eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/3093/1/nia kania-buku referensi... · 2018. 3. 25. · 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
2
3
4
5
BAB 1
Pendahuluan umum
6
1.1 Latar belakang
Kanker paru masih menjadi kanker yang paling sering ditemukan di
dunia, dan menduduki peringkat kematian tertinggi pada pria (Marsit et al.,
2008). Dari tahun ke tahun, jumlah kanker paru semakin meningkat di
negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang maupun negara
berkembang termasuk Indonesia. Meskipun terdapat perkembangan pesat
dalam teknik diagnostik dan operasi, kanker paru masih menjadi malignansi
yang paling sulit untuk diobati. Kematian akibat kanker paru sekitar 30%
pada pria dan 26% pada wanita. Angka survival 5 tahun penderita kanker
paru atau bronkus antara tahun 1995-2001 masih rendah, sekitar 15% dan
tidak berbeda bermakna dibandingkan tahun 1970 (12%) (Maurya et al.,
2011).
Berdasarkan data WHO-Asia Tenggara tahun 2008, insidensi dan
mortalitas kanker paru pada pria menduduki peringkat pertama
dibandingkan kanker jenis lain (Ferlay et al., 2010). Di Indonesia, kanker
paru menduduk peringkat ketiga atau keempat pada berbagai keganasan di
rumah sakit (Rasyid et al., 2002). Laporan oleh Soedoko & Asmino (1980)
menyatakan bahwa kanker menduduk peringkat ketiga di Jawa Timur.
Laporan oleh Saleh & Rosfien (1981) mengungkapkan bahwa kanker paru
menjadi malignansi paling sering ditemukan di rumah sakit di Jakarta. Pada
tahun 1998, kanker paru di RS Kanker Dharmais menempati urutan kedua
(Nasar, 2000). Angka survival dua tahun dari kanker paru di RS Kanker
Dharmais adalah 14,55% dengan angka median survival adalah 5 bulan
(Rasyid et al., 2002). Di RSUD Ulin Banjarmasin, pada tahun 2006, 2007, dan
2008 ditemukan kanker paru 11 kasus, 33 kasus dan 32 kasus dengan
insidensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur (Kania, 2009).
Kanker dipicu oleh ekspresi onkogen (gen pendukung transformasi
sel normal menjadi sel kanker), atau tidak aktifnya gen penghalang atau
penekan pertumbuhan kanker (tumor suppressor genes), serta kelainan gen
7
untuk perbaikan DNA (DNA repair genes). Sebelum perkembangan kanker,
terjadi rangkaian peristiwa metaplasia-displasia-kanker. Metaplasia epitel
adalah proses adaptif akibat transformasi satu tipe sel epitel menjadi tipe sel
yang lain, dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Metaplasia epitel
biasanya berhubungan dengan inflamasi kronik dan terkait dengan
modifikasi ekspresi satu atau beberapa faktor transkripsi (Herfs et al., 2009;
Slack & Tosh, 2001; Slack, 2007). Selain itu, metaplasia merupakan kejadian
awal terhadap stimulus toksik dari lingkungan (Delvenne et al., 2004).
Urutan metaplasia-displasia-kanker lebih sering terjadi di traktus
bronkial, ketika terjadi diferensiasi skuamosa dari epitel bersilia atau
berglandula (Delvenne et al., 2004). Peningkatan jumlah sel goblet dikenal
dengan istilah metaplasia sel goblet. Sel goblet akan memproduksi mukus
secara cepat sebagai respon terhadap stimulus tertentu membentuk lapisan
mukus pelapis saluran nafas (Turner & Jones, 2009). Mukus adalah gel
viskoelastik yang melingkupi dan melubrikasi epitelium pada permukaan
mukosa dan melindungi terhadap infeksi dan rangsangan lingkungan (Lee
et al., 2002).
Metaplasia epitel ditandai oleh sintesis musin pada saluran nafas
akibat regulasi dari epidermal growth factor receptor (EGFR). Ekspresi EGFR
pada epitelium bronkial akan meningkat akibat aktivasi neutrofil dan
aktivasi tirosin kinase EGFR oleh ligannya, atau oleh stres oksidatif sehingga
memicu hipersekresi mukus dan metaplasia sel goblet. Pada penelitian in
vitro dan in vivo didapatkan bahwa sitokin proinflamasi sebagai produk
neutrofil akan mengupregulasi ekspresi EGFR dan ligannya, yakni TGF-
atau EGF sehingga menginduksi metaplasia. Aktivasi EGFR dapat terjadi
melalui autofosforilasi yang bergantung ligand (yang dimediasi oleh EGF)
atau transaktivasi tidak bergantung ligand (yang dimediasi oleh stres
oksidatif). Selanjutnya, aktivasi EGFR tirosin kinase akan menginduksi gen
8
musin MUC5AC dan ekspresi protein MUC5AC serta metaplasia sel goblet
secara in vitro maupun in vivo (Kim et al., 2004).
Pada penelitian Khan et al. (2008) yang memberikan paparan asap
rokok pada sel epitel didapatkan aktivasi EGFR seiring peningkatan dosis
dan lama paparan. Hal ini disebabkan oleh kandungan asap rokok berupa
1014 radikal bebas/oksidan setiap hisapan dengan oksidan utama pada fase
gas adalah H2O2 sebesar 600-700 M. Asap rokok mengaktifkan EGFR
melalui dua mekanisme, yakni 1) aktivasi matriks metalloproteinase untuk
memecah proligand EGFR, antara lain protransforming growth factor- dan
amphiregulin sehingga menginduksi aktivasi EGFR bergantung ligand dan; 2)
mekanisme tidak bergantung ligand melalui stres oksidatif.
Dengan demikian, efek asap rokok sangat kompleks dan mempunyai
aktivitas biologis mulai dari metaplasia sampai kanker. Berbeda dengan
asap rokok, pada penelitian epidemiologi berkaitan dengan efek batubara
ternyata tidak ditemukan peningkatan insidensi kanker paru secara
bermakna (Keshava & Ong, 1999). Selain itu, efek metaplasia akibat paparan
debu batubara juga belum ada laporan. Meskipun demikian, kerapkali
ditemukan adanya kebiasaan merokok pada pekerja atau individu terpapar
debu batubara.
Debu batubara partikel ukuran mikrometer sampai nanometer yang
dihasilkan akibat proses di pertambangan atau transportasi batubara. Debu
batubara juga dihasilkan dalam laboratorium pengujian kualitas batubara.
Debu batubara mengandung berbagai mineral, trace metal, dan bahan
organik dengan kadar yang bervariasi (Dalal et al., 1995). Inhalasi kronik
debu batubara dapat menyebabkan beberapa penyakit paru, termasuk coal
worker pneumoconiosis (CWP), bronkitis kronik, kehilangan fungsi paru,
emfisema, dan progressive massive fibrosis (PMF) (Armutcu et al., 2007).
Ranking batubara dipercaya mendasari mekanisme CWP yang berbeda pada
9
setiap lokasi pertambangan akibat adanya korelasi antara ranking batubara
dengan prevalensi CWP (Zhang et al., 2002).
Respon paru terhadap debu batubara ditandai oleh kaskade reaksi
inflamasi, menghasilkan peningkatan sekresi faktor proinflamasi, sintesis
matriks ekstraseluler, dan proliferasi fibroblas. Siklus ingesti-reingesti yang
didukung oleh perekrutan makrofag alveoler, neutrofil, dan limfosit
merupakan penyebab inflamasi kronik (Armutcu et al., 2007). Efek batubara
terhadap inflamasi telah dibuktikan oleh berbagai penelitian yang ditandai
oleh peningkatan sel inflamasi, peningkatan sitokin, dan senyawa
kemoatraktan. Penelitian Pinho et al. (2005) dibuktikan bahwa tikus yang
dilakukan instilasi intratrakea batubara mengalami peningkatan leukosit
polimorfonuklear di Bronko Alveolar Lavage Fluid (BALF). Penelitian Huang &
Zhang (2003) dibuktikan peningkatan interleukin-6 (IL-6) dari cell line epitel
paru manusia A594. Pada penelitian Armutcu et al. (2007) dibuktikan adanya
peningkatan sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF-) pada minggu ke-1
sampai 4 paparan ambien debu batubara terhadap tikus. Penelitian Yucesoy
et al. (2008) disimpulkan bahwa polimorfisme tumor necrosis factor- (TNF-)
dan epidermal growth factor (EGF) meningkatkan risiko progressive massive
fibrosis (PMF) pekerja tambang batubara.
Di samping memproduksi sitokin, berbagai sel inflamasi terutama
makrofag juga memproduksi senyawa oksigen reaktif. Senyawa oksigen
reaktif juga dapat dihasilkan langsung dari debu batubara (Altin et al., 2004).
Senyawa oksigen reaktif adalah senyawa yang lebih reaktif dibandingkan
oksigen pada kondisi ground state. Senyawa oksigen reaktif tidak hanya
terdiri atas molekul oksigen tanpa pasangan elektron seperti radikal
hidroksil (OH) dan radikal superoksida (O2-), tetapi juga molekul reaktif
yang memiliki elektron berpasangan. Molekul oksigen yang memiliki
elektron berpasangan tersebut diantaranya, hidrogen peroksida (H2O2), asam
hipoklorous (HOCl), dan anion peroksinitrit (ONOO-) (Hubel, 1999).
10
Senyawa oksigen reaktif yang dibentuk oleh batubara meliputi O2-, H2O2,
NO (Armutcu et al., 2007), dan OH (Dalal et al., 1995). Analogi dengan
penelitian Khan et al. (2008) bahwa asap rokok yang mengandung 1014
radikal bebas/oksidan dapat memicu aktivasi EGFR, diduga senyawa
oksigen reaktif dari debu batubara juga akan memicu aktivasi EGFR melalui
mekanisme yang tidak bergantung ligand.
Berdasarkan kajian teori diatas, belum ada penelitian yang
menganalisis perkembangan metapalsia, sebagai peristiwa awal
karsinogenesis, akibat paparan debu batubara serta patomekanisme yang
terlibat. Di Kalimantan Selatan, perilaku pekerja tambang batubara
menempatkan dirinya pada paparan debu batubara dan asap rokok.
Interaksi antara paparan debu batubara dengan asap rokok diduga akan
mempercepat metaplasia paru melalui mekanisme aktivasi EGFR yang
disebabkan oleh inflamasi dan stres oksidatif (mekanisme bergantung ligand
dan mekanisme tidak bergantung ligand). Untuk itu perlu dilakukan
penelitian untuk mempelajari mekanisme metaplasia paru akibat interaksi
debu batubara dan asap rokok serta patomekanisme regresinya.
Daftar Pustaka
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. 1995. Hydroxyl
radical generation by coal mine dust: possible implication to coal
worker’s pneumoconiosis. Free Radical Biology Medicine; 18(5):1-20.
Delvenne P, Hubert P, Jacobs N. 2004. Epitel metaplasia: an inadequate
environment for antitumor immunity. Trends in Immunology;
25(4):169-173.
11
Ferlay J, Shin HR, Bray F, Forman D, Mathers C, Parkin DM. 2010. Globocan
2008, cancer incidence and mortality worlwide: IARC CancerBase
No.10. Lyon, France: International Agency for Research on Cancer.
Herfs M, Hubert P, Delvenne P. 2009. Epitel metaplasia: adult stem cell
repropgramming and pre(neoplastic) transformation mediated bya
inflammation. Trends in Molecular Medicine; 15(6):245-253.
Huang X, Zhang Q. 2003. Coal-induced interleukin-6 gene expression is
mediated through ERKS and p38 MAPK pathways. Toxicology and
Applied Pharmacology; 191:40-47.
Hubel CA. 1999. Oxidative stress in the pathogenesis of preeclampsia.
Proceeding Society Experimenntal`Biology Medicine; 222:222-235.
Kania N. 2009. Kanker paru di Bagian Patologi Anatomi RSUD Ulin
Banjarmasin.
Keshava N, Ong T. 1999. Occupational exposure to genotoxic agents.
Mutation Research; 437:175-194.
Khan EM, Lanir R, Danielson AR, Goldkorn T. 2008. Epidermal growth
factor receptor exposed to cigarette smoke is abberantly activated and
undergoes perinuclear trafficking. FASEB Journal; 22:910-917.
Kim JH, Lee SY, Bak SM, Suh IB, Lee SY, Shin C, Shim JJ, In KH, Kang KH,
Yoo SH. 2004. Effects of matrix metalloproteinase inhibitor on LPS-
induced goblet cell metaplasia. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 287:127-133.
Lee CG, Homer RJ, Cohn L, Link H, Jung S, Craft JE, Graham BS, Johnson
TR, Elias JA. 2002. Transgenic overexpression of interleukin (IL)-10 in
the lung causes mucus metaplasia, tissue inflammation, and airway
remodeling via IL-13 dependent and independent pathways. Journal
Biological Chemistry; 277(38):35466-35474.
Marsit CJ, Houseman EA, Nelson HH, Kelsy KT. 2008. Genetic and
epigenetic tumor suppressor gene silencing are distinct molecular
phenotypes driven by growth promoting mutations in nonsmall cell
lung cancer. Journal of Cancer Epidemiology;
doi:10.1155/2008/215809.
Maurya DK, Ayuzawa R, Doi C, Troyer D, Tamura M. 2011. Topoisomerase I
inhibitor SN-38 effectively attenuates growth of human non-small cell
lung cancer lines in vitro and in vivo. Journal Environmental
Pathology Toxicology Oncology; 30(1):1-10.
Nasar IM. 2000. Situasi penyakit kanker di akhir abad-20 dan problemanya.
Dalam: Simatupang A. Ed. Prosiding Seminar Sehari Onkologi.
Lembaga Penelitian Universitas Kristen Indonesia, Jakarta:1-8.
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
12
Rasyid R, Kamso S, Suratman E, Bestral. 2002. The characteristics and two
year survival rate of lung cancer patients at Dharmais Cancer Hospital
in period January 1998-November 2001. Available
from:www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol 3/Rosfita_1.pdf
Saleh S. Rosfien R. 1981. Registrasi kanker di 117 rumah sakit di Jakarta
tahun 1977. Seminar Registrasi Kanker. Jakarta.
Slack JM, Tosh D. 2001. Transdifferentiation and metaplasia– switching cell
types. Current Opinion Genetic Development; 11:581–586.
Slack JM. 2007. Metaplasia and transdifferentiation: from pure biology to the
clinic. Nature Review Molecular Cellular Biology; 8:369–378.
Soedoko R, Asmino. 1980. Masalah kanker paru di Jawa Timur dan beberapa
unsur penanggulangannya. Seminar Kanker Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Turner J, Jones CE. 2009. Regulation of mucin expression in respiratory
diseases. Biochemical Society Transaction; 37:877–881.
Yucesoy B, Johnson VJ, Kissling GE, Fluharty K, Kashon ML, Slaven J,
Germolec D, Vallyathan V, Luster M. 2008. Genetic susceptibility to
progressive massive fibrosis in coal miners. European Respiratory
Journal; 31:1177-1182.
Zhang Q, Dai J, Ali A, Chen L, Huang X, 2002. Roles of bioavailable iron and
calcium in coal dust-induced oxidative stress: Possible implications in
coal workers’ lung disease. Free Radical Research; 36:285–294.
13
BAB 2
Debu batubara dan inflamasi paru
14
2.1 Latar belakang
Respon imun innate mencerminkan strategi untuk pertahanan host
terhadap berbagai agen infeksi, meliputi patogen bakteri, fungi, dan virus.
Aktivasi sistem imun innate menghasilkan respon inflamasi yang sangat
penting untuk mengendalikan infeksi secara cepat sebelum terjadi
penyebaran. Sebagai tambahan fungsi, sistem imun innate juga berkontribusi
terhadap inisiasi dan mendukung respon imun adaptif (Quinn & Gauss,
2004).
Inflamasi akut dipertimbangkan sebagai respon protektif oleh tubuh
secara keseluruhan terhadap cedera jaringan. Neutrofil bersama dengan
monosit dan makrofag akan berperan penting pada inflamasi akut untuk
menghilangkan jaringan nekrotik atau debris seluler dan pelepasan sitokin
untuk modulasi kemotaksis (Toumi et al., 2006).
Respon paru terhadap debu batubara ditandai oleh triggering
kaskade reaksi inflamasi, menghasilkan peningkatan sekresi faktor
proinflamasi, sintesis matriks ekstraseluler, dan proliferasi fibroblast. Siklus
ingesti-reingesti yang didukung oleh rekrutmen makrofag alveoler,
neutrofil, dan limfosit merupakan penyebab inflamasi kronik terus menerus
yang didapatkan dari debu batubara (Armutcu et al., 2007).
2.2 Komponen aktif debu batubara
Debu batubara adalah campuran kompleks yang mengandung
berbagai proporsi mineral, trace metal, dan bahan organik dengan derajat
yang bervariasi dari berbagai tambang batubara. Di samping jenis batubara,
variasi lapisan bumi dan metode yang diterapkan pada pertambangan juga
mempengaruhi komposisi debu batubara (Dalal et al, 1995).
Pada awal abad 19, debu batubara dianggap tidak berbahaya, dan
penyakit paru pada tambang batubara dianggap akibat adanya silika pada
debu batubara. Pada tahun 1928, Collis dan Gilchrist menunjukkan bukti
15
yang meyakinkan bahwa Coal Worker Pneumoconiosis (CWP) tetap
berkembang pada pemotong batubara yang menyekop batubara dengan
kandungan silika sedikit atau tanpa silika. Selain itu, pekerja graphite dan
elektroda karbon yang terpapar dengan materi karbon bebas silika juga
terjadi lesi paru dengan morfologi mirip CWP. Kajian epidemiologis jangka
panjang pada pekerja tambang batubara di Inggris menyatakan bahwa
progresi simple CWP berkorelasi secara langsung dengan rerata konsentrasi
massa debu batubara di atmosfer lokasi tambang. Meskipun kajian ini tidak
menyingkirkan peranan silika, akan tetapi mengimplikasikan peranan
penting debu batubara dalam perkembangan dan progresi CWP (Dalal et al,
1995).
Ranking batubara dipercaya mendasari mekanisme CWP yang
berbeda pada setiap lokasi pertambangan akibat adanya korelasi antara
ranking batubara dengan prevalensi CWP. Meskipun demikian, ranking
batubara hanyalah indikator karbonisasi material organik batubara dan
bukan merupakan komponen aktif, dalam ungkapan kimia, yang dapat
menginduksi cedera sel untuk memicu penyakit paru (Zhang et al, 2002b).
Keberadaan carbon centered radical pada debu batubara segar yang
baru dihancurkan dan paru hasil otopsi pekerja tambang batubara, juga
merupakan kandidat komponen aktif batubara (Dalal et al, 1995). Dengan
demikian, peningkatan kandungan karbon pada batubara akan
meningkatkan kejadian dan progresi CWP. Meskipun hal ini sangat logis,
bukti epidemiologis menyatakan adanya prevalensi CWP yang berbeda
antara berbagai tambang batubara bituminos.
Di Amerika Serikat, prevalensi CWP lebih tinggi di tambang batubara
Pennsylvania (PA) dibandingkan tambang batubara West Virginia (WV) dan
Utah (UT) (PA>WV>UT). Prevalensi ini terjadi dalam kadar paparan debu
yang sebanding. Adanya perbaikan kondisi kerja dan pengendalian melalui
pengukuran debu dapat menurunkan prevalensi CWP, akan tetapi ranking
16
prevalensi tetap PA>WV>UT (Zhang & Huang, 2002). Hal ini
mengindikasikan bahwa komponen aktif yang memicu kelainan paru adalah
komponen yang sifatnya reaktif serta reaktivitasnya tidak berkorelasi positif
dengan konsentrasi debu dan kandungan karbon dari batubara. Oleh karena
itu, penelitian mengenai efek batubara lebih tepat apabila didasarkan pada
kajian epiemiologis prevalensi penyakit.
Tabel 2.1 Komponen kimiawi debu batubara dari tambang Kalimantan
Selatan
Senyawa Kimia Kandungan (%)
SiO2 54,2%
Al2O3 29,5%
Fe2O3 9,99%
CaO 1,86%
MgO 0,669%
TiO2 1,05%
Na2O 0,154%
K2O 0,904%
SO3 0,030%
P2O3 0,164%
Mn3O4 1,45%
2.3 Debu batubara dan aktivasi sel
Pada penelitian Pinho et al. (2005) dibuktikan bahwa tikus yang
dilakukan instilasi intratrakea batubara mengalami peningkatan sel di
Broncho Alveoler Lavage Fluid (BALF), sebagai leukosit polimorfonuklear.
Terdapat dua fase terpisah sebagai karakter peningkatan respon inflamasi
paru akibat paparan akut batubara, yakni fase yang ditandai oleh infiltrasi
leukosit dan influks neutrofil, serta fase yang dominan mengandung
makrofag alveoler.
Akibat deposisi partikel debu batubara di paru, akan terjadi
perekrutan monosit darah perifer atau neutrofil dari darah perifer oleh
berbagai faktor yang dilepaskan makrofag alveoler serta sel paru yang lain
17
(sel epitel, fibroblas, dan sel endotel). Perekrutan neutrofil menyebabkan
meningkat dan menetapnya status inflamasi di regio alveoler, yang dikenal
sebagai alveolitis. Selanjutnya, sebagai tambahan terhadap kerusakan
langsung oleh partikel, sel epitel alveoler juga mendapat kerusakan
bermakna akibat berbagai faktor yang diproduksi oleh sel inflamasi,
misalnya senyawa oksigen reaktif dan protease (Schins & Borm, 1999).
Pada penelitian Boitelle et al. (1997) diungkapkan bahwa kadar
(Monocyte Chemoattractant Protein-1) MCP-1 dari BALF individu normal
berada dalam rentang yang sangat luas. Hal ini mengindikasikan bahwa
pada individu normal terjadi induksi MCP-1 setiap hari akibat paparan debu
maupun polusi atau adanya latar belakang genetik yang menjadikan sangat
bervariasi kadarnya. Pada BALF pasien CWP, ditemukan peningkatan kadar
MCP-1 secara bermakna dibandingkan kontrol. Hal ini meyakinkan peranan
kemokin ini dalam perkembangan dan pemeliharaan alveolitis oleh
makrofag yang berhubungan dengan CWP (Boitelle et al., 1997).
2.4 Makrofag dan fagositosis
Makrofag alveolar adalah sel yang terkait dengan kandungan mineral
dari debu batubara. Kepentingan makrofag alveolar dan interstitial dalam
pembersihan partikel debu merujuk pada jargon bahwa makrofag
merupakan ”fagositosis yang frustasi” akibat kelebihan muatan partikel.
Peran penting makrofag alveolar terhadap debu batubara didapatkan dari
beberapa pengamatan yang mengungkapkan: 1) subjek hewan coba yang
dipapar secara kronik oleh mineral mengalami peningkatan makrofag
alveolar di paru yang mengingesti partikel. Bahkan beberapa partikel
anorganik juga dapat diingesti oleh makrofag secara in vitro; 2) status
fagositosis makrofag selama masa aktivasi merupakan rentang yang panjang
untuk membentuk produk berupa oksidan, lipid bioaktif, sitokin, faktor
pertumbuhan, protease dan antiprotease. Beberapa sel di paru akan menjadi
18
target mediator primer tersebut, yang meliputi fibroblas, sel epitel, dan sel
endotel. Selanjutnya sel target akan melepaskan mediator sekunder; 3)
fagositosis oleh makrofag mencerminkan pembersihan partikel dalam fase
lambat dan cepat tersaturasi sehingga terjadi kelebihan muatan partikel yang
akan berdampak negatif terhadap sel epitel (Schins & Borm, 1999).
Makrofag alveolar mempunyai peranan dominan dalam inflamasi.
Perekrutan makrofag alveolar diperantarai oleh ekspresi dan fungsi
kemokin. Beberapa sitokin berpartisipasi dalam cedera lokal dan inflamasi,
meliputi IL-1, IL-8, MCP, TNF-, PDGF, ILGF-1, TGF-, dan bFGF. TNF-
dan IL-1 merupakan sitokin penting yang berperan dalam respon awal dan
terlibat dalam aktivasi fibroblas (Altin et al., 2004). Pada penelitian Armutcu
et al. (2007) juga dibuktikan adanya peningkatan sitokin proinflamasi (IL-6
dan TNF-) pada minggu 1-4 paparan ambien debu batubara terhadap tikus.
Makrofag manusia akan melepaskan IL-6 dan TNF- sebagai respon
terhadap paparan debu batubara. Selain itu, biopsi jaringan paru pekerja
tambang batubara CWP menunjukkan peningkatan ekspresi IL-6, TNF-,
dan MCP-1.
Biologi perekrutan sitokin dan kemokin juga dipengaruhi oleh faktor
yang lain, yakni metalloproteinase yang tidak hanya mengatur
pembentukan matriks ekstraseluler akan tetapi juga mengatur reseptor
spesifik pada permukaan sel (Altin et al., 2004).
2.5 Sinyal inflamasi
Senyawa oksigen reaktif akibat paparan debu batubara merupakan
molekul signaling yang mengaktifkan faktor transkripsi yakni nuclear factor-
B (NF-B) dan activator protein-1 (AP-1) serta mengubah signal mitogenik
dan fibrogenik yang melibatkan IL-6 (Chatterjee & Fisher, 2004; Frey &
Malik, 2004). Activator protein-1 (AP-1) dan nuclear factor of activated T cells
19
(NFAT) adalah faktor transkripsi penting yang mengendalikan upregulasi
sitokin proinflamasi (Huang et al., 2002).
Sitokin diproduksi dan mengatur fungsi dari semua sel yang berinti.
Sitokin bersifat multifungsi dalam spektrum lebar kejadian biologis, antara
lain inflamasi, metabolisme, pertumbuhan dan diferensiasi sel,
morfogenesis, fibrogenesis, dan homeostasis. Sebagai bagian dari sistem
imun, sumber sitokin utama di paru adalah sel epitel, sel endotel dan
fibroblas. Dalam penelitian partikel, saat ini sitokin dipertimbangkan sebagai
mediator penting dalam efek toksik dan patogenik akibat paparan debu
batubara. Berbagai sitokin yang terlibat dalam kaitan dengan debu batubara,
adalah TNF-, TGF-, IL-1, IL-6 dan PDGF. Selain itu, beberapa faktor juga
diekspresikan atau dilepaskan sebagai respon inhalasi atau paparan in vitro
terhadap debu batubara (Schins & Borm, 1999).
Aktivasi sitokin merupakan mekanisme penting dalam
perkembangan CWP. Sitokin/faktor pertumbuhan yang bertanggung jawab
untuk perkembangan inflamasi dan fibrosis dibedakan menjadi dua
kelompok yakni bersifat mitogenik (meningkatkan proliferasi sel) dan
fibrogenik (meningkat sintesis matriks ekstraseluler). Contoh sitokin
mitogenik adalah TGF-, IL-1, TNF- dan insulin like growth factor. Adapun
TGF- tergolong sitokin fibrogenik. IL-6 adalah sitokin mitogenik dan
fibrogenik. Kadar serum IL-6 dan reseptor TNF- berhubungan dengan
proses fibrosis pada CWP dan kadar serum sitokin berkorelasi dengan
keparahan CWP. IL-6 adalah sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh sel
limfoid dan non limfoid. IL-6 merupakan lini pertama terhadap cedera dan
berperan sentral pada reaksi fase akut dan inflamasi (Huang & Zhang, 2003;
Huang & Finkelman, 2008).
Selain IL-6, juga terjadi pelepasan TNF- secara spontan oleh
makrofag alveoler pada kadar lebih tinggi bermakna pada pekerja tambang
batubara aktif dibandingkan pekerja batubara yang sedang menjalani cuti.
20
Penelitian yang mengkaji pelepasan TNF- monosit setelah stimulasi in vitro
oleh debu batubara menunjukkan bahwa TNF- meningkat pada pekerja
tambang utamanya pada tahap awal CWP. Pekerja tambang yang
memperlihatkan abnormalitas pelepasan TNF- akibat stimulasi mengalami
peningkatan resiko untuk fibrosis (Huang & Finkelman, 2008).
Peningkatan sekresi IL-1, TGF-, fibronektin dan -AT juga terbukti
pada pekerja tambang batubara. Fibronektin dan kolagen merupakan
komponen utama matriks ekstraseluler, yang terikat kepada komponen
matrik untuk mendukung adhesi, penyebaran, dan migrasi berbagai tipe sel.
Makrofag alveoler dari pekerja tambang batubara dengan pneumokoniosis
sederhana menunjukkan pelepasan spontan fibronektin (Vallyathan, 2000).
2.6 Inflamasi dan perkembangan penyakit
Inhalasi debu batubara berhubungan dengan perkembangan coal
worker pneumoconiosis (CWP). CWP dikategorisasikan berdasarkan
keparahan menjadi CWP sederhana dan komplikasi. Pada bentuk sederhana,
nampak makula debu yang berwarna hitam, serta makrofag yang jenuh
dengan debu batubara terkonsentrasi di dekat bronkhiolus respiratorius.
Pada bentuk komplikasi, ditemukan nodul yang berukuran > 1 cm dengan
jumlah lebih dari satu. Nodul ini mengandung kolagen, debu batubara, dan
sel inflamasi (Ghanem et al., 2004).
Ketika TNF- dipertimbangkan sebagai mediator utama pada fibrosis
yang diinduksi oleh mineral, perbedaan kepekaan individu terhadap
perkembangan CWP dan progresifitas dari CWP ke PMF berhubungan
dengan polimorfisme dalam gen promoter TNF- (Kimura et al., 2010). Pada
penelitian Wang et al., (2005) dinyatakan bahwa frekuensi allele TNF--308
A lebih tinggi pada pasien nodul CWP dibandingkan dengan PMF.
