kajian kebijakan manajemen
DESCRIPTION
kajian kebijakan menajemen ttg rumah sakitTRANSCRIPT
KAJIAN KEBIJAKAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT UMUM DAERH PESAWARAN
Edi Purwadi., SKMKoordinator Rekam Medis dan Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit
RSUD Pesawaran Kabupaten Pesawaran
Ringkasan Eksekutif
Kebijakan perijinan sarana kesehatan dalam kerangka desentralisasi menimbulkan berbagai masalah, antara lain adanya tumpang tindih kewenangan perijinan dan ketidak sesuaian kebijakan yang ada. Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Status RS mengikuti aturan payung yang berlaku generik untuk semua organisasi Pemerintah dan umumnya aturan tersebut terkait dengan kebijakan finansial secara umum. Hal ini berdampak pada penyelenggaraan pelayanan, antara lain program prioritas pelayanan BPJS Kesehatan kurang optimal, mekanisme sistim rujukan kurang berjalan karena sarana dan prasarana yang kurang terpenuhi. Akses terhadap pelayanan kesehatan bermutu di Rumah Sakit tidak bisa dipenuhi karena: a) Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa mempertimbangkan standar kelengkapan peralatan dan sumber daya manusia yang dimiliki; dan b) Pelayanan kesehatan di rumah sakit diselenggarakan dengan tingkat efisiensi rendah sehubungan dengan lemahnya manajemen RS dan perubahan kebijakan yang tidak konsisten.
Kebijakan yang diatur dalam Kepmenkes 1333/1999 tentang standar pelayanan rumah sakit, Permenkes 920/1986 tentang upaya pelayanan kesehatan swasta di bidang medik dan Kepmenkes 1189A/1999 tentang wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan belum disesuaikan dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta PP-nya. Kebijakan dan instrumen kebijakan yang mengatur pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan kesehatan RS belum ada. Untuk status/kelembagaan RS berbentuk UPT Dinas Kesehatan yang berbentuk Non-Swadana dan Swadana, tidak sejalan dengan semangat Keppres 40/2001 tentang pedoman kelembagaan dan
pengelolaan rumah sakit daerah, PP 8/2003 tentang pedoman organisasi perangkat daerah dan UU 32/2004 pasal 125. Penetapan status RS Pemerintah yang berlaku saat ini tidak tegas, untuk penetapan status RS daerah masih tumpang tindih, sedangkan RS Swasta tidak ada kejelasan pengaturannya, dan tidak diperhatikan
hirarki tingkat kebijakan antara UU, PP, Keppres, dll. Perubahan status rumah sakit yang selama ini dilakukan tidak didukung dengan instrumen yang mengatur aspek pelayanan rumah sakit, ketenagaan, pembiayaan, sarana dan prasarana. Penyelenggaraan Askeskin tidak berjalan efisien. Ada ketidakjelasan status penjaminan, apakah bersifat social security, health insurance atau protecting the poor, sehingga muncul ketidakpastian atau ketidakjelasan penyelenggaraan Askeskin di Rumah Sakit. Tidak ada instrumen teknis yang mengatur mengenai prosedur rujukan pasien. Kebijakan sistim rujukan hanya mengatur pelayanan kesehatan pemerintah.
Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan makro tentang pelayanan publik yang mengatur perijinan dan kelembagaan, perlu penetapan yang tegas terhadap prinsip penyelenggaraan Askeskin agar penyelenggaraannya bisa dilaksanakan secara konsisten. Perubahan status/kelembagaan sebagai RS PPK-BLU, diperlukan dukungan kemampuan manajemen yang komprehensif, instrumen kebijakan yang diperlukan antara lain:standar fisik, standar alat, standar SDM dan standar pelayanan medis yang seimbang, terintegrasi, dan dapat merespon masalah setempat, instrumen policy monitoring evaluasi dalam penetapan perijinan RS, perlunya PP baru tentang BLU pelayanan publik yang bersifat sosial merujuk UU no. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara atau amandemen PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, serta instrumen safeguarding yang dapat menjamin pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin pemerataan pelayanan (portabilitas).
A. PENDAHULUAN
Rumah Sakit sebagai lembaga pelayanan publik, sampai dengan saat
ini telah mengalami berbagai perubahan status kelembagaan. Evolusi
perubahan yang ada mulai dari penetapan rumah sakit sebagai bentuk UPT
(non swadana), UPT (swadana), Pengguna PNBP, Perjan dan kecenderungan
ke depan perubahan RS menjadi bentuk PPK BLU yamg lebih banyak
menekankan pada perubahan sistem manajemen berkaitan dengan
economic entity. Padahal di sisi lain, RS sebagai lembaga pelayanan publik
juga perlu memberikan perhatian pada sistem manajemen yang berkaitan
dengan mutu pelayanan dan social entity.
