang tidak mudah dan sulit diraih. Dia
beranggapan, mungkin terdengar sedikit tidak mungkin jika seorang
pemula seperti dirinya yang masih miskin pengetahuan menginginkan
berkawan terang | 149
untuk menjadi pemenang. Tapi, justru karena ketidakmungkinan itulah
dia menjadi lebih semangat untuk belajar bahasa Jepang terutama kanji
meskipun kebanyakan orang bilang belajar kanji itu sulit dan
membutuhkan waktu lama bertahun-tahun.
Dia mengenal bahasa Jepang baru beberapa bulan. Dia mengakui
bahwa dirinya masih awam dalam belajar bahasa Jepang. Masih sangat
banyak hal yang harus dipelajari. Namun usia pendek-belajarnya itu tidak
menyurutkan semangat untuk menjadi pemenang kompetisi Kanji Cup.
Tekadnya semakin bulat demi membawa nama almamater kampusnya
dalam ajang kompetisi itu.
Tak terasa satu tahun berlalu. Kompetisi itu pun diadakan kembali.
Tahun itu berbeda dengan tahun sebelumnya. Dia tidak lagi menjadi
penonton, justru sebaliknya, dia menjadi peserta. Ternyata memang
menjadi pemenang tidak semudah yang dia bayangkan. Dia sudah bisa
mencapai pada putaran final dan selangkah lagi dia akan menjadi
pemenang. Namun, karena suatu kesalahan yang dia buat, impian itu
berkawan terang | 150
belum bisa tercapai. Ia gagal dan gelar juara itu dimiliki oleh orang lain.
Rasa sedih tentu menyelimuti hatinya, tetapi dia tidak ingin berlama-
lama dalam kesedihan itu.
“Masih ada kesempatan lagi tahun depan!” Begitulah dia
menyemangati dirinya sendiri. Dia bertekad untuk berusaha lebih baik di
kompetisi tahun depan.
Cerita pengalamannya ini membuatku terispirasi dan memberiku
pesan bahwa jangan ada kata menyerah dalam mencapai harapan. Aku
sangat berterima kasih padanya. Semangatnya yang selalu ada akan aku
tanamkan pada diriku juga agar impian yang aku punya tidak hanya
menjadi angan belaka namun juga akan menjadi bunga yang menghias
indah kehidupan.
berkawan terang | 151
Ayo Jalan!
(Afina U)
Jumat malam 13 Februari 2015 di Pasuruan, malam itu aku dan
teman-teman bergegas untuk perjalanan ke Banyuwangi. Semua orang
di dalam bus kecil itu sangat senang sehingga kami semua sulit untuk
memejamkan mata. Hampir 8 jam kami menempuh perjalanan menuju
Banyuwangi. Lelah bersenda gurau karena kami semua jarang bertemu
setelah sekian lama, akhirnya kami tertidur pulas.
Sabtu pagi 14 Februari 2015, tibalah di Banyuwangi pukul 05:00.
Perjalanan menuju Teluk Ijo Banyuwangi sangat menajubkan. Kami
semua terbangun disambut oleh dinginnya udara pagi dan kabut. Banyak
rintangan untuk menuju Teluk Ijo tapi banyak pula pemandangan pantai
yang indah yang sudah kami lalui hingga membuat kami bertanya-tanya
bagaimana Teluk Ijo itu? Apakah seindah pantai-pantai sebelumnya?
Dengan ombak yang cukup besar, kami menempuh 15-20 menit untuk
menyebrangi lautan. Sampailah kami semua di Teluk Ijo. Perjalanan yang
berkawan terang | 152
berliku itu pun terbayar dengan keindahannya, lebih indah dibandingkan
dengan pantai-pantai yang kami temui tadi. 3-4 jam kami menghabiskan
waktu di sana. Bermain, bercanda, dan berfoto ria.
Kepuasan kami tidak berhenti sampai di situ. Kami teruskan dengan
beralih ke Pulau Tabuhan. Namun sayang, di tengah asyiknya kami
snorkeling, ada satu temanku yang menghilangkan alat snorkeling.
Kebingungan kami dibuatnya sambil terus mencari alat itu. Untung saja
pencarian kami tidak sia-sia.
Perjalanan kami lanjutkan menuju rumah salah seorang teman kami
karena hujan datang. Meskipun rencana awal kami ingin berkemah di
Pulau Tabuhan. Recananya, tengah malam nanti kami akan mendaki
Kawah Ijen, sayangnya kami semua malah terlelap dalam mimpi masing-
masing. Minggu pagi suara azan subuh membangunkan. Semua anak
terkejut dan kecewa karena kami berpikir kami batal untuk mendaki
Kawah Ijen, ternyata tidak. Sehabis sarapan, kami bergegas. Aku dan
ketiga temanku ikut bersama mobil teman sang pemilik rumah dan
berkawan terang | 153
temanku lainnya ikut di dalam bus kecil tadi. Perjalanan menuju kawah
Ijen dipenuhi dengan hutan-hutan yang sangat indah dan asri.
Awalnya aku bersemangat untuk mendaki gunung. Namun, beberapa
saat aku mulai lelah. Aku yang mulanya berada di barisan depan, mulai
mundur dan berakhir di barisan paling belakang, berjalan sendirian.
Beruntung, dua orang teman laki-lakiku melihatku terengah-engah lalu
merekalah yang menemaniku. Beberapa saat kemudian tanganku mulai
berkeringat dan merasakan sakit kepala hingga membuat mataku tidak
sanggup lagi melihat ke depan. Aku haus, tetapi kami bertiga tidak ada
yang membawa air minum. Salah satu dari dua temanku ini menyusul
rombongan yang sudah jauh sekali jaraknya. Alhasil, aku hanya berjalan
bersama satu temanku. Dia adalah sang pemilik rumah semalam. Saat
aku mulai merengek untuk istirahat, dia menyemangatiku untuk terus
maju dan tetap berjalan hingga Kawah Ijen. Awalnya aku tetap
bersikeras untuk beristirahat, tapi dia berkata padaku bahwa aku harus
tetap berjalan dan dia akan menggandeng tanganku hingga menginjak
berkawan terang | 154
Kawah Ijen. Di situ aku mulai tersadar bahwa ternyata masih ada
temanku, bahkan seorang laki-laki, yang peduli denganku. Akhirnya, aku
pun bersemangat. 3 km kami lalui berdua menuju Kawah Ijen. Dan
akhirnya sampailah kami.
Aku merasa pengorbananku untuk menuju Kawah Ijen terbayar lebih
dengan keindahan yang dimiliki oleh kawah itu. Aku tersenyum pada
temanku dan sangat berterima kasih padanya. Sesaat setelah itu kami
berdua bertemu dengan teman-teman yang sudah terlebih dahulu
sampai di kawah. Mereka sangat bersyukur karena kami masih mau
melanjutkan perjalanan itu sampai titik darah penghabisan. Kami semua
berfoto di atas kawah.
Meskipun namanya Kawah Ijen, untuk mencapainya tidak perlu
berjalan ijen (sendirian), masih banyak teman yang peduli dan perhatian
kepada kami untuk bisa menemani menuju Kawah Ijen.
berkawan terang | 155
Sahabat Unmainstream
(Laily D)
Kuliah adalah dunia baru yang menyenangkan di mana kita bisa
menemukan berbagai macam tipe orang yang ada di dalamnya. Begitu
pun yang saya alami setelah empat semester berkuliah di fakultas
Bahasa dan Seni jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa ini.
Banyak sekali saya temui manusia berpenampilan aneh menurut
pandangan saya. Tidak heran karena tempat kuliah ini adalah fakultas
Seni. Seperti teman-teman baru saya yang saya kenal lewat divisi
Musik. Penampilan mereka sungguh berbeda dari mahasiswa lain. 5
lelaki yang saya kenal berpenampilan ala rock and roll dan cenderung
vintage. Dengan fashion baju yang selalu berwarna gelap, sepatu keren,
aksesoris, style rambut kribo, gondrong, dan acak-acakan.
Setelah beberapa bulan berteman, kami sering sekali menghabiskan
waktu bersama, hingga akhirnya saya sebut mereka sahabat. Tentu saja
saya tidak menjadi satu-satunya wanita di tengah mereka, ada 1 wanita
berkawan terang | 156
lain di kelas dan 2 wanita berbeda jurusan yang juga menjadi bagian dari
kami. Mereka adalah sahabat-sahabat yang menginspirasi. Karena
memang awalnya kami juga sama-sama mencintai musik, kami selalu
memunyai pemikiran yang sama dalam hal apa pun. Berpikiran untuk
maju dan mencoba hal-hal baru. Tidak melakukan kegiatan yang itu-itu
saja, yang wajar dilakukan oleh manusia pada umumnya, tapi mencoba
untuk berbeda dari yang lain, berani melawan arus di dalam arus. Akan
saya dongengkan sedikit pengalaman seru bersama mereka.
Kala itu sekitar pukul 10 malam ditemani oleh segelas teh hangat
dan semangkuk mi rebus rasa soto, kami berdelapan duduk termenung
di warung meratapi kebuntuan dan kesuntukan perkuliahan. Di semester
ini dunia perkuliahan semakin sulit, semakin banyak tanggung jawab
yang harus dilakukan, namun banyak pula godaan-godaan yang ingin
kami wujudkan. Seperti biasa, sebelum mengerjakan tugas kuliah, kami
menyisihkan waktu 1 jam untuk membahas masalah-masalah yang
perlu diselesaikan. Malam itu para wanita mengeluh pada laki-laki
berkawan terang | 157
tentang kehidupan perkuliahan mereka yang selalu berantakan. Datang
telat ke kampus dan akhirnya tidak mengikuti kelas. Para lelaki selalu
memunyai jawaban atas semua pertanyaan kami para wanita. Saat itu
mereka memberi jawaban jika jalan di daerah sekitar kampus macetnya
kampungan. Mereka memunyai ide untuk mengganti alat transportasi
mereka yang sekaligus menjadi reality planning. Para lelaki berpikiran
untuk pergi ke kampus dengan menunggangi kuda agar tidak terkena
macet. Mulai hari itu mereka menabung untuk membeli kuda. Pemikiran
yang bodoh namun tetap dilakukan. Yah, itulah mereka, humoris,
realistis, idealis, namun tetap rendah hati.
Banyak teman-teman di kampus yang menganggap aneh
persahabatan kami. Mereka berpikir bahwa kami selalu kontra dan masa
bodoh tentang kehidupan organisasi kampus. Padahal sebenarnya bukan
seperti itu. Kami mencoba untuk membangun organisasi kampus
menjadi lebih hidup tidak hanya itu-itu saja. Kami ingin melakukan hal
yang baru di setiap event-nya. Sahabat-sahabat sayalah yang
berkawan terang | 158
menginspirasi saya untuk berani bicara dan bertindak. Tidak sedikit pula
teman-teman yang menganggap saya aneh karena bersahabat dengan
mereka. Karena mungkin saya dan sahabat wanita yang lain berhijab,
namun bersahabat dengan para lelaki yang terlihat brandal dan
berantakan. Tetapi saya tidak peduli dan mencoba membuktikan kepada
mereka bahwa kami bukan sekumpulan mahasiswa yang berbau negatif
karena penampilan si para lelaki. Sahabat-sahabat saya sangat
menginspirasi. Saya yang selalu berpikir bahwa kuliah sangat sulit
namun mereka menepisnya dengan candaan-candaan yang hampir tidak
bisa membuat saya untuk berhenti tertawa. Mereka juga menyadarkan
saya bahwa di masa kuliah ini kita harus lebih memikirkan masa depan.
Karena hidup ini semakin lama semakin kejam dan tidak mudah untuk
dijalani. Sampai kapan kami masih harus selalu memanggil orang tua
untuk memenuhi kebutuhan kuliah kami. Mereka mengajarkan
bagaimana cara bekerja keras. Saya bangga bersahabat dengan mereka.
Mereka selalu ada saat saya butuh. Mereka selalu memunyai jutaan ide
berkawan terang | 159
unik dan tak biasa untuk diwujudkan. Yang selalu berusaha mati-matian
untuk tetap membuat angka IPK setidaknya 3,00 dimunculkan di akhir
semester nanti, walaupun saya mengerti itu sulit bagi mereka jika
mereka memunyai kesibukan lain seperti sekarang. Sahabat-sahabat
saya orang-orang hebat. Mereka memiliki banyak mimpi yang ingin
dibuat menjadi nyata. Satu per satu sahabat saya mulai merintis bisnis
walau sederhana. Setidaknya mereka bangga tidak harus mengadahkan
tangan ke ayah atau ibu setiap pagi. Saya pun bangga. Sahabat,
tetaplah menjadi orang-orang hebat dan berpikiran unmainstream.
berkawan terang | 160
Dia yang Mengajarkanku Kesabaran dan Ketabahan
(Rizky L)
Sejujurnya saya tidak begitu pandai dalam menulis atau merangkai
kalimat yang dapat menginspirasi orang lain namun setidaknya saya
akan mencoba. Sebagai seorang mahasiswa, tentunya kita perlu untuk
memiliki motivasi dalam hidup, sehingga mampu memacu semangat dan
kemauan kita dalam menggapai apa yang kita inginkan. Di sini saya
hanya ingin berbagi cerita yang mungkin menurut orang lain bukanlah
cerita yang menarik, namun setidaknya dari sini saya memperoleh
inspirasi dan motivasi saya sendiri. Saya memunyai seorang sahabat
yang saya kenal sejak kelas 3 SMP. Bisa dibilang dia adalah anak orang
yang mampu, namun hal yang menarik dari dirinya adalah kesederhanaan
yang mungkin pada zaman modern ini sulit untuk ditemui pada diri
setiap orang. Selain itu ketabahan hatinya dalam menghadapi musibah
juga merupakan hal yang membuat saya belajar banyak darinya.
Pengalaman yang masih saya ingat sampai hari ini adalah ketika dia
berkawan terang | 161
mendapat musibah yang mengakibatkan rumah tangga orang tuanya
terancam hancur. Saat itu hanya saya seorang yang selalu menemani
dia, dikarenakan ayahnya selalu sibuk di pengadilan demi menyelesaikan
masalah tersebut. Yang paling membuat saya kagum adalah meskipun
dia sedang mendapat masalah semacam itu, dia tidak pernah berpikir
sedikit pun untuk lari kepada hal-hal negatif seperti alkohol, rokok,
ataupun narkoba demi menghilangkan beban pikiran yang harus
ditanggungnya. Ekspresi wajahnya pun selalu menunjukkan ekspresi
bahagia, seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi, meski saya tahu
sebenarnya dia memendam luka sangat dalam di hatinya. Saat
menghadapi ujian nasional pun, dia berhasil mendapat hasil yang
memuaskan meskipun dengan cobaan semacam itu.
Kesederhanaannya juga banyak mengajari saya. Hal lain yang masih
saya ingat adalah ketika masa pendaftaran SMA, ayahnya menawari
untuk mendaftar langsung ke salah satu SMA terkenal di Surabaya dan
akan diberi hadiah sebuah mobil. Namun, dia menolaknya dengan alasan
berkawan terang | 162
ingin berusaha sendiri dan tidak ingin repot dengan mobil karena masih
ada motor yang bisa dipakai. Tentu hal yang sangat sulit untuk ditolak
bagi remaja seumuran waktu itu, mengingat tipikal remaja Indonesia
yang manja dan susah diajak untuk berusaha dan hanya ingin hal yang
instan. Berkat kemauannya tersebut, dia berhasil diterima di sekolah
yang lumayan bagus, tidak kalah dengan penawaran sang ayah
sebelumnya, dan lebih lagi, dia berhasil dengan usahanya sendiri.
Selama masa SMA pun dia juga telah banyak mengajari saya tentang
kewirausahaan dan dia sama sekali tidak pelit dalam berbagi ilmu,
selalu membantu siapa pun selama dia sanggup. Banyak sekali nasihat-
nasihat yang saya dapat darinya, ketika saya mendapat masalah entah
itu masalah pribadi atau akademik.
Masalah berat yang harus dia tanggung pun tidak hanya satu, namun
ada lagi satu masalah yang harus dia alami ketika dia ditipu oleh
saudaranya sendiri. Dia tetap tabah dan menghadapi masalah tersebut
sampai tuntas, meskipun dia sempat dicap buruk oleh teman
berkawan terang | 163
sekolahnya yang juga ikut menjadi korban penipuan saudaranya. Dia juga
bisa menghadapi setiap ancaman-ancaman aneh dari temannya yang
tidak mau tahu dan mengerti bahwa kondisi mereka adalah sama-sama
korban. Dia sampai harus menjual motornya demi menutup semua uang
yang hilang dibawa oleh saudaranya, tanpa perlu meminta bantuan orang
tua.
Selama saya berteman dengannya, sudah banyak pelajaran yang
saya dapat, dan hal itu telah banyak mengubah diri dan pribadi saya.
Belajar untuk hidup sederhana, selalu bersabar menghadapi cobaan, dua
hal tersebut merupakan pelajaran berharga bagi saya. Selain itu, saya
juga belajar bagaimana menjadi seorang teman yang baik, seorang
teman yang selalu ada dalam suka dan duka, bukan seorang teman yang
hanya ada pada saat bahagia dan pergi ketika cobaan datang.
berkawan terang | 164
Kibar 2010
(R Arnas)
17 Agustus 1945 merupakan cikal bakal terbentuknya nama
Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Paskibraka selalu
eksis dalam berbagai kegiatan formal yang identik dengan seragam
putih atau biasa disebut PDU (pakaian dinas umum) beserta atribut
empolet hijau dengan simbol bunga teratai. Paskibra telah membawa
saya dalam berbagai kegiatan yang memberikan banyak pengalaman,
bahkan semua itu tidak dapat diukur dengan materi. Salah satunya
adalah Kibar 2010. Kibar merupakan kepanjangan dari “Kreatifitas
Pasukan Pengibar Bendera” yang diselenggarakan oleh SMAN 6
Surabaya setiap tahun, tepatnya bulan November untuk memperingati
hari pahlawan. Biasanya, kegiatan ini bertempat di GOR Pancasila
Surabaya. Ini merupakan salah satu dari sekian banyak lomba
Paskibraka yang selalu dinanti di Jawa dan Bali. Lomba ini menarik
banyak antusias dari kalangan Paskibraka hingga para khalayak umum.
berkawan terang | 165
Sehingga, kegiatan ini mendapat perhatian dari para wartawan untuk
tidak ketinggalan dalam meliput.
Seragam putih abu-abu telah mengenalkan saya untuk menelusuri
lebih jauh dibalik nama Pabrasma (Paskibra SMAN 1 Krian) melalui
ekstrakurikuler Paskibra favorit di SMA. Jarum jam menunjukkan pukul
13 tepat. Hari itu merupakan hari yang menegangkan karena sebagai
hari penentu kemampuan saya untuk pantas tidaknya menjadi pasukan
dalam peleton. Menapakkan kaki berlari lebih cepat dari sebelumnya,
seolah kaki ini tergerak seiring semangat membara. Terik matahari yang
menyayat kulit seakan menjadi sebuah awan hitam yang menaungi
setiap gerak saya. Saya beserta beberapa teman tiba di lapangan.
Para senior dan beberapa pelatih berdiri dengan tegap menatap
setiap junior yang saat itu berada tepat di depan mereka. Saya segera
berbaris membentuk peleton. Kata salam terlontar dari sapaan seorang
pelatih, menyambut semangat kami. Pelatih memberikan sedikit
instruksi kepada kami, tentang penyeleksian anggota peleton untuk
berkawan terang | 166
lomba Kibar 2010. Seolah ini merupakan surprise bagi saya. Di sisi lain,
ini merupakan sebuah amanat yang nantinya akan diemban beberapa
bulan ke depan. Saya beserta teman segera mempersiapkan diri
menunjukkan penampilan terbaik di hadapan para pelatih, berharap
menjadi salah seorang yang akan berdiri dalam barisan. Bersaing satu
sama lain dengan jumlah 80 anggota yang nantinya akan terseleksi
menjadi 22 anggota. Satu per satu teman telah diseleksi, pada saat
nama saya disebut, bergegas langkah ini melakukan setiap gerakan
sebaik mungkin. Tak lama kemudian, penyeleksian telah usai. Pukul
14.45, sore yang mendebarkan bagi saya untuk ingin segera mengetahui
22 nama yang tergores di atas secarik kertas. Nama salah satu sahabat
saya yang disebut saat itu, menambah optimis saya untuk bisa berdiri
dalam peleton. Lama menunggu, menjadikan optimis dan pesimis beradu
jadi satu. Namun, hati ini harus siap menerima apa pun yang nantinya
terjadi. Di ujung akhir pengumuman, nama saya muncul. Lisan tergerak
berucap, “Alhamdulillah....” Kebanggaan tersendiri bagi saya kala itu, di
berkawan terang | 167
satu sisi saya ikut merasakan sisa nama yang tidak disebutkan. Azan
Asar berkumandang, kami bergegas menuju masjid dengan letih dan
lelah yang telah mengerumuni. Saya bergegas menuju lapangan setelah
melakukan kewajiban, untuk menerima instruksi dan jadwal dari pelatih.
22 orang berkumpul dengan perasaan sangat senang penuh semangat,
mendengarkan setiap rangkaian kata dari sang pelatih.
Pukul 12.30, latihan pertama dijalankan. Baju olahraga merah dan
beberapa atribut telah melekat, mendorong saya untuk bergegas menuju
lapangan. Dikejutkan dengan suara bentakan dan sikap yang membuat
saya bertanya-tanya. Beberapa orang telah mengelilingi kami, di
antaranya para pelatih dan senior. Saya selalu meyakinkan pada diri
saya untuk selalu menguatkan mental dan menyadari bahwa ini adalah
sebuah amanat dari 58 anak. Optimis untuk menjadi yang terbaik dari
yang terbaik. Selalu itu yang saya tancapkan dalam benak sebagai obat
dari bentakan-bentakan itu. Beberapa jam kemudian, mata ini hanya
mampu melihat gelap di bawah teriknya matahari. Tanpa saya sadari,
berkawan terang | 168
tubuh ini terkulai lemas seakan tanpa ada penopang, saya
mengacungkan tangan untuk izin menepi.
Esok hari, saya melakukan latihan lagi yang sama dengan hari
sebelumnya. Push up, sit up, back up, lari, lompat gagak, dan jalan
jongkok merupakan sahabat saya. Semua itu saya lakukan dengan
penuh semangat tanpa kenal lelah sedikit pun. Tidak ada hari libur,
Senin hingga Minggu adalah hari yang sama bagi saya. Namun, manfaat
yang sungguh luar biasa saya dapatkan, mulai dari kesehatan tubuh
hingga kekuatan mental, bahkan kekeluargaan yang sangat solid.
Latihan ini berlangsung selama 2 bulan dengan berbagai latihan yang
cukup menguras fisik dan mental. Tepat 1 bulan latihan, di suatu hari,
kami mendapat hukuman yang mengharuskan kami berjalan jongkok
berputar mengelilingi aula sebanyak 5 kali. Hal ini disebabkan karena
ada beberapa teman yang minum tanpa memedulikan teman lain. Karena
menjadi seorang Paskibra dituntut dalam kebersamaan yang solid.
Tiba hari yang dinanti pukul 08.00, 21 November 2010. Kami
berkawan terang | 169
bersaing dengan 40 peleton dari berbagai SMA sederajat se-Jawa dan
Bali. Kibar 2010 bertemakan pahlawan, kami mengenakan kostum salah
satu wayang yakni Gatot Kaca. Tepat giliran saya, perasaan beradu
menjadi satu takut dan optimis. Kata takut bertopeng menjadi fokus,
saat danton peleton mulai memberikan aba-aba. Sorakan dan tepuk
tangan penonton membawa saya dalam keheningan dalam kurun waktu
penampilan 10 menit. Pukul 21.00, panitia mengumumkan 3 juara. Saya
menunggu hingga juara kedua, pesimis pun menghampiri saya. Tepat
juara ketiga, saya harus menerima kenyataan bahwa saat itu saya harus
meningkatkan kemampuan untuk event selanjutnya. Pulang dengan
tangan hampa. Di sisi lain saya merasa senang meskipun tidak dalam
ketiga besar, peleton kami mendapat urutan keenam.
Saya sangat bersyukur memiliki kesempatan dan pengalaman
teristimewa. Memperoleh banyak pelajaran yang mungkin tidak saya
dapatkan ketika berada dalam kelas. Kebersamaan yang solid, sifat
pantang menyerah, melalui setiap hambatan dengan optimis, tanggung
berkawan terang | 170
jawab, disiplin waktu, cepat tanggap, peduli terhadap sesama bahkan
yang sangat membanggakan ketika saya berada dalam suasana hangat,
ceria, sedih, maupun senang bersama mereka hingga saat ini. Itulah
pengalaman yang selalu menginspirasi saya dalam setiap jejak langkah
menghadapi berbagai problematika. Sehingga saya dapat menyebut
mereka, “My Second Family.”
“...setengah berlari mengejarlelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati
yang entah sudah di mana.”
terinspirasi inspirasi
terinspirasi inspirasi | 171
tiga
Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati
(Revi Cho)
Cerita ini berawal saat teman saya, Kicha, mengundang saya ke
rumah lamanya, desa Wringinanom, Gresik. Saat itu hari raya umat Islam
tahun 2010 baru sepekan dilaksanakan. Karena malamnya akan ada
acara makan-makan, saya dan Kicha segera pergi ke pasar Krian
membeli beberapa kebutuhan.
Mendadak seorang lelaki berpakaian lusuh menghampiri ketika kami
sedang membeli buah-buahan. Ia datang bersama seekor anjing. Tak
lama, ia mengeluarkan sebuah dompet biru muda dari tas plastik yang
dibawanya dan menyerahkannya pada Kicha.
“Periksa dulu, Mbak, siapa tahu ada yang hilang,” katanya.
terinspirasi inspirasi | 172
Kicha langsung menuruti. Meski sempat kaget bisa-bisanya ia
menjatuhkan benda seberharga itu. Satu-persatu selesai dicek, baik
uang, ATM, maupun surat-surat, tidak ada yang bergeser sedikit pun.
Setelah tahu isi dompet utuh, lelaki berpakaian lusuh tersenyum ke arah
penjual buah di depan kami dan pergi.
“Dia memang orang baik,” penjual buah di depan kami menyahut.
Setelah mendapatkan buah, Kicha mengajak saya pulang. Namun
saya masih sangat penasaran pada lelaki berpakaian lusuh baik hati
tadi. Saya menyuruh Kicha pulang sendiri dengan alasan masih ada
barang yang perlu saya beli di pasar itu.
Kicha meng-iya-kan dan pergi meninggalkan saya. Saya bergegas
mengikuti lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati dimulai dari ke arah mana ia
meninggalkan tempat si penjual buah. Saya menyusuri jalanan pasar
yang ramai, sampai di sebelah terminal saya melihat lelaki itu berdiri di
antara dua pot tanaman gersang, nampak prihatin dengan apa yang
dilihatnya, dia mengeluarkan botol berisi air mineral, menyiramkannya ke
terinspirasi inspirasi | 173
dalam dua pot tadi, lanjut berjalan ke perempatan.
Di perempatan, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati menemui dua
orang pengemis. Pengemis ini adalah ibu dan anak yang selalu duduk
meminta-minta. Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati mengeluarkan
dompet dari dalam sakunya, lantas memberikan beberapa lembar uang
lima ribu ke dalam kotak kecil yang dibawa anak si pengemis. Anak itu
tampak gembira, mereka berterima kasih pada lelaki-berpakaian-lusuh-
baik-hati.
Saya makin penasaran dengan lelaki itu. Saya terus mengikutinya.
Selanjutnya, ia berjalan menuju tempat penyeberangan. Di sana saya
melihat seorang ibu paruh baya bersedekap di atas gerobak sayur
miliknya. Ibu itu menoleh ke sana ke mari, dan ketika tahu lelaki-
berpakaian-lusuh-baik-hati datang, si ibu tersenyum. Jelas saja, tanpa
sepatah kata pun lelaki itu langsung membantu mendorong gerobak
sayur menyeberangi jalan raya. Ibu paruh baya berkali-kali mengucapkan
terima kasih begitu sampai seberang.
terinspirasi inspirasi | 174
Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati melanjutkan perjalanan. Kali ini ia
memasuki gang-gang sekitar pasar Krian. Ia terus berjalan masih
bersama anjing penurutnya yang tampak riang. Sampai di depan sebuah
rumah bercat putih, dia mengeluarkan tiga buah apel dan meletakkannya
di depan pintu. Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati mengetuk pintu dan
bergegas lari menghindari jangkauan mata si pembuka pintu nanti.
Kaget, saya sontak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar dekat
rumah tersebut.
Tak lama, dari balik pintu rumah, muncul seorang nenek yang
penasaran kenapa ada tiga buah apel di depan pintu rumahnya. Nenek
itu mengambilnya dan membawanya masuk. Saya setengah berlari
mengejar lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati yang entah sudah di mana.
Mencari dan terus mencari, namun kehilangan jejak. Saya sangat
kecewa. Dengan napas terengah, saya memutuskan untuk membeli
minuman di sebuah warung.
Di luar dugaan, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati ternyata sudah
terinspirasi inspirasi | 175
duduk di warung itu bersama anjing penurutnya. Untungnya lelaki itu
tidak mengetahui kalau saya yang sedari tadi mengikutinya, sekarang
berada di warung yang sama. Saya memilih duduk di pojok ruangan,
bermaksud agar bisa puas mengamati lelaki itu dari belakang. Sehabis
memesan segelas teh hangat, kembali saya perhatikan lelaki itu yang
sedang tersenyum mengusap kepala anjingnya, membagi ayam pesanan
yang baru datang karena memang si anjing kelihatan begitu ingin
melahap apa yang ada di atas meja.