Dosis paparan debu batubara pada pekerja tambang yang mendapat
CWP sangat tinggi. Sebagai contoh, pada penelitian autopsi pekerja tambang
21
yang pensiun, mempunyai total timbunan debu sebesar 13,5 ± 8,0 untuk
perokok atau 16,4 ± 8,5 bukan perokok setiap paru. Di Inggris, yang
mempunyai batubara ranking tinggi, autopsi pada pekerja yang menderita
PMF didapatkan kandungan debu batubara di paru sebesar 26,4 gram.
Diasumsikan apabila rerata berat paru sebesar 1000 gram, maka timbunan
debu batubara sebesar 13,5-25,6 mg debu/gram berat basah paru (Ghanem et
al., 2004).
Daftar Pustaka
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
Boitelle A, Gosset P, Copin MC, Vanhee D, Marquette CH, Wallaert B,
Gosselin B, Tonnel AB, 1997. MCP-1 secretion in lung from non
smoking patients with coal workers’s pneumoconiosis. European
Respiratory Journal; 10:557-562.
Chatterje S, Fisher AB. 2004. ROS the rescue. American Journal Physiology
Lung Cell Molecular Physiology; 287:704-705.
Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. 1995. Hydroxyl
radical generation by coal mine dust: possible implication to coal
worker’s pneumoconiosis. Free Radical Biology Medicine. 18(5):1-20.
Frey RS, Malik AB. 2004. Oxidant signalling inlung cells. American Journal
Physiology Lung Cell Molecular Physiology; 4:1-3.
Ghanem MM, Porter D, Batteli LA, Valyathan V, Kashon ML, Ma JY. 2004.
Respirable coal dust particle modify cytochrome P4501A1 expression
in rat alveolar cells. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 31:171-187.
Huang X, Finkelman RB. 2008. Understanding the chemical properties of
macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. Journal of Toxicology and
Environmental Health Part B; 11(1):45-67.
22
Huang X, Zhang Q. 2003. Coal-induced interleukin-6 gene expression is
mediated through ERKS and p38 MAPK pathways. Toxicology and
Applied Pharmacology; 191:40-47.
Kimura K, Ohtsuka Y, Kaji H, Nakano I, Sakai I, Itabashi K, Igarashi T,
Okamoto K. 2010. Progression of pneumoconiosis in coal miner after
cessation of dust exposure: A longitudinal study based on periodic
chest X-ray examinations in Hokkido, Japan. Internal Medicine;
49:1949-196.
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
Quinn MT, Gauss KA. 2004. Structure and regulation of the neutrophil
respiratory burst oxidase: comparison with nonphagocyte oxidases.
Journal Leukocyte Biology; 76:760-781.
Schins RPF, Borm PJA. 1999. Mechanisms and mediators in coal dust
induced toxicity: a review. Annual Occupational Hygiene; 43(1):7-33.
Toumi H, F’guyer S, Best TM. 2006. The role of neutrophils in injury and
repair following muscle stretch. Journal Anatomy; 208:459-470.
Vallyathan V, Goins M, Lapp LN, Pack D, Leonard S, Shi X, Castranova V.
2000. Changes in bronchoalveolar lavage indices associated with
radiographic classification in coal miners. American Journal
Respiratory Critical Care Medicine; 162:958–965.
Wang XT, Ohtsuka Y, Kimura K. 2005. Antithetical effect of tumor necrosis
factor- gene polymorphism on coal workers pneumoconiosis (CWP).
American Journal Industrial Medicine; 48:24-29.
Zhang Q, Dai J, Ali A, Chen L, Huang X, 2002. Roles of bioavailable iron and
calcium in coal dust-induced oxidative stress: Possible implications in
coal workers’ lung disease. Free Radical Research; 36:285–294.
Zhang Q, Huang X. 2002. Induction of ferritin and lipid peroxidation by coal
samples with different prevalence of coal workers’ pneumoconiosis:
role of iron in the coals. American Journal Industrial Medicine;
42:171–179.
23
BAB 3
Debu batubara dan stres oksidatif paru
24
3.1 Latar belakang
Batubara adalah bahan bakar fosil di seluruh dunia, Debu batubara
selama pertambangan bawah tanah menghasilkan paparan saluran
pernafasan yang bermakna bagi pekerja tambang. Sebagai tambahan
terhadap karbon yang menjadi komponen utamanya, batubara juga
mengandung oksigen, nitrogen, hidrogen, dan elemen trace, serta beberapa
mineral anorganik. Elemen trace antara lain copper, nickel, cadmium, boron,
antimoni, besi, timbal, dan zinc. Beberapa elemen trace ini bersifat sitotoksik
dan karsinogenik pada model hewan coba. Kontaminan mineral meliputi
kuarsa, kaolin, mika, pirit, dan kalsit (Ghanem et al., 2004).
Berbagai komponen aktif debu batubara diduga berperan utama pada
patomekanisme penyakit, antara lain silika, carbon centered radical, dan besi.
Akan tetapi sampai saat ini hanya besi yang diyakini mendasari munculnya
berbagai penyakit. Pada tahun 1928, Collis dan Gilchrist membuktikan
bahwa debu batubara yang mengandung silika dalam jumlah sedikit atau
tanpa silika mampu memicu perkembangan pneumonkoniosis (Dalal et al.,
1995). Carbon centered radical adalah radikal bebas dari komponen organik
batubara. Radikal ini sifatnya stabil dan terperangkap dalam struktur
batubara. Akibatnya, radikal ini tidak terlibat dalam reaksi biologis di dalam
tubuh. Besi (Fe2+ dan Fe3+) adalah komponen aktif yang dilepaskan oleh debu
batubara. Besi mampu mengkatalisis pembentukan senyawa oksigen reaktif
melalui reaksi dengan oksigen dan/atau hidrogen peroksida (Huang et al.,
2002).
Partikel debu batubara yang terdeposit di epitelium alveolar akan
difagositosis oleh makrofag alveolar untuk memproduksi berbagai faktor
potensial yang dapat memodulasi sel paru dan matriks ekstraseluler. Faktor
potensial tersebut meliputi O2-, H2O2, dan NO. Makrofag aktif akan
memproduksi senyawa oksigen reaktif dan sitokin yang berlebihan.
(Armutcu et al., 2007; Huang & Finkelman, 2008). Dengan demikian,
25
keberadaan komponen aktif debu batubara yang mampu memicu stres
oksidatif di dalam tubuh bersama dengan kejadian fagositik akan memicu
cedera sel dan perkembangan penyakit.
Berbagai penelitian telah mengungkapkan bahwa parameter stres
oksidatif akan mengalami perubahan akibat paparan debu batubara.
Penelitian tersebut menggunakan subyek hewan coba, manusia, dan pada
kultur sel. Cara pemaparan yang dilakukan melalui paparan ambience
tambang batubara maupun instilasi intratrakea.
Radikal bebas dan stres oksidatif merupakan kontributor penting
dalam inflamasi paru, termasuk inflamasi paru alergik. Paparan paru oleh
partikel debu batubara akan meningkatkan produksi senyawa oksigen
reaktif. Peningkatan senyawa oksigen reaktif mampu menginduksi dan
meningkatkan aktivasi faktor transkripsi sensitif redoks, yakni nuclear factor-
B di paru, yang berperan sebagai trigger pelepasan mediator inflamasi
(Alessandrini et al., 2009).
3.2 Mekanisme stres oksidatif
Inhalasi kronik debu batubara akan membentuk senyawa oksigen
reaktif melalui mekanisme secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme
langsung melibatkan komponen bioaktif yang dikandung oleh debu
batubara, dan secara tidak langsung melalui ledakan oksidatif selama
aktivasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear ketika terjadi fagositosis
dan inflamasi yang menetap (Nadif et al., 2005; Armutcu et al., 2007).
3.2.1 Mekanisme langsung
Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya disebabkan oleh
kandungan logam transisi, meliputi Fe, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, dan silika.
Beberapa metal tersebut dapat mengkatalisis reaksi Fenton untuk
menghasilkan senyawa oksigen reaktif. Selain itu, gas CO, CO2, dan CH3 di
26
lingkungan tambang batubara mungkin menyebabkan cedera tambahan
untuk memicu stres oksidatif (Armutcu et al., 2007).
Besi tergolong logam transisi yang mampu mengkatalis pembentukan
senyawa oksigen reaktif melalui interaksi dengan senyawa oksigen reaktif
dan/atau hidrogen peroksida. Di daerah pertambangan batubara, perbedaan
prevalensi pneumokoniosis disebabkan oleh perbedaan pelepasan besi di
dalam sel. Penelitian Huang menyimpulkan bahwa batubara dari Virginia
Barat dengan prevalensi pneumokoniosi berjumlah sedang melepaskan
kadar besi di dalam sel bernilai sedang. Sebaliknya, batubara dari Utah yang
prevalensi pneumokoniosisnya kecil juga melepaskan besi di dalam sel yang
bernilai kecil. Hal ini meyakinkan bahwa besi mungkin berperan penting
pada pneumokoniosis jalur stres oksidatif (Huang et al., 2002). Selain itu,
kandungan besi pada batubara juga dapat dijadikan perkiraan toksisitas
batubara sebelum dilakukan penambangan (Huang et al., 2005).
Sifat oksidatif debu batubara selain berasal dari besi, juga bersumber
dari kandungan metal transisi lainnya meliputi Cr, Co, Ni, Mn, As, Zn. dan
V (Broeckaert et al, 1999; Finkelman, 1999; Zhang et al, 2002). Dengan
menggunakan electron spin resonance diketahui bahwa filtrat cair debu
batubara yang mengandung Fe, Zn, Cu, Ni dan Co mampu membentuk
radikal hidroksil (OH) atau ferril (FeIV=O) (Huang & Finkelman, 2008).
Alumunium dapat berikatan dengan membran lipid sehingga terjadi
penataan ulang yang akan mendukung reaksi propagasi dari peroksidasi
lipid. Titanium akan bereaksi dengan H2O2 membentuk radikal hidroksil
yang akan memicu peroksidasi lipid (Halliwell & Gutteridge, 1999).
Reaksi: Ti(III) + H2O2 Ti(IV) + OH + OH
FeS2 yang merupakan kontaminan pada batubara, akan mengalami
oksidasi membentuk besi dan asam. Pembentukan asam pada areal
pertambangan menyebabkan aliran asam menuju lingkungan yang dapat
27
diperbaiki dengan CaCO3. Besi adalah fraksi dari besi total yang dapat
memicu pembentukan oksidan sehingga menimbulkan kerusakan paru.
CaCO3 yang merupakan mineral pada batubara tertentu dapat mengoksidasi
besi sehingga menurunkan kadar besi dan mengurangi dampak negatif
terhadap kesehatan (Huang et al, 2005).
3.2.2 Mekanisme tidak langsung
Proses inflamasi kronik akibat debu batubara memicu pembentukan
senyawa oksigen reaktif pada traktus pernafasan bagian bawah. Berbagai sel
inflamasi akan memproduksi senyawa oksigen reaktif secara bersamaan
dengan makrofag mengambil peran penting pada proses ini (Altin et al.,
2004).
Selama fagositosis partikel terinhalasi, akan dibentuk radikal
superoksida yang akan mengalami dismutasi spontan membentuk hidrogen
peroksida. Apabila terdapat logam transisi, maka hidrogen peroksida akan
dikonversi menjadi radikal hidroksil. Terdapat banyak bukti bahwa inhalasi
bahan toksik dari lingkungan kerja maupun polutan akan memicu
pembentukan radikal hidroksil secara berlebih pada kondisi in vitro maupun
in vivo. Produksi senyawa oksigen reaktif yang berlebihan akan melebihi
kemampuan antioksidan sehingga memicu stres oksidatif (Altin et al, 2004b).
28
Gambar 3.1 Kaskade pembentukan senyawa oksigen reaktif akibat paparan
debu batubara
Gambar 3.2 Kaskade stres oksidatif akibat paparan debu batubara
3.3 Peroksidasi lipid
Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat komplek akibat
reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel
dengan senyawa oksigen reaktif, membentuk hidroperoksida. Peroksidasi
lipid yang diperantarai senyawa oksigen reaktif mempunyai tiga komponen
utama reaksi, yakni reaksi inisiasi, propagasi dan terminasi (Uotila et al,
1994).
Debu batubara
Mekanisme Langsung Mekanisme Tidak Langsung
Aktivasi makrofag & neutrofil Komponen debu batubara
Senyawa Oksigen Reaktf
29
Besi merupakan katalis peroksidasi lipid yang bersifat merusak. Besi
dapat memicu dan memperkuat peroksidasi lipid (Schafer et al., 2000). Pada
penelitian Altin et al. (2004) yang membandingkan stres oksidatif antara
indidvidu sehat dengan pekerja tambang batubara didapatkan hasil bahwa
terdapat perbedaan sangat bermakna pada kadar MDA plasma. Penelitian
Artmutcu et al., (2007) dibuktikan bahwa paparan ambien debu batubara
pada tikus mampu meningkatkan kadar MDA paparan minggu pertama dan
kedua.
Penelitian yang menggunakan kultur sel paru manusia tipe II A549
didapatkan bahwa batubara dari tambang PA yang mempunyai prevalensi
CWP yang tinggi mampu memicu pelepasan besi pada medium kultur dan
sel yang sebanding dengan dosis paparan batubara. Pada dosis 2 g/cm2,
batubara PA menyebabkan peningkatan kadar peroksidasi lipid sebesar
112% dibandingkan kontrol sel selama perlakuan 24 jam. Selanjutnya, kadar
peroksidasi lipid ini akan menetap sampai 3 hari dan menurun sebanding
dengan kontrol pada 7 hari. Batubara UT yang mempunyai prevalensi CWP
yang rendah diperoleh peningkatan marginal besi sel pada dosis 5 dan 10
g/cm2 serta tidak terdapat efek peroksidasi lipid (Zhang et al., 2002).
Untuk membuktikan bahwa pemicu peroksidasi lipid disebabkan
oleh besi maka pada kultur sel line A549 diberikan deferoksamine pra
perlakuan. Didapatkan pada batubara WV dan UT terjadi penghambatan
pembentukan feritin dan peroksidasi lipid secara total yang tidak ditemukan
pada paparan batubara PA. Hal ini meyakinkan bahwa ada logam transisi
selain besi bioavailabel yang berperan dalam memicu pembentukan ferritin
dan peroksidasi lipid (Zhang & Huang, 2002).
3.4 Oksidasi protein
Fagosit yang aktif akan mensekresikan myeloperoksidase yang
menghasilkan senyawa reaktif meliputi asam hipoklorous (HOCl), kloramin,
30
radikal tirosil, dan nitrogen dioksida (NO2). Penelitian Setiawan et al. (2011)
membuktikan bahwa paparan debu batubara akut secara inhalasi terhadap
tikus mampu meningkatkan Advanced Oxidation Protein Product (AOPP)
darah sebagai produk stres klorinatif secara bermakna dibandingkan
kontrol. Pada penelitian Pinho dinyatakan bahwa jaringan paru yang
dipapar debu batubara melalui instilasi intratrakea akan memicu
peningkatan protein karbonil (Pinho et al., 2005).
3.5 Oksidasi DNA
Penelitian tentang efek genotoksik debu batubara dinyatakan bahwa
ekstrak organik debu batubara dari berbagai tambang tidak bersifat
mutagenik atau mutagenik lemah. Aktivitas mutagenik tinggi apabila terjadi
reaksi antara ekstrak bituminos, sub-bituminos, dan lignit dengan nitrit pada
kondisi asam. Penelitian in vivo didapatkan bahwa ekstrak debu batubara
memicu peningkatan sel abberant pada limfosit darah perifer (sel dengan
kerusakan kromosom atau kromatid) (Whong et al., 1983). Selain itu,
kerusakan oksidatif ada DNA juga ditemukan lebih tinggi pada pekerja
tambang terpapar debu batubara dibandingkan tanpa paparan (Dalal et al,
1991). Peningkatan insidensi kanker lambung juga telah dilaporkan pada
pekerja tambang batubara (Keshava & Ong, 1999).
3.6 Kapasitas antoksidan
Jaringan paru mempunyai mekanisme pertahanan yang terperinci
untuk mendetoksifikasi senyawa oksigen reaktif, berupa antioksiden
enzimatik meliputi SOD, GPx, molekul dengan berat molekul rendah yakni
GSH yang berperan sebagai substrat GPX, GST atau sebagai scavenger
secara langsung. Selain itu, antioksidan yang terdapat dalam eritrosit juga
terlibat dalam pertahanan antioksidan di paru, bertindak sebagai carrier
antioksidan yang bersirkulasi (Evelo et al., 1993).
31
Pada penelitian Altin et al. (2004) yang membandingkan stres
oksidatif antara indidvidu sehat dengan pekerja tambang batubara
didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan sangat bermakna aktivitas SOD
dan GPx plasma. Pada penelitian Artmutcu et al. (2007) dibuktikan bahwa
kapasitas antioksidan (SOD dan GPx) ditemukan pada kadar tinggi pada
minggu awal akan tetapi selanjutnya mengalami penurunan akibat
konsumsi yang terus menerus. Pada penelitian Pinho dinyatakan bahwa
jaringan paru yang dipapar debu batubara melalui instilasi intratrakea akan
memicu peningkatan kadar katalase(Pinho et al., 2005).
Pada bronchoalveolar lavage (BAL), antioksidan enzimatik meliputi
katalase, GPx, dan SOD menunjukkan peningkatan secara bermakna pada
pekerja tambang batubara yang menderita CWP kategori 2/2. Upregulasi
pertahanan antioksidan tidak terbukti pada pekerja tambang batubara yang
tidak ditemukan bukti radiografik penyakit (Vallyathan et al., 2000).
Pada penelitian Evelo yang membandingkan aktivitas GST, kadar
GST, dan kadar GSH antara pekerja batubara penderita pneumokonisosis
stadium awal (0/1-1/2) dan moderat (2-1) dengan kontrol pekerja batubara
didapatkan bahwa aktivitas GST sel darah merah menurun pada
pneumokoniosis stadium awal (0-1) dibandingkan dengan kontrol pekerja
batubara. Selanjutnya, progresi derajat pneumokoniosis (2-1) menyebabkan
aktivitas GST tidak berbeda dibandingkan kontrol. Fenomena yang sama
terjadi pada kadar GSH. Penurunan aktivitas GST, GPx dan kadar GSH pada
tahap awal pneumokonisosis mungkin disebabkan oleh kerusakan akibat
senyawa oksigen reaktif. Perubahan ini disebabkan oleh gangguan kapasitas
detoksifikasi terhadap senyawa elektrofilik dan oksidatif selama
pneumokoniosis stadium awal (Evelo et al, 1993).
Pada penelitian Engelen disimpulkan bahwa aktivitas GPx total
meningkat secara bermakna pada CWP derajat 0/1 -1/2 dibandingkan
kontrol. Kadar GSH dan GSSG pada CWP derajat 0/1 -1/2 lebih rendah
32
secara bermakan dibandingkan kontrol. Pada CWP derajat 3/2 -3/3, kadar Fe
di dalam plasma lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol
(Engelen et al., 1990). Pada penelitian Altin dengan menggunakan high
resolution computed tomography (HRCT) serta melibatkan tiga kelompok
subjek meliputi pekerja tambang batubara tanpa CWP (G1), pekerja tambang
batubara yang menderita CWP (G2), dan subjek sehat (G3) diungkapkan
bahwa kadar plasma produk peroksidasi lipid (MDA) plasma lebih tinggi
secara bermakna pada G1 vs G2 dan G2 vs G3. Kadar SOD dan GPx plasma
lebih rendah secara bermakna pada pada G1 vs G2 dan G2 vs G3. Terhadap
faktor confounding meliputi umur, lama paparan, dan merokok didapatkan
hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan kadar MDA, serta
aktivitas SOD dan GPx plasma (Altin et al., 2004).
Penelitian Perrin-Nadif didapatkan bahwa GSH yang merupakan
antioksidan utama menurun secara bermakna. Kadar GPx, Cu/Zn SOD
meningkat pada sel darah merah penderita pneumokoniosis (Perrin-Nadif et
al, 1996). Selain itu, paparan terhadap debu batubara akan memicu
pembentukan H2O2 dan aktivitas katalase eritrosit akan meningkat akibat
paparan debu batubara (Nadif et al., 2005).
3.7 Peran antioksidan eksogen
N-asetilsistein merupakan agen terapi dan biasa digunakan pada
praktek klinis dan bersifat menjaga paru dari oksidan. N-asetilsistein adalah
donor gugus thiol yang berperan sebagai prekursor sistein intraseluler
sehingga meningkatkan produksi glutathion. Dengan demikian, efek N-
asetilsistein akan menurunkan H2O2 yang selanjutnya mengubah
ketidakseimbangan oksidan-antioksidan di paru. Mekanisme N-asetilsistein
dalam perlindungan paru akibat paparan debu batubara melalui
penghambatan pembentukan senyawa oksigen reaktif dan penurunan
aktivasi NF-B serta ekpresi sitokin proinflamasi. Penelitian in vitro
33
membuktikan bahwa antioksidan thiol akan memblokir mediator inflamasi
makrofag dan epitel melalui mekanisme yang melibatkan sintesis GSH dan
reduksi aktivasi NF-B. Senyawa oksigen reaktif juga menstimulasi
pelepasan makrofag alveoler dan leukosit polimorfonuklear selama
fagositosis debu batubara dan mineral organik yang lain. Produksi senyawa
oksigen reaktif oleh mineral organik bergantung pada sifat redoks dan kadar
besi pada partikel (Pinho et al., 2005).
Instilasi debu batubara intratrakheal pada paru tikus akan
menginduksi kerusakan oksidatif secara bermakna. Pemberian N-
asetilsistein dan desferoksamin lebih baik dibandingkan N-asetilsistein
tunggal dalam membatasi respon inflamasi dan integritas alveoler serta
menurunkan kerusakan oksidatif paru. Hal ini semakin meyakinkan bahwa
besi berperan pada induksi inflamasi akibat instilasi debu batubara akut
(Pinho et al., 2005).
Daftar Pustaka
Alessandrini F, Beck-Speier I, Krappmann D, Weichenmeier I, Takenaka S,
Karg E, Kloo B, Schulz H, Jakob T, Mempel M, Behrendt H. 2009. Role
of oxidative stress in ultrafine particle-induced exacerbation of
allergic lung inflammation. American Journal Respiratory Critical
Care Medicine; 179:984-991.
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
Broeckaert F, Buchet JP, Delos M, Yager JW, Lison D. 1999. Coal fly ash and
copper smelter dust-induced modulation of ex vivo production of
tumor necrosis factor-alpha by murine macrophages: effect of metals
and overload. Journal Toxicology Environmental; 56:343-360.
Dalal NS, Jafari B, Petersen M, Green FHY, Vallyathan V. 1991. Presence of
stable coal radicalsin autopsied coal miners lung and its possible
34
correlation to coal worker pneumoconiosis. Archive Environmental
Health; 46:366-372.
Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. 1995. Hydroxyl
radical generation by coal mine dust: possible implication to coal
worker’s pneumoconiosis. Free Radical Biology Medicine; 18(5):1-20.
Engelen JJM, Born PJA, van Sprudel M, Leenaerst L. 1990. Blood antioxidant
parameter at different stages of pneumoconiosis in coal workers.
Environmental Health Perspectives; 84:165-172.
Evelo CTA, Bos RP, Borm PJA. 1993. Decreased glutathione content and
glutathione S-transferase activity in red blood cells of coal miners with
early stages of pneumoconiosis. British Journal of Industrial Medicine;
50:633-636.
Finkelman RB. 1999. Trace elements in coal: environmental and health
significance. Biology Trace Element Research; 67:197-204.
Ghanem MM, Porter D, Batteli LA, Valyathan V, Kashon ML, Ma JY. 2004.
Respirable coal dust particle modify cytochrome P4501A1 expression
in rat alveolar cells. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 31:171-187.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free radical in biology and medicine. 3rd
Edition. Oxford: University Press.
Huang C, Li J, Zhang Q, Huang X. 2002. Role of bioavailable iron in coal
dust-induced activation of activator protein-1 and nuclear factor of
activated T cell. American Journal Respiratory Cellular Molecular
Biology; 27:568-574.
Huang X, Finkelman RB. 2008. Understanding the chemical properties of
macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. Journal of Toxicology and
Environmental Health Part B; 11(1):45-67.
Keshava N, Ong T. 1999. Occupational exposure to genotoxic agents.
Mutation Research; 437:175-194.
Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, Bertrand J, Kleeberger SR, Kauffmann F. 2005.
Association of CAT polymorphisms with catalase activity and
exposure to environmental oxidative stimuli. Free Radical Research;
39(12):1345–1350.
Perrin-Nadif R, Auburtin G, Dusch M, Porcher JM, Mur JM. 1996. Blood
antoixidant enzymes as markers of exposure or effect in coal miners.
Occupational Environmental Medicine; 53:41-45.
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
35
Setiawan B, Kania N, Yuwono A, Paramita D. 2011. Efek inhalasi debu
batubara terhadap stres klorinatif dan kerusakan endotel. Journal
Indonesian Medical Association; 61(6):253-257.
Schafer RPF, Yue QS, Buettner GR. 2000. Iron and free radical oxidations in
cell membranes. Cell Molecular Biology; 46(3):657-662.
Uotila JT, Kirkkola AL, Rorarius M, Tuimala RJ, Metsa-Ketela T. 1994. The
total peroxyl radical trapping ability of plasma and cerebrospinal
fluid in normal and preeclamptic parturients. Free Radical Biology
Medicine; 16(5):581-590.
Vallyathan V, Goins M, Lapp LN, Pack D, Leonard S, Shi X, Castranova V.
2000. Changes in bronchoalveolar lavage indices associated with
radiographic classification in coal miners. American Journal
Respiratory Critical Care Medicine; 162:958–965.
Whong WZ, Long RG, Ames RG, Ong T. 1983. Role of nitrosation in the
mutagneic activity of coal dust: a postulation for gastric
carcinogenesis in coal miners. Environmental Research; 32:298-304.
Zhang Q, Dai J, Ali A, Chen L, Huang X, 2002. Roles of bioavailable iron and
calcium in coal dust-induced oxidative stress: Possible implications in
coal workers’ lung disease. Free Radical Research; 36:285–294.
Zhang Q, Huang X. 2002. Induction of ferritin and lipid peroxidation by coal
samples with different prevalence of coal workers’ pneumoconiosis:
role of iron in the coals. American Journal Industrial Medicine;
42:171–179.
36
BAB 4
Asap rokok dan inflamasi paru
37
4.1 Latar belakang
Inflamasi saluran nafas merupakan mekanisme patogenik sentral
yang bertanggung jawab terhadap penyakit organik dan sistemik. Di
samping trigger biogenik, inflamasi paru juga dapat diinduksi oleh inhalasi
kronik xenobiotik dari sumber lingkungan alamiah maupun buatan manusia
(Sydlik et al., 2009).
Merokok merupakan kebiasaan sosial yang paling kerap dilakukan di
seluruh dunia dan menjadi penyebab kematian dan kecacatan. Diperkirakan
muncul 1,3 juta perokok dan 5,4 juta kematian setiap tahun akibat rokok,
dan jumlah ini diperkirakan akan mencapai 8 juta di tahun 2030
(Gokulakhrishnan & Ali, 2010).
Merokok berhubungan dengan berbagai infeksi saluran nafas, antara
lain Staphylococcus pneumonia, Neisseria meningitidis, Haemophillus influenza,
Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium tuberculosis, dan Legionella pneumophila
(Guzik et al., 2011). Merokok juga merupakan penyebab kanker paru,
penyakit kardiovaskuler, penyakit serebrovaskuler, dan kanker lainnya
(Gokulakhrishnan & Ali, 2010).
Merokok akan mengaktifkan kaskade inflamasi dalam saluran nafas
berupa produksi sejumlah sitokin dan kemokin poten, yang disertai oleh
kerusakana epitelium paru, peningkatan permeabilitas, dan perekrutan
makrofag serta neutrofil menuju saluran nafas (Hellerman et al., 2002).
Influks neutrofil ke paru, kerapkali bersifat masif, terjadi sebagai respon
terhadap infeksi bakteri dan menjadi gambaran umum dari penyakit
inflamasi paru kronik. Gangguan kapasitas antibakterial neutrofil
merupakan penyebab kepekaan infeksi pada perokok. Sementara itu,
ketidaktepatan respon berupa pelepasan enzim proteolitik neutrofil, antara
lain elastase dan matrik metalloproteinase (MMP)-8 dan -9 merupakan kunci
perkembangan penyakit paru destruktif (Guzik et al., 2011).
38
4.2 Asap rokok dan aktivasi sel
Penyakit yang didasari inflamasi disebabkan sebagian atau
sepenuhnya oleh sitokin proinflamasi, sebagai trigger kejadian patogenik
sekunder dan translokasi ke sirkulasi untuk menyebabkan efek sistemik
(Sydlik et al., 2009).
Paru, sebagai organ target dari partikel yang memicu inflamasi, akan
mengalami gangguan parah akibat perekrutan dan aktivasi sel inflamasi.
Penyakit paru, antara lain emfisema, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), fibrosis, dan kanker seperti halnya kelainan sistemik yang lain pada
tingkat kardiovaskuler dan sistem imun, juga merupakan konsekuensi dari
perekrutan dan aktivasi sel inflamasi (Sydlik et al., 2009).
