kajian-kebijakan insentif fiskal

Upload: bayu-caroko

Post on 09-Jul-2015

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pertama tama, kami mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas semua taufik, hidayah dan karunia yang kami terima selama ini terutama dalam rangka menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan laporan ini. Laporan penelitian ini yang berjudul Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Dalam Rangka Meningkatkan Usaha Ketenagalistrikan diselesaikan dalam rangka kerjasama penelitian antara Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan RI dengan Center for Energy and Power Studies, PT. PLN (Persero). Dan secara garis besar laporan ini menyampaikan tentang hal hal sebagai berikut : 1. Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sektor industri untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun sektor pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan energi listrik tersebut akan meningkat terus sejalan dengan perkembangan teknologi, sebab aktivitas para pelaku ekonomi dan penggunaan sarana kehidupan yang membutuhkan energi listrik. 2. Namun karena pasokan energi listrik saat ini belum mampu mengimbangi kebutuhan (permintaan) energi listrik, maka menimbulkan permasalahan kesenjangan (gap) antara jumlah pasokan lebih rendah dari pada jumlah permintaan energi listrik. Kesenjangan tersebut tidak akan pernah bisa ditutup apabila hanya mengandalkan dari tingkat pertumbuhan alamiah penyediaan listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian.

i.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3.

Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah langkah untuk (i) menutup kesenjangan (gap) energi listrik yang terjadi saat ini, (ii) mencegah terjadinya kesenjangan (gap) yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang, dan (iii) meningkatkan sarana & prasarana untuk menutup kesejangan (gap) energi listrik tersebut.

4.

Untuk

mensukseskan

langkah

-

langkah

tersebut

maka

dibutuhkan

ketersediaan dana atau investasi di sektor ketenagalistrikan. Mengingat saat ini, kemampuan keuangan Pemerintah maupun PT. PLN sendiri belum

memungkinkan, maka wajar diperlukan peranan swasta baru (dalam negeri maupun luar negeri) untuk berinvestasi di sektor tersebut. 5. Sampai saat sekarang, minat para swasta tersebut untuk berinvestasi dalam proyek ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang diharapkan (expected rate of return) dari usaha tersebut relatif rendah. Rendahnya keuntungan tersebut diperkirakan karena beberapa hal : (i) tarif dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate khusus pelanggan rumahtangga) yang menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain. 6. Dibutuhkan peran Pemerintah dalam menciptakan kondisi dan suasana investasi yang dapat menarik swasta baru di sektor ketenagalistrikan. Salah satu upaya Pemerintah adalah melakukan efisiensi dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Sehingga, kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik. 7. Untuk diperlukan upaya Pemerintah untuk menghasilkan kebijakan ekonomi yang dapat meningkatkan iklim dan realisasi investasi melalui : (i) penyederhanaan prosedur perijinan, (ii) peninjau ulang insentif fiskal agar

i.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

tepat sasaran, (iii) pengurangan tumpang tindih kebijakan Pemerintah Pusat & Daerah serta antra sektor, (iv) merevisi peraturan peraturan yang kurang mendorong kegiatan di ketenagalistrikan, (v) reformasi kelembagaan

penanaman modal, dan (vi) penanganan masalah masalah investasi secara tepat dan akurat. 8. Bentuk usulan insentif fiskal (hasil studi ini) yang diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di bidang usaha ketenagalistrikan, antara lain : (i) di bidang PPh : a) insentif REGIONAL dengan pembebasan PPh 60% dari pendapatan untuk pengembangan usaha ketenagalistrikan; b) insentif SEKTORAL bagi perusahaan bidang usaha strategis dan atau prioritas pembangunan (termasuk ketenagalistrikan) dengan pembebasan PPh 10% selama 5 10 tahun; c) insentif EKSPOR dan DAERAH PERDAGANGAN BEBAS dengan pajak final 5% dari penghasilan bruto dengan komposisi : 3% Pemerintah Pusat, 1% Pemerintah Daerah dan 1% untuk Dana Pembangunan, dan d) pembebasan PPh atas keuntungan EKSPOR 30% selama 5 tahun untuk mendorong ekspor dan daerah perdagangan bebas; (ii) di bidang PPN : a) usaha ketenagalistrikan dapat ditetapkan sebagai BKP tertentu yang atas penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN, b) barang modal berupa mesin dan peralan pabrik untuk menghasilkan BKP tertentu yang bersifat strategis atas impor dan atau penyerahannya DIBEBASKAN dari pengenaan PPN; dan (iii) di bidang Kepabeanan : a) menggunakan mekanisme PP Nomor 42 Tahun 1995 : Pembebasan / Keringanan BM atas Impor; b) menggunakan Pasal 26 Ayat 1 huruf j UU Nomor 10 Tahun 1995 : Barang oleh Pemerintah Pusat dan Pemda ditujukan untuk kepentingan umum; c) merevisi PMK 47/PMK.04/2005 dengan menambah / memasukan industri ketegalistrikan ke dalam daftar industri jasa yang mendapatkan fasilitas keringanan BM; d) memberikan fasilitas BM khusus untuk usaha ketenagalistrikan; dan e) menurunkan tarif BM barang modal untuk industri ketenagalistrikan dengan memasukan harmonisasi tarif.

i.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

9.

Usulan bentuk bentuk insentif fiskal untuk pemanfaatan sumber energi terbarukan, yaitu : a) penurunan bea masuk; b) pemakaian muatan lokal; c) penghapusan subsidi terhadap harga energi tidak terbarukan, dan d) memasukkan harga lingkungan pada komponen biaya energi yang berasal dari sumber daya tidak terbarukan. Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa setiap karya manusia tidak

luput dari kekhilafan (tidak ada gading yang tidak retak), sehingga kami selalu terbuka dan tulus ikhlas menerima saran saran maupun kritikan yang bersifat kontrukstif guna perbaikan laporan ini. Selanjutnya, kepada semua pihak yang berperan dalam mensukseskan penulisan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara yang kita cintai bersama.

Jakarta, Oktober 2005 Ketua Tim Penelitian dan Penulisan Laporan

Purwiyanto

i.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 BAB II Latar Belakang Masalah Tujuan Studi Metodologi Penelitian Output i.1 i vi vii viii 1.1 1.1 1.6 1.6 1.7 2.1 2.3

LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN PASAR 2.1 Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan 2.2 Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik 2.2.1 2.3 Efek Subsidi Pemerintah

2.4 2.7 2.8

Insentif Fiskal dalam Rangka Mendorong Usaha Ketenagalistrikan 2.3.1 2.3.2 Pengenaan Pajak (Misal : PPN) Dampak Insentif Pemerintah terhadap Penurunan Biaya Produksi

2.9 2.12

BAB III

GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA 3.1 3.2 3.3 Profil Ketenagalistrikan Produksi Listrik dan Pengunaan Bahan Bakar Sektor Listrik Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik 3.3.1 Potret Permintaan Tenaga Listrik

3.1 3.1 3.3 3.4 3.6

i

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

3.3.2 Penawaran Tenaga Listrik 3.3.3 Transmisi Tenaga Listrik di Jawa-Bali 3.3.4 Transmisi Tenaga Listrik di luar Wilayah Jawa-Bali 3.4 BAB IV Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan

3.7 3.11 3.12 3.12 4.1

EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN 4.1 Peluang Sumber Dana yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement) 4.2 Insentif Kebijakan Fiskal yang Masih Berlaku Sampai dengan Tahun 2000 4.3 Fasilitas Insentif Kebijakan Fiskal yang Dapat Dimanfaatkan oleh Investor Swasta di Bidang Kelistrikan Sampai dengan Tahun 2000 4.4 Insentif Kebijakan Fiskal yang Diberlakukan Untuk Investasi di Sektor Kelistrikan 4.5 Insentif Kebijakan Fiskal Berupa Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Untuk Mendorong Usaha dan Investasi Kelistrikan Setelah Tahun 2001 4.5.1 Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu 4.5.2 Restrukturisasi Utang Usaha Melalui Lembaga Khusus yang dibentuk Pemerintah 4.5.3 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu(KAPET)

4.1

4.4

4.9

4.10

4.14

4.15

4.17

4.18 4.20

4.5.4 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) atas Hibah dan Pinjaman Luar Negeri 4.5.5 Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Pegawai 4.5.6 Restukturisasi Perusahaan

4.23 4.25 4.27

4.5.7 Penyusutan dan atau Pembebanan Biaya atas Biaya

ii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan 4.5.8 Angsuran Pembayaran PPh atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap 4.5.9 Pengecualian Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor 4.6 Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rangka 4.3.2 Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan 4.6.1 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Sebelum 1 Januari 2001 4.6.2 Fasilitas PPN yang diberlakukan oleh Pemerintah Pada Periode Setelah 1 Januari 2001 sampai Dengan Sekarang 4.6.3 Ketenagalistrikan dalam Rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri 4.6.4 Rencana Kebijakan Pemerintah dalam Rangka Meningkatkan Usaha dan Investasi Ketenagalistrikan BAB V KEBIJAKAN INSENTIF FISKAL & RENEWABLE RESOURCES BIDANG KETENAGALISTRIKAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN 5.1 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal di Beberapa Negara Kebijakan Insentif Fiskal di Malaysia 5.2.1 Kebijakan Insentif Regional 5.2.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.2.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.2.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal di Filipina 5.3.1 Kebijakan Insentif Regional 5.3 5.4 5.4 5.1 5.1 5.1 5.2 5.3 5.1 4.3.6 4.3.5 4.3.4 4.3.3 4.29 4.28

iii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

5.3.2 Kebijakan Insentif Sektoral 5.3.3 Kebijakan Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.3.4 Kebijakan Insentif Lainnya 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal di Singapura 5.4.1 Insentif Sektoral 5.4.2 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.4.3 Insentif Lainnya 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal Thailand 5.5.1 Insentif Regional 5.5.2 Insentif Sektoral 5.5.3 Insentif Ekspor dan Daerah Perdagangan Bebas 5.5.4 Insentif Lainnya 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 Kebijakan Perlistrikan di Thailand Kebijakan Perlistrikan di Vietnam Kebijakan Perlistrikan di Malaysia Kebijakan Perlistrikan di Filipina Kebijakan Perlistrikan di India Insentif Fiskal untuk Sumber Daya Terbarukan 5.11.1 5.11.2 5.11.3 Pendahuluan Kondisi Indonesia Energi Terbarukan sebagai Penggerak Roda Ekonomi BAB VI ANALISIS KEBUTUHAN INSENTIF FISKAL DI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN 6.1 Program Penyediaan Tenaga Listrik Periode 2004-2013 6.1.1 Rencana Pengembangan Pembangkit di Jawa, Madura dan Bali 6.1.2 Rencana Pengembangan Pembangkit di Luar Jawa, Madura dan Bali