Perubahan kebijakan rumah sakit yang dilakukan berkali-kali dan
cenderung parsial pada aspek manajemen pembiayaan yang
berkaitan dengan economic entity saja berdampak pada kurang
baiknya mutu pelayanan rumah sakit karena tidak diperhatikannya
aspek manajemen pelayanan, pemenuhan sumberdaya, termasuk
sumber daya manusia di rumah sakit.
Menaruh harap yang cukup besar terhadap perubahan dan
peningkatan mutu dalam manajemen rumah sakit secara
keseluruhan, Rekam Medis dan SIK RS RSUD Pesawaran melakukan
kajian kebijakan yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit,
meliputi:
1) Kajian Kebijakan Penentuan Status Rumah Sakit;
2) Kajian Kebijakan Perijinan dan Sarana Kesehatan;
3) Kajian Kebijakan Kesiapan Rumah Sakit dalam Pelayanan
Masyarakat Miskin; dan
4) Kajian Kebijakan Rujukan Kesehatan.
Hal ini sejalan dengan salah satu strategi utama Departemen
Kesehatan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Kajian kebijakan tersebut di atas dilakukan mengingat adanya
berbagai masalah kebijakan yang terkait dengan manajemen RSUD
Pesawaran antara lain: ketidaksesuaian kebijakan perijinan sarana
kesehatan, masih ditemuinya ketidaksesuaian penerapan kebijakan
dalam sistem rujukan, banyaknya permasalahan kebijakan terkait
dengan penyelenggaraan program pelayanan masyarakat miskin dan
berbagai dampak negatif yang muncul akibat perubahan status
kelembagaan rumah sakit. Hal ini semakin diperburuk dengan belum
optimalnya proses desentralisasi bidang kesehatan.
Kebijakan perijinan sarana kesehatan dalam kerangka
desentralisasi mengalami berbagai masalah, karena adanya tumpang
tindih kewenangan perijinan antar instansi pemerintah dan ketidak
sesuaian kebijakan yang ada. Berbagai persoalan ini berdampak pada
penyelenggaraan pelayanan antara lain pada program prioritas
pelayanan askeskin kurang optimal, termasuk mekanisme sistim
rujukan yang kurang berjalan karena sarana dan prasarana yang
kurang terpenuhi.
Untuk memudahkan dalam memahami kajian kebijakan terkait
manajemen RSUD Pesawaran, dapat dijelaskan beberapa pengertian
sebagai berikut :
(1) Instrumen kebijakan : adalah suatu pedoman/standar tentang
aspek legal yang menetapkan stakeholder yang terlibat, tanggung
jawabnya, kontribusinya dan akuntabilitasnya dalam bentuk
produk hukum, berupa standar, prosedur tetap pedoman tehnis
dan pedoman pelaksanaan.
(2) Isu kebijakan : permasalahan kebijakan yang diidentifikasi
sebagai masalah dalam mencapai tujuan kebijakan
(3) Policy gap/kesenjangan kebijakan : munculnya masalah
kebijakan, sebagai akibat tidak ada/tidak lengkapnya instrumen
kebijakan yang diperlukan dalam rangka implementasi kebijakan.
(4) Konflik kebijakan : munculnya masalah kebijakan sebagai akibat
tidak siskronnya kebijakan yang ada baik dalam lingkup internal
dan eksternal maupun di tingkat implementasi
(5) Alternatif kebijakan : pilihan-pilihan kebijakan untuk
dipertimbangkan sebagai rekomendasi kebijakan
(6) Hospital bylaw : ketentuan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit baik pelayanan klinis maupun
pelayanan manajerial yang ditetapkan oleh Rumah Sakit itu
sendiri (misalnya dalam bentuk keputusan Direktur Rumah Sakit)
B. TUJUAN
Tujuan kajian kebijakan ini adalah untuk memberikan masukan
kebijakan/rekomendasi yang menyangkut pelaksanaan kebijakan
terkait dengan manajemen RSUD Pesawaran. Diharapkan masukan
tersebut dapat menjadi sumbangsih dalam memperbaiki
implementasi kebijakan, khususnya dalam menjalankan strategi
pembangunan kesehatan dalam meningkatkan aksesibilitas dan mutu
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Kebijakan ini disusun untuk menyampaikan usulan beberapa opsi
kebijakan, penyempurnaan instrumen kebijakan serta kebutuhan studi
kebijakan dalam rangka penyelesaian masalah/isu kebijakan terkait dengan
manajemen rumah sakit.
C. ISU/MASALAH KEBIJAKAN
1.Isu Perijinan RS
Rumah sakit diijinkan menyelenggarakan pelayanan tanpa
mempertim-bangkan standar kelengkapan peralatan dan sumber
daya manusia yang dimiliki.