Migrasi leukosit dari darah menuju lokasi infeksi merupakan kunci
respon imun seluler dan inflamasi, yang dimediasi oleh sejumlah molekul
(Dianzani et al., 2006). Reaksi inflamasi akibat asap rokok ditandai oleh
peningkatan neutrofil dan makrofag alveoler sebagai dasar perkembangan
abnormalitas saluran nafas (Majo et al., 2001). Penelitian Skold et al. (1996)
dibuktikan bahwa eosinofil dan basofil tidak berbeda bermakna antara
perokok dan bukan perokok.
4.2.1 Limfosit
Merokok mempengaruhi jumlah total limfosit dan distribusi relatif
berbagai subtipe limfosit. Merokok juga mempengaruhi fungsi limfosit
(Tollerud et al., 1998; Berntorp et al., 1998). Penelitian Jensen et al., (1998)
dinyatakan tidak terdapat hubungan antara jumlah limfosit dan fungsi paru.
4.2.2 Neutrofil
Kajian terbaik dalam mempelajari efek patologi akibat merokok
adalah PPOK. Pada penyakit ini, ditemukan hubungan yang jelas antara
jumlah neutrofil dengan fungsi paru dan emfisema. Jumlah neutrofil yang
39
melimpah pada PPOK dapat dijelaskan oleh beberapa hal meliputi,
peningkatan kemotaksis dan rekrutmen neutrofil, penundaan efferositosis
akibat penekanan apoptosis, atau akibat perubahan sistem komplek reseptor
dan pengenalan molekul polivalen dalam deteksi pola molekul spesifik
permukaan sel yang mengalami kematian (Guzik et al., 2011). Pada
penelitian Majo et al (2001) yang melihat populasi sel limfosit didapatkan
bahwa pada bukan perokok lebih banyak mengandung neutrofil
dibandingkan perokok.
Meskipun terdapat fenomena disregulasi apoptosis neutrofil pada
PPOK, berbagai data yang tersedia masih kontroversial. Proporsi apoptosis
neutrofil di sputum pada pasien PPOK, perokok sehat, dan kontrol sehat
tidak berbeda bermakna. Hal ini mengindikasikan bahwa penghambatan
apoptosis tidak dapat menerangkan peningkatan jumlah neutrofil di saluran
nafas. Penelitian Makris et al., (2009) diungkapkan bahwa terdapat
peningkatan bermakna rasio apoptosis terhadap total neutrofil sputum pada
pasien PPOK dibandingkan kontrol. Di lain pihak, peneliitian Pletz et al.,
(2004) menyatakan bahwa apoptosis neutrofil mengalami penekanan pada
eksaserbasi akut PPOK.
Penelitian Aoshiba et al., (1996) menyatakan bahwa nikotin mampu
menekan apoptosis neutrofl bergantung dosis. Penelitian yang lain
menyatakan bahwa nikotin pada dosis tinggi tidak mempengaruhi apoptosis
neutrofil atau memicu DNA cleavage pada sel myeloid dan menjadi induksi
poten apoptosis neutrofil sistemik (Palmer et al., 2005). Pada penelitian
Guzik et al., (2011) diungkapkan bahwa asap rokok memicu kematian sel
neutrofil yang bersifat atipik, berupa apoptosis, autophagi, dan nekrosis.
Selain itu, neutrofil yang terpapar asap rokok tersebut juga secara efektif
dibersihkan oleh fagosit profesional, yang mengindikasikan adanya induksi
molekul spesifik permukaan sel dalam identifikasi sel yang rusak/mati.
40
4.2.3 Makrofag
Peningkatan makrofag alveoler (mencapai 90% total sel) dan
perpanjangan survival makrofag alveoler terjadi akibat paparan asap rokok
(Machiya et al., 2007; Blenchet et al., 2004)). Perpanjangan survival makrofag
alveoler bermanfaat untuk fagositosis sel yang mengalami apoptosis.
Fagositosis sel yang apoptosis bersifat non-phlogistik. Sementara itu, sel
yang mengalami nekrosis dan autophagi akan memicu reaksi inflamasi
(Guzik et al., 2011).
Merokok dapat mengubah fenotip makrofag (Hodge et al., 2007).
Makrofag alveoler perokok mempunyai ultrastruktur yang berbeda
dibandingkan bukan perokok. Makrofag alveoler juga mempunyai material
inklusi autofluoresen sitoplasmik dibandingkan bukan perokok.
Autofluoresen ini akan mengganggu deteksi antibodi terhadap antigen
permukan makrofag (Skold et al., 1996).
Monosit dan makrofag alveoler merupakan anggota sistem fagosit
mononuklear. Monosit darah akan matur menjadi makrofag alveoler melalui
migrasi dari kapiler menuju jaringan paru sebagai respon terhadap stimulus
inflamasi. Selama proses maturasi terminal, terjadi perubahan fungsional
dan fenotip, meliputi perubahan ukuran dan kapasitas fagositik, penurunan
kemampuan stimulasi limfosit-T dan ekspresi marker yang berhubungan
dengan maturasi (Hodge et al., 2007).
CD11a (LFA-1) dan ligandnya CD54 (intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1)) berperan penting dalam dalam interaksi antigen presenting cells
dan limfosit T. Kontak fisik ini diperlukan dalam aktvasi sel T dan kontak
antibodi terhadap reseptor akan menghambat respon proliferatif sel T.
CD11b (Mac-1, CR3) dan CD11c (p150,95, CR4) akan memediasi kontak
antar sel, terutama endotel vaskuler dan komponen matriks ekstraseluler,
dengan CD11c lebih spesifik kepada fagosit mononuklear. CD71 (reseptor
transferin) dipertimbangkan berperan penting dalam turnover besi
41
intraselulerl dan berhubungan dengan aktivasi dan proliferasi sel (Skold et
al., 1996).
Pada perokok, ekspresi CD11a, CD54, dan CD71 lebih rendah
dibandingkan bukan perokok. Di lain pihak, ekspresi CD11b dan CD11c
tidak berbeda antara perokok dibandingkan bukan perokok. Hal ini
mengindikasikan bahwa makrofag alveoler mempunyai mekanisme
adaptasi terhadap fagositosis yang lama, dan ketika mencapai maturasi akan
mengekspresikan berbagai reseptor fagositosis dan adhesi, akan tetapi
kurang mengekspresikan reseptor untuk fungsi assesori (Skold et al., 1996).
4.2.4 Sel epitel
Perubahan kompleks dalam fungsi paru, morfologi, dan ekspresi gen
yang disebabkan oleh komponen aktif dalam asap rokok melibatkan
kombinasi langsung dan tidak langsung terhadap sel, akan tetapi terpusata
kepada lingkaran inflamasi saluran nafas akibat paparan asap rokok. Sinyal
MAPK (ERK ½) dan NF-B terlibat dalam aktivasi inflamasi akut untuk
memicu pelepasan sitokin inflamasi. Pada penelitian Hellerman et al., (2002)
dinyatakan bahwa ekstrak asap rokok memicu peningkatan ekspresi mRNA
dari beberapa sitokin. IL-1 akan diupregulasi secara bermakna pada
paparan ekstrak asap rokok terhadap sel epitel bronkial manusia. IL-1
merupakan faktor penting dalam aktivasi IL-8 dan ICAM-1. Hal ini
didukung oleh penelitian yang lain, bahwa sel epitel melakukan ragulasi
terhadap kejadian inflamasi melalui sekresi IL-1, IL-8, GM-CSF, TNF-, dan
sICAM (Floreani & Rennard, 1999). Efektor parakrin ini selanjutnya akan
memproduksi inflamasi lokal primer atau mengamplifikasi efek terhadap sel
makrofag, eosinofil, mast, dan neutrofil yang telah diaktivasi sebelumnya
(Hellerman et al., 2002).
42
4.3 Komponen asap rokok dan inflamasi
4.3.1 Benzo(a)pyrene
Benzo(a)pyrene merupakan molekul yang menyebabkan rokok dapat
menginduksi inflamasi, dan proliferasi serta migrasi sel (Yoshino &
Maehara, 2007). Pada paparan asap rokok kronik (2 bulan), meningkatkan
jumlah total sel pada BALF (Sato et al., 2006).
4.3.2 Senyawa oksigen reaktif
Pada penelitian Hellerman et al. (2002) dinyatakan bahwa NF-B
merupakan mediator sentral dari respon proinflamasi, yang dapat diaktivasi
oleh stres oksidatif dan cedera terhadap sel. Selain itu, kandungan logam
dalam asap rokok juga merupakan sumber senyawa oksigen reaktif. Analisis
gen mengungkapkan bahwa paparan asap rokok mengaktifkan tapak ikatan
NF-B sebagai elemen promoter Il-1, IL-8. Il-6 dan ICAM-1.
4.3.3 Nikotin
Nikotin, alkaloid kolinomimetik tertier, merupakan komponen utama
asap rokok. Molekul ini bersifat lipofilik dan mempunyai kemampuan
menembus sawar darah otak sehingga menyebabkan addiksi (Blanchet et al.,
2002). Kadar plasma nikotin berhubungan secara langsung dengan jumlah
leukosit darah pada perokok (Jensen et al., 1998).
Daftar pustaka
Aoshiba K, Nagai A, Yasui C, Konno K. 1996. Nicotine prolongs neutrophil
survival by suppresing apoptosis. Journal Laboratory Clinical
Medicine; 127:186-194.
Berntorp K, Ekman M, Berntorp E. Cigarette smoke impairment of human
lymphocyte function by inhibition of transglutaminase. Journal
International Medicine; 226:73-79.
43
Blenchet M, Israel-Assayag E, Cormier Y. 2004. Inhibitory effect of nicotine
on experimental hypersensitivity pneumonistis in vivo and in vitro.
American Journal Respiratory Critical Care Medicine; 169:903-909.
Dianzani C, Cavalli R, Zara GP, Gallicchio M, Lombardi G, Gasco MR,
Panzanelli P, Fantozzi R. 2006. Cholesteryl butyrate solid lipid
nanoparticle inhibit adhesion of human neutrophils to endothelial
cells. British Journal of Pharmacology; 148:648-656.
Floreani AA, Rennard SI. 1999. The role of cigarette smoke in the
pathogenesis of asthma and as a trigger for acute symptoms. Current
Opinion Pulmoray Medicine; 5:38-46.
Guzik K, Skret J, Smagur K, Bzowska M, Gajkowska B, Scott DA, Potempa
JS. 2011. Cigarette smoke exposed neutrophils die unconventionally
but are rapidly phagocytosed by macrophages. Cell Death and
Disease; 2: e131; doi:10.1038/ccdis.2011.
Hellerman GR, Nagy SB, Kong X, Lockey RF, Mohapatra SS. 2002.
Mechanism of cigarette smoke condensate-induced acute
inflammatory response in human bronchial epithelial cells.
Respiratory Research; 3:22.
Hodge S, Hodge G, Ahern J, H Jersmann, Holmes M. Reynolds PN. 2007.
Smoking activity alters alveoler macrophage recognition and
phagocytic ability. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 37:748-755.
Jensen EJ, Pedersen B, Frederiksen R, Dahl R. 1998. Prospective study on the
effect of smoking and nicotine substitution on leucocyte blood
counts and relation between blood leucocytes and lung function.
Thorax 1998; 53:784-789.
Machiya J, Shibata Y, Yamauchi K, Hirama N, Wada T, Inoue S, Abe S,
Takabatake N, Sata M, Kubota I. 2007. Enhanced expression of MafB
inhibits macrophage apoptosis induced by cigarette smoke exposure.
American Journal Respiratory Cell Molecular Biology; 36:418-426.
Majo J, Ghezzo H, Cosio MG. 2001. Lymphocyte population and apoptosis in
the lungs of smokers and their relation to emphysema. European
Respiratory Journal; 17:946-953.
Makris D, Vrekoussis T, Izoldi M, Alexandra K, Katerina D, Dimitris T. 2009.
Increased apoptosis of neutrophils in induced sputum of COPD
patients. Respiratory Medicine; 103:1130-1135.
Palmer RM, Wilson RF, Hasan AS, Scott DA. 2005. Mechanisms of action of
environmental factors-tobacco smoking. Journal Clinical
Periodontology; 32:180-195.
Pletz MW, Ioanas M, de Roux A, Burkhardt O, Lode H. 2004. Reduced
spontaneous apoptosis in peripheral blood neutrophils during
exacerbation of COPD. European Respiratory Journal; 23:532-537.
44
Sato T, Seyama K, Sato Y, Mori H, Souma S, Akiyoshi T, Kodama Y, Mori T,
Goto S, Takahashi K, Fukuchi Y, Maruyama N, Ishigami A. 2006.
Senescence marker protein-30 protects mice lungs from oxidative
stress, aging, and smoking. American Journal Respiratory Critical
Care Medicine; 174:530-537.
Skold CM, Lundahl J, Halldem G, Hallgren M, Eklund A. Chronic smoke
exposure alters the phenotype pattern and the metabolic response in
human alveolar macrophages. Clinical Experimental Immunology;
106:108-113.
Sydlik U, Gallitz I, Albrecht C, Abel J, Krutmann J, Unfried K. 2009. The
compatible solute ectoine protects against nanoparticle-induced
neutrophilic lung inflammation. American Journal Respiratory
Critical Care Medicine; 180:29-35.
Tollerud DJ, Clark WJ. Brown LM. 1989. Association of cigarette smoking
with decreased number of circulating natural killer cells. American
Review Respiratory Diseases; 139:194-198.
Yoshino I, Maehara Y. 2007. Impact of smoking status on the biological
behavior of lung cancer. Surgery Today; 37L725-734.
45
BAB 5
Asap rokok dan stres oksidatif paru
46
5.1 Latar belakang
Asap rokok merupakan campuran 4800 senyawa kimia, termasuk di
dalamnya radikal bebas, senyawa oksigen dan nitrogen reaktif, aldehid
reaktif, dan logam. Salah satu efek penting dari asap rokok adalah kerusakan
oksidatif pada makromolekul biologis, antara lain lipid dan protein
(Gokulakhrishnan & Ali, 2010). Pada kondisi normal, senyawa oksigen
reaktif akan dinetralisir secara efisisen oleh mekanisme pertahanan
antioksidan seluler. Pada berbagai kondisi, terjadi ketidakseimbangan antara
produksi senyawa oksigen reaktif dan pertahanan antioksidan sehingga
memicu destruksi dan disfungsi seluler (Lee & Lee, 2007).
Bergantung kepada kadar senyawa oksigen reaktif, berbagai faktor
transkripsi sensitif terhadap perubahan status redoks akan diaktivasi dan
akan mengkordinasikan respon biologis tertentu. Stres oksidatif pada kadar
rendah akan menginduksi Nrf2, faktor transkripsi yang berimplikasi pada
transaktivasi gen yang mengkode aktivitas antioksidan enzimatik. Senyawa
oksigen reaktif pada kadar sedang akan memicu respon inflamasi melalui
aktivasi NF-B dan AP-1. Adapun stres oksidatif pada kadar tinggi akan
mengacaukan pori mitokondria dan gangguan transfer elektron yang
akhirnya menyebabkan nekrosis atau apoptosis (Glorie et al, 2006).
5.2 Mekanisme
5.2.1 Mekanisme langsung
Asap rokok diperkirakan mengandung 1017 oksidan/hisapan dan
sekitar 1014 merupakan senyawa oksigen reaktif. Fase gas asap rokok
mengandung senyawa oksigen reaktif short lived pendek yakni radikal
superoksida dan nitrogen oksida, yang akan segera bereaksi membentuk
peroksinitrit. Sebaliknya, fase gas mengandung long lived hidroquinone yang
akan mengalami siklus redoks membentuk radikal superoksida dan
47
hidrogen peroksida via semiquinone, sehingga memicu stres oksidatif yang
menetap (Aoshiba & Nagai, 2003).
5.2.2 Mekanisme tidak langsung
Di samping melalui mekanisme langsung, asap rokok juga memicu
peningkatan stres oksidatif melalui perekrutan dan aktivasi fagositosis
untuk menghasilkan senyawa oksigen reaktif (Aoshiba & Nagai, 2003).
5.3 Stres oksidatif
Stres oksidatif pada umumnya didefinisikan sebagai keadaan yang
ditandai oleh ketidakseimbangan antara oksidan dan reduktan (antioksidan)
pada tingkat seluler atau individual. Kerusakan oksidatif merupakan salah
satu hasil ketidakseimbangan tersebut, yang didalamnya terdapat
modifikasi oksidatif dari makromolekul seluler. Proses tersebut akan
berlanjut sebagai kematian sel oleh mekanisme apoptosis atau nekrosis
seperti halnya kerusakan jaringan struktural (Lykkesfeldt & Svendsen, 2007).
5.3.1 Kapasitas antioksidan
Asap rokok memicu penurunan kapasitas antioksidan ekstraseluler
dan intraseluler, antara lain penurunan askorbat, urat, ubiquinol-10, -
tokoferol, dan -karoten di darah. Paparan akut asap rokok megurangi
kadar glutathion dan menurunkan aktivitas glutathion peroksidase, glukosa-
6-fosfat dehidrogenase pada sel epitel alveoler, eritrosit, dan cairan pelapis
epitel paru. Sebaliknya, paparan kronik asap rokok akan memicu kenaikan
dan peningkatan aktivitas glutathion. Hal ini mengindikasikan adanya
mekanisme adaptif terhadap paparan asap rokok, meskipun tidak cukup
untuk memberikan perlindungan terhadap sel epitel alveoler (Aoshiba &
Nagai, 2003). Antioksidan BALF juga terkena dampak yang ditandai oleh
penurunan kadar glutathion total (GSH) BALF (Sato et al., 2006). Zhang et al.,
48
(2008) menemukan upregulasi Thioredoxin dan Peroxiredoxin akibat
peningkatan radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif akibat paparan asap
rokok.
5.3.1 Peroksidasi lipid
Senyawa oksigen reaktif akan memicu peroksidasi lipid melalui
reaksi antara radikal lipid dengan oksigen pada sel aerobik membentuk
radikal peroksil. Radikal peroksil akan memicu reaksi rantai terhadap asam
lemak tidak jenuh membentuk lipid hidroperoksida. Peroksidasi lipid
menyebabkan disfungsi membran, inaktivasi tapak reseptor dan enzim di
membran, serta meningkatkan permeabilitas membran (Murarescu et al.,
2007). Peningkatan stres oksidatif paru akibat paparan asap rokok telah
teramati pada paparan selama 2 minggu (Machiya et al., 2007). Pada
penelitian Sato et al. (2006) yang melihat efek paparan asap rokok terhadap
mencit selama 8 minggu didapatkan peningkatan kerusakan oksidatif di
jaringan paru meliputi peroksidasi lipid yang ditandai oleh peningkatan
MDA.
5.3.2 Oksidasi protein
Stres oksidatif menyebabkan peningkatan kepekaan proteolisis dari
rantai asam amino yang memicu aggregasi protein dan pemutusan ikatan
peptida. Protein plasma manusia akan kehilangan gugus sulfhidril serta
terdapat peningkatan protein karbonil sebagai aksi dari aldehid jenuh dan
tidak jenuh pada asap rokok. Protein plasma juga didegradasi oleh senyawa
oksigen reaktif melalui nitrasi dan oksidasi. Pada perokok ditemukan
peningkatan kandungan protein nitrit, antara lain fribrinogen, transferin,
seruloplasmin, dan plasminogen sebagai produk oksidasi protein
(Murarescu et al., 2007). Pada penelitian Sato et al. (2006) yang melihat efek
paparan asap rokok terhadap mencit selama 8 minggu didapatkan
49
peningkatan kerusakan oksidatif di jaringan paru yang ditandai oleh
pembentukan protein karbonil.
5.3.4 Oksidasi DNA
Benzo(a)pyrene akan mengalami metabolisme dan konversi menjadi
benzo(a)pyrenequinones, yang selanjutnya dapat memproduksi radikal
bebas dan memicu kerusakan DNA (Hecht, 1999). Hidrogen peroksida juga
mampu menembus membran sel dan mencapai nukleus untuk memicu
kerusakan oksidatif pada DNA. 8-OHdG merupakan salah satu bentuk
kerusakan oksidatif pada DNA yang diusulkan sebagai biomarker
karsinogenesis. Analisis 8-OHdG pada DNA limfosit darah tepi dapat
bermanfaat untuk deteksi resiko stres oksidatif akibat merokok. Pada
penelitian Zhang et al., (2009) diungkapkan peningkatan kadar 8-OHdG
pada DNA limfosit darah tepi sesuai dengan peningkatan derajat merokok.
5.4 Stres oksidatif dan perkembangan penyakit
Bukti terbaru menyatakan bahwa peningkatan kematian sel epitel
alveoler yang berpartisipasi dalam patogenesis emfisema paru. Penelitian
klinis telah membuktikan peningkatan apoptosis sel epitel dan sel endotel
dalam dinding alveoler perokok yang menderita emfisema paru. Penelitian
hewan coba membuktikan bahwa penghambatan kronik terhadap vascular
endothelial growth factor receptor akan memicu apoptosis sel endotel alveoler
yang diikuti oleh emfisema paru (Aoshiba & Nagai, 2003). Asap rokok juga
menhambat kemampuan sel epitel untuk bermigrasi, melekat pada matriks
ekstraseluler, dan menyembuhkan luka (Wang et al., 2001). Asap rokok juga
menghambat proliferasi sel epitel dan menginduksi senescence sel (Aoshiba
& Nagai, 2003).
Emfisema paru merupakan penyakit terkait umur yang terjadi akibat
paparan jangka panjang terhadap asap rokok. Akibat asap rokok yang
50
mengandung 1017 molekul oksidan setiap hisapan dan menyebabkan
ketidakseimbangan oksidan/antioksidan, maka stres oksidatif dipostulasikan
berperan penting dalam patogenesis emfisema paru. Pada pasien PPOK,
biomarker stres oksidatif, antara lain protein karbonil, produk peroksidasi
lipid, dilaporkan meningkat di paru dan otot pernafasan (Sato et al., 2006).
Stres oksidatif paru juga memicu kehilangan massa otot dan karsinogenesis
pada pasien PPOK (Murarescu et al., 2007).
Nikotin merupakan komponen adiktif dan kandungan berbahaya dari
asap rokok. Berbagai penelitian mengungkapkan efek nikotin terhadap
apoptosis in vitro dan in vivo yang mengindikasikan korelasi paparan
nikotin dengan apoptosis. Beberapa peneliti menunjukkan efek perlidungan
nikotin terhadap apoptosis, sementara peneliti lain membuktikan efek
sebaliknya. Penelitian terbaru menyatakan bahwa nikotin dapat
meningkatkan stres oksidatif yang berhubungan dengan apoptosis (Zhang et
al., 2006; Zhao et al., 2005). Penelitian Zhou et al., (2010) diungkapkan bahwa
nikotin dapat memicu apoptosis kardiomyosit melalui stres oksidatif yang
mendasari patomekanisme kardiovaskuler akibat asap rokok.
5.5 Peran antioksidan
Suplementasi antioksidan telah terbukti mampu menurunkan stres
oksidatif pada penyakit terkait asap rokok. Teh hijau dan kandungan
cathecinnya, meliputi –epicathecin (EC), -epicathecin-3-gallate (ECG), -
epigalocathecin (EGC), -epigallocathecin-3-gallate (EGCG) merupakan
antioksidan. Potensi antioksidan disebabkan oleh adanya struktur galloyl
pada ECG dan EGCG, yang tidak ditemukan pada cathecin yang lain. EGCG
mampu bersifat scavenger terhadap oksigen singlet, anion superoksida,
radikal peroksil, dan radikal hidroksil. Asap rokok menyebabkan
peningkatan persentase hemolisis, karboksihemoglobin, hemin, lipid
peroksida, dan osmotik fragilitas. Asap rokok juga meningkatkan senyawa
51
karbonil dan menurunkan protein thiol, glutathion, dan antioksidan
enzimatik. EGCG menurunkan persentase hemolisis, karboksihemoglobin,
hemin, lipid peroksida, osmotik fragilitas serta senyawa karbonil. EGCG
juga meningkatkan protein thiol, glutathion, dan antioksidan enzimatik
(Gokulakhrishnan & Ali, 2010).
Daftar Pustaka
Aoshiba K, Nagai A. 2003. Oxidative stress, cell death, and other damage to
alveolar epithelial cells induced by cigarette smoke. Tobacco Induced
Disease; 1(3):219-226.
Glorie G, Legrand-Poels S, Piette J. 2006. NF-B activation by reactive oxygen
species: fifteen years later. Biochemical Pharmacology; 72:1493-1505.
Gokulakrishnan A, Ali ARL. 2010. Cigarette smoke-induced biochemical
perturbations in human erythrocytes and attenuation by
epigallocathecin-3-gallate-tea cathecin. Pharmacological Reports;
62:891-899.
Hecht SS. 1999. Tobacco smoke carcinogens and lung cancer. Journal
National Cancer Institute; 91:1194-1210.
Lee S, Lee K. 2007. Protective effect of (-)-epigallocatechin gallate against
advanced glycation endproducts-induced injury in neuronal cells.
Biology Pharmacy Bulletin; 30(8):1369-1373.
Lykkesfeldt J, Svendsen O. 2007. Oxidant and antioxidants in disease:
oxidative stress in farm animals. The Veterinary Journal; 173:502-511.
Machiya J, Shibata Y, Yamauchi K, Hirama N, Wada T, Inoue S, Abe S,
Takabatake N, Sata M, Kubota I. 2007. Enhanced expression of MafB
inhibits macrophage apoptosis induced by cigarette smoke exposure.
American Journal Respiratory Cell Molecular Biology; 36:418-426.
Murarescu ED, Iancu R, Mihilovici MS. 2007. Morphological changes
positive correlates with oxidative stress in COPD. Preliminaru data of
an experimental rat model- study and literature review. Romanian
Journal of Morphology and Embryology; 48(1):59-65.
Sato T, Seyama K, Sato Y, Mori H, Souma S, Akiyoshi T, Kodama Y, Mori T,
Goto S, Takahashi K, Fukuchi Y, Maruyama N, Ishigami A. 2006.
Senescence marker protein-30 protects mice lungs from oxidative
stress, aging, and smoking. American Journal Respiratory Critical
Care Medicine; 174:530-537.
Wang H, Liu X, Umino T, Skold CM, Zhu Y, Kohyama T, Spurzem JR,
Romberger DJ, Rennar SI. Cigarette smoke inhibits human epithelial
52
cells reapir process. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 25:772-779.
Zhang T, Lu H, Shang X, Tian Y, Zheng C, Wang S, Cheng H, Zhou R. 2006.
Nicotine prevents the apoptosis induced by menadione in human
lung cancer cells. Biochemical Biophysics Research Communication;
342:928-934.
Zhang S, Wu Y, Wu Z, Liu H, Nie J, Tong J. 2009. Up-regulation of RAGE
and S100A6 in rats exposed to cigarette smoke. Environmental
Toxicology and Pharmacology; 28:259-264.
Zhang S, Xu N, Nie J, Dong L, Li J, Tong J. 2008. Proteomic alteration in lung
tissue of rats exposed to cigarette smoke. Toxicology Letters; 178:191-
196.
Zhao Z, Reece EA. 2005. Nicotine-induced embryonic malformations
mediated by apoptosis from increasing intracellular calcium and
oxidative stress. Birth Defects Research B Develompment
Reproduction Toxicology; 74:383-391.
Zhou X, Sheng Y, Yang R, Kong X. 2010. Nicotine promotes cardiomyocyte
apoptosis via oxidative stress and altered apoptosis-related gene
expression. Cardiology; 115:243-250.
53
BAB 6
Debu batubara dan progresi metaplasia
54
6.1 Latar belakang
Batubara adalah bahan bakar fosil berupa batuan organik,
bersedimen, dan mudah terbakar yang terbentuk dari tanaman selama
jutaan tahun melalui tekanan dan panas bumi (Huang & Finkelman, 2008).
Berdasarkan nilai panasnya, batubara digolongkan menjadi empat jenis
meliputi lignit, subbituminos, bituminos, dan anthracite (Huang & Zhang,
2003). Debu batubara adalah partikel dengan ukuran mikrometer-nanometer
yang dihasilkan oleh tubrukan, abrasi, peremukan, dan penggilasan
batubara. Debu batubara merupakan campuran kompleks berbagai mineral,
trace metal, dan bahan organik dengan kadar yang bervariasi di berbagai
tambang batubara (Dalal et al., 1995).
Inhalasi kronik debu batubara dapat menyebabkan beberapa penyakit
paru, termasuk coal worker pneumoconiosis (CWP), bronkitis kronik,
kehilangan fungsi paru, emfisema, dan progressive massive fibrosis (PMF)
(Armutcu et al., 2007). Pada hewan coba, perkembangan tumor paru telah
diidentifikasi akibat paparan konsentrasi tinggi (200 mg/m3) debu batubara,
meskipun insidensinya tidak bermakna (Martin et al., 1977). Penelitian Pott et
al. (2000) didapatkan insidensi tumor paru sebesar 57,4% pada tikus yang
diinstilasi intratrakea dengan debu batubara dosis 6 mg/minggu selama 11
minggu. Hal ini mengindikasikan bahwa paparan debu batubara
berhubungan dengan karsinogenisitas paru.
Efek batubara terhadap inflamasi telah dibuktikan oleh berbagai
penelitian yang ditandai oleh peningkatan sel inflamasi, peningkatan sitokin,
dan senyawa kemoatraktan. Pada penelitian Pinho et al. (2005) dibuktikan
bahwa tikus yang dilakukan instilasi intratrakea batubara mengalami
peningkatan sel leukosit polimorfonuklear pada Bronko Alveolar Lavage Fluid
(BALF). Status fagositosis makrofag selama masa aktivasi merupakan
rentang yang luas untuk membentuk oksidan, lipid bioaktif, sitokin, faktor
pertumbuhan, protease dan antiprotease. Beberapa sel di paru akan menjadi
55
target mediator primer tersebut, meliputi fibroblas, sel epitel, dan sel
endotel. Selanjutnya sel target akan melepaskan mediator sekunder (Schins
& Borm, 1999). Beberapa sitokin berpartisipasi dalam cedera lokal dan
inflamasi, meliputi IL-1, IL-8, MCP, TNF-, PDGF, ILGF-1, TGF-, dan bFGF.