Teh hangat pesanan saya juga datang. Seorang ibu yang
mengantarkannya, seakan paham apa yang saya pikirkan.
“Mbak penasaran dengan orang itu, ya?” sambil menunjuk lelaki-
berpakaian-lusuh-baik-hati ia tersenyum. Tanpa menunggu jawaban dari
saya, dia mulai bercerita. Saya tercengang mendengarkan cerita si ibu.
Bersama anjingnya, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati sudah
meninggalkan tempat, namun saya masih di sana merenungkan kisah
tentangnya. Ternyata, lelaki itu adalah seorang penjual koran yang
terinspirasi inspirasi | 176
tinggal di sebuah gubuk tua pinggiran kota. Pagi hari, ia menjual koran,
siang hari, ia berkeliling pasar mencari orang-orang yang butuh
bantuannya. Ia dikenal sangat baik oleh orang-orang sekitar pasar.
Setiap ada orang kekurangan bantuan, ia berusaha membantu tanpa
pamrih biar pun keadaannya sendiri serba kekurangan. Ia tetap bahagia.
Sebuah pelajaran yang amat berharga, bahwa kebahagiaan tidak
selalu dari sesuatu besar dan mewah, melainkan bisa berasal dari
sesuatu kecil yang kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia.
terinspirasi inspirasi | 177
Bapak Profesor
(Merry T)
Universitas Negeri Surabaya adalah tempat di mana aku
melanjutkan pendidikan demi mewujudkan cita-cita. Memang bukan
satu-satunya tempat untuk mendapatkan ilmu, tetapi di sanalah aku
memperjuangkan apa yang patut untuk diperjuangkan. Tidak hanya ilmu,
teman baru, atau bahkan pengalaman yang bisa aku dapatkan,
melainkan juga sebuah kenangan yang menjadi salah satu penyemangat
untuk terus berjuang meraih cita-cita tanpa kenal lelah.
Jika tidak salah, tiap hari Rabu setelah kelas Intensive Course di
gedung T8, aku berpapasan dengan salah satu dosen yang menggunakan
kursi roda sebagai alat untuk membantu beliau mengajar. Ternyata
beliau adalah seorang profesor, yang aku ketahui dari teman-temanku,
Prof. Suwono. Hari demi hari berlalu dan bertemu dengan beliau sudah
menjadi salah satu rutinitas di hari Rabu. Rasa penasaran pun muncul,
tetapi tertahan begitu saja. Mungkin karena aku belum mengenal beliau.
terinspirasi inspirasi | 178
Hingga muncul perasaan lain, bagaimana bisa beliau mengajar dengan
keadaan yang demikian? Beliau terlihat begitu sabar dan keinginan
mengabdi sekaligus berbagi ilmu kepada mahasiswanya begitu kuat.
Suatu hari, setelah UAS semester 2, di jurusanku diadakan kegiatan
baru, ESC (English Speaking Community). Kegiatan ini menjadi salah
satu prasyarat agar bisa mengambil skripsi nantinya. Semua dosen
berkewajiban menjadi penguji saat tes ESC berlangsung.
Pada hari tes ESC—entah itu kebetulan atau apa—penguji untuk
kelasku adalah Prof. Suwono. Aku dan teman-teman menunggu beliau
selama beberapa jam namun tak kunjung datang. Hampir saja kami mati
bosan, untungnya beliau datang juga, bersama sang istri. Mengendarai
mobil yang tiap hari setia menemani beliau. Beberapa anak dari kami
bermaksud membantu, tetapi Prof. Suwono dan istrinya menolak secara
halus. Sungguh momen yang langka. Meski dalam keadaan terbatas,
beliau tidak mau merepotkan orang lain.
Waktu tes pun dimulai, kami berlatih dan berdoa agar semua
terinspirasi inspirasi | 179
berjalan lancar sesuai harapan. Ketika giliranku memasuki ruangan,
beliau memberiku beberapa kertas dan aku disuruh mengambil salah
satunya. Setelah itu, beliau menanyakan beberapa hal padaku dan aku
menjawabnya dengan perasaan yang dag dig dug duuaaarrrrr! Beliau
bertanya tentang kota kelahiranku, aku pun menjelaskannya secara
detail. Di waktu yang sama kuperhatikan beliau seksama, tangan beliau
sedikit gemetar, aku tak tahu apa penyebabnya. Sambil tersenyum,
beliau menanggapi jawabanku hingga selesailah waktuku bersama
beliau.
Aku kembali berkumpul bersama teman-teman. Selanjutnya, salah
satu temanku, Prita, masuk ke dalam ruangan untuk melaksanakan tes
yang sama. Tak berapa lama Prita pun keluar dan membawa pesan pada
kami bahwa Prof. Suwono meminta agar salah satu dari kami
memanggilkan istrinya dikarenakan beliau sudah waktunya minum obat.
Segera aku bergegas mencari istri beliau, setiap sudut kampus
kutelusuri, tapi tak juga kutemukan. Aku takut, pikiranku sudah
terinspirasi inspirasi | 180
melanglang buana entah ke mana. Akhirnya, aku temui Prof. Suwono.
“Yasudah tidak apa-apa, terima kasih, ya,” sahut profesor dengan
raut wajah yang tetap tegar, usai kukatakan aku tak menemukan istri
beliau di mana pun. Tak lama setelah itu, kulihat istri Prof. Suwono dan
segera kuhampiri.
Satu kalimat yang aku ingat dari istri Prof. Suwono: “Maaf, Nak, tadi
saya ke musala, solat Duhur, terima kasih sudah mengingatkan.” Allah
Maha Besar, terenyuh rasanya melihat senyum beliau. Segera setelah itu
istri Prof. Suwono masuk dan memberikan obat.
Semenjak kejadian itu aku merasa malu dengan diriku sendiri, Allah
sudah memberikanku semua hal tanpa kekurangan tapi kenapa aku
masih merasa tidak cukup. Usiaku masih muda, pikiranku tidak
terganggu oleh apa pun, fisik juga masih kuat menopang segala macam
ujian, tetapi terkena kerikil saat berjalan saja sudah mengeluh minta
ampun. Sedangkan Prof. Suwono, beliau memiliki keterbatasan, namun
tak sedikit pun terlintas di benak beliau untuk mundur bahkan
terinspirasi inspirasi | 181
mengeluh. Pengabdian, kesabaran, dan cinta beliau pada mahasiswanya
membuktikan bahwa beliau benar-benar seseorang yang memiliki hidup
luar biasa.
Sejak saat itu aku tidak membiasakan diri untuk mengeluh,
berusaha mencintai, menghargai, serta menjaga apa yang sudah menjadi
milikku. Terima kasih, Bapak Profesor, mungkin Allah memiliki cara lain
untuk mengetuk setiap pintu hati umat-Nya, atas kehendak-Nya, Bapak
Profesor menjadi perantara dalam menyadarkanku agar tidak putus asa
bagaimanapun keadaan yang akan aku lalui, bersemangat meraih cita-
cita demi membanggakan orang tua adalah wajib.
terinspirasi inspirasi | 182
Jangan Meremehkan Orang Lain
(Laurenna Y)
Pada suatu hari tepatnya hari Sabtu, saya diajak teman untuk
berenang karena libur kuliah. Ketika sudah mulai lelah kami pun
memutuskan segera balik pulang. Dan lapar pun melanda. Langsunglah
kami masuk ke sebuah rumah makan, yang tadinya bermaksud memilih
menu makanan, malah terkejut kami dibuatnya. Betapa mahal harga
yang tertera di sana. Tetapi teman saya menanggapi dengan santai,
“Kita sudah memesan, tidak mungkin kembali.”
Makanan pun tiba dan kami menyantapnya dengan lahap. Di ujung
ruangan saya lihat seorang anak baru saja masuk. Seorang diri,
berpakaian sederhana, duduk di kursi di sisi kanan saya. Dia pun
memanggil salah satu pelayan. Tak lama, seorang pelayan perempuan
menghampirinya, memberikan buku menu. Pelayan tersebut agak heran
mengapa anak kecil itu berani masuk ke dalam rumah makan yang
mahal, padahal dari penampilan saja, si pelayan tidak yakin kalau
terinspirasi inspirasi | 183
pelanggan barunya itu mampu membayar.
“Berapa harga es krim yang diberi saus stroberi dan cokelat?”
“Lima puluh ribu.”
Anak kecil itu memasukkan tangan ke dalam saku celana lalu
mengambil beberapa receh dan menghitungnya. “Kalau es krim yang
tidak diberi saus?”
Si pelayan mengerutkan kening, “Dua puluh ribu.”
Sekali lagi anak kecil itu mengambil receh dari dalam saku celana
dan lagi-lagi mengitung. “Kalau aku pesan separuh es krim tanpa saus
stroberi dan cokelat berapa?”
Kesal dengan kelakuan pembeli kecil itu, pelayan ketus, “Sepuluh
ribu!”
Si anak tersenyum, “Baiklah aku pesan itu saja, terima kasih!”
Pelayan itu mencatat pesanan, menyerahkan pada bagian dapur, lalu
kembali sambil membawa es krim. Anak itu tampak gembira dan
menikmati es krim yang hanya seperlima harga dengan sukacita. Dia
terinspirasi inspirasi | 184
melahap es krim sampai habis. Kemudian si pelayan kembali datang
memberikan nota pembayaran.
“Semua sepuluh ribu, kan?” tanya anak itu lalu membayar es krim
pesanannya dengan setumpuk uang receh. Wajah sang pelayan tampak
masam karena harus menghitung ulang receh-receh itu. Tiba-tiba sang
anak mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celana
belakangnya, “Dan ini tips untuk Anda!” ujar sang anak sambil
menyerahkan uang tersebut ke si pelayan.
Tidak hanya si pelayan, saya dan teman saya pun terkejut. Si anak
kecil hanya tersenyum memandang si pelayan ketika pelayan menerima
uangnya. Tak lama kemudian, ia langsung meninggalkan rumah makan
mahal itu. Begitu pula kami.
Di sepanjang perjalanan, saya dan teman saya masih keheranan
dengan anak kecil tadi. Bagaimana mungkin anak sekecil berpakaian
sesederhana itu memilih rumah makan mahal?
“Mungkin anak kecil itu salah masuk rumah makan?” tebak teman
terinspirasi inspirasi | 185
saya yang langsung saya iya-kan.
Sesampainya di rumah, saya merenung sejenak dan saya
menyimpulkan, adakalanya kita jangan melihat apa yang melekat pada
tubuh seseorang sebagai penilaian, sebab kita tidak pernah tahu
seseorang yang kita remehkan itu bisa jadi merupakan pengantar rezeki
tak terduga.
terinspirasi inspirasi | 186
Polisi juga Manusia
(Lutfiatul I)
Aku teringat akan masa di mana kali pertamanya aku mengendarai
motor di jalan raya. Awalnya semua baik-baik saja, hingga ada operasi
kendaraan, aku bingung harus berbuat apa karena waktu itu adalah
waktu di mana aku berangkat ke sekolah, dan sialnya, aku bukanlah
pengendara yang baik yang punya surat-surat lengkap. Kuhentikan
motor dengan segera, berusaha serileks mungkin agar tidak terkesan
mencurigakan di hadapan mereka yang berseragam hijau, meski
nyatanya sungguh nervous. Kuakui aku memang salah.
Beruntungnya ketika giliranku tiba.
“Punya SIM?” dengan suara lantang polisi tadi seolah menyergapku.
Aku pun langsung menjawab, “Punya, Pak,” tanpa pikir panjang.
Waktu itu aku hanya menyodorkan STNK dan beliau kembali
bertanya, atau lebih tepatnya... curiga. “SIM-nya ada?” nadanya masih
tinggi.
terinspirasi inspirasi | 187
“Ada, Pak,” jawabku tegas. Padahal gugup.
Kugerakkan tanganku untuk kembali membuka tas. Ketika aku
sendiri tidak tahu apa yang sedang aku cari, tiba-tiba pak polisi tadi
mempersilakan aku pergi dengan menyerahkan kembali STNK-ku. Alisku
sempat bertemu karena bingung yang campur aduk.
Apa benar ini sudah tidak apa-apa? Apa benar sudah boleh lanjut?
Batinku. Kumasukkan lagi STNK ke dalam tas setelah kumajukan
motorku. Dengan kaki masih gemetaran, aku memperhatikan
sekelilingku. Benar saja, itu adalah tempat di mana pengendara sudah
diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Mereka yang berseragam hijau
benar-benar sudah berada di belakangku. Aku tak percaya kala itu
bahwa aku telah melewati mereka!
Dengan memburu waktu, motorku pun melaju. Masih tak percaya
apa yang barusan terjadi. Bayangkan, sepagi ini aku sudah melakukan
kesalahan! Semakin merasa bersalah karena sudah membohongi
mereka.
terinspirasi inspirasi | 188
Sepanjang perjalanan, pikiranku terlanjur tidak fokus sehingga yang
awalnya hanya ingin membalap mobil di depanku, malah hilang
keseimbangan. Untungnya, aku tak jadi menabrak mobil tadi. Tapi nahas,
aku mengerem mendadak dan oleng. Aku bersyukur tak ada luka yang
berarti di tubuhku. Hanya ujung ruas jari-jari tangan saja yang tergesek
dan warna rok yang berubah abu-abu karena sedikit terkikis oleh aspal.
Itu saja. Akan tetapi spion kiriku tak bisa berdiri tegak. Sudah aku putar-
putar, hasilnya nihil. Ia tak bisa kembali seperti sedia kala. Mobil putih di
depanku pun berhenti. Muncullah seorang pemuda menanyakan
kondisiku.
“Gak papa, Dek?”
“Iya, gak papa, kok,” sahutku lirih menahan sakit.
“Sudah tahu ada mobil mau belok, masih maju aja. Bener gak papa,
kan?”
“Iya. Maaf. Habisnya ini buru-buru. Tapi gak papa kok, terima kasih.”
Usai mendengar jawabanku, dia berlalu dan meninggalkanku sendiri.
terinspirasi inspirasi | 189
Aku beruntung jalanan tidak seramai biasanya. Jadi tidak begitu
menanggung malu. Kupikir ini pasti karma. Suatu kesalahan yang aku
lakukan pagi ini dibalas langsung dengan kejadian tak terduga ini.
Ya Allah, aku tahu aku salah. Besok takkan ulangi, janjiku dalam
hati. Akhir cerita, aku bertekad mendapatkan SIM. Sudah lama aku
menunggu hari bahagia itu. Dulu, setiap pulang dan pergi, pasti aku
waspada akan adanya operasi. Entah itu hanya ketakutan karena aku
tak punya SIM atau pernah hampir menabrak mobil di tikungan waktu
itu. Yang pasti, aku tak ingin melakukan kesalahan dengan berbohong
kepada mereka para Polantas. Aku tahu sebenarnya mereka tak
menakutkan. Mereka hanya menjalankan tugas. Tapi perasaan ketika
melihat mereka seakan membawa pengaruh besar di pikiranku.
Disiplin. Mungkin itu kata yang pantas aku ucapkan saat ini. Dengan
tegap dan tak kenal lelah mengatur jalanan. Kemacetan dan bunyi
klakson yang merongrong di pagi buta itu mestilah berkurang karena
mereka. Yah, walau sedikit. Tapi yang penting mereka sudah
terinspirasi inspirasi | 190
mengerjakan tugas.
Jadi, teman-teman, bagi kalian yang takut pada polisi, entah itu
polisi lalu lintas atau polisi berseragam cokelat, jangan lagi takut.
Mereka hanya menjalankan tugas yang sudah semestinya mereka
lakukan. Intinya, kalau kalian sudah mematuhi peraturan dan sudah
menjadi warga negara yang baik. So, apa lagi yang ditakutkan?
terinspirasi inspirasi | 191
terinspirasi inspirasi | 192
“Ojo Wedi Dadi Santri!”
(H Yaqin)
Santri itu kuno, norak, sulit menerima perbedaan, sulit bersaing di
bidang pekerjaan, serta bermasa depan suram.
Itulah sekiranya kata-kata yang mungkin tersemat dalam pikiran
kebanyakan orang yang belum pernah merasakan indahnya kehidupan
‘penjara suci’ sehingga mereka cenderung takut serta khawatir
seandainya anak-anak mereka hidup dalam lingkungan tersebut. Alasan
itu semua berlandaskan metode pengajaran di pesantren yang dianggap
kolot. Mereka menganggap apa yang diedukasikan hanyalah tentang
agama tertentu tanpa membekali ilmu untuk menghadapi ketatnya
persaingan dunia karir. Namun, mereka tidak sadar bahwa justru
pesantren adalah wadah paling tepat untuk mereka yang masih dalam
tahap untuk mencari jati diri. Dunia pesantren menuntut siapa saja di
dalamnya untuk hidup mandiri, tangguh, percaya diri, menjunjung tinggi
kebersamaan serta sosial, dan masih banyak lagi lainnya. Ekspektasi
terinspirasi inspirasi | 193
akan sulitnya bersaing di bidang pekerjaan dan suramnya masa depan
bagi para santri juga tidak pernah terbukti. Namun sebaliknya, para
santri kebanyakan melangsungkan hidup tanpa menggantungkan orang
lain (sebagai karyawan) dengan menciptakan pekerjaan sendiri.
Dalam persepsi kebanyakan orang, lulusan pesantren hanya akan
menjadi pemuka atau tokoh agama, namun persepsi tersebut akhirnya
termentahkan. Salah satu tokoh yang menginspirasi saya dalam hal ini
ialah guru bahasa Inggris saya yang juga menjadi pelopor berdirinya
Kampoeng Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Beliau adalah Bapak
Kalend Osen atau yang biasa dikenal Pak Kalend. Lahir di Kutai
Kartanegara, Kalimantan, pada 4 Februari 1945 silam. Beliau bukanlah
keturunan bangsawan atau priyayi yang bergelimang harta. Bahkan
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja beliau harus banting tulang
sendiri. Namun siapa sangka, kejamnya kehidupan mengantarkan beliau
untuk memutar otak agar bisa mengubah kehidupan beliau serta
keluarga. Dalam benaknya, beliau menyadari bahwa untuk menjadi lebih
terinspirasi inspirasi | 194
baik setiap orang harus belajar dan berusaha keras serta mendekatkan
diri pada sang Pencipta.
Beliau bertekad untuk menyantri di pondok pesantren Gontor
Ponorogo, Jawa Timur, sebagai bentuk ikhtiar dalam belajar dan
mengharap rida sang kuasa. Namun, lagi-lagi keterbatasan dana menjadi
sandungan beliau untuk mewujudkannya. Alasan itu tidak semerta-
merta mengendurkan tekad beliau. Pak Kalend kemudian mulai
mengumpulkan benih-benih rupiah dengan menjadi buruh tani. Setelah
dikiranya cukup untuk bekal studinya, beliau memantapkan niat untuk
berangkat merantau ke pulau sebrang. Dengan melalui panjangnya
berbagai seleksi ketat masuk pesantren, kecerdasan Pak Kalend
akhirnya berhasil mengantarkan beliau masuk di pesantren berbasis
modern tersebut.
Waktu demi waktu terus berjalan. Berbagai prestasi telah digondol
Pak Kalend selama di pesantren. Namun apa daya, modal saku yang
dibawa Pak Kalend akhirnya tidak mencukupi untuk melanjutkan studi
terinspirasi inspirasi | 195
beliau. Setelah mengukur berbagai pertimbangan, beliau kemudian
membulatkan tekad untuk keluar dari pesantren walau terasa sangat
berat dalam lubuk hati. Kondisi ini tidak kemudian mematahkan sedikit
pun tekad beliau untuk terus belajar. Beberapa guru dan teman beliau
menyarankan Pak Kalend untuk belajar kepada seorang kiai yang
menguasai lebih dari tujuh bahasa. Sang kiai ini ialah K. H. Ahmad Yazid
yang tinggal di dusun Pelem, Kediri.
Bermodalkan niat teguh, Pak Kalend melanjutkan perantauannya
untuk belajar bahasa khususnya bahasa Inggris kepada sang “master”.
Karena kemuliaan hati yang dimiliki kiai Yazid, Pak Kalend diperbolehkan
belajar secara cuma-cuma. Hal tersebut mungkin tidak pernah
terbayang di pikiran Pak Kalend sebelumnya. Dengan tekun dan disiplin
Pak Kalend belajar dengan kiai karismatik tersebut. Dengan modal
berbagai bahasa asing yang didapat sewaktu di pesantren, Pak Kalend
pun mudah mempelajari apa yang disampaikan sang kiai.
Sampai akhirnya, tibalah saat-saat di mana nama Pak Kalend kali
terinspirasi inspirasi | 196
pertama dikenal orang. Ketika kiai sedang bepergian ke Majalengka
selama beberapa hari, datanglah dua mahasiswa IAIN (sekarang menjadi
UIN) Surabaya yang hendak belajar bahasa Inggris kepada kiai Yazid
untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa. Mereka
kemudian hanya dapat bertemu dengan istri kiai. Sang istri
menyarankan untuk belajar pada Pak Kalend yang kala itu sedang
menyapu halaman masjid.
“Pak Kiai sedang pergi, mending kalian belajar sama orang itu yang
sedang menyapu halaman masjid,” tutur sang istri seraya menunjuk Pak
Kalend. Tanpa berpikir panjang, mereka menghampiri Pak Kalend dan
meminta agar mau mengajari bahasa Inggris. Pak Kalend pun sangat
terkejut dan keheranan mendengar permintaan mereka. Sadar akan
status beliau yang juga dalam proses pembelajaran, juga tidak pernah
merasakan bangku perkuliahaan, beliau pun menolak secara halus.
Namun karena perintah dari istri kiai, Pak Kalend pun kemudian
menyanggupi. Pak Kalend lalu membuat kesepakatan bahwa beliau
terinspirasi inspirasi | 197
hanya akan menyampaikan sesuai kemampuan beliau.
Setelah membaca beberapa contoh soal yang akan diujikan sebagai
syarat kelulusan, Pak Kalend terkejut dengan soal-soal tersebut. Beliau
merasa bahwa soal-soal tersebut sangat mudah dijawab dan beliau
tidak pernah membayangkan akan hal itu. Rasa takut yang melekat
pada diri beliau pun hilang begitu cepatnya dan beliau dapat bernapas
lega.
Rasa percaya diri ketika menghadapi ujian timbul dalam diri dua
mahasiswa tersebut setelah hanya dalam jangka lima hari belajar
bersama Pak Kalend. Sampailah pada saat di mana mereka lulus dengan
nilai yang mengagumkan. Teman-teman mereka sangat kaget dengan
apa yang telah mereka capai mengingat mereka sangat diragukan untuk
lulus dengan modal bahasa Inggris yang tidak layak dijagokan. Teman-
teman mereka akhirnya mendatangi mereka dan menanyakan rasa
penasarannya. Dari situlah nama Pak Kalend mulai dikenal mulut ke
mulut. Tanpa disadari, apa yang mereka lakukan seakan menjadikan
terinspirasi inspirasi | 198
promosi mujarab untuk nama seorang Kalend Osen. Keberhasilan dua
mahasiswa itu memberi suntikan motivasi kepada teman-temannya
untuk mengikuti jejak yang mereka tempuh.
Setelah pengumuman kelulusan itulah dua mahasiswa tersebut
datang kepada Pak Kalend membawa beberapa orang yang berniat untuk
belajar bersama beliau. Keberhasilan metode yang diterapkan beliau
terus mengalirkan murid-murid yang berminat belajar bahasa Inggris.
Hingga akhirnya, Pak Kalend disarankan untuk membentuk lembaga
kursus bahasa Inggris. Sampai terbentuklah nama Basic English Course
(BEC) pada 15 juni 1977 yang hingga kini telah mencetak puluhan ribu
murid bahasa Inggris. Sepak terjang beliau untuk membentuk lembaga
kursus tidak semulus yang dibayangkan. Masyarakat sekitar sempat
meragukan apa yang beliau rintis. Namun, bukan Pak Kalend namanya
kalau hal seperti itu saja tekad beliau rapuh. Beliau terus nekat meraih
apa yang disarankan kiai Yazid hingga keberhasilan merintis kursus
bahasa Inggris juga dirasakan masyarakat sekitar yang awalnya sempat
terinspirasi inspirasi | 199
meragukan bahkan mencemooh beliau. Masyarakat umumnya menyulap
rumah mereka menjadi tempat hunian bagi para murid Pak Kalend,
rumah makan, serta usaha-usaha rumahan lainnya. Mereka kemudian
meminta maaf serta berterima kasih kepada beliau.
Kesuksesan Pak Kalend membentuk Kampoeng Inggris menjadikan
nama beliau dikenal harum masyarakat di seluruh Indonesia mengingat
murid-murid beliau yang berdatangan dari penjuru Indonesia. Hingga
akhirnya beliau mendapat penghargaan dari berbagai media televisi
nasional dan swasta di Indonesia.
Beliau hanyalah satu dari ribuan santri yang telah berhasil
membuktikan bahwa masa depan santri tidaklah suram seperti yang
dipercayai. Siapa pun mereka, mereka telah membuktikan diri sebagai
santri intelek mampu bersaing melawan lulusan sekolah favorit.
Semoga ini dapat terus menginspirasi saya pribadi bahkan kalangan
banyak untuk terus percaya diri sebagai seorang santri. Oleh karenanya,
motto, “Ojo wedi dadi santri!” terus saya lekatkan dalam benak.
terinspirasi inspirasi | 200
Inspiring Story of Mark Zuckerberg
(Alif B)
Pada 2006, Mark Zuckerberg membuat dunia terheran dengan
menolak tawaran Yahoo untuk membeli Facebook seharga 1 juta dolar.
Ayahnya sendiri membelikannya komputer sejak ia berusia delapan
tahun. Di Harvard inilah Zuckerberg menemukan ide membuat buku
direktori mahasiswa online karena universitasnya tak membagikan
facebook (buku mahasiswa yang memuat foto dan identitas
mahasiswa) pada mahasiswa baru sebagai ajang pertemanan di antara
mereka. Setiap pemilik account punya ruang untuk memajang fotonya,
teman-temannya, network, dan melakukan hal lainnya seperti bisa
berkirim pesan dan lain sebagainya.
Banyaknya aplikasi yang bisa digunakan oleh anggotanya membuat
Facebook digandrungi banyak orang. Setidaknya 140 aplikasi baru
ditambahkan ke Facebook setiap harinya dan 95% pemilik account
Facebook telah menggunakan minimal satu aplikasi.
terinspirasi inspirasi | 201
Dalam tempo empat bulan Facebook sudah bisa menjaring 30
kampus. Dan dalam hal jumlah trafik pengakses Facebook menjadi
website teraktif ke-6 di dunia dan menjadi website jejaring sosial kedua
terbesar versi camScore. Jumlah anggota Facebook yang jutaan orang
itu menjadi tambang emas yang menggiurkan. Sejauh ini Zuckerberg
mengatakan Facebook tak akan dijual.
Melesatnya bisnis Facebook membuat Zuckerberg menampung
kekayaan luar biasa. Namun kontroversi tetap saja muncul dari negara-
negara seperti Myanmar, Bhutan, Syria, Arab Saudi, Iran, dan sebagainya
yang menyebutkan kalau Facebook mempromosikan serangan terhadap
otoritas pemerintahannya sehingga akses terhadap Facebook di negara
tersebut ditutup.
Di tengah sejumlah kontroversi itu, nama Facebook dan Mark
Zuckerberg tetap digandrungi banyak orang. Semua orang sudah
mengenal Facebook, tidak memandang usia mulai dari anak-anak
sampai dewasa sudah mengenal Facebook. Memang saat ini Facebook
terinspirasi inspirasi | 202
menjadi jejaring sosial yang paling populer. Di samping sebagai alat
untuk sharing foto-foto, Facebook merupakan alat komunikasi sesama
teman. Dan yang paling berguna bagi saya adalah alat untuk mencari
teman, baik teman waktu kecil, teman waktu sekolah, teman waktu
kuliah, teman waktu kerja, sanak saudara atau keluarga yang jauh,
semuanya bisa kita cari dan temukan di Facebook. Luar biasa memang
kegunaan Facebook, semua teman atau saudara atau keluarga yang
tidak pernah ketemu bertahun-tahun, akhirnya bisa ketemu di Facebook.
Untuk itu tidak ada salahnya marilah kita mengenal awal mula lahirnya
Facebook. Facebook ini sebenarnya dibuat sebagai situs jaringan
pertemanan terbatas pada kalangan kampus pembuatnya, yakni Mark
Zuckerberg.
Mendapati Facebook mampu menjadi magnet yang kuat untuk
menarik banyak orang bergabung, ia memutuskan mengikuti jejak
seniornya—Bill Gates—memilih drop out agar serius meng-handle
situsnya itu. Mark dan rekannya berhasil membuat Facebook jadi situs
terinspirasi inspirasi | 203
jaringan pertemanan yang segera melambung namanya, mengikuti tren
Friendster yang juga berkembang kala itu. Bayangkan, Ada 9.373
aplikasi yang terbagi dalam 22 kategori yang bisa dipakai untuk
menyemarakkan halaman Facebook, mulai chat, game, pesan instan,
sampai urusan politik dan berbagai hal lainnya. Jadi, data yang dibuat
tiap orang lebih jelas dibandingkan situs pertemanan lain. Hal ini yang
membuat orang makin nyaman dengan Facebook untuk mencari teman,
baik yang sudah dikenal ataupun mencari kenalan baru di berbagai
belahan dunia.
