kajian legislasi lahan dan air mendukung swasembada...

36
0 PROPOSAL OPERASIONAL TAHUN 2013 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN (lanjutan : TA 2013) Tim Penelitian Muchjidin Rachmat Tri Pranadji Mewa Ariani Chairul Muslim Cut Rabiatul Adawiyah PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Upload: vubao

Post on 27-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

PROPOSAL OPERASIONAL TAHUN 2013

KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

(lanjutan : TA 2013)

Tim Penelitian

Muchjidin Rachmat Tri Pranadji Mewa Ariani

Chairul Muslim Cut Rabiatul Adawiyah

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIANKEMENTERIAN PERTANIAN

2013

Page 2: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

RINGKASAN Dalam pembangunan nasional pencapaian swasembada pangan selalu

menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut, salah satu sumberdaya yang penting adalah ketersediaan lahan dan air untuk produksi pangan. Penyediaan lahan dan air untuk pangan saat ini menghadapi tekanan akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing-masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing-masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan dan air tersebut. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan dan air akan terjadi. Kondisi ini secara langsung akan berpengaruh terhadap produksi pangan dan upaya swasembada pangan. Penelitian tahun 2012 ditekankan mengkaji aspek legislasi di bidang lahan dengan cakupan kegiatan: (a) Mengevaluasi konsistensi peraturan perundangan dibidang air terkait dengan sasaran swasembada pangan.(b) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada pangan, dan (c) Menganalisis dampak implementasi peraturan di bidang lahan dan air terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan. Hasil penelitian tahun anggaran 2012 dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan menghasilkan temuan sebagai berikut: (a) Terdapat ke tidak-sinkronan antara beberapa peraturan (UU, Kepres) di tingkat pusat berkaitan dengan kebijakan lahan, terutama dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan lahan pertanian pangan mendukung swasembada pangan, (b) ketidak sinkronan kebijakan pusat tersebut berakibat banyaknya benturan kepentingan dalam penyusunan implementasi (Perda) di daerah, (c) Perkembangan kegiatan ekonomi di luar pertanian telah berakibat permintaan lahan dan air. Sejalan dengan itu konflik kepentingan penggunaan air terus meningkat, yang berakibat terjadinya konversi lahan dan air dari pertanian untuk penggunaan non pertanian, (d) Berbagai kebijakan dan peraturan telah ditetapkan dalam rangka pencegahan konversi lahan produktif, antara lain dengan diundangkannya UU No.41/2009 tentang Perlindungan lahan Pertanian pangan berkelanjutan, (e) Namun demikian penerapan UU No.41/2009 akan memerlukan waktu yang sangat lama, hal ini di samping masih perlunya disusun produk turunan UU tersebut (PP, Permen, Pedum), juga sangat tergantung kepada penyiapan produk hukum yang lebih operasional (Perda) di setiap daerah, (f) perlunya terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik, dan (g) lambatnya implementasi UU No.41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. Dalam tahun 2013 kegiatan lanjutan dengan difokuskan kepada legislasi bidang irigasi (pengairan) dalam kaitannya dengan ketersediaan lahan dan usaha pertanian dalam rangka swasembada pangan. Kegiatan penelitian dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Page 3: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam pembangunan nasional peningkatan ketahanan pangan selalu

merupakan menjadi prioritas. Sejalan dengan itu dalam dalam 2010 - 2014

target utama dari Kementerian Pertanian adalah pencapaian swasembada

pangan pokok yaitu padi, jagung, kedele, gula dan daging (Kementerian

Pertanian, 2010). Pencapaian ketahanan pangan tersebut terutama dilakukan

melalui pemenuhan produksi domestik, melalui pendayagunaan sebesar

besarnya sumberdaya domestik. Salah satu sumberdaya penting dalam

memproduksi pangan adalah lahan dan air untuk produksi pangan.

Penyediaan lahan dan air untuk pangan saat ini menghadapi tekanan

akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing

bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kemajuan

ekonomi di semua sektor pertanian telah menyebabkan meningkatnya

permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan yang ada

dihadapkan kepada ancaman konversi lahan ke non pertanian, degradasi

kualitas lahan dan lingkungan. Konflik kepentingan dalam rangka

memperebutkan penggunaan lahan dan air terjadi, pada awalnya lahan dan air

diprioritaskan untuk mendukung produksi pertanian terutama pangan. Dengan

berkembangnya tuntutan sektor lain akan lahan dengan air diikuti oleh

peningkatan nilai ekonomi lahan dan air terjadi realokasi pemanfaatan air sesuai

dengan nilainya.

Penyediaan lahan dan air untuk pangan berada pada kondisi kritis

karena terjadi penurunan luas lahan produktif, degradasi sumberdaya lahan, air

dan lingkungan serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya.

Keberadaan luas panen komoditas pangan berkaitan dengan ketersediaam air.

Luas lahan sawah cenderung menurun akibat konversi lahan, sementara

intensitas penanaman padi juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi

Page 4: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

dan penurunan layanan jaringan irigasi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan

non pertanian mempunyai dampak negatif terhadap pembangunan pertanian,

yaitu (a) secara langsung konversi lahan pertanian produktif ke non pertanian

telah menurunkan kapasitas produksi pertanian, (b) rusaknya sistem pengairan

di daerah produksi yang terbangun, dan (c) kondisi ini berarti kerugian investasi

yang telah ditanamkan dalam membangun waduk, jaringan irigari dan

pencetakan sawah (Sumaryanto, Hermanto dan Pasandaran, 1996).

Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing-masing

sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya

hak untuk mendayagunakan lahan dan air tersebut. Di bidang lahan, telah

diterbitkan beberapa UU dan turunannya, seperti UU No 26/2007 tentang

Penataan Ruang; UU No 12 /1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; UU No

41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; UU No

2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum; UU No 28/2009 Perumahan dan Kawasan Permukiman; UU No 18/2004

tentang Perkebunan; UU No 13/ 2010 tentang Hortikultura dan lainnya. Di

bidang air, ada dua UU penting yang berkaitan dengan pengairan, yaitu UU No

7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No 11 /1974 tentang Pengairan.

Di tingkat daerah sesuai dengan kepentingannya akan membangun

peraturan daerahnya yang dituangkan dalam Renstra dan atau Perda masing

masing. Aturan yang tercantum dalam produk hukum tersebut berpotensi terjadi

tumpang tindih dan berebut dalam pemanfaatan lahan sesuai kepentingannya.

Kondisi ini berpotensi terjadinya konversi pemanfaatan lahan pertanian dan

dengan sendirinya secara langsung akan mengurangi penggunaan lahan untuk

tanaman pangan sehingga berpotensi mengganggu peningkatan produksi dan

upaya swasembada pangan.

Kajian legislasi tentang lahan dan air telah dilakukan pada tahun 2012 dan

dilanjutkan pada tahun 2013. Pada tahun 2012 kegiatan penelitian ditekankan

mengkaji aspek legislasi di bidang lahan dengan cakupan kegiatan: (a)

Page 5: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

Mengevaluasi konsistensi peraturan perundangan di bidang lahan terkait dengan

sasaran swasembada pangan, (b) Mengevaluasi implementasi peraturan

perundangan di bidang lahan dan air terkait dengan sasaran swasembada

pangan, dan (c) Menganalisis dampak implementasi peraturan dibidang lahan

dan air terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan. Keberadaan luas

panen terutama tanaman pangan sangat berkaitan dengan ketersediaan air,

untuk itu dalam tahun 2013 kegiatan penelitian dilanjutan dengan memfokuskan

kepada kajian legislasi bidang air-irigasi dalam kaitannya dengan ketersediaan

lahan, usaha pertanian pangan dan produksi pertanian tanaman pangan.

1.2. Dasar Pertimbangan

Penyediaan pangan merupakan isu paling strategis dalam pembangunan

nasional, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk

besar. Dalam membangun ketahanan pangan perhatian lebih besar diberikan

kepada penyediaan pangan pokok yaitu beras. Sejalan dengan itu dalam

program pembangunan pertanian tahun 2010-2014 Kementerian Pertanian

memberikan prioritas kepada upaya swasembada beberapa komoditas pangan

utama yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi (Kementerian

Pertanian, 2010).

