kajian ekonomi dan keuangan regional · memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi...
TRANSCRIPT
Triwulan I 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Provinsi Nusa Tenggara Timur
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Nusa Tenggara Timur
“Menyongsong Pembangunan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang Berkualitas”
Februari 2017
Kantor Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi
KPW BI Provinsi NTT
Jl. El Tari No. 39 Kupang NTT
[0380] 832-364/827-916 ; fax : [0380] 822-103
www.bi.go.id
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
ii
Kata Pengantar
Sejalan dengan salah satu tugas pokok Bank Indonesia, Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur di daerah memiliki peran yang sangat penting dalam
memberikan kontribusi secara optimal dalam proses formulasi kebijakan moneter. Secara
triwulanan KPw BI Provinsi NTT melakukan pengkajian dan penelitian terhadap
perkembangan perekonomian daerah sebagai masukan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia
dalam kaitan perumusan kebijakan moneter tersebut. Selain itu kajian/analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi eksternal
stakeholder setempat, yaitu Pemda, DPRD, akademisi, masyarakat serta stakeholder lainnya.
Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Nusa Tenggara Timur ini
mencakup Ekonomi Makro Regional, Perkembangan Inflasi, Perkembangan Perbankan dan
Sistem Pembayaran, Keuangan Pemerintah, Kesejahteraan serta Prospek Perekonomian
Daerah pada periode mendatang. Dalam menyusun kajian ini digunakan data yang berasal
dari internal Bank Indonesia maupun dari eksternal, dalam hal ini dinas/instansi terkait.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kajian ini masih terdapat kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan masukan dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas isi
dan penyajian laporan. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, baik dalam bentuk penyampaian data maupun dalam bentuk saran, kritik,
dan masukan sehingga kajian ini dapat diselesaikan. Kami mengharapkan kerjasama yang
telah terjalin dengan baik selama ini, kiranya dapat terus berlanjut di masa yang akan datang.
Kupang, Februari 2017
Kepala Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Naek Tigor Sinaga
Deputi Direktur
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
iii
Daftar Isi
Halaman Judul ------------------------------------------------------------------------------------------- i
Kata Pengantar ------------------------------------------------------------------------------------------ ii
Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------------------- iii
Daftar Grafik --------------------------------------------------------------------------------------------- vi
Daftar Tabel ---------------------------------------------------------------------------------------------- x
Daftar Gambar ------------------------------------------------------------------------------------------ xi
Ringkasan Umum ---------------------------------------------------------------------------------------- xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur ------------------------------ xvi
BAB I EKONOMI MAKRO REGIONAL
1.1 Kondisi Umum ----------------------------------------------------------------------------- 1
1.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Tahun 2016 ------------------------- 1
1.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Triwulan-IV 2016 ------------------- 2
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan ------------------------------------------- 4
1.2.1. Konsumsi --------------------------------------------------------------------------- 4
1.2.2. Pembentukan Modal Tetap Bruto/Investasi --------------------------------- 9
1.2.3. Ekspor dan Impor ----------------------------------------------------------------- 12
1.2.3.1 Ekspor dan Impor Antar Daerah -------------------------------------- 12
1.2.3.2 Ekspor dan Impor Luar Negeri ---------------------------------------- 13
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral ------------------------------------------------- 14
1.3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan & Perikanan --------------------------------- 15
1.3.2. Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial --- 18
1.3.3. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Motor ---- 20
1.3.4. Sektor Konstruksi ----------------------------------------------------------------- 22
1.3.5. Sektor-Sektor Lainnya ------------------------------------------------------------ 23
BOKS 1. Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap
Perekonomian Indonesia --------------------------------------------------------- 28
BOKS 2. Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT --------------------------------------- 32
BOKS 3. Distribusi Bahan Bakar Minyak di Provinsi NTT ------------------------------ 35
BOKS 4. Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di Provinsi NTT ---------- 38
BAB II KEUANGAN DAERAH
2.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------- 43
2.2 Pendapatan Daerah ---------------------------------------------------------------------- 44
2.3 Belanja Daerah --------------------------------------------------------------------------- 46
2.3.1. Belanja APBN -------------------------------------------------------------------- 48
2.3.2. Belanja Pemerintah provinsi NTT ---------------------------------------------- 49
2.3.3. Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota ---------------------------------------- 50
2.4 Dana Pemerintah di Perbankan ------------------------------------------------------ 52
BAB III PERKEMBANGAN INFLASI
3.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 55
3.1.1. Inflasi Bulanan -------------------------------------------------------------------- 58
3.2. Inflasi Berdasarkan Komoditas ------------------------------------------------------- 60
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
iv
3.2.1. Bahan Makanan ------------------------------------------------------------------ 61
3.2.2. Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan ----------------------------- 62
3.2.3. Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau ----------------------------------- 63
3.2.4. Komoditas Lainnya --------------------------------------------------------------- 64
3.3. Disagregasi Inflasi NTT ----------------------------------------------------------------- 65
3.3.1 Volatile foods ---------------------------------------------------------------------- 65
3.3.2 Administered prices --------------------------------------------------------------- 66
3.3.3 Inflasi Inti (Core) ------------------------------------------------------------------- 66
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota --------------------------------------------------------- 67
3.4.1 Inflasi Kota Kupang --------------------------------------------------------------- 67
3.4.2 Inflasi Kota Maumere ------------------------------------------------------------ 69
3.5. Proyeksi Inflasi Provinsi NTT Triwulan I-2017 -------------------------------------- 70
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID -------------------------------------------- 72
BOKS 5. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir -- 75
BOKS 6. Pola Perdagangan Antar Wilayah di Provinsi NTT --------------------------- 78
BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH
4.1. Kondisi Umum ------------------------------------------------------------------------- 83
4.2. Asesmen Kebutuhan Rumah Tangga --------------------------------------------- 84
4.2.1. Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga -------------- 84
4.2.2. Eksposur Rumah Tangga di Perbankan ----------------------------------- 86
4.3. Perkembangan Akses Keuangan dan UMKM ------------------------------------ 89
4.3.1. Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha ---------------------------------------- 89
4.3.2. Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM -------------------------------- 90
4.3.3. Perkembangan Risiko Kredit UMKM --------------------------------------- 92
4.4. Asesmen Ketahanan Korporasi------------------------------------------------------ 93
4.4.1. Eksposur Perbankan Pada Sektor Korporasi ------------------------------ 93
4.5. Asesmen Perbankan ------------------------------------------------------------------- 95
4.5.1. Kinerja Bank Umum ----------------------------------------------------------- 95
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat --------------------------------------------- 96
BOKS 7. Penyusunan Regional Finance Accounts Provinsi NTT --------------------- 98
BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH
5.1. Kondisi Umum -------------------------------------------------------------------------- 103
5.2. Transaksi Pembayaran Tunai --------------------------------------------------------- 104
5.2.1. Aliran Uang Masuk (Inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow) ----- 104
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) -------------------------- 105
5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL) ----------------------------------------- 107
5.2.4. Penerbitan Uang NKRI Tahun Emisi 2016 -------------------------------- 107
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai -------------------------------------------------- 108
5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital --------------------------------------- 109
BAB VI KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN
6.1 Kondisi Umum ---------------------------------------------------------------------------- 111
6.2. Kondisi Kesejahteraan ------------------------------------------------------------------ 111
6.2.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan ---------------------------------------- 111
6.2.2 Perkembangan Nilai Tukar Petani ------------------------------------------- 115
6.2.3 Survei Konsumen (SK) dan Indeks Tendensi Kosumen (ITK) ----------- 116
6.3. Kondisi Ketenagakerjaan -------------------------------------------------------------- 116
6.3.1 Kondisi Ketenagakerjaan Secara Umum ----------------------------------- 116
6.3.2 Kondisi Tenaga Kerja Sektor Manufaktur Besar & Sedang ------------ 117
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
v
6.3.3 Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) -------------------------------- 118 ---------------------------------------------------------------------------------------------
BAB VI PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT ------------------------------------------------- 119
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II 2017 ---------------------------- 119
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan ------------------------------------ 120
7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral ----------------------------------------- 121
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 --------------------------------- 122
7.2 Inflasi ---------------------------------------------------------------------------------------- 123
7.2.1 Inflasi Triwulan-II Tahun 2017 ----------------------------------------------- 123
7.2.2 Inflasi Tahun 2017 -------------------------------------------------------------- 124
BOKS 8. Perhitungan Potensi Inflasi 2017 ----------------------------------------------- 125
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
vi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Tahunan Provinsi
NTT dibandingkan Nasional ------------------------------------------------ 2
Grafik 1.2 PDRB & Pertumbuhan PDRB Tahunan Beberapa Provinsi
di Indonesia------ -------------------------------------------------------------- 2
Grafik 1.3 PDRB (ADHB) & Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT dibanding
Nasional Triwulanan (%yoy) ----------------------------------------------- 3
Grafik 1.4 PDRB & Pertumbuhan PDRB Triwulanan NTT, Bali dan
Nasional (% yoy) -------------------------------------------------------------- 3
Grafik 1.5 Survei Konsumen---- --------------------------------------------------------- 6
Grafik 1.6 Survei Penjualan Eceran ----------------------------------------------------- 6
Grafik 1.7 Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------------------ 7
Grafik 1.8 Indeks Kegiatan Dunia Usaha ---------------------------------------------- 7
Grafik 1.9 Perkembangan Konsumsi BBM -------------------------------------------- 7
Grafik 1.10 Perkembangan Konsumsi Listrik Rumah Tangga ---------------------- 7
Grafik 1.11 Penyaluran Kredit Konsumsi ----------------------------------------------- 7
Grafik 1.12 Perkembangan Survei Konsumen ----------------------------------------- 9
Grafik 1.13 Perkembangan Survei Penjualan Eceran --------------------------------- 9
Grafik 1.14 Proyeksi Indeks Tendensi Konsumen ------------------------------------- 9
Grafik 1.15 Perkembangan Realisasi Investasi di Provinsi NTT --------------------- 11
Grafik 1.16 Realisasi Konsumsi Semen di Provinsi NTT ------------------------------ 11
Grafik 1.17 Perkembangan Peti Kemas ------------------------------------------------- 13
Grafik 1.18 Aktivitas Bongkar Muat ----------------------------------------------------- 13
Grafik 1.19 Perkembangan Ekspor dan Impor ----------------------------------------- 14
Grafik 1.20 Negara Tujuan Ekspor ------------------------------------------------------- 14
Grafik 1.21 Perkembangan Nilai Tukar Petani ----------------------------------------- 17
Grafik 1.22 Data Pengiriman Ternak dari Pelabuhan Tenau ------------------------ 17
Grafik 1.23 Perkembangan Kredit Pertanian ------------------------------------------- 17
Grafik 1.24 Perkembangan SKDU Pertanian ------------------------------------------- 17
Grafik 1.25 Proyeksi SKDU Pertanian ---------------------------------------------------- 18
Grafik 1.26 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Tahun 2016 ----------------- 19
Grafik 1.27 Realisasi Belanja Konsumsi Pemerintah Triwulan IV-2016 ----------- 19
Grafik 1.28 Perkembangan Simpanan Pemerintah di Perbankan ----------------- 19
Grafik 1.29 Perkembangan SKDU Sektor Perdagangan ----------------------------- 21
Grafik 1.30 Perkembangan Survei Konsumen ---------------------------------------- 21
Grafik 1.31 Perkembangan Kredit Sektor Perdagangan ---------------------------- 21
Grafik 1.32 Proyeksi SKDU Perdagangan ---------------------------------------------- 22
Grafik 1.33 Perkembangan Tamu Hotel ----------------------------------------------- 24
Grafik 1.34 Perkembangan Penumpang Bandara ------------------------------------ 24
Grafik 1.35 Perkembangan NTB Perbankan -------------------------------------------- 25
Grafik Boks 1.1. Rangking PDRB dan Jumlah Penduduk 34 Provinsi Indonesia 28
Grafik Boks 1.2. Rangking PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi
34 Provinsi di Indonesia ------------------------------------------------ 28
Grafik Boks 1.3. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Sektoral ---------- 29
Grafik Boks 1.4. Struktur Ekonomi Provinsi NTT Berdasarkan Penggunaan ----- 29
Grafik Boks 1.5. Andil Pertumbuhan Ekonomi Sektoral di Provinsi NTT --------- 30
Grafik Boks 1.6. Andil Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan di Provinsi NTT --- 30
Grafik Boks 1.7. Rangking PDRB dan Jumlah Penduduk 22 Kab/Kota di NTT -- 30
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
vii
Grafik Boks 1.8. Rangking PDRB Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi 22 Kab/
Kota di NTT -------------------------------------------------------------- 30
Grafik Boks 2.1. Kondisi Pendidikan Angkatan Kerja -------------------------------- 33
Grafik Boks 2.2. Angka Partisipasi Sekolah Provinsi NTT ---------------------------- 33
Grafik Boks 3.1. Penyaluran BBM di Provinsi NTT ------------------------------------- 35
Grafik Boks 3.2. Pangsa Penyaluran BBM di Provinsi NTT --------------------------- 35
Grafik Boks 3.3. Rasio Penyaluran BBM dengan PDRB Sektor Transportasi
dan Komunikasi -------------------------------------------------------- 37
Grafik Boks 3.4. Rasio Penggunaan BBM Berdasarkan Rumah Tangga dan
Kendaraan ---------------------------------------------------------------- 37
Grafik Boks 4.1. Arus Barang Berdasarkan Perdagangan dan Distribusi
di Pelabuhan Tenau ---------------------------------------------------- 40
Grafik Boks 4.2. Arus Barang Berdasarkan Perdagangan dan Distribusi
di Pelabuhan NTT ------------------------------------------------------- 40
Grafik Boks 4.3. Kapasitas Muatan Sapi Per Tahun ---------------------------------- 41
Grafik 2.1 Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT -------------------------------------- 43
Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBN ------------------------------ 44
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan APBD Provinsi/Kab-Kota ------ 44
Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan
Komponennya Triwulan-IV 2016 ------------------------------------------- 45
Grafik 2.5 Pangsa Belanja Kabupaten/ Kota ------------------------------------------ 46
Grafik 2.6 Perkembangan Realisasi Belanja Daerah ---------------------------------- 47
Grafik 2.7 Perkembangan Realisasi Belanja Modal ----------------------------------- 47
Grafik 2.8 Pertumbuhan Realisasi Belanja (% yoy) ----------------------------------- 47
Grafik 2.9 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kab/Kota di NTT ---- 48
Grafik 2.10 Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN Pemerintah dan APBD -- 49
Grafik 2.11 Realisasi Belanja dan Komponennya Pemerintah Provinsi,
dan Kab/Kota di NTT --------------------------------------------------------- 51
Grafik 2.11 Dana Pihak Ketiga Pemerintah di Perbankan NTT --------------------- 52
Grafik 3.1 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional 2001-2016 ---------------- 56
Grafik 3.2 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Sepanjang 2016 di NTT ----- 56
Grafik 3.3 Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan Nasional Secara Triwulanan ------- 57
Grafik 3.4 Perbandingan Inflasi 5 regional di Indonesia ----------------------------- 60
Grafik 3.5 Perbandingan Inflasi di wilayah Bali dan Nusa Tenggara -------------- 60
Grafik 3.6 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan secara
Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ----------------------------------------- 61
Grafik 3.7 Inflasi Kelompok Komoditas Bahan Makanan per Sub
Kelompok Komoditas ---------------------------------------------------------- 61
Grafik 3.8 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi
dan Jasa Keuangan secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ------ 63
Grafik 3.9 Inflasi Kelompok Komoditas Transportasi, Komunikasi
dan Jasa Keuangan per Sub Kelompok Komoditas -------------------- 63
Grafik 3.10 Inflasi Kelompok Komoditas Makanan Jadi,Minuman dan
Tembakau secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan ---------------- 64
Grafik 3.11 Inflasi Kelompok Komoditas Komoditas Makanan Jadi,Minuman
Dan Tembakau per Sub Kelompok Komoditas ------------------------- 64
Grafik 3.12 Disagregasi Inflasi dan Sumbangan Inflasi Tahunan
Provinsi Nusa Tenggara Timur --------------------------------------------- 65
Grafik 3.13 Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6 Bulan ke Depan --------------- 67
Grafik 3.14 Inflasi Tahunan Kota Kupang --------------------------------------------- 68
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
viii
Grafik 3.15 Inflasi Tahunan Kota Maumere ------------------------------------------- 70
Grafik Boks 5.1. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama
Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Kupang 6 tahun
Terakhir dengan Inflasi Kota Kupang ------------------------------ 75
Grafik Boks 5.2. Korelasi Pergerakan Gabungan 10 Komoditas Utama
Penyumbang Inflasi dan Deflasi di Kota Maumere 6 tahun
Terakhir dengan Inflasi Kota Maumere ---------------------------- 75
Grafik Boks 5.3. Pola Pergerakan Inflasi 19 Komoditas Utama Penyumbang
Inflasi di Kota Kupang 6 Tahun Terakhir -------------------------- 76
Grafik Boks 5.4. Pola Pergerakan Inflasi 25 Komoditas Utama Penyumbang
Inflasi di Kota Maumere 6 Tahun Terakhir ------------------------ 76
Grafik 4.1 Kontribusi Konsumsi RT terhadap Agregat ------------------------------- 84
Grafik 4.2 IKK, IKE dan IEK ---------------------------------------------------------------- 84
Grafik 4.3 Indeks Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Komoditas --------------- 85
Grafik 4.4 Indeks Sikap Masyarakat Terhadap Kasus Kejahatan Perbankan ---- 85
Grafik 4.5 Pangsa DPK Rumah Tangga dan Non Rumah Tangga ----------------- 86
Grafik 4.6 Pertumbuhan DPK ------------------------------------------------------------- 86
Grafik 4.7 Preferensi DPK Rumah Tangga ---------------------------------------------- 87
Grafik 4.8 Pertumbuhan DPK Rumah Tangga ----------------------------------------- 87
Grafik 4.9 Kredit Konsumsi Rumah Tangga -------------------------------------------- 88
Grafik 4.10 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga ------------------------------------- 88
Grafik 4.11 Perkembangan Dunia Usaha ----------------------------------------------- 90
Grafik 4.12 Kondisi Keuangan ------------------------------------------------------------ 90
Grafik 4.13 Pertumbuhan Kredit UMKM ----------------------------------------------- 91
Grafik 4.14 NPL UMKM -------------------------------------------------------------------- 91
Grafik 4.15 Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha --------------- 91
Grafik 4.16 Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi------------------------ 92
Grafik 4.17 NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ------------------------------------ 93
Grafik 4.18 NPL UMKM 3 Sektor --------------------------------------------------------- 93
Grafik 4.19 Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi -------------------------------- 94
Grafik 4.20 NPL Kredit Sektor Korporasi ------------------------------------------------ 94
Grafik 4.21 NPL Kredit 4 Sektor Korporasi --------------------------------------------- 94
Grafik 4.22 Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) -------------------------------- 95
Grafik 4.23 Perkembangan LDR ---------------------------------------------------------- 95
Grafik 4.24 BOPO dan ROA Bank Umum ----------------------------------------------- 96
Grafik 4.25 LDR dan CAR BPR ------------------------------------------------------------ 97
Grafik 4.26 BOPO, ROA, NPL BPR -------------------------------------------------------- 97
Grafik 5.1 Perkembangan Inflow/Outflow di Provinsi NTT -------------------------- 103
Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai --------------------------------------------- 104
Grafik 5.3 Perkembangan Transaksi Kliring -------------------------------------------- 104
Grafik 5.4 Share Setoran Bank 2016 ---------------------------------------------------- 105
Grafik 5.5 Share Bayaran Bank 2016 ---------------------------------------------------- 105
Grafik 5.6 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE -------------------------------- 106
Grafik 5.7 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT --------------------------------------- 106
Grafik 5.8 Perkembangan UPAL di Provinsi NTT -------------------------------------- 107
Grafik 5.9 5 Daerah Terbesar Tujuan SKNBI NTT ------------------------------------- 109
Grafik 5.10 5 Daerah Terbesar Asal SKNBI NTT --------------------------------------- 109
Grafik 6.1 Perbandingan Prosentase Kemiskinan Provinsi NTT dan Nasional --- 112
Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah Prosentase Penduduk Miskin
Tertinggi -------------------------------------------------------------------------- 112
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
ix
Grafik 6.3 Prosentase Penduduk Miskin di NTT --------------------------------------- 113
Grafik 6.4 Gini Ratio Nasional dan NTT ------------------------------------------------- 113
Grafik 6.5 Perkembangan Garis Kemiskinan ------------------------------------------- 113
Grafik 6.6 Sepuluh Peringkat Terendah Garis Kemiskinan -------------------------- 113
Grafik 6.7 Indeks Kedalaman Kemiskinan ---------------------------------------------- 114
Grafik 6.8 Indeks Keparahan Kemiskinan ---------------------------------------------- 114
Grafik 6.9 Perkembangan Nilai Tukar Petani ------------------------------------------- 115
Grafik 6.10 Perkembangan Nilai Tukar Petani Per Sektor --------------------------- 115
Grafik 6.11 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks Tendensi
Konsumen BPS ---------------------------------------------------------------- 116
Grafik 6.12 Perkembangan Tenaga Kerja di NTT ------------------------------------- 117
Grafik 6.13 Perkembangan Status Pekerja --------------------------------------------- 117
Grafik 6.14 Porsentase Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur
Besar dan Sedang ------------------------------------------------------------ 117
Grafik 6.15 Perkembangan Produktivitas Industri Manufaktur Besar dan
Sedang -------------------------------------------------------------------------- 117
Grafik 6.16 Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU ----------------------------- 118
Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan-II 2017 --------------- 120
Grafik 7.2 Survei Konsumen -------------------------------------------------------------- 121
Grafik 7.3 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017 ---------------------- 123
Grafik 7.4 Prediksi Inflasi Tw II 2017 dan 2017 --------------------------------------- 124
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran 2016 -------------------- 4
Tabel 1.2 PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT 2016 ----- 6
Tabel 1.3 PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT 2016 ---------- 8
Tabel 1.4 PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT 2016 ------------------ 11
Tabel 1.5 Lokasi dan Sektor Utama Investasi di NTT Tahun 2016 --------------- 11
Tabel 1.6 PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi 2016 ---------------- 15
Tabel 1.7 Perkembangan Pengiriman Sapi -------------------------------------------- 17
Tabel Boks 2.1 Matriks Hambatan Utama Perekonomian di Provinsi NTT ------- 32
Tabel Boks 2.2 Matriks Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan
Tenaga Kerja -------------------------------------------------------------- 34
Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD Provinsi dan Kabupaten /Kota
di Provinsi NTT ------------------------------------------------------------------ 48
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT ---------------------------------------- 52
Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT ------------------- 53
Tabel 3.1 10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Tahunan di Provinsi NTT 57
Tabel 3.2 Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT ---- 59
Tabel 3.3 Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT -- 59
Tabel 3.4 Inflasi di NTT Berdasarkan Kelompok Komoditas ----------------------- 61
Tabel 3.5 Inflasi di Kota Kupang berdasarkan Kelompok Komoditas ---------- 68
Tabel 3.6 Inflasi di Kota Maumere berdasarkan Kelompok Komoditas -------- 70
Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT ----------------------- 89
Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT ------------------ 95
Tabel Boks 7.1 Regional Financial Accounts ------------------------------------------- 100
Tabel Boks 7.2 Aliran Perpindahan Aset & Kewajiban Antar Pelaku Ekonomi - 101
Tabel 5.1 Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT --------------------------- 106
Tabel Boks 8.1 Perhitungan Potensi Inflasi di Kota Kupang dan Kota
Maumere Menggunakan Pendekatan Komoditas Utama
Penyumbang Inflasi Daerah -------------------------------------------- 126
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Boks 3.1 Peta Distribusi BBM Per Kab/Kota di Provinsi NTT ------------- 36
Gambar Boks 4.1 Peta Alur Transportasi Laut Barang ------------------------------- 39
Gambar 2.1 Realisasi Belanja Modal Kab/Kota di Provinsi NTT -------------------- 52
Gambar 3.1 Kegiatan TPID Provinsi NTT 2016 & Sebaran Pembentukan TPID - 74
Gambar Boks 6.1 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Beras ----------- 78
Gambar Boks 6.2 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Gula Pasir ----- 79
Gambar Boks 6.3 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Cabai Merah - 80
Gambar Boks 6.4 Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas
Bawang Merah -------------------------------------------------------- 81
Gambar Boks 7.1 Kerangka Integrated Economic Accounts ----------------------- 99
Gambar Boks 7.2 Konsep Penyusunan FABS ------------------------------------------ 100
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xii
Ringkasan Umum
KER Provinsi Nusa Tenggara Timur
Februari 2017
EKONOMI MAKRO REGIONAL
Produk Domestik Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada tahun 2016 mencapai Rp 84,17
triliun (harga berlaku) dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18% (yoy) meningkat
dibandingkan pertumbuhan tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) dan nasional yang
sebesar 5,02% (yoy). Komponen pendorong utama pertumbuhan ekonomi NTT pada
tahun 2016 terutama adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh mencapai 6,80%
(yoy). Perbaikan daya beli masyarakat timbul karena peningkatan pendapatan seiring
adanya gaji ke-13 & 14 PNS, peningkatan pendapatan sektor pertanian dan dorongan
kegiatan proyek-proyek Pemerintah dan Swasta. Selain itu, kegiatan bersifat regional
maupun nasional di NTT, seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda
Kecil Expo, Pameran Pembangunan, dan Tour De Flores juga mendorong tumbuhnya
konsumsi masyarakat di NTT. Sementara itu, PDRB NTT pada triwulan IV-2016 mencapai
Rp 22,09 triliun (ADHB) dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,19% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11% (yoy) dan nasional yang sebesar 4,94%
(yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan juga didorong oleh peningkatan konsumsi
rumah tangga yang mencapai 7,27% (yoy) dan Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar
4,45% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan tahunan pada periode triwulan III-
2016. Peningkatan ini ditengarai disebabkan oleh musim panen komoditas perkebunan
seperti jambu mete, kopra dan kakao dan telah masuknya panen komoditas padi, serta
adanya momen natal, libur sekolah dan menjelang akhir tahun. Sementara itu,
peningkatan kegiatan investasi didorong oleh beberapa kegiatan proyek pemerintah dan
swasta, diantaranya bendungan, sarana irigasi dan perairan, gedung pemerintahan,
pasar, pos lintas batas negara, rumah sakit, sarana perbelanjaan dan hotel.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I-2017 diperkirakan
akan cukup stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy) yang didorong oleh pertumbuhan sektor
perdagangan dan administrasi pemerintahan seiring penyelenggaraan pemilu di 3 (tiga)
daerah dan kegiatan konstruksi seiring adanya proyek multiyears, seperti bendungan dan
Pos Lintas Batas Negara serta perpanjangan proyek tahun 2016 selama 50 hari di tahun
2017. Selain itu, panen komoditas padi yang masih terjadi juga menjadi faktor
pendorong pertumbuhan ekonomi lainnya.
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xiii
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan
pemerintah di Provinsi NTT pada hingga akhir tahun 2016 telah mencapai Rp 25,99 triliun
atau 104,27% dari total rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,92 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari
pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun, jumlah tersebut meningkat
dibandingkan realisasi tahun 2015 yang sebesar Rp 24,98 triliun yang terutama didorong
oleh peningkatan realisasi belanja konsumsi di tengah penurunan realisasi belanja modal.
Upaya pemerintah dalam merealisasikan anggaran sejak paruh pertama 2016 tampaknya
cukup efektif, sehingga secara kumulatif realisasi APBN, APBD provinsi dan
kabupaten/kota lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Provinsi NTT tahun 2016 mengalami penurunan signifikan dibanding tahun
sebelumnya, yaitu dari 4,92% (yoy) di tahun 2015 menjadi 2,48% (yoy) di tahun 2016,
lebih rendah dibanding inflasi nasional yang sebesar 3,02% (yoy) atau rata-rata inflasi
NTT dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 5,05% (yoy). Hal ini menjadikan inflasi tahunan
NTT menjadi capaian inflasi terendah setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Besarnya
penurunan tersebut, selain disebabkan oleh kondisi pasokan yang relatif lebih terjaga
dibanding tahun sebelumnya, juga disebabkan oleh kenaikan inflasi di triwulan IV 2016
yang tidak setinggi tahun sebelumnya, sehingga secara tahunan mengalami penurunan.
Komoditas padi-padian, sayur-sayuran serta daging dan hasil-hasilnya yang pada tahun
sebelumnya menjadi penyumbang utama inflasi NTT, cenderung relatif stabil dan bahkan
untuk komoditas padi-padian mengalami penurunan di tahun 2016. Penurunan inflasi
juga didorong kelompok komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yang
mengalami deflasi seiring adanya penurunan tarif penerbangan sebagai dampak positif
bertambahnya jumlah penerbangan di NTT.
Di sisi lain, inflasi pada triwulan I-2017 diperkirakan mengalami peningkatan yang
terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga 900VA pada bulan
Januari dan potensi kenaikan kembali pada bulan Maret 2017. Dorongan inflasi juga
terjadi dari kenaikan biaya perpanjangan STNK dan kenaikan harga bahan makanan
seiring kondisi cuaca yang kurang baik di awal tahun.
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xiv
PERKEMBANGAN STABILITAS KEUANGAN
Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih
cukup terjaga yang terindikasi pada masih positifnya pertumbuhan indikator perbankan
berupa aset dan kredit. Di sisi lain meskipun terjadi perlambatan pada komponen kredit
UMKM, namun pertumbuhan yang masih cukup tinggi sebesar 16,71% (yoy) dan rasio
kredit bermasalah yang masih terjaga sebesar 2,97% menunjukkan perkembangan kredit
yang masih cukup baik. Sementara itu, adanya peningkatan rasio NPL kredit korporasi
perlu untuk menjadi perhatian perbankan agar lebih mencermati profil debitur dan model
bisnis debitur selain mengejar pencapaian pertumbuhan kredit kepada korporasi.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Selama tahun 2016, transaksi sistem pembayaran tunai di NTT cenderung
mengalami perlambatan. Jumlah uang yang beredar di masyarakat atau net-outflow
pada tahun 2016 sebesar Rp.1.407,97 miliar, menurun jika dibandingkan dengan tahun
2015 yang mencapai Rp.1.896,83 miliar. Sementara itu, transaksi sistem pembayaran
tunai di triwulan IV 2016 tercatat cukup stabil yang didorong oleh aliran net-outflow
pada triwulan IV 2016 yang mencapai Rp.1.566,87 miliar, lebih tinggi dibandingkan
triwulan III 2016 yang hanya sebesar Rp.394,56 miliar. Hal ini sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi NTT pada komponen konsumsi rumah tangga yang berkaitan
dengan momen hari raya natal dan tahun baru 2017. Sementara itu dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terkait kebutuhan uang layak edar, pada
tahun 2016 Bank Indonesia telah meresmikan penambahan kas titipan di 3 (tiga) daerah
yaitu Ende, Ruteng (Kab. Manggarai) serta Lewoleba (Kab. Lembata).
Di sisi lain, transaksi non tunai yaitu kliring di NTT juga mengalami perlambatan.
pada triwulan IV 2016 baik secara nominal maupun volume warkat yang ditengarai
seiring dengn perlambatan investasi pemerintah. Sementara itu, dalam upaya menjaga
kelancaran transaksi pembayaran non tunai, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
NTT terus mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui Layanan Keuangan
Digital (LKD) dan elektronifikasi serta melakukan monitoring pada bank Koordinator
Pertukaran Warkat Debit (KPWD).
PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN DAN KETENAGAKERJAAN
Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT pada bulan September 2016
menunjukkan perbaikan walaupun tidak terlalu signifikan menjadi 22,01% dibandingkan
dengan Maret 2016 yang sebesar 22,19% dan September 2015 (22,58%). Menurunnya
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xv
presentase penduduk miskin ini juga dibarengi dengan menurunnya angka indeks
kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan yang mengindikasikan adanya
perbaikan kondisi sosial masyarakat NTT pada tahun 2016 dibandingkan 2015 dan
potensi penurunan penduduk miskin di masa datang.
Dari sisi ketenagakerjaan, terjadi perbaikan kondisi tenaga kerja yang terlihat pada
penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2016 yang tercatat
sebesar 3,25% dibandingkan bulan Februari yang 3,59%. Perbaikan juga terindikasi dari
peningkatan porsi tenaga kerja formal yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas
SDM di NTT. Kondisi tenaga kerja yang positif juga terindikasi pada indikator Survei
Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia triwulan IV-2016.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 diperkirakan berada pada kisaran 5,1-
5,5% (yoy) yang didorong oleh peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor
pertanian seiring panen Perdana padi musim 2017 serta pencairan gaji ke-13 dan 14 PNS.
Adanya libur keagamaan (Idul Fitri) dan libur sekolah pada bulan Juni diperkirakan turut
mendorong belanja masyarakat. Sementara itu pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun
2017 diperkirakan juga berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) yang masih didorong oleh
sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan. Selain
juga didukung pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor utama.
Dari sisi perkembangan inflasi, pencapaian inflasi pada triwulan-II 2017
diperkirakan berada pada rentang 4-4,4% (yoy) yang disebabkan oleh adanya
penyesuaian tarif pada komponen harga yang diatur pemerintah (listrik dan STNK) serta
kondisi cuaca awal tahun. Sementara pencapaian inflasi sepanjang tahun 2017
diperkirakan berada pada rentang 4,8-5,2% (yoy) yang dipengaruhi oleh cukup
rendahnya harga komoditas bahan makanan di tahun sebelumnya serta kenaikan harga
komponen yang diatur pemerintah.
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xvi
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur
I. EKONOMI MAKRO REGIONAL
2016 2015
%yoy*) IV III IV % qtq**) %yoy***)
Berdasarkan Sektor/ Lapangan Usaha (Harga Berlaku)
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 76,190.9 84,172.6 5.18 20,299.5 21,875.2 22,096.6 0.28 5.19
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 22,765.5 24,315.8 2.23 5,627.5 6,417.8 6,094.6 -6.05 4.53
Pertambangan dan Penggalian 1,073.5 1,166.8 5.66 292.4 301.7 309.4 2.43 3.19
Industri Pengolahan 940.9 1,034.3 4.98 259.3 265.2 279.2 4.17 3.41
Pengadaan Listrik dan Gas 43.6 59.4 14.61 13.7 15.3 16.0 3.72 11.52
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 47.2 49.0 0.38 12.3 12.7 12.8 1.10 1.27
Konstruksi 7,908.2 9,095.3 8.46 2,244.0 2,389.2 2,465.0 2.80 8.48
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8,272.3 9,321.8 6.77 2,217.5 2,456.3 2,487.9 0.40 7.57
Transportasi dan Pergudangan 3,986.6 4,528.3 6.73 1,089.8 1,186.1 1,210.7 2.07 5.48
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 487.1 586.1 14.46 137.0 154.6 159.8 2.72 13.01
Informasi dan Komunikasi 5,477.4 5,878.5 6.76 1,462.3 1,511.0 1,569.3 3.23 7.23
Jasa Keuangan dan Asuransi 2,995.5 3,362.9 8.47 799.2 838.7 899.0 5.90 8.38
Real Estate 2,054.3 2,209.5 3.41 550.9 567.4 577.5 1.72 3.53
Jasa Perusahaan 235.5 257.2 2.83 62.3 66.4 69.5 4.13 5.57
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 9,375.0 10,665.0 5.63 2,628.6 2,731.1 2,827.9 2.15 1.60
Jasa Pendidikan 7,303.2 8,103.3 4.18 2,041.2 2,068.0 2,182.0 4.88 2.51
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,585.5 1,768.0 6.19 432.9 443.9 473.6 5.89 5.20
Jasa lainnya 1,639.5 1,771.4 3.55 428.6 449.9 462.3 1.90 4.32
Berdasarkan Permintaan / Penggunaan (Harga Berlaku)
Produk Domestik Regional Bruto (Harga Berlaku) 76,190.9 84,172.6 5.18 20,299.5 21,875.2 22,096.6 0.28 5.19
1. Konsumsi Rumah Tangga 57,361.6 64,246.5 6.80 15,875.4 16,073.1 17,390.2 4.01 7.27
2. Konsumsi Lembaga Non Profit (LNPRT) 2,539.4 2,636.9 0.41 727.6 677.2 744.9 8.95 -0.29
3. Konsumsi Pemerintah 21,765.7 22,518.3 -0.36 7,289.5 6,946.7 7,359.4 3.08 -3.08
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 30,996.1 35,725.0 5.06 8,827.5 9,341.9 10,143.2 6.41 4.42
5. Perubahan Inventori 967.6 458.3 -55.80 352.4 136.7 166.7 19.70 -55.29
6. Ekspor Luar Negeri 1,592.0 1,287.6 -20.81 349.5 330.6 315.3 5.01 -1.86
7. Impor Luar Negeri 261.5 274.8 5.91 72.6 93.4 51.9 -44.96 -29.03
8. Net Ekspor Antar Daerah (Impor) -38,770.0 -42,425.1 2.00 -13,049.8 -11,537.6 -13,971.3 12.15 0.99
Data Ekspor Impor di Provinsi NTT
Ekspor
Nilai Ekspor Nonmigas (ribu USD) 21,194 21,393 0.94 5,655 5,042 6,074 20.46 7.40
Volume Ekspor Nonmigas (ton) 78,589 102,733 30.72 24,964 32,105 25,575 -20.34 2.45
Impor
Nilai Impor Nonmigas (ribu USD) 5,465 12,367 126.32 1,439 3,388 652 -80.75 -54.67
Volume Impor Nonmigas (ton) 3,633 22,401 516.68 760 614 1,518 147.25 99.60
Ket: Dalam Rp Miliar (ADHB)
*) Total Pertumbuhan 2016 dibandingkan 2015
**) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q3 2016
***) Pertumbuhan Q4 2016 dibandingkan Q4 2015
****) Untuk mengukur pertumbuhan digunakan PDRB Harga Konstan
INDIKATOR 2015 20162016
II. INFLASI
2017
I II III IV I II III IV I II III IV JAN
Indeks Harga Konsumen
NTT 112.52 113.27 113.15 119.15 118.59 120.07 120.78 125.02 124.56 126.10 124.48 128.12 129.07
- Kota Kupang 112.91 113.63 113.50 120.06 119.47 121.09 121.54 126.15 125.64 127.42 125.41 129.07 130.09
- Maumere 110.00 110.93 110.85 113.20 112.81 113.42 115.77 117.60 117.50 117.47 118.41 121.86 122.35
Laju Inflasi Tahunan (yoy %)
NTT 7.78 8.10 4.13 7.76 5.39 6.01 6.74 4.92 5.04 5.02 3.07 2.48 2.48
- Kota Kupang 7.99 8.31 4.27 8.32 5.81 6.57 7.08 5.07 5.16 5.23 3.18 2.31 2.32
- Maumere 6.39 6.70 3.19 4.00 2.55 2.24 4.44 3.89 4.16 3.57 2.28 3.62 3.61
2016INDIKATOR
2014 2015
KAJIAN EKONOMI & KEUANGAN REGIONAL PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Februari 2017|
xvii
II. PERBANKAN
I II III IV I II III IV I II III IV
A. Bank Umum Konvensional dan Syariah (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
1. Total Aset 28,602 29,757 23,316 26,398 27,114 25,600 29,877 32,778 32,750 28,602 30,931 32,321 30,327 29,757
2. DPK 21,478 21,466 16,804 18,465 18,895 18,367 19,648 21,581 22,341 21,478 21,945 23,829 22,405 21,466
- Giro 4,372 3,722 3,954 5,310 5,015 3,634 5,412 6,290 6,537 4,372 5,604 6,429 5,059 3,722
- Tabungan 11,933 12,819 8,515 8,475 8,959 10,306 9,046 9,106 9,644 11,933 10,449 11,150 11,063 12,819
- Deposito 5,173 4,924 4,336 4,680 4,922 4,427 5,190 6,186 6,159 5,173 5,893 6,250 6,283 4,924
3. Kredit Berdasarkan Lokasi Proyek 20,284 22,837 15,695 16,587 17,153 17,698 17,843 18,908 19,742 20,284 20,525 21,731 22,383 22,837
- Modal Kerja 6,110 7,121 4,385 4,822 5,061 5,261 5,260 5,698 6,072 6,110 6,127 6,693 7,050 7,121
- Investasi 1,650 1,659 1,343 1,443 1,443 1,536 1,533 1,641 1,570 1,650 1,567 1,696 1,661 1,659
- Konsumsi 12,524 14,057 9,968 10,322 10,649 10,900 11,049 11,569 12,100 12,524 12,830 13,342 13,672 14,057
4. Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 19,492 21,913 15,071 15,947 16,532 17,094 17,226 18,198 18,897 19,492 19,556 20,845 21,508 21,913
- Modal Kerja 5,922 6,813 4,322 4,742 5,008 5,252 5,218 5,626 5,848 5,922 5,748 6,409 6,764 6,813
- Investasi 1,381 1,474 1,115 1,201 1,235 1,309 1,318 1,359 1,338 1,381 1,317 1,442 1,472 1,474
- Konsumsi 12,189 13,627 9,634 10,004 10,289 10,534 10,690 11,212 11,710 12,189 12,491 12,995 13,272 13,627
LDR (%) 90.8% 102.1% 89.7% 86.4% 87.5% 93.1% 87.7% 84.3% 84.6% 90.8% 89.1% 87.5% 96.0% 102.1%
Kredit UMKM 6,301 7,358 4,324 4,922 5,176 5,329 5,422 5,814 6,180 6,301 6,395 6,933 7,308 7,358
B. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
Total Aset 510 620 343 355 374 415 437 454 482 510 535 545 572 620
Dana Pihak Ketiga 381 469 250 257 275 309 311 331 353 381 403 412 434 469
Kredit Berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 366 449 270 294 306 319 330 349 354 366 368 389 421 449
LDR (%) 76.7% 75.2% 82.6% 85.6% 84.1% 79.4% 80.5% 82.4% 80.5% 76.70% 77.6% 79.8% 77.9% 75.2%
C. Grand Total (A+B) (dalam Rp. Miliar kecuali dinyatakan lain)
1. Total Aset 29,112 30,377 23,660 26,753 27,487 26,016 30,314 33,233 33,232 29,112 31,466 32,866 30,900 30,377
2. Dana Pihak Ketiga 21,859 21,935 17,055 18,723 19,170 18,676 19,959 21,912 22,694 21,859 22,348 24,241 22,839 21,935
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang 19,858 22,362 15,341 16,241 16,838 17,413 17,556 18,546 19,250 19,858 19,924 21,235 21,929 22,362
D. Pangsa BPR Terhadap Grand Total
1. Total Aset (%) 1.8% 2.0% 1.5% 1.3% 1.4% 1.6% 1.4% 1.4% 1.4% 1.8% 1.7% 1.7% 1.9% 2.0%
2. Dana Pihak Ketiga (%) 1.7% 2.1% 1.5% 1.4% 1.4% 1.7% 1.6% 1.5% 1.6% 1.7% 1.8% 1.7% 1.9% 2.1%
3. Pembiayaan berdasarkan Lokasi Kantor Cabang (%) 1.8% 2.0% 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.9% 1.9% 1.8% 1.8% 1.8% 1.8% 1.9% 2.0%
III. SISTEM PEMBAYARAN
I II III IV I II III IV I II III IV
Transaksi Tunai
Inflow (Rp. Triliun) 3.7 4.2 1.4 0.7 0.8 0.5 1.8 0.5 0.8 0.5 1.8 0.7 0.9 0.7
Outflow (Rp. Triliun) 5.6 5.6 0.3 0.8 1.3 2.1 0.4 0.9 1.7 2.6 0.3 1.7 1.3 2.3
Uang Palsu (lembar) 1,098 178 14 11 39 8 27 966 52 53 25 89 38 26
Transaksi Non Tunai
Nominal Transaksi BI-RTGS (Rp. Triliun) 135.76 15 14.18 13.05 29.84 35.63 34.61 43.75 41.55 15.84 8.69 6.76 0.00 0.00
Volume Transaksi BI-RTGS (lembar warkat) 21,758 658 7,809 7,868 8,776 9,294 5,984 6,086 5,877 3,811 323 335 0.00 0.00
Kliring
Nominal Kliring Penyerahan (Rp. Triliun) 6.32 12.66 0.84 0.85 0.91 1.19 0.99 0.93 1.38 3.01 3.11 3.36 2.81 3.38
Volume Perputaran Kliring Penyerahan (lembar warkat) 201,975 302,914 34,677 36,188 37,809 43,610 39,971 40,708 48,453 72,843 67,315 75,723 73,560 86,316
Cek/BG Kosong 1,203 1,020 179 175 276 267 300 254 342 307 229 247 244 300
*Data Triwulan III dan IV 2016 tidak tersedia karena adanya perubahan sistem di Bank Indonesia
BI-RTGS*
To NTT
20152015
20162014 2016
2016
INDIKATOR
INDIKATOR2014
2015 20162015
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 1
EKONOMI MAKRO REGIONAL Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada tahun 2016 mengalami peningkatan
apabila dibandingkan dengan tahun 2015. Pendorong utama pertumbuhan
ekonomi terutama berasal dari peningkatan daya beli masyarakat yang terlihat dari
komponen konsumsi rumah tangga. Sementara pertumbuhan sisi sektoral terutama
berasal dari sektor 1) Konstruksi serta 2)Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor.