Sejak kemunculan Facebook tahun 2004, anggota terus
berkembang pesat. Situs itu tercatat sudah dikunjungi 60 juta orang
dan bahkan Mark Zuckerberg berani menargetkan pada tahun 2008,
angka tersebut akan mencapai 200 juta anggota. Dengan berbagai
keunggulan dan jumlah peminat yang luar biasa, Facebook menjadi
‘barang dagangan’ yang sangat laku. Sungguh, kejelian melihat peluang
dan niatan baiknya ternyata mampu digabungkan menjadi sebuah nilai
terinspirasi inspirasi | 204
tambah yang luar biasa.
Ini menjadi contoh bagi kita, bahwa niat baik ditambah perjuangan
dan ketekunan dalam menggarap peluang akan melahirkan kesempatan
yang dapat mengubah hidup makin bermakna.
Konon, melalui situs tersebut, banyak orang-orang yang lama tak
bersatu, bisa kembali bersatu, reunian, dan bahkan berjodoh. Pada
sejumlah college dan sekolah preparatory di Amerika Serikat, ‘buku’ ini
diberikan pada mahasiswa atau staf fakultas yang baru agar bisa lebih
mengenal orang lain di kampus bersangkutan.
terinspirasi inspirasi | 205
Baharudin Jusuf Habibie
(Astri R)
Salah satu tokoh panutan dan menjadi kebanggaan bagi banyak
orang di Indonesia dan juga presiden ketiga Republik Indonesia, dialah
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di
Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak
keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan
RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun
Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu
Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Masa kecil Habibie dilalui bersama
saudara-saudaranya di Pare-Pare. Sifat tegas berpegang pada prinsip
telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya
kegemaran menunggang kuda dan membaca ini dikenal sangat cerdas
ketika masih menduduki sekolah dasar, namun ia harus kehilangan
bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena
serangan jantung saat sedang salat Isya.
terinspirasi inspirasi | 206
Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian menjual
rumah dan kendaraannya lalu mereka pindah ke Bandung, sepeninggal
ayahnya, ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-anaknya
terutama Habibie, karena kemauan untuk belajar Habibie menuntut ilmu
di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak
menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta.
Habibie menjadi sosok favorit di sekolah.
Karena kecerdasannya, setelah tamat SMA di Bandung tahun 1954,
beliau masuk di ITB (Institut Teknologi Bandung) namun tidak sampai
selesai di sana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman,
karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan
penerbangan bagi Indonesia maka ia memilih jurusan Teknik
Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi Pesawat Terbang di Rhein
Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH). Ketika sampai di
Jerman, beliau sudah bertekad harus sukses, dengan mengingat jerih
terinspirasi inspirasi | 207
payah ibunya yang membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari.
Beberapa tahun kemudian, 1955 di Aachean, 99% mahasiswa Indonesia
yang belajar di sana diberikan beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang
memiliki paspor hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain.
Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang
harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis
masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda
dengan teman-temannya yang lain, mereka lebih banyak menggunakan
waktu liburan musim panas untuk bekerja, mencari pengalaman dan
uang tanpa mengikuti ujian.
Beliau mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule,
Jerman tahun 1960 dengan predikat cumlaude (sempurna) dengan nilai
rata-rata 9,5 bergelar insinyur, beliau mendaftarkan diri untuk bekerja di
Firma Talbot, sebuah industri kereta api Jerman. Pada saat itu Firma
Talbot membutuhkan sebuah wagon yang bervolume besar untuk
mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Talbot
terinspirasi inspirasi | 208
membutuhkan 1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Habibie
mencoba mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap pesawat
terbang yang ia terapkan pada wagon dan akhirnya berhasil.
Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studi untuk gelar Doktor di
Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean
kemudian Habibie menikah pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun Habibie
yang kemudian diboyong ke Jerman, hidupnya makin keras, di pagi-pagi
sekali Habibie terkadang harus berjalan cepat ke tempat kerjanya yang
jauh untuk menghemat kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada
malam hari dan belajar untuk kuliahnya, istrinya harus mengantri di
tempat pencucian umum untuk mencuci baju agar bisa menghemat
kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar
Dr. Ingenieur dengan penilaian summa cumlaude (sangat sempurna)
dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer
Maschinenwesen Aachean.
Rumus yang ditemukan oleh Habibie dinamai "Faktor Habibie"
terinspirasi inspirasi | 209
karena bisa menghitung keretakan atau crack propagation on random
sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga ia di juluki sebagai
"Mr. Crack". Pada tahun 1967, menjadi profesor kehormatan (guru
besar) pada Institut Teknologi Bandung. Kejeniusan dan prestasi inilah
yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional di antaranya,
Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan
Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris),
The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The
Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The US
Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan
bergengsi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award
dan Award von Karman yang hampir setara dengan hadiah Nobel. Di
dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi,
banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat
terinspirasi inspirasi | 210
dengannya. Setiap kali peraih penghargaan bergengsi Theodore van
Karman Award itu kembali dari ‘habitat’-nya, Jerman, beliau selalu
menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun
kuliah hingga meraih gelar Doktor Konstruksi Pesawat Terbang di
Jerman dengan predikat summa cumlaude. Lalu bekerja di industri
pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi
panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara
Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis,
dipilih MPR menjadi wakil presiden RI, dan disumpah oleh ketua
mahkamah agung menjadi presiden RI menggantikan Soeharto menjadi
presiden republik Indonesia ke-3. Soeharto menyerahkan jabatan
presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai
akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur
yang memilih merdeka. Pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR RI.
Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah
terinspirasi inspirasi | 211
bermukim ke Jerman.
Pada tanggal 22 Mei 2010, sang istri, Hasri Ainun Habibie,
meninggal di rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum,
Muenchen, Jerman. Ia meninggal pada hari Sabtu pukul 17.30 waktu
setempat atau 22.30 WIB. Kabar meninggalnya Hasri Ainun didapat dari
kepastian Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR yang ditunjuk
menjadi wakil keluarga B. J. Habibie. Ini menjadi duka yang amat
mendalam bagi Mantan Presiden Habibie dan rakyat Indonesia yang
merasa kehilangan. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah
mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya,
pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah memunyai akhir,
setiap mimpi memunyai batas.
"Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ibu
Ainun istri saya. Ia ikuti ke mana saja saya pergi dengan penuh kasih
sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah
dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya.
terinspirasi inspirasi | 212
Gini ya, saya mau kasih informasi.... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun
mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda
dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu," papar B. J. Habibie.
Pada awal desember 2012, sebuah film yang berjudul "Habibie dan
Ainun" diluncurkan, film ini mengangkat kisah nyata tentang romantisme
saat mereka masih remaja hingga menjadi suami istri dan saat ajal
memisahkan. Film yang diambil dari buku terlaris karya B. J. Habibie ini
digarap oleh dua sutradara yaitu Faozan Rizal dan Hanung Bramantyo,
dengan Reza Rahardian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai
Ainun Habibie.
terinspirasi inspirasi | 213
Lingnan Impression, Surga Kecil yang Kutemukan
(DSP)
Selasa siang. Matahari bersinar ragu-ragu di langit Guangzhou.
Lingnan Impression, surganya budaya Cina di Paiyun District, Guangzhou.
Lingnan Impression adalah kompleks bangunan seperti kuil yang di
dalamnya tersimpan bermacam-macam cerita dari sejarah besar
Guangzhou yang indah. Setiap kuil memiliki ceritanya masing-masing,
salah satu yang pernah kumasuki adalah kuil yang di dalamnya
tersimpan sejarah bela diri khas Cina, Wushu, di mana terdapat benda-
benda yang berhubungan erat dengan bela diri yang dipopulerkan oleh
aktor legendaris Bruce Lee. Masih banyak bangunan dengan segudang
sejarah yang membuatku harus menghabiskan seharian penuh untuk
menjelajahinya, seperti gedung pertunjukan, air terjun, Children Park,
dan Imperial Park.
Di sebelah Timur, jika berjalan lurus dari Kuil Wushu, terdapat
gedung pertunjukan seperti wayang. Wayang itu menceritakan tentang
terinspirasi inspirasi | 214
ketulusan dan kesombongan seekor serigala dan seorang sarjana tua
sebagai tokohnya. Berlatar kehidupan Cina zaman kerajaan, pertunjukan
itu banyak mengundang tawa, namun tak pernah menghilangkan
maksud dan pesan yang dibawanya. Pertunjukan berlangsung sekitar 15
menit. Aku keluar dari gedung itu sambil tersenyum dengan uap hangat
mengepul dari mulutku. Lingnan Impression terletak di samping sungai
yang membentang dari Selatan hingga Utara Cina, sungai indah, besar
dan bersih. Sungai paling bersih yang pernah kutemui. Suhu hari itu juga
cukup ekstrem namun Guangzhou tak pernah mendapatkan salju. Ketika
menolehkan kepala ke kiri, aku langsung melihat dinding air yang jatuh
berirama menimpa genangan air di bawahnya.
Lingnan Waterfall adalah air terjun buatan setinggi 2 meter yang
didesain bertingkat. Air dari sumbernya jatuh pertama pada tingkat
pertama yang kira-kira berjarak setengah meter dari puncak, lalu
mengalir jatuh ke tingkat selanjutnya. Di bawahnya, ada kolam ikan
besar yang hanya diisi oleh satu jenis ikan, ikan koi. Konon, ikan koi
terinspirasi inspirasi | 215
adalah simbol keberuntungan bagi masyarakat Cina. Pada zaman
dahulu, ikan koi hanya terdapat di kolam-kolam kerajaan Tiongkok.
Dipercaya, jika banyak ikan mendekat saat kita berada di sekitar kolam
ikan Lingnan Impression, maka keberuntungan akan selalu menyertai
kita. Semakin besar ikan yang datang, semakin besar pula
keberuntungan yang kita miliki. Semakin banyak ikan mendekat, maka
seperti itu pula keberuntungan akan mendekati kita.
Dari Lingnan Impression Waterfall, aku melanjutkan perjalanan
menaiki ratusan anak tangga menuju suatu tempat, yang dari bawah
terlihat begitu menyenangkan. Lelah, aku berhenti sejenak di tengah
tangga. Masih puluhan anak tangga lagi menuju puncak Lingnan. Dari
tangga itu, aku bisa melihat setengah kota Guangzhou yang sebagian
besarnya adalah bangunan-bangunan besar pencakar langit. Kebanyakan
adalah apartemen, yah, Guangzhou adalah salah satu kota besar selain
Beijing, Shanghai, Wuhan, dan masih banyak lagi yang berkembang
pesat pembangunannya. Umumnya, Guangzhou terkenal dengan produk
terinspirasi inspirasi | 216
fesyennya. Banyak pengusaha dari Indonesia yang membeli barang-
barang untuk dijual. Kembali ke Lingnan, sepertinya sudah cukup untuk
beristirahat. Aku kembali melanjutkan perjalanan, menapaki sisa anak
tangga di depanku. Puncak Lingnan Impression berada di tengah-tengah,
yang artinya, setelah turun nanti akan ada suguhan menyenangkan lagi
dari tempat yang selalu ramai ini. Di atas, lebih dalam, tepat di tengah-
tengah Lingnan Impression terdapat Children Park. Seperti namanya, itu
adalah taman untuk anak-anak. Banyak juga keluarga yang berpiknik di
sana. Memang, namanya sangat biasa. Bahkan rasanya seluruh dunia
punya taman untuk anak-anak. Semua boleh terdengar biasa, namun
sebenarnya, Children Park di Lingnan berbeda. Semua permainan yang
terdapat di taman itu berdasar pada sejarah. Sambil duduk beristirahat
sejenak di bawah pohon kecil di dekat taman, aku melihat sekelompok
anak memainkan permainan tradisional Guangzhou. Bahkan dengan
permainan sesederhana itu, mereka bisa tertawa bahagia. Dari mereka
aku belajar, resep rahasia bahagia adalah kebersamaan, bukan
terinspirasi inspirasi | 217
pencapaian yang kau raih sendirian.
Setelah cukup beristirahat di Children Park, aku melanjutkan
penjelajahan Lingnan. Melihat-lihat botanical garden yang isinya segala
jenis tanaman obat di Guangzhou, berjalan dengan hati berdebar di
antara kebun bambu yang tingginya bagaikan menyentuh langit, dan
terhenti di Imperial Park. Berada di ujung wilayah Lingnan Impression,
Imperial Park benar-benar membuat siapa pun tidak ingin menyudahi
perjalanannya di Lingnan. Di salah satu sudutnya terdapat barisan kain
berwarna-warni yang digantung pada bambu yang berbaris-baris. Seperti
tirai raksasa yang menari-nari saat tertiup angin. Sesuai namanya,
taman ini memberi kesan seakan-akan aku berada pada zaman Dinasti
Qing. Apalagi ditambah dengan alunan musik khas Cina yang mendayu
dan terasa kental dengan sejarahnya. Pihak pengelola Lingnan
Impression menyulap batu-batu berukuran sedang menjadi speaker,
membuatku semakin yakin bahwa Lingnan Impression adalah satu dari
sekian banyak surga kecil budaya Cina di Guangzhou.
terinspirasi inspirasi | 218
Keseriusan pemerintah dan sikap masyarakat Cina dalam
membangun dan melestarikan budaya mereka benar-benar membuatku
iri. Walaupun saat itu adalah hari kerja, tak jarang kulihat para keluarga
yang menghabiskan waktu bersama atau bahkan seorang ibu yang
dengan telaten menjelaskan kepada anaknya tentang barang-barang
bersejarah di dalam kuil maupun setiap sudut, bentuk, dan sisi Lingnan.
Ah, kapan Indonesia bisa seperti itu? Bagaimana mereka bisa
menjadikan budaya sebagai bagian dari diri mereka? Dengan negara dan
tentu saja sejarah yang sangat besar itu, mengapa mereka mampu
mengingat itu semua? Dan, kapan aku bisa ke sana lagi, untuk berguru
kepada nilai budaya yang mereka miliki sejak kecil? Membayangkan
Indonesia menjadi negara yang tiap individunya berjiwa budaya seperti
masyarakat Cina membuatku tersenyum sendiri, karena yang aku tahu,
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Persis
seperti apa yang dikatakan guru-guruku. Memiliki kesempatan untuk
berkunjung ke Cina adalah anugerah yang sangat indah dan bermakna
terinspirasi inspirasi | 219
dari Allah, karena sejak kali pertama menginjakkan kaki di tanah
Tiongkok, akhirnya aku mengerti dengan sangat maksud Rasulullah atas
sabdanya yang menganjurkan kita untuk menuntut ilmu hingga ke negeri
Cina, karena setiap sudut dan sisi negeri Cina selalu memberikan kita
petuah, pengetahuan, dan pelajaran baru yang takkan pernah terlupakan.
Alhamdulillah.
terinspirasi inspirasi | 220
Wanita Tua Pedagang Minuman
(Lidiya R)
"Duh, panasnya...." Sambil menyeka keringat, kulanjutkan langkahku
mencari tempat menunggu di siang itu. Nampak sebuah pohon mangga
yang cukup rindang berdiri tegak di dekat kursi taman. Kudekati dan
istirahatlah aku di sana. Lama menunggu, seorang teman yang semalam
meneleponku tak juga datang. Padahal, sengaja tadi pagi aku minta di
antar ke tempat les agar bisa bertemu dan pulang bersama dengannya.
Jadwal kursusku telah usai setengah jam lalu. Tapi dia tetap saja belum
datang. Ku-SMS berkali-kali jawabannya tetap sama,
Sebentar, aku masih di jalan.
Tak jauh dari lokasi aku duduk, terlihat seorang wanita tua berbaju
lusuh, tanpa mengenakan alas kaki menawarkan dagangannya pada
orang-orang yang berlalu lalang di dekat taman. Wanita itu
menggendong kotak berisi minuman dan permen serta membawa
keranjang yang sepertinya berisi kue, gorengan, atau makanan lainnya.
terinspirasi inspirasi | 221
Sesekali ia terlihat menyeka keringat yang bercucuran di dahi. Panasnya
sinar mentari seakan jelas telah membakar tubuhnya. Wanita itu
terlihat sangat lelah berdiri di sana dari tadi, tanpa ada satu pun
dagangannya yang terjual. Meski begitu, ia masih saja terus menjajakan
dagangannya pada orang-orang yang berlalu-lalang.
Satu jam kemudian, kulihat wanita tua itu mencari-cari tempat
beristirahat. Hingga akhirnya, ia menoleh pada bangku panjang tempat
aku duduk. Lalu tersenyumlah aku, dan kugeser posisi dudukku.
“Bangku ini kosong, Mbak?” tanyanya padaku.
“Iya, Bu, silakan.”
“Mbak nunggu temen, ya?”
“Iya, Bu,” sambil tersenyum kujawab pertanyaannya.
Sejam menunggu, membuat kerongkonganku terasa kering. Seakan
tahu apa yang aku pikirkan, wanita tua itu memberiku sebotol air
mineral.
“Mbak haus, ya? Ini ibu punya minuman.”
terinspirasi inspirasi | 222
Sambil tersenyum kuterima minuman itu, “Makasih ya, Bu.”
Langsung saja kuteguk hingga setengah. “Ibu jualan di sini dari jam
berapa tadi?” Penasaranku tak dapat kubendung.
Sambil tersenyum ramah ia menjawab, “Ibu jualan sejak jam tujuh
pagi.”
Kulirik sebuah keranjang yang diletakkan di sampingnya, “Keranjang
itu isinya apa ya, Bu?” Aku masih terus penasaran.
“Ini ada kue, Mbak. Ada donat, lemper, ada kue lainnya juga, Mbak.
Mbak mau beli?”
“Boleh, mau donat aja, Bu, dua,”
“Iya, ini.” Diserahkannya sekantong keresek hitam berisi dua buah
donat yang langsung aku bayar dengan selembar sepuluh ribu. Namun
karena dia tidak memiliki kembalian untuk donat yang hanya seharga
tiga ribu itu, dikarenakan seharian ini belum ada dagangan laku,
kuserahkan saja semua meski ibu itu sempat bingung sejenak.
“Makasih ya, Mbak,” terlihat segaris senyum bahagia tergambar di
terinspirasi inspirasi | 223
wajahnya.
10 menit berlalu, sudah kulahap habis kedua donat dan air mineral
yang kubeli tadi, temanku tak juga datang. Terik tak hanya buatku
dehidrasi tapi juga membuat perutku lapar rupanya. Tak lama setelah
itu, ibu penjual minuman beranjak dari tempatnya.
“Mari, Mbak,” pamitnya.
“Oh, iya, Bu.”
Ibu penjual minuman itu berlalu. Kulihat ia mendekati seorang anak
laki-laki yang sedang menangis di dekat trotoar. Anak itu terlihat sangat
lemas, sambil memegangi perutnya.
“Kenapa, Nak?” tanya wanita tua tadi.
“Lapaar... huuu... huuu....” anak itu masih saja menangis.
“Ini, ibu punya uang....” disodorkannya uang sepuluh ribu yang tadi
kuberi.
"Ini juga ada kue, makan, ya?" diberikannya juga sekantong keresek
kue pada anak itu.
terinspirasi inspirasi | 224
Anak laki-laki itu tak lagi menangis. Ia terdiam dan melihat wajah
wanita di hadapannya dengan tatapan heran.
“Udah, ini ambil aja. Ibu ikhlas, kok.” Yang ditatap malah melempar
senyuman. Lalu ia pergi.
“Makasih ya, Bu!” kata anak itu setengah berteriak.
Wanita itu hanya menoleh, mengangguk, lalu sekali lagi tersenyum.
Terlihat sekali anak laki-laki itu sangat gembira. Senyum yang cukup
lebar terlihat menghiasi wajahnya yang tak lagi murung. Melihat
kejadian barusan, membuat hatiku terenyuh. Ibu pedagang tak ragu
memberikan satu-satunya uang hasil berjualannya pada anak kecil tadi.
Tahu begitu, akan kuberi uang lebih tadi. Tak kusangka seorang
wanita yang masih serba kekurangan masih bisa bersedekah. Padahal
kutahu bahwa ia pun juga masih membutuhkan uang itu untuk
kebutuhannya. Namun, ia tak ragu memberikan apa yang ia punya
kepada yang lebih membutuhkan. Malu rasanya aku yang hidup serba
tercukupi ini masih saja merasa kekurangan dan memunyai rasa apatis
terinspirasi inspirasi | 225
pada sesama yang kurang beruntung.
“Hei, kamu di sini ternyata!” Suara temanku membuyarkan
renunganku seketika.
“Aku muter-muter taman nyariin kamu lo dari tadi.” Dengan napas
terengah ia berjalan mendekatiku.
“Eh kamu, lama e, seh? Sejam lebih lo aku nunggu kamu di sini,”
omelku.
“Iya maaf. Macet lo tadi,” katanya dengan wajah memelas seakan
berharap aku memaafkan keterlambatannya.
“Yawes lah, ayo kalo gitu! Keburu sore,” ajakku.
“Iya, Ayo!”
terinspirasi inspirasi | 226
Awas Begal!!!
(NHO)
Akhir-akhir ini, kejadian pencurian motor atau “begal” mulai marak.
Banyak pengendara motor yang menjadi korban dan tidak sedikit mereka
yang meregang nyawa demi mempertahankan sepeda motor mereka
agar tidak dibegal. Sasaran para begal ini pun tidak pandang bulu, dari
orang tua sampai para remaja, terutama mereka yang mengendarai
motor sendirian. Hal ini membuat masyarakat merasa was-was setiap
pergi ke suatu tempat, entah itu sendirian atau dengan orang lain. Para
begal ini, ketika sedang menjalankan aksinya, tidak segan untuk
melukai bahkan membunuh si korban. Berita-berita tentang korban
begal pun semakin marak dijumpai di koran, televisi, dan internet. Masa
yang geram dengan para pembegal menuntut hukuman yang berat bagi
pembegal yang tertangkap. Dan baru-baru ini, ada seorang begal
tertangkap masa yang kemudian dibakar hidup-hidup. Pada awalnya,
saya tidak percaya dengan berita tersebut. Namun ketika saya asyik
terinspirasi inspirasi | 227
ber-facebook ria, salah satu teman saya men-share video dari Youtube,
tentang seorang begal yang dibakar hidup-hidup. Di saat itulah saya baru
mempercayai berita tentang pembakaran si begal. Sebenarnya saya
penasaran dengan video itu, tetapi saya takut untuk melihatnya. Video
tersebut bahkan sampai menjadi trending topic di internet.
Beberapa hari setelah peristiwa pembakaran si pembegal, ada satu
kejadian yang membuat saya semakin was-was dengan para begal ini.
Sore itu, sekitar pukul 4 sore, saya dan teman sekamar saya, Farah,
sedang asyik berkutat dengan laptop kami masing-masing. Kebetulan
kami kos di daerah dekat kampus sehingga wajar jika kos kami selalu
ramai, terutama di sore hari. Masjid yang ada di depan kos terlihat ramai
dengan anak-anak yang datang mengaji. Warung di ujung gang juga
ramai karena banyak mahasiswa yang mangkal di sana sekadar untuk
mencari wifi gratis. Saya yang baru saja pulang dari kampus sedang
duduk santai sembari membaca salah satu koleksi novel e-book.
Tiba-tiba saja, terdengar suara motor ngebut dari kejauhan, seperti
terinspirasi inspirasi | 228
sedang kejar-kejaran.
“Maling!! Maling!! Maling!!!”
Teriakan orang-orang membuat kami kaget. Saya dan Farah saling
memandang, bingung.
“Maling???” saya bertanya pada Farah.
Kemudian Farah bergegas ke balkon kamar yang langsung
menghadap ke gang. Saya pun menyusulnya. Di luar sudah banyak orang
berkerumun. Anak-anak yang sedang mengaji pun berbondong-bondong
ikut keluar. Beberapa sepeda motor dari arah kampus mulai
bermunculan. Mereka ngebut mengejar si maling.
“Maling e nggawe klambi ireng. Iku merono,” kata salah satu warga.
“Malingnya pakai baju hitam. Itu ke sana.”
Saya dan Farah yang melihat dari atas balkon kamar shocked. Kami
berdua speechless. Jantung saya berdegup kencang. Selama hampir 2
tahun di Surabaya, ini kali pertamanya saya melihat kejar-kejaran
maling. Keesokan hari, saya tahu dari teman saya sepeda yang dicuri
terinspirasi inspirasi | 229
tersebut adalah milik salah satu mahasiswa FBS. Ini hanya opini saya
saja, mungkin sepeda motor tersebut milik salah satu mahasiswa Seni
karena banyak dari mereka yang tidak memarkir sepeda motornya di
tempat parkir berpenjaga. Beberapa dari mereka lebih suka memarkir
sepeda di lahan yang ada di sebelah gedung fakultas mereka. Tidak
hanya mahasiswa Seni saja, tetapi mahasiswa jurusan lain, seperti
jurusan bahasa Inggris misalnya, memilih untuk memarkir sepeda motor
mereka di sebelah gedung T8. Tidak banyak yang tahu bahwa sepeda
motor yang diparkir di tempat tersebut akan dikempesi ban sepedanya
oleh seorang ibu yang biasa membersihkan gedung T8 agar tidak parkir
di lahan tersebut. Nah, tempat-tempat seperti inilah yang menjadi
incaran empuk para pencuri sepeda.
Saking maraknya pembegalan, teman-teman saya banyak yang
mem-broadcast di BBM untuk berhati-hati jika sedang bepergian dengan
motor. Jujur, broadcast seperti itu malah membuat saya semakin takut
untuk keluar. Saya juga khawatir dengan kakak saya yang sering pulang
terinspirasi inspirasi | 230
malam karena harus bekerja. Hampir tiap hari, kakak saya pulang
sekitar pukul 23 malam. Meskipun jarak rumah dengan tempat kerjanya
tidak terlalu jauh dan situasi daerah rumah saya masih terbilang cukup
ramai karena beberapa warung kopi yang masih buka hingga dini hari,
saya tetap saja takut sesuatu terjadi pada kakak saya karena
pembegalan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Tidak hanya begal yang perlu diwaspadai, tetapi juga pencuri yang
biasanya masuk ke rumah-rumah. Sasaran mereka adalah rumah-rumah
yang ditinggal keluar pemiliknya. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu,
ibu saya memberitahu bahwa tetangga kami, hampir saja kemalingan.
Dari saksi mata yang melihat peristiwa tersebut, ada 4 orang pelaku. 2
orang menunggu di depan rumah dan 2 orang memasuki rumah. Baru
saja si pelaku masuk, tetangga saya si pemilik rumah, Pak Mat, pulang
dari pasar. Saksi mata memberi tahu bahwa Pak Mat kedatangan tamu
yang ternyata adalah pencuri. Sepertinya, pencuri yang masuk ke dalam
rumah mengetahui bahwa Pak Mat sudah datang. Sontak mereka
terinspirasi inspirasi | 231
bergegas keluar rumah dan kabur dengan temannya yang menunggu di
luar. Pak Mat yang kaget berusaha untuk mengejar mereka tetapi
mereka berhasil kabur. Ketika Pak Mat mengecek barang-barang apa
saja yang hilang, alhamdulillah, ternyata tidak ada satupun barang yang
hilang. Sepertinya, para pencuri belum sempat.
Masuknya pencuri ke rumah Pak Mat membuat ibu saya khawatir.
Pintu rumah saya yang biasanya dibiarkan terbuka, kini selalu ditutup
meskipun sekadar ditinggal menjemur baju di sebelah rumah. Kakak
saya yang biasa memarkir sepeda di luar pagar, sekarang diparkir di
teras rumah, tersembunyi di balik pohon. Pintu rumah yang biasanya
dikunci hanya jika ditinggal keluar, sekarang selalu dikunci meskipun
ada saya di ruang tamu. Bisa dibilang, kami sekarang parno sendiri.
Ya bagaimana tidak parno kalau para pencuri dan para pembegal
berkeliaran. Tiap hari selalu tidak tenang saat harus keluar rumah. Para
pencuri dan pembegal bisa datang kapan saja. Membayangkannya saja
saya sudah merinding. Apalagi kalau saya sedang dalam perjalanan
terinspirasi inspirasi | 232
kembali ke Surabaya dan harus naik angkot. Perjalanan selama 3 jam
terasa sangat lama dan menakutkan bagi saya. Orang tua saya selalu
mewanti-wanti agar saya berhati-hati di perjalanan, mengingat ayah
saya pernah kecopetan ketika bepergian ke Surabaya.
Peristiwa-peristiwa seperti ini membuat saya semakin berhati-hati,
terutama saat bepergian. Tidak hanya saya, tetapi Anda juga harus
berhati-hati. Ada baiknya jika kita membekali diri dengan peralatan anti
kejahatan seperti alat penyengat listrik dan pepper spray yang banyak
dijual di toko-toko. Dan yang terpenting kita harus selalu waspada
seperti yang Bang Napi bilang, “Kejahatan bisa terjadi bukan hanya
karena ada niat si pelaku, tapi juga karena ada kesempatan.
Waspadalah! Waspadalah!!!”
terinspirasi inspirasi | 233
Tokoh Inspirasiku
(Ravensca A)
Kali pertama mendengar nama Mario Teguh, saya sudah mengetahui
bahwa beliau adalah seorang motivator. Gelar sarjana pertamanya
didapat dari IKIP Malang. Pendidikannya tidak hanya dilakukan di IKIP
Malang, akan tetapi beliau juga belajar di perguruan tinggi yang ada di
luar negeri yaitu Sophia University yang terdapat di Tokyo. Jurusan yang
diambil yaitu International Bussines. Tidak hanya itu, beliau juga
bersekolah di Indiana University, Amerika Serikat, pada tahun 1983.
Pengalaman yang dimilikinya memang sangat luas. Tak heran jika beliau
mampu menjadi seorang motivator handal seperti saat ini.