Peraturan Rumah Sakit yang ada saat ini, tidak jelas mengatur
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dalam pemberian ijin dan
penetapan status kelembagaan Rumah Sakit. Bahkan dalam
kelembagaan Rumah Sakit, dalam waktu yang bersamaan dapat
mempunyai beberapa status, misalnya sebuah RS dapat berstatus
UPT dan sekaligus Swadana, keduanya pun pada saat itu berstatus
penyelenggara PNBP
Kebijakan perijinan sarana kesehatan khususnya rumah sakit, yang
diatur melalui kepmenkes 1189 A/Menkes/SK/X/1999 tentang
wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan, dinyatakan bahwa
perijinan pendirian RS Umum diserahkan ke pemerintah daerah,
perijinan uji-coba/operasional sementara diserahkan ke Dinas
Kesehatan Provinsi dan perijinan operasional tetap/perpanjangan
ditetapkan oleh Depkes RI melalui Ditjen Yanmedik
Dalam kerangka desentralisasi, UU 32 pasal 22 f menyatakan
bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai
kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
Permenkes RI no 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang upaya
pelayanan kesehatan swasta di bidang medik, Bab V, pasal 20 dan
21 dinyatakan bahwa untuk mendirikan dan menyelenggarakan
pelayanan medik dasar atau medik spesialistik harus memperoleh
ijin operasional dari Menkes RI yang didelegasikan pada Dirjen
Yanmedik.
Aturan-aturan tersebut di atas, tidak secara jelas mengatur
perlunya daerah mengacu standar teknis pemenuhan syarat
minimal kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai
kewajiban pemerintah daerah dikaitkan dengan penyelenggaraan
otonomi. Di samping itu, aturan-aturan tersebut tidak secara jelas
mengatur mekanisme pencabutan perijinan RS jika perijinan RS
yang diberikan sudah kadaluwarsa/sudah tidak memenuhi standar
yang ditetapkan. Misalnya: Kepmenkes
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang pengupayaan pemenuhan
kebutuhan sarana dan ketenagaan RS tidak diacu untuk pemberian
maupun pencabutan ijin operasional RS.
Dalam penyelenggaraan otonomi, rekomendasi perijinan rumah
sakit yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan akan
dipengaruhi iklim politik setempat/lokal, hal ini berdampak pada
pemberian perijinan sementara oleh Kepala Dinas Kesehatan
provinsi tanpa didasari pertimbangan teknis yang akurat.
Permenkes RI no 920/Menkes/Per/XII/1986 yang mengatur
perijinan upaya pelayanan kesehatan swasta di bidang medik,
masih berdasarkan sistim pemerintahan sentralistik. Instrumen
legal perijinan ini bertentangan dengan PP 38/2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan yang mendelegasikan
kewenangan penyelenggaraan upaya kesehatan kepada daerah
sesuai dengan UU 32/2004. Secara tegas pada lampiran PP 38/2007
sub bidang upaya kesehatan, pemerintah hanya memberikan
perijinan sarana kesehatan tertentu, sementara provinsi
memberikan ijin RS kelas B non pendidikan, RS khusus, RS swasta,
serta sarana kesehatan penunjang yang setara. Sedangkan
pemerintah kabupaten/kota memberikan ijin RS kelas C dan kelas
D, RS yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis,
rumah bersalin.
Kepmenkes 1189A/1999 mengatur perijinan RS pemerintah, dan
Permenkes 920/1986 mengatur perijinan upaya pelayanan
kesehatan swasta. Hal ini memperlihatkan adanya prosedur ganda
dan standar ganda. Seharusnya tidak boleh ada prosedur dan
standar ganda.
Standar ketenagaan RS Pemerintah tidak rasional karena tidak
didasari atas kualifikasi tenaga, namun hanya berdasarkan pada
jumlah tempat tidur dan kelas yang dimiliki suatu RS, sehingga sulit
digunakan untuk penyusunan formasi (Permenkes 262 Tahun
1979 tentang standarisasi ketenagaan RS).
