kajian ketakterjemahan pada subtitle bahasa …/kajian-k...tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan...
TRANSCRIPT
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Linguistik Minat Utama Penerjemahan
Oleh:
M. ZAINAL MUTTAQIEN
S130907005
PROGRAM STUDI LINGUISTIK - MINAT UTAMA PENERJEMAHAN
PROGRAM PASCASARJANA - UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
KAJIAN KETAKTERJEMAHAN PADA SUBTITLE BAHASA INDONESIA
DVD FILM THE SIMPSONS MOVIE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul:
KAJIAN KETAKTERJEMAHAN PADA SUBTITLE BAHASA INDONESIA
DVD FILM THE SIMPSONS MOVIE
oleh:
M. Zainal Muttaqien
NIM: S130907005
telah disetujui dan disahkan oleh dosen pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D
NIP: 19600328 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik S2
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed, M.A, Ph.D
NIP: 19630328 199201 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN OLEH TIM PENGUJI TESIS
Tesis yang berjudul:
KAJIAN KETAKTERJEMAHAN PADA SUBTITLE BAHASA INDONESIA
DVD FILM THE SIMPSONS MOVIE
Oleh:
M. Zainal Muttaqien
NIM: S130907005
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Tesis:
Tanggal ............................
Tanda tangan
Ketua : Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed, M.A, Ph.D ..................................
Sekretaris: Dr. Tri Wiratno, M.A ..................................
Anggota 1: Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd ..................................
Anggota 2: Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D ..................................
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Linguistik S2
Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed, M.A, Ph.D
NIP: 19570820 198503 1 004 NIP: 19630328 199201 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : M. Zainal Muttaqien
NIM : S130907005
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul KAJIAN
KETAKTERJEMAHAN PADA SUBTITLE BAHASA INDONESIA DVD FILM
THE SIMPSONS MOVIE ini adalah benar-benar merupakan karya saya sendiri.
Bagian-bagian di dalam tesis ini yang bukan merupakan karya saya, telah diberi
tanda/anotasi dan disebutkan sumbernya di halaman Daftar Pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Surakarta, 9 September 2011
Yang membuat pernyataan
M. Zainal Muttaqien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi setelah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat-kalimat Allah.
(QS Luqman: 27)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Dengan tulus ikhlas kupersembahkan tesis ini untuk:
- Bapak dan Ibuku yang telah merawat dan membesarkanku
- Saudara-saudaraku yang telah menemaniku dalam suka maupun duka
- Istri dan anakku yang telah melengkapi hidupku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
Kajian Ketakterjemahan pada Subtitle Bahasa Indonesia DVD Film The
Simpsons Movie ini dengan baik dan lancar.
Terselesaikannya penulisan tesis ini tak lepas dari saran, bimbingan,
bantuan, dorongan dan dukungan dari berbagai pihak, baik moral maupun
material, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tinginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. H. Syamsul Hadi Sp.K.J (K), mantan Rektor UNS,
Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi M.S sebagai Rektor UNS, dan Bapak
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana
UNS yang telah berkenan memberi kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti perkuliahan di Program Pascasarjana Program Studi
Linguistik S2 Minat Utama Penerjemahan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Prof. Drs. MR. Nababan M.Ed, M.A, Ph.D selaku Ketua Program
Studi Lingustik S2 yang telah banyak memberikan motivasi edukatif dan
bantuan administratif kepada penulis, terutama rekomendasi untuk
mendapatkan bantuan biaya pendidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
3. Bapak Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd selaku Dosen
Pembimbing I dan Bapak Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dosen
Pembimbing II yang dengan sabar dan teliti telah memberikan petunjuk,
saran, dan masukan pada proses perencanaan, pelaksanaan, maupun
penulisan laporan penelitian.
4. Ibu Hj. Lilik Untari, S.Pd, M.Hum, Bapak Drs. Rombe Mustajab,
M.Hum, dan Bapak Danial Hidayatullah, S.S, M.Hum, masing-masing
selaku narasumber penelitian yang telah berkenan untuk mengisi
kuesioner dan meluangkan waktu untuk diwawancara dalam proses
pengumpulan data penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana UNS yang telah berkenan
mendidik dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada penulis
selama menempuh studi S2.
6. Segenap staf administrasi Program Pascasarjana UNS yang dengan sabar
dan telaten telah membantu melayani penulis menyelesaikan berbagai
urusan administrasi perkuliahan.
7. Semua teman-teman kuliah terutama dari Program Studi Linguistik S2
angkatan 2007 yang telah banyak membantu dalam memahami materi,
mengerjakan tugas-tugas perkuliahan, dan memberikan dorongan kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.
8. Bapak dan Ibu dosen serta rekan-rekan mahasiswa angkatan 2007 dan
2008 yang telah menghadiri seminar proposal dan memberikan saran-
saran untuk perbaikan rancangan penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
9. Istri dan anakku tercinta yang telah memberikan dorongan dan motivasi
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
10. Semua pihak yang telah membantu selesainya penulisan tesis ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran
dari semua pihak demi perbaikan hasil penelitian ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Surakarta, 9 September 2011
Penulis
M. Zainal Muttaqien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Judul/Subjudul Halaman
Persetujuan Pembimbing ii
Pengesahan oleh Tim Penguji Tesis iii
Pernyataan iv
Motto v
Persembahan vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi x
Daftar Bagan xiii
Daftar Tabel xiv
Daftar Lampiran xvi
Daftar Singkatan xvii
Abstrak xviii
Abstract xix
BAB I : PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 8
1.3 Pembatasan Masalah 8
1.4 Tujuan Penelitian 9
1.5 Manfaat Penelitian 9
BAB II : KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR PENELITIAN 12
2.1 Penerjemahan 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2.1.1 Kesepadanan dan Ketidaksepadanan 15
2.1.2 Ketakterjemahan 20
2.2 Tata Cara Penerjemahan 24
2.2.1 Metode Penerjemahan 24
2.2.2 Prosedur Penerjemahan 26
2.2.3 Teknik Penerjemahan 28
2.3 Penerjemahan Dialog Film 34
2.3.1 Dubbing (Sulih Suara) 34
2.3.2 Subtitling 36
2.4 Media Simpan Film 42
2.4.1 Rol Film dan Videotape 42
2.4.2 Laserdisc dan VCD 43
2.4.3 DVD 44
2.5 Film Animasi 46
2.5.1 Serial The Simpsons 48
2.5.2 Film The Simpsons Movie 50
2.6 Kerangka Pikir Penelitian 53
2.7 Penelitian yang Relevan 55
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 58
3.1 Rancangan Penelitian 58
3.2 Alat Penelitian 59
3.3 Sumber Data 60
3.4 Teknik Cuplikan 63
3.5 Teknik Pengumpulan Data 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
3.6 Validasi Data 66
3.7 Analisis Data 67
3.8 Prosedur Penelitian 70
BAB IV : TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 72
4.1 Temuan Penelitian 72
4.1.1 Tabulasi Data Ketakterjemahan Leksikal 75
4.1.2 Tabulasi Data Ketakterjemahan Struktural 82
4.1.3 Tabulasi Data Ketakterjemahan Budaya 86
4.2 Pembahasan 91
4.2.1 Analisis Data Ketakterjemahan Leksikal 91
4.2.2 Analisis Data Ketakterjemahan Struktural 123
4.2.3 Analisis Data Ketakterjemahan Budaya 131
BAB V : PENUTUP 159
5.1 Simpulan 159
5.2 Implikasi 161
5.3 Saran 161
Daftar Pustaka 164 Lampiran 1: Klasifikasi Data Ketakterjemahan Lampiran 2: Rekapitulasi Data dari Narasumber
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
1: Proses penerjemahan menurut Nida dan Taber 12
2: Proses penerjemahan menurut Zuchridin dan Sugeng 13
3: Metode penerjemahan menurut Newmark 16
4: Alur penelitian ketakterjemahan 57
5: Pengkodean data penelitian 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1: Klasifikasi Data Ketakterjemahan 74
2: Jenis Ketakterjemahan 75
3: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan 75
4: Data Ketakterjemahan Leksikal 1 77
5: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 1 77
6: Data Ketakterjemahan Leksikal 2 78
7: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 2 78
8: Data Ketakterjemahan Leksikal 3 79
9: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 3 79
10: Data Ketakterjemahan Leksikal 4 80
11: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 4 80
12: Data Ketakterjemahan Leksikal 5 80
13: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 5 81
14: Data Ketakterjemahan Leksikal 6 81
15: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 6 82
16: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Leksikal 82
17: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 83
18: Data Ketakterjemahan Struktural 1 84
19: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural 1 85
20: Data Ketakterjemahan Struktural 2 85
21: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural 2 86
22: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Struktural 86
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
23: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural 86
24: Data Ketakterjemahan Budaya 1 87
25: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 1 88
26: Data Ketakterjemahan Budaya 2 88
27: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 2 88
28: Data Ketakterjemahan Budaya 3 89
29: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 3 89
30: Data Ketakterjemahan Budaya 4 90
31: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 4 91
32: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Budaya 91
33: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1: Klasifikasi Data Ketakterjemahan 6 hlm
2: Rekapitulasi Data dari Narasumber 9 hlm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR SINGKATAN
BSu : Bahasa Sumber
BSa : Bahasa Sasaran
L1 ... : (Ketakterjemahan) Leksikal 1 ...
S1 ... : (Ketakterjemahan) Struktural 1...
B1 ... : (Ketakterjemahan) Budaya 1...
No : Nomor
Mcm : Macam
Frek : Frekuensi
Prsn : Persentase
Jml : Jumlah
S : Setuju
N : Netral
TS : Tidak Setuju
V : Validitas
Y : Ya
T : Tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
ABSTRAK
M. Zainal Muttaqien. NIM: S130907005. Kajian Ketakterjemahan pada Subtitle Bahasa Indonesia DVD Film The Simpsons Movie. Tesis. Surakarta: Minat Utama Penerjemahan, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, September 2011
Ketakterjemahan merupakan kejadian yang umum dan bisa dikatakan sebagai masalah utama dalam proses penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa yang lain. Catford membedakan ketakterjemahan menjadi ketakterjemahan linguistik dan ketakterjemahan budaya Kemudian, ketakterjemahan lingustik masih bisa dibedakan lagi menjadi ketakterjemahan leksikal dan ketakterjemahan struktural. Newmark, Baker, dan Zuchridin/Sugeng juga berpendapat bahwa ada sejumlah istilah/ungkapan tertentu dari satu bahasa yang tidak bisa diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa lain baik karena perbedaan tata bahasa maupun perbedaan budaya.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kualitatif dengan studi kasus terpancang yang bertujuan mendeskripsikan kejadian ketakterjemahan dalam penerjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia pada subtitle DVD film The Simpsons Movie berdasarkan teori-teori di atas. Secara lebih rinci, penelitian ini berupaya menemukan jenis-jenis, faktor-faktor penyebab, dan teknik penerjemahan yang diterapkan berkaitan dengan ketakterjemahan pada subjek penelitian tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis ketakterjemahan muncul pada subjek penelitian. Data yang diperoleh (kata, frasa, dan kalimat) kemudian dikelompokkan ke dalam ketakterjemahan leksikal, ketakterjemahan struktural, dan ketakterjemahan budaya sesuai dengan landasan teori. Selain itu ditemukan pula berbagai faktor penyebab pada masing-masing jenis ketakterjemahan. Ketakterjemahan linguistik leksikal dan struktural masing-masing dipengaruhi oleh enam dan dua faktor penyebab, sedangkan ketakterjemahan budaya memiliki empat faktor penyebab. Hasil penelitian juga menunjukkan diterapkannya berbagai teknik penerjemahan oleh penerjemah untuk menerjemahkan istilah/ungkapan yang mengandung ketakterjemahan. Dalam hal ini penerjemah menggunakan setidaknya sebelas teknik penerjemahan sebagaimana diklasifikasikan oleh Molina dan Albir.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan andil dalam memperkaya kajian ilmu penerjemahan dan bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi yang berminat dan yang berkecimpung di bidang penerjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
ABSTRACT
M. Zainal Muttaqien. NIM: S130907005. An Analysis of Untranslatability in the Indonesian Subtitle of The Simpsons Movie Film DVD. Thesis. Surakarta: Postgraduate Program in Linguistics Majoring in Translation, Sebelas Maret University, September 2011
Untranslatability is a common phenomenon in translation. It may be the main problem in the process of translation from one language to the other. Catford distinguishes untranslatability into two types i.e. linguistic and cultural untranslatability. The former is further be subdivided into lexical and structural untranslatability. Newmark, Baker, dan Zuchridin/Sugeng also state that certain terms/utterances may be untranslatable from a language to the other due to the grammatical or cultural differences between the two.
This research applies descriptive-qualitative method with an embedded case-study design aimed at describing the occurrence of untranslatability in the translation from English into Indonesian in the subtitle of The Simpsons Movie DVD film based on the theories above. It specifically attempts to find out the types appearing, the factors influencing, and the translation technique applied dealing with the untranslatability in the research subject.
Research findings show that all the types of untranslatability appear on the research subject. Here, the researcher classifies all the data found (words, phrases, and sentences) into three typess i.e. lexical, structural, and cultural untranslatability in line with the underlying theories. There are also different factors causing the untranslatability within each type. Lexical and structural linguistic untranslatability are caused by six and two factors respectively. Meanwhile, cultural untranslatability has four causal factor. Another finding proves that the translator uses various translation techniques to translate the linguistic units indicating untranslatability. In this case, the translator applies at least eleven kinds of translation techniques as classified by Molina and Albir.
The result of this research is expected to give contribution in enriching the studies on translation and be beneficial to all parties concerning with and involving in the translation field.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial, setiap manusia
terdorong untuk melakukan interaksi dengan sesamanya, baik yang dari dalam
kelompok maupun dari luar kelompoknya. Akan tetapi adanya perbedaan bahasa
yang merupakan konsekuensi dari adanya pengelompokan di dalam masyarakat
telah mengakibatkan timbulnya hambatan antarkelompok masyarakat yang
berbeda untuk berinteraksi satu sama lain. Hal ini karena proses interaksi
memerlukan komunikasi di mana bahasa menjadi instrumen utamanya,
sebagaimana diutarakan oleh Keraf (1984) bahwa bahasa ialah sistem tanda bunyi
yang disepakati untuk dipergunakan oleh anggota kelompok masyarakat tertentu
dalam bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri.
Sesungguhnya hambatan dalam berinteraksi tersebut dapat diatasi
apabila masing-masing atau salah satu pihak yang berkomunikasi tersebut
menguasai bahasa lawan komunikasinya. Atau dengan kata lain menguasai dua
atau lebih bahasa (bilingual/multilingual). Harimurti (2005: 4) menyatakan bahwa
keberadaan suatu bahasa sebagai alat komunikasi dilatarbelakangi adanya
kesepakatan di antara para pemakainya. Apabila ada orang di luar kelompok
pemakai bahasa ini ingin ikut menggunakan maka ia harus mempelajarinya.
Namun, cara demikian ini tidak dapat diharapkan sepenuhnya mengingat begitu
banyak dan beranekaragamnya bahasa yang ada, atau yang harus dikuasai,
sehingga tidak banyak orang yang mampu untuk mencapainya. Bahasa
mempunyai variasi-variasi karena bahasa itu dipakai oleh kelompok manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
untuk bekerja sama dan berinteraksi dan karena kelompok manusia itu banyak
ragamnya yang berinteraksi dalam berbagi lapangan kehidupan dan
mempergunakan bahasa untuk berbagai keperluan (Harimurti, 2005: 5).
Cara lain yang lebih efektif dalam upaya mengatasi masalah dalam
komunikasi antar bahasa adalah dengan penerjemahan (translation), yaitu suatu
proses pengubahan ucapan atau tulisan dari bahasa satu (bahasa sumber) ke
bahasa lain (bahasa sasaran) (Richards dkk, 1985: 299). Penerjemahan ini bisa
diibaratkan sebagai suatu jembatan komunikasi antara dua pihak yang berbeda
bahasa. Proses komunikasi melalui perjemahan ini selain melibatkan dua pihak
yang berkomunikasi juga melibatkan pihak ketiga, yaitu penerjemah, sebagai
mediator. Melalui penerjemahan proses komunikasi tetap bisa berlangsung, di
mana penerima pesan dapat menangkap isi pesan meskipun yang bersangkutan
tidak menguasai bahasa yang dipakai oleh pengirim pesan. Hal demikian bisa
terjadi ini karena peranan penerjemah yang telah mengubah bahasa pesan dari
bahasa pengirim pesan ke bahasa penerima pesan.
Keberadaan penerjemahan sebagai suatu cara mengatasi masalah
komunikasi antarbahasa ini dimungkinkan karena adanya kesemestaan bahasa
(language universals), yaitu kesamaan sifat antara bahasa yang satu dengan
bahasa yang lain, sehingga unsur-unsur di antara bahasa-bahasa tersebut dapat
saling dipadankan atau digantikan. Chomsky (1965) berpendapat bahwa manusia
di dunia ini pada dasarnya mempunyai bahasa yang sama. Setidaknya pada waktu
manusia diciptakan pertama kali, bahasanya hanyalah satu. Setelah manusia
berpencar dan mendiami tempat yang berlainan di dunia, maka bentuk dan tata
bahasa mereka jadi berlainan. Bukti-bukti adanya kesemestaan bahasa ini tampak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pada kesamaan tahap serta alat pemerolehan bahasa pada setiap anak manusia dan
memungkinkannya pernyataan dari satu bahasa untuk diungkapkan
(diterjemahkan) ke dalam bahasa yang lain. (Soepomo, 2008:3).
Namun di sisi lain tiap-tiap bahasa juga memiliki perbedaan atau
keunikan sendiri-sendiri yang diistilahkan dengan keberagaman bahasa (language
variation). Secara garis besar ragam bahasa dapat dibedakan menurut pemakai
(the uses) dan pemakaiannya (the users) dan dipengaruhi oleh aspek-aspek di luar
bahasa, seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas, adan umur (Suhardi dan
Sembiring, 2005: 48). Keberagaman bahasa ini ditandai dengan adanya unsur-
unsur dari bahasa satu yang tidak memiliki padanan pada bahasa lain. Kondisi
semacam ini menimbulkan masalah dalam proses penerjemahan, karena inti dari
penerjemahan adalah menemukan padanan kata dari bahasa satu ke bahasa yang
lain. Jadi dapat dikatakan bahwa kendala dalam berkomunikasi sebagai dampak
dari adanya perbedaan bahasa memang tidak dapat secara mutlak diatasi dengan
penerjemahan karena ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan suatu unsur
bahasa (kata, frasa, atau kalimat) tidak dapat diterjemahkan secara tepat ke dalam
bahasa yang lain. Keadaan semacam ini dinamakan ketakterjemahan
(untranslatability).
Sejalan dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, proses
penerjemahan pun ikut berkembang pada berbagai bidang. Penerjemahan tidak
lagi hanya dilakukan pada komunikasi yang sifatnya langsung, tetapi sudah
diterapkan pada berbagai media, seperti film. Di bidang perfilman penerjemahan
sangat bermanfaat dalam membantu proses pemasaran dan pendistribusian karya
film ke seluruh penjuru dunia. Apabila dilengkapi dengan terjemahan dialognya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
film yang diproduksi di suatu negara atau wilayah tertentu dengan dialog bahasa
setempat akan dapat dinikmati oleh penonton dari negara atau wilayah lain yang
bahasanya yang berbeda. Penerjemahan dialog dalam film setidaknya bisa
dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama berupa sulih suara (dubbing), yaitu
mengganti suara asli dalam bahasa sumber (BSu) dengan suara pengganti dalam
bahasa sasaran (BSa). Kemudian cara yang kedua adalah subtitling, yaitu
menerjemahkan dialog dalam film dengan tulisan atau teks pada bagian bawah
layar. Kini, seiring dengan perkembangan teknologi dalam satu keping disc dapat
disimpan subtitle dari beberapa bahasa sekaligus.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penerjemahan secara
umum seringkali juga ditemui dalam penerjemahan khusus film ini. Keadaan bisa
dimaklumi karena film sendiri merupakan refleksi atau penggambaran dari
kehidupan nyata (Monaco, 2000: 262). Oleh karena itu masalah-masalah yang ada
dalam kehidupan nyata dengan sendirinya juga akan muncul di dalam adegan
film. Masalah ketakterjemahan yang banyak dihadapi oleh penerjemah umum
juga dihadapi oleh penerjemah film. Apabila yang pertama berhadapan dengan
teks, buku, pidato ataupun percakapan sehari-hari maka yang kedua berhadapan
dengan ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh karakter-karakter di dalam film.
Pada intinya masalah ketakterjemahan, baik pada penerjemahan secara
umum maupun penerjemahan film, dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
perbedaan tata bahasa antara BSu dengan BSa dan perbedaan budaya antara
penutur BSu (karakter di film) dan penutur BSa (penonton film). Perbedaan tata
bahasa pada pokoknya terletak pada perbedaan struktur kalimat dan
perbendaharaan kata pada tiap-tiap bahasa, sedangkan perbedaan budaya tampak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dengan adanya ungkapan-ungkapan khas pada satu bahasa yang tidak dapat
ditemukan pada bahasa yang lain. Munculnya ungkapan-ungkapan semacam ini
sifatnya situasional dan kondisional, yaitu terkait dengan pengalaman dan
lingkungan hidup penutur bahasa bersangkutan.
Film-film yang diproduksi pada masa sekarang ini pada umumnya telah
dilengkapi dengan subtitle, terutama apabila pemasarannya sampai ke luar negeri.
Salah satu film yang memanfaatkan teknologi subtitle adalah film The Simpson
Movie. The Simpson Movie adalah film animasi yang merupakan versi layar lebar
dari serial televisi The Simpsons yang sangat populer pada dekade 90-an. Serial ini
menceritakan kehidupan sebuah keluarga kelas menengah Amerika yang terdiri
dari suami istri Homer dan Marge beserta ketiga anak mereka, yaitu Bart, Lisa,
dan Maggie.
Tema-tema yang diangkat The Simpsons banyak mewakili isu-isu sosial
yang sedang hangat sehingga membuat serial ini menjadi sangat popular
sekaligus kontroversial. Kepopularan serial ini ditandai banyaknya stasiun televisi
yang ikut menayangkan, sementara di sisi lain ada sebagian episode yang dicekal
di Negara-negara tertentu karena dikhawatirkan akan memicu kontroversi. Serial
ini mengetengahkan hampir semua aspek kehidupan masyarakat Amerika, dari
persoalan lingkungan, politik, kehidupan rumah tangga, ras, kesehatan, agama,
kapitalisme, manipulasi media, psikologi, kekerasan, agen rahasia, mafia, bahkan
masalah homoseksualitas (Danial, 2009). Kompleksitas tema ini menjadikan serial
The Simpsons berbeda dengan film kartun lain yang biasanya ditujukan bagi anak-
anak. The Simpsons lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Aktualitas serial The Simpsons (maupun The Simpsons Movie) dengan
kehidupan nyata tidak hanya terletak pada tema ceritanya saja, namun juga
tercermin pada bahasa yang digunakan. Dialog-dialog yang berlangsung
antarkarakter dalam film tersebut juga merepresentasikan bahasa percakapan yang
banyak dipakai masyarakat setempat pada saat itu. Dialog-dialog dalam film ini
kadangkala menggunakan ragam bahasa Inggris-Amerika informal sehingga di
dalamnya banyak terlontar ungkapan-ungkapan khas Amerika yang tidak baku,
bahkan cenderung kasar, seperti misalnya: If you ask me, everybody in this theater
is a giant sucker! atau Excuse me. My heinie is dipping. Ungkapan seperti giant
sucker dan heinie ini tidak akan kita temukan dalam Bahasa Inggris baku.
Pemakaian ragam bahasa yang tidak baku seperti di atas menimbulkan
masalah tersendiri dalam pengisian subtitle film The Simpsons Movie dalam
bahasa lain, termasuk Bahasa Indonesia, karena adanya ungkapan-ungkapan yang
sulit atau bahkan tidak bisa diterjemahkan sama sekali sebagai akibat tidak
ditemukannya kata atau ungkapan yang sepadan pada bahasa sasaran. Untuk
menerjemahkan kata heinie misalnya, penerjemah akan mengalami kesulitan
karena di kamus umum tidak ada entri untuk kata ini. Begitu pula untuk frasa
giant sucker, meskipun terdapat padanan untuk masing-masing kata penyusunnya,
apabila keduanya digabung artinya, yaitu pengisap raksasa, justru tidak berterima
dalam bahasa sasaran. Demikianlah, dalam subtitle film ini terlihat adanya
berbagai bentuk ketakterjemahan. Dalam hal ini, penerjemah biasanya
menggunakan teknik penerjemahan tertentu untuk menyelesaikan masalah
ketakterjemahan tersebut. Hal ini akan tampak apabila kita membandingkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
subtitle film ini dengan bahasa sumbernya, yaitu dialog antarkarakter di film
tersebut.
Adanya fenonema di atas membuat penulis merasa tertarik dan
memandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai aspek-aspek
ketekterjemahan pada subtitle Bahasa Indonesia film The Simpsons Movie. Sesuai
dengan tema yang diambil, penelitian ini penulis beri judul Kajian
Ketakterjemahan pada Subtitle Bahasa Indonesia DVD Film The Simpsons
Movie.
Alasan lain yang mendasari pemilihan tema di atas adalah masih
sedikitnya penelitian yang mengkaji masalah ketakterjemahan. Dari penelitian
sebelumnya yang mengkaji masalah serupa pada terjemahan buku The Forgotten
Queens of Islam karya Fatima Mernessi, ditemukan adanya fenomena
ketakterjemahan linguistik dan budaya sebagaimana diungkapkan Catford. Dalam
penelitian ini, peneliti berupaya mendeskripsikan ketakterjemahan dengan subjek
yang berbeda, yaitu subtitle film. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan
ditelusuri hal-hal yang menyebabkan terjadinya ketakterjemahan secara lebih
terperinci berikut cara-cara yang ditempuh oleh penerjemah untuk menyelesaikan
masalah-masalah ketakterjemahan tersebut. Kedua hal ini belum diungkap pada
penelitian tersebut.
Selain itu ada juga penelitian mengenai teknik penerjemahan pada
subtitle yang dilakukan oleh Fenty Kusumastuti dengan judul Analisis Kontrastif
Subtitling dan Dubbing dalam film kartun Dora The Explorer: Kajian Teknik
Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan. Meskipun sama-sama mengkaji teknik
penerjemahan pada subtitle, berbeda dengan penelitian ini, penelitian tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
tidak mengkaji masalah ketakterjemahan dan lebih fokus pada perbandingan
kualitas terjemahan antara subtitle dan dubbing.
1.2 Rumusan Masalah
Pokok-pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian
mengenai ketakterjemahan pada subtitle Bahasa Indonesia DVD film The
Simpsons Movie ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis-jenis ketakterjemahan apa sajakah yang terdapat pada subtitle
Bahasa Indonesia DVD film The Simpsons Movie?
2. Teknik penerjemahan apakah yang diterapkan penerjemah untuk
berkaitan dengan adanya ketakterjemahan pada subtitle Bahasa
Indonesia DVD film The Simpsons Movie?
3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya ketakterjemahan
pada subtitle Bahasa Indonesia DVD film The Simpsons Movie?
1.3 Pembatasan Masalah
Agar penelitian mengenai ketakterjemahan pada subtitle Bahasa
Indonesia DVD film The Simpsons Movie ini terfokus dan terjaga validitasnya
maka diperlukan pembatasan terhadap permasalahan yang akan diteliti. Dalam
penelitian ini, yang dijadikan objek penelitian adalah masalah ketakterjemahan di
dalam penerjemahan. Penerjemahan yang dimaksud di sini adalah penerjemahan
dari Bahasa Inggris, sebagai bahasa sumber (BSu), ke dalam Bahasa Indonesia,
sebagai bahasa sasarannya (BSa). Kemudian jenis materi terjemahan yang diteliti
adalah subtitle, yaitu teks atau tulisan yang ditampilkan di bagian bawah layar
sebagai hasil penerjemahan dari ucapan-ucapan karakter yang ada pada gambar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian atau sumber data penelitian ini
adalah DVD film The Simpsons Movie keluaran tahun 2007 yang diedarkan di
Indonesia oleh Magix Eyes/PT Magix Tama Etika.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai ketakterjemahan pada subtitle Bahasa Indonesia
DVD film The Simpsons Movie ini bertujuan untuk menjawab berbagai
permasalahan sebagaimana telah disebutkan dalam rumusan masalah. Tujuan
penelitian ini selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi adanya ketakterjemahan pada subtitle Bahasa
Indonesia DVD film The Simpsons Movie.
2. Menjelaskan teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah
berkaitan dengan adanya ketakterjemahan pada subtitle Bahasa
Indonesia DVD film The Simpsons Movie.
3. Menunjukkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
ketakterjemahan pada subtitle Bahasa Indonesia DVD film The
Simpsons Movie.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai ketakterjemahan pada subtitle Bahasa Indonesia
DVD film The Simpsons Movie diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis
maupun praktis, bagi ilmu pengetahuan, pembaca, maupun masyarakat pada
umumnya umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
ilmu penerjemahan, khususnya kajian mengenai ketakterjemahan, dengan
kontribusi sebagai berikut:
1. Menambah referensi kajian penerjemahan, khususnya untuk pokok
bahasan ketakterjemahan, dengan subjek berupa subtitle film di samping
kajian dengan subjek buku-buku terjemahan yang sudah ada. Secara
spesifik, referensi yang disumbangkan oleh penelitian ini berupa dengan
contoh kasus ketakterjemahan dengan pokok bahasan mengenai jenis,
teknik penerjemahan, dan faktor-faktor penyebabnya
2. Memberikan paparan yang lebih luas, terperinci, dan mendalam
mengenai hal-hal yang menyebabkan terjadinya ketakterjemahan dalam
penerjemahan untuk melengkapi beberapa yang sudah ada pada teori-
teori terdahulu mengenai ketakterjemahan.
3. Memberikan gambaran mengenai hubungan antara ketakterjemahan,
sebagai masalah, dengan teknik penerjemahan sebagai cara untuk
menyelesaikannya (solusi) dalam proses penerjemahan.
Kemudian, secara praktis, hasil penelitian ini juga diharapkan
bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan bidang
penerjemahan, sebagai berikut:
1. Memberikan panduan kepada praktisi penerjemah untuk lebih berhati-
hati dan teliti dalam menerjemahkan sehingga masalah-masalah
ketakterjemahan dapat dihindari atau diselesaikan dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
2. Memberikan bahan acuan atau perbandingan pada peneliti lain yang
akan melakukan penelitian dengan topik yang sama sehingga bisa
mendapatkan hasil penelitian yang lebih komprehensif.
3. Menjadi pelengkap atau penambah materi pembelajaran, khususnya
pada pokok bahasan mengenai penerjemahan, yang dapat dimanfaatkan
baik oleh pendidik maupun peserta didik dalam proses belajar-
mengajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR PENELITIAN
2.1 Penerjemahan
Istilah penerjemahan atau translation bukan lagi merupakan sesuatu
yang asing. Telah banyak definisi dikemukakan untuk menjelaskan arti kata
angat kompleks. Secara
ringkas, Catford (1980: 20) mengartikan penerjemahan sebagai penggantian
materi teks dari suatu bahasa dengan materi teks yang sepadan dari bahasa lain.
Senada dengan Catford, Newmark (1995: 5) mendefinisikan penerjemahan
sebagai suatu kegiatan mengubah makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai
dengan maksud pengarang. Dari kedua definisi ini dapat kita simpulkan bahwa
penerjemahan itu adalah suatu aktivitas mengubah bahasa teks dari bahasa satu ke
bahasa yang lain.
Namun apabila kita kaji dari sudut pandang yang lebih luas,
sesungguhnya penerjemahan tidak sesederhana itu. Menurut Nida dan Taber
(1974: 33) penerjemahan itu terdiri dari tiga tahap yaitu analisis, transfer, dan
restrukturisasi, sebagaimana tampak pada diagram berikut ini:
Bagan 1: Proses penerjemahan menurut Nida dan Taber
A (SUMBER) B (PENERIMA)
(ANALISIS) (RESTRUKTURISASI)
(TRANSFER) X Y
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Oleh Zuchridin dan Sugeng (2003: 19), pendapat Nida dan Taber
tersebut disempurnakan dengan ditambah satu tahapan lagi, yaitu evaluasi dan
revisi, sehingga proses penerjemahan tersebut menjadi seperti di bawah ini:
Bagan 2: Proses penerjemahan menurut Zuchridin dan Sugeng
Dari beberapa definisi di atas terdapat kesan bahwa penerjemahan adalah
aktivitas yang berkaitan dengan tulisan atau teks saja. Akan tetapi sesungguhnya
media yang digunakan untuk mengalihkan pesan di dalam penerjemahan selain
berupa tulisan bisa juga berbentuk ucapan atau lisan sebagaimana dinyatakan oleh
Brislin (1976:1), yaitu penerjemahan adalah suatu pemindahan pikiran dan
gagasan dari satu bahasa (sumber), ke bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk
atau translation dipakai untuk menunjuk penerjemahan secara umum dan
penerjemahan tulis, sedangkan penerjemahan lisan diistilahkan dengan
interpreting . Oleh Shuttleworth
dan Cowie (1997: 83) istilah interpreting dipakai untuk menyebut penerjemahan
yang dilakukan secara lisan dari sumber yang berbentuk ucapan ataupun tulisan.