Pria yang terkenal dengan istilah “salam super” ini berasal dari
masa kecil sederhana dan jatuh bangun dalam kehidupan hingga
menjadi seorang motivator nomor satu di Indonesia. Mario
menghabiskan masa kecilnya di kabupaten Sidrap yang berjarak sekitar
170 km dari kota Makassar. Beliau bertemu dengan sosok tambatan
terinspirasi inspirasi | 234
hati wanita keturunan Arab-Bugis yang bernama Linna. Mereka melewati
masa pendekatan selama 2 bulan dan kemudian menikah pada 28
Januari 1993. Kehidupan awal pernikahan motivator ini tidak berjalan
mulus. Beliau memutuskan untuk berhenti dari jabatannya sebagai Vice
President Marketing and Organization Development di Aspac Bank pada
usia 37 tahun, tepat pada masa-masa awal pernikahan mereka. Namun
karena relasi yang luas dan memiliki kemampuan sebagai motivator,
keluarga kecil ini dapat bangkit dari keterpurukan. Kini pasangan
inspiratif ini dikaruniai 2 orang putra dan putri, Audrey Teguh dan Marco
Teguh. Audrey tinggal di Sidney, Australia, karena harus melanjutkan
sekolahnya disana, sedangkan Marco tinggal di Jakarta.
Banyak teman-teman saya yang juga sering membicarakan nama
orang yang lahir di Makasar pada 5 Maret 1956 ini. Mereka mengatakan
bahwa hampir semua kalimat bijaknya sesuai dengan kenyataan yang
ada dalam kehidupan sehari-hari. Saya penasaran dan ingin
membuktikan apa yang sudah saya dengar dari teman-teman saya.
terinspirasi inspirasi | 235
Kemudian saya mulai menonton acara televisi bertajuk Golden Ways
yang ditayangkan setiap akhir pekan di MetroTV. Saya mengikuti acara
tersebut karena saya ingin mengetahui lebih banyak mengenai isi dari
ceramah yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki nama asli Sis
Maryono Teguh ini. Setelah mengikuti acara tersebut cukup lama, saya
baru merasakan bahwa yang sering dibicarakan teman-teman saya itu
memanglah benar. Saya merasa bahwa apa yang disampaikan oleh pria
ini bisa diterima dan cocok dengan logika yang ada.
Mario Teguh menggunakan banyak referensi untuk menyampaikan
setiap ceramah yang diberikan olehnya. Tidak hanya bacaan psikologi,
namun beliau juga menggunakan referensi budaya lokal dan agama.
Beliau menjadi motivator tanpa menyinggung agama tertentu agar bisa
merangkul semua kalangan. Sebagaimana yang kita ketahui, sebagai
seorang motivator, Mario Teguh berbeda dengan motivator-motivator
Indonesia lainnya yang lebih banyak berbicara tentang bisnis,
kesuksesan, ataupun kekayaan. Namun Mario Teguh tidak hanya
terinspirasi inspirasi | 236
memfokuskan tentang kesuksesan hidup saja, beliau juga
memperhatikan permasalahan-permasalahan di berbagai bidang,
menariknya adalah beliau fokus membahas permasalahan-permasalahan
remaja khususnya permasalahan cinta.
Beliau pernah berkata, “Jika engkau mencintainya, engkau akan juga
menerima masa lalunya, sebagaimana engkau tak akan berbahagia jika
engkau tak berdamai dengan masa lalumu.” Memang tak gampang
mencintai seseorang yang memiliki masa lalu yang tidak berkenan bagi
kita, namun saat Anda memutuskan mencintainya saat itu pulalah Anda
harus juga menerima masa lalunya yang tak akan diungkit-ungkit lagi di
kemudian hari. Segala tindakan ada konsekuensi dan segala keputusan
ada komitmennya. Kepopuleran Mario tidak lepas dari berbagai kata-
kata bijak yang dikeluarkan yang membuat orang takjub mendengarnya.
Dalam karirnya sebagai motivator dan konsultan, salah satu formula
yang digunakan oleh Mario Teguh yaitu teori Emotional Quotient yang
lebih dulu diperkenalkan oleh Daniel Goleman yang kemudian
terinspirasi inspirasi | 237
disesuaikan menjadi Emotional Inteligent atau kecerdasan emosi.
Beliau juga lebih banyak melakukan pendekatan melalui ilmu kejiwaan
menurut agama seperti tasawuf dan pengendalian amarah (ghadab)
atau yang lebih dikenal dengan istilah Anger Management daripada Ilmu
Kejiwaan Barat karena menurutnya lebih cocok untuk diterapkan pada
masyarakat Indonesia yang sifatnya plural sehingga lebih mudah
diterima oleh semua kalangan dan golongan. Mungkin itulah salah satu
rahasia kesuksesannya yang membawa Mario Teguh sebagai motivator
dengan bayaran termahal di Indonesia.
Menjadi seorang motivator tentu saja dituntut untuk dapat selalu
memberikan motivasi maupun konsultasi dalam berbagai bentuk apapun
demi menjawab banyaknya pertanyaan dari masyarakat. Menaggapi hal
tersebut Mario Teguh membentuk sebuah komunitas bernama Mario
Teguh Super Club (MTSC). Bahkan sebelum terkenal dengan acara
Golden Ways, beliau sempat memandu acara dengan tajuk Bussines Art
di O’ Channel, sebuah stasiun televisi lokal dengan fokus siaran di area
terinspirasi inspirasi | 238
Jabodetabek. Tidak hanya di situ saja, berdasarkan beberapa sumber,
banyak buku karangannya yang telah beredar, di antaranya Becoming a
Star (2006), One Million Second Changes (2006), Life changer (2009),
dan Leadership Golden Ways (2009). Oleh karena itu, tak heran jika
Mario Teguh mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia
sebanyak dua kali yaitu sebagai penyelenggara seminar berhadiah mobil
pertama di Indonesia pada tahun 2003 dan sebagai motivator dengan
Facebook fans terbesar di dunia pada tahun 2010. Banyak sekali
biografi Mario Teguh bermunculan di media internet sejak saat itu.
Beliau juga terpilih menjadi salah satu dari 8 tokoh perubahan 2009
versi surat kabar Republika.
Mario Teguh memiliki tips yang banyak diterapkan oleh para
pecintanya. “Semua keberhasilan dan kegagalan seseorang itu berasal
dari masing-masing orang tersebut, memulai suatu usaha apa pun harus
dimulai dari sikap dan cara berpikir kita dalam menanggapi berbagai
situasi yang akan ditemui dalam mengarungi kerasnya kehidupan ini.
terinspirasi inspirasi | 239
Kita semua ini adalah orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan,
tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi kelebihan kita dan
meminimalkan kekurangan kita, karena keseimbangan di semua unsur
kita adalah kunci sukses yang akan kita raih. Kita bukan harus berhasil,
bukan harus sukses, tapi kita harus mencoba untuk sukses tanpa kenal
lelah dan kata menyerah, karena kegagalan adalah jenjang untuk sebuah
kesuksesan bukan harus ditangisi dan disesali,” begitulah katanya.
Mario Teguh memiliki segudang pengetahuan dan kata bijak yang
akan selalu diberikan kepada orang lain. Beliau selalu mampu memberi
saran dan nasihat yang sesuai dengan masalah yang dialami orang
tersebut. Hampir semua orang yang pernah berkonsultasi atau
mendengar ceramahnya di televisi telah mendapat solusi dan cara
bagaimana menyikapi setiap masalah yang ada. Sekarang saya juga
merasakan dampak yang dialami orang di sekitar saya. Mereka
mangatakan bahwa mereka merasa lebih tenang setelah mendengar apa
yang diucapkan oleh Mario Teguh dalam acara televisi yang selalu
terinspirasi inspirasi | 240
dinantikan oleh para penggemarnya itu. Ada banyak saran yang diberikan
olehnya dan beberapa di antaranya sesuai dengan apa yang saya alami.
Saya berharap agar beliau selalu bisa menjadi motivator nomor satu
bagi banyak orang. Saya juga akan belajar darinya untuk dapat memberi
saran yang baik kepada orang di sekitar saya agar suatu saat nanti saya
bisa menjadi motivator bagi orang lain.
terinspirasi inspirasi | 241
Kisah Hidup OSD
(Zainiyah N)
Menurutku jilbab adalah kain penutup seluruh tubuh kecuali wajah
dan tangan yang dikenakan muslimah sebagai kewajibannya untuk
menutup aurat agar mudah dikenali identitasnya dan tidak diganggu. Di
zaman sekarang, khususnya di Indonesia, sudah mulai banyak muslimah
yang memutuskan untuk berjilbab dan bahkan tidak ada tantangan
berarti, beda ketika di zaman era 80-an, mereka yang berjilbab cukup
mendapat banyak penolakan di sana-sini di antaranya, tidak boleh
bersekolah ke luar negeri, sebagian dari mereka ada yang dimaki-maki
dan diusir orangtua sendiri, ada yang dibotaki kepalanya, dibakar
jilbabnya, dan sampai harus berurusan dengan pengadilan karena
pelarangan berjilbab saat itu.
Oki Setiana Dewi (OSD) adalah aktris muda pendatang baru yang
namanya melejit bak roket karena berhasil memerankan Anna
Althafunnisa dalam film fenomenal karya Chaerul Umam, Ketika Cinta
terinspirasi inspirasi | 242
bertasbih, film yang diangkat dari sebuah novel karya Habiburrahman El-
Shirazy. Siapa yang menyangka bahwa jalan hidupnya begitu berliku
hingga bisa mencapai titik karir kesuksesan seperti saat ini.
Berawal dari hobi menuliskan setiap episode dari adegan kehidupan
yang dilalui Oki kecil, remaja hingga dewasa inilah yang
menginspirasinya untuk mengabadikan catatan hatinya menjadi sebuah
buku diterbitkan oleh Mizania. Di buku setebal 347 halaman ini, seorang
Oki dengan sangat tulus berbagi tentang kisah hidupnya, tentang masa
kecilnya di Batam, tentang keinginan besarnya ingin menjadi seorang
aktris terkenal suatu hari nanti, kegigihannya menjalani kehidupan di
Jakarta, impian-impiannya yang tertulis rapi dalam diary lengkap dengan
catatan daftar impian diawali dengan kalimat I will… dan tidak lupa
kalimat how to get it…, sampai pada sebuah titik balik hidupnya yakni
bernazar untuk mengenakan jilbab demi kesembuhan sang ibunda
tercinta. Semua itu diungkap dengan sangat jujur dan terbuka.
Buku dengan judul Melukis Pelangi yang merupakan buku
terinspirasi inspirasi | 243
autobiografi Oki Setiana Dewi sangat sesuai dengan isi perjalan
hidupnya yang ia torehkan ke dalam sebuah buku. Buku ini merupakan
buku perdana OSD yang sekaligus langsung menjadi best-seller di
kancah perbukuan saat ini. Kisahnya sejak masa kecil, perjuangannya
untuk istiqomah berjilbab, melerakan mimpinya di jalan Allah, hingga
akhrinya mendapat hadiah spesial dari Allah, memainkan film KCB dan
mendapat penghargaan AMI dua kategori sekaligus, sebagai aktris
terfavorit dan aktris terbaik.
Sesuai dengan judulnya, yakni Melukis Pelangi, pelangi identik
dengan warna-warni yang membuat mata sedap memandangnya, namun
yang pesonanya pelangi tidak akan muncul jika tidak didahului langit
mendung kemudian hujan yang turun satu-satu menghujam bumi.
Bagi seorang Oki, ia sudah melukis pelangi sejak jauh-jauh hari,
keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang aktris, untuk itu dari jauh
hari pula ia men-setting rencana hidupnya ke arah yang mendekatkan ia
pada cita-cita, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menjadi seorang
terinspirasi inspirasi | 244
aktris. Ia mulai karirnya di Batam sebagai seorang model, serta
mengumpulkan modal agar bisa merantau ke Jakarta dan bisa lebih
mendekatkan ia pada impiannya semula.
Saya juga belajar dari kisah hidupnya bahwa disiplin, mandiri, kerja
keras, dan kerja cerdas adalah modal dasar untuk sukses dan itu pula
yang dirasakan Oki saat merantau ke Jakarta dengan berbagai suka
dukanya. Walaupun begitu, kasih sayang keluarga yang proporsional
tetap menjadikannya seseorang yang tetap pada koridor seorang anak
yang masih bisa diberi kepercayaan, sehingga tidak ada waktu bagi
seorang Oki remaja untuk menyalahgunakan kepercayaan orang tuanya
ketika mengungkapkan niat awal hijrah ke Jakarta.
Orang-orang berkata bahwa kalau Oki berjilbab maka dia tidak akan
bisa jadi aktris, tapi Oki yakin bahwa dirinya tidak seperti apa yang
mereka katakan. Berawal dari musibah ibunda Oki sakit parah dan Oki
mendapatkan hidayah berjilbab melalui mimpi itulah yang membuatnya
mengambil keputusan besar dalam hidupnya yakni berjilbab. Jika
terinspirasi inspirasi | 245
berjilbab itu berarti tawaran untuk menjadi aktris akan hilang begitu
saja dan itu sempat dirasakan oleh Oki di tahun-tahun pertamanya
berjilbab, namun dengan segenap kepasrahan dan keyakinan bahwa
Allah Maha Pemberi Rezeki yang tidak disangka-sangka yang
membawanya kepada audisi mencari bintang film untuk bermain di film
Ketika Cinta Bertasbih. Peristiwa penting inilah yang mengubah
hidupnya seketika, Oki ingin membuktikan kepada orang yang dulu
menolaknya bahwa dengan berjilbab, Oki tidak akan pernah bisa jadi
apa-apa, dan kini Oki membuktikannya.
Yang terpenting dalam kisah ini yaitu husnuzan-nya pada Allah dan
istiqomah-nya dijalan Allah. Proses berhijabnya pun sangat ia syukuri.
Karena baginya berjilbab adalah sesuatu yang istimewa dengan
menutup semua lekukan dan bentuk tubuh wanita. Sebelum ia mau
dihormati oleh orang lain, ia pun menghormati dirinya terlebih dulu
dengan menutup semua tubuhnya dengan busana muslimah. Baginya
berjilbab dan berbusana muslimah seperti seorang muslim yang di dalam
terinspirasi inspirasi | 246
etalase cantik yang selalu terjaga, bukan di pinggiran jalan yang dapat
diganggu oleh siapa saja.
OSD mampu menjadi seorang penulis best-seller sekaligus menjadi
the best inspirator untuk generasi muda. Menjadikan pembaca kembali
bercermin untuk bersigap memperbaiki diri.
terinspirasi inspirasi | 247
Mas Akbar
(Nur L)
Minggu sore itu, setelah hujan deras mengguyur wilayah Menganti
dan sekitarnya, aku duduk di depan rumahku sambil melihat mas Akbar
yang sedang menyiapkan dagangan bubur kacang hijaunya. Aku
perhatikan betapa repotnya dia membereskan gerobak yang telah
diguyur oleh hujan. Ya, dia memang seorang pekerja keras. Aku biasa
memanggilnya, “Mas Akbar.” Dia adalah seorang mahasiswa Universitas
Surabaya jurusan Ilmu Keolahragaan. Mahasiswa semester 6 itu dengan
telatennya membersihkan serta menyiapkan dagangan secepat mungkin
karena mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 5.30, biasanya mas
Akbar sudah buka mulai pukul 4 dan sudah mendapatkan pelanggan.
Namun sore itu, aku perhatikan gerobaknya sepi belum terlihat ada
pelanggan yang mampir, mungkin karena gerimis masih turun yang
membuat orang-orang malas keluar dari rumah. Aku yang melihatnya
dari kejauhan merasa sedih dan iba, akhirnya aku memutuskan untuk
terinspirasi inspirasi | 248
membeli semangkuk bubur kacang hijau hangat rasa coklat.
“Mas Akbar, beli dong buburnya, kayaknya enak nih hujan-hujan beli
yang hangat hangat, hehe,” godaku.
“Hehe iya, Mbak mau rasa apa? Original apa coklat?” tanyanya.
“Coklat aja deh, Mas, lebih mantap, hehe.”
Sembari ia mengambilkan pesananku aku mencoba memulai
pembicaraan, “Deres banget ya, Mas, hujannya sampai sekarang belum
reda juga.”
“Iya, Mbak, gini ini yang buat orang-orang malas keluar rumah. Hehe.”
“Iya sih, Mas, hujan-hujan gini emang enaknya di dalem rumah.”
“Jam segini saja baru dapet pelanggan satu, Mbak. Tapi gak papa,
alhamdulilah masih ada yang beli,” jawabnya.
“Nggak papa, Mas, nanti juga inshaallah rame kok kalau uda reda.”
“Iya, Mbak, aamiin, bisa balik modal aja uda alhamdulillah, Mbak,
kalau musim hujan gini.”
“Emangnya Mas Akbar pernah ya sampai gak balik modal?” Tanyaku.
terinspirasi inspirasi | 249
“Pernah mbak akhir-akhir ini sering gak balik modal pernah balik
modal cuman dapat untung lima ribu.”
Seketika aku kaget, padahal aku kira mas Akbar tiap hari pulang
larut malam membawa banyak uang. Dari pembukaan yang didasari
penasaran semata itu ternyata mampu memberiku pengalaman lebih.
Mulai dari mas Akbar bercerita kalau dagangannya tidak habis maka dia
sendiri yang memakan, sampai apa yang dia inginkan setelah lulus nanti.
Mas Akbar sungguh mulia. Usaha kecilnya ini adalah jalan baginya
agar bisa membiayai kuliah tanpa membebani orang tua. Waktu kutanya
apa cita-citanya, kagumku bertambah pada sosok laki-laki yang berdiri
di hadapanku itu.
"Gini, Mbak, saya kan sejak kecil hidup pas-pasan, saya pengen
kedepannya anak-anak saya tidak merasakan apa yang saya rasakan.
Bisa kuliah tanpa memikirkan biaya, bisa merasakan hal-hal yang tidak
bisa saya nikmati saat ini. Dan tentunya saya ingin membahagiakan
orang tua saya, Mbak, mereka yang selalu berusaha agar saya bisa
terinspirasi inspirasi | 250
mengenyam bangku kuliah dan mengubah nasib hidup. Memang hidup itu
keras, Mbak, butuh perjuangan,” paparnya.
Kata-kata yang keluar dari mulut mas Akbar membuatku
termotivasi. Dari situlah hati nuraniku mulai bergerak. Motivasi dalam
dirinya sungguhlah besar untuk mencapai sebuah kesuksesan. Mulai
saat itu aku mulai berusaha memperbaiki nilai-nilai di kampus yang
semester lalu mengalami penurunan drastis. Aku berpikir bahwa hari ini
aku memiliki kehidupan yang tercukupi tinggal kuliah yang rajin tanpa
memikirkan biaya dan aku tidak mau kelak anak-anakku tidak bisa
merasakan kenikmatan yang aku rasakan saat ini. Tidak sanggup
rasanya membayangkan jika anak kita meminta sesuatu namun kita
tidak bisa menurutinya, sedangkan hidupku saat ini serba tercukupi oleh
orang tua. Ya, itulah sedikit cerita dariku yang terinspirasi dari sosok
mahasiswa penjual bubur kacang hijau yang berusaha mengubah
nasibnya.
terinspirasi inspirasi | 251
Penjual Amplop
(Retno W)
Berbicara mengenai hal-hal inspiratif, sebenarnya saya masih ragu
bagian mana dalam hidup saya atau orang mana yang mampu membuat
saya terinspirasi sampai saya menuliskannya di sini. Terlalu banyak
momen indah, mengharukan, menyedihkan, yang terus berlalu lalang
dalam hidup saya namun saya masih ragu apakah momen-momen itu
mampu dijadikan sebagai kisah inspiratif seperti yang diminta.
Dengan sedikit memutar otak ke masa lampau, saya menemukan
satu hal yang akhirnya mampu menjadi kisah inspiratif yang akan saya
tulis. Bukan satu kisah yang kejadiannya saya lihat sendiri sebenarnya,
namun saya membacanya melalui sebuah artikel di salah satu media
sosial.
Ketika membaca artikel ini hati saya langsung terenyuh. Bukan
tentang perjuangan anak kecil hidup sebatang kara, perjuangan anak
untuk orang tua, atau sebagainya, melainkan kejujuran dan sifat yang
terinspirasi inspirasi | 252
ditunjukkan oleh seorang lelaki tua penjual amplop yang membuat dada
saya merasa sesak tiap kali membaca kata demi kata yang disajikan
artikel tersebut.
Bapak Darta namanya. Selama 12 tahun setia menekuni
pekerjaannya untuk menjual amplop. Sebuah amplop, saat membacanya
saya terheran-heran dan bertanya-tanya. Bayangkan saja di jaman serba
modern seperti ini sudah sepastinya orang-orang lebih menyukai hal
instan, surat-menyurat sudah enggan digunakan, amplop pun juga
menjadi barang yang tak seberapa dibutuhkan. Dan bagaimana bisa
Bapak Darta ini menggantungkan hidupnya dengan berjualan amplop?
Saya beberapa kali menghela napas panjang saat membaca artikel
itu. Bukan karena lelah atau malas melainkan karena sesak yang terus
menyeruak. Hati saya bergetar membayangkan perjuangan orang tua
yang menyangga hidupnya dengan berjualan amplop. Berkeliling dari
subuh menjajakan amplop dan hanya mendapatkan untung kurang lebih
tiga puluh ribu tiap harinya.
terinspirasi inspirasi | 253
Bagaimana tangan-tangan keriput itu bergerak, bagaimana kaki-kaki
renta itu bergetar. Ah, saya benar-benar tidak tega untuk
membayangkan. Dan yang lebih membuat saya gigit jari, Bapak Darta
tidak pernah mengeluh atas apa yang ia jalani. Senyuman itu selalu
menghiasi wajah tuanya. Saat diwawancara, Bapak Darta mengaku
enggan untuk meminta-minta karena saat ini ia masih kuat untuk
berjualan. Ia bersyukur karena ia masih bisa makan dan sehat dengan
berjualan amplop itu. Tuhan selalu memberikan jalan untuk orang-orang
yang mau berusaha, katanya.
Seusai membaca artikel tersebut saya memenjamkan mata dan
berpikir baik-baik dalam kesunyian yang terjadi dalam kamar saya.
Terlintas di benak saya, apa bapak ini tidak punya anak atau keluarga
lain yang membantunya? Bukannya bermaksud apa-apa, hanya saja
setiap kali melihat lelaki renta berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya
dan keluarganya membuat saya mengerutkan dahi dan berkedip
beberapa kali untuk menghalau genangan yang hendak pecah dari kedua
terinspirasi inspirasi | 254
mata saya. Kasihan, sungguh. Namun saya coba untuk mengambil sisi
positifnya. Ada dua hal yang saya dapatkan setelah membaca
perjuangan yang dilakukan Bapak Darta. Bersikap jujur dan enggan untuk
meminta-minta.
Satu bungkus amplop yang dijual Pak Darta berisi sepuluh biji dan
itu dijual dengan harga seribu rupiah untuk yang ukuran kecil dan dua
ribu rupiah untuk yang ukuran besar. Dalam satu bungkus Pak Darta
hanya meraup untung dua ratus rupiah saja. Beliau enggan untuk
menaikkan harganya. Bisa dirasakan bagaimana kejujuran menyelimuti
penjualan yang dilakukan oleh Pak Darta.
Selama ini tentu saja kebanyakan manusia hidup untuk
mendapatkan untung bagi dirinya sendiri. Bahkan dalam prinsip ekonomi
pun mengatakan untuk mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan
mendapatkan untung sebesar-besarnya. Setiap pedagang selalu
menaikkan harga untuk mendapat keuntungan yang tinggi demi dirinya
sendiri. Namun tampaknya semua itu tidak berlaku pada Pak Darta.
terinspirasi inspirasi | 255
Beliau dengan kerendahan diri, syukur, dan tawakal, lebih memilih terus
berjualan amplop dengan harga yang terlampau murah. Ia masih bisa
tersenyum dan bersyukur atas apa yang didapatnya. Ingin sekali saya
mengikuti jejaknya, bukan untuk menjadi seorang penjual amplop
melainkan untuk bersikap jujur, bersikap ikhlas, rendah diri, tawakal
pada yang memberikan hidup, dan terus bersyukur atas apa yang selalu
didapatkan.
Sedangkan satu hal lain pada diri Pak Darta yang membuat saya
merasa tertampar adalah enggan meminta-minta. Seketika saya
bercermin pada diri saya sendiri. Saya adalah mahasiswa yang sudah
memunyai pekerjaan walaupun gajinya belum cukup untuk menghidupi
diri saya sendiri namun setidaknya bisa untuk tidak meminta uang jajan
pada orang tua. Hanya saja saya tidak. Walaupun sudah memunyai gaji,
saya terus meminta uang seakan semua yang saya dapatkan itu kurang
cukup. Entah kenapa saya merasa begitu hina.
Jantung saya seperti ditikam hebat. Saya seharusnya tidak
terinspirasi inspirasi | 256
meminta-minta namun nyatanya tidak. Dengan bercermin pada kisah
perjuangan Pak Darta ini saya ingin mengubah sedikit sifat buruk
terbesar saya: Tidak mau bersyukur atas segala hal yang sudah
didapatkan selama ini. Perlahan namun pasti. Berbekal kisah
mengharukan yang terus membuat darah saya berdesir.
Saya harap, setiap orang yang membaca bait tak beraturan ini
hendaknya sudi berpikir ulang, memahami dengan baik dan
mengamalkan segala cerminan luar biasa pada diri Pak Darta. Saya
pribadi juga berharap dengan kisah ini saya mampu mengubah kisah
hidup saya sedikit demi sedikit. Walaupun tampaknya sulit untuk
mengubah hal yang sudah tertanam lama tapi saya akan terus berusaha.
Terima kasih, Bapak Darta, atas perjuangan yang kau lakukan
sehingga membuat saya secara tidak langsung termotivasi dan
terinspirasi.
Terima kasih banyak.
terinspirasi inspirasi | 257
Keterbatasan Bukan Alasan untuk Meninggalkan Salat
(Sandi K)
Bila kita berbicara tentang keterbatasan seseorang, mungkin
banyak hal yang bisa kita bahas dari topik tersebut. Untuk saat ini, saya
akan membahas tentang orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang
serba kurang dan terbatas tapi tetap semangat dalam hal beribadah.
Mungkin kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.
Padahal yang kita tahu tentang mereka adalah keterbatasan fisik dan
lemah dalam melakukan aktivitas. Kita bisa belajar dari orang-orang
tersebut yang tidak putus asa untuk melakukan yang bisa mereka
lakukan walaupun dengan kondisi yang serba terbatas. Saya sudah
melihat beberapa orang yang memiliki kondisi fisik yang terbatas dan
tetap melakukan ibadah layaknya mereka yang berfisik sehat dan kuat.
Kebetulan pada saat saya berada di salah satu masjid di daerah
Buduran, Sidoarjo. Tempat itu juga tidak jauh dari rumah saya dan saya
akan salat Magrib di sana. Saya melihat ada seorang lelaki tua yang
terinspirasi inspirasi | 258
berusia lebih dari 80 tahun berjalan menuju masjid yang saya datangi
dengan badan agak membungkuk, jalannya juga pelan-pelan. Kondisi
tersebut mungkin dikarenakan usia beliau yang sudah tidak muda. Saya
sungguh terharu melihat kegigihan beliau yang tetap ingin salat
berjamaah. Padahal belum tentu saya bisa melakukan hal tersebut bila
saya di posisi beliau.
Dan lagi-lagi saya dikejutkan ketika beliau lah yang menjadi imam di
sana. Sungguh luar biasa pengabdian beliau, dengan kondisi yang
seperti itu dia sanggup untuk menjadi imam. Mungkin beliau dulu sering
menjadi imam di masjid ini. Dan ketika beliau menjadi imam, beliau
membaca surat Al-Fatiqah dengan suara cukup lantang dan tidak terlalu
cepat bahkan bisa dikatakan lambat. Gerakan demi gerakan dalam salat
juga terbilang lambat. 3 rakaat pada salat magrib biasanya selesai lebih
cepat, tetapi untuk salat kali ini, memang lebih lama dibandingkan di
tempat lain.
Walaupun salat menjadi lebih lama, saya merasa senang dan
terinspirasi inspirasi | 259
bahagia. Kenapa? Karena saya mendapatkan pelajaran-pelajaran yang
luar biasa yang bisa saya ambil di sana. Terutama saat waktu salat tiba.
Saya harus tetap salat berjamaah di masjid selama saya rasa bisa pergi
ke sana. Apalagi, usia saya masih terbilang muda dan memiliki kondisi
fisik yang jauh lebih baik dari beliau.
Beberapa hari kemudian, saya mencoba untuk salat Isya di tempat
yang sama lagi. Kebetulan cuaca sedang tidak mendukung. Hujan turun
rintik-rintik dan itu bisa membuat orang-orang sekitar malas pergi untuk
salat berjamaah. Dan saya dikejutkan lagi ketika bapak yang menjadi
imam waktu Magrib dulu, datang membawa payung. Sungguh luar biasa
keinginan beliau untuk salat berjamaah. Kali ini, beliau tidak menjadi
imam. Kemungkinan beliau kurang sehat atau memberikan kesempatan
yang lebih muda untuk menjadi imam.