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada tahun 2016 tercatat sebesar 5,18% (yoy)
lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) ataupun nasional
yang tumbuh sebesar 5,02% (yoy) pada tahun 2016.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar
5,19% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11%(yoy).
Sumber pertumbuhan terutama berasal dari peningkatan pertumbuhan sektor
pertanian sebagai sektor utama dan didukung pertumbuhan yang cukup tinggi pada
sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar dan eceran.
Dari tracking pertumbuhan ekonomi triwulan I-2017 diperkirakan cukup stabil seiring
dorongan pertumbuhan tahunan pada sektor perdagangan, konstruksi dan
administrasi pemerintahan.
1.1 Kondisi Umum
1.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT tahun 2016
PDRB NTT pada tahun 2016 mencapai Rp 84,17 triliun (harga berlaku) dengan
pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18% (yoy) meningkat dibandingkan pertumbuhan
tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) dan nasional yang sebesar 5,02% (yoy).
Komponen pendorong utama pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2016 terutama
adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh mencapai 6,80% (yoy). Perbaikan daya beli
masyarakat timbul karena peningkatan pendapatan seiring adanya gaji ke-13 & 14 PNS,
peningkatan pendapatan sektor pertanian dan dorongan kegiatan proyek-proyek
Pemerintah dan Swasta. Selain itu, kegiatan bersifat regional maupun nasional di NTT,
seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda Kecil Expo, Pameran
Pembangunan, dan Tour De Flores juga mendorong tumbuhnya konsumsi masyarakat di
NTT. Dari sisi sektoral, tingginya pertumbuhan beberapa sektor utama seperti sektor
konstruksi dan perdagangan juga menggambarkan adanya perbaikan daya beli dan
kegiatan proyek yang meningkat sepanjang tahun 2016.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2016 cenderung masih lebih
rendah apabila dibandingkan beberapa Provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Provinsi NTT hanya berada diatas Provinsi Papua Barat. Pertumbuhan yang cukup tinggi
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 2
di KTI sendiri terutama disebabkan oleh adanya relaksasi ekspor pertambangan, relaksasi
moratorium perikanan, produksi pengolahan tambang yang meningkat seiring
beroperasinya smelter serta peningkatan produksi pertanian dan perkebunan. Masih
tingginya tingkat kunjungan wisatawan juga mendorong perekonomian KTI terutama
Provinsi Bali.
Grafik 1.1. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB
Tahunan Provinsi NTT dibanding Nasional
Grafik 1.2. PDRB dan Pertumbuhan PDRB
Tahunan Beberapa Provinsi di Indonesia
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
1.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT Triwulan-IV 2016
Di sisi lain, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi NTT pada triwulan
IV-2016 mencapai Rp 22,09 triliun (ADHB) dengan pertumbuhan ekonomi sebesar
5,19% (yoy). Pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan IV tercatat meningkat apabila
dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,11% (yoy). Dari sisi penggunaan, pertumbuhan
juga didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga yang mencapai 7,27% (yoy)
dan Pembentukan Modal Tetap Bruto sebesar 4,45% (yoy), meningkat dibandingkan
pertumbuhan tahunan pada periode triwulan III-2016. Peningkatan kedua sektor
tersebut juga tercermin pada pertumbuhan sisi sektoral. Sektor pertanian sebagai sektor
utama tercatat tumbuh sebesar 4,53% (yoy) lebih tinggi apabila dibandingkan triwulan
III yang hanya tumbuh 3% (yoy). Peningkatan ini ditengarai disebabkan oleh musim
panen komoditas perkebunan seperti jambu mete, kopra dan kakao serta telah masuknya
panen komoditas padi. Dampak positif meningkatnya pasokan air karena La Nina dan
perbaikan irigasi, serta berkurangnya serangan hama menjadi beberapa pendorong
peningkatan produksi. Pertumbuhan cukup tinggi juga terlihat pada sektor perdagangan
besar dan eceran yang mencapai 7,57% (yoy) seiring perbaikan daya beli dan
pendapatan masyarakat serta adanya momen natal, libur sekolah dan menjelang akhir
tahun. Adanya peningkatan kegiatan investasi juga melalui proyek pemerintah dan
swasta juga terlihat pada tingginya pertumbuhan sisi konstruksi yang mencapai 8,48%
(yoy). Beberapa proyek yang berjalan diantaranya bendungan, sarana irigasi dan perairan,
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 3
gedung pemerintahan, pasar, pos lintas batas negara, rumah sakit, sarana perbelanjaan
dan hotel.
Dari sisi spasial, pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT triwulan IV-2016 yang
sebesar 5,19% (yoy) tercatat masih lebih tinggi apabila dibandingkan nasional dan
Prov. Nusa Tenggara Barat. Pertumbuhan nasional tercatat hanya sebesar 4,94% (yoy)
melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 5,01% (yoy) seiring perlambatan
pertumbuhan sektor industri pengolahan serta pertambangan dan penggalian.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi NTB tercatat sebesar 3,77% (yoy) meningkat
dibandingkan triwulan III yang sebesar 3,43% (yoy) seiring peningkatan pada sektor
pertambangan yang ditopang oleh produksi tembaga dan industri pengolahan seiring
beroperasinya pabrik gula di Kab. Dompu. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali
tercatat sebesar 5,47% (yoy) melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 6,61%
(yoy). Perlambatan pada sektor akomodasi dan penyediaan makan minum (Hotel dan
Restoran) sebagai sektor utama menjadi salah satu penyebab utama.
Grafik 1.3. PDRB (ADHB) dan Pertumbuhan PDRB
Provinsi NTT dibanding Nasional Triwulanan (%yoy)
Grafik 1.4. PDRB dan Pertumbuhan PDRB
Triwulanan NTT, Bali, NTB dan Nasional (% yoy)
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan I-2017 diperkirakan akan
cenderung stabil dengan kisaran 5-5,4% (yoy). Adanya penyelenggaraan pilkada di 3
(tiga) daerah, yaitu Kota Kupang, Kab. Flores Timur dan Kab. Lembata diperkirakan dapat
mendorong sektor perdagangan seiring kebutuhan untuk kegiatan kampanye dan
penyelenggaraan pemilu. Selain itu, penyelenggaraan pemilu juga diperkirakan dapat
mendorong sektor administrasi pemerintahan seiring adanya penggunaan dana hibah
untuk kegiatan pemilu. Pertumbuhan triwulan I juga diperkirakan didorong oleh
peningkatan sektor konstruksi seiring adanya kegiatan proyek yang belum selesai pada
tahun 2016 dan diundur hingga 50 hari di tahun 2017 serta pengerjaan proyek
multiyears seperti bendungan, Pos Lintas Batas Wini dan Motamasin serta
Pengembangan Infrastruktur Pemukiman di Motaain dan Motamasin. Di sisi lain,
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 4
pertumbuhan sektor pertanian juga diperkirakan masih positif seiring dengan panen
komoditas padi yang masih terjadi hingga awal tahun 2017.
1.2 Perkembangan Ekonomi Sisi Penggunaan
Secara tahunan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang mencapai
6,80% (yoy) menjadi pendorong utama pada tahun 2016. Pertumbuhan tersebut
terutama berasal dari sub komponen konsumsi restoran dan hotel serta konsumsi
makanan dan minuman yang ditengarai turut didorong adanya kegiatan bersifat nasional
di NTT dan momen-momen libur sekolah serta libur keagamaan. Selain itu, adanya
perbaikan daya beli masyarakat seiring peningkatan produksi sektor pertanian, tambahan
gaji ke-13 dan 14 PNS, serta dorongan proyek menjadi penyebab lainnya.
Pada triwulan IV 2016 pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga juga
tercatat menjadi pendorong utama dengan pertumbuhan mencapai 7,27% (yoy).
Pertumbuhan tersebut tercatat cukup stabil dibandingkan triwulan-III yang sebesar
7,22% (yoy). Faktor pendorong ditengarai berasal dari konsumsi masyarakat di akhir
tahun seiring masa liburan sekolah dan libur keagamaan serta akhir tahun. Perbaikan
pendapatan masyarakat seiring panen komoditas pertanian juga mendorong kenaikan
daya beli masyarakat. Sementara itu, komponen PMTB tercatat tumbuh meningkat
menjadi 4,42% (yoy) dibandingkan triwulan III yang sebesar 3,87% (yoy) seiring dengan
adanya peningkatan kegiatan proyek pemerintah di akhir tahun.
Tabel 1.1. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Pengeluaran 2016
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah)
1.2.1 Konsumsi
Pengeluaran konsumsi secara umum pada tahun 2016 tercatat tumbuh
4,70% (yoy) melambat dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh 6,63% (yoy).
Penyebab perlambatan terutama berasal dari belanja konsumsi pemerintah yang tercatat
kontraksi -0,36% (yoy) walaupun berdasarkan data APBN, APBD Kab/Kota dan APBD
Provinsi realisasi belanja konsumsi pada tahun 2016 mencapai Rp 23,29 triliun atau
meningkat sebesar 15% (yoy) dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 20,19 triliun. Namun
2015
2015 2016 TW IV TW III TW IV
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 57,361,610 64,246,464 6.80 15,875,399 16,073,052 17,390,210 78.70 4.01 7.27
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 2,539,408 2,636,946 0.41 727,600 677,222 744,944 3.37 8.95 -0.29
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 21,765,744 22,518,264 (0.36) 7,289,527 6,946,749 7,359,416 33.31 3.08 -3.08
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 30,996,063 35,724,984 5.06 8,827,478 9,341,925 10,143,179 45.90 6.41 4.42
5. Perubahan Inventori 967,562 458,340 (55.80) 352,370 136,664 166,701 0.75 19.70 -55.29
6. Ekspor Luar Negeri 1,592,015 1,287,553 (20.81) 349,505 330,630 315,296 1.43 5.01 -1.86
7. Impor Luar Negeri 261,549 274,813 5.91 72,579 93,436 51,931 0.24 -44.96 -29.03
8. Net Ekspor Antar Daerah (38,769,998) (42,425,100) 2.00 (13,049,790) (11,537,570) (13,971,251) -63.23 12.15 0.99
P D R B 76,190,854 84,172,637 5.18 20,299,511 21,875,236 22,096,563 100.00 0.28 5.19
Tw IV
(yoy)qtqUraian
YOYBobot
2016Thn
(yoy)
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 5
di sisi lain terdapat beberapa indikator penurunan belanja tahun 2016, diantaranya
penurunan pagu belanja APBN di Provinsi NTT yang mencapai 23,9% (yoy) (Rp 11,34
triliun di tahun 2015 menjadi Rp 8,63 triliun pada tahun 2016) seiring upaya
penghematan anggaran APBN oleh Pemerintah Pusat serta adanya penundaan realisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) pada rentang September sd. Desember 2016 untuk 5 (lima)
Pemerintah Daerah, yaitu Provinsi NTT, Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan
Kab. Manggarai Barat, meskipun untuk bulan Desember akhirnya terjadi pencairan.
Untuk komponen konsumsi sendiri, pertumbuhan pada tahun 2016 terutama terbantu
oleh peningkatan pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga dari 6,21% (yoy) tahun
2015 menjadi 6,80% (yoy) di tahun 2016 seiring peningkatan daya beli masyarakat,
dorongan kegiatan bersifat nasional, pameran, momen libur sekolah serta keagamaan.
Sementara itu komponen pengeluaran konsumsi secara umum (Gabungan
antara sub komponen konsumsi rumah tangga, Konsumsi LNPRT dan konsumsi
pemerintah) untuk triwulan IV-2016 tercatat sedikit meningkat menjadi 3,83% (yoy)
dari triwulan III yang 3,68%(yoy). Sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi
pendorong utama peningkatan. Sementara konsumsi pemerintah dan konsumsi
Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) cenderung masih tumbuh
pada trend negatif seperti triwulan IV-2016.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV tercatat 7,27% (yoy)
sedikit meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 7,22% (yoy). Pertumbuhan
sendiri didorong oleh beberapa faktor, diantaranya libur natal dan libur sekolah di akhir
tahun, peningkatan pendapatan seiring mulainya panen padi dan komoditas perkebunan
(jambu mete, kakao dan kopra), serta peningkatan kegiatan proyek-proyek pemerintah
di akhir tahun. Selain itu, adanya program dana desa dengan alokasi mencapai Rp 1,84
triliun pada tahun 2016 juga diperkirakan mendorong penciptaan kegiatan ekonomi di
pedesaan. Di sisi lain, peningkatan sisi konsumsi tertinggi berasal dari pertumbuhan
komponen restoran dan hotel yang mencapai 70,9% (yoy) seiring momen akhir dan
kegiatan bersifat nasional, seperti Hari Nusantara di Kab. Lembata. Hal ini terindikasi dari
data BPS yang juga menunjukkan peningkatan jumlah tamu hotel di NTT tahun 2016
sebesar 35,7% (yoy) dibandingkan 2015. Peningkatan juga terjadi pada konsumsi
pakaian dan alas kaki seiring momen libur sekolah dan perayaan keagamaan, konsumsi
perumahan dan perlengkapan rumah tangga yang turut didukung pameran perumahan
dan peningkatan biaya listrik, serta konsumsi transportasi dan komunikasi yang turut
didorong penambahan rute pesawat serta kapal laut selain tingginya frekuensi perjalanan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 6
masyarakat dan penggunaan sarana telekomunikasi di akhir tahun. Sementara itu,
komponen konsumsi makanan dan minuman sebagai komponen utama konsumsi
dengan bobot mencapai 43% masih tumbuh positif sebesar 5,7% (yoy).
Tabel 1.2. PDRB Komponen Konsumsi Rumah Tangga Provinsi NTT 2016
Sumber: BPS (diolah)
Indikasi pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan-IV juga terlihat dari
hasil Survei Konsumen-Bank Indonesia yang meningkat dari sisi Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK), Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) dan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
(IKE). Selain itu, indikator Survei Penjualan Eceran (SPE)-Bank Indonesia juga masih
menunjukkan pertumbuhan angka omset yang positif sebesar 27,13% (yoy).
Pertumbuhan terutama berasal dari perdagangan suku cadang & aksesori sepeda motor,
peralatan elektronik serta tembakau. Peningkatan penjualan barang dagangan non
pokok tersebut, kembali mengindikasikan peningkatan daya beli masyarakat.
Grafik 1.5. Survei Konsumen Grafik 1.6. Survei Penjualan Eceran
Sumber : Bank Indonesia Sumber : Bank Indonesia
Pertumbuhan positif juga terlihat pada beberapa indikator seperti Indeks
Tendensi Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik dan Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU)-Bank Indonesia. Indikator ITK menunjukkan peningkatan pada triwulan IV
termasuk pada komponen pendapatan rumah tangga, yang mengindikasikan adanya
perbaikan pendapatan masyarakat NTT. Hal serupa juga terjadi pada indeks kegiatan
dunia usaha-SKDU yang menunjukkan peningkatan dan mengindikasikan adanya
peningkatan kegiatan usaha terutama dari sektor perdagangan, hotel dan restoran,
2015
2015 2016 TW IV TW III TW IV
Kons Makanan dan Minuman 24,081,155 27,349,820 5.23 6,726,088 6,718,367 7,476,732 43.0 5.70
Kons Pakaian & Alas Kaki 2,775,990 3,104,885 0.75 797,041 833,572 889,303 5.1 4.52
Kons Perumahan & Perl RT 10,073,481 10,341,297 -1.42 2,757,343 2,744,537 2,895,669 16.7 4.43
Kesehatan & Pendidikan 4,053,827 4,905,624 18.24 1,121,180 1,293,448 1,325,072 7.6 17.66
Transportasi & Komunikasi 12,928,430 13,351,581 8.81 3,502,821 3,138,881 3,350,726 19.3 4.89
Restoran & Hotel 2,038,602 3,894,964 72.81 559,594 994,088 1,099,524 6.3 70.90
Konsumsi Lainnya 1,410,124 1,298,292 -13.98 411,333 350,160 353,184 2.0 -14.68
Konsumsi RT 57,361,610 64,246,464 6.80 15,875,399 16,073,052 17,390,210 100.0 7.27
UraianYOY 2016
BobotTw IV
(yoy)
Thn
(yoy)
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 7
sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Peningkatan juga terjadi
pada penjualan BBM (Minyak Tanah, Solar, Premium, Pertamax dan Pertalite) yang
tumbuh sebesar 9,5% (yoy) pada triwulan IV, meningkat dibandingkan triwulan III yang
tumbuh sebesar 3,56% (yoy). Di sisi lain, indikator konsumsi listrik rumah tangga
cenderung mengalami perlambatan walaupun secara tahunan masih tumbuh 1,77%
(yoy). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya beberapa kali gangguan distribusi pada
akhir tahun yang disebabkan oleh kondisi cuaca dan persiapan koneksi jaringan untuk
penambahan daya melalui kapal listrik. Pertumbuhan cukup tinggi juga terjadi pada
penyaluran kredit konsumsi pada triwulan IV yang sebesar 12,2% (yoy) dan menunjukkan
positifnya indikator perekonomian di NTT. Hal ini juga terlihat dari angka Non Performing
Loan (NPL)/Kredit Macet kredit konsumsi yang hanya 0,71% di triwulan-IV 2016
membaik dibandingkan triwulan III yang sebesar 0,82%.
Grafik 1.7. Indeks Tendensi Konsumen Grafik 1.8. Indeks Kegiatan Dunia Usaha
Sumber : BPS, diolah Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.9. Perkembangan Konsumsi BBM Grafik 1.10. Perkembangan Konsumsi Listrik
Rumah Tangga
Sumber : PT Pertamina (Persero), diolah Sumber : PT PLN, diolah
Grafik 1.11. Penyaluran Kredit Konsumsi
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 8
Komponen Konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga
(LNPRT) tercatat masih berada pada tren kontraksi sebesar -0,29% (yoy). Adanya
kontraksi/penurunan tersebut diperkirakan disebabkan oleh menurunnya kegiatan
organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial ataupun LSM pada triwulan IV 2016
dibandingkan periode yang sama tahun 2015. Ketiadaan kegiatan pemilu yang baru akan
terjadi pada tahun 2017 diperkirakan menjadi salah satu penyebab.
Pertumbuhan negatif/kontraksi masih terjadi pada sub kelompok konsumsi
pemerintah di triwulan IV-2016. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat -3,08%
(yoy) dan masih berada pada trend negatif seperti angka revisi pertumbuhan konsumsi
pemerintah triwulan III yang sebesar -3,25%(yoy). Kontraksi masih terjadi pada konsumsi
individu pemerintah sebesar -15,32% (yoy). Berdasarkan data APBN, APBD Kab/Kota dan
APBD Provinsi secara umum masih terjadi peningkatan realisasi belanja konsumsi
pemerintah tahun 2016 menjadi Rp 23,3 triliun, meningkat 15,3% (yoy) dibandingkan
tahun 2015 yang sebesar Rp 20,2 triliun. Namun terdapat penurunan pada realisasi
belanja konsumsi APBN dari Rp 5,07 triliun (2015) menjadi Rp 5,03 triliun (2016). Hal ini
diperkirakan turut dipengaruhi oleh program penghematan anggaran yang dicanangkan
pemerintah pusat sehingga terjadi penurunan pagu belanja yang berimbas pada
penurunan belanja pemerintah pusat di Provinsi NTT. Di sisi lain, terdapat pula
penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) pada beberapa Pemerintah Daerah dan hanya
dilakukan pencairan untuk bulan Desember sehingga menyebabkan kurang optimalnya
realisasi anggaran pada daerah tersebut. Menurut informasi, penundaan DAU yang
belum dicairkan pada tahun 2016 akan dikompensasikan pada penganggaran tahun
2017. Sementara untuk kinerja triwulan IV, realisasi belanja konsumsi tercatat sebesar Rp
8,23 triliun, sedikit meningkat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar Rp 8,04
triliun. Namun, terdapat beberapa komponen yang mengalami penurunan dibanding
triwulan IV-2015 seperti belanja barang dan jasa, bantuan sosial dan belanja bagi hasil.
Tabel 1.3. PDRB Komponen Konsumsi Pemerintah Provinsi NTT 2016
Sumber: BPS (diolah)
Di sisi lain, tracking pertumbuhan komponen konsumsi pada triwulan-I 2017
diperkirakan cenderung stabil. Pertumbuhan terutama diperkirakan terjadi pada
seluruh komponen konsumsi seiring dengan adanya dorongan belanja untuk kegiatan
Pemilu di tiga daerah yaitu Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur.
2015
2015 2016 TW IV TW III TW IV
Kons Kolektif Pemerintah 12,815,032 14,222,574 9.22 4,315,054 4,461,147 4,724,563 64.2 7.46
Kons Individu Pemerintah 8,950,713 8,295,690 (11.35) 2,974,472 2,485,602 2,634,853 35.8 (15.32)
Konsumsi Pemerintah 21,765,744 22,518,264 (0.36) 7,289,527 6,946,749 7,359,416 100.0 (3.08)
UraianYOY 2016
BobotTw IV
(yoy)
Thn
(yoy)
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 9
Pertumbuhan tersebut didorong penjualan alat-alat kampanye dan kegiatan pemilu, serta
belanja hibah pemerintah. Pertumbuhan juga diperkirakan turut didorong oleh
Pendapatan masyarakat seiring panen pada bulan Desember yang sebagian dibelanjakan
pada Januari serta perpanjangan kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai 2016
selama 50 hari pada tahun 2017 dan membuka lapangan kerja bagi pegawai proyek.
Indikasi pertumbuhan juga terlihat pada Survei Konsumen-Bank Indonesia pada bulan
Januari yang menunjukkan peningkatan Indeks Ekspektasi Konsumen, walaupun Indeks
Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan
perlambatan, namun dengan angka masih >100 maka masih terjadi optimisme pada
masyarakat. Indikasi pertumbuhan positif juga terlihat pada proyeksi Survei Penjualan
Eceran (SPE)-Bank Indonesia bulan Januari yang masih berada pada trend pertumbuhan.
Indikasi yang sama juga terlihat pada proyeksi Indeks Tendensi Konsumen-Badan Pusat
Statistik yang menunjukkan adanya peningkatan proyeksi indeks dan pendapatan rumah
tangga di triwulan-I 2017.
Grafik 1.12. Perkembangan Survei Konsumen Grafik 1.13. Perkembangan Survei Penjualan
Eceran
Sumber : SK Bank Indonesia Sumber: SPE Bank Indonesia
Grafik 1.14. Proyeksi Indeks Tendeksi
Konsumen
Sumber : BPS Provinsi NTT
1.2.2 Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ Investasi
Pertumbuhan PMTB/Investasi pada tahun 2016 tercatat mengalami
pertumbuhan yang positif sebesar 5,06% (yoy) walaupun cenderung melambat
apabila dibandingkan 2015 yang sebesar 11,88% (yoy). Perlambatan lebih
Sumber : KBI Kupang
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 10
disebabkan oleh tingginya lonjakan pembangunan proyek pemerintah di tahun 2015
dibandingkan tahun 2014 terutama di bidang aksesbilitas perhubungan (pelabuhan dan
dermaga serta aksesbilitas air (bendungan,jaringan irigasi dan embung). Sementara itu,
PMTB/Investasi pada tahun 2016 sendiri masih berasal dari pembangunan infrastruktur
publik, seperti proyek Multiyears Bendungan Raknamo dan Bendungan Rotiklot, jalan
jalur sabuk perbatasan, Program Pengembangan Infrastruktur Permukiman (PIP) di
Perbatasan, gedung pemerintahan dan Pos Lintas Batas Negara. Selain itu, masih terus
pula dilakukan proyek perbaikan jalan, sarana irigasi, embung, pembangunan rumah
sakit dan pasar. Dari sisi swasta dan BUMN, investasi yang dilakukan diantaranya
pembangunan pembangkit listrik, jaringan kelistrikan, Base Transceiver Station (BTS),
hotel, sarana perbelanjaan dan investasi lainnya. Adanya pemakaian anggaran dana desa
untuk pembangunan infrastruktur pedesaan (jalan,jembatan dan irigasi) juga
diperkirakan membantu pertumbuhan komponen PMTB/Investasi. Sementara itu,
berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT sendiri, realisasi investasi pada tahun 2016
mencapai Rp 3,15 triliun meningkat dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 3 triliun.
Realisasi investasi sepanjang tahun 2016 terbesar berada di sektor telekomunikasi sebesar
Rp 738,2 miliar walaupun dari sisi jumlah, sektor pariwisata atau pembangunan hotel
berbintang menjadi yang terbanyak yaitu 22 investasi. Sementara dari sisi wilayah, Kota
Kupang menjadi daerah dengan nominal investasi terbesar (Rp 1,47 triliun) sedangkan
dari banyaknya investasi baru, Kab. Manggarai Barat menjadi yang terbanyak dengan 48
investasi dan mayoritas merupakan investasi sektor penunjang pariwisata.
Di sisi lain, pertumbuhan PMTB/ Investasi di NTT pada triwulan IV-2016
tercatat tumbuh sebesar 4,42% (yoy) atau meningkat dibandingkan triwulan III yang
tumbuh 3,87% (yoy). Peningkatan terutama berasal dari PMTB bangunan yang tumbuh
mencapai 14,72% (yoy). Pertumbuhan ini diperkirakan berasal dari peningkatan kegiatan
proyek pemerintah di akhir tahun, terutama jalan, gedung pemerintahan, rumah sakit,
pasar dan sarana perhubungan (dermaga), pos lintas batas negara. Selain itu, terdapat
pula investasi sebagai dampak alokasi dana desa seperti pembangunan jalan pedesaan,
pipanisasi untuk akses air, sarana irigasi dan jembatan. Di sisi lain terdapat pula
pembangunan sektor swasta, berupa pembangkit listrik Tenaga Surya (Independent
Power Producer), pusat perbelanjaan dan hotel serta BUMN diantaranya perbaikan
bandara. Sementara sektor non bangunan tercatat tumbuh negatif sebesar -32,87%
(yoy) walaupun tercatat masih terdapat beberapa realisasi investasi yang dilakukan seperti
penambahan dua unit Electric Rubber Tyred Gantry (E-RTG) baterei senilai Rp 36 miliar
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 11
dan truk trailer pada PT. Pelindo III cabang Tenau serta telah tibanya kapal listrik MVPP
Gokhan Bey berkapasitas 60 MW yang akan disewa PT. PLN (Persero) guna meningkatkan
kapasitas listrik di Pulau Timor.
Tabel 1.4. PDRB Komponen PMTB/Investasi Provinsi NTT 2016
Sumber: BPS (diolah)
Data realisasi BKPM Menunjukkan adanya peningkatan realisasi investasi
pada triwulan-IV 2016. Berdasarkan data BKPMD Provinsi NTT dan tracking data
sebelumnya, pada triwulan-IV 2016 telah terealisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencapai Rp 1,44 triliun. Angka ini meningkat
dibandingkan realisasi triwulan-III yang diperkirakan mencapai Rp 391 miliar.
Peningkatan realisasi pada triwulan IV terutama di bidang Telekomunikasi Tanpa Kabel
oleh PT. Telkomsel dan PT. XL Axiata, wisata tirta, hotel, restoran, perumahan, serta
kelistrikan. Sementara itu, pertumbuhan penjualan semen di Provinsi NTT cenderung
melambat walaupun masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 6,5% (yoy).
Grafik 1.15. Perkembangan Realisasi Investasi
di Provinsi NTT
Tabel 1.5. Lokasi dan Sektor Utama Investasi
di NTT Tahun 2016
Sumber : BKPMD NTT, diolah
Sumber: BKPMD NTT, diolah
Grafik 1.16. Realisasi Konsumsi Semen
Provinsi NTT
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Sementara itu, berdasarkan tracking pada triwulan I-2017 pertumbuhan
PMTB/investasi secara tahunan diperkirakan sedikit meningkat dibandingkan
2015
2015 2016 TW IV TW III TW IV
PMTB Bangunan 24,089,547 28,518,052 11.94 6,800,994 7,683,971 8,393,027 82.75 14.72
PMTB Non Bangunan 6,906,516 7,206,932 -19.15 2,026,485 1,657,954 1,750,152 17.25 -32.87
PMTB 30,996,063 35,724,984 5.06 8,827,478 9,341,925 10,143,179 100.00 4.42
UraianYOY 2016
BobotTw IV
(yoy)
Thn
(yoy)
Jumlah Realisasi Nominal
Kab. Manggarai Barat (48) Kota Kupang (Rp 1,47 T)
Kab. Sumba Timur (13) Kab. Sumba Timur (Rp 724,3 M)
Kota Kupang (12) Kab. Manggarai Barat (Rp 299,5 M)
Kab. Kupang (7) Kab. Flores Timur (Rp 210,1 M)
Kab. Sumba Barat (5) Kab. Rote Ndao (Rp 125,5 M)
Lokasi Investasi
Jumlah Realisasi Nominal
Hotel Bintang (22) Telekomunikasi (Rp 738,2 M)
Wisata Tirta (22) Pertanian Tanaman Serelia (Rp 361,1 M)
Restoran dan Penyediaan Makanan (10) Real Estate (Rp 341,8 M)
Ketenagalistrikan (6) Hotel Bintang (Rp 273 M)
Peternakan, Hotel Melati (4) Penangkapan Ikan di Laut (Rp 210,1 M)
Investasi Sektoral
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 12
triwulan IV-2016. Secara historis, nominal investasi/PMTB pada triwulan I cenderung
selalu menurun dibandingkan triwulan IV pada setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena
belum masifnya kegiatan proyek pemerintah di awal tahun. Namun apabila dilihat dari
sisi pertumbuhan tahunan (%yoy), tracking investasi pada triwulan I-2017 diperkirakan
lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahunan investasi triwulan IV-2016. Dorongan
investasi terutama berasal dari adanya perpanjangan kegiatan proyek pemerintah yang
belum selesai pada tahun 2016 selama 50 hari di tahun2017, adanya tambahan proyek
multiyears (bendungan raknamo dan rotiklot), rencana penyelesaian proyek pembangkit
listrik dan kegiatan pembangunan pusat perbelanjaan di Kota Kupang investasi di sektor
non bangunan seperti pembelian mesin dan kendaraan.
1.2.3 Ekspor Impor
1.2.3.1 Ekspor-Impor Antar Daerah
Secara tahunan, kinerja net impor antar daerah Provinsi NTT mengalami
perlambatan dari 14,31% (yoy) pada tahun 2016 menjadi 2% (yoy) pada tahun
2015. Apabila dilihat dari sisi komponen, penurunan terjadi pada ekspor antar provinsi
yang mencapai -50,99% (yoy) dan impor antar provinsi yang sebesar -9,45% (yoy).
Penurunan diperkirakan terjadi seiring dengan melambatnya kegiatan PMTB/investasi
yang mengurangi kebutuhan barang investasi dari Provinsi lain.
Sementara itu secara triwulan pertumbuhan net impor antar daerah
mencatatkan peningkatan dari kontraksi sebesar -2,46%(yoy) pada triwulan III-2016
menjadi tumbuh 0,99% pada triwulan IV-2016. Pertumbuhan juga terindikasi dari
adanya peningkatan perputaran peti kemas di Pelabuhan Tenau yang mencapai 22,6%
(yoy) atau 33.100 teus selama triwulan IV. Sementara itu, kondisi bongkar muat juga
mencatatkan adanya pertumbuhan net bongkar sebesar 62.386 ton untuk komoditas
yang bersifat curah. Peningkatan pada triwulan IV tersebut ditengarai terkait dengan
pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan masyarakat untuk persiapan perayaan hari
keagamaan serta peningkatan kegiatan proyek/investasi di akhir tahun.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 13
Grafik 1.17. Perkembangan Peti Kemas Grafik 1.18. Aktivitas Bongkar Muat
Sumber : Pelindo III, diolah Sumber : Pelindo III, diolah
Pada triwulan I-2017 diperkirakan net impor akan mengalami perlambatan.
Perlambatan diperkirakan terjadi karena menurunnya kebutuhan masyarakat paska
perayaan hari raya keagamaan di akhir tahun 2016. Selain itu, dengan kondisi cuaca
buruk dan gelombang tinggi yang secara historis selalu terjadi di awal tahun diperkirakan
telah diantisipasi oleh para pedagang dengan pengiriman stok barang dagangan dan
kebutuhan proyek pada periode sebelumnya.
1.2.3.2 Ekspor-Impor Luar Negeri
Secara tahunan, net ekspor luar negeri mengalami kontraksi sebesar
-25,8% (yoy). Menurut data BPS, nilai ekspor NTT pada tahun 2016 mencapai US$ 23,65
Juta menurun dibandingkan 2015 yang mencapai US$ 23,94 juta. Sementara itu, nilai
impor meningkat dari US$ 7,87 juta (2015) menjadi US$ 29,09 juta (2016). Penurunan
ekspor terutama terjadi pada komoditas kendaraan dan komponennya serta bahan bakar
mineral ke Timor Leste. Sementara komoditas lokal cukup terbantu dengan peningkatan
ekspor garam, belerang dan kapur. Sementara itu, peningkatan impor terutama berasal
dari impor beras di awal tahun dari Thailand serta bahan bakar mineral dan aspal dari
Singapura yang dipergunakan bagi kegiatan proyek dan bahan bakar kendaraan.
Dilihat dari kinerja pertumbuhan di setiap triwulannya, terjadi peningkatan
net ekspor pada triwulan-IV menjadi 5,2% (yoy) dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang mencatat kontraksi. Peningkatan terutama pada ekspor semen, besi
dan baja, kendaraan dan komponennya ke Timor Leste serta didukung oleh ekspor
komoditas garam dan ikan (tuna dan cakalang). Angka net ekspor triwulan IV sendiri
mencapai US$ 5,86 Juta (tidak termasuk BBM), sementara impor non BBM tercatat
sebesar US$ 208 ribu yang terutama merupakan komoditas kopi dan biji-bijian dari Timor
Leste. Di sisi lain, berdasarkan data Exim Bank Indonesia, terdapat ekspor buah olahan
ke Vietnam dan India yang mencapai US$ 9,8 juta yang diperkirakan merupakan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 14
komoditas jambu mete dan tidak tercatat sebagai sumbangan PDRB untuk NTT karena
pengiriman ke luar negeri yang berasal dari luar daerah NTT.
Grafik 1.19.Perkembangan Ekspor dan Impor Grafik 1.20. Negara Tujuan Ekspor
Sumber : Cognos BI, diolah Sumber : Cognos BI, diolah
Aktivitas ekspor luar negeri NTT pada triwulan-I 2017 diperkirakan
mengalami perlambatan. Perlambatan diperkirakan turut didorong oleh penurunan
kebutuhan dari negara lain, terutama Timor Leste sebagai negara tujuan utama ekspor
NTT. Penurunan kegiatan masyarakat paska perayaan hari raya Natal juga diperkirakan
menjadi faktor utama. Selain itu, kondisi cuaca yang kurang baik juga diperkirakan
berpengaruh pada penurunan produksi lokal NTT seperti ikan tuna dan cakalang.
1.3 Perkembangan Ekonomi Sisi Sektoral
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi NTT pada tahun 2016 terutama
didorong oleh sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar & eceran, reparasi
mobil dan sepeda motor. Sektor kontruksi tercatat tumbuh sebesar 8,46% (yoy) yang
didorong oleh peningkatan kegiatan proyek di Provinsi NTT, termasuk bendungan
Raknamo yang telah memasuki tahap konstruksi serta penyelesaian Pos Lintas Batas
serta program infrastruktur pemukiman
(PIP) berupa pembangunan sumur bor serta infrastruktur pendukung akses lainnya di
. Sementara itu pertumbuhan sektor perdagangan besar dan
eceran mencapai 6,77% (yoy) yang didukung oleh peningkatan daya beli masyarakat
seiring peningkatan produksi sektor pertanian dan perkebunan, peningkatan kegiatan
proyek dan pendapatan gaji ke-13 serta 14 PNS. Pertumbuhan ekonomi secara tahunan
juga didukung pertumbuhan positif pada sektor pertanian, Kehutanan dan Perikanan
sebagai sektor utama serta sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan
Sosial Wajib yang masih terus tumbuh walaupun mengalami perlambatan dibandingkan
pertumbuhan tahun 2015.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 15
Dari sisi triwulan, peningkatan pertumbuhan pada triwulan IV-2016 terutama
terjadi pada sektor pertanian sebagai sektor utama dan didukung oleh pertumbuhan
yang cukup tinggi pada sektor konstruksi serta sektor perdagangan besar dan
eceran. Sektor Pertanian tercatat tumbuh 4,53% (yoy) pada triwulan IV atau meningkat
dibandingkan triwulan III yang sebesar 3% (yoy). Peningkatan tersebut didukung oleh
adanya panen komoditas pertanian seperti padi serta komoditas perkebunan (jambu
mete, kakao dan kopra), dari sektor peternakan tercatat adanya pengiriman sapi yang
meningkat dari 30% (yoy) atau dari 8.524 ekor pada triwulan IV- 2015 menjadi 11.129
ekor di periode yang sama tahun 2016. Selain itu, terjadi pula pertumbuhan cukup tinggi
pada sektor konstruksi yang mencapai 8,48% (%) seiring dengan peningkatan kegiatan
proyek pemerintah seperti jalan, rumah sakit, gedung pemerintahan, pasar dan sarana
irigasi di akhir tahun, serta swasta melalui pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.