TEKS ASLI DALAM
BSU
KONSEP, MAKNA, PESAN DARI TEKS BSU
PROSES EKSTERNAL
PROSES INTERNAL
TRANSFER
PADANAN
RESTRUKTURISASI/
PENULISAN KEMBALI ANALISIS/
PEMAHAMAN
EVALUASI DAN REVISI
TEKS TERJEMAHAN DALAM BSA
KONSEP, MAKNA, PESAN DALAM BSA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Sementara Nababan (1999: 140) membedakan penerjemahan (tulis) dan
pengalihbahasaan dari sifat hasilnya, yaitu terjemahan untuk dibaca sedangkan
alihbahasaan untuk didengarkan. Jadi yang digunakan sebagai acuan untuk
membedakan suatu kegiatan penerjemahan itu tulis dan lisan adalah cara atau
hasil penerjemahannya atau dengan kata lain menurut caranya secara garis besar
penerjemahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu penerjemahan tulis (translation)
dan pengalihbahasaan (interpreting).
Selain menurut caranya, penerjemahan juga dapat dibedakan menurut
bahasa yang digunakan. Pada umumnya, proses penerjemahan melibatkan dua
bahasa yang berbeda. Akan tetapi hal ini sebetulnya tidak mutlak, sebagaimana
pendapat Jakobson dalam Munday (2001: 5) tentang adanya tiga jenis
penerjemahan, yaitu:
1. Penerjemahan intrabahasa (rewording), yaitu penggantian antartanda
verbal dalam satu bahasa.
2. Penerjemahan antarbahasa (translation proper), yaitu penggantian
antartanda verbal dari dua bahasa yang berbeda.
3. Penerjemahan intersemiotik (transmutation), yaitu penerjemahan antara
tanda verbal dengan tanda non-verbal.
Di sini Jakobson memandang penerjemahan dari sudut pandang yang lebih luas
dengan melibatkan unsur-unsur non-verbal dan seperti tampak pada poin dua di
tas, penerjemahan yang kita pahami selama ini hanyalah merupakan salah satu
dari tiga jenis penerjemahan.
Meskipun penerjemahan itu berada dalam ruang lingkup bahasa, dalam
prosesnya unsur-unsur di luar bahasa seringkali juga berpengaruh. Bassnett-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
McGuire (1991: 13) menyatakan bahwa selain pengalihan makna secara linguistik
dengan menggunakan alat berupa kamus dan aturan-aturan tata bahasa, proses
penerjemahan juga melibatkan unsur-unsur lain di luar bahasa. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa selain kesamaan isi (content) pesan, dalam penerjemahan juga
harus dipertimbangkan kesesuaian gaya (style) atau bentuk (form) bahasa.
Berkaitan dengan hal ini, Shi (2005) berpendapat bahwa di dalam bidang
penulisan, istilah style dibedakan dengan content, di mana style lebih menekankan
pada bentuk atau format. Dengan kata lain style
content
menerjemahkan juga dikemukakan oleh Nida (dalam Shi, 2005) yang menyatakan
bahwa penerjemahan adalah pengungkapan kembali pesan dari bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran dengan padanan yang sedekat dan sealamiah mungkin,
pertama dalam hal makna dan kedua dalam kaitannya dengan gaya.
2.1.1 Kesepadanan dan Ketidaksepadanan
Apabila kita pahami berbagai definisi penerjemahan di atas, maka
tampak bahwa kesepadanan (equivalence) antara materi sumber dengan materi
sasaran merupakan salah satu unsur penting dalam penerjemahan, sebagaimana
dinyatakan oleh Barnstone dalam Nababan (1999: 2003) bahwa masalah padanan
merupakan bagian inti dari teori penerjemahan dan praktek menerjemahkan
sebagai realisasi dari proses penerjemahan selalu melibatkan pencarian padanan.
Dapat dikatakan bahwa tercapainya kesepadanan merupakan tujuan penerjemahan
dan menjadi ukuran keberhasilan suatu proses penerjemahan. Kenny (dalam
Munday, 2001: 49) bahkan menyatakan bahwa kesepadanan adalah definisi dari
penerjemahan, begitu pula sebaliknya penerjemahan juga merupakan definisi dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kesepadanan. Meskipun demikian, definisi kesepadanan ini sesungguhnya masih
merupakan suatu hal yang diperdebatkan dan menimbulkan dikotomi
sebagaimana di dalam teori penerjemahan ada penerjemahan harfiah yang
mengutamakan kesepadanan dengan BSu dan ada penerjemahan bebas yang lebih
menekankan pada pemahaman pembaca BSa.
Perbedaan tingkat kesepadanan hasil terjemahan ini sangat bergantung
pada metode penerjemahan yang diterapkan. Menurut Newmark (1995: 45),
metode penerjemahan dapat dibagi ke dalam dua kutub, yaitu yang berpihak
kepada BSu dan yang berpihak pada BSa, sebagaimana tampak pada diagram di
bawah ini:
BERPIHAK PADA BSU BERPIHAK PADA BSA
PENERJEMAHAN KATA-PER-KATA ADAPTASI
PENERJEMAHAN HARFIAH PENERJEMAHAN BEBAS
PENERJEMAHAN SETIA PENERJEMAHAN IDIOMATIS
PENERJEMAHAN SEMANTIS PENERJEMAHAN KOMUNIKATIF
Bagan 3: Metode penerjemahan menurut Newmark
Pada satu sisi, dengan mengacu pada kesemestaan bahasa, kesepadanan
dalam penerjemahan adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, sisi lain adanya
keberagaman bahasa menimbulkan anggapan bahwa kesepadanan yang mutlak
antarbahasa itu tidak ada sama sekali. Dari sini muncul berbagai pendapat
mengenai kesepadanan yang berujung pada mengemukanya berbagai teori
mengenai kesepadanan.
Dalam konteks penerjemahan bibel, Nida (dalam Hatim, 2001: 19),
membagi kesepadanan menjadi dua, yaitu kesepadanan formal (formal
equivalence) dan kesepadanan dinamis (dynamic equivalence). Kesepadanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
formal menunjuk pada suatu kecenderungan di mana penerjemahan terfokus pada
isi dan bentuk pesan saja, sedangkan kesepadanan dinamis merujuk pada suatu
prosedur di mana pesan sumber disesuaikan sedemikian rupa dalam bahasa
sasaran sehingga apa yang dirasakan pembaca hasil terjemahan akan sama persis
dengan apa yang dirasakan oleh pembaca pesan asli.
Lebih lanjut Nida menyatakan bahwa prosedur dalam kesepadanan
dinamis mencakup:
1. Menggantikan unsur-unsur teks asli yang sulit dipahami dengan unsur-
unsur yang lebih mudah diterima dalam budaya pembaca teks sasaran
2. Memberikan keterangan tambahan untuk memperjelas bagian teks
sumber yang sifatnya implisit.
3. Menyederhanakan penyampaian pesan untuk mempermudah
pemahaman.
Salah satu contoh penerapan kesepadanan dinamis ini misalnya pada penggantian
istilah Lamb of God dengan Seal of God pada penerjemahan dari Bahasa Inggris
ke dalam Bahasa Eskimo.
Sementara itu dari sudut pandang yang agak berbeda, Popovich
membagi kesepadanan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Kesepadanan linguistik, yaitu homogenitas (kesamaan) pada tataran
kebahasaan pada kedua teks (BSu dan BSa), misalnya terjemahan kata
per kata.
2. Kesepadanan paradigmatik, yaitu kesepadanan dalam unsur-unsur
ungkapan paradigmatik, misalnya kesepadanan unsur-unsur garamatikal,
yang dianggap lebih tinggi tingkatannya daripada kesepadanan leksikal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3. Kesepadanan stilistik, yaitu kesepadanan fungsional antara unsur-unsur
bahasa sumber dengan bahasa sasaran.
4. Kesepadanan tekstual, yaitu kesepadanan dalam penyusunan suatu teks
secara sintagmatik (Bassnet-McGuire, 1991: 25).
Pendapat yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Koller melalui
istilah kerangka kesepadanan (framework of equivalence). Koller dalam Hatim
(2001: 28) berpendapat bahwa kesepadanan dalam penerjemahan dapat dicapai
apabila kata bahasa sumber dan kata bahasa sasaran memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. memiliki kesamaan ciri dalam penulisan ataupun pengucapan (formal
equivalence)
2. menunjuk pada benda yang sama di dunia nyata (referential/denotative
equivalence)
3. menimbulkan asosiasi yang sama pada benak penutur kedua bahasa
(connotative equivalence)
4. digunakan dalam konteks yang sama pada masing-masing bahasa (text-
normative equivalence)
5. memiliki pengaruh yang sama pada masing pembacanya
(pragmatic/dynamic equivalence).
Sementara itu, dalam bukunya In Other Words, Baker (1995)
membedakan kesepadanan secara struktural menjadi kesepadanan pada tingkat
kata (equivalence at the world level) dan kesepadanan di atas tingkat kata
(equivalence above the world level). Selain itu, Baker juga mengemukakan
adanya kesepadanan gramatikal, tekstual, dan pragmatik dalam penerjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Ketidaksepadanan yang terkait dengan perbedaan tata bahasa BSu dan BSa
banyak terjadi pada aspek jumlah (tunggal/jamak), gender (laki-laki/perempuan),
kata ganti (pronomina), dan kala (tense). Sementara kesepadanan tekstual
berkaitan dengan kohesi, yaitu rangkaian hubungan leksikal, gramatikal, dan lain-
lain yang menyatukan bagian-bagian teks, sedangkan kesepadanan pragmatik
merujuk pada koherensi, yaitu rangkaian hubungan konseptual yang
melatarbelakangi apa yang tampak pada teks.
Oleh Zuchridin dan Sugeng (2003: 108), ketidaksepadanan disebut
dengan istilah suatu keadaan di mana
padanan dalam bentuk satu kata atau ungkapan (one-to-one equivalent) tidak bisa
ditemukan dalam bahasa sasaran. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa kasus
tanpadan ini sering hadir dalam penerjemahan kata majemuk, lakuran, penggalan,
dan akronim.
Dalam penerjemahan kata majemuk misalnya, ketiadaan padanan sering
terjadi pada kata majemuk buram, yaitu kata majemuk yang maknanya tidak bisa
ditelusuri dari kata-kata penyusunnya. Misalnya kata hotdog yang tidak mungkin
grasshopper
blending)
misalnya terjadi pada kata-kata motel (motorway hotel), brunch (breakfast lunch)
dan smog (smoke fog). Kemudian kata-kata penggalan (clipping) seperti pub
(public bar), dorm (dormitory) serta akronim yang sudah umum semacam CIA,
VIP dan AIDS cenderung tidak memiliki padanan tertentu dalam bahasa
Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Sementara itu berkenaan dengan penerjemahan yang terkait dengan
kebudayaan, Newmark (1995: 95) menemukan banyaknya ketidaksepadanan
istilah pada bidang-bidang berikut:
1. Ekologi, misalnya flora dan fauna
2. Budaya materi (artefak), meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, alat
transportasi
3. Budaya sosial, seperti pekerjaan dan pariwisata
4. Organisasi, kebiasaan, aktifitas, prosedur, konsep, termasuk politik,
administrasi, dan seni
5. Gestur dan adat istiadat.
Banyak istilah pada bidang-bidang tersebut di atas yang memiliki ciri khas
budaya lokal sehingga sulit ditemukan padanan istilahnya dalam bahasa lain.
Nama pakaian, sari (India) dan kimono (Jepang) contohnya, tidak ada istilah
untuk menyebutnya dalam bahasa lain.
2.1.2 Ketakterjemahan
(untranslatability). Menurut Nababan (1999: 93), pencarian padanan dalam proses
penerjemahan akan menggiring penerjemah ke dalam konsep keterjemahan
(translatability) dan ketakterjemahan (untranslatability). Hubungan antara
ketakterjemahan dengan keterjemahan sendiri bersifat antonimi atau berlawanan.
Apabila keterjemahan didefinisikan sebagai sejauh mana suatu kata, frasa, atau
teks secara keseluruhan dapat dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, seperti
pendapat Shuttleworth dan Cowie (1997: 179), maka secara analogi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
ketakterjemahan dapat kita artikan sejauh mana suatu kata, frasa, atau teks tidak
dapat diterjemahkan secara utuh dari satu bahasa ke bahasa lain.
Dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation, Catford (1980: 94-
99) membagi ketakterjemahan ini secara lebih spesifik menjadi dua yaitu,
ketakterjemahan linguistik (linguistic untranslatability) dan ketakterjemahan
budaya (cultural untranslatability).
Ketakterjemahan linguistik terjadi karena adanya perbedaan antara
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hal ini terjadi misalnya pada kasus ketaksaan
(ambiguitas), polisemi, dan oligosemi. Ketakterjemahan yang berkaitan dengan
ketaksaan bisa terjadi secara struktural dan leksikal. Dalam tataran struktur,
misalnya terjadi pada penambahan akhiran -s dalam tata bahasa Inggris untuk
bentuk jamak (plural) dan kata kerja (verb) simple present dengan subjek orang
ketiga tunggal, seperti pada kata cats (kucing-kucing) dan eats (makan). Secara
umum, kesamaan pembentukan kata ini tidak menimbulkan masalah. Tetapi pada
situasi tertentu, hal ini bisa menimbulkan ketakterjemahan, misalnya pada kalimat
Time flies. Tanpa melihat konteksnya, kita tidak akan tahu makna kalimat
lalat-lal
Sementara itu ketaksaan pada tataran leksikal misalnya terjadi pada kata
bank dalam Bahasa Inggris yang menunjuk pada dua hal yang berbeda, yaitu
ke dalam Bahasa Prancis, tanpa melihat konteksnya dalam suatu kalimat tidak
dapat diterjemahkan. Ini karena dalam Bahasa Prancis terdapat dua kata yang
berbeda untuk merujuk kedua makna di atas, yaitu banque dan rive.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Kemudian ketakterjemahan yang disebabkan polisemi contohnya pada
istilah Bahasa Rusia s verxu
Istilah ini dalam Bahasa Inggris artinya bisa bermacam-macam, misalnya from
above, from upstairs, from upriver dan seterusnya, tergantung konteks situasinya
dan tidak mungkin diterjemahkan secara lepas.
Lebih lanjut, Catford mencontohkan ketakterjemahan linguistik leksikal
karena faktor oligosemi pada istilah Bahasa Rusia prisla yang memiliki
padanan yang sesuai, sehingga kata tersebut hanya dapat diterjemahkan secara
umum menjadi came atau arrived saja.
Sementara itu, ketakterjemahan budaya muncul apabila ada suatu unsur
fungsional di dalam BSu yang tidak terdapat di dalam budaya BSa. Contohnya
pada kata sauna yaitu sejenis tempat untuk mandi dalam budaya masyarakat
Finlandia, yang tidak bisa diterjemahkan secara tepat ke dalam Bahasa Inggris
baik dengan kata bath, bathhouse maupun bathroom. Selain itu ketakterjemahan
budaya juga terjadi pada istilah Bahasa Jepang yukata yang bisa dideskripsikan
-laki maupun
perempuan dan disediakan oleh penginapan atau hotel Jepang, dipakai pada
malam hari di dalam atau di luar rumah, di jalan dan di kafe, dipakai saat tidur...
mencakup keseluruhan makna tersebut, sehingga istilah yukata dapat dikatakan
mengalami ketakterjemahkan karena faktor budaya. Dalam hal ini, De Pedro
(1999: 552) juga sependapat, bahwa ketekterjemahan budaya sering terjadi dalam
penerjemahan nama-nama lembaga, pakaian, dan makanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Oleh Popovic (dalam Bassnet-McGuire 1991: 34) ketakterjemahan juga
dibedakan menjadi dua. Pertama ketakterjemahan didefinisikan sebagai suatu
keadaan di mana unsur-unsur linguistik dari bahasa sumber tidak dapat digantikan
secara tepat baik secara struktural, linier, fungsional ataupun semantik sebagai
akibat tidak adanya ungkapan untuk menyebutnya pada bahasa sasaran. Meski
tidak disebutkan secara eksplisit, definisi yang pertama ini paralel dengan
ketakterjemahan linguistiknya Catford. Kemudian, definisi yang kedua lebih
berkaitan dengan unsur non-linguistik. Di sini ketakterjemahan diartikan sebagai
suatu keadaan di mana hubungan antara subjek dengan ungkapannya dalam
bahasa sumber tidak dapat dinyatakan secara lengkap di dalam bahasa sasaran.
Selain pendapat Cartford dan Popovic, ada pula pendapat lain yang
bertentangan mengenai ketakterjemahan sebagaimana diungkapkan oleh Keenan
dan Wilss. Keenan (dalam Nababan, 1999: 94) mengajukan hipotesis yang
bunyinya sesuatu yang dapat diungkapkan dalam satu bahasa dapat diterjemahkan
secara tepat ke dalam bahasa yang lain. Hipotesis ini secara tidak langsung
didukung oleh Wilss (1982: 49) yang berpendapat bahwa yang menyebabkan
terjadinya ketakterjemahan semata-mata adalah ketidakmampuan penerjemah.
Kesemestaan bahasa (language universals) dalam sintaksis, semantik, dan logika
alamiah menjamin bahwa semua teks dapat diterjemahkan. Kalaupun proses
penerjemahan ternyata gagal, penyebabnya bukan karena ketiadaan padanan
leksikal maupun sintaksis pada bahasa sasaran, melainkan karena
kekurangmampuan penerjemah dalam menerjemahkan teks terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2.2 Tata Cara Penerjemahan
Di dalam ilmu penerjemahan dikenal ada beberapa cara yang dapat
dipakai oleh penerjemah untuk untuk mendapatkan hasil penerjemahan yang baik
dan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam proses
penerjemahan. Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan tata cara
menerjemahkan, yaitu metode penerjemahan, prosedur penerjemahan, strategi
penerjemahan, dan teknik penerjemahan. Beberapa ahli penerjemahan berbeda
pendapat mengenai penggunaan ketiga istilah ini, sehingga kadangkalan terjadi
tumpang tindih dan kerancuan antara satu dengan yang lain.
2.2.1 Metode Penerjemahan
Menurut Newmark (1988: 81), metode penerjemahan adalah cara
menerjemahkan yang berlaku pada keseluruhan teks. Metode penerjemahan ini
dapat dibedakan menjadi:
1. Penerjemahan kata-per-kata (word-for-word translation)
Penerjemahan kata-per-kata adalah suatu metode penerjemahan di mana
urut-urutan kata dipertahankan dan setiap kata diterjemahkan sendiri-
sendiri dengan arti yang paling umum tanpa memperhatikan konteks.
2. Penerjemahan harfiah (literal translation)
Dalam penerjemahan harfiah struktur tata bahasa sumber diubah menjadi
sedekat mungkin dengan struktur tata bahasa sasaran, namun kata-kata
penyusunnya masih diterjemahkan satu per satu tanpa memperhatikan
konteks.
3. Penerjemahan setia (faithful translation)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Metode penerjemahan setia berupaya menghasilkan makna kontekstual
setepat mungkin dengan aslinya dengan menggunakan struktur tata
bahasa sasaran.
4. Penerjemahan semantik (semantic translation)
Metode ini hampir sama dengan penerjemahan setia, hanya saja dalam
penerjemahan semantik nilai estetik dari Bsu dipertimbangkan secara
lebih mendalam.
5. Adaptasi (adaptation)
Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas, biasanya
diterapkan pada naskah drama (komedi) atau puisi. Tema, tokoh, dan
jalan cerita biasanya dipertahankan, budaya sumber diubah ke dalam
budaya sasaran dan teks asli ditulis ulang.
6. Penerjemahan bebas (free translation)
Metode penerjemahan bebas mengasilkan terjemahan yang
menghilangkan gaya, bentuk maupun isi teks sumber.
7. Penerjemahan idiomatis (idiomatic translation)
Pada penerjemahan idiomatis ada kecenderungan distorsi makna dari teks
sumber ke dalam teks sasaran karena digunakannya bentuk-bentuk
kolokial dan idiom yang tidak dimiliki BSu.
8. Penerjemahan komunikatif (communicative translation)
Metode ini bertujuan untuk menghasilkan makna kontekstual setepat
mungkin dari teks sumber, sehingga baik isi maupun bahasanya dapat
terima dan dipahami oleh pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Metode penerjemahan ini biasanya sudah ditentukan sebelum penerjemah
mulai melakukan proses penerjemahan.
2.2.2 Prosedur Penerjemahan
Berbeda dengan metode penerjemahan, ruang lingkup prosedur
penerjemahan hanya terbatas pada kalimat dan unsur-unsur di bawahnya
(Newmark, 1995: 81). Prosedur penerjemahan ini meliputi:
1. Transferensi (transference), yaitu proses pengalihan suatu kata BSu ke
dalam teks sasaran. Transliterasi juga termasuk dalam kelompok ini.
2. Naturalisasi, yaitu penyesuaian kata BSu dengan lafal BSa kemudian
disusul dengan penyesuaian morfologinya.
3. Padanan budaya (cultural equivalent), yaitu mengganti kata yang
bernuansa budaya dari BSu ke BSa, meskipun hasilnya tidak akurat.
4. Padanan fungsional (functional equivalent), yaitu penggunaan kata yang
tidak terkait budaya
5. Padanan deskriptif (descriptive equivalent), yaitu prosedur di mana
makna istilah yang terikat budaya BSu diterangkan dengan beberapa kata
6. Analisis komponensial (componential analysis), yaitu membandingkan
kata BSu dengan kata BSa yang maknanya sama namun bukan
merupakan padanan yang tepat, dengan cara menunjukkan persamaan
dan perbedaan unsur masing-masing
7. Sinonimi, yaitu penggunaan kata yang sedekat mungkin dengan
padanannya pada BSa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
8. Penerjemahan menyeluruh (through-translation), yaitu penerjemahan
harfiah untuk kolokasi, nama-nama organisasi, kata majemuk. Istilah
lainnya adalah calque atau loan translation.
9. Transposisi atau shift, yaitu prosedur yang melibatkan perubahan bentuk
gramatikal dari BSu ke BSa, misalnya dari jamak menjadi tunggal.
10. Modulasi, yaitu penyesuaian dengan aturan yang berlaku pada bahasa
sasaran dalam pengalihan pesan karena adanya perbedaan sudut pandang
antara BSu dengan BSa.
11. Penerjemahan baku (recognized translation), yaitu penggunaan istilah-
istilah kelembagaan yang sudah resmi (baku) atau diterima secara umum
12. Kompensasi, yaitu apabila hilangnya makna pada suatu bagian diganti
pada bagian lain
13. Parafrase, yaitu perosedur menerangkan makna istilah yang berkaitan
dengan budaya namun dengan cara yang lebih rinci daripada padanan
deskriptif
14. Couplet, yaitu penggunaan dua prosedur penerjemahan yang berbeda
15. Catatan (notes), yaitu pemberian keterangan tambahan pada hasil
terjemahan (Newmark 1995: 82-86).
Zuchridin dan Sugeng juga beranggapan bahwa prosedur penerjemahan
juga berlaku pada tataran kata dan kalimat, meskipun mereka menyebutnya
dengan istilah strategi penerjemahan. Prosedur penerjemahan menurut Zuchridin
dan Sugeng (2003: 67) adalah taktik penerjemah untuk menerjemahkan kata atau
kelompok kata atau mungkin kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa
dipecah lagi menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Dari sudut pandang yang lain, Nida (dalam Zainurrahman, 2009: 120)
memandang prosedur penerjemahan sebagai langkah-langkah yang harus diiikuti
oleh penerjemah dalam proses penerjemahan yang mencakup dua hal, yaitu:
1. Prosedur teknik (technical procedure), meliputi menganalisis bahasa
sumber dan bahasa sasaran, mengkaji teks sumber secara menyeluruh
sebelum mulai menerjemahkan, dan menilai kesesuaian makna dan
susunan kalimat.
2. Prosedur organisasional (organizational procedures), meliputi
mengevaluasi secara terus menerus hasil penerjemahan,
membandingkannya dengan hasil terjemahan penerjemah lain untuk teks
yang sama, dan menguji keefektifan komunikasi teks dengan cara
meminta pembaca bahasa sasaran untuk menilai keakuratan dan
keefektifannya serta mempelajari bagaimana reaksi mereka.
2.2.3 Teknik Penerjemahan
Dari pembahasan mengenai metode dan prosedur penerjemahan di atas
terlihat adanya kesamaan antara metode dan prosedur penerjemahan, yaitu
keduanya bersifat normatif. Hal ini berbeda dengan teknik penerjemahan yang
cenderung bersifat praktis, yaitu berkaitan langsung dengan permasalahan
penerjemahan dan pemecahannya daripada dengan norma pedoman penerjemahan
tertentu. (Rochayah, 2000: 77).
Melihat adanya kesimpangsiuran dalam pemahaman dan pemakaian
istilah metode, strategi, dan teknik penerjemahan, Molina dan Hurtado (2002)
berupaya mempertegas perbedaan di antara ketiganya, dengan tekanan khusus
pada teknik penerjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Menurut keduanya, metode penerjemahan adalah cara yang ditempuh
oleh penerjemah dalam melakukan suatu proses penerjemahan sesuai dengan
tujuan penerjemahan. Metode penerjemahan ini berdampak pada keseluruhan teks
terjemahan. Beberapa contoh metode penerjemahan misalnya penerjemahan
interpretatif-komunikatif, penerjemahan literal, penerjemahan bebas, dan
penerjemahan filologis. Sementara strategi penerjemahan adalah cara yang
digunakan oleh penerjemah untuk menyelesaikan masalah penerjemahan karena
metode apapun yang diterapkan oleh penerjemah tidak menjamin suatu proses
penerjemahan terbebas dari masalah. Kemudian, teknik penerjemahan sendiri
merupakan implementasi dari strategi penerjemahan. Jika strategi penerjemahan
terjadi pada proses penerjemahan, maka teknik penerjemahan tampak pada hasil
penerjemahan.
Secara ringkas, teknik penerjemahan dapat didefinisikan sebagai suatu
prosedur dalam menganalisis dan mengklasifikasi sejauh mana kesepadanan
penerjemahan bisa tercapai. Teknik penerjemahan ini memiliki lima karakteristik
utama, yaitu:
1. mempengaruhi hasil penerjemahan
2. dikelompokkan berdasarkan perbandingan dengan teks sumber
3. berlaku pada satuan-satuan kecil dari teks
4. bersifat kontekstual dan dengan sendirinya tidak saling terkait
5. memiliki fungsi tertentu.
Bentuk-bentuk teknik penerjemahan selengkapnya menurut Molina dan
Albir (2002: 510-511) adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
1. Adaptasi
Yaitu mengganti unsur budaya teks sumber dengan unsur budaya teks
sasaran, misalnya pada penggunaan istilah kasti untuk menggantikan
kata baseball pada penerjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa
Indonesia. Istilah lain adaptasi adalah padanan budaya.
2. Amplifikasi
Yaitu memberikan perincian yang tidak dirumuskan dalam teks sumber,
berupa keterangan atau penjelasan, misalnya untuk kata Halloween,
dalam teks sasaran diberi tambahan keterangan sehingga menjadi
Halloween, malam tanggal 31 Oktober di mana orang-orang berpakaian
Amplifikasi ini merupakan kebalikan dari reduksi.
3. Peminjaman (borrowing)
Yaitu mengambil kata atau ungkapan dari bahasa lain secara langsung.
Kata atau ungkapan yang diambil ini bisa dipertahankan seperti aslinya
atau diubah sesuai dengan karakteristik bahasa sasaran. Apabila
dilakukan perubahan maka istilahnya adalah naturalisasi. Bentuk
peminjaman tanpa mengubah kata asli misalnya pada penggunaan istilah
computer.
4. Calque
Yaitu penerjemahan harfiah suatu kata atau frasa asing, baik leksikal
mauapun struktural, misalnya kata elementary school diterjemahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
5. Kompensasi
Yaitu menempatkan aspek informasi atau gaya dari teks sumber di
bagian lain teks sasaran karena aspek tersebut tidak dapat diungkapakan
pada bagian yang sama seperti pada teks sumber. Pada ungkapan Thou
shalt hear their advice, contohnya, dapat diterjemahakan menjadi
Sebaiknya engkau mendengarkan nasihat mereka wahai Sang
Pemimpin thou yang bernuansa lampau dikompensasi
dengan frasa wahai Sang Pemimpin. Nama lain dari kompensasi adalah
konsepsi.
6. Deskripsi
Yaitu menggantikan suatu istilah atau ungkapan dengan penjelasan
mengenai bentuk dan/atau fungsinya, contohnya kata kilt yang dapat
diterjemahkan menjadi -kotak yang biasa
dipakai pria
7. Discursive creation
Menciptakan padanan sementara untuk penerjemahan tertentu di mana
padanan tersebut tidak berlaku sama sekali di luar konteks, contohnya
pemadanan tokoh Don Juan dengan Arjuna dalam suatu ungkapan cinta.
8. Padanan baku (established equivalent)
Menggunakan suatu istilah atau ungkapan yang terdapat di dalam kamus
atau dalam penggunaan sehari-hari sebagai padanan pada teks sasaran,
misalnya istilah memorandum of understanding yang selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
9. Generalisasi
Yaitu menggunakan istilah yang lebih umum atau netral. Generalisasi
merupakan kebalikan dari partikularisasi. Contoh teknik ini misalnya
pada penerjemahan kata cap dan hat
10. Amplifikasi linguistik
Yaitu menambahkan unsur-unsur linguistik, misalnya ungkapan Nothing
is impossible! diterjemahkan m mustahil di dunia
dan
dubbing. Amplifikasi linguistik merupakan lawan dari kompresi
linguistik.
11. Kompresi linguistik
Yaitu menyerasikan unsur-unsur linguistik pada teks sasaran, misalnya
.
Teknik ini banyak dipakai dalam pengalihbahasaan simultan dan
subtitling.
12. Penerjemahan harfiah
Yaitu menerjemahkan suatu kata atau ungkapan kata per kata, misalnya
kalimat Every morning my mother goes to the market to buy vegetables
pergi ke pasar itu untuk
membeli sayur-
13. Modulasi
Yaitu mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif bekaitan
dengan teks sumber baik secara leksikal ataupun struktural, misalnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
ungkapan You are going to have a child diterjemahkan menjadi
14. Partikularisasi
Yaitu menggunakan istilah yang lebih spesifik atau konkret, contohnya
pada pemadanan kata rice
Partikularisasi merupakan lawan dari generalisasi.
15. Reduksi
Yaitu mengurangi informasi yang ada pada teks sumber pada teks
sasaran, misalnya pada ungkapan mitoni, a ceremony for celebrating
seventh month of pregnancy Teknik ini
merupakan kebalikan dari amplifikasi.
16. Substitusi (linguistik, paralinguistik)
Yaitu mengubah unsur linguistik menjadi unsur paralinguistik (intonasi,
gestur) atau sebaliknya, contohnya menggelengkan kepala diterjemahkan
goodbye disimbolkan dengan
melambaikan tangan dan seterusnya.
17. Transposisi
Yaitu mengubah kelas kata dalam penerjemahan. Dalam penerjemahan
frasa deadly sting
sifat (adjective) deadly
18. Variasi
Yaitu mengubah unsur linguistik atau paralinguistik (intonasi, gestur)
yang berpengaruh pada aspek variasi bahasa, seperti perubahan nada,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
gaya bicara dan dialek. Contoh penerapan teknik ini misalnya pada
penerjemahan naskah dalam pementasan drama.
Penjelasan dari Molina dan Albir ini tampaknya sudah cukup mewakili
dan mengakomodasi berbagai silang pendapat mengenai teknik penerjemahan.
2.3 Penerjemahan Dialog Film
Dalam hubungannya dengan perfilman dan pertelevisian, dikenal adanya
dua cara untuk menerjemahkan dialog film atau acara, yaitu dubbing dan
subtitling. Kedua bentuk penerjemahan ini memang sering dibandingkan satu
sama lain, karena masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan serta
kelebihan dan kekurangan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa, baik
dubbing maupun subtitling sama-sama merupakan bentuk penerjemahan yang
melibatkan bahasa lisan. Perbedaannya, jika pada dubbing baik sumber maupun
hasil terjemahannya berupa bahasa lisan, maka dalam subtitling hanya sumbernya
saja yang berbentuk lisan, sementara produknya berupa tulisan atau teks.
2.3.1 Dubbing (Sulih Suara)
Dubbing, yang disebut juga dengan istilah looping, dalam Bahasa
Indonesia dikenal dengan nama . Menurut Ameri (2009), dubbing
adalah suatu proses perekaman atau penggantian suara pada gambar bergerak
(film). Dubbing ini biasanya diasosiasikan dengan penggantian suara asli pada
film dengan suara lain dari bahasa yang berbeda. Namun istilah dubbing ini
sebenarnya juga dapat dipakai untuk menyebut proses perekaman atau pengisian
suara pada film oleh pemain film bersangkutan, yang secara teknis dikenal dengan
istilah ADR (Additional Dialog Recording/Automated Dialog Replacement).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Dalam proses dubbing, gambar-gambar hasil syuting disusun secara
berurutan untuk kemudian diputar secara berulang-ulang di studio rekam suara
sehingga pemain film/pengisi suara dapat menyesuaikan ucapannya dengan
adegan film.(Monaco, 2000: 133).