5.5 5.5

5.6 5.6 5.6 5.8 5.8 5.9 5.9 5.11 5.11 5.12 5.12 5.13 5.14 5.15 5.17 5.28 5.28 5.29 5.31

6.1

6.1

6.1

iv

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

6.1.3 Rencana Pengembangan Penyaluran di Jawa, Madura dan Bali 6.1.4 Rencana Pengembangan Penyaluran di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.1.5 Rencana Pengembangan Distribusi di Jawa, Madura dan Bali 6.1.6 Rencana Pengembangan Distribusi di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.2 Kebutuhan Dana dan Sumber Dana Investasi 6.2.1 Kebutuhan Dana Investasi di Jawa, Madura dan Bali 6.2.2 Kebutuhan Dana Investasi di Luar Jawa, Madura dan Bali 6.3 Insentif fiskal yang Berlaku Saat Ini Bagi Industri Ketenagalistrikan dan Kebutuhan ke Depan 6.3.1 6.4 6.5 Kebijakan Insentif Pajak yang Berlaku Saat Ini

6.1

6.2

6.2

6.3

6.3 6.3 6.4

6.4

6.5 6.14 6.15 6.15 6.16 6.16 7.1 7.1 7.6 7.6

Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2004-2007 Dampak Pemberian Fasilitas Investasi Ketenagalistrikan 6.5.1 6.5.2 6.5.3 Potential Loss Terhadap Penerimaan Negara Kenaikan pendapatan Domestik Bruto (PDB) Kenaikan Kesejahteraan Masyarakat

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 7.2 Kesimpulan Saran dan Rekomendasi 7.2.1 Usulan Insentif Fiskal Untuk Investasi Infrastuktur Ketenagalistrikan 7.2.2 Usulan Insentif Fiskal Untuk Pengembangan Energi Terbarukan

7.7

v

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Proyeksi Penawaran Energi Listrik yang Disesuaikan dengan Capacity Factor 1990-2010 (Juta Gigajoules) Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 5.1 Angka ROR Tahun 2000-2007 Pelanggan PT. PLN Tahun 2000-2004 Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.2 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.3 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.4 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.5 Kebijakan Insentif Fiskal : Bidang Ketenagalistrikan di Negara-Negara ASEAN Tabel 5.6 Tabel 6.1 Fiscal Incentives for Renewable Resources Based Electricity Kebutuhan Dana Investasi Tahun 2003-2007 (Fixed Asset-US$ Juta) Tabel 6.2 Potential Loss Sektor Pajak Yang Ditanggung Pemerintah Selama Lima Tahun Tabel 7.1 Usulan Bentuk-Bentuk Insentif Fiskal Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Terbarukan 7.10 6.15 6.15 5.24 5.31 5.23 5.21 5.20 5.18 1.2 3.13 3.16 4.5

vi

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Subsidi dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik Gambar 2.2 Kasus Permintaan Elastis Gambar 2.3 Kasus Permintaan Tidak Elastis Gambar 2.4 Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik Gambar 3.1 Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001-2013 Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004-2010 Gambar 3.3 Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik Gambar 3.4 Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik Gambar 4.1 Perbandingan Tarif Efektif PPh Badan di Beberapa Negara Pada Berbagai Tingkat Pendapatan 4.5 2.5 2.9 2.10 2.14 3.1 3.2 3.3 3.5

vii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Tambahan Kapasitas Pembangkit IPP / Pemda Tambahan Kapasitas Pembangkit Proyek PLN Parameter Kandidat Pembangkit Asumsi Harga Bahan Bakar PLN & Private Projects Committed On Going Projects : Proyek Pembangkit PLN / IPP / Pemda Kapasitas Terpasang Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar Komposisi Produksi Menurut Jenis Energi Primer Regional Balance Tahun 2008 Kebutuhan Investasi Untuk Fasilitas Pembangkit, Penyaluran Dan Distribusi Lampiran 12 Lampiran 13 Rencana Penambahan Kapasitas Pokok pokok Pikiran Narasi Gabungan Perubahan UU Perpajakan Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPh Pokok pokok Pikiran Perubahan UU PPN & PPNBM Keputusan Menteri ESDM Nomor : 0002 Tahun 2004 Tentang Kebijakan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Pengembangan Energi hijau) Lampiran 17 Keputusan Menteri ESDM Nomor : 1122K/30/MEM/2002 Tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar Lampiran 18 Kebijaksanaan, Peraturan & Prosedur : Tata cara Perencanaan, Pelaksanaan / Penatausahaan, Dan Pemantauan Pinjaman / Hibah Luar negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN

vii

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, perusahaan untuk kegiatan produksi dan investasi, maupun bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Dari hasil studi Arsyad (1994) mengenai hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi di Indonesia terlihat bahwa aktifitas ekonomi akan mempengaruhi tingkat konsumsi energi, namun tidak sebaliknya. Dengan demikian, mengingat kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi bersifat terus menerus, maka scarcity problem akan berlaku secara alamiah dalam usaha ketenagalistrikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terdapatnya gap atau kesenjangan antara penyediaan energi listrik dengan kebutuhan yang cukup besar dan cenderung membesar di masa depan, yang dapat menyebabkan melemahnya aselerasi perkembangan ekonomi, sehingga tidak tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang sustainable pada tingkat 6% per tahun. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang akan terjadi krisis energi listrik, karena pasokan energi listrik tidak mampu mengimbangi permintaan energi listrik. Selisih antara pasokan dan permintaan energi listrik (kesenjangan) tersebut tidak pernah bisa dipenuhi kalau hanya mengandalkan tingkat pertumbuhan alamiah dari penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, kepastian ketersediaan energi listrik merupakan prasyarat pokok bagi tumbuhnya investasi dan perkembangan perekonomian. Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu langkah besar untuk (i) menutup kesenjangan pasokan energi listrik yang terjadi saat ini, dan (ii) mencegah

1.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang (lihat Tabel 1.1). Penentu utama dari suksesnya langkah besar untuk mengatasi kesenjangan penyediaan energi listrik adalah ketersediaan dana investasi di sektor pembangkitt tenaga listrik. Namun demikian, kemampuan keuangan negara maupun PT. PLN untuk berinvestasi di sektor ketenagalistrikan tidak mencukupi sehingga diperlukan peran investor swasta baru dari dalam maupun luar negeri. Tabel 1.1 : Proyeksi Penawaran Energi Listrik Yang Disesuaikan Dengan Capacity Factor 1990 2010 (Juta Gwh) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Uraian Diesel Uap Air Gas turbin Panas Bumi Gas Uap Total Supply Energy Demand Perkiraan Kesenjangan Tahun 1995 11,12 56,53 18,02 2,63 4,19 20,98 114,04 249,40 135,36 2000 12,91 65,61 20,91 3,05 4,87 24,34 132,34 289,42 157,08 2005 14,88 75,63 24,10 3,52 5,61 28,06 152,56 333,63 181,07 2010* 15,29 77,70 24,76 3,62 5,76 28,83 156,72** 382,71** 225,99

Sumber : Ismalina, 1997, diolah. * RUPTL Tahun 2004 2013 Jawa, Madura, Bali. ** PLTU + Captive

Di sisi lain, minat investor swasta untuk menanamkan dananya dalam proyek pengembangan ketenagalistrikan masih rendah, utamanya karena keuntungan yang diharapkan (expected rate of return) dari kegiatan tersebut relatif rendah. Rendahnya keuntungan tersebut utamanya terkait dengan hal-hal, antara lain : (i) tarif dasar listrik (TDL) yang belum kompetitif (rendah dan pemberlakuan uniform rate) yang menyebabkan rendahnya kepastian usaha listrik, dan (ii) biaya usaha yang kurang kompetitif dibanding usaha lain di dalam negeri atau usaha yang sama di negara lain. Untuk itu, diharapkan peran Pemerintah untuk menciptakan kondisi dan suasana investasi yang dapat menarik investor baru di bidang ketenagalistrikan. Salah satu upaya untuk menarik investor baru tersebut adalah melakukan efisiensi1.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dalam biaya usaha agar harga jual dapat relatif rendah. Dengan demikian, langkah kebijakan yang dilakukan untuk mendorong usaha di bidang ketenagalistrikan harus terkait dengan dua hal, antara lain : a) menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif bagi investasi di sektor kelistrikan, dan b) Penurunan dan efisiensi biaya produksi energi listrik di semua tahapan proses produksi listrik. Tarif dasar listrik (TDL) pada dasarnya merupakan instrumen yang bisa mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran listrik. Dari sisi permintaan akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi masyarakat pada umumnya adalah tarif yang murah. Sementara dari sisi penawaran akan listrik, TDL yang menguntungkan bagi produsen listrik adalah tarif yang dapat memberikan keuntungan yang layak. Dalam rangka mempertemukan (mengakomodir) kedua kepentingan tersebut maka sejak awal krisis ekonomi hingga tahun 2005 ini, Pemerintah bersama PT. PLN (dengan persetujuan DPR Pusat) telah beberapa kali melakukan penyesuaian terhadap TDL per kelompok pelanggan. Namun demikian, kebijakan penyesuaian terhadap besarnya TDL yang berlaku sampai saat ini nampaknya belum mencerminkan tarif listrik yang kompetitif. Karena sejauh ini, besarnya TDL yang diberlakukan oleh PT. PLN masih relatif rendah apabila dikonversikan dengan mata uang dolar AS. Besarnya TDL rata-rata yang ditetapkan pemerintah pada masa sebelum terjadinya krisis ekonomi dan moneter sudah mencapai sekitar US$3 sen/kWh. Sejalan dengan depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar AS, maka besarnya TDL rata-rata tersebut merosot menjadi sekitar US$7 sen/kWh. Berkenaan dengan kenaikan TDL pada tahun 2000 dan 2001, besarnya TDL rata-rata pada tahun 2001 naik menjadi US$3,31 sen/kWh. Namun, besarnya harga jual rata-rata tetap di bawah harga pokok penjualan (HPP), yang mencapai US$4.03 sen/kWh. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan investor ketenagalistrikan menjadi rendah, kerena TDL yang lebih rendah dari HPP pada dasarnya akan mempersulit keuangan PT. PLN. Sementara itu, output investor ketenagalistrikan harus dijual kepada PT. PLN yang kondisinya kurang

menguntungkan tersebut.