TNF- dan IL-1 (Altin et al., 2004). Pada penelitian Armutcu et al. (2007) telah
dibuktikan adanya peningkatan sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF-) pada
minggu ke-1 sampai 4 paparan ambien debu batubara terhadap tikus.
Makrofag akan melepaskan IL-6 dan TNF- sebagai respon terhadap
paparan debu batubara. Selain itu, biopsi jaringan paru pekerja tambang
batubara menunjukkan peningkatan ekspresi IL-6, TNF-, dan MCP-1.
Paparan batubara juga memicu pembentukan senyawa oksigen
reaktif secara langsung dan tidak langsung (Altin et al., 2004). Senyawa
oksigen reaktif adalah senyawa yang lebih reaktif dibandingkan oksigen
pada kondisi ground state. Senyawa oksigen reaktif dibedakan atas radikal
bebas dan non radikal bebas (Halliwel & Gutteridge, 1999). Senyawa oksigen
reaktif yang dibentuk oleh batubara meliputi O2-, H2O2, NO (Armutcu et al.¸
2007), dan OH (Dalal et al., 1995). Pembentukan NO terjadi akibat
upregulasi inducible nitric oxide synthase (iNOS) (Armutcu et al., 2007).
Urutan metaplasia-displasia-kanker lebih sering terjadi di traktus
bronkial, yakni ketika diferensiasi skuamosa berkembang dari epitel bersilia
atau berglandula (Delvenne et al., 2004). Metaplasia epitel adalah proses
adaptif akibat transformasi satu tipe sel epitel menjadi tipe sel yang lain
dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Metaplasia epitel biasanya
berhubungan dengan inflamasi kronik dan mungkin terkait dengan
modifikasi ekpresi satu atau beberapa faktor transkripsi (Herfs et al., 2009;
Slack & Tosh, 2001; Slack, 2007). Metaplasia epitel ditandai oleh sintesis
musin pada saluran nafas akibat regulasi dari epidermal growth factor receptor
(EGFR). Ekspresi EGFR pada epitelium bronkial akan meningkat akibat
56
aktivasi neutrofil dan aktivasi tirosin kinase EGFR sehingga memicu
hipersekresi mukus dan metaplasia sel goblet (Kim et al., 2008).
Berdasarkan teori diatas, efek paparan debu batubara terhadap
metaplasia paru sebagai peristiwa awal menuju perkembangan kanker
belum pernah dibuktikan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan
dibuktikan mekanisme metaplasia paru akibat paparan debu batubara
melalui peningkatan inflamasi (kadar EGF) dan peningkatan stres oksidatif
(kadar MDA), yang mengaktivasi sinyal EGFR untuk ekspresi MUC5AC.
.
6.2 Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk menganalisa
mekanisme paparan debu batubara dalam memicu metaplasia paru melalui
peningkatan inflamasi (kadar EGF) dan peningkatan stres oksidatif (kadar
MDA), yang memicu aktivasi EGFR dan akhirnya menyebabkan ekspresi
MUC5AC. Berdasarkan penelitian pendahuluan didapatkan rerata kadar
debu batubara di lokasi pertambangan batubara Kalimantan Selatan adalah
12,5 g/m3 – 12,5 mg/m3. Pada penelitian ini ditentukan tiga dosis paparan
yakni 6,25 mg/m3, 12,5 mg/m3, dan 25 mg/m3 selama 1 jam/hari untuk lama
paparan 14 hari dan 28 hari. Lama paparan ini merujuk penelitian Armutcu
et al. (2007).
Subyek penelitian adalah tikus Wistar jantan dengan sampel
penelitian adalah jaringan paru tikus. Parameter yang diukur meliputi kadar
EGF (ELISA) dan ekspresi EGFR (Confocal Laser Scanning Microscope/CLSM),
kadar MDA (kolorimetrik), kadar MUC5AC (ELISA). Analisa EGF dan
MUC5AC dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Analisa MDA dilakukan di Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Analisa EGFR
dilakukan di Laboratorium Sentral Ilmu Hayati Universitas Brawijaya.
Karakteristik debu batubara dianalisa dengan Scanning Electron Microscope
57
(SEM) dan X-Ray Fluoresence (XRF) di Laboratorium Sentral Universitas
Negeri Malang.
Penelitian ini menggunakan subjek penelitian tikus Wistar yang
diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang, dengan berat badan 150-200 gram dalam kondisi sehat
dan berkelamin jantan. Kelompok pada penelitian tahap ini sebanyak tujuh
kelompok, terdiri atas:
Kelompok 1 : Kontrol
Kelompok 2 : Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari
selama 14 hari
Kelompok 3 : Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari
selama 14 hari
Kelompok 4 : Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama
14 hari
Kelompok 5 : Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari
selama 28 hari
Kelompok 6 : Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari
selama 28 hari
Kelompok 7 : Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama
28 hari
6.3 Hasil penelitian
6.3.1 Karakteristik debu batubara
Pembuatan debu batubara seperti yang tercantum dalam metode
penelitian telah berhasil menciptakan partikel dengan ukuran <10
mikrometer bahkan ditemukan juga nanopartikel (<100 nanometer). Hasil
Scanning Electron Microscope dapat memperlihatkan batubara ukuran <10
mikrometer (gambar 6.1) dan nanopartikel (<100 nanometer) (gambar 6.2)
58
Gambar 6.1 Partikel debu batubara dengan ukuran < 10 mikrometer
(perbesaran 5000 kali dengan mikroskop elektron). Tampak gambaran
partikel dalam kondisi singlet atau agregat.
Gambar 6.2 Partikel debu batubara dengan ukuran nanopartikel (perbesaran
10.000 kali dengan mikroskop elektron). Tampak debu batubara dengan
ukuran nanopartikel sebagai partikel singlet.
Analisis X-Ray Fluorescence debu batubara didapatkan kandungan
mineral anorganik dari debu batubara Fe 36,9%; Si 17,9%; Mo 15%; Al 10%;
Ca 8,67%; S 4,7%; dan Ti 3,65%. Mineral yang lain berada di bawah <1%
59
meliputi K, Mn, Cu, Yb, Cr, Ni, dan V. Persentase kandungan mineral
batubara ini tersaji pada tabel 6.1.
Tabel 6.1 Kandungan mineral anorganik debu batubara (%)
Fe Si Mo Al Ca S Ti K Mn Cu Yb Cr Ni V
36,9 17,9 15 10 8,67 4,7 3,65 0,96 0,53 0,44 0,40 0,34 0,20 0,16
6.3.2 Morfologi
Dengan menggunakan scanning electron microscope dapat dibuktikan
akumulasi debu batubara berbagai ukuran di dalam paru. Partikel debu
batubara yang terakumulasi di alveolus menempel (sebagian terbenam)
pada bayangan hitam yang merupakan sel makrofag untuk fagositosis.
Selain itu juga terdapat debu batubara yang belum difagosit.
Gambar 6.3 Partikel debu batubara dengan ukuran mikropartikel
nanopartikel (perbesaran 5000 kali dengan mikroskop elektron)
terakumulasi di alveolus paru. Tampak partikel batubara di menempel atau
terbenam di permukaan paru.
Untuk paparan 14 hari, gambaran epitel bronkhiolus pada tikus
kontrol didapatkan lapisan epitel silindris bersilia dengan sedikit sel goblet
60
dengan ukuran tebal yang relatif sama. Di bawah membrana basalis tampak
jaringan ikat yang tipis dan terputus-putus (Gambar 6.4 A). Gambaran epitel
bronkhiolus kelompok paparan debu batubara 6,25 mg/m3 selama 14 hari
didapatkan lapisan epitel silindris yang mengalami proses hiperplasia,
papilifer, terjadi hiperplasia (metaplasia) sel goblet, tampak taburan sel
radang masif. Di bawah membrana basalis tampak taburan sel radang masif
berupa sel polimorfonuklear dan limfosit. Jaringan ikat mulai menebal
disekitar rongga bagian luar membentuk cincin (Gambar 6.4 B). Gambaran
epitel bronkhiolus kelompok paparan debu batubara 12,5 mg/m3 selama 14
hari didapatkan lapisan epitel silindris yang mengalami proses hiperplasia
(metaplasia) dengan gambaran hampir seluruh permukaan berbentuk
papilfer (Gambar 6.4 C). Gambaran epitel bronkhiolus kelompok paparan
debu batubara 25 mg/m3 selama 14 hari didapatkan epitel silindris yang
didominasi oleh bentuk papilifer dengan taburan sel radang masif. Jaringan
ikat yang menebal dengan taburan sel radang di sekitarnya. Selain itu,
sebagian lumen sudah tidak intact (Gambar 6.4 D).
Gambar 6.4 Gambaran histopatologis epitel bronkhiolus akibat paparan
debu batubara 14. Keterangan gambar A: kontrol; B: paparan 14 hari dosis
6,25 mg/m3; C: paparan 14 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 14 hari dosis 25
mg/m3 (Pewarnaan H&E, perbesaran 1000 x; Skala 50 m).
Untuk paparan 28 hari, gambaran epitel bronkhiolus pada tikus
kontrol didapatkan lapisan epitel silindris bersilia dengan sedikit sel goblet
dengan ukuran tebal yang relatif sama. Di bawah membrana basalis tampak
A D C B
61
jaringan ikat yang tipis dan terputus-putus (Gambar 6.5 A). Gambaran epitel
bronkhiolus kelompok paparan debu batubara 6,25 mg/m3 selama 28 hari
didapatkan jaringan ikat yang semakin dominan dengan intensitas radang
yang mulai berkurang dibandingkan paparan 14 hari (Gambar 6.5 B).
Gambaran epitel bronkhiolus kelompok paparan debu batubara 12,5 mg/m3
selama 28 hari didapatkan lapisan epitel silindris yang mengalami proses
hiperplasia (metaplasia) dengan gambaran hampir seluruh permukaan
berbentuk papilfer. Gambaran epitel bronkhiolus kelompok paparan debu
batubara 25 mg/m3 selama 28 hari didapatkan epitel silindris yang
didominasi oleh bentuk papilifer dengan taburan sel radang masif. Jaringan
ikat yang menebal dengan taburan sel radang di sekitarnya. Selain itu,
sebagian lumen sudah tidak intact.
Gambar 6.5 Gambaran histopatologis epitel bronkhiolus akibat paparan
debu batubara 28 hari. Keterangan gambar A: kontrol; B: paparan 28 hari
dosis 6,25 mg/m3; C: paparan 28 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 28 hari
dosis 25 mg/m3 (Pewarnaan H&E, perbesaran 1000 x; Skala 50 m).
Rerata ketebalan epitel bronkhiolus pada berbagai paparan debu
batubara disajikan pada tabel 6.2. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji
Kruskall-Wallis didapatkan perbedaan ketebalan epitel bronkhiolus pada
berbagai kelompok perlakuan (p=0,002). Uji Mann-Whitney didapatkan
peningkatan bermakna antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok
paparan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,043); kelompok kontrol dibandingkan
kelompok paparan dosis 25 mg/m3 (p=0,043). Uji Mann-Whitney tidak
A C B D
62
didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dibandingkan
kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3 (p=0,076).
Untuk paparan debu batubara 28 hari, uji Kruskall-Wallis didapatkan
perbedaan ketebalan epitel bronkhiolus pada berbagai kelompok perlakuan
(p=0,002). Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna antara
kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
(p=0,026); kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 25
mg/m3 (p=0,031); kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis
6,25 mg/m3 (p=0,046).
Tabel 6.2 Ketebalan epitel bronkhiolus pada paparan debu batubara 14 hari dan 28
hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 11,00 3,41 21,00 2,50 28,00 2,16a 42,00 1,25a
28 hari 11,00 3,41 48,00 1,19a 49,00 1,02a 62,00 0,75a
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
Rerata jumlah makrofag pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 6.3. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji Kruskall-
Wallis didapatkan perbedaan jumlah makrofag pada berbagai kelompok
perlakuan (p=0,000). Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna
antara kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3
(p=0,009); kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5
mg/m3 (p=0,009); kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis
25 mg/m3 (p=0,009); kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan
kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,014); kelompok paparan 6,25
mg/m3 dibandingkan kelompok paparan dosis 25 mg/m3 (p=0,025);
63
kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3 dibandingkan kelompok paparan dosis
25 mg/m3 (p=0,025).
Untuk paparan debu batubara 28 hari, uji Kruskall-Wallis didapatkan
perbedaan jumlah makrofag pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,000).
Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna antara kelompok
kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3 (p=0,014);
kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
(p=0,014); kelompok kontrol dibandingkan kelompok paparan dosis 25
mg/m3 (p=0,025); kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan
kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,043); kelompok paparan dosis 6,25
mg/m3 dibandingkan kelompok paparan dosis 25 mg/m3 (p=0,034). Uji
Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok
dosis 12,5 mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,289).
Tabel 6.3 Jumlah makrofag pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 16,10 6,01 45,98 11,16a 58,82 12,81ab 55,16 3,6 abc
28 hari 16,10 6,01 105,37 8,62a 91,35 3,17ab 97,53 1,40ab
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
Rerata derajat metaplasia pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 6.4. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji Kruskall-
Wallis tidak didapatkan perbedaan derajat metaplasia pada berbagai
kelompok perlakuan (p=0,940). Untuk paparan debu batubara 28 hari, uji
Kruskall-Wallis tidak didapatkan perbedaan ekspresi EGF pada berbagai
kelompok perlakuan (p=0,113).
64
Tabel 6.4 Derajat metaplasia pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
28 hari 0,00 0,00 12,50 13,22 21,25 6,29 20,62 23,03
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
Rerata ekspresi caspase-3 pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 6.5. Uji Kruskall-Wallis didapatkan perbedaan ekspresi
caspase-3 pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,029). Uji Mann-Whitney
didapatkan peningkatan bermakna antara kelompok kontrol dibandingkan
dosis 6,25 mg/m3 (p=0,014); kelompok kontrol dibandingkan dosis 12,5
mg/m3 (p=0,025); kelompok kontrol dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,008).
Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok
dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,755); kelompok 6,25
mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,755); kelompok dosis 12,5 mg/m3
dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,536).
Untuk paparan debu batubara 28 hari, Uji Kruskall-Wallis didapatkan
perbedaan ekspresi caspase-3 pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,007).
Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna antara kelompok
kontrol dibandingkan dosis 6,25 mg/m3 (p=0,000); kelompok kontrol
dibandingkan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,000); kelompok kontrol dibandingkan
dosis 25 mg/m3 (p=0,000); kelompok dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan dosis
12,5 mg/m3 (p=0,049); kelompok 6,25 mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3
(p=0,007). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna antara
kelompok dosis 12,5 mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,295).
65
Tabel 6.5 Ekspresi caspase-3 pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 0,00 0,00 4,50 3,10a 4,00 3,16 a 5,00 0,00 a
28 hari 0,00 0,00 5,00 0,00 a 6,00 0,81 ab 6,50 1,00 ab
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
6.3.3 Ekspresi EGF
Rerata ekspresi EGF pada berbagai paparan debu batubara disajikan
pada tabel 6.6. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji Kruskall-Wallis
tidak didapatkan perbedaan ekspresi EGF pada berbagai kelompok
perlakuan (p=0,940). Untuk paparan debu batubara 28 hari, uji ANAVA
tidak didapatkan perbedaan ekspresi EGF pada berbagai kelompok
perlakuan (p=0,647).
Tabel 6.6 Ekspresi EGF pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 214,96 36,21 732,45 498,15 205,00 39,08 284,60 90,03
28 hari 214,96 36,21 301,80 84,30 205,02 49,40 339,16 138,82
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
6.3.4 Kadar malondialdehid
Rerata kadar malondialdehid pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 6.7. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji ANAVA
didapatkan perbedaan kadar malondialdehid pada berbagai kelompok
perlakuan (p=0,000). Uji post hoc didapatkan perbedaan bermakna antar
semua kelompok perlakuan (p=0,000). Untuk paparan debu batubara 28 hari,
66
uji ANAVA didapatkan perbedaan kadar malondialdehid pada berbagai
kelompok perlakuan (p=0,000). Uji Post Hoc didapatkan perbedaan
bermakna antar semua kelompok perlakuan (p=0,000).
Tabel 6.7 Kadar MDA pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 0,0348 0,0079 0,1328 0,0043a 0,1749 0,0109ab 0,2666 0,0118abc
28 hari 0,0348 0,0079 0,1716 0,0172a 0,2451 0,0085ab 0,3048 0,0111abc
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
6.3.5 Ekspresi EGFR
Analisa confocal laser scanning microscope terhadap ekspresi EGFR
untuk paparan 14 hari berbagai dosis debu batubara dengan uji Kruskal-
Wallis tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p=0,813). Analisa
confocal laser scanning microscope terhadap ekspresi EGFR untuk paparan 28
hari berbagai dosis debu batubara dengan uji Kruskal-Wallis tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna (p=0,639).
Tabel 6.8 Ekspresi EGFR pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 745,45 168,43 709,48 497,15 789,07 275,53 694,88 225,04
28 hari 745,45 168,43 629,19 254,83 593,30 420,73 769,00 228,63
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
67
Ekspresi EGFR pada dosis 6,25 mg/m3 selama 14 hari dibandingkan
dengan kontrol didapatkan distribusi EGFR yang tidak terlokalisir, akan
tetapi terdistribusi pada seluruh parenkim paru. Ekspresi tertinggi di bagian
apical epitel bronkhiolus dan menurun pada membrana basalis. Ekspresi
dari parenkim alveolus hanya terlokalisasi sederet saja dan merata. Untuk
dosis 12,5 mg/m3 dan 25 mg/m3 selama 14 hari ditemukan ekspresi EGFR
pada epitel bronkhiolus dan ekspresi ini cenderung lebih rendah apabila
dibandingkan ekspresi di parenkim alveolus.
Gambar 6.6 Ekspresi EGFR akibat paparan debu batubara 14 hari berbagai
dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan 14 hari dosis 6,25 mg/m3; C:
paparan 14 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 14 hari dosis 25 mg/m3.
(Pengecatan dengan rhodamin, perbesaran 400 kali dengan confocal laser
scanning microscope).
Ekspresi EGFR pada dosis 6,25 mg/m3 selama 28 hari dibandingkan
dengan kontrol didapatkan distribusi EGFR di epitel bronkhiolus dengan
lokasi yang masih terlihat pada bagian apical sel epitel dan menurun ke
membrana basalis. Di parenkim alveolus terekspresi menyebar dalam
intensitas yang relatif sama dengan lokasi pada sel tertentu. Untuk dosis 12,5
mg/m3 dan 25 mg/m3 selama 28 hari ditemukan ekspresi EGFR pada epitel
bronkhiolus dan ekspresi ini cenderung lebih rendah apabila dibandingkan
ekspresi di parenkim alveolus.
A B C D
68
Gambar 6.7 Ekspresi EGFR akibat paparan debu batubara 28 hari berbagai
dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan 28 hari dosis 6,25 mg/m3; C:
paparan 28 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 28 hari dosis 25 mg/m3.
(Pengecatan dengan rhodamin, perbesaran 400 kali dengan confocal laser
scanning microscope).
6.3.6 Ekspresi MUC5AC
Ekspresi MUC5AC pada berbagai paparan debu batubara disajikan
pada tabel 6.9. Untuk paparan debu batubara 14 hari, uji Kruskall-Wallis
tidak didapatkan perbedaan ekspresi MUC5AC pada berbagai kelompok
perlakuan (p=0,566). Untuk paparan debu batubara 28 hari, uji Kruskall-
Wallis tidak didapatkan perbedaan bermakna ekspresi MUC5AC pada
berbagai kelompok perlakuan (p=0,512). Selanjutnya dengan uji Mann-
Whitney didapatkan penurunan bermakna antara kelompok kontrol
dibandingkan dosis 6,25 mg/m3 (p=0,043); kelompok kontrol dibandingkan
dosis 12,5 mg/m3 (p=0,021); kelompok kontrol dibandingkan dosis 25 mg/m3
(p=0,043). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna antara
kelompok dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,564);
kelompok dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,149);
kelompok dosis 12,5 mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,248).
A B C D
69
Tabel 6.9 Ekspresi MUC5AC pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
14 hari 265,47 58,32 181,03 138,16 208,04 116,40 147,63 110,32
28 hari 265,47 58,32 51,91 35,40a 36,35 14,21a 75,27 35,73a
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; a p<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; b p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3; c
p<0.05 dibandingkan kelompok paparan dosis 12,5 mg/m3
Ekspresi MUC5AC pada dosis 6,25 mg/m3 selama 14 hari
dibandingkan dengan kontrol didapatkan ekspresi tertinggi di bagian apical
epitel bronkhiolus dan menurun pada membrana basalis. Ekspresi dari
parenkim alveolus menyebar pada sel tertentu. Untuk dosis 12,5 mg/m3 dan
25 mg/m3 selama 14 hari ditemukan ekspresi EGFR pada epitel bronkhiolus
dan ekspresi ini cenderung lebih rendah apabila dibandingkan ekspresi di
parenkim paru.
Gambar 6.8 Ekspresi MUC5AC akibat paparan debu batubara 14 hari
berbagai dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan 14 hari dosis 6,25 mg/m3;
C: paparan 14 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 14 hari dosis 25 mg/m3.
(Pengecatan dengan FITC, perbesaran 400 kali dengan confocal laser scanning
microscope).
Ekspresi EGFR pada dosis 6,25 mg/m3 selama 28 hari dibandingkan
dengan kontrol didapatkan distribusi EGFR di epitel bronkhiolus dengan
lokasi yang masih terlihat pada bagian apical sel epitel dan menurun ke
membrana basalis. Di parenkim alveolus terekspresi menyebar dalam
A B C D
70
intensitas yang relatif sama dengan lokasi pada sel tertentu. Untuk dosis 12,5
mg/m3 dan 25 mg/m3 selama 28 hari ditemukan ekspresi EGFR pada epitel
bronkhiolus yang ekspresinya sebanding antara ekspresi di parenkim
alveolus.
Gambar 6.9 Ekspresi MUC5AC akibat paparan debu batubara 28 hari
berbagai dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan 28 hari dosis 6,25 mg/m3;
C: paparan 28 hari dosis 12,5 mg/m3; D: paparan 28 hari dosis 25 mg/m3.
(Pengecatan dengan FITC, perbesaran 400 kali dengan confocal laser scanning
microscope).
6.3.7 Uji korelasi
Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis hubungan antar berbagai
parameter. Untuk kelompok kontrol tidak didapatkan korelasi yang
bermakna antara berbagai parameter (Tabel 6.10).
Tabel 6.10 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok kontrol
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,850 0,150
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,200 0,800
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,532 0,468
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,758 0,242
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,303 0,697
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,112 0,888
Untuk kelompok paparan 14 hari dosis 6,25 mg/m3 didapatkan
korelasi positif kuat (r=1,000), secara bermakna antara ekspresi EGF dengan
ekspresi EGFR (p=0,001). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGF maka
A B C D
71
semakin tinggi ekspresi EGFR. Korelasi positif kuat (r=0,999), secara
bermakna juga didapatkan antara ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC
(p=0,001). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGFR maka semakin tinggi
ekspresi MUC5AC. Demikian halnya antara ekspresi EGF dengan ekspresi
MUC5AC juga didapatkan korelasi kuat (p=0,999) secara bermakna (p=0,001)
(Tabel 6.11).
Tabel 6.11 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 14 hari
dosis 6,25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,416 0,584
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 1,000 0,000
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC 0,999 0,001
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,392 0,608
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,999 0,001
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,417 0,583
Untuk kelompok paparan 14 hari dosis 12,5 mg/m3 tidak didapatkan
korelasi bermakna antara berbagai parameter. Untuk kelompok paparan 14
hari dosis 25 mg/m3 didapatkan korelasi positif kuat (r=0,959), secara
bermakna antara kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC (p=0,041). Artinya,
semakin tinggi kadar MDA maka semakin tinggi ekspresi MUC5AC (Tabel
6.13).
Tabel 6.12 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 14 hari
dosis 12,5 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,839 0,161
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 0,590 0,410
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC 0,556 0,444
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,297 0,703
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,946 0,054
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,501 0,499
72
Tabel 6.13 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 14 hari
dosis 25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,458 0,542
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 0,056 0,944
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,270 0,730
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,959 0,041
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,945 0,055
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,848 0,152
Untuk kelompok paparan 28 hari dosis 6,25 mg/m3 didapatkan
korelasi negatif kuat (r=-0,961) secara bermakna antara ekspresi EGF dengan
kadar MDA (p=0,039). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGF maka semakiin
rendah kadar MDA (Tabel 6.14). Untuk kelompok paparan 28 hari dosis 12,5
mg/m3 atau dosis 25 mg/m3 tidak didapatkan korelasi bermakna antar
parameter (Tabel 6.15 dan 6.16).
Tabel 6.14 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 28 hari
dosis 6,25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,860 0,140
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 0,883 0,117
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,180 0,820
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,348 0,652
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,540 0,460
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,961 0,039
Tabel 6.15 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 28 hari
dosis 12,5 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,675 0,325
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,456 0,544
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,003 0,997
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,254 0,746
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,533 0,467
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,323 0,677
73
Tabel 6.16 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan 28 hari
dosis 25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,418 0,582
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,748 0,252
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,424 0,576
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,701 0,299
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,867 0,133
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,476 0,524
6.4 Pembahasan
6.4.1 Karakteristik debu batubara
Metode yang digunakan untuk pembuatan debu batubara didapatkan
diameter debu batubara <10 m dengan bentuk partikel adalah berbagai
bentuk dan bergerombol. Sifat bergerombol diduga disebabkan oleh adanya
gaya tarik antar muatan dari atom partikel debu batubara dalam bentuk
kation atau oksoion. Diameter debu batubara <10 m yang digunakan pada
penelitian ini (gambar 5.1) lebih kecil dari diameter debu batubara penelitian
Pinho et al. (2005) (<15m). Dosis paparan debu batubara pada penelitian
didasarkan pada penelitian pendahuluan yang didukung oleh pendapat
Gurel et al. (2004) dengan rentang dosis rendah – tinggi sebesar 0,5 -12,3
mg/m3.
Debu batubara tersebut dapat masuk ke saluran nafas sampai
terakumulasi di alveolus seperti terbukti pada SEM paru. Berkaitan dengan
penimbunan debu dalam saluran pernafasan, terdapat tiga mekanisme:
Mekanisme pertama melalui inersi. Mekanisme ini terjadi pada saat udara
membelok ketika melewati jalan nafas yang berbelok, maka debu batubara
diameter kecil akan didorong oleh aliran udara. Untuk partikel debu yang
berukuran besar tidak dapat mengikuti aliran udara, akibatnya
menempel/mengendap pada tempat berlekuk dimukosa saluran nafas.
Mekanisme kedua dengan cara sedimentasi. Sedimentasi terjadi pada
74
bronkus dan bronkhiolus yang kecepatan aliran udara kurang dari 1
cm/detik (sangat rendah), akibat adanya gaya gravitasi menyebabkan
partikel debu mengendap. Mekanisme ketiga berupa gerak brown,
mekanisme ini terjadi terutama pada partikel debu yang mempunyai ukuran
0.1 m yang memungkinkan partikel debu membentur dinding alveoli dan
akhirnya tertimbun.
5.4.2 Morfologi
Debu batubara di paru menimbulkan berbagai perubahan
histopatologi berbagai bagian saluran nafas yang mendasari munculnya
berbagai penyakit paru. Perubahan patologis pada epitel bronkhiolus
mengindikasikan peningkatan respon pembersihan saluran nafas terhadap
partikel debu batubara. Peningkatan respon pembersihan debu batubara
terjadi melalui perubahan morfologi serta penataan ulang sel.
Gambaran epitel bronkhiolus pada tikus kontrol didapatkan lapisan
epitel silindris bersilia dengan sedikit sel goblet dengan ukuran tebal yang
relatif sama. Di bawah membrana basalis tampak jaringan ikat yang tipis
dan terputus-putus. Perubahan yang terjadi akibat paparan debu batubara
14 hari berbagai dosis meliputi hiperplasia pada sel epitel silindris dan sel
goblet, perubahan struktur menjadi papilifer, taburan sel radang masif, serta
penebalan jaringan ikat. Pada dosis tertinggi (25 mg/m3) ditemukan
perubahan lumen menjadi tidak intact. Demikian halnya dengan perubahan
pada paparan 28 hari. Selain itu juga didapatkan peningkatan ketebalan
epitel bronkhiolus secara bermakna pada paparan 14 hari dosis 25 mg/m3
dibandingkan kontrol. Untuk paparan 28 hari, peningkatan ketebalan epitel
secara bermakna ditemukan pada semua dosis paparan dibandingkan
kontrol.
Perubahan ini mengindikasikan penataan ulang (remodelling) seluler
dalam rangka respon adaptif terhadap paparan debu batubara. Perubahan
75
epitel silindris dan sel goblet bertujuan untuk meningkatkan sekresi musin
yang bermanfaat dalam pengeluaran partikel debu. Perubahan papilifer
bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan sehingga mengurangi lokasi
kontak dengan partikel debu batubara, meskipun tergantung kepada ukuran
partikel debu batubara. Taburan sel radang masif mengindikasikan
peningkatan respon fagositosis debu batubara serta inflamasi, yang
dibuktikan terdapat perbedaan bermakna pada paparan 14 hari dan 28 hari.