Secara umum pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan melalui

produksi domestik dan impor. Namun demikian, sebagai negara kepulauan

berpenduduk besar dengan wilayah yang sangat luas tentunya Indonesia

menghadapi kendala penyediaan pangan dan distribusi untuk menjangkau setiap

pelosok wilayah. Untuk itu Indonesia harus dapat membangun sistem ketahanan

pangan menuju ke kemandirian pangan dalam negeri yang mampu menjamin

ketersediaan dan akses setiap masyarakat di setiap wilayah. Kemandirian pangan

yang dibangun harus didasarkan kepada kemampuan produksi pangan dari

dalam negeri melalui optimalisasi seluruh potensi yang ada di dalam negeri.

Page 6: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

Salah satu unsur penting dalam memproduksi pangan adalah ketersediaan

lahan dan air untuk produksi pangan. Penyediaan lahan dan air untuk pangan

saat ini menghadapi tekanan akibat persaingannya penggunaannya dengan

sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Kondisi

demikian menyebabkan lahan pertanian pangan dihadapkan kepada masalah

penurunan areal lahan pangan akibat konversi lahan ke non pertanian, degradasi

lahan dan lingkungan.

Penyediaan lahan bagi pangan berada pada kondisi kritis karena terjadi

penurunan luas lahan produktif, degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan

serta struktur kepemilikan lahan yang tidak semestinya. Luas lahan sawah

cenderung menurun akibat konversi lahan, sementara intensitas penanaman padi

juga menurun akibat menurunnya pasokan air irigasi dan penurunan layanan

jaringan irigasi. Konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian

mempunyai dampak negatip terhadap pembangunan pertanian, yaitu

penurunan: (a) Kapasitas luas panen produksi pertanian, (b) Produktifitas

pertanian, (c) Produksi pertanian.

Upaya mengimbangi penurunan luas areal produksi pangan dan juga

berarti meningkatkan kapasitas produksi dapat dilakukan melalui peningkatan

luas panen yaitu melalui perluasan areal tanam/pembukaan baru lahan yang

berpotensi untuk produksi pangan dan peningkatan intensitas tanam. Upaya

kearah itu terus dilakukan melalui program pencetakan areal tanam baru dan

peningkatan intensifikasi lahan yang ada. Sejalan dengan itu, diperlukan

kebijakan penyediaan air irigasi untuk produksi pangan, dalam bentuk

pembangunan infrastruktur ketersediaan air (waduk, embung, pompa);

pendayagunaan sumber sumber air yang ada, pemeliharaan infrastruktur irigasi,

dan kebijakan keberpihakan kepada priotitas penyediaan air untuk pertanian.

Berbagai kebijakan dan aturan yang dituangkan dalam produk hukum

telah disusun oleh berbagai pihak yang pada hakekatnya ditujukan dalam rangka

pemenuhan dan akses secara legal dari masing masing pihak dalam

Page 7: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

memanfaatkan lahan dan air. Kebijakan tersebut dapat selaras atau berbenturan

dalam pengelolaan air bagi kebutuhan setiap saat yang dituangkan dalam

kebijakan alokasi sumberdaya air.

1.3. Tujuan

Secara lebih rinci tujuan dari kajian adalah:

1) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan di bidang

air dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan.

2) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang air dalam

rangka swasembada pangan berkelanjutan.

3) Menganalisis dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka

sasaran swasembada pangan berkelanjutan.

1.4. Keluaran yang Diharapkan

Berdasarkan tujuan tersebut, keluaran kajian adalah :

1) Hasil evaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan di

bidang air berkaitan dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan.

2) Hasil evaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang air dalam

rangka swasembada pangan berkelanjutan.

3) Dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka swasembada

pangan berkelanjutan.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Secara garis besar kajian ini merupakan kajian kebijakan di bidang air

dalam rangka pencapaian tujuan swasembada pangan. Kajian yang dimaksud

dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundangan yang ada berkaitan

dengan air. Sesuai dengan tujuan, maka dari kajian ini akan dihasilkan informasi

tentang: (a) Keterkaitan peraturan perundangan air berkaitan dalam rangka

swasembada pangan berkelanjutan, (b) Evaluasi implementasi peraturan

Page 8: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

perundangan di bidang dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan, dan

(c) Analisis dampak implementasi peraturan di bidang air dalam rangka

swasembada pangan berkelanjutan. Dengan diketahuinya aspek tersebut, akan

dapat dihasilkan perbaikan dalam kebijakan dan rekomendasi untuk pencapaian

efektifitas pelaksanaan peraturan perundangan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

Upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan selalu menjadi

fokus utama pembangunan pertanian nasional dari sejak penjajahan belanda

sampai saat ini. Swasembada pangan berkelanjutan merupakan masalah

kebijakan politik negara, sehingga pemecahan masalah ini harus menjadi

komitmen negara dan masyarakat, dan tidak dapat begitu saja diserahkan

menjadi urusan privat atau melalui mekanisme pasar secara konvensional.

Swasembada pangan berkelanjutan akan sangat sulit diwujudkan jika sistem

pertanian hanya dijadikan urusan pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Kebijakan politik tentang “swasembada pangan berkelanjutan” bukan

produk yang dihasilkan dari transaksi pelaku ekonomi di pasar bebas, melainkan

amanat konstitusi (UUD 1945). Kajian legislasi tentang lahan dan air untuk

mendukung swasembada pangan berkelanjutan harus dilihat dari perspektif multi

dimensi yaitu dimensi ideologi, konstitusi, sosio-kulutral-historis, dan eko-geo-

strategis.

Hingga menginjak umur ke 68 tahun, bangsa Indonesia belum berhasil

menata sistem legislasi di bidang lahan dan air yang memungkinkan tercapainya

swasembada pangan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Dapat dikatakan suatu negara bangsa (nation state) yang tidak

mampu mengelola sumberdaya alamnya, terutama lahan dan air secara baik

(untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya), maka

bangsa atau negara tersebut dapat disebut sebagai negara gagal (fail state).

Page 9: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

Secara historis-peradaban dapat dikatakan bahwa kemajuan peradaban suatu

bangsa atau negara sangat ditentukan seberapa hebat dan komprehensif dapat

menyusun sistem legislasi (dan penerapannya) untuk menjamin kemakmuran

dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan untuk seluruh rakyatnya. Tanpa

sistem legislasi di bidang lahan dan air yang baik, hampir dipastikan akan terjadi

ekskalasi konflik agraria yang sangat serius akibat terabaikannya kepentingan

rakyat.

Konflik yang terkandung dalam pengelolaan lahan dan air bukan saja

menjadi fakta sosio-politik-historis, melainkan juga telah disadari sebagai

masalah yang harus dikelola negara. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

dinyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat”. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan bumi (lahan) dan air (termasuk

untuk pertanian mendukung swasembada pangan berkelanjutan) merupakan

kegiatan strategis yang harus dikendalikan lembaga setingkat negara. Semacam

ada asumsi bahwa jika kedua sumberdaya strategis ini tidak dikendalikan melalui

sistem legislasi yang baik hampir dapat dipastikan akan terjadi eskalasi konflik

yang melibatkan banyak pihak, karena pemanfaatan secara sepihak oleh

kalangan kuat ekonomi, sosial, politik, dan yang dekat dengan kekuasaan yang

berjumlah sedikit akan kalangan lain (“mayoritas rakyat”) terpinggirkan.

Program pertanian, khususnya swasembada pangan berkelanjutan, sangat

erat kaitannya dengan pengelolaan lahan dan air. Dengan kata lain, kegagalan

penyelenggaraan pembangunan pertanian, termasuk swasembada pangan,

umumnya terkait dengan kegagalan dalam pengelolaan konflik lahan dan air.

Substansi “konflik” dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air telah menjadi

masalah historis dan konstitusional yang hingga saat ini belum terpecahkan.

Amanat UUD 1945 (Pasal 33 ayat (3)) telah sangat jelas bahwa pengelolaan

lahan dan air, termasuk dalam mendukung swasembada pangan berkelanjutan,

merupakan hal sangat serius bagi penyelenggara negara. Kementerian Pertanian,

Page 10: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

 

karena diberi tugas dalam pencapaian swasembada pangan berkelanjutan,

berada di tengah pusaran konflik lahan dan air. Konflik antar lembaga negara,

termasuk antar kementerian dan lembaga, dalam pengelolaan lahan dan air

masih memposisikan kementerian pertanian pada posisi yang lemah.