1.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Di samping masalah besarnya TDL yang hanya sekitar 25% dari biaya recoverynya, masalah lain yang masih dihadapi oleh PT. PLN adalah diterapkannya sistem tarif uniform rate khusus pelanggan rumahtangga untuk semua jam pemakaian listrik, sehingga tidak ada pembedaan besarnya TDL untuk pemakaian pada waktu beban puncak (peak load) dan pemakaian pada waktu di luar beban puncak (siang hari). Padahal sudah bisa diduga bahwa pada masa beban puncak, biaya operasional yang harus ditanggung oleh PT. PLN akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional pada masa bukan beban puncak. Oleh sebab itu, besarnya TDL yang diberlakukan tersebut juga merupakan salah satu faktor kurang menariknya investasi di sektor kelistrikan. Faktor penyebab lainnya adalah masih terjadinya in efisiensi dalam proses produksi listrik karena high cost economy, yang artinya biaya yang diperlukan untuk kegiatan produksi cenderung tinggi secara alamiah, dan pada akhirnya dapat menciptakan kondisi dan suasana investasi menjadi tidak kondusif. Padahal, investor swasta baru memerlukan kondisi dan suasana yang kondusif guna mendukung kegiatan investasi tersebut1. Dari dua sumber permasalahan tersebut, nampaknya tarif harga jual listrik yang rendah relatif sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek, mengingat tarif harga jual listrik sejauh ini dianggap sebagai barang strategis yang mempunyai pengaruh sosial-politis terhadap masyarakat. Permasalahan yang lebih berpeluang untuk dicari solusinya adalah relatif tingginya biaya. Oleh sebab itu, faktor penting yang diperlukan untuk menarik investor swasta baru di sektor kelistrikan adalah pandangan Pemerintah terhadap strategisnya persoalan kelistrikan di masa depan, serta goodwill Pemerintah untuk mendorong perkembangan kondisi dan suasana investasi menjadi kondusif. Hal tersebut menjadi makin penting sejalan dengan adanya kenyataan bahwa keuangan PLN tidak akan mampu mendukung pembiayaan penyediaan listrik yang mencapai sekitar US$ 750 juta/ tahun (World Bank).

studi BAF CEPS 2004, dan laporan Bank Dunia dalam CGI meeting secara eksplisit menyampaikan bahwa daya saing iklim investasi di Indonesai ermasuk yang terendah.

1Hasil

1.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Mengingat, untuk saat ini kebutuhan dana investasi di sektor ketenagalistrikan lebih banyak diharapkan dari investor swasta, maka daya saing ekonomi dari usaha ketenagalistrikan tersebut harus dikembangkan. Hal tersebut terkait dengan hasil studi Badan Analisa Fiskal (BAF) Departemen Keuangan dan CEPS tahun 2004, yang menyatakan bahwa daya saing dunia usaha dalam negeri sudah tidak kompetitif lagi apabila dibandingkan dengan kondisi di negara-negara lain. Pengertian

competitiveness mengandung arti yang sangat luas, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan usaha suatu negara menciptakan dan memelihara daya saing dunia usaha dalam negeri (World Competitiveness Yearbook, 2003)2. Secara umum terdapat empat faktor yang mempengaruhi daya saing dalam suatu bangsa, yaitu : (i) kinerja perekonomian, (ii) efisiensi pemerintah, (iii) efisiensi dunia usaha, dan (iv) kondisi infrastruktur3. Salah satu langkah penting yang memungkinkan dilaksanakan pemerintah untuk memperbaiki daya saing iklim investasi di Indonesia adalah memberikan insentif bagi usaha ketenagalistrikan, sehingga masalah dan potensi masalah yang mungkin timbul dapat diminimalisir. Insentif tersebut dapat dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan yang diambil Pemerintah, misalnya kebijakan sektor riil melalui berbagai kemudahan ekspor-impor, sektor moneter melalui penetapan tingkat bunga yang bersaing, maupun melalui berbagai kebijakan fiskal, baik sisi belanja, pendapatan, maupun pembiayaan. Namun demikian, sifat investasi di sektor ketenagalistrikan merupakan investasi bernilai besar dan berjangka waktu panjang, maka campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dapat lebih efektif, di samping penerapan kebijakan lain. Kebijakan fiskal yang bisa dilakukan dalam hal ini tidak terbatas pada instrumen perpajakan saja, namun, berupa kebijakan fiskal dalam arti yang lebih luas seperti privatisasi dan/atau kebijakan penyertaan modal negara pada sisi belanja negara. Selanjutnya, permasalahan penting dalam studi ini adalah : a. Apa saja kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya untuk tenaga listrik sesuai peraturan perundangan yang berlaku,2Institute 3Idem.

for Management Development, 2003.

1.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

b. c. d.

Benefit cost analysis kebijakan fiskal untuk mendorong investasi tenaga listrik, Pengaruh kebijakan yang dipilih terhadap perkembangan pasokan, Apa rekomendasi kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi

ketenagalistrikan yang minimal dead weight loss-nya I.2. Tujuan Studi Kajian mengenai alternatif kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor ketenagalistrikan bertujuan, antara lain untuk : (1) Menginventarisir kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi, khususnya investasi di sektor ketenagalistrikan; (2) Menganalisis dan mengevaluasi (benefit cost analysis) kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor tenaga listrik; dan (3) Memberikan rekomendasi pilihan kebijakan fiskal yang dapat mendorong investasi di sektor ketenagalistrikan tanpa menyebabkan misalokasi sumber daya (minimal dead weight loss). I.3. Metodologi Penelitian Studi ini akan dilakukan melalui metodologi kuantitatif dan kualitatifdeskriptif, yaitu dalam bentuk studi pustaka maupun pengolahan data kuantitatif. Kajian kualitatif tersebut antara lain berupa review kebijakan ketenagalistrikan, dan kajian perundang-undangan, seperti review undang-undang perpajakan dan undang-undang ketenagalistrikan, beserta peraturan pelaksanannya. Selanjutnya, kajian kuantitatif dan analisis data dilakukan untuk memperkirakan kebutuhan tenaga listrik dan penawaran tenaga listrik di waktu mendatang, mengkaji dampak kebijakan perpajakan pada biaya investasi ketenagalistrikan, dan dampak makro dari kebijakan fiskal tersebut. Kajian pustaka akan memberikan landasan teori bagi analisis kuantitatif, sekaligus membandingkan fakta empiris yang telah diterapkan di negara lain. Sementara itu, review perundang-undangan memberikan landasan hukum (legal standing) bagi berbagai alternatif dan rekomendasi kebijakan. Peraturan

perundangan yang terkait dalam hal ini antara lain undang-undang keuangan

1.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

negara, undang-undang ketenagalistrikan, undang-undang tentang investasi, dan undang-undang tentang perpajakan, beserta peraturan pelaksanaannya. Sementara itu, analisis data kuantitatif akan memberikan simulasi dampak kebijakan yang akan diambil. Dengan menggunakan data-data tentang

ketenagalistrikan, seperti statistik ketenagalistrikan, dan statistik PLN, maupun datadata dari luar negeri, dengan dibantu model-model statistik, persamaan simultan, maupun keseimbangan umum, diharapkan dapat memprediksikan dampak kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perekonomian. Dengan demikian, alternatif kebijakan yang direkomendasikan sudah merupakan alternatif-alternatif yang optimal, baik dari sisi fiskal, pertumbuhan ekonomi nasional maupun sektoral, dan kepentingan masyarakat secara umum. Tahap analisis yang akan dilakukan adalah: 1) 2) Melakukan evaluasi penyebab terjadinya kesenjangan, Memperkirakan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan, 3) Alternatif peluang yang paling mungkin untuk menutup kekurangan biaya tersebut, dan 4) Bentuk insentif apa yang bisa diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku, atau insentif baru seperti di negara lain. I.4. Output Dari studi ini diharapkan dapat dihasilkan output, yaitu dalam bentuk: a. b. Dampak kebijakan fiskal pada biaya investasi ketenagalistrikan? Analisis dan evaluasi kebijakan fiskal untuk mendorong investasi di sektor tenaga listrik berdasarkan benefit cost analysis c. Rekomendasi terhadap bentuk-bentuk kebijakan fiskal yang dapat mendorong mendorong investasi dengan meminimalisir misalokasi sumber daya (minimal dead weight loss), terutama di bidang (i) perpajakan, (ii) penyertaan modal negara (government investment), dan (iii) privatisasi.

1.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB II LANDASAN TEORI : KESENJANGAN (GAP) ANTARA PENYEDIAAN DENGAN PERMINTAAN LISTRIK

Energi / tenaga listrik di jaman sekarang termasuk dalam kebutuhan primer bagi masyarakat luas (konsumen), mengingat hampir semua peralatan yang dipergunakan dalam rumahtangga telah menggunakan energi listrik. Oleh karena itu, penyediaan energi listrik mutlah diperlukan dalam rangka menjamin tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Di beberapa negara, mati listrik bahkan sudah dianggap sebagai bencana nasional, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Selain itu, sebagian besar kegiatan ekonomi sangat tergantung pada penyediaan energi listrik, misalnya industri manufaktur, industri jasa, industri transportasi, perdagangan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Arsyad (1994), terdapat hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi energi (khususnya listrik), yang artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dicapai, semakin tinggi pula tingkat kebutuhan energi listrik. Sejalan dengan hal itu, Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003) menyatakan bahwa peningkatan PDB yang sustainable sebesar 6 persen/tahun dalam 10 tahun ke depan akan meningkatkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik sebesar 9% per tahun. Namun permasalahan yang terjadi saat adalah penyediaan (daya terpasang) energi listrik dan pertumbuhannya sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan antara

(permintaan)

masyarakat

menimbulkan

kesenjangan

(gap)

penyediaan dan permintaan energi listrik yang semakin besar di tahun mendatang. Hal tersebut pernah disampaikan dalam hasil penelitian Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan (2001) bahwa wilayah Jawa Bali mengalami krisis listrik karena tingkat cadangan (reserve margin) yang baru mencapai 24,8%, padahal seharusnya sebesar 30% untuk tingkat cadangan yang aman.