Peningkatan juga didukung oleh sektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh
7,57% (yoy) seriring perbaikan daya beli masyarakat memasuki momen perayaan libur
sekolah, keagamaan dan akhir tahun.
Tabel 1.6. PDRB Provinsi NTT Berdasarkan Sektor Ekonomi 2016
Sumber: BPS Provinsi NTT (diolah) *Dalam Juta Rp
1.3.1 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
Pada tahun 2016, pertumbuhan sektor pertanian mencapai 2,73% (yoy)
melambat apabila dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh sebesar 3,40% (yoy).
2015
2015 2016 TW IV TW III TW IV
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 22,765,546 24,315,826 2.23 5,627,528 6,417,780 6,094,647 27.58 -6.05 4.53
B Pertambangan dan Penggalian 1,073,475 1,166,764 5.66 292,383 301,698 309,436 1.40 2.43 3.19
C Industri Pengolahan 940,862 1,034,289 4.98 259,276 265,244 279,169 1.26 4.17 3.41
D Pengadaan Listrik dan Gas 43,569 59,409 14.61 13,747 15,331 15,975 0.07 3.72 11.52
EPengadaan Air, Pengelolaan Sampah,
Limbah dan Daur Ulang47,150 48,990 0.38 12,305 12,691 12,841 0.06 1.10 1.27
F Konstruksi 7,908,227 9,095,349 8.46 2,243,992 2,389,245 2,464,950 11.16 2.80 8.48
GPerdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor8,272,331 9,321,848 6.77 2,217,468 2,456,270 2,487,909 11.26 0.40 7.57
H Transportasi dan Pergudangan 3,986,583 4,528,290 6.73 1,089,803 1,186,069 1,210,726 5.48 2.07 5.48
I Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum
487,091 586,079 14.46 137,030 154,603 159,845 0.72 2.72 13.01
J Informasi dan Komunikasi 5,477,449 5,878,513 6.76 1,462,281 1,511,013 1,569,272 7.10 3.23 7.23
K Jasa Keuangan dan Asuransi 2,995,475 3,362,944 8.47 799,178 838,662 898,971 4.07 5.90 8.38
L Real Estate 2,054,341 2,209,476 3.41 550,863 567,351 577,531 2.61 1.72 3.53
M,N Jasa Perusahaan 235,528 257,185 2.83 62,344 66,388 69,530 0.31 4.13 5.57
OAdministrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib9,374,991 10,664,989 5.63 2,628,642 2,731,064 2,827,864 12.80 2.15 1.60
P Jasa Pendidikan 7,303,246 8,103,265 4.18 2,041,237 2,067,982 2,181,982 9.87 4.88 2.51
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,585,475 1,767,997 6.19 432,868 443,925 473,595 2.14 5.89 5.20
R,S,T,U Jasa lainnya 1,639,515 1,771,425 3.55 428,566 449,919 462,317 2.09 1.90 4.32
PDRB 76,190,854 84,172,637 5.18 20,299,511 21,875,236 22,096,563 100.00 0.28 5.19
qtqTw IV
(yoy)
YOYUraianKategori Bobot
2016Thn
(yoy)
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 16
Berdasarkan refleksi kinerja sepanjang tahun 2016, perlambatan sektor pertanian
terutama terjadi pada triwulan I dan triwulan II seiring dengan kondisi kekeringan,
serangan hama serta proses perbaikan irigasi yang sempat mengganggu produksi
pertanian dan perkebunan, serta menurunnya harga komoditas (jambu mete, kakao dan
rumput laut) di tingkat global. Namun, produksi pertanian mulai meningkat pada
semester 2 seiring selesainya perbaikan irigasi dan peningkatan curah hujan, serta
penambahan luas tanam yang mendorong peningkatan produksi jagung dan padi.
Adanya pengiriman sapi melalui kapal ternak dan produksi garam di Sabu Raijua dan
Kab. Kupang juga turut mendorong pertumbuhan secara tahunan.
Pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan IV-2016 tercatat sebesar 4,53%
(yoy) meningkat dibandingkan triwulan III yang sebesar 3% (yoy). Peningkatan ini
diperkirakan terjadi seiring dengan adanya panen ke-2 padi pada akhir tahun 2016
terutama di beberapa sentra padi NTT (Kab Ngada, Kab. Manggarai Barat dan Kab.
Manggarai). Selain itu, panen komoditas jambu mete, kopra dan kakao juga diperkirakan
turut mendorong pertumbuhan pada triwulan IV. Indikasi ini terlihat dari adanya
peningkatan Nilai Tukar Petani pada triwulan IV-2016 dibandingkan triwulan III yang
terutama berasal dari sub sektor tanaman padi-palawija. Di sisi lain, pertumbuhan juga
masih ditopang oleh pengiriman ternak ke luar Provinsi NTT. Tercatat pertumbuhan
pengiriman dari pelabuhan Tenau secara tahunan meningkat 35,8% (yoy) dibandingkan
periode yang sama tahun 2015 atau sebanyak 7.232 ternak. Untuk keseluruhan NTT,
menurut data Dinas Peternakan Provinsi NTT tercatat telah dikirimkan 12.755 ternak
pada triwulan IV yang terdiri dari Sapi (11.129 ekor), Kerbau (975 ekor) dan Kuda (651
ekor). Jumlah ini meningkat sebesar 11,75% (yoy) dibandingkan triwulan IV-2015 yang
sebanyak 11.414 ternak. Untuk ternak sendiri pengiriman dilakukan ke DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan
IV juga terbantu oleh produksi perdana garam sebanyak 300 ton di Bipoli, Kab. Kupang.
Di sisi lain, kondisi subsektor perikanan diperkirakan melambat pada triwulan IV yang
disebabkan kondisi cuaca dan gelombang tinggi.
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 17
Grafik 1.21. Perkembangan Nilai Tukar
Petani
Grafik 1.22. Data Pengiriman Ternak dari
Pelabuhan Tenau
Sumber : BPS, diolah Sumber : Pelindo II, diolah
Tabel 1.7. Perkembangan Pengiriman Sapi
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi NTT, diolah
Pertumbuhan sektor pertanian juga tercermin dari peningkatan kredit
pertanian dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)-Bank Indonesia. Pertumbuhan
kredit pertanian pada triwulan IV-2016 mencapai 40,6% (yoy) atau sebesar Rp 278,25
miliar meningkat dibandingkan pertumbuhan triwulan III sebesar 37,9% (yoy) atau
sebesar Rp 259,5 miliar. Hal ini juga terindikasi dari trend SKDU yang menunjukkan
perbaikan kegiatan usaha masyarakat di sektor pertanian meskipun masih berada di level
negatif karena rendahnya harga komoditas dan potensi produksi yang negatif karena
kondisi cuaca (terutama di sub sektor perikanan).
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Pertanian
Grafik 1.24. Perkembangan SKDU Pertanian
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan-I 2017, kinerja sektor pertanian diperkirakan mengalami
perlambatan. Indikasi ini terlihat pada hasil indeks proyeksi SKDU yang menunjukkan
trend penurunan. Kondisi ini diperkirakan terjadi akibat telah lewatnya musim panen ke-
I II III IV I II III IV
Sapi 5,836 14,013 24,402 8,524 9,992 24,825 17,483 11,129
Kerbau 308 840 876 1,207 490 2,023 1,250 975
Kuda 593 2,357 2,166 1,683 1,052 2,780 1,089 651
Total 6,737 17,210 27,444 11,414 11,534 29,628 19,822 12,755
Ternak
(Ekor)
2015 2016
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 18
2 padi di triwulan IV dan produksi komoditas yang cenderung terbatas akibat kondisi
cuaca dan gelombang (terutama untuk perikanan dan sayur-sayuran). Selain itu juga,
permintaan ternak yang masih terbatas dari daerah lain dan pengoperasian kapal ternak
(KM Camara Nusantara I) yang sempat terhenti karena kontrak yang telah selesai antara
Kementerian Perhubungan dan PT. Pelni. Namun, potensi pertumbuhan secara tahunan
masih dapat terjadi seiring panen komoditas padi yang masih terjadi hingga awal tahun
2017 dan komoditas perkebunan (jambu mete).
Grafik 1.25. Proyeksi SKDU Pertanian
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.2 Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial
Wajib
Secara tahunan, pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial Wajib tumbuh sebesar 5,63% (yoy) di tahun 2016. Pertumbuhan
tersebut tercatat melambat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2015
yang sebesar 6,81% (yoy). Secara tahunan sendiri, terjadi peningkatan realisasi belanja
pegawai (10,1%-yoy), belanja barang dan jasa (16,3%), hibah (16,7%) dan bantuan
keuangan (85,6%) dengan total realisasi mencapai Rp 22,84 triliun. Pertumbuhan sendiri
diperkirakan didorong oleh peningkatan realisasi alokasi dana desa dan gaji pegawai
negeri sipil seiring adanya THR atau gaji ke-14 di tahun ini. Di sisi lain, adanya
perlambatan pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan pada tahun 2016
diperkirakan disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan secara tahunan pada
realisasi belanja hibah dan bantuan sosial dibandingkan pertumbuhan tahun 2015.
Pertumbuhan sektor Administrasi Pemerintahan pada triwulan IV tercatat
sebesar 1,60% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan III yang sebesar 4,56%
(yoy). Perlambatan dari sisi triwulan IV diperkirakan diperkirakan terjadi seiring adanya
langkah penghematan belanja pemerintah pusat di Provinsi NTT dan penundaan DAU
pada periode triwulan IV-2016 yang hanya direalisasikan selama satu bulan di Bulan
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 19
Desember dan sisanya akan dikompensasikan pada tahun 2017. Apabila dilihat dari
indikator realisasi anggaran pemda terlihat bahwa pertumbuhan relisasi belanja pegawai
untuk triwulan IV 2016 dibandingkan triwulan IV 2015 hanya sebesar 0,9% (yoy) bahkan
untuk belanja barang dan jasa cenderung tumbuh negatif (-2,7%), sementara belanja
hibah dan bantuan keuangan masih tumbuh cukup tinggi. Total realisasi keempat
komponen belanja konsumsi pemerintah tersebut tercatat sebesar Rp 8,17 triliun pada
2016. Indikasi Penghematan anggaran pemerintah pusat dan penundaan DAU menjadi
penyebab perlambatan terlihat dari adanya kontraksi pada pertumbuhan realisasi belanja
pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja bantuan sosial di tingkat Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Provinsi.
Sementara dari indikator perbankan, simpanan pemerintah di perbankan tercatat
sebesar Rp 2,01 triliun pada akhir 2016 atau tumbuh negatif sebesar -26,6% (yoy)
dibandingkan tahun 2015 yang Rp 2,74 triliun. Penurunan ini ditengarai karena adanya
peningkatan realisasi pemerintah di akhir tahun yang dibarengi penghematan anggaran
pemerintah pusat di daerah sehingga simpanan pemerintah cenderung terkontraksi di
akhir tahun 2016.
Grafik 1.26. Realisasi Belanja Konsumsi
Pemerintah Tahun 2016
Grafik 1.27. Realisasi Belanja Konsumsi
Pemerintah Triwulan IV-2016
Sumber : Ditjen Perbendaharaan+Biro Keuangan NTT Sumber: Ditjen Perbendaharaan+Biro Keuangan NTT
1.28. Perkembangan Simpanan Pemerintah
di Perbankan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 20
Pada triwulan I-2017 diperkirakan pertumbuhan sektor administrasi
pemerintahan akan meningkat. Peningkatan ini lebih disebabkan oleh realisasi
anggaran hibah untuk kegiatan pilkada pada 3 Kota/Kabupaten di Provinsi NTT, yaitu
Kota Kupang, Kab. Lembata dan Kab. Flores Timur. Pemilu yang terjadi di awal tahun
dan tidak terjadi pada tahun sebelumnya diperkirakan mendorong pertumbuhan sektor
administrasi pemerintah yang meningkat. Sementara itu, untuk realisasi anggaran lainnya
diperkirakan masih terbatas seiring tahapan konsolidasi anggaran, baru dimulainya
proses lelang barang dan jasa serta reorganisasi di pemerintah daerah.
1.3.3 Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda
Motor
Secara tahunan, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan
sepeda motor tumbuh sebesar 6,77% (yoy) pada tahun 2016 meningkat
dibandingkan tahun 2015 yang tumbuh 6,07% (yoy). Peningkatan ini
menggambarkan adanya perbaikan daya beli masyarakat NTT pada tahun 2016 yang
diperkirakan turut ditopang oleh peningkatan penghasilan di sektor pertanian dan
perkebunan, dorongan gaji ke-13 dan ke-14 PNS dan peningkatan kegiatan proyek-
proyek pemerintah dan swasta pada tahun 2016. Selain itu, kegiatan bersifat nasional
seperti Hari Keluarga Nasional (Harganas) dan Alor Expo, serta pameran-pameran yang
dilakukan di daerah (Pameran Pembangunan) diperkirakan turut mendorong kinerja
penjualan komoditas di Provinsi NTT. Momen keagamaan dan liburan, seperti Natal,
Paskah, Idul Fitri dan Idul Adha juga turut mendorong sektor perdagangan.
Sementara itu pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran pada
triwulan IV-2016 tercatat 7,57% (yoy) melambat apabila dibandingkan triwulan III
yang sebesar 8,10% (yoy). Perlambatan lebih disebabkan oleh tingginya pertumbuhan
sektor perdagangan secara historis setiap triwulan-IV seiring momen natal, liburan
sekolah dan menjelang tahun baru di triwulan IV. Namun, angka pertumbuhan yang
cukup tinggi mencapai 7,57% (yoy) menggambarkan masih terjaganya daya beli
masyarakat di akhir tahun 2016. Adanya panen komoditas pertanian (padi dan jambu
mete), kegiatan proyek-proyek, dorongan alokasi dana desa yang digunakan untuk
kegiatan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan sehingga membuka
lapangan kerja baru serta kegiatan Hari Nusantara di Kab. Lembata diperkirakan menjadi
faktor yang menjaga konsistensi daya beli masyarakat NTT di akhir tahun.
Pertumbuhan positif juga terlihat dari beberapa indikator survei Bank
Indonesia, yaitu Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) dan Survei Konsumen (SK).
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 21
Indikator SKDU berupa Indeks Kegiatan Dunia Usaha dan Indeks Harga Jual menunjukkan
adanya trend meningkat yang menggambarkan peningkataan kegiatan usaha yang
dirasakan oleh para pelaku usaha pada triwulan IV-2016. Selain itu indikator Survei
Konsumen juga menunjukkan adanya peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK),
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang
menggambarkan adanya kenaikan optimisme konsumen dalam melihat kondisi ekonomi
NTT di triwulan IV yang menandakan adanya kecenderungan potensi kenaikan belanja
konsumen. Di sisi lain, indikator perbankan berupa kredit perdagangan menunjukkan
adanya perlambatan pertumbuhan dari 18,2% (yoy) di triwulan III menjadi 15,3% (yoy)
di triwulan IV dengan nominal kredit mencapai Rp 5,84 triliun. Namun, pertumbuhan
kredit yang masih cukup tinggi ini menunjukkan pergerakan sektor perdagangan yang
masih terjaga cukup tinggi di akhir tahun.
Grafik 1.29. Perkembangan SKDU Sektor
Perdagangan
Grafik 1.30. Perkembangan Survei
Konsumen
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah Sumber : SK-Bank Indonesia, diolah
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Sektor
Perdagangan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan I-2017, perkembangan sektor perdagangan diperkirakan
cukup stabil dibandingkan triwulan IV-2016. Secara historis, pertumbuhan sektor
perdagangan pada triwulan I cenderung selalu mengalami perlambatan karena ketiadaan
momen-momen keagamaan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi masyarakat
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 22
secara umum. Namun, untuk triwulan I-2017 terdapat momen Pemilu Kepala Daerah
yang diperkirakan dapat menjaga pertumbuhan penjualan tahunan terutama untuk alat-
alat kampanye seperti spanduk, sandang dan keperluan konsumsi. Selain itu, keperluan
alat tulis untuk kegiatan pemilu juga diperkirakan mendorong sektor perdagangan. Di
sisi lain, berdasarkan hasil SKDU-Bank Indonesia terdapat trend penurunan pada
indikator kegiatan dunia usaha dan harga jual. Namun dengan angka yang masih positif
(>0), maka masih terdapat potensi optimisme pelaku usaha akan terjadinya pertumbuhan
kegiatan dunia usaha pada triwulan I-2017.
Grafik 1.32. Proyeksi SKDU Perdagangan
Sumber : SKDU Bank Indonesia, diolah
1.3.4 Sektor Konstruksi
Pertumbuhan sektor konstruksi sepanjang 2016 mencapai 8,46% (yoy)
meningkat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 5,22% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan ini diperkirakan turut ditopang oleh kegiatan proyek multiyear pemerintah
yang telah memasuki tahap kontruksi seperti bendungan raknamo,jalan sabuk
perbatasan, dan pos lintas batas negara. Proyek-proyek lainnya yang dilakukan
pemerintah diantaranya pembangunan dan perbaikan jalan di berbagai kabupaten-kota,
pembangunan jembatan, jaringan irigasi, pasar, embung, dermaga, rumah sakit dan
gedung pemerintahan. Sementara pembangunan dari pihak swasta dan BUMN,
diantaranya hotel, pusat perbelanjaan, jaringan BTS dan pembenahan bandara.
Pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan-IV 2016 tercatat 8,48% (yoy)
melambat dibandingkan triwulan-III yang sebesar 9,30% (yoy). Perlambatan lebih
disebabkan oleh tingginya kegiatan konsentrasi pembangunan pemerintah pada triwulan
III karena didukung kondisi cuaca yang menyebabkan banyak investor swasta lebih
memilih memulai proses pembangunan dan percepatan kegiatan proyek yang akan
diresmikan pada triwulan IV (Gedung Pemerintahan dan Pos Lintas Batas Negara).
Namun, pertumbuhan konstruksi tercatat tetap terjaga (>8%-yoy) pada triwulan IV yang
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 23
didukung oleh penyelesaian proyek multiyear yang masih dilakukan (bendungan, PLBN
Motamasin dan PLBN Wini) serta kelanjutan proyek jalur sabuk perbatasan dan Proyek
Pengembangan Infrastruktur pemukiman (PIP) di Motaain dan Motamasin. Selain itu,
pengembangan proyek konstruksi pada triwulan IV juga diperkirakan masih didorong
oleh percepatan kegiatan proyek single year pemerintah seperti pembangunan dan
perbaikan jalan, sarana irigasi dan gedung pemerintahan. Selain juga pembangunan dari
BUMN dan swasta, seperti sarana komunikasi tanpa kabel (BTS), pengembangan
bandara, hotel dan pusat perbelanjaan yang masih dilakukan.
Tracking pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan I-2017 diperkirakan
masih tumbuh cukup stabil. Kegiatan konstruksi di awal tahun terjadi pada proyek-
proyek multiyears pemerintah yang terus berlanjut dan telah memasuki masa kontruksi
serta kegiatan proyek 2016 yang diperpanjang jangka waktu penyelesaian hingga 50 hari
di tahun 2017. Selain itu, kegiatan proyek lainnya juga diindikasikan akan dimulai pada
awal tahun, seperti pembangunan RSUD, perbaikan jalan dan jembatan serta proyek
swasta seperti pembangunan perumahan.
1.3.5 Sektor-sektor Lainnya
Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum tumbuh cukup tinggi pada
tahun 2016 yaitu sebesar 14,46% (yoy) jauh meningkat dibandingkan tahun 2015
yang sebesar 6,17% (yoy). Peningkatan pertumbuhan sektor akomodasi pada tahun
2016 diperkirakan turut didorong oleh kegiatan-kegiatan bersifat nasional dan regional
yang mendorong kenaikan tingkat okupansi hotel dan restoran. Beberapa kegiatan
bersifat nasional diantaranya Hari Keluarga Nasional (Harganas), Alor Expo, Sunda Kecil
Expo, Hari Nusantara, dan Tour De Flores. Selain itu, dorongan juga berasal dari kegiatan
rapat yang diadakan di hotel seperti Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah
(Rakor Pusda) di Kota Kupang dan rapat intra pemerintah lainnya.
Pada triwulan IV-2016, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum
mengalami pertumbuhan sebesar 13,01% (yoy) melambat dibandingkan triwulan-
III yang sebesar 16,51% (yoy). Perlambatan terutama disebabkan oleh menurunnya
kegiatan bersifat nasional serta pameran-pameran. Tercatat hanya terdapat satu even
nasional yaitu Hari Nusantara di Kab. Lembata, selain itu kondisi cuaca dan gelombang
tinggi di akhir tahun juga menghambat kegiatan wisata alam yang banyak terdapat di
NTT sehingga berdampak pada penurunan kunjungan wisatawan di triwulan IV. Namun,
adanya kenaikan permintaan dari internal NTT terutama memasuki momen natal dan
menjelang tahun baru diperkirakan menjadi penyangga pertumbuhan yang masih cukup
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 24
tinggi. Hal ini terindikasi dari tidak begitu signifikannya penurunan jumlah tamu hotel
dari 65.360 orang (triwulan III) menjadi 65.320 orang (triwulan IV). Namun secara
pertumbuhan, terjadi perlambatan cukup tajam untuk kunjungan tamu hotel dari 28,6%
(yoy) di triwulan III menjadi 6,7% (yoy) di triwulan IV. Indikasi lainnya adalah penurunan
perputaran penumpang bandara yang cukup besar. Pada triwulan IV tercatat penumpang
berangkat dan pulang dari bandara-bandara di NTT mencapai 88.750 orang atau tumbuh
13,9% (yoy) namun menurun dibandingkan triwulan III yang sebesar 924.015 orang atau
tumbuh mencapai 29,1% (yoy).
Di sisi lain, tracking pertumbuhan sektor akomodasi dan makan minum pada
triwulan I-2017 diperkirakan mengalami perlambatan. Hal ini diperkirakan terjadi karena
ketiadaan even bersifat nasional dan momen liburan keagamaan ataupun hari besar di
awal tahun. Selain itu, kondisi cuaca yang masih cukup buruk menjadi penghambat
antusiasme kunjungan wisatawan ke NTT. Namun, pertumbuhan positif masih terjadi
seiring kegiatan-kegiatan rapat koordinasi pemda dan timses pilkada di hotel atau
restoran.
Grafik 1.33. Perkembangan Tamu Hotel Grafik 1.34. Perkembangan Penumpang
Bandara
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Sektor Jasa Keuangan dan Asuransi tercatat tumbuh sebesar 8,47% (yoy)
pada tahun 2016. Sementara itu pertumbuhan triwulan IV meningkat menjadi
8,38% (yoy) dari triwulan sebelumnya yang 4,45% (yoy). Peningkatan kegiatan jasa
keuangan dan asuransi terindikasi dari pertumbuhan indikator Nilai Tambah Bank (NTB)
untuk Bank Umum yang mencapai 15,7% (yoy) pada tahun 2016. Pertumbuhan
didorong oleh adanya perkembangan pada pendapatan FISIM (Financial Intermediation
Services Indirectly Measured) atau pendapatan bank dari margin suku bunga, Pendapatan
Provisi/Komisi dan Pendapatan Sekunder Bank yang mencapai Rp 2,14 triliun (2016)
dibandingkan 2015 yang sebesar Rp 1,86 triliun. Hal ini terlihat pula pada tingginya kredit
Bank Umum di Provinsi NTT hingga akhir tahun 2016 yang tercatat sebesar Rp 22,84
triliun atau tumbuh 12,59% (yoy).
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 25
Sementara itu secara triwulanan, pertumbuhan NTB Bank Umum juga mengalami
kenaikan dari 7,07% (yoy) pada triwulan III menjadi 15,2% (yoy) pada triwulan IV.
Adanya peningkatan nominal kredit yang mencapai Rp 454,6 miliar pada triwulan IV
dibanding triwulan III diperkirakan menjadi salah satu penyebab.
Di sisi lain, perkembangan jasa keuangan dan asuransi pada triwulan I-2017
diperkirakan tumbuh cukup stabil. Pertumbuhan diperkirakan terjadi karena masih
tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan dan asuransi di NTT, selain itu
pertumbuhan juga ditopang kredit masyarakat seiring kebutuhan pendanaan untuk
musim tanam dan pengiriman pendanaan untuk kegiatan perusahaan dan pemerintah
di awal tahun.
Grafik 1.35. Perkembangan NTB Perbankan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Sektor transportasi dan pergudangan tumbuh sebesar 6,73% (yoy) pada
tahun 2016 dan tumbuh 5,48% (yoy) di triwulan IV. Pertumbuhan sepanjang tahun
2016 diperkirakan turut ditopang oleh adanya pembukaan beberapa rute penerbangan
baru seperti Garuda (Denpasar-Maumere dan Jakarta-Kupang (direct)), Airfast (Labuan
Bajo-Ruteng), Trans Nusa (Ngada-Kupang), Nam Air (Denpasar-Labuan Bajo), serta Lion
Air (Kupang-Alor dan Kupang-Atambua) Selain itu, terdapat pula penambahan rute kapal
laut, seperti Kapal Motor Tilongkabila (Rinca dan Komodo) serta 18 rute baru ASDP dan
mulai beroperasinya taksi argo (Go Go Taxi) di Kota Kupang. Selain itu juga, peningkatan
penumpang pesawat hingga 20% dan kapal laut (10%) pada libur perayaan Idul Fitri
menjadi indikasi peningkatan lainnya.
Secara triwulanan, pertumbuhan triwulan IV cenderung melambat.
Perlambatan disebabkan oleh minimnya pembukaan rute baru pesawat yang tercatat
hanya Lion Air tujuan Kupang-Lombok dan Wings Air tujuan Kupang-Tambolaka-Ende,
serta kondisi cuaca yang menyebabkan penurunan penggunaan kapal laut untuk
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 26
perjalanan di akhir tahun, walaupun pertumbuhan masih tetap terjadi seiring adanya
perayaan hari raya natal dan tahun baru di akhir tahun.
Di sisi lain, pertumbuhan pada triwulan I-2017 diperkirakan juga melambat.
Ketiadaan momen libur hari besar dan libur keagamaan diperkirakan mengurangi
frekuensi penggunaan pesawat terbang dan kapal laut di awal tahun. Selain itu, kondisi
cuaca yang kurang baik juga diperkirakan mengurangi pengiriman stok barang dagangan
dari daerah lain, sehingga berdampak pada terbatasnya pertumbuhan sektor
pergudangan.
Sektor real estate tercatat tumbuh 3,41% (yoy) pada tahun 2016 dan tumbuh
sebesar 3,53% (yoy) pada triwulan IV-2016. Pertumbuhan sektor real estate pada
tahun 2016 turut terbantu oleh beberapa kegiatan pameran perumahan seperti kegiatan
Real Estate Indonesia (REI) Expo 2016 dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan
(FLPP). Sementara itu pertumbuhan triwulan IV turut ditopang pameran BTN Expo 2016
pada bulan Oktober dan REI-Bank NTT Expo di akhir tahun 2016. Tracking pertumbuhan
sektor real estate pada triwulan I-2017 diperkirakan sedikit meningkat karena adanya
tindak lanjut penyediaan rumah sebagai hasil kegiatan pameran sepanjang tahun 2016.
Sektor industri pengolahan tercatat tumbuh 4,98% (yoy) di tahun 2016 dan
tumbuh sebesar 3,41% (yoy) di triwulan IV-2016. Sepanjang tahun 2016 belum
terdapat lonjakan pertumbuhan berarti pada sektor industri pengolahan karena belum
adanya penambahan industri besar di NTT. Tercatat hanya terdapat beberapa pabrik kelas
menengah kecil, seperti air kemasan dan rumput laut di Sabu Raijua. Pengembangan
industri cukup besar seperti semen kupang III dan pabrik gula (Sumba Timur) baru akan
mulai dibangun pada tahun 2017. Minimnya produksi pengolahan juga terjadi pada
triwulan-IV 2016 yang diperkirakan lebih didorong oleh peningkatan industri makan
minum memasuki momen natal dan akhir tahun. Sementara itu, prospek pada triwulan
I-2017 diperkirakan masih cukup stabil dan belum tumbuh terlalu besar karena baru akan
dimulainya pembangunan pabrik skala besar.
Pada tahun 2016, sektor pengadaan Listrik dan gas tumbuh sebesar 14,61%
(yoy) dan 11,52% (yoy) pada triwulan IV 2016. Pertumbuhan tahunan yang cukup
tinggi diperkirakan turut didorong oleh penambahan kapasitas melalui pasokan mesin
(diantaranya Kab. Sikka, Sumba dan Kab. Flores Timur), Gardu Induk, dan Saluran Udara
Tegangan Extra Tinggi (SUTET). Sementara itu pertumbuhan triwulan IV cenderung
melambat karena masih terbatasnya penambahan infrastruktur ketenagalistrikan.
Kedatangan Kapal Pembangkit Listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) Gokhan Bey
| Bab I - Ekonomi Makro Regional 27
berkapasitas 60 MW baru akan dioptimalisasikan pada tahun 2017. Sementara itu
dengan adanya kapal MVPP dan rencana penambahan kapasitas melalui PLTU IPP Bolok
(2 x 15 MW) pada bulan Maret, diperkirakan pertumbuhan triwulan I-2017 akan
meningkat.
Sektor informasi dan komunikasi tercatat tumbuh 6,76% (yoy) pada tahun
2016 dan sebesar 7,23% (yoy) pada triwulan IV-2016. Sepanjang tahun 2016
pertumbuhan turut didorong penguatan layanan melalui pengembangan jaringan oleh
PT. Telkomsel dan PT. XL Axiata. Selain itu, dilakukan pula proses migrasi dan promosi
pengguna layanan Telkomsel ke 4G di tahun 2016 serta adanya kenaikan tarif pulsa
ponsel di bulan September. Sementara itu, pertumbuhan triwulan IV-2016 diperkirakan
turut ditunjang peningkatan trafik data internet dan telepon di akhir tahun. Pertumbuhan
pada triwulan I-2017 diperkirakan melambat karena belum adanya langkah promosi
paket dari provider dan ketiadaan momen keagamaan atau hari besar yang dapat
meningkatkan penggunaan trafik data dan telepon secara signifikan. Namun, potensi
peningkatan terjadi dari adanya kenaikan tarif pulsa ponsel di awal tahun.
Secara tahunan sektor lainnya, jasa pendidikan mengalami perlambatan
pertumbuhan yang kemungkinan disebabkan oleh terhambatnya penyaluran tunjangan
sertifikasi guru.Sementara sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur
ulang, sektor jasa perusahaan dan sektor jasa lainnya cenderung mengalami
perlambatan. Sementara itu, sektor pertambangan dan penggalian serta sektor jasa
kesehatan dan kegiatan sosial cenderung meningkat.
Di sisi lain secara pertumbuhan triwulan IV dibandingkan triwulan III , sektor
pertambangan serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial cenderung melambat, sementara
sektor jasa pendidikan, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur
ulang, sektor jasa perusahaan dan sektor jasa lainnya cenderung meningkat di akhir
tahun. Peningkatan sektor pengadaan air diperkirakan turut ditopang oleh kegiatan
PDAM Kota Kupang untuk pemasangan 2.000 sambungan bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) pada tahun 2016 yang telah mencapai target di bulan
Desember. Sementara itu, pencairan DAU pada bulan Desember diperkirakan turut
berpengaruh bagi pencairan untuk kegiatan tunjangan sertifikasi guru. Sementara itu,
tracking untuk sektor lainnya pada triwulan I-2017 secara umum diperkirakan mengalami
peningkatan yang ditopang oleh percepatan kegiatan dibandingkan periode yang sama
pada tahun sebelumnya.
| Boks 1 Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia 28
PDB Indonesia pada tahun 2016 mencapai 12.407 triliun rupiah, meningkat 5,02%
(yoy) dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 11,531 triliun rupiah. Provinsi DKI
Jakarta menjadi provinsi dengan PDRB terbesar mencapai 2,122 triliun rupiah, diikuti oleh
Provinsi Jawa Timur dengan PDRB sebesar 1.855 triliun, Jawa Barat (1.653 triliun), Jawa
Tengah (1.095 triliun) dan Provinsi Riau (682 triliun). Total PDRB Provinsi NTT pada tahun
2016 sebesar 84 triliun rupiah, atau sebesar 0,66% dari total PDB Indonesia, menempatkan
PDRB Provinsi NTT pada ranking 9 terendah di Indonesia. Dengan jumlah penduduk sebesar
5,2 juta (estimasi 2016), membuat PDRB perkapita di NTT menempati urutan terbawah
dengan nilai sebesar 16 juta perkapita per tahun, cukup jauh dibandingkan rata-rata PDB
perkapita nasional yang sebesar 45 juta perkapita per tahun atau Provinsi DKI Jakarta dengan
PDRB per kapita mencapai 212 juta perkapita per tahun.
Grafik Boks 1.1. Ranking PDRB dan Jumlah
Penduduk 34 Provinsi di Indonesia
Grafik Boks 1.2. Ranking PDRB perkapita dan
Pertumbuhan Ekonomi 34 Provinsi di Indonesia
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Pertumbuhan PDRB Provinsi NTT tahun 2016 mencapai 5,18% (yoy), cukup
meningkat bila dibandingkan PDRB tahun 2015 yang sebesar 5,03% (yoy) atau PDB Nasional
yang sebesar 5,02% (yoy). Secara keseluruhan, terdapat 26 Provinsi yang memiliki
pertumbuhan di atas pertumbuhan nasional atau hanya 8 provinsi yang memiliki
pertumbuhan ekonomi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Provinsi Kalimantan Timur
menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi negatif -0,38% (yoy) terutama disebabkan
oleh masih belum pulihnya kinerja pertambangan yang juga berdampak pada menurunnya
kinerja konstruksi di Kalimantan Timur.
Berdasarkan pangsa sektoral, sektor pertanian masih menjadi penyumbang utama
PDRB, diikuti oleh sektor administrasi pemerintah, perdagangan besar dan eceran, konstruksi
dan jasa pendidikan. Berdasarkan rincian sub sektor pertanian, tanaman pangan dan
peternakan memiliki pangsa terbesar ke-3 dan ke-4, setelah administrasi pemerintahan dan
konstruksi. Dibanding pangsa nasional, subsektor tanaman pangan memiliki nilai bobot relatif
terbesar ke-3 di Indonesia setelah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Lampung. Bahkan,
subsektor peternakan memiliki pangsa terbesar dibanding rata-rata nasional yang terlihat dari
nilai LQ peternakan yang mencapai 3,11 dan pangsa terhadap total PDRB NTT mencapai
9,57%. Subsektor peternakan NTT juga memiliki kontribusi terbesar ke-8 nasional dengan
| Boks 1 Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia 29
besar pangsa terhadap PDB Indonesia mencapai 3,76% yang terutama disumbang oleh
peternakan sapi. Adapun sektor lain yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap
perekonomian NTT relatif dibanding nasional antara lain sektor informasi dan komunikasi (LQ-
2,01, bobot 7,48%), jasa pendidikan (LQ-2,89%, bobot 9,57%) dan administrasi
pemerintahan (LQ-3,16, bobot 12,23%). Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan
pertumbuhan ekonomi di NTT masih sangat dipengaruhi oleh tumbuhnya sektor pertanian
dan pengeluaran pemerintah.
Grafik Boks 1.3. Struktur Ekonomi Provinsi NTT
Berdasarkan Sektoral
Grafik Boks 1.4. Struktur Ekonomi Provinsi NTT
Berdasarkan Penggunaan
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS dan Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan pendekatan pengeluaran, didapatkan bahwa 32,5% pengeluaran rumah
tangga digunakan untuk konsumsi makanan dan minuman, dan 43,83% digunakan untuk
konsumsi non makanan dan minuman, dengan pengeluaran terbesar pada konsumsi untuk
keperluan transportasi (15,86%) dan perumahan (12,29%). Konsumsi pemerintah
menyumbang 26,75% dari total PDRB NTT. Pengeluaran besar lainnya didapatkan dari
investasi pembangunan fisik dengan pangsa hingga 33,88% dari total PDRB NTT, diikuti
investasi non bangunan (8,56%). Namun demikian, tingginya belanja domestik ini tidak
sepenuhnya dinikmati masyarakat di NTT yang terlihat dari besarnya impor antar daerah yang
mencapai 64,77% dari total PDRB NTT. Hal ini berarti terdapat lebih dari 54 triliun rupiah
uang keluar NTT yang digunakan untuk keperluan konsumsi dan investasi di NTT. Tingginya
impor antar daerah tersebut berdampak negatif terhadap PDRB NTT yang secara langsung
mengurangi potensi total pendapatan atau pengeluaran yang bisa dihasilkan Provinsi NTT
dalam waktu satu tahun. Ekspor antar daerah di NTT juga masih relatif kecil dengan pangsa
hanya 14, 37% terutama berasal dari ekspor peternakan, perikanan, garam, dan hasil
perkebunan di NTT. Adapun kegiatan ekspor dan impor antar negara masih didominasi oleh
kegiatan ekspor jasa luar negeri terutama disumbang oleh pengiriman TKI walaupun
pertumbuhannya mengalami penurunan seiring dengan adanya moratorium pengiriman TKI
ataupun banyaknya ditemukan praktek pengiriman TKI ilegal dari Provinsi NTT. Sektor
pariwisata belum terlalu berkontribusi besar walaupun pada tahun 2016, jumlah kunjungan
wisatawan sudah mencapai 1 juta orang.
Walaupun pangsa terhadap perekonomian masih sangat kecil, sektor pariwisata
berpotensi untuk berkontribusi lebih terhadap perekonomian di NTT yang terlihat dari
pertumbuhan ekonomi sektor penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh
hingga 14,46% (yoy) dan menjadi pertumbuhan sektoral terbesar di Indonesia. Tingginya
potensi sumbangan pariwisata terhadap perekonomian NTT juga terlihat dari banyaknya
investasi pembangunan hotel, restoran dan jasa pariwisata di NTT yang mencapai lebih dari
50% dari total 104 komitmen investasi di tahun 2016.
| Boks 1 Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia 30
Grafik Boks 1.5. Andil Pertumbuhan Ekonomi
Sektoral di Provinsi NTT
Grafik Boks 1.6. Andil Pertumbuhan Ekonomi
Penggunaan di Provinsi NTT
Berdasarkan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi didapatkan bahwa sektor
pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan terutama disebabkan oleh adanya El Nino
di awal tahun yang mempengaruhi turunnya produksi pertanian tanaman pangan. Gejala La
Nina di tengah dan akhir tahun juga menurunkan produksi tanaman perkebunan dan hasil
tangkap ikan. Di tengah perlambatan tersebut, sektor konstruksi mampu memberikan
sumbangan pertumbuhan ekonomi terbesar, disusul oleh sektor perdagangan dan
administrasi pemerintah. Kegiatan administrasi pemerintah juga mengalami perlambatan
terutama disebabkan oleh adanya penghematan belanja yang dilakukan oleh satker
pemerintah pusat di NTT.
Perlambatan investasi juga terlihat dari rendahnya realisasi investasi di NTT terutama
disebabkan oleh penurunan belanja modal pemerintah pusat di NTT. Turunnya investasi juga
langsung berimbas terhadap turunnya impor antar daerah yang dilakukan.
