kao papergroup8 ugm

Upload: indratetsu

Post on 06-Mar-2016

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Case Ethnic Business Kanebo

TRANSCRIPT

KEGAGALAN PRODUK KECANTIKANSTUDI ATAS PRODUK CREAM PEMUTIH WAJAH KANEBO SEBUAH TINJAUAN ETIKA(Studi Kasus : Kanebo Cosmetics, Japan)

BUSINESS ETHICS

Disusun Oleh :-Dwi Handri Kurniawan-Edi Haryo Susanto-Indranata-Mizkiyah Abuyazid

Eksekutif 29 B Kelas D

Program Magister ManajemenFakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Gadjah Mada2015Latar Belakang Kasus

Wanita pada umumnya-di seluruh dunia- menginginkan untuk memiliki wajah yang cantik, putih dan bersih serta selalu terlihat awet muda. Hal ini yang selalu menjadi tujuan utama bagi produsen kosmetik dunia, untuk mewujudkan keinginan para pelanggannya. Tentu saja menciptakan produk-produk kecantikan tidaklah mudah. Dibutuhkan banyak riset dan penemuan-penemuan baru untuk dapat menghasilkan produk kecantikan yang aman bagi kulit.

Dalam pembuatan produk kecantikan, produsen dihadapkan pada dua pilihan; penggunaan bahan dasar yang bersifat kimiawi dan yang bersifat alami. Bahan dasar yang terbuat dari bahan kimia tentu saja lebih murah karena diciptakan dari senyawa kimia tertentu yang dapat diproduksi secara massal. Sedangkan bahan dasar alami terbuat dari tumbuh-tumbuhan tertentu dan hasilnya juga terbatas. Itu sebabnya bahan dasar dari tumbuh-tumbuhan menjadi lebih mahal.

Salah satu produsen kosmetik yang mengusung bahan dasar alami pada produknya adalah Kanebo Cosmetics. Kanebo Cosmetics menciptakan berbagai macam produk kecantikan yang terkenal di seluruh dunia. Diantara produknya adalah krim pencerah kulit yang sangat diminati terutama oleh konsumen dari Asia. Krim pencerah kulit ini memiliki kandungan unik yaitu Rhododenol atau nama kimianya adalah 4-(4-hydroxyphenyl)-2-butanol yang terdapat pada tumbuhan diantaranya adalah pohon Nikko maple yang diekstrak dengan kemurnian 99 persen.

Pada tahun 2013, diketahui bahwa Rhododenol yang terdapat pada produk krim pencerah kulit menyebabkan gejala seperti vitiligo (vitiligo-like symptom) yaitu perubahan warna kulit akibat kerusakan pigmen pada area kulit tertentu. Akibatnya, Kanebo Cosmetics menarik kembali produk-produk tersebut di pasaran sejak tanggal 4 Juli 2013 dan telah berhasil mengumpulkan 700.888 produknya berdasarkan data tanggal 30 April 2015.

Sekilas Tentang Kanebo Cosmetics

Kanebo Cosmetics adalah salah satu perusahaan kosmetik besar yang berasal dari Jepang. Didirikan pada tahun 1887 sebagai perusahaan perdagangan kain yaitu katun dan sutera. Pada tahun 1936 pertama kali meluncurkan produk Savon de Soie, yaitu sabun mewah selembut sutera yang merupakan hasil pengalaman mereka berbisnis sutera selama bertahun-tahun. Tahun 1937, Kanebo pertama kali masuk ke dalam bisnis kosmetik. Kanebo kemudian bergabung dengan Grup Kao Corporation, yaitu perusahaan customer care product terbesar di Jepang pada tahun 2006, yang kemudian mulai membangun investasi di pasar yang pertumbuhannya berkembang pesat seperti Cina, Rusia dan beberapa negara di Asia.

Apa itu Rhododenol?