Saya bersebelahan dengan beliau ketika salat. Beliau juga sulit
untuk mengikuti gerakan imam yang jauh lebih cepat dari beliau. Saya
rasa memang faktor usia yang membuat beliau gerakannya lambat. Saya
terinspirasi inspirasi | 260
senang bisa melihat kegigihan beliau dalam beribadah. Tapi, saya tidak
bisa melihat beliau setiap waktu salat, karena ada masjid yang jauh
lebih dekat dari rumah saya dan sehingga saya jarang untuk pergi ke
sana. Saya hanya pergi ketika saya ingin salat di sana.
Dari yang saya tahu, beliau adalah salah satu tokoh agama daerah
itu. Maklum, kenapa beliau sering menjadi imam di tempat itu. Apalagi
musala itu juga beliau yang mendirikannya. Beliau juga memiliki pondok
pesantren kecil nan sederhana. Saya juga mendapatkan cerita dari
orang tua saya bahwa dulu pada saat pemerintah masih dipimpin oleh
Soeharto, beliau diberi tawaran untuk memperbesar pondok pesantren
miliknya. Tetapi beliau menolaknya dan tetap dengan pendiriannya yang
ingin memperbesar pesantren ini dengan usahanya sendiri. Bila tawaran
itu beliau terima, pondok pesantrennya pasti tidak seperti sekarang.
Itu hal yang jarang dilakukan oleh seseorang ketika ada orang lain
yang mau membantu. Saya pikir beliau bukan orang yang memiliki nafsu
kuat terhadap uang. Sampai sekarang pondok itu masih berdiri dan
terinspirasi inspirasi | 261
berfungsi sebagai tempat mendidik santri-santri yang ingin mendalami
agama Islam. Dalam kehidupan, beliau memilih hidup sederhana dan
tidak memikirkan duniawi berlebih dan hanya melakukan kewajiban
beliau menegakkan agama Islam di daerahnya.
Selain beliau, saya juga pernah melihat seseorang yang berjalan
dengan alat bantu dan pergi ke masjid untuk salat Jumat berjamaah.
Masjid itu berada di daerah kampus saya dan namanya adalah Masjid
Baitul Makmur II. Saya melihat beliau sekitar 2 kali atau mungkin lebih,
karna saya juga lupa. Saya melihat beliau ketika saya selesai salat
Jumat. Saya senang dan terharu, hati saya tersentuh ketika ada orang
yang memunyai kondisi seperti itu masih ingin pergi ke masjid dan tetap
semangat beribadah. Semangat yang luar biasa sudah diperlihatkan oleh
beliau.
Sebenarnya masih banyak lagi orang-orang yang saya lihat dengan
kondisi yang serba kurang dan tetap semangat beribadah dan selalu
pergi ke masjid ketika kondisi tubuhnya kuat untuk berjalan. Saya
terinspirasi inspirasi | 262
menyimpulkan bahwa keterbatasan bukan halangan untuk tidak
beribadah dan selalu ingat kepada Allah. Saya senang dan juga sedih.
Sebab mereka melakukan semua itu dengan tulus ikhlas yang hanya
mencari rida-Nya. Padahal saya sendiri belum tentu bisa melakukan hal
seperti itu. Saya hanya bisa introspeksi diri saya sendiri dan
memperbaiki kesalahan serta selalu ingat kepada Allah. Semoga mereka
diberi kesehatan dan umur panjang serta diberi petunjuk oleh-Nya.
Aamiin.
terinspirasi inspirasi | 263
Sang Wanita Besi
(Sri H)
Margaret Hilda Thatcher, lahir di Grantham, Lincolnshire, Inggris,
pada tanggal 13 Oktober 1925. Dia adalah seorang politikus Britania
Raya, Perdana Menteri Britania Raya dengan masa jabatan terlama
sepanjang abad ke-20, dan sekaligus menjadi satu-satunya wanita yang
pernah menduduki jabatan tersebut. Mengawali karir sebagai kimiawan
riset sebelum menjadi barrister, Thatcher terpilih menjadi anggota
parlemen untuk wilayah Finchley pada tahun 1959. Edward Heath
menunjuknya sebagai menteri negara untuk Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan pada tahun 1970. Tahun 1975, Thatcher mengalahkan
Heath dalam pemilihan ketua partai konservatif dan menjadi ketua
oposisi, sekaligus wanita pertama yang memimpin partai politik besar di
Britania Raya. Ia menjadi Perdana Menteri setelah memenangkan pemilu
1979.
Thatcher memperkenalkan serangkaian inisiatif politik dan ekonomi
terinspirasi inspirasi | 264
untuk membalikkan apa yang ia anggap sebagai kejatuhan nasional
Britania Raya. Filosofi politik dan kebijakan ekonominya menekankan
deregulasi (terutama di sektor keuangan), pasar buruh yang fleksibel,
swastanisasi BUMN, dan mengurangi kekuasaan serta pengaruh serikat
dagang. Thatcher memimpin negaranya dalam perang Falklands tahun
1982. Perang ini berawal dari invasi Argentina terhadap Kepulauan
Falklands atau yang disebut Argentina sebagai Las Malvinas. Kepulauan
ini telah menjadi teritorial Inggris sejak lama. Thatcher dengan tegas
mengirimkan pasukan untuk melawan Argentina dan mengembalikan
Falklands ke tangan Inggris.
Di masa jabatan keduanya, pemerintahan Thatcher melanjutkan
kembali deregulasi ekonomi dan privatisasi. Privatisasi pertama adalah
British Telecom yang dijual kepada publik, meningkatkan jumlah pemilik
saham di seluruh Inggris. Kebijakan privatisasi ini menjadi lebih berani
setelah ternyata penjualan BT sukses dan banyak orang yang
mendapatkan keuntungan, bahkan 30% dalam hitungan hari. Setelah itu
terinspirasi inspirasi | 265
banyak BUMN yang dijual seperti British Steel dan banyak perusahaan di
berbagai bidang seperti perusahaan maskapai penerbangan, listrik, dan
gas. Pemerintah mendapatkan lebih dari miliaran poundsterling atas
hasil penjualan perusahaan ini. Thatcher juga memulai serangkaian
globalisasi dan modernisasi, mentransformasikan negara itu menjadi
salah satu negara bisnis terbesar di dunia.
Thatcher adalah seorang pemimpin yang tegas, berani dan
konsisten. Begitu dia yakin bahwa kebijakannya benar, dia tidak akan
berputar haluan karena tekanan massa maupun nasihat para
pembantunya. Beberapa peristiwa berikut ini menggambarkan
kepemimpinan nyonya Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris dari
tahun 1979 sampai 1990.
Margaret Thatcher berani mengambil resiko besar ketika pada tahun
1982 dia memutuskan untuk merebut kembali Kepulauan Falklands
yang diduduki Argentina meski Kementerian Luar Negeri menyarankan
agar dia berkompromi. Thatcher bersikeras bahwa dia tak akan
terinspirasi inspirasi | 266
berkompromi soal kedaulatan dan memutuskan untuk mengirimkan
angkatan lautnya ke kepulauan yang berjarak 12.000 km dari daratan
Inggris dan hanya terletak 500 km dari Argentina. Seandainya gagal
merebut Falklands, Thatcher yang baru berumur tiga tahun hampir pasti
akan jatuh karena pemerintahannya ketika itu sedang tidak populer
akibat tingkat pengangguran yang tinggi.
Selain berani, Thatcher juga memunyai keyakinan kuat dalam
kebijakan ekonomi yang dia anut. Dia mendobrak konsensus di antara
dua partai terbesar di Inggris yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif
yang berlaku sejak akhir Perang Dunia II di mana negara langsung
menguasai aset ekonomi, tingkat pajak tinggi dan regulasi yang ketat.
Thatcher akan melayani perdebatan untuk membuktikan bahwa idenya
benar dan secara taktis tidak akan membiarkan dirinya kecolongan di
badan legislatif maupun pengamanan di lapangan.
Setelah Thatcher mengundurkan diri pada November 1990, ia tetap
menjadi anggota parlemen dan duduk di Backbench hingga 1992. Ia
terinspirasi inspirasi | 267
masih menjadi tokoh yang aktif di publik Inggris meskipun pada
kenyataannya citranya terpolarisasi. Thatcher diakui berhasil
mentransformasi Inggris terutama dalam bidang ekonomi dan sosial. Ia
mengubah negaranya dari negara kuno menjadi negara modern dengan
eksistensi besar di pergaulan internasional. Thatcher bekerja di Philip
Morris sebagai Konsultan Geo-Politik namun ini tidak lama. Thatcher
juga dibayar mahal untuk setiap pidatonya.
Thatcher satu-satunya wanita yang pernah menduduki jabatan
tersebut. Seorang jurnalis Soviet menjulukinya "Wanita Besi" (Iron
Lady), istilah yang kemudian dikait-kaitkan dengan politik dan gaya
kepemimpinannya. Selaku Perdana Menteri, ia menerapkan kebijakan-
kebijakan konservatif yang kelak disebut sebagai Thatcherisme.
Walau sudah 22 tahun meninggalkan pemerintahan, warisan politik
dan ekonomi Margaret Thatcher sampai sekarang masih menjadi
perdebatan tajam dan emosional di Inggris. Para pemujanya
menganggap dia sebagai pemimpin yang menyelamatkan Inggris dari
terinspirasi inspirasi | 268
ambang kehancuran, sementara pengkritiknya melihat dia sebagai
pemimpin kejam karena telah membiarkan pengangguran meningkat
yang menyebabkan demo atau protes di mana-mana.
Namun, kawan maupun lawan sepakat bahwa Thatcher adalah
seorang pemimpin pemberani dan berpendiran kuat, bukan pemimpin
yang mudah ditiup angin atau menyerah menghadapi sedikit kesulitan.
seperti "jantung-ku""hati-ku"
"napas-ku""langkah-ku"
keempatnya milikku
"mereka-ku"milikkumilikku.
mereka-ku
mereka-ku | 269
empat
Belum Kaya Bukan Berarti Tak Bisa Berbagi
(Imroatul M)
Sejak kecil aku dilahirkan dari keluarga yang “cukup”. Bukan kaya
raya, bukan pula kekurangan. Tumbuh di kondisi keluarga yang seperti ini
membuatku menjadi anak yang manja. Namun, bukan manja dalam arti
negatif. Manja di sini aku sebut sebagai manja bersyarat. Iya, bersyarat
karena orang tuaku akan memenuhi semua keinginanku jika aku bisa
memenuhi syarat dari mereka. Syarat sederhana yang mereka minta
adalah aku bisa menjadi juara kelas. Hal itu tentu sangat memotivasiku,
si Imroatul kecil, agar rajin dan berusaha. Imbalan yang aku minta tentu
saja bermacam-macam, mulai dari tas lucu dengan dorongan yang lagi
tren kala itu, sampai jalan-jalan ke kebun binatang. Hal-hal sederhana
mereka-ku | 270
yang sangat membahagiakan masa kecilku. Kondisi seperti ini
berlangsung cukup lama, sejak aku duduk di bangku taman kanak-kanak
hingga kelas 3 sekolah dasar.
Sampai suatu saat, kakakku yang masih duduk di bangku SMP
bercerita hal yang mengubah semua pola pikirku tentang kondisi
ekonomi orang tua. Kakakku bilang kalau kedua orang tuaku sedang
terlilit utang yang tidak kecil jumlahnya. Sejak itu aku tidak lagi
meminta imbalan jika aku menjadi juara kelas, aku mulai menyadari
bahwa beban yang ditanggung orang tuaku tidaklah ringan. Namun,
layaknya bocah, aku selalu ingin memunyai barang serupa milik teman
sebayaku.
Dengan nada polos anak kelas 2 SD, aku meminta, “Bu, kalau utang
Ibu sudah lunas aku belikan itu, ya?” sambil menunjuk benda yang aku
mau.
Ibuku menjawab lirih, “Iya, nanti ibu belikan, Nak.” Sebuah jawaban
yang tentu sangat menghiburku, meski aku belum tahu sampai kapan
mereka-ku | 271
utang ibu akan lunas.
Bertahun-tahun berlalu, kondisi keuangan keluargaku sudah mulai
membaik. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri, “Yah, emang dulu
Ibu sama Ayah punya utang sebanyak itu,” si aku kecil penasaran,
“digunakan untuk apa?”
“Untuk mengubah nasib keluarga kita, Nak,” jawab ayah yang tak
berhasil mengurangi rasa penasaranku.
“Harus sebanyak itu?” aku masih penasaran.
“Jadi orang harus nekat, harus berani ambil resiko, inilah jalan yang
dipilih ibu sama ayahmu untuk mengubah nasib kita,” timpal ibuku
memberi penjelasan. “Ibu menggunakan uang itu untuk membangun toko
yang kita miliki sekarang, kalau tidak begitu, pasti ayahmu masih jualan
baju di pasar.”
“Lalu apakah utang kita sudah lunas, Bu?” lagi-lagi. Si aku kecil lagi-
lagi penasaran.
“Belum, Nak, kita masih punya 4 tahun lagi untuk melunasi,” ayah
mereka-ku | 272
menambahkan.
Hal itu tentu mengagetkanku, aku pikir setelah kita memunyai toko
sembako di rumah, ayah dan ibu bisa melunasi utang mereka, selain itu
kondisi keuangan keluarga kami memang sudah jauh lebih baik dari
sebelumnya. Aku sudah bisa membeli baju ataupun sepatu. Nyatanya,
keluarga kami belum sepenuhnya ‘bebas’. Masih tersisa 4 tahun untuk
melunasi semua utang orang tuaku.
Di sisi lain, semenjak beberapa tahun belakangan sikap ibu juga
berubah. Ibuku menjadi orang yang sangat dermawan, bersedekah di
mana pun pada siapa pun, bahkan memberi uang jajan pada anak yatim
setiap harinya. Walau ibu belum mampu merawat mereka secara utuh,
setidaknya sikap ibuku yang satu ini membuatku bangga luar biasa.
Bagaimana tidak, di saat ibu belum mampu melunasi utangnya secara
penuh saja ibu sudah mampu ikhlas bersedekah kepada yang lebih
membutuhkan. Ibu berhasil menjadi contoh bagi kami, anak-anaknya,
serta bagi banyak orang di kampungku. Sekarang banyak tetangga
mereka-ku | 273
melakukan hal sama.
Peran ayahku juga tak kalah hebat. Selama ini ayah sungguh sabar
bekerja keras. Mulai berjualan di toko sembako sederhana hingga
mengajar ngaji di rumah.
Mereka selalu berkata padaku, kakak, dan adik kalau jadi orang
harus berani ambil resiko, bekerja keras namun tetap membumi, selalu
sisihkan uang saku untuk memberi orang lain, selalu ingat Allah di mana
pun. Doktrin-doktrin itulah yang membuatku selalu bersemangat untuk
kuliah dan bekerja saat ini. Ya, saat ini selain berkuliah aku juga bekerja
sebagai guru les di rumah. Hal ini aku lakukan juga untuk membantu
orang tuaku. Ibu juga selalu berpesan selain kuliah aku harus memunyai
kegiatan yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Apa yang aku lakukan
dan apa yang aku miliki tentu tak lepas dari peran kedua orang tuaku,
atas semangat hidup dan “doktrin” yang selalu mereka berikan padaku
memang membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan dan
pola pikirku selama ini.
mereka-ku | 274
Harga Mati untuk Derajat Orang Tua
(Galih J)
Terlahir dalam keluarga kecil dengan kehidupan sederhana walaupun
tak diberkahi kekayaan melimpah, bagiku merupakan sebuah berkah
tersendiri. Aku tak menyalahkan takdir ataupun sang Pencipta akan hal
ini karena menurutku Yang Maha Kuasa memiliki suatu rencana
tersendiri untukku maupun keluargaku. Aku sendiri begitu menyayangi
kedua orang tuaku dan juga adik kecilku yang kini masih duduk di
bangku 5 SD. Terlebih lagi, aku sangat menghormati dan mengagumi
bapak, sesosok penjaga kehidupan keluargaku, yang usianya sudah tak
lagi muda dengan tubuh yang tak lagi kekar layaknya masa muda dulu.
Namun, bapak masih tetap memperjuangkan hidupnya untuk menghidupi
kami bertiga hingga aku bisa seperti sekarang ini.
Ketika aku beranjak dewasa dan memasuki bangku perkuliahan,
inilah kenapa aku sadar betapa besar pengorbanan bapak untukku dan
keluarga kecil ini. Tiap pagi bahkan sebelum matahari membumbung
mereka-ku | 275
tinggi, bapak sudah menuntun sepeda tua keluaran 70-an yang masih
terawat untuk berangkat kerja. Sebenarnya kami punya sebuah motor
pemberian salah satu kerabat, awalnya, kupikir itu bisa bapak gunakan.
Tapi beliau menolak secara halus yang bahkan jawabannya sampai
membuat batinku menangis. Aku sangat ingat akan perkataannya waktu
itu walaupun itu disampaikan melalui ibuk.
“Gak usah. Kata bapakmu pakai itu motor buat kuliah, lagian naik
sepeda lebih cepet gak kena macet. Bapak gak mau kuliahmu terganggu
karena kelelahan di jalan naik sepeda.”
Batinku bahagia namun serasa teriris dan aku hanya bisa menunduk
terdiam mengiyakan keteguhannya. Sungguh membuat dadaku sesak
sesesak-sesaknya karena aku tahu sendiri seberapa jauh jarak yang
bapak tempuh setiap hari. Aku tahu di mana tempat bapak bekerja dan
itu berjarak 12,5 km dari tempat kami tinggal yang artinya bapak harus
menempuh sejauh 25 km pulang pergi, padahal aku sendiri tak sampai
setengah jalan sudah menyerah karena kelelahan saat pertama
mereka-ku | 276
mencoba bersepeda seperti bapak. Sejak saat itu, aku bertekad untuk
tidak membuat bapak semakin menderita. Apalagi terbebani oleh biaya
kuliahku yang tak murah bagi orang seperti kami.
Aku adalah anak pertama dan aku merasa memiliki tanggung jawab
besar demi kelangsungan hidup keluarga ini. Apalagi aku memiliki adik
yang harus kujaga saat bapak sudah merasa lelah bekerja dan
memutuskan beristirahat. Siapa lagi yang akan memikul tugas ini selain
diriku sendiri walaupun begitu berat. Kupikir bapak sangatlah tangguh
dan hebat, apa aku sanggup melampauinya? Bukan, ini bukan masalah
bisa atau tidak, tapi harus. Aku harus melampaui bapak.
Tak banyak yang bisa kulakukan sebagai seorang mahasiswa untuk
meringankan beban bapak kecuali kerja sambil kuliah. Awalnya, aku
membicarakan hal ini dengan ibuk. Dalam keluarga kami berlaku sistem
kalau seorang anak akan berpendapat dalam suatu hal maka ia harus
menyampaikan pada ibuk dahulu agar bisa didiskusikan dengan bapak.
Setelah mencapai kesepakatan, barulah ibuk yang menyampaikan pada
mereka-ku | 277
anak-anaknya.
“Bicaralah pada bapakmu sendiri nanti sore setelah dia pulang
kerja. Begitu katanya,” jelas ibu pasca kubeberkan niatanku. Tapi
bukannya membuatku lega, malah semakin gugup. Sungguh itu jawaban
penuh teka-teki yang tak mengenakkan.
Sore itu ketika aku mau beranjak mandi, aku mendengar bunyi
sepeda tua bapak. Melihat bapak yang baru pulang sungguh
menyakitkan. Sangat menyakitkan bahkan, sampai membuatku susah
bernapas saking sakitnya. Dengan tubuh tuanya itu bapak
menyandarkan sepeda setelah menempuh perjalanan panjang hari itu.
Bahkan baju yang bapak kenakan sudah sangat basah seperti selepas
bermandikan air hujan, padahal itu bukan air hujan melainkan keringat
dari tubuhnya.
Astaga, Tuhan, aku sudah tak sanggup lagi melihat ini. Aku tak
sanggup, aku tak sanggup, keluhku dalam hati. Bapak duduk bersandar
sambil mengibas-ngibaskan topi bermaksud mengurangi rasa panas.
mereka-ku | 278
Malahan dengan napas terengah bapak masih bisa tersenyum setelah
kuambilkan air minum.
Tuhan, aku harus segera melampaui bapak agar bapak tidak
menderita terus, lagi-lagi aku membatin. Tak lama setelah bapak
menyelesaikan makannya, bapak duduk di kursi panjang teras rumah.
Was-was, kuhampiri bapak lalu duduk di sebelahnya. Kami terdiam
sejenak karena aku sendiri sangat bingung harus mulai dari mana.
“Mau ngomong apa?” Pertanyaan bapak menyentak kesadaranku.
“Eh? Mm, aku ngomong dengan ibu kalau aku mau ker—”
“Gak!” belum selesai kalimatku, bapak sudah memotongnya. “Buat
apa kamu kerja?! Tugasmu sekarang kuliah, gak usah mikir uang, bapak
masih sanggup buat biayain kuliahmu!” tegas bapak layaknya sang
diktator.
“Tapi aku pengen bisa cari uang sendiri dan gak bergantung sama
Bapak. Aku kasihan lihat Bapak pulang kelelahan tiap hari,” aku
berusaha meyakinkannya.
mereka-ku | 279
“Gak. Punya hak apa kamu buat ngasihani bapak. Kalau kamu punya
waktu untuk itu, belajar sana.” Bapak pun pergi meninggalkanku secara
sepihak.
Benar kata ibu, harga diri bapak begitu tinggi. Membuatku semakin
nekat. Dua hari setelahnya, bersamaan dengan ujian akhir semester
pertamaku, aku pergi ke sana ke mari mencari kerja, tapi sangat susah
ada yang mau menerima mahasiswa dengan jadwal begitu padat. Sudah
sepekan aku menunggu, tetap saja tak kunjung ada pekerjaan yang
cocok dengan jadwal kuliahku.
Setelah sekian lama—mungkin sekitar 3 pekan—aku mendapatkan
pekerjaan, sebagai penjaga toko yang letaknya tak jauh dari rumah.
Barangkali pemilik toko itu kelelahan mengelola sendiri karena sudah
tua makanya beliau menerimaku. Toko itu menjual berbagai barang
elektronik mulai dari VCD, TV, sampai lemari es. Setiap harinya pasti ada
pembeli yang datang. Toko yang cukup ramai, kupikir. Aku bekerja di
sana sudah sebulan lamanya dan merasa cukup nyaman. Namun,
mereka-ku | 280
dibandingkan dengan bapak, aku ini tidak ada apa-apanya.
Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Hari gajian. Aku baru tahu
betapa mendebarkannya menunggu uang gaji hasil kerja sendiri. Meski
tak banyak yang bisa kudapatkan, itu mampu membantu bapak agar
tidak terlalu lelah mencari uang. Di pihak lain, ternyata begitu banyak
godaan setelah mencapai suatu penghasilan. Banyak sekali teman-
teman kelasku yang mengajak jalan-jalan, nonton, atau bahkan sekadar
makan. Sukses membuatku tergiur, tapi tiap kulihat isi dompet aku
selalu teringat bapak, teringat perjuangan bapak, yang kembali mengiris
hatiku. Kuteguhkan keyakinan dan kuberikan gaji pertamaku kepada
ibuk. Ibuk terlihat senang dengan pencapaianku karena aku sudah
mampu mencari uang sendiri.
“Jangan lalai karena kamu sudah bisa cari uang sendiri. Tapi ibuk
bangga sama kamu, ibuk pikir ini akan sedikit membantu untuk
kuliahmu.” Aku senang mendengarnya. “Tapi ingat, jangan sampai hal ini
mengganggu kuliahmu. Karena derajat kami, para orang tua, akan naik
mereka-ku | 281
atau tidak itu bergantung keberhasilan anak.” Itulah kalimat ibuk yang
cukup menggetarkan hatiku.
Keesokan paginya, aku lihat bapak sudah mau berangkat kerja.
Bapak tidak mengatakan apa-apa padaku maupun ibuk, tapi aku yakin
bapak senang karena terlihat dari wajah yang jauh lebih cerah dibanding
biasanya. Aku cukup yakin dengan pemikiranku itu karena sehari
sebelum aku memberikan gaji pada ibuk, aku telah menunjukkan hasil
nilaiku selama satu semester pada bapak dan ibuk, IP-ku sebesar 3,67
dan kupikir itu cukup memuaskan.
“Le, Tole, ke sini bentar.” Sungguh kaget tiba-tiba bapak
memanggilku.
“Iya, Pak?”
“Kalau kamu sudah merasa lelah kamu boleh istirahat. Dan kalau
kamu dihadapkan pada pilihan yang sulit mintalah tolong pada Yang
Maha Kuasa. Yakinlah Tuhan akan menolongmu. Kalau kuliahmu
terganggu, bapak tidak akan mengijinkanmu kerja, kamu lebih hebat dari
mereka-ku | 282
yang bapak perkirakan.”
“Iya, Pak, ini baru dimulai,” begitu terangku kepada bapak yang
hanya ditanggapi senyuman lantas bergegas pergi.
Aku sungguh bangga dengan bapak, tidak hanya tangguh, tapi
sangat peduli dengan keluarga kecil ini. Apa yang ada dalam benakku
adalah aku harus segera sukses dan lulus dengan nilai baik lalu
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang serta harus
mampu menaikkan derajat orang tuaku. Tidak mudah memang, tapi juga
tidak mustahil. Tak apa bagiku jika memang aku harus mengorbankan
kebahagiaan dan kesenangan masa muda demi derajat kedua orang
tuaku. Karena derajat orang tua adalah harga mati untukku. Aku harus
melampaui bapakku.
mereka-ku | 283
The Power of Emak
(fmasyitha)
Aku tengah membuka laman web untuk seleksi masuk PTN melalui
jalur tanpa tes. Pasalnya, kami, para siswa SMA tingkat akhir, tengah
sibuk mempersiapkan segala macam berkas yang dibutuhkan untuk
mengisi formulir yang tersedia secara online. Jujur saja, aku tidak
memiliki sekelebat pemikiran pun untuk dapat melanjutkan studi ke
perguruan tinggi. Orang tuaku tidak memiliki biaya yang cukup jika aku
melanjutkan studiku. Membayar SPP sekolah saja aku masih
mendapatkan bantuan dari bank swasta setempat. Namun, aku pernah
mendengar mengenai beasiswa dari Dikti, yaitu bidikmisi, yang mana
beasiswa tersebut merupakan full scholarship.
Kucoba mencari keberuntunganku di sana, tanpa memberi tahu
kedua orang tuaku, karena mereka tidak akan setuju. Aku memilih 2
universitas negeri yang cukup ternama di Jawa Timur. Aku memutuskan
untuk mengambil Universitas Negeri Surabaya dengan urutan pilihan S1
mereka-ku | 284
Sastra Inggris dan S1 Pendidikan Informatika, serta Universitas Negeri
Jember dengan pilihan S1 Hubungan Internasional dan Pertelevisian.
“Mana menurutmu yang memiliki peluang lebih untuk lolos?” guru
BK-ku seketika menanyaiku saat aku mengumpulkan tugas yang beliau
berikan.
“Unesa,” jawabku singkat.
“Mengapa tidak memilih Unair? Teman-temanmu mayoritas memilih
Unair dan Unibra,”
“Karena saya tidak yakin saya sanggup menyesuaikan diri denngan
gaya hidup mereka. Lagipula, Unesa letaknya lebih dekat dengan rumah
saya.”
*
Ini tidak seperti biasanya. Sore ini aku merasakan badanku panas-
dingin tidak karuan. Bukan, ini bukan mengenai kesehatan tubuh,
melainkan bila aku tengah menghadapai rasa gugup. Bisa dikatakan
berlebihan, namun memang itu yang aku rasakan.
mereka-ku | 285
Berulang kali aku mengecek ponselku hanya untuk mengetahui
pukul berapa sekarang. 16.50. Masih 10 menit lagi untuk melihat
pengumuman hasil SNMPTN. Aku tidak bisa berhenti berguling di atas
kasur buluk ini sejak setengah jam lalu.
“Ck,” lidahku berdecak mengenai langit-langit mulutku. Aku beranjak
dari kasur, lantas mengambil laptop yang tergelatak di ruang tamu.
Dengan kasar, kubuka lid laptopku dan menekan tombol power untuk
menyalakan benda kuno ini.
Kedua orang tuaku masih tidak mengetahui kalau aku mendaftarkan
diri ke perguruan tinggi negeri. Pernah beberapa kali aku mengutarakan
keinginanku, namun ayah dan ibu tidak pernah sependapat.
“Buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya nyari kerja? Mendingan
langsung kerja. Di pabrik mi Sedaap aja sana lho, gajinya UMR.” Itu yang
selalu dikatakan ayah.
Sama saja dengan ibu, “Mendingan kerja saja, Mbak. Ayahmu tidak
sanggup untuk membiayai kamu dan adikmu, kalau kamu melanjutkan
mereka-ku | 286
kuliah. Ini saja kamu sudah beruntung bisa menyelesaikan SMA-mu.” Itu
yang selalu ibu katakan tiap aku mengutarakan keinginanku.
Sudah lewat pukul 17 dan kesialan terjadi kepadaku—lebih
tepatnya pada laptopku. Aku tidak mengerti mengapa koneksi modem
harus berubah menjadi asshole di saat-saat genting begini. Ponselku
sudah bergetar berkali-kali, kawan-kawanku mengirimkan pesan singkat
yang tidak tahu seberapa banyak dengan isi pesan yang sama:
“Bagaimana hasil SNMPTN-mu?”
Kebanyakan dari mereka tidak berhasil melewati jalur pertama ini,
dan itu semakin membuatku kalut. Aku pun berhasil login di laman
snmptn.ac.id, kupanggil adikku untuk membacakan hasil tes. Tak
sanggup aku membacanya sendiri.
“Mbak, warnanya hijau.”
Masih kututup kedua mataku dengan kedua telapak tangan.