2.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan kata lain, terdapatnya gap antara penyediaan dengan permintaan tenaga listrik merupakan masalah penting sekarang dan di masa depan. Masalah kesenjangan tersebut disebabkan oleh adanya kendala dan atau hambatan -- yang salah satunya -- adalah kekurangan investasi di bidang kelistrikan. Menurut informasi yang dapat dikumpulkan bahwa terhambatnya kegiatan investasi di sektor ketenagalistrikan di Indonesia saat ini antara lain disebabkan : 1. Rendahnya kemampuan keuangan negara maupun PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero untuk meningkatkan usaha ketenagalistrikan (seperti usaha penyediaan pembangkit tenaga listrik maupun usaha usaha penunjang tenaga listrik); dan 2. Rendahnya minat investor (swasta) untuk berinvestasi dalam usaha kelistrikan karena faktor ekspektasi keuntungan investasi yang rendah. Ekspektasi tersebut dikarenakan penjualan listrik di Indonesia kepada konsumen oleh PLN belum bisa didasarkan pada harga pasar, tetapi didasarkan pada SDL yang diatur oleh pemerintah. Selain itu TDL yang berlaku masih menggunakan sistem uniform rate untuk semua jam pemakaian listrik sehingga penentuan tarif dasar listrik (TDL) belum mencerminkan harga pasar dan biaya. Sementara dari sisi yang lain, biaya investasi usaha ketenagalistrikan yang masih kurang kompetitif (high cost economy). Oleh karena itu, pilihan yang memungkinkan untuk dilaksanakan saat ini adalah memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan bila perlu memberikan insentif fiskal bagi usaha ketenagalistrikan. Berbagai insentif yang dapat diberikan pemerintah bagi investor di sektor usaha ketenagalistrikan melalui kebijakan di sektor riil seperti kemudahan melakukan ekspor impor, kebijakan disektor moneter seperti penetapan suku bunga yang kompetitif serta kebijakan fiskal melalui instrumen di bidang perpajakan, non perpajakan dan bea masuk. Mekanisme lain saat ini sedang diperkenalkan oleh Bank Dunia (World Bank) adalah Penjamin Penerimaan (Revenue Guaranteed).

2.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

2.1. Kegagalan Pasar dan Kebijakan Insentif Dalam Rangka Penyediaan Usaha Ketenagalistrikan Pasar dapat melakukan alokasi sumber daya secara efisien, apabila semua asumsi-asumsinya terpenuhi, antara lain : para pelaku ekonomi (produsen) bersifat rasional, memiliki informasi sempurna, barang (output) bersifat privat, pasar bersaing sempurna dan proses pertukaran tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut tidak dapat dipenuhi terutama dalam hal penyediaan listrik di Indonesia sehingga terjadi kegagalan pasar dalam usaha kelistrikan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dalam usaha penyediaan tenaga listrik, antara lain : 1. Informasi tidak sempurna karena ketidak-tahuan tentang jumlah dan kualitas barang (tenaga listrik) yang digunakan oleh konsumen sehingga untuk mendapatkan informasi tersebut yang detail perlu tambahan biaya; 2. Terdapat persaingan yang tidak sempurna (Inperfect Competition) dalam penyediaan tenaga listrik (sesuai dengan UU masih menunjuk PT PLN) sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan pemegang ijin usaha

ketenagalistrikan. Jadi, produsen tenaga listrik (PT. PLN) merupakan satusatunya perusahaan yang ditetapkan pemerintah dengan UU untuk memasok tenaga listrik sehingga BUMN tersebut seharusnya sangat mampu

mempengaruhi pasar dengan menentukan tingkat harga (dalam bentuk TDL). 3. Namun, tenaga listrik di dalam negeri dikategorikan sebagai barang semi public good, sehingga Pemerintah memberikan subsidi untuk pengadaan tenaga listrik. Seharusnya tenaga listrik merupakan barang private, artinya setiap masyarakat yang menggunakan tenaga listrik harus membayar (ada pengorbanan) sesuai dengan harga pasar yang mencerminkan harga pokok produksi dan manfaatnya. 4. Kegagalan pasar dalam penyediaan listrik ini menuntut intervensi pemerintah untuk menyediakannya. Akan tetapi, karena keterbatasan kondisi keuangan negara, maka intervensi tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian insentif yang dapat memberikan rangsangan ataupun penciptaan iklim usaha yang kondusif di bidang investasi penyediaan listrik.

2.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Didalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif dengan konotasi posistif berupa reward maupun konotasi negatif berupa cost / penalty / disincentive yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya baik sebagai pelaku ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident atas perilakunya. Keputusan para pelaku ekonomi pada umumnya ditentukan oleh net expected incetives yang akan diterimanya, baik yang sifatnya material maupun non material, sehingga keputusan para pelaku ekonomi dapat berubah apabila terdapat perubahan insentif. Untuk itu, setiap kebijakan pemerintah / ekonomi / pembangunan perlu memperhitungkan unsur insentif yang secara rasional dapat mengarahkan perilaku masyarakat sesuai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kesenjangan antara penyediaan dan permintaan masyarakat akan listrik dapat diselesaikan melalui penambahan investasi di sektor listrik sepanjang sistem insentif yang diharapkan para pelaku ekonomi dapat melampaui net expected incentives. Dalam hal ini, kesenjangan (gap) listrik dapat diminimalisir melalui pembangunan infrastruktur atau investasi di sektor pembangkit listrik. 2.2. Penyediaan dan Permintaan Energi Listrik Energi listrik termasuk barang ekonomis yang mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Namun yang perlu mendapat perhatian bahwa listrik merupakan salah satu barang yang termasuk dalam kategori administered price, yaitu barang yang harganya diatur oleh kebijakan pemerintah, bukan oleh produsen sepenuhnya. Misalnya, harga jual energi listrik per unit ditetapkan lebih rendah daripada biaya produksi per unitnya. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian serta mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan (PT. PLN) maka Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi kepada produsen. Subsidi merupakan salah satu bentuk transfer pendapatan dari Pemerintah kepada produsen maupun konsumen (masyarakat), sebagai akibat adanya perbedaan harga jual barang dan jasa yang lebih rendah di pasar dibandingkan dengan biaya produksinya.

2.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Kurva permintaan pada gambar 2.1 menjelaskan bagaimana keinginan konsumen untuk membeli pada berbagai tingkat harga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan harga barang itu sendiri, sehingga bentuk kurva permintaan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Kemiringan tersebut mengikuti hukum permintaan dimana konsumen biasanya akan membeli lebih banyak jika harganya lebih murah dan akan membeli lebih sedikit apabila harga lebih mahal. Gambar 2.1. Subsidi Dalam Rangka Penyediaan Energi Listrik D P2 Subsidi S0 S1

PPasar

EPasar

TDL S0 S1 0 Q2

ESubsidi

D

QPasar QSubsidi

Qt

Keterangan : P0 = Harga keseimbangan pasar TDL < P0 sehingga terdapat Gap (shortage) sebesar Q2Q1. Langkah yang bisa ditempuh adalah menetapkan TDL P0 atau subsidi untuk menggeser kurva supply S0 ke S1

Kurva penawaran pada gambar 2.1 menjelaskan keinginan produsen untuk menjual barang pada berbagai tingkat harga. Bentuk kurva penawaran miring dari kiri bawah ke kanan atas menunjukkan bahwa semakin tinggi harga barang tersebut maka semakin tinggi keinginan produsen untuk memproduksi dan menjual barangnya. Kenaikan harga suatu barang akan berkecenderungan untuk

meningkatkan produksi barang tersebut. Dalam jangka pendek adalah dengan peningkatan penggunaan kapasitas melalui penggunaan tenaga kerja tambahan

atau dengan menambah jam kerja, sedang dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan memperluas skala pabrik. Tingginya harga juga akan menarik perusahaan2.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

untuk masuk ke pasar sehingga jumlah penjual bertambah dan barang yang ditawarkan meningkat. Dalam kondisi keseimbangan pada gambar 2.1., menunjukkan kedua kurva permintaan dan penawaran akan berpotongan pada suatu titik tertentu, yaitu pada titik E yang merupakan titik keseimbangan dimana harga keseimbangan adalah P0, dan jumlah barang keseimbangan sebesar Q0. Dalam kondisi tersebut, tingkat harga dan kuantitas yang berlaku sesuai dengan harga pasar, dimana tingkat harga telah mencerminkan harga pokok produksi dan benefit dari konsumsi. Mekanisme pasar adalah kecenderungan dalam pasar dimana harga barang terus berubah sampai tercapai posisi keseimbangan (jumlah barang yang diminta = jumlah barang yang ditawarkan). Pada kondisi keseimbangan (di titik E0), tidak terjadi kelebihan maupun kekurangan barang sehingga tidak ada tekanan pada harga untuk berubah lagi. Namun sesuai dengan kondisi yang ada, harga jual listrik ditentukan oleh Pemerintah melaui penetapan TDL (harga adalah P1). Pada harga P1 produsen menghasilkan output sebesar Q2 lebih rendah dari yang dibutuhkan oleh konsumen Q1. Dalam kondisi tersebut terjadi kekurangan penyediaan barang (excess demand shortage). Untuk itu, biasanya Pemerintah menempuh kebijakan harga tertinggi (ceiling price) pada P1. Kebijakan ini bertujuan agar harga listrik dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Namun dengan dipilihnya kebijakan tersebut, Pemerintah menyadari dampak yang akan terjadi adalah excess demand. Guna menghindari kerugiaan yang besar dan atau untuk mempertahankan kelangsungan hidup produsen maka Pemerintah menempuh kebijakan subsidi (negative tax). Besarnya subsidi listrik yang diberikan oleh Pemerintah kepada produsen (PT. PLN) diharapkan mampu menambah suplai dari Q2 menjadi Q1 (gambar 2.1.). Pemberian subsidi ini akan menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 dan keseimbangan terjadi pada titik E1. Selain kebijakan subsidi, kebijakan lain yang dapat ditempuh Pemerintah berupa pemberian insentif kepada pelaku ekonomi, yang berupa insentif fiskal maupun insentif non fiskal, dengan tujuan untuk menumbuhkan minat investasi

2.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terutama untuk sektor kelistrikan serta untuk menjamin ketersediaan penyediaan listrik bagi masyarakat. Pemberian insentif fiskal tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah penawaran listrik. Besarnya perubahan penawaran listrik akibat pemberian insentif fiskal sangat tergantung pada elastisitas harga penawaran listrik. Pada saat ini, penawaran listrik dalm kondisi tidak elastis (s TR), b) Tahap II dimana perusahaan mengalami keuntungan maksimum karena total penerimaan lebih besar dari total biaya produksi (TR > TC), dan c) Tahap III dimana perusahaan mengalami break event point karena total penerimaan sama dengan total biaya produksi (TR = TC). Kondisi sebelum mendapat insentif Pemerintah, pada awalnya perusahaan menderita rugi (karena AC0 > AR1 = MR1) karena harga jual output yang rendah (0P1) dibawah harga keseimbangan (OP*). Pada tingkat harga 0P1 tersebut terjadi dua hal, yaitu : a) produsen hanya menawarkan output sebesar 0Q2 dengan kurva penawaran adalah S0, dan b) permintaan listrik masyarakat sebesar 0Q1 (karena berlaku hukum permintaan) dengan kurva pemintaan adalah D, sehingga akibatnya terjadi kelebihan permintaan (excess demand) sebesar selisih antara jumlah listrik yang ditawarkan produsen (S0) dengan jumlah permintaan listrik masyarakat (D) sebesar Q1Q2.