Rhododenol adalah bahan aktif pencerah kulit yang memiliki nama kimia 4-(4-hydroxyphenyl)-2-butanol dan merupakan bahan unik yang dikembangkan oleh Kanebo Cosmetics. Rhododenol berasal dari tumbuhan diantaranya adalah pohon Nikko maple yang kemudian diekstrak dengan kemurnian 99 persen. Bahan ini mengikat tyrosinase, yaitu enzim yang berhubungan dengan produksi melanin. Melanin adalah bitnik-bintik hitam pada kulit yang menyebabkan kulit terlihat gelap dan kusam. Rhododenol berfungsi secara aktif menghambat tyrosinase sehingga dapat mencegah produksi melanin pada kulit. Dengan demikian, maka noda hitam pada kulit dapat dikurangi dan wajah terlihat lebih cerah.

Gambar 1. Cara Kerja Rhododenol

Vitiligo-like Symptom

Berdasarkan American Academy of Dermatology [1] Vitiligo adalah kerusakan atau kematian pigmen kulit yang belum dapat diketahui penyebabnya. Gejala vitiligo yaitu adanya noda putih pada area kulit. Pemakaian rhododenol memiliki gejala yang mirip dengan vitiligo (Vitiligo-like Symptom), yaitu timbulnya noda putih pada kulit yaitu leher, tangan dan wajah atau area dimana krim tersebut dipakai akibat adanya inflamasi pada kulit.

Gambar 2. Vitiligo-like Symptom

Latar Belakang Munculnya Vitiligo-like Symptom

Rhododenol adalah bahan aktif yang memerlukan ijin penggunaannya oleh Kementrian Kesehatan di Jepang yang harus dilakukan test secara klinis pada hewan dan manusia untuk memeriksa keamanan penggunaan produk tesebut.

Kanebo mengajukan applikasi penggunaan Rhododenol pada tahun 2006 yang kemudian disetujui oleh Kementrian Kesehatan Jepang pada tahun 2008. Pada saat dilakukan pengujian pada produk, tidak ditemukan noda putih pada kulit meskipun dilakukan pemakaian double dosis atas produk tersebut pada kulit tangan selama 6 bulan pemakaian.

Berdasarkan laporan dari The Asahi Shimbun, ditemukan bahwa ada kandungan lain yang menjadi pemicu timbulnya noda putih pada kulit -yang juga sudah diketahui oleh Kanebo- yaitu penggunaan raspberry ketone. Raspeberry ketone adalah kandungan alami yang berasal dari buah raspberry untuk menimbulkan aroma alami pada kosmetik. Rhododenol dikembangkan dengan cara memasukkan hydrogen pada raspberry ketone.

Yoshiharu Fukuda, seorang professor bidang kesehatan masyarakat, mengirimkan laporan mengenai daftar contoh masalah kulit yang timbul pada buruh yang bekerja pada pabrik produsen raspberry ketone. Dalam penelitian yang terpisah, Prof. Fukuda menemukan bahwa penggunaan raspberry ketone akan mengakibatkan kerusakan pigmen kulit yang akan berakibat noda putih pada kulit. Beberapa ahli meyakini bahwa Rhododenol juga berakibat yang sama.

Mesikpun hal ini sudah diinformasikan kepada Kanebo, namun pada saat pengajuan ijin pengunaan Rhododenol, laporan mengenai masalah terhadap penggunaan raspberry ketone tidak dilampirkan oleh Kanebo. Prof. Fukuda berpendapat bahwa apabila hasil riset yang dilakukannya dibaca dengan seksama dan juga dilampirkan pada saat pengajuan ijin penggunaan Rhododenol, tentunya akan timbul banyak pertanyaan pada saat pemberian ijin. Namun berdasarkan Kementrian Kesehatan Jepang, tidak ada ada masalah dengan pengajuan Rhododenol oleh Kanebo.

Landasan Teori

Pada bab ini akan dikemukakan beberapa dasar teori yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan ilmiah ini.

1.Pandangan Kontrak Kewajiban Produsen Terhadap Konsumen

Menurut pandangan kontrak tentang tugas usaha bisnis terhadap konsumen, hubungan antara perusahaan dengan konsumen pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual, dan kewajiban moral perusahaan pada konsumen adalah seperti yang diberikan dalam hubungan kontraktual.