“Selamat—“ suara adikku langsung terintrupsi olehku yang
berteriak bagai tikus got terjepit. Kedua orang tuaku berlari ke arahku
mereka-ku | 287
untuk melihat apa yang terjadi.
“Selamat, Anda diterima di Universitas Negeri Surabaya jurusan S1
Sastra Inggris.”
Bisa kudengar suara ibu membacakan surat maya yang tertera di
layar laptopku.
What the heck?! Sastra Inggris?! Aku makin speechless. Itu
merupakan pilihan pertama yang aku inginkan, dan aku langsung
mendapat keberuntungan di sana. Refleks, aku sujud di tempat sembari
terus mengucap syukur kepada Allah.
“Universitas? Kuliah? Bagaimana—” dari nada yang digunakan, aku
tidak bisa mendeteksi perasaan apa yang ayahku rasakan ketika beliau
mengerti bahwa anaknya ‘bermain di belakangnya‘.
“Tenang,” aku mengambil napas menenangkan diri, “ini gratis, tidak
bayar. Aku sudah mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa
bidikmisi dari pemerintah. Itu semua gratis-tis, sampai aku lulus. Aku
ingin sekali melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi, maka dari
mereka-ku | 288
itu aku mencari beasiswa penuh sehingga Ayah tidak perlu bingung
mengenai biaya kuliah. Itu juga sudah termasuk uang bulanan.”
“Percuma, ujung-ujungnya kuliah juga untuk mencari kerja, kan?”
sudah bisa ditebak, ayahku pasti keukeuh dengan pendiriannya.
“Nggak, aku kuliah karena memang pengen belajar Sastra Inggris,”
aku langsung pergi meninggalkan kedua orang tuaku menuju kamar.
Bahkan, sampai sekarang pun, aku sudah semester 4, ayahku masih
menyuruhku mencari pekerjaan dan meninggalkan kuliah. Beruntungnya,
ibuku tidak mengijinkanku kerja sembari kuliah. Well, the power of
Emak, aku pasti langsung mematuhi perintah ibu ketimbang ayahku, as
always.
mereka-ku | 289
Tidak Sedang Tidak-Tidak
(Kemal A)
Cerita ini bermula saat saya sedang duduk di bangku SMA, tepatnya
kelas 2 SMA. Saat itu hampir setiap bulan saya melihat orang tua saya
bertengkar. Sebagian besar masalahnya sih karena uang gaji ayah
beberapa bulan ini berkurang. Kami memang keluarga kurang mampu,
ayah hanya buruh pabrik dan ibu hanya ibu rumah tangga. Itulah kenapa
orang tua saya sangat bingung jika pendapatan berkurang.
Setelah hampir 3 bulan dan tanggal yang hampir sama, mereka
selalu bertengkar. Namun itu adalah pertengkaran terbesar mereka.
Saya menanyakan pada ibu yang sebenarnya terjadi. Ibu menceritakan
panjang lebar soal gaji ayah yang tiap bulan berkurang. Ibu menduga
bahwa uang gajian telah dikurangi untuk kepentingan yang tidak-tidak.
Setelah itu. saya mendatangi ayah mendengarkan ceritanya.
Mendengar cerita ayah, saya sangat terkejut. Ayah saya mengaku
bahwa uang yang diambil dari gajinya itu digunakan untuk menyumbang
mereka-ku | 290
ke yayasan yatim piatu di kota saya.
“Kene gak opo-opo, Nak, dadi wong gak duwe, tapi ojo sampek lali
sedekah, mbantu sing luwih kurang tinimbang awak dewe,” lalu dia
memberikan tanda bukti di mana dia telah memberikan bantuan. “Kita
gak apa-apa, Nak, jadi orang gak punya, tapi jangan sampe lupa
sedekah, bantu yang lebih membutuhkan dibanding kita.”
Setelah mendengar penjelasan ayah, saya kembali menemui ibu dan
memberi tahu bahwa ayah tidak melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi
ibu masih tidak percaya. Sengaja tidak saya beri tahu apa yang
sebenarnya terjadi karena dilarang ayah, ada kejutan untuk ibu di hari
ulang tahunnya.
H-1 ulang tahun ibu tiba. Saya, adik, dan ayah menyusun rencana
untuk memberi kejutan nanti malamnya. Tepat pukul 00.00, adik saya
mengetuk pintu kamar ibu. Saya dan ayah sudah bersiap-siap membawa
kue dan sebatang lilin yang menyala. Pada waktu ibu saya membuka
pintu kamar, kami langsung keluar dan menyanyikan lagu Selamat Ulang
mereka-ku | 291
Tahun. Ayah menceritakan apa yang terjadi dengan persoalan uang gaji
yang berkurang. Ayah bercerita panjang lebar dan menunjukan tanda
bukti yang dimilikinya. Saat mendengar cerita dari ayah, ibu tampak
terharu.
“Aku bangga dadi bojone sampean, Yah,” lalu ibu menangis. “Aku
bangga jadi istrimu, Yah.”
Sontak aku tertawa keras, “Opo, rek, kok mboten romantis blas
ngoten kata-katae.” Hehehe, itu adalah sebuah celetukan spontanitas.
“Apaan. Kok nggak romantis sama sekali kata-katanya.”
Semenjak itu saya bertambah kagum dengan ayah, bekerja keras
banting tulang, tak lupa bersedekah, juga tahu bagaimana caranya
membahagiakan keluarga. Bagi saya beliau adalah sosok yang sangat
menginspirasi. Aku bangga dadi puterane panjenengan, Yah.
mereka-ku | 292
mereka-ku | 293
Malaikat Penolong
(Fadhilah)
Berdasarkan banyaknya pengalaman yang telah saya lalui di hidup
saya, hanya ada satu orang yang paling berjasa dan inspirator terbaik.
Bukan karena dia berasal dari kalangan atas, artis, maupun inspirator-
inspirator terkenal pada umumnya, namun karena kesempurnaan yang
telah beliau buat melalui kasih sayang tulus dan yang tidak tertandingi.
Sosok wanita yang luar biasa, hingga tidak dapat dijelaskan.
Lebih dari 2 tahun yang lalu, saya memiliki musibah terberat yang
saya alami dalam hidup saya, hingga kadang kala saya selalu berpikir
ketidakadilan yang telah dibuat oleh Tuhan kepada saya cukup membuat
saya kecewa dan percaya bahwa Tuhan tidak lagi Maha Adil. Kecelakaan
itu, kecelakaan luar biasa yang terjadi antara dua pengendara sepeda
motor yang melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Yah,
malam itu, sepulang dari salah satu kursus yang biasa saya lakukan
setiap malam harinya. Bukan malam terindah bagi saya, melainkan
mereka-ku | 294
sebuah malam yang tidak terlupakan. Kecelakaan yang membuat banyak
sekali perubahan, kecelakaan yang mengajarkan saya untuk merasakan
bagaimana kehidupan seseorang yang tidak dapat berjalan dengan
kedua kaki yang dimilikinya, kecelakaan yang mengajarkan banyak hal,
bagaimana cara kita untuk lebih bersyukur dan menghargai kehidupan
serta nikmat-Nya.
Hampir genap satu tahun lamanya saya merasakan bagaimana
menjadi seseorang remaja yang hanya menghabiskan waktunya di atas
tempat tidur. Hanya mampu berbaring dan selalu melibatkan banyak
orang untuk melakukan segala aktifitas. Di mana kehidupan saya sangat
berbanding terbalik dan berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Di mana
sebelumnya saya dengan mudah melakukan segala aktifitas sendiri, di
mana dengan mudah melakukan apa pun yang saya mau, dan dengan
mudah pula saya pergi dan beranjak dari tempat tidur itu. Patah tulang
di bagian paha itu membuat segala perubahan di hidup saya.
Sempat koma beberapa saat, membuat kedua orang tua saya
mereka-ku | 295
menangis dan bingung, setelah kecelakaan itu segeralah saya dibawa
ke rumah sakit terdekat, namun dengan kondisi darah yang mengalir
dari telinga, kaki yang sudah tidak normal dan berbeda dari sebelumnya,
dokter hanya dapat menggelengkan kepala. Dua hari terhitung dari
kecelakaan itu, saya telah melewati masa-masa kritis namun semua itu
tidak cukup membuat masalah selesai. Saya harus mendengar kabar
bahwa kaki saya mengalami patah tulang dan harus segera dioperasi.
Berbeda dari orang tua pada umumnya, mama adalah salah satu orag
yang sangat khawatir mendengar kata operasi, beliau tetap ngotot
hingga akhirnya saya dibawa pada suatu pengobatan alternatif sangkal
putung di Mojokerto. Di sana, saya ditangani seseorang tanpa alat
medis sedikit pun dan tanpa obat bius yang bisa membuat saya
menangis kesakitan. Setelah 4 bulan lamanya, belum terdapat
perubahan pada kaki saya, tetap seperti sebelumnya hanya berbaring di
atas tempat tidur, hanya saja rasa sakit itu sudah hilang.
Kecelakaan itu terjadi pada saat saya duduk di bangku sekolah akhir
mereka-ku | 296
tahun ajaran, seharusnya saya disibukkan dengan latihan-latihan soal
dan menjalani ujian akhir sekolah namun keadaan saya tidak
memungkinkan hingga membuat orang tua saya memutuskan
menggunakan jasa home schooling. Dengan tidur terlentang, menulis
dan mendengarkan pelajaran sambil berbaring di atas tempat tidur.
Selang beberapa bulan, ayah saya memutuskan untuk membawa saya
ke rumah sakit tulang terkenal di Solo. Sehari setelah operasi, 10 hari
lamanya saya dirawat dan menjalani terapi kaki agar dapat berjalan
kembali. Alhamdulillah, pada akhirnya saya dapat kembali memijakkan
kaki. Bedanya, dengan dibantu oleh kedua tongkat. Awalnya saya malu
dan tidak ada kemauan untuk kembali bersekolah tapi semangat dan
semua yang telah dilakukan oleh kedua orang tua sayalah yang
membuat saya kembali bersekolah dengan menggunakan bantuan
tongkat ini. Rasa minder sempat muncul, ketika melihat banyaknya
pandangan mata mengarah ke saya saat saya melangkahkan kedua kaki
bersamaan dengan bantuan kedua tongkat itu. Beruntungnya, saya
mereka-ku | 297
memiliki banyak sahabat dan teman yang tulus, yang mampu
membantu, tetap memberikan semangatnya untuk bangkit dan keluar
dari musibah ini.
Seiring berjalannya waktu, hingga lulus sekolah menengah atas,
saya masih berjalan dibantu tongkat ini. Mulai dari pendaftaran, tes
perguruan negeri, dan lain sebagainya. Tetapi lagi-lagi Tuhan
memberikan ujian kepada saya. Usai menjalani tes perguruan negeri,
saya harus mengetahui bahwa saya gagal dan tidak diterima di
universitas negeri mana pun.
Mama, muncullah nama di setiap ujian yang saya dapatkan. Dengan
memeluk dan memberikan semua nasihat, saya mulai mengerti itu
bukan suatu kegagalan tetap melainkan keberhasilan yang tertunda.
Setahun lamanya saya berhenti dan tidak melanjutkan ke bangku
perkuliahan, mama mengarahkan saya untuk bersekolah di Kampoeng
Inggris, Pare, selama 6 bulan, seusai itu mama pun tetap mengarahkan
saya untuk kursus camp mata pelajaran yang akan diujikan pada saat
mereka-ku | 298
tes perguruan tinggi negeri berikutnya. Pada akhirnya usaha yang saya
lakukan tidak sia-sia dan berbuah hasil. Yah, saya rasa Tuhan memang
Maha Adil untuk semua umatnya yang mau berusaha.
Dengan banyaknya musibah dan pengalaman yang saya dapatkan
tersebut, saya mengerti dan memahami. Bahwa tidak ada lagi
seseorang yang rela berkorban, setia, dan selalu ada selain mama,
keluarga dan sahabat. Namun, jasa mama yang tak terkalahkan
membuat saya mengerti betapa berarti sosok seorang ibu. Merawat,
buang air kecil dan besar, mandi, makan, dan segala hal kecil hingga
besar pun beliau lakukan.
Mama, mama yang selalu ada. Mama selalu memeluk anak-anaknya
di setiap masalah menghampiri, mama yang selalu membangkitkan
semangat di saat runtuhnya rasa semangat yang termakan oleh suatu
musibah. Ketulusan dan kasih sayang yang tidak dapat terbalaskan oleh
apa pun.
Sampai suatu ketika saya menangis dan mencoba untuk
mereka-ku | 299
menancapkan gunting di tangan karena merasa putus asa dengan
semua itu, mama datang dengan segala tangisan air mata kasih
sayangnya merelakan segala hal, dan melakukan segala cara untuk
kesehatan dan kebahagiaan anaknya. Sosok inspirator termulia dan
pemeran utama yang pernah ada dan sangat berarti di hidup saya.
mereka-ku | 300
Entahlah
(M Iqbal)
Sungguh sebenarnya takdir manusia ini telah terukir dan terlukis
nan cantik di atas kanvas yang menghasilkan wajah bagi sang bumi.
Wajah ini memberi sejuta makna bagi hidup seorang manusia. Terkadang
hidup terjerembab sedalam-dalamnya ke dalam sebuah lubang di palung
laut Jawa yang dingin membuat darah membeku dan gelap sehingga
menutup mata pun terasa telah mampu untuk melihat siapa di sebelah
kita, namun kita juga terkadang mampu menggapai puncak gunung
Jayawijaya untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan menjadi lebih
lapang melihat luasnya hati yang kita miliki. Nah, di saat terjatuh ke
dalam palung inilah kita tidak mungkin mampu berenang sendiri dengan
dua kaki dan dua tangan kita untuk kembali ke permukaan hidup. Kita
membutuhkan bantuan seseorang yang sudah berada di puncak
Jayawijaya untuk datang dan menurunkan sebuah gapaian tangan untuk
meniriskan kita yang terjatuh terlalu dalam. Orang inilah yang biasa kita
mereka-ku | 301
sebut ‘inspirator’.
Tapi, bagaimana kita bisa bertemu dengan mereka sang inspirator?
Seperti apakah rupa mereka? Hidupkah mereka? Atau sebenarnya
mereka selalu bersama kita namun menunggu untuk ditengok oleh kita
dan menunggu diajak ngobrol? Sebelum saya memulai untuk menjawab
izinkan saya berkata, “Tidak ada sesuatu yang kebetulan terjadi di dunia
ini, semuanya adalah Allah yang membuat itu semua terjadi.”
Cerita ini akan mengangkat sebuah inspirasi yang datang ketika
seorang anak telah hampir kehilangan sebuah alasan mengapa dia hidup
di dunian ini, untuk siapa dia hidup, dan kepada siapakah dia harus
membuat senyuman di wajah seseorang. Anak yang membutuhkan
seorang yang mau menerima dan mengakui keberadaan dia. Dia
melakukan apa pun agar ada satu orang saja yang melihat dia
tersenyum ketika dia berangkat ke sekolah hanya agar ingin
diperhatikan dan didoakan ketika ada ujian, dan hanya untuk mencium
tangan seseorang yang disayangi ketika pulang dari sekolah. Inspirator
mereka-ku | 302
ini datang dan akan memberikan sebuah rahasia kecil yang diketahui
banyak orang namun tidak banyak yang mau menerima. Inspirator ini
menceritakan tentang seberapa sederhananya sebenarnya hidup ini.
Hidup ini sebenarnya hanya sebuah piring dengan nasi putih, lauk, dan
air putih. Namun manusialah yang membuatnya semakin rumit dengan
mengganti nasi putih dengan nasi kuning, hitam, atau merah, berbagai
macam lauk mulai yang didapat dari tanah, air, dan langit, atau minuman
yang dibuat jadi manis, masam, pahit, dan yang lain. Inilah yang akan
menjadi jawaban dari sang anak yang akhirnya menemukan alasan dia
untuk sekadar berangkat sekolah dan pulang sekolah.
Semua berawal dari terbangunnya semangat besar yang muncul dari
kematian seorang ayah yang amat dibutuhkan dalam sebuah keluarga.
Hilangnya sebuah tonggak pondasi di satu rumah maka pondasi itu
harus menemukan pengganti agar rumah tersebut tidak runtuh dan
menjatuhi penghuni di dalamnya. Sebagai satu-satunya lelaki yang
tersisa dalam sebuah keluarga kecil maka anak tertua ini telah
mereka-ku | 303
membangun tekad yang besar untuk kembali merenovasi dan menutup
lubang-lubang yang terlihat di dalam hidup keluarga kecil ini.
Memasuki SMP favorit merupakan satu langkah sukses yang diraih
anak malang ini dengan terseret-seret untuk mencapai gerbang
kesuksesan. Sebuah pilihan besar. Dia terbelenggu antara melompat ke
dalam dunia SMK atau masuk ke dalam komunitas elit SMA. Hening
sejenak dalam kebimbangan ini. Dia teringat akan ibunya yang selalu
menyambut dia pulang dengan keadaan mencuci pakaian dan
membelakangi dia waktu memasuki rumah salah satu paman dia yang
tidak dipakai, namun baju-baju tersebut tampak asing di mata si anak
dan dia menyadari bahwa ibunya sedang mencuci baju orang lain.
Sang anak tanpa sepatah kata salam dan salim langsung memasuki
dapur sebelum ibunya menyadari kedatangannya dengan penuh air mata
di wajah anak ini. Dia hanya tak ingin melihat ibunya menangis kembali
hanya karena hal yang tidak penting ini. Sudah cukup banyak masalah
untuk ditangisi, tak perlu tertambah hal seperti ini. Seketika itu juga
mereka-ku | 304
ibunya datang dan menyuruh si anak agar segera makan. Dia
memalingkan wajah dan mengiyakan suruhan itu. Ketika membuka
tudung saji, anak ini hanya melihat dua benda di dalamnya, hanya
terdapat satu mangkuk nasi yang sudah kering dan tak nampak asing
karena anak ini yang menuangnya sendiri ke dalam mangkuk semalam
dan juga sebuah kecap asin. Entah ke mana ibunya pergi, anak ini
langsung menuangkan kecap itu dan mulai mengunyah nasi kering
ditemani air putih di mulutnya agar tidak terlalu tersedak. Entah terasa
atau tidak, anak ini terus mengunya tanpa terasa air matanya
membasahi nasi keringnya, namun itu juga tidak menjadi masalah, toh
rasnya juga tidak berubah. Tiba-tiba ibunya membuka pintu dan datang
dengan satu kantung plsatik kerupuk kesukaannya. Ibu ini pun terkejut
melihat anaknya menangis dengan memegang mangkuknya. Tidak ada
satu kata pun yang terlempar dari mereka, ibu ini hanya duduk di
sebelah anaknya dan mulai memeluk dan menangisi anaknya yang
sedang memakan nasinya. Yah, anak ini tiba-tiba tersadar dari renungan
mereka-ku | 305
dan memantapkan hati untuk memasuki dunia SMK. Dengan begitu, dia
bisa cepat bekerja dan bisa membelikan tempe dan tahu untuk ibu dan
adiknya di rumah. Tidak ada kesempatan untuk memasuki komunitas
SMA. Dia tahu bahwa setelah lulus dari SMA akan menjadi tidak berguna
jika tidak kuliah.
Sebuah seragam dan helaian napas semangat baru dimulai di hidup
anak ini. Dengan diterimanya di SMK terdekat di rumahnya, dia mulai
mengangkat tasnya dan mengayuh sepeda. Tahun pertama dilewati
dengan banyak kegembiraan dengan nilai akademik yang memuaskan
dan hasil-hasil lomba yang cukup membuat dia bangga karena dapat
menggenggam beberapa rupiah. Dia mulai merasa yakin bahwa inilah
hidupnya, inilah jalan yang akan dia tekuni untuk membangun kembali
keluarga kecilnya dan mengukir senyum di wajah ibunya.
Sayang, sepertinya senyum-senyum ini tidak terlalu lama, senyum
ini hanya bertengger namun tidak bersarang di hidupnya. Suatu ketika,
anak ini baru pulang sekolah dan baru saja menyandarkan sepeda di
mereka-ku | 306
pohon mangga depan rumah, ada satu yang janggal di halamannya, ada
sebuah mobil merah mewah. Anak ini langsung berjalan menuju ke dalam
lewat belakang rumah dengan wajah penuh harapan agar apa yang ada
di pikirannya tidak seperti yang akan terjadi. Dia menemui beberapa
paman dan budenya di dapur dan dia disuruh ke ruang tamu. Ibunya
menyambut dengan sebuah senyum, namun ini bukan senyum ibunya, ini
senyum yang berbeda, senyum ini tidak membuat si anak bersenang
hati, bukan, ini bukan senyum yang diharapkan anak ini. Seketika itu
juga ibunya menuntunnya dan menyuruh dia untuk salim kepada
seseorang.
“Ayo, Nak, salim nang bapak.”.
Ya, itu yang ibu katakan. Mata anak ini masih terbuka namun dia tak
melihat ayahnya yang dulu, tangan anak ini menyentuh si tangan orang
asing namun dia tidak merasakan tangan ayahnya. Seketika itu juga
anak ini berjalan kembali ke dapur tanpa setetes pun perasaan yang ia
rasakan di hatinya. Dia tidak merasa sedih, tidak merasa putus asa,
mereka-ku | 307
tidak merasakan ada air mata. Dia hanya sudah tidak merasakan apa-
apa di hatinya. Seperti ketika kita mencoba membangun sebuah pulau di
laut dalam, ketika pulau itu sudah muncul ke permukaan tiba-tiba tanpa
ada ombak atau arus besar pulau itu hanya runtuh dan tenggelam
kembali tanpa alasan yang pasti. Begitulah kira-kira perasaan anak
tersebut.
Kalimat akad nikah sudah terdengar, ibunya telah duduk di samping
seseorang yang baru, namun anak ini tidak melihat apa-apa dan tidak
mendengar apa-apa di hari itu. Dia sudah tidak melihat ibunya seperti
ibu yang dulu. Mungkin ibu memiliki niat yang baik agar aku bisa makan
dan sekolah, begitu yang ada di pikiran anak ini. Setelah selesai, anak ini
memulai hari petangnya, ibu dan adiknya meninggalkannya sendiri di
rumah dengan neneknya untuk tinggal di Surabaya sesuai dengan
perjanjian sebelum pernikahan. Karena alasan sekolah SMK yang belum
selesai, anak ini merelakan ditinggal satu-satunya keluarga kecil yang ia
miliki.
mereka-ku | 308
Setiap bulan ibunya mengunjungi dengan membawa beberapa
lembar uang untuk makan dan jajan. Entahlah, setiap menerima uang ini
anak ini hanya mengangguk tanpa bertanya kabar ibunya yang dulu dia
cintai dengan sangatnya. Tidak ada topik pembicaraan layaknya
keluarga yang kangen dan lama tidak bertemu, anak ini termenung
setiap ibunya pulang. Di sore hari ibunya kembali menaiki mobil merah
itu dan kembali meninggalkannya, di saat itulah anak ini baru menangis.
Begitu malam tiba....
“Pernahkah ibuk memikirkanku dan tahu kalau sekarang aku
menangisinya, merindukanya, dan ingin tidur di pangkuannya sembari
menangis atau hanya sekadar untuk membaca Alquran bersama setelah
Magrib seperti dulu?” Anak ini hanya mengisi malam-malamnya dengan
memandangi foto ibunya sambil berkata, “Buk, sekarang aku hafal surat
Al-Waqi’ah loh, ibuk gak kepingin pulang dan dengerin hafalanku tah?”
Begitulah setiap malam ketika anak ini menghafal satu surat baru di
Alquran dia melaporkan ke foto ibunya, tapi tidak sepatah kata pun
mereka-ku | 309
keluar ketika ibunya datang.
Perlahan anak ini mulai tidak merasakan kehadiran ibunya, baik di
saat bertemu atau dengan foto ibunya, anak ini hanya termenung setiap
malam, tidak lagi belajar seperti dulu, tidak lagi mengaji seperti dulu
karena dia bertanya-tanya dalam hatinya, “Memangnya kalau nanti aku
belajar dapat nilai bagus, toh waktu mau berangkat ujian juga gak salim
ke ibuk gak ada yang doain, terus buat apa dapet nilai bagus? Buat
siapa nilainya nanti? Lagian nanti gak usah susah-susah nyari kerja, toh
ibuk udah megang uang banyak, nanti juga kalau aku pulang bawa bakso
ibuk juga gak akan terlalu senang. Terus apa lagi alasan aku buat hidup?
Untuk siapa? Siapa yang bisa kubuat tersenyum dan bangga dengan apa
yang aku dapatkan? Kalau cuman untuk aku sendiri, aku tidak butuh
yang muluk-muluk. Memang bisa apa aku senyum untuk aku sendiri?”
Begitulah anak ini mulai tidak peduli dengan hidupnya, tidak ada lagi
yang ia pedulikan. Tidak ada lagi yang ia pikirkan. Tidak ada lagi yang ia
khawatirkan. Setiap kali anak ini merasa sedih karena teringat hidupnya
mereka-ku | 310
yang kering, dia menggunakan uang dari ibunya untuk menghibur hati,
kerap kali ia tersenyum sendiri dan berusaha menghibur diri sendiri,
memanjakan lidah dengan semangkuk bakso dan es teh, atau
memanjakan imajinasinya dengan bermain game sampai larut malam.
Sehingga pada suatu hari di sekolahnya, ia berbuat sebuah
kesalahan dalam organisasi yang dulu ia ikuti karena kelalaian dan
kemalasan yang ia perbuat. Dia menghitung anggaran bulanan
organisasi tersebut, dan membuat kesalahan sehingga keuangan
merugi. Akhirnya, anak ini terkena sanksi dari seorang guru, namun
sanksinya bukanlah dibawa ke guru BK melainkan disuruh menemui guru
ini di masjid sekolah sepulang sekolah. Anak ini menemui guru tersebut,
ternyata sang guru telah lama menyoroti anak ini, melihat perubahan
besar dan sekarang selalu terlihat murung, sang guru bertanya tentang
masalah anak ini. Setelah berbicara panjang lebar, anak ini kembali
menangis dan sang guru berkata, “Senyummu selama ini itu hanya
mereka-ku | 311
senyum palsu.” Dan memang benar bahwa itulah yang terjadi. Maka sang
guru mulai memasuki hidup anak ini dan mencoba meluruskannya.
Begitulah dua ‘kakak-beradik’ ini selalu bersama. Sang guru yang
masih muda menganggap muridnya sebagai adiknya sendiri, sang guru
selalu mengajak muridnya ke mana pun jika ada sebuah urusan, tak
jarang mereka berdua pergi ke tempat pengajian dan pergi ke makam-
makam wali Allah yang dimuliakan. Di sanalah, sang guru mulai
memperkenalkan kehidupan seorang muslim yang sesungguhnya. Satu
kalimat dari sang guru yang selalu teringat, “Sebuah cobaan besar itu
menimpa seseorang yang derajatnya tinggi juga, berarti Allah mencintai
seseorang dengan ujian dan cobaan yang besar itu”. Kata-kata itu
membuat sang anak merasakan bahwa ia masih diperhatikan oleh
Penciptanya. Itulah yang membuat sang anak merasakan kasih sayang
yang tidak didapat dari seorang manusia. Perasaan kasih sayang yang
begitu murni dan kekal.
Begitulah sang anak mulai menemukan sedikit dari makna kejadian-
mereka-ku | 312
kejadian yang ia alami selama ini. Ia mulai menemukan jawaban-
jawaban dari pertanyaannya yang dulu. Hanya karena pertemuan yang
tidak sengaja yang berawal dari sebuah kesalahan. Begitulah bagaimana
bahkan sebuah kesalahan masih memiliki makna dan manfaat yang
dalam bagi kehidupan. Bahkan di dalam palung laut yang pun kita tidak
akan pernah bisa menebak apa yang ada di dalamnya, mungkin ada
sebuah mutiara atau sebuah aliran air tawar jernih di bawah kumpulan
air asin laut yang gelap.
Entah cerita ini berakhir. Entah cerita ini menginspirasi. Entah cerita
ini menarik. Tidak ada yang peduli. Penulis hanya ingin pembaca untuk
lebih lembut dan peka setelah membaca ini. Bahwa dengan hati peka
kita selalu dapat menemukan anak-anak yang seperti ini. Dan kita bisa
memulai untuk menjadi ‘sang Guru’.
mereka-ku | 313
Prajurit Dili 1992
(Alfian EP)
Setiap manusia sudah pasti memiliki seorang inspirator yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Karena sejatinya manusia adalah
makhluk sosial yang mengadopsi teori simbiosis mutualisme, setiap
individu pasti membutuhkan individu lain untuk bertahan hidup. Dari sini
saya dapat simpulkan bahwa inspirator adalah kebutuhan individu
seseorang yang berfungsi sebagai penyemangat dalam hidupnya. Begitu
pula dengan apa yang ada dalam diri saya. Begitu banyak sudah tokoh
atau orang-orang biasa yang pantas saya definisikan sebagai inspirator
dalam hidup saya. Menggunung sudah terapi hidup yang saya dapatkan
dari mereka, tentu dengan ciri khas yang berbeda dari setiap
penuturnya. Tak mungkin rasanya saya menuliskan satu per satu nama
mereka di sini, tentu mau tidak mau saya harus memilih satu yang
terbaik di antara banyak inspirator yang saya kenal. Dalam lembaran
kertas putih yang bertuliskan deretan kata sederhana ini saya sematkan
mereka-ku | 314
ayah saya sebagai pemuncak daftar inspirator bagi saya.