2.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Selanjutnya, perusahaan mendapat keuntungan maksimum dimana TR > TC0 yang disebabkan oleh meningkatnya harga jual mencapai 0P* (harga ini terjadi karena mekanisme pasar yaitu bertemunya permintaan dan penawaran akan listrik) dan ouput keseimbangan pada 0Q*. Kemudian karena biaya variabel (maintenance cost) untuk memproduksi listrik meningkat terus dan terjadi in efisiensi dalam perusahaan maka kemampuan produsen untuk menghasilkan laba akan semakin berkurang dan pada periode selanjutnya perusahaan kembali pada posisi titik impas (break event) yang diperlihatkan oleh TR = TC0. Dan apabila dibiarkan kondisi tersebut, besar kemungkinan perusahaan akan mengalami kerugian dan mendorong harga listrik semakin tinggi karena untuk mengurangi kerugian perusahaan. Untuk itu, Pemerintah perlu memberikan campur tangan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dan menciptakan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Kemudian Pemerintah memutuskan bentuk campur tangannya berupa insentif (sebesar selisih antara TC0 dengan TC1) kepada perusahaan. Kondisi perusahaan setelah mendapat insentif dari Pemerintah, sehingga total biaya produksi menjadi lebih murah yang diperlihatkan oleh turunnya kurva TC dari TC0 menjadi TC1. Penurunan total biaya produksi tersebut diikuti dengan meningkatnya penawaran output sehingga menggeser kurva penawaran dari S0 menjadi S1. Dengan demikian, terjadi pergeseran keseimbangan pasar dari pada titik E0 menjadi E1 dan perubahan harga keseimbangan dari 0P* menjadi 0P1 serta diikuti dengan penambahan output dari 0Q* menjadi 0Q1. Besarnya selisih antara harga per unit (yaitu antara 0P* dengan 0P1) menunjukkan besarnya insentif per unit yang diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan. Oleh karena itu, tujuan utama Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan terutama listrik adalah harga jual yang dapat terjangkau oleh masyarakat, jumlah output mencukupi kebutuhan masyarakat dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Dengan demikian, pemberian insentif oleh Pemerintah ini seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan (komponen) masyarakat bukan hanya segilintir golongan tertentu saja.

2.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan TC0 TC1 TR

TR, TC

0

1

Gambar 2.4. Biaya Produksi dan Pasar Energi Listrik

0

Q2

QPasar MC0 EPasar

QSubsidi AC0

Qt

P, MR, AC, MC Tingkat Harga Pasar

MC1

AC1

AVC

TDL MR1

0

Q2

QPasar

QSubsidi

Qt

P S0 Tingkat Harga Pasar EPasar

Subsidi TDL

S1

ESubsidi

D 0 Q2 QPasar QSubsidi Qt

2.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB III Gambaran Umum Ketenagalistrikan di Indonesia 3.1. Profil Ketenagalistrikan Konsumsi listrik merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas perekonomian nasional, sehingga semakin tinggi aktivitas perekonomian akan menimbulkan konsumsi listrik yang semakin tinggi pula. Konsumsi listrik ini menunjukan pola peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maupun pertumbuhan penduduk Indonesia. Data menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga listrik secara nasional mencapai 88 TWh tahun 2000, dan meningkat mencapai 99 TWh tahun 2004. Untuk tahun 2010 diperkirakan konsumsi listrik secara nasional meningkat mencapai 145 TWh atau rata-rata per tahun naik sebesar 7,74%. Gambar 3.1. Profil Kebutuhan Tenaga Listrik Tahun 2001 - 2013

200.000 180.000 160.000 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Indonesia

Jawa-Bali

Wilayah Lain

Berdasarkan regional atau wilayah, jumlah konsumsi listrik terbesar terdapat di Jawa Bali yang mencapai 79,7 TWh tahun 2004 atau 80,5% dari konsumsi listrik nasional. Hal ini wajar karena dari 33 juta konsumen listrik di seluruh Indonesia, sebanyak 22,6 juta konsumen listrik atau 68.48% berada di Jawa Bali. Jumlah

3.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

konsumsi listrik di Sumatera sebesar 11,6 TWh tahun 2004 atau 11,7% dari konsumsi listrik nasional, dengan jumlah konsumen sebesar 5,9 juta pelanggan atau 17,9% dari total pelanggan. Untuk wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Irian Jaya) pada umumnya konsumsi listrik masih relatif kecil (kurang dari 5 TWh) tahun 2004. Pada tahun 2004 konsumsi listrik untuk Jawa Bali mencapai 79,7 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 125,9 TWh. Di Sumatera konsumsi listrik pada tahun 2004 mencapai 11,6 TWh dan tahun 2010 diperkirakan meningkat 16,3 TWh (lihat Gambar 3.2). Gambar 3.2 Profil Kebutuhan Listrik Per Wilayah Tahun 2004 2010140 120 100 80 60 40 20 0 Jawa - Bali Sumatera Tahun 2004 Kalimantan Sulawesi Tahun 2010 Lainnya11,6 16,3 3,2 4,5 3,1 4,4 1,3 5,3 79,7 125,9

Tingkat electrification ratio, yaitu jumlah orang pemakai listrik terhadap total penduduk Indonesia, menyatakan bahwa semakin tinggi angka electrification ratio maka semakin banyak jumlah orang yang dapat mengkonsumsi dan menggunakan energi listrik untuk membantu melakukan aktivitasnya. Pada tahun 2004, angka electrification ratio secara nasional baru mencapai 54,8% dan di tahun 2010 diperkirakankan mencapai 70%. Tahun 2004 angka electrification ratio tertinggi adalah di wilayah Jawa & Bali yang mencapai 59,42%, disusul Sumatera 53,1%, Sulawesi 47,2%, Kalimantan 46,6% dan wilayah lainnya mencapai 33%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka electrification ratio3.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

terbesar berada di Pulau Jawa & Bali, artinya lebih dari 59% penduduk Indonesia yang berada di Pulau Jawa & Bali sudah menikmati dan menggunakan listrik dalam menunjang aktivitasnya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, angka electrification ratio di Indonesia masih jauh ketinggalan, misalnya dengan Armenia, Azerbaijan, Brunai Darussalam, Iran, China dan Singapura, dimana angka electrification ratio mencapai 100%. Rendahnya angka electrification ratio di Indonesia tersebut dalam jangka panjang akan berdampak pada rendahnya kemampuan Pemerintah terutama dalam mendorong atau memacu pertumbuhan ekonomi. 3.2. Produksi Listrik dan Penggunaan Bahan Bakar Sektor Listrik Dari sisi kapasitas tenaga listrik, pada tahun 2004 produksi listrik baru mencapai sebesar 24,3 GW, dimana 10,8% adalah hasil listrik swasta dan selebihnya oleh PT. PLN (Persero). Untuk meningkatkan angka electrification ratio menjadi 70% tahun 2010 maka kapasitas produksi listrik diharapkan naik sebesar 37,9 GW. Gambar 3.3. Diversifikasi Bahan Bakar Sektor Listrik

180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0

Oil 5% 9,6% 18% 9,7% 24% 49% 43% 5% 5,9% Geo Coal 30% Hydro Gas

4% 10%

G Wh

34%

46%

5,7%

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

3.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Berdasarkan fuel diversification plan Indonesian electricity sector 2004 - 2010, menunjukkan bahwa untuk menghasilkan energi listrik sebesar 24,3 GW tahun 2004 diperlukan bahan bakar dengan komposisi 43% dari bahan bakar batubara, 24% dari gas, 9,7% dari hydro dan 18% dari bahan bakar minyak. Komposisi produksi listrik berdasarkan jenis pengggunaan bahan bakar ini masih belum efisien. 3.3. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Listrik Tenaga listrik merupakan unsur vital dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, khususnya di bidang ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan tenaga listrik membawa outcome positif berupa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Akan halnya persoalan-persoalan ketenagalistrikan menimbulkan dimensi dampak yang meluas, tidak sebatas pada aspek ekonomi. Mengingat perannya yang esensial, maka pengelolaan ketenagalistrikan harus ditopang oleh kebijakan yang tepat. Nyatanya, persoalan demi persoalan ketenagalistrikan terus bergulir di negeri ini. Hal itu merefleksikan bahwa kebijakan energi (pada umumnya) dan

ketenagalistrikan (pada khususnya) belum mendukung dihasilkannya pasokan tenaga listrik yang cukup dari segi jumlah, mutu, dan keandalannya, juga dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pemadaman listrik secara bergilir di

wilayah Jawa dan Bali menjelang pertengahan tahun 2005 menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat yang menduga telah terjadi kekurangan pasokan listrik. Dugaan tersebut disangkal oleh PT. PLN (Persero) yang dalam siaran persnya

tanggal 2 Juni 2005 menyatakan kemampuan pasokan tenaga listrik untuk wilayah Jawa Bali cukup dan terus ditambah. Daya terpasang Pusat Listrik yang dimiliki oleh PLN di Pulau Jawa Bali adalah 16.261 MW, dengan Daya Mampu Netto 15.099 MW. Sedangkan pembangkit terpasang yang dimiliki oleh Swasta adalah sebesar 3.255 MW, sehingga total daya terpasang pembangkit di sistem Jawa Bali 19.516 MW dengan Daya Mampu Pasok pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.625 MW. Beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali terjadi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, dimana beban puncak tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW... (Siaran Pers PT. PLN tanggal 2 Juni 2005.

3.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Namun, padamnya aliran listrik PLN (black-out) secara mendadak di sebagian wilayah Jawa dan Bali seperti yang terjadi tahun 1997, 1999, 2000 dan 2002 silam, kembali terulang pada 18 Agustus 2005. Kejadian tersebut memperkuat dugaan adanya ketidakberesan dalam sistem ketenagalistrikan, sehingga kemudian menuai pertanyaan; apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ketenagalistrikan tersebut?