2.Isu Efisiensi dan Manajemen RS
Pelayanan kesehatan di rumah sakit diselenggarakan dengan
tingkat efisiensi rendah sehubungan dengan lemahnya manajemen
dan perubahan yang tidak konsisten serta berbagai status dan
kelembagaan RS Pemerintah berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku atau yang dianggap masih berlaku.
a. Status dan Kelembagaan RS
Saat ini, aturan hukum yang digunakan oleh RS Pemerintah
bermacam-macam. RS Umum Pusat meliputi RS UPT Non
Swadana (UU No.5/1974 tentang Pemerintahan Daerah),
RS UPT Swadana (Keppres No 38/1991 tentang Unit
Swadana dan tata cara pengelolaannya), RS Pengguna
PNBP (UU No 20/1997 tentang PNBP dan PP No 22/1997
tentang penerimaan jasa RS merupakan salah satu jenis
PNBP), RS Perusahaan Jawatan, dan Pola pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum/ PPK-BLU (UU Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
diperjelas dengan PP 23/2005 tentang pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum). Sementara RS Umum
Daerah adalah RS UPT Non Swadana (UU No.5/1974 tentang
Pemerintahan Daerah), RS UPT Swadana (Keppres No
38/1991 tentang Unit Swadana dan tata cara
pengelolaannya), Lembaga Teknis Daerah (Keppres Nomor
40 tahun 2001 tentang Lembaga Teknis Daerah), Badan
Usaha Milik Daerah atau BUMD (Kepmendagri No 1 tahun
2002 tentang SOTK RS Daerah), PT Badan Layanan Umum
Daerah (PP No 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum).
Pemerintah tidak pernah menetapkan status RS secara spesifik.
Seluruh status RS mengikuti aturan payung yang berlaku
generik untuk semua organisasi Pemerintah, dan umumnya
aturan tersebut terkait dengan kebijakan finansial secara
umum.
Tidak ada aturan yang jelas menetapkan status kelembagaan
RS yang sudah berubah terhadap status RS sebelumnya.
Misalnya RS Swadana yang berubah status menjadi BLU tidak
jelas apakah status swadana yang sebelumnya masih berlaku
atau tidak.
UU 32/2004 psl 125 mengatur bahwa status RSUD sebagai
Lembaga Teknis Daerah, sementara PP 8/2003 mengatur
kelembagaan RSUD sebagai UPT Dinkes. Disisi lain Keppres
40/2001 bahwa kelembagaan RSUD sebagai Lembaga Teknis
Daerah atau BUMD, juncto Kepmendagri no 1/2002 tentang
Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit
Daerah. Memperhatikan berbagai regulasi tersebut maka
ditemukan adanya perbedaan penetapan status & kelembagaan
RSUD, RS Pemerintah yang bukan milik daerah tidak jelas status
kelembagaannya, RS swasta juga tidak diatur secara tegas
kelembagaannya sebagai fasilitas pelayanan publik. Bahkan UU
no 32/2004 tidak secara tegas menterminasi pengaturan
kelembagaan rumah sakit sebelumnya.
Penetapan RS PNBP sebagai RS Perjan sebenarnya merupakan
penyimpangan dari tata aturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, mengingat PNBP ditetapkan dengan
Undang-Undang sedangkan Perjan ditetapkan dengan PP yang
berkedudukan di bawah UU. Termasuk regulasi ketenagaan di
rumah sakit pemerintah (RS PNBP terdiri dari PNS dan pejabat
eselon, sementara pada PPK-BLU bisa terdiri dari PNS, non PNS
dan non eselon).
Kebijakan perubahan status RS tidak dilakukan secara
komprehensif (parsial), lebih menekankan pada aspek
manajemen pembiayaan/keuangan untuk meningkatkan
efisiensi penyelenggaraan pelayanan RS. Harapan ini tidak bisa
dicapai karena kebijakan ini tidak diimbangi dengan pengaturan
aspek ketenagaan, peralatan dan manajemen pelayanan
termasuk kebijakan sistim pelayanan rujukan yang memadai,
utuh dan saling melengkapi. Hal ini terjadi karena tidak ada
kebijakan untuk menghilangkan inefisiensi alokasi dan
inefisiensi teknis.
b. Sistem Rujukan
Sistim pelayanan rujukan baik pengiriman pasien maupun
pengembalian pasien, dan penetapan rujukan tidak
dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi bermacam-macam
pola rujukan. Hal ini terjadi karena kebijakan sistim rujukan
tidak dilengkapi dengan prosedur pelaksanaan, yang saat ini
sudah tidak sesuai dengan konteks kewilayahan serta tidak
sesuai dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi.
c. Penyelenggaraan Program Askeskin
Penyelenggaraan Program Askeskin tidak efisien, perubahan
pada manajemen keuangan tidak mengakibatkan terjadi
efisiensi pembiayaan pelayanan kesehatan di RS, terutama
karena sistim pembayaran dengan klaim. Tidak dilakukan
antisipasi dampak peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan
masyarakat miskin dalam pemanfaatan sarana tempat tidur di
RS kelas III, sehingga masyarakat miskin tidak seluruhnya dapat
dilayani.