Seorang ayah yang saya punya hanyalah seorang pemuda desa yang
hidupnya serba pas-pasan. Bagaimana tidak, untuk makan saja beliau
harus berdagang es lilin sambil membawa jajanan tradisional di atas
kepala sembari berjalan kaki ke desa tetangga. Sedangkan uang saku
buat sekolah datang dari usaha keras beliau membantu tetangganya
yang berjualan soto dan bakso. Dalam pikirannya saat itu hanya usaha
keras, karena beliau adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang
semuanya adalah anak laki-laki. Sedikit cuplikan tentang ketidakadilan
dari saudaranya tertuang dalam obrolan santai di ruang tamu, beliau
menceritakan dengan detail bagaimana perlakuan saudaranya yang
semena-mena dalam berbagi tugas. Tapi beliau mengerjakan dengan
sabar tanpa mengeluh sedikit pun. Beliau juga bercerita saat kakaknya
menyuruh dia memancing ikan di Bengawan Solo sebagai tambahan
lauk, tapi apa daya insting anak-anaknya pun mencuat, beliau lebih
memilih mandi dan berenang di sana dengan teman-temannya
mereka-ku | 315
sedangkan amanah dari saudaranya dia tinggal. Fajar pun tenggelam di
sisi Barat, semua temannya bergegas pulang sembari memungut
pakaian yang mereka tinggalkan di sisi bengawan. Akhirnya beliau pun
teringat apa yang semestinya dikerjakan pada saat itu, beliau takut
untuk pulang ke rumah karena sudah pasti mendapat hukuman dari
saudaranya. Saat itu juga temannya mengantarkan pulang beliau.
Sesampai di rumah keadaan biasa-biasa saja karena saudaranya
hanya terdiam sembil memakan tempe hangat dengan nasi dan sambal
sebagai pelengkapnya. Tak lama kemudian kakaknya pun menghampiri
dengan seutas tali, benar saja dia diikat di pojok rumah yang sudah
disiapkan semut-semut besar yang orang Jawa biasa menyebutnya
“keranggang”. Sepertinya salah satu dari kakaknya mengetahui
perbuatannya, sembari menggosokkan kakinya satu sama lain karena
gigitan semut beliau pun mengaku atas kesalahanya dan meminta maaf
atas kejadian itu.
Hari demi hari pun berlalu, beliau melanjutkan sekolahnya dari
mereka-ku | 316
madrasah ke SMA. Beliau adalah murid yang rajin yang lebih memilih
sekolahnya daripada bekerja di ladang demi segenggam rupiah. Saat itu
banyak dari rekan seangkatan beliau yang bekerja di ladang karena
keterbatasan biaya, dan prinsip mereka lebih memilih pekerjaan
ketimbang melanjutkan sekolah. Ketika rindu pada kampung halaman
beliau menyempatkan diri datang ke rumah gurunya, sambil menikmati
kopi hangat, sang guru menceritakan bagaimana bandelnya ayah saya
saat duduk di bangku SMA. Karena lebih memercayai temannya, beliau
sering kali bolos sekolah dikarenakan pelajaran Matematika yang dirasa
membosankan dan sangat sulit. Sembari tertawa beliau mengingat apa
yang terekam dalam jenjang pendidikannya. Beliau juga sering tidur di
kelas karena sebelum matahari melingkar di sisi Timur beliau harus
memberi makan ternak milik tetangganya. Sebuah hal yang lumrah kata
gurunya yang paham betul posisi ayah saya pada saat itu.
Di tahun kedua sekolah menengah atas digelar, entah apa yang ada
dalam benak beliau. Beliau tidak melanjutkan sekolah dan bertekad
mereka-ku | 317
melanjutkan karirnya sebagai prajurit TNI. Sontak hal itu membuat
bingung orang tuanya.
“Bagaimana bisa orang tuamu ini mendaftarkan dirimu sebagai
bagaian dari TNI sedangkan untuk makan saja kita kekurangan?” cetus
sang ibu.
Mendengar hal ini tetangga beliau tak tinggal diam, dengan hati
seperti malaikat si tetangga merelakan seekor lembu demi kesuksesan
beliau. Hari yang ditunggu pun datang, sebuah tes tamtama yang digelar
TNI disebarluaskan ke penjuru negeri. Bermodal uang hasil penjualan
lembu milik tetangganya dan latihan fisik rutin beliau berangkat untuk
mendaftar calon tamtama. Beruntungnya, karena pada saat itu kriteria
masuk TNI hanya sebatas lulusan SMP dan yang diprioritaskan hanya
tinggi serta berat badan. Perjuangan beliau tidak sia-sia, melihat hasil
pengumuman bersama sang ayah akhirnya dengan bangga bisa menjadi
bagian dari TNI. Hal ini membuat ibunya merasa senang sekaligus sedih,
karena anak bungsunya kini meninggalkan rumah demi tugas negara.
mereka-ku | 318
Beliau pun menempuh pendidikan TNI, hari-harinya kini diisi oleh
latihan yang cukup berat. Sebuah tas berisikan batu bata adalah hal
yang lumrah bagi punggung beliau, sambil mengikuti instruksi senior,
beliau disuruh berjalan puluhan kilo sebagai terapi tiap minggunya. Di
sinilah mental seorang prajurit dibangun, latihan fisik berbalut kontak
fisik membuat sebagian temannya down. Dan salah satu teman beliau
yang tidak kuat dengan hal ini mencoba bunuh diri dengan menenggak
cairan pembasmi nyamuk. Ditunjuk sebagai ketua regu ayah saya pun
menenangkan temannya, dengan kata-kata yang membangun beliau
berhasil membangkitkan lagi kepercayaan diri temannya karena di situ
bukan dia sendiri yang berjuang melainkan orang banyak. Selepas masa
pendidikan berakhir, beliau diperbolehkan menjenguk keluarga di
kediaman, rasa haru pun mulai tercipta antara kedua pihak (baik orang
tua maupun ayah saya). Bungsu dari empat bersaudara pun kembali
pulang dan semua orang bangga dengan apa yang dia dapat selama itu.
Yang lebih mengejutkan adalah beliau mampu berbicara bahasa Jawa
mereka-ku | 319
halus (kromo) kepada orang tuanya dan perilakunya pun lebih santun
dari sebelumnya. Ternyata latihan keras dari pendidikan TNI
membuatnya berubah menjadi lebih baik lagi.
Selepas kembali dari kampung halaman, beliau kembali ke Surabaya
dan bertugas di sana. Beliau terkejut melihat sebuah surat mendarat
tepat di depan pintu kamar asramanya. Ternyata surat tersebut
menginformasikan agar seluruh elemen TNI berangkat ke Dili untuk
membantu menuntaskan kisruh di Timor Timur. Seluruh lapisan TNI pun
dikumpulkan dan berbaris untuk bersiap pergi ke tanah Dili. Akhirnya,
beliau pun berangkat menggunakan kapal tongkang (kapal barang) dari
pelabuhan Tanjung Perak. Beliau bercerita bagaimana perjalanannya di
tengah laut dengan sebuah kapal barang yang sejatinya tak layak
digunakan untuk mengangkut ratusan prajurit.
“Kalau pagi lumayan enak dengan pemandangan laut yang segar,
tetapi kalau malam seperti orang buta yang sulit untuk menemukan
jalan,” dongeng beliau.
mereka-ku | 320
Seminggu terombang-ambing di lautan akhirnya sampailah beliau di
pesisir Timor Timur, beliau harus menggunakan transportasi darat untuk
sampai di kota Dili. Sebuah hamparan bukit dan gunung menjelma
menjadi rintangan yang sulit ditembus, belum lagi pasukan Xanana
mengintai di balik rindangnya rumput dan hutan-hutan.
Ya, Xanana adalah presiden pertama Timor Timur yang dulunya
kontra dengan pemerintahan Timor Timur yang berpaham Marxism, saat
Indonesia ikut campur dalam masalah Tim Tim, dia pun pergi bersama
pasukannya ke bukit-bukit untuk menghindari sergapan Indonesia.
Sebuah pos dan tenda-tenda pun menanti, beliau ditempatkan di sebuah
pos perbukitan dekat dengan kota Dili. Pos ini adalah akses utama
untuk masuk ke kota Dili, wajar bila akan banyak orang yang diperiksa
sebelum memasuki kota ini.
Tepat pada malam hari beliau mendapat tugas dari komandan untuk
berjaga di area bukit, bersama rekannya beliau mulai menyusuri rimba
kota Dili. Terkadang suara binatang liar pun berkumandang ditelinga bak
mereka-ku | 321
mendengarkan musik kematian dalam gelapnya malam. Beliau pun
berpatroli untuk mencegah serangan mendadak dari pasukan Xanana.
Tidak ada kata tidur dalam benak beliau, cukup sedikit istirahat sudah
membuat kondisinya membaik, sambil menikmati biskuit dan kopi
panas pada malam itu. Berhari-hari di bukit kota Dili, akhirnya kabar
gembira pun datang dari sebuah stasiun televisi Indonesia. Kabar itu
dimuat karena Xanana berhasil ditangkap oleh pasukan TNI Indonesia
dan direncanakan bertolak ke Jakarta untuk dimintai keterangan.
Setelah Habibie memerintahkan TNI untuk mundur dari wilayah Tim Tim,
semua pasukan pun kembali ke daerah asal mereka. Sebuah tanduk
rusa dan bekas peluru mortir adalah oleh-oleh dari tanah Dili, bagi beliau
selain mempelajari bahasa Tim Tim yang mengadopsi bahasa Portugal
harus ada hal lain yang harus dia sematkan sebagai oleh-oleh dari tanah
Dili.
Setelah kembali dari Tim Tim, setahun kemudian beliau menikah
dengan ibu saya dan tinggal di asrama TNI Surabaya. Tidak ada tanda
mereka-ku | 322
jasa apa pun dari pemerintah selepas dari Tim Tim. Mungkin krisis yang
timbul dari rezim Soeharto dan peralihan kursi jabatannya ke Habibie
membuat prajurit TNI terlupakan.
Terlepas dari semua kisah yang tertuang kini ayah saya adalah orang
biasa, sama halnya denga ayah-ayah lain yang ada di bumi ini. Yang
membuatnya istimewah hanyalah sudut pandang beliau yang mampu
membangun biduk rumah tangga hingga berhasil. Beliau juga
mengajarkan kata “tegas” dalam diri anaknya. Hal inilah yang membuat
saya mencatatnya dalam daftar orang yang paling berpengaruh dalam
hidup saya. Berkat jasa beliau kini saya mampu melanjutkan setiap
tahap jenjang pendidikan dan akan selalu mencontoh hal baik yang
beliau torehkan dalam hidup ini.
mereka-ku | 323
Ibu
(Ittaqi T)
Sudah dua tahun ini ketika ayah pergi meninggalakan keluarga maka
sosok seorang ibulah yang menjadi panutan, bukan meninggal dunia
melainkan meninggalkan tanpa alasan melepas semua tanggung jawab
seorang ayah yang sudah diamanahkan padanya. Tetapi di sisi itu,
dengan kepergian beliau menjadi sebuah pelajaran yang nyata bagi
keluarga kami. Tidak selamanya kita harus bergantung hidup kepada
orang tua, terkadang hidup mandiri menjadi suatu harapan baru bagi
kita. Di dalam kondisi yang seperti ini, bergantung kepada orang tua
bukan pilihan yang tepat, tapi saya bangga memunyai seorang ibu yang
dengan segala kekurangannya dan kasih sayangnya mampu
mengantikan sosok seorang pemimpin keluarga bagi saya.
Ibu adalah wanita yang paling berjasa dalam hidup seorang anak di
mana pun berada. Amat besarnya kasih sayang ibu untuk anak, tak
mungkin dapat kita bayangkan, seindah apa pun mungkin tak akan
mereka-ku | 324
sebanding dengan realita kasih sayang yang merekaibu berikan dengan
tulus. Meskipun beliau tahu bahwa anak-anaknya akan membutuhkan
biaya melanjutkan pendidikan, beliau tidak pernah mengeluh atas apa
yang sudah terjadi pada kami. Tanggung jawab beliau justru lebih besar
dibandingkan dengan sosok seorang pemimpin di keluarganya, di
samping beliau memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya, beliau juga
tidak lepas tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Beliau adalah
seorang yang menyadarkan saya akan hal yang penting tentang
kemandirian dan cara bertahan hidup. Di saat beliau pergi mencari
nafkah demi keluarga, di situ terlintaslah pemikiran yang sebelumnya
tidak pernah terlintas: Memulai mengais rupiah demi rupiah untuk
melanjutkan belajar agar dapat membahagiakan ibu.
Sebelum Tuhan memberikan cobaan ini kepada keluarga saya,
Tuhan menyadarkan saya tentang bagaimana hidup mandiri dan cara
bertahan hidup. Satu kata yang masih tertancap sampai saat ini adalah
ketika ibu berkata, “Nak, jangan sampai kamu putus belajar, terus
mereka-ku | 325
belajar dan raih cita-citamu bagaimanapun keadaannya.” Dari situ saya
mulai belajar berpikir tentang masa depan saya. Mulai saat itu saya
belajar untuk membiayai kuliah saya sendiri dengan bekerja sebagai
guru les di sebuah kursusan bahasa Inggris dekat rumah.
Dan sekali lagi, ibu adalah ia yang tak akan tega melihat atau
menyaksikan anaknya menderita. Mungkin jika diberikan pilihan
kepadanya antara hidup dan kematian yang sangat menentukan, ia akan
memilih mati agar kita sebagai anaknya tetap hidup. Mungkin kita tidak
lagi ingat ketika ibu kita dengan sangat rela membersihkan kotoran kita
saat kita balita, ia yang dengan sabar menyuapi kita saat kita rewel
atau yang dengan sabar menunggu malam agar cepat berlalu ketika kita
terbaring sakit, dengan matanya yang sayu karena tidak tidur
mengkhawatirkan kita, dan ibu memaksa saya untuk tidak bekerja dan
fokus kepada cita-cita saya.
mereka-ku | 326
Keringat Pejuang
(Mariyama D)
Perlu kita tahu sebenarnya pelajaran paling berharga bukanlah
pelajaran saat kita duduk manis di dalam kelas, melainkan pelajaran
saat kita di luar kelas dan berbaur dengan alam, di mana saat itulah
dunia yang memberi kita sebuah pelajaran kehidupan. Tanpa kita sadari
setiap hari pasti banyak pelajaran yang bisa kita ambil meskipun dari
hal-hal sepele yang mungkin tidak terpikirkan. Di sini saya ingin berbagi
pengalaman saya yang mungkin tidak begitu ‘wah’ dan lebih seperti
celotehan saja, tapi berkat pengalaman inilah hati saya tersadar.
Ini adalah sebuah cerita tentang saudara kembar saya. Ya, saya
memunyai saudara kembar laki-laki yang mungkin kalau dimiripkan tidak
akan terlihat kembar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia memang
saudara kembar saya. Dan di sini sayalah yang menjadi seorang adik.
Kisah ini bermula saat kami akan memasuki jenjang perkuliahan.
Pagi itu mentari menyelimuti rumah kami dengan hangat. Aku yang
mereka-ku | 327
sudah mau berangkat kuliah berpamitan dengan kakakku terlebih dahulu
saat melewati kamarnya. Dia masih terlihat sibuk bersiap-siap untuk
pergi ke kampusnya juga. Kamarnya selalu terlihat rapi walaupun dia
laki-laki, itulah satu hal yang mungkin terbalik di antara kami. Di
kamarnya nampak hanya ada kasur dengan bantal dan guling, sedang di
sudut barat tepat di sebelah pintu, berdiri gagah almari kayu yang diikuti
tumpukan buku yang menggunung, sekilas seperti buku-buku yang
dijajakan di jalan Semarang. Yah, itu adalah buku kumpulan soal-soal
SBMPTN mulai dari tahun-tahun yang lalu tak terkecuali tahun ini.
Sedikit mengherankan memang, di sini dia sudah berstatus mahasiswa
akan tetapi buku yang ada di kamarnya justru buku untuk persiapan
masuk perguruan tinggi negeri.
Kamis ini kelasnya masuk pagi, diawali dengan Kalkulus dan diakhiri
dengan Pancasila. Tiap detik tiap menit dan tiap jam yang berlalu dalam
benaknya hanya kapan kuliah pada hari ini akan usai dan segera ingin
merampungkan buku-buku yang ada dalam kamarnya. Memang
mereka-ku | 328
keberadaannya dalam kampus yang sekarang dia pijaki sangat bertolak
belakang dengan mimpi yang sejak kecil dia impikan: Menjadi seorang
dokter. Akan tetapi takdir berkata lain. Kini dia berdiri di sini, di kampus
yang sama denganku, menghirup udara yang sama, kampus Universitas
Negeri Surabaya, Fakultas Teknik, jurusan S1 Teknik Elektro. Tapi dia
tetap bersikeras bahwa suatu hari nanti dia akan mewujudkan
mimpinya, bercakap dengan seorang pasien yang berharap akan
kesembuhannya, “Bagaimana keadaan saya, Dok?“ Inilah yang selalu dia
ceritakan padaku. Dia juga sering mengingatkanku kalau mimpi akan
selamanya menjadi mimpi jika tak ada usaha untuk memperjuangkan,
meski saat menempuhnya akan mengalami kegagalan berkali-kali. Hal
inilah yang selalu dia pegang teguh semenjak dia mengalami
ketidakberuntungan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun
2013 lalu, ya orang-orang menyebutnya SBMPTN.
Langit mulai berganti, perlahan menjadi gelap dan bintang-bintang
mulai bermunculan. Setelah salat Magrib dia masih saja mempunyai
mereka-ku | 329
kesibukan, mengajar siswa-siswi SMP. Dia sudah rapi dengan kemeja
merahnya dan siap melawan dinginnya udara malam. Jaraknya sekitar
30 menit dari rumah, ya bisa dikatakan lumayan. Aku sempat bertanya
padanya mengapa tidak berhenti saja dari mengajar, karena dia juga
harus fokus untuk SBMPTN berikutnya, apalagi gaji dari mengajarnya
juga tak seberapa. Tapi jawabannya hanya sederhana, “Aku mengajar
tidak untuk mencari uang, yang terpenting ilmuku bermanfaat,” lalu
kalimat itu dilanjutkan dengan bercerita kenapa dia bertahan. “Rumah
itu memang tak terlalu besar, tapi terlihat teduh dan nyaman. Di
pelataran rumah selalu nampak sandal-sandal mungil berserakan ke
sana ke mari. Dari kejauhan wajah-wajah yang masih lugu itu terlihat
penuh semangat yang haus akan ilmu. Mereka tak sekadar murid bagiku,
semangat mereka untuk menjadi sukses membuatku malu. Ya,
merekalah semangat yang kupunya saat aku terpuruk. Mungkin bisa
bertemu dengan mereka merupakan skenario Tuhan yang lain. Dan justru
merekalah yang secara tidak langsung mengajarkanku apa itu
mereka-ku | 330
semangat.”
Aku hanya terdiam mendengarnya, di benakku saudara kembarku
yang selama ini begitu menyebalkan mengajarkanku sebuah makna yang
dalam. Tak berhenti di situ, usai datang dari mengajar dia pun mulai
mengerjakan kumpulan soal dari buku-buku yang tertumpuk seperti
cucian kotor itu, padahal malam sudah makin larut. Esoknya, hal yang
serupa dia lakukan mulai dari kuliah hingga sore, namun malam ini
aktivitasnya berbeda. Jika kemarin adalah untuk menyalurkan ilmunya,
maka kali ini dia pergi untuk mencari ilmu lagi. Tempat itu tampak
seperti rumah harapan, di mana banyak alumni yang belum atau masih
ingin mencoba SBMPTN lagi, menggantungkan sedikit besar harapan
mereka, nama tempat itu Nurul Fikri. Aku tak tahu sampai kapan dia
bertahan dengan rutinitas sepadat itu apalagi harus pulang pergi setiap
hari.
Hari berganti hari, kegiatan yang dia lakukan masih tetap sama,
hampir setahun tidak terasa, aku lihat semangatnya makin memuncak.
mereka-ku | 331
Aku senang karena senyum itu telah kembali, yang mana sempat hilang
sejak pengumuman SBMPTN tahun lalu. Beberapa hari ke depan akan
ada salah satu perguruan tinggi swasta yakni Hang Tuah Surabaya
dengan prodi Kedokteran yang mulai mencari mahasiswa pada
gelombang I. Dia pun memberanikan diri untuk mencoba peruntungan di
universitas tersebut. Kepercayaan dirinya tidak semata-mata embel
belaka namun melihat prestasi dan nilai yang ada dalam try out yang
diselenggarakan oleh tempat lesnya cukuplah membuat bangga. Ya, aku
tahu dia memang pintar. Saat itu dia masuk peringkat 10 besar se-
Surabaya, bahkan untuk beberapa kali.
Kini hari ujian itu tiba, dengan semangat yang berapi-api dan
kepercayaan yang tinggi dia mulai mengerjakan soal demi soal, aku
berharap agar dia lolos kali ini. Namun, takdir memang tidak di tangan
manusia, dia mendapati namanya tidak tercantum dalam pengumuman
tersebut. Kekecewaan masih setia menemaninya sampai hari itu, dan
senyum itu pun kembali hilang.
mereka-ku | 332
Malam itu, kesedihan masih terlihat jelas dari wajahnya, dia hampir
putus asa dengan impiannya. Namun janji akan bertemu kawan lama
membuat dirinya memberanikan diri untuk menumpahkan segala beban
yang selama ini dia alami. Temannya itu hanya tertawa mendengar
ceritanya, “Hei, Kawan, apakah kau tak tau akan perjuanganku dulu?
Diriku yang harus merasakan terdepak dari kampus yang entah aku
cocok atau tidak waktu itu dan sekarang aku menjadi seorang
mahasiswa dengan mimpi yang selama ini aku impikan, manjadi
mahasiswa ITB. Dan itu semua aku dapatkan dengan penuh luka.
Kegagalan adalah hal yang biasa kawan, tapi bangkit adalah
jawabannya. Ingat kita masih punya Tuhan yang selalu mengabulkan
doa. Tetap semangat, Kawan, ingatlah kata guru kita dulu, tidak ada
hasil yang luar biasa dengan usaha yang biasa-biasa! Man Jadda Wa
Jada!”
Malam ini begitu dingin, membuatku terbangun dan bergegas ke
kamar mandi. Nampak sosok yang sangatku kenal bersujud dengan isak
mereka-ku | 333
tangis memecah suasana malam ini. Aku terdiam. Esoknya dia
mengucapkan suatu hal kepada ibu, bahwa dirinya masih ingin menjadi
seorang dokter dan mulai bergegas pergi. Kini sebuah kesempatan
menghampirinya lagi, tes masuk Hang Tuah gelombang II telah dibuka,
semoga inilah jawaban dari penantiannya.
Hari itu pun datang, hari di mana pengumuman kelulusan tes masuk
kedokteran Hang Tuah gelombang II diumumkan. Dia masih ragu-ragu
untuk melihat pengumuman tersebut. Sampai akulah yang akhirnya
membukanya. Kubuat senyum selicik mungkin agar membuatnya
penasaran. Dengan lantang aku memberi selamat padanya.
“Selamat kamu LOLOS!” Saat itu aku menyaksikan sendiri di depan
mataku. Sesosok manusia yang sudah bosan akan kegagalan,
menerobos takdir yang sulit, yang membuatnya tahu bahwa Tuhan Maha
Adil. Kini usahanya berakhir dengan indah, walau tak masuk universitas
negeri dengan nama yang mentereng tapi bagaimanapun Kedokteran
adalah prodi yang sangat diminati dan sangat sulit untuk menembusnya.
mereka-ku | 334
Kini ia menjadi orang yang ada dalam mimpi kecilnya, mimpi menjadi
seorang dokter.
Dari situ, aku belajar bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti
akan berhasil. Yap, Man Jadda Wa Jada, sebuah mantra yang memang
benar adanya. Pasti akan ada jalan untuk mengejar mimpimu, teruslah
memperjuangkannya jangan sampai kegagalan menghentikanmu. Justru
jadikan kegagalan tersebut menjadi motivasi terbesarmu. Selama ada
kesempatan, jangan pernah kau sia-siakan sekali pun. Dan ingatlah
tidak ada hasil yang menghianati usaha.
mereka-ku | 335
Biarkan Ayah dan Ibu Terbenam di Diriku
(Sheellviana D)
Perputaran bumi pada porosnya telah mengakibatkan kehidupanku
mengalami perubahan setiap siang dan malamnya. Begitu juga dengan
perputarannya terhadap matahari yang memberi hitungan waktu untuk
hidupku dan tiap kisahnya. Fenomena lazim yang memiliki proses hebat
ini aku jadikan acuan untuk tidak menyiakan kesempatan atas
kedahsyatan nikmat-Nya. Lepas dari cara berpikir yang bijak itu,
kehidupan juga menabuhi hidupku dengan rasa yang melawan bijak itu
sendiri.
Setelah menghabiskan waktu 21 tahun, aku mencoba mengelilingi
memori untuk menemukan lembar cerita yang dapat memacu semangat.
Tentu, semangat melawan penjajahan mental dalam batin. Meskipun
keagungan Tuhan telah menjadi salah satu inspirasi yang tidak ingin aku
lupakan tiap harinya, hubungan sosial dalam hembusan napas yang
diberi juga memberi andil. Di sudut hati yang penuh kasih, aku dapati
mereka-ku | 336
sosok wanita yang selalu menggenggam tangannya erat di celah-celah
jemariku. Dia tidak sendiri, bersama lelakinya. Lelakinya yang dengan
gagah merangkul kami, aku dan wanita itu.
Wanita cantik yang memulai janji sakralnya, Endang bersama pria
yang menjabat tangan penghulu dalam akad, Sugiono. Tidak lama
setelah pernikahan keduanya, berkah datang untuk mereka dengan janin
di dalam rahim wanita 22 tahun itu. Emansipasi wanita yang sudah
berlaku di hukum Indonesia mengijinkan Endang turut menjadi seorang
wanita karir. Dia meraup rupiah di sebuah perusahaan yang tidak terlalu
besar, sebagai seorang sekretaris. Siapa sangka kalau aktivitas padat
ini membuatnya kehilangan anak pertamanya. Di lima bulan usia
kandungannya, bayi laki-laki itu tidak bernyawa.
Sokongan dari suami yang telah menelan janji hidup bersamanya
membuat Endang bangkit dari gelapnya. Setelah satu kala bumi
berevolusi, rahimnya telah diberi karunia kedua. Berpegang pada
kepahitannya, Sugiono menjaga sang istri dari kegagalan yang sama.
mereka-ku | 337
Tidak kalah dengan suaminya, Endang hati-hati dengan keselamatan
janinnya. Walaupun hanya bekerja sebagai seorang pegawai di salah
satu perusahaan swasta, Sugiono mengumpulkan semua tetes keringat
untuk biaya istri ke dokter spesialis. Tidak, istrinya baik-baik saja. Dia
hanya melakukan pemeriksaan rutin dengan dokter spesialis kandungan.
Setelah amplop gaji diterima Endang, tiap bulannya ia sisihkan
untuk peralatan-peralatan lucu untuk calon bayinya. Mereka berdua
sengaja merahasiakan jenis kelamin calon anaknya, dengan anggapan
kejutan setelah sembilan bulan yang mereka lewati. Hari yang dinanti itu
jatuh di bulan kedua tahun 1994. Saat semua anggota keluarga inti
berkumpul di sebuah rumah sakit Surabaya menunggu kedatangan
nyawa baru untuk mereka. Dengan proses operasi, pertaruhan nyawa
Endang berhasil melahirkan bayi molek dengan berat 3,2 kg.
Ayah Endang tak bisa menghabiskan waktu lama untuk bertemu
cucunya. Perempuan, kulit merah, dan tinggi 53 cm diberi nama
Sheellviana oleh sang kakek dan sang ayah menambahkan Dewi
mereka-ku | 338
setelahnya. Ya, mereka adalah keluargaku. Sugiono dan Endang adalah
sosok yang ada di semua ruang hatiku. Mereka adalah ayah dan ibuku.
Aku dilahirkan oleh seorang wanita super yang menelan obat hampir tiap
harinya demi giziku dalam kandungan. Aku diperjuangkan oleh seorang
pria tangguh yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk detak
jantungku selama sembilan bulan.
Aku dibesarkan dengan perasaan sayang, dididik dengan moral,
dibekali sampul agama. Dengan penghasilan yang cukup, ayah merogoh
sakunya untuk susu formula yang paling mahal setelah aku berumur dua
tahun. Ibu tidak segan-segan menegur orang yang memperlakukanku
dengan kurang baik. Contohnya, kakek pernah memberiku es krim ketika
umurku di bawah dua tahun. Kemudian ibu mengeluarkan kata-kata
tegas kepada ayahnya agar tidak memberiku es krim di usiaku saat itu,
karena ibu khawatir organ pencernaanku belum siap menerima jajanan
itu.
Setengah tahun berlalu di usiaku pada tahun kedua, ayah dan ibu
mereka-ku | 339
kembali diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk merawat titipannya. Aku
akan segera menjadi kakak. Kakak dari adik perempuanku, Dieta Vischa
Nanda. Setelah dua tahun lebih enam bulan aku menjadi anak tunggal,
setelah dimanjakan kasih sayang kedua orang tuaku, awalnya aku tidak
ingin berbagi kasih sayang orang tuaku yang telah mengalir deras sejak
aku dalam kandungan.
Dengan polos, aku berucap, “Ma, itu siapa? Aku nggak mau liat, ah.”
Setelah proses persalinan di rumah sakit.