Jumlah Tenaga Listrik (MW)80 70 60 50 40 30 20 10 0

Gambar 3.4. Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran Tenaga Listrik

Permintaan PenawaranTahun

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ketenagalistrikan, tulisan ini akan menyarikan beberapa kajian pengamat ketenagalistrikan maupun penjelasan pihak PT. PLN menyangkut kondisi permintaan dan penawaran tenaga listrik saat ini, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berbagai kajian tersebut

menghasilkan konklusi bahwa meski saat ini pasokan tenaga listrik diberitakan masih berada pada tingkat yang relatif aman (sedikit melebihi tingkat

permintaannya), namun jika tidak ada improvement kebijakan ketenagalistrikan dapat dipastikan dalam waktu dekat pasokan tenaga listrik tidak akan mampu lagi mengimbangi pertumbuhan permintaannya yang akan jauh melesat (Gambar 3.4). Dengan demikian, kebijakan di sektor ketenagalistrikan perlu segera dibenahi, termasuk di dalamnya insentif fiskal yang diperlukan mendorong investasi guna memacu peningkatan pasokan tenaga listrik. Berangkat dari gambaran kondisi

ketenagalistrikan yang dikemukakan, dapat diidentifikasi aktivitas dalam sektor ketenagalistrikan yang masih perlu mendapatkan insentif fiskal. Selanjutnya pada bagian akhir tulisan ini dibangun metodologi dalam rangka mencari bentuk insentif3.5

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

fiskal sesuai dengan kebutuhan yaitu; meningkatkan jumlah pasokan, efisiensi dan keandalan tenaga listrik. 3.3.1. Potret Permintaan Tenaga Listrik Saat ini, permintaan tenaga listrik masih terkonsentrasi di wilayah Jawa Bali yang menyerap sekitar 77 persen kebutuhan listrik. Jumlah permintaan tenaga dapat dilihat dari besarnya penggunaan pada saat beban puncak. Menurut catatan PLN, beban puncak di wilayah Jawa Bali pada tanggal 2 Juni 2005 sebesar 14.575 MW, dan diperkirakan bulan Oktober 2005 akan mencapai 15.245 MW. Permintaan tenaga listrik dipastikan akan terus meningkat pesat sebesar 6 - 7 persen/tahun. Sedikitnya ada tiga faktor yang mendorong peningkatan tersebut, yakni; pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, peralihan penggunaan listrik non-PLN ke listrik PLN, serta adanya kecenderungan masyarakat menggunakan listrik secara boros. a. Pertambahan Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 220 juta dan pertambahannya rata-rata sebesar 1,5 persen/tahun, serta tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen/tahun dalam lima tahun terakhir berimplikasi pada tingginya konsumsi tenaga listrik. Tenaga listrik digunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas dalam rumah tangga maupun menjalankan usaha (bisnis dan industri). Pada fase awal, pembangunan infrastruktur (termasuk tenaga listrik) akan sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi. Dalam perkembangannya, terbentuk struktur korelasi dua arah pada saat multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang mencukupi, andal, dan efisien. b. Peralihan Penggunaan Listrik Non-PLN ke Listrik PLN Peningkatan harga BBM yang terus terjadi sejak bulan Maret 2005 menyebabkan banyak industri yang semula membangkitkan listrik sendiri dengan

menggunakan genset kemudian beralih ke listrik PLN yang menjadi relatif lebih murah. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya lonjakan penggunaan tenaga3.6

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

listrik melebihi jumlah pasokannya. Lonjakan ini terlihat pada tanggal 29 April 2005 yang dilaporkan sebagai beban puncak tertinggi Pulau Jawa Bali yaitu sebesar 14.821 MW. c. Kecenderungan Masyarakat Menggunakan Listrik Secara Boros Perilaku konsumsi tenaga listrik oleh masyarakat cenderung boros. Di kalangan rumah tangga hal ini ditandai oleh penggunaan jumlah lampu hemat energi yang masih terbatas, karena alasan harga jenis lampu tersebut yang dirasa mahal. Masyarakat umumnya tidak memperhitungkan bahwa penghematan

pengeluaran dari penghematan listrik karena penggunaan jenis lampu tersebut akan lebih besar. Sedangkan di kalangan industri, misalnya industri tekstil,

masih banyak dijumpai penggunaan mesin-mesin tua yang masih dipertahankan oleh pengusaha padahal produktivitasnya sudah berkurang dan menuntut penggunaan listrik yang lebih besar per satuan produksi. Namun demikian, Pemerintah terhitung berhasil dalam mengkampanyekan penghematan listrik di malam hari pada kelompok pelanggan rumah tangga yang diserukan melalui Keppres Nomor 10 Tahun 2005, buktinya terjadi penurunan beban puncak, dari posisi tertinggi pada tanggal 29 April 2005 sebesar 14.821 MW, menjadi 14.575 MW pada tanggal 2 Juni 2005. 3.3.2. Penawaran Tenaga Listrik1 Sebagaimana tercantum dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 2025 Departemen ESDM2, dari total kapasitas pembangkit sebesar 24.000 MW, 13 persen tersebar di wilayah Sumatera, 77 persen di Jawa - Bali, 3 persen di Kalimantan, dan 2,7 persen di Sulawesi. Trend pembangunan sistem

ketenagalistrikan masih terpusat di wilayah Jawa Bali.

Bagi kontraktor listrik

swasta, kedua wilayah tersebut dinilai lebih tidak beresiko, karena selain pasarnya besar dan berkembang pesat, infrastruktur pendukung sudah tersedia.

1

2

Terminologi penawaran tenaga listrik yang digunakan dalam kajian ini dikenal dengan istilah penyediaan tenaga listrik dalam perundangan ketenagalistrikan, yang meliputi tiga aktivitas, yakni; pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik. Dikutip dari artikel Kompas 20 Agustus 2005 berjudul Interkoneksi untuk Atasi Listrik.

3.7

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dengan pola pengembangan sistem ketenagalistrikan seperti dikemukakan di atas, kesenjangan antara wilayah Jawa Bali dengan wilayah lainnya semakin besar, padahal pembangunan di wilayah Indonesia Timur khususnya sangat tergantung salah satunya pada keberadaan tenaga listrik yang andal. Pengembangan pola

KAPET oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk menarik investasi di sektor ketenagalistrikan dan industri penggunanya secara bersamaan belum membawa perubahan yang signifikan terhadap pembangunan di wilayah Luar Jawa Bali. Secara umum, pertumbuhan penawaran tenaga listrik relatif lambat dibandingkan tingkat permintaannya. Sampai dengan tahun 1996, tingkat

elektrifikasi -yaitu prosentase listrik terpasang dibandingkan kebutuhan- hanya sekitar 40 persen (Elektro Indonesia, 1997)3. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalanpersoalan yang menyelimuti aktivitas penyediaan tenaga listrik. a. Pembangkitan Tenaga Listrik Dari segi pembangkitan tenaga listrik, terdapat dua hal yang memicu rendahnya pertumbuhan penawaran tenaga listrik, yaitu; (i) adanya gap antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada saat ini (existing), serta (ii) lambatnya penambahan jumlah pembangkit tenaga listrik baru. b. Pembangkit Tenaga Listrik Existing. Pada seluruh pembangkit tenaga listrik yang ada, umumnya terjadi perbedaan (gap) antara daya terpasang, daya mampu netto, dan daya mampu pasok. Hal itu antara lain disebabkan oleh: i. Berkurangnya umur teknis peralatan pembangkit. Berkurangnya umur teknis

peralatan menyebabkan penurunan kemampuan pembangkitan (derating), apalagi selama ini setiap pembangkit selalu dioperasikan secara maksimal mengingat keterbatasan jumlah pembangkit.

3

Elektro Indonesia, Edisi Kedelapan, Juli 1997, Kerjasama Tenaga Listrik Sektor Swasta ASEAN di Daerah Perbatasan Kalimantan.

3.8

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

ii. Kegiatan pemeliharaan peralatan pembangkit. Beberapa pembangkit sedang dalam pemeliharaan sesuai dengan jadwal pemeliharaan masing-masing pembangkit. iii. Variasi musim mengganggu operasionalisasi pembangkit. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah jenis pembangkit yang operasionalisasinya tergantung pada musim. Saat kemarau, tenaga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit jenis ini banyak berkurang. iv. Sebanyak 4 6 persen produksi tenaga listrik digunakan untuk keperluan operasional pembangkit. v. Ketersediaan bahan bakar. Tenaga listrik sebagai bentuk energi sekunder tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Melambungnya harga BBM yang terjadi saat ini membebani keuangan negara karena anggaran subsidi listrik membengkak, yang kemudian membawa efek beruntun pada cashflow PT. PLN, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), sehingga jumlah pasokan listrik berkurang. Sementara itu, pengoperasian pembangkit listrik dengan energi lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) terkendala oleh jumlah pasokan bahan bakar. Tingginya harga batubara dan gas, membuat produsennya lebih banyak menjual ke pasar ekspor. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mengakui dari 131,72 ton produksi

nasional sekitar 70 persen hasil batubara diekspor, sisanya dipakai untuk kebutuhan dalam negeri4. Sedangkan untuk gas bumi, dari produksi nasional sebesar 8,35 miliar kaki kubik (BSCF) per hari di tahun 2004, sekitar 58,4 persen diekspor dan sisanya untuk kebutuhan domestik. Akibatnya, banyak pembangkit listrik yang tidak dapat beroperasi secara optimal. c. Lambatnya Penambahan Jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Baru. Pesatnya laju peningkatan permintaan tenaga listrik seharusnya diimbangi oleh peningkatan produksinya. Namun, realisasi pertumbuhan pembangkit yang4

Kompas, 22 Juli 2005, Batubara: Kebutuhan Domestik Harus Diutamakan.