Inefisiensi dan inefektifitas ini ditunjukkan dengan data utilisasi
pelayanan kesehatan untuk rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL)
tahun 2007 mencapai 2,6 juta kasus. Jumlah ini menurun
sebesar 12% dari tahun 2006 pada periode yang sama. Dari
aspek pembiayaan terjadi peningkatan sebesar 2 kali lipat. Data
utilisasi rawat inap tingkat lanjut (RITL) di kelas III RS semester
1 tahun 2007 sebanyak 831.139 kasus, terjadi peningkatan
sebesar 5% terhadap kasus rawat inap tingkat lanjut (RITL)
pada periode yang sama tahun 2006. Dari aspek biaya terjadi
peningkatan sebesar 82%.
Dalam penyelenggaraan program Askeskin, telah terjadi
perubahan-perubahan kebijakan yang inkonsisten sehingga
mengakibatkan permasalahan dalam penyelenggaraannya
terutama dalam mekanisme pembayaran. Inkonsistensi
tersebut dapat dilihat misalnya dari kebijakan penanggulangan
kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) sebagaimana
dijelaskan dalam Kepmenkes nomor 109/Menkes/II/2006 untuk
dibiayai dari dana Askeskin. PT Askes tidak bisa membayar
klaim Rumah Sakit apabila penderita KIPI bukan dari keluarga
miskin.
Dikaitkan dengan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), dalam pengembangan program
Upaya Kesehatan Perorangan yang terkait dengan isu-isu
tersebut di atas, maka rumah sakit masih perlu meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah
sakit; membangun dan memperbaiki sarana dan prasarana
rumah sakit sesuai dengan standar tehnis dan dalam kerangka
desentralisasi, mengembangkan sistim pelayanan kesehatan
rujukan yang sesuai, serta meningkatkan aspek manajerial
rumah sakit, agar terjadi keseimbangan antara fungsi sosial dan
fungsi ekonominya.
Mempercepat proses pemenuhan berbagai instrumen kebijakan
terkait, serta harmonisasi konflik-konflik kebijakan yang ada
pada penyelenggaraan RS akan menghindarkan munculnya
permasalahan yang lebih kompleks di masa yang akan datang.
Kurun waktu 2 (dua) tahun sebagai limit waktu dari habisnya
masa transisi UU 40/2004 tentang SJSN dapat digunakan
sebagai ukuran terbatasnya waktu penyiapan regulasi regulasi
yang terkait.
D. KESENJANGAN DAN KONFLIK KEBIJAKAN
Dengan teridentifikasinya berbagai isu kebijakan yang
menyangkut aspek perijinan, status kelembagaan RS, dan
manajemen rumah sakit, berikut ini adalah kesenjangan dan konflik
kebijakan yang dapat ditemukan.
(1)Perijinan
Kesenjangan dan konflik yang ditemukan dalam kebijakan
perijinan rumah sakit adalah sebagai berikut:
a. Kepmenkes 1333/1999 tidak mengharuskan standar sarana dan
standar tenaga RS untuk diacu dalam proses perijinan RS;
Kepmenkes ini menjadi kehilangan kekuatan hukum dengan
diberlakukannya UU 32/2004. Kepmenkes tersebut juga tidak
menjelaskan secara rinci standar sarana, standar tenaga dan
standar penyelenggaraan pelayanan.;
b. Permenkes 920/1986 tentang upaya pelayanan kesehatan
swasta di bidang medik dan Kepmenkes 1189A/1999 tentang
wewenang penetapan ijin di bidang kesehatan menjadi
kehilangan kekuatan hukum dengan diberlakukannya UU
32/2004.
c. Kepmenkes 1189A/1999 yang memuat bahwa rekomendasi
perijinan RS dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan mempunyai
kelemahan dalam konteks desentralisasi karena dipengaruhi
secara kuat oleh kemauan politik local. Pengaturan tentang ijin
operasional tetap yang dikeluarkan oleh Depkes dalam
kepmenkes ini bertentangan dengan UU 32/2004 pasal 6: c
tentang perijinan umum.
d. Saat ini, tidak terdapat kebijakan dan instrumen kebijakan yang
mengatur pencabutan ijin penyelenggaraan pelayanan
kesehatan RS.