Pandangan ini menyebutkan bahwa saat konsumen membeli sebuah produk, konsumen secara sukarela menyetujui kontrak penjualan dengan perusahaan. Pihak perusahaan secara sukarela dan sadar setuju untuk memberikan sebuah produk pada konsumen dengan karakteristik tertentu, dan konsumen juga dengan sukarela dan sadar setuju membayar sejumlah uang pada perusahaan untuk produk tersebut.

Karena telah secara sukarela menyetujui perjanjian tersebut, pihak perusahaan berkewajiban memberikan produk sesuai dengan karakteristik yang dimaksud dan konsumen memiliki hak korelatif untuk memperoleh produk dengan karakteristik yang dimaksud.

Teori kontraktual kewajiban perusahaan terhadap konsumen mengklaim bahwa perusahaan memiliki empat kewajiban moral utama: yaitu kewajiban dasar untuk (a) mematuhi isi perjanjian penjualan, dan kewajiban sekunder untuk (b) memahami sifat produk, (c) menghindari misrepresentasi, dan (d) menghindari penggunaan paksaan atau pengaruh. Dengan bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban tersebut, perusahaan berarti menghormati hak konsumen untuk diperlakukan sebagai individu yang bebas dan sederajat.

a. Kewajiban untuk Mematuhi (The Duty to Comply)Kewajiban moral paling dasar perusahaan terhadap konsumen, menurut pandangan kontrak, adalah kewajiban untuk memberikan suatu produk dengan karakteristik persis seperti yang dinyatakan perusahaan, yang mendorong konsumen untuk membuat kontrak dengan sukarela dan yang membentuk pemahaman konsumen tentang apa yang disetujui akan dibelinya.

Pandangan kontrak juga menyatakan bahwa pihak penjual berkewajiban memenuhi klaim yang dibuatnya tentang produk tersebut. Klaim terbuka ataupun klaim tidak langsung yang mungkin diberikan penjual tentang kualitas produknya mencakup berbagai bidang dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

Frederick Sturdivant mengklasifikasikan bidang-bidang tersebut dalam empat variabel: Definisi kualitas produk yang digunakan di sini adalah: tingkat dimana kinerja produk memenuhi harapan yang telah ditetapkan dalam kaitannya dengan (1) reliabilitas atau keandalan, (2) masa penggunaan, (3) kemudahan pemeliharaan, dan (4) keamanan.

ReliabilitasKlaim tentang reliabilitas mengacu pada probabilitas bahwa suatu produk akan berfungsi seperti yang diharapkan konsumen.Masa PenggunaanKlaim tentang masa penggunaan suatu produk mengacu pada periode dimana suatu produk berfungsi secara efektif seperti yang diharapkan oleh konsumen.

Kemudahan PemeliharaanKlaim tentang hal ini berkaitan dengan bagaimana cara memperbaiki suatu produk dan menjaganya agar tetap berfungsi dengan baik.

Keamanan ProdukKlaim terbuka dan klaim tidak langsung atas keamanan produk mengacu pada tingkat resiko yang berkaitan dengan penggunaan suatu produk. Karena penggunaan atas hampir semua produk pasti beresiko, maka persoalan tentang keamanan biasanya mencakup resiko yang dapat diterima dan diketahui. Penjual (menurut teori kontraktual) memiliki kewajiban moral untuk memberikan produk yang resikonya tidak lebih besar dari yang dinyatakannya kepada konsumen atau yang dikomunikasikan melalui klaim-klaim implisit saat memasarkan produk dengan tingkat resiko normal yang telah diketahui.

b. Kewajiban untuk Mengungkapkan (The Duty to Disclosure)Sebuah perjanjian tidak bisa mengikat kecuali bila pihak-pihak yang terlibat mengetahui apa yang mereka lakukan dan melakukannya dengan sukarela. Hal ini mengimplikasikan bahwa penjual yang akan membuat perjanjian dengan konsumen berkewajiban untuk mengungkapkan dengan tepat apa yang akan dibeli konsumen dan apa saja syarat penjualannya.