Dalam pandangan kaum psiokrat (abad pertengahan di Eropa), penguasaan

terhadap lahan (termasuk komplemennya, yaitu: air) merupakan bagian yang

harus diatur negara secara adil. Siapa yang mampu menguasai atau mengakses

sumberdaya lahan dan air untuk kepentingan ekonomi dan pangan mereka lah

yang akan mampu menguasai kepentingan orang banyak, dan hal ini sangat

berbahaya bagi pencapaian keadilan sosial. Jika saja negara tidak membuat

sistem legislasi yang baik, dan cenderung menganut “ekonomi pasar” atau

liberal, hampir dipastikan akan terjadi eskalasi konflik yang menjelma dalam

bentuk kekacauan sosial politik pada setiap 20-30 tahun sistem pemerintahan.

Secara historis eskalasi konflik ini telah dialami oleh Bangsa Indonesia, yang

ditunjukkan pada akhir abad 19 (kasus di Sumatera Utara bagian timur) tahun

1945, 1965, dan 1998.

Tatanan legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat

berpengaruh besar terhadap pencapaian swasembada pangan berkelanjutan.

Sebagai gambaran, dalam perspektif otonomi daerah (UU No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah), sektor pertanian tidak diposisikan sebagai

urusan yang penting dan strategis. Merujuk PP No. 37 Tahun 2008 (PP 37/2008)

ada tiga prasa yang satu sama lain menimbulkan tafsir ganda tentang

pengelolaan sumberdaya lahan dan air, urusan pertanian, dan (ketahanan)

pangan (berkelanjutan). Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,

sumberdaya alam mecakup lahan dan air, dikategorikan sebagai urusan wajib,

demikian pula urusan ketahanan pangan. Namun dilihat secara sektoral, dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah pertanian merupakan urusan pilihan.

Untuk negara agraris dan kepulauan seperti Indonesia, penempatan urusan

pertanian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai urusan pilihan

Page 11: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

10 

 

perlu mendapat pengkritisan secara serius. Kesenjangan atau konflik antara

gagasan (yang menempatkan pertanian sebagai urusan pilihan) dan kenyataan

(bahwa sebagian besar mata pencaharian dan kehidupan masyarakat

menyandarkan pada sektor pertanian) seharusnya dilihat sebagai hal yang

sangat serius. Mashab pemikiran yang melatar-belakangi pengaturan (PP No

37/2008) pertanian diposisikan sebagai urusan pilihan, mungkin sangat cocok

untuk masyarakat yang mata pencahariannya didominasi oleh sektor industri

atau jasa. Substansi materi PP No 37/2008 ini menjadi “tidak nyambung” jika

disasarkan untuk masyarakat agraris pedesaan seperti umumnya di Indonesia.

Dilihat dari pembagian kewenangan antara Pemerintah (pusat) dan

pemerintah daerah, muatan legislasi (UU No.32/2004) yang hanya menempatkan

enam urusan (kebijakan politik luar negeri, fiskal dan moneter, yustisia, agama,

pertahanan, dan keamanan) sebagai kewenangan pemerintah juga harus

dikritisi. Konflik pengelolaan lahan dan air juga sangat diwarnai tidak adanya

sinergi antar wilayah administrasi yang berdekatan, baik secara lintas provinsi

maupun kabupaten/kota. Ada baiknya untuk dilakukan pemikiran ulang tentang

pembagian kewenangan yang sesuai dengan fakta dan dinamika yang

berkembang di lapangan, bahwa pengelolaan lahan dan air merupakan urusan

pemerintah.

2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait

2.2.1. Hasil Kajian Tahun 2012

Salah satu perspektif tumpuan pembangunan Pertanian adalah pencapaian

swasembada pangan yang menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut,

diperlukan adanya faktor pendukung utama ketersediaan sumberdaya lahan

pertanian. Saat ini, dengan total luas lahan sawah sekitar 8 juta ha, kemampuan

lahan untuk menyediakan pangan yang layak bagi penduduk berada pada batas

kritis. Hal ini karena kondisi teknologi yang status quo, misalnya keinginan untuk

swasembada beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 hanya akan tercapai

apabila tersedianya lahan sawah seluas 10 juta ha. Untuk itu pencegahan

Page 12: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

11 

 

konversi lahan haruslah disertakan pencetakan sawah baru yang diupayakan

secara serius.

Dalam rangka pengamanan produksi pangan (padi) untuk jangka panjang

dengan adanya pengendalian konversi lahan telah disusun UU No.41 Tahun 2009

tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Secara

garis besar UU No. 41/2009 berisi aturan atau ketetapan tentang: (a)

Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, (b) Pengaturan alih fungsi lahan, (c)

Keterkaitan dengan peraturan Lain, (d) Sistem informasi lahan berkelanjutan, (e)

Pemberdayaan masyarakat, dan (f) Sistem insentif dan sangsi.

Dengan adanya UU No. 41/2009, kemajuan di segala bidang/sektor

pertanian berdampak pada permintaan terhadap lahan meningkat. Untuk

mendapatkan hak atas lahan tersebut, masing-masing sektor/bidang telah

mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk

mendayagunakan lahan dan air yang tertuang dalam UU No. 5/1960 yaitu Hak-

Hak Atas Tanah, Air Dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah. (Bab II.

Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2). Dalam implementasi UU No. 41/2009 terjadi

ketidaksinkronan antara UU No.41/2009 dengan UU lain berkaitan penggunaan

lahan, seperti dengan UU No.26 /2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 2/2012

Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU

No. 1/2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman, serta dengan

sesama UU lingkup sektor pertanian seperti UU No. 18/2004 tentang

Perkebunan, UU No.13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 28/2009 tentang

Peternakan dan kesehatan Hewan serta dengan Prepres No 54/2008 tentang

penataan ruang kawasan JABODETABEKPUNJUR dan Perpres No.32 tahun 2011

Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

2011-2025 (MP3EI).

Ketidaksinkronan terjadi pula antara UU No. 41/2009 dengan UU No. 26

/2007 tentang Penataan Ruang berkaitan dengan cakupan jenis lahan yang akan

dilindungi. Dalam UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi

Page 13: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

12 

 

mencakup lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang

surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk didalamnya lahan yang di

cadangkan untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau diluar

kawasan pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan pedesaan dan

atau perkotaan di wilayah kabupatan/kota. Sementara dalam UU No. 26/2007

dan diikuti oleh Perda RTRW Propinsi dan kabupaten/Kota, kawasan lahan abadi

pertanian pangan untuk ketahanan pangan hanya di kawasan perdesaan

(Rachmat.M. et al 2012).

Undang-undang lainnya yang berpotensi mengeliminir berlakunya UU No.

41/2009 adalah UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan

Umum, dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh

Pemerintah. Tanah untuk kepentingan umum mencakup 18 jenis, yang hamper

semuanya untuk kebutuhan sarana umum. Dengan dasar tersebut, atas nama

kepentingan umum maka lahan pertanian yang berada dalam kawasan yang

dilindungi dapat dikonversi. Pada sisi lain, keberadaan UU No 1/2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman juga berpotensi besar menjadi dasar

untuk terjadinya konversi lahan pertanian. Dalam UU No. 1/2011 dikemukakan

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya,

bertanggung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembagunan perumahan dan

kawasan permukiman, ditetapkan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).

Implementasi UU No. 41/2009 di daerah sangat beragam, baik dalam

pemahaman aparat daerah tentang materi UU No. 41/2009 dan implentasinya di

masing-masing daerah yang tertuang dalam Perda RTRW Propinsi dan RTRW

Kabupaten/Kota. Penetapan jenis dan luas lahan pertanian pangan yang akan

dilindungi dalam Perda RTRW yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan

akan lahan dari sektor lain. Konflik kepentingan penggunaan sangat kompleks

seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat sejalan dengan besarnya tuntutan

Page 14: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

13 

 

akan lahan dengan kemajuan di luar pertanian. Permasalahan menjadi semakin

rumit dengan masuknya kepentingan politis penguasa daerah. Pada kondisi

demikian maka konversi lahan manjadi tidak terkontrol.