(2)Status/Kelembagaan RS (Pusat, Daerah, Swasta, dll)
Dalam kebijakan mengenai status atau kelembagaan rumah sakit,
(RS Pusat, RS Daerah, RS Swasta, dll) ditemukan kesenjangan dan
konflik dalam implementasinya, yaitu sebagai berikut:
a. Status kelembagaan RS berbentuk UPT Dinas Kesehatan yang
berbentuk Non-Swadana dan Swadana, tidak sejalan dengan
semangat Keppres 40/2001, PP 8/2003 dan UU 32/2004 pasal
125. Di samping itu, RS Pemerintah yang bukan milik daerah
sulit ditetapkan statusnya.
b. Penetapan status RS Pemerintah yang berlaku saat ini tidak
tegas, untuk penetapan status RS daerah masih tumpang
tindih, sedangkan RS Swasta tidak ada kejelasan
pengaturannya. Terdapat instrumen teknis dari kebijakan
penetapan status kelembagaan RS yang berbeda untuk rumah
sakit pemerintah dan rumah sakit swasta.
c. Dalam menetapkan status kelembagaan RS, tidak diperhatikan
hirarki tingkat kebijakan antara UU, PP, Keppres, dll.
d. Perubahan status rumah sakit yang selama ini dilakukan tidak
didukung dengan instrumen yang mengatur aspek pelayanan
rumah sakit, ketenagaan, pembiayaan, sarana dan prasarana.
(3)Askeskin
Ada banyak kesenjangan dan konflik yang terjadi dalam
implementasi kebijakan Askeskin di lapangan. Beberapa
kesenjangan dan konflik tersebut antara lain:
a. Penyelenggaraan Askeskin di lapangan tidak berjalan efisien.
Hal ini dikarenakan safeguarding tidak berfungsi secara optimal.
Safeguarding pada penyelenggaraan Askeskin masih terfokus
pada pengamanan aspek finansial, belum mencakup mutu
pelayanan, termasuk penanganan keluhan (grievance
mechanism) dan review pemanfaatan (utilization review).
b. Tidak ada kebijakan yang mengatur penerimaan pasien
Askeskin di RS. Di beberapa RS, bila tempat tidur Kelas III sudah
penuh terisi pasien (occupied), maka pasien Askeskin tidak
dapat ditampung;
c. Ada konflik budaya yang terjadi dalam penyelenggaraan
Askeskin. Askeskin adalah program kesehatan berbasis sosial,
sementara RS beroperasi pada ideologi pasar. Dokter-dokter RS
hanya beroperasi pada demand dan supply. Dengan demikian,
hanya orang-orang yang sanggup membayar dokter yang
dilayani dan orang miskin tidak dilayani meskipun mempunyai
Askeskin.
d. Ada ketidakjelasan status penjaminan, apakah bersifat social
security, health insurance atau protecting the poor, sehingga
muncul ketidakpastian atau ketidakjelasan penyelenggaraan
Askeskin di Rumah Sakit. Untuk itu, harus ditetapkan terlebih
dahulu status penjaminan Askeskin agar penyelenggaraan
Askeskin di RS menjadi lebih jelas.
e. Prinsip pemerataan Askeskin berbasis pada input (biaya yang
tersedia) dan tidak berbasis pada outcome. Kalaupun rumah
sakit tetap melayani pasien miskin, maka terjadi penumpukan
klaim yang belum terbayar. Hal ini tidak sesuai dengan asas
pemerataan untuk seluruh masyarakat miskin di Indonesia dan
hasilnya dapat langsung dirasakan orang miskin.
f. Tidak ada kebijakan yang mengharuskan rumah sakit
menyusun hospital bylaw yang menjamin aksesibilitas peserta
Askeskin mendapat pelayanan kesehatan yang bermutu.
(4)Rujukan
Beberapa kesenjangan dan konflik yang ditemukan dalam
pelaksanaan kebijakan rujukan rumah sakit di lapangan adalah
sebagai berikut:
a. Tidak ada instrumen teknis yang mengatur mengenai prosedur
rujukan pasien ke rumah sakit sehingga masyarakat tidak tahu
harus pergi ke mana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang terbaik dan bermutu. Selain itu, juga ditemukan
ketidakjelasan apakah rujukan medik yang lebih bersifat UKP itu
sudah menjadi sistem atau belum.
b. Kebijakan sektor kesehatan hanya menetapkan pelayanan
kesehatan pemerintah dalam sistem rujukan. Sedangkan
pelayanan kesehatan swasta tidak masuk dalam jejaring sistem
rujukan. Seharusnya ada network (jejaring kerjasama) rujukan
RS antara sektor pemerintah dan sektor swasta sehingga dapat
menjamin terselenggaranya sistem rujukan RS yang baik.
c. Penyelenggaraan sistem rujukan tidak dilaksanakan secara
menyeluruh (compulsary). Tidak ada aspek legal dan
enforcement dalam penyelenggaraan sistem ini. Seharusnya
semua RS di Indonesia bisa menjadi RS rujukan. Sistem rujukan
ini harus diselenggarakan sesuai dengan situasi dan kondisi,
tidak semena-mena merujuk hanya pada 1 (satu) RS saja.