Pada tingkat minimum, ini berarti penjual berkewajiban memberitahukan semua fakta pada konsumen tentang produk tersebut yang dianggap berpengaruh pada keputusan konsumen untuk membeli.

c. Kewajiban untuk Tidak Memberikan Gambaran yang SalahMisrepresentasi atau kesalahan penggambaran, yang dalam hal ini lebih parah dibandingkan kegagalan mengungkapkan informasi, meniadakan kebebasan untuk memilih. Dengan kata lain misrepresentasi bersifat koersif.

Seorang penjual melakukan misrepresentasi suatu komoditas bila dia merepresentasikannya dalam suatu cara yang dengan sengaja dimaksudkan untuk menipu pembeli agar memikirkan sesuatu tentang produk tersebut yang oleh penjualnya diketahui sebagai hal yang salah.

d. Kewajiban untuk Tidak MemaksaOrang sering bertindak irasional karena pengaruh rasa takut atau tekanan emosional. Saat penjual mengambil keuntungan dari rasa takut atau tekanan emosional pembeli untuk membeli sesuatu yang tidak akan dibelinya jika berpikir secara rasional, maka penjual berarti menggunakan paksaan atau pengaruh untuk memaksa.

Kelemahan Teori KontraktualKeberatan utama terhadap teori kontraktual ditujukan pada kejanggalan asumsi yang mendasarinya. Pertama, teori ini secara tidak realistis mengasumsikan bahwa perusahaan melakukan perjanjian secara langsung dengan konsumen. Biasanya terdapat sejumlah usaha grosir dan eceran yang menjadi perantara perusahaan dengan konsumen. Perusahaan tidak pernah melakukan kontrak langsung dengan konsumen. Para pendukung pandangan kontrak tentang kewajiban perusahaan berusaha menanggapi kritik tersebut dengan menyatakan bahwa perusahaan mengadakan perjanjian secara tidak langsung dengan konsumen.

Keberatan kedua terhadap teori kontrak difokuskan pada fakta bahwa sebuah kontrak sama dengan pedang bermata dua. Jika konsumen dengan sukarela setuju untuk membeli sebuah produk dengan kualitas-kualitas tertentu, maka dia bisa setuju untuk membeli sebuah produk tanpa kualitas-kualitas tersebut.

Keberatan ketiga terhadap teori kontrak mengkritik asumsi bahwa pembeli dan penjual adalah sama dalam perjanjian penjualan. Teori kontraktual mengasumsikan bahwa pembeli dan penjual sama-sama ahli mengevaluasi suatu produk dan pembeli mampu melindungi kepentingan-kepentingannya terhadap penjual. Namun pada kenyataannya pembeli dan penjual tidak sejajar/setara seperti yang diasumsikan.

2. Teori Due Care

Teori due care tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan bahwa pembeli dan konsumen tidak saling sejajar dan bahwa kepentingan-kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan-tujuan perusahaan yang dalam hal ini memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, mereka berkewajiban untuk menjamin bahwa kepentingan-kepentingan konsumen tidak dirugikan oleh produk yang mereka tawarkan.

Pandangan due care dengan demikian menyatakan bahwa karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya berkewajiban untuk memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya, namun juga wajib berhati-hati untuk mencegah agar orang lain tidak terluka oleh produk tersebut sekalipun perusahaan secara eksplisit menolak pertanggungjawaban seperti ini dan pembeli menerima penolakan tersebut.

Perusahaan dianggap melanggar atau melalaikan kewajiban ini bila mereka gagal memberikan perhatian yang seharusnya bisa dilakukan dan perlu dilakukan untuk mencegah agar orang lain tidak dirugikan oleh penggunaan suatu produk. Perhatian juga harus dimasukkan dalam desain produk, proses pembuatan, proses kendali mutu yang dipakai untuk menguji dan mengawasi produksi, serta peringatan, label dan instruksi yang ditempelkan pada suatu produk.

Pada semua aspek tersebut, menurut pandangan due care, pihak perusahaan yang dalam hal ini lebih ahli dan lebih mengetahui produk mereka, memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa produk mereka aman saat keluar dari pabrik, dan konsumen punya hak untuk memperoleh jaminan ini. Kegagalan mengambil langkah-langkah yang diperlukan merupakan pelanggaran atas kewajiban moral dalam memberikan perhatian dan juga terhadap hak konsumen untuk memperoleh perhatian.