Teknik dubbing sangat berguna dan telah banyak dimanfaatkan oleh
produsen dalam penerjemahan dialog film karena dengan cara ini penonton
sasaran akan lebih mudah memahami isi film. Penonton dapat berkonsentrasi pada
adegan di layar tanpa harus membaca teks terjemahan secara bersamaan. Bahkan
penonton yang tidak bisa membaca pun tetap akan bisa memahami jalan cerita
film. Hanya saja dialog hasil sulih suara biasanya terdengar kaku dan tidak alami
sehingga mengganggu kenyamanan menonton. Hal ini antara lain disebabkan oleh
adanya unsur bahasa maupun aspek budaya sumber yang tidak bisa digantikan di
dalam bahasa sasaran. Teknik dubbing ini kadangkala juga dimanfaatkan oleh
pemerintah, atau pihak lain yang berkepentingan, sebagai sarana untuk melakukan
sensor pada dialog film, yang dalam ilmu penerjemahan dikenal dengan istilah
lokalisasi (domestication). Dari sisi produksi, proses dubbing ini juga
membutuhkan lebih banyak pekerja maupun biaya jika dibandingkan dengan
proses subtitling.
Secara lebih lengkap, Ameri (2009) memerinci karakteristik dubbing
seperti di bawah ini:
1. mahal
2. dialog asli hilang
3. membutuhkan waktu lebih lama
4. tampak seperti produk lokal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5. lebih akrab
6. ucapan pengisi suara kadangkala hanya pengulangan
7. cocok untuk penonton yang berpendidikan rendah
8. mempertahankan gambar asli
9. pemahaman lebih utuh
10. memungkinkan terjadinya overlapping dialog
11. penonton dapat berkonsentrasi pada gambar
12. penonton dapat mengikuti alur meskipun tidak sedang memperhatikan
layar
13. terikat pada gerak bibir pemain film
14. hanya menggunakan satu kode linguistik
15. dapat menimbulkan ilusi sinematis
16. cenderung otoriter
17. menyenangkan
2.3.2 Subtitling
Subtitling sering disebut pula dengan istilah captioning. Istilah subtitling
sendiri berakar dari kata subtitle, yaitu bentuk tertulis atau teks dari ucapan
karakter di dalam film yang ditempatkan pada bagian bawah layar. Bahasa yang
dipakai subtitle bisa sama atau berbeda dengan bahasa sumbernya. Subtitle yang
sebahasa dengan dialognya biasanya digunakan sebagai alat bantu bagi penonton
yang berkebutuhan khusus pada pendengarannya, sedangkan subtitle dengan
bahasa yang berlainan dengan dialognya adalah suatu bentuk penerjemahan.
Dalam hal ini subtitle dapat dianggap sebagai produk penerjemahan sedangkan
subtitling adalah prosesnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Cikal-bakal subtitle sendiri sebetulnya sudah lebih dulu ada sebelum
teknik dubbing diperkenalkan. Menurut Ivarsson (2004), pada masa film hanya
berupa gambar bergerak tanpa disertai suara, untuk menyampaikan jalan cerita
atau dialog antarkarakter biasanya digunakan teks yang diselipkan di antara
adegan satu dengan adegan yang lain. Teks pengganti dialog film semacam ini
dinamakan intertitle. Teknik intertitle diperkenalkan oleh kartunis sekaligus
pembuat film J. Stuart Blackton dan digunakan pertama kali pada tahun 1903
melalui film garapan Edwin S Porter. Cara intertitling ini
pada awalnya hanya ditujukan untuk menggantikan suara pemain film yang
karena alasan teknis tidak bisa dimunculkan dan bukan untuk keperluan
penerjemahan. Meski demikian, penerjemahan pada era intertitle ini dapat
dilakukan dengan mudah karena tinggal mengganti intertitle yang asli dengan
intertitle bahasa yang diinginkan. Mulai tahun 1909 dan seterusnya secara
perlahan istilah intertitle diganti menjadi sub-title karena letak teksnya dipindah
sehingga menyatu dengan gambar.
Teknik subtitling dalam pengertian modern baru muncul ketika era film
bisu berakhir dan digantikan oleh film-film yang dilengkapi dengan suara sekitar
tahun 1927. Dengan sudah dapat ditampilkannya suara pada film membuat
intertitle tidak dibutuhkan lagi. Akan tetapi di sisi lain, keadaan ini menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam proses penerjemahan film. Pada awalnya, ada gagasan
untuk mengganti suara dengan suara pula, yang dikenal dengan istilah dubbing.
Namun mengingat proses dubbing cukup kompleks dan memerlukan biaya besar,
muncullah ide untuk menggunakan teks seperti pada masa film bisu dulu.
Bedanya, kali ini teks ditempatkan pada bagian bawah layar mengikuti pergerakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
adegan film. Jadi tidak berselang-seling dengan adegan seperti pada intertitle. The
Jazz Singer (1927) adalah film pertama yang dilengkapi dengan subtitling era
modern. Film produksi Amerika ini ketika diluncurkan di Paris diberi subtitle
bahasa Prancis.
Jenis subtitle dapat kita bedakan dari segi teknis dan bahasa. Secara
teknis, subtitle dapat dibedakan menjadi subtitle terbuka (open subtitle/hardsubs)
dan tertutup (closed subtitle/softsubs), sedangkan menurut bahasa yang digunakan
ada subtitle intrabahasa dan subtitle antarbahasa (Ameri, 2008). Subtitle terbuka
adalah subtitle yang menyatu atau dengan gambar atau satu paket dengan
produknya sehingga tidak dapat dihilangkan dari layar, sedangkan subtitle tertutup
sifatnya tambahan. Subtitle ini dihasilkan oleh pesawat televisi yang dilengkapi
dengan peralatan tertentu dan hanya bisa ditampilkan apabila penonton
menghendaki.
Menurut Ida (2008: 1), ada sejumlah aturan yang harus ditaati oleh
penerjemah dalam mengerjakan subtitling. Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Dalam satu adegan (scene) maksimal terdiri dari 2 baris subtitle.
2. Subtitle ditempatkan pada bagian bawah layar dengan posisi di tengah.
3. Apabila di bagian bawah layar terdapat tulisan (misalnya: credit title,
nama tokoh, nama lokasi atau subtitle bahasa lain), maka letak subtitle
harus dinaikkan agar tidak tumpang tindih dengan tulisan tersebut.
4. Satu baris subtitle maksimum terdiri dari 40 karakter termasuk spasi dan
tanda baca (35 karakter untuk negara-negara Eropa).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
5. Apabila ada dua baris subtitle di munculkan secara bersama-sama, baris
kedua diusahakan lebih pendek daripada baris pertama.
6. Durasi penayangan 1 baris subtitle minimal 3 detik dan maksimal 5 detik
(2,5-5 detik di negara-negara Eropa); 2 baris subtitle minimal 7 detik dan
maksimal 8 detik (5-6 detik di negara-negara Eropa). Dalam penayangan
subtitle, sinkronisasi dengan gambar dan suara tetap harus
dipertimbangkan.
7. Jika suatu kalimat subtitle harus dipenggal, kalimat penggalan harus
dipahami oleh penonton/pembaca meskipun penggalan tersebut berdiri
sendiri. Dengan demikian penonton/pembaca tetap dapat memahami
maksud pembicaraan.
Kemudian berkaitan dengan bahasa dan penerjemahan, ada beberapa
aturan yang harus ditaati dalam proses subtitling, sebagaimana dinyatakan oleh
Caroll dan Ivarsson (1998):
1. Pengisi subtitle sebaiknya melengkapi diri transkrip dialog dan daftar
kata-kata sukar, nama, dan rujukan khusus
2. Pengisi subtitle bertanggung jawab pada penerjemahan dan penulisan
istilah asing yang diperlukan
3. Hasil penerjemahan harus berkualitas dengan mempertimbangkan unsur
idiomatis dan nuansa budaya
4. Harus menggunakan satuan-satuan semantik yang gamblang (sederhana
dan langsung)
5. Apabila dilakukan pemadatan dialog, hasilnya harus koheren
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
6. Pedistribusian teks perbaris maupun halaman harus memperhatikan
satuan-satuan gramatikal
7. Tiap-tiap subtitle diusahakan memiliki makna sendiri
8. Register bahasa subtitle harus tepat dan sesuai dengan register dialog
9. Bahasa yang digunakan subtitle
merepresentasikan intelektualitas
10. Seluruh informasi tertulis (misalnya: tanda dan pengumuman) pada
gambar yang dianggap penting sedapat mungkin juga diterjemahkan dan
dirangkaikan
11. Nama dan frase yang sering muncul tidak harus selalu dituliskan pada
subtitle
12. Subtitle harus mencakup ekspresi-ekspresi emosional (misalnya
ketakjuban dan kekagetan)
13. Harus ada kedekatan hubungan antara dialog dengan isi subtitle. Harus
diusahakan agar ada kesesuaian antara BSu dan BSa.
Salah satu kekurangan teknik subtitling adalah terbatasnya ruang dan
waktu untuk menampilkan baris-baris subtitle sebagai hasil transkripsi atau
penerjemahan dialog yang menjadi sumbernya. Oleh karena itu dalam subtitling,
penerjemah dituntut untuk memparafrase, meringkas, atau bahkan menghilangkan
sebagian ucapan pemain. Kovacic (dalam Ameri, 2008) menyatakan bahwa
seorang penerjemah film harus tahu bagian mana yang harus dan yang tidak perlu
diterjemahkan. Subtitle lebih bertujuan untuk menyampaikan apa yang
dimaksudkan oleh pembicara daripada bagaimana ungkapan itu disampaikan.
Atau dengan kata lain makna lebih penting daripada bentuk (Ameri, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Dibandingkan dubbing, teknik subtitling lebih murah sekitar
sepersepuluh hingga seperduapuluhnya. Selain itu pengerjaannya juga lebih cepat.
Kelebihan lainnya, keaslian dialog film dan warna suara pemain dapat terjaga.
Namun bagi penonton film, penggunaan subtitle mungkin akan sedikit
mengganggu konsentrasi menonton karena pada saat yang bersamaan mereka
harus menyaksikan adegan film sambil membaca teks terjemahannya.
Jika teknik dubbing dianggap sebagai salah satu bentuk lokalisasi atau
domestication dalam penerjemahan, maka subtitling adalah salah satu bentuk
foreignization, yaitu upaya mempertahankan keaslian aspek-aspek bahasa sumber
dalam penerjemahan. Selain itu masih ada aspek-aspek lain yang membedakan
subtitling dan dubbing, sebagaimana diungkapkan Ameri (2008):
1. murah
2. keutuhan dialog asli tetap terjaga
3. lebih cepat
4. membantu pembelajaran bahasa asing
5. kurang akrab
6. kualitas suara sesuai dengan aslinya
7. cocok bagi para imigran dan yang berkebutuhan khusus dalam
pendengaran
8. mengganggu gambar
9. pemahaman cenderung terputus-putus
10. tidak memungkinkan terjadinya overlapping dialog
11. mengacaukan perhatian
12. penonton tidak akan mengerti apabila tidak memperhatikan layar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
13. terbatasi oleh ruang dan waktu
14. melibatkan dua kode bahasa sehingga dapat menimbulkan kerancuan
15. dapat mengurangi ilusi sinematis
16. lebih demokratis
17. menimbulkan kelelahan
2.4 Media Simpan Film
Kemunculan DVD sebagai media simpan/rekam film tidak bisa
dilepaskan dari media simpan film yang lain, karena DVD merupakan
penyempurnaan dari teknologi yang sudah ada sebelumnya. Menurut bentuknya
media simpan film ini secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu pita dan
cakram, sedangkan enurut perkembangannya, yang pertama dapat dibedakan
menjadi rol film dan videotape, sedangkan yang kedua dapat dibedakan menjadi
laserdisc, VCD dan DVD.
2.4.1 Rol Film dan Videotape
Awal mulanya, dalam pembuatan suatu film, media yang dipakai untuk
menyimpan gambar-gambar hasil syuting adalah berupa lembaran pita tipis
ukuran film menurut lebar pitanya, yaitu 16 mm, 35 mm, dan 75 mm. Dari ketiga
jenis ini, pita film berukuran 35 mm yang paling dipakai dalam produksi film.
Untuk satu judul film biasanya dibutuhkan beberapa gulungan (roll) film. Rol-rol
inilah yang didistribusikan ke bioskop-bioskop untuk diputar dan diproyeksikan
ke layar bioskop. Meskipun sudah ditemukan beraneka ragam media
penyimpanan, hingga saat ini pita seluloid masih banyak dipakai dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
pembuatan film karena dianggap memiliki kelebihan dibandingkan media yang
lain.
Dengan adanya pesawat televisi, kegiatan menonton film tidak lagi
hanya bisa dilakukan di bioskop, namun bisa juga di rumah. Namun tentu saja
peralatan yang dipakai berbeda dengan yang ada di bioskop. Untuk keperluan ini
digunakan alat putar (player) dengan layar televisi sebagai media untuk
menampilkan gambar. Gambar-gambar ini disimpan di atas segulungan pita
magnetis berukuran kurang dari 1 inci yang ditempatkan dalam kotak persegi
panjang. Media simpan film portable ini dinamakan kaset video (video cassette)
sedangkan pemutarnya dinamakan VCP (video cassette player) atau (VCR (video
cassette recorder). Cara kerja video kaset ini mirip dengan dengan kaset audio
dengan tape recorder sebagai alat pemutarnya. Resolusi gambar yang dihasilkan
dari VCR ini kurang dari 250 garis horisontal sehingga masih belum memuaskan.
Sejak diperkenalkan pada pertengahan tahun 1970 ada dua format video yang
popular, yaitu Betamax milik Sony dan VHS keluaran JVC.
2.4.2 Laserdisc dan VCD
Pada perkembangan selanjutnya, media penyimpanan film tidak lagi
hanya berbahan pita seluloid atau magnetis dengan diciptakannya cakram optis
(optical disc). Sesuai namanya, media ini berbentuk piringan dan memanfaatkan
sinar dalam teknologinya. Penggunaan piringan sebagai alat perekam sebenarnya
sudah lama dilakukan, seperti pada piringan hitam, meski hanya terbatas untuk
menyimpan suara saja. Cakram optis yang mula-mula populer adalah laserdisc,
yang muncul sekitar tahun 1978. Berbeda dengan piringan hitam yang masih
menggunakan jarum, laserdisc ini menggunakan teknologi sinar laser untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
membaca informasi berupa milyaran titik yang tercetak permukaan piringan.
Informasi ini kemudian diubah ke dalam bentuk gelombang dan diproyeksikan
menjadi gambar di layar televisi. Meski diameternya cukup besar (8 dan 12 inci)
laserdisc lebih praktis dan awet dibandingkan kaset video karena bentuknya lebih
tipis, ringan dan permukaannya tidak mudah tergores. Selain itu, gambar yang
dihasilkan laserdisc juga lebih tajam karena sudah tersusun dari 425 garis
horisontal.
Media simpan data berbentuk piringan ini semakin berkembang dengan
diperkenalkannya compact disc read only memory (CD-ROM) pada tahun1985
oleh Sony dan Philips. Cakram padat atau CD ini berbeda dengan pendahulunya
baik dalam hal ukuran maupun teknologi yang diterapkan. Kepingan CD memiliki
diameter 5 inci atau kira-kira setengah ukuran laserdisc.. Meskipun demikian,
kapasitas CD justru lebih besar daripada kapasitas laserdisc. Satu keping CD
dapat memuat file hingga sebesar 750 MB. Selain itu, CD sudah menggunakan
teknologi digital untuk menggantikan sistem analog yang dipakai pada laserdisc.
Menurut isinya, CD dapat dibedakan menjadi audio CD, yang hanya menyimpan
suara saja dan video compact disc (VCD) yang berisi gambar dan suara. VCD
inilah yang kemudian menggantikan peran kaset video dan laserdisc sejak
pertengahan tahun 1990.
2.4.3 DVD
Popularitas VCD mulai menurun sejak diperkenalkankannya DVD pada
tahun 1995. Meski secara fisik, dari segi bentuk dan ukuran tidak ada perubahan
yang mencolok, DVD menawarkan teknologi terbaru yang tidak dimiliki CD
maupun VCD. Dari segi kapasitas, misalnya, sekeping DVD mampu menyimpan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
data hingga sebesar 18 GB, atau hampir 24 kali kapasitas CD, karena kedua
sisinya bisa dipakai untuk menyimpan data (double layer disc). Sehingga dalam
satu keping DVD dapat dimuat beberapa judul film sekaligus.
Selain itu, berbeda dengan CD yang banyak dipakai untuk audio, DVD
sangat identik sebagai media penyimpan film. Pada mulanya DVD merupakan
singkatan dari digital video disc. Namun beberapa kalangan menyarankan agar
kepanjangannya diubah menjadi digital versatile disc untuk menunjukkan bahwa
format DVD bukan hanya untuk menyimpan gambar atau video saja. Karena tidak
ada kesepakatan antara kedua belah pihak, akhirnya diputuskan bahwa DVD
hanya sebuah nama dan bukan merupakan singkatan dari apapun (DVD, 2008).
Sebagai pendatang baru, tentu saja DVD memiliki beberapa keunggulan
jika dibandingkan VCD dalam hal kenyamanan untuk menonnton film. Dari segi
tampilan, gambar yang dihasilkan DVD jauh lebih tajam karena resolusinya lebih
tinggi daripada VCD, yaitu sekitar 480 garis horisontal (Monaco, 2000: 456).
Sementara itu untuk tata suara, jika teknologi CD hanya memungkinkan untuk
dua saluran kiri-kanan saja (stereo), maka pada DVD terdapat enam saluran (5.1)
atau surround, masing-masing kiri-kanan depan, kiri-kanan belakang, tengah, dan
subwoofer. juga Yang lebih penting lagi, DVD memberikan keleluasaan kepada
penonton untuk dapat memilih adegan (scene) tertentu maupun subtitle sesuai
keinginan. Jadi berbeda dengan VCD yang hanya dapat menampilkan satu subtitle
saja, film DVD biasanya dilengkapi dengan subtitle dari berbagai bahasa yang
bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan.
Beberapa kelebihan DVD sebagaimana diungkapkan Jack dan Tsatsulin
(2000: 97-98) adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
1. menampilkan gambar video bermutu tinggi sepanjang lebih dari 2 jam
2. memiliki tak kurang dari 8 jalur suara digital yang masing-masing terdiri
dari 8 saluran
3. memiliki tak kurang dari 32 jalur subtitle/karaoke
4. memungkinkan pencabangan gambar video otomatis dan tanpa
sambungan
5. dilengkapi dengan menu dan fitur interaktif yang mudah
6. dapat memutar maju maupun memutar balik gambar secara cepat
7. dapat menampilkan judul, bab, urutan lagu, dan posisi waktu secara
cepat
8. keluaran suara digital (PCM Stereo dan Dolby Digital)
9. bisa memainkan CD Audio
10. berbiaya rendah.
2.5 Film Animasi
Film atau movie telah menjadi suatu cabang seni dan budaya yang
berkembang pesat pada jaman modern ini. Mula-mula istilah film dipakai untuk
menyebut suatu lembaran tipis (pita) yang terbuat dari seluloid dan digunakan
sebagai media menyimpan gambar dalam bentuk negatif. Apabila gambarnya
berjumlah banyak dan berurutan kemudian diputar dan diproyeksikan pada layar
maka akan jadilah gambar hidup (moving pictures). Gambar hidup inilah yang
kemudian populer dengan sebutan film dalam tataran seni. Monaco (2000: 38)
berpendapat bahwa pada awalnya film dan fotografi bersifat netral, keduanya
merupakan media yang sudah ada sebelum seni terkait muncul dan berkembang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Di jaman modern ini, film bukan hanya merupakan salah satu cabang seni, tetapi
juga suatu bentuk hiburan dan bisnis.
Karakter atau tokoh di dalam film bisa diperankan oleh orang maupun
berupa rekaan gambar. Film yang tokoh maupun latarnya berupa gambar
semacam ini disebut film kartun atau animasi.
(animation
biasanya bergerak, sehingga tampak hidup. cartoon)
erat karena pada dasarnya objek yang bergerak pada film animasi berasal dari
serangkaian gambar dua dimensi secara cepat sehingga menghasilkan bayangan
yang bergerak. Secara teknis Dirks (1996) mendefinisikan film animasi sebagai
serangkaian gambar, lukisan atau ilustrasi yang dipotret dalam frame-frame
terpisah. Gambar-gambar pada frame yang berurutan biasanya sedikit berbeda,
sehingga akan menimbulkan bayangan bergerak apabila frame-frame tersebut
diproyeksikan secara berurutan dengan kecepatan 24 frame per-detik.
dulu eksis untuk menyebut gambar lucu yang terdapat di koran atau majalah
mengenai orang dan peristiwa (Hornby, 1990). Karena menceritakan suatu
kejadian, kartun ini biasanya terdiri dari beberapa gambar berurutan. Dari sini
kemudian muncul istilah komik (comic). Enclycopedia Americana (1975: 370)
menyebut komik sebagai kartun yang diletakkan pada satu atau beberapa bidang
persegi panjang/bujursangkar (yang kemudian disebut comic-strips) yang telah
menjadi sajian popular koran-koran Amerika. Komik dapat dianggap sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
nama spesifik untuk kartun. Jika panjang kartun hanya satu atau beberapa kotak
gambar saja dinamakan comic-strips, sedangkan jika panjangnya mencapai satu
jilid disebut buku komik (comic book) atau komik saja.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa film
animasi merupakan pengembangan dari kartun atau komik. Jika kartun hanya
berupa gambar mati yang dimuat di media cetak, maka gambar film animasi sudah
bergerak dan menggunakan media mekanik maupun elektronik (bioskop/televisi).
Asal muasal film animasi adalah comic-strips di koran yang muncul pada tahun
1890. Film animasi pertama dibuat oleh J. Stuart Blackton pada tahun1906
dengan judul Humorous Phases of Funny Faces. Jenis film ini kemudian terus
berkembang menjadi industri dan melahirkan figur-figur kartun terkenal semacam
Mickey Mouse, Scooby-Doo, The Flintstone, hingga Superman. Industri film
animasi ini juga telah melahirkan seniman-seniman berbakat seperti Walt
Disney, Hanna-Barbera dan Stan Lee.
2.5.1 Serial The Simpsons
The Simpsons adalah serial kartun ber-genre komedi situasi yang diputar
di saluran televisi Fox dan sangat popular pada dekade tahun 90-an. Film kartun
ini merupakan hasil kreasi Matt Groening yang bercerita tentang sebuah keluarga
kelas menengah Amerika yang tinggal di kota Springfield. Keluarga ini terdiri
dari suami-istri Homer dan Margie Simpson dengan tiga orang anak, masing-
masing Bart, Lisa, dan Maggie.
Keluarga The Simpsons ini memiliki karakter yang unik. Homer, bekerja
sebagai pemeriksa keamanan pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Springfield.
Sesuatu yang aneh mengingat sifatnya yang ceroboh dan konyol. Homer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
beristrikan Marge, seorang wanita yang mewakili stereotipe istri dan ibu rumah
tangga Amerika. Bart, anak pertama yang masih berusia 10 tahun, sering
membuat masalah dengan kenakalannya, sedangkan anak kedua, Lisa, yang
berumur 8 tahun, adalah seorang aktivis yang cukup rewel. Kemudian si bungsu
Maggie, meski belum bisa bicara, sudah dapat melakukan komunikasi dengan
Little Helper dan seekor kucing bernama Snowball II.
Yang membedakan serial ini dengan film-film sejenis adalah segmentasi
penontonnya. Jika film kartun pada umumnya ditujukan untuk anak-anak, maka
film The Simpsons ini justru membidik pemirsa dewasa (adult oriented). Oleh
karena itu, film ini banyak mengambil tema isu-isu yang sedang hangat di
Amerika Serikat. Permasalahan- permasalahan yang tidak pernah kita bayangkan
untuk diangkat dalam sebuah film kartun, seperti lingkungan, politik, kehidupan
keluarga, ras, kesehaatan, agama, kapitalisme, kebohongan media, psikologi,
kekerasan, agen rahasia, mafia, dan bahkan homoseksualitas ditampilkan di depan
penonton. Inilah mungkin yang membuat serial ini sangat kontroversial (Danial,
2009).
Sejak diputar pertama kali pada tanggal 17 Desember 1989 serial ini
mendapatkan sambutan yang cukup baik dari penonton. Hingga saat ini telah
tercapai tak kurang dari 19 periode penayangan atau 404 episode dengan durasi
kira-kira 30 menit per-episode . Kesuksesan serial ini juga ditandai dengan
diperolehnya berbagai penghargaan di bidang perfilman/pertelevisian, seperti 23
piala Emmy Award, 26 piala Annie Award dan satu piala Peabody Award. Selain
itu, pada 30 Desember 1999 serial ini juga dinobatkan oleh majalah Time sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
serial televisi terbaik abad ke-20 dan dianugerahi satu bintang di Holywood Walk
of Fame pada 14 Januari 2000. The Simpsons juga merupakan serial animasi dan
komedi situasi yang bertahan paling lama di televisi (The Simpson, 2008).
2.5.2 Film The Simpsons Movie
Kesuksesan serial The Simpsons di televisi mengilhami diproduksinya
The Simpsons versi layar lebar. Versi layar lebar ini diberi judul The Simpsons
Movie dengan lama putar sekitar 100 menit. Film ini merupakan produksi bersama
antara 20th Century Fox, Gracie Films dan Film Roman, dengan sutradara David
Silverman dan tim penulis cerita yang terdiri dari Matt Groening, James L Brooks,
Al Jean, George Meyer, Mike Reiss, John Swrtzwelder, John Vitti, David Mirkin,
Mike Scully, Max Selman dan Ian Maxtone Graham.
Mengikuti jejak versi serialnya, The Simpsons versi layar lebar ini juga
menangguk untung cukup besar sejak diluncurkan pada tanggal 26 Juli 2007. Pada
minggu pertama pemutaran, film ini mengumpulkan total pendapatan 74 juta dolar
di Amerika Serikat, menempatkan diri sebagai box office dan memecahkan rekor
sebagai film berbasis serial televisi terlaris mengalahkan Mission Impossible II. Di
luar Amerika film ini juga langsung menjadi box office dengan membukukan
pendapatan awal sebanyak 98 juta dolar dari 71 negara (The Simpsons, 2008).
Kesuksesan The Simpson Movie ini menghasilkan total pendapatan hingga 500
juta dolar di seluruh dunia.
Film The Simpsons Movie sendiri mengangkat tema seputar
penyelamatan lingkungan. Cerita film ini dibuka dengan konser musik rock di
tengah Danau Springfield yang menampilkan grup musik rock Green Day. Konser
ini berakhir tenggelamnya panggung band tersebut akibat banyaknya sampah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
mencemari danau. Melihat kejadian ini Lisa aktif mengimbau warga Springfield
untuk membersihkan dan menjaga Danau Springfield dari sampah dan kotoran.
Namun imbauan Lisa ini tidak mendapat tanggapan semestinya dari warga.
Pada saat keluarga Simpsons sedang mengikuti kebaktian di gereja
untuk mendoakan anggota band yang baru saja meninggal, tiba-tiba Kakek
mengigau memperingatkan akan terjadinya suatu bencana berkaitan dengan ekor
terpilin, mata seribu, dan terperangkap selamanya. Hal ini membuat Marge
menjadi khawatir. Homer sendiri tidak begitu peduli dengan kejadian yang
menimpa Kakek.
Hari berikutnya, ketika sedang memperbaiki atap rumah, Homer
menantang Bart untuk naik skateboard dengan telanjang ke Krusty Burger. Bart
memenuhi tantangan tersebut, tetapi sebagai akibatnya ia ditangkap polisi dan
mendapatkan hukuman. Alih-alih membantu, Homer justru tampak tidak peduli
dengan keadaan Bart. Sikap Homer ini membuat Bart kecewa dan merasa tidak
diperhatikan oleh ayahnya. Untunglah ada Ned Flanders tetangga yang dengan
sukarela membantu. Bart merasa menemukan figur seorang ayah yang baik pada
Ned dn mereka berdua jadi semakin akrab.
Di restoran Krusty Burger tersebut, Homer melihat seekor anak babi
yang tidak mau disembelih untuk dijadikan hidangan di restoran tersebut. Ia
kemudian menyelamatkan dan membawa pulang anak babi tersebut dan
menamainya Spider Pig. Marge tidak suka Homer memelihara anak babi tersebut
karena membuat rumah jadi kotor. Marge juga memiliki firasat kalau keberadaan
anak babi tersebut ada hubungannya dengan bencana yang diramalkan Kakek
begitu melihat ekor anak babi itu terpilin.. Hanya dalam waktu dua hari, kotoran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Spider Pig sudah memenuhi silo. Homer kemudian membuang silo berisi kotoran
ini ke danau sehingga menambah pencemaran.
Keadaan ini membuat Russ Cargill boss EPA, sebuah lembaga
perlindungan lingkungan, berang dan menganggap kota Springfield sudah sangat
membahayakan sehingga harus diambil suatu tindakan. Ia kemudian berhasil
mendesak Presiden Arnold Schwarzennegger untuk menutup kota Springfield
dengan kubah guna mencegah segala sesuatu keluar atau masuk kota tersebut.
Penduduk Springfield menjadi sengsara karena hubungan mereka dengan dunia
luar terputus.
Dalam upaya mencari biang keladi diisolasinya Kota Springfield, tiba-
tiba dari dasar danau ditemukan silo milik Homer. Mengetahui hal ini, warga jadi
marah dan berniat menggantung Homer sekeluarga beramai-ramai. Namun Homer
sekeluarga berhasil melarikan diri keluar dari kubah melalui lubang yang sering
dipakai bermain Maggie.
Merasa sudah kehilangan tempat tinggal, Homer mengajak keluarganya
untuk pindah ke Alaska. Mereka berangkat ke sana dngan menggunakan truk yang
dimenangkan Homer dari sebuah permainan di pasar malam. Mereka merasa
bahagia hidup di Alaska sebelum tiba-tiba mengetahui dari siaran televisi bahwa
Kota Springfield akan segera dihancurkan. Melihat situasi ini, Marge memutuskan
untuk kembali pulang menyelamatkan kota asalnya. Homer tidak setuju dengan
keinginan Marge sehingga ia ditinggal sendirian oleh istri dan kedua anaknya.
Hidup sendiri di Alaska membuat Homer jadi merana hingga sempat tak
sadarkan diri. Dalam keadaan tidak sadar Homer ditolong oleh seorang wanita
Indian yang kemudian membuat Homer menyadari kekeliruannya. Akhirnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Homer memutuskan untuk kembali ke Springfield ikut menyelamatkan kota dari
kehancuran.
Bertemunya kembali Homer dan keluarganya menjadi momen yang
merekatkan kembali hubungan bapak-anak antara Homer dan Bart. Homer
meminta Bart untuk membantunya menyelamatkan kota. Dengan berboncengan
naik sepeda motor, akhirnya Homer dan Bart berhasil melemparkan bom waktu
keluar dari kubah sekaligus menyelamatkan kota mereka dari kehancuran.
Terhindarnya Kota Springfield dari kehancuran sekaligus menandai kembalinya
keharmonisan Keluarga Simpson.
2.6 Kerangka Pikir Penelitian
Pokok permasalahan yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini
adalah adanya ketakterjemahan dalam proses penerjemahan, yaitu suatu keadaan
di mana suatu unsur dari bahasa sumber tidak bisa digantikan secara tepat atau
langsung dengan unsur dari bahasa sasaran, sehingga diperlukan suatu upaya
untuk mengatasinya. Secara garis besar, kerangka pikir penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut (lihat Bagan 4).
Pertama-tama peneliti membandingkan dialog dan subtitle DVD film
The Simpsons Movie untuk menemukan ketidaksepadanan antara unsur-unsur
pada bahasa sumber (dialog dalam bahasa Inggris) dan unsur-unsur bahasa
sasaran (subtitle dalam bahasa Indonesia). Dalam menentukan ketidaksepadanan
ini penulis melakukan pemeriksaan silang (cross check) dengan narasumber
maupun sumber lain, terutama kamus. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan
adanya ketidaksepadanan maka unsur terkait dijadikan data penelitian sebagai
suatu bentuk ketakterjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Selanjutnya, seluruh data ini diperiksa satu persatu untuk dikenali
karakteristiknya dan dikelompokkan sesuai jenisnya, apakah termasuk
ketakterjemahan linguistik ataukah ketakterjemahan budaya. Khusus untuk
ketakterjemahan linguistik akan dibedakan lagi menjadi ketakterjemahan leksikal
dan ketakterjemahan struktural.
Bagan 4: Alur penelitian ketakterjemahan
Selanjutnya, dengan membandingkan dan menganalisis bahasa sumber
dengan bahasa sasaran dari data tersebut, peneliti berusaha mengetahui teknik
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah untuk mengatasi masalah
KAMUS
NARASUMBER
SUBTITLE
(BSA)
PADANAN?