Apabila kemampuan fagositosis mengalami frustasi akan menimbulkan
perubahan pada jaringan paru atau translokasi debu batubara ke
kompartemen lain.
Apoptosis, merupakan program kematian sel yang paling umum dan
telah didefinisikan dengan baik, adalah proses fisiologis eliminasi sel yang
penting untuk menjaga perkembangan embrio dan homeostasis sel. Telah
disepakati bahwa populasi sel diatur sangat ketat melalui kecepatan
proliferasi, diferensiasi dan kematian. Disfungsi dari salah satu proses ini
menyebabkan pertumbuhan atau kematian sel yang tidak terkendali. Akan
tetapi, derajat proliferasi dan/atau kematian sel yang harus terjadi sebelum
pembentukan tumor masih belum jelas. Analisis protein yang berhubungan
dengan apoptosis sangat penting, mengingat peran kuncinya dalam
karsinogenesis (Fan et al,. 2011).
Caspase-3 merupakan downstream efektor sistein protease dalam
pathway apoptosis. Korelasi positif atau negatif ekspresi caspase-3 pada
berbagai tumor telah dilaporkan (Fan et al,. 2011). Pada penelitian ini,
paparan debu batubara meningkatkan ekspresi caspase-3. Semakin tinggi
dosis debu batubara maka semakin tinggi ekspresi caspase-3. Hal ini
mengindikasikan bahwa paparan debu batubara dapat memicu jalur
intrinsik apoptosis. Kemampuan debu batubara dalam memicu jalur
intrinsik disebabkan oleh kandungan mineral anorganik yang memicu stres
oksidatif terhadap mitokondria.
76
5.4.3 Inflamasi
Kemokin, sitokin, dan growth factor berperan penting dalam onset,
progresi dan terminasi dari reaksi paparan debu batubara terhadap paru (
Schins & Borm, 2001). Growth factors merupakan polipeptida berat molekul
kecil yang bekerja pada berbagai tipe sel untuk kepentingan proliferasi
(Gulumian et al., 2006). Epidermal growth factor (EGF) adalah protein
monomerik non-glikosilasi 6 kDa yang mengandung 53 asam amino sebagai
ligand terhadap EGFR (Harris et al., 2003). Pada penelitian ini, paparan debu
batubara meningkatkan jumlah makrofag alveolus secara bermakna. Hal ini
mengindikasikan bahwa debu batubara dapat memicu peningkataan
makrofag paru.
Sintesis musin di saluran nafas merupakan hasil regulasi EGFR.
Secara mendasar terdapat dua mekanisme aktivasi EGFR, bergantung
kepada ligand dan tidak bergantung kepada ligand. Mekanisme bergantung
ligand diaktivasi oleh EGF. Mekanisme tidak bergantung ligand diaktivasi
oleh hidrogen peroksida atau stres oksidatif. Produk dari aktivasi EGFR
adalah ekspresi gen musin, yakni MUC5AC (Kim et al, 2004).
Pada penelitian ini didapatkan ketidakbermaknaan ekspresi EGF
pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari. Pelepasan domain pro-EGF
ekstraseluler menjadi EGF matur dimediasi oleh metalloproteinase dari
famili ADAM, terutama ADAM 10 (Dreux et al., 2006). Famili ADAM
merupakan anggota zinc metalloproteinase, dan aktivitas katalitiknya
bergantung kepada aktivasi “zinc bound water” yang akan memicu serangan
nukleofilik pada rantai punggung amida dari substrat protein. Mekanisme
inhibisi terjadi apabila terdapat penggantian “zinc bound water” oleh residu
sistein, yang dikenal sebagai “the cysteine switch” (Moss et al., 2007). Tidak
terdapatnya perbedaan bermakna pada paparan debu batubara berbagai
dosis disebabkan oleh adanya “the cysteine switch” yang menghambat
77
pelepasan EGF. Komponen debu batubara yang terlibat dalam mekanisme
ini adalah sulfur melalui pembentukan kompleks dengan zinc
metalloproteinase (kompleks ZnS). Pada kelompok kontrol, keberadaan
prodomain akan menghambat pelepasan EGF.
5.4.4 Stres oksidatif
Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat komplek akibat
reaksi asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel
dengan senyawa oksigen reaktif membentuk hidroperoksida. Senyawa
oksigen reaktif ialah senyawa turunan oksigen yang lebih reaktif
dibandingkan oksigen pada kondisi dasar (ground state). Peroksidasi lipid
merupakan marker stres oksidatif. Peroksidasi lipid akibat paparan debu
batubara telah diungkap pada berbagai penelitian. Penelitian Pinho et al.,
(2005) didapatkan peningkatan pembentukan Thiobarbituric Acid Reactive
Substance (TBARS) pada paru tikus yang diberikan debu batubara melalui
instilasi intratrakea. Penelitian Armutcu et al., (2007) juga didapatkan
peningkatan kadar malondialdehid (MDA) paru dan plasma pada tikus
yang terpapar debu batubara di tambang bawah tanah selama 1, 2 dan 4
minggu.
Pada penelitian didapatkan peningkatan kadar MDA secara
bermakna pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari berbagai dosis.
Semakin tinggi dosis maka semakin tinggi stres oksidatif. Terdapat dua
mekanisme peningkatan stres oksidatif akibat paparan debu batubara.
Pertama, mekanisme non seluler yang melibatkan kandungan partikel debu
batubara sebagai pemicu pembentukan senyawa oksigen reaktif (Gurel et al.,
2004). Komponen batubara yang dapat memicu pembentukan senyawa
oksigen reaktif, antara lain Fe, V, Ti (Halliwell & Gutteridge, 1999) serta Ni,
Cu, dan Mn (Armutcu et al., 2007). Kedua, mekanisme seluler yang
78
melibatkan aktivasi neutrofil dan makrofag selama fagositosis (respiratory
burst) (Gurel et al., 2004).
5.4.5 Metaplasia
Bukti yang menunjukkan karsinogenisitas debu batubara pada
manusia dan hewan coba belum adekuat sehingga debu batubara belum
diklasifikasikan sebagai karsinogen (Kolling et al., 2011). Meskipun demikian
rangkaian prose menuju kanker melibatkan tahap metaplasia-displasia-
kanker (Delvenne et al., 2004). Metaplasia epitel adalah proses adaptif akibat
transformasi satu tipe sel epitel menjadi tipe sel yang lain dengan struktur
dan fungsi yang berbeda (Herfs et al., 2009; Slack & Tosh, 2001; Slack, 2007).
Perilaku sel dalam menerima paparan debu batubara bertujuan
sebagai proses adaptif dan homeostasis yang melibatkan perubahan struktur
sel dan perubahan fungsi sel. Dengan demikian, penentuan metaplasia sel
merupakan gabungan dari perubahan struktur sel yang dinilai secara
morfologi serta perubahan fungsi sel yang dinilai dengan perubahan
ekspresi protein. Pada penelitian ini, analisa morfologi sel telah didapatkan
perubahan metaplasia pada paparan 14 hari dan 28 hari. Penilaian derajat
metaplasia dengan skoring belum didapatkan perbedaan bermakna,
meskipun ada peningkatan pada paparan 28 hari dibandingkan kontrol.
Sementara itu, perubahan ekspresi MUC5AC sebagai market terkait fungsi
sel baru diperoleh perubahan (penurunan secara bermakna) pada paparan
28 hari. Artinya, pada penelitian ini lama paparan debu batubara yang
memicu metaplasia adalah 28 hari.
Paparan debu batubara selama 28 hari berbagai dosis menurunkan
ekspresi MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol. Demikian pula
pada paparan 14 hari juga terdapat kecenderungan penurunan ekspresi
MUC5AC. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen debu batubara dapat
menghambat sinyal downstream EGFR. Komponen anorganik tertinggi dari
79
debu batubara adalah besi (36,9%). Pada penelitian Baldys & Aust (2004)
disimpulkan bahwa besi mampu menghambat aktivasi EGFR sehingga
menekan sinyal downstream pembentukan MUC5AC. Pada penelitian ini,
ekspresi EGFR untuk paparan 14 hari dan 28 hari berbagai dosis debu
batubara tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.
5.4.6 Uji korelasi
Untuk kelompok paparan dosis 6,25 mg/m3 14 hari didapatkan
korelasi positif kuat (r=1,000), secara bermakna antara ekspresi EGF dengan
ekspresi EGFR (p=0,001). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGF maka
semakin tinggi ekspresi EGFR. Korelasi positif kuat (r=0,999), secara
bermakna juga didapatkan antara ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC
(p=0,001). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGFR maka semakin tinggi
ekspresi MUC5AC. Demikian halnya antara ekspresi EGF dengan ekspresi
MUC5AC juga didapatkan korelasi kuat (p=0,999) secara bermakna
(p=0,001). Hal ini mengindikasikan bahwa pada paparan debu batubara
dosis 6,25 mg/m3 selama 14 hari, sinyal yang memicu ekspresi MUC5AC
berasal dari aktivasi EGFR oleh ligand EGF. Dengan demikian, pada
kelompok ini, mekanisme ekspresi MUC5AC berlangsung bergantung
ligand. Pada kelompok kontrol atau dosis yang lain, mekanisme ekspresi
MUC5AC terjadi melalui pathway yang lain.
Untuk kelompok paparan 14 hari dosis 25 mg/m3 didapatkan korelasi
positif kuat (r=0,959), secara bermakna antara kadar MDA dengan ekspresi
MUC5AC (p=0,041). Artinya, semakin tinggi kadar MDA maka semakin
tinggi ekspresi MUC5AC. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspresi
MUC5AC berhubungan dengan stres oksidatif, akan tetapi melalui
mekanisme di luar sinyal EGFR.
Senyawa oksigen reaktif berkontribusi terhadap regulasi growth factor,
antara lain aktivasi dan fungsi transforming growth factor- (TGF-) dan
80
platelet derived growth factor (PDGF). Senyawa oksigen reaktif dapat
mengaktivasi TGF- dan PDGF serta reseptornya, dan sebaliknya TGF- dan
PDGF mendukung pembentukan senyawa oksigen reaktif (Vuorinen et al.,
2008). Untuk kelompok paparan 28 hari dosis 6,25 mg/m3 didapatkan
korelasi negatif kuat (r=-0,961) secara bermakna antara ekspresi EGF dengan
kadar MDA (p=0,039). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGF maka semakin
rendah kadar MDA. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan ekspresi
EGF akan menurunkan stres oksidatif.
5.5 Kesimpulan
Lama paparan debu batubara yang bersifat non metaplasia adalah paparan
kurang dari 28 hari.
Daftar Pustaka
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
Baldys A, Aust AE. 2004. Role of iron in inactivation of epidermal growth
factor receptor after asbestos treatment of human lung and pleural
target cells. American Journal Respiratory Cell Molecular Biology;
32:436-442.
Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. 1995. Hydroxyl
radical generation by coal mine dust: possible implication to coal
worker’s pneumoconiosis. Free Radical Biology Medicine; 18(5):1-20.
Delvenne P, Hubert P, Jacobs N. 2004. Epitel metaplasia: an inadequate
environment for antitumor immunity. Trends in Immunology;
25(4):169-173.
Dreux AC, Lamb DJ, Modjtahedi H, Ferns GA. 2006. The epidermal growth
factor receptors and their family of ligands: their putative role in
atherogenesis. Atherosclerosis; 186(1):38-53.
81
Fan C, Xu H, Lin X, Yu J, Wang F. 2011. A multiple marker analysis of
apoptosis-associated protein expression in non-small cell lung cancer
in a Chinese population. Folia Histochemica et Cytobiologica;
49(2):231-239.
Gulumian M, Born PJA, Vallyathan V, Castranova V, Donaldson K, Nelson
G, Murray J. 2006. Mechanistically identified suitable biomarkers of
exposure, effect, and susceptibility for silicosis and coal-worker’s
pneumoconiosis: a comprehensive study. Journal Toxicology &
Environmental Health Part B; 9:357-395.
Gurel A, Armutcu F, Damatoglu S, Unalacak M. Demircan N. 2004.
Evaluation of erythrocyte Na+, K+, ATPase and superoxide dismutase
activities and malondialdehyde level alteration in coal miners.
European Journal Genetic Medicine; 1(4):22-28.
Harris RC, Chung E, Coffey RJ. 2003. EGF receptor ligands. Experimental
Cellular Research; 284(1):2-13.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1999. Free radical in biology and medicine. 3rd
Edition. Oxford: University Press.
Herfs M, Hubert P, Delvenne P. 2009. Epitel metaplasia: adult stem cell
repropgramming and pre(neoplastic) transformation mediated bya
inflammation. Trends in Molecular Medicine; 15(6):245-253.
Huang X, Finkelman RB. 2008. Understanding the chemical properties of
macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. Journal of Toxicology and
Environmental Health Part B; 11(1):45-67.
Huang X, Zhang Q. 2003. Coal-induced interleukin-6 gene expression is
mediated through ERKS and p38 MAPK pathways. Toxicology and
Applied Pharmacology; 191:40-47.
Kim JH, Lee SY, Bak SM, Suh IB, Lee SY, Shin C, Shim JJ, In KH, Kang KH,
Yoo SH. 2004. Effects of matrix metalloproteinase inhibitor on LPS-
induced goblet cell metaplasia. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 287:127-133.
Kim V, Rogers TJ, Criner GJ. 2008. New concepts in the pathobiology of
chronic obstructive pulmonary disease. Proceedings American
Thoracic Society; (5):478–485.
Kolling A, Ernst H, Rittinghausen S, Heinrich U. 2011. Relationship of
pulmonary toxicity and carcinogenicity of fine and ultrafine granular
dust in a rat bioassay. Inhalation Toxicology; 23(9):544-554.
Martin JC, Daniel H, LeBouffent L. Short and long term experimental study
of the toxicity of coal-mine dust of some of its constituents, In Walton
WH, editor, Inhaled particle IV. Oxford: Pergamon Press. 1977: 361-
370.
Moss ML, Bomar M, Liu Q, Dempsey P, Lemhart PM, Gillispie PA, Stoeck A,
Wildeboer D, Bartsch JW, Palmisano R, Zhou P. 2007. The ADAM10
82
prodomain is a specific inhibitor of ADAM10 proteolytic activity and
inhibits cellular sheding events. Journal Biological Chemistry;
282(49):35712-35721.
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
Pott F, Roller M, Althoff GH, Rittinghausen S, Ernst H, Mohr U. 2000. Lung
tunors in rats after repeated intratracheal instillation of coal dust. In:
Heinrich U, Mohr U, editors. ILSI monograph Relationships between
acute and chronic effects of air pollution. Wahington, DC: ILSI Press:
409-414.
Schins RPF, Borm PJA. 1999. Mechanisms and mediators in coal dust
induced toxicity: a review. Annual Occupational Hygiene; 43(1):7-33.
Slack JM, Tosh D. 2001. Transdifferentiation and metaplasia– switching cell
types. Current Opinion Genetic Development; 11:581–586.
Slack JM. 2007. Metaplasia and transdifferentiation: from pure biology to the
clinic. Nature Review Molecular Cellular Biology; 8:369–378.
Vuorinen K, Ohlmeier S, Lepparanta O, Salmenkivi K, Myllarniemi M,
Kinnula VL. 2008. Peroxiredoxin II expression and its association with
oxidative stress and cell proliferation in human idiopathic pulmonary
fibrosis. Journal of Histochemistry & Cytochemistry; 56(10): 951-959.
83
BAB 7
Asap rokok, debu batubara, dan progresi
metaplasia
84
7. 1 Latar belakang
Penelitian epidemiologis mengindikasikan bahwa kanker paru pada
pekerja tambang batubara perokok lebih sedikit dibandingkan populasi
umum setelah setelah adjusment umur dan merokok. Meskipun demikian,
paparan debu batubara berhubungan dengan jaringan parut paru (fibrosis),
inflamasi, dan akumulasi partikel dalam makrofag alveoler. Sebagian besar
penelitian kanker paru pada pekerja tambang kesulitan untuk interpretasi
akibat keterbatasan epidemiologi dan kurang adekuatnya mengendalikan
perilaku merokok (Ghanem et al., 2004).
Asap rokok mengandung gas dan bahan kimia toksik dan atau
karsinogenik. Komposisi kimia asap rokok bergantung pada (a) jenis
tembakau (b) disain rokok, seperti ada/tidaknya filter dan (c) pola merokok
individu. Jika satu batang rokok dibakar, akan dihasilkan kira-kira 500 mg
gas (92%) dan sisanya bahan-bahan partikel padat (8%). Sebagian besar fase
gas adalah CO2, O2 dan N2. Asap rokok mengandung sekitar 1015-17
oksidan/radikal bebas dan 4700 senyawa kimia. Senyawa toksik derivat
merokok antara lain hidrokarbon aromatik terbukti menjadi karsinogenesis
paru (Yoshino & Maehara, 2007).
Kanker paru, merupakan salah satu penyakit terkait merokok,
menjadi penyebab kematian akibat kanker dengan insidensi yang meningkat
(Yoshino & Maehara, 2007). Pada berbagai penelitian telah dibuktikan
peranan asap rokok dalam peningkatan insidensi kanker pada individu yang
terpapar asbes (Mossman et al, 1996; Mossman & Churg 1998; Nelson et al.,
2002). Paparan asap rokok sebelum paparan naftalen dapat mengganggu
perbaikan sel epitel bronkial, berupa menetapnya sel skuamosa di
bronkhiolus terminalis (Plopper et al., 2001). Hal ini mengindikasikan bahwa
paparan kombinasi antara asap rokok dengan toksikan lain akan memicu
karsinogenisitas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menganalisis
mekanisme karsinogen akibat paparan asap rokok dan debu batubara.
85
Merokok menyebabkan inflamasi paru akibat influks makrofag,
neutrofil, sel dendritik, dan limfosit T CD8 sebagai sumber mediator
inflamasi. Merokok juga menimbulkan stres oksidatif` (Sato et al., 2006).
Inflamasi dan stres oksidatif tersebut mendasari metpalsia sebagai proses
paling awal sebelum munculnya kanker paru.
Ekspresi EGFR pada epitelium bronkial meningkat akibat aktivasi
neutrofil dan aktivasi tirosin kinase EGFR oleh ligandnya. Selanjutnya akan
terjadi hipersekresi mukus dan metaplasia sel goblet. Pada penelitian in vitro
dan in vivo didapatkan bahwa sitokin proinflamasi akan mengupregulasi
ekspresi EGFR (TGF- atau EGF) untuk induksi metaplasia. Aktivasi EGFR
dapat terjadi melalui autofosforilasi (bergantung ligan) atau transaktivasi
(tidak bergantung ligand). Selanjutnya, aktivasi EGFR akan menginduksi
gen musin MUC5AC dan ekspresi protein MUC5AC serta metaplasia sel
goblet secara (Kim et al., 2004).
Berdasarkan kajian di atas, asap rokok telah dibuktikan mampu
memicu metaplasia paru. Di Kalimantan Selatan, perilaku pekerja terpapar
debu batubara menempatkan individu pada paparan toksikan gabungan
antara asap rokok dan debu batubara. Untuk menghentikan individu dari
kebiasaan merokok acapkali menemui kesulitan sehingga pembatasan
jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari diharapkan mengurangi efek
yang akan muncul. Oleh karena itu, berdasarkan lama paparan debu
batubara non metaplasia di tahap penelitian 1 (Bab 6), akan dikombinasikan
dengan paparan asap rokok untuk memberikan jawaban permasalahan,
“Apakah asap rokok mampu meningkatkan kejadian metaplasia akibat
paparan debu batubara?.”
7.2 Metode
Penelitian ini bertujuan menganalisis mekanisme efek interaksi
paparan asap rokok dan debu batubara dalam memicu metaplasia paru
86
melalui melalui peningkatan inflamasi (kadar EGF) dan peningkatan stres
oksidatif (kadar MDA), untuk aktivasi sinyal EGFR dan ekspresi MUC5AC.
Berdasarkan penelitian tahap 1 (Bab 6) ditentukan bahwa paparan debu
batubara yang menyebabkan metaplasia adalah paparan 28 hari. Oleh
karena itu paparan non metaplasia kurang dari 28 hari dan ditetapkan pada
paparan 21 hari.
7.3 Hasil penelitian
7.3.1 Karakteristik asap rokok
Penelitian ini menggunakan rokok kretek. Merek rokok yang
digunakan adalah “Trubus Alami” produksi Tulungagung. Kandungan tar
dalam rokok yang digunakan sebesar 2,90 mg dan nikotin sebesar 44,30 mg.
Kadar CO dalam asap rokok sebesar 102,3 ppm.
7.3.2 Morfologi
Morfologi paru akibat paparan asap rokok dan debu batubara
ditampilkan di gambar 7.1. Setelah dilakukan paparan 21 hari batubara
dengan asap rokok tampak perubahan morfologi dengan gambaran
peradangan hebat, masif, dan mukus yang berlebih, dan menutupi lumen
serta metaplasia. Tampak pelebaran lumen dikelilingi sel radang, pada
bagian alveolus peradangan semakin hebat dengan pelebaran lumen alveoli
dan tampak jembatan epitelial alveolus yang hilang sehingga terjadi
emfisema lokal. Diluar lumen terjadi fibrogenesis sehingga lumen dikelilingi
jaringan ikat fibrosa yang semakin dominan sesuai dosis paparan.
87
Gambar 7.1 Gambaran histopatologis bronkhiolus paru akibat paparan asap
rokok dan debu batubara 21 hari. Keterangan gambar, perbesaran 200 kali A:
kontrol; B: paparan 21 hari dosis 6,25 mg/m3; C: paparan 21 hari dosis 12,5
mg/m3; D: paparan 21 hari dosis 25 mg/m3 (Pewarnaan H&E, perbesaran
1000 x; Skala 50 m).
Uji Kruskall-Wallis tidak didapatkan perbedaan ketebalan epitel
bronkhiolus pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,482). Uji Kruskall-
Wallis tidak didapatkan perbedaan jumlah makrofag pada berbagai
kelompok perlakuan (p=0,068).
Tabel 7.1 Ketebalan epitel pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 4,43 3,41 3,75 2,50 2,50 2,16 1,84 1,25
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
Tabel 7.2 Jumlah makrofag pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 0,00 0,00 29,00 19,38 33,01 22,06 35,58 23,73
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
A B C D
88
Uji Kruskall-Wallis tidak didapatkan perbedaan derajat metaplasia
pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,068).
Tabel 7.3 Derajat metaplasia pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 0,00 0,00 24,37 20,45 37,50 38,13 54,37 44,55
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
Rerata ekspresi caspase-3 pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 7.4. Uji Kruskall-Wallis didapatkan perbedaan
bermakna ekspresi caspase-3 pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,043).
Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna antara kelompok
kontrol dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25 mg/m3
(p=0,011); kelompok kontrol dibandingkan kelompok asap rokok + debu
batubara dosis 12,5 mg/m3 (p=0,046); kelompok kontrol dibandingkan
kelompok asap rokok + debu batubara dosis 25 mg/m3 (p=0,011). Uji Mann-
Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok asap
rokok + debu batubara dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan kelompok asap rokok
+ debu batubara dosis 12,5 mg/m3 (p=0,011); kelompok asap rokok + debu
batubara dosis 6,25 mg/m3 dibandingkan kelompok asap rokok + debu
batubara dosis 25 mg/m3 (p=1,000); kelompok asap rokok + debu batubara
dosis 12,5 mg/m3 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara dosis
25 mg/m3 (p=0,874).
89
Tabel 7.4 Caspase-3 pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 0,00 0,00 6,25 0,50a 5,00 3,36a 6,25 0,50a
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
7.3.3 Ekspresi EGF
Rerata ekspresi EGF pada berbagai paparan debu batubara disajikan
pada tabel 7.5. Untuk paparan asap rokok dan debu batubara 21 hari, uji
Kruskall-Wallis didapatkan perbedaan ekspresi EGF pada berbagai
kelompok perlakuan (p=0,028). Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan
ekspresi EGF secara bermakna antara kelompok kontrol dibandingkan
kelompok asap rokok + debu batubara 12,5 mg/m3 (p=0,021) dan kelompok
asap rokok + debu batubara 6,25 mg/m3 dibandingkan kelompok asap rokok
+ debu batubara 12,5 mg/m3 (p=0,21). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan
perbedaan ekspresi EGF secara bermakna antara kelompok kontrol
dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25 mg/m3 (p=0,468);
kelompok kontrol dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 25
mg/m3 (p=0,149); kelompok asap rokok + debu batubara 6,25 mg/m3
dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 25 mg/m3 (p=0,149).
90
Tabel 7.5 Ekspresi EGF pada paparan asap rokok & paparan debu batubara
21 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 103,66 7,75 108,14 7,41 129,63 20,94ab 125,05 22,34
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05
dibandingkan kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap
rokok + debu batubara 6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap
rokok + debu batubara 6,25 mg/m3
7.3.4 Kadar malondialdehid
Rerata kadar malondialdehid pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 7.6. Uji ANAVA didapatkan perbedaan kadar
malondialdehid pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,000). Uji Post Hoc
didapatkan perbedaan bermakna antar semua kelompok perlakuan
(p=0,000).
Tabel 7.6 Kadar MDA pada paparan asap rokok & debu batubara 21 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6.25 mg/m3 12.5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 0,0348 0,0079 0,1117 0,0087a 0,1592 0,0032ab 0,2052 0,0068abc
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
7.3.5 Ekspresi EGFR
Analisa confocal laser scanning microscope terhadap ekspresi EGFR
untuk paparan asap rokok dan debu batubara 21 hari disajikan pada tabel
7.7. Uji Kruskall-Wallis tidak didapatkan perbedaan bermakna antar
kelompok perlakuan (p=0,736).
91
Tabel 7.7 Ekspresi EGFR pada paparan asap rokok & debu batubara 21 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 745,45 168,43 1003,75 479,53 716,94 175,08 632,43 109,62
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
Gambar 7.2 Ekspresi EGFR akibat paparan asap rokok dan debu batubara 21
hari berbagai dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan asap rokok dan debu
batubara 21 hari (dosis 6,25 mg/m3); C: paparan asap rokok dan debu
batubara 21 hari (dosis 12,5 mg/m3); D: paparan asap rokok dan debu
batubara 21 hari (dosis 25 mg/m3). Pengecatan dengan rhodamin, perbesaran
400 kali dengan confocal laser scanning microscope.
7.3.6 Ekspresi MUC5AC
Ekspresi MUC5AC pada paparan asap rokok + debu batubara
berbagai dosis disajikan pada tabel 7.8. Uji Kruskall-Wallis didapatkan
perbedaan bermakna ekspresi MUC5AC pada berbagai kelompok perlakuan
(p=0,000). Uji Mann-Whitney didapatkan penurunan bermakna antara
kelompok kontrol dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,043); kelompok dosis
6,25 mg/m3 dibandingkan dosis 12,5 mg/m3 (p=0,021); kelompok dosis 6,25
mg/m3 dibandingkan dosis 25 mg/m3 (p=0,043). Uji Mann-Whitney tidak
didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dibandingkan
dosis 6,25 mg/m3 (p=0,386); dan antara kelompok kontrol dibandingkan
dosis 12,5 mg/m3 (p=0,083).
A B C D
92
Tabel 7.8 Ekspresi MUC5AC pada asap rokok & paparan debu batubara 21 hari
Dosis paparan debu batubara
Paparan 0 mg/m3 6,25 mg/m3 12,5 mg/m3 25 mg/m3
21 hari 0,80 0,28 0,65 0,10 0,39 0,11b 0,40 0,11ab
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok kontrol; bp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara
6,25 mg/m3; cp<0.05 dibandingkan kelompok asap rokok + debu batubara 6,25
mg/m3
Gambar 7.3 Ekspresi MUC5AC akibat paparan asap rokok dan debu
batubara 21 hari berbagai dosis. Keterangan A: kontrol; B: paparan asap
rokok dan debu batubara 21 hari (dosis 6,25 mg/m3); C: paparan asap rokok
dan debu batubara 21 hari (dosis 12,5 mg/m3); D: paparan asap rokok dan
debu batubara 21 hari (dosis 25 mg/m3). Pengecatan dengan FITC,
perbesaran 400 kali dengan confocal laser scanning microscope.
7.3.7 Uji korelasi
Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis hubungan antar berbagai
parameter. Untuk kelompok kontrol tidak didapatkan korelasi bermakna
antar parameter. Demikian pula untuk paparan asap rokok dan debu
batubara berbagai dosis juga tidak didapatkan korelasi bermakna antar
parameter (p>0,05).
A B C D
93
Tabel 7.9 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok kontrol
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,850 0,150
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,200 0,800
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,532 0,468
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,758 0,242
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,303 0,697
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,112 0,888
Tabel 7.10 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan asap rokok
dan debu batubara 21 hari dosis 6,25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR 0,687 0,313
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,177 0,823
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,020 0,980
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,619 0,381
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,900 0,100
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,268 0,732
Tabel 7.11 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok paparan asap rokok
dan debu batubara 21 hari dosis 12,5 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,478 0,522
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,166 0,834
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC 0,829 0,171
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,690 0,310
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,637 0,363
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,843 0,157
Tabel 7.12 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok kelompok paparan
asap rokok dan debu batubara 21 hari dosis 25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,792 0,208
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 0,508 0,492
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,064 0,931
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,291 0,709
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,496 0,504
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,921 0,079
94
7.4 Pembahasan
7.4.1 Karakteristik asap rokok
Apabila satu batang rokok dibakar, akan dihasilkan kira-kira 500 mg
gas (92%) dan sisanya partikel padat (Yoshino & Maehara, 2007). Asap rokok
juga mengandung asetaldehide, hidroquinon, formaldehid, benzo(a)pyrene,
cresol, nikotin, katekol, akrolein, coumarin, anthracen, nitrogen oksida dan
logam berat (Gensch et al., 2004). Pada penelitian ini, kandungan tar asap
rokok sebesar 2,90 mg dan nikotin sebesar 44,30 mg. Kandungan tar dan
nikotin yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah dari rokok di
penelitian Zhang et al., (2008) sebesar 13 mg (tar). Untuk nikotin, lebih tinggi
dari di penelitian Zhang et al., (2008) sebesar 1,4 mg (nikotin). Tar
mengandung radikal stabil dalam konsentrasi tinggi, yang secara terus
menerus tersimpan dalam paru perokok.