Dalam implementasi peraturan di daerah, di Propinsi Jawa Barat, dari

penelusuran terhadap Perda RTRW kabupaten/kota di Jawa Barat diidentifikasi:

(a) Hampir seluruh wilayah pemerintah kota tidak mengalokasikan lahan

pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan berkelanjutan, (b) Terdapat

kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi lebih

kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada, (c) Alokasi lahan pertanian pangan

yang dilindungi seluruh lahan pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian

lahan sawah non teknis, (d) Alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi

mencakup seluruh lahan pertanian sawah, dan (e) Hanya beberapa kabupaten

yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh

lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan non sawah.

Di Propinsi Bali, menunjukan kondisi paling ideal dimana keberadaan

lembaga adat yang kuat mengakar dan didukung oleh kebijakan pemerintah

menyebabkan perlidungan lahan lebih terkontrol. Lembaga adat tidak saja telah

berperan dalam menjaga lahan pertanian sawah di Propinsi Bali tetapi bersifat

mengkonservasi lahan sawah, karena keberadaan lahan sawah juga didukung

oleh terpeliharanya sumber air dan jaringan irigasi dengan baik.

Kasus di Provinsi Sumatera Selatan, terdapat potensi besar untuk

perluasan areal sawah (pencetakan sawah) dan berkembangnya kegiatan

perekonomian serta perkembangan industri Kelapa Sawit dengan nilai ekonomi

yang tinggi. Di satu sisi memberikan peluang adanya kegiatan pencetakan sawah

dan di sisi lain alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit dan perumahan.

Di Propinsi Sulawesi Selatan, potensi pertanian sawah lebih stabil karena

permintaan konversi lahan relatif kecil (hanya sekitar kota propinsi), sementara

permintaan untuk pencetakan sawah baru juga masih cukup besar baik dari

lahan kering, bekas tambak dan bekas kebun kakao yang gagal.

Page 15: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

14 

 

Dalam penerapan UU No. 41/2009, aturan dalam UU tersebut dinilai kurang

tegas dan terlalu longgar, karena cenderung menyerahkan kewenangan

penetapan dan pengaturan lahan sawah yang dilindungi kepada Perda RTRW

Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dengan banyaknya kepentingan akan lahan

di masing-masing daerah, maka dalam penyusunan Perda RTRW, penetapan

penggunaan lahan cenderung terlebih dahulu memprioritaskan untuk kebutuhan

sektor pembangunan lain. Sehingga lahan pertanian yang dilindungi cenderung

hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan untuk non pertanian. Pada kondisi

demikian, adanya UU No. 41/2009 dan selanjutnya dituangkan dalam Perda

RTRW telah menjadi landasan/justifikasi kuat untuk terjadinya konversi lahan

pertanian sesuai yang ditetapkan Perda. Dalam kaitan tersebut, secara legal

lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi. Untuk itu, diperlukan

pemantauan, pendampingan/advokasi pemerintah kepada daerah (Dinas

pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW propinsi dan RTRW

kabupaten/kota secara intensif, sehingga daerah lebih peduli dalam menjaga

keberadaan lahan untuk pangan untuk produksi pangan masyarakat.

Pada bagian lain, adanya ketentuan masa pemberlakuan Perda RTRW

selama jangka waktu 20 tahun dan RTRW dapat ditinjau kembali dilakukan satu

kali dalam 5 tahun memungkinkan dalam jangka waktu tersebut terjadinya

perubahan komitmen dalam alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi. Hal

ini berarti terjadi ketidakpastian hukum tentang keberadaan lahan sawah yang

dilindungi dalam jangka panjang. Idealnya UU No. 41/2009 lebih tegas dalam

menetapkan dan mengatur keberadaan lahan untuk pangan. UU No. 41/2009

juga seharusnya bukan hanya melindungi tetapi dapat mengarah kepada upaya

mengkonservasi lahan pertanian pangan selamanya, melalui penetapan aturan

yang lebih tegas dan memberikan arahan jaminan agar lahan sawah untuk

produksi pangan tersebut terlindungi selamanya.

Dengan menyerahkan pengaturannya kepada Perda RTRW, penerapan/

pelaksanaan UU No. 41/2009 masih akan membutuhkan waktu panjang, karena

Page 16: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

15 

 

untuk pelaksanaan UU No. 41/2009 memerlukan syarat: (a) terlebih dahulu telah

diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No.

41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda

RTRW Propinsi dan Perda RTRW Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan

tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah

disusun peraturan/Perda/PerBup tentang Rencana Detail Tata Ruang yang

didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok, (d) perlunya

terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam

implementasinya tidak terjadi konflik, dan (e) lambatnya implementasi UU No.

41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap

pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin alih fungsi lahan

pertanian pangan berkelanjutan yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat

dipidana dengan pidana penjara sangat berat.

2.2.2. Perkembangan Peraturan Terkait Sumberdaya Air

Air merupakan kebutuhan utama makhluk hidup. Air dibutuhkan oleh

manusia tidak hanya sebagai air minum tetapi juga sebagai media produksi yaitu

sebagai air irigasi untuk keperluan budidaya pertanian. Selain itu air juga

digunakan sebagai media industri dan tenaga listrik. Oleh karena itu, pemerintah

menetapkan berbagai peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung

terkait pemanfaatan air terutama untuk irigasi. Kepentingan pengaturan air

irigasi untuk pertanian berkembang sejalan dengan perkembangan pertanian itu

sendiri.

Masa Kerajaan

Pada masa kerajaan Majapahit, salah satu sumber sejarah kuno yang

mengungkapkan data pertanian adalah prasasti, yang sebagian terbesar

ditemukan di Jawa. Dari sumber-sumber itu diketahui bahwa penduduk Jawa

mengenal dua jenis pertanian, yaitu gaga (ladang) dan sawah (sawah). Pada

zaman Raja Airlangga, kegiatan pertanian semakin maju dengan memerintahkan

Page 17: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

16 

 

pengendalian Sungai Brantas yang selalu meluap setiap tahunnya enggan

membangun bendungan Kamalagyan (Purnama, 2012).

Kegiatan pertanian mencapai puncak perkembangannya pada masa

Kerajaan Majapahit. Perhatian penguasa terhadap pertanian sangat besar untuk

melindungi petani dengan menetapkan aturan terkait pemanfaatan tanah dan

air. Dalam Undang-Undang Agama disebutkan “Barang siapa membakar padi di

ladang, tidak pandang besar atau kecil, si pelaku harus mengembalikan lima kali

lipat kepada pemiliknya, ditambah lagi dengan denda dua laksa oleh raja yang

berkuasa. Pada masa itu bendungan-bendungan (dawuhan) untuk keperluan

pengairan dibangun atas perintah Bhatara Matahun demi kesejahteraan

rakyatnya. Pengairan di Majapahit juga diorganisasi secara teratur. Air dialirkan

ke sawah-sawah melalui saluran-saluran bertanggul dan pengaturannya

dilakukan oleh seorang penghulu bantu air (pada masa sekarang ulu-ulu).

Pengaturan sistem irigasi yang dinilai terbaik dan masih berjalan saat ini

adalah sistem subak di Bali. Sistem irigasi subak telah ada sebelum sistem

pertanian berkembang di Bali sejak tahun 678, namun tercatat sejak tahun 1071.

Peranserta pengaruh raja-raja di Bali sangat mempengaruhi perubahan yang

terjadi pada sistem irigasi subak. Subak merupakan sistem irigasi yang di

dalamnya menyangkut masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-

agraris-religius, dan merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di

lahan sawah. Latar belakang didirikannya organisasi ini beberapa ribu tahun

yang lalu karena lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang

curam. Hal ini menyebabkan sumber air pada suatu komplek persawahan petani

umumnya cukup jauh dan terbatas. Untuk dapat menyalurkan air ke sebuah

kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit

cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan

membentuk organisasi Subak. Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau

Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (Bahasa

Bali: awig-awig) yang disusun secara egaliter (Septiarini, 2012).

Page 18: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

17 

 

Sistem irigasi subak adalah cerminan konsep Tri Hita Karana (THK) yang

pada hakikatnya terdiri dari Parhyangan, Pawongan, dan Palemaha. Parhyangan

ditunjukkan adanya pemujaan terhadap pura pada wilayah

subak. Pawongan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur sistem

irigasi subak, dan palemahan yang ditandai dengan kepemilikan lahan atau

wilayah di setiap subak. Ketiga hal ini memiliki hubungan yang bersifat timbal

balik. Wujud Tri Hita Karana dalam sistem irigasi subak di Bali merupakan sistem

yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya sudah menyatu dengan sosio-

kultural masyarakat setempat. Adapun perwujudan konsep THK dalam

operasional sistem irigasi subak antara lain:

1) Subsistem budaya, yang dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air

irigasi yang dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan.