KETAKTERJEMAHAN
LEKSIKAL
STRUKTURAL
BUDAYA
TEKNIK PENERJEMAHAN
DIALOG (BSU)
LINGUISTIK
×
STRATEGI PENERJEMAHAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
ketakterjemahan yang dihadapinya sehingga proses penerjemahan (subtitling) bisa
terselesaikan. Di samping itu, secara terperinci juga akan dicari hal-hal yang
menyebabkan terjadinya berbagai jenis ketakterjemahan tersebut.
2.7 Penelitian yang Relevan
Dari penelusuran pustaka yang dilakukan peneliti, setidaknya ada dua
penelitian dengan topik yang hampir sama dengan penelitian ini. Yang pertama
dilakukan oleh Sri Isnani Setiyaningsih, mahasiswa Program Studi S2 Linguistik
Penerjemahan Pascasarjana UNS pada tahun 2003 dan hasilnya dituliskan dalam
bentuk tesis dengan judul Analisis Kontrastif Ketakterjemahan dalam Buku The
Forgotten Queens of Islam Karya Fatima Mernessi.
Ada beberapa persamaan maupun perbedaan antara penelitian di atas
dengan penelitian ini. Pertama, kedua penelitian sama-sama mengambil tema
ketakterjemahan sebagai objek kajian dan menggunakan teori ketakterjemahan
Catford tentang ketakterjemahan linguistik dan ketakterjemahan budaya sebagai
landasan teori.
Kemudian, berkenaan dengan pendekatan penelitian, meskipun tidak
disebutkan secara spesifik pada judul, seperti penelitian di atas, penelitian ini juga
menggunakan analisis kontrastif sebagai salah satu metode analisis. Meskipun
demikian, pendekatan dalam bentuk lain juga diterapkan sesuai kebutuhan untuk
menyempurnakan hasil penelitian ini.
Berkaitan dengan tujuan penelitian, kedua penelitian bertujuan
mendeskripsikan satuan-satuan linguistik (kata, frasa, dan kalimat) yang tidak
dapat diterjemahkan dan menemukan faktor-faktor penyebabnya. Tetapi, tidak
seperti penelitian pertama yang berupaya menjelaskan pengaruh ketakterjemahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
terhadap pemahaman makna secara keseluruhan, penelitian ini lebih menekankan
pada penjelasan mengenai upaya (strategi dan teknik penerjemahan) yang
dilakukan oleh penerjemah dalam mengatasi masalah ketekterjemahan yang ada.
Sistematika pembahasan yang diterapkan dalam penelitian di atas juga
berbeda jika dibandingkan dengan penelitian ini. Penelitian di atas
mengklasifikasikan pembahasan menurut bahasa sumbernya, yaitu Bahasa
Inggris, Prancis, Jerman, dan Arab, sementara penelitian ini hanya difokuskan
pada Bahasa Inggris saja. Selain itu, khusus untuk ketakterjemahan linguistik,
pembahasan pada penelitian pertama dikelompokkan dalam tataran leksikal (kata),
frasa, dan klausa, sedangkan dalam penelitian ini sistematika pembahasan
dikelompokkan menurut jenis-jenis ketakterjemahan, yaitu ketakterjemahan
lingustik (leksikal dan struktural) dan ketakterjemahan budaya yang selanjutnya
diperinci berdasarkan faktor-faktor penyebabnya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya ketakterjemahan karena
ketiadaan padanan linguistik sebanyak 2,1% dan tidak adanya padanan budaya
sebanyak 97,9%. Ketakterjemahan budaya lebih dominan karena buku yang
dijadikan subjek penelitian bertemakan agama Islam dan berlatar budaya Arab.
Sementara itu dari sisi kualitas terjemahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara umum teks terjemahan buku The Forgotten Queens of Islam karya Fatima
Mernessi bisa dipahami dengan baik oleh pembaca.
Kemudian, penelitian lain yang juga serupa dengan penelitian ini
dilakukan oleh Fenty Kusumastuti, untuk penulisan tesisnya di Program Studi
Linguistik S-2 Minat Utama Penerjemahan Program Pascasarjana UNS pada
tahun 2011 dengan judul Analisis Kontrastif Subtitling dan Dubbing dalam Film
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Kartun Dora the Explorer Seri Wish Upon a Star (Kajian Teknik Penerjemahan
dan Kualitas Terjemahan).
Persamaan penelitian Fenty dengan penelitian ini terletak pada sebagian
permasalahan yang dikaji dan subjek penelitian, di mana kedua-duanya membahas
mengenai teknik penerjemahan pada subtitle film kartun, sehingga kedua
penelitian ini setidaknya memiliki kerangka pikir yang hampir sama. Kemudian
perbedaannya terletak pada fokus utama penelitian, di mana penelitian di atas
berupaya membandingkan kualitas penerjemahan antara subtitling dan dubbing,
sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada pendeskripsian masalah
ketakterjemahan pada subtitle saja.
Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya 13 teknik penerjemahan
yang diterapkan oleh penerjemah dalam subtitling film Dora The Explorer: Wish
Upon a Star. Selain itu juga ditemukan adanya perbedaan dominasi teknik
penerjemahan yang diterapkan antara versi subtitling dan dubbing dari film di atas
meskipun kedua-duanya sama-sama mengalami reduksi (lingiuistic compression)
dalam proses penerjemahan. Penerjemahan dengan subtitle cenderung memakai
teknik literal, sedangkan dubbing banyak menggunakan teknik peminjaman
(borrowing).
Dari sisi kualitas terjemahan, media subtitling dianggap lebih berkualitas
dibandingkan dubbing, terutama dalam hal keakuratan dan keberterimaan.
Meskipun demikian hasil terjemahan dubbing cenderung lebih mudah dipahami
daripada subtitle.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai ketakterjemahan dalam subtitle Bahasa Indonesia
DVD film The Simpsons Movie dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia
ini merupakan penelitan kualitatif dengan jenis penelitian dasar (basic research)
pada tingkat studi kasus tunggal dan terpancang. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya
dengan beragam nuansa, dan juga penelitian tentang manusia (Bogdan & Biklen,
1982). Sementara penelitian dasar, atau penelitian akademis, adalah penelitian
murni yang hanya bertujuan untuk memahami suatu masalah yang mengarah pada
manfaat teoretik dan bukan pada manfaat praktis. Rancangan penelitian kualitatif
pada dasarnya adalah studi kasus, yaitu pendeskripsian secara rinci dan mendalam
mengenai potret kondisi dalam suatu konteks, tentang apa yang sebenarnya
terjadi dan menurut apa adanya di lapangan studi. Studi kasus tunggal
mengarahkan sasaran penelitian pada satu karakteristik, sedangkan sifat
terpancang menunjukkan bahwa penelitian bersifat terbatas dan sudah terfokus
pada subjek/objek tertentu (Sutopo, 2006).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
masalah-masalah ketakterjemahan yang dijumpai pada subtitle Bahasa Indonesia
DVD film The Simpsons Movie, yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk
ketakterjemahan yang terdapat pada subtitle tersebut, mengapa hal itu terjadi, dan
bagaimanakah penyelesaian masalah ketakterjemahan tersebut. Sebagai suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
penelitan kualitatif, penelitian ini juga melibatkan persepsi manusia, dalam hal ini
persepsi peneliti sendiri dan persepsi narasumber penelitian.
Selanjutnya, metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode etnografi, yaitu suatu metode penelitian yang melibatkan empat
tahap analisis, yaitu analisis domain, taksonomi, komponensial dan tema budaya
(Sadewo, 2008: 192). Kemudian pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
semantik, terutama dengan analisis komponen makna, dan pendekatan budaya,
karena objek penelitian berupa fenomena kebahasaan yang dipengaruhi oleh
faktor budaya. Fokus penelitian ini sendiri adalah masalah ketakterjemahan dalam
penerjemahan dengan batasan pada satu judul film di atas.
3.2 Alat Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, dimungkinkan untuk menggunakan alat
pengumpulan data sebagai kelengkapan penunjang. Meskipun demikian, alat
utama penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Bogdan dan
Bikklen (1982: 27) menyatakan bahwa penelitian kualitatif menggunakan ruang
lingkup netral sebagai sumber data langsung di mana peneliti merupakan alat
penelitian yang utama.
Sesuai dengan pernyataan di atas, karena penelitian ini sifatnya kualitatif
maka di sini peneliti menjadi alat utama penelitian. Di samping itu digunakan pula
alat penelitian lain sebagai penunjang, meliputi keping DVD film The Simpsons
Movie, alat pemutar DVD, laptop, buku-buku acuan (termasuk kamus), lembar
kuesioner, beberapa orang narasumber, alat perekam suara, dan seperangkat alat
tulis menulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3.3 Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif data yang digunakan juga berupa data
kualitatif. Bogdan dan Biklen (1982: 23) menyatakan bahwa dalam metode
deskriptif kualitatif data yang digunakan berbentuk kata atau gambar dan bukan
berupa angka-angka. Secara lebih spesifik Lexy (2002: 112) membagi data
penelitian kualitatif menjadi kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan
statistik.
Data penelitian diperoleh dari sumber data. Lexy (2002: 112) membagi
sumber data menjadi dua yaitu sumber data utama, berupa kata-kata dan tindakan
orang orang yang diamati dan diwawancarai, dan sumber data tambahan berupa
buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Ketepatan
dalam memilih dan menentukan sumber data akan menentukan ketepatan dan
kekayaan data atau kedalaman informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa
diperoleh tanpa adanya sumber data. Sumber data dalam penelitian kualitatif ada
beberapa jenis, bisa berupa manusia, peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat, benda,
gambar, rekaman, serta dokumen. Salah satu sumber data yang cukup penting
adalah rekaman baik yang berbentuk audio maupun visual (Sutopo, 2006: 61).
Sebagai suatu bentuk penelitian kualitatif, data penelitian ini berupa
kata, frasa, dan kalimat yang merepresentasikan terjemahan dialog film The
Simpsons Movie. Sementara itu, sumber datanya terdiri dari tiga jenis, yakni:
rekaman, dokumen, dan narasumber.
1. Rekaman
Rekaman menjadi sumber data utama karena subjek penelitian ini berupa
gambar bergerak (animated pictures) yang disimpan atau direkam pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
piringan. Rekaman ini berupa rangkaian gambar dan suara (audiovisual) film
The Simpsons Movie yang disimpan dalam sebuah piringan dengan format
DVD. Baik rekaman gambar maupun suara ini akan dijadikan sumber data
penelitian. Dari rekaman gambar, yang diambil sebagai data adalah bagian
subtitle, sedangkan dari rekaman suara, yang digunakan sebagai data adalah
dialog antarkarakter film. Adegan-adegan di dalam film juga digunakan
sebagai data pelengkap untuk menunjukkan konteks situasi yang melatar
belakangi terjadinya dialog.
2. Dokumen
Penggunaan dokumen dalam penelitian ini ditujukan untuk memberikan data
tambahan untuk melengkapi data yang berasal dari sumber data utama
(rekaman). Dokumen yang dipakai sebagai sumber data di sini berupa buku-
buku acuan, terutama buku-buku teori penerjemahan, naskah-naskah yang
isinya berkaitan dengan topik penelitian, baik dalam bentuk hardcopy maupun
softcopy, dan sejumlah kamus. Penggunaan dokumen-dokumen ini ditujukan
untuk membangun landasan teori dan mendukung validitas penelitian.
Khusus untuk keperluan validasi data, dalam penelitian ini setidaknya
digunakan lima jenis kamus yang berbeda. Masing-masing adalah:
a. Longman Dictionary of American English, terbitan Pearson Education
Limited., Essex, tahun 2008 (selanjutnya disebut Kamus A)
b. Kamus Inggris-Indonesia, karangan John M. Echols dan Hassan Shadily,
terbitan PT Gramedia, Jakarta, tahun 2000 (selanjutnya disebut Kamus B)
c. Kamus Bahasa Indonesia, terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta, tahun 2008 (selanjutnya disebut Kamus C)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
d. karangan Richard Spears, terbitan
NTC Publishing Group, tahun 2000 (selanjutnya disebut Kamus D)
e. karangan
Richard Spears, terbitan NTC Publishing Group, tahun 2000 (selanjutnya
disebut Kamus E).
3. Narasumber
Fungsi narasumber (informan) hampir sama dengan fungsi dokumen, yaitu
sebagai sumber data pendukung dalam penelitian. Data yang berasal dari
narasumber ini berfungsi untuk menguji dan menilai validitas data yang
diperoleh dari sumber data utama, sehingga akan tercapai kemantapan
penelitian. Narasumber yang akan dilibatkan dalam pengambilan data
tambahan ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga akan
diperoleh pendapat yang objektif dari berbagai sudut pandang. Pihak-pihak
yang akan dijadikan narasumber penelitian ini meliputi ahli penerjemahan,
praktisi penerjemahan, dan penonton film terkait.
Tiga orang narasumber penelitian ini masing-masing adalah:
a. Lilik Untari, S.Pd, M.Hum, dosen/akademisi penerjemahan dari Jurusan
Bahasa dan Sastra STAIN Surakarta (selanjutnya disebut Narasumber 1)
b. Drs. Rombe Mustajab, M.Hum, praktisi penerjemahan sekaligus kepala
cabang Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris IEC Surakarta (selanjutnya
disebut Narasumber 2)
c. Danial Hidayatullah, SS, MA, penonton film The Simpsons Movie dan
merupakan dosen Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (selanjutnya disebut Narasumber 3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
3.4 Teknik Cuplikan
Cuplikan (sampling) berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah
serta jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam
penelitian kualitatif cuplikan yang diambil lebih bersifat selektif (purposive
sampling). Cuplikan tidak digunakan dalam usaha untuk melakukan generalisasi
statistik atau mewakili populasinya, tetapi lebih mengarah pada generalisasi
teoretis atau mewakili informasinya (Sutopo, 2006: 62-64). Menurut Spradley
(2007), sebagian kriteria dalam pengambilan sampel adalah dengan memilih
situasi sosial yang relatif banyak merangkum informasi tentang domain-domain
yang tercakup dalam topik penelitian (organizing domain) dan berlangsung relatif
sering atau berulang (frequently recurring activities).
Populasi penelitian ini adalah seluruh caption (baris) subtitle Bahasa
Indonesia dari DVD film The Simpson Movie, sedangkan cuplikannya berupa
subtitle yang memperlihatkan adanya ketidaksepadanan arti dengan bahasa
sumbernya, yaitu Bahasa Inggris yang diucapkan oleh karakter-karakter maupun
yang tergambar di dalam film tersebut. Cuplikan ini ditujukan untuk menunjukkan
adanya ketakterjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia pada subtitle
DVD film The Simpson Movie.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Secara umum teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu interaktif dan non-interaktif. Dalam
teknik interaktif, ada kemungkinan saling mempengaruhi antara peneliti dan
sumber datanya, sedangkan dalam teknik non-interaktif sama sekali tidak ada
saling mempengaruhi antara peneliti adan sumber data (Sutopo, 2006: 66).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Sumber data penelitian ini ada dua yaitu sumber data utama (primer) dan
sumber data tambahan (sekunder). Mengingat sumber data utama penelitian ini
berupa benda mati (cakram DVD) maka teknik pengumpulan data utama dalam
penelitian ini bersifat non-interaktif berupa analisis isi (content analysis). Hal ini
juga berlaku pada sumber data tambahan yang berupa dokumen. Kemudian untuk
sumber data tambahan lainnya, yang berupa manusia, digunakan teknik
pengumpulan data interaktif, dalam hal ini digunakan teknik penyebaran
kuesioner (angket) dan melakukan wawancara (interview).
Berikut ini penjelasan mengenai ketiga teknik pengumpulan data
tersebut:
1. Analisis isi
Rekaman yang menjadi sumber data utama penelitian ini memiliki
karakteristik yang sama dengan dokumen, sehingga teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), yakni mengkaji
dokumen atau arsip untuk memperoleh data. Proses analisis isi rekaman ini
dilakukan secara simultan dengan analisis isi dokumen yang merupakan
sumber data tambahan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam analisis.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data utama ini
selengkapnya adalah sebagai berikut:
a. memutar DVD film The Simpsons Movie dan menyimak dialog beserta
subtitle-nya dengan seksama
b. mentranskrip seluruh dialog beserta subtitle-nya ke dalam tabel secara
berpasangan, dialog sebagai BSu dan subtitle sebagai BSa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
c. menyeleksi dialog dan subtitle yang menunjukkan adanya hubungan
ketakterjemahan untuk dijadikan data penelitian.
Setelah data penelitian terkumpul, dilakukan identifikasi untuk mengetahui
karakteristik masing-masing data dan menemukan persamaan dan perbedaan
di antara data-data tersebut. Selanjutnya, berdasarkan persamaan dan
perbedaan ini, data diklasifikasikan dan dianalisis lebih lanjut untuk disajikan
dalam laporan.
2. Menyebar kuesioner
Penggunaan kuesioner dalam penelitian ini merupakan bagian dari proses
validasi data penelitian yang bertujuan untuk menguji reliabilitas
(keterpercayaan) dan validitas (keshahihan) data yang diperoleh dari analisis
isi. Jenis kuesioner yang digunakan di sini berupa kuesioner tak berstruktur
(terbuka), di mana narasumber dapat memberikan jawaban secara bebas dalam
bentuk isian, dan kuesioner berstruktur (tertutup), di mana narasumber tinggal
memilih jawaban yang telah disediakan. Jawaban-jawaban yang diberikan
oleh narasumber melalui kuesioner ini kemudian dibandingkan dengan hasil
analisis atau persepsi peneliti. Apabila terdapat kesamaan maka data yang
diperoleh dinyatakan reliabel dan valid.
3. Melakukan wawancara
Wawancara ini merupakan tindak lanjut dari penyebaran kuesioner dalam
upaya mendapatkan kemantapan jawaban atau data yang berasal dari
kuesioner. Jenis wawancara yang diterapkan di sini adalah wawancara bebas
terpimpin, di mana pertanyaan didasarkan pada jawaban-jawaban tertentu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
pada kuesioner dengan kemungkinan pertanyaan yang berbeda antara
narasumber yang satu dengan narasumber yang lain.
3.6 Validasi Data
Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterpercayaan) data merupakan
jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian
(Sutopo, 2006: 92). Agar hasil penelitian sahih dan terpercaya perlu dilakukan
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan penegecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Secara keseluruhan ada empat acuan yang bisa dimanfaatkan
oleh peneliti untuk melakukan triangulasi, yaitu sumber, metode, penyidik, dan
teori (Denzin dalam Moleong, 2002: 178).
Untuk keperluan triangulasi dalam penelitian ini peneliti menggunakan
sumber (data) dan metode sebagai acuan. Triangulasi dengan sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif, sedangkan triangulasi
dengan metode pada dasarnya adalah pengecekan derajat kepercayaan penemuan
hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data atau dengan beberapa
sumber data dengan metode yang sama (Patton dalam Moleong, 2002: 178).
Penerapan triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan data inti yang berasal dari sumber data utama (rekaman) dengan
data pendukung yang diperoleh dari sumber data tambahan, terutama dari
beberapa kamus yang relevan. Kemudian, triangulasi dengan metode dilakukan
dengan meminta pendapat beberapa narasumber mengenai kesahihanhan dan
keterpercayaan data tersebut, baik dengan menggunakan kuesioner maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
melalui wawancara. Jenis kamus yang dipakai dan narasumber yang dilibatkan
dalam proses validasi data penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada subbab
sebelumnya, yaitu bagian Sumber Data.
3.7 Analisis Data
Setelah proses validasi data selesai dilakukan, tahap berikutnya adalah
analisis data. Menurut Spradley (2007), ada empat tahapan analisis data dalam
penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan, yaitu analisis domain, analisis
taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema budaya.
Tahap pertama adalah analisis domain, yaitu menganalisis gambaran
objek penelitian secara umum atau di tingkat permukaan, namun relatif utuh
(Burhan, 2008: 85). Pada tahap ini akan pertama-tama dipisahkan antara
ungkapan yang sepadan dan yang tidak sepadan dari BSu ke BSa. Hubungan
semantik yang digunakan sebagai dasar analisis ini adalah hubungan jenis (strict
inclusion), di mana seluruh ungkapan yang ada akan dikelompokkan ke dalam dua
domain yang berbeda. Ungkapan-
akan direduksi atau tidak dipakai sebagai data penelitian, sedangkan ungkapan-
dan dianalisis lebih lanjut karena ketidaksepadanan mengindikasikan adanya
ketakterjemahan.
Selanjutnya, masih dengan analisis domain, data penelitian yang
diperoleh dianalisis dan dikelompokkan dengan metode hubungan ruang (spatial).
Di sini ungkapan-ungkapan yang menunjukkan adanya ketakterjemahan tersebut
dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam kelompok-kelompok menurut jenisnya,
yaitu ketakterjemahan linguistik dan ketakterjemahan budaya. Ketakterjemahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
yang pertama kemudian dibedakan lagi menjadi ketakterjemahan linguistik
leksikal dan ketakterjemahan linguistik struktural.
Setelah analisis domain selesai dan diperoleh tiga jenis ketakterjemahan,
dilakukan analisis taksonomi. Teknik analisis taksonomi terfokus pada domain-
domain tertentu, kemudian memilih domain-domain tersebut menjadi sub-
subdomain serta bagian-bagian yang lebih khusus dan terperinci yang umumnya
merupakan rumpun yang memiliki kesamaan (Burhan, 2008: 90). Pada tahap ini
keempat bentuk ketakterjemahan tersebut akan diklasifikasikan menurut teknik
penerjemahan yang diterapkan, misalnya peminjaman, naturalisasi, deskripsi,
generalisasi dan lain-lain.
Tahap analisis selanjutnya adalah analisis komponensial, yaitu teknik
yang digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan kontras
satu sama lain dalam domain yang telah ditentukan untuk dianalisis secara
terperinci (Burhan, 2008, 95). Di sini, ketakterjemahan yang sudah
diklasifikasikan menurut jenis dan teknik penerjemahannya dibedakan atau
dipilah-pilah berdasarkan faktor-faktor penyebabnya secara lebih terperinci.
Setelah diperoleh data yang terperinci dari ketiga tahap analisis di atas,
kemudian dilakukan analisis tema budaya, yaitu upaya menemukan hubungan
yang terdapat pada domain-domain yang dianalisis sehingga akan membentuk
satu kesatuan yang holistik yang terpola secara kompleks dan menunjukkan
faktor-faktor atau tema-tema yang dominan dan tidak (Burhan, 2008: 98). Pada
tahap ini akan dicari keterkaitan antara bentuk, teknik penerjemahan, dan faktor
penyebab ketakterjemahan yang ditemukan pada subjek penelitian. Selain itu juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
akan ditemukan nilai atau tema budaya yang melatar belakangi atau melingkupi
peristiwa ketakterjemahan tersebut.
Pada tahap analisis data ini juga dilakukan pemberian kode pada seluruh
data penelitian, sehingga masing-masing dapat diketahui urutan, letak, maupun
kelompoknya. Bentuk pengkodean selengkapnya adalah sebagai berikut:
23/49/00:05:02-00:05:04/L1/gay-gay (peminjaman)
Saat kebaktian di gereja, pendeta meminta peserta untuk mengakui sesuatu. Ned Flanders menanggapi dan ingin mengutarakan sesuatu. Sebelum Ned mulai bicara, Homer mencoba menebak-nebak perbuatan apa yang akan diakui oleh Ned.
BSu : Gay, gay, gay, gay, gay, gay, gay... BSa : Gay, gay, gay (pria homoseks).
Bagan 5: Pengkodean data penelitian
Contoh di atas menunjukkan data nomor 23 yang merupakan caption ke-
49 dari seluruh subtitle. Data tersebut berada pada posisi waktu antara lima menit
lebih dua hingga empat detik dari durasi film dan termasuk dalam kelompok
ketakterjemahan leksikal yang disebabkan katrena tidak ada istilah BSa untuk
menyebut referen terkait. Kemudian istilah yang dijadikan data tersebut adalah
istilah BSu dalam Bahasa Inggris, gay, yang diterjemahkan ke dalam BSa dalam
Kemudian, konteks situasi kejadian dan ungkapan selengkapnya dapat dilihat di
bawah data.
URUTAN DATA
URUTAN CAPTION
TIMELINE
KELOMPOK DATA
DATA BSU-BSA
DIALOG-SUBTITLE
KONTEKS SITUASI
TEKNIK PENERJEMAHAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian kualitatif dibagai ke dalam empat tahap, yaitu tahap sebelum
ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan penulisan laporan (Moleong,
2002: 109). Mengacu pada pendapat di tersebut dan disertai dengan sedikit
penyesuaian peneliti membagi kegiatan penelitian ini ke dalam tiga tahapan, yaitu:
persiapan penelitian, pengumpulan dan analisis data, dan penyusunan laporan.
Prosedur penelitian selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penentuan judul dan
penyusunan proposal. Penentuan judul penelitian di mulai dengan menentukan
topik penelitian yang menarik, layak (ilmiah) dan memungkinkan untuk
diteliti. Setelah topik penelitian diperoleh, lengkap dengan subjek maupun
objeknya, dilakukan penentuan judul penelitian. Judul penelitian ini dibuat
sedemikian rupa sehingga bersifat singkat, jelas, ilmiah, dan
merepresentasikan penelitian yang akan dilaksanakan.
Tahap selanjutnya adalah penyusunan proposal. Proposal penelitian disusun
dalam tiga bab dengan mengikuti kaidah-kaidah metodologi penelitian.
Setelah selesai disusun, proposal ini kemudian diajukan kepada dosen
pembimbing untuk dinilai kelayakannya secara ilmiah. Apabila dianggap
layak, penelitian akan dilaksanakan, jika masih dianggap kurang layak, akan
dilakukan perbaikan semestinya.
2. Pengumpulan dan analisis data
Tahap pengumpulan data, secara garis besar meliputi mentranskrip dan
mengelompokkan ucapan-ucapan karakter dan baris-baris subtitle film,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
menyebar kuesioner, dan melakukan wawancara dengan narasumber.
Kemudian tahap analisis data mencakup mereduksi, menyajikan,
memverifikasi data dan menarik kesimpulan secara simultan.
3. Penyusunan laporan
Laporan penelitian disusun dalam lima bab sesuai dengan kaidah yang
terdapat pada metode penelitian. Laporan penelitian ini merupakan tindak
lanjut atau pengembangan dari proposal penelitian dan merupakan tahap akhir
dari penelitian. Bersamaan dengan penyusunan laporan juga dilakukan
konsultasi dengan dosen pembimbing untuk memperbaiki kesalahan dan
melengkapi kekurangan yang ada pada laporan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Temuan Penelitian
Dari proses pengumpulan data penelitian diperoleh hasil bahwa dari
seluruh 1014 caption subtitle Bahasa Indonesia DVD film The Simpson Movie
ditemukan setidaknya ada 194 caption atau 19% yang memperlihatkan gejala
ketakterjemahan. Dari sini diperoleh data penelitian berupa istilah (kata/frasa) dan
ungkapan (frasa/kalimat) yang tidak dapat diterjemahkan, baik sebagian maupun
seluruhnya.
Kemudian, hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa ketiga
jenis ketakterjemahan, sebagaimana diuraikan pada landasan teori penelitian ini,
seluruhnya muncul atau ditemukan pada subjek penelitian. Masing-masing jenis
ketakterjemahan ini terjadi dengan faktor penyebab yang berbeda-beda.
Penerjemah juga menerapkan berbagai macam teknik penerjemahan untuk
menyelesaikan masalah ketakterjemahan ini. Hasil tabulasi data mengenai jenis,
teknik penerjemahan, dan faktor penyebab ketakterjemahan subtitle Bahasa
Indonesia DVD film The Simpsons Movie ini selengkapnya dapat dilihat pada
tabel-tabel di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Tabel 1: Klasifikasi Data Ketakterjemahan
Jenis Teknik Faktor Penyebab
Leksikal (L)
Peminjaman Naturalisasi Generalisasi Transposisi Deskripsi
(1) Adanya kesenjangan kosa kata antara BSu dan BSa
Naturalisasi Generalisasi
(2) Istilah BSu merupakan istilah teknis/ilmiah
Generalisasi Modulasi Kompensasi
(3) Istilah BSu merupakan istilah tidak baku
Generalisasi (4) Tidak ada unsur gender pada istilah BSa
Peminjaman (5) Istilah BSu berbentuk akronim Peminjaman Naturalisasi Generalisasi Modulasi Deskripsi
(6) Referen merupakan hal/temuan baru
Struktural (S)
Reduksi Modulasi
(1) Tidak adanya unsur kala pada struktur kalimat BSa
Generalisasi Modulasi Deskripsi Calque
(2) Istilah/ungkapan BSu sudah dimodifikasi
Budaya (B)
Peminjaman Naturalisasi Generalisasi
(1) Istilah BSu merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu
Peminjaman Naturalisasi Amplifikasi Adaptasi
(2) Referen merupakan budaya materi penutur BSu
Peminjaman Naturalisasi
(3) Istilah BSu terkait budaya sosial penutur BSu
Peminjaman Naturalisasi Generalisasi Deskripsi Kompensasi Calque Adaptasi
(4) Istilah/ungkapan BSu merupakan budaya tutur penutur BSu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Dari ketiga jenis ketakterjemahan yang ada, apabila kita lihat dari jumlah
kejadiannya, maka akan diperoleh komposisi data sebagai berikut:
Tabel 2: Jenis Ketakterjemahan
No Jenis Mcm Prsn Frek Prsn
1 Ketakterjemahan leksikal 69 51,9 113 55,4 2 Ketakterjemahan struktural 7 5,3 11 5,4 3 Ketakterjemahan budaya 57 42,9 80 39,2
Jml 3 133 100,0 204 100,0
Dari tabel di atas tampak bahwa frekuensi kemunculan ketakterjemahan
leksikal lebih tinggi jika dibandingkan dua jenis ketakterjemahan lainnya.
Meskipun demikian, apabila kita lihat dari macam istilahnya komposisinya cukup
berimbang dengan ketakterjemahan budaya.
Kemudian apabila kita lihat dari teknik penerjemahan yang diterapkan
oleh penerjemah untuk menerjemahkan istilah/ungkapan yang takterjemahkan
tersebut, diperoleh perbandingan sebagaimana tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 3: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan
No Teknik Frek Prsn 1 Naturalisasi 77 37,7 2 Peminjaman 46 22,5 3 Generalisasi 33 16,2 4 Adaptasi 17 8,3 5 Deskripsi 13 6,4 6 Kompensasi 4 2,0 7 Modulasi 4 2,0 8 Reduksi 4 2,0 9 Calque 3 1,5 10 Amplifikasi 2 1,0 11 Transposisi 1 0,5
Jml 11 204 100,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Seperti tampak pada tabel, teknik penerjemahan yang dipakai untuk
menerjemahkan bagian-bagian yang menunjukkan adanya ketakterjemahkan
didominasi secara berturut-turut oleh teknik naturalisasi, peminjaman, dan
generalisasi.
Selanjutnya, masing-masing jenis ketakterjemahan berikut teknik
penerjemahan di atas masih dapat dikelompokkan lagi secara lebih spesifik
menurut faktor-faktor penyebab kejadiannya sebagaimana dipaparkan di bawah
ini.
4.1.1 Tabulasi Data Ketakterjemahan Leksikal
Ketakterjemahan leksikal adalah suatu bentuk ketakterjemahan dalam
tataran linguistik yang secara umum disebabkan oleh perbedaan bahasa, baik
perbedaan dalam tataran kata maupun struktur kalimat. Ketakterjemahan pada
tingkatan kata disebut ketakterjemahan (linguistik) leksikal. Lebih lanjut,
ketakterjemahan leksikal yang ditemukan pada subjek penelitian dapat dibedakan
menurut hal-hal yang menyebabkannya seperti di bawah ini.
1. Adanya kesenjangan kosa kata antara BSu dan BSa
Salah satu penyebab terjadinya ketakterjemahan leksikal adalah karena
adanya perbedaan jumlah kosa kata BSu dengan BSa. Selisih kosa kata ini
menyebabkan adanya beberapa istilah BSa yang tidak memiliki padanan kata
pada BSa. Bahasa Inggris cenderung lebih kaya kosa kata dibandingkan dengan
Bahasa Indonesia, sehingga banyak istilah dalam Bahasa Inggris yang tidak dapat
diterjemahkan secara leksikal ke dalam Bahasa Indonesia. Data yang ditemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
untuk kategori ini seluruhnya ada 22 macam istilah dengan jumlah kejadian
sebanyak 37 kali.