Grafik Boks 1.7. Ranking PDRB dan Jumlah
Penduduk 22 Kabupaten Kota di NTT
Grafik Boks 1.8. Ranking PDRB Perkapita dan
Pertumbuhan Ekonomi 22 Kabupaten Kota di NTT
Apabila kembali dirinci berdasarkan data kabupaten kota tahun 2015, PDRB terbesar
dihasilkan oleh Kota Kupang dengan total nilai PDRB mencapai 16,62 triliun rupiah, diikuti
kabupaten Timor Tengah Selatan (5,52 T), Kabupaten Kupang (5,44 T), Ende (4,58T) dan
Sumba Timur (4,56T). Masih terdapat 2 kabupaten yang memiliki PDRB kurang dari satu triliun
yaitu Kabupaten Sumba Tengah dan Sabu Raijua. Dengan jumlah penduduk yang besar, dan
di sisi lain nilai nominal PDRB yang dihasilkan relatif rendah membuat PDRB perkapita di NTT
juga sangat rendah, bahkan terendah di Indonesia. Hanya Kota Kupang yang memiliki nilai
| Boks 1 Karakter Ekonomi Provinsi NTT dan Kontribusi Terhadap Perekonomian Indonesia 31
PDRB per kapita mendekati rata-rata nasional, selebihnya berada di kisaran 12 juta rupiah per
kapita per tahun dengan Kabupaten Manggarai Timur dan Sumba Barat Daya sebagai daerah
dengan pendapatan perkapita terendah di NTT dengan nilai hanya 8,35 juta dan 8,43 juta
per kapita per tahun.
Berdasarkan total pangsa ekonomi per sektor, didapatkan bahwa Kabupaten Timor
Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang menjadi sentra pertanian terbesar di NTT dengan
pangsa masing-masing sebesar 11,45% dan 10,99% dari total PDRB Sektor pertanian di NTT.
Subsektor peternakan menjadi komoditas utama penyumbang pertanian di kedua daerah
tersebut, selain juga disumbang oleh sub sektor tanaman pangan.
Berdasarkan pangsa sektoral, didapatkan bahwa 15 kabupaten di NTT masih sangat
tergantung pada sektor pertanian dan 12 kabupaten juga menggantungkan ekonominya dari
belanja pemerintah. Tingginya ketergantungan terhadap sektor pertanian tersebut
berdampak pada tren rendahnya PDRB di daerah-daerah tersebut. Dengan kondisi ekonomi
yang terlalu tergantung pada pertanian dan pengeluaran pemerintah, maka pertumbuhan
ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran pemerintah atau inovasi
pertanian yang dilakukan.
Dengan karakter ekonomi di Provinsi NTT yang masih dominan digerakkan oleh sektor
primer dan pengeluaran pemerintah, maka dengan kondisi pengetatan anggaran yang
terjadi, pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTT diperkirakan akan cenderung rendah pada
kisaran 5% dalam beberapa tahun ke depan. Akselerasi ekonomi diperkirakan baru akan
terjadi setelah pembangunan waduk, industri semen, garam dan gula selesai dilakukan.
Potensi pertumbuhan sebenarnya juga masih dapat diraih apabila kelebihan pasokan daya
listrik yang saat ini terjadi benar-benar dapat dimanfaatkan dengan mengupayakan
industrialisasi ekonomi yang sudah direncanakan dalam Kawasan Industri Bolok. Apabila
peluang industrialisasi ekonomi dapat segera ditangkap, maka pertumbuhan ekonomi di atas
6% dapat segera diraih.
Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT 32
Boks 2. Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT Pertumbuhan ekonomi provinsi NTT selama periode 2010-2016 cenderung stabil dalam
kisaran 5% (yoy) dan belum mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup tinggi. pangsa
perekonomian provinsi NTT yang cenderung bertumpu pada sektor pertanian dengan
peningkatan produksi yang terbatas menjadi salah satu penyebab terjadinya trend tersebut.
Apabila dilihat dari satu sisi, pencapaian tersebut merupakan hal yang positif karena
menunjukkan keberhasilan Provinsi NTT dalam menjaga stabilitas perekonomiannya. Namun
disisi lain perlu adanya reformasi struktural guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sebagai
landasan perumusan strategi pembangunan, maka Bank Indonesia Provinsi NTT bersama
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter telah melakukan kajian mengenai faktor-faktor
penghambat pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan pendekatan Growth Diagnostic
melalui metode HRV Tree (Hausmann, Rodrik, dan Velasco, 2005) yang mencakup analisis
hambatan utama perekonomian NTT. Sebagai langkah kuantifikasi terhadap dampak simulasi
kebijakan, juga digunakan Model Computable General Equilibrium (CGE)-INDOTERM yang
dibangun oleh Bappenas, CoPS Australia, CEDS UNPAD, ADB dan USAID.
Dalam metode HRV Tree dilakukan analisis untuk menentukan prioritas hambatan
utama yang dapat memberikan efek pertumbuhan ekonomi paling besar (most binding
constraint). Dalam metode ini terdapat dua hal utama penghambat investasi sebagai salah satu
pendorong pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, yaitu 1) Tingkat pengembalian dari aktivitas
ekonomi yang rendah (didalamnya terdiri dari: rendahnya kualitas SDM, kurangnya
infrastruktur, geografis yang buruk, manajemen SDA yang buruk, serta kegagalan pemerintah
dan kegagalan pasar), dan 2) Ongkos dari pembiayaan yang tinggi (ketidakcukupan
pembiayaan domestik dan internasional karena tabungan yang rendah atau fungsi intermediasi
yang buruk). Data yang digunakan merupakan data-data sekunder dari BPS ataupun lembaga
lainnya. Dari hasil analisis ditemukan beberapa faktor penghambat utama investasi di NTT,
diantaranya adalah Kualitas Sumber Daya Manusia dan kurangnya infrastruktur terutama listrik.
Tabel Boks 2. 1. Matriks Hambatan Utama Perekonomian di Provinsi NTT
Penjelasan
Rasio Kredit/PDRB dan Simpanan/PDRB masih cukup rendah (<30%)
Loan to Deposit Ratio (LDR) masih tergolong rendah (sekitar 80%)
Pangsa Kredit Konsumsi sangat tinggi (rata-rata 63%)
Suku Bunga Investasi tinggi (rata-rata >14%)
Geografis Terdiri dari 8 musim kemarau dan 4 musim hujan dengan curah hujan rendah.
Manajemen
SDA Buruk
Produktivitas Pertanian dan alokasi pupuk subsidi yang rendah
Rasio Elektrifikasi masih rendah (58,6%) dengan konsumsi perkapita sangat rendah 139 Kwh/Kapita
Jumlah jalan beraspal masih rendah
Masih banyak terjadi sengketa lahan. Namun rasio penyelesaian cukup tinggi 80%
Akses sanitasi dan air bersih masih rendah
Biaya kirim logistik masih cukup tinggi
Tenaga kerja mayoritas tidak terididik (>60%), IPM masih rendah peringkat ke 31 dari 34 Provinsi
Produktivitas masih rendah 33,6 Juta/tahun dengan sektor terendah industri (Rp 8,2 juta/kapita)
Pangsa pengangguran terdidik selalu meningkat setiap tahun (miss match lapangan kerja)
Akses pendidikan dan kesehatan masih cukup rendah
Inflasi masih searah dengan nasional
Alokasi belanja modal Pemda masih sangat rendah
Indeks Tata Kelola Daerah, Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Tata Ekonomi Daerah dan Daya Saing masih rendah
Persentase penyelesaian kasus masih cukup tinggi
Jumlah tindak pidana masih rendah
Jumlah kasus sengketa lahan rendah dan persentasi penyelesaian cukup tinggi
Analisis
Ke
ua
ng
an
Do
me
stik
Ko
mp
eti
si
Pe
nd
ap
ata
n d
ari
Ak
tiv
ita
s E
ko
no
mi
Pe
nd
ap
ata
n S
osi
al
Infr
ast
ruk
tur
SD
M
Re
sik
o
Ma
kro
Ma
kro
Re
sik
o
Mik
ro
Mik
ro
Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT 33
Sesuai temuan awal tersebut kemudian dilakukan Focus Group Discussion dengan
Pemerintah Daerah, Akademisi dan Pelaku Usaha di Provinsi NTT dalam rangka pengayaan
informasi dan masukan tambahan mengenai faktor-faktor penghambat investasi di NTT.
Sehingga akhirnya ditemukan 6 hal (permasalahan dan potensi ekonomi) yang dapat
menghambat perekonomian NTT, diantaranya: 1) Kurangnya Kualitas SDM, 2) Kurangnya akses
listrik, 3) Kurangnya akses air, 4) Permasalahan pembebasan lahan, 5) Permasalahan akses jalan
dan 6) Potensi pariwisata sebagai alternatif pendorong ekonomi di Provinsi NTT.
Rendahnya kualitas SDM sendiri terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT
yang berada di peringkat ke-32 dari 34 Provinsi di Indonesia. Di sisi lain, tenaga kerja di NTT
juga masih didominasi oleh tingkat Sekolah Dasar ke bawah (>60%). Hal ini juga tergambar
dari tingginya tingkat partisipasi murni sekolah untuk tingkat SD yang mencapai 94,56%.
Sementara itu tingkat SMP baru mencapai 65,86% dan SMA (52,15%). Konsentrasi tenaga
kerja yang berada di sektor pertanian sehingga tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan yang tinggi ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab.
Grafik Boks 2. 1. Kondisi Pendidikan Angkatan
Kerja
Grafik Boks 2.2. Angka Partisipasi Sekolah
Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Di sisi lain, ketersediaan infrastruktur yang masih kurang baik seperti rendahnya
kapasitas listrik, akses sanitasi dan kelayakan jalan dapat menjadi kendala kritikal lainnya bagi
pengembangan investasi di Provinsi NTT. Rasio elektrifikasi Provinsi NTT pada tahun 2015 baru
mencapai 58,38% atau ke-2 terendah diatas Provinsi Papua yang sebesar 45,6%. Kondisi NTT
yang merupakan daerah kepulauan mendorong pembangunan pembangkit listrik yang isolated
dan tidak terkoneksi antar pulau. Akses air bersih sendiri baru mencapai 52,7% lebih rendah
daripada nasional yang 68,1%. Dari sisi konektivitas, jumlah ketersediaaan jalan aspal baru
56,2% dari total panjang jalan di NTT, kondisi jalan yang buruk dapat menyebabkan
terhambatnya kegiatan sirkulasi barang antar daerah. Sementara itu, permasalahan
pembebasan lahan juga menghambat beberapa rencana investasi BUMN/ swasta, seperti Pabrik
Semen Kupang dan PT. Gulf Mangan, serta proyek pemerintah seperti bendungan Kolhua.
Berdasarkan temuan tersebut maka dilakukan simulasi dengan model CGE-INDOTERM
untuk mengkuantifikasikan dampak pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja
apabila dilakukan pembenahan terhadap faktor-faktor tersebut. Adapun asumsi yang dilakukan
menggunakan dokumen RPJMN, RPJMD, dan informasi dari media massa dan FGD terkait
rencana pemerintah hingga tahun 2020. Asumsi yang digunakan diantaranya 1) peningkatan
lama sekolah dari 7,35 tahun (2014) menjadi 8,82 tahun (2020) untuk perbaikan kualitas SDM,
2) Peningkatan kapasitas listrik sebesar 313,6 MW, 3)Peningkatan kategori jalan baik dari
54,4% (2014) menjadi 70% (2018), 4) Pembangunan 7 bendungan di NTT, 5) Penyelesaian
permasalahan lahan untuk investasi PT. Semen Kupang dan PT. Gulf Mangan dan 6)
Peningkatan kunjungan wisatawan mancanagera ke NTT hingga 2011 ribu orang (2020).
Boks 2 | Kajian Growth Diagnostic Provinsi NTT 34
Tabel Boks 2. 2. Matriks Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil simulasi CGE-INDOTERM diketahui bahwa peningkatan rata-rata lama
sekolah di NTT dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 0,35%
dari kondisi normal (baseline) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja 0,41%. Hal ini
menggambarkan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi pengembangan
ekonomi di NTT. Sementara prioritas kedua adalah pengembangan pariwisata yang
memberikan dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun sebesar 0,39%
dan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,25%. Prioritas ketiga yang dapat dilakukan adalah
peningkatan kapasitas listrik yang berdampak peningkatan rata-rata pertumbuhan ekonomi
pertahun sebesar 0,39% dan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,18%. Kebijakan selanjutnya
yang dapat dilakukan secara berturut-turut adalah peningkatan akses terhadap air dengan
pembangunan bendungan, penyelesaian masalah lahan dan perbaikan kondisi jalan.
Adapun beberapa masukan yang dapat dilakukan dalam pengembangan ekonomi dan
investasi di Provinsi NTT, diantaranya:
1. Upaya pengembangan Sumber Daya Manusia: a) Peningkatan pembentukan pendidikan
non formal (kepelatihan/ kursus) terutama di bidang pariwisata, b) Peningkatan sarana
penunjang di sekolah pedesaan, seperti internet dan komputer, c) Perlunya peningkatan
kualitas guru dan dosen melalui pemberian beasiswa atau pelatihan, serta e) Upaya
pengiriman SDM NTT secara massif untuk bersekolah di Pulau Jawa yang kemudian harus
kembali ke NTT untuk mengembangkan daerahnya.
2. Upaya Pengembangan Pariwisata: a) Dukungan terhadap rencana pembangunan kawasan
Strategis Pariwisata Nasional di NTT, b)Pembenahan SDM dan kemudahan investasi sektor
pariwisata, c) Promosi melalui media sosial dan elektronik, d)Pembenahan akses dan fasilitas
penunjang (seperti WC Umum) di daerah wisata.
3. Upaya Pengembangan Tenaga Listrik: a) Pengembangan energi alternatif seperti hidro,
arus laut, surya dan bayu, dan b) Pendirian Pembangkit Listrik Kapasitas besar >500 MW.
4. Upaya Peningkatan Akses terhadap Air dan Produktivitas Padi: a) Dukungan terhadap
pembangunan 7 bendungan di NTT, b) Penggunaan teknologi pengolahan air laut menjadi
air tawar, dan c) Konservasi daerah-daerah serapan air di NTT.
5. Upaya Mengatasi Permasalahan Lahan: a)Perlunya melibatkan masyarakat lokal dalam
kegiatan investasi, b) Pembenahan dokumen administrasi dan pertanahan oleh BPN, serta c)
Peningkatan koordinasi pusat dan daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih izin.
6. Upaya Perbaikan Konektivitas/Jalan: 1)Evaluasi status jalan menjadi jalan negara, dan b)
pembenahan transportasi alternatif seperti kapal laut dan sarana penunjangnya.
PDRB Tenaga Kerja
1 Peningkatan Rata-Rata sekolahPeningkatan rata-rata lama sekolah dari yang semula
selama 7,35 tahun menjadi 8,82 tahun.0.35 0.41
2 Peningkatan Kapasitas ListrikKenaikan kapasitas terpasang listrik di NTT dari 249 MW
(2015) menjadi 474 MW (2020). 0.39 0.18
3 Perbaikan Jalan Peningkatan jalan kategori baik dari 54,4% menjadi 70% 0.06 0.03
4 Pembangunan BendunganPembangunan 7 Bendungan, peningkatan produksi
Pertanian 10,09% (2020) dan akses air 0.22 0.08
5 Permasalahan Lahan Penyelesaian proyek mangan dan semen di NTT 0.2 0.08
6 Diversifikasi Pariwisata Peningkatan jumlah Kunjungan Wisman 0.39 0.25
1.61 1.03Total
ASUMSIDampak Makro Ekonomi
KebijakanNo
Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur 35
Boks 3. Distribusi Bahan Bakar Minyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Pada tahun 2016, PT Pertamina telah berhasil menyalurkan 550 ribu kilo liter BBM1 di
Provinsi NTT dengan total nilai omset lebih kurang mencapai 3 triliun rupiah. Secara tahunan,
penyaluran BBM mengalami pertumbuhan hingga 9,08% (yoy), lebih tinggi dibanding tahun
sebelumnya yang relatif tetap, ataupun dibanding pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT yang
tumbuh 5,18%. Tingginya pertumbuhan konsumsi BBM kemungkinan besar lebih disebabkan
oleh membaiknya kondisi perekonomian di Provinsi NTT, yang membuat konsumsi masyarakat
juga mengalami peningkatan. Selain itu, Penurunan harga BBM yang terjadi di tahun 2016
mampu meningkatkan gairah masyarakat untuk beraktivitas yang terlihat dari tingginya
konsumsi transportasi dan komunikasi masyarakat terutama pada triwulan I dan II 2016. Gejala
peningkatan konsumsi BBM mulai terlihat di triwulan IV 2015 yang disebabkan oleh
menurunnya harga BBM. Pada triwulan I hingga III 2015, penggunaan BBM cenderung
mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan oleh sentimen negatif
paska kenaikan harga BBM di akhir tahun 2014.
Berdasarkan pangsa penyaluran BBM, penjualan BBM di tahun 2016 masih didominasi
oleh penjualan BBM bersubsidi berupa premium, solar dan minyak tanah dengan total pangsa
mencapai 95,84%. Namun demikian, penjualan BBM Non Subsidi di tahun 2016 menunjukkan
lonjakan yang sangat signifikan, dengan pertumbuhan mencapai lebih dari 10 kali lipat,
terutama disebabkan oleh mulai dijualnya beragam BBM Non subsidi lainnya seperti pertalite di
8 kota, Dexlite dan pertamina dex di Kota Kupang dan Timor Tengah Utara, solar non subsidi di
12 kabupaten/kota di NTT, dan pertamax plus Kota Kupang. Pangsa BBM non subsidi juga
meningkat signifikan, dari hanya 0,40% di tahun 2015 menjadi 4,16% di tahun 2016.
Grafik Boks 3. 1. Penyaluran BBM di Provinsi NTT Grafik Boks 3.2. Pangsa Penyaluran BBM Di
Provinsi NTT
Sumber: PT Pertamina, diolah
Sumber: PT Pertamina, diolah
Berdasarkan jaringan distribusi, PT Pertamina saat ini memiliki 8 depot distribusi yang
tersebar di Pulau Timor, Flores dan Sumba. Adapun dalam pendistribusiannya, TBBM Tenau
Kupang, akan mendapat BBM dari Kilang Balikpapan atau Termintal Transit Utama (TTU) Tuban,
Bali, untuk didistribusikan ke TBBM Sumba Timur, Ende dan Atapupu. Adapun TBBM Maumere,
1 BBM yang disalurkan adalah realisasi lembaga penyalur ritel yaitu data agen minyak tanah dan penyaluran
Pertamina ke SPBU, APMS, dan SPDN dimana lembaga penyalur tersebut melayani sektor ritel yaitu kendaraan, usaha
mikro, sektor pertanian, dan layanan umum seperti rumah sakit tipe C dan D, tempat ibadah, dll
Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur 36
akan mendapatkan suplai BBM dari TTU Bau-Bau untuk didistribusikan ke TBBM Reo, TBBM
Larantuka dan TBBM Kalabahi. Apabila terdapat kekurangan pasokan, TT Manggis, Bali akan
melakukan suplai ke 5 TBBM, sedangkan TBBM Tenau akan disuplai dari TT Tanjung Wangi.
Sebagai cadangan, TBBM Atapupu dapat disuplai via jalur darat dari TBBM Tenau.
Gambar Boks 3.1. Peta Distribusi BBM Per Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber: PT Pertamina, diolah
Dari total 550 ribu kilo liter yang didistribusikan, 118 ribu kilo liter didistribusikan di
Kota Kupang, terdiri dari 111 kilo liter BBM bersubsidi dan 7 ribu KL BBM non subsidi. Besarnya
pendistribusian di Kota Kupang lebih disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk dan skala
ekonomi yang dilakukan. Kabupaten Sikka menjadi daerah dengan penggunaan BBM terbesar
ke-3 dengan jumlah mencapai 40 ribu kl, disusul oleh Kabupaten Manggarai (37 ribu kl), Belu
(36 ribu kl), Sumba Timur (31 ribu kl) dan Ende (29 ribu kl). Kabupaten Sabu Raijua, Sumba
Tengah, Rote Ndao, dan Lembata menjadi daerah dengan penggunaan BBM terendah di
Provinsi NTT dengan penggunaan masing-masing sebesar 4 ribu kl, 5 ribu kl, 9 ribu kl dan 10,5
ribu kl. Berdasarkan volume penggunaan BBM, hanya Kota Kupang yang menggunakan BBM
lebih dari 100 ribu kl, 10 kabupaten dengan rentang penggunaan antara 20 hingga 50 ribu kl,
8 Kabupaten dengan penggunaan antara 10 hingga 20 ribu kl, dan 3 kabupaten dengan
penggunaan kurang dari 10 ribu kl.
Apabila besar penyaluran BBM tersebut dibandingkan dengan PDRB sektor transportasi
dan komunikasi ataupun dengan sebaran jumlah penduduk, didapatkan bahwa nilai distribusi
BBM bersubsidi berkorelasi positif signifikan dengan nilai PDRB sektor transportasi dan
komunikasi serta dengan jumlah penduduk. Baik bahan bakar premium, solar maupun minyak
tanah menunjukkan nilai korelasi (R2) di atas 90% yang artinya besaran jumlah BBM yang
didistribusikan ke masing-masing kabupaten/kota sudah mengikuti penyebaran jumlah
penduduk dan kapasitas ekonomi di masing-masing wilayah. Arah sebaran grafik cenderung
bias ke kanan yang menunjukkan bahwa semakin besar kapasitas ekonomi, maka peningkatan
kebutuhan BBM akan bertambah lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi yang ada.
Hanya Kota Kupang yang terlihat keluar dari sebaran normal yang kemungkinan lebih
disebabkan oleh fungsi Kota Kupang sebagai pusat ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
sehingga untuk beberapa moda transportasi seperti kapal dan pesawat dimungkinkan
mendapat pasokan dari luar daerah.
Boks 2 | Distribusi BBM di Provinsi Nusa Tenggara Timur 37
Grafik Boks 3. 3. Rasio Penyaluran BBM dengan
PDRB Sektor Transportasi dan Komunikasi
Grafik Boks 3.4. Rasio Penggunaan BBM
Berdasarkan Rumah Tangga dan Kendaraan
Sumber: PT Pertamina, diolah
Sumber: PT Pertamina, diolah
Apabila dilihat lebih detil, Rasio penggunaan minyak tanah di Kota Kupang terlihat
paling besar dibanding daerah lain. Rata-rata tiap rumah tangga menggunakan 0,6 liter minyak
tanah per hari, lebih besar dibanding daerah lainnya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
oleh tidak adanya alternatif bahan bakar lain sebagaimana biasa digunakan oleh penduduk
pedesaan. Secara rata-rata, rumah tangga di Provinsi NTT menggunakan 1 liter minyak tanah
untuk 4 hari memasak. Rasio penggunaan minyak tanah per rumah tangga terendah di
Kabupaten Sabu Raijua, Manggarai Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya yang
kemungkinan besar lebih disebabkan oleh penggunaan bahan bakar lain dalam memasak
makanan seperti menggunakan kayu bakar atau arang bakar.
Setiap rumah tangga di Provinsi NTT dalam sehari rata-rata menggunakan 0,7 liter
premium untuk kendaraannya. Tingkat konsumsi premium tertinggi terjadi di Kota Kupang,
dengan rata-rata per hari mengkonsumsi 2 liter premium atau setara dengan 3 kali lipat rata-
rata konsumsi premium di NTT. Hal ini dinilai wajar mengingat cakupan nilai PDRB per kapita
Kota Kupang yang juga mencapai 3 kali lipat dibanding rata-rata NTT. Berdasarkan rasio jumlah
kendaraan per rumah tangga juga terbukti bahwa rumah tangga di Kota Kupang rata-rata
memiliki 2 buah kendaraan bermotor, bandingkan dengan Kabupaten Manggarai Timur yang di
tiap 4 rumah tangga baru memiliki 1 kendaraan bermotor. Rasio penggunaan premium per
jumlah kendaraan juga menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan premium per kendaraan di
Kota Kupang justru paling rendah dibanding kota lainnya di Nusa Tenggara Timur. Temuan
yang cukup menarik adalah tingginya rasio penggunaan premium di Kota Sabu Raijua yang
mencapai 218 km/ per kendaraan yang menunjukkan bahwa pasokan premium yang dikirimkan
sudah sangat memenuhi kebutuhan, walaupun di sisi lain, konsumsi premium per rumah
tangga menunjukkan nilai yang rendah. Tingginya rasio penggunaan premium ataupun solar di
Sabu Raijua kemungkinan besar disebabkan oleh adanya kendaraan dari luar NTT yang tidak
tercatat dan juga penggunaan untuk bahan bakar kapal nelayan yang juga cukup tinggi.
Permasalahan lain yang teridentifikasi adalah tingginya minat masyarakat untuk
membeli kendaraan dari luar daerah dikarenakan bea balik nama kendaraan yang relatif lebih
rendah. Kondisi tersebut selain menyebabkan pemerintah tidak mendapatkan pendapatan
pajak, kendaraan dari luar NTT yang tidak tercatat juga berpotensi membuat perhitungan rasio
penggunaan BBM per kendaraan menjadi bias yang dapat berpengaruh pada sulitnya
menentukan kebijakan distribusi yang diambil.
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT 38
Boks 4. Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di Provinsi NTT
Sebagai negara kepulauan, pembenahan sektor logistik menjadi agenda penting
Indonesia untuk menurunkan biaya transportasi barang serta meningkatkan daya saing. Sampai
dengan tahun 2016, kinerja sektor logistik Indonesia masih tergolong tertinggal dibandingkan
negara tetangga di Asia termasuk Asia Tenggara. Berdasarkan data Logistic Performance Index
oleh Bank Dunia (2016), Indonesia masih menempati posisi cukup rendah yakni peringkat 63 dari
160 negara. Sementara dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia menempati
peringkat 4 dari 10 negara. Posisi tersebut masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai provinsi
kepulauan dengan 1.192 pulau (44 pulau di antaranya berpenghuni) merupakan representasi
penting Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga dengan mempelajari karakteristik logisitik
yang ada di provinsi ini maka dimungkinkan dapat membantu menggambarkan karakteristik
logistik di Indonesia pada umumnya.
Transportasi laut memegang peranan sangat penting di Provinsi NTT sebagai sarana
perpindahan barang antara pulau satu ke pulau yang lain maupun dari dan ke Provinsi NTT.
Terdapat 5 pelabuhan laut komersial di NTT, yaitu Pelabuhan Laut Tenau (Kupang), Waingapu
(Sumba), Kalabahi (Alor), Maumere (Sikka) dan Ende. Selain itu, terdapat pelabuhan non
komersial yang juga melayani transportasi barang di antaranya Pelabuhan Reo, Labuan Bajo,
Aimere, Larantuka, Lewoleba, Baranusa, Atapupu, Rote, Sabu dan Waikelo. Pelabuhan Laut
Tenau (Kupang) masih menjadi satu-satunya pelabuhan yang dapat disandari kapal besar hingga
10.000 dead weight ton (DWT), sementara pelabuhan lain berkapasitas relatif kecil atau kurang
dari 2.000 DWT dan sebagai pelabuhan pengumpan. Dengan demikian, sebagian besar logistik
dengan tujuan Provinsi NTT melalui Pelabuhan Laut Tenau sebagai pelabuhan pengumpul, serta
sebagian melalui Pelabuhan Maumere untuk daratan Flores. Peran Pelabuhan Laut Tenau sebagai
hub sentral atau pintu masuk dan keluar utama transportasi laut barang menyebabkan kinerja
pelabuhan tersebut berpengaruh besar terhadap keseluruhan kinerja transportasi laut barang di
Provinsi NTT.
Sampai saat ini ketergantungan Provinsi NTT terhadap wilayah lain di Indonesia masih
sangat tinggi, terutama Surabaya. Banjarmasin, Makassar dan sekitarnya juga memasok barang
ke Provinsi NTT berupa general cargo, namun dengan jumlah yang jauh lebih kecil. Pola
ketergantungan Provinsi NTT berupa pusat-pinggiran. Artinya, sebagian besar barang yang
datang ke Provinsi NTT mengarah ke Pelabuhan Laut Tenau di Kupang baru kemudian diantar ke
wilayah-wilayah lain menggunakan kapal yang lebih kecil. Namun berdasarkan hasil survei pola
perdagangan antar wilayah di Provinsi NTT, diketahui bahwa antara Tenau (Timor) dan Flores
tidak terhubung dalam jalur distribusi untuk 5 komoditas perdagangan penyumbang inflasi
terbesar di Provinsi NTT yakni beras, gula pasir, cabai merah dan bawang merah. Masing-masing
distributor atau pedagang lebih memilih untuk mengambil sendiri barang-barang komoditas dari
pemasok dan mengirimkannya langsung ke tujuan tanpa melalui Pelabuhan Laut Tenau sebagai
hub sentral untuk menekan biaya transportasi. Setelah Tenau, pelabuhan dengan aktivitas
bongkar-muat barang relatif ramai di antaranya Waingapu (Sumba), Kalabahi (Alor), Atapupu
(Timor), Maumere, Ende dan Aimere (tiga pelabuhan di Flores).
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT 39
Berdasarkan sebaran rute pelayaran sebagaimana Gambar Boks 2.1, terlihat bahwa jalur
Surabaya-Kupang menjadi jalur utama kapal laut antarprovinsi, sementara Surabaya-Labuan Bajo
menjadi jalur masuk terdekat untuk barang ke Flores yang dilayani dengan truk-feri. Jalur
Surabaya-Maumere juga menjadi jalur masuk barang ke Flores yang dilayani dengan kapal laut
dan truk-feri. Selain itu, terlihat pula bahwa jalur laut barang antarpulau di Provinsi NTT cukup
ramai dengan hampir seluruh pelabuhan terhubung satu sama lain dengan peran sebagai hub
utama dipegang Pelabuhan Laut Tenau di Kupang.
Gambar Boks 4.1. Peta Alur Transportasi Laut Barang
Sumber : Dirjen Perhubungan Laut Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kupang, diolah
Saat ini terjadi tren peningkatan arus barang masuk ke Provinsi NTT, sementara
pengiriman barang keluar masih sangat rendah. Berdasarkan data agregat tahun 2016, volume
barang yang dimuat di seluruh pelabuhan Provinsi NTT hanya 3,5% dari total volume barang
yang dibongkar. Ketidakseimbangan volume bongkar-muat tidak hanya terjadi pada pengiriman
barang antarprovinsi namun juga pada pengiriman barang antarpulau dalam provinsi. Volume
barang yang dimuat di Kupang jauh lebih rendah dibandingkan barang yang masuk ke Kupang
dengan data agregat 2016 menunjukkan bahwa barang yang dimuat hanya 4,89% dari total
volume barang yang dibongkar. Hal tersebut menyebabkan biaya transportasi per satuan berat
di Provinsi NTT menjadi lebih tinggi dan waktu tunggu pengumpulan barang yang akan dikirim
menjadi lebih lama karena harus menunggu muatan penuh. Dalam rangka mengurangi
ketidakseimbangan perdagangan antarprovinsi dan antarpulau tersebut, maka peningkatan
kinerja perekonomian daerah serta peningkatan kualitas dan pengelolaan infrastruktur sejalan
dengan fokus pemerintah pusat saat ini perlu menjadi prioritas pemerintah Provinsi NTT.
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT 40
Selain menggunakan kapal laut, pengiriman barang di Provinsi NTT juga dilakukan melalui
truk dan feri. Namun demikian, pengiriman barang antarprovinsi di Provinsi NTT lebih dominan
menggunakan kapal laut karena selain jarak Surabaya-Kupang yang jauh, juga karena biaya yang
lebih rendah dan kapasitas lebih besar meskipun waktu yang diperlukan lebih lama. Sementara
pengiriman barang menggunakan truk dan feri umumnya banyak dimanfaatkan untuk
pengiriman barang antarpulau dalam provinsi dan dari/ke Flores barat, dengan pertimbangan
volume barang yang rendah dan waktu tempuh yang lebih singkat. Karakteristik barang yang
dimuat dan dibongkar secara keseluruhan berbeda dan tercermin dari struktur ekonomi Provinsi
NTT. Banyaknya barang primer berupa hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang dimuat
tercermin dari distribusi sektor pertanian terhadap PDRB menurut lapangan usaha yang terbesar
dibandingkan sektor lain, yaitu 28,89% (triwulan IV 2016). Di sisi lain, barang sekunder dan
tersier dengan nilai tambah tinggi mendominasi barang-barang yang dibongkar, menunjukkan
Provinsi NTT sebagai hilir dalam perdagangan kategori barang tersebut.
Sementara itu, transportasi ternak di Provinsi NTT khususnya sapi berdasarkan hasil
pencatatan diangkut menggunakan kapal khusus ternak sebanyak 11 buah yang beroperasi
mengangkut sapi dari Provinsi NTT ke daerah lain. Kapasitas angkut tiap kapal mulai dari 2.420-
13.200 ekor sapi per tahun dan secara total seluruh kapal dapat mengangkut sebanyak 53.500
sapi. Dapat diketahui bahwa rata-rata sapi yang diangkut dari Provinsi NTT sebesar 53.000-
54.000 ekor per tahun. Akan tetapi pada tahun 2016 total jumlah sapi yang diangkut lebih besar
daripada kapasitas maksimal kapal ternak tersebut, yakni 63.429 ekor sapi, sehingga sisanya
sebanyak 9.929 ekor sapi diangkut dengan kapal cargo biasa. Hal tersebut menunjukkan
peningkatan permintaan sapi dari Provinsi NTT sebagai salah satu penghasil utama di Indonesia,
sehingga kebutuhan akan kapal pengangkut sapi dan skema rute perjalanan yang lebih efisien
dibutuhkan agar mampu menekan biaya pengiriman dan dapat menekan harga sapi serta turut
berperan dalam menekan inflasi nasional.
Grafik 4.1. Arus Barang berdasarkan
Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan Tenau
a. Grafik 4.2. Arus Barang berdasarkan
Perdagangan dan Distribusi di Pelabuhan NTT
b.
Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero), diolah c. Sumber: PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero), diolah
Boks 4 | Kondisi Konektivitas Transportasi Laut Barang di NTT 41
Grafik 4.3. Kapasitas Muatan Sapi per Tahun
Sumber: PELNI, ASDP, PT Flobamora, diolah
Mengingat pentingnya transportasi laut barang di Provinsi NTT yang memiliki kondisi
geografis kepulauan, peningkatan kinerja transportasi ini mutlak diperlukan untuk meningkatkan
daya saing dengan daerah lain, baik dari segi pembangunan infrastruktur, sistem pengelolaan
yang menekankan optimalisasi waktu bongkar-muat dan rute kapal sejalan dengan fokus
pemerintah pusat saat ini, serta ketersediaan data dan informasi yang memadai.
Ketidakseimbangan perdagangan yang berdampak pada tingginya biaya transportasi laut barang
di Provinsi NTT dapat diatasi antara lain dengan peningkatan aktivitas perekonomian termasuk
pemerataan pertumbuhan ekonomi antara Kupang dengan daerah lain yang didukung dengan
kualitas infrastruktur, pelabuhan dan iklim usaha yang baik diantaranya regulasi dan kemudahan
akses modal.
Bab II |Keuangan Daerah 43
KEUANGAN DAERAH Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan pemerintah
di Provinsi NTT pada triwulan IV-2016 telah mencapai Rp 25,99 triliun atau 104,27%
dari total rencana pendapatan tahun 2016 sebesar Rp 24,92 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11%
dari pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun, meningkat dibandingkan
tahun lalu didorong oleh peningkatan realisasi belanja konsumsi di tengah penurunan
realisasi belanja modal.
2.1 Kondisi Umum
Berdasarkan data sementara per 30 Desember 2016, realisasi pendapatan
pemerintah di Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 sebesar Rp 25,99 triliun atau 104,27%
dari total rencana pendapatan tahun 2016 yang sebesar Rp 24,92 triliun. Secara persentase,
realisasi pendapatan APBN Pemerintah Pusat di Provinsi NTT menjadi yang tertinggi yakni
sebesar 446,51% atau Rp 2,81 triliun yang terutama diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh).
Sementara realisasi belanja pemerintah di Provinsi NTT sebesar Rp 30,95 triliun atau 87,11%
dari total pagu belanja tahun 2016 sebesar Rp Rp 35,52 triliun yang disertai adanya
peningkatan pagu belanja pada triwulan IV sebesar Rp 1,42 triliun. Pencapaian realisasi
belanja tersebut lebih tinggi dibandingkan pencapaian triwulan IV tahun 2015 yang sebesar
Rp 29,48 triliun atau 85,44% dari pagu anggaran 2015. Upaya pemerintah dalam
merealisasikan anggaran sejak paruh pertama 2016 tampaknya cukup efektif, sehingga
secara kumulatif realisasi APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota lebih baik dibandingkan
periode yang sama di tahun sebelumnya. Secara agregat pencapaian realisasi belanja
tertinggi oleh Pemerintah Provinsi sebesar 97,41%.
Grafik 2.1. Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa
Tenggara Timur
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah 44
2.2 Pendapatan Daerah
Pendapatan pemerintah di Provinsi NTT sampai dengan triwulan IV 2016 tercatat
sebesar Rp 25,99 triliun. Komposisi pendapatan terdiri dari pendapatan APBN sebesar Rp
2,81 triliun atau di atas target sebesar 446,51% dengan sumber pendapatan terutama
dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 1,20 triliun atau 42,76% dari total pendapatan APBN,
Pajak Pertambahan Nilai (Rp 807,80 miliar) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Rp
739,14 miliar) terutama dari Bagian Pemerintah atas Laba BUMN (Rp 304,66 miliar). Pada
triwulan IV 2016, realisasi pendapatan tingkat provinsi mencapai Rp 3,86 triliun atau
104,92% dengan sumber utama dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp 1,41 triliun
disusul oleh Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1,34 triliun. Masih dominannya DAK
dan DAU didukung derajat otonomi fiskal (DOF) APBD Provinsi NTT, yaitu perbandingan
antara rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap total pendapatan yang masih rendah
sebesar 9,33%. Di samping itu, realisasi pendapatan pemerintah Kabupaten/Kota
mencapai Rp 19,32 triliun atau 93,72% dengan dominasi masih berasal dari pendapatan
DAU sebesar Rp 11,67 triliun dan pencapaian sebesar 101,00%. Pencairan kembali DAU
yang sempat tertunda pada bulan November dan Desember 2016 sesuai pagu anggaran
awal oleh pemerintah pusat untuk Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab. Sumba Timur dan Kab.
Manggarai Barat membantu pencapaian pendapatan Kabupaten/Kota tersebut yang
pada akhirnya berkontribusi terhadap pendapatan daerah.
Secara spasial, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur menjadi kabupaten yang
memiliki pencapaian realisasi pendapatan di atas 100%, yaitu masing-masing sebesar
106,91% dan 100,34% dari rencana 2016. Pencapaian tinggi Kab. Manggarai Barat
disumbangkan terutama oleh realisasi dana perimbangan yakni Dana Alokasi Umum
Grafik 2.2 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan
APBN
Grafik 2.3 Pangsa Realisasi Sumber Pendapatan
APBD Provinsi/ Kab-Kota
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTT
Bab II |Keuangan Daerah 45
sebesar Rp 499,05 miliar atau 116,94% dari rencana 2016. Peringkat realisasi
pendapatan tertinggi selanjutnya diikuti oleh Kab. Flores Timur (98,19%), Kab. Sumba
Tengah (97,43%) dan Kab. Sabu Raijua (97,19%). Sementara itu, Kab. Manggarai
(85,58%), Kab. Malaka (86,99%) dan Kab. Sumba Barat Daya (89,67%) menjadi daerah
dengan realisasi pendapatan terendah sampai dengan Triwulan IV 2016. Dominasi DAU
dalam realisasi pendapatan di masing-masing daerah pada triwulan laporan masih cukup
tinggi dengan rata-rata mencapai 56,12%, meskipun sedikit turun dibandingkan triwulan
III 2016 sebesar 67,7%. Sementara itu, komposisi PAD tertinggi masih dipegang oleh
Kota Kupang sebesar 12,26%, komposisi DAK tertinggi oleh Kab. Nagekeo (23,33%)
dan pendapatan lain-lain tertinggi oleh Kab. Timor Tengah Utara (17,64%) terutama
disumbangkan pendapatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus sebesar Rp 144,14
miliar.
Di sisi lain, realisasi pendapatan DAK terendah terjadi di Kab. Malaka, Kab. Timor Tengah
Utara dan Kab. Ngada masing-masing sebesar 42,86%, 47,28% dan 56,95%. Di Kab.
Malaka, realisasi pendapatan DAK rendah salah satunya karena keterlambatan rencana
pelaksanaan pengadaan per paket proyek. Di Kab. Timor Tengah Utara penyebabnya
hampir sama yakni karena keterlambatan perencanaan proyek yang baru dilakukan pada
bulan April hingga Juni dengan target selesai bulan Desember 2016. Sementara di Kab.
Ngada, rendahnya realisasi pendapatan DAK terutama dipengaruhi adanya pemotongan
DAK oleh pemerintah pusat senilai lebih dari Rp 14,32 miliar sehingga pemerintah daerah
mempertimbangkan kembali kemampuan untuk pendanaan proyek yang bersumber dari
DAK dengan mengurangi paket pekerjaan dari 210 paket menjadi 179 paket.