2) Subsistem sosial, yang dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang

disesuaikan dengan kepentingan petani, sehingga tujuan yang diinginkan

dapat tercapai.

3) Subsistem artefak/kebendaan, yang dicerminkan dengan ketersediaan

sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak. Pendistribusian

air dilaksanakan secara adil, sehingga konflik-konflik dapat dicegah.

Organisasi subak berbentuk tim kerja yang berorientasi pada tercapainya

tujuan yang diinginkan dalam organisasi subak. Struktur organisasi sistem subak

sebagai berikut: ketua subak (pekaseh) bertugas untuk mengkoordinasikan

tugas-tugas ke luar dan ke dalam yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara.

Peranan ketua subak sangat menentukan karena dia yang mengatur air irigasi

pada saat kondisi air yang kritis, menetapkan hari baik untuk menanam tanaman

tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada dasarnya, pengurus subak

memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-prinsip THK. Kelian

tempek (sub-subak) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-tugas ke dalam

(ke wilayah masing-masing subak), dan tidak memiliki kewenangan berhubungan

Page 19: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

18 

 

ke luar. Sementara peranan sedahan hanya berfungsi dalam pemungutan pajak

(Pajak Bumi dan Bangunan). Pada saat ini, organisasi subak banyak

berhubungan dengan Dinas Pekerjaan Umum terutama berkaitan dengan

pembangunan fisik di subak yang bersangkutan. Sistem subak mengatur

penyediaan air, dengan menunjuk seorang petilik (pengawas air) yang bertugas

mengawasi pendistribusian dan alokasi air di kawasan tertentu secara rutin.

Konflik yang umum terjadi dalam subak ialah adalah masalah air, pola

tanam, pepohonan, hewan peliharaan yang merusak lahan pertanian dan

lainnya. Konflik ini dapat terjadi pada antar anggota subak, antar anggota subak

dengan subak, dan antar subak. Namun konflik-konflik tersebut dapat diatasi

oleh subak itu sendiri dengan cara musyawarah, karena sistem subak merupakan

suatu warisan budaya Bali yang mengatur pembagian pengelolaan airnya

berdasarkan pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada

aturan-aturan formal dan nilai-nilai agama.

Sebelum Kemerdekaan RI

Pada awal “Tanam Paksa” sampai awal abad ke-20, untuk mendukung

keberhasilan program tanam paksa di bidang tanaman tebu dan nila, pemerintah

Hindia Belanda mulai membangun jaringan irigasi Sampean di Situbondo, delta

Brantas, Pekalen dan Pemali-Comal. Dalam kurun waktu tersebut, dibangun

sungai besar untuk mengatur dan mengendalikan banjir sungai Brantas dan

pembebasan banjir Kota Surabaya.

Pada awal abad ke-20 sampai dengan 1920, pemerintah Kolonial

menghapuskan sistem tanam paksa, dan berlaku politik budi baik atau politik etis

yang dirumuskan dalam 3 usaha, yaitu industrialisasi, emigrasi (transmigrasi)

dan irigasi. Pada kurun waktu ini, pengembangan proyek irigasi lebih cepat dan

tidak tersendat seperti selesainya jaringan irigasi Ciujung, pembangunan jaringan

irigasi besar di Pulau Jawa seperti Bedadung-Bondoyudo, Semarang dan

Karawang-Walahar.

Page 20: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

19 

 

Setelah tahun 1920 sampai keruntuhan Kolonialisme, ada beberapa hal

penting terkait pembangunan sarana irigasi yaitu: 1) Keterbatasan wilayah

potensial untuk dikembangkan irigasi di Jawa. Wilayah potensial di luar Jawa

seperti di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan,

mulai dikembangkan untuk padi; 2) Pengembangan irigasi di Pulau Jawa semakin

bergeser pada wilayah yang kurang subur dan memerlukan biaya besar, seperti

Citanduy, Tulungagung Selatan dan Bengawan Solo; 3) Berdirinya laboratorium

pengairan di Mojokerto, Semarang, Bandung; dan 4) Mulai dibangun waduk

skala kecil dan sedang di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Era Orde Lama

Setelah Proklamasi, pemerintah sudah menyusun rencana-rencana

pembangunan seperti rencana pertama adalah Rencana Pembangunan Jangka

Pendek (1951-1953), kemudian disusul Rencana Pembangunan Lima Tahun

(1956-1960), dan dilanjutkan dengan Pembangunan Semesta Berencana

Delapan Tahun (1961-1968). Selama periode ini, anggaran pembangunan untuk

pengairan relatif kecil dibanding kebutuhannya, meskipun lebih baik dibanding

sektor lainnya. Hampir seluruh pembiayaan di bidang pengairan berasal dari

pemerintah dengan sasaran irigasi tanaman pangan, khususnya padi. Usaha

komoditas padi bertujuan untuk menurunkan impor beras, karena Indonesia

menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia.

Era Orde Baru

Sejak tahun 1980-an, pengembangan pengairan dan pengelolaan wilayah

sungai disebut sebagai pengembangan sumberdaya air, karena cakupannya lebih

luas dibanding sebelumnya. Pada kurun ini dibangun waduk Cacaban di Jawa

Tengah, waduk Darma di Jawa Barat, waduk Selorejo dan Karangkates di Jawa

Timur, jaringan irigasi Lakbok Selatan di Jawa Barat, pengendalian banjir

Tulungagung Selatan Tahap I di Jawa Timur. Selain itu, juga waduk terbesar

Jatiluhur di Jawa Barat beserta jaringan pengairan multiguna yang mencakup

komponen irigasi sekitar 240.000 hektar, penyediaan air domestik, perkotaan

Page 21: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

20 

 

dan industri (DMI), pengendalian banjir, pembangkit listrik tenaga air (PLTA),

pariwisata dan olah raga air serta usaha perikanan.

Setelah kemerdekaan, khususnya selama PJP I sampai sekarang, lingkup

pengembangan sumberdaya air dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a)

Pemanfaatan sumberdaya air, meliputi penyediaan air bersih untuk rumah

tangga, perkotaan, irigasi, industri, pembangkit listrik (termasuk pendingin),

pemeliharaan sungai/lingkungan, perikanan, navigasi/transportasi, rekreasi dan

olahraga air; (b) Pengendalian bencana karena air, meliputi pengendalian banjir,

pengendalian lahar, erosi dan sedimentasi serta drainase/reklamasi, dan (c)

Perlindungan/konservasi sumberdaya air, meliputi konservasi sumberdaya air

serta pengendalian pencemaran dan mutu air.

Dalam rencana induk (master plan), diupayakan mengembangkan seluruh

potensi sumberdaya air dan lahan di wilayah sungai, guna mengoptimalkan

pemanfaatan sumberdaya air. Untuk itu, dibangun prasarana dan sarana

pengairan yang bersifat multi-tujuan, multi-guna dan multi-unit, di antaranya

untuk menangani pengembangan sumberdaya air dari sungai besar, terlihat

bahwa kita lebih berorientasi pada pengembangan wilayah, di mana wilayah

sungai dianggap sebagai Satuan Wilayah Pengembangan yang cocok.

Implementasinya dikerjakan badan pelaksana proyek, yakni Proyek Induk

Pengembangan Wilayah Sungai (PIPWS) di bawah tahun 2001 menjadi

Direktorat Jenderal Sumberdaya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana

Wilayah). Tugas pokok PIPWS adalah menyusun master plan (rencana induk)

yang mencakup program pendayagunaan/pemanfaatan sumberdaya air,

pengendalian bencana yang terkait dengan air, dan perlindungan/konservasi

sumberdaya air. Perencanaan dilakukan terpadu dengan prinsip “one river, one

plan and one integrated management” (satu sungai, satu rencana dan satu

pengelolaan terpadu). Pelaksanaannya, oleh sektor atau instansi masing-masing.

Program sektoral dengan sasaran peningkatan produksi pangan dan menunjang

program transmigrasi antara lain program pengembangan irigasi, jaringan

Page 22: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

21 

 

pengairan rawa, dan perbaikan sungai dan pengendalian banjir (Sjarief, 1976).