Tabel 4: Data Ketakterjemahan Leksikal 1
No Istilah Frek Prsn
1 epiphany/epipha 5 13,5 2 name, jab/jabbity, silo,
agency 3 @ 8,1
3 myth, super, depot 2 @ 5,4 4 preachy, version, gay,
compound, tank, club, simulation, selfish, mascot, national, operation, sponsor, classic, sequel
1 @ 2,7
Jml 22 37 100,0
Kemudian rincian teknik penerjemahan yang diterapkan oleh
penerjemah berkaitan dengan ketakterjemahan yang disebabkan karena
kesenjangan kosa kata ini adalah sebagai berikut:
Tabel 5: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 1
No Teknik Frek Prsn 1 Naturalisasi 22 59,5 2 Peminjaman 7 18,9 3 Generalisasi 4 10,8 4 Deskripsi 3 8,1 5 Transposisi 1 2,7
Jml 5 37 100,0
Dari komposisi di atas terlihat bahwa penerjemah paling sering
menerapkan teknik naturalisasi untuk mengatasi ketakterjemahan yang disebabkan
karena kesenjangan kosa kata antara BSu dengan BSa. Sementara teknik lain
digunakan kurang dari separuhnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
2. Istilah BSu merupakan istilah ilmiah/teknis
Ketakterjemahan leksikal juga bisa terjadi karena istilah BSu bersifat
ilmiah atau teknis, yaitu istilah yang hanya digunakan pada bidang tertentu. Data
ketekterjemahan yang termasuk dalam kelompok ini seluruhnya berjumlah 5
macam istilah di mana masing-masing istilah muncul 1 kali.
Tabel 6: Data Ketakterjemahan Leksikal 2
No Istilah Frek Prsn 1 mercury, energy, action,
potassium, ground 1 @ 20
Jml 5 5 100,0
Data di atas juga menunjukkan adanya dua teknik penerjemahan yang
dipakai penerjemah untuk menerjemahkan istilah ilmiah/teknis. Perbandingan
penggunaan kedua teknik tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 7: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 2
No Teknik Frek Prsn 1 Naturalisasi 4 80,0 2 Generalisasi 1 20,0
Jml 2 5 100,0
Dari tabel di atas diketahui bahwa penerjemah lebih sering
menggunakan teknik naturalisasi daripada teknik generalisasi dalam
menerjemahkan istilah ilmiah/teknis.
3. Istilah BSu merupakan istilah tidak baku
Penyebab lain suatu istilah BSu tidak dapat diterjemahkan adalah
apabila istilah tersebut merupakan istilah tidak baku (non-standard). Di sini
ketakterjemahnnya biasanya bersifat parsial atau sebagian, yaitu hanya unsur tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
bakunya yang tak terjemahkan, sedangkan maknanya masih dapat diterjemahkan.
Data untuk kelompok ini ada sebanyak 8 istilah dan setiap istilah muncul 1 kali.
Tabel 8: Data Ketakterjemahan Leksikal 3
No Istilah Frek Prsn
1 heinie, binge, thou, shalt, thy, nope, booze, lookie
1 @ 12,5
Jml 8 8 100,0
Untuk menerjemahkan kedelapan istilah tersebut, penerjemah hanya
menggunakan 3 macam teknik penerjemahan dengan perbandingan sebagaimana
tampak pada tabel ini:
Tabel 9: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 3
No Teknik Frek Prsn
1 Generalisasi 5 62,5 2 Kompensasi 2 25,0 3 Modulasi 1 12,5
Jml 3 8 100,0
Di sini terlihat bahwa teknik generalisasi adalah yang paling dominan
dipakai untuk menerjemahkan istilah tidak baku.
4. Tidak ada unsur gender pada istilah BSa
Sejumlah kata Bahasa Inggris memiliki unsur gender yang membedakan
pemakaiannya untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan kosa kata Bahasa
Indonesia tidak selalu demikian. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya
ketakterjemahan leksikal, meski sifatnya hanya sebagian saja. Data yang mewakili
kejadian semacam ini hanya terdiri dari 3 macam istilah dengan jumlah kejadian
sebanyak 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Tabel 10: Data Ketakterjemahan Leksikal 4
No Istilah Frek Prsn
1 son 7 46,7 2 boy/boys 6 40,0 3 boyfriend 2 13,3
Jml 3 15 100,0
Kemudian, dalam menerjemahkan istilah yang mengandung unsur
gender ini, penerjemah hanya menerapkan satu teknik penerjemahan saja yaitu
generalisasi.
Tabel 11: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 4
No Teknik Frek Prsn
1 Generalisasi 15 100,0
Jml 1 15 100,0
5. Istilah BSu berbentuk akronim
Pada penerjemahan istilah yang bentuknya akronim (singkatan), pada
umumnya singkatan BSu tersebut diambil apa adanya atau tidak diubah ke dalam
akronim BSa, sehingga bentuk akronim ini juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya ketakterjemahan leksikal. Data yang termasuk ke dalam kelompok ini
ada 3 bentuk akronim dengan jumlah kejadian sebanyak 6 kali.
Tabel 12: Data Ketakterjemahan Leksikal 5
No Istilah Frek Prsn
1 VCR 1 16,7 2 TV 2 33,3 3 EPA 3 50,0
Jml 3 6 100,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Penggunaan akronim BSu untuk dipakai pada BSa seperti di atas
termasuk ke dalam teknik peminjaman. Teknik ini merupakan satu-satunya yang
diterapkan oleh penerjemah untuk mengatasi ketakterjemahan yang disebabkan
karena istilah BSu berupa akronim.
Tabel 13: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 5
No Teknik Frek Prsn 1 Peminjaman 6 100,0
Jml 1 6 100,0
6. Referen merupakan hal/temuan baru
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya ketakterjemahan leksikal
adalah karena objek atau referen yang dimaksud oleh istilah BSu merupakan hal
atau temuan baru. Data yang termasuk dalam kelompok ini terdiri dari 26 istilah
yang berbeda dengan jumlah kejadian sebanyak 42 kali.
Tabel 14: Data Ketakterjemahan Leksikal 6
No Istilah Frek Prsn
1 movie(s), bomb 4 @ 9,5 2 video 3 7,1 3 planet, book, film, filming of
movie, truck 2 @ 4,8
4 nuclear, cell-phone, antennae, thermostat, skateboard, bug-zapper, lift, scissor-lift, glass, Botox, motor, generator, poster, alcohol, cam, conductor, android, card, comic, robot, wire
1 @ 2,4
Jml 29 42 100,0
Apabila data di atas dikelompokkan menurut teknik penerjemahan yang
digunakan maka akan diperoleh sebaran seperti berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Tabel 15: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal 6
No Teknik Frek Prsn
1 Naturalisasi 20 47,6 2 Peminjaman 16 38,1 3 Generalisasi 4 9,5 4 Modulasi 1 2,4 5 Deskripsi 1 2,4
Jml 5 42 100,0
Tabel di atas memperlihatkan seringnya penerjemah menempuh teknik
naturalisasi dan peminjaman untuk mengatasi ketakterjemahan yang disebabkan
karena referen merupakan hal atau temuan baru.
Selanjutnya, jika seluruh data ketakterjemahan leksikal di atas dihitung
menurut keenam faktor penyebabnya maka akan diperoleh komposisi sebagai
berikut:
Tabel 16: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Leksikal
No Faktor Penyebab Mcm Prsn Frek Prsn 1 Adanya kesenjangan kosa
kata antara BSu dengan BSa 22 31,4 37 32,7
2 Istilah BSu merupakan istilah ilmiah/teknis 5 7,1 5 4,4
3 Istilah BSu merupakan istilah tidak baku 8 11,4 8 7,1
4 Tidak ada unsur gender pada istilah BSa 3 4,3 15 13,3
5 Istilah BSu berbentuk akronim 3 4,3 6 5,3
6 Referen merupakan hal/temuan baru 29 41,4 42 37,2
Jml 6 70 100,0 113 100,0
Dari rekapitulasi data di atas diketahui bahwa terjadinya
ketakterjemahan leksikal sebagian besar disebabkan karena referen yang ditunjuk
istilah terkait merupakan hal atau penemuan baru. Jumlah kejadiannya hampir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
berimbang dengan ketakterjemahan yang disebabkan karena adanya kesenjangan
kosa kata antara BSu dan BSa. Sementara itu, ketakterjemahan yang paling jarang
ditemui, jika dilihat dari macamnya, adalah yang disebabkan karena karena tidak
adanya unsur gender pada istilah BSa dan istilah BSu berbentuk akronim. Tetapi,
jika dihitung dari frekuensi kemunculannya, ketakterjemahan yang disebabkan
karena istilah BSu merupakan istilah ilmiah/teknis adalah yang paling sedikit.
Sementara itu, komposisi teknik penerjemahan yang diterapkan oleh
penerjemah untuk mengatasi ketakterjemahan leksikal ini beserta frekuensi
penerapannya secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 17: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Leksikal
No Teknik Frek Prsn 1 Naturalisasi 46 40,7 2 Generalisasi 29 25,7 3 Peminjaman 29 25,7 4 Deskripsi 4 3,5 5 Kompensasi 2 1,8 6 Modulasi 2 1,8 7 Transposisi 1 0,9
Jml 7 113 100,0
Dari data di atas diketahui bahwa penerjemah paling sering
menggunakan teknik naturalisasi untuk menerjemahkan istilah-istilah yang
takterjemahkan secara leksikal. Teknik lain yang juga sering dipakai adalah
generalisasi dan peminjaman.
4.1.2 Tabulasi Data Ketakterjemahan Struktural
Ketakterjemahan struktural adalah bentuk lain ketakterjemahan dalam
ranah linguistik selain ketakterjemahan leksikal. Ketakterjemahan jenis ini
dilatarbelakangi oleh perbedaan struktur atau tata bahasa antara BSu dan BSa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Secara lebih spesifik, sebab-sebab terjadinya ketakterjemahan struktural ini dapat
dibedakan menjadi dua seperti diuraikan di bawah ini.
1. Tidak adanya unsur kala pada struktur kalimat BSa
Salah satu perbedaan struktural antara Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia adalah tidak adanya unsur kala atau tense dalam struktur kalimat
Bahasa Indonesia. Keadaan ini menyebabkan timbulnya ketakterjemahan pada
proses penerjemahan kalimat-kalimat tertentu di antara kedua bahasa tersebut,
meskipun hanya pada bagian penanda waktunya saja dan bukan maknanya.
Pada beberapa bentuk kalimat, unsur kala pada BSu bisa diakomodasi ke
untuk bentuk past uk continuous. Namun pada beberapa
bentuk kalimat hal ini sulit dilakukan dan bila dipaksakan hasil penerjemahan
akan janggal atau tidak berterima, contohnya pada bentuk perfect tertentu dan
bentuk perfect continuous
Tabel 18: Data Ketakterjemahan Struktural 1
No Kala Frek Prsn 1 Present perfect continuous 3 60,0 2 Present perfect 2 40,0
Jml 2 5 100,0
Dari sejumlah ketekterjemahan yang berkaitan dengan kala ini juga
dijumpai adanya berbagai macam teknik penerjemahan yang dipakai oleh
penerjemah dalam proses penerjemahannya, sebagaimana terlihat pada tabel
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Tabel 19: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural 1
No Teknik Frek Prsn
1 Reduksi 4 80,0 2 Modulasi 1 20,0
Jml 2 5 100,0
Di sini terlihat dominasi generalisasi dan reduksi sebagai teknik
penerjemahan yang dipakai untuk menerjemahkan bagian kalimat yang
mengandung unsur kala.
2. Ungkapan BSu sudah dimodifikasi
Ada beberapa kejadian di mana istilah BSu merupakan hasil modifikasi
(plesetan) dari istilah tertentu. Istilah hasil modifikasi ini biasanya memiliki
kemiripan struktur morfologi atau fonologi dengan istilah asal. Dalam proses
penerjemahan, kemiripan struktur ini hampir tidak mungkin diakomodasi ke
dalam BSa meskipun makna istilahnya masih memungkinkan untuk
diterjemahkan. Dalam situasi seperti ini dapat dikatakan telah terjadi
ketakterjemahan struktural. Data yang mewakili ketakterjemahan jenis ini ada 4
macam istilah dengan 5 kejadian.
Tabel 20: Data Ketakterjemahan Struktural 2
No Istilah Frek Prsn
1 sop 2 33,3 2 ,
yello, wiener
1 @16,7
Jml 5 6 100,0
Dari kelima data di atas, didapat perbandingan pemakaian yang merata
dari setidaknya 4 teknik penerjemahan, seperti tampak pada tabel:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Tabel 21: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural 2
No Teknik Frek Prsn
1 Deskripsi 2 33,3 2 Generalisasi 2 33,3 3 Calque 1 16,7 4 Modulasi 1 16,7
Jml 4 6 100,0
Kemudian apabila keseluruhan data ketakterjemahan struktural ini
dikalkulasikan menurut penyebabnya, maka akan diperoleh sebaran data seperti di
bawah ini:
Tabel 22: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Struktural
No Faktor Penyebab Mcm Prsn Frek Prsn 1 Tidak adanya unsur kala
pada struktur kalimat BSa 2 28,6 5 45,5
2 Ungkapan BSu sudah dimodifikasi 5 71,4 6 54,5
Jml 2 7 100,0 11 100,0
Tabel di atas menunjukkan sedikitnya kejadian ketakterjemahan yang
disebabkan karena perbedaan struktur kalimat atau struktur kata.
Sementara itu, apabila ketakterjemahan struktural ini diklasifikasikan
menurut teknik penerjemahan yang digunakan, maka akan didapatkan sebaran
data seperti di bawah ini:
Tabel 23: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Struktural
No Teknik Frek Prsn 1 Reduksi 4 36,4 2 Deskripsi 2 18,2 3 Generalisasi 2 18,2 4 Modulasi 2 18,2 5 Calque 1 9,1
Jml 5 11 100,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Sebagaimana tampak pada tabel di atas,, penerjemah paling sering
menggunakan teknik reduksi dalam menerjemahkan bagian-bagian kalimat yang
secara struktural tidak bisa diterjemahkan, sedangkan untuk teknik yang lain
penerapannya cenderung merata.
4.1.3 Tabulasi Data Ketakterjemahan Budaya
Ketakterjemahan budaya adalah ketakterjemahan yang timbul akibat
perbedaan budaya antara penutur BSu dan penutur BSa. Secara lebih rinci,
perbedaan budaya yang dimaksud dapat dibedakan seperti di bawah ini:
1. Istilah BSu merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu
Objek-objek tertentu yang berkaitan dengan ekologi, seperti flora dan
fauna, cenderung memiliki nama atau sebutan yang khas sesuai dengan
lingkungan hidupnya dan tidak memiliki padanan istilah di tempat lain di mana
objek tersebut tidak hidup atau tidak dapat dijumpai. Dari data yang diperoleh,
setidaknya terdapat 5 nama ekologi di mana masing-masing nama muncul 1 kali.
Tabel 24: Data Ketakterjemahan Budaya 1
No Istilah Frek Prsn 1 strawberry 1 20,0 2 monster 1 20,0 3 hound 1 20,0 4 coffee 1 20,0 5 walrus 1 20,0
Jml 5 5 100,0
Untuk menerjemahkan nama-nama yang berkaitan dengan ekologi di
atas, penerjemah menggunakan 3 teknik penerjemahan yang berlainan, seperti
tampak pada tabel berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Tabel 25: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 1
No Teknik Frek Prsn
1 Naturalisasi 2 40,0 2 Peminjaman 2 40,0 3 Generalisasi 1 20,0
Jml 3 5 100,0
2. Referen merupakan budaya materi penutur BSu
Salah satu bentuk perbedaan budaya di antara kelompok masyarakat
ditunjukkan dengan adanya materi atau benda tertentu di suatu tempat namun
tidak dijumpai di tempat lain sehingga istilah yang dipakai untuk menyebutnya
pun tidak ada pada setiap bahasa. Data yang menunjukkan kejadian semacam ini
terdiri dari 11 macam dengan total kejadian sebanyak 15 kali.
Tabel 26: Data Ketakterjemahan Budaya 2
No Istilah Frek Prsn 1 waffle, sandwich, donut, ice cream 2 13,3 2 beer, barge, syrup, gallon, bar,
whiskey, pizza 1 @ 6,7
Jml 11 15 100,0
Sementara teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah untuk
menerjemahkan istilah-istilah di atas setidaknya ada 4 macam dengan
perbandingan sebagaimana tampak pada tabel.
Tabel 27: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 2
No Teknik Frek Prsn 1 Naturalisasi 8 53,3 2 Peminjaman 4 26,7 3 Amplifikasi 2 13,3 4 Adaptasi 1 6,7
Jml 4 15 100,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Komposisi di atas memperlihatkan seringnya penerjemah menerapkan
teknik naturalisasi dan peminjaman untuk menerjemahkan istilah yang mewakili
budaya materi penutur BSu.
3. Istilah BSu terkait budaya sosial penutur Bsu
Selain budaya materi, istilah-istilah yang berkaitan dengan budaya sosial
penutur BSu juga seringkali takterjemahkan. Dapat dicontohkan di sini misalnya
istilah-istilah yang berkaitan dengan pekerjaan, pariwisata, organisasi, politik.
administrasi, agama, dan seni. Data yang mewakili ketakterjemahan jenis ini ada
18 macam istilah dengan jumlah kejadian sebanyak 24 kali.
Tabel 28: Data Ketakterjemahan Budaya 3
No Istilah Frek Prsn
1 dollar/$ 4 16,7 2 president 3 12,5 3 school 2 8,3 4 rock band, musician, piano,
trumpet, guitar, bass, drum, amen, peso, federal, comedies, general, tic-tac-toe, baseball, assistant manager
1 @ 4,2
Jml 18 24 100,0
Kemudian apabila dilihat dari teknik penerjemahan yang diterapkan oleh
penerjemah dalam hal ini diperoleh perbandingan sebagai berikut:
Tabel 29: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 3
No Teknik Frek Prsn
1 Naturalisasi 14 41,7 2 Peminjaman 10 58,3
Jml 2 24 100,0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Dari tabel di atas terlihat bahwa penerjemah secara berimbang
menggunakan dua macam teknik penerjemahan untuk menerjemahkan istilah-
istilah yang berkaitan dengan budaya sosial penutur BSu.
4. Istilah/ungkapan BSu merupakan budaya tutur penutur BSu
Unsur budaya lain yang juga menyebabkan terjadinya ketakterjemahan
adalah adat kebiasaan, dalam hal ini termasuk kebiasaan bertutur. Beberapa
bentuk tuturan yang terkait erat dengan budaya masyarakat penuturnya misalnya
terjadi pada sistem sapaan, seruan (umpatan dan makian), serta idiom. Data yang
menunjukkan ketakterjemahan demikian ini ditemukan sebanyak 23
istilah/ungkapan dengan banyaknya kejadian seluruhnya 36.
Tabel 30: Data Ketakterjemahan Budaya 4
No Istilah/Ungkapan Frek Prsn 1 honey 5 13,9 2 hello, hi 3 @ 8,3 3 suck, why you little, chicken,
what the hell, oh man 2 @ 5,6
4 giant sucker, whoa nelly, piece of cake, fourth base, officers, off the hook, whoa mama, code black, chief, kick some ass, single handedly, hustle your bustle, bingo, sweetheart, hey
1 @ 2,8
Jml 23 36 100,0
Untuk menerjemahkan istilah/ungkapan di atas, ternyata penerjemah
menerapkan berbagai teknik penerjemahan yang sebagian besar berupa adaptasi,
seperti tampak pada tabel di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Tabel 31: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya 4
No Teknik Frek Prsn
1 Adaptasi 16 44,4 2 Deskripsi 7 19,4 3 Naturalisasi 7 19,4 4 Calque 2 5,6 5 Kompensasi 2 5,6 6 Generalisasi 1 2,8 7 Peminjaman 1 2,8
Jml 7 36 100,0
Setelah seluruh kejadian ketakterjemahan budaya ini dibandingkan
menurut penyebabnya, diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel 32: Faktor Penyebab Ketakterjemahan Budaya
No Faktor Penyebab Mcm Prsn Jml Prsn
1 Istilah BSu merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu 5 8,8 5 6,3
2 Referen merupakan budaya materi penutur BSu 11 19,3 15 18,8
3 Istilah BSu terkait budaya sosial penutur BSu 18 31,6 24 30,0
4 Istilah /ungkapan BSu merupakan budaya tutur penutur BSu 23 40,4 36 45,0
Jml 4 57 100,0 80 100,0
Komposisi di atas memperihatkan adanya dominasi ketakterjemahan
budaya yang disebabkan karena istilah/ungkapan merupakan budaya tutur khas di
lingkungan penutur BSu. Sementara kejadian yang paling sedikit adalah
ketakterjemahan yang disebabkan karena istilah BSu merupakan nama unsur
ekologi di lingkungan penutur BSu.
Kemudian, apabila ketakterjemahan budaya ini dilihat dari sudut
pandang teknik penerjemahan yang digunakan, didapatkan perbandingan sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Tabel 33: Teknik Penerjemahan Ketakterjemahan Budaya
No Teknik Frek Prsn
1 Naturalisasi 31 38,8 2 Adaptasi 17 21,3 3 Peminjaman 17 21,3 4 Deskripsi 7 8,8 5 Amplifikasi 2 2,5 6 Calque 2 2,5 7 Generalisasi 2 2,5 8 Kompensasi 2 2,5
Jml 8 80 100,0
Dari tabel di atas, terlihat bahwa penerjemah paling sering menggunakan
naturalisasi, kemudian disusul peminjaman, dan adaptasi dalam menerjemahkan
istilah/ungkapan yang tidak bisa diterjemahkan karena pengaruh budaya.
Sementara teknik yang lain jarang diterapkan.
4.2 Pembahasan Berikut adalah pembahasan atau analisis terhadap data penelitian yang
telah disajikan di atas. Mengingat banyaknya data dan terbatasnya ruang, di sini
hanya akan diuraikan hasil analisis pada data tertentu saja sebagai sampel atau
representasi dari masing-masing kelompok, sedangkan data selengkapanya dapat
dilihat pada halaman Lampiran 1.
4.2.1 Analisis Data Ketakterjemahan Leksikal
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, teori mengenai adanya
ketakterjemahan karena faktor linguistik dikemukakan oleh Catford (1995: 94-
99), di mana ia kemudian membedakannya menjadi dua, yaitu ketakterjemahan
leksikal dan ketakterjemahan struktural.
Ketakterjemahan leksikal berhubungan dengan kosa kata. Pada DVD
film The Simpsons Movie ada berbagai situasi yang menyebabkan suatu kata/frasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
dalam Bahasa Inggris tidak bisa digantikan secara tepat dengan kata/frasa asli
Bahasa Indonesia dengan sebab-sebab sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Adanya kesenjangan kosa kata antara BSu dengan BSa
Adanya perbedaan jumlah dan jenis kosa kata antara bahasa satu dengan
bahasa lain menyebabkan tidak memungkinkannya setiap kata memiliki pasangan
sendiri-sendiri. Ada sebagian kata yang tidak memiliki pasangan, atau dengan
kata lain, tidak memiliki padanan sehingga menimbulkan terjadinya
ketakterjemahan yang sifatnya leksikal dalam penerjemahan. Hal ini terjadi pula
antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, di mana bahasa yang disebut
pertama cenderung memiliki perbendaharaan kata yang lebih banyak dan beragam
dibandingkan dengan bahasa yang kedua.
Ketiga narasumber juga sepakat mengenai hal ini. Mereka membenarkan
bahwa perbedaan perbendaharaan kata antara Bahasa Inggris dengan Bahasa
Indonesia bisa menyebabkan terjadinya ketakterjemahan pada kata-kata tertentu.
Pada subtitle DVD film The Simpsons Movie terdapat beberapa kejadian
semacam ini, sebagaimana dicontohkan di bawah ini.
a. gay
21/49/00:05:02-00:05:04/L1/gay-gay (peminjaman)
Saat kebaktian di gereja, pendeta meminta peserta untuk mengakui sesuatu. Ned Flanders menanggapi dan ingin mengutarakan sesuatu. Sebelum Ned mulai bicara, Homer mencoba menebak-nebak perbuatan apa yang akan diakui oleh Ned.
BSu : Gay, gay, gay, gay, gay, gay, gay... BSa : Gay, gay, gay (pria homoseks).
Pada penerjemahan di atas terjadi ketakterjemahan leksikal pada kata
gay. Dalam Kamus A (Longman Dictionary of American English, 2008: 424),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
kata gay ara seksual tertarik pada orang dengan kelamin
homosexual. Kata gay ini tidak
memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus B (Kamus Inggris-
Indonesia, 2000: 264), kata gay
. Padanan terakhir (homoseksuil)
inilah yang dirujuk kata gay di atas. Kata ini bukan merupakan istilah asli Bahasa
Indonesia, tetapi hasil naturalisasi dari istilah Bahasa Inggris homosexual, yang
merupakan sinonim dari kata gay, sebagaimana disebutkan di atas. Dalam Kamus
C (Kamus Bahasa Indonesia, 2008) juga tidak ditemukaan istilah lokal yang
semakna dengan kata ini.
Dari pihak narasumber, ketiga-tiganya sepakat bahwa tidak ada istilah
lokal Bahasa Indonesia untuk menggantikan kata gay. Hal ini dibukatikan dengan
jawaban mereka di mana Narasumber 1 dan 3 menerjemahkannya dengan
mengambil istilah aslinya, sedangkan Narasumber 2 menerjemahkannya secara
ejenis untuk perempuan.
Untuk mengatasi ketakterjemahan ini penerjemah menggunakan dua
teknik, yaitu peminjaman dan deskripsi. Penerjemah mengambil kata BSu (gay)
dan menambahkan keterangan dalam tanda kurung (pria homoseks).
b. epiphany
150/755/00:56:05-00:56:06/L1/epiphany-epifani (naturalisasi)
Dalam upaya menolong Homer, Si Indian Inuit meminta Homer untuk melakukan nyanyian tenggorokan. Orang Indian itu juga menjawab pertanyaan Homer mengenai berapa lama Homer harus bernyanyi tenggorokan.
BSu : -Until you have an epiphany. -Okay. BSa : -Sampai kau mengalami epifani. -Baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Tampaknya kata epiphany bukan merupakan kata yang populer dalam
Bahasa Inggris. Hal ini tampak pada konteks cerita di atas, di mana Homer tidak
tahu arti kata tersebut. Dalam Kamus A (176) kata epiphany dimaknai sebagai
munculnya secara tiba-tiba perasaan yang sangat kuat ketika seseorang baru saja
menyadari/memahami sesuatu. Dalam Kamus B maupun Kamus C tidak ada lema
untuk kata ini. sehingga bisa dipastikan kata ini tidak ada padanannya dalam
Bahasa Indonesia.
Secara umum ketiga narasumber juga berpendapat demikian. Namun,
Narasumber 3 menambahkan bahwa kata ini semakna dengan istilah wangsit
dalam Bahasa Jawa.
Jadi telah terjadi ketakterjemahan leksikal pada kata epiphany,
sebagaimana tampak di atas, di mana penerjemah menempuh teknik naturalisasi
untuk menerjemahkan kata tersebut. Selain itu kata epiphany dalam cerita ini
memang seharusnya tidak diterjemahkan mengingat ada satu bagian dialog yang
mempertanyakan arti kata ini, karena apabila diterjemahakan justru akan
mengganggu pemahaman penonton.
Data lain dengan istilah epiphany ini terdapat pada nomor 151, 152, 153,
dan 179.
c. classic
192/953/01:12:00-01:12:01/L1/classic-bagus sekali (deskripsi)
Homer dan Bart berhasil memperdaya Russ yang menodong mereka dengan senapan.
BSu : Classic. BSa : Bagus sekali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Kata classic dapat berfungsi sebagai kata sifat maupun kata benda. Pada
angka
: 338). Umumnya kata ini dipakai untuk
menerangkan suatu hasil karya (buku, film, dan sebagainya). Jadi selain bermakna
classic
Dalam Kamus B terdapat dua padanan untuk kata ini, yaitu bentuk
Dari berbagai definisi kata classic di atas, setidaknya ada dua unsur yang
melekat pada kata ini yaitu bermutu dan berumur (sudah lama ada). Dalam kosa
kata Bahasa Indonesia tidak ada kata yang memiliki arti demikian. Pada kata
-nya tidak begitu tampak. Jadi kedua kata ini tidak bisa dianggap
sebagai padanan yang sesuai untuk kata classic.
Pendapat ketiga narasumber juga menguatkan ketiadaan padanan kata
classic dalam Bahasa Indonesia, sehingga terjadi ketakterjemahan linguistik
leksikal pada kata ini. Mereka menyatakan bahwa istilah Bahasa Indonesia untuk
Untuk mengatasi ketakterjemahan ini sebenarnya bisa dipakai bentuk
Namun pada contoh di atas penerjemah memilih menggunakan teknik deskripsi
dengan menjelaskan makna kata classic
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Perbedaan jumlah kata antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain,
sebagaimana diuraikan di atas, kadangkala berkaitan dengan kata umum
(hipernim) dan kata khusus (hiponim). Kata umum pada suatu bahasa seringkali
memiliki kata khusus atau bawahan yang lebih beragam daripada bahasa lain,
sehingga meski istilah umumnya bisa diterjemahkan, tidak demikian dengan
istilah khususnya. Dalam penerjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia,
hal semacam ini terjadi misalnya pada kata armchair, bench, seat, dan stool
sebagai turunan kata chair. Kata-kata ini akan sulit diterjemahkan secara tepat
karena dalam kosa kata bahasa Bahasa Indonesia hanya ada kata
Adanya situasi demikian ini dibenarkan oleh ketiga narasumber. Bahwa
suatu kata dalam Bahasa Inggris kadangkala tidak dapat diterjemahkan secara
tepat karena tidak adanya istilah khusus yang sepadan, meski istilah umumnya
tersedia.
Pada subtitle DVD The Simpsons Movie ada beberapa contoh kasus
seperti di atas, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
d. silo
76/300/00:21:45-00:21:48/L1/silo-gudang (generalisasi)
Marge merasa gusar dengan keberadaan babi peliharaan Homer di dalam rumah. Dia khawatir kotorannya akan mengganggu. Namun Homer sudah menyiapkan tempat untuk menampung kotoran babi tersebut dan ternyata baru dua hari tempat itu sudah penuh. Marge jadi keheranan.
BSu : He filled up the whole silo in just two days? BSa : Ia memenuhi gudangnya hanya dalam waktu dua hari?
Dalam Kamus A (946) silo g
yang kurang lebih sama dikemukakan dalam Kamus B (527), yaitu silo adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
tidak terdapat entri untuk kata ini atau dengan kata lain istilah ini belum diserap
ke dalam Bahasa Indonesia. Ketiga narasumber juga tidak ada yang tahu makna
dan terjemahan kata silo ini.
Dalam film ini, kata silo tampaknya telah mengalami pergeseran makna,.
Meskipun silo dalam film ini bentuknya sama dengan yang disebutkan dalam
kamus (tinggi dan bundar) namun bukan merupakan bangunan. Silo ini ukurannya
lebih kecil, terbuat dari bahan semacam seng dan dapat diangkat atau
dipindahkan. Sementara fungsinya juga sama untuk menyimpan, meskipun di sini
yang disimpan bukan makanan ternak tetapi justru kotoran.
Secara umum, kata silo ini mungkin dapat dipadankan dengan
konteks cerita film di atas hal ini tidak berlaku, karena lumbung berbentuk
bangunan yang tidak bisa dipindah-pindahkan. Selain itu lumbung juga tidak
umum untuk menyimpan kotoran. Jadi dapat dikatakan bahwa istilah silo di film
ini tidak memiliki padanan yang sesuai dalam Bahasa Indonesia sehingga terjadi
ketakterjemahan leksikal pada kata ini.
Ketakterjemahan kata silo ini juga tampak dari pendapat ketiga
narasumber di mana tidak ada satupun yang mengetahui terjemahan kata ini.
Oleh penerjemah, ketakterjemahan ini diselesaikan dengan teknik
generalisasi dan deskripsi. Sebagaimana terlihat pada data yang diperoleh,
terdapat terjemahan yang berbeda-beda untuk kata silo
pen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Istilah silo ini juga terdapat pada data penelitian dengan nomor 101 dan
111.
e. jab/jabbity
82/330/00:24:29-00:24:31/L1/jab-pukul (generalisasi)
Di tepi Danau Springfield Bart bersama Ned melihat seekor hewan yang bentuknya aneh (bermata banyak) karena mengalami mutasi sebagai akibat dari pencemaran danau tersebut. Bart merasa penasaran dan mencoba memukul-mukul hewan tersebut.
BSu : Jabbity, jabbity, jab, jab, jab! BSa : Pukul, pukul, pukul!
Secara umum jab
A: 550). Sementara yang dimaksudkan jab pada
kejadian di atas adalah salah satu jenis pukulan yang populer dalam olahraga tinju.
Jab berarti pukulan yang arahnya lurus atau menusuk sebagaimana makna umum
jab di atas. Kata ini merupakan kata khusus (hiponim) dari kata punch atau hit,
hook (pukulan
menyamping) dan upper cut (pukulan dari bawah ke atas). Dalam Bahasa
Indonesia tidak dikenal pembagian jenis-jenis pukulan seperti ini. Dalam Kamus
B
jab. Kata ini lebih merupakan
hit atau punch.