Grafik 2.4. Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota dan Komponennya Triwulan-IV 2016
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah 46
2.3 Belanja Daerah
Pada triwulan IV 2016, perkembangan realisasi belanja APBN dan APBD
Pemerintah di Provinsi NTT mencapai Rp 30,95 triliun atau 87,11% dari pagu belanja
tahun 2016 sebesar Rp 35,52 triliun. Pagu belanja pemerintah meningkat dibandingkan
triwulan III 2016 sebesar 4,15% atau Rp 1,42 triliun. Realisasi belanja pemerintah
tersebut lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar Rp 29,48 triliun
(85,44%). Pencairan kembali DAU 4 (empat) daerah yaitu Kab. Kupang, Kab. Ende, Kab.
Sumba Timur dan Kab. Manggarai Barat yang sempat tertunda pada November dan
Desember 2016 membantu pencapaian realisasi belanja kabupaten-kabupaten tersebut
dan berkontribusi pada realisasi belanja daerah secara umum. Secara pertumbuhan year-
on-year, terdapat perlambatan pertumbuhan realisasi belanja pada triwulan III dan IV
2016 yang terjadi di semua pos terutama APBN karena terkait dengan isu penghematan
anggaran oleh pemerintah pusat pada periode tersebut sehingga pemerintah pusat
cukup menahan diri untuk mendorong realisasi belanja. Dari sisi komponen belanja, Kota
Kupang (57,75%), Kab. Timor Tengah Utara (47,16%) dan Kab. Belu (45,09%) masih
menjadi tiga daerah dengan komponen belanja pegawai tertinggi. Adapun untuk
komponen belanja modal, Kab. Sabu Raijua (41,66%), Sumba Barat (35,16%) dan
Nagekeo (33,44%) masih menjadi tiga daerah tertinggi.
Grafik 2.5. Pangsa Belanja Kabupaten/Kota
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Secara kumulatif, sampai dengan triwulan IV 2016 realisasi belanja pemerintah
mencapai 87,11%, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebesar
85,44%. Realisasi belanja secara umum lebih baik dibandingkan dengan tahun 2015
dengan didorong oleh berbagai upaya percepatan realisasi anggaran pemerintah dalam
mendorong aktivitas ekonomi masyarakat sejak awal tahun. Meskipun pada triwulan
laporan realisasi belanja modal sedikit menurun menjadi 81,72% dibandingkan triwulan
Bab II |Keuangan Daerah 47
IV 2015 sebesar 84,57%, realisasi belanja secara umum meningkat karena didorong oleh
belanja konsumsi terutama belanja pegawai (93,50%) dan belanja bantuan sosial
(88,25%). Sementara turunnya realisasi belanja modal terjadi terkait dengan adanya
penghematan dari pemerintah pusat dalam rangka mengembalikan neraca keuangan
negara agar lebih realistis di tengah perekonomian global yang cenderung stagnan.
Realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi menjadi yang tertinggi dengan pencapaian
sebesar 106,41% (Rp 598,15 miliar) dari total pagu sebesar Rp 562,14 miliar.
Sementara itu, realisasi belanja konsumsi tertinggi oleh Pemerintah Provinsi
sebesar 97,28% atau Rp 3,10 triliun dari total pagu Rp 3,18 triliun. Berdasarkan
komposisi belanja konsumsi, realisasi belanja pegawai pada triwulan laporan meningkat
menjadi 93,50% dibanding triwulan IV 2015 yang sebesar 90,15%. Peningkatan realisasi
belanja konsumsi lebih besar terjadi pada belanja bantuan sosial yang meningkat menjadi
88,25% dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 82,12%. Hal ini sejalan dengan rencana
belanja Pemerintah Provinsi NTT yaitu bahwa belanja bantuan sosial sebagai manifestasi
pemerintah dalam memberdayakan masyarakat dan mengurangi risiko sosial.
Grafik 2.6. Perkembangan Realisasi Belanja Daerah Grafik 2.7. Perkembangan Realisasi Belanja Modal
Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan Sumber: Ditjen Perbendaharaan Prov. NTT & Biro Keuangan
Grafik 2.8. Pertumbuhan Realisasi Belanja (yoy)
Bab II |Keuangan Daerah 48
Tabel 2.1 Realisasi Belanja APBN dan APBD
Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Grafik 2.9. Realisasi Belanja APBN dan APBD
Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi NTT
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan
Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi NTT dan Biro
Keuangan Provinsi NTT, diolah (*Miliar Rp)
Perkembangan realisasi belanja dari masing-masing tingkat pemerintahan dapat
dijabarkan sebagai berikut :
2.3.1 Belanja APBN
Sampai dengan triwulan IV 2016, realisasi belanja APBN tercatat sebesar 83,83%
(Rp 7,24 triliun) dari total pagu sebesar Rp 8,63 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah
dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 sebesar 89,17%. Penurunan realisasi
belanja APBN terutama disumbang oleh penurunan realisasi belanja modal tahun 2016
menjadi 78,10% (Rp 2,21 triliun) dibandingkan tahun 2015 sebesar 92,75% (Rp 5,04
triliun) disebabkan adanya upaya penghematan dari pemerintah pusat dalam rangka
mengembalikan neraca keuangan negara agar lebih realistis di tengah perekonomian
global yang cenderung stagnan. Penghematan pemerintah pusat ditunjukkan dengan
penurunan pagu belanja modal APBN tahun 2016 sebesar 48,05% dibandingkan pagu
tahun 2015, yakni sebesar Rp 5,44 triliun menjadi hanya Rp 2,82 triliun sehingga hal
tersebut cukup menghambat pencapaian realisasi belanja yang optimal. Pangsa realisasi
belanja APBN di triwulan IV 2016 tertinggi masih dipegang oleh belanja barang dan jasa
sebesar Rp 2,53 triliun (34,96%), diikuti oleh belanja pegawai sebesar Rp 2,48 triliun
(34,26%) dan belanja modal sebesar Rp 2,21 triliun atau 30,49%. Ke depan pangsa
realisasi belanja modal dapat terus ditingkatkan untuk dapat lebih mendorong aktivitas
ekonomi di Provinsi NTT, seperti yang saat ini mulai terlihat dengan pembangunan
beberapa infrastruktur utama yaitu bendungan, irigasi dan jalan raya.
Bab II |Keuangan Daerah 49
2.3.2 Belanja Pemerintah Provinsi NTT
Realisasi belanja Pemerintah Provinsi NTT sampai dengan triwulan IV 2016 tercatat
sebesar Rp 3,69 triliun atau 97,41% dari total pagu sebesar Rp 3,79 triliun. Sebelumnya
penundaan pencairan DAU oleh pemerintah pusat pada Agustus 2016 sebesar Rp 242
miliar sedikit menghambat pencapaian realisasi yang optimal pada triwulan III 2016.
Namun demikian keputusan pencairan DAU yang tertunda tersebut oleh Menkeu pada
bulan November dan Desember 2016 serta upaya dari Pemerintah Provinsi meningkatkan
pendapatan daerah melalui penagihan wajib pajak, wajib retribusi dan kontrak sewa
bangunan yang cukup gencar di triwulan IV 2016 untuk membantu pendanaan belanja
mampu membantu pencapaian realisasi triwulan IV 2016 sehingga mencapai 97,41%
atau lebih tinggi dari triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 95,42%. Dari segi
komposisi, pangsa realisasi belanja Pemerintah Provinsi pada triwulan IV 2016 tetap
didominasi oleh belanja hibah yang mencapai 39,84% atau Rp 1,47 triliun untuk
penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta program Desa Mandiri Anggur
Merah yang masih terus berjalan sesuai strategi kebijakan pemberdayaan masyarakat
Pemerintah Provinsi NTT. Selain itu, belanja pegawai memiliki pangsa realisasi sebesar
17,20% atau Rp 635,64 miliar diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar 16,51% atau
Rp 610,08 miliar. Sementara pangsa realisasi belanja modal masih perlu untuk
ditingkatkan dimana saat ini baru sebesar 16,19% atau Rp 598,15 miliar.
Grafik 2.10. Pangsa Realisasi Belanja Konsumsi APBN
Pemerintah dan APBD
Sumber : Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi
NTT, diolah
Bab II |Keuangan Daerah 50
2.3.3 Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota
Hingga triwulan IV 2016, realisasi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota tercatat Rp
20,02 triliun atau 86,65% dari total pagu belanja sebesar Rp 23,10 triliun. Realisasi
tersebut meningkat dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 yang tercatat sebesar
81,50% dari total pagu belanja. Realisasi belanja terbesar yakni belanja pegawai yang
mencapai Rp 8,67 triliun atau 91,54% dari total pagu belanja sebesar Rp 9,47 triliun,
dengan pangsa realisasi sebesar 43,30% terhadap total realisasi belanja Pemerintah
Kabupaten/Kota. Selain itu, bantuan keuangan juga mencatatkan pencapaian realisasi
yang tinggi yakni 98,12% (Rp 2,92 triliun) dari total pagu Rp 2,97 triliun. Sementara itu,
realisasi belanja modal masih perlu ditingkatkan karena sampai dengan triwulan IV 2016
baru mencapai Rp 4,85 triliun atau 81,11% dari total pagu belanja sebesar Rp 5,99 triliun
dengan pangsa 24,25%. Begitu pula dengan belanja barang dan jasa yang baru
mencapai Rp 3,33 triliun atau 76,98% dari total pagu belanja sebesar Rp 4,32 triliun. Di
sisi lain, rata-rata realisasi belanja di tiap Kabupaten/Kota mencapai 86,94% dengan rata-
rata realisasi belanja pegawai sebesar 91,88% dan modal kerja baru tercatat 81,59%.
Secara spasial, Kab. Manggarai Timur menjadi daerah di Provinsi NTT dengan
realisasi belanja terbesar yakni 94,42% atau Rp 862,44 miliar, diikuti oleh Kab.
Manggarai Barat dengan realisasi sebesar 94,27% atau Rp 902,80 miliar dan Flores Timur
sebesar 94,18% atau Rp 1,07 triliun. Sebaliknya, Kab. Malaka, Kab. Sumba Barat Daya
dan Kab. Ende menjadi daerah dengan realisasi belanja terendah yakni masing-masing
75,48%, 81,48% dan 82,06%. Dilihat dari pangsa realisasi belanja modal terhadap total
realisasi belanja, Kab. Sabu Raijua, Kab. Sumba Barat Daya dan Kab. Nagekeo memiliki
pangsa realisasi belanja modal yang tertinggi yakni 39,08%, 35,54% dan 31,23%.
Sebaliknya, pangsa realisasi belanja modal terendah di Kab. Flores Timur (16,2%), Kab.
Timor Tengah Selatan (16,3%) dan Kab. Lembata (18,2%). Sampai dengan triwulan IV
2016, sebagian besar realisasi belanja masih digunakan untuk belanja pegawai dengan
pangsa tertinggi adalah Kota Kupang sebesar 58,7% terhadap total realisasi belanjanya.
Sementara itu, pencapaian realisasi belanja Kab. Rote sebesar 91,20% (tertinggi ke-5)
didukung oleh komposisi belanja yang relatif berimbang, yakni belanja pegawai (39,6%),
belanja modal (29,8%), belanja barang dan jasa (18,5%) dan belanja lainnya (12,0%).
Hal ini menggambarkan bahwa Pemda cukup mempertimbangkan kebutuhan belanja
produktif untuk kemajuan ekonomi daerah setempat.
Bab II |Keuangan Daerah 51
Grafik 2.11. Realisasi Belanja dan Komponennya Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
Keputusan pencairan seluruh DAU empat daerah yang sempat ditunda
pemerintah pusat pada bulan November dan Desember 2016 mampu mendorong
pencapaian realisasi empat daerah tersebut pada triwulan IV 2016, yakni Kab. Kupang
(87,94%), Kab. Ende (82,06%), Kab. Sumba Timur (85,03%) dan Kab. Manggarai Barat
(94,27%). Hanya pencapaian realisasi belanja Kab. Sumba Timur yang tercatat sedikit
lebih rendah dibandingkan triwulan yang sama tahun 2015 sementara tiga daerah
lainnya meningkat. Hal ini tidak lepas dari upaya Pemerintah Provinsi berkoordinasi
dengan Kementrian Keuangan terkait pencairan DAU tertunda serta upaya
meningkatkan pendapatan daerah melalui penagihan wajib pajak, wajib retribusi dan
kontrak sewa bangunan yang cukup gencar di triwulan IV 2016 untuk membantu
pendanaan belanja Kota/Kabupaten dalam rangka mengejar realisasi belanja yang
optimal. Hal ini ditunjukkan dengan realisasi pajak daerah yang melebihi target baik di
tingkat Provinsi NTT maupun Kabupaten masing-masing sebesar 102,16% (Rp 745,44
miliar) dan 113,66% (Rp 337,28 miliar).
Bab II |Keuangan Daerah 52
Gambar 2.1. Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Biro Keuangan Setda Provinsi NTT, diolah
2.4 Dana Pemerintah Di Perbankan
Dana Pihak Ketiga (DPK) Pemerintah yang disimpan di perbankan pada triwulan
IV 2016 tercatat sebesar Rp 2,01 triliun. Jumlah tersebut turun 64,75% (qtq)
dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar Rp 5,70 triliun. Berdasarkan jenis simpanan,
giro turun sebesar 64,97% (qtq) dari sebelumnya Rp 3,89 triliun, tabungan meningkat
sebesar 38,16% (qtq) dari sebelumnya Rp 143,97 miliar dan deposito turun sebesar
73,14% (qtq) dari sebelumnya Rp 1,67 triliun. Simpanan pemerintah terbanyak dalam
bentuk giro sebesar Rp 1,36 triliun. Penurunan DPK pemerintah terutama giro adalah
dalam rangka meningkatkan realisasi anggaran pada triwulan IV 2016. Penurunan DPK
pemerintah terjadi terutama di Kabupaten/Kota yakni 68,72% (qtq) dari triwulan
sebelumnya Rp 4,73 triliun.
Grafik 2.11. Dana Pihak Ketiga Pemerintah di
Perbankan NTT
Tabel 2.2. Komposisi DPK Pemerintah di NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber : Bank Indonesia, diolah
Bab II |Keuangan Daerah 53
Tabel 2.3 Ringkasan Realisasi Pendapatan dan Belanja Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Biro Keuangan Provinsi NTT, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 55
55
Laju Inflasi Provinsi NTT pada tahun 2016 cukup rendah mencapai 2,48% (yoy)
dan menjadi capaian inflasi terendah dalam 15 tahun terakhir. Adanya penurunan
harga BBM, beras, bahan bangunan, angkutan udara dan beberapa komoditas
bahan makanan mampu menahan inflasi pada angka yang cukup rendah.
Penurunan harga tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya harga minyak
dunia, cukup berlimpahnya pasokan beras, tersedianya pasokan bahan bangunan
serta adanya penambahan rute dan frekuensi penerbangan di NTT sehingga
mampu membuat inflasi tahun 2016 terjaga rendah.
Berdasarkan disagregasi inflasi, hampir semua kelompok komoditas mengalami
penurunan inflasi walaupun komoditas volatile food kembali meningkat pada
triwulan IV 2016 seiring dengan buruknya cuaca di Provinsi NTT. Komoditas
administered price mampu menjadi penahan inflasi utama di NTT terutama
disebabkan oleh turunnya harga bensin, solar dan angkutan udara. Namun
demikian, tingginya harga rokok menahan penurunan inflasi yang terjadi.
Inflasi pada triwulan I 2017 diperkirakan akan mengalami peningkatan terutama
disebabkan oleh kenaikan harga komoditas yang diatur oleh pemerintah seperti
biaya perpanjangan STNK, kenaikan tarif listrik rumah tangga golongan 900VA,
kenaikan cukai rokok yang berimbas pada kenaikan biaya rokok dan tembakau serta
adanya kenaikan tarif pulsa ponsel seiring tingginya biaya investasi yang telah
dilakukan.
3.1. Kondisi Umum
Inflasi Provinsi NTT tahun 2016 mengalami penurunan signifikan dibanding
tahun sebelumnya, yaitu dari 4,92% (yoy) di tahun 2015 menjadi 2,48% (yoy) di
tahun 2016, lebih rendah dibanding inflasi nasional yang sebesar 3,02% (yoy)
atau rata-rata inflasi NTT dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 5,05% (yoy). Hal ini
menjadikan inflasi tahunan NTT menjadi capaian inflasi terendah setidaknya dalam
15 tahun terakhir. Besarnya penurunan tersebut, selain disebabkan oleh kondisi
pasokan yang relatif lebih terjaga dibanding tahun sebelumnya, juga disebabkan oleh
kenaikan inflasi di triwulan IV 2016 yang tidak setinggi tahun sebelumnya, sehingga
secara tahunan mengalami penurunan. Komoditas padi-padian, sayur-sayuran serta
daging dan hasil-hasilnya yang pada tahun sebelumnya menjadi penyumbang utama
inflasi NTT, di tahun 2016 sudah relatif stabil dan bahkan mengalami penurunan untuk
komoditas padi-padian. Komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau menjadi
penyumbang utama inflasi terutama disebabkan oleh adanya peningkatan cukai rokok,
selain juga kenaikan harga minuman dan makanan jadi. Inflasi komoditas perumahan,
listrik dan bahan bakar, sandang, kesehatan dan pendidikan pada tahun 2016 juga
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 56
56
relatif stabil, bahkan kelompok komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan
mengalami deflasi yang terutama disebabkan oleh adanya penurunan tarif
penerbangan seiring dengan bertambahnya jumlah penerbangan di NTT.
Grafik 3.1. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan
Nasional 2001-2016
Grafik 3.2. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi
Sepanjang Tahun 2016 di Provinsi NTT
Berdasarkan komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi di Provinsi NTT di
sepanjang tahun 2016, didapatkan 21 komoditas yang secara terus menerus menjadi
penyumbang inflasi utama di Provinsi NTT terdiri dari 16 Komoditas bahan makanan, 2
komoditas makanan jadi, minuman dan tembakau, 2 komoditas perumahan, listrik, gas
dan bahan bakar serta 1 komoditas transportasi. Komoditas sawi putih menjadi
komoditas utama yang paling bergejolak di sepanjang tahun 2016 dengan total
sebanyak 12 kali menjadi penyumbang inflasi dan deflasi utama di NTT, diikuti oleh
komoditas angkutan udara sebanyak 11 kali, kangkung, daging ayam ras dan tomat
sayur (10 kali), bayam dan ikan kembung (9 kali), kentang (8 kali), tongkol, ayam
hidup, cabai merah, tarif listrik, dan gula pasir (7 kali), bawang merah dan cabai rawit
(6 kali), rokok kretek filter, ikan tembang, telur ayam ras, beras, daun singkong dan
semen masing-masing sebanyak 5 kali.
Fluktuasi harga sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dan ikan-ikanan lebih
disebabkan oleh adanya keterbatasan pasokan terutama pada saat cuaca buruk, begitu
pula dengan komoditas ayam yang mengalami keterbatasan DOC. Komoditas
angkutan udara walaupun mengalami deflasi, namun besarnya fluktuasi harga yang
terjadi masih menunjukkan adanya keterbatasan daya angkut pesawat, sehingga
adanya sedikit kenaikan permintaan langsung berimbas terhadap kenaikan harga.
Kenaikan harga komoditas rokok lebih disebabkan oleh kenaikan bea cukai yang
dibebankan bertahap di tiap bulannya, demikian juga dengan tarif listrik yang
meningkat mengikuti kenaikan biaya bahan bakar. Secara umum, besarnya fluktuasi
inflasi yang terjadi tersebut mencerminkan adanya keterbatasan pasokan, sehingga
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 57
57
menjaga keseimbangan neraca konsumsi dengan menyediakan pasokan yang
berimbang menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan.
Rendahnya inflasi tersebut selain disebabkan oleh relatif rendahnya nilai inflasi
bulanan, juga pada tahun 2016 terjadi 5 kali deflasi di bulan Februari, Maret, Juli,
Agustus dan September 2016, sehingga nilai inflasi relatif dapat terkendali.
Berdasarkan pergerakan inflasi di tiap triwulan, terlihat bahwa inflasi mulai
mengalami penurunan signifikan pada triwulan III dan berlanjut di triwulan IV 2016.
Dengan nilai inflasi sebesar 2, 48% (yoy), Provinsi NTT menjadi provinsi dengan nilai
inflasi terendah ke-10 di Indonesia.
Grafik 3.3. Inflasi Tahunan Provinsi NTT dan
Nasional Secara Triwulanan
Tabel 3.1. 10 Komoditas Utama Penyumbang
Inflasi Tahunan di Provinsi NTT
Komoditas bawang merah menjadi komoditas penyumbang inflasi utama
di tahun 2016 seiring dengan tingginya inflasi yang terjadi pada bulan Januari,
Mei dan Desember 2016 karena gangguan pasokan. Pada bulan Desember,
bahkan terdapat pengiriman ke luar daerah dikarenakan tingginya harga di luar
NTT yang berdampak pada meningkatnya harga di NTT. Komoditas rokok kretek
dan kretek filter menjadi komoditas terbesar ke-2 penyumbang inflasi di NTT
yang lebih disebabkan oleh adanya kenaikan cukai rokok. Tingginya inflasi sawi
putih, cabai merah, kangkung dan ikan tongkol lebih disebabkan oleh
penurunan pasokan di pasar. Sedangkan tingginya inflasi tahu mentah dan
bawang putih lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga bahan baku kedelai
dan impor bawang putih dari pemasok.
Rendahnya harga minyak dunia di tahun 2016 juga direspon oleh
penurunan harga BBM yang terjadi. Harga komoditas beras juga relatif stabil di
sepanjang tahun 2016 yang lebih disebabkan oleh lancarnya pasokan dari
Makasar, Sumbawa dan Surabaya seiring dengan adanya pelonggaran proteksi
komoditas Inflasi yoysum
yoykomoditas Deflasi yoy
sum
yoy
Bawang Merah 137.29 0.63 Bensin (11.52) (0.31)
Rokok Kretek Filter 19.56 0.37 Beras (3.55) (0.24)
Sawi Putih 29.93 0.27 Kembung (24.03) (0.20)
Cabai Merah 72.68 0.22 Semen (6.95) (0.17)
Pisang 43.37 0.20 Angkutan Udara (3.22) (0.08)
Tahu Mentah 44.93 0.19 Daun Singkong (45.82) (0.07)
Kangkung 25.49 0.17 Besi Beton (6.21) (0.05)
Rokok Kretek 24.14 0.17 Solar (23.03) (0.05)
Bawang Putih 45.00 0.15 Wortel (49.35) (0.05)
Tongkol 28.05 0.15 Daging Ayam Ras (3.39) (0.04)
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 58
58
cadangan pangan di daerah tersebut. Penurunan harga bahan bangunan lebih
disebabkan oleh kondisi ketersediaan barang yang cukup, disertai dengan
kondisi permintaan yang tidak sebesar tahun sebelumnya. Penambahan rute dan
frekuensi penerbangan telah mampu menurunkan harga tiket walaupun
ketersediaan armada masih relatif terbatas yang terlihat dari tingginya fluktuasi
yang terjadi, sedangkan penurunan harga daging ayam lebih disebabkan oleh
tingginya posisi harga di tahun sebelumnya.
3.1.1 Inflasi Bulanan
Secara triwulanan, inflasi di triwulan IV 2016 mengalami peningkatan yang
sangat signifikan dibanding 3 triwulan sebelumnya. Secara total, inflasi triwulanan
pada triwulan IV mengalami peningkatan sebesar 2,92% (qtq), terutama disebabkan
oleh buruknya kondisi cuaca di NTT, peningkatan permintaan karena hari raya Natal
dan tahun baru, serta tingginya permintaan angkutan udara seiring dengan adanya
acara nasional Hari Nusantara yang diadakan di Kabupaten Lembata.
Pada bulan Oktober 2016, NTT mengalami inflasi sebesar 0,19% (mtm).
Terbatasnya pasokan DOC membuat pasokan ayam ras berkurang dan harga ayam ras
mengalami kenaikan cukup tinggi. Harga sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan juga
mulai mengalami peningkatan setelah mengalami deflasi dalam 3 bulan terakhir.
Ketersediaan pasokan ikan masih relatif melimpah yang berkontribusi dalam menahan
laju inflasi bulan Oktober 2016.
Pada bulan November, inflasi mulai meningkat cukup besar hingga 0,79% (mtm)
terutama disebabkan oleh turunnya pasokan sayur-sayuran, bumbu-bumbuan dan
daging ayam ras yang disebabkan oleh buruknya kondisi cuaca yang berdampak pada
menurunnya pasokan komoditas dan gangguan distribusi. Dari 10 komoditas utama
penyumbang inflasi, hanya komoditas rokok kretek filter yang bukan merupakan
komoditas bahan makanan. Namun demikian, adanya penurunan tarif angkutan udara
mampu membantu menahan inflasi yang terjadi.
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 59
59
Tabel 3.2. Komoditas Penyumbang Inflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Pada bulan Desember, Provinsi NTT mengalami kenaikan inflasi yang signifikan
hingga mencapai 1,92% (mtm). Tingginya inflasi yang terjadi tersebut, membuat
capaian inflasi NTT mengalami lonjakan dari posisi 0,55% (ytd) hingga bulan November
2016 menjadi 2,48% (ytd/yoy) di bulan Desember 2016. Tingginya inflasi tersebut
terutama disebabkan oleh tingginya inflasi angkutan udara seiring dengan adanya even
nasional Hari Nusantara dan libur Natal dan tahun baru. Harga komoditas ikan-ikanan
juga mengalami kenaikan luar biasa terutama disebabkan oleh buruknya kondisi cuaca,
sehingga banyak dari nelayan yang tidak bisa melaut. Pasokan komoditas sayur-sayuran
juga mengalami penurunan dikarenakan petani khawatir mengalami gagal panen
sehingga lebih memilih untuk menanam dengan tanaman pangan. Demikian pula
dengan komoditas bawang merah dan cabai rawit yang juga mengalami kenaikan,
selain karena adanya penurunan pasokan, juga disebabkan oleh tingginya harga
komoditas tersebut secara nasional, sehingga membuat pedagang dan petani turut
menaikkan harga sesuai dengan kenaikan yang terjadi secara nasional.
Tabel 3.3. Komoditas Penyumbang Deflasi Utama Bulanan di Provinsi NTT
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kawasan, regional Sulampua mampu menjadi daerah dengan
capaian inflasi terendah di Indonesia, diikuti wilayah Jawa, Balinusra, Kalimantan dan
Sumatera. Secara triwulanan, inflasi di Wilayah Balinusra mengalami inflasi terbesar
kedua setelah Sumatera. Tingginya inflasi di Balinusra secara triwulanan terutama
KomoditasInflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Inflasi
(%)
Andil
(%)
Daging Ayam Ras 12.95 0.14 Sawi Putih 43.98 0.27 Angkutan Udara 16.23 0.41 Tarip Listrik 6.51 0.18
Sawi Putih 20.16 0.11 Daging Ayam Ras 9.68 0.11 Kembung 32.59 0.27 Tarip Pulsa Ponsel 9.18 0.16
Beras 0.79 0.05 Tomat Sayur 50.67 0.09 Ayam Hidup 28.45 0.19 Cabai Rawit 58.00 0.13
Buncis 74.74 0.05 Cabai Merah 38.77 0.08 Sawi Putih 19.40 0.18 Tembang 39.95 0.12
Tarip Listrik 1.64 0.05 Bawang Merah 17.46 0.07 Kangkung 24.51 0.17 Perpanjangan STNK 102.93 0.10
Bayam 12.96 0.03 Tongkol 13.43 0.07 Bawang Merah 26.75 0.12 Mobil 7.58 0.10
Ayam Hidup 4.03 0.03 Cabai Rawit 79.19 0.06 Cabai Rawit 66.99 0.09 Kangkung 8.52 0.07
Tembang 9.58 0.02 Rokok Kretek Filter 1.89 0.04 Tomat Sayur 20.19 0.06 Kakap Merah 34.56 0.07
Bawang Putih 7.73 0.02 Pepaya 36.97 0.03 Tongkol 10.20 0.06 Daging Babi 10.59 0.07
Kubis 33.81 0.02 Telur Ayam Ras 3.13 0.02 Cakalang/Sisik 47.66 0.05 Cakalang/Sisik 34.32 0.06
November Desember JanuariOktober
KomoditasDeflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)Komoditas
Deflasi
(%)
Andil
(%)
Kangkung (11.39) (0.09) Angkutan Udara (5.69) (0.15) Cabai Merah (25.91) (0.08) Angkutan Udara (10.48) (0.30)
Angkutan Udara (2.92) (0.08) Kakap Merah (22.33) (0.05) Daging Ayam Ras (4.59) (0.06) Sawi Putih (25.45) (0.27)
Kembung (5.61) (0.05) Kangkung (5.42) (0.04) Air Minum Pikulan (9.05) (0.04) Ayam Hidup (10.04) (0.08)
Kakap Merah (15.62) (0.04) Sepatu (13.30) (0.03) Tempe (5.60) (0.02) Bawang Merah (7.34) (0.04)
Tomat Sayur (18.87) (0.04) Ekor Kuning (17.21) (0.02) Daun Singkong (14.34) (0.02) Daging Ayam Ras (3.25) (0.04)
Tarip Pulsa Ponsel (2.01) (0.04) Beras (0.37) (0.02) Labu Siam/Jipang (28.98) (0.02) Tomat Sayur (9.38) (0.03)
Wortel (22.85) (0.03) Kembung (1.98) (0.02) Merah (19.99) (0.02) Bunga Pepaya (17.70) (0.03)
Ekor Kuning (12.39) (0.02) Cakalang (12.11) (0.01) Jeruk (11.79) (0.02) Beras (0.38) (0.03)
Telur Ayam Ras (2.30) (0.02) Daging Ayam Kampung (8.74) (0.01) Gula Pasir (1.47) (0.01) Pucuk Labu (16.64) (0.02)
Gula Pasir (1.92) (0.02) Jagung Manis (19.60) (0.01) Minyak Goreng (0.91) (0.01) Sepatu (4.07) (0.01)
November Desember JanuariOktober
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 60
60
disebabkan oleh tingginya inflasi di Provinsi NTT yang disebabkan oleh adanya
peningkatan permintaan jelang hari raya Natal dan tahun baru. Namun demikian,
secara tahunan, inflasi Provinsi NTT menjadi inflasi terendah di kawasan, diikuti oleh
NTB (2,60% - yoy) dan Bali (3,34% - yoy).
Grafik 3.4. Perbandingan Inflasi 5 regional di
Indonesia
Grafik 3.5. Perbandingan Inflasi di Wilayah
Balinusra
3.2. Inflasi Berdasarkan Kelompok Komoditas
Konsistensi kenaikan harga rokok dan tembakau di sepanjang tahun 2016
dan kenaikan harga makanan jadi dan minuman tak beralkohol telah membuat
kelompok komoditas makanan, minuman dan tembakau menjadi penyumbang
utama inflasi di Provinsi NTT tahun 2016. Adapun komoditas bahan makanan
menjadi penyumbang terbesar ke-2 terutama disebabkan oleh tingginya harga
bumbu-bumbuan. Beberapa kelompok komoditas lainnya seperti perumahan, listrik,
gas dan bahan bakar, sandang, kesehatan dan pendidikan cenderung stabil di
sepanjang tahun 2016, dengan hanya beberapa komoditas yang mengalami kenaikan.
Bahkan, kelompok komoditas transportasi, rekreasi dan olah raga justru mengalami
deflasi secara tahunan, walaupun secara bulanan mengalami fluktuasi inflasi yang
cukup tinggi terutama disebabkan oleh fluktuasi tarif angkutan udara. Adanya
peningkatan rute dan tarif berhasil menjaga nilai inflasi tetap rendah. Namun demikian,
jumlah angkutan dirasa masih kurang mencukupi pada saat-saat tertentu yang terlihat
dari lonjakan tarif yang cukup besar terutama menjelang hari raya atau even-even
nasional yang diselenggarakan di Provinsi NTT.
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 61
61
Tabel 3.4. Inflasi di Provinsi NTT berdasarkan Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah
3.2.1 Bahan Makanan
Nilai inflasi bahan makanan pada akhir tahun 2016 sebesar 3,86% (yoy)
jauh lebih rendah dibanding rata-rata inflasi bahan makanan dalam 3 tahun
terakhir yang sebesar 6,12% (av-yoy). Rendahnya posisi harga bahan makanan
hingga triwulan III 2016 cukup membantu menahan kenaikan harga yang cukup tinggi
di triwulan IV 2016 yang mencapai 9,62% (qtq), lebih tinggi dibanding kenaikan tahun
sebelumnya yang sebesar 8,79% (qtq). Tingginya inflasi bahan makanan di triwulan IV
2016 lebih disebabkan oleh adanya anomali musim La-Nina, yang berdampak pada
buruknya kondisi cuaca di NTT. Hal ini menyebabkan adanya penurunan produksi
beberapa produk hortikultura karena serangan hama, penurunan produktivitas ataupun
perubahan tanaman ke tanaman pangan untuk menghindari serangan hama. Selain itu,
banyak nelayan tidak berani melaut seiring dengan tingginya ombak di perairan NTT
yang mencapai 5 meter, sehingga pasokan ikan mengalami penurunan. Tingginya
gelombang juga membuat distribusi barang terganggu seiring dengan ditutupnya
beberapa pelabuhan penyeberangan utama di NTT. Semua hal tersebut membuat
pasokan secara umum mengalami penurunan dan meningkatkan harga jual.
Grafik 3. 6. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan
Makanan secara Triwulanan, Tahunan dan
Bulanan
Grafik 3.7. Inflasi Kelompok Komoditas Bahan
Makanan per Sub Kelompok Komoditas
2017
Oct Nov Dec Jan Tw IV Jan
INFLASI UMUM 124.7 125.7 128.1 129.1 2.48 2.48
Bahan Makanan 116.5 120.4 126.7 128.5 3.86 2.25
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau143.7 144.4 144.5 145.1 8.83 7.69
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar123.2 123.6 123.6 124.9 0.77 0.55
Sandang 124.3 123.7 125.0 124.1 3.84 3.42
Kesehatan 115.3 115.4 115.7 115.9 2.72 3.00
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga126.1 126.2 127.0 127.5 2.82 3.15
Transportasi, Komunikasi dan Jasa127.8 126.8 130.1 130.7 (2.52) 0.71
Komoditi
YOYIHK 2016
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 62
62
Adanya perayaan hari raya Natal dan tahun baru juga telah meningkatkan
permintaan komoditas bahan makanan secara cukup signifikan. Berdasarkan sub
kelompok komoditas, komoditas bumbu-bumbuan menjadi komoditas dengan
kenaikan inflasi tertinggi mencapai 41,70% (yoy) terutama disebabkan oleh kenaikan
harga bawang merah, bawang putih, cabai merah dan cabai rawit karena adanya
penurunan pasokan dan gangguan distribusi akibat dari gangguan cuaca yang terjadi.
Komoditas kacang-kacangan dan sayur-sayuran menjadi komoditas lainnya yang
menjadi penyumbang utama inflasi bahan makanan dengan nilai inflasi masing-masing
sebesar 17,58% (yoy) dan 3,73% (yoy). Tingginya inflasi kacang-kacangan lebih
disebabkan oleh tingginya kenaikan harga tahu mentah pada awal triwulan II 2016,
sedangkan inflasi sayur-sayuran disebabkan oleh tingginya kenaikan harga sawi putih,
kangkung, seledri, sawi putih, tomat sayur, buncis dan bayam di triwulan IV seiring
dengan adanya penurunan pasokan karena kondisi cuaca. Beberapa komoditas sayur
lainnya cenderung memiliki inflasi yang rendah bahkan deflasi terutama disebabkan
oleh tingginya kenaikan harga di tahun sebelumnya sehingga dibandingkan dengan
posisi harga tahun sebelumnya, harga komoditas sayur lainnya cenderung lebih rendah.
Kenaikan harga daging dan hasil-hasilnya lebih disebabkan oleh lonjakan
permintaan menjelang hari raya Natal dan di sisi lain juga terjadi keterbatasan pasokan
karena terbatasnya jumlah DOC yang ada di pasar. Komoditas ikan segar mengalami
kenaikan secara triwulanan sebesar 13,34% (qtq) terutama dikarenakan kondisi
nelayan yang tidak dapat melaut seiring dengan buruknya cuaca. Namun demikian,
secara tahunan, harga komoditas ikan segar tidak mengalami kenaikan berarti.
3.2.2 Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
Komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan pada tahun 2016
justru menjadi satu-satunya kelompok komoditas yang mengalami deflasi (-2,52%
- yoy), melanjutkan tren di tahun sebelumnya yang juga mengalami deflasi sebesar
-1,04% (yoy). Adanya penurunan harga BBM bersubsidi seiring dengan masih
rendahnya harga minyak dunia dan kecenderungan penurunan tarif angkutan udaran
seiring penambahan rute dan frekuensi angkutan udara menjadi penyebab utama
deflasi di kelompok komoditas ini. Dampak positif perluasan runway bandara masih
dirasakan hingga saat ini yang terlihat dari banyaknya penambahan rute dan frekuensi
pesawat di sepanjang tahun 2016. Penambahan rute baru tersebut berdampak positif
dalam meningkatkan persaingan dan pelayanan angkutan udara yang terlihat dari
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 63
63
turunnya tarif angkutan udara di NTT. Namun demikian, jumlah tersebut dirasakan
masih kurang mencukupi yang terlihat dari besarnya fluktuasi harga yang terjadi,
sehingga di sepanjang tahun 2016, angkutan udara hampir selalu menjadi komoditas
penyumbang inflasi dan deflasi utama di NTT. Sinergi kebijakan perlu terus dilakukan
oleh pemerintah seperti halnya terkait pengembangan kebijakan pariwisata. Selain
berpotensi meningkatkan ekonomi, investasi dan lapangan kerja seiring dengan
datangnya wisatawan, peningkatan pariwisata juga dapat menambah frekuensi
penerbangan, sehingga fluktuasi inflasi dapat lebih terjaga seiring dengan adanya
peningkatan pasokan angkutan udara.
Grafik 3. 8. Inflasi Kelompok Komoditas
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan
secara Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Grafik 3.9. Inflasi Kelompok Komoditas
Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan per
Sub Kelompok Komoditas
Kenaikan harga secara tahunan juga terjadi pada komoditas jasa keuangan yang
disebabkan oleh adanya kenaikan biaya administrasi di awal tahun, sedangkan inflasi
pada komoditas komunikasi dan pengiriman, serta komoditas sarana dan penunjang
transportasi pada triwulan IV 2016 cenderung tetap.
3.2.3 Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau
Makanan jadi, minuman dan tembakau pada tahun 2016 menjadi penyumbang
utama inflasi di Provinsi NTT dengan nilai inflasi mencapai 8,83% (yoy), lebih tinggi
dibanding rata-rata inflasi komoditas dalam 3 tahun terakhir yang sebesar 7,74% (av-
yoy). Tingginya inflasi sub kelompok komoditas tembakau dan minuman beralkohol
terutama disebabkan oleh dikeluarkannya peraturan menteri keuangan nomor
198/PMK.010/2015 yang isinya tentang perubahan pengenaan tarif cukai rokok
dengan rata-rata kenaikan sebesar 11,5%. Kenaikan cukai rokok tersebut ditanggapi
produsen dengan menaikkan harga rokok secara bertahap di tiap bulannya hingga total
mengalami inflasi sebesar 18,31% (yoy) dengan kenaikan harga terbesar pada rokok
kretek yang mencapai 24,14% (yoy) dan rokok kretek filter yang mencapai 19,56%
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 64
64
(yoy). Inflasi pada sub kelompok komoditas minuman yang tidak beralkohol terutama
disebabkan oleh kenaikan harga gula hingga 10,54% (yoy), sedangkan inflasi pada sub
kelompok komoditas makanan jadi disebabkan oleh adanya kenaikan inflasi komoditas
mie, kue kering, ikan bakar, dan roti manis. Secara keseluruhan, hampir semua
komoditas makanan jadi mengalami kenaikan, walaupun tren pergerakannya
mengalami penurunan yang terlihat dari rata-rata inflasi 3 tahun terakhir yang
mencapai 6,17% (av-yoy), lebih tinggi dibanding inflasi inflasi komoditas makanan jadi
tahun 2016 yang sebesar 5,44% (yoy). Tingginya posisi harga makanan jadi di Provinsi
NTT sekiranya dapat diturunkan dengan terus membuka pusat kuliner baru di Kota
Kupang pada khususnya.