Dalam PJP I, irigasi merupakan program prioritas dan bersifat tersebar di

seluruh propinsi. Irigasi merupakan pra-kondisi untuk melaksanakan usaha

peningkatan produksi pangan, guna mencapai swasembada yang merupakan

salah satu tujuan utama PJP I. Untuk perluasan lahan beririgasi dilakukan

rehabilitasi jaringan irigasi agar berfungsi kembali dan mencapai produktivitas

optimal, intensifikasi jaringan irigasi melalui optimalisasi fungsi jaringan irigasi

dengan peningkatan intensitas tanam, dan perluasan jaringan irigasi untuk

wilayah pertanian di luar Jawa guna menambah luas lahan berigasi terkaitkan

dengan program transmigrasi.

Selain itu, diupayakan ekstensifikasi lahan untuk pertanian tanaman pangan

dan perkebunan (kelapa dan kelapa sawit) di wilayah rawa di luar Jawa.

Pekerjaan dilaksanakan melalui pembangunan jaringan pengairan rawa pada

rawa lebak (non pasang surut) dengan membangun konstruksi drainase dan

irigasi. Selain itu, pembangunan jaringan pengairan rawa pasang-surut yang

umumnya dikaitkan dengan lokasi program transmigrasi sebagai penggarap

lahan yang telah direklamasi.

Selanjutnya, program perbaikan sungai merupakan pekerjaan beragam,

mulai dari pekerjaan yang mendesak dan harus dikerjakan secepatnya, misalnya

memperbaiki kerusakan akibat bencana alam, pekerjaan untuk melindungi dan

mengamankan objek tertentu dari ancaman banjir suatu sungai, sampai

rangkaian pekerjaan untuk memperbaiki tingkah laku atau rejim suatu sungai.

Wilayah sungai yang sudah ditangani adalah sungai yang melewati metropolitan

dan kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi serta daerah sentra produksi.

Dasar hukum penggunaan sumberdaya air adalah Undang-Undang No. 7

tahun 2004. Produk turunan tentang sumberdaya air, diatur dalam PP No. 42

tahun 2008 dan Permen PU No. 6/PRT/M/2011. Namun masih terdapat beberapa

peraturan lainnya yang terkait dengan penggunaan sumberdaya air seperti PP.

No. 38 tahun 2011 tentang sungai, PP No. 43 tahun 2008 tentang air tanah.

Page 23: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

22 

 

Beberapa peraturan lain masih dalam tahap rancangan (Lampiran 1 mengenai

gambar sketsa sisilah UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air).

Dalam peraturan perundangan tersebut diijelaskan berbagai pengertian

macam sumber daya air yaitu: 1) Pola pengelolaan sumberdaya air, daerah

aliran sungai, hak guna air, hak guna pakai air, hak guna usaha air, dan

pendayaagunaan sumberdaya air; 2) Perlindungan dan pelestarian sumber air

yang dilakukan beberapa tahap, diantaranya: a) pengendalian pemanfaatan

sumber air, b) pengisian air pada sumber air, c) perlindungan sumber air dalam

hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada

sumber air, dan seterusnya; 3) Pengawetan air yang ditujukan untuk memelihara

keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air sesuai dengan fungsi dan

manfaatnya dan 4) Penyelesaian sengketa sumberdaya air yang diselesaikan

berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. Peraturan-peraturan

pemerintah tentang sumberdaya air pada masa orde baru dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel1. Peraturan Perundangan Terkait Sumberdaya Air (masa orde baru)

Peraturan Perundangan isi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1982

Tata Pengaturan Air

Keputusan Menteri Dalam NegeriNo. 179 Tahun 1996

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Sumber Daya Air

Era Reformasi dan otonomi Daerah

Dalam periode ini telah dan sedang dilaksanakan perubahan peraturan

perundangan di bidang pengelolaan sumberdaya air, disesuaikan dengan

tuntutan reformasi di bidang pemerintahan umum yang mencakup otonomi

daerah/desentralisasi dan pelaksanaan prinsip good governance (demokratisasi,

transparansi, partisipasi). Perubahan yang mendasar ditandai dengan perubahan

UU No. 11/1974 tentang “Pengairan” serta peraturan pemerintah, keputusan

presiden dan keputusan menteri turunannya yang masih belum memberi peluang

Page 24: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

23 

 

kepada masyarakat dan daerah untuk berperan lebih besar dalam mengelola

sumberdaya air. Oleh sebab itu, perlu aturan pengelolaan sumberdaya air yang

menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta menampung

aspirasi dan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat.

Sementara proses perubahan peraturan perundang-undangan sedang

berlangsung, kebijakan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air masih

berdasarkan pada peraturan perundangan yang ada. Pembangunan fisiknya

merupakan kelanjutan dari program yang dilaksanakan dalam PJP I dengan

tambahan kegiatan bersifat perlindungan dan konservasi terhadap sumberdaya

air.

Dalam peraturan No. 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (LP2B), walaupun dominan mengatur tentang penggunaan lahan

namun juga secara implisit mengatur sumberdaya air. Seperti pada Pasal 28,

disebutkan bahwa intensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan

lahan pangan berkelanjutan dilaksanakan antara lain dengan pengembangan

irigasi. Pada Pasal 33 ayat (1), pemanfaatan lahan pertanian berkelanjutan

dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan air. Selanjutnya pada Pasal

33 ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan konservasi tanah dan air yang meliputi: (a) Perlindungan

sumberdaya lahan dan air, (b) Pelestarian sumberdaya lahan dan air, (c)

Pengelolaan kualitas lahan dan air, dan (d) Pengendalian pencemaran.

Peraturan-peraturan pemerintah tentang sumberdaya air pada masa

reformasi dan otonomi daerah dapat dilihat pada Tabel 2. Pasal-pasal dalam

undang-undang RI No. 7 tahun 2004 terkait air irigasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 25: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

24 

 

Tabel 2. Peraturan Perundangan Tentang Sumberdaya Air (masa reformasi dan otonomi daerah)

Peraturan Perundangan isiUndang-undang RI No. 7 tahun 2004

Sumberdaya air

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (No. 22/PRT/M/2009)

Pedoman Teknis dan Tatacara Penyusunan Pola Pengelolaan Sumberdaya air

Keputusan Presiden RI No. 6, tahun 2009

Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (No. 05/PRT/M/2010)

Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Reklamasi Rawa Pasang Surut

Peraturan Presiden RI (No. 33, 2011)

Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air

Menko Perekonomian(PER-04/ .EKON/07/2011)

Rencana Kerja Dewan Sumberdaya Air Nasional

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (No. 17 /PRT/M/2011)

Pedoman Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi

Peraturan Menteri Pertanian (No. 79/Permentan/OT.140/12/2012)

Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air

Page 26: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

25 

 

Tabel 3. Beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 7/ 2004 terkait Air Irigasi

Pasal 1 Sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya

Pasal 4 Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras

Pasal 6 ayat 1 Sumberdaya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untu sebesar besarnya kemakmuran rakyat

Pasal 6 ayat 2 Penguasaan sumberdaya air diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hal ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serua dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan prundangan

Pasal 6 ayat 4 Atas dasar penguasaa negara ditentukan hak guna air Pasal 7 ayat 1 Hak guna air berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha

air Pasal 8 ayat 1 Hak guna pakai air diperoleh tanpa ijin untuk mmenuhi

kebutuhan pokok sehari hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada didalam sistem irigasi

Pasal 8 ayat 2 Hak guna pakai air memerlukan ijin apabila: (a) cara mengguanakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air, (b) ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar, (c) digunakan untuk pertnian rakyat diluar sistem irigasi yang sudah ada

Pasal 9 ayat 1 Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan ijin dari pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

Pasal 12 ayat 1 Pengelolaan air permukaan didasarkan kepada wiayah sungaiPasal 12 ayat 2 Pengelolaan air tanah didasarkan kepada cekungan air

tanah Pasal 29 ayat 3 Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari hari

dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan priorotas utama penyediaan sumberdaya air diatas semua kebutuhan

Pasal 29 ayat 4 Urutan prioritas penyediaan sumberdaya air selain diatas ditetapkan pada setiap wiayah sungai oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya

Pasal 29 ayat 5 Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumberdaya air menimbulkan kerugian bagi pemakai sumberdaya air pemerintah atau pemda wajb mengatur kompensasi kepada pemakainya

Page 27: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

26 

 

2.2.3. Konflik Kepentingan Pendayagunaan Air

Lahan, air, dan pangan adalah bagian dari “kekayaan negara” yang harus

dikelola melalui pembangunan pertanian yang komprehensif dengan

berpedoman pada pencapaian kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia (UUD 1945). Posisi penyelenggaraan pembangunan

pertanian tidak dapat begitu saja didesentralisasikan tanpa mengikutkan

“sentralisasi” pengelolaan lahan dan air, karena lahan dan air merupakan bagian

sumberdaya milik publik. Privatisasi dalam pengelolaan lahan dan air bukan tidak

dimungkinkan, namun hal itu harus dibuat limitasi atau pengaturan yang cermat

agar tidak terjadi pengambilan manfaat sepihak oleh kalangan terbatas, namun

merugikan publik atau masyarakat luas. Potensi konflik dalam pengelolaan lahan

dan air bukan aja dalam lintasan spasial, lintas golongan masyarakat, melainkan

juga dalam lintas waktu atau generasi.