3.9

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

dilakukan oleh kontraktor listrik swasta (independent power producers) tidak mengalami kemajuan berarti dalam tiga tahun terakhir5. Beberapa hambatan yang mengganjal investor masuk ke bisnis pembangkitan listrik antara lain: Beban pajak yang dikenakan oleh Pemerintah sangat besar. Pajak tersebut bahkan sudah mulai dikenakan pada saat eksplorasi. Pada kasus pembangunan PLTGU Cilegon yang dimulai tahun 2004 dan masih berlangsung hingga saat dengan dana pinjaman dari Jepang, dari total biaya sebesar USD 431,3 juta, 8,8 persen diantaranya untuk membayar pajak dan 6,6 persen untuk membayar bunga pinjaman dan biaya-biaya pinjaman lainnya. Pajak yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah semakin beragam. Kepentingan Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Contohnya di Sulawesi Utara, air untuk pembangkit listrik dikenakan pajak. Peraturan itu berdampak pada perhitungan keuntungan, sementara kontraktor tidak bisa menaikkan harga jual listrik yang penetapannya menjadi wewenang PT. PLN. Hal tersebut menyebabkan banyak kontraktor listrik swasta menghentikan proyeknya untuk sementara. Tidak ada lagi surat jaminan Pemerintah bagi kontraktor listrik swasta. Ini merupakan kebijakan baru Pemerintah yang diberlakukan sejak tahun 2002. Dengan tidak adanya jaminan tersebut, maka kontraktor harus menanggung sendiri semua resiko kegagalan proyek. Pengembangan energi alternatif sebagai bahan bakar pembangkit listrik terganjal oleh kebijakan lingkungan hidup. Baku mutu emisi adalah salah satu aturan yang harus dipenuhi dalam rencana pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Batubara memang sangat rentan terhadap polusi karbon di atmosfer. Profesor Smalley menyebut efek dari polusi batubara ini sebagai efek gigaton carbon pada atmosfer yang sangat berbahaya bagi kelangsungan bumi itu sendiri6. Sementara itu di Bedugul Bali yang merupakan daerah resapan air, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang5 6

Kompas, 30 Juli 2005, Investasi Listrik Swasta Mandek: Pemerintah Belum Beri Kemudahan. Kompas, 18 Agustus 2005, Teknologi Nano: Solusi Kebutuhan Energi Masa Depan

3.10

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

sudah sampai tahap melakukan pengeboran tiga sumur di kawasan hutan lindung tidak berjalan mulus karena dikhawatirkan oleh masyarakat setempat akan menyebabkan krisis air. Jaminan ketersediaan bahan bakar pembangkit. Lambatnya pertumbuhan

pembangkit tenaga listrik tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan energi nasional. Salah satunya adalah masalah pengelolaan gas bumi, yang

cadangannya berada di luar Jawa, dalam hal ini Sumatera dan Kalimantan, sementara pasar utamanya ada di Jawa. Kontraktor penghasil gas enggan

mengeksploitasi karena infrastruktur distribusi gas ke Jawa tidak disediakan Pemerintah7. Mahalnya teknologi pembangkit dengan bahan bakar yang tergolong energi terbarukan. Peningkatan harga BBM membuat banyak pihak mulai mempertimbangkan diversifikasi energi dengan memanfaatkan energi terbarukan (seperti hidro, solar dan angin). Namun demikian, saat ini teknologi untuk kegiatan

pengembangannya masih terhitung mahal karena belum banyak dikuasai oleh sumberdaya manusia di dalam negeri, sehingga untuk pengadaan teknologi tersebut perlu mengimpor. Kondisi infrastruktur (jalan, pelabuhan, dan lainnya) yang ada saat ini sudah tidak lagi memadai. 3.3.3. Transmisi Tenaga Listrik Di Jawa Bali. Ketergantungan yang sangat besar atas transmisi 500KV di bagian utara Jawa yang merupakan satu-satunya jaringan penghubung daya dari PLTU Paiton di Jawa Timur ke Jawa Barat. Hal itu membuat pasokan listrik untuk interkoneksi Jawa Bali sangat rentan mengalami gangguan karena tidak ada alternatif jaringan transmisi. Selain itu, kondisi sistem interkoneksi tersebut sudah tua, dibangun tahun 1984 bersamaan dengan beroperasinya PLTU Suralaya. Sementara itu,

pembangunan jaringan baru di sepanjang selatan Jawa terhambat persoalan pembebasan lahan.7

Kompas, 20 Agustus 2005, Kelangkaan Gas Sekarang Ini, Salah Siapa?

3.11

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Meskipun keberadaan jaringan transmisi alternatif di sepanjang selatan Jawa diperlukan, tapi menurut Robert Blohm hal tersebut bukan merupakan solusi mendasar terhadap persoalan ketenagalistrikan yang melanda Jawa Bali saat ini. Seharusnya PT. PLN membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum terjadi pemadaman. Interkoneksi Jawa Bali dapat beroperasi dengan baik jika didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi. Pemerintah harus mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk mengurangi tarif listrik di wilayah yang masih memerlukan pembangunan sehingga mendorong indutsri untuk berpindah ke sana8. 3.3.4. Transmisi Tenaga Listrik Di Luar Wilayah Jawa Bali. Jaringan transmisi relatif pendek (terutama di Kalimantan dan Sulawesi), terbatas pada tegangan tinggi 70 kV dan 150 kV, rata-rata pertumbuhannya rendah. Di luar Jawa, jaringan distribusi tenaga listrik banyak yang belum tersambung. Karena alasan itulah, investor yang ingin membangun pembangkit.

memprioritaskan pembangunan pembangkit tenaga listrik di wilayah Jawa Bali yang sistem pendukungnya sudah tersedia. 3.4. Peluang dan Kendala Investasi di Bidang Ketenagalistrikan Pada saat ini kebutuhan energi listrik masyarakat sudah demikian tinggi mencapai 99 TWh dibandingkan dengan kapasitas produksi energi listrik yang hanya 87 TWh, sehingga diperlukan tambahan produksi energi listrik sebesar 13.000 MW. Kebutuhan kapasitas tambahan tersebut diharapkan 8.000 MW dipenuhi oleh PT. PLN dan sisanya 5.000 MW diperoleh dari IPP-swasta. Kekurangan pasokan listrik ini mencerminkan bahwa PT. PLN sangat membutuhkan sumber pasokan listrik khususnya pembangunan infrastruktur listrik, yaitu untuk pembangkit dan transmission line.

8

Kompas, 29 Agustus 2005, Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat: Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial.

Dipisahkan antara

3.12

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Hal tersebut diperkuat lagi dengan kondisi, antara lain : a) rasio elektrisasi9 masih kurang dari 60%, b) harga jual beli yang disetujui antara PT. PLN dengan IPP masih proposional, c) cadangan energi selain bahan bakar minyak (BBM) masih relatif besar dengan harga masih terjangkau (seperti batubara, gas alam, air dan panas bumi) dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi BBM, d) rendahnya reserve margin sistem kelistrikan yang kurang dari 30%, dan e) belum berjalannya jaringan interkoneksi jawa sumatera melalui kabel laut. Dengan demikian, untuk memenuhi hal tersebut maka PT. PLN masih perlu pembangunan (investasi) infrastruktur ketenagalistrikan khususnya di sektor pembangkit, distribusi dan transmission line. Tabel 3.1. Angka ROR Tahun 2000 2007 Angka ROR Aktual (%) - 7,70 - 5,20 - 5,76 - 1,10 2,80 8,00 8,00 8,00 Angka ROR Menurut Cofenant Bank Dunia (%) 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00 8,00

No 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Sumber : Reinstra PT. PLN (Persero) Tahun 2003 2007.

Guna memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur tersebut, maka diperlukan pendanaan yang sangat besar. Total kebutuhan dana investasi seluruh wilayah di Indonesia selama periode tahun 2003 2007 (constant disbursement) sebesar US$ 6,617.3 juta dan US$ 5,779 juta (fixed asset). Namun dalam kondisi saat ini, pendanaan investasi tersebut tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PT. PLN. Sejak tahun 2000 PT. PLN mengalami ketidakseimbangan finansial perusahaan yang dicerminkan oleh ROR yang negatif (Reinstra PT. PLN, 2003 2007) sehingga

9Merupakan

proses listrik terpasang dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang masih rendah (yaitu 40% tahun 1996) sehingga kebutuhan pasokan listrik akan terus meningkat untuk mengejar ketinggalan dengan kebutuhan listrik masyarakat akan kegiatan ekonomi dan pembangunan.

3.13

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

menyulitkan PT. PLN untuk melakukan investasi sendiri. Padahal angka ROR yang disyaratkan oleh cofenant Bank Dunia sebesar 8%. Selain itu, semenjak tahun 1997 perusahaan ini tidak pernah menerima pinjaman baru dengan pola pendanaan concessional loan dari lembaga-lembaga keuangan luar negeri sebagai sumber dana investasi. Untuk itu, PT. PLN mengharapkan adanya dukungan pemerintah terutama kebijakan insentif fiskal dalam rangka kerjasama dengan investor swasta untuk memenuhi kebutuhan dana investasi tersebut. Dukungan Pemerintah yang diharapkan PT. PLN adalah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif terutama melalui insentif fiskal guna menggairahkan dan mendorong investasi sektor kelistrikan di dalam negeri. Kesulitan dalam penyediaan dana investasi untuk pembangungan

infrastruktur tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a) Harga jual rata-rata menjadi lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS, b) fluktuasi kurs valuta asing mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya biaya produksi listrik terutama komponen biaya pembelian gas alam, listrik swasta, uap panas bumi, batubara, suku cadang dan beban pinjaman termasuk selisih kurs yang sebagian besar diperhitungkan dengan menggunakan valuta asing, dan c) dampak UU Otonomi Daerah yang menyulitkan bagi aktivitas PT. PLN karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi Pemda terutama pajak daerah dan retribusi daerah yang diberlakukan mulai dari hilir sampai hulu. Dalam menunjang iklim investasi yang kondusif di sektor kelistrikan, Pemerintah telah memberikan dukungan agar pembangunan infrastruktur

ketenagalistrikan dapat diciptakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 beserta petunjuk teknis adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 9 Tahun 2005 tentang Prosedur Lelang dan Penunjukkan Langsung Pembelian Tenaga Listrik, serta Keputusan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2005 tentang Perijinan Dalam Bidang Ketenagalistrikan. Berdasarkan peraturan tersebut PT. PLN telah mengundang investor domestik dalam lelang di 24 lokasi tersebar di luar Jawa, dengan kapasitas total 1.1343.14

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

MW dan diikuti sebanyak 59 investor (qualified bidder), dan proses lelang saat ini masih berlangsung. Oleh karena itu, PT. PLN mengharapkan bentuk dukungan Pemerintah Indonesia dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan, antara lain : a) insentif fiskal meliputi keringanan maupun penundaan pembayaran PPh dan atau PPN, b) kemudahan ekspor Impor, c) pengenaan tingkat bunga bersaing, dan d) kemudahan dan keringan pengenaan bea masuk. Menurut PT. PLN bahwa dukungan Pemerintah tersebut sangat diperlukan untuk pembangunan kelistrikan di sektor pembangkit yang diproduksi di dalam negeri sehingga perlu dipertimbangkan adanya pembebasan terutama untuk bea masuk, PPN impor, dan untuk impor barang raw material dan sub sistem equipment yang diperlukan bagi fabrikasi perlatanan yang diproduksi di dalam negeri. Dukungan Pemerintah tersebut diharapkan dapat menciptakan biaya produksi peralatan yang dapat lebih bersaing dengan peralatan impor langsung dari luar negeri. Untuk menarik minat investor swasta (dari dalam maupun luar negeri) dalam usaha penyediaan listrik perlu ditawarkan beberapa hal-hal, yaitu iklim investasi yang kondusif dan atau kemudahan-kemudahan yang dapat diberikan kepada investor. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan kegiatan yang dapat

menggairahkan investasi di sektor kelistrikan, meliputi : a. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan diseluruh tanah air, karena hal ini merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan investasi. b. Menciptakan dan menyempurnakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku (baik yang baru maupun lama) agar transparan dan mendukung usaha penanaman modal. c. Menyempurnakan prosedur pelayanan investasi serta mempercepat

pengeluaran perijinan (baru dan lama). d. e. Memberikan kemudahan tata cara memperoleh / penggunaan tanah. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

3.15

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

f.