Disamping kesenjangan dan konflik kebijakan tentang perijinan,
status/kelembagaan RS, Askeskin dan Rujukan, dijumpai pula tidak
adanya standar mengenai biaya tindakan medik yang dilakukan
untuk mengobati pasien dan tidak ada pedoman pelaksanaan
pengambilan tindakan medik untuk menolong pasien, sehingga sering
terjadi kesalahan dalam melakukan tindakan medik.
E. OPSI / ALTERNATIF KEBIJAKAN
Beberapa opsi/alternatif kebijakan yang dapat diberikan untuk
memperbaiki sistem pe-rumah sakit-an ke arah yang lebih baik
adalah sebagai berikut:
(1)Perijinan
Ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam sistem kebijakan
perijinan RS, di antaranya perijinan RS harus memenuhi prinsip-
prinsip standarisasi, meliputi standar fisik, standar alat, standar
SDM dan standar pelayanan medis yang harus seimbang,
terintegrasi dan dapat merespon masalah kesehatan setempat
dengan cepat. Hal yang sama juga berlaku untuk pencabutan
perijinan RS.
Dalam kebijakan perijinan RS, diperlukan suatu instrumen
kebijakan tentang monitoring dan evaluasi akreditasi RS untuk
menetapkan perpanjangan perijinan, down grading, dan
pencabutan perijinan RS. Selain itu, juga dibutuhkan kebijakan
makro tentang pelayanan publik yang mengatur perijinan dan
kelembagaan RS. Opsi/alternatif kebijakan ini merupakan
turunan/derivat dari UU No 32 terkait dengan perijinan umum dan
PP No 41 tentang perijinan umum.
(2)Status/Kelembagaan RS
Dalam kebijakan penentuan status RS, diperlukan ketegasan
kebijakan pemerintah tentang status kelembagaan RS milik
pemerintah, baik Pusat dan Daerah serta kecenderungan RS ke
depan berubah menjadi BLU.
Berdasarkan PP No 23 tahun 2005 dari UU No 1 tahun 2004,
Badan Layanan Umum adalah institusi yang berorientasi mencari
keuntungan (for profit). Padahal, seharusnya RS yang berstatus
BLU tidak boleh mencari keuntungan (non profit). Dalam kebijakan
makro pe-rumah sakit-an, RS BLU merupakan RS yang melayani
publik dan bersifat sosial.
Opsi kebijakan lain adalah seharusnya dibuat PP baru yang berisi
tentang BLU sebagai pelayanan publik yang bersifat sosial. Opsi
ini merupakan turunan/derivat dari UU no 1/2004 dan PP no
23/2005. Dengan dibuat dan dilegalkannya PP ini, maka secara
nyata membatalkan seluruh kebijakan terdahulu tentang status
kelembagaan RS milik pemerintah. Selain itu, juga perlu dilakukan
revisi atau addendum pada UU 32/2004 pasal 125, PP 8/2003 dan
Keppres 40/2001 terkait dengan status kelembagaan RS sebagai
BLU. Sebagai fasilitas pelayanan publik yang bersifat sosial, RS
BLU harus didukung oleh kemampuan manajemen secara
komprehensif, bukan hanya manajemen keuangan, tetapi secara
seimbang dan terintegrasi mencakup manajemen pelayanan
medik dan manajemen mutu pelayanan.
Selain itu, perlu dilakukan policy study tentang isu terkait dengan
status kelembagaan RS swasta. Beberapa justifikasi kebutuhan
policy study ini adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan AFTA untuk investasi belum bisa diimplementasikan
karena belum ada koridor pasti untuk penetapan status RS
swasta;
2. Dalam PP No 47 diatur bahwa investasi asing dibatasi dan ada
pengaturan lebih lanjut mengenai perdagangan
tertutup/terbuka.
3. Belum ditentukan bentuk dan jenis RS swasta yang cocok.
4. Perlu diteliti mengenai fungsi sosial yang harus diemban oleh
RS Swasta karena sampai saat ini pengaturan hal tersebut
masih belum jelas.
(3)Askeskin
Kebijakan Askeskin mempunyai titik berat pada pelayanan
asuransi kesehatan pada masyarakat miskin. Rekomendasi yang
dapat diberikan berkaitan dengan prinsip penyelenggaraan,
pemerataan jenis dan mutu, serta instrumen safeguarding. Untuk
dapat menyelenggarakan program Askeskin yang baik dan sesuai
sasaran, diperlukan penetapan prinsip penyelenggaraan Askeskin
sebagai salah satu dari pilihan-pilihan sebagai social health
insurance, social security atau protecting the poor. Prinsip-prinsip
dan mekanisme penyelenggaraannya harus konsisten dengan
pilihan yang ditetapkan, contohnya: dana protecting the poor
tidak diselenggarakan dengan prinsip-prinsip asuransi kesehatan.