Konflik antara pertanian pedesaan dan sektor industri perkotaan semakin

hari semakin menajam. Dilihat dari kebijakan politik legislasi, sebagai

kelanjutannya, konflik ini telah menempatkan pertanian pedesaan pada posisi

dikalahkan. Kajian pragmatis sepertinya menekankan bahwa sektor indutri

perkotaan harus dimenangkan (dalam jangka pendek) untuk pemacuan

pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, hal ini berakibat mengurangi porsi

tekanan kebijakan politik sistem legislasi lahan dan air untuk kepentingan

pangan dan pertanian pedesaan. Kebijakan politik legislasi yang memberikan

kewenangan terlalu besar pada pemerintah daerah yang berakibat mengecilkan

urusan pertanian juga memberi kontribusi semakin mengecilkan pemerintah

daerah dalam pengelolaan lahan dan air mendukung swasembada pangan

berkelanjutan

Konflik skala kecil di tingkat komunitas pertanian sangat dimungkinkan

untuk terjadi di banyak tempat, terutama dalam pemanfaatannya untuk

pertanian tanaman pangan. Walaupun skala kecil, seringkali konflik di tingkat

komunitas pertanian di pedesaan menimbulkan banyak kurban harta-benda,

Page 28: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

27 

 

nyawa, dan modal sosial. Akumulasi konflik skala kecil ini diperkirakan telah

menimbulkan kerugian nilai produksi, kemanusiaan, lingkungan, dan modal sosial

yang tidak kecil. Ketika mesin “swasembada pangan berkelanjutan” masih

mengandalkan komunitas pertanian pedesaan maka sistem legislasi yang

menjamin hak-hak petani di pedesaan dalam mendapatkan lahan dan air untuk

usaha pertanian tanaman pangan harus dijadikan bagian kajian yang penting.

Legislasi tentang penguasaan lahan (sawah) masih belum memungkinkan

petani pedesaan menguasai lahan sawah minimal 2,5 – 3,5 ha per KK. Rata-rata

penguasaan lahan sawah untuk produksi padi sebagian besar masih < 0,5 ha per

KK. Dari kajian Ilham et.al (2004), ukuran kesejahteraan petani untuk padi

sawah setara dengan penguasaan lahan sawah 2,5 – 3,5 ha per KK. Dengan

penguasaan <0,5 ha per KK, akan sangat sulit bagi petani padi sawah di

pedesaan memfokuskan perhatiannya pada usahatani padi sawah. Dapat

dikatakan bahwa sebagian besar komunitas petani pedesaan padi sawah berada

dalam “jebakan konflik abadi” antara mempertahankan pertanian padi sawah

dan meningkatkan taraf hidup keluarganya. Hampir semua keluarga petani kecil

(<0,5 ha/KK) menghendaki anak keturunannya meneruskan bekerja sebagai

petani.

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan istilahnya, swasembada pangan tercapai apabila kebutuhan

konsumsi pangan masyarakat dapat dipenuhi oleh penyediaan (produksi)

domestik. Dalam kasus pangan beras/padi, produksi domestik ditentukan oleh

luas panen dan produktivitas padi. Ketersediaan luas panen dipengaruhi oleh

luas lahan untuk pertanaman padi dan ketersediaan air irigasi. Produktivitas padi

dipengaruhi oleh kesuburan lahan, ketersediaan air dan manajemen produksi

usahatani. Perluasan luas areal tanam dan ketersediaan air irigasi dipengaruhi

oleh kebijakan untuk penambahan luas lahan dan penambahan kapasitas air

Page 29: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

28 

 

irigasi yang ditentukan oleh kemampuan sumberdaya setempat. Dari kerangka

tersebut terlihat adanya keterkaitan yang erat antara lahan dan air dalam

produksi pangan terutama padi (Gambar 1).

Ketersediaan lahan dan air merupakan prasarana pokok dalam produksi

tanaman pangan terutama tanaman padi. Penggunaan lahan untuk tanaman

pertanian membutuhkan persyaratan tertentu sesuai dengan sifat tanamannya.

Persyaratan lahan yang diperlukan untuk pengembangan pertanian, khususnya

tanaman pangan, jauh lebih “rigid” dari pada untuk non-pertanian. Untuk itu

ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian yang sangat terbatas perlu

dilindungi.

Namun demikian kemajuan ekonomi di semua sektor pertanian telah

menyebabkan meningkatnya permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan

pertanian pangan yang ada dihadapkan kepada ancaman konversi lahan ke non

pertanian, degradasi kualitas lahan dan lingkungan. Konflik kepentingan dalam

rangka memperebutkan penggunaan lahan dan air terjadi, pada awalnya lahan

dan air diprioritaskan untuk mendukung produksi pertanian terutama pangan.

Dengan berkembangnya tuntutan sektor lain akan lahan dengan air diikuti oleh

peningkatan nilai ekonomi lahan dan air terjadi realokasi pemanfaatan air sesuai

dengan nilainya.

Kebijakan untuk mencegah terjadinya konversi lahan dan prioritas alokasi air

untuk irigasi telah lama diterbitkan. Namun dalam implementasinya peraturan

tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Konversi lahan

pertanian dan realokasi penggunaan air dari prioritas pertanian ke non pertanian

secara langsung menurunkan kapasitas produksi pertanian.

Page 30: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

29 

 

Gambar 1: Kerangka Pikir Keterkaitan Peraturan Perundangan Di Bidang

Lahan dan Air Terhadap Swasembada Beras

Kondisi ini berarti pula kerugian investasi yang telah ditanamkan dalam

membangun waduk, jaringan irigasi dan pencetakan sawah. Kondisi ini terjadi

 Swasembada Beras 

Konsumsi Produksi  Beras 

Konsumsi /kapita 

Jumlah penduduk  

   Luas Panen    Produktivitas

Luas Areal  

Lahan 

Teknologi Produksi, 

Manajemen  

  Ketersediaan 

air Irigasi

  Sumber air 

Irigasi: Waduk, 

danau, sungai, dll 

Penambahan Luas Areal   

Lahan Pangan        

Pengurangan Luas Areal 

Lahan Pangan    

Penegakan Hukum      Konfik Kepentingan 

Penggunaan Lahan 

dan Air  

Peraturan  Daerah  Dibidang 

lahan dan Air Perda, Pergub, 

Perbup. 

Peraturan / Perundangan 

Nasional  dibidang  Lahan dan 

Air : UU, PP,Permen, MP3EI 

Kebijakan dan 

Prioritas 

Pembangunan 

Nasional 

Penambahan Kapasitas 

Air Irigasi         

Pengurangan Kapasitas  

Air Irigasi

    Kebijakan dan  

Prioritas 

Pembangunan 

Daerah

IMPLE

MEN TASI 

DAMPAK  

 KONSIS      

 TENSI, 

SINKRO         

NISASI 

PERATURA

N‐PERUN 

DANGAN  

Page 31: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

30 

 

akibat kebijakan pembangunan yang tidak terintegrasi, sehingga kebijakan

pembangunannya cenderung pragmatis. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan

pengunaan lahan dan air sesuai dengan kapasitasnya agar semua sektor dapat

berjalan dan diperolah manfaat maksimal dari keseluruhan kawasan.

Sumberdaya air untuk irigasi dapat berasal dari air tanah, sungai secara

langsung, bendung/dam/embung yang dibuat, dan air danau/rawa/pasang

surut.