Grafik 3. 10. Inflasi Kelompok Komoditas
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau secara
Triwulanan, Tahunan dan Bulanan
Grafik 3.11. Inflasi Kelompok Komoditas Makanan
Jadi, Minuman dan Tembakau per Sub Kelompok
Komoditas
Secara triwulanan, deflasi hanya terjadi pada komoditas minuman yang tidak beralkohol
yang disebabkan oleh mulai lancarnya pasokan gula pasir di NTT, sehingga harga gula pasir
berangsur-angsur mengalami penurunan.
3.2.4 Komoditas Lainnya
Inflasi pada kelompok komoditas lainnya seperti komoditas perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar, komoditas sandang, kesehatan maupun pendidikan
masih relatif stabil. Kenaikan inflasi pada triwulan IV 2016 hanya terjadi pada
beberapa komoditas seperti kenaikan biaya sewa rumah, upah pembantu rumah
tangga pada kelompok komoditas perumahan, serta kenaikan harga sandang laki-laki
pada kelompok komoditas sandang. Penurunan harga justru terjadi pada komoditas
sandang wanita, anak-anak serta barang pribadi dan sandang lain walaupun tidak
terlalu besar.
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 65
65
3.3. Disagregasi Inflasi
Berdasarkan disagregasi, pada triwulan IV 2016 terjadi peningkatan inflasi
komoditas volatile food yang cukup tinggi seiring dengan memburuknya kondisi
cuaca di NTT. Namun demikian, kondisi peningkatan masih relatif terjaga
dibanding tahun sebelumnya, sehingga inflasi masih relatif terjaga. Komoditas inti
menunjukkan adanya perlambatan inflasi, demikian pula halnya dengan komoditas
administered price.
Grafik 3. 12. Disagregasi Inflasi dan Sumbangan
Inflasi Tahunan Provinsi Nusa Tenggara Timur
3.3.1 Kelompok Volatile foods
Setelah mengalami penurunan yang cukup signifikan pada triwulan III 2016,
inflasi kelompok komoditas volatile foods kembali mengalami kenaikan signifikan
terutama pada bulan November dan Desember yang disebabkan oleh tingginya
permintaan menjelang hari raya Natal dan tahun baru, serta memburuknya kondisi
cuaca yang mengganggu distribusi barang dan menurunkan pasokan komoditas.
Namun demikian, secara tahunan, nilai inflasi volatile foods masih dapat terjaga
seiring dengan nilai kenaikan inflasi triwulan IV yang tidak sebesar tahun
sebelumnya. Nilai inflasi volatile food pada triwulan IV sebesar 3,62% (yoy), meningkat
dibanding posisi inflasi triwulan sebelumnya yang sebesar 2,86% (yoy), namun lebih
rendah dibanding nilai inflasi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya yang sebesar
8,86% (yoy). Relatif tingginya posisi harga di tahun sebelumnya berhasil meredam
kenaikan inflasi di tahun 2016. Beberapa komoditas sayur-sayuran mengalami deflasi,
demikian pula dengan komoditas daging dan hasil-hasilnya, maupun komoditas ikan
segar. Pasokan beras yang cukup lancar dan melimpah juga berhasil menurunkan inflasi
padi-padian sebesar -3,02% (yoy).
Sumber : BPS, diolah
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 66
66
Berdasarkan pergerakan harga yang terjadi, inflasi volatile food mengalami titik
terendah pada triwulan III 2016. Pada triwulan IV 2016, harga komoditas volatile food
berangsur-angsur mengalami peningkatan seiring dengan mulai datangnya musim penghujan
dan mencapai titik inflasi tertinggi pada bulan Desember dengan nilai inflasi mencapai 5,38%
(mtm) yang disebabkan oleh tingginya permintaan komoditas bahan makanan untuk
merayakan hari raya Natal dan tahun baru.
3.3.2 Kelompok Administered prices
Walaupun pada bulan Desember inflasi administered price mengalami
kenaikan seiring dengan tingginya kenaikan tarif angkutan udara menjelang hari
raya Natal dan tahun baru maupun adanya perayaan Hari Nusantara, Secara
tahunan inflasi administered price relatif rendah bahkan hanya tumbuh sebesar
0,79% (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan cukai rokok masih menjadi
penyebab utama inflasi komoditas administered price. Namun demikian, adanya
penurunan tarif angkutan udara, bensin dan solar mampu menahan kenaikan inflasi
pada komoditas tembakau dan minuman beralkohol.
3.3.3 Kelompok Inti (core)
Inflasi kelompok inti pada triwulan IV 2016 hanya sebesar 2,63% (yoy),
menurun dibanding posisi triwulan sebelumnya yang sebesar 3,58% (yoy) atau
tahun sebelumnya yang mencapai 4,69% (yoy). Rendahnya inflasi komoditas inti
lebih disebabkan oleh adanya penurunan biaya tempat tinggal, perlengkapan rumah
tangga dan perlengkapan pendidikan. Dibanding tahun sebelumnya, hampir semua
komoditas pembentuknya juga mengalami penurunan inflasi. Dari 22 kelompok
komoditas pembentuknya, hanya 5 komoditas yang mengalami kenaikan inflasi yaitu
penyelenggaraan rumah tangga, rekreasi, olah raga, barang pribadi dan jasa kesehatan.
Berdasarkan andil inflasi, komoditas makanan jadi masih menjadi pendorong utama
inflasi, diikuti oleh komoditas minuman tidak beralkohol, pendidikan dan
penyelenggaraan rumah tangga. Kenaikan harga makanan jadi dan minuman yang
tidak beralkohol lebih disebabkan oleh ketersediaan pusat kuliner yang masih kurang,
walaupun membaik dibanding tahun sebelumnya. Tingginya harga jual makanan jadi
diharapkan dapat menarik pengusaha makanan untuk berinvestasi di NTT. Kenaikan
biaya penyelenggaraan rumah tangga lebih disebabkan oleh kenaikan upah pembantu
rumah tangga yang mengalami kenaikan 7,94% (yoy). Rata-rata kenaikan tersebut
masih sangat wajar mengikuti kenaikan UMP yang terjadi.
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 67
67
Ekspektasi harga konsumen dalam 3 dan 6 bulan mendatang menunjukkan
adanya penurunan setelah bulan Januari 2017. Kenaikan diperkirakan akan terjadi
pada bulan Mei, melambat di bulan Juni dan kembali meningkat di bulan Juli. Namun
demikian, arah ekspektasi inflasi ini sepertinya masih dipengaruhi kondisi historis yang
cenderung meningkat di bulan Juli karena adanya hari raya Idul Fitri dan libur sekolah.
Dengan kondisi hari raya Idul Fitri yang di tahun 2017 terjadi di akhir bulan Juni, maka
kenaikan inflasi diperkirakan terjadi pada bulan Juni dan Juli 2017.
Grafik 3.13. Ekspektasi Harga Konsumen 3 dan 6
bulan ke Depan
Sumber : Bank Indonesia, diolah
3.4. Inflasi NTT Berdasarkan Kota
3.4.1 Inflasi Kota Kupang
Pada tahun 2016, Kota Kupang mengalami inflasi terendah dalam 15 tahun
terakhir dengan nilai inflasi sebesar 2,31% (yoy), jauh lebih rendah dibanding
inflasi pada tahun sebelumnya yang sebesar 5,07% (yoy). Deflasi yang terjadi pada
komoditas transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar -2,4% (yoy) menjadi
pendorong utama rendahnya inflasi di Kota Kupang. Selain itu, komoditas perumahan,
air, listrik, gas dan bahan bakar, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan olah
raga juga menunjukkan nilai yang rendah dan stabil. Inflasi bahan makanan juga relatif
rendah dengan nilai inflasi hanya sebesar 3,88% (yoy), jauh lebih rendah dibanding
tahun sebelumnya yang sebesar 9,55% (yoy). Komoditas makanan jadi, minuman dan
tembakau pada tahun 2016 ini menjadi penyumbang inflasi tertinggi di Kota Kupang
dengan nilai inflasi sebesar 9,10% (yoy), lebih tinggi dibanding nilai inflasi tahun
sebelumnya yang sebesar 8,63% (yoy). Tingginya kenaikan cukai rokok ditambah
dengan kenaikan biaya dan keuntungan lainnya pada komoditas tembakau dan
minuman beralkohol membuat inflasi pada komoditas ini mengalami peningkatan
signifikan hingga 18,88% (yoy) di sepanjang tahun 2016.
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 68
68
Berdasarkan komoditas, adanya penurunan harga beras, BBM, angkutan udara,
ikan segar dan biaya tempat tinggal telah mampu menahan inflasi dengan andil deflasi
mencapai -0,94% (sum - yoy). Adapun kenaikan harga bumbu-bumbuan, tembakau
dan minuman beralkohol, makanan jadi dan minuman tak beralkohol, sayur-sayuran,
kacang-kacangan dan pendidikan telah menyebabkan inflasi dengan andil mencapai
2,94% (sum - yoy). Walaupun secara triwulanan harga ikan segar mengalami
peningkatan yang cukup besar, namun dikarenakan tingginya posisi harga di tahun
sebelumnya, membuat secara tahunan, harga ikan segar masih mengalami penurunan.
Kenaikan harga signifikan pada komoditas bawang merah, bawang putih, cabai merah
dan cabai rawit telah menjadi penyumbang utama inflasi di Kota Kupang yang
terutama disebabkan oleh adanya penurunan pasokan maupun perdagangan barang ke
luar daerah yang disebabkan oleh harga barang yang lebih tinggi di daerah lain,
sehingga harga di Kota Kupang juga bergerak naik. Kenaikan harga sandang anak-anak
dan laki-laki juga mampu menyumbang inflasi, namun masih dalam batas wajar.
Grafik 3.14. Inflasi Tahunan Kota Kupang Tabel 3.5. Inflasi di Kota Kupang berdasarkan
Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Selain ikan segar, beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga
yang cukup besar pada triwulan IV antara lain sayur-sayuran (28,27% - qtq),
bumbu-bumbuan (25,67% - qtq), serta daging dan hasil-hasilnya (11,86 qtq).
Kenaikan harga komoditas sayur-sayuran dan bumbu-bumbuan lebih disebabkan oleh
memburuknya cuaca seiring dengan datangnya musim penghujan. Kenaikan harga
daging lebih disebabkan oleh terbatasnya pasokan daging ayam ras dan ayam hidup
yang disebabkan oleh terbatasnya pasokan DOC secara nasional, sehingga berdampak
pada terbatasnya pasokan ayam di pasar. Di sisi lain, adanya peningkatan permintaan
yang cukup tinggi untuk perayaan hari raya Natal dan tahun baru membuat harga jual
melonjak dikarenakan kekurangan pasokan komoditas yang ada.
2017
Oct Nov Dec Jan Tw IV Jan
INFLASI UMUM 125.6 126.6 129.1 130.1 2.31 2.32
Bahan Makanan 118.1 122.1 128.7 130.9 3.88 1.92
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau143.4 144.2 144.2 144.9 9.10 8.06
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar123.8 124.1 124.2 125.5 0.10 0.18
Sandang 126.2 125.5 126.9 125.7 3.86 3.47
Kesehatan 115.6 115.6 115.9 116.0 2.63 2.95
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga123.6 123.7 124.6 125.2 3.04 3.41
Transportasi, Komunikasi dan Jasa130.2 128.9 132.6 132.9 (2.40) 0.70
Komoditi
YOYIHK 2016
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 69
69
3.4.2 Inflasi Kota Maumere
Berbeda dengan pola pergerakan inflasi di Kota Kupang, ketika inflasi di
Kota Kupang bergerak menurun, inflasi di Kota Maumere justru menunjukkan
adanya kenaikan terutama di triwulan IV 2016 yang mengalami inflasi sebesar
3,61% (yoy). Walaupun masih tergolong rendah, adanya kenaikan harga bahan
makanan yang tinggi di triwulan IV 2016 telah membuat inflasi bergerak naik
dibanding posisi triwulan III yang hanya sebesar 2,28% (yoy). Kenaikan inflasi tersebut
terutama disebabkan oleh meningkatnya inflasi komoditas daging dan hasil-hasilnya
(25,29% - yoy) dan buah-buahan (23,14% - yoy). Kenaikan harga daging dan hasil-
hasilnya terutama disebabkan oleh tingginya kenaikan harga ayam hidup dan daging
ayam ras masing-masing sebesar 25,65% (yoy) dan 8,37% (yoy). Kelangkaan
penyediaan DOC menjadi masalah utama penyediaan pasokan ayam ras di Pulau Flores,
dikarenakan pemenuhan bibit ayam tersebut harus dipenuhi dari Kupang, Bali atau
Surabaya, sehingga adanya gangguan distribusi langsung berdampak pada kelangkaan
penyediaan DOC di Maumere. Permasalahan distribusi juga menjadi penyebab utama
berkurangnya pasokan buah-buahan dari Jawa, sehingga harga buah mengalami
kenaikan yang cukup besar.
Secara triwulanan, selain komoditas ayam ras hidup dan buah-buahan, kenaikan
inflasi juga terjadi pada komoditas sayur-sayuran (19,89 qtq) dan ikan segar (16,14
qtq). Setelah cenderung mengalami penurunan harga hingga triwulan III 2016, harga
komoditas sayur-sayuran dan ikan segar meningkat pada triwulan IV 2016 disebabkan
oleh memburuknya cuaca yang berdampak pada penurunan pasokan ikan segar dan
sayur-sayuran di pasar. Meskipun demikian, secara tahunan harga masih relatif
terkendali bahkan cenderung mengalami penurunan.
Berdasarkan andil komoditas terhadap inflasi di Kota Maumere, komoditas
perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menjadi komoditas penyumbang utama
inflasi dengan nilai inflasi sebesar 5,55% (yoy) dan memiliki andil terhadap inflasi
hingga sebesar 1,34% (sum-yoy). Tingginya sumbangan kelompok komoditas ini lebih
disebabkan oleh meningkatnya biaya kontrak rumah sejak awal tahun 2016 dan sewa
rumah yang kembali meningkat pada triwulan IV 2016 yang mampu memberikan andil
pada inflasi Maumere hingga 0,90% (sum yoy). Kenaikan tarif air minum PAM hingga
sebesar 19,80% (yoy) pada bulan September 2016 juga menyumbang inflasi hingga
0,20% (sum-yoy). Komoditas makanan jadi menjadi komoditas penyumbang inflasi
terbesar kedua di Maumere dengan andil hingga 1,2% (sum-yoy) terutama disebabkan
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 70
70
oleh meningkatnya harga rokok dan tembakau mengikuti kenaikan cukai rokok yang
ada.
Grafik 3.15. Inflasi Tahunan Kota Maumere Grafik 3.6. Inflasi Inflasi di Kota Maumere
berdasarkan Kelompok Komoditas
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Adapun sektor transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mampu menjadi
komoditas utama yang menahan laju inflasi di Kota Maumere. Deflasi pada komoditas
ini terutama disebabkan oleh turunnya harga bensin hingga -11,45% (yoy), angkutan
udara hingga -35,63% (yoy), dan solar sebesar -23,13% (yoy). Penurunan tarif
angkutan udara kemungkinan disebabkan oleh turunnya jumlah penumpang yang
berangkat dari bandara Frans Seda Maumere pada bulan Desember 2016 sebesar
0,55% (mtm) dan di sisi lain, frekuensi penerbangan justru mengalami penambahan.
3.5. Proyeksi Inflasi Provinsi NTT Triwulan I 2017
Inflasi pada triwulan I 2017 diperkirakan akan mengalami peningkatan,
terutama disebabkan oleh kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga 900VA pada
bulan Januari dan Maret 2017. Adanya kenaikan listrik hingga dua kali tersebut,
berpotensi menyebabkan inflasi tarif listrik hingga 14,5% dan memberikan andil
terhadap inflasi triwulan I 2017 hingga 0,42%. Adanya kenaikan cukai rokok dengan
kenaikan harga eceran rata-rata hingga 12,26% diperkirakan juga akan membuat
kenaikan harga rokok dilakukan rutin setiap bulannya sebagaimana terjadi pada tahun
2016. Kondisi cuaca diperkirakan membaik yang berdampak pada turunnya harga
bahan makanan. Harga komoditas transportasi diperkirakan masih cenderung rendah
seiring dengan masih rendahnya mobilitas antar wilayah menggunakan angkutan
udara, namun adanya kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga 102,09% (mtm) pada
bulan Januari dan kenaikan tarif pulsa ponsel diperkirakan menahan potensi deflasi
yang terjadi.
3.62 3.61
2.48
2.48
0.02
1.02
2.02
3.02
4.02
5.02
6.02
7.02
8.02
9.02
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV 1
2012 2013 2014 2015 2016 2017
Maumere
NTT
2017
Oct Nov Dec Jan Tw IV Jan
INFLASI UMUM 118.7 119.9 121.9 122.4 3.62 3.61
Bahan Makanan 105.9 108.7 113.7 113.2 3.70 4.89
Makanan Jadi, Minuman dan Tembakau145.4 145.6 146.0 146.5 7.14 5.30
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar119.3 120.0 120.1 121.1 5.55 3.08
Sandang 111.8 111.9 113.0 113.1 3.70 3.06
Kesehatan 113.4 113.8 115.0 115.4 3.34 3.33
Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga142.6 142.6 142.7 142.8 1.57 1.69
Transportasi, Komunikasi dan Jasa112.8 112.8 113.8 116.5 (3.44) 0.75
YOY
Komoditi
IHK 2016
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 71
71
Berdasarkan perkembangan inflasi triwulan I 2017 di bulan Januari, Provinsi NTT
mengalami inflasi sebesar 0,74% (mtm) terutama disebabkan oleh kenaikan harga
bahan makanan seiring dengan kondisi cuaca yang memburuk dan berdampak pada
adanya himbauan dilarang melaut bagi nelayan, ditutupnya pelabuhan penyeberangan
dan berhentinya kegiatan pelayaran lainnya yang mengganggu penyediaan pasokan di
NTT. Dampak buruknya cuaca tersebut terlihat dari tingginya nilai inflasi ikan segar
pada bulan Januari yang mencapai 14,19% (mtm), seiring dengan kosongnya
persediaan ikan di pasar. Pada bulan ini juga terjadi kelangkaan penyediaan cabai rawit
yang menyebabkan kenaikan harga hingga 58,00% (mtm), sehingga dibanding
triwulan sebelumnya, harga cabai rawit telah mengalami kenaikan hingga 367,70%
(qtq).
Dibanding nasional yang mengalami inflasi 0,97% (mtm), inflasi Provinsi masih
relatif lebih terjaga. Adanya penurunan permintaan di bulan Januari 2017 dinilai
mampu meredam permintaan komoditas yang juga mengalami penurunan pasokan,
sehingga inflasi tidak naik signifikan. Kenaikan inflasi yang cukup signifikan adalah
adanya kenaikan tarif listrik rumah tangga dengan 900VA dan biaya perpanjangan
STNK yang naik lebih dari 100%.
Pada bulan Februari, inflasi diperkirakan akan lebih stabil seiring dengan kondisi
cuaca yang membaik. Namun demikian, adanya La Nina yang terjadi diperkirakan akan
memperpanjang musim hujan di NTT yang terlihat dari hasil survei pemantauan harga
minggu ke-1 Februari 2017 yang masih menunjukkan adanya inflasi pada nilai yang
rendah. Komoditas cabai rawit sudah mulai menunjukkan adanya penurunan harga di
pasar, demikian pula dengan penurunan harga telur dan daging ayam ras seiring mulai
tersedianya pasokan di pasar dan kondisi distribusi komoditas yang mulai membaik.
Harga ikan segar juga sudah berangsur menurun, begitu juga dengan harga tahu
mentah, gula pasir dan emas perhiasan. Hingga akhir bulan Februari 2017, inflasi
diperkirakan rendah dan cenderung deflasi walaupun tidak terlalu besar.
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 72
72
3.6. Aktivitas Pengendalian Inflasi oleh TPID
Sebagai upaya untuk terus menjaga inflasi yang rendah dan stabil di
Provinsi NTT, TPID telah melakukan beberapa kegiatan pengendalian inflasi di
triwulan IV 2016 dengan berbagai macam kegiatan sebagai berikut :
1. Telah dilakukan penyusunan dan pembahasan draft final Roadmap TPID Provinsi
NTT untuk panduan kegiatan hingga tahun 2018 dengan program unggulan
dilakukan TPID yang sudah diupdate dan direvisi ditambah dengan 10 program
penguatan TPID hasil kompilasi RKPD yang telah disusun oleh masing-masing
dinas.
2. Telah dilakukan sosialisasi TPID di Kabupaten Rote Ndao pada tanggal 29
Oktober 2016.
3. Telah dilakukan rapat koordinasi daerah TPID Provinsi NTT yang dipimpin oleh
sekretaris daerah provinsi NTT dan dihadiri oleh seluruh anggota TPID Kabupaten
Kota di Provinsi NTT. Adapun beberapa hasil rapat koordinasi tersebut meliputi :
a. Telah dilakukan penandatanganan Roadmap TPID NTT tahun 2016-2018
dengan program yang diangkat yaitu JUPE RUN 10 K.
b. Permasalahan yang teridentifikasi dalam rapat, diantaranya
1) Belum adanya standarisasi ukuran di level pedagang eceran dan konsumen,
2) Kendala cuaca terhadap kestabilan pasokan dan bibit penyakit pada ternak.
3) Pemasalahan struktural seperti biaya distribusi yang mahal dan pasar yang
Oligopoli.
4) Minimnya industri pengolahan di Provinsi NTT.
5) Sulitnya penyerapan beras oleh Bulog akibat harga pasar di petani dan
penggilingan lebih tinggi dari harga penetapan pemerintah
6) Pasokan minyak tanah dan BBM yang masih terbatas di beberapa daerah
sehingga harga meningkat di tingkat pengecer. Di NTT sendiri masih
terdapat 13 wilayah yang belum memiliki penyalur
c. Hal-hal yang disepakati dalam rapat diantaranya:
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 73
73
1) Perlunya penyelarasan roadmap TPID dalam penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) dan program kerja Provinsi/Kab-Kota di NTT
tahun 2017-2018.
2) Peningkatan keaktifan TPID Kab/kota dengan diketuai Sekretaris Daerah
yang juga Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), sehingga diharapkan
kebijakan bisa lebih efektif dan sejalan dengan perencanaan anggaran.
3) Perlunya koordinasi antar sektor melalui rapat koordinasi dan peningkatan
kerjasama antar kabupaten/kota.
4) Perlu adanya monitoring dan pemeriksaan di gudang-gudang bekerjasama
dengan kepolisian dan kejaksaan untuk menghindari penimbunan di akhir
tahun.
5) Perlunya pengembangan sektor pariwisata masyarakat melalui alokasi
anggaran di daerah bagi pengembangan usaha kecil di daerah guna
mendukung pariwisata.
6) Perlunya dibentuk sub penyalur resmi di kabupaten yang kesulitan
mendapatkan distribusi minyak tanah maupun bbm. Adanya dana desa
dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bagi pembentukan sub
penyalur resmi tersebut.
7) Perlunya kerjasama yang berkelanjutan dengan BPS untuk kegiatan
perhitungan inflasi di setiap daerah sehingga data historis dapat dimiliki
guna mendukung identifikasi pengendalian inflasi di setiap daerah.
8) Perlu dilaksanakannya hasil pembahasan rakorwil TPID di Ternate oleh
seluruh kab/kota.
4. Dalam rangka menjaga inflasi menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru di NTT,
TPID Provinsi NTT bersama dengan TPID Kota Kupang telah melakukan beberapa
kegiatan penanggulangan dan pemantauan harga diantaranya inspeksi
mendadak bersama dengan Gubernur NTT di gudang BULOG divre NTT dan
pelabuhan peti kemas PELINDO 3, operasi pasar BULOG dan pasar murah oleh
BMPD di Pasar Kasih Naikoten.
| Bab III Perkembangan Inflasi Daerah 74
74
Gambar 3.1. Kegiatan TPID Provinsi NTT 2016 dan Sebaran Pembentukan TPID
Sumber : Sekretariat TPID, diolah
5. Pada tanggal 11 Januari 2017 telah dilakukan rapat HLM TPID Provinsi NTT dan
dipimpin oleh sekretaris daerah Provinsi NTT dengan bahasan utama berupa
langkah-langkah pengendalian harga cabai rawit di Kota Kupang. Dalam rapat
tersebut disepakati untuk dibentuk satgas pengendalian harga cabai rawit merah
dengan dinas pertanian sebagai koordinator. Dalam pelaksanaannya, satgas
telah menjual lebih dari 1 ton cabai rawit merah, dengan harga 60 ribu rupiah.
Adapun harga cabai rawit juga menunjukkan adanya penurunan, dari 120 ribu
pada minggu kedua dapat turun hingga mencapai 60 ribu di minggu ke-5
Januari 2017.
Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir 75
Boks 5. Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di NTT dalam 6 tahun terakhir
Secara konseptual, Inflasi pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai rata-rata pergerakan
harga-harga komoditas yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga. Dengan pendekatan
Laspeyres sebagaimana digunakan di Indonesia, inflasi dihitung menggunakan indeks harga yang
disusun di tiap tahun dasar melalui survei biaya hidup yang dilakukan oleh BPS. Pendekatan ini
juga mengatur bahwa bobot masing-masing komoditas menggunakan bobot yang dihasilkan
pada saat survei di tahun dasar, sehingga yang dihitung tiap bulannya hanyalah perubahan harga
yang terjadi. Adapun komoditas yang diperhitungkan adalah komoditas yang secara signfikan
memiliki proporsi nilai konsumsi lebih dari 0,02% dari total pengeluaran rumah tangga, atau bisa
kurang dari 0,02% namun signifikan dibutuhkan oleh suatu rumah tangga seperti pembelian
saus tomat, sikat gigi atau popok bayi di Kota Kupang. Dari ribuan komoditas yang disurvei,
dengan menggunakan prasyarat di atas, didapatkan 430 komoditas yang akan disurvei secara
rutin oleh BPS di tiap bulannya di Provinsi NTT.
Grafik Boks 5. 1. Korelasi Pergerakan
Gabungan 10 Komoditas Utama Penyumbang
Inflasi dan Deflasi di Kota Kupang 6 Tahun
Terakhir dengan Inflasi Kota Kupang
Grafik Boks 5.2. Korelasi Pergerakan Gabungan
10 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi dan
Deflasi di Kota Maumere 6 Tahun Terakhir
dengan Inflasi Kota Maumere
Dari 430 komoditas yang disurvei tiap bulannya, secara rata-rata 220 komoditas tidak
mengalami perubahan harga dan hanya sekitar 210 komoditas yang berubah dengan besar
kenaikan/penurunan yang beraneka ragam. Perubahan harga tersebut yang berpengaruh
terhadap terjadinya inflasi. Berdasarkan pola pergerakan inflasi, didapatkan bahwa secara rata-
rata hanya terdapat 20 komoditas yang berpengaruh signifikan terhadap inflasi di suatu daerah
atau setara dengan hanya 10% dari total komoditas yang mengalami perubahan harga. Apabila
andil inflasi dari komoditas terbesar tersebut dijumlahkan, maka nilai inflasi bulanan akan
mendekati hasil penjumlahan 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama tersebut
dengan korelasi di kisaran 90%. Maka berdasarkan kecenderungan tersebut, telah dilakukan light
research / penelitian ringkas terhadap 10 komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi
bulanan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang dan Kota Maumere. Adapun
jumlah sampel per masing-masing kota sebanyak 1.440 sampel meliputi total 20 komoditas
utama penyumbang inflasi dan deflasi utama pada 3 daerah tersebut di tiap bulannya dalam
jangka waktu 6 tahun terakhir dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Berdasarkan data 10 komoditas penyumbang inflasi dan deflasi utama di Provinsi NTT
selama 6 tahun terakhir, didapatkan bahwa dari 1.440 sampel, ternyata hanya terdapat 140
Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir 76
komoditas yang menjadi penyumbang utama inflasi di provinsi NTT dalam 6 tahun terakhir, 146
komoditas di Kota Kupang dan 141 komoditas di Kota Maumere. Apabila dalam 72 bulan
pencacahan tersebut diambil komoditas yang secara persisten setidaknya 10 kali menjadi
penyumbang inflasi utama dalam 6 tahun terakhir, maka didapatkan bahwa hanya terdapat 41
komoditas yang secara persisten menyumbang inflasi di Provinsi NTT dan Kota Maumere, serta
44 komoditas yang secara persisten menyumbang inflasi di Kota Kupang.
Apabila dilihat dari 10 komoditas utama yang secara persisten menyumbang fluktuasi
inflasi di Kota Kupang dan Kota Maumere, didapatkan bahwa terdapat 6 komoditas yang sama-
sama menjadi penyebab utama inflasi di Kota Kupang dan Maumere, antara lain angkutan udara,
kangkung, ikan kembung, bawang merah, cabe rawit dan tongkol. Adapun komoditas lainnya
yang menjadi penyumbang utama inflasi di Kota Kupang adalah daging ayam ras, sawi putih,
tomat sayur dan beras. Sedangkan komoditas lainnya yang secara persisten menjadi 10 besar
penyumbang inflasi utama di Maumere adalah ikan selar, ikan layang, sawi hijau dan bayam.
Di Kota Kupang, setidaknya terdapat 4 komoditas yang menjadi penyumbang fluktuasi
tertinggi hingga di atas 55 kali dalam 6 tahun atau berarti setidaknya dalam 12 bulan, keempat
komoditas tersebut minimal 9 kali menjadi penyumbang inflasi atau deflasi utama di Kota
Kupang, yaitu komoditas angkutan udara, kangkung, daging ayam ras dan sawi putih. Di Kota
Maumere juga terdapat 4 komoditas yang setidaknya dalam 1 tahun menjadi penyumbang inflasi
dan deflasi utama dengan frekuensi lebih dari 9 kali antara lain komoditas ikan selar, ikan layang,
sawi hijau dan komoditas kangkung. Dengan tingginya frekuensi komoditas tersebut dalam
menyumbang fluktuasi inflasi di NTT, maka proses menjaga pasokan komoditas tersebut menjadi
hal yang mutlak harus dilakukan dalam menanggulangi inflasi di NTT.
Grafik Boks 5. 3. Pola Pergerakan Inflasi 19
Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota
Kupang 6 Tahun Terakhir
Grafik Boks 5.4. Pola Pergerakan Inflasi 25
Komoditas Utama Penyumbang Inflasi di Kota
Maumere 6 Tahun Terakhir
Dalam rangka mencari komoditas utama yang secara persisten menjadi penyumbang
inflasi NTT dalam 6 tahun terakhir, maka diambil 10 komoditas yang menjadi penyumbang
fluktuasi inflasi utama di masing-masing kota, ditambah dengan beberapa komoditas dari 44 dan
41 komoditas yang memiliki korelasi positif terbesar terhadap pergerakan inflasi di masing-
masing daerah. Dari hal tersebut dihasilkan kesimpulan bahwa untuk mengetahui dan
mengendalikan pergerakan inflasi di Kota Kupang sebenarnya dapat dilakukan dengan hanya
menjaga harga dan pasokan pada 19 komoditas saja, antara lain komoditas angkutan udara,
kangkung, daging ayam, sawi putih, tomat sayur, ikan kembung, beras, bawang merah, cabe
rawit, ikan tongkol, bensin, ikan tembang, pasir, tarif listrik, telur ayam ras, cabai merah, wortel,
bayam, dan semen. Ke-19 komoditas tersebut sudah dapat memprediksi arah inflasi dengan
tingkat korelasi mencapai 98%, artinya baik arah dan besaran inflasi dapat diprediksi dengan
hanya melihat pergerakan harga ke-19 komoditas tersebut dengan ketepatan mencapai 98%.
Boks 5 | Komoditas Utama Penyumbang Inflasi NTT dalam 6 Tahun Terakhir 77
Adapun untuk pengendalian inflasi di Kota Maumere, terdapat 25 komoditas yang paling
mempengaruhi pergerakan inflasi antara lain komoditas ikan selar, ikan layang, sawi hijau,
kangkung, cabai rawit, ikan tongkol, angkutan udara, bawang merah, ikan kembung, bayam,
bensin, pisang, beras, ayam hidup, telur ayam ras, daging ayam ras, kubis, tarif listrik, rokok
kretek filter, daun singkong, rokok putih, ikan tembang, ketela pohon, dan tauge. Dengan hanya
mengetahui pergerakan harga ke-25 komoditas tersebut, maka nilai inflasi bisa diprediksi dengan
tingkat korelasi mencapai 90%. Dari semua komoditas di atas, ternyata terdapat 14 komoditas
yang menjadi penyumbang utama fluktuasi inflasi baik di kota Kupang maupun Maumere, yang
berarti program pengendalian inflasi untuk ke-14 komoditas tersebut dapat saling disinergikan.
Hasil analisa di atas juga sesuai dengan hasil analisa dalam roadmap TPID yang
menunjukkan bahwa dari 16 komoditas prioritas dalam pengendalian inflasi, 10 diantaranya
menjadi 10 komoditas dengan fluktuasi inflasi tertinggi, sehingga apabila pemerintah ingin
mengendalikan inflasi di daerah, maka pengendalian harga dan stabilisasi pasokan terhadap ke-
19 dan 25 komoditas tersebut di atas sekiranya dapat menjadi perhatian utama TPID di kota
perhitungan inflasi. Bentuk pengendalian yang dilakukan cukup mengikuti roadmap TPID yang
telah ditandatangani bersama oleh TPID Provinsi NTT.
Semoga dengan penanganan pengendalian inflasi yang lebih terfokus, inflasi di Provinsi
NTT dapat semakin dijaga rendah dan stabil.
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 78
Boks 6. Pola Perdagangan Antar Wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Selain memastikan pasokan komoditas tersedia dalam jumlah yang cukup, pemahaman
terkait pola perdagangan komoditas antar wilayah menjadi hal yang mutlak dipahami oleh
pemangku kebijakan dalam upaya menjaga pasokan dan mengendalikan harga di daerah.
Dalam upaya memetakan pola perdagangan komoditas pangan strategis di Nusa Tenggara
Timur (NTT), telah dilakukan penelitian pola perdagangan antar wilayah terhadap 5 komoditas
penyumbang inflasi terbesar di NTT yaitu komoditas beras, gula pasir, cabai merah, bawang
merah, dan daging ayam ras. Adapun pembahasan hanya akan difokuskan pada 4 komoditas
yaitu beras, gula pasir, cabai merah dan bawang merah, sedangkan komoditas daging ayam
ras, lebih kurang sudah dibahas pada triwulan sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan pola
perdagangan yang cukup besar antara pola perdagangan di Pulau Timor dan Pulau Flores
bagian timur. Pola perdagangan di Pulau Timor terpusat di Kota Kupang, sedangkan di Pulau
Flores bagian timur tidak ada daerah yang terlalu menonjol sebagai pusat perdagangan. Pola
perdagangan tiap-tiap komoditas juga relatif berbeda tergantung dari karakteristik masing-
masing komoditas, kemudahan sarana transportasi, kedekatan dengan sentra produksi,
ketersediaan modal usaha dan ukuran pasar, serta efisiensi persaingan yang terjadi. Hasil
penelitian juga tidak menunjukkan adanya hubungan perdagangan antar wilayah yang kuat
antara Pulau Timor dan Flores bagian timur, bahkan dengan Flores bagian barat dan Pulau
Sumba.
Gambar Boks 6.1. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Beras
Berdasarkan jenis komoditas, konsumsi beras di Provinsi NTT setiap tahun sebesar 600
ribu ton beras, sedangkan produksinya hanya sebesar 450 ribu ton beras sehingga mengalami
defisit hingga sekitar 150 ribu ton per tahun yang pemenuhan kekurangan pasokan dilakukan
melalui penyediaan beras BULOG ataupun melalui mekanisme pasar. Total penyaluran beras
BULOG di tahun 2016 mencapai 110 ribu ton beras dengan rincian 76 ribu ton beras sejahtera
dan sekitar 35 ribu ton beras disalurkan untuk pemenuhan kebutuhan beras PNS dan operasi
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 79
pasar. Adapun pemenuhan beras melalui mekanisme pasar per tahun lebih kurang disalurkan
55 ribu ton beras, dengan Sulawesi Selatan sebagai pemasok beras utama dengan pangsa
mencapai 62,3%, disusul oleh Provinsi Jawa Timur dengan pangsa mencapai 23,8% dan
Provinsi NTB dengan pangsa sebesar 7,0%. Fokus distribusi beras hanya pada Pulau Timor dan
Flores bagian timur dikarenakan kondisi produksi beras di Flores Bagian Barat dan Sumba yang
mengalami surplus, sehingga tidak membutuhkan pasokan dari luar.
Perdagangan beras di Pulau Timor sangat terkonsentrasi di Kota Kupang sebagai hub
perdagangan ke semua Kabupaten di daratan Timor, Alor, Rote Ndao dan Sabu Raijua. Di sisi
lain, pola perdagangan antar wilayah di Pulau Flores bagian timur cenderung tersebar dengan
Kabupaten Sikka sebagai hub utama perdagangan antar wilayah. Adanya perbaikan pelabuhan
membuat kebanyakan pengusaha di masing-masing kota langsung mengambil barang dari
produsen atau distributor besar di Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumbawa karena adanya
perbedaan harga yang cukup material.
Gambar Boks 6.2. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Gula Pasir
Pola perdagangan gula pasir lebih terkonsentrasi dibanding beras, dengan lebih dari
90% pasokan berasal dari Jawa Timur. Hal ini terutama disebabkan oleh 60% pasokan gula
pasir nasional diproduksi oleh pabrik-pabrik di Jawa Timur. Pola perdagangan di Pulau Timor
masih terkonsentrasi di Kota Kupang dengan pola perdagangan lebih kurang sama dengan pola
perdagangan beras. Adapun pola perdagangan di Pulau Flores lebih tersebar dengan masing-
masing daerah langsung mengambil pasokan gula pasir dari pedagang besar di Surabaya
dengan beberapa diantaranya memanfaatkan fasilitas tol laut yang melewati daerah mereka.
Pemain besar hanya terdapat di Ende yang juga melakukan distribusi di Ende dan daerah
sekitarnya, namun sebagian besar pasokan tetap didatangkan dari Surabaya.
Konsumsi komoditas cabai merah sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena hasil
produksi juga relatif rendah, menjadikan provinsi NTT sebagai daerah yang mengalami defisit
pasokan cabai. Berdasarkan hasil penelitian, Kota Kupang masih menjadi hub utama distribusi
cabai merah di daratan Timor, walaupun terbatas di Kabupaten TTU, Belu, Alor dan Sabu
Raijua. Suplai komoditas cabai merah paling banyak diperoleh dari Provinsi NTT sendiri seperti
Kabupaten Belu dan Kupang, disusul oleh suplai dari Surabaya dan Makasar. Kabupaten
Kupang bahkan juga memasok ke daerah lain seperti Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 80
dan Timor Tengah Selatan. Adapun struktur pasar pada komoditas ini masih cenderung
oligopoli lemah, dengan beberapa pedagang besar yang tidak mengendalikan harga.
Gambar Boks 6.3. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Cabai Merah
Kondisi perdagangan antar wilayah yang berbeda ditunjukkan oleh peta distribusi di
Pulau Flores. Daerah Sikka yang seharusnya surplus, ternyata mendapatkan pasokan cabai
merah dari Makasar, Ende, Sikka sendiri dan Kabupaten Ngada, baru didistribusikan di
Kabupaten Sikka dan Lembata. Kabupaten Ende yang seharusnya defisit cukup besar ternyata
justru dapat memproduksi cabai merah dan mendistribusikannya ke Kabupaten Sikka. Adapun
pasokan komoditas selain dari Kabupaten Ende sendiri, juga mendapat pasokan dari Kabupaten
Nagekeo. Pasokan cabai merah di Kabupaten Flores Timur terutama berasal dari Kabupaten
Ende, selain juga mendapatkan pasokan dari Kabupaten Kupang atau Makasar terlebih ketika
harga mengalami kenaikan. Temuan penelitian yang cukup menarik adalah mulai adanya
interaksi perdagangan antara Flores bagian barat dan Flores bagian timur seiring dengan
adanya kegiatan perdagangan dengan Kabupaten Ngada.
Pola perdagangan antar wilayah komoditas bawang merah justru menunjukkan luasnya
rantai distribusi komoditas ini. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa 65% pasokan
bawang merah dapat diperoleh dari NTT sendiri antara lain Pulau Semau di Kabupaten Kupang,
Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua dan Kabupaten Manggarai Timur. Selebihnya, pasokan
diperoleh dari Kabupaten Bima, NTB dan Brebes, Jawa Tengah. Sebagian kecil pasokan juga
diperoleh dari Makasar, terutama hanya di Kabupaten Sikka dan ketika terjadi kelangkaan
pasokan.