7.4.2 Morfologi
Setelah dilakukan paparan 21 hari batubara dengan asap rokok dan
debu batubara tampak perubahan morfologi bronkhiolus meliputi dengan
peradangan hebat, masif, dan sekresi mukus yang menutupi lumen serta
gambaran metaplasia. Tampak pelebaran lumen dengan dikelilingi sel-sel
radang, Pada bagian alveolus peradangan semakin hebat dengan pelebaran
lumen alveoli dan tampak septum interalveolus yang putus sehingga terjadi
emfisema lokal. Diluar lumen terjadi fibrogenesis sehingga lumen dikelilingi
jaringan ikat fibrosa yang semakin dominan sesuai dosis paparan.
Pada penelitian Zhang et al. (2008) yang memaparkan asap rokok
selama 1 bulan, 2 bulan, dan 4 bulan. Pada paparan 1 bulan didapatkan
hiperplasia sel goblet, sekresi mukus pada epitel saluran nafas, dan
kerusakan septum interalveoler. Sementara itu, untuk paparan 4 bulan
didapatkan serat kolagen yang mengisi interstitium alveolus. Pada
penelitian ini didapatkan gambaran morfologi yang mirip dengan penelitian
95
di atas (paparan 1 bulan). Percepatan fibrogenesis paru dalam penelitian ini
disebabkan oleh dua hal, yakni interaksi asap rokok dan debu batubara dan
tingginya kandungan bahan aktof di asap rokok.
Pada penelitian ini, paparan debu batubara dan asap rokok
meningkatkan ekspresi caspase-3 secara bermakna. Hal ini mengindikasikan
komponen kombinasi debu batubara dan asap rokok akan memicu jalur
intrinsik apoptosis.
7.4.3 Inflamasi
Inflamasi paru didefinisikan sebagai kluster kecil sel inflamasi di
dalam aleveoli yang terdiri atas makrofag alveolar dan limfosit. Inflamasi
mempunyai tujuan spesifik. Inflamasi akut bertujuan untuk perlindungan
organ terhadap kerusakan, akan tetapi inflamasi kronis berhubungan
dengan perkembangan penyakit (Carter & Misra, 2010). Pada penelitian ini,
papran kombinasi debu batubar dan asap rokok tidak meningkatkan jumlah
makrofag. Hal ini mengindikasikan kemampuan bahan aktif kombinasi
dalam memicu apoptosis makrofag. Pada penelitian ini, paparan asap rokok
disertai paparan debu batubara dosis 12,5 mg/m3 menyebabkan peningkatan
ekspresi EGF secara bermakna dibandingkan kontrol. Pada penelitian tahap
1 telah dibuktikan bahwa paparan debu batubara tidak menyebabkan
peningkatan ekspresi EGF secara bermakna. Dengan demikian, interaksi
asap rokok dengan debu batubara dosis 12,5 mg/m3 menyebabkan
peningkatan pelepasan domain pro-EGF ekstraseluler menjadi EGF matur
yang dimediasi oleh metalloproteinase dari famili ADAM, terutama ADAM
10 (Dreux et al, 2006). Berbagai penelitian telah membuktikan peningkatan
aktivitas matriks metalloproteinase akibat paparan asap rokok (Carter &
Misra, 2010). Penelitian Zhang et al. (2005) dibuktikan bahwa asap rokok
mengaktivasi MMP untuk pelepasan EGF, selanjutnya memicu fosforilasi
EGFR untuk aktivasi MAPK. Pada penelitian ini, ekspresi EGFR tidak
96
berbeda bermakna pada berbagai kelompok perlakuan sehingga
peningkatan EGF tidak diikuti oleh upregulasi EGFR.
7.4.4 Stres oksidatif
Pada penelitian ini terbukti bahwa paparan asap rokok dan debu
batubara meningkatkan stres oksidatif paru (p=0,000). Hal ini
mengindikasikan bahwa komponen asap rokok dan komponen debu
batubara akan berinteraksi untuk memicu stres oksidatif. Asap rokok
mengandung 1017 molekul oksidan setiap hisapan, pada main stream maupun
side stream (Anto et al, 2002). Fase gas dan fase partikulat dari asap rokok
mengandung nitrit oksida, radikal superoksida, dan radikal peroksil organik
(Bielicki et al., 1995; Anto et al., 2002). Radikal pada fase gas sangat reaktif
dan mempunyai waktu paruh yang cepat. Radikal pada fase partikulat
relatif stabil, dan terdiri atas kompleks hidroquinone-semiquinon-quinon.
Kompleks ini merupakan sistem redoks aktif yang dapat mereduksi molekul
oksigen membentuk radikal superoksida. Selain itu, asap rokok juga
mengandung logam, antara lain nickel dan cadmium yang bersifat long lived
(Anto et al., 2002).
Radikal bebas dari asap rokok akan berinteraksi dengan antioksidan
di cairan pelapis epitel di epitel saluran nafas dan membran sel secara
langsung untuk memicu kerusakan (van der Toorn et al., 2009). Penelitian
Sato et al. (2006) didapatkan peningkatan kerusakan oksidatif di jaringan
paru meliputi peroksidasi lipid (MDA).
Inhalasi kronik debu batubara akan membentuk senyawa oksigen
reaktif melalui mekanisme secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme
langsung melibatkan komponen bioaktif yang dikandung oleh debu
batubara, dan secara tidak langsung melalui ledakan oksidatif selama
aktivasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear (Nadif et al., 2005; Armutcu
et al., 2007).
97
Pada mekanisme langsung, kapasitas oksidatif dari komponen
bioaktif debu batubara utamanya disebabkan oleh kandungan logam
transisi, meliputi Fe, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, dan silika. Beberapa metal
tersebut dapat mengkatalisis reaksi Fenton untuk menghasilkan senyawa
oksigen reaktif (Armutcu et al., 2007). Pada penelitian Altin et al (2004) yang
membandingkan stres oksidatif antara indidvidu sehat dengan pekerja
tambang batubara didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan sangat
bermakna pada kadar MDA plasma.
Pada mekanisme tidak langsung, selama fagositosis partikel
terinhalasi, terjadi pembentukan radikal superoksida yang akan mengalami
dismutasi membentuk hidrogen peroksida. Apabila terdapat ion metal
transisi, misalnya ion Fe atau Cu, maka hidrogen peroksida dikonversi
menjadi radikal hidroksil (reaksi Fenton atau Haberr-Weiss). Pembentukan
senyawa oksigen reaktif yang berlebih akan melampaui kemampuan
kapasitas antioksidan sehingga terjadi stres oksidatif paru. Selanjutnya,
produksi enzim proteolitik dan elastase, bersama dengan senyawa oksigen
reaktif akan mendenaturasi protein, merusak karbohidrat, peroksidasi lipid,
dan konsekuensinya memicu perubahan, misalnya fibrosis (Altin et al., 2004).
Fibrosis yang ditemukan pada penelitian ini berhubungan dengan stres
oksidatif.
7.4.5 Metaplasia
Apabila dibandingkan dengan bukan perokok, resiko insidensi
kanker paru pada perokok lebih besar 22 kali lipat pada pria dan 12 kali lipat
pada wanita (Zhang et al., 2008). Telah diketahui bahwa remodeling saluran
nafas bagian atas dan bagian bawah menjadi metaplasia skuamosa, yang
menghasilkan perkembangan penyakit, berhubungan dengan paparan asap
rokok (Yee et al., 2009). Perkembangan maupun insidensi kanker paru akibat
gabungan asap rokok dan debu batubara belum ada yang meneliti.
98
Berbagai kandungan asap rokok nampaknya memicu peningkatan
MUC5AC. Penelitian Borchers et al. (1999) dinyatakan bahwa paparan
akrolein akan meningkatkan ekspresi mRNA MUC5AC. Penelitian Chiba et
al. (2011) menyatakan bahwa benzo(a)pyrene menyebabkan upregulasi
MUC5AC. Penelitian Almolki et al. (2008) juga mendapatkan peningkatan
ekspresi MUC5AC akibat paparan asap rokok. Pada penelitian ini, paparan
asap rokok disertai paparan debu batubara dosis 25 mg/m3 menyebabkan
penurunan ekspresi MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol. Hal
ini mengindikasikan bahwa komponen aktif dari asap rokok atau debu
batubara memblokade sinyal EGFR dalam produksi MUC5AC.
Penelitian Kim et al. (2004) memaparkan lipopolisakarida untuk
menginduksi sel goblet metaplasia ditemukan peningkatan ekspresi
MUC5AC yang dapat dihambat oleh pemberian matrik metalloproteinase
inhibitor, dengan demikian gabungan asap rokok dan debu batubara pada
penelitian ini akan memunculkan efek analog dengan matrik
metalloproteinase inhibitor.
7.5 Kesimpulan
Paparan kombinasi asap rokok dan debu batubara selama 21 hari
menyebabkan percepatan metaplasia.
Daftar Pustaka
Almolki A, Guenegou A, Golda S, Boyer L, Benallaoua M, Amara N. 2008.
Heme oxygenase-1 prevents airway mucus hypersecretion induced by
cigarette smoke in rodents and humans. The American Journal of
Pathology; 173(4):983-994.
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Anto RJ, Mukhopadhyay A, Shishodia S, Gairola CG, Aggarwl BB. 2002.
Cigarette smoke condensates activates nuclear transcription factor-B
99
and degradation of IB: correlation with induction of cycloxygenase-
2. Carcinogenesis; 23(9):1511-1518.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
Bielicki JK, McCall MR, van den Berg JJM, Kuypers FA, Forte TM. 1995.
Copper and gas phase cigarette smoke inhibit plasma lecithin:
cholesterol acyltransferase activity by different mechanisms. Journal
of Lipid Research; 36:322-331.
Borchers MT, Wesselkamper S, Wert SE, Shapiro SD, Leikauf GD. 1999.
Monocyte inflammation augments acrolein-induced MUC5AC
expression in mouse lung. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 277:489-497.
Carter CA, Misra M. 2010. Effects of short-term cigarette smoke exposure on
Fischer 344 rats and on secreted lung proteins. Toxicology Pathology;
38:402.
Chiba T, Uchi H, Tsuji G, Gondo H, Moroi Y, Furue M. 2011.
Arylhydrocarbon receptor (AhR) activation in airway epithelial cells
induces MUC5AC via reactive oxygen species (ROS) production.
Pulmonary Phramcology & Therapeutics; 24:133-140.
Dreux AC, Lamb DJ, Modjtahedi H, Ferns GA. 2006. The epidermal growth
factor receptors and their family of ligands: their putative role in
atherogenesis. Atherosclerosis; 186(1):38-53.
Gensch E, Gallup M, Sucher A, Li D, Gebremichale A, Lemjabbar H,
Mengistab A, Dasari V, Hothkiss J, Harkena J, Basbaum C. 2004.
Tobacco smoke control of mucin production in lung cells requires
oxygen radicals AP-1 and JNK. The Journal of Biological Chemistry;
279(37):39085-39093.
Ghanem MM, Porter D, Batteli LA, Valyathan V, Kashon ML, Ma JY. 2004.
Respirable coal dust particle modify cytochrome P4501A1 expression
in rat alveolar cells. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 31:171-187.
Kim JH, Lee SY, Bak SM, Suh IB, Lee SY, Shin C, Shim JJ, In KH, Kang KH,
Yoo SH. 2004. Effects of matrix metalloproteinase inhibitor on LPS-
induced goblet cell metaplasia. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 287:127-133.
Mossman BT, Churg A. 1998. Mechanisms in the pathogenesis of asbestosis
and silicosis. American Journal Respiratory Critical Care Medicine;
157:1666-1680.
Mossman BT, Kamp DW, Weitzman SA. 1996. Mechanisms of carcinogenesis
and clinical features of asbestos-associated cancers. Cancer
Investigation; 14:466-480.
100
Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, Bertrand J, Kleeberger SR, Kauffmann F. 2005.
Association of CAT polymorphisms with catalase activity and
exposure to environmental oxidative stimuli. Free Radical Research;
39(12):1345–1350.
Nelson HH, Kesley KT. 2002. The molecular epidemiology of asbestos and
tobacco in lung cancer. Oncogene; 21:7248-7288.
Plopper CG, Van Winkle LS, Fanucchi MV, Malburg SR, Nishio SJ, Chang A,
Buckpitt AR. 2001. Early events in naphthalene induce acute Clara cell
toxicity: II. Comparison of glutahione depletion and histopathology
by airway location. American Journal Respiration Cellular Molecular
Biology; 24:272-281.
Sato T, Seyama K, Sato Y, Mori H, Souma S, Akiyoshi T, Kodama Y, Mori T,
Goto S, Takahashi K, Fukuchi Y, Maruyama N, Ishigami A. 2006.
Senescence marker protein-30 protects mice lungs from oxidative
stress, aging, and smoking. American Journal Respiratory Critical
Care Medicine; 174:530-537.
van der Toorn M, Rezayat D, Kauffman HK, Bakker SJ, Gans ROB, Koeter
GH, Choi AMK, van Oosterhoust AJM, Slebos D. 2009. Lipid-soluble
components in cigarette smoke induce mitochondrial production of
reactive oxygen species in lun epithelial cells. American Journal
Physiology Lung Celluler Molecular Physiology; 297:L109-L114.
Yee KK, Pribitkin EA, Cowart BJ, Vainius AA, Klocl CT, Rosen D, Hahn C,
Rawson NE. 2009. Smoking-associated squamous metaplasia in
olfactory mucosa of patients with chronic rhinosinusitis. Toxicology
Pathology; 37:594.
Yoshino I, Maehara Y. 2007. Impact of smoking statis on the biological
behavior of lung cancer. Surgery Today; 37L725-734.
Zhang S, Xu N, Nie J, Dong L, Li J, Tong J. 2008. Proteomic alterations in
lung tissue of rats exposed to cigarette smoke. Toxicology Letters;
178:191-196.
Zhang X, Zhang H, Tighiouart M, Lee JE, Shin HJ, Khuri FR, Yang CS, Chen
Z, Shin DM. 2005. Synergistic inhibition of head and neck growth by
green tea epigallocathecin-3-gallate and EGFR tyrosine kinase
inhibitor. International Journal Cancer; 123(5):1005-1014.
101
BAB 8
Asap rokok, debu batubara, dan
regresi metaplasia
102
8.1 Latar belakang
Pada pekerja yang terpapar debu batubara, salah satu toksikan yang
menjadi faktor resiko progresivitas munculnya berbagai penyakit adalah
merokok. Meskipun individu tersebut terpapar dengan dua toksikan yang
saling berinteraksi, upaya untuk menghambat patologi yang muncul sulit
untuk mencapai hasil yang maksimal. Paparan dengan debu batubara dapat
diatur dengan penggunaan shift kerja, pemakaian masker, dan pemberian
zat gizi. Akan tetapi, kebiasaan merokok merupakan suatu adiksi yang sulit
untuk dihentikan. Nikotin merupakan zat aktif dan bersifat additif pada
rokok (Dom et al., 2011).
Asap rokok merupakan campuran komplek dari berbagai senyawa
volatil dan partikel (Hong et al., 2001). Remodeling saluran nafas bagian atas
dan bagian bawah menjadi metaplasia skuamosa, yang menghasilkan
perkembangan penyakit, berhubungan dengan paparan asap rokok (Yee et
al., 2009). Berbagai penelitian pada hewan coba dan kultur jaringan
mengindikasikan respon protektif sel epitel bronkial terhadap cedera toksik,
berupa perubahan struktur. Fenomena ini sangat dinamis dan multi tahap.
Sel epitel akan bermigrasi dengan cepat menuju daerah yang mengalami
kerusakan, berproliferasi, dan akhirnya berdiferensiasi menjadi fenotip
normal untuk perbaikan fungsi. Meskipun demikian, proliferasi dan
diferensiasi abberant akan memicu perkembangan berbagai penyakit saluran
nafas, termasuk kanker paru. Sebagai contoh, paparan asap rokok akan
memicu hiperplasia sel epitel dan metaplasi squamosa, yang
dipertimbangkan sebagai tahap praneoplasia, meskipun mekanismenya
belum jelas (Zhang et al., 2005).
Berdasarkan kajian di atas, asap rokok telah dibuktikan mampu
memicu metaplasia paru. Di Kalimantan Selatan, perilaku pekerja terpapar
debu batubara menempatkan individu pada paparan toksikan gabungan
antara asap rokok dan debu batubara. Penghentian paparan debu batubara
103
dan asap rokok diharapkan mengurangi efek yang akan muncul. Oleh
karena itu, berdasarkan efek metaplasia akibat kombinasi paparan asap
rokok dan debu batubara pada tahap penelitian 2 (Bab 7), terungkap
permasalahan, “Apakah penghentian paparan asap rokok dan debu
batubara menyebabkan regresi metaplasia?.”
8.2 Metode
Berdasarkan penelitian tahap 2 (Bab 7) disimpulkan bahwa paparan
kombinasi asap rokok dan debu batubara selama 21 hari menyebabkan
penurunan ekspresi MUC5AC atau mempercepat terjadinya metaplasia.
Penelitian tahap ini akan menganalisis efek penghentian paparan terhadap
regresi metaplasia paru setelah paparan kombinasi asap rokok dan debu
batubara selama 21 hari. Setelah dilakukan paparan kombinasi asap rokok
dan debu batubara selama 21 hari, akan dilakukan penghentian paparan
selama 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Kelompok pada penelitian ini meliputi:
P0 : Kontrol
P1 : Kombinasi paparan asap rokok + debu batubara 21 hari
P2 : Kombinasi paparan asap rokok + debu batubara 21 hari +
penghentian paparan selama 7 hari
P3 : Kombinasi paparan asap rokok + debu batubara 21 hari +
penghentian paparan selama 14 hari
P4 : Kombinasi paparan asap rokok + debu batubara 21 hari +
penghentian paparan selama 21 hari
8.3 Hasil penelitian
8.3.1 Morfologi paru
Pada penghentian paparan 7 hari dan 14 hari, metaplasia masih
terlihat, sel goblet masih banyak dengan sedikit perpendekan/penebalan
ukuran sel, proses radang, dengan taburan sel radang tidak terlihat
104
perbedaan, disekitar lumen bagian luar terlihat penebalan jaringan ikat.
Jaringan ikat ini pada penghentian paparan 21 hari malah semakin dominan.
Gambaran lumen setelah paparan 7 hari tampak epitel ketebalannya
minimal, sedangkan 14 hari mulai menebal, pada 21 hari setelah paparan
terlihat unsur epitel mulai teratur dan sel goblet mulai berkurang sampai
minimal, terlihat perpanjangan ketebalan sel yang dominan.
A
A
CB
CB
Gambar 8.1 Gambaran histopatologis epitel bronkhiolus akibat penghentian
paparan asap rokok dan debu batubara. Keterangan gambar A: kontrol; B:
paparan asap rokok + debu batubara 21 hari dosis 25 mg/m3; C: penghentian
paparan selama 7 hari; D: penghentian paparan selama 14 hari; E:
penghentian paparan selama 21 hari (Pewarnaan H&E, perbesaran 1000 x;
Skala 50 m).
Rerata ketebalan epitel pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan pada tabel 8.1. Uji Kruskal-Wallis tidak didapatkan perbedaan
bermakna ketebalan epitel antar kelompok perlakuan (p=0,050).
Tabel 8.1 Ketebalan epitel pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Tebal P0 P1 P2 P3 P4
Epitel 0,00 0,00 3,68 1,19 3,93 1,02 3,84 0,60 3,62 0,75
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
Rerata jumlah makrofag pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan pada tabel 8.2. Uji ANOVA didapatkan perbedaan bermakna antar
A B C D E A
105
kelompok perlakuan (p=0,000). Uji Post Hoc didapatkan perbedaan
bermakna antar semua kelompok perlakuan (p=0,000).
Tabel 8.2 Jumlah makrofag pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Jumlah P0 P1 P2 P3 P4
Makrofag 13,33 1,51 47,44 0,68a 37,66 1,18 ab 28,22 1,03 abc 23,55 1,77 abcd
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
Rerata derajat metaplasia pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan pada tabel 8.3. Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan (p=0,016). Uji Mann-Whitney didapatkan
peningkatan bermakna derajat metaplasia antara kelompok P0 dengan
kelompok P1 (p=0,014); kelompok P0 dengan kelompok P2 (p=0,013);
kelompok P0 dengan kelompok P3 (p=0,014); kelompok P2 dengan
kelompok P4 (p=0,042). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan
bermakna derajat metaplasia antara P1 dengan P2 (p=0,772); kelompok P1
dengan kelompok P3 (p=0,773); kelompok P2 dengan kelompok P3 (p=1,000);
kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,110).
Tabel 8.3 Derajat metaplasia pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Derajat P0 P1 P2 P3 P4
Metaplasia 0,00 0,00 3,68 1,19a 3,93 1,02 a 3,84 0,60 a 3,62 0,75 c
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
106
Rerata ekspresi caspase-3 pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan pada tabel 8.4. Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan (p=0,014). Uji Mann-Whitney didapatkan
peningkatan bermakna ekspresi caspase-3 antara kelompok P0 dengan
kelompok P1 (p=0,011); kelompok P0 dengan kelompok P2 (p=0,013);
kelompok P0 dengan kelompok P3 (p=0,013); kelompok P1 dengan
kelompok P4 (p=0,047). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan
bermakna ekspresi caspase-3 antara P0 dengan P4 (p=0,127); kelompok P1
dengan kelompok P2 (p=0,760); kelompok P1 dengan kelompok P3 (p=0,096);
kelompok P2 dengan kelompok P3 (p=0,100); kelompok P2 dengan
kelompok P4 (p=0,237); kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,061).
Tabel 8.4 Ekspresi caspase-3 pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Ekspresi P0 P1 P2 P3 P4
Caspase-3 0,00 0,00 6,25 0,50 a 5,00 2,3 a 5,00 0,60 a 2,00 2,30 b
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
8.3.2 Ekspresi EGF
Rerata ekspresi EGF pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan pada tabel 8.5. Penghentian paparan menyebabkan peningkatan
ekspresi EGF. Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan bermakna antar
kelompok perlakuan (p=0,000). Uji Mann-Whitney didapatkan peningkatan
bermakna ekspresi EGF antara kelompok P0 dengan kelompok P1 (p=0,037);
kelompok P0 dengan kelompok P2 (p=0,004); kelompok P0 dengan
kelompok P3 (p=0,004); kelompok P0 dengan kelompok P4 (p=0,004);
kelompok P1 dengan kelompok P3 (p=0,004); kelompok P1 dengan
kelompok P4 (p=0,004). Uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan
107
bermakna ekspresi EGF antara P1 dengan P2 (p=0,078); kelompok P2 dengan
kelompok P3 (p=0,150); kelompok P2 dengan kelompok P4 (p=0,150);
kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,688).
Tabel 8.5 Ekspresi EGF pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21 hari
yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Ekspresi P0 P1 P2 P3 P4
EGF
(pg/mL)
103,66 6,00 125,05 17,30 157,66 52,02a 168,03 13,82ab 163,23 21,56ab
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi; ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
8.3.3 Kadar malondialdehid
Rerata kadar malondialdehid pada berbagai paparan debu batubara
disajikan pada tabel 8.6. Uji ANAVA didapatkan perbedaan kadar
malondialdehid pada berbagai kelompok perlakuan (p=0,000). Uji post hoc
didapatkan peningkatan bermakna antara kelompok P0 dengan kelompok
P1 (p=0,000); kelompok P0 dengan kelompok P2 (p=0,000); kelompok P0
dengan kelompok P3 (p=0,000); kelompok P0 dengan kelompok P4 (p=0,000).
Uji Post Hoc didapatkan penurunan bermakna antara kelompok P1 dengan
kelompok P4 (p=0,000); kelompok P2 dengan kelompok P4 (p=0,000);
kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,001). Uji Post Hoc tidak didapatkan
perbedaan bermakna antara kelompok P1 dengan kelompok P2 (p=0,633);
kelompok P1 dengan kelompok P3 (p=0,154); kelompok P2 dengan
kelompok P3 (p=0,064).
108
Tabel 8.6 Kadar MDA pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21 hari
yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Kadar P0 P1 P2 P3 P4
MDA
(ng/mL)
0,0345 0,0061 0,2052 0,0106a 0,2096 0,0196a 0,1919 0,0157a 0,1572 0,0208abcd
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
8.3.4 Ekspresi EGFR
Analisa confocal laser scanning microscope terhadap ekspresi EGFR
untuk penghentian paparan selama 7 hari, 14 hari, dan 21 hari setelah
diberikan paparan asap rokok dan debu batubara 21 hari disajikan pada
tabel 8.7. Uji Kruskal-Wallis tidak didapatkan perbedaan bermakna antar
kelompok perlakuan (p=0,204).
Tabel 8.7 Ekspresi EGFR pada asap rokok & paparan debu batubara 21 hari yang
diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Ekspresi P0 P1 P2 P3 P4
EGFR (pg/mL) 789,84 150,96 644,39 117,19 1049,81 480,86 748,78 123,33 745,94 343,84
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
Gambar 8.2 Ekspresi EGFR akibat paparan asap rokok dan debu batubara 21
hari serta penghentian paparan. Keterangan A: kontrol; B: paparan asap
rokok dan debu batubara 21 hari (dosis 25 mg/m3); C: penghentian 7 hari; D:
penghentian 14 hari; E: penghentian 21 hari. (Pengecatan dengan rhodamin,
perbesaran 400 kali dengan confocal laser scanning microscopei).
A B C D E
109
8.3.5 Ekspresi MUC5AC
Rerata ekspresi MUC5AC pada berbagai lama penghentian paparan
disajikan dibandingkan kontrol disajikan pada tabel 8.8. Penghentian
paparan menyebabkan peningkatan ekspresi MUC5AC. Uji Kruskal-Wallis
didapatkan perbedaan bermakna antar kelompok perlakuan (p=0,000). Uji
Mann-Whitney didapatkan peningkatan bermakna ekspresi MUC5AC
antara kelompok P0 dengan kelompok P2 (p=0,004); kelompok P0 dengan
kelompok P3 (p=0,004); kelompok P0 dengan kelompok P4 (p=0,004);
kelompok P1 dengan kelompok P2 (p=0,004); kelompok P1 dengan
kelompok P3 (p=0,004); kelompok P1 dengan kelompok P4 (p=0,004). Uji
Mann-Whitney didapatkan penurunan bermakna ekspresi MUC5AC antara
kelompok P0 dengan kelompok P1 (p=0,006). Uji Mann-Whitney tidak
didapatkan perbedaan bermakna ekspresi MUC5AC antara kelompok P2
dengan kelompok P3 (p=0,522); kelompok P2 dengan kelompok P4 (p=0,337);
kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,150).
Tabel 8.8 Ekspresi MUC5AC pada paparan asap rokok & paparan debu batubara 21
hari yang diberikan penghentian paparan 7 hari, 14 hari dan 21 hari.
Kelompok
Ekspresi P0 P1 P2 P3 P4
MUC5AC (pg/mL) 0,80 0,22 0,40 0,08a 2,22 1,36ab 2,33 0,53ab 2,79 0,89ab
Keterangan: nilai disajikan sebagai rerata standar deviasi ap<0.05 dibandingkan
kelompok P0; bp<0.05 dibandingkan kelompok P1; cp<0.05 dibandingkan kelompok
P2; dp<0.05 dibandingkan kelompok P3
110
Gambar 8.3 Ekspresi MUC5AC akibat paparan asap rokok dan debu
batubara 21 hari serta penghentian paparan. Keterangan A: kontrol; B:
paparan asap rokok dan debu batubara 21 hari (dosis 25 mg/m3); C:
penghentian 7 hari; D: penghentian 14 hari; E: penghentian 21 hari.
(Pengecatan dengan FITC, perbesaran 400 kali dengan confocal laser scanning
microscope).
8.3.6 Uji korelasi
Uji korelasi dilakukan untuk menganalisis hubungan antar berbagai
parameter. Untuk kelompok kontrol tidak didapatkan korelasi bermakna
antar berbagai parameter. Demikian halnya untuk kelompok paparan asap
rokok dan batubara dosis 25 mg/m3 selama 21 hari.
Tabel 8.9 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok kontrol
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,850 0,150
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,200 0,800
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,532 0,468
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,758 0,242
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,303 0,697
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,112 0,888
Tabel 8.10 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok kelompok paparan
asap rokok dan debu batubara 21 hari dosis 25 mg/m3
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR 0,643 0,366
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,433 0,567
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,549 0,451
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,291 0,709
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,496 0,504
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,921 0,079
A B C D E
111
Untuk kelompok paparan penghentian paparan selama 7 hari
didapatkan korelasi negatif kuat (r=-0,856) secara bermakna antara ekspresi
EGF dengan kadar MDA (p=0,029). Artinya, semakin tinggi ekspresi EGF
akan semakin rendah kadar MDA. Untuk kelompok penghentian paparan
selama 14 hari dan 21 hari tidak didapatkan korelasi bermakna antar
parameter (Tabel 8.11).