Kelemahan Teori Due CareHambatan utama teori due care adalah tidak ada metode yang jelas untuk menentukan kapan seseorang atau produsen telah memberikan perhatian yang memadai.

Hambatan kedua muncul karena teori ini mengasumsikan bahwa produsen mampu menemukan resiko-resiko yang muncul dalam penggunaan sebuah produk sebelum konsumen membeli dan menggunakannya. Pada kenyataannya, dalam masyarakat dengan inovasi teknologi yang tinggi, produk-produk baru, yang kerusakannya tidak bisa dideteksi sebelum dipakai selama beberapa tahun atau beberapa dekade, akan terus disalurkan ke pasar.

Ketiga, teori due care terlihat paternalistik: teori ini mengasumsikan bahwa produsen adalah pihak yang mengambil keputusan-keputusan penting bagi konsumen, setidaknya dalam kaitannya dengan tingkat resiko yang layak diterima konsumen.

3.Pandangan Biaya Sosial tentang Kewajiban Perusahaan

Teori ini menyatakan bahwa perusahaan harus membayar biaya kerugian yang diakibatkan oleh semua kerusakan atau cacat dalam produk, sekalipun perusahaan telah memberikan semua perhatian dan dalam proses pembuatannya telah mengambil langkah untuk memperingatkan konsumen tentang kemungkinan bahayanya.

Masalah dengan Pandangan Biaya SosialKritik utama terhadap pandangan biaya sosial tentang kewajiban perusahaan adalah karena pandangan ini dianggap tidak adil. Tidak adil karena melanggar norma-norma keadilan kompensatif.

Kritik kedua atas teori biaya sosial ditujukan pada asumsi bahwa membebankan semua biaya kerugian pada perusahaan, akan mengurangi jumlah kecelakaan. Sebaliknya, karena konsumen tidak dibebani tanggung jawab atas kecelakaan yang mereka alami, teori biaya sosial berarti mendorong konsumen untuk bertindak ceroboh.

Argumen ketiga terhadap teori biaya sosial difokuskan pada beban finansial yang diberikan teori ini pada pihak perusahaan dan asuransi.

Pembahasan dan Kesimpulan

Dalam kasus ini, Kanebo Cosmetics yang memproduksi krim pencerah wajah melakukan hal yang tidak etis yaitu:

Kanebo tidak memberikan informasi yang cukup jelas terkait dengan kandungan dan efek samping dari produk pemutih yang digunakan. Dalam hubungannya dengan perizinan produk, Kanebo tidak memberikan data secara penuh dalam proses perizinan

Dari permasalahan etis diatas, Kao Corp. sebagai Holding Company dari Kanebo Cosmetics memilih untuk mengambil tindakan dan memberikan respon yang cukup baik, diantaranya: Menugaskan karyawan Kanebo untuk mengunjungi langsung penderita simptom Vitiligo akibat penggunaan pemutih Memberikan perawatan secara gratis untuk semua konsumen yang menderita simptom Vitiligo Bertanggung jawab dengan melakukan product recall untuk semua produk pemutih Kanebo yang berada di Jepang dan di luar Jepang Memberikan ganti rugi yang adil kepada setiap pengguna Memastikan hal serupa tidak terulang dengan membuat regulasi keamanan produk Kao Corp. Usaha untuk menginvestigasi penyebab terjadinya simptom dan upaya untuk melakukan pemulihan

Dilihat dari teori contractual, Kanebo tidak dapat dipersalahkan karena produk kecantikan yang dijual telah melalui uji standard mutu dan perizinan yang ada, adalah pengguna yang telah memutuskan untuk melakukan pembelian terhadap produk tersebut yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap risiko yang dihadapi.

Tindakan yang diambil oleh Kao Corp. sesuai dengan tanggung jawab social cost produsen kepada konsumen, dimana produsen seharusnya membayar biaya akibat kecelakaan yang diakibatkan oleh produk yang cacat, walaupun pada proses desainnya produsen telah melakukan pengujian yang cukup ketat namun tetap ada potensi terjadinya kecelakaan tersebut.

3