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Sesuai dengan kerangka pikir diatas, maka lingkup kegiatan kajian tahun

2013 adalah:

a) Evaluasi peraturan perundangan di bidang air terkait dengan swasembada

pangan berkelanjutan.

Kegiatan mencakup: keterkaitan mulai dari UU, produk turunan UU seperti

PP, Perpres, Permen dan Perda (propinsi dan kabupaten/kota).

b) Analisis implementasi peraturan perundangan di bidang air/irigasi .

Kegiatan mencakup: peraturan dan kebijakan daerah (propinsi dan

kabupaten/kota) dalam: (a) kebijakan alokasi air irigasi untuk produksi

pangan, (b) peningkatan kapasitas/pembangunan sumberdaya air, (c)

rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan (d) kelembagaan

pengelolaan sumberdaya air.

c) Analisis perkiraan dampak peraturan di bidang lahan dan air

Kegiatan mencakup: (a) Analisis dampak dari implementasi kebijakan air

terhadap luas areal, produktivitas dan produksi pangan dalam kaitannya

dengan swasembada pangan, (b) Kajian akan difokuskan kepada komoditas

padi dan jagung dan kedele.

Page 32: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

31 

 

3.3. Lokasi Penelitian dan Responden

3.3.1. Dasar Pertimbangan

Kajian ini akan mempelajari keterkaitan peraturan perundangan dibidang

air dalam sawsembada pangan berkelanjutan. Kebijakan yang dimaksud adalah

produk hukum peraturan perundangan yang ada. Penelusuran akan dilakukan

mulai dari sumber produk hukum (Undang-Undang) tersebut disusun yaitu di

pusat sampai dengan implementasinya di daerah. Penentuan lokasi kajian

mempertimbangkan aspek: (a) keragaan jenis sumberdaya air untuk irigasi, (b)

potensi produksi pangan dan (c) program pembangunan pertanian ke depan

terutama berkaitan dengan kawasan pengembangan pertanian dalam MP3EI.

3.3.2. Lokasi dan Responden

Dengan pertimbangan tersebut diatas, penelitian akan dilaksanakan di

enam propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan

Selatan, dan Sulawesi Tenggara. DKI Jakarta dipilih sebagai lokasi institusi pusat

yang mengeluarkan berbagai kebijakan/peraturan perundangan.

Sebaran lokasi menurut jenis sumberdaya air untuk irigasi sebagai

berikut. Di setiap propinsi akan diambil tiga kabupaten (wilayah Hulu, Tengah

dan Hilir) untuk Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan untuk propinsi

di luar Jawa akan diambil dua kabupaten. Dari setiap propinsi akan dilakukan

pendalaman di beberapa kabupaten/Kota. Dasar pemilihan kabupaten/kota

mengikuti kriteria seperti halnya pemilihan propinsi contoh.

Tabel.3.1. Lokasi Penelitian

No. Propinsi Jenis Sumberdaya Air

1 Jawa Barat Waduk, Sungai

2 Jawa Timur Waduk, Air Tanah

3 Bali Sungai, Embung

5 Kalsel Rawa, danau

6 Sultra Sungai, waduk

Page 33: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

32 

 

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analisis kebijakan dengan

fokus pada penerapan Undang-Undang di bidang air terutama air untuk irigasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, yang menjadi responden adalah instansi

BAPPEDA, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Pusat Statistik dan

Balai Besar Sumberdaya Air (BBSDA) di setiap propinsi dan kabupaten.

3.4. Data Dan Metoda Analisis

3.4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan mencakup data/informasi sekunder dan primer.

Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional, propinsi dan kabupaten/kota

tentang produksi, produktivitas, luas panen. Selain itu juga data terkait dengan

bidang air, dan (2) berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan lahan

dan air di tingkat pusat/propinsi/ kabupaten/kota. Data sekunder diperoleh dari

berbagai instansi yang terkait dengan lahan dan air dari pusat/provinsi/

kabupaten/kota seperti Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian dan Ditjen.

Sumberdaya Air untuk di Pusat (DKI. Jakarta). Data primer diperoleh dari

wawancara dengan berbagai instansi tersebut diatas dan sumber informasi kunci

lainnya yang relevan.

3.4.2. Metoda Analisis

Sesuai dengan lingkup kegiatan, maka metoda analisis yang digunakan

adalah:

a). Evaluasi Konsistensi dan Sinkronisasi Peraturan Perundangan di Bidang Air

Dilakukan melalui analisis diskriptif komparasi konsistensi dan sinkronisasi

peraturan/perundangan kebijakan di bidang air

b). Evaluasi Implementasi Peraturan Perundangan di Bidang Air

Dilakukan melalui: (1) Analisis deskripsi kelengkapan peraturan perundangan

menurut hierarki dari tingkat pusat sampai daerah (UU sampai Petunjuk

Teknis/Juknis), (2) Analisis deskripsi kegiatan sosialisasi dari peraturan

Page 34: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

33 

 

perundangan, dan (3) Analisa deskripsi dari program-program penerapan dari

peraturan perundangan.

d) Analisis Perkiraan Dampak Peraturan di Bidang Lahan dan Air,

Dilakukan melalui: (a) Analisa kualitatif seperti: dampak yang bersifat

positip/netral/negatip; atau dampak mempercepat/netral/memperlambat;

(b) Analisa kuantitatif dengan besaran kuantitas tertentu, dan (c) Analisis

deskripsi tentang target group penerima dampak seperti petani/kelompok

tani, konsumen, pemerintah, swasta atau lainnya.

IV. ANALISIS RISIKO

Tabel 4.1. Daftar Risiko

No. Risiko Penyebab Dampak 1 Dana Keterlambatan pencairan

dan pengurangan dana Jadwal penelitian dan wilayah cakupan kajian tidak sesuai rencana

2 Pengumpulan data dan informasi

Responden tidak dapat ditemui karena sesuatu hal

Data dan informasi tidak terkumpul sesuai jadwal yang rencanakan

Tabel 4.2. Daftar Penanganan Risiko

No. Risiko Penyebab Penanganan Resiko 1 Dana Keterlambatan

pencairan dan pengurangan dana

Melakukan pengumpulan data dan informasi dominan review dan melalui website

2 Pengumpulan data dan informasi

Responden tidak dapat ditemui karena sesuatu hal

Membuat janji kembali dengan responden tsb dan melakukan pengumpulan data/informasi dengan responden yang lain

Page 35: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

34 

 

V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN

5.1. Susunan Tim Pelaksana

Tim pelaksana kajian sebagai berikut:

No. Nama Jabatan Status

1 Muchjidin Rachmat Peneliti Utama Ketua Tim

2 Tri Pranadji Peneliti Utama Anggota

3 Mewa Ariani Peneliti Utama Anggota

4 Chaerul Muslim Peneliti Muda Anggota

5 Cut Rabiatul Adawiyah Calon Peneliti Anggota

5.2. Jadwal Pelaksanaan

Jadwal pelaksanaan kegiatan terangkum dalam tabel berikut.

Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Pembuatan Proposal operasional

xxx

Seminar dan perbaikan proposal

xxx xxx xx

Studi literature xxx xxx xxx xxx Penyusunan Kuesioner x xxx x

Survai utama xxx xxx xxx xxx xx Pengolahan dan analisis data

xxx xxx xxx

Penulisan laporan x xxx

Seminar hasil penelitian x

Perbaikan laporan xx

Penggandaan laporan x

Page 36: KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2013_07.pdf · permintaan akan lahan dan air, sehingga lahan pertanian pangan

35 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ilham N, Syaukat S, Friyanto. 2004. Pekembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB.

Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.

Purnama, P. 2012. Mengenang Sejarah Irigasi Kerajaan Majapahit. sejarah. kompasiana.com/2012/02/25/mengenang-sejarah-irigasi-kerajaan-majapahit-442387.html.

Rachmat, M., dan C. Muslim. 2012. Kajian Legislasi Lahan Dan Air Mendukung Swasembada Pangan: Aspek Legislasi Lahan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Septiarini, D.,E. 2012. Sistem irigasi Subak di Bali. sejarah. kompasiana.com/2012/02/25/mengenang-sejarah-irigasi-kerajaan-majapahit-442387.html.

Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam Prosiding Lokakarya ”Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air serta Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 92 -112. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Ford Foundation. Bogor.

Syarif, R. 1976. Tata Ruang Wilayah Sungai. Dalam Buku Sejarah Penataan Ruang Indonesia. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.