Ayah dan ibu menceritakan hal menarik yang akan terjadi jika aku
menjadi kakak. Keduanya meyakinkan jika tidak akan ada yang
berkurang. Tanpa aku sadari, orang tuaku telah membagi tugas. Ayah
lebih memberi perhatian kepada adik dan ibu lebih banyak
menghabiskan perhatiannya untukku. Waktu yang membuat
prasangkaku pudar sedikit demi sedikit.
Kelahiran adik Dieta menandai pindahnya rumah kami dari Sidoarjo
ke Surabaya. Sebuah perkampungan padat penduduk. Ibu sangat
mereka-ku | 340
mengawasi perkembangan kami berdua, karena ibu kembali bekerja
setelah cuti melahirkan adik. Sebagai ganti waktu ibu yang terpakai
oleh pekerjaannya, seorang pengasuh dipekerjakan di gubuk sederhana
kami. Aku pernah bersekolah di taman kanak-kanak dekat rumah,
setelah satu tahun berlangsung ibu merasa tidak ada perubahan
memuaskan dengan ilmu yang aku miliki. Pendidikanku di tempat
tersebut dihentikan oleh ibu, dan dipindahkan ke taman kanak-kanak
yang dikepalai oleh nenek. Lokasinya 15 km dari rumah. Beberapa bulan
di awal aku difasilitasi antar jemput. Ketika akhir pekan, ibu
mengajarkanku berbagai hal; membaca, mewarnai, dan menggambar.
Setelah itu, aku tinggal dengan nenek dan kakek di Sidoarjo selama
pendidikanku di tingkat kanak-kanak. Saat tahun pertama memasuki
sekolah dasar, besamaan dengan hari pertama Dieta sekolah di taman
kanak-kanak. Kami berdua tidak bersekolah di sekolah dekat rumah, ibu
memilih sekolah dengan tingkat lebih bagus. Meskipun hal itu lebih
banyak menghabiskan biaya, ibu mengatakan bahwa ilmu tidak
mereka-ku | 341
mengenal batasan angka.
Ayah dan ibu tidak jarang pulang dengan membawa sesuatu yang
kami sukai. Entah itu es krim, mainan, fastfood, ataupun jajanan.
Pergaulan di lingkungan rumah kami dianggap ibu kurang ramah, oleh
karena itu sebelum melangkahkan kakinya ke kantor, beliau selalu
meninggalkan selembar kertas dengan pesan di dalamnya. Kami tidak
ingin mengecewakan surga kami, maka dari itu kami lebih memilih
tinggal di dalam rumah setelah pulang sekolah. Ajaibnya, tidak ada
kebosanan bagi kami dengan hanya di dalam rumah saja. Banyak yang
kami lakukan saat berada di dalam bangunan berukuran 10x15m
tersebut, mulai dari belajar bersama, makan, dan bermain. Sebagai
gantinya, setiap waktu luang yang ayah dan ibu miliki selalu dianggarkan
untuk ocehan-ocehan kami, bahkan berlibur walau hanya jalan-jalan.
Sejak kecil kedua orang tua kami mengajarkan kami untuk hidup
disiplin dengan membuat jadwal kegiatan, membiasakan menabung, dan
memberi sugesti jika belajar itu menyenangkan. Alhasil, kami berdua
mereka-ku | 342
selalu bangun tidur sesuai dengan jam, mandi, kemudian sarapan, dan
berangkat sekolah tanpa membuat antar jemput kami membuang waktu
untuk menunggu. Di perjalanan pulang sekolah, aku dan adik memiliki
kebiasaan menebak pesan apa yang dirangkai ibu hari ini. Sesampai di
rumah kami membaca kumpulan kata-kata dari ibu dan menjalankannya.
Segeralah kami ganti baju setelahnya. Makan kemudian tidur siang
adalah dua kegiatan yang tidak asing bagi kami. Bangun tidur kami
membersihkan badan dengan mandi kemudian belajar bersama di ruang
tamu sembari menunggu kedatangan ibu ketika jarum jam tepat di
angka empat. Bukan berarti kami tidak menikmati detik untuk
menunggu ayah pulang kerja, maklum ayah tidak pulang setiap hari.
Kami berhasil membuat orang-orang sekitar iri dengan kebaikan yang
kami perbuat.
Hingga suatu hari, aku dan adik pergi ke rumah saudara di sebelah
rumah kami. Tapi malang, nasib aku kecil dan adikku yang hanya berniat
bermain itu malah disambut tidak menyenangkan oleh bibi pemilik
mereka-ku | 343
rumah. Sejak saat itu, ibu memutuskan untuk pindah rumah.
Sebenarnya, pindah kali ini tidak hanya karena untaian kata-kata yang
kurang patut, faktor lingkungan juga turut menjadi alasan ibu untuk
mengajukan permintaan pindah rumah ke ayah.
Sidoarjo, salah satu kota di Jawa Timur adalah kota yang menjadi
pilihan ibu untuk tempat berlindung kami yang baru. Tapi ibu juga masih
mempertahankan karirnya. Anehnya, entah mengapa aku sangat tidak
nyaman dengan kondisi rumah baru yang tanpa ibu di sana. Dalam durasi
yang cukup lama aku hanyut dalam peluh karena perasaan itu. Adik
selalu menghiburku ketika aku menangis, sehingga terkadang aku
menyembunyikan butir-butir yang jatuh itu. Aku hanya gadis yang baru
berumur 8 tahun saat itu, memberanikan diri untuk meminta ibu agar di
rumah saja. Kekagumanku kepada ibu semakin mendekati puncaknya,
karena tanpa bertanya alasannya ibu menyanggupi permintaanku.
Keluarga kami belum pernah menyusuri jalan ke rumah yang
berlokasi di Surabaya sejak perpindahan itu sampai 5 tahun. Ketika aku
mereka-ku | 344
telah memasuki masa putih biru, ajakan ayah membawa kami
mengunjungi rumah lama. Aku mengamati sekitar dan menyadari
aktivitas yang tidak sesuai dengan norma. Sesampainya di rumah baru,
aku menanyakan kebenaran dari apa yang aku lihat.
“Ma, rumah kita yang lama itu kok banyak tante-tante seksi sama
om-om?” celotehku, “Ohya, Ma, itu tadi temenku dulu waktu SD bukan
sih yang tadi gendong bayi?” lanjutku. Ibu mengiyakan semua
penasaranku. Lingkungan dan pergaulan yang seperti itu yang
mendorong ibu untuk segera mengamankan moralku dan adik.
Aku dan adik tumbuh besar seiring pergantian musim. Kami berhasil
membalas usaha ibu dengan prestasi kami di sekolah. Posisi tiga
teratas selalu ada di bawah kemampuan otak kami. Rupiah dalam jumah
besar yang diperas dari peluh ayah tak ingin kami sia-siakan dengan hal
yang tidak berguna. Kebahagiaan yang diberikan Tuhan selalu membalut
keluarga kami, sebagai obat cobaan yang kadang menerpa.
Masih kuingat, kepahitan yang tidak ingin kami telan, 2010. Mobil
mereka-ku | 345
kijang dengan kecepatan 100 km/jam menyapu habis jalan Diponegoro
Sidoarjo, termasuk adikku. Merenggut nyawa temanku satu rahim, yang
saat itu berangkat sekolah diantar ibu. Kejadian yang memilukan itu
membuat ayah dan ibu melindungiku teramat sangat, karena telah
kehilangan dua orang anaknya.
Aku hapus kepedihan di bola mata ibu, sebagai mana ibu menyangga
tiap tetes yang akan menyerbu pipiku. Aku besarkan hati ayah, layaknya
beliau menaburkan sejuta bunga di senyumku. Status anak tunggal yang
aku impikan bukan seperti ini. Setahun berlalu, hadirnya Najwa, seolah
menjadi percikan bahagia untuk keluarga kami. Bagaimana tidak?
Semua yang ada pada Najwa mirip dengan Dieta.
Kesalahan persepsiku masa lalu tentang anak satu-satunya kuusir
jauh dari diriku. Aku mengumpulkan semua ucapan orang tentang
besarnya kasih ayah dan ibu untukku. Kata mereka aku selalu dimanja,
dimanja dengan semua yang orang tuaku punya. Mereka bilang aku
mutiara yang tak bisa mereka nilai, karena nominal yang orang tuaku
mereka-ku | 346
keluarkan demi hembusan napasku bukanlah jumlah yang kecil.
Ayah membentengiku dengan agama, dan ibu menjadi teman
berbagiku tentang pergaulan. Meskipun aku tidak berasal dari keluarga
berada, bukan berarti aku tidak berhak menyandang nasib yang lebih
baik dengan pendidikan yang aku kenyam. Syukur, adalah hal yang bisa
aku sampaikan pada Tuhan atas ayah dan ibu yang sedemikian ini.
titik di mana kamu tak tahu lagi kamutitik di mana aku tak tahu lagi aku
kamu tak tahu lagi akuaku tak tahu kamutitik apa lagi
bilabukanbukan
titik nol
titik nol | 347
lima
Dia, Saat Mereka Berkata
(Arvin A)
Saat hati ini bergelut tentang siapa seseorang yang menginspirasi
diri, kutautkan hatiku pada seorang hamba yang tak jauh dari
kehidupanku. Sungguh, saat itu, keputusan yang ia ambil adalah hal luar
biasa dan menggetarkan hati mungil ini. Seseorang ini akan selalu ada di
hatiku, walau ia telah tiada. Andreas Isnantanto, ayah kekasihku,
ayahku. Dia seorang kristiani tulen, putra seorang pastur gereja di
Purwokerto. Siapa sangka seorang non-muslim berwajah garang ini,
berhati begitu bersih dan lembut.
Saat kali pertama aku berkunjung ke kediamannya, kubayangkan ia
takkan menyukaiku karena wajahnya sekali pun tak menampakkan
titik nol | 348
senyum. Ia sedang bersantai di teras memandangi bunga yang terangkai
di sekeliling rumahnya. Kudatang mendekat, tak kusangka sesuatu
mengejutkan terjadi.
“Ini ya yang namanya Ayu? Aku pernah bertemu mata ini.”
Pertanyaannya begitu mengejutkan.
“Maaf, Pak?” kubalik bertanya.
“Ya. Dulu saya pernah punya murid di SD. Matanya ya mirip kamu ini,”
ia memandangiku tepat di wajahku. Wajah kami hanya berjarak sekian
inci, seolah ia sedang menginterogasi seorang teroris yang baru
mengebom J. W. Marriot dan memaksaku mengaku sebagai pelaku.
“Ayah…,” kekasihku seolah mengingatkannya untuk sedikit mundur
menghindari merahnya wajahku saat itu.
“Saya ingat benar nama murid itu, Siti Fatimah, putranya Bapak
Anshor. Dia murid yang berkesan,” lanjutnya.
Aku terperangah membuka mulutku dan segera kututup setelah
menyadari bahwa murid itu adalah mamaku. Kupejamkan mataku
titik nol | 349
sejenak, dan membukanya tiga detik kemudian. Saat seperti itu pun aku
masih mampu menghitung berapa detik mataku terpejam, sungguh
sakti.
“Murid itu sebenarnya adalah mama saya… Pak.” Seketika aku
mengidap broca’s aphasia dan tak ada lagi yang bisa kuungkapkan.
Sejenak bungkam. Diam dan suram.
“Oh, ya? Ya Tuhan… pantas saja mirip sekali mata itu. Benar
ternyata, kau mewarisi mata mamamu. Mulai sekarang panggil saya
ayah,” ia membela diri.
“Ya, Ayah,” aku hanya tersenyum simpul setengah tak percaya.
Tak lama setelah kejadian itu, ia terserang sakit. Sakit diabetes
yang dideritanya semakin parah dari hari ke hari. Suatu ketika, di hari
Sabtu, masih kuingat jelas hari itu. Mamaku mengunjunginya. Terekam
jelas mamaku bercerita sepulang dari kediamannya.
“Mama nggak nyangka, Pak Andreas separah itu. Tubuhnya dulu
kekar sekarang kurus tinggal tulang. Kakinya dulu besar, sekarang
titik nol | 350
seperti kena polio. Mama bingung, itu kena diabetes apa polio,” mama
mengoceh entah berniat melawak atau memang begitu adanya.
“Mama… bisa-bisanya di saat seperti ini,” sanggahku.
“Luka di kakinya juga kok gitu ya, Yu? Sampek kelihatan tulangnya.
Katanya di bagian kulit luar tulang ekornya juga kelihatan. Ya Allah…
guruku. Semoga diberi kesembuhan.” Ku tengok wajah mama terlihat
bersedih.
Suatu ketika, aku teringat dua hari sebelum ayah pergi
meninggalkan keluarganya dan aku ke Banyuwangi, ayah terbaring di
kamarnya. Kamar itu tak terlalu besar namun nuansa hijau membuat
mata sejuk seiring menatap sekelilingnya. Suasana indah itu berubah
ketika keindahan mulai sirna dan berganti luka yang dikirim oleh Tuhan.
Saat kumasuki kamarnya, baru kusadari bau luka basah yang sangat
menyengat. Tak kuasa batinku namun apa daya. Kupaksakan masuk ke
kamarnya, kusampingkan egoku. Obat-obat pembersih luka dan penawar
sakit berjajar di meja biru dekat lemari. Di bawah kasur kutemukan
titik nol | 351
pispot dan selang yang terhubung pada kelaminnya.
Ia menyambutku, “Ayu, sayang, suapin ayah, ya?” dengan merengek
seperti balita ia pun menggenggam tanganku.
“Pasti, Ayah,” kuteteskan air mata. Kusuapi ayah penuh iba.
“Suatu hari nanti, kau harus menikah dengan putraku. Berjanjilah.”
matanya tajam menatap bola mataku, seraya wasiat itu mengalir ke
dalam darahku, menyusuri saluran nadiku, menggertak venaku.
“Ayah?”
“Berjanjilah!” suaranya mulai meninggi.
“Ayu… berjanji,” kukatakan dengan suara halus. Kuharap malaikat
mendengarnya, mencatatnya sebagai niatan suci.
Sekilas mengenang saat itu. Masih dapat kubayangkan wajahnya
yang pilu. Selang dua bulan, ayah mengunjungi rumah saudaranya, tante
Jujuk—seorang terapis alternatif—dalam rangka berobat. Pasiennya
pun datang dari segala kalangan.
Banyuwangi, di sana tempat ayah menghabiskan sisa usianya.
titik nol | 352
Selama ayah pergi, yang bisa kulakukan hanyalah meneleponnya.
Sebenarnya tidak juga. Aku meminta kekasihku untuk meneleponkan
tante Jujuk agar dia bisa memberikan teleponnya pada ayah. Terkadang
susah untuk sekadar mengatakan, “Ayah... Ayu kangen.” Alasannya
sangat bervariasi. Sungguh alibi yang brilian hingga sangat susah bagiku
dan kekasihku menghubunginya.
Tante sibuklah, nanti sajalah, tunggu ya, tante ada pasien, aduh
ayahnya lagi tidur, aduh nanti dulu ya tante ada tamu, dan lain
sebagainya. Aku sampai hafal kata-katanya.
Saat itu, tepat 24 Februari 2013, aku berhasil menghubungi ayah.
Tante-sejuta-alasan itu akhirnya memberikan teleponnya pada ayah.
Saat itu, kekasihku berada di sampingku. Kami meneleponnya saat di
rumahku. Perasaan kami berdua berubah aneh seketika. Aku pun berpikir
ada yang tak biasa. Tapi apa?
“Ayah, selamat pagi. Ayah sehat?” suaraku mungkin terdengar
bersuka. Benar saja, setelah berminggu-minggu, baru sekarang bisa
titik nol | 353
kuhubungi. Bagaimana mungkin aku tak bahagia?
“A-aaa… aaa... uu… aaaa... aaaa...,” jawabnya.
Benarkah ini ayah? Pikirku.
“Ayah, bicaralah. Ini Ayu... Ayu kangen. Bicaralah, kumohon,” isak
tangis mengalir dari pelupuk mata.
“A... yaa... aa... a… aaaa....”
“Nak, maaf, ayahnya sudah tak bisa lagi bicara,” tante Jujuk
langsung saja menutup teleponnya.
Marahku membuncah saat itu. Wanita itu! Tak bisakah
membiarkanku sebentar saja bercengkrama melalui telepon dengan
ayah?! Banyak yang ingin kutanyakan. Aku hanya menangis. Begitu juga
kekasihku.
Keesokan harinya, kuterima berita dari kekasihku yang menangis di
seberang sana bahwa ayah meninggal dalam keadaan Islam. Tepat
malam hari sebelum ia meninggal dunia, ia melafalkan dua kalimat
syahadat dituntun seorang kiai. Ayah melafalkan dengan lancar, sangat
titik nol | 354
fasih. Bagaimana mungkin? Pagi-pagi saat aku meneleponnya, ayah tak
bisa bicara. Menyebut namaku pun tak bisa.
Tante Jujuk merekam momentum ayah mengucapkan dua kalimat
suci itu. Bagaimana tak menangis aku menontonnya. Yang aneh adalah
setelah selesai melafalkan. Ayah kembali tak mampu bicara. Suatu
hikmah besar datang menghampirinya. Subhanallah. Terima kasih,
Tuhan, Kau telah memberi hidayah padanya. Pada ayahku.
titik nol | 355
Angelku yang Cantik
(W Sisca)
Awal liburan semester dua-ku telah tiba. Semua mahasiswa
mungkin sedang menikmati liburannya dengan bekerja atau berwisata.
Namun, aku hanya ‘berlibur’ di rumah sakit. Ibuku sakit dan tak kunjung
sembuh. Resep dokter langganan yang biasa sembuhkan sakit
lambungnya, entah kenapa tidak bereaksi kali ini. Kami sekeluarga pun
memutuskan pergi ke rumah sakit lain. Setelah tes darah lengkap, ibu
pulang bersama bapak membawa hasil laboratorium.
Yang aku ingat ibu bilang, “Yok opo iki, Mbak Acis?” sambil
menangis. “Gimana ini, Mbak Acis?” beliau menyodorkan hasil tes
padaku.
Aku bertanya ada apa tapi tidak ada respon dan beliau hanya
mengusap air matanya. Aku melihat hasil lab dan kaget setengah mati.
Setelah membaca kertas bertuliskan,
Diagnosa: Leukemia atau diagnosa banding infeksi bakteri berat;
titik nol | 356
Saran: BMA.
Seketika aku lemas dan teringat pada beberapa bulan lalu.
Sahabatku, Agnes, serta abi dari sahabatku lainnya, Afri, meninggal
akibat kanker.
Ya Allah, apa semua ini?
Kucoba cek ulang dan semuanya normal kecuali white blood cell
yang sedikit melebihi batas normal dan hemoglobin di bawah normal.
Aku berusaha menenangkan ibu. Setelah itu, cepat-cepat kucari di
internet tentang leukemia dan apa arti “BMA”. Ternyata, BMA adalah
Bone Marrow Aspiration. Artinya ibu harus segera tes sumsum tulang
belakang untuk membuktikan apakah benar leukemia atau bukan. Dulu,
Agnes sampai lemas dan kesakitan akibat tes itu. Dan apakah ibuku
harus merasakan sakit yang sama? Aku menangis sepanjang malam.
Dari diagnosis jenis kankernya, itu termasuk leukemia akut dan hanya
bisa bertahan sekitar enam bulan. Betapa kagetnya aku membuat air
mataku mengalir semakin deras.
titik nol | 357
No, God. I love my mom. Don't take her back to You.
Akhirnya, kuputuskan memberi tahu bapak atas apa yang aku baca
di internet dan mendorong beliau untuk cepat membawa ibu ke rumah
sakit terbaik untuk tes sumsum tulang belakang. Mendengar hal itu,
beliau kaget tidak percaya separah itukah ibu. Bapak mengeluh perutnya
sakit dan keluar masuk kamar mandi. Begitulah respon tubuh beliau
saat mendengar sesuatu yang buruk dan membuatnya sedih. Beliau
tidak berhenti menangis.
"Yok opo iki, Nak. Yok opo ibukmu? Sakno ibukmu, Nak. Bapak gak
isok nek gak onok ibukmu. Opo tomboe, Nak? Tolong dolekno nang
internet yok opo, Nak." Bapak memohon sambil kami menangis bersama.
“Gimana ini, Nak? Gimana ibumu? Kasihan ibumu, Nak. Bapak nggak bisa
kalau nggak ada ibumu. Apa obatnya, Nak? Tolong lihatkan di internet.”
Di situlah cerita kami dimulai. Air mata, perjuangan, kesedihan, dan
doa mengiringi langkah kami dalam menyembuhkan ibu. Ibu adalah orang
yang menurut kami baik. Ibu sangat suka mendalami ilmu agama. Beliau
titik nol | 358
telah memutuskan menutup aurat. Beliau suka sekali dengan Alquran,
bahkan hafal beberapa juz yang berhasil membuatku kagum. Bersedekah
adalah hobinya. Semua tetangga kami sangat menghormati dan
menyayangi beliau. Bahkan beberapa dari mereka terpengaruh untuk
salat dan mengaji bersama karena ingin seperti beliau yang sangat lurus
terhadap agama.
Kami sekeluarga suka berbagi ilmu. Jika sore hari, aku, ibu, bapak,
adek, dan mbah membicarakan tentang kehidupan, agama, dan berbagai
macam hal yang tidak sengaja menjadi topik pembicaraan yang asyik.
Dalam keluarga, aku ibarat pemain ludruk. Akulah pencipta humor yang
berhasil membuat semua orang tertawa. Banyak orang yang iri dengan
keharmonisan keluarga kami.
Aku banyak mengajari ibu tentang berbagai hal, seperti bagaimana
seharusnya seorang istri, seorang ibu, bagaimana menjalani hidup,
bagaimana hidup dalam bertetangga, bagaimana kewajiban seorang istri
pada suami, dan tentang kepemimpinan.
titik nol | 359
Jika ditanya siapa orang di balik semua ini, akan kujawab, “Bayu
Anggoro bin Sahit.” Ya, dialah pasanganku yang mengajarkanku banyak
hal seperti apa yang aku tahu sekarang. Aku mengagumi dan
mencintainya.
Sekitar tujuh kali ibu keluar masuk rumah sakit. Akulah teman
setianya. Aku rela menghabiskan liburan tiga bulanku hanya untuk
menunggu ibu di rumah sakit. Aku jarang pulang ke rumah. Ibu manja
sekali waktu sakit. Beliau hampir mendapatkan semua perhatian dari
orang-orang terdekatnya. Fisiknya memang tidak terlihat seperti orang
sakit, namun sering mengeluh sakit di bagian perut dan panas di seluruh
tubuh. Beliau senang sekali jika aku menemaninya. Karena aku selalu
mengajak beliau bercanda sampai beliau benar-benar tertawa.
“Mbak Acis”. Bisa dibilang itu panggilan sayang ibu padaku. Aku
senang sekali jika ibu memanggilku begitu. Bisa kurasakan kasih
sayangnya yang besar yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun.
She is my angel. Namun, ada satu kekurangan beliau. Beliau adalah
titik nol | 360
orang yang suka panik, tidak bisa tenang jika sesuatu yang buruk
terjadi. Saat sakit beliau sering membuatku sedikit marah karena
kepanikannya, suka mikir yang tidak-tidak. Entah berapa liter air mata
yang telah beliau keluarkan.
Saat opname yang ketujuh, kondisi ibu tak kunjung membaik.
Sayangnya aku sudah masuk kuliah. Jadi tidak bisa menemani ibu di
rumah sakit. Tiap jam kuliah berakhir, aku ngebut menuju rumah sakit.
Aku sudah kangen sama angel-ku yang cantik. Kondisi beliau terlihat
semakin buruk. Sulit bicara, makan, bahkan minum pun karena
tenggorokannya sakit.
Mata ibu merah. Tubuhnya bengkak karena harus terus diinfus. Aku
menyuapinya untuk makan dan minum perlahan. Aku sedih melihat
semua itu, tapi aku yakin ibu akan sembuh. Ibu terus menangis dan
meminta pulang. Namun, kami tidak mengizinkannya. Ibu bilang ingin
meninggal di rumah saja. Saat itu aku pikir ibu hanya panik karena
seluruh tubuhnya sakit.
titik nol | 361
“Buk, tadi di kampus ada anak wisuda. Mereka sama keluarganya.
Buk, aku pengen banget, Buk, wisuda sama Ibuk. Makane pean cepet
sembuh biar bisa lihat wisudaku, Buk,” ceracauku sambil menangis di
sampingnya. Namun beliau hanya membalas dengan senyuman.
Esok harinya sebelum aku harus pulang karena menunggu arisan di
rumah, aku ajak ibu untuk seka dan gosok gigi. Setelah gosok gigi, ibu
bercermin, “Mbak Acis, mataku kok merah yo, Mbak Acis?” Aku hanya
menjawab mungkin itu efek obat karena aku sudah menanyakan semua
keluhan ibu pada suster. Aku pun mengambil air hangat dan menyeka
tubuhnya. Mengajaknya duduk menonton televisi tapi beliau menolak
dan memilih berbaring.
Setelah sampai di rumah, tiba-tiba hatiku tidak enak. Aku
menelepon bapak dan menanyakan kabar ibu. “Pak, tolong jogoen ibu,
Pak. Ajaken orange bercanda ben gak sedih dan lupa sama penyakitnya,”
air mataku keluar begitu saja. “Pak, tolong jaga ibu, Pak. Ajak orangnya
bercanda biar nggak sedih dan lupa sama penyakitnya.”
titik nol | 362
Bapak hanya bilang ibu tidak apa-apa dan aku disuruh mendoakan.
Aku pun menangis di tempat tidur dan memutar koleksi laguku yang
mengisahkan tentang “ibu”. Entah kenapa rasanya aku ingin kembali ke
rumah sakit.
Benar firasatku. Bapak balik menelepon dan bilang ibu tidak sadar.
Aku ngebut ke rumah sakit bersama pakde dan adek. Seketika
kumenangis dan kuciumi angel-ku yang cantik yang hanya terbaring dan
bernapas dengan alat bantu. Aku ambil air wudu dan membacakan beliau
surat Yaasin. Bapak melakukan hal yang sama, menangis juga.
Namun semua itu hanya berlangsung 1 jam. Suara napas beliau yang
tadinya bisa kudengar, tiba-tiba menghilang. Aku coba mengecek
nadinya, ternyata sudah tak berdetak. Aku menyuruh bapak secepat
mungkin memanggil dokter atau suster atau siapa pun yang ada. Aku
kalap.
Benar. Ibu baru saja pergi meninggalkan kami. Semua berteriak dan
menangis. Aku hanya bingung, secepat itukah ibu pergi? Tinggal
titik nol | 363
beberapa bulan lagi ibu akan menginjak usia 38 tahun. Dan menurutku,
itu usia yang masih sangat muda. Beliau hanya menemaniku 20 tahun
lebih 3 bulan, bahkan hanya menemani adek 9 tahun lebih 1 bulan.
Dokter telah menutup seluruh tubuh ibu dengan kain putih untuk
dimasukkan ambulans. Aku selalu bersama ibu dan bahkan menolak
jemputan Bayu. Aku hanya ingin bersama ibu terakhir kali. Di ambulans
aku hanya diam dan melamun. Seakan tidak percaya apa semua ini
benar-benar nyata ataukah mimpi. Gang rumahku sudah dipenuhi orang.
Mereka semua berjalan di belakang ambulans memberi penghormatan
terakhir pada ibu. Aku melihat Bayu berada di barisan terdepan bersama
neneknya. Mirip sekali bagai upacara pernikahan, sayangnya, justru
upacara pemakaman.
Semua orang berteriak dan memelukku. Aku hanya bisa menangis
dan membalas pelukan mereka erat. Aku berusaha untuk melihat ibu
yang sudah dibaringkan, namun orang-orang melarang karena takut aku
akan tidak kuat. Kucoba melepas tarikan mereka lalu mencium pipi,
titik nol | 364
kening, dan bibir ibu tapi aku malah ditarik kembali. Aku masih merasa
belum puas.
“Aku pengen cium ibuk, aku pengen cium ibuk sekali lagi,” tangisku.
Aku pun berhasil menciumi ibu lagi.
Aku berusaha sekuat mungkin. Aku ingin merawat ibu terakhir kali.
Kuambil kerudung di dalam lemari untuk ikut memandikan ibu. Namun
sekali lagi, orang-orang melarang karena takut aku tidak kuat. Aku tidak
pedulikan itu. Ini kesempatan terakhirku! Aku tidak mau menyia-nyiakan
ini semua. Kudengar semua orang memuji kecantikan ibu saat
dimandikan. Semua orang bilang ibu seperti sedang tidur, bukan seperti
orang meninggal yang pucat pasi. Dalam hati aku menyuruh ibu bangun.
Aku ingin kebesaran Allah membangunkan ibuku lagi. Tapi itu sia-sia.
Tangan ibu jatuh di tanganku saat kumandikan. Aku menangkapnya dan
memeganginya. Sentuhan itu seolah ibu sedang bilang bahwa ibu tidak
ingin berpisah denganku.
Aku selalu berada di barisan terdepan dalam mengafani,
titik nol | 365
menyalatkan, dan memakamkan ibu. Sekali lagi, kembali kuciumi kening,
pipi, dan bibirnya. Aku sangat ingin ibu tahu aku begitu mencintainya.
Aku bahkan terus berharap ibu bangun saat pelan-pelan tubuhnya
dimasukkan ke liang lahat.
Aku sempat membenci Tuhan. Aku ingin ibu tetap hidup. Bahkan
sampai saat ini, aku tetap memohon pada Tuhan untuk menghidupkan
ibuku kembali, karena yang aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin
untuk-Nya. Meski semua orang akan bilang aku gila.
M A S A L A L U
MENGINTIp masa lalu
M A S A L A L U
M E N G I N T I P