Berkenaan dengan istilah ini, Narasumber 3 membenarkan bahwa jab
adalah salah satu jenis pukulan dalam olah raga tinju dan dalam penerjemahan
tidak bisa secara tepat diganti dengan istilah lokal, sehingga harus mengambil kata
sumbernya. Sementara dua narasumber lainnya tidak memberikan jawaban
mengenai arti kata jab ini dalam Bahasa Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan adanya ketakterjemahan
linguistik dalam tataran leksikal pada kata jab. Untuk mengatasi masalah ini
penerjemah menggunakan teknik generalisasi dengan memadankan kata jab
dengan
Setidaknya terdapat dua data lain yang serupa, yaitu data bernomor 81
dan 83.
f. depot
99/405/00:29:53-00:29:55/L1/depot-depot (peminjaman)
Di layar televisi muncul iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan kubah.
BSu : ...at Dome Depot, located at the 105 and the dome. BSa : Di depot kubah, terletak di No 105 dan kubah
Menurut Kamus A (271) kata depot salah satunya bera
(Kamus B: 175). Dalam Kamus C (342),
-barang (dagangan
ti
Tampaknya makna yang kedua ini yang dirujuk oleh contoh di atas, yaitu kata
depot
Indonesia tidak terdapat kata yang secara khusus maknanya demikian ini,
sehingga terjadi ketakterjemahan dalam tataran leksikal pada kata ini.
Ketiga narasumber juga memiliki persepsi yang sama bahwa kata depot
tidak memiliki padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Ini tampak dari jawaban
yang mereka berikan yang sama dengan istilah aslinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Kata depot
tempat berjualan), sedangkan toko hanya berarti tempat berjualan (bukan tempat
penyimpanan). Depot juga dapat dipandang sebagai suatu jenis tempat berjualan
dan merupakan kata khusus (hiponim) dari store. Istilah lain yang sekelompok
dengan kata ini misalnya outlet, kiosk, dan shop. Bahasa Indonesia tidak memiliki
kosa kata sebanyak ini untuk menyebut jenis-jenis tempat berjualan. Sehingga
seringkali timbul masalah ketakterjemahan apabila kata-kata ini diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia.
Untuk mengatasi masalah demikian ini biasanya dilakukan teknik
peminjaman atau naturalisasi. Pada contoh di atas penerjemah menggunakan
teknik peminjaman, yaitu menggunakan kata BSu apa adanya untuk dipakai pada
teks terjemahan dan secara kebetulan ejaannya dapat diterima dalam Bahasa
Indonesia, sehingga tidak diperlukan teknik naturalisasi.
Kesenjangan kosa kata antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia
terjadi pada tingkatan jenis atau kelas kata, di mana bahasa yang pertama
cenderung memiliki kelas kata yang lebih bervariasi daripada bahasa yang kedua.
Salah satu contohnya dalam Bahasa Inggris ada perbedaan bentuk untuk kelas
kata yang berbeda, seperti penggunaan akhiran -ly untuk membedakan antara
adverb dengan adjective. Dalam Bahasa Indonesia, perbedaan ini tidak begitu
jelas sehingga satu kata bisa dipakai pada kelas kata yang berlainan, misalnya kata
kerja merangkap kata sifat, kata benda dapat dipakai juga sebagai kata kerja dan
seterusnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Pada subtitle DVD The Simpsons Movie terdapat beberapa bagian yang
menunjukkan adanya ketidaksepadanan pada kelas kata antara BSa dengan BSu
karena situasi di atas, sebagaimana contoh-contoh berikut ini.
Istilah depot ini juga dapat dijumpai pada data dengan nomor 100.
g. preachy
13/26/00:03:24-00:03:27/L1/preachy-berkhotbah (transposisi)
Penonton merasa tidak suka ketika band Green Day berbicara mengenai lingkungan dalam konser . Sehingga mereka meneriaki band tersebut.
BSu : Preachy! We're not being preachy! BSa : Berkhotbah!
Kami tidak sedang berkhotbah.
Pada contoh di atas, kata preachy
Sebenarnya ini kurang tepat me (verb) dan
padanannya adalah preach. Dari asal katanya, secara analogi istilah preachy dapat
preachy adalah
bentuk kata sifat (adjective) tidak baku yang makn
membujuk orang-orang untuk menerima suatu pendapat dengan cara yang agak
(informal) pada kata preachy. Meskipun dalam Bahasa Indonesia padanan akar
kata ini (dalam bentuk kata kerja) ada, bentuk derivatifnya sebagai kata sifat tidak
ada. Dalam Kamus B (442) terdapat entri untuk kata preach, yang diartikan
kata preachy. Begitu pula dalam Kamus C (718), tidak ada keterangan mengenai
Pendapat narasumber dalam hal ini juga berbeda-beda. Narasumber 1
tidak memberikan jawaban, sedangkan jawaban Narasumber 2 sama dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
endapat yang agak berbeda dinyatakan oleh
Narasuber 3 yang menganggap terjemahan preachy
-ngatai, dsb), banyak mulut,
: 282). Jadi pada kata ini tidak terkandung unsur
menasihati atau atau membujuk.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada padanan untuk kata preachy
dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, telah terjadi ketakterjemahan
linguistik leksikal pada kata ini, setidaknya pada aspek jenis kata dan unsur
informal.
Pada contoh di atas, penerjemah mengatasi masalah ketakterjemahan
pada kata preachy tersebut dengan menggunakan teknik transposisi, yaitu
mengubah jenis kata sumber dari adjective (preachy) menjadi verb (berkhotbah)
pada teks sasaran.
h. national
146/736/00:55:02-00:55:03/L1/national-nasional (naturalisasi)
BSu : NATIONAL SECURITY AGENCY BSa : DEPARTEMEN KEAMANAN NASIONAL
Kata national bentuk kata sifat dari kata benda nation. Dalam Kamus A
sebenarnya memiliki padanan untuk kata nation Kamus B: 391).
Tetapi padanan untuk istilah national tidak begitu jelas keberadaannya. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
dan bukan kata sifat. Jadi tidak sepenuhnya bisa dipadankan dengan kata national.
alternatif istilah lokal untuk kata ini.
Kesimpulannya, kata national mengalami ketakterjemahan yang
disebabkan karena tidak adanya padanan dari kelas kata terkait, meskipun terdapat
padanan untuk akar katanya.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan ini, pada contoh di atas
penerjemah menerapkan teknik naturalisasi, yaitu dengan meminjam dan
menyesuaikan kata sumber untuk dipakai pada teks terjemahan.
Data lain yang masuk ke dalam kelompok ketakterjemahan linguistik
leksikal akibat kesenjangan kosa kata ini adalah data dengan nomor: 19, 35, 36,
46, 88, 90, 93, 94, 96, 108, 131, 138, 139, 144, 147, 159, 163, 181, 198, dan 201.
2. Istilah BSu merupakan istilah ilmiah/teknis
Beberapa referen tertentu memiliki nama ilmiah yang biasa dipakai
secara khusus di bidang ilmu pengetahuan. Referen-referen demikian ini memiliki
padanan dalam BSa untuk nama umumnya. Namun apabila yang digunakan dalam
BSu adalah nama ilmiahnya, maka nama ini menurut aturan tidak perlu
diterjemahkan. Apabila dipaksakan maka unsur ilmiahnya akan hilang pada hasil
terjemahan. Dapat dicontohkan di sini misalnya pada BSu ada penyebutan
harimau dengan menggunakan nama ilmiahnya dalam Bahasa Latin yaitu
Pantera tigris, maka pada teks terjemahannya, dalam bahasa apapun, tetap harus
menggunakan nama Latin ini karena ada unsur ilmiah yang terkandung di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
dalamnya. Dengan kata lain, nama atau istilah ilmiah berpotensi menyebabkan
terjadinya ketakterjemahan.
Dalam fim The Simpsons Movie ada beberapa istilah ilmiah yang
diucapkan oleh karakter film, terutama pada bagian-bagian yang berkaitan dengan
lingkungan hidup.
a. mercury
33/108/00:08:44-00:08:48/L2/mercury-merkuri (naturalisasi)
Lisa berupaya untuk membantu menyelamatkan lingkungan dengan mendatangi rumah warga dan menyampaikan fakta mengenai adanya pencemaran di Danau Springfield. BSu : Lake Springfield has higher levels of mercury BSa : Danau Springfield memiliki kandungan merkuri yang tinggi. Dalam kalimat di atas terdapat ketakterjemahan linguistik pada kata
mercury. Kata ini termasuk dalam istilah bidang kimia dan secara umum dapat
(Kamus A: 634). Sebenarnya ada padanan untuk kata ini dalam Bahasa Indonesia,
Kamus B: 378). Meskipun demikian ada perbedaan di antara
raksa yang terkandung pada suatu benda. Kemudian, selain merujuk pada satu
jenis zat cair, istilah mercury juga berasosiasi dengan suatu jenis lampu (Kamus
C: 946). Dala
Dari ketiga narasumber, dua orang, yaitu Narasumber 2 dan 3, sepakat
bahwa terjemahan mercury
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
tidak memungkinkannya mercury
tertentu misalnya: This cosmetic contains mercury
Dalam hal ini, penerjemah menggunakan teknik naturalisasi
menerjemahkan kata mercury di atas. Teknik naturalisasi ini juga merupakan
teknik yang sudah baku atau umum dipakai untuk menerjemahkan istilah tersebut
ke dalam Bahasa Indonesia.
b. potassium
154/766/00:56:55-00:56:58/L2/potassium-potasium (naturalisasi)
Dalam kondisi setengah sadar Homer mengigau.
BSu : Bananas are an excellent source of potassium. BSa : Pisang adalah sumber potasium yang bagus.
Potassium adalah suatu unsur logam lunak berwarna putih keperakan
yang biasa dipakai untuk membuat sabun dan pupuk (Kamus A: 781). Istilah ini
merupakan istilah ilmiah, tepatnya dalam bidang kimia. Secara khusus tidak ada
istilah Bahasa Indonesia untuk menyebut nama-nama kimia zat atau unsur,
sehingga nama-nama tersebut cenderung takterjemahkan. Kalaupun ada istilah
lokal untuk menyebut suatu zat, biasanya memiliki makna yang bersifat umum
(non-ilmiah), sehingga apabila dipakai untuk menggantikan istilah yang ilmiah,
pada hasil terjemahan unsur ilmiahnya akan hilang. Dalam Kamus B (2000: 440),
kata potassium
tergolong ilmiah.
Narasumber 1 juga berpandangan bahwa kata potassium tidak bisa
diganti dengan istilah lokal, sedangkan Narasumber 2 tidak memberikan jawaban.
Sementara Narasumber 3 berpendapat bahwa kata potassium sama dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Kamus C.
Jadi kata potassium di atas mengalami ketakterjemahan linguistik yang
sifatnya leksikal karena kata tersebut termasuk dalam istilah ilmiah. Untuk
mengatasi ketakterjemahan ini, penerjemah menempuh teknik naturalisasi, yaitu
menyesuaikan kata asli dengan ejaan Bahasa Indonesia untuk kemudian dipakai
pada teks terjemahan.
c. ground
177/896/01:07:07-01:07:11/L2/ground-pangkal (generalisasi)
Dalam upayanya menjinakkan bom, Si robot mencoba mengira-ira kabel mana yang harus dipotong agar bom tidak jadi meledak.
BSu : Red wire. Blue wire. Black is usually the ground. BSa : Kabel merah. Kabel biru. Hitam biasanya pangkalnya.
Pada penerjemahan di atas terjadi ketakterjemahan lingustik leksikal
pada kata ground. Secara umum kata ground
Kamus B: 281). Tetapi kata ground di sini merupakan istilah khusus
Kamus A: 453). Kabel ground ini
disebut juga kabel netral atau 0 (jenis kabel selain kabel + dan -). Sebagaimana
umumnya istilah ilmiah, istilah ini tidak memiliki padanan yang spesifik dalam
Bahasa Indonesia, sehingga terjadi ketakterjemahan leksikal pada kata ini.
Dari Narasumber 1 dan 3 juga diperoleh jawaban bahwa terjemahan kata
ground ini sama dengan kata sumbernya, sedangkan Narasumber 2 tidak
memberikan pendapat.
Pada contoh di atas, untuk mengatasi ketakterjemahan pada kata ground
penerjemah menerapkan teknik generalisasi dengan memadankan istilah tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
dengan ka ground biasanya menuju ke
mewakili makna kata ground. Sebenarnya kata ini bisa diterjemahkan secara lebih
akurat dengan teknik amplifikasi misalny
Data lain yang mewakili ketakterjemahan linguistik leksikal karena
istilah BSu merupakan istilah teknis ada pada nomor 38 dan 59.
3. Istilah BSu merupakan istilah tidak baku
Dalam ilmu bahasa dikenal adanya bentuk bahasa baku (standard) atau
resmi (formal) dan bahasa tidak baku (non-standard) atau tidak resmi (informal).
Kata atau ungkapan tidak baku pada suatu bahasa seringkali mengakibatkan
terjadinya ketakterjemahan dalam penerjemahan. Hal ini karena kata atau
ungkapan tersebut seringkali tidak dapat ditemukan padanan atau artinya di dalam
kamus. Kalaupun ada biasanya hanya terdapat pada kamus-kamus khusus yang
jumlahnya terbatas. Itupun padanan yang ada biasanya dalam bentuk deskripsi
makna atau padanan bentuk bakunya. Apabila bentuk baku ini yang dipakai, maka
pada hasil terjemahan akan hilang unsur informal yang melekat pada kata sumber.
Dalam film The Simpson Movie yang memotret realita kehidupan sehari-
hari masyarakat Amerika, juga seringkali muncul ungkapan-ungkapan tidak baku
atau informal dalam percakapan antarkarakter film.
a. heinie
8/20/00:02:51-00:02:54/L3/heinie-celana (modulasi)
Pada sebuah konser seorang penonton diangkat hingga di atas kepala dan kemudian dilantur-lanturkan secara beramai-ramai oleh penonton-penonton lainnya.
BSu : Excuse me, my heinie is dipping! BSa : Maaf celanaku basah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Pada ungkapan di atas terdapat satu kata yang sulit untuk diterjemahkan
secara tepat, yaitu kata heinie. Dalam kamus standar tidak ditemukan entri untuk
kata heinie. Sementara menurut kamus Kamus E (
Slang and Colloquial Expression, 2000: 200) kata ini sama artinya dengan kata
buttock Jadi heinie merupakan istilah slang untuk menyebut pantat
dalam Bahasa Inggris. Namun apabila kata heinie ini diterjemahkan menjadi
dalam Bahasa Indonesia sendiri tidak begitu jelas ada atau tidaknya bentuk tidak
Dari pihak narasumber juga tidak diperoleh padanan yang sesuai, yang
mengakomodasi bentuk slang dari kata heinie ini. Sebagaimana terjemahan kamus
heinie ini,
sedangkan 2 narasumber lainnya tidak memberikan jawaban sama sekali.
Sebenarnya ada istilah yang mungkin cocok sebagai terjemahan kata
buttock (91)
buttock juga d . Begitu pula dalam Kamus C
demikian tidak ada keterangan bahwa kata ini merupakan bentuk slang. Selain itu
kata ini juga bukan istilah asli Bahasa Indonesia tetapi merupakan pinjaman dari
Bahasa Jawa.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan pada kata heinie ini, pada
contoh di atas penerjemah menerapkan teknik modulasi, yaitu dengan
menerjemahkan kata heinie
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
celana sendiri sesungguhnya merujuk pada sejenis perlengkapan untuk menutup
atau membungkus pantat.
b. thou, shalt, thy
15/31/00:03:56-00:03:59/L3/thou-kau (kompensasi) 16/31/00:03:56-00:03:59/L3/shalt-hendaklah (kompensasi) 18/31/00:03:56-00:03:59/L3/thy-mu (generalisasi)
Di halaman Gereja Spingfield terdapat papan nama bertuliskan:
BSu : First Church of Springfield THOU SHALT TURN OFF THY CELL PHONE BSa : Gereja Utama Springfield HENDAKLAH KAU MATIKAN HP-MU
Kalimat BSa Thou shalt turn off thy cell phone di atas secara harfiah
sudah terjemahkan dengan baik pada kalimat BSa. Namun kalimat tersebut
menggunakan beberapa kata yang tidak baku untuk saat ini, yaitu thou (you), shalt
(shall), dan thy (your). Kata-kata ini berasal dari Bahasa Inggris Kuno (Old
English) yang sudah tidak dipakai lagi pada masa sekarang. Dalam Kamus A juga
sudah tidak ada lagi lema untuk ketiga kata ini. Penggunaan istilah-istilah
demikian ini memberikan nuansa lama, kuno (ancient) dan kesan relijius pada
kalimat BSu. Unsur ini tentu saja tidak dapat diakomodasi ke dalam BSa karena
tidak dikenal adanya Bahasa Indonesia Kuno.
Narasumber 2 dan 3 tidak memberikan jawaban mengenai padanan
untuk ketiga kata di atas, sedangkan Narasumber 2 menerjemahkannya secara
thou shalt thy). Namun
ketiganya sepakat bahwa unsur kuno maupun relijius pada ketiga kata tersebut
tidak bisa diakomodasi ke dalam Bahasa Indonesia.
Untuk mengatasi ketakterjemahan ini, pada contoh di atas penerjemah
menggunakan teknik kompensasi, yaitu menyusun kalimat terjemahan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
gaya puitis untuk mengakomodasi kesan kuno yang ada pada kalimat BSu. Gaya
puitis tersebut tampak dari pemilihan kata kau dan hendaklah pada teks sasaran.
c. booze
123/570/00:42:51-00:42:54/L3/booze-minuman (generalisasi)
Ketika listrik menyala setelah padam beberapa saat, Moe baru menyadari bahwa seluruh minuman keras di barnya telah hilang semua.
BSu : When they come back on, I want all my booze back the way it was. BSa : Saat lampu menyala aku ingin minumanku tetap seperti semula.
Booze adalah istilah tidak baku untuk minuman beralkohol (Kamus A,
106). Sementara menurut Kamus E (47) booze adalah istilah slang yang sudah ada
sejak tahun 1500). Dalam Kamus B kata ini diterjemahkan secara umum menjadi
wi penerjemahan ini sudah tepat, tetapi
secara parsial ada unsur yang takterjemahkan di sini, yaitu unsur informal kata
tersebut.
Ketidakbakuan ini menyebabkan kata booze jadi kurang populer,
sehingga dari ketiga narasumber tidak ada satupun yang tahu arti kata ini. Berbeda
dengan istilah bakunya, yaitu alcoholic drink yang sudah cukup dikenal.
Pada kasus di atas penerjemah menggunakan teknik generalisasi untuk
mengatasi masalah ketakterjemahan pada kata booze dengan menggantinya
Istilah lain yang menunjukkan ketakterjemahan leksikal karena istilah
BSu tidak baku dapat dilihat pada data dengan nomor 10, 112, dan 165.
4. Tidak adanya unsur gender pada istilah BSa
Salah satu kelebihan kosa kata Bahasa Inggris jika dibandingkan dengan
Bahasa Indonesia yaitu adanya unsur gender yang melekat pada kata-kata tertentu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
sehingga penggunaannya dapat dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal
seperti ini tidak selalu kita jumpai pada kata-kata Bahasa Indonesia. Sehingga
dalam penerjemahan untuk kata-kata yang mengandung unsur gender sering
terjadi ketakterjemahan yang sifatnya parsial di mana sifat laki-laki atau
perempuan tidak terakomodasi pada istilah sasaran. Adanya ketidaksepadanan
dalam penerjemahan istilah yang mengandung unsur gender semacam ini juga
diungkapkan oleh Baker (1995).
Ketakterjemahan unsur gender semacam ini juga banyak terjadi pada
penerjemahan dialog film The Simpsons Movie, seperti dicontohkan oleh kata-kata
berikut ini.
a. boyfriend
7/19/00:02:47-00:02:49/L4/boyfriend-pacar (generalisasi)
Pada konser Green Day, tampak seorang penonton perempuan dipanggul seorang laki-laki. Perempuan ini membuka jaketnya sehingga tampak sebuah tulisan pada kaos yang dikenakannya.
BSu : NOT MY BOYFRIEND BSa : BUKAN PACARKU
Menurut Kamus A (111) boyfriend -laki atau
pemuda di mana seorang perempuan memiliki hubungan romantis .
Secara umum penerjemahan di atas sudah sepadan, karena kata boyfriend memang
Kamus B: 77). Tetapi
sebenarnya ada unsur yang tak terjemahkan pada pasangan kata di atas. Pada kata
boyfriend terkandung unsur makna laki-laki sebagaimana terlihat pada definisi
dari Kamus A
lain, kata ini berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Jawaban dari narasumber juga hampir sama. Narasumber 1 dan 2
sepakat bahwa terjemahan kata boyfriend
segi makna lebih akurat, penggunaannya di dalam
kalimat tidak umum atau janggal.
Ketakterjemahan unsur gender di atas cenderung tidak bisa diatasi.
Penerapan teknik amplifikasi, sebagaimana pendapat Narasumber 3 juga tidak
memungkinkan. Oleh karena itu penerjemah menempuh teknik generalisasi
dengan menggunakan kata BSa yang memiliki makna yang lebih umum daripada
kata BSu.
Kata boyfriend ini juga muncul pada data nomor 7.
b. son
58/173/00:13:15-00:13:17/L4/son-nak (generalisasi)
Setelah Bart terbebas dari hukuman karena ber-skateboard telanjang, Homer mengajaknya untuk makan siang di restoran Krusty Burger.
BSu : Okay son, let's get some lunch. BSa : Baik nak, mari kita makan siang.
son
pada penerjemahan di atas sudah tepat, karena sebagaimana son
merupakan sapaan untuk anak-anak. Dalam Kamus A (970-971) kata son
-
lebih tua untuk berbicara secara akrab dengan seorang anak laki-laki atau
son
-
son, pada kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
-
berlaku baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Sebenarnya ada
padanan kata sejenis yang di dalam maknanya terkandung pengertian laki-laki,
yaitu Kamus B: 540). Namun kata ini bukan merupakan kata sapaan
atau tidak bisa digunakan untuk menyapa.
-
kata son. Sementara sebagai kata sapaan, Narasumber 1 menerjemahkannya
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara parsial terdapat
ketakterjemahan linguistik leksikal pada kata son, khususnya yang berfungsi
sebagai sapaan, di mana unsur gender (laki-laki) pada kata sumber tidak dapat
diterjemahkan ke dalam BSa. Dalam hal ini penerjemah menempuh teknik
generalisasi, dengan menggantikan kata yang memiliki makna sepesifik pada BSu
dengan kata yang maknanya lebih umum pada BSa.
Sapaan son ini juga terdapat pada data dengan nomor 63, 116, 137, 173,
182, dan 185. Sementara istilah lain yang termasuk ke dalam ketekterjemahan
linguistik leksikal akibat tidak adanya unsur gender pada BSa ini dapat dilihat
pada data bernomor 31, 48, 53, 172, 188, dan 196.
5. Istilah BSu berbentuk akronim
Pada umumnya akronim atau singkatan tidak bisa diterjemahkan. Ini
sesuai dengan pendapat Zuchridin dan Sugeng (2003: 108), di mana salah satu
bentuk ketidaksepadanan sering terjadi dalam penerjemahan akronim. Dalam
penerjemahan akronim, khususnya yang belum dibakukan dalam BSa, yang
diterjemahkan adalah kepanjangannya atau bentuk lengkapnya, sementara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
akronimnya tetap. Membuat akronim baru dari hasil terjemahan juga tidak
dibenarkan. Jadi singkatan adalah salah satu bentuk ketakterjemahan di mana
penerjemah harus mengambil dari BSu apa adanya. Penerjemahan dapat
dilakukan dengan memberi keterangan di dalam kurung pada singkatan terkait.
Singkatan ASEAN
(Perhimpunan Bangsa-
Dalam penerjemahan dialog film The Simpsons Movie juga terdapat
kasus serupa, sebagaimana dicontohkan di bawah ini.
a. EPA
85/333/00:24:45-00:24:48/L5/EPA-EPA (peminjaman)
Untuk membicarakan masalah pencemaran di Danau Springfield, Russ Cargill menghadap Presiden AS, Arnold Schwarzenegger.
BSu : Russ Cargill, head of the EPA, here to see the president. BSa : Russ Cargill, kepala EPA datang untuk bertemu Presiden.
Pada ungkapan di atas, meski Environmental Protection Agency dapat
EPA tidak bisa begitu saja diterjemahkan menjadi BPL. Apabila dipaksakan justru
akan menimbulkan kebingungan pembaca. Jadi ada gejala ketakterjemahan
leksikal di sini, di mana singkatan nama lembaga tidak bisa diganti dengan
singkatan yang dibentuk dari terjemahannya.
Dari ketiga narasumber, tidak ada satupun yang memberikan jawaban
berupa singkatan dari istilah lokal untuk menerjemahkan EPA meskipun telah
diberikan pula keterangan mengenai kepanjangan dari singkatan ini..
Pada contoh di atas, penerjemah mengambil singkatan yang ada pada
BSa apa adanya, atau dengan kata lain menerapkan teknik peminjaman.
Penerjemahan singkatan sebenarnya juga dapat dilakukan dengan teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
amplifikasi linguistik, yaitu menambahkan keterangan di belakang singkatan
terkait. Pada kasus di atas pada penerjemahan EPA yang pertama kali seharusnya
berbentuk
Ketakterjemahan akronim EPA ini juga ditunjukkan pada data dengan
nomor 89 dan 95.
b. VCR
142/705/00:52:16-00:52:18/L5/VCR-VCR (peminjaman)
Sebelum meninggalakan Homer sendirian di Alaska, Marge sempat meninggalkan pesan dalam bentuk rekaman video.
BSu : Play Me In VCR BSa : Mainkan di VCR
VCR merupakan singkatan dari video cassette recorder atau alat
perekam atau pemutar video, yaitu alat yang digunakan untuk merekam acara
televisi atau menonton kaset video (Kamus A: 1116). Video sediri termasuk
penemuan baru, sehingga tidak ada istilah lokal Bahasa Indonesia untuk
menyebutnya. Meskipun kepanjangan dari akronim di atas dapat diterjemahkan
tetap saja tidak bisa dibentuk menjadi
singkatan (misalnya PKV) untuk menggantikan istilah VCR karena hasilnya tidak
akan berterima.
Narasumber 1 dan 2 juga berpendapat sama dalam hal ini, bahwa
singkatan VCR tidak bisa diterjemahkan. Narasumber 3 tidak memberikan
jawaban untuk poin ini. Meskipun demikian secara umum ia setuju bahwa
singkatan cenderung tidak bisa diterjemahkan dengan singkatan pula.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Jadi kesimpulannya, singkatan VCR di atas tidak bisa diterjemahkan.
Sebagai solusinya, penerjemah melakukan teknik peminjaman, yaitu mengambil
kata sumber apa adanya untuk digunakan pada teks sasaran.
Data lain yang merepresentasikan ketakterjemahan karena istilah BSu
berbentuk akronim adalah data dengan nomor 3 dan 28.
6. Referen merupakan hal/temuan baru
Kemunculan bahasa-bahasa di dunia ini pada umumnya bersamaan
waktunya dengan keberadaan atau peradaban masyarakat penuturnya. Hal ini
karena bahasa tersebut dipakai oleh anggota masyarakat untuk berkomunikasi satu
sama lain. Seiring dengan perkembangan jaman, ada hal-hal baru, yang dialami
oleh masyarakat penutur bahasa ini, misalnya diciptakannya suatu alat tertentu
yang belum pernah ada sebelumnya, sehingga menuntut diciptakannya istilah atau
kata baru untuk menyebutnya.
Meskipun demikian, penambahan istilah ini tidak selalu diikuti dengan
kejadian serupa pada bahasa-bahasa lain, karena referen istilah tersebut mungkin
tidak atau belum dikenal oleh masyarakat penutur bahasa tersebut. Situasi ini
menimbulkan terjadinya ketakterjemahan leksikal, di mana sejumlah istilah dari
satu bahasa tidak memiliki padanan atau tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa lain karena referen kata tersebut merupakan hal/barang baru bagi penutur
bahasa sasaran.
Dalam film The Simpsons Movie terdapat beberapa kasus
ketakterjemahan leksikal semacam ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
a. nuclear
1/6/00:01:38-00:01:40/L6/nuclear-nuklir (naturalisasi)
Pada bagian awal film divisualisasikan Homer sekeluarga sedang menonton film di bioskop yang menceritakan mengenai aksi Itchy (tikus) dan Scratchy (kucing). Pada salah satu adegan tampak Itchy menghadapi panel kontrol senjata nuklir dengan beberapa perintah di atasnya.
BSu : NUCLEAR MISSILE LAUNCH BSa : PELUNCURAN RUDAL NUKLIR
Pada pasangan kalimat di atas terjadi ketakterjemahan yang sifatnya
leksikal pada kata nuclear. Dalam Kamus A (688), nuclear didefinisikan sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan senjata, energi, dan inti atom. Istilah ini berkaitan
erat dengan bidang fisika, karena akar katanya adalah nucleus (Bahasa Latin)
. Meskipun sekarang sudah dikenal luas, energi nuklir
termasuk temuan baru. Kajian mengenai energi nuklir ini baru muncul pada 1896,
ketika Henri Becquerel menemukan radioaktifitas (Henri Becquerel, 2011).
Karena merupakan sesuatu yang baru, tidak ada istilah lokal untuk menyebut
nuclear ini, sehingga diperlukan strategi atau teknik tertentu untuk
menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia.
Dalam Kamus B (398) dinyatakan bahwa padanan kata nuclear adalah
Kamus C (1009)
an atau menggunakan
Ketiadaan padanan untuk kata nuclear ini diperkuat oleh pendapat
Kata merupakan hasil naturalisasi dari kata aslinya. Teknik
naturalisasi ini pulalah yang ditempuh oleh penerjemah untuk mengatasi
ketakterjemahan pada satuan terjemahan di atas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
b. planet
34/114/00:09:17-00:09:20/L6/planet-planet (peminjaman)
Untuk menarik perhatian Lisa yang sedang mengimbau warga kota untuk peduli lingkungan, Milhouse menyatakan pendapatnya.
BSu : Hey! I am very passionate about the planet! BSa : Hei. Aku sungguh peduli soal planet ini. Kata planet
berukuran besar di ruang angkasa yang bergerak mengelilingi sebuah bintang,
kosa kata Bahasa
Inggris. Kata planet sebenarnya berasal dari istilah Bahasa Prancis Kuno (1100-
1200M) planete, kemudian dari Bahasa Latin planeta, dan Bahasa Yunani planes
Kamus A: 761).
Jadi, pada awalnya tidak ada istilah untuk menyebut referen yang kini
dikenal dengan nama planet, karena pada awalnya benda ini tidak diketahui
keberadaannya. Ketika kemudian diketahui keberadaannya di alam semesta,
diberikanlah nama untuk benda ini dalam Bahasa Inggris. Nama ini diambil dari
istilah bahasa lain (Prancis Kuno, Latin, dan Yunani) yang sudah ada, yang
meskipun referennya berbeda tetapi memiliki kesamaan sifat. Dapat dikatakan
bahwa istilah planet dalam Bahasa Inggris termasuk istilah baru karana referennya
juga merupakan hasil penemuan baru. Karena merupakan temuan dan istilah baru,
maka bisa dipastikan tidak ada padanan untuk kata planet ini dalam bahasa-bahasa
selain Bahasa Inggris (kecuali apabila diciptakan/diperkenalkan istilah baru untuk
menyebutnya). Dengan kata lain, telah terjadi ketakterjemahan linguistik leksikal
pada kata ini, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Indonesia Inggris
Kamus B: 433).
Kata yang pertama merupakan bentuk naturalisasi dari kata aslinya sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
istilah yang kedua lebih merupakan deskripsi yang tidak umum dipakai untuk
menyebut planet.
Ketiga narasumber juga sepakat mengenai tidak adanya istilah lokal untuk
kata planet, di mana mereka memberikan jawaban yang sama untuk terjemahan
Untuk mengatasi ketakterjemahan kata planet ini, dalam Bahasa
Indonesia biasanya diterapkan teknik peminjaman, yaitu mengambil kata sumber
apa adanya untuk dipakai pada hasil terjemahan. Sebagaimana terlihat pada
contoh di atas, penerjemah menggunakan kata yang sama antara teks BSu dan
BSa untuk kata planet.
Istilah planet ini juga muncul pada data dengan nomor 97.
c. thermostat
39/123/00:09:41-00:09:43/L6/thermostat-termostat (naturalisasi)
Ketika sedang berbicara dengan Lisa mengenai lingkungan, Colin memberikan lagi satu contoh mengenai penghematan energi
BSu : And if we kept our thermostats BSa : Jika kita nyalakan termostat 68 derajat Fahrenheit di musim
Kata thermostat merujuk pada suatu alat untuk menjaga ruangan, mesin
dan sebagainya berada pada suhu tertentu (Kamus A: 1052). Benda ini termasuk
peralatan modern atau temuan baru karena baru ditemukan di Amerika Serikat
pada tahun 1883 oleh Warren S Johnson (Zwaniecki, 2008). Pada awalnya alat ini
tidak dikenal oleh masyarakat di luar penutur Bahasa Inggris, sehingga tidak ada
pula istilah lokal untuk menyebutnya. Dalam Kamus B (586), tidak ditemukan
istilah lokal untuk thermostat
pengatur/pengimbang pana . Untuk menggantikan kata ini dalam penerjemahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
umumnya ditempuh teknik naturalisasi. Dalam Kamus C (1511), sudah ada lema
bekerja secara otomatis yang bekerja karena perub
Dari ketiga narasumber tidak ada satupun yang menyatakan adanya
istilah Bahasa Indonesia untuk kata thermostat ini. Narasumber 1
memberikan jawaban.