Menjamin ketersediaan sumber energi primer dengan menyediakan sarana penyaluran dan penyimpanan, seperti batubara, air dan gas alam.

g.

Mempercepat pembangunan infrastruktur yang memadai, seperti jalan, pelabuhan, transportasi, dan lain-lain. Untuk pembangunan infrastruktur listrik diperkirakan memerlukan dana

investasi sebesar Rp 60,3 triliun dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,93% per tahun (Media Indonesia, 5 September 2005). Jumlah dana investasi tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia dimana konsumsi tenaga listrik terbesar berada di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,6 TWh atau 80% dari keseluruhan konsumsi listrik di Indonesia. Apabila dicermati, konsumen (pelanggan) listrik terbesar adalah kelompok rumahtangga sebanyak 31 juta pelanggan atau 93% dari total 33,2 juta pelanggan (PT. PLN, 2004). Kemudian disusul oleh kelompok sektor bisnis yang mencapai 1,4 juta pelanggan (4%), dan kelompok sosial sebesar 691 ribu pelanggan atau 2% (lihat tabel 3.3.). Besarnya konsumsi listrik di Pulau Jawa Bali saat ini ternyata menjadi salah satu permasalahan yang krusial dalam kebijakan energi di Indonesia. Pada kondisi beban puncak, jumlah daya yang dibutuhkan mencapai 14.800 MW. Tingginya kebutuhan listrik tersebut karena Pulau Jawa Bali merupakan konsentrasi penduduk terbesar dan tempat didirikan industri. Tabel 3.2. Pelanggan PT. PLN Tahun 2000 2004Kelompok Pelanggan Rumah tangga Industri Bisnis Sosial Perkantoran Total Growth 2000 26.796.675 44.337 1.062.955 582.811 102.627 28.589.405 3.9% 2001 27.885.612 46.014 1.172.247 608.713 115.142 29.827.728 4.3% 2002 28.903.325 46.824 1.245.709 633.114 124.947 30.953.919 3.8% 2003 29.997.554 46.818 1.310.686 659.034 137.324 32.151.416 3.9% 2004 30.957.613 46.343 1.357.114 690.989 160.466 33.212.525 3.3% Share (%) 93.2 0.1 4.1 2.1 0.5 100.0

3.16

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan Sumber : Media Indonesia, 06 September 2005.

Berdasarkan uraian di atas, sudah saatnya PT. PLN melakukan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan sumber dana dengan investasi sebesar Rp 60,3 triliun yang diharapkan dari investor swasta di dalam maupun luar negeri, meskipun tidak seluruhnya. Dampak dari kesulitan dana investasi tersebut menyebabkan PT. PLN tidak bisa melakukan investasi penambahan penyediaan tenaga listrik sehingga banyak daerah yang mengalami krisis pasokan tenaga listrik. Sejalan dengan hal tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI telah melakukan simulasi model ekonometrik makroekonomi yang menghasilkan angka elastisitas untuk mengukur tingkat kepekaan (sensitivitas) pembangunan infrastruktur listrik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,84. Hasil simulasi tersebut menyatakan apabila jumlah stok listrik (MVA) dinaikkan sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 0,84% (Media Indonesia, 5 September 2005). Dan apabila dibedakan berdasarkan wilayah, maka kenaikan jumlah stok listrik (MVA) yang sama akan menghasilakn angka kepekaan sebesar 0,64 untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan untuk Kawasan Timur Indonesia sebesar 0,20. Berdasarkan uraian tersebut, maka prioritas utama pembangunan infrastruktur listrik adalah di wilayah KBI terutama di Jawa Bali guna menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

3.17

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

BAB IV EXISTING FISCAL INSENTIF DAN KEBIJAKAN FISKAL KE DEPAN DALAM MENDUKUNG INVESTASI INFRASTRUKTUR KELISTRIKAN Dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi infrastruktur kelistrikan, Pemerintah telah memberikan berbagai kemudahan kepada PT. PLN (Persero) baik dalam bentuk penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement-SLA) maupun kebijakan dalam perpajakan. Pemberian insentif kebijakan fiskal tidak membedakan satus perusahaan, karena baik perusahaan milik negara maupun investor swasta juga diberikan insentif terutama yang bergerak dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum. 4.1. Peluang Sumber Dana Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Investasi Kelistrikan Melalui Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement) Dalam rangka memperlancar pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor:

185 / KMK .03 / 1995 tanggal 5 Mei 1995 yang mengatur tentang Tata Cara Kep.031/ Ket / 5 / 1995Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka pelaksanaan APBN. Selanjutnya sebagai upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan proyek yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan pinjaman/hibah luar negeri, telah diterbitkan ketentuan baru sebagai penyempurnaan SKB tersebut, yaitu SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Nomor:

459 / KMK .03 / 1999 tanggal 29 September 1999 tentang Perubahan Atas SKB KEP 264 / KET / 09 / 1999

Menteri

Keuangan

dan

Menteri

Negara

PPN/Ketua

Bappenas

No.

185/KMK.03/1995 dan No. KEP.031/KET/5/1995 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam rangka Pelaksanaan APBN.

4.1

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Dana pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) yang tercantum dalam APBN adalah merupakan bagian dari APBN, sehingga pelaksanaan pencairan dana PHLN harus mengikuti ketentuan dan mekanisme APBN yang berlaku. Oleh karena itu, dalam pengelolaan dan penerusan dana PHLN harus berpedoman pada peraturan dan ketentuan pokok tersebut di atas. Selain peraturan tersebut di atas, maka pengelolaan dan penerusan dan PHLN harus berpedoman pula pada : a) b) c) d) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, e) PP No. 42/1995 perihal Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri; f) g) h) PP No. 25/2001, SE DJA No. SE-80/A/71/0696 tanggal 6 Juni 1996, SE DJA No. SE-106/A.6/2001 tanggal 6 Agustus 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan PPN, PPN-BM dan PPh Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri, serta i) Keputusan Menteri Keuangan No. 259/KMK.017/1993 tentang Penerusan Pinjaman. Hal hal penting yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dengan Menteri Negara PPN (Ketua Bappenas) Nomor 459/KMK.03/1999 dan Nomor Keputusan 264/KET/09/1999 tentang Tata Cara Perencanaan, Pelaksanaan (Penatausahaan) dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) terutama dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa:

4.2

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

1.

Jumlah atau bagian dari jumlah PHLN yang dimuat dalam Naskah Perjanjian Pinjaman/Hibah Luar Negeri (NPPHLN) dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan DIP.

2.

Dalam hal PHLN akan diteruspinjamkan sebagai pinjaman, maka calon penerima penerusan pinjaman mengajukan usul penerusan pinjaman kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas.

3.

Menteri Keuangan atau kuasanya (dalam hal ini Direktorat Penerusan Pinjaman, Direktorat Jenderal Perbendaharaan) menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan menandatangani Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP atau SLA) dengan Penerima Penerusan Pinjaman (PPP) yang bersangkutan.

4.

Rekanan NPPP yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau kuasanya dengan PPP tersebut disampaikan kepada Bappenas, Bank Indonesia, dan BPKP. Apabila dana PHLN yang tercantum dalam NPPHLN, sebagian atau

seluruhnya disediakan untuk membiayai proyek-proyek BUMN/BUMD atau Pemda, maka dalam hal ini dana PHLN tersebut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD atau Pemda. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Perjanjian Penerusan Pinjaman (PPP) atau disebut juga dengan two-step loan. SLA/PPP adalah subsidiary loan agreement/perjanjian penerusan pinjaman, yaitu perjanjian penerusan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan proyek Pemda/BUMN/BUMD ditandatangani oleh Menkeu dan pihak Pemda/BUMN/BUMD. Ketentuan mengenai prosedur

penerusan pinjaman luar negeri diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tanggal 22 Januari 2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/ Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada Daerah. Sedangkan penerusan pinjaman luar negeri kepada BUMN belum diatur secara spesifik.

4.3

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

4.2

Insentif Kebijakan Fiskal Yang Masih Berlaku Sampai Dengan Tahun 2000 Sebagai unit usaha, industri listrik mempunyai kewajiban untuk membayar

pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPNBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak lainnya (bea meterai), dan bea masuk. Di samping itu, dengan adanya otonomi daerah, industri listrik juga diwajibkan untuk membayar retribusi kepada daerah atas aktivitas yang dilakukannya. Namun, untuk mengurangi beban pajak, Pemerintah telah memberikan beberapa fasilitas perpajakan pada industri listrik sesuai dengan UU Perpajakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar perpajakan (simplicity, fairness, certainty, and competitiveness). Di samping itu, berbagai langkah pembaharuan yang telah dilakukan Pemerintah, baik di bidang administrasi maupun kebijakan perpajakan sejak tahun 1983 mempunyai andil dalam mengurangi beban pajak bagi wajib pajak pada umumnya dan industri listrik pada khususnya. Pembaharuan kebijakan perpajakan yang tertuang dalam UU Perpajakan telah dilakukan 3 kali berturut-turut, yaitu tahun 1983, 1994, dan 2000. Saat ini sedang diproses amandemen UU Perpajakan yang keempat kalinya. Perubahan kebijakan perpajakan yang mendasar terjadi pada tahun 1983, yaitu dari sistem penghitungan pajak government assessment menjadi self assessment, dan dari pajak penjualan menjadi pajak pertambahan nilai. Sistem self assessment mengatur perubahan perilaku aparat pajak sehingga menjadi lebih melayani wajib pajak, sedangkan perubahan pajak penjualan menjadi PPN telah mengurangi pajak ganda, sehingga beban pajak berkurang. Pemberlakuan PPN mengakibatkan pengenaan pajak hanya pada pertambahan nilai yang telah terjadi pada proses produksi, sehingga dikenal adanya pajak masukan dan pajak keluaran (PM-PK). Tarif PPN sebesar 10 persen relatif masih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang pengenaan tarif PPN bervariasi sekitar 10 persen. Di samping itu, dilakukan penyederhanaan tarif dan lapisan tarif pajak, serta peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Secara berturut-turut tarif PPh Badan yang berlaku dapat dilihat pada Tabel berikut.4.4

Kajian Kebijakan Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pertumbuhan Investasi di Sektor Ketenagalistrikan

Tabel 4.1 Wajib pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap Lapisan Penghasilan Kena Pajak S/d Rp 10 juta Di atas Rp 10 juta s/d Rp 50 juta Di atas Rp 50 juta S/d Rp 25 juta D