Boks 6 | Potensi Ancaman Inflasi Daging Ayam Ras di NTT 81
Gambar Boks 6.4. Pola Perdagangan Antar Wilayah Komoditas Bawang Merah
Pola perdagangan antar wilayah di Pulau Timor menunjukkan pola yang terkonsentrasi
di Kota Kupang. Pasokan dari daerah penghasil utama seperti Kabupaten Rote Ndao, dan Pulau
Semau, ditambah dengan pasokan dari Brebes, Jawa Tengah dan sebagian kecil dari Surabaya
dikumpulkan terlebih dahulu di Kota Kupang untuk kemudian kembali didistribusikan ke 11
kabupaten/kota baik di Provinsi NTT maupun di luar NTT. Bawang Merah dari Pulau Rote selain
didistribusikan ke Kota Kupang, juga langsung didistribusikan ke Kabupaten Flores Timur, Alor
dan Timor Tengah Selatan.
Berbeda dengan pola perdagangan di Pulau Timor, perdagangan antar wilayah di Pulau
Flores juga relatif terdistribusi walaupun konsentrasi perdagangan utama masih terjadi di
Kabupaten Sikka. Suplai utama bawang merah di Pulau Flores dari luar NTT didapatkan dari
Kabupaten Bima, NTB yang disebabkan oleh kedekatan personal para pedagang besar yang
sebagian besar berasal dari daerah tersebut. Luasnya distribusi juga terlihat dari rantai pasokan
yang juga berasal dari Flores bagian barat dan Kabupaten Sabu Raijua. Penjualan di Kabupaten
Sikka juga mencapai daerah Ambon walaupun dalam nilai yang tidak terlalu besar.
Harga beli dan harga jual akan cenderung rendah pada daerah yang menjadi pusat
distribusi per masing-masing komoditas. Tidak ditemukan pula adanya keterkaitan harga yang
membentuk suatu klaster antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Adapun biaya
pengiriman di NTT relatif besar, dengan jarak pengangkutan, moda transportasi, dan tonase
angkutan menjadi variabel utama yang mempengaruhi besarnya biaya pengiriman. Sebagian
besar pengusaha memiliki fasilitas pergudangan, namun daya simpan komoditas tidak terlalu
besar. Pembentukan harga jual sangat dipengaruhi oleh harga pembelian dan besarnya biaya
transportasi yang timbul. Selain itu, gangguan cuaca dan keterbatasan moda transportasi masih
menjadi faktor penghambat utama dalam distribusi barang di Provinsi NTT yang berpotensi
menyebabkan fluktuasi harga yang cukup besar. Oleh karena itu, untuk menjaga pasokan,
pertama-tama diharapkan untuk dapat dilakukan peningkatan produksi komoditas. Adanya
rencana pembangunan pabrik gula di Sumba Timur perlu dukungan ekstra pemerintah agar
neraca konsumsi tidak selalu negatif. Adanya hasil penelitian ini, sekiranya dapat dijadikan alat
bagi pemangku kebijakan dalam menjaga pasokan komoditas penyumbang inflasi ke depan,
agar harga dan pasokan barang dapat senantiasa terjaga.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 83
STABILITAS KEUANGAN DAERAH Walaupun terjadi perlambatan pada kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM,
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih cukup terjaga.
Kredit sektor rumah tangga secara agregat tumbuh sebesar 6,80% (yoy) dengan rasio
NPL terjaga sebesar 1,15%.
Walau melambat, kredit UMKM masih dapat tumbuh sebesar 16,71% (yoy) dengan
rasio NPL masih relatif terjaga sebesar 2,97%.
Meskipun porsi kredit korporasi relatif kecil, perbankan perlu lebih mencermati
peningkatan risiko kredit bermasalah dengan adanya peningkatan rasio NPL dari
triwulan sebelumnya menjadi di atas 5% yaitu sebesar 8,04%.
Industri perbankan masih menunjukkan kinerja yang cukup positif dengan aset
meningkat 4,04% (yoy), sementara kredit tumbuh sedikit melambat sebesar 12,59%
(yoy) dan penghimpunan dana mengalami kontraksi -0,06% (yoy) terutama karena
penarikan dana oleh pemerintah.
4.1 Kondisi Umum
Walaupun terjadi perlambatan pada kinerja kredit di sektor konsumsi dan UMKM,
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Provinsi NTT pada triwulan laporan masih cukup terjaga.
Sampai dengan triwulan laporan, adanya relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV)
atau Financing To Value (FTV) pada bulan Agustus 2016 belum cukup mampu
mendorong fungsi intermediasi perbankan NTT terutama di sektor properti, meskipun
terdapat sedikit peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Rumah tangga tetap
optimis terhadap kondisi ekonomi ke depan sehingga terdapat prospek peningkatan
kinerja kredit konsumsi pada periode selanjutnya.
Perlambatan kinerja kredit UMKM disebabkan terutama oleh melambatnya
pertumbuhan sektor perdagangan besar dan eceran yang memegang porsi dominan
kredit UMKM di Provinsi NTT. Sementara kredit sektor pertanian dan penyediaan
akomodasi masih mampu tumbuh di tengah perlambatan sektor-sektor lain. Tekanan
risiko kredit UMKM cukup rendah melihat rasio NPL yang membaik di tengah
perlambatan. Perbankan perlu lebih mencermati tekanan risiko kredit pada sektor
korporasi sebagaimana tercermin dari rasio NPL yang meningkat.
Kinerja industri perbankan di Provinsi NTT secara umum masih cukup positif. Posisi
aset terpantau meningkat pada triwulan laporan, sementara penyaluran kredit cukup
kondusif. Hal yang perlu dicermati yaitu posisi rasio LDR yang menunjukkan tren
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 84
meningkat seiring dengan penghimpunan dana dari masyarakat yang masih melambat.
Selain itu kinerja intermediasi Bank Perkreditan Rakyat juga masih cukup terjaga dengan
rasio permodalan CAR (Capital Adequacy Ratio) yang cukup kuat.
4.2 Asesmen Ketahanan Rumah Tangga
4.2.1 Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah Tangga
Rumah tangga memiliki dua fungsi dalam sistem keuangan, yakni sebagai
penyedia dana dan sebagai penerima dana. Jika rumah tangga menempatkan kelebihan
dana kepada institusi keuangan atau instrumen keuangan yang kemudian digunakan
sebagai sumber dana pelaku ekonomi lainnya, maka disebut sebagai penyedia dana.
Sedangkan apabila rumah tangga meminjam dana dari institusi keuangan yang dananya
berasal dari pelaku ekonomi yang mengalami surplus, maka disebut sebagai penerima
dana. Oleh karena itu, semakin besar peran rumah tangga dalam aktivitas ekonomi dan
keuangan suatu daerah maka semakin penting peran ketahanan sektor rumah tangga
dalam menjaga stabilitas keuangan daerah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan rumah tangga di antaranya tingkat pendapatan, tingkat konsumsi, lapangan
kerja dan stabilitas harga.
Konsumsi sektor Rumah Tangga (RT) sebagai kontributor utama dalam PDRB
mengalami pertumbuhan sebesar 7,27% (yoy) di triwulan laporan atau meningkat cukup
signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 4,77% (yoy), sehingga
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang tercatat 5,18% (yoy)
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,03% (yoy). Sementara apabila dibandingkan
triwulan sebelumnya, konsumsi RT tumbuh melambat yakni sebesar 3,94% (qtq)
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,37% (qtq).
Grafik 4.1. Kontribusi Konsumsi RT Terhadap
Konsumsi Agregat Grafik 4.2. IKK, IKE, dan IEK
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 85
Perlambatan konsumsi RT triwulanan pada akhir tahun juga tercermin dari Indeks
Keyakinan Konsumen (IKK), yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap
kondisi perekonomian, serta pengeluaran membeli barang tahan lama yang mengalami
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. IKK juga menurun bila dibandingkan
tahun lalu, didukung ekspektasi konsumen dengan kondisi ekonomi enam bulan ke
depan yang juga menurun. Namun demikian, tingkat keyakinan konsumen masih terjaga
di level optimis. Grafik 4.2 juga menunjukkan kecenderungan pergeseran puncak
keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi dari tahun ke tahun, dengan tahun 2016
puncaknya telah terjadi pada Triwulan III dari sebelumnya Triwulan IV tahun 2015 dan
seterusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen memiliki ekspektasi bahwa dalam
setiap triwulan terdapat peningkatan kondisi ekonomi.
Selain itu, berdasarkan hasil Survei Konsumen bulan Desember 2016 didapatkan
informasi bahwa pertumbuhan konsumsi secara tahunan menunjukkan adanya
peningkatan, di antaranya disebabkan oleh peningkatan indeks pengeluaran rumah
tangga untuk makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan biaya sandang.
Peningkatan tersebut salah satunya karena adanya perayaan Hari Raya Natal dan Tahun
Baru 2017 yang didukung meningkatnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, kepercayaan
masyarakat terhadap jasa perbankan pada triwulan laporan sedikit menurun yang
tercermin dari peningkatan nilai indeks dari 1,56 di triwulan III 2016 menjadi 1,60 yang
berarti masyarakat masih meyakini tingkat keamanan dananya di perbankan, terutama
karena jumlah simpanan yang masih dalam batas penjaminan pemerintah. .
Grafik 4.3. Indeks Pengeluaran
Berdasarkan Kelompok Komoditas
Grafik 4.4. Indeks Sikap Masyarakat Terhadap
Kasus Kejahatan Perbankan
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Indeks lain yang menggambarkan tingkat ketahanan keuangan sektor rumah
tangga juga menunjukkan kondisi yang relatif stabil meskipun sedikit mengalami
penurunan ketahanan. Pada triwulan ini, ada sedikit kenaikan keterlambatan
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 86
pembayaran cicilan yang lebih disebabkan oleh kelalaian konsumen. Namun demikian,
secara umum masih relatif lancar yang ditunjukkan oleh nilai indeks sebesar 1,78,
walaupun lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan triwulan sebelumnya yang masing-
masing sebesar 1,30 dan 1,74. Indeks kepemilikan dana cadangan rumah tangga untuk
kebutuhan tak terduga pada triwulan laporan turun menjadi 1,21 dari triwulan III 2016
yakni 1,24, menunjukkan bahwa mayoritas (hampir 80%) rumah tangga masih memiliki
dana cadangan sampai dengan 1 bulan pendapatan namun terdapat kecenderungan
penurunan penyimpanan dana yang dapat berpotensi mengganggu pembayaran cicilan.
Penurunan simpanan kemungkinan besar disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi
menjelang hari raya dan tahun sebagaimana ditunjukkan oleh kenaikan indeks
pengeluaran konsumen.
4.2.2 Eksposur Rumah Tangga di Perbankan
Sektor rumah tangga masih mendominasi penghimpunan Dana Pihak Ketiga di
bank umum dengan porsi sebesar 72,63% (Rp 15,71 triliun) dari seluruh DPK terhimpun
di NTT, atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 62,08% dan
lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2015 sebesar 67,95%. Sebagian
besar simpanan dana rumah tangga dalam bentuk tabungan (73,12%), diikuti deposito
(22,34%) dan sebagian kecil giro (4,54%). Porsi tabungan rumah tangga mencapai
89,63% dari dana terhimpun, sementara deposito tercatat 71,29%, sehingga peran
rumah tangga sebagai penyedia dana di perbankan NTT cukup tinggi.
Grafik 4.5. Pangsa DPK Rumah Tangga dan
Non Rumah Tangga
Grafik 4.6. Pertumbuhan DPK
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Pada triwulan IV 2016, penghimpunan DPK rumah tangga kembali mengalami
perlambatan. DPK tumbuh sebesar 6,61% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 15,05% (yoy). Perlambatan pertumbuhan DPK rumah tangga
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 87
berkontribusi terhadap penurunan DPK bank umum di Provinsi NTT sebesar 0,24% (yoy)
dibandingkan triwulan III 2016 yang tumbuh 0,26% (yoy). Hal tersebut dikonfirmasi pula
oleh indeks simpanan rumah tangga yang menurun menjadi 1,21 dibandingkan triwulan
III 2016 yakni 1,24.
Grafik 4.7. Preferensi DPK Rumah Tangga Grafik 4.8. Pertumbuhan DPK Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlambatan DPK rumah tangga terjadi pada seluruh jenis simpanan, yaitu
tabungan, giro dan deposito. Tak berbeda jauh dengan giro pemerintah daerah yang
mengalami penurunan karena realisasi anggaran di akhir tahun, giro rumah tangga juga
mengalami penurunan cukup dalam dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Giro mengalami kontraksi menjadi -12,35% (yoy) dari 11,69% (yoy) di
triwulan III 2016 karena adanya perbaikan daya beli masyarakat sehingga konsumsi untuk
perayaan Natal dan Tahun Baru menjadi meningkat. Sementara tabungan melambat
menjadi 7,68% (yoy) dari 15,63% (yoy) serta deposito menjadi 7,85% (yoy) dari 14,09%
(yoy). Kecenderungan rumah tangga tiap tahun masih sama yaitu menjelang akhir tahun
lebih meningkatkan simpanan dalam bentuk tabungan dan giro yang lebih mudah
dicairkan untuk mencukupi kebutuhan dana akhir tahun dengan mengurangi atau
mencairkan simpanan deposito.Sementara itu, pada triwulan laporan penyaluran kredit
ke rumah tangga mencapai Rp 8,62 triliun atau 37,75% dari total kredit yang disalurkan
ke NTT. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 6,98 triliun atau 80,91% disalurkan dalam
bentuk kredit multiguna, sementara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar Rp 1,31 triliun
(15,19%) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sebesar Rp 324 miliar (3,76%).
Kredit rumah tangga pada triwulan laporan secara agregat mengalami
pertumbuhan yakni sebesar 6,80% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya 5,92%
(yoy). Pertumbuhan terutama didorong oleh Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang
meningkat dari sebelumnya 3,14% (yoy) menjadi 28,57% (yoy) dan Kredit Perlengkapan
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 88
dan Peralatan Rumah Tangga dari sebelumnya 34,93% (yoy) menjadi 53,63% (yoy).
Kredit Multiguna masih menunjukkan perlambatan namun relatif lebih stabil dari 6,97%
(yoy) menjadi 5,95% (yoy).
Grafik 4.9. Kredit Konsumsi Rumah Tangga Grafik 4.10. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Meskipun kredit sektor properti menunjukkan perbaikan kinerja pada triwulan
laporan dengan tumbuh sebesar 6,26% (yoy) dibandingkan tahun lalu sebesar 5,34%
(yoy), namun relaksasi ketentuan rasio Loan To Value (LTV) atau Financing To Value (FTV)
pada Agustus 2016 masih belum mampu mendorong fungsi intermediasi perbankan NTT.
Hal ini terkonfirmasi pula dari hasil survei konsumen dalam indeks pengeluaran membeli
barang tahan lama yang sedikit menurun dibanding triwulan sebelumnya. Selain itu,
implementasi paket kebijakan ekonomi pemerintah dalam percepatan izin pembangunan
perumahan, program sejuta rumah serta insentif pembangunan rumah sederhana masih
perlu terus digencarkan untuk lebih mendorong kredit rumah tangga.
Risiko gagal bayar KKB, KPR dan kredit multiguna masih terjaga dengan rasio NPL
berkisar antara 0,68%-1,5%. Secara agregat NPL kredit pada sektor rumah tangga juga
masih rendah sebesar 1,15% atau membaik dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar
1,35%. Dengan masih rentannya perekonomian domestik saat ini, maka NPL masih tetap
perlu dicermati terutama bagi perbankan agar dalam mendorong pertumbuhan
penyaluran kredit tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
Secara spasial, kredit rumah tangga mayoritas disalurkan di Kota Kupang, dengan
pertumbuhan terbesar di Kab. Sabu Raijua, Kab. Nagekeo dan Kab. Manggarai Barat.
Kredit yang disalurkan di Kota Kupang sebesar Rp 2,44 triliun atau 28,27% dari total
Provinsi NTT dengan pertumbuhan 11,46% (yoy) pada triwulan IV 2016. Pertumbuhan
kredit di Kab. Sabu Raijua meningkat signifikan sebesar 93,87% (yoy), sementara Kab.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 89
Nagekeo sebesar 46,24% (yoy) dan Kab. Manggarai Barat sebesar 24,02% (yoy). Hal ini
mengindikasikan peningkatan akses kredit pada tiga wilayah tersebut.
Tabel 4.1 Komposisi Kredit Rumah Tangga di Provinsi NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3 Perkembangan Akses Keuangan Dan UMKM
4.3.1 Kondisi Saat Ini dan Prospek Usaha
Kredit yang disalurkan untuk UMKM di Provinsi NTT terus meningkat meskipun
tumbuh melambat, dengan kualitas yang terjaga cukup baik. Pada triwulan IV 2016
kredit UMKM mencapai Rp 7,36 triliun. Hal ini didukung oleh dunia usaha yang menilai
kondisi ekonomi saat ini masih cukup kondusif, ditunjukkan dengan masih meningkatnya
kegiatan usaha yang didorong oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan SBT
sebesar 6,18% dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 4,89%.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 90
Grafik 4.11. Perkembangan Dunia Usaha Grafik 4.12. Kondisi Keuangan
Sumber: Bank Indonesia, 2016
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kondisi usaha yang kondusif pada triwulan laporan juga didukung kondisi
keuangan yang masih terjaga cukup baik. SBT kondisi keuangan meskipun sedikit
menurun menjadi 39,28% pada triwulan laporan dari sebelumnya sebesar 43,06%,
namun risiko keterlambatan pemenuhan kewajiban dunia usaha terutama kepada
perbankan relatif kecil karena NPL tetap terjaga di bawah 5% bahkan membaik menjadi
2,97% dari sebelumnya 3,27%.
4.3.2 Perkembangan Penyaluran Kredit UMKM
Kredit UMKM kembali melambat meskipun masih tumbuh 2 digit dibandingkan
triwulan III 2016 yakni menjadi sebesar 16,71% (yoy) dari sebelumnya 18,21% (yoy).
Pertumbuhan tersebut juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015
yang tercatat sebesar 18,24% (yoy). Perlambatan kredit UMKM diikuti perbaikan rasio
NPL triwulan berjalan yang berada di angka 2,97% dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 3,27%. Hal ini menunjukkan perbankan cukup berhati-hati dalam menyalurkan
kreditnya. Tercatat penyaluran kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada
triwulan laporan sebesar Rp 7,36 triliun atau mencapai 32,13% dari total penyaluran
kredit perbankan di NTT. Pertumbuhan kredit UMKM yang tetap berada di kisaran 2 digit
mengindikasikan pergerakan sektor riil yang terus konsisten di Provinsi NTT dengan
dukungan dari perbankan yang juga tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam
penyaluran dananya.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 91
Grafik 4.13. Pertumbuhan Kredit UMKM Grafik 4.14. NPL UMKM
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Perlambatan kredit terutama disumbang oleh perlambatan Kredit Modal Kerja
(KMK) dan Kredit Investasi (KI). KMK mencatatkan pertumbuhan sebesar 17,73%,
melambat dibandingkan triwulan III 2016 yang sebesar 17,89%. Sementara KI
mencatatkan pertumbuhan sebesar 12,02%, melambat dibandingkan triwulan III 2016
yang sebesar 19,77%. Selain itu berdasarkan jenis usaha, kredit menengah mengalami
perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya dan periode yang sama di tahun
sebelumnya. Pertumbuhan kredit ditopang oleh kenaikan pertumbuhan kredit usaha
mikro dan kecil yang tumbuh masing-masing sebesar 27,57% (yoy) dan 16,74% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 14,55% (yoy) dan 6,86% (yoy).
Grafik 4.15. Pertumbuhan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Berdasarkan sektor ekonomi, perlambatan pertumbuhan kredit UMKM terjadi
terutama di sektor perdagangan besar dan eceran (pangsa 70,65%) dari total kredit
UMKM) yang melambat di triwulan laporan menjadi 16,62% (yoy) dari triwulan
sebelumnya 20,08% (yoy). Beberapa sektor yang meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya antara lain sektor pertanian dan penyediaan akomodasi. Adapun sektor lain
yang mengalami perlambatan antara lain sektor konstruksi, transportasi dan real estate.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 92
Grafik 4.16. Pertumbuhan Kredit UMKM 7 Sektor Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
4.3.3 Perkembangan Risiko Kredit UMKM
Pada triwulan laporan, rasio NPL gross sedikit membaik menjadi 2,97% dari
3,27% pada triwulan sebelumnya. Perbaikan rasio NPL disebabkan menurunnya kredit
bermasalah pada kredit mikro dan kecil menjadi masing-masing 1,39% dan 2,01% dari
triwulan sebelumnya sebesar 1,58% dan 2,64%, sementara NPL kredit menengah sedikit
meningkat menjadi 5,61% dari 5,57% pada triwulan sebelumnya.
Dibandingkan triwulan sebelumnya, sektor yang mengalami peningkatan NPL
terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih yang naik menjadi 31,38% dari
sebelumnya 23,44%. Sementara sektor lain yang memiliki NPL tinggi yaitu sektor
konstruksi (9,94%). Kredit bermasalah sektor listrik, gas dan air hampir seluruhnya
disumbangkan oleh subsektor ketenagalistrikan lainnya yang mencatatkan rasio sebesar
46,43% di triwulan laporan, atau meningkat dari triwulan sebelumnya 31,18%.
Sementara dari sektor konstruksi, kredit bermasalah disumbang terutama oleh subsektor
bangunan jalan raya (pangsa 25,37% terhadap total kredit konstruksi) dengan rasio NPL
sebesar 15,55%, atau meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 12,05%.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 93
Grafik 4.17. NPL UMKM Berdasarkan Jenis Usaha Grafik 4.18. NPL UMKM 3 Sektor
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Secara umum risiko kredit UMKM masih cukup terjaga. Meskipun demikian
perbankan perlu lebih cermat dan selektif dalam menyalurkan kredit terutama pada
sektor-sektor penyumbang rasio NPL di atas 5%.
4.4 Asesmen Ketahanan Korporasi
4.4.1 Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Badan usaha/korporasi secara umum berfungsi sebagai penerima dana, yang
selanjutnya menggunakan dana pinjaman dari institusi keuangan atau pemilik modal
untuk kegiatan produksi. Semakin besar aktivitas badan usaha dalam aktivitas ekonomi
suatu daerah, maka perlu dilakukan pemantauan kondisi ketahanan badan usaha di
daerah tersebut dalam rangka menjaga stabilitas keuangan daerah. Kategori badan
usaha dengan porsi kredit terbesar di Provinsi NTT yaitu perdagangan, konstruksi dan
penyediaan akomodasi.
Kredit korporasi menyumbang sebesar 6,49% dari total penyaluran kredit di
Provinsi NTT. Kredit korporasi pada triwulan laporan tumbuh sebesar 0,08% dari triwulan
III 2016 sebesar -3,24%. Pertumbuhan kredit korporasi disumbangkan oleh kredit modal
kerja yang tumbuh sebesar 13,30% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar
6,93% (yoy). Meskipun demikian, pertumbuhan penyaluran kredit modal kerja disertai
dengan peningkatan risiko kredit, ditunjukkan dengan rasio NPL yang meningkat di
triwulan berjalan menjadi 10,47% dari triwulan sebelumnya 5,48% sehingga rasio NPL
kredit korporasi juga turut meningkat menjadi 8,04% dari triwulan sebelumnya 4,28%.
Hal ini perlu menjadi perhatian perbankan agar lebih mencermati profil debitur dan
model bisnis debitur selain mengejar pencapaian pertumbuhan kredit kepada korporasi.
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 94
Grafik 4.19. Pertumbuhan Tahunan Kredit Korporasi Grafik 4.20. NPL Kredit Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan kepada sektor korporasi pada triwulan laporan secara umum
meningkat pada hampir seluruh sektor. Peningkatan disumbangkan terutama oleh
sektor-sektor antara lain konstruksi sebesar 78,92% (yoy) dan perdagangan sebesar
10,06% (yoy) dengan pangsa kredit masih didominasi oleh sektor perdagangan sebesar
46,40%, diikuti konstruksi 16,89% dan sektor penyediaan akomodasi 13,32%.
Peningkatan oleh sektor-sektor tersebut terutama berkaitan dengan realisasi
pembangunan pada akhir tahun oleh kontraktor serta libur panjang Natal dan tahun baru
yang mendorong kegiatan konsumsi masyarakat.
Grafik 4.21. NPL Kredit 4 Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Potensi risiko gagal bayar sektor korporasi yang perlu dicermati antara lain di
sektor konstruksi, perdagangan, pertambangan dan real estate. Di sektor konstruksi, NPL
terbesar disumbang oleh subsektor konstruksi bangunan elektrikal dan komunikasi
lainnya yang menyumbang 62,19% dari keseluruhan posisi NPL. Di samping itu, sektor
perdagangan disumbang terutama oleh subsektor perdagangan dalam negeri semen
sebesar 70,06% dari total posisi NPL. Sementara tingginya NPL di sektor pertambangan
terkonsentrasi sepenuhnya di Kabupaten Kupang kemungkinan terkait aktivitas
pertambangan galian C yang sampai saat ini masih bermasalah terkait izin dari
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 95
pemerintah setempat dan masyarakat. NPL di sektor real estate, usaha persewaan dan
jasa perusahaan sebesar 10,23% didominasi oleh perusahaan swasta di subsektor jasa
perusahaan.
4.5 Asesmen Perbankan
4.5.1 Kinerja Bank Umum
Tabel 4.2 Perkembangan Indikator Utama Bank Umum di NTT
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Total aset industri perbankan di Provinsi NTT pada akhir triwulan laporan tercatat
sebesar Rp 29,76 triliun (pangsa 0,36% terhadap nasional), mengalami peningkatan
pertumbuhan dibandingkan triwulan III 2016 yaitu dari -7,40% (yoy) menjadi 4,04%
(yoy). Peningkatan aset dialami baik oleh bank pemerintah maupun bank swasta yang
masing-masing meningkat sebesar 3,80% (yoy) dan 5,66% (yoy).
Grafik 4.22. Pertumbuhan DPK (yoy) dan Kredit (yoy) Grafik 4.23. Perkembangan LDR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Kredit perbankan tumbuh melambat dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya, sementara penghimpunan dana dari masyarakat masih menurun sehingga
rasio LDR di triwulan laporan kembali meningkat menjadi 106,39% dari triwulan
sebelumnya 99,90%. Pertumbuhan kredit melambat menjadi 12,59% (yoy) dari triwulan
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 96
sebelumnya 13,37% (yoy). Pertumbuhan DPK pada triwulan laporan tercatat kontraksi
sebesar -0,06% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 0,29% (yoy).
Berdasarkan jenis simpanan, hanya tabungan yang masih mampu untuk tumbuh
meskipun melambat menjadi 7,43% dari triwulan IV 2015 sebesar 15,79%. Sementara
giro dan deposito seluruhnya turun signifikan masing-masing menjadi -14,85% dan -
4,81% dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 20,31% dan 16,84%. Penurunan giro
agregat terutama disebabkan turunnya giro pemerintah daerah sebesar -66,15% (yoy).
Grafik 4.24. BOPO dan ROA Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Dari sisi kredit, tercatat kredit investasi dan konsumsi mengalami perlambatan
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara kredit modal kerja
mampu tumbuh tipis. Perlambatan kredit secara agregat pada triwulan laporan
menyebabkan efisiensi bank umum secara industri mengalami cukup tekanan
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni BOPO meningkat dari
66,56% menjadi 68,95% karena peningkatan beban operasional (12,04% yoy) lebih
besar dibandingan peningkatan pendapatan operasional (8,15% yoy). Hal tersebut
menurunkan rentabilitas perbankan yang tercermin dari rasio ROA yang menurun
menjadi 4,17% dari triwulan IV 2015 sebesar 4,31%.
4.5.2 Kinerja Bank Perkreditan Rakyat
Pada triwulan IV 2016, BPR di Provinsi NTT mengalami peningkatan kinerja.
Permodalan menguat ditunjukkan dengan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) yang
meningkat menjadi 29,92% dari triwulan sebelumnya 29,47%, sementara operasional
sedikit lebih efisien ditunjukkan dengan rasio BOPO yang turun menjadi 81,18% dari
sebelumnya 82,00%. Kemampuan BPR menghasilkan laba relatif stabil dan sedikit
meningkat pada triwulan laporan menjadi 2,60% dari triwulan sebelumnya 2,59%. Hal
tersebut juga didukung dengan rasio NPL yang membaik menjadi 5,82% dari sebelumnya
| Bab IV Stabilitas Keuangan Daerah 97
6,56%. Namun demikian, tren rasio NPL yang relatif konsisten di angka 5% dengan
kecenderungan meningkat patut menjadi perhatian oleh BPR terutama dalam rencana
penyaluran kreditnya. Selain itu, penurunan LDR menunjukkan intermediasi BPR menurun
disebabkan penyaluran kredit yang melambat sementara penghimpunan dana relatif stabil
di triwulan IV 2016. Penghimpunan dana BPR yang relatif stabil di triwulan laporan
didukung dengan peningkatan kemampuan BPR membayar kembali simpanan nasabah,
ditunjukkan Cash Ratio (CR) yang naik menjadi 18,86% dari triwulan sebelumnya 15,90%.
Grafik 4.25. LDR dan CAR BPR Grafik 4.26. BOPO, ROA, NPL BPR
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT 98
Boks 7. Penyusunan Regional Financial Accounts Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kegiatan perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini telah berkembang sangat
pesat dan kompleks. Kompleksitas sistem perekonomian dan keuangan menuntut pemahaman
yang cukup atas interaksi dan keterkaitan di antara unit/ sektor dalam perekonomian yang
memiliki beragam fungsi, motivasi, jenis aktivitas, serta karakteristik dan perilaku. Di sisi lain,
indikator makro ekonomi utama untuk mengetahui kegiatan perekonomian yang ada saat ini
hanyalah PDRB yang lebih menitikberatkan pada aktivitas menghasilkan pendapatan atau
pengeluaran yang dilakukan oleh suatu wilayah dalam satu tahun, tetapi tidak menyentuh
bagaimana proses pemenuhan aktivitas tersebut. Indikator yang menerangkan tentang
bagaimana harta dan kepemilikan modal digunakan untuk memenuhi aktivitas ekonomi tersebut
hingga saat ini belum ada. Bahkan indikator yang menerangkan tentang bagaimana
menempatkan penambahan/pengurangan aset, modal ataupun peningkatan pinjaman karena
pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan juga belum ada hingga sekarang, sehingga Bank
Indonesia berinisiatif untuk membuat suatu indikator yang bisa digunakan untuk menerangkan
posisi aset suatu perekonomian, aktivitas ekonomi yang dilakukan, sumber pembiayaan, hingga
proses netting/ penyesuaian nilai aset, modal dan hutang yang dimiliki oleh suatu perekonomian.
Dengan adanya indikator yang mampu mengukur perpindahan uang tersebut, maka adanya
potensi kerentanan sektor riil dan keuangan, hingga potensi kerentanan yang menimbulkan efek
menular terhadap entitas ekonomi yang lain dapat diketahui.
Adapun indikator tersebut antara lain adalah penyusunan statistic National dan Regional
Financial accounts and Balance Sheet (FABS). Melalui statistik FABS diharapkan dapat diketahui
keterkaitan, ketidak-seimbangan keuangan dan potensi terjadinya krisis maupun jalur efek
menular yang menimbulkan risiko sistemik sehingga tindakan dan kebijakan yang lebih bersifat
preventif dapat segera dilakukan.
Penyusunan FABS, khususnya National FABS, mengacu pada Standar Internasional yakni
System of National Account (SNA) 2008 yang berisi tentang pedoman pencatatan aktivitas
ekonomi bedasarkan prinsip ekonomi dan akuntansi. Dalam pedoman tersebut, aktivitas ekonomi
dan keuangan suatu negara/ daerah yang terintegrasi digambarkan melalui akun ekonomi yang
terintegrasi /Integrated Economic Account.
Dalam buku Konsep dan Metodologi Penyusunan Financial account and Balance Sheet
oleh Departemen Statistik Bank Indonesia (terbit tahun 2015), dijelaskan bahwa akun ekonomi
yang terintegrasi (Integrated Economic Account) menyajikan data posisi dan arus (flows) uang
yang menggambarkan keterkaitan antar unit institusi dalam perekonomian baik domestik
maupun internasional, antar sektor finansial dan non finansial guna mengetahui konsistensi
kegiatan antar berbagai sektor. Lebih lanjut, akun ekonomi yang terintegrasi tersebut dapat
menjadi alat dalam menganalisis hubungan antara sektor riil (aktivitas produksi, konsumsi, dan
investasi) dan sektor finansial (arus dana dan pembiayaan antar institusi.
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT 99
Gambar Boks 7.1. Kerangka Integrated Economic Accounts
Sumber: Paparan Departemen Statistik, Overview of Integrated Economic Accounts
Cakupan akun ekonomi yang terintegrasi /Integrated Economic Account:
- Current Account: neraca berjalan yang mencatat produksi barang dan jasa,
pendapatan yang tercipta dari aktivitas produksi, distribusi dan redistribusi pendapatan
di antara unit institusi, serta penggunaan pendapatan untuk tujuan konsumsi atau
tabungan. Berada di dalamnya meliputi akun produksi berupa PDB dan akun distribusi
dan penggunaan pendapatan.
- Accumulation Account: mencatat perubahan aliran aset dan kewajiban yang
memengaruhi posisi neraca yang terdiri atas akun modal (capital account), akun
keuangan (financial account), perubahan aset lainnya (other changes in asset), dan
akun penyesuaian nilai kekayaan (revaluation account).
- Balance Sheet: posisi neraca non keuangan, neraca keuangan, dan hutang, serta selisih
antara aset dan hutang/kewajiban.
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT 100
Gambar Boks 7.2. Konsep Penyusunan FABS
Sumber: Paparan Departemen Statistik, Financial accounts And Balance Sheet
Secara terpisah, konsep akun keuangan regional/ Regional Financial account (RFA)
mencatat transaksi aset dan kewajiban finansial antar sektor yang menunjukkan aliran keuangan
antar sektor institusi. RFA disajikan dalam dua sisi yakni: perubahan aset dan kewajiban dan
perubahan aset dan kewajiban bersih, dengan penyajian sebagai berikut:
Tabel Boks 7.1. Regional Financial accounts
Untuk mengetahui aliran perpindahan aset dan kewajiban antar sektor ekonomi, maka
dilakukan perhitungan dengan template sebagai berikut :
Korporasi
Nonfinansial
(NFC)
Bank
(ODC)
IKNB
(OFC)
Pemda
(LG)
Rumah
Tangga
(HH)
Total
Domestik
Luar
Negeri
(ROW)
Financial Asset XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
Monetary and gold SDRs X X X X X X X
Currency and deposits X X X X X X X
Debt Securities X X X X X X X
Loans X X X X X X X
Equity X X X X X X X
Insurance and pension X X X X X X X
Financial derivatives X X X X X X X
Other accounts receivable X X X X X X X
Financial Liabilities XXX XXX XXX XXX XXX XXX XXX
Monetary and gold SDRs X X X X X X X
Currency and deposits X X X X X X X
Debt Securities X X X X X X X
Loans X X X X X X X
Equity X X X X X X X
Insurance and pension X X X X X X X
Financial derivatives X X X X X X X
Other accounts Payable X X X X X X X
Net Assets, atau
Net Liabilities
Financial Aset > Financial Liabilities
Financial Aset < Financial Liabilities
PROVINSI NTT
Instrumen
Luar NTT
Boks 7 | Penyusunan RFA Provinsi NTT 101
Tabel Boks 7.2. Aliran Perpindahan Aset dan Kewajiban Antar Pelaku Ekonomi
Berdasarkan hasil penyusunan RFA Provinsi NTT untuk tahun 2015, diperoleh gambaran
sebagai berikut:
- Secara agregat di akhir tahun 2015, provinsi NTT mengalami net hutang (net
liabilities) sebesar Rp.2,19 triliun atau sedikit meningkat dibandingkan tahun 2014
yang tercatat sebesar Rp.2,18 triliun. Adapun pembiayaan berasal dari domestik
sebesar 53,47% dan dari luar negeri sebesar 46,53%.
- Sumbangan peningkatan hutang terbesar diperoleh dari sektor korporasi non
finansial disusul oleh sektor perbankan, dan sektor rumah tangga. Kenaikan
pinjaman yang terjadi di sektor korporasi disebabkan antara lain karena peningkatan
modal dan hutang.
- Peningkatan pinjaman bersih terjadi seiring meningkatnya pinjaman keuangan
berupa peningkatan mata uang dan simpanan atau Dana Pihak Ketiga (DPK)
sedangkan di sektor rumah tangga disebabkan oleh peningkatan kredit kepada
perbankan.
- Sementara itu, di sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB) terpantau mengalami
peningkatan aset bersih disebabkan oleh penurunan hutang dan peningkatan
jumlah kas/setara kas. Demikian pula halnya dengan sektor Pemerintah Daerah yang
mengalami net assets karena peningkatan jumlah antara lain kas/setara kas.
- Dari hasil analisis RFA, diketahui bahwa sektor yang memiliki keterkaitan paling besar
dari segi nilai adalah Rumah Tangga dan Perbankan karena perbankan memberikan
kredit kepada rumah tangga, dan sebaliknya rumah tangga menyimpan dana di
perbankan.
Data RFABS tersebut masih dalam tahap penyempurnaan karena ke depan melalui data
tersebut dapat diperoleh informasi yang lebih baik mengenai kondisi perekonomian dan sistem
keuangan. Selain itu, dengan adanya RFABS dapat menggambarkan aktivitas perekonomian
secara terintegrasi melalui identifikasi keterkaitan antara sektor riil dan sektor keuangan. Lebih
lanjut, RFABS dapat menggambarkan sinyal risiko di sektor keuangan sebagai bahan penyusunan
analisis dan kebijakan ekonomi di level regional.
TOTAL NFC ODC OFC LG HH ROI ROW
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
NFC xxx - xxx xxx xxx xxx xxx xxx
ODC xxx xxx - xxx xxx xxx xxx xxx
OFC xxx xxx xxx - xxx xxx xxx xxx
LG xxx xxx xxx xxx - xxx xxx xxx
HH xxx xxx xxx xxx xxx - xxx xxx
ROI xxx xxx xxx xxx xxx xxx - -
ROW xxx xxx xxx xxx xxx xxx - -
Closing PositionLiabilities
TOTAL
Ass
ets
NTT
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 103
Aktivitas sistem pembayaran di Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 mengalami
perlambatan.
Sistem pembayaran tunai pada triwulan IV 2016 relatif baik karena ditopang oleh
daya beli/konsumsi masyarakat NTT yang tinggi pada hari raya natal dan tahun
baru.
5.1. KONDISI UMUM
Selama tahun 2016, transaksi sistem pembayaran tunai di NTT mengalami perlambatan.
Jumlah uang yang beredar di masyarakat atau net-outflow pada tahun 2016 sebesar
Rp.1.407,97 miliar, menurun jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang mencapai
Rp.1.896,83 miliar. Sementara itu, transaksi sistem pembayaran tunai di triwulan IV
2016 juga masih relatif stabil. Hal ini didorong oleh aliran net-outflow pada triwulan IV
2016 yang mencapai Rp.1.566,87 miliar, lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2016
yang hanya sebesar Rp.394,56 miliar. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
NTT pada komponen konsumsi rumah tangga yang berkaitan dengan momen hari raya
natal dan tahun baru 2017.
Grafik 5.1 Perkembangan Inflow/Outflow di Povinsi NTT
Jumlah Uang Tidak Layak Edar (UTLE) di NTT juga tercatat melambat, tercermin dari
pertumbuhan UTLE triwulan IV 2016 yang sebesar 14,11% (yoy) dari 60,79% pada
triwulan III 2016. Secara nominal jumlah setoran UTLE pada triwulan IV 2016 sebesar
Rp.309,61 miliar, sedangkan triwulan sebelumnya sebesar Rp.459,04 miliar. Temuan
-80%
0%
80%
160%
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
Inflow (Rp. Miliar) Outflow (Rp. Miliar) yoy inflow yoy outflow
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 104
uang palsu di NTT juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, sebesar -50,94%
(yoy), dengan total jumlah uang palsu sebesar 26 lembar.
Seiring dengan perlambatan investasi pemerintah, transaksi non tunai yaitu kliring di
NTT juga mengalami perlambatan. Transaksi kliring pada triwulan IV 2016 baik secara
nominal maupun volume warkat tumbuh melambat.
Dalam upaya menjaga kelancaran transaksi pembayaran non tunai, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi NTT mendorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui
Layanan Keuangan Digital (LKD) dan elektronifikasi serta melakukan monitoring pada
bank Koordinator Pertukaran Warkat Debit (KPWD).