Jadi kesimpulannya, tidak ada istilah lokal yang sesuai untuk kata
thermostat. Dengan kata lain, telah terjadi ketakterjemahan leksikal pada kata ini,
sehingga dibutuhkan teknik tertentu untuk mengatasinya. Pada contoh di atas,
penerjemah menerapkan teknik naturalisasi dengan menyesuaikan ejaan BSu,
thermostat, dan pendapat
Narasumber 1.
d. video
106 /460/00:33:56-00:33:58/L6/video-video (peminjaman)
Ketika akan melarikan diri dari kejaran orang-orang yang marah pada Homer, Marge merasa ada sesuatu yang ketinggalan dan ia ingin mengambilnya.
BSu : -What'd you get? -Our wedding video.
BSa : -Apa yang kau ambil? -Video pernikahan kita.
Istilah video bisa berarti rekaman film atau acara televisi yang disimpan
pada videotape. Sementara videotape sendiri berupa pita magnetis kecil dan
panjang yang ditempatkan di dalam sebuah kotak plastik dan bisa dipakai untuk
merekam/menyimpan film, acara televisi dan sebagainya (Kamus A: 1120-1121).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Jadi yang dimaksudkan dengan istilah video di atas adalah tayangan yang direkam
pada alat videotape.
Videotape ini tergolong peralatan yang masih baru. Alat ini
diperkenalkan oleh Charles Ginsburg pada tahun 1951 dan baru dijual untuk
umum pada tahun 1971 oleh Sony (Video, 2011). Karena merupakan barang baru,
pada awal kemunculannya video ini tidak dikenal di lingkungan penutur Bahasa
Indonesia. Dengan sendirinya tidak ada pula istilah khusus untuk menyebut video
maupun videotape dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus B (629), kata video
diartikan sebag
videotape . Dalam Kamus C
yang memancarkan gambar pada pesawat televi
atau program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi.
Dari ketiga narasumber, tidak ada yang memberikan alternatif istilah
lokal Bahasa Indonesia untuk kata video ini. Mereka berpendapat bahwa untuk
menerjemahkan kata ini memang kita harus meminjam istilah sumbernya.
Jadi bisa disimpulkan telah terjadi ketakterjemahan linguistik leksikal
pada kata video ini. Untuk mengatasi ketakterjemahan ini dilakukanlah teknik
peminjaman, yaitu mengambil kata asli untuk dipakai pada teks terjemahan.
Sebagaimana terlihat pada contoh di atas, penerjemah menggunakan kata yang
sama dengan BSu pada kata video.
Data lain yang merepresentasikan ketakterjemahan kata video ini adalah
data dengan nomor 107 dan 143.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
e. robot
175/895/01:07:03-01:07:07/L6/robot-robot (naturalisasi)
Sejumlah petugas kepolisian mencoba menjinakkan bom waktu yang ditujukan untuk menghancurkan Kota Springfield. Mereka menggunakan robot penjinak bom untuk melakukan tugas ini.
BSu : Come on, bomb-disarming robot. You're our last hope. BSa : Ayo, robot penjinak bom. Kau harapanku yang terakhir.
Robot adalah sejenis mesin yang bisa bergerak serta melakukan beberapa
pekerjaan manusia dan dikendalikan dengan komputer (Kamus A: 879). Definisi
ini memperlihatkan bahwa robot termasuk peralatan modern atau temuan baru
sehingga istilah yang dipakai untuk menyebutnya juga baru. Istilah robot, berasal
dari Bahasa Ceko robota robot ini pertama kali
muncul pada tahun 1920 dalam sebuah drama berjudul R.U.R (
Universal Robots -
(Robot, 2011). Istilah ini kemudian diserap dalam Bahasa Inggris
dengan definisi di atas.
Tidak ada istilah lokal dalam Bahasa Indonesia untuk menyebut robot,
karena objek ini merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya.
Dalam Kamus B (189), kata robot
padanan lokal untuk kata robot. Dalam Kamus C (1215) juga sudah terdapat lema
menjadi padanannya. Pada kamus ini robot didefinisikan sebagai alat dapat berupa
orang-orangan dan sebagainya yang bisa bergerak (berbuat seperti manusia) yang
dikendalikan oleh mesin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Tidak adanya padanan untuk istilah robot ini juga dikuatkan dengan
pendapat ketiga narasumber yang memberikan jawaban yang sama dengan
mengambil kata BSu (robot) sebagai terjemahan kata ini.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan telah terjadi ketakterjemahan
linguistik dalam tataran leksikal pada kata robot. Untuk mengatasi masalah ini
kemudian dilakukan peminjaman kata sumber untuk dipakai pada teks sasaran
seperti yang dilakukan oleh penerjemah pada contoh di atas.
Istilah lain yang merepresentasikan ketakterjemahan leksikal karena
referen merupakan hal atau temuan baru ini dapat dilihat pada data bernomor 2, 5.
6, 17, 29, 47, 49, 65, 70, 71,72, 98, 117, 118, 121, 125, 126, 130, 132, 134, 145,
160, 167, 169, 170, 171, 174, 176, 183, 187,197, 199, 200, dan 203.
4.2.2 Analisis Data Ketakterjemahan Struktural
Sebagaimana telah disebutkan di atas, ketakterjemahan linguistik
struktural merupakan bentuk lain dari ketakterjemahkan yang disebabkan karena
faktor linguistik selain ketakterjemahan linguistik leksikal dalam teori Catford
(1980: 94-99). Ketakterjemahan ini terjadi karena adanya perbedaan aturan tata
bahasa antara BSu dengan BSa.
Dalam subtitle DVD film The Simpsons Movie ada beberapa kejadian di
mana struktur kalimat maupun struktur morfologi kata Bahasa Inggris tidak dapat
diakomodasi ke dalam Bahasa Indonesia dengan sebab-sebab seperti di bawah ini.
1. Tidak adanya unsur kala pada struktur kalimat BSa
Salah satu perbedaan struktur tata bahasa Bahasa Inggris dan struktur
tata Bahasa Indonesia terletak pada aspek kala atau tense. Dalam setiap kalimat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Bahasa Inggris selalu terdapat unsur kala yang menunjukkan waktu kejadian yang
seluruhnya ada 16 macam. Perbedaan kala ini ditandai dengan perbedaan bentuk
verb (kata kerja) atau penambahan auxiliary verb (kata bantu kata kerja).
Sementara dalam Bahasa Indonesia aturan semacam ini tidak ada. Penanda waktu
dalam kalimat Bahasa Indonesia hanya ditunjukkan secara leksikal dengan kata
bantu kata kerja (modal) atau dengan keterangan waktu (adverb of time).
Akibatnya, dalam penerjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia,
unsur kala ini sering hilang atau mengalami ketakterjemahan.
Ketiga narasumber secara umum membenarkan kemungkinan adanya
ketakterjemahan pada unsur kala dalam penerjemahan kalimat dari Bahasa
Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, pada situasi tertentu
penanda waktu pada kalimat BSu ini kadangakala sudah diakomodasi pada bagian
lain kalimat BSa atau konteks situasi yang melatarbelakangi teks.
Ketakterjemahan kala ini juga terjadi pada beberapa bagian subtitle
Bahasa Indonesia DVD film The Simpsons Movie. Unsur-unsur kala yang
mengalami ketakterjemahan struktural ini terutama berlaku pada jenis kala yang
agak kompleks, seperti bentuk perfect tertentu dan bentuk present atau past
perfect continuous tense.
Contoh ketakterjemahan pada kala present perfect dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
a. have been
56/164/00:12:41-00:12:44/S1/have ... been-..... (reduksi)
Ketika Nelson sedang menertawai Bart yang dihukum dalam keadaan telanjang, Mrs Muntz (ibu Nelson) menemuinya.
BSu : Nelson, honey, where have you been? BSa : Nelson sayang, di mana kau?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Pada penerjemahan di atas terjadi ketakterjemahan struktural di mana
unsur kala present perfect pada BSu yang diwakili oleh struktur kata kerja have +
past participle tidak terakomodasi pada BSa.
kalimat sumber tidak terserap pada hasil terjemahan. Pada kalimat BSa, penanda
waktunya cenderung bersifat umum dan tidak secara spesifik menunjukkan bahwa
kejadiannya sudah berlangsung.
Dalam menerjemahkan ungkapan di atas, penerjemah tidak
mengakomodasi kala present perfect dari kalimat BSu ke dalam kalimat BSa yang
tindakan ini justru benar karena apabila
sudah
Ketakterjemahan kala present perfect ini juga ditunjukkan oleh data
dengan nomor 186.
b. have been taking
184/927/01:09:07-01:09:12/S1/have been taking-membiarkan (modulasi)
Ketika sedang mencoba menyelamatkan kota Springfield berdua, Bart mengungkapkan isi hatinya kepada Homer.
BSu : I've been taking your crap all my life! BSa : Aku telah membiarkanmu mengelabuiku seumur hidupku. Kalimat BSu pada satuan terjemahan di atas berkala present perfect yang
menyiratkan makna bahwa kejadian sudah dan sedang berlangsung. Namun pada
teks terjemahan makna ini tidak sepenuhnya tercakup. Apabila kita perhatikan,
menyatakan bahwa kejadian masih atau sedang berlangsung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Secara umum, penerjemahan kalimat dengan kala perfect continuous
me
diterima dalam struktur kalimat Bahasa Indonesia, sehingga dalam penerjemahan
kalimat dengan struktur perfect continuous biasanya digantikan dengan kala lain
yang lebih berterima dalam Bahasa Indonesia, yaitu perfect tense yang bermakna
-nya tidak terserap. Pada penerjemahan di
atas, penerjemah menerapkan teknik modulasi dengan mengartikan kata taking
dari sudut pandang yang berbeda menjadi
Selain contoh di atas, data nomor 11 juga menunjukkan ketakterjemahan
kala present perfect continuous.
c. had been talking
178/899/01:07:20-01:07:23/S1/had been talking-telah mengatakan (reduksi)
Polisi yang bertugas menjinakkan bom merasa menyesal mendapati robot penjinak bomnya bunuh diri karena merasa kesulitan menentukan kabel mana yang akan memicu ledakan.
BSu : He'd been talking about it, but I didn't take him seriously. BSa : Dia telah mengatakannya, tapi aku tak menganggapnya serius.
Struktur kala past perfect continuous yang mengandung makna bahwa
kejadian sudah dan sedang berlangsung pada masa lampau juga cenderung sulit
diakomodasi secara tepat dalam Bahasa Indonesia sehingga menimbulkan
ketakterjemahan yang sifatnya struktural.
Pada contoh di atas, penerjemah menerjemahkan kata kerja had been
talking kala
yang lain, yakni present perfect. Hal ini terjadi karena jika kata kerja BSu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
diterjemahkan tepat sesuai kalanya dulu te
terjemahan justru tidak berterima.
Dalam hal ini penerjemah menempuh teknik reduksi dengan tidak
2. Ungkapan BSu sudah dimodifikasi
Salah satu kecenderungan berbahasa yang terjadi akhir-akhir ini adalah
adanya bentuk modifikasi (plesetan). Dengan tujuan untuk menciptakan kelucuan,
para penutur bahasa seringkali memodifikasi suatu kata dengan mengganti
sebagian fonem atau huruf kata tersebut sehingga maknanya berubah namun ejaan
dan pelafalannya masih berasosiasi dengan kata aslinya.
Dalam penerjemahan, bentuk-bentuk modifikasi semacam ini
mengakibatkan terjadinya ketakterjemahan struktural. Hal ini karena selain
mempertimbangkan makna, dalam menerjemahkan ungkapan yang berbentuk
modifikasi penerjemah juga harus mempertimbangkan kemiripan struktur
morfologi atau fonologi ungkapan tersebut dengan ungkapan aslinya. Padahal
untuk mengakomodasi atau mempertahankan kemiripan struktur semacam ini
pada BSa hampir tidak mungkin. Dengan kata lain struktur ungkapan hasil
modifikasi cenderung tidak bisa diterjemahkan secara lengkap. Kejadian ini mirip
dengan pernyataan Zuchridin dan Sugeng (2003: 108) mengenai kecenderungan
tidak adanya padanan pada istilah yang berbentuk penggalan.
Berkenaan dengan hal ini, Narasumber 1 dan 3 setuju dengan pendapat
di atas bahwa ungkapan yang sudah dimodifikasi seringkali tidak bisa
diterjemahkan. Sementara Narasumber 2 berpendapat sebaliknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Pada subtitle film The Simpsons Movie dapat kita jumpai adanya
beberapa kasus demikian ini.
a. nome sweet nome
129//616/00:46:32-00:46:34/S2/nome sweet nome-nome rumah yang nyaman (deskripsi)
Di dalam kamarnya di Alaska, Marge mengisi waktunya dengan menyulamkan sebuah tulisan pada selimut.
BSu : NOME SWEET NOME BSa : NOME RUMAH YANG NYAMAN
Ungkapan nome sweet nome dia atas sulit untuk diterjemahkan karena
merupakan sebuah idiom yang diplesetkan. Ungkapan di atas berasal dari idiom
home sweet home yang memiliki makna bahwa rumah sendiri adalah tempat yang
paling nyaman. Sebenarnya ada ungkapan idiomatis sejenis dalam Bahasa
Tetapi bentuk modifikasi dari ungkapan
home sweet home di atas, yang memiliki struktur rima tertentu, sulit untuk
dipadankan. Tidak jelas apa makna kata nome di atas yang merupakan modifikasi
dari home, karena baik dalam kamus umum maupun kamus slang tidak terdapat
entri untuk kata ini. Yang pasti perubahan struktur dari home ke nome ini sulit
untuk diterapkan pada ungkapan BSa.
Dari tiga orang narasumber juga tidak ada satupun yang memberikan
jawaban mengenai terjemahan idiom modifikasi nome sweet nome ini. Hal ini
semakin menguatkan indikasi ketakterjemahan pada ungkapan tersebut.
Situasi yang sama tampaknya dialami penerjemah, sehingga ia
menggunakan dua teknik penerjemahan sekaligus, yaitu teknik peminjaman pada
kata nome, dan teknik deskripsi pada kata sweet nome (rumah yang nyaman).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
b. sop
155/812/01:00:28-01:00:30/S2/sop-berhenti (generalisasi)
Dua orang petugas polisi yang sedang berpatroli dengan mobil menjumpai rambu-rambu yang tidak seperti biasanya.
BSu : There's something strange about that "sop" sign. BSa berhenti Kata sop pada ujaran di atas sebenarnya berasal dari kata stop yang
-nya. Meski arti kata stop
penerjemahan kata sop di atas menimbulkan kesulitan tersendiri, karena kita tidak
makna yang sama dengan kata sop. Jadi dapat dikatakan telah terjadi
ketakterjemahan struktur pada kata sop.
Situasi yang sama tampaknya juga dialami narasumber, sehingga dua
orang narasumber tidak memberikan pendapat mengenai terjemahan kata sop ini.
Tetapi kata ini juga masih sulit diterima sebagai padanan dari sop.
Pada teks terjemahan di atas, tampaknya penerjemah tidak berupaya
untuk menerjemahkan bentuk modifikasi kata stop tersebut, sehingga kata ini
hanya diterjemahkan sesuai dengan makn gan kata
lain, penerjemah menerapkan teknik generalisasi, yaitu menggantikan kata yang
memiliki makna khusus dengan kata yang maknanya lebih umum.
Istilah sop ini juga muncul pada data nomor 156.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
c.
191/952/01:11:57-01:11:58/S2/ -aku seorang wiener (calque)
Ketika Homer ditodong senapan oleh Russ, Bart mencoba menghalangi dengan mengatakan kalau Russ membunuh Homer, ia tidak akan mengetahui di mana harta karun Imawiener disimpan. Russ ingin tahu tentang harta karun itu dan bertanya pada Bart, tetapi ternyata ia telah salah dengar.
BSu : I'm a wiener? BSa : Aku seorang wiener (=sosis)?
Menurut Kamus B (647), wiener adalah semacam sosis Namun pada
kalimat di atas kata wiener tidak bisa diterjemahkan. Hal ini bukan karena tidak
adanya padanan untuk kata tersebut, tetapi karena konteks pembicaraan di mana
kata wiener berkaitan dengan ucapan sebelumnya yang merujuk pada referen lain.
justru tidak berterima The treasure of lmawiener
Di sini kejadiannya pendengar salah dengar dan salah mengerti karena mengira
nama orang (Imawiener) adalah sebuah kalimat yang bunyinya .
Kalimat ini tidak bisa diterjemahkan secara konvensional, karena
sifat asosiatif dengan nama Imawiener yang disebutkan sebelumnya akan hilang.
Ketiga narasumber juga tidak ada yang dapat menerjemahkan baik
kata/nama Imawiener maupun kalimat mengingat sulitnya
menyesuaikan struktur kedua istilah ini dalam BSa.
Sementara itu, penerjemah sendiri menerjemahkan ungkapan di atas
dengan menerapkan teknik calque, yaitu menerjemahkan kata perkata apa
adanya, kecuali pada kata wiener. Pada kata ini penerjemah menggunakan teknik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
peminjaman. Hal ini tentu saja untuk mengakomodasi kesamaan struktur sesuai
konteks situasi yang melatari ungkapan BSu.
Data lain yang memperlihatkan ketakterjemahan linguistik struktural
karena istilah BSu sudah dimodifikasi adalah data dengan nomor 64 dan 77.
4.2.3 Analisis Data Ketakterjemahan Budaya
Selain faktor linguistik, Catford (1980: 94-99) juga menyatakan bahwa
ketakterjemahan juga dapat disebabkan oleh faktor budaya. Jadi perbedaan
budaya antara penutur BSu dan BSa dapat menyebabkan suatu ungkapan tidak
bisa diterjemahkan dengan tepat. Pendapat ini dikuatkan oleh Newmark (1995:
95) yang kemudian membuat perincian mengenai unsur-unsur budaya yang tidak
memiliki padanan atau tidak dapat diterjemahkan.
Pada penerjemahan dialog DVD film The Simpsons Movie ada beberapa
kasus di mana istilah atau ungkapan pada dialog film yang berkaitan erat dengan
budaya penutur BSu (Bahasa Inggris) tidak dapat diterjemahkan dengan tepat
dalam Bahasa Indonesia. Kejadian ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor
berikut ini.
1. Istilah BSu merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu
Menurut Newmark (1995: 96-97), istilah ekologi, seperti nama-nama
flora dan fauna, cenderung khas pada tiap-tiap daerah sehingga menyebabkan
terjadinya ketakterjemahan budaya. Apalagi jika objek tersebut hanya terdapat di
lingkungan terkait. Nama-nama bunga tertentu, seperti tulip, edelweiss, dan
sakura, misalnya, cenderung tidak memiliki padanan di luar wilayah di mana
bunga-bunga tersebut tumbuh. Kejadian semacam ini juga terdapat pada beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
bagian subtitle Bahasa Indonesia film The Simpsons Movie. Beberapa contohnya
dapat dilihat di bawah ini.
a. strawberry
25/71/00:06:19-00:06:20/B1/strawberry-strawberi (naturalisasi)
Selain kue wafel Bart dan Lisa juga menginginkan minuman.
BSu : I want syrup! I want strawberry!
BSa : Aku mau sirup! Aku mau strawberi!
Kata strawberry merupakan gabungan antara kata straw dan berry. Berry
sendiri adalah sejenis buah yang berukuran kecil, lunak, dan berbintik-bintik
(Kamus A: 86). Jadi strawberry adalah salah satu jenis buah berry. Jenis-jenis
yang lain di antaranya cranberry, blueberry, redberry dan raspberry. Jadi, kata
strawberry memiliki hubungan hiponimi dengan kata berry.
Menurut Kamus Inggris-Indonesia, kata berry ini berpadanan dengan
Kamus B: 61). Namun, nama-nama khusus untuk buah berry, termasuk
strawberry, tidak memiliki sebutan yang spesifik dalam Bahasa Indonesia. Ini
karena, buah berry tidak secara alami tumbuh di Indonesia sehingga tidak ada
istilah lokal untuk menyebut masing-masing jenis buah berry. Bahkan nama
nan besar juga diambil dari nama aslinya, karena ada
kemiripan di antara keduanya.
Ketakterjemahan kata strawberry ini dapat dimasukkan ke dalam
ketakterjemahan budaya, karena istilah terkait merupakan istilah ekologi, atau
tepatnya nama tumbuhan, yang hidup di lingkungan penutur BSu dan tidak begitu
dikenal di lingkungan penutur BSa, sehingga tidak terdapat istilah lokal untuk
menyebutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Ketiga narasumber juga sepenuhnya sepakat bahwa tidak ada istilah lokal
untuk kata strawberry. Hanya mereka berbeda pendapat mengenai ejaan untuk
kata ini dalam Bahasa Indonesia. Narasumber 1 menyatakan ejaannya sama persis
dengan ejaan BSu, sedangkan Narasumber 2 dan 3 masing-masing menjawab
kata strawberry.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan ini, pada contoh di atas
penerjemah menempuh teknik naturalisasi dengan memodifikasi kata BSu agar
bentuk naturalisasi ya .
b. hound
124/590/00:44:22-00:44:27/B1/hound-anjing (generalisasi)
Russ memberitahukan mengenai cara kerja sebuah alat di ruang kerjanya.
BSu : One will supply your town with power, the other releases the hounds.
BSa : Satu untuk mencukupi listrik di kotamu, yang lain untuk melepaskan anjing.
Anjing merupakan binatang yang umum dijumpai di berbagai tempat,
termasuk di Indonesia. Oleh karena itu sudah ada istilah lokal untuk hewan ini.
Namun adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap anjing telah
menyebabkan munculnya nama-nama lain yang lebih spesifik untuk menyebut
binatang ini. Masyarakat penutur Bahasa Inggris cenderung menganggap istimewa
hewan ini, sehingga terdapat banyak istilah spesifik untuk menyebut anjing,
misalnya herder, puddle, bulldog, dan dalmatian. Ini berbeda dengan masyarakat
penutur Bahasa Indonesia yang cenderung menganggap anjing sebagai hewan
yang najis dan menjijikkan. Oleh karena itu, sebutan untuk hewan ini dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Bahasa Indonesia juga tidak sebanyak yang dari Bahasa Inggris. Situasi ini
menimbulkan ketakterjemahan budaya yang berkaitan dengan istilah ekologi yang
merujuk pada anjing. Salah satu di antaranya adalah kata hound.
Dalam Kamus A (498) hound diartikan sebagai
berb karena
alasan uyang telah dikemukakan di atas. Tetapi sebenarnya ada sebutan khusus
untuk untuk hound (dog)
istilah ini tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena istilah ini lebih
merupakan hasil strategi penerjemahan dengan menggunakan teknik deskripsi,
yaitu menerjemahkan kata atau frasa dengan menjelaskan maknanya. Kata hound
-
d
Dari pihak narasumber tidak diperoleh pendapat apapun berkaitan dengan
terjemahan kata hound ini karena ketiga-tiganya mengosongkan kolom jawaban
yang disediakan.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan pada kata ini, penerjemah tidak
menggunakan teknik deskripsi sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi lebih
memilih menggunakan teknik generalisasi, yaitu mengganti kata hound dengan
c. walrus
141/702/00:51:41-00:51:43/B1/walrus-walrus (peminjaman)
Di Alaska Homer meluangkan waktunya untuk bermain video game. Di layar video game terlihat judul permainan yang akan dimainkan Homer.
BSu : GRAND THEFT WALRUS BSa : WALRUS PENCURI BESAR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
inatang laut berbadan besar dengan dua gading yang
Kamus A: 1130). Hewan ini hanya hidup di
wilayah yang memiliki musim dingin, khususnya di laut es, sehingga tidak
dikenal di wilayah Indonesia yang hanya memiliki musim panas dan musim
hujan. Oleh karena itu, tidak ada istilah lokal untuk menyebut binatang ini. Dalam
Kamus B
. Sementara dalam Kamus C (1615) kata ini sudah diserap dan
diterangkan seb
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa telah terjadi ketakterjemahan
budaya kata walrus. Ketakterjemahan ini disebabkan karena referen merupakan
anggota ekologi (fauna) di lingkungan penutur BSu yang tidak dikenal oleh
masyarakat penutur BSa, sehingga tidak terdapat istilah untuk menyebutnya.
Ketiga narasumber memberikan pendapat yang berbeda mengenai
terjemahan untuk istilah walrus ini. Narasumber 2 menerjemahkan kata ini dengan
mengambil istilah aslinya, sedangkan Narasumber 3 berpendapat walrus sepadan
Pendapat Narasumber 3 mungkin didasari persamaan bentuk antara kedua hewan
yang dimaksud. Tetapi sesungguhnya walrus berbeda dengan anjing laut yang
dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah seal
juga lebih merupakan deskripsi daripada nama lokal untuk seal.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan pada kata walrus ini
penerjemah menerapkan teknik peminjaman. Sebagaimana terlihat pada contoh di
atas, penerjemah menggunakan kata BSu apa adanya untuk dipakai pada teks
terjemahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Dua data lain yang mewakili ketakterjemahan budaya karena istilah BSu
merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu adalah data dengan nomor
103 dan 133.
2. Referen merupakan budaya materi penutur BSu
Ada benda-benda atau hal-hal yang hanya terdapat di wilayah tertentu,
sehingga menjadi semacam budaya khas dari masyarakat setempat. Pada
umumnya, benda atau hal semacam ini diberi nama dengan bahasa setempat dan
karena tidak dikenal dalam budaya lain, maka tidak ada pula istilah untuk
menyebutnya pada bahasa lain. Oleh Newmark (1995: 97-98), benda-benda
semacam ini diistilahkan sebagai materi budaya setempat, yang bentuknya bisa
berupa makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya.
Yang termasuk dalam materi budaya ini, dapat dicontohkan di sini
misalnya, steak, yang merupakan makanan khas orang barat. Makanan ini tidak
ada sebutannya dalam Bahasa Indonesia sehingga istilah ini tidak dapat
diterjemahkan. Meskipun pada perkembangan selanjutnya benda atau hal tersebut
dikenal dan popular di tempat lain, tidak berarti kemudian diciptakan istilah lokal
untuk menyebutnya. Untuk mengatasi masalah ketiadaan padanan demikian ini,
biasanya kemudian dilakukan peminjaman kata baik secara mentah-mentah
(borrowing) ataupun dengan penyesuaian (naturalisasi).
Dari tiga orang narasumber, dua di antaranya setuju dengan pendapat
adanya ketakterjemahan yang disebabkan oleh perbedaan budaya, sedangkan
seorang lagi (Narasumber 2) tidak memberikan pendapat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Dalam subtitle Bahasa Indonesia DVD film The Simpsons Movie
terdapat banyak contoh kata atau frasa yang membuktikan adanya kejadian di
atas.
a. beer
9/21/00:03:01-00:03:03/B2/beer-bir (naturalisasi)
Ketika konser Green Day sedang berlangsung, terlihat ada balon sponsor melayang di udara.
BSu : Duff BEER BINGE RESPONSIBLY
BSa : BIR Duff MINUM DENGAN BERTANGGUNG JAWAB
Dalam Kamus A (81) kata beer ejenis minuman
beralkohol yang terbuat dari biji- beer
adalah salah satu di antara berbagai jenis minuman beralkohol atau minuman
keras yang memabukkan. Minuman keras hampir dikenal di setiap negara dengan
nama dan ciri khasnya masing-masing, misalnya vodka (Rusia), sake (Jepang),
materi budaya setempat dan cenderung tidak memiliki sebutan yang sesuai dalam
bahasa lain.
Dalam Kamus B, tidak ditemukan istilah lokal untuk kata ini. Yang ada
Kamus B: 59). Begitu pula dalam Kamus C
(2
alkohol yang dibuat dengan peragian lambat dan dapat
Ketiga narasumber juga setuju bahwa kata beer ini tidak dapat diganti
dengan istilah lokal. Mereka menyatakan bahwa terjemahan untuk istilah tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan kata beer ini, pada contoh di
atas penerjemah menempuh teknik naturalisasi dengan mengambil kata asli dan
menyesuaikannya dengan ejaan BSa.
b. waffle
23/68/00:06:14-00:06:16/B2/waffle-kue wafel (amplifikasi)
Sepulang dari gereja, di dalam mobil, Homer menawari anggota keluarganya untuk membeli makanan
BSu : Okay! Who want waffles? BSa : Baik, siapa mau kue wafel?
Waffle adalah sejenis roti yang bentuknya lebar dan rata memiliki
lubang-lubang persegi empat dan biasa disantap untuk sarapan pagi (Kamus A:
1127). Dari kegunaannya untuk sarapan pagi ini, dapat kita simpulkan bahwa
waffle ini adalah makanan khas di negara-negara barat yang makanan pokoknya
roti. Makanan ini tidak dikenal atau tidak popular di negara-negara yang makanan
pokoknya selain roti, termasuk di Indonesia. Dalam Kamus B (634), waffle ini
naturalisasi dari istilah aslinya, sedangkan yang pertama, meski istilahnya asli
Bahasa Indonesia, tetapi tidak begitu popular penggunaannya. Bahkan dalam
Kamus C (1323)
direnggangkan (dibuka) dan dijepitkan (seperti
g
pembuatannya dilakukan dengan cara dipanggang dalam oven, di mana cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
memasukkan dan mengeluarkannya menggunakan sepit atau jepitan. Tetapi sekali
lagi istilah kue sepit tidak baku dan kurang berterima.
Ketidakpopularan kue ini juga dikuatkan oleh narasumber. Dari ketiga
narasumber tidak ada satupun yang tahu arti kata waffle. Narasumber 2 dan 3
tidak memberikan jawaban, sedangkan Narasumber 1 mengartikannya secara
Dari bukti-bukti di atas dapat kita tarik kesimpulan tidak ada padanan
dalam Bahasa Indonesia untuk kata waffle karena referen merupakan materi
budaya, atau lebih spesifiknya, makanan khas di lingkungan penutur BSu yang
tidak dikenal oleh penutur BSa sehingga menimbulkan peristiwa ketakterjemahan
budaya.
Istilah yang umum digunakan untuk menyebut referen tersebut dalam
memilih bentuk kedua yang merupakan kombinasi antara teknik naturalisasi dan
amplifikasi. Di sini selain menyesuaikan ejaan istilah sumber dengan ejaan BSa,
yang dimaksud.
Istilah waffle ini juga muncul pada data bernomor 26.
c. donut
78/311/00:22:34-00:22:38/B2/donut-donat (naturalisasi)
Dalam perjalanan pada waktu akan membuang kotoran babinya, Homer diberitahu seseorang kalau ada toko donat yang baru saja ditutup oleh petugas kesehatan.
BSu : The health inspector just shut down the donut store and they're
giving out free donuts! BSa : Petugas kesehatan menutup toko donat, mereka berikan donat
cuma- cuma!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
Pasangan kalimat BSu dan BSa di atas mengandung ketakterjemahan pada
kata donut. Donut atau doughnut adalah kue bulat kecil yang biasanya berbentuk
seperti cincin (Kamus A: 302). Kue ini adalah makanan khas Amerika yang pada
mulanya tidak dikenal di lingkungan penutur Bahasa Indonesia sehingga tidak ada
istilah lokal untuk menyebutnya. Dengan kata lain, terjadi ketekterjemahan karena
referen merupakan suatu bentuk materi budaya penutur BSu.
Untuk menyebut kata donut ini dalam Bahasa Indonesia kemudian
digunakan teknik naturalisasi dengan menyesuaikan ejaan dengan lafalnya
. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada Kamus B (195) di
mana kata doughnut Kamus
C ( ini yang diartikan sebagai
Ketiga narasumber juga sepakat bahwa kata donut tak terjemahkan dalam
Bahasa Indonesia sehingga harus dilakukan naturalisasi dari kata aslinya menjadi
Ketakterjemahan kata donut ini juga ditunjukkan oleh data bernomor 79.
Sementara data lain yang merepresentasikan ketakterjemahan budaya materi
penutur BSu ini dapat dilihat pada data dengan nomor 14, 24, 37, 60,61, 92, 110,
149, 194 , dan 195.
3. Istilah BSu terkait dengan budaya sosial penutur BSu
Selain dari budaya materi, menurut Newmark (1995: 98-102), istilah-
istilah yang merujuk pada budaya sosial suatu masyarakat juga seringkali tak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
terjemahkan. Bidang-bidang yang termasuk ke dalam kelompok ini meliputi
pekerjaan, hiburan, organisasi, politik, administrasi, agama, seni dan lain-lain.
Pada subtitle film The Simpsons Movie terdapat sejumlah
ketakterjemahan istilah yang berkaitan dengan budaya/organisasi sosial
masyarakat semacam ini.
a. rock band
33/00:04:06-00:04:09/B2/rock band-band musik rock (peminjaman)
Pada kebaktian di gereja Springfield, pendeta memimpin para hadirin untuk memanjatkan doa bagi band musik rock Green Day yang baru saja tenggelam Danau Springfield.
BSu : For the latest rock band to die in our town. BSa : Bagi band musik rock terbaru yang mati di kota kami.