Penyelenggaraan Askesin harus merata di seluruh wilayah di
Indonesia, baik dalam jenis maupun mutu pelayanan di semua RS.
Strategi kebijakan ini melandasi pembuatan instrumen untuk
pengalokasian input bagi RS penyelenggara. Perlu ditambahkan
instrumen pengaman (safeguarding) Askeskin untuk menjamin
pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin
pemerataan pelayanan (portabilitas). Instrumen ini harus
menjelaskan apa yang seharusnya dijamin, bagaimana
melakukannya, berapa besaran pembiayaannya, bagaimana
tindak lanjut jika ada penyimpangan dan harus menjamin
prosedur pengamanannya. Instrumen ini juga harus memberikan
ketegasan tentang pengaturan penjaminan penerimaan pasien
Askeskin di RS secara internal melalui penetapan hospital bylaw.
(4)Rujukan
Untuk menjamin berjalannya sistem rujukan medik di Indonesia,
perlu ditetapkan kebijakan sistem rujukan medik yang lebih
komprehensif, mencakup jejaring yang melibatkan kemitraan
swasta dan kewajiban mengikat bagi setiap unit pelayanan
kesehatan dalam jejaring rujukan. Unit pelayanan kesehatan
tersebut wajib merujuk dan menerima pasien rujukan sesuai
dengan standar dan kondisi tertentu yang diatur dalam ketentuan
teknis atau intrumen teknis lebih lanjut.
Selain itu, juga perlu ditetapkan prinsip-prinsip pembiayaan
penyelenggaraan sistem rujukan medik. Prinsip pembiayaan ini
juga perlu dilengkapi dengan instrumen pembiayaan mencakup
siapa bertanggung jawab membiayai apa, standar satuan biaya
dan prosedur penyelenggaraan pembiayaannya. Hal ini dilakukan
untuk menjamin terselenggaranya sistem rujukan medik dengan
baik dan sesuai sasaran.
F. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Ada 3 (tiga) bentuk rekomendasi kebijakan, yaitu opsi kebijakan,
penyempurnaan instrumen kebijakan, dan kebutuhan studi kebijakan.
Berikut ini adalah rekomendasi untuk kebijakan RS yang penting:
(1)Opsi Kebijakan
a. Dalam penjabaran amanah UUD 1945, pasal 34 ayat 3
disebutkan bahwa Negara bertanggung-jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak, maka untuk memaknai hal tersebut di atas
dibutuhkan kebijakan makro tentang pelayanan publik yang
mengatur perijinan dan kelembagaan.
b. Perlu penetapan yang tegas terhadap prinsip penyelenggaraan
Askeskin sebagai salah satu dari pilihan-pilihan: apakah dalam
bentuk health insurance, social security atau protecting the
poor. Prinsip-prinsip penyelenggaraannya harus dilaksanakan
secara konsisten;
c. Diperlukan dukungan kemampuan manajemen yang
komprehensif pada RS BLU, baik manajemen keuangan dan
manajemen pelayanan medik serta manajemen mutu
pelayanan;
d. Perlu ditetapkan kebijakan sistem rujukan medik yang lebih
komprehensif, mencakup jejaring yang melibatkan kemitraan
swasta dan kewajiban mengikat bagi setiap unit pelayanan
dalam jejaring rujukan;
e. Diperlukan prinsip-prinsip pembiayaan penyelenggaraan sistem
rujukan medik untuk menjamin terselenggaranya sistem
rujukan medik dengan baik dan sesuai sasaran.
(2)Kebutuhan Instrumen Kebijakan
a. Diperlukan standar fisik, standar alat, standar SDM dan standar
pelayanan medis yang seimbang, terintegrasi dan dapat
merespon masalah setempat.
b. Diperlukan instrumen policy monitoring evaluasi dalam
penetapan perijinan RS, apakah diberikan perpanjangan
perijinan, ’down grading’ dan pencabutan perijinan RS.
c. Diperlukan PP baru tentang BLU pelayanan publik yang bersifat
sosial merujuk UU no. 1/2004 atau amandemen PP 23/2005.
d. Dibutuhkan instrumen untuk pengalokasian input bagi rumah
sakit penyelenggara sehingga penyelenggaraan Askeskin bisa
merata di seluruh RS, baik dalam jenis maupun mutu
pelayanan.
e. Dalam penyelenggaran Askeskin, diperlukan instrumen
tambahan, yaitu instrumen safeguarding yang dapat menjamin
pengamanan financial, mutu pelayanan dan menjamin
pemerataan pelayanan (portabilitas).
(3)Kebutuhan Studi Kebijakan
Studi kebutuhan safeguarding Askeskin dikaitkan dengan
kemampuan pembiayaan saat ini dan kebutuhan pembiayaan
masa depan.