Tabel 8.11 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok penghentian
paparan 7 hari
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR 0,162 0,759
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,246 0,639
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC 0,354 0,491
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,036 0,945
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,114 0,830
Ekspresi EGF dengan kadar MDA -0,856 0,029
Tabel 8.12 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok penghentian
paparan 14 hari
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR 0,104 0,845
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR 0,050 0,925
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC 0,031 0,954
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC 0,377 0,461
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC 0,681 0,137
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,101 0,849
Tabel 8.13 Korelasi antara berbagai parameter pada kelompok penghentian
paparan 21 hari
Korelasi Nilai r Nilai p
Kadar MDA dengan ekspresi EGFR -0,617 0,192
Ekspresi EGF dengan ekspresi EGFR -0,180 0,733
Ekspresi EGFR dengan ekspresi MUC5AC -0,136 0,797
Kadar MDA dengan ekspresi MUC5AC -0,518 0,292
Ekspresi EGF dengan ekspresi MUC5AC -0,115 0,828
Ekspresi EGF dengan kadar MDA 0,446 0,375
112
Pembahasan
8.4.1 Morfologi paru
Berdasarkan morfologi yang terlihat setelah perlakuan penghentian
paparan asap rokok dan debu batubara terjadi pembentukan sel epitel
silindris baru melalui mekanisme apoptosis dan sebagian nekrosis untuk
melepaskan sel yang telah mengalami jejas dari membrana basalis (regresi).
Mekanisme pembentukan sel epitel silindris baru terjadi melalui proliferasi
dan diferensiasi sel clara. Bentuk dan morfologi sel clara akan disesuaikan
dengan fungsi untuk menyapu rangsangan atau benda asing dari luar.
Meskipun demikian, penebalan jaringan ikat sekitar lumen terlihat
permanen dan cenderung bertambah (progresif dan ireversibel). Dengan
demikian, penghentian paparan dapat memicu regresi metaplasia sel epitel
silindris meskipun belum mampu mengembalikan jaringan ikat ke arah
fisiologis.
Secara normal, apoptosis merupakan respon homeostasis untuk
mengeliminasi sel yang rusak atau sel senescence. Bentuk kematian sel ini
dapat diinduksi oleh stres fisik, kimia, atau lingkungan. Aktivasi apoptosis
bergantung kepada sistem proteolitik yang melibatkan berbagai famili
enzim intraseluler yang disebut caspase. Caspase-3; -8; -9 merupakan inisiasi
dan eksekusi kematian sel, sedangkan yang lain terlibat dalam inflamasi,
Caspase tersedia dalam status prekursor. Apabila terdapat sinyal pro-
apoptosis, akan terjadi cleave pro-caspase menjadi enzim aktif (Aschkenasy et
al., 2011). Pada penelitian ini, penghentian paparan 21 hari memicu
penurunan penurunan caspase-3 dibandingkan kelompok paparan.
Penurunan caspase-3 disebabkan oleh penurunan stres oksidatif.
113
8.4.2 Inflamasi
Sitokin/faktor pertumbuhan menjadi dua kelompok yakni bersifat
mitogenik (meningkatkan proliferasi sel) dan fibrogenik (meningkat sintesis
matriks ekstraseluler). Contoh sitokin mitogenik adalah TGF-, IL-1, TNF-
dan insulin like growth factor. Adapun TGF- tergolong sitokin fibrogenik. IL-
6 adalah sitokin mitogenik dan fibrogenik (Huang & Zhang, 2003; Huang &
Finkelman, 2008). EGF merupakan mitogen yang menstimulasi proliferasi
dari berbagai tipe sel, terutama sel epitel dan fibroblas.
Epidermal growth factor receptor adalah regulator kunci dari proliferasi
sel epitel. Sinyal EGFR terjadi akibat ikatan EGF atau EGF like growth factor
yang menyebabkan homodimerisasi molekul EGFR atau heterodimerisasi
dengan reseptor terdekat yang berkaitan. Sinyal downstream yang diaktivasi
oleh EGFR adalah fosforilasi MAPK. Sinyal extracelluler regulated kinase (ERK)
1/2 berhubungan dengan survival dan proliferasi sel, sedangkan sinyal c-jun
N terminal kinase (JNK) dan p38 berhubungan dengan apoptosis (Luppi et
al, 2007).
Pada penelitian tahap 2 telah dibuktikan bahwa paparan asap rokok
disertai paparan debu batubara dosis 12,5 mg/m3 menyebabkan peningkatan
ekspresi EGF secara bermakna dibandingkan kontrol. Penghentian paparan
14 hari dan 21 meningkatkan ekspresi EGF secara bermakna dibandingkan
kontrol atau paparan asap rokok dan debu batubara. Hal ini
mengindikasikan keterlibatan EGF dalam regresi metaplasia. Peningkatan
ekspresi EGF ditujukan untuk memicu sinyal EGFR dalam proliferasi sel
epitel saluran nafas. Hal ini didukung oleh kecenderungan peningkatan
ekspresi EGFR pada kelompok paparan 14 hari dan 21 hari dibandingkan
kelompok paparan asap rokok dan debu batubara.
114
8.4.3 Stres oksidatif
Stres oksidatif yang disebabkan oleh senyawa oksigen reaktif
merupakan faktor utama dalam penurunan fungsi fisiologis, yang
berkontribusi dalam disfungsi mekanisme transport ion, perubahan aktivitas
listrik, dan transduksi sinyal dalam sel (Nam et al., 2002). Telah diketahui
bahwa oksidan yang terkandung dalam asap rokok akan memicu kerusakan
struktur biologis. Asap rokok juga meningkatkan sel inflamasi yang
memperberat stres oksidatif (Barreiro et al., 2010). Pada berbagai penelitian,
telah diungkapkan adanya peningkatan peroksidasi lipid (Morrow et al.,
1995; Frei et al., 1991), oksidasi protein dan thiol (Reznick et al., 1992), serta
oksidasi DNA dalam darah perokok serta berbagai organ pada hewan coba
(Park et al., 1998).
Destruksi peroksidatif membran sel akan memicu kehilangan
integritas fungsional dan pembentukan produk awal peroksidasi lipid,
antara lain MDA. Di lain pihak, MDA bersifat mutagenik dan
prokarsinogenik akibat kemampuan reaksi dengan gugus fungsional
berbagai komponen, antara lain asam amino protein, basa asam nukleat,
basa N dari fosfolipid, dan gugus SH dari senyawa sulfhidril (Palozza et al,
2006).
Pada penelitian ini, penghentian paparan selama 7, 14 dan 28 hari
belum dapat menurunkan kadar MDA mendekati kadar kontrol (tanpa
paparan), meskipun terdapat penurunan apabila dibandingkan kelompok
paparan asap rokok dan debu batubara. Hal ini mengindikasikan bahwa
perbaikan kerusakan oksidatif berlangsung secara lambat dengan
mekanisme bergantung kepada penggantian seluler. Fakta ini diikuti oleh
penurunan jumlah makrofag pada kelompok penghentian paparan 7, 14 dan
28 hari dibandingkan kelompok paparan, meskipun belum menyamai
kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa sumber senyawa oksigen reaktif
secara tidak langsung (aktivitas makrofag) juga menurun.
115
8.4.4 Metaplasia
Mukus saluran nafas membentuk barrier protektif antara epitel
saluran nafas dan lingkungan. Mukus berpartisipasi dalam pertukaran
panas dan air dalam saluran nafas, mengikat partikel dan bakteri untuk
dipindahkan dari saluran nafas melalui eskalator mukosilia. Mukus juga
mempunyai fungsi antiprotease dan antioksidan. MUC5AC dominan
diekspresikan oleh sel goblet (Voynow, 2002; Henke et al, 2004). Pada
penelitian tahap 2 telah dibuktikan bahwa paparan asap rokok disertai
paparan debu batubara dosis 25 mg/m3 menyebabkan penurunan ekspresi
MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol. Hal ini mengindikasikan
bahwa komponen aktif dari asap rokok dan debu batubara memblokade
sinyal EGFR dalam produksi MUC5AC. Pada penelitian ini, penghentian
paparan selama 7 hari, 14 hari, dan 21 hari meningkatkan ekspresi
MUC5AC. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas blokade sinyal EGFR
dalam produksi MUC5AC yang disebabkan oleh reaktivitas komponen aktif
dari asap rokok dan debu batubara mulai berkurang.
Apabila asap rokok dikombinasikan dengan debu batubara akan
memicu efek penurunan ekspresi MUC5AC. Penelitian Kim et al. (2004)
memaparkan lipopolisakarida untuk menginduksi sel goblet metaplasia
ditemukan peningkatan ekspresi MUC5AC yang dapat dihambat oleh
pemberian matrik metalloproteinase inhibitor, dengan demikian
penghentian paparan asap rokok dan debu batubara pada penelitian ini
akan memunculkan efek analog dengan matrik metalloproteinase.
8.4.5 Uji korelasi
Untuk kelompok paparan penghentian paparan selama 7 hari
didapatkan korelasi negatif kuat (r=-0,856) secara bermakna antara ekspresi
116
EGF dengan kadar MDA (p=0,029). Hal ini mengindikasikan bahwa
peningkatan ekspresi EGF akan menurunkan stres oksidatif.
8.5 Kesimpulan
Penghentian paparan kombinasi asap rokok dan debu batubara memicu
penurunan jumlah makrofag, peningkatan ekspresi EGF dan MUC5AC yang
bertujuan untuk regresi metaplasia.
Daftar Pustaka
Aschkenasy G, Bromberg Z, Raj N, Deutschman CS, Weiss YG. 2011.
Enhanced Hsp 70 expression protects against acute lung injury by
modulating apoptotic pathway. Plos ONE 6(11): e26956.
doi:10.1371/journal.pone.0026956.
Barreiro E, Peinado VI, Galdiz JB, Ferrer E, Marin-Corral J, Sanchez F, Gea J,
Barbera JA. 2010. Cigarette smoke-induced oxidative stres. A role in
chronic obstructive pulmonary disease skeletal muscle dysfunction.
American Joural Respiration Critical Care Medicine; 182:477-488.
Dom AM, Buckley AW, Brown KC, Egleton RD, Marcelo AJ. Proper NA,
Weller DE, Shah YH, Lau JK, Dasgupta P. 2011.The 7-nicotinic
acetylcholine receptor and MMP-2/-9 pathway mediate the
proangiogenic effect of nicotine in human retinal endothelial cells.
Investigation Ophthalmology Vision Science; 52:4428-4438.
Frei B, Forte TM, Ames BN, Cross CE. 1991. Gas phase oxidants of cigarette
smoke induce lipid peroxidation and changes in lipoprotein
properties in human blood plasma: protective effcets of ascorbic acid.
Biochemical Journal; 277:133-138.
Henke MO, Renner A, Huber RM, Seeds MC, Rubin BK. 2004. MUC5AC and
MUC5B mucins are decreased in cystic fibrosis airway secretions.
American Journal Respiration Cellular Molecular Biology; 31: 86-91.
Hong Y, Kim H, Im M, Lee K, woo B, Christiani DC. 2001. Maternal genetic
effects on neonatal susceptibility to oxidative damage from
environmental tobacco smoke. Journal of the National Cancer
Institute; 93(8):645-647.
Huang X, Finkelman RB. 2008. Understanding the chemical properties of
macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. Journal of Toxicology and
Environmental Health Part B; 11(1):45-67.
117
Huang X, Zhang Q. 2003. Coal-induced interleukin-6 gene expression is
mediated through ERKS and p38 MAPK pathways. Toxicology and
Applied Pharmacology; 191:40-47.
Kim JH, Lee SY, Bak SM, Suh IB, Lee SY, Shin C, Shim JJ, In KH, Kang KH,
Yoo SH. 2004. Effects of matrix metalloproteinase inhibitor on LPS-
induced goblet cell metaplasia. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 287:127-133.
Luppi F, Longo AM. Boer WI. Rabe KF, Hiemstra PS. 2007. Interleukin-8
stimulates cell proliferation in non-small cell lung cancer through
epidermal growth factor receptor transactivation. Lung Cancer; 56:25-
33.
Morrow JD, Frei B, Longmire AW, Gaziano JM, Lynch Sm, Shyr Y, Strauss
WE, Oates JA, Roberts LJ. 1995. Increase in circulating products of
lipid peroxidation (F2-isoprostanes) in smokers: smoking as a cause of
oxidative damage. New England Journal of Medicine; 332:1198-1203.
Nam SH, Jung SY, You C, Ahn EH, Suh CK. 2002. H2O2 enhances Ca2+ release
from osteoblast internal stores. Yonsei Medical Journal; 43(2):229-235.
Palozza P, Serini S, Trombino S, Lauriola L, Ranelletti FO, Calviello G. 2006.
Dual role of -carotene in combinationwith cigarette smoke aqueos
extract on the formation of mutagenic lipid peroxidation in lung
membranes: dependence on pO2. Carcinogenesis; 27(12):2383-2391.
Reznick AZ, Cross CE, Hu ML, Suzuki YJ, Khwaja S, Safadi A, Motchnik PA,
Packer L, Halliwell B. 1992. Modification of plasma proteins by
cigarette smoka as measured by carbonyl formation. Biochemical
Journal; 199; 286:607-611.
Voynow JA. 2002. What does mucin have to do with lung disease? Paediatric
Respiratory Reviews; 3:98-103.
Yee KK, Pribitkin EA, Cowart BJ, Vainius AA, Klocl CT, Rosen D, Hahn C,
Rawson NE. 2009. Smoking-associated squamous metaplasia in
olfactory mucosa of patients with chronic rhinosinusitis. Toxicology
Pathology; 37:594.
Zhang Q, Adiseshaihah P, Reddy SP. 2005. Matrix
metalloproteinase/epidermal growth factor receptor/mitogen-
activated protein kinase signaling regulate fra-1 induction by cigarette
smoke in lung epithelial cells. American Journal Respiration Cellular
Molecular Biology; 32: 72-81.
118
BAB 9
Pembahasan umum
119
9.1 Karakteristik
9.1.1 Debu batubara
Metode yang digunakan untuk pembuatan debu batubara berhasil
didapatkan particulate matter debu batubara yang mempunyai diameter <10
m. Particulate matter debu batubara tersebut mempunyai morfologi partikel
singlet atau agregat. Partikel singlet adalah satu butir partikel debu
batubara. Partikel agregat adalah gabungan atau pengelompokan dari
partikel singlet. Sifat agregat disebabkan oleh adanya gaya tarik antar
muatan dari atom partikel debu batubara dalam bentuk kation atau oksoion.
Diameter debu batubara <10 m yang digunakan pada penelitian ini
lebih kecil dari diameter debu batubara penelitian Pinho et al. (2005) (<15m)
akan tetapi lebih besar dibandingkan penelitian Ghanem et al. (2004) (3,4 m)
dan Armutcu et al. (2007) (0,5-5 m). Dosis paparan debu batubara pada
penelitian didasarkan pada penelitian pendahuluan yang didukung oleh
pendapat Gurel et al. (2004) dengan rentang dosis rendah – tinggi sebesar 0,5
-12,3 mg/m3.
Debu batubara yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai
diameter yang berbeda dibandingkan peneliti terdahulu. Meskpin demikian,
debu batubara <10 m tersebut terbukti masuk ke saluran nafas dan mampu
mencapai alveolus seperti terlihat pada SEM paru. Terdapat tiga mekanisme
penimbunan debu batubara dalam saluran pernafasan. Mekanisme inersi
terjadi pada saat udara membelok ketika melewati jalan nafas yang berbelok,
maka debu batubara diameter kecil akan didorong oleh aliran udara. Untuk
partikel debu yang berukuran besar tidak dapat mengikuti aliran udara,
akibatnya menempel/mengendap pada tempat berlekuk dimukosa saluran
nafas. Mekanisme sedimentasi terjadi pada bronkus dan bronkhiolus yang
kecepatan aliran udara kurang dari 1 cm/detik (sangat rendah), akibat
adanya gaya gravitasi menyebabkan partikel debu mengendap. Mekanisme
gerak brown terjadi terutama pada partikel debu yang mempunyai ukuran
120
0,1 m yang memungkinkan partikel debu membentur dinding alveoli dan
akhirnya tertimbun.
Komponen anorganik debu batubara pada penelitian ini meliputi Fe
36,9%; Si 17,9%; Mo 15%; Al 10%; Ca 8,67%; S 4,7%; dan Ti 3,65%. Mineral
yang lain berada di bawah <1% meliputi K, Mn, Cu, Yb, Cr, Ni, dan V.
Dalam susunan tabel periodik, komponen anorganik tersebut tergolong
metal (Fe, Mo, Al, Ca, Ti, K, Mn, Cu, Yb, Cr, Ni dan V) metaloid (Si ) dan
bukan metal (S).
9.1.2 Asap rokok
Apabila satu batang rokok dibakar, akan dihasilkan kira-kira 500 mg
gas (92%) dan sisanya partikel padat (Yoshino & Maehara, 2007). Asap rokok
juga mengandung asetaldehide, hidroquinon, formaldehid, benzo(a)pyrene,
cresol, nikotin, katekol, akrolein, coumarin, anthracen, nitrogen oksida dan
logam berat (Gensch et al., 2004).
Pada penelitian ini, kandungan tar asap rokok sebesar 2,90 mg dan
nikotin sebesar 44,30 mg. Kandungan CO pada asap rokok di penelitian ini
sebesar 102,3 ppm. Kandungan nikotin dan CO yang digunakan dalam
penelitian ini lebih tinggi dari rokok di penelitian Zhang et al., (2008) sebesar
1,4 mg (nikotin) dan CO sebesar 14 mg. Untuk kandungan tar lebih rendah
dibandingkan penelitian Zhang et al., (2008), yakni 13 mg.
Tar mengandung radikal stabil dalam konsentrasi tinggi, yang secara
terus menerus tersimpan dalam paru perokok. Interaksi antara debu
batubara dan asap rokok terjadi antara partikel – gas atau partikel – partikel.
121
8.2 Morfologi
8.2.1 Progresi
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk menganalisis
morfologi hanya ditujukan terhadap morfologi paru, belum ada yang
berfokus terhadap epitel bronkolaveolus. Penelitian Ghanem et al. (2004)
memaparkan debu batubara yang diberikan secara instilasi intratrakea.
Instilasi dosis 2,5; 10; 20; dan 40 debu batubara/tikus selama 14 hari
didapatkan perubahan histopatologis berupa hiperplasia dan hipertrofi
alveolar tipe 2, serta makrofag yang mengingesti debu berada di rongga
alvoelus maupun jaringan instertitial paru. Penelitian Armutcu et al. (2007)
memaparkan tikus pada udara ambien tambang debu batubara di bawah
tanah selama 7; 14; dan 28 hari diperoleh perubahan histopatologis paru
berupa kongesti alveoler, peningkatan makrofag alveolus, emfisema,
infiltrasi makrofag dan neutrofil di interstitial serta fibrosis.
Pada penelitian ini, perubahan histopatologis epitel bronkhiolus
mengindikasikan peningkatan respon pembersihan saluran nafas terhadap
partikel debu batubara. Peningkatan respon pembersihan debu batubara
terjadi melalui perubahan morfologi serta penataan ulang sel. Gambaran
epitel bronkhiolus pada tikus kontrol didapatkan lapisan epitel silindris
bersilia dengan sedikit sel goblet dengan ukuran tebal yang relatif sama. Di
bawah membrana basalis tampak jaringan ikat yang tipis dan terputus-
putus. Perubahan yang terjadi akibat paparan debu batubara 14 hari
berbagai dosis meliputi hiperplasia pada sel epitel silindris dan sel goblet,
perubahan struktur menjadi papilifer, taburan sel radang masif, serta
penebalan jaringan ikat. Pada dosis tertinggi (25 mg/m3) ditemukan
perubahan lumen menjadi tidak intact. Demikian halnya dengan perubahan
pada paparan 28 hari.
Respon paru terhadap debu batubara berupa reaksi nonneoplasma
akibat inhalasi komponen mineral atau organik dan merupakan resultan
122
perubahan struktur paru (Honma et al, 2004; Fishwick, 2008). Perubahan
epitel bronkhiolus akibat paparan debu batubara menampilkan penataan
ulang (remodelling) seluler dalam rangka respon adaptif. Perubahan epitel
silindris dan sel goblet bertujuan untuk meningkatkan sekresi musin yang
bermanfaat dalam pengeluaran partikel debu. Perubahan papilifer bertujuan
untuk meningkatkan luas permukaan sehingga mengurangi lokasi kontak
dengan partikel debu batubara, meskipun tergantung kepada ukuran
partikel debu batubara. Taburan sel radang masif mengindikasikan
peningkatan respon fagositosis debu batubara serta inflamasi. Apabila
kemampuan fagositosis mengalami frustasi akan menimbulkan perubahan
pada jaringan paru atau translokasi debu batubara ke kompartemen lain.
Peran penting makrofag alveolar terhadap debu batubara didapatkan
dari beberapa pengamatan yang mengungkapkan bahwa subjek hewan coba
yang dipapar secara kronik oleh mineral mengalami peningkatan makrofag
alveolar di paru yang mengingesti partikel. Bahkan beberapa partikel
anorganik juga dapat diingesti oleh makrofag secara in vitro. Status
fagositosis makrofag selama masa aktivasi merupakan rentang yang panjang
untuk membentuk produk berupa oksidan, lipid bioaktif, sitokin, faktor
pertumbuhan, protease dan antiprotease. Beberapa sel di paru akan menjadi
target mediator primer tersebut, yang meliputi fibroblas, sel endotel, dan sel
epitel. Selanjutnya sel target akan melepaskan mediator sekunder.
Fagositosis oleh makrofag mencerminkan pembersihan partikel dalam fase
lambat dan cepat tersaturasi sehingga terjadi kelebihan muatan partikel yang
akan berdampak negatif terhadap sel epitel (Schins & Borm, 1999). Paparan
debu batubara meningkatkan jumlah makrofag. Setelah diberikan paparan
gabungan dengan asap rokok, terjadi penurunan jumlah makrofag.
Peningkatan jumlah makrofag disebabkan oleh kandungan debu batubara
yang memicu fagositosis. Apabila terdapat asap rokok akan terjadi apoptosis
jumlah makrofag.
123
Komponen anorganik debu batubara pada penelitian ini meliputi Fe
36,9%; Si 17,9%; Mo 15%; Al 10%; Ca 8,67%; S 4,7%; dan Ti 3,65%. Mineral
yang lain berada di bawah <1% meliputi K, Mn, Cu, Yb, Cr, Ni, dan V.
Dalam susunan tabel periodik, komponen anorganik tersebut tergolong
metal (Fe, Mo, Al, Ca, Ti, K, Mn, Cu, Yb, Cr, Ni dan V) metaloid (Si ) dan
bukan metal (S). Metal bersifat karsinogenik dalam bentuk ion bebas,
kompleks metal, partikel metal, dan senyawa dengan kelarutan rendah.
Toksisitas metal dan senyawanya ditentukan oleh sifat fisikokimia.
8.2.2 Regresi
Epitel paru merupakan barrier antara udara yang terinhalasi dengan
jaringan di bawahnya. Untuk menjaga barrier ini, penempatan ulang dan
perbaikan epitel sangat penting. Kematian sel melalui apoptosis sangat
penting untuk eliminasi sel rusak selama remodelling jaringan dan inflamasi.
Gangguan dalam proses fisiologis ini, menyebabkan munculnya nekrosis
atau apoptosis berlebihan disertai ganggian fungsi barrier epitelium untuk
memicu cedera paru dan perkembangan penyakit (Kosmider et al., 2011).
Sel Clara merupakan sel non silia di lapisan epitel bronkhiolus
(Minai-Tehrani et al., 2011). Sel epitel yang mengekspresikan Clara Cell
Secreted Protein (CCSP) berimplikasi sebagai sel progenitor untuk perbaikan
normal dari sel epitel saluran nafas. Penekanan sel ini akan berkontribusi
terhadap patogenesis penyakit. Dengan kata lain, hilangnya sel Clara
bersama dengan kapasitas progenitornya akan berkontribusi terhadap
mekanisme perbaikan lokal sel epitel (Palmer et al., 2011; Minai-Tehrani et al.,
2011).
Berdasarkan morfologi yang terlihat setelah perlakuan penghentian
paparan asap rokok dan debu batubara terjadi pembentukan sel epitel
silindris baru melalui mekanisme apoptosis dan sebagian nekrosis untuk
melepaskan sel yang telah mengalami jejas dari membrana basalis (regresi).
124
Mekanisme pembentukan sel epitel silindris baru terjadi melalui proliferasi
dan diferensiasi sel clara. Bentuk dan morfologi sel clara akan disesuaikan
dengan fungsi untuk menyapu rangsangan atau benda asing dari luar.
Meskipun demikian, penebalan jaringan ikat sekitar lumen terlihat
permanen dan cenderung bertambah (progresif dan ireversibel). Dengan
demikian, penghentian paparan dapat memicu regresi metaplasia sel epitel
silindris meskipun belum mampu mengembalikan jaringan ikat ke arah
fisiologis.
Sel Clara merupakan progenitor utama epitel saluran nafas bagian
distal. Pada mencit terpapar naftalen telah dibuktikan bahwa tahap
perbaikan epitelium saluran nafas terdiri atas tahap proliferatif dan tahap
diferensiasi. Tahap proliferatif terjadi dalam waktu 1 sampai 2 hari dan
dilanjutkan tahap diferensiasi yang secara normal akan lengkap dalam 2
minggu (Zhou et al., 2011). Proliferasi sel epitel memerlukan pergerakan dari
fase G1 ke fase S dari siklus sel (Cohen et al., 2007). Pada penelitian ini,
penghentian paparan selama 21 hari telah mengembalikan sel epitel menuju
normal. Artinya, tahap proliferasi dan tahap diferensiasi telah dicapai dalam
rentang 21 hari untuk paparan debu batubara dan asap rokok.
Kanker paru akan muncul setelah rangkaian perubahan patologis (lesi
preneoplasia) yang diawali oleh proliferasi (hiperplasia). Proliferasi sel yang
tida terkendali bersama dengan penekanan kemampuan apoptosis
merupakan dasar terjadinya progesi neoplasia. Dengan demikian,
peningkatan aktivitas proliferasi secara kausal berhubungan dengan
karsinogenesis dan progresi tumor (Dey et al., 2011).
Induksi apoptosis dipertimbangkan sebagai salah satu mekanisme
dalam penghambatan perkembangan kanker. Berbagai bukti juga
menunjukkan bahwa apoptosis mencerminkan mekanisme perlindungan
terhadap perkembangan neoplasia melalui eliminasi sel yang secara genetik
telah rusak atau sel yang telah mengalami proliferasi yang tidak tepat oleh
125
berbagai faktor (Singh et al., 2011). Paparan debu batubara dengan atau
tanpa asap rokok meningkatkan ekspresi caspase-3. Setelah dilakukan
penghentian paparan, ekspresi caspase-3 akan menurun yang disebabkan
oleh terhentinya jalur intrinsik apoptosis.
8.3 Inflamasi
8.3.1 Progresi
Inflamasi paru didefinisikan sebagai kluster kecil sel inflamasi di
dalam alveoli, terdiri atas makrofag alveolar dan limfosit. Inflamasi
mempunyai tujuan spesifik. Inflamasi akut bertujuan untuk perlindungan
organ terhadap kerusakan, akan tetapi inflamasi kronis berhubungan
dengan perkembangan penyakit (Carter & Misra, 2010). Makrofag
merupakan leukosit yang terdapat di cairan pelapis epitelial paru dan
berfungsi untuk membersihkan debris atau patogen di saluran nafas.
Makrofag alveolar merupakan leukosit yang mendominasi (88-95%)
bronkoalveolar lavage pada kondisi normal (Gould et al., 2011). Paparan
debu batubara meningkatkan jumlah makrofag secara bermakna. Paparan
gabungan asap rokok dan debu batubara tidak meningkatkan jumlah
makrofag, disebabkan oleh daya apoptosis asap rokok terhadapa makrofag.
Penghentian paparan dapat menurunkan jumlah makrofag, akibat
penurunan keperluan fagositosis.
Kemokin, sitokin, dan growth factor berperan penting dalam onset,
progresi dan terminasi dari reaksi paparan debu batubara terhadap paru (
Schins & Borm, 2001). Growth factors merupakan polipeptida berat molekul
kecil yang bekerja pada berbagai tipe sel untuk kepentingan proliferasi
(Gulumian et al., 2006). Epidermal growth factor (EGF) adalah protein
monomerik non-glikosilasi 6 kDa yang mengandung 53 asam amino sebagai
ligand terhadap EGFR (Harris et al., 2003). Sel epitel saluran nafas
merupakan regulator inflamasi saluran nafas (Hitoshi et al., 2011). Selain itu,
126
makrofag sebagai sel yang paling melimpah di rongga alveolus, merupakan
mediator sinyal inflamasi di paru (Gould et al., 2011).
Pada penelitian tahap 1 (Bab 6) didapatkan ketidakbermaknaan
ekspresi EGF pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari. Pelepasan
domain pro-EGF ekstraseluler menjadi EGF matur dimediasi oleh
metalloproteinase dari famili ADAM, terutama ADAM 10 (Dreux et al, 2006).
Famili ADAM merupakan anggota zinc metalloproteinase, dan aktivitas
katalitiknya bergantung kepada aktivasi “zinc bound water” yang akan
memicu serangan nukleofilik pada rantai punggung amida dari substrat
protein. Mekanisme inhibisi terjadi apabila terdapat penggantian “zinc bound
water” oleh residu sistein, yang dikenal sebagai “the cysteine switch” (Moss et
al, 2007). Tidak terdapatnya perbedaan bermakna pada paparan debu
batubara berbagai dosis disebabkan oleh adanya “the cysteine switch” yang
menghambat pelepasan EGF. Komponen debu batubara yang terlibat dalam
mekanisme ini adalah sulfur melalui pembentukan kompleks dengan zinc
metalloproteinase (kompleks ZnS). Pada kelompok kontrol, keberadaan
prodomain akan menghambat pelepasan EGF.