Rock adalah salah satu jenis musik populer masa kini dengan hentakan
yang kuat dan keras dan biasa dimainkan dengan gitar dan drum (Kamus A: 879).
Musik rock ini adalah salah satu bentuk budaya khas masyarakat penutur Bahasa
Inggris. Oleh karena itu tidak ada istilah lokal untuk menyebut jenis musik ini.
Dalam Kamus B (489), kata rock, dalam konteks musik, diartikan secara tidak
-ngik- amus C tidak terdapat
entri untuk kata ini.
Sementara kata band dalam konteks frasa di atas menurut Kamus A (71)
ada istilah Bahasa Indonesia untuk menggantikan kata ini. Dalam Kamus B (52)
kata band
pertama dan kedua merupakan hasil naturalisasi dari Bahasa Inggris, sementara
yang terakhir lebih merupakan deskripsi dari kata terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Dari pihak narasumber diperoleh jawaban yang berbeda-beda, tetapi tidak
satupun yang merupakan istilah lokal. Narasumber 1 menerjemahkan rock band
-masing
Dari uraian di atas terlihat adanya ketakterjemahan budaya pada frasa rock
band, karena masing-masing kata penyusunnya tidak memiliki padanan lokal.
Untuk mengatasi ketakterjemahan ini, pada contoh di atas, setidaknya penerjemah
menerapkan tiga teknik penerjemahan, yaitu (1) peminjaman (mengambil kata
sumber apa adanya), (1) transposisi (menukar posisi kata sesuai dengan kaidah
at kita lihat
pada contoh di atas.
b. amen
54/159/00:12:15-00:12:16/B3/amen-amin (naturalisasi)
Ned dan anak-anaknya mengakhiri doa sebelum makan.
BSu : Amen. BSa : Amin. Amen
ungkapan persetujua
(Kamus A: 31). Dalam kamus ini juga disebutkan bahwa kata ini bukan
merupakan kata asli Bahasa Inggris, tetapi merupakan pinjaman dari istilah
pada awalnya kata
amen merupakan suatu bentuk ketakterjemahan dari Bahasa Ibrani ke dalam
Bahasa Inggris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Di lingkungan penutur Bahasa Indonesia kata ini juga sering dipakai,
tetapi Kamus B:
26). Dalam Kamus C (53) dinyatakan bahwa makna dan fungsi ungkapan ini pun
juga sama dengan di atas,
kemiripan, tetapi versi Bahasa Indonesia ini tidak berasal dari Bahasa Inggris,
Islam.
Ketiga narasumber juga sepakat dalam hal ini, yaitu tidak ada istilah lokal
untuk menggantikan kata amen. Mereka memberikan pendapat yang sama bahwa
Jadi telah terjadi ketakterjemahan pada kata amen, di mana istilah ini tidak
dapat digantikan dengan istilah lokal. Hal ini disebabkan karena ungkapan amen
ini berkaitan erat dengan budaya sosial khususnya religi di mana istilah-istilah
yang dipakai cenderung menggunakan bahasa di mana agama tersebut berasal.
Meskipun ada istilah lokal yang maknanya mirip amen
isa dipakai untuk menggantikan dan apabila
dipaksakan aspek religi pada istilah BSu akan hilang pada teks BSa.
Pada contoh di atas penerjemah juga menempuh teknik naturalisasi untuk
menerjemahkan istilah amen.
c. federal
84/331/00:24:31-00:24:33/B3/federal-federal (peminjaman)
Petugas kepolisian memperingatkan Bart akan perbuatannya memukuli hewan aneh di dekat Danau Springfield.
BSu : Hey! Jab one more eye and it's a federal crime. BSa : Hei, memukul satu mata lagi maka merupakan kejahatan federal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Kata federal merupakan bentuk adjective atau kata sifat dari federation.
Kata federal merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan pusat
yang terdiri dari negara-negara bagian, sedangkan federation adalah sekumpulan
negara bagian, negara, atau organisasi yang secara bersama-sama bergabung
membentuk satu kelompok (Kamus A: 372).
Sesungguhnya federation merupakan suatu bentuk organisasi
(pemerintahan) modern yang diciptakan dan berkembang di negara-negara maju
(barat). Kamus C
perhimpunan yang bekerjasama seakan-akan satu badan, tetapi setiap
dikoordinasi oleh pemerintah pusat yang mengurus hal-hal mengenai kepentingan
nasion
bagian membentuk kesatuan dan setiap negara bagian memiliki kebebasan dalam
mengurus persoalan di dalam n
Karena merupakan suatu bentuk organisasi atau administrasi pemerintahan
dalam budaya barat, pada mulanya sistem ini tidak dikenal oleh masyarakat
penutur Bahasa Indonesia. Sebenarnya di lingkungan mereka juga terdapat
berbagai bentuk perkumpulan atau organisasi, tetapi sifatnya berbeda. Situasi ini
menyebabkan tidak adanya satu kata atau istilah lokal untuk menyebut federation
atau federal, sehingga menyebabkan terjadinya ketakterjemahan karena faktor
budaya pada kata ini.
Dua di antara tiga orang narasumber (Narasumber 1 dan 2) juga sepakat
bahwa istilah federal tidak memiliki padanan istilah dalam Bahasa Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
sehingga untuk menerjemahkan kata ini kita harus mengambil istilah aslinya.
Sementara Narasumber 3 tidak memberikan jawaban.
Untuk mengatasi ketakterjemahan ini, dilakukan naturalisasi pada kata
federation dan teknik peminjaman untuk kata federal, sebagaimana terdapat
dalam Kamus B (236) di mana federation
istilah federal tetap atau tidak berubah. Khusus untuk kata federasi sendiri pada
lebih merupakan deskripsi daripada padanan lokal untuk istilah terkait.
Pada contoh di atas, penerjemah juga menerapkan teknik peminjaman
untuk menerjemahkan kata federal.
d. president
86/333/00:24:45-00:24:48/B3/president-presiden (naturalisasi)
Russ datang untuk menemui Presiden Arnold.
BSu : Russ Cargill, head of the EPA, here to see the president. BSa : Russ Cargill, kepala EPA datang untuk bertemu Presiden. Dalam Longman Dictionary of American English (2009: 792) istilah
president
yan president bisa dianggap
sebagai salah satu sebutan untuk kepala negara, sejajar dengan king (raja) dan
queen (ratu).
Dalam kosa kata Bahasa Indonesia istilah president ini tidak dikenal
karena sistem pemerintahan republik merupakan suatu bentuk organisasi dalam
budaya barat. Dengan kata lain, kata president ini dapat diklasifikasikan ke dalam
ketakterjemahan sosial budaya, khususnya berkaitan dengan administrasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
pemerintahan masyarakat penutur BSu. Untuk mengatasi masalah ini, dilakukan
naturalisasi istilah. Dalam Kamus B (445) juga dinyatakan bahwa terjemahan
untuk president rganisasi bisa berarti
.
Ketakterjemahan kata president ini juga dibenarkan oleh ketiga
narasumber, di mana tidak ada satupun narasumber yang memberikan alternatif
Teknik naturalisasi
ini pula yang diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan kata president
pada contoh di atas.
Ketakterjemahan istilah president ini juga ditunjukkan data dengan nomor
87 dan 162.
e. tic-tac-toe
166/871/01:05:3701:05:42/B2/tic-tac-toe-tik-tak-to (naturalisasi)
Upaya Russ menurunkan bom dari helikopter ke dalam kubah gagal karena Homer tiba-tiba menyerobot turun melalui tali sehingga bom terlepas. Russ menjadi jengkel dan merasa dikerjai oleh seorang idiot. Cletus yang sedang berusaha keluar dari kubah kemudian menanggapinya.
BSu : Hey, I know how you feel. I was beat in tic-tac-toe by a chicken. BSa : Aku tahu perasaanmu, aku pernah kalah bermain tik-tak-to
dengan cewek.
Pada kalimat di atas terjadi ketakterjemahan pada kata tic-tac-toe. Tic-
tac-toe adalah suatu jenis permainan anak-anak di mana dua pemain menuliskan
tanda X atau O pada sebuah pola yang terdiri dari sembilan bujur sangkar dan
dengan tujuan membuat tiga tanda yang sama secara berurutan (Kamus A: 1060).
Permainan ini adalah permainan khas masyarakat penutur Bahasa Inggris dan
tidak begitu dikenal oleh masyarakat penutur Bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
tidak ada istilah lokal untuk menyebutnya. Dalam Kamus B (591), istilah tic-tac-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
toe -tebakan dengan an
Sementara dalam Kamus C tidak terdapat lema untuk kata ini.
Ketiga narasumber tampaknya juga tidak begitu mengenal permainan
tic-tac-toe ini, sehingga mereka tidak memberikan pendapat mengenai nama
permainan ini dalam Bahasa Indonesia.
Kesimpulannya, telah terjadi ketakterjemahan yang disebabkan oleh
faktor sosial budaya, khususnya berkaitan dengan leisure (aktivitas di waktu
senggang/permainan) pada kata tic-tac-toe ini, sehingga diperlukan strategi
khusus untuk menerjemahkannya. Pada contoh di atas, penerjemah menerapkan
teknik naturalisasi, yaitu menyesuaikan ejaan BSu untuk dipakai pada teks
sasaran. Ia mengambil kata asli tic-tac-toe dan menyesuaikan ejaannya menjadi
-tak- pada BSa.
Ketakterjemahan yang berkaitan dengan budaya sosial penutur BSu ini
juga dapat dilihat pada data dengan nomor 40, 41, 42, 43, 45, 54, 75, 84, 119, 129,
127, 128, 135,161,168, 190, 202 dan 204.
4. Ungkapan BSu merupakan budaya tutur penutur BSu
Unsur budaya lain yang berpotensi menyebabkan terjadinya
ketakterjemahan, menurut Newmark (1995: 102), adalah gestur (bahasa tubuh)
dan adat kebiasaan. Beberapa kebiasaan dalam bertutur atau berbicara masyarakat
penutur bahasa tertentu cenderung tak terjemahkan karena sifatnya yang khas dan
unik serta dipengaruhi oleh pandangan atau budaya masyarakat bersangkutan. Hal
ini terjadi misalnya pada kebiasaan menyapa, mengumpat dan membuat
perumpamaan (idiom). Berbagai bentuk sapaan, seruan, dan idiom dalam Bahasa
Inggris tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
karena adanya perbedaan pandangan atau budaya di antara penutur kedua bahasa
tersebut.
Pada dialog film The Simpsons Movie juga terdapat sejumlah sapaan,
seruan dan maupun idiom khas penutur Bahasa Inggris yang dilontarkan oleh
karakter-karakter dalam film tersebut. Beberapa di antaranya yang berupa sapaan
seperti terlihat di bawah ini.
a. hello
32/106/00:08:31-00:08:34/B4/hello-halo (naturalisasi)
Dalam upayanya menyelamatkan Danau Springfield dari pencemaran, Lisa mendatangi tiap-tiap rumah penduduk untuk memberikan saran-saran.
BSu : Hello BSa : Halo,
Meski sudah umum digunakan di lingkungan penutur Bahasa Indonesia,
( merupakan sapaan atau ucapan salam khas
dalam budaya penutur Bahasa Inggris. Menurut Kamus A (479), kata hello adalah
seruan yang diucapkan pada saat bertemu dengan seseorang atau menyapa
seseorang. Sementara hi adalah bentuk informal dari hello (483). Sapaan hi ini
kadangkala juga dieja dengan hey. Sementara itu, dalam Kamus B (296-297), kata
hello sebagai kata be
Arab) dan juga sebagai suatu bentuk kata seru bersama-sama dengan kata hi.
Sebenarnya dalam budaya asli masyarakat Indonesia tidak ada sapaan
ketakterjemahan budaya
pada kedua kata ini. Ketiga Narasumber juga berpendapat sama. Mereka tidak
menemukan terjemahan untuk hallo dan hi kecuali dengan mengambil istilah
aslinya. Untuk menyapa orang pada waktu bertemu, orang Indonesia cenderung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
menggunaka Sapaan
Indonesia hanya dipakai pada situasi informal.
Untuk menerjemahkan sapaan hello ini, penerjemah menerapkan teknik
naturalisasi dengan mengambil dan mengubah ejaan BSu agar sesuai dengan ejaan
BSa.
Data lain yang menunjukkan ketakterjemahan sapaan hello ini ada pada
nomor 136 dan 189.
b. honey
55/164/00:12:41-00:12:44/B4/honey-sayang (adaptasi)
Ketika Nelson sedang menertawai Bart yang dihukum dalam keadaan telanjang, Mrs Muntz (ibu Nelson) menemuinya.
BSu : Nelson, honey, where have you been? BSa : Nelson sayang, di mana kau?
Setiap bahasa pada umumnya memiliki sapaan yang menunjukkan
ungkapan kasih sayang. Sapaan ini kadangkala berupa metafora atau kiasan,
sebagaimana ungkapan honey di atas. Makna dasar kata ini sebenarnya adalah
kata ini dalam kemudian dipakai untuk menyapa orang yang dicintai (Kamus A:
494). Dalam Bahasa Indonesia kata honey Kamus
B:
lingkungan penutur Bahasa Indonesia. Bahkan kata ini bisa memiliki arti yang
berlawanan, yaitu
C:
892).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
Dari uraian di atas ternyata untuk makna kiasan atau makna konotatif,
kata honey dan inan dan tidak bisa saling
menggantikan. Hal ini disebabkan karena perbedaan budaya di antara penutur
kedua bahasa dalam membuat perumpamaan. Jadi ungkapan honey sebagai sapaan
mengalami ketakterjemahan karena faktor budaya, di mana kata ini tidak dapat
diganti secara langsung dengan padanannya (madu).
Pendapat narasumber juga menguatkan pernyataan di atas, di mana
ketiganya menyatakan bahwa kata yang tepat untuk menggantikan sapaan honey
-sama sebagai sapaan untuk orang
sebagaimana terdapat pada kata honey.
Dalam hal ini penerjemah sepaham dengan narasumber, dengan
menerapakan teknik adaptasi dalam menerjemahkan kata honey yaitu
menggantinya dengan istilah BSa yang miliki fungsi yang sama, meski makna
asalnya berbeda sebagaimana terlihat pada contoh di atas.
Data lain yang merepresentasikan ketakterjemahan budaya pada sapaan
honey ini ada pada nomor 66, 69, 104, dan 115.
c. officers
57/165/00:12:48-00:12:51/B4/officers-bapak-bapak (adaptasi)
Pada saat Bart mendapat hukuman dari polisi karena telanjang di tempat umum. Homer datang untuk menanyakan pokok permasalahannya.
BSu : -Dad! -What seems to be the problem, officers?
BSa : -Yah! -Ada masalah apa Bapak-bapak?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
Ungkapan di atas memperlihatkan adanya ketakterjemahan pada kata
officers. Menurut Kamus B (403), secara umum officer
police officer). Kata ini
juga berfungsi sebagai sapaan. Dalam budaya masyarakat Indonesia, menyapa
dengan menggunakan jenis profesi tidak umum. Hanya profesi-profesi tertentu
yang bisa digunakan untuk menyapa misalnya dokter dan profesor. Untuk profesi-
profesi lain apabila dipakai untuk menyapa har
dipakai untuk berbagai situasi. Oleh karena itu apabila kata officers di atas
hasilnya
tidak akan berterima.
Masih dalam Kamus B (403), selain beberapa istilah yang telah
disebutkan di atas, juga terdapat alternatif makna untuk kata officer
. Pernyataan ini didukung oleh pendapat
narasumber di mana Narasumber 1 dan 2 juga beranggapan bahwa ungkapan
officer. Sementara Narasumber 3 tidak
memberikan pendapat dalam hal ini.
Teknik adaptasi demikian ini pula yang diterapkan oleh penerjemah di
atas untuk mengatasi ketaktejemahan karaena perbedaan budaya antara penutur
BSu dan BSa. Penerjemah menggunakan ungkapan - untuk
menggantikan kata officers. Meskipun maknanya berbeda, kedua kata ini memiliki
kesamaan secara fungsional sebagai ungkapan untuk menyapa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Kemudian beberapa bentuk ketakterjemahan yang disebabkan karena
ungkapan BSu berupa seruan, termasuk umpatan dan makian, dapat dilihat pada
contoh di bawah ini.
d. giant sucker
4/12/00:02:08-00:02:11/B4/giant sucker-sungguh payah (adaptasi)
Ketika sedang menonton film di dalam gedung bioskop, Homer merasa tidak puas dengan film yang diputar. Ia kemudian berdiri dan berkata kepada penonton di sekelilingnnya.
BSu : If you ask me everyone in this theatre is a giant sucker. BSa : Jika kau tanya aku, semua orang di teater ini sungguh payah.
Pada ungkapan di atas terdapat ketidaksepadanan yang sangat mencolok
antara frasa giant sucker Giant sucker
adalah suatu bentuk makian khas Amerika yang apabila diterjemahkan secara
kata-per-kata, tidak akan berterima pada BSa.
Dalam kamus tidak terdapat lema untuk frasa giant sucker. Tetapi
khusus untuk kata sucker terdapat makna informal atau slang yang berarti
Kamus A: 1018)
Kamus E: 410). Dalam Kamus B (567) kata sucker juga dinyatakan
giant
sucker di atas, yaitu Homer mengata-ngatai bahwa para penonton sudah ditipu
oleh pembuat film dan mereka hanyalah orang-orang yang kecanduan menonton
film.
Karena ungkapan giant sucker bentuknya tidak baku dan maknanya
konotatif, maka tidak bisa diterjemahkan secara harfiah ke dalam Bahasa
Indonesia karena memang maknanya berbeda dengan kata-kata penyusunnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Kejadian semacam ini adalah salah satu bentuk ketakterjemahan budaya, di mana
jenis makian di satu negara (Amerika) berbeda dengan umpatan di negara lain
(Indonesia), sehingga penerjemahannya tidak bisa dilakukan dengan mengacu
pada makna kata-kata penyusunnya.
Ketiga narasumber penelitian juga tidak ada yang mengenal ungkapan
ini, sehingga mereka tidak memberikan pendapat mengenai terjemahan ungkapan
ini dalam Bahasa Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan ini, penerjemah
menggunakan teknik adaptasi dengan mengganti ungkapan BSu dengan ungkapan
BSa yang secara kultural memiliki fungsi sama sebagai suatu bentuk makian,
meskipun makna katanya berbeda sama sekali.
e. whoa nelly
22/57/00:05:30-00:05:31/B4/whoa nelly-minta ampun (adaptasi)
Ketika mengikuti kebaktian di gereja tiba-tiba Kakek kesurupan dan berteriak-teriak tak karuan.
BSu : Whoa, nelly! BSa : Minta ampun!
Ungkapan Whoa nelly! adalah suatu bentuk seruan personal orang
Amerika. Kata-kata penyusun ungkapan ini tidak dapat kita temukan di dalam
kamus standar, sehingga ungkapan ini tidak memiliki makna tertentu kecuali
berfungsi sebagai seruan. Ketidakjelasan makna kata ungkapan ini menyebabkan
tidak adanya padanan yang spesifik dalam Bahasa Indonesia dan menimbulkan
ketakterjemahan yang terkait dengan aspek budaya.
Dari ketiga narasumber juga tidak ada satupun yang mengetahui
terjemahan dari seruan Whoa nelly! Ini, sehingga ketiganya mengosongkan
jawaban untuk terjemahan ungkapan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Untuk mengatasi masalah ketakterjemahan ini, pada contoh di atas
penerjemah menerapkan teknik adaptasi, yaitu mengganti ungkapan BSu Whoa
nelly! ungsi sama
meski makna kata-kata penyusunnyanya berlainan.
f. bingo
113/523/00:39:43-00:39:45/B4/bingo-bingo (peminjaman)
Setelah berpikir agak lama, Homer menemukan ide bagus tentang ke mana mereka harus pergi untuk menghindari kemarahan penduduk Springfield.
BSu : Bingo. BSa : Bingo.
Dalam Kamus A (91) kata bingo hanya diartikan sebagai suatu
permainan untuk mendapatkan uang atau hadiah di mana pemenangnya adalah
yang serangkaian angka tebakannya sama dengan satu baris angka pada kartunya.
Begitu pula dalam Kamus B (65)
atau menang biasanya langsung berteriak Bingo!.
Dalam budaya penutur Bahasa Inggris, seruan Bingo! ini kemudian
berkembang menjadi ungkapan untuk mengekspresikan keberhasilan dalam
melakukan sesuatu dan tidak hanya terbatas pada permainan bingo saja. Dalam
Kamus E (32), seruan Bingo! Dianggap sepadan dengan ungkapan Yes! dan
dan seruan tersebut dinyatakan berasal dari permainan bingo.
Karena perbedaan budaya penutur, di mana permainan bingo kurang
dikenal oleh masyarakat Indonesia, seruan semacam ini tidak dapat kita temukan
padanan istilahnya dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu terjadi
ketakterjemahan budaya dalam hal ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
Pendapat narasumber dalam hal ini berbeda-beda. Narasumber 1
berpendapat bahwa kata bingo
Narasumber 2 beranggapan untuk menerjemahkan kata tersebut adalah dengan
mengambil kata aslinya. Sementara Narasumber 3 tidak memberikan jawaban.
, makna kedua kata terakhir ini sifatnya lebih umum karena
tidak secara spesifik merujuk pada permainan tertentu. Oleh karena itu, pada
satuan terjemahan di atas, penerjemah menerapkan teknik peminjaman dengan
mengambil kata asli apa adanya untuk dipakai pada teks terjemahan guna
mempertahankan keseluruhan makna kata BSu.
Sementara itu, ketakterjemahan yang berkaitan dengan kebiasaan
membuat perumpamaan atau idiom misalnya terdapat pada ungkapan-ungkapan di
bawah ini.
g. piece of cake
30/98/00:07:57-00:07:59/B4/piece of cake-sepotong kue (calque)
Bart meladeni tantangan Bapaknya untuk melakukan suatu pekerjaan yang sulit. Dengan mudah ia memanjat antena.
BSu : -Piece of cake. -Earthquake! Earthquake! BSa : -Sepotong kue. -Gempa bumi!
Dalam Kamus D ( , 2000: 313) piece
of cake adalah suatu bentuk idiom slang dalam budaya penutur Bahasa Inggris
yan . Berdasarkan maknanya, ungkapan ini dapat
Tetapi jika demikian, unsur idiomatis dari ungkapan tersebut hilang atau tak
terjemahkan. Agar hasil terjemahan sempurna, seharusnya ungkapan BSa juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
dalam bentuk idiom. Tetapi permasalahannya tidak ada idiom serupa dalam
budaya masyarakat penutur Bahasa Indonesia, sehingga ungkapan tersebut hanya
bisa diterjemahkan menurut maknanya saja, sedangkan secara idiomatis terjadi
ketakterjemahan.
Pendapat narasumber mengenai hal ini juga berbeda-beda, namun tidak
ada satupun yang menyatakan adanya idiom serupa dalam Bahasa Indonesia.
Narasumber 3 menerjemahkan piece of cake
Narasumber 1 mengartik
sedangkan Narasumber 2 tidak memberikan jawaban.
Sebagaimana terjadi pada Narasumber 1, pada contoh di atas, idiom
piece of cake telah mengakibatkan terjadinya kesalahan penerjemahan, di mana
penerjemah mengartikannya Ini karena penerjemah
menggunakan teknik calque, yaitu menerjemahkan suatu ungkapan berdasarkan
makna tiap-tiap kata, yang sebenarnya tidak cocok untuk diterapkan dalam
penerjemahan idiom.
h. off the hook
62/209/00:15:34-00:15:36/B4/off the hook-lepas dari persoalan (deskripsi)
Ketika memperkenalkan babi yang baru saja dibawanya pulang sebagai anggota baru Keluarga Simpson, Homer melihat Marge tersenyum sehingga ia merasa tidak ada masalah dengan keberadaan babi tersebut di rumah.
BSu : You smiled, I'm off the hook! BSa : Tersenyum dan aku lepas dari persoalan.
Frasa off the hook
Kamus D: 289). Dalam Bahasa
Indonesia tidak ada idiom semacam ini. Dalam Kamus B (303) idiom ini hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
makna ungkapan off the hook ini dapat diterjemahkan, unsur idiomatis yang
melekat di dalamnya tidak dapat diterjemahkan. Ketakterjemahan ini berkaitan
erat dengan faktor budaya, di mana dalam budaya tutur Bahasa Indonesia tidak
ada perumpamaan dengan makna serupa.
Ketiga narasumber juga tidak ada yang menyatakan adanya idiom yang
searti dengan off the hook. Pendapat mereka mengenai terjemahan dari idiom ini
berbeda sama sekali dengan maknanya. Narasumber 1 mengartikannya sebagai
sekali.
Penerjemah sendiri pada contoh di atas menerapkan teknik deskripsi
dengan menjelaskan makna off the hook dan mengabaikan unsur idiomatis
ungkapan ini. Ini dilakukan, sekali lagi, karena tidak adanya idiom yang serupa
dalam budaya penutur BSa.
i. hustle your bustle
105/453/00:33:09-00:33:11/B4/hustle your bustle-bergegaslah (deskripsi)
Ketika sedang berusaha keluar dari rumah untuk menghindari kejaran massa yang sedang marah, tiba-tiba Ned muncul dan memberikan pertolongan.
BSu : Point taken. Now, hustle your bustles. BSa : Paham. Sekarang bergegaslah.
Pada penerjemahan di atas terdapat ketidaksepadanan antara hustle and
bustle idiom diterjemahkan
menurut maknanya. Hustle and bustle adalah satu ungkapan yang bermakna
504). Frasa ini juga merupakan suatu idiom yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
dalam Kamus D (215) diartikan sebagai 'ramai, ruwet, buru-buru, dan
semacam ini, sehingga tidak mungkin untuk menerjemahkan ungkapan di atas
secara idiomatis.
Dari pihak narasumber, hanya Narasumber 3 yang mengenal idiom
hustle your bustle ini. Tetapi di sini idiom tersebut juga hanya diartikan menurut
dua narasumber lain tidak
memberikan jawaban sama sekali.
Dari bukti-bukti di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa secara parsial
telah terjadi ketakterjemahan budaya pada frasa hustle your bustles karena tidak
adanya idiom sejenis, dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk satuan
terjemahan di atas, mau tidak mau penerjemah harus menerapkan teknik deskripsi,
yaitu menerjemahkan kata sumber menurut maknanya saja dengan mengabaikan
unsur idiomatis yang dikandungnya.
Data lain yang termasuk ke dalam ketakterjemahan budaya karena
istilah/ungkapan BSu merupakan budaya tutur khas penutur BSu adalah data
dengan nomor 12, 27, 50, 51, 52, 67, 68, 73, 74, 80, 91, 102, 114, 122,140, 148,
157, 158, 164,180, dan 193.
Demikianlah beberapa contoh analisis ketakterjemahan yang terdapat
pada subtitle DVD film The Simpsons Movie. Data selengkapanya mengenai
ketakterjemahan ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis data penelitian sebagaimana diuraikan pada Bab IV,
dapat kita tarik kesimpulan bahwa pada subtitle DVD film The Simpsons Movie
terdapat bentuk-bentuk ketakterjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia
yang disebabkan karena faktor linguistik (baik leksikal maupun struktural) dan
budaya sebagaimana dinyatakan Catford.
Selain itu, dari hasil analisis juga ditemukan berbagai faktor penyebab
terjadinya tiap-tiap jenis ketakterjemahan tersebut. Penyebab ketakterjemahan
lingustik dalam tataran leksikal dapat diperinci sebagai berikut:
1. Adanya kesenjangan kosa kata antara BSu dengan BSa
2. Istilah BSu merupakan istilah ilmiah/teknis
3. Istilah BSu merupakan istilah tidak baku
4. Tidak ada unsur gender pada istilah BSa
5. Istilah BSu berbentuk akronim
6. Referen merupakan hal/temuan baru
Kemudian pada tataran struktural, ketakterjemahan linguistik yang
terjadi dapat dibedakan berdasarkan dua sebab, yaitu:
1. Tidak adanya unsur kala pada struktur kalimat BSa
2. Istilah/ungkapan BSu sudah dimodifikasi
Sementara itu, untuk kejadian ketakterjemahan yang berkaitan dengan
faktor budaya, setidaknya terdapat empat hal yang menjadi penyebabnya, yaitu
karena:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
5. Istilah BSu merupakan istilah ekologi di lingkungan penutur BSu
6. Referen merupakan budaya materi penutur BSu
7. Istilah BSu terkait budaya sosial penutur BSu
8. Istilah/ungkapan BSu merupakan budaya tutur penutur BSu
Dari sudut pandang yang berbeda, ketakterjemahan-ketakterjemahaan
tersebut juga dapat dibedakan menjadi ketakterjemahan menyeluruh (total) dan
ketakterjemahan sebagian (parsial). Ketakterjemahan dikatakan menyeluruh yaitu
apabila seluruh makna kata BSu tidak dapat diakomodasi ke dalam istilah lokal,
sedangkan ketekterjemahan sebagian terjadi jika hanya sebagian dari unsur makna
BSu yang tidak bisa diterjemahkan. Temuan-temuan di atas pada umumnya
merupakan ketakterjemahan menyeluruh, kecuali pada istilah/ungkapan yang
mengandung unsur tidak baku, gender, kala, dan idiom.yang dapat dikategorikan
ke dalam ketekterjemahan sebagian. Pada istilah/ungkapan jenis ini hanya
pesannya saja yang dapat diterjemahkan, sedangkan unsur-unsur lain yang
menyertainya tidak dapat diakomodasi ke dalam bahasa sasaran.
Khusus dari sudut pandang budaya, tema budaya tampak dari kasus
ketakterjemahan pada subtitle The Simpsons Movie ini ialah bahwa perbedaan
budaya antara penutur Bahasa Inggris sebagai BSu, dan penutur Bahasa Indonesia
sebagai BSa, berpotensi menyebabkan terjadinya ketakterjemahan pada istilah-
istilah atau ungkapan-ungkapan tertentu, sehingga diperlukan teknik-teknik
khusus untuk menerjemahkannya.
Untuk mengatasi masalah-masalah ketakterjemahan tersebut,
penerjemah (subtitler) telah menerapkan berbagai teknik penerjemahan
sebagaimana diklasifikasikan oleh Molina dan Albir, dari teknik peminjaman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
(borrowing), naturalisasi, generalisasi, transposisi, modulasi, amplifikasi,
deskripsi, calque, kompensasi, adaptasi, hingga reduksi.
5.2 Implikasi
Dengan adanya temuan-temuan di atas, maka ada beberapa hal baru
yang layak dipertimbangkan untuk ditambahkan dalam pembahasan mengenai
masalah ketakterjemahan dalam penerjemahan, khususnya berkaitan dengan
faktor-faktor penyebab terjadinya ketakterjemahan
Dalam buku-buku yang membahas ketakterjemahan atau
ketidaksepadanan sudah banyak diungkap mengenai berbagai hal yang
menyebabkan terjadinya ketakterjemahan seperti teori Newmark serta pendapat
Zuchridin dan Sugeng. Dalam penelitian ini telah ditemukan adanya faktor-faktor
lain penyebab ketakterjemahan yang belum disebutkan dalam teori-teori tersebut,
seperti pada situasi di mana istilah BSu berupa istilah tidak baku, istilah BSu
sudah dimodifikasi, referen merupakan hal/temuan baru, serta istilah/ungkapan
BSu merupakan budaya tutur penutur BSu.
Dengan adanya temuan tersebut, maka dipandang perlu untuk
memperbarui teori yang sudah ada dengan menambahkan keempat faktor
penyebab ketakterjemahan di atas yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.
5.3 Saran
Dari penelitian ini, ada beberapa hal yang menurut peneliti layak untuk
dijadikan bahan pertimbangan oleh pihak-pihak berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
1. Akademisi
Baik para pendidik maupun peserta didik diharapkan dapat memanfaatkan
hasil penelitian ini sebagai salah satu materi dalam proses belajar-
mengajar untuk memperkaya dan melengkapi materi yang sudah ada.,
khususnya pada pokok bahasan yang berkaitan dengan ketakterjemahan,
dalam penerjemahan.
2. Peneliti lain
Bagi pihak lain yang bermaksud melakukan penelitian dengan topik yang
sama dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai acuan sehingga
memperoleh gambaran yang lebih luas, lebih beragam dan lebih lengkap
mengenai fenomena ketakterjemahan dalam penerjemahan.
3. Praktisi penerjemahan
Dalam proses penerjemahan apabila memungkinkan hendaknya
penerjemah memprioritaskan penggunaan istilah lokal pada teks BSa
sehingga inti dari kegiatan menerjemahkan itu sendiri tidak hilang. Baru
kemudian apabila tidak ditemukan adanya istilah lokal, bisa diterapkan
teknik penerjemahan yang sesuai.
4. Masyarakat umum
Masyarakat umum, terutama yang memiliki minat di bidang
penerjemahan, juga dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai sarana
untuk lebih mengenal dan memahami konsep ketakterjemahan dalam
penerjemahan berikut contoh-contoh kejadiannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Demikian kesimpulan, implikasi, dan saran sebagai penutup dari laporan
penelitian ini. Mudah-mudahan hasil penelitian ini membawa manfaat baik bagi
ilmu pengetahuan maupun bagi masyarakat luas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user