Pada penelitian tahap 2 (Bab 7), paparan asap rokok disertai paparan
debu batubara dosis 12,5 mg/m3 menyebabkan peningkatan ekspresi EGF
secara bermakna dibandingkan kontrol. Pada penelitian tahap 1 telah
dibuktikan bahwa paparan debu batubara tidak menyebabkan peningkatan
ekspresi EGF secara bermakna. Dengan demikian, interaksi asap rokok
dengan debu batubara dosis 12,5 mg/m3 menyebabkan peningkatan
pelepasan domain pro-EGF ekstraseluler menjadi EGF matur yang dimediasi
oleh metalloproteinase dari famili ADAM, terutama ADAM 10 (Dreux et al,
2006). Berbagai penelitian telah membuktikan peningkatan aktivitas matriks
metalloproteinase akibat paparan asap rokok (Carter & Misra, 2010).
Penelitian Zhang et al. (2005) dibuktikan bahwa asap rokok mengaktivasi
MMP untuk pelepasan EGF, selanjutnya memicu fosforilasi EGFR untuk
127
aktivasi MAPK. Pada penelitian ini, ekspresi EGFR tidak berbeda bermakna
pada berbagai kelompok perlakuan sehingga peningkatan EGF tidak diikuti
oleh upregulasi EGFR.
8.3.2 Regresi
Sitokin/faktor pertumbuhan menjadi dua kelompok yakni bersifat
mitogenik (meningkatkan proliferasi sel) dan fibrogenik (meningkat sintesis
matriks ekstraseluler). Contoh sitokin mitogenik adalah TGF-, IL-1, TNF-
dan insulin like growth factor. Adapun TGF- tergolong sitokin fibrogenik. IL-
6 adalah sitokin mitogenik dan fibrogenik (Huang & Zhang, 2003; Huang &
Finkelman, 2008). EGF merupakan mitogen yang menstimulasi proliferasi
dari berbagai tipe sel, terutama sel epitel dan fibroblas.
Epidermal growth factor receptor adalah regulator kunci dari proliferasi
sel epitel. Sinyal EGFR terjadi akibat ikatan EGF atau EGF like growth factor
yang menyebabkan homodimerisasi molekul EGFR atau heterodimerisasi
dengan reseptor terdekat yang berkaitan. Sinyal downstream yang diaktivasi
oleh EGFR adalah fosforilasi MAPK. Sinyal extracelluler regulated kinase (ERK)
1/2 berhubungan dengan survival dan proliferasi sel, sedangkan sinyal c-jun
N terminal kinase (JNK) dan p38 berhubungan dengan apoptosis (Luppi et
al, 2007).
Paparan asap rokok disertai paparan debu batubara dosis 12,5 mg/m3
menyebabkan peningkatan ekspresi EGF secara bermakna dibandingkan
kontrol. Penghentian paparan 14 hari dan 21 meningkatkan ekspresi EGF
secara bermakna dibandingkan kontrol atau paparan asap rokok dan debu
batubara. Hal ini mengindikasikan keterlibatan EGF dalam regresi
metaplasia. Peningkatan ekspresi EGF ditujukan untuk memicu sinyal EGFR
dalam proliferasi sel epitel saluran nafas. Hal ini didukung oleh
kecenderungan peningkatan ekspresi EGFR pada kelompok paparan 14 hari
dan 21 hari dibandingkan kelompok paparan asap rokok dan debu batubara.
128
8.4 Stres oksidatif
8.4.1 Progresi
Peroksidasi lipid merupakan proses komplek akibat reaksi asam
lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa
oksigen reaktif membentuk hidroperoksida. Senyawa oksigen reaktif ialah
senyawa turunan oksigen yang lebih reaktif dibandingkan oksigen pada
kondisi dasar (ground state). Peroksidasi lipid merupakan marker stres
oksidatif. Peroksidasi lipid akibat paparan debu batubara telah diungkap
pada berbagai penelitian. Penelitian Pinho et al. (2005) didapatkan
peningkatan pembentukan Thiobarbituric Acid Reactive Substance (TBARS)
pada paru tikus yang diberikan debu batubara melalui instilasi intratrakea.
Penelitian Armutcu et al. (2007) juga didapatkan peningkatan kadar
malondialdehid (MDA) paru dan plasma pada tikus yang terpapar debu
batubara di tambang bawah tanah selama 1, 2 dan 4 minggu.
Pada penelitian tahap 1 (Bab 6) didapatkan peningkatan kadar MDA
secara bermakna pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari berbagai
dosis. Semakin tinggi dosis maka semakin tinggi stres oksidatif. Terdapat
dua mekanisme peningkatan stres oksidatif akibat paparan debu batubara.
Pertama, mekanisme non seluler yang melibatkan kandungan partikel debu
batubara sebagai pemicu pembentukan senyawa oksigen reaktif (Gurel et al.,
2004). Komponen batubara yang dapat memicu pembentukan senyawa
oksigen reaktif, antara lain Fe, V, Ti (Halliwell & Gutteridge, 1999) serta Ni,
Cu, dan Mn (Armutcu et al., 2007). Kedua, mekanisme seluler yang
melibatkan aktivasi neutrofil dan makrofag selama fagositosis (respiratory
burst) (Gurel et al., 2004).
Pada penelitian tahap 2 (Bab 7) terbukti bahwa paparan asap rokok
dan debu batubara meningkatkan stres oksidatif paru (p=0,000). Hal ini
mengindikasikan bahwa komponen asap rokok dan komponen debu
batubara akan berinteraksi untuk memicu stres oksidatif. Asap rokok
129
mengandung 1017 molekul oksidan setiap hisapan, pada main stream maupun
side stream (Anto et al, 2002). Fase gas dan fase partikulat dari asap rokok
mengandung nitrit oksida, radikal superoksida, dan radikal peroksil organik
(Bielicki et al., 1995; Anto et al., 2002). Radikal pada fase gas sangat reaktif
dan mempunyai waktu paruh yang cepat. Radikal pada fase partikulat
relatif stabil, dan terdiri atas kompleks hidroquinone-semiquinon-quinon.
Kompleks ini merupakan sistem redoks aktif yang dapat mereduksi molekul
oksigen membentuk radikal superoksida. Selain itu, asap rokok juga
mengandung logam, antara lain nickel dan cadmium yang bersifat long lived
(Anto et al., 2002).
Radikal bebas dari asap rokok akan berinteraksi dengan antioksidan
di cairan pelapis epitel di epitel saluran nafas dan membran sel secara
langsung untuk memicu kerusakan (van der Toorn et al., 2009). Penelitian
Sato et al. (2006) didapatkan peningkatan kerusakan oksidatif di jaringan
paru meliputi peroksidasi lipid (MDA).
Inhalasi kronik debu batubara akan membentuk senyawa oksigen
reaktif melalui mekanisme secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme
langsung melibatkan komponen bioaktif yang dikandung oleh debu
batubara, dan secara tidak langsung melalui ledakan oksidatif selama
aktivasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear (Nadif et al., 2005; Armutcu
et al., 2007).
Pada mekanisme langsung, kapasitas oksidatif dari komponen
bioaktif debu batubara utamanya disebabkan oleh kandungan logam
transisi, meliputi Fe, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, dan silika. Beberapa metal
tersebut dapat mengkatalisis reaksi Fenton untuk menghasilkan senyawa
oksigen reaktif (Armutcu et al., 2007). Pada penelitian Altin et al (2004) yang
membandingkan stres oksidatif antara indidvidu sehat dengan pekerja
tambang batubara didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan sangat
bermakna pada kadar MDA plasma.
130
Pada mekanisme tidak langsung, selama fagositosis partikel
terinhalasi, terjadi pembentukan radikal superoksida yang akan mengalami
dismutasi membentuk hidrogen peroksida. Apabila terdapat ion metal
transisi, misalnya ion Fe atau Cu, maka hidrogen peroksida dikonversi
menjadi radikal hidroksil (reaksi Fenton atau Haberr-Weiss). Pembentukan
senyawa oksigen reaktif yang berlebih akan melampaui kemampuan
kapasitas antioksidan sehingga terjadi stres oksidatif paru. Selanjutnya,
produksi enzim proteolitik dan elastase, bersama dengan senyawa oksigen
reaktif akan mendenaturasi protein, merusak karbohidrat, peroksidasi lipid,
dan konsekuensinya memicu perubahan, misalnya fibrosis (Altin et al., 2004).
Fibrosis yang ditemukan pada penelitian ini berhubungan dengan stres
oksidatif.
8.4.2 Regresi
Stres oksidatif yang disebabkan oleh senyawa oksigen reaktif
merupakan faktor utama dalam penurunan fungsi fisiologis, yang
berkontribusi dalam disfungsi mekanisme transport ion, perubahan aktivitas
listrik, dan transduksi sinyal dalam sel (Nam et al., 2002). Telah diketahui
bahwa oksidan yang terkandung dalam asap rokok akan memicu kerusakan
struktur biologis. Asap rokok juga meningkatkan sel inflamasi yang
memperberat stres oksidatif (Barreiro et al., 2010). Pada berbagai penelitian,
telah diungkapkan adanya peningkatan peroksidasi lipid (Morrow et al.,
1995; Frei et al., 1991), oksidasi protein dan thiol (Reznick et al., 1992), serta
oksidasi DNA dalam darah perokok serta berbagai organ pada hewan coba
(Park et al., 1998).
Pada penelitian ini, penghentian paparan selama 7, 14 dan 28 hari
belum dapat menurunkan kadar MDA mendekati kadar kontrol (tanpa
paparan), meskipun terdapat penurunan apabila dibandingkan kelompok
paparan asap rokok dan debu batubara. Hal ini mengindikasikan bahwa
131
perbaikan kerusakan oksidatif berlangsung secara lambat dengan
mekanisme bergantung kepada penggantian seluler. Tingginya sistem
pertahanan antioksidan dan metabollisme oksidatif berhubungan dengan
aktivitas proliferasi sel yang mempunyai aktivitas metabolik tinggi dan
ekspansi yang tidak terkendali (Kinnula & Crapo, 2004).
Destruksi peroksidatif membran sel akan memicu kehilangan
integritas fungsional dan pembentukan produk awal peroksidasi lipid,
antara lain MDA. Di lain pihak, MDA bersifat mutagenik dan
prokarsinogenik akibat kemampuan reaksi dengan gugus fungsional
berbagai komponen, antara lain asam amino protein, basa asam nukleat,
basa N dari fosfolipid, dan gugus SH dari senyawa sulfhidril (Palozza et al,
2006).
8.5 Metaplasia
8.5.1 Progresi
Bukti yang menunjukkan karsinogenisitas debu batubara pada
manusia dan hewan coba belum adekuat sehingga debu batubara belum
diklasifikasikan sebagai karsinogen (Kolling et al., 2011). Meskipun demikian
rangkaian proses menuju kanker melibatkan tahap metaplasia-displasia-
kanker (Delvenne et al., 2004). Metaplasia epitel adalah proses adaptif akibat
transformasi satu tipe sel epitel menjadi tipe sel yang lain dengan struktur
dan fungsi yang berbeda (Herfs et al., 2009; Slack & Tosh, 2001; Slack, 2007).
Pada sel epitel bronkial, ekspresi MUC5AC sebagai protein musin
yang utama, dikendalikan oleh TNF- dan neutrofil elastase (Yageta et al.,
2011). Perilaku sel dalam menerima paparan debu batubara bertujuan
sebagai proses adaptif dan homeostasis yang melibatkan perubahan struktur
sel dan perubahan fungsi sel. Dengan demikian, penentuan metaplasia sel
merupakan gabungan dari perubahan struktur sel yang dinilai secara
132
morfologi (marker histopatologi) serta perubahan fungsi sel yang dinilai
dengan perubahan ekspresi protein (marker biokimia).
Pada penelitian ini, analisa morfologi sel telah didapatkan perubahan
metaplasia pada paparan debu batubara 14 hari dan 28 hari. Sementara itu,
perubahan ekspresi MUC5AC sebagai market terkait fungsi sel baru
diperoleh perubahan (penurunan secara bermakna) pada paparan 28 hari.
Artinya, lama paparan debu batubara yang memicu metaplasia adalah 28
hari.
Paparan debu batubara selama 28 hari berbagai dosis menurunkan
ekspresi MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol. Demikian pula
pada paparan 14 hari juga terdapat kecenderungan penurunan ekspresi
MUC5AC. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen debu batubara dapat
menghambat sinyal downstream EGFR. Komponen anorganik tertinggi dari
debu batubara adalah besi (36,9%). Pada penelitian Baldys & Aust (2004)
disimpulkan bahwa besi mampu menghambat aktivasi EGFR sehingga
menekan sinyal downstream pembentukan MUC5AC. Pada penelitian ini,
ekspresi EGFR untuk paparan 14 hari dan 28 hari berbagai dosis debu
batubara tidak didapatkan perbedaan yang bermakna.
Apabila dibandingkan dengan bukan perokok, resiko insidensi
kanker paru pada perokok lebih besar 22 kali lipat pada pria dan 12 kali lipat
pada wanita (Zhang et al., 2008). Telah diketahui bahwa remodeling saluran
nafas bagian atas dan bagian bawah menjadi metaplasia skuamosa, yang
menghasilkan perkembangan penyakit, berhubungan dengan paparan asap
rokok (Yee et al., 2009). Perkembangan maupun insidensi kanker paru akibat
gabungan asap rokok dan debu batubara belum ada yang meneliti.
Berbagai kandungan asap rokok nampaknya memicu peningkatan
MUC5AC. Penelitian Borchers et al. (1999) dinyatakan bahwa paparan
akrolein akan meningkatkan ekspresi mRNA MUC5AC. Penelitian Chiba et
al. (2011) menyatakan bahwa benzo(a)pyrene menyebabkan upregulasi
133
MUC5AC. Penelitian Almolki et al. (2008) juga mendapatkan peningkatan
ekspresi MUC5AC akibat paparan asap rokok. Pada penelitian ini, paparan
asap rokok disertai paparan debu batubara dosis 25 mg/m3 menyebabkan
penurunan ekspresi MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol
(p<0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa komponen aktif dari asap rokok
atau debu batubara memblokade sinyal EGFR dalam produksi MUC5AC.
Penelitian Kim et al. (2004) memaparkan lipopolisakarida untuk
menginduksi sel goblet metaplasia ditemukan peningkatan ekspresi
MUC5AC yang dapat dihambat oleh pemberian matrik metalloproteinase
inhibitor, dengan demikian gabungan asap rokok dan debu batubara pada
penelitian ini akan memunculkan efek analog dengan matrik
metalloproteinase inhibitor.
8.5.2 Regresi
Sel epitel melapisi saluran nafas dan melayani fungsi protektif. Fungsi
barrier epitelium melindungi individu dari kerusakan akibat inhalasi iritan
misalnya bakteri, virus, partikel dan iritan fase uap. Secara normal, sekresi
mukus bertindak protektif. Epitelium memproduksi musin sebagai protein
glikosilasi yang disintesis oleh sel epitel permukaan (sel goblet) dan sel
kelenjar submukosa (mukus). Ketika musin dilepaskan dari sel (melalui
degranulasi) akan menjadi cair dan membentuk gel viskoelastis yang
menyebar di permukaan epitel.
Mukus saluran nafas membentuk barrier protektif antara epitel
saluran nafas dan lingkungan. Mukus berpartisipasi dalam pertukaran
panas dan air dalam saluran nafas, mengikat partikel dan bakteri untuk
dipindahkan dari saluran nafas melalui eskalator mukosilia. Mukus juga
mempunyai fungsi antiprotease dan antioksidan. MUC5AC dominan
diekspresikan oleh sel goblet (Voynow, 2002; Henke et al., 2004). Pada
penelitian tahap 2 (Bab 7) telah dibuktikan bahwa paparan asap rokok
134
disertai paparan debu batubara dosis 25 mg/m3 menyebabkan penurunan
ekspresi MUC5AC secara bermakna dibandingkan kontrol. Hal ini
mengindikasikan bahwa komponen aktif dari asap rokok dan debu batubara
memblokade sinyal EGFR dalam produksi MUC5AC. Pada penelitian tahap
3 (Bab 8), penghentian paparan selama 7 hari, 14 hari, dan 21 hari
meningkatkan ekspresi MUC5AC. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas
blokade sinyal EGFR dalam produksi MUC5AC yang disebabkan oleh
reaktivitas komponen aktif dari asap rokok dan debu batubara mulai
berkurang.
Apabila asap rokok dikombinasikan dengan debu batubara akan
memicu efek penurunan ekspresi MUC5AC. Penelitian Kim et al. (2004)
memaparkan lipopolisakarida untuk menginduksi sel goblet metaplasia
ditemukan peningkatan ekspresi MUC5AC yang dapat dihambat oleh
matrik metalloproteinase inhibitor, dengan demikian penghentian paparan
asap rokok dan debu batubara pada penelitian ini akan memunculkan efek
analog dengan matrik metalloproteinase.
Daftar Pustaka
Almolki A, Guenegou A, Golda S, Boyer L, Benallaoua M, Amara N. 2008.
Heme oxygenase-1 prevents airway mucus hypersecretion induced by
cigarette smoke in rodents and humans. The American Journal of
Pathology; 173(4):983-994.
Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor, Ornel T. 2004 The presence of
promatrix metalloproteinase-3 and its relation with different
categories of coal worker pneumoconiosis. Mediators Inflammation;
13(2):105-109.
Anto RJ, Mukhopadhyay A, Shishodia S, Gairola CG, Aggarwl BB. 2002.
Cigarette smoke condensates activates nuclear transcription factor-B
and degradation of IB: correlation with induction of cycloxygenase-
2. Carcinogenesis; 23(9):1511-1518.
Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. 2007. Examination of lung toxicity,
oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal
mine ambience. Environmental Toxicology and Pharmacology;
24:106-113.
135
Baldys A, Aust AE. 2004. Role of iron in inactivation of epidermal growth
factor receptor after asbestos treatment of human lung and pleural
target cells. American Journal Respiratory Cell Molecular Biology;
32:436-442.
Barreiro E, Peinado VI, Galdiz JB, Ferrer E, Marin-Corral J, Sanchez F, Gea J,
Barbera JA. 2010. Cigarette smoke-induced oxidative stres. A role in
chronic obstructive pulmonary disease skeletal muscle dycfunction.
American Joural Respiration Critical Care Medicine; 182:477-488.
Bielicki JK, McCall MR, van den Berg JJM, Kuypers FA, Forte TM. 1995.
Copper and gas phase cigarette smoke inhibit plasma lecithin:
cholesterol acyltransferase activity by different mechanisms. Journal
of Lipid Research; 36:322-331.
Borchers MT, Wesselkamper S, Wert SE, Shapiro SD, Leikauf GD. 1999.
Monocyte inflammation augments acrolein-induced MUC5AC
expression in mouse lung. American Jouranl Physioology Lung
Cellular Molecular Physiology; 277:489-497.
Carter CA, Misra M. 2010. Effects of short-term cigarette smoke exposure on
Fischer 344 rats and on secreted lung proteins. Toxicology Pathology;
38:402.
Cohen L, Xueping E, Tarsi J, Ramkumar T, Horiuchi TK, Cochran R,
DeMartino S, Schechtman KB, Hussain I, Holtzman MJ, Castro M.
2007. Epithelial cell proliferation contributes to airway remodeling in
severe asthma. American Journal Respiratory Critical Care Medicine;
176:138-145.
Dey N, Chattopadhyay DJ, Chatterjee IB. 2011. Molecular mechamism of
cigarette smoke-inducec proliferation of lung cells and prevention by
vitamin C. Journal of Oncology; doi. 10.1155/2011/561862.
Dreux AC, Lamb DJ, Modjtahedi H, Ferns GA. 2006. The epidermal growth
factor receptors and their family of ligands: their putative role in
atherogenesis. Atherosclerosis; 186(1):38-53.
Fishwick D. 2008 Pneumoconiosis. Hypothesis Medicine; 36(5):258-260.
Frei B, Forte TM, Ames BN, Cross CE. 1991. Gas phase oxidants of cigarette
smoke induce lipid peroxidation and changes in lipoprotein
properties in human blood plasma: protective effcets of ascorbic acid.
Biochemical Journal; 277:133-138.
Gensch E, Gallup M, Sucher A, Li D, Gebremichale A, Lemjabbar H,
Mengistab A, Dasari V, Hothkiss J, Harkena J, Basbaum C. 2004.
Tobacco smoke control of mucin production in lung cells requires
oxygen radicals AP-1 and JNK. The Journal of Biological Chemistry;
279(37):39085-39093.
Ghanem MM, Porter D, Batteli LA, Valyathan V, Kashon ML, Ma JY. 2004.
Respirable coal dust particle modify cytochrome P4501A1 expression
136
in rat alveolar cells. American Journal Respiratory Cell Molecular
Biology; 31:171-187.
Gould NS, Min E, Day BJ. Macropinocytosis of extracellular glutathione
ameliorates tumor necrosi factor release in activated macrophages.
Plos ONE; 6(10): e25704. doi: 10.1371/journal.pone.0025704.
Gulumian M, Born PJA, Vallyathan V, Castranova V, Donaldson K, Nelson
G, Murray J. 2006. Mechanistically identified suitable biomarkers of
exposure, effect, and susceptibility for silicosis and coal-worker’s
pneumoconiosis: a comprehensive study. Journal Toxicology &
Environmental Health Part B; 9:357-395.
Gurel A, Armutcu F, Damatoglu S, Unalacak M. Demircan N. 2004.
Evaluation of erythrocyte Na+, K+, ATPase and superoxide dismutase
activities and malondialdehyde level alteration in coal miners.
European Journal Genetic Medicine; 1(4):22-28.
Harris RC, Chung E, Coffey RJ. 2003. EGF receptor ligands. Experimental
Cellular Research; 284(1):2-13.
Henke MO, Renner A, Huber RM, Seeds MC, Rubin BK. 2004. MUC5AC and
MUC5B mucins are decreased in cystic fibrosis airway secretions.
American Journal Respiration Cellular Molecular Biology; 31: 86-91.
Herfs M, Hubert P, Delvenne P. 2009. Epitel metaplasia: adult stem cell
repropgramming and pre(neoplastic) transformation mediated bya
inflammation. Trends in Molecular Medicine; 15(6):245-253.
Hitoshi K, Katoh M, Suzuki T, Ando Y, Nadai M. 2011. Differential effect of
single-walled carbon nanotubes on cell viability of human lung and
pharynx carcinoma cell lines. The Journal of Toxicological Sciences;
36(3):379-387.
Honma K, Abraham JL, Chiyotani K, De Vuyst P, Dumortier P, Gibbs AR.
2004 Proposed criteria for mixed-dust pneumoconiosis: Definition,
descriptions, and guidelines for pathologic diagnosis and clinical
correlation. Human Pathology; 35:1515–1523.
Huang X, Finkelman RB. 2008. Understanding the chemical properties of
macerals and minerals in coal and its potential application for
occupational lung disease prevention. Journal of Toxicology and
Environmental Health Part B; 11(1):45-67.
Huang X, Zhang Q. 2003. Coal-induced interleukin-6 gene expression is
mediated through ERKS and p38 MAPK pathways. Toxicology and
Applied Pharmacology; 191:40-47.
Kim JH, Lee SY, Bak SM, Suh IB, Lee SY, Shin C, Shim JJ, In KH, Kang KH,
Yoo SH. 2004. Effects of matrix metalloproteinase inhibitor on LPS-
induced goblet cell metaplasia. American Journal Physiology Lung
Celluler Molecular Physiology; 287:127-133.
Kinnula VL, Crapo JD. 2004. Superoxide dismutases in malignant cells and
human tumors. Free Radical Biology Medicine; 36:718-744.
137
Kolling A, Ernst H, Rittinghausen S, Heinrich U. 2011. Relationship of
pulmonary toxicity and carcinogenicity of fine and ultrafine granular
dust in a rat bioassay. Inhalation Toxicology; 23(9):544-554.
Kosmider B, Messier EM. Chi HW, Mason RJ. 2011. Human alveolar
epithelial cell injury induced by cigarette smoke. Plos ONE 6(12):
e26059. doi:10.13071/journal.pone.0026059.
Luppi F, Longo AM. Boer WI. Rabe KF, Hiemstra PS. 2007. Interleukin-8
stimulates cell proliferation in non-small cell lung cancer through
epidermal growth factor receptor transactivation. Lung Cancer; 56:25-
33.
Minai-Tehrani A, Park Y, Hwang S, Kwon J, Chang S, Park S, Yu K, Kim J,
Shin J, Kim J, Kang B, Hong S, Cho M. 2011. Aerosol delivery of
kinase-deficient Akt1 attenuates Clara cell injury induced by
naphthalene in the lungs of dual luciferase mice. Journal Veterinary
Science; 12(4);309-317.
Morrow JD, Frei B, Longmire AW, Gaziano JM, Lynch Sm, Shyr Y, Strauss
WE, Oates JA, Roberts LJ. 1995. Increase in circulating products of
lipid peroxidation (F2-isoprostanes) in smokers: smoking as a cause of
oxidative damage. New England Journal of Medicine; 332:1198-1203.
Moss ML, Bomar M, Liu Q, Dempsey P, Lemhart PM, Gillispie PA, Stoeck A,
Wildeboer D, Bartsch JW, Palmisano R, Zhou P. 2007. The ADAM10
prodomain is a specific inhibitor of ADAM10 proteolytic activity and
inhibits cellular sheding events. Journal Biological Chemistry;
282(49):35712-35721.
Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, Bertrand J, Kleeberger SR, Kauffmann F. 2005.
Association of CAT polymorphisms with catalase activity and
exposure to environmental oxidative stimuli. Free Radical Research;
39(12):1345–1350.
Palmer SM, Flake GP, Kelly FL, Zhang HL, Nugent JL, Kirby PJ, Foley JF,
Gwinn WM, Lorgan DL. 2011. Severe airway epithelial injury,
aberrant repair and bronchiolitis obliterans develops after diacetyl
instillation in rats. Plos ONE 6(3): e17644. doi:
10.1371/journal;.pone.0017644.
Palozza P, Serini S, Trombino S, Lauriola L, Ranelletti FO, Calviello G. 2006.
Dual role of -carotene in combinationwith cigarette smoke aqueos
extract on the formation of mutagenic lipid peroxidation in lung
membranes: dependence on pO2. Carcinogenesis; 27(12):2383-2391.
Park EM, Park YM, Gwak YS. 1998. Oxidative damage in tissue of rats
exposed to cigarette smoke. Free Radical Biology Medicine; 25:79-86.
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
138
Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F, Moreira JCF. 2005.
N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmonary oxidative stress
and inflammation in rats after coal dust exposure. Environmental
Research; 99:355-360.
Reznick AZ, Cross CE, Hu ML, Suzuki YJ, Khwaja S, Safadi A, Motchnik PA,
Packer L, Halliwell B. 1992. Modification of plasma proteins by
cigarette smoka as measured by carbonyl formation. Biochemical
Journal; 199; 286:607-611.
Sato T, Seyama K, Sato Y, Mori H, Souma S, Akiyoshi T, Kodama Y, Mori T,
Goto S, Takahashi K, Fukuchi Y, Maruyama N, Ishigami A. 2006.
Senescence marker protein-30 protects mice lungs from oxidative
stress, aging, and smoking. American Journal Respiratory Critical
Care Medicine; 174:530-537.
Schins RPF, Borm PJA. 1999. Mechanisms and mediators in coal dust
induced toxicity: a review. Annual Occupational Hygiene; 43(1):7-33.
Singh T, Sharma SD, Katiyar SK. 2011.Grape proanthocyanidins induce
apoptosis by loss of mitochrondrial membrane potential of human
non small cell lung cancer cells in vitro and in vivo. Plos ONE
6(11):e27444. doi:10.1371/journal.pone.0027444.
Slack JM, Tosh D. 2001. Transdifferentiation and metaplasia– switching cell
types. Current Opinion Genetic Development; 11:581–586.
Slack JM. 2007. Metaplasia and transdifferentiation: from pure biology to the
clinic. Nature Review Molecular Cellular Biology; 8:369–378.
van der Toorn M, Rezayat D, Kauffman HK, Bakker SJ, Gans ROB, Koeter
GH, Choi AMK, van Oosterhoust AJM, Slebos D. 2009. Lipid-soluble
components in cigarette smoke induce mitochondrial production of
reactive oxygen species in lun epithelial cells. American Journal
Physiology Lung Celluler Molecular Physiology; 297:L109-L114.
Voynow JA. 2002. What does mucin have to do with lung disease? Paediatric
Respiratory Reviews; 3:98-103.
Yageta Y, Ishii Y, Morsihima Y, Masuko H, Ano S, Yamadori T, Itoh K,
Takeuchi K, Yamamoto M, Hizawa N. 2011. Role of Nrf2 in host
defense against influenza virus in cigarette smoke-exposed mice.
Journal of Virology; 85(10):4679-4690.
Yee KK, Pribitkin EA, Cowart BJ, Vainius AA, Klocl CT, Rosen D, Hahn C,
Rawson NE. 2009. Smoking-associated squamous metaplasia in
olfactory mucosa of patients with chronic rhinosinusitis. Toxicology
Pathology; 37:594.
Zhang S, Xu N, Nie J, Dong L, Li J, Tong J. 2008. Proteomic alterations in
lung tissue of rats exposed to cigarette smoke. Toxicology Letters;
178:191-196.
139
Zhou F, Onizawa S, Nagai A, Aoshiba K. 2011. Epithelial cell senescence
impairs repair process and exacerbates inflammation after airway
injury. Respiratiry Research; 12:78.