Grafik 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai Grafik 5.3 Perkembangan Transaksi Kliring
5.2. Transaksi Pembayaran Tunai
5.2.1. Aliran Uang Masuk (inflow) dan Aliran Uang Keluar (Outflow)
Aktivitas peredaran uang pada triwulan IV mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dibanding triwulan III 2016, namun cenderung melambat bila
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Adanya peningkatan konsumsi
rumah tangga jelang hari raya Natal dan tahun baru serta pembayaran realisasi proyek-
proyek pemerintah dan swasta telah meningkatkan aliran uang keluar bersih (net
outflow) Bank Indonesia. Namun demikian, apabila dibandingkan triwulan IV 2015,
jumlah uang keluar bersih cenderung mengalami perlambatan yang terlihat dari
penurunan nilai net outflow dari Rp.2,1 triliun di triwulan IV 2015 menjadi Rp.1,6
triliun pada triwulan IV 2016, atau menurun sebesar 24,12%. Penurunan aktivitas
peredaran uang rupiah ini diduga disebabkan oleh adanya perlambatan ekonomi,
seiring dengan adanya beberapa investasi yang sudah terealisasi sebelumnya yang
terlihat dari tingginya kegiatan pertukaran uang antar bank TUKAB pada triwulan I dan
-300%
-200%
-100%
0%
100%
200%
300%
400%
500%
600%
700%
-2.500,00
-2.000,00
-1.500,00
-1.000,00
-500,00
0,00
500,00
1.000,00
1.500,00
2.000,00
Net In/Out (Rp. Miliar) qtq yoy
Ou
tflo
wIn
flo
w
-40,00%
-20,00%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
-100,00%
0,00%
100,00%
200,00%
300,00%
400,00%
500,00%
Y-o-Y
Volume Kliring Nominal Kliring
Nominal Cek/BG Kosong Volume Cek/BG Kosong
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 105
III 2016. Sementara di triwulan IV 2016, kegiatan pertukaran uang antar bank (TUKAB)
menunjukkan adanya penurunan sebesar -6,01% (yoy). Namun demikian secara
tahunan, pertukaran uang antar bank masih bertumbuh sebesar 9,70% (yoy).
Grafik 5.4 Share Setoran Bank 2016 Grafik 5.5 Share Bayaran Bank 2016
Berdasarkan jenis bank, kegiatan setoran (inflow) ke Bank Indonesia masih
dominan dilakukan oleh bank pemerintah, namun terdapat 32,02% bank swasta yang
juga melakukan kegiatan setoran. Hal ini berbeda dibanding kegiatan bayaran yang
99,27% (outflow) didominasi oleh bank pemerintah. Hal ini menunjukkan pola
perputaran dan penyimpanan uang yang sebagian besar pembayaran transaksi proyek
atau belanja dilakukan melalui bank pemerintah, untuk kemudian kembali ditabung di
bank swasta.
5.2.2. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE)
Setoran UTLE selama tahun 2016 tercatat sebesar Rp.1.776,78 miliar atau tumbuh
69,70% (yoy) lebih tinggi dari tahun 2015 yang sebesar Rp.1.047,04 miliar.
Sementara itu, pada triwulan IV 2016 setoran UTLE mencapai Rp.309,61 miliar atau
mengalami perlambatan sebesar 52,88% (yoy) lebih rendah dibanding triwulan III 2016
yang tumbuh 86,79% (yoy).
Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang telah dimusnahkan di Kantor Perwakilan Bank
Indonesia Provinsi NTT pada triwulan IV 2016 tercatat sebesar Rp.304,75 miliar, atau
tumbuh 20,55% (yoy) lebih rendah dari triwulan III 2016 yang sebesar Rp.456,75 miliar.
Sedangkan total pemusnahan UTLE selama tahun 2016 mencapai Rp.1.788,92 miliar
dari Rp.1.066,73 miliar atau tumbuh 67,70% (yoy) lebih tinggi dari tahun 2015.
- Bank pemerintah
67,94%
- Bank swasta32,02%
- Bukan bank
0,04%
- Bank pemerintah
99,27%
- Bank swasta0,50%
- Bukan bank
0,23%
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 106
Grafik 5.6 Perkembangan Inflow, Outflow dan UTLE Grafik 5.7 Perkembangan UTLE di Provinsi NTT
Dalam upaya Bank Indonesia untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang pentingnya penggunaan uang rupiah yang baik dan benar serta pengenalan
terhadap keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT selalu
memberikan sosialisasi pada saat kegiatan penukaran uang/kas keliling di berbagai
tempat.
Tabel 5.1.Perkembangan Kegiatan KPw BI Provinsi NTT
Selain itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga bekerjasama dengan
perbankan di daerah untuk membuka Kas Titipan Bank Indonesia demi kelancaran
distribusi uang rupiah layak edar hingga pelosok-pelosok di daerah NTT. Hingga saat ini
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah mempunyai 6 kantor kas titipan
yang tersebar di beberapa daerah, diantaranya Kabupaten Sikka, Sumba Timur, Belu
(Atambua), Ende, Manggarai dan Lembata. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
rangka kas titipan diantaranya melakukan dropping Uang Layak Edar (ULE) dan menarik
Uang Tidak Layak Edar (UTLE) dari wilayah kas titipan. Selama tahun 2016, Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah melaksanakan 48 kali kegiatan dropping
dan penarikan UTLE di kas titipan. Walaupun telah mempunyai beberapa kas titipan
didaerah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT juga tetap melakukan
kegiatan Kas Keliling untuk penukaran uang di daerah-daerah. Kegiatan kas keliling
-2.000
-1.500
-1.000
-500
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
Inflow (Rp. Miliar) UTLE Outflow (Rp. Miliar) NetOutFlow
-200%
0%
200%
400%
600%
800%
1000%
1200%
1400%
1600%
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
Inflow (Rp. Miliar) Outflow (Rp. Miliar) UTLE QtQ UTLE YoY UTLE
Periode
Kota/Kab
Indikator *)Sumba Timor Flores Jumlah Sumba Timor Flores Jumlah
Kas Keliling 1 17 6 24 1 4 3 8
Kas Titipan 3 5 4 12 4 4 6 14
Total 4 22 10 36 5 8 9 22*) Frekuens i
Sumber : KPw BI Provins i NTT diolah
Triwulan III 2016 Triwulan IV 2016
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 107
tersebut dilakukan di dalam kota Kupang maupun di daerah-daerah, dan selama tahun
2016 sudah sebanyak 83 kali kegiatan kas keliling dilakukan.
5.2.3. Perkembangan Uang Palsu (UPAL)
Pada triwulan IV 2016, pertumbuhan uang palsu di Provinsi NTT terus mengalami
penurunan, dari 38 lembar pada triwulan III 2016 menjadi 26 lembar. Dari sisi
pertumbuhan, pada triwulan IV 2016 uang palsu mengalami penurunan signifikan
sebesar 50,95% (yoy), atau lebih rendah dari triwulan III 2016 yang hanya sebesar
26,92% (yoy). Pecahan uang palsu yang ditemukan pada triwulan IV 2016 dominan
seperti periode-periode sebelumnya yaitu uang kertas pecahan Rp.100.000,- dan
Rp.50.000,-.
Untuk mencegah beredarnya uang palsu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
NTT juga terus melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah (CIKUR) kepada
masyarakat, akademisi maupun aparat di Provinsi NTT.
Grafik 5.8 Perkembangan UPAL di Povinsi NTT
Pada tahun 2016 Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT telah melakukan
sosialisasi CIKUR sekitar 20 kali kegiatan, yang diadakan di Kota Kupang, Kabupaten
Sumba Timur, Ngada, TTU, Sikka, Alor, Belu dan Kabupaten Manggarai Timur.
5.2.4. Penerbitan Uang NKRI Tahun Emisi 2016
Pada tanggal 19 Desember 2016, Bank Indonesia telah menerbitkan uang NKRI
tahun emisi 2016. Penerbitan uang baru tersebut merupakan pelaksanaan amanat
Undang-Undang No.7 tahun 2011 tentang mata uang yang mengatur ciri-ciri umum
dan khusus yang dimuat dalam uang rupiah. Adapun ciri-ciri khusus yang ada dalam
-50
50
150
250
350
450
550
650
750
850
950
Tw1
-12
Tw2
-12
Tw3
-12
Tw4
-12
Tw1
-13
Tw2
-13
Tw
3-1
3
Tw4
-13
Tw1
-14
Tw
2-1
4
Tw3
-14
Tw4
-14
Tw1
-15
Tw2
-15
Tw3
-15
Tw4
-15
Tw1
-16
Tw2
-16
Tw3
-16
Tw4
-16
UPAL
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 108
mata uang NKRI adalah adanya tanda tangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan, dibanding mata uang lama yang hanya ditanda tangani oleh Gubernur Bank
Indonesia, gambar utama adalah pahlawan yang telah meninggal, memuat gambar
Indonesia. Beberapa ciri umum yang terdapat dalam mata uang kertas adalah adanya
gambar pahlawan nasional, tari daerah, obyek wisata alam unggulan dan bunga khas
nusantara. Adapun ciri umum mata uang logam adalah gambar pahlawan nasional,
Terdapat 11 pecahan yang dikeluarkan, meliputi 7 uang kertas pecahan Rp 1.000, Rp
2.000, Rp 5.000, Rp 10.000, Rp 20.000, Rp 50.000 dan Rp 100.000, serta 4 uang
logam pecahan Rp 100, Rp 200, Rp 500, dan Rp 1.000. Terkait dengan penerbitan
uang baru tersebut, Provinsi NTT patut berbangga karena dapat menyumbang 2 ikon
dalam penerbitan uang baru tersebut, yaitu Pahlawan Nasional Prof. Dr. Ir. Herman
Johanes yang diabadikan dalam uang logam Rp 100,- dan Taman Nasional Komodo
yang diabadikan dalam mata uang pecahan Rp 50.000,-.
Dari sisi keamanan, tingkat keamanan uang baru juga mengalami penambahan dengan
total fitur keamanan mencapai 9-12 unsur pengamanan antara lain cetak kasar, tanda
air, benang pengaman, tulisan mikro, tinta berubah warna, gambar tersembunyi,
gambar saling isi, pewarnaan yang cukup unik, intaglio, dll. Dengan diterbitkannya
uang baru ini diharapkan tingkat keamanan uang akan semakin bagus, sehingga
menekan pemalsuan uang. Desain yang lebih bagus diharapkan juga dapat
meningkatkan kebanggaan masyarakat terhadap rupiah, yang pada akhirnya juga
dapat meningkatkan kebanggan masyarakat terhadap Negara Indonesia.
5.3. Transaksi Pembayaran Non Tunai
5.3.1. Transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Penggunaan transaksi kliring di NTT pada triwulan IV 2016 mengalami
perlambatan. Nominal transaksi kliring tercatat sebesar Rp.3.382,88 miliar, atau
tumbuh melambat 12,29% (yoy), jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada
triwulan III 2016 yang mencapai 102,94% (yoy). Sementara itu, dari sisi volume pada
triwulan ini sebanyak 86.316 warkat atau tumbuh 18,50% (yoy) lebih rendah dari
pertumbuhan triwulan III 2016 yang mampu tumbuh 51,82% (yoy). Ini artinya bahwa
fasilitas kliring di NTT pada triwulan IV 2016 penggunaannya masih stabil namun
peningkatannya tidak setinggi pertumbuhan pada awal tahun 2016. Selain itu, sejak
| Bab V Penyelenggaraan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah 109
triwulan I 2015 hingga triwulan II 2016 batas maksimal transfer dana menggunakan
SKNBI tidak dibatasi, namun mulai tanggal 1 Juli 2016 atau masuk triwulan III 2016
maksimal nominal transaksi menggunakan SKNBI adalah Rp.500 juta. Hal ini juga
disinyalir menjadi penyebab perlambatan transaksi SKNBI di NTT.
Pertumbuhan penyerahan Cek/BG kosong di NTT mengalami penurunan. Pada triwulan
IV 2016, volume penyerahan Cek/BG kosong sebesar 300 warkat, atau menurun
2,28% (yoy). Kendati demikian, secara qtq mengalami peningkatan 22,95% atau dari
244 warkat menjadi 300 warkat. Dengan demikian masih perlu adanya sosialisasi dari
perbankan kepada nasabahnya terkait transaksi dengan warkat Cek/BG untuk
memperhatikan dana simpanannya.
Grafik 5.9 5 Daerah Terbesar Tujuan SKNBI NTT Grafik 5.10 5 Daerah Terbesar Asal SKNBI diNTT
5.4. Perkembangan Layanan Keuangan Digital
Jumlah agen Layanan Keuangan Digital (LKD) di Provinsi NTT pada triwulan IV
2016 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada triwulan IV 2016, jumlah agen
LKD berjumlah 3.170 agen atau tumbuh 185,33% (qtq), lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan triwulan III 2016 yang hanya mencapai 10,11% (qtq). Selain itu, jumlah
transaksi yang dilakukan selama triwulan IV 2016 mencapai Rp.440,78 juta.
Beberapa kegiatan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT dalam usaha
meningkatkan jumlah LKD didaerah diantaranya adalah :
a. Melakukan sosialisasi penggunaan Uang Elektronik kepada Ikatan Wanita
Perbankan NTT.
b. Melakukan koordinasi dengan bank penyelenggara LKD terkait perkembangan
transaksi agen LKD.
c. Melakukan pemantauan data dan perkembangan proram LKD Bank.
1 DKI JAKARTA 98,24%
2 NTT *) 0,65%
3 JAWA TIMUR 0,61%
4 JAWA BARAT 0,50%
5 BALI 0,00%
NTT *) 69,51%
DKI JAKARTA 27,15%
JAWA TIMUR 2,37%
BALI 0,67%
SULAWESI SELATAN 0,29%
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 111
111
KESEJAHTERAAN & KETENAGAKERJAAN Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT mengalami penurunan dari 22,19%
(Maret 2016) menjadi 22,01% (September 2016). Sementara itu dari sisi
ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Agustus
menunjukkan penurunan dan ditandai peningkatan porsi tenaga kerja formal.
66..11.. KKoonnddiissii UUmmuumm
Persentase penduduk miskin di Provinsi NTT menunjukkan perbaikan
walaupun tidak terlalu signifikan. Presentase penduduk miskin di Provinsi NTT
tercatat menurun menjadi 22,01% pada bulan September 2016 dibandingkan
dengan Maret 2016 yang sebesar 22,19% dan September 2016 (22,58%).
Menurunnya presentase penduduk miskin ini juga dibarengi dengan menurunnya
angka indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2)
yang menggambarkan makin mendekatnya pengeluaran rata-rata penduduk
miskin dengan garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk yang
makin rendah. Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan kondisi sosial
masyarakat NTT pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015 dan potensi
penurunan penduduk miskin di masa datang. Di sisi lain, permasalahan struktural
seperti minimnya akses bahan bakar layak, akses sumber penerangan, akses air
bersih dan sanitasi (IRGSC, 2016) serta pendidikan menjadi tantangan utama
dalam upaya pengurangan jumlah penduduk miskin di Provinsi NTT.
Dari sisi ketenagakerjaan, terjadi perbaikan kondisi tenaga kerja yang
terlihat pada penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan
Agustus 2016. TPT NTT tercatat sebesar 3,25% dibandingkan bulan Februari
yang 3,59%. Perbaikan juga terlihat dari peningkatan porsi tenaga kerja formal
yang menunjukkan adanya perbaikan kualitas SDM di NTT. Hal serupa juga
terindikasi pada indikator Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia
triwulan IV-2016 yang menunjukkan perkembangan positif.
66..22.. KKoonnddiissii KKeesseejjaahhtteerraaaann
66..22..11 PPeerrkkeemmbbaannggaann TTiinnggkkaatt KKeemmiisskkiinnaann
Secara nasional, persentase penduduk miskin Provinsi NTT masih lebih
tinggi dibandingkan nasional. Persentase penduduk miskin NTT pada bulan
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 112
112
September 2016 mencapai 22,01% atau diatas nasional yang sebesar 10,70%
dengan jumlah 27,76 juta orang. Apabila dilihat dari segi konsentrasi penduduk
miskin terbanyak masih berada di pedesaan dengan jumlah sebesar 17,28 juta
jiwa dibandingkan perkotaan yang 10,49 juta jiwa. Di sisi lain, secara historis
terjadi perkembangan positif dimana persentase penduduk miskin pada tingkat
nasional dan NTT cenderung berada pada trend menurun sejak tahun 2015. Dari
sisi peringkat nasional sendiri, persentase penduduk miskin NTT (22,01%) berada
pada peringkat ke-32 dari 34 Provinsi di Indonesia atau berada di atas Provinsi
Papua Barat (24,88%) dan Provinsi Papua (28,4%).
D
a
r
i
s
i
s
Dari komposisi jumlah penduduk miskin, mayoritas penduduk miskin di
NTT pada bulan September 2016 masih berada di daerah pedesaan sebanyak
1,04 juta jiwa sementara penduduk miskin di perkotaan mencapai 112,5 ribu
jiwa. Hal yang cukup menarik adalah persentase penduduk miskin di perkotaan
yang menunjukkan adanya peningkatan dari 9,41% (September 2015) menjadi
10,17% (September 2016) dan berbanding terbalik dengan persentase penduduk
miskin di pedesaan yang mengalami penurunan. Hal ini dapat mengindikasikan
adanya migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak supaya dapat lepas dari kemiskinan, namun
adanya keterbatasan keterampilan yang dimiliki justru menyulitkan untuk
mendapatkan pekerjaan yang memadai. Sementara itu, dari sisi ketimpangan
pengeluaran, gini ratio di NTT pada tahun 2016 sebesar 0,34 cenderung berada
pada level ketimpangan menengah dan lebih baik dibandingkan dengan nasional
yang sebesar 0,40. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran masyarakat di
NTT cenderung lebih merata apabila dibandingkan dengan nasional.
Grafik 6.1 Perbandingan Prosentase Kemiskinan
Provinsi NTT dan Nasional
Grafik 6.2 Sepuluh Provinsi dengan Jumlah
Prosentase Penduduk Miskin Tertinggi
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 113
113
D
i
s
i
s
Dari sisi garis kemiskinan, terdapat peningkatan pada bulan September 2016
menjadi Rp 327.003,- apabila dibandingkan Maret 2016 yang sebesar Rp
322.947,-. Peningkatan terutama berasal dari komoditas bukan makanan yang
mencapai 1,97% yaitu biaya pendidikan dan angkutan. Di sisi lain, komoditas
makanan juga meningkat sebesar 1,07% yang terutama berasal dari komoditas
rokok kretek filter, daging sapi, daging babi serta ikan segar (tongkol dan
kembung). Untuk peringkat nasional, garis kemiskinan NTT berada di peringkat
ke-7 terbawah setelah Provinsi Jawa Timur. Provinsi dengan garis kemiskinan
terendah sendiri berada di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 275.361,- yang
mengindikasikan rendahnya tingkat harga di Provinsi tersebut. Sementara itu,
garis kemiskinan tertinggi berada di Bangka Belitung sebesar Rp 564.391,-.
Grafik 6.5. Perkembangan Garis Kemiskinan
Grafik 6.6. Sepuluh Peringkat Terendah Garis
Kemiskinan
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Dari sisi indikator indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan indeks keparahan
kemiskinan (P2) tercatat adanya perbaikan pula untuk kondisi NTT. P1 tercatat
sebesar 3,83 jauh menurun dibandingkan Maret 2016 yang sebesar 4,69 ataupun
September 2015 yang sebesar 4,62. Sementara itu, angka P2 tercatat 0,96 atau
menurun dibandingkan Maret 2016 (1,30) dan September 2015 (1,44).
Grafik 6.3. Presentase Penduduk Miskin di NTT Grafik 6.4. Gini Ratio Nasional dan NTT
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 114
114
Penurunan P1 mengindikasikan bahwa terjadi perbaikan untuk pengeluaran rata-
rata penduduk miskin yang semakin mendekati garis kemiskinan, sementara
penurunan P2 menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk
miskin semakin rendah. Hal ini menunjukkan adanya potensi yang cukup besar
bagi banyaknya penduduk NTT untuk dapat keluar dari kategori miskin.
Grafik 6.7. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Grafik 6.8. Indeks Keparahan Kemiskinan
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
Kondisi kemiskinan di NTT sendiri berdasarkan penelitian Institute of
Resource Governance and Social Change (IRGSC) tahun 2016 didorong oleh
kurangnya akses terhadap beberapa kebutuhan primer masyarakat, diantaranya
bahan bakar layak, akses sumber penerangan, akses air bersih dan sanitasi. Dalam
hal tersebut, IRGSC memberikan masukan untuk peningkatan akses masyarakat
terhadap hal-hal tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Menteri Keuangan, Sri
Mulyani Indrawati (2016) yang menyebutkan bahwa untuk memutus rantai
kemiskinan, maka keluarga miskin harus mampu menikmati apa yang disebut
dengan pelayanan dasar yaitu pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi.
Selain itu, disebutkan pula bahwa peningkatan kualitas SDM menjadi hal yang
penting karena dapat mewujudkan masyarakat produktif, inovatif dan berdaya
saing. Apabila dilihat dari Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi,
permasalahan SDM terjadi di Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT sehingga
program-program pengembangan SDM (aksesibilitas, kesehatan, pendidikan serta
keterampilan) perlu dikedepankan dalam upaya mengurangi kemiskinan.
Di sisi lain, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT dari sisi
perekonomian dan daya beli, perlu adanya dukungan terhadap pengembangan
investasi di daerah yang dapat membuka lapangan pekerjaan secara luas. Adanya
program dana desa perlu untuk dioptimalkan melalui bimbingan dan pengawasan
yang berkesinambungan sehingga dapat bermanfaat dan bernilai tambah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 115
115
ekonomi tinggi. Selain itu, rencana-rencana investasi swasta atau BUMN
hendaknya dapat didukung. Dengan adanya peningkatan lapangan kerja di
pedesaan, sisi positif yang didapat lainnya adalah berkurangnya migrasi
masyarakat pedesaan ke perkotaan. Selain itu, dalam upaya mendukung kualitas
SDM NTT, perlu adanya program-program pelatihan keterampilan dan wirausaha
masyarakat. Dari sektor unggulan NTT, diharapkan adanya keseriusan dalam
pengembangan sektor pariwisata. Karena sektor tersebut dapat mendorong
lapangan kerja bagi semua lapisan masyarakat, baik dari sisi perdagangan, tour
guide, penyewaan kendaraan dan hal-hal lainnya. Hal ini terbukti pada Provinsi
Bali yang menjadi Provinsi ke-2 terendah dari sisi jumlah penduduk miskin.
66..22..22 PPeerrkkeemmbbaannggaann NNiillaaii TTuukkaarr PPeettaannii ((NNTTPP))
Berdasarkan kinerja triwulanan, tingkat kesejahteraan Pedesaan
Provinsi NTT yang digambarkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan
Perlambatan. NTP tercatat melambat dari 102,03 (triwulan III-2016) menjadi
101,31 (triwulan IV-2016). Namun dengan nilai masih diatas 100 maka secara
umum masih terjadi pertumbuhan pendapatan bagi petani. Penurunan NTP sendiri
terjadi karena adanya kenaikan indeks yang dibayar (IB) yang lebih tinggi
dibandingkan indeks yang diterima (IT). Hal ini disebabkan adanya peningkatan
biaya konsumsi rumah tangga yang harus dibayar petani, terutama untuk bahan
makanan, sandang dan biaya perumahan. Dari sisi sektoral, peningkatan hanya
terjadi pada tanaman padi-palawija yang disebabkan adanya panen ke-2
komoditas padi di akhir 2016. Sementara kondisi cuaca berpengaruh pada
penurunan pendapatan sektor-sektor lain seperti holtikultura dan perikanan.
Grafik 6.9. Perkembangan Nilai Tukar Petani
Grafik 6.10. Perkembangan Nilai Tukar Petani Per
Sektor
Sumber : BPS, diolah
Sumber : BPS, diolah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 116
116
66..22..33 SSuurrvveeii KKoonnssuummeenn ((SSKK)) ddaann IInnddeekkss TTeennddeennssii KKoonnssuummeenn ((IITTKK))
Berdasarkan Survei Konsumen (SK)-Bank Indonesia dan Indeks Tendensi
Konsumen (ITK)-Badan Pusat Statistik (BPS) masih menunjukkan indikasi positif.
Angka indeks penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu mengalami kenaikan
dari 142 (TW-III 2016) menjadi 143.5 (TW IV) yang mengindikasikan adanya
perbaikan pendapatan pada triwulan IV apabila dibandingkan triwulan II.
Sementara itu, ITK meningkat dari 106,14 (TW-III) menjadi 109,62 (TW-IV) yang
mengindikasikan adanya perbaikan daya beli masyarakat di triwulan IV. Adanya
momen liburan sekolah, libur keagamaan dan disertai pendapatan dari sektor
pertanian (panen ke-2) serta kegiatan proyek pemerintah ditengarai menjadi
beberapa penyebab peningkatan.
66..33.. KKoonnddiissii KKeetteennaaggaakkeerrjjaaaann
66..33..11 KKoonnddiissii KKeetteennaaggaakkeerrjjaaaann SSeeccaarraa UUmmuumm
Berdasarkan data BPS, angka pengangguran pada bulan Agustus 2016
tercatat sebesar 76.580 orang menurun dibandingkan Februari 2016 yang sebesar
87.699 orang. Sementara itu tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat
mengalami penurunan menjadi 3,25% (Agustus 2016) dibandingkan Februari
2016 (3,59%) dan Agustus 2015 (3,83%). Perkembangan positif pada sektor
tenaga kerja juga terjadi pada peningkatan jumlah pekerja formal mencapai 98
ribu orang pada Agustus 2016 dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja
NTT sehingga terjadi pergeseran tenaga kerja ke sektor formal yang tentunya
mengisyaratkan kompetensi SDM sebagai salah satu syarat perekrutan.
Berdasarkan data BPS, peningkatan tertinggi berasal dari sektor jasa
kemasyarakatan yang mencapai 79.725 orang yang diperkirakan terjadi sebagai
Grafik 6.11 Perkembangan Survei Konsumen-BI dan Indeks
Tendensi Konsumen-BPS
Sumber : BPS, diolah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 117
117
salah satu dampak positif adanya alokasi dana desa yang dapat membuka
lapangan kerja bagi pendamping dana desa dan tenaga administrasi. Di sisi lain,
adanya perbaikan kualitas tenaga kerja yang dapat bekerja di sektor formal juga
dapat memberikan peningkatan pendapatan yang pada akhirnya mengurangi
jumlah penduduk miskin di masyarakat karena standar pendapatan yang tetap
dan berada di kisaran Upah Minimum. Sementara itu, masih banyaknya tenaga
kerja informal yang bersifat pekerja tidak dibayar ditengarai berperan pula pada
tingginya angka kemiskinan di NTT karena status pendapatan yang kurang jelas.
66..33..22 KKoonnddiissii TTeennaaggaa KKeerrjjaa SSeekkttoorr IInndduussttrrii MMaannuuffaakkttuurr BBeessaarr ddaann SSeeddaanngg
Data sektor Industri Manufaktur Besar dan sedang (IBS) menunjukkan
tingginya porsi penyerapan tenaga kerja untuk barang galian bukan logam
(32,62%) pada triwulan IV-2016 yang diperkirakan turut disumbangkan oleh
masih tingginya kebutuhan barang galian untuk kegiatan proyek-proyek
pemerintah. Sementara itu untuk perkembangan produktivitas, industri makanan
dan minuman mengalami peningkatan pada triwulan IV yang diperkirakan turut
didorong oleh kebutuhan masyarakat dalam merayakan hari libur keagamaan dan
libur sekolah.
Grafik 6.12. Perkembangan Tenaga Kerja di NTT Grafik 6.13. Perkembangan Status Pekerja
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
Grafik 6.14. Porsentase Penyerapan Tenaga Kerja
Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Grafik 6.15. Perkembangan Produktivitas Industri
Manufaktur Besar dan Sedang
Sumber : BPS, diolah Sumber : BPS, diolah
| Bab VI Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan 118
118
66..33..33 HHaassiill SSuurrvveeii KKeeggiiaattaann DDuunniiaa UUssaahhaa ((SSKKDDUU))
Dari Hasil SKDU Bank Indonesia, indeks tenaga kerja pada triwulan IV-2016
cenderung menunjukkan angka positif sebesar 0,97, sedikit meningkat
dibandingkan triwulan III-2016. Peningkatan terutama pada sektor keuangan,
pengangkutan dan komunikasi serta listrik,gas dan air bersih yang diperkirakan
turut didorong oleh adanya peningkatan kegiatan masyarakat di akhir tahun dan
masih berjalannya kegiatan proyek pemerintah dan swasta.
Grafik 6.16. Perkembangan Indeks Tenaga Kerja SKDU
Sumber : SKDU-BI, diolah
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 119
PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH Berdasarkan perkembangan survei dan informasi anekdotal perekonomian terkini, pertumbuhan ekonomi NTT triwulan II-2017 diperkirakan berada pada rentang 5,1-5,5% (yoy), sementara itu pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan juga berada pada rentang yang sama sebesar 5,1-5,5% (yoy) atau sedikit meningkat dibandingkan pencapaian tahun 2016 yang sebesar 5,18% (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan inflasi pada triwulan II-2017 diperkirakan berada pada rentang 4-4,4% (yoy) dan inflasi akhir tahun 2017 akan berada pada kisaran 4,8-5,2% (yoy) atau lebih tinggi dibanding 2016 yang 2,48% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2017 diperkirakan didorong oleh peningkatan
pendapatan masyarakat dari sektor pertanian seiring panen Perdana padi musim
2017 serta pencairan gaji ke-13 dan 14 PNS. Adanya libur keagamaan (Idul Fitri) dan
libur sekolah pada bulan Juni diperkirakan turut mendorong belanja masyarakat.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan masih didorong oleh
sektor konstruksi, perdagangan besar dan eceran serta administrasi pemerintahan.
Selain juga didukung pertumbuhan sektor pertanian sebagai sektor utama.
Dari sisi perkembangan inflasi, pencapaian inflasi pada triwulan-II 2017 diperkirakan
berada pada rentang 4-4,4% (yoy) yang disebabkan oleh adanya penyesuaian tarif
pada komponen harga yang diatur pemerintah (listrik dan STNK) serta kondisi cuaca
awal tahun. Sementara pencapaian inflasi sepanjang tahun 2017 diperkirakan
berada pada rentang 4,8-5,2% (yoy) yang dipengaruhi oleh cukup rendahnya harga
di tahun sebelumnya serta kenaikan harga komponen yang diatur pemerintah.
7.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi NTT
7.1.1 Pertumbuhan Ekonomi NTT Triwulan II 2017
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada triwulan II-2017 diperkirakan
berada pada kisaran 5,1-5,5% (yoy) atau mengalami sedikit peningkatan dari kisaran
pertumbuhan triwulan I yang berada pada rentang 5-5,4% (yoy). Secara umum kondisi
pertumbuhan ekonomi triwulan II dipengaruhi oleh potensi peningkatan penghasilan
masyarakat seiring tibanya panen komoditas padi, tambahan penghasilan gaji ke-13
dan ke-14 PNS serta adanya kegiatan bersifat internasinal seperti Tour De Flores. Di sisi
lain, kegiatan investasi pemerintah juga diperkirakan tumbuh seiring rencana
dimulainya pembangunan beberapa sarana publik, seperti dermaga, gedung
pemerintahan, perbaikan jalan, tempat pembuangan akhir sampah serta kegiatan
proyek multiyears (bendungan raknamo dan rotiklot). Selain itu terdapat pula rencana
dimulainya pembangunan pabrik semen Kupang III oleh BUMN.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 120
Grafik 7.1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT
Triwulan II 2017
4.66% 5.13% 5.17% 5.15% 5.07% 5.35% 5.11% 5.19% 5-5.4% 5.1-5.5%-3%
-1%
1%
3%
5%
7%
9%
11%
4.20%
4.40%
4.60%
4.80%
5.00%
5.20%
5.40%
5.60%
I II III IV I II III IV I* II*
2015 2016 2017
PDRB (yoy) Pertanian, Kehutanan & Prkn (yoy) Administrasi Pemerintahan (yoy)Perdagangan Besar & Eceran (yoy) Konstruksi (yoy) Jasa Pendidikan (yoy)
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.1.1.1 Pertumbuhan Sisi Penggunaan
Apabila dilihat dari sisi pengunaan, dorongan pertumbuhan terutama
berasal dari konsumsi rumah tangga. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya,
dorongan konsumsi rumah tangga diperkirakn berasal dari peningkatan pendapatan
masyarakat di sektor pertanian seiring dengan potensi panen perdana padi di akhir
triwulan II 2017. Selain itu, adanya potensi realisasi gaji ke-13 dan ke-14 PNS secara
bersamaan dapat mendorong konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah seiring
kenaikan realisasi belanja. Di sisi lain, adanya momen libur Idul Fitri dan libur sekolah
juga diperkirakan mendorong rencana belanja masyarakat. Dorongan lainnya adalah
rencana kegiatan Tour De Flores pada bulan Mei yang akan diikuti peserta dari 24
negara dan diperkirakan dapat menopang sisi konsumsi masyarakat terutama pada sub
komponen konsumsi restoran dan hotel. Sementara itu, konsumsi Lembaga Non Profit
yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) diperkirakan masih tumbuh seiring potensi
pilkada tahap ke-2 di Kabupaten Flores Timur. Indikasi pertumbuhan sendiri telihat dari
Survei Konsumen Bank Indonesia Bulan Desember yang menunjukkan angka diatas 100
untuk Ekspektasi Penghasilan 6 bulan yang akan datang (yad), ketersediaan lapangan
kerja 6 bulan yad dan Kondisi Ekonomi Indonesia 6 bulan yad yang menggambarkan
optimisme masyarakat untuk triwulan II-2017.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 121
Grafik 7.2. Survei Konsumen
100.0
120.0
140.0
160.0
I II III IV I II III IV I II III IV
2014 2015 2016
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK)
Ekspektasi penghasilan 6 bulan y.a.d. Kondisi ekonomi Indonesia 6 bulan y.a.d.
Ketersediaan Lapangan Kerja 6 bulan y.a.d
Sumber :Bank Indonesia (diolah)
Kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/ investasi diperkirakan
masih tumbuh meskipun melambat pada triwulan II-2017. Pertumbuhan sektor
investasi pada triwulan II diperkirakan didorong oleh mulai berjalannya kegiatan proyek
pemerintah pada awal tahun. Beberapa kegiatan proyek diantaranya pembangunan
bendungan, jalan, dermaga dan gedung pemerintahan. Selain itu, potensi investasi
swasta terjadi pada rencana pembangunan pabrik semen kupang III. Namun demikian,
terjadinya perlambatan pada triwulan II lebih disebabkan proyeksi pertumbuhan sektor
investasi di triwulan I yang cukup tinggi seiring adanya proyek multiyears dan
penambahan waktu kegiatan proyek pemerintah yang belum selesai pada tahun 2016
selama 50 hari di triwulan I-2017 serta potensi investasi non bangunan seperti
penambahan mesin kelistrikan (optimalisasi kapal listrik dan rencana peresmian PLTU
IPP Bolok pada bulan Maret) pada triwulan I-2017.
Kinerja net impor antar daerah dan ekspor luar negeri NTT pada triwulan II
juga diperkirakan akan meningkat. Dari sisi impor antar daerah, peningkatan
terutama terjadi seiring meningkatnya pasokan bahan pangan dan komoditas lainnya
dari daerah lain guna menambah stok milik pedagang. Selain itu, potensi peningkatan
kegiatan proyek, seiring selesainya proses tender dan konsisi gelombang serta cuaca
yang mendukung juga diperkirakan mendorong para kontraktor dan pengusaha untuk
memasok barang-barang keperluan proyek dari daerah lain. Sementara itu, kondisi
cuaca yang baik juga diperkirakan menopang produksi komoditas ikan tangkap untuk
ekspor (tuna dan cakalang).
7.1.1.2 Pertumbuhan Sisi Sektoral
Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan-II 2017
diperkirakan masih mengalami sedikit peningkatan. Peningkatan ditunjang oleh
adanya panen ke-2 komoditas padi, potensi peningkatan pengiriman ternak sapi ke
Pulau Jawa seiring peningkatan permintaan memasuki masa Bulan Suci Ramadhan,
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 122
serta peningkatan produksi perikanan yang ditunjang membaiknya kondisi cuaca dan
gelombang. Selain itu, dorongan produksi garam di Kab. Kupang dan Kab. Sabu Raijua
serta panen komoditas kakao diprediksi menunjang peningkatan sektor pertanian.
Sektor Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
diperkirakan juga mengalami peningkatan. Peningkatan diperkirakan terutama
ditunjang oleh realisasi gaji ke-13 dan ke-14 Pegawai Negeri Sipil serta realisasi dana
desa tahap pertama yang sudah mulai dapat dicairkan pada bulan Maret dan
diperkirakan masih berlangsung hingga triwulan-II. Di sisi lain, peningkatan juga
diperkirakan terjadi seiring percepatan kegiatan realisasi belanja paska selesainya
penyesuaian reorganisasi di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
diperkirakan masih mengalami pertumbuhan positif pada Triwulan II-2017.
Pertumbuhan diprediksi turut ditopang oleh adanya momen libur keagamaan (Idul Fitri)
dan libur sekolah serta peningkatan pendapatan sektor pertanian dan pegawai negeri
sipil yang mendorong daya beli masyarakat pada triwulan II-2017.
Sektor konstruksi diperkirakan meningkat pada triwulan-II 2017.
Peningkatan turut ditunjang oleh proyek multiyears (bendungan dan jalan sabuk
perbatasan) juga adanya proyek-proyek konstruksi yang ditargetkan dimulai pada
triwulan II seperti dermaga, jalan, tempat pembuangan akhir sampah dan gedung
pemerintahan. Selain itu, adanya kegiatan proyek swasta seperti pembangunan hotel
dan sarana perbelanjaan menjadi faktor pendorong lainnya.
7.1.2 Pertumbuhan Ekonomi NTT Tahun 2017
Pertumbuhan ekonomi NTT sepanjang tahun 2017 diperkirakan berada pada
kisaran rentang 5,1-5,5% (yoy). Faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi tahun
2017 diperkirakan masih berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi.
Pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga turut didorong oleh kenaikan
pendapatan sektor pertanian yang ditopang perbaikan sarana irigasi yang dilakukan
sepanjang tahun 2016, peningkatan Upah Minimum Provinsi, peningkatan aktivitas
proyek yang dapat membuka lapanan kerja dan pendapatan Pegawai Negeri Sipil.
Sementara itu pertumbuhan sisi investasi masih ditopang oleh proyek-proyek
pemerintah, seperti penyelesaian bendungan raknamo (target akhir 2017), bendungan
rotiklot, rencana groundbreaking Bendungan Nappunggete, pembangunan gedung
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 123
pemerintahan, perbaikan jalan, sarana pembuangan sampah, rumah sakit, jembatan,
dermaga, pasar dan pos lintas batas negara. Sementara itu sektor BUMN dan swasta
akan terus melakukan investasi dalam pembangunan Pembangkit Listrik (PLTU dan
PLTG), hotel, pusat perbelanjaan, terminal penumpang untuk Pelabuhan, dermaga dan
perumahan. Beberapa investasi cukup besar juga direncanakan dimulai pada tahun
2017, diantaranya pembangunan pabrik tebu PT. Muria Sumba Manis (MSM) di Sumba
Timur, pusat perbelanjaan Trans Mart di Kota Kupang, pembangunan Hotel Ayana dan
Hotel Alila di Labuan Bajo, Kab. Manggarai Barat, pembangunan pabrik Semen Kupang
III dan pengembangan terminal penumpang serta dermaga PT. Pelindo III. Sementara
itu, pertumbuhan juga terjadi di sisi konsumsi pemerintah melalui peningkatan alokasi
dana desa hingga 27,6% dari Rp 1,85 Triliun (2016) menjadi Rp 2,36 triliun (2017).
Grafik 7.3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi NTT
Tahun 2017
5.46% 5.41% 5.05% 5.03% 5.18% 5.1-5.5%0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.0
4.2
4.4
4.6
4.8
5.0
5.2
5.4
2012 2013 2014 2015 2016 2017*
PDRB (yoy) Pertanian, Kehutanan & Prkn (yoy) Administrasi Pemerintahan (yoy)
Perdagangan Besar & Eceran (yoy) Konstruksi (yoy) Jasa Pendidikan (yoy)
Sumber : BPS dan Bank Indonesia (diolah)
7.2 Inflasi
7.2.1 Inflasi Triwulan-II Tahun 2017
Pertumbuhan inflasi pada triwulan-II 2017 diperkirakan berada pada kisaran
4-4,4% (yoy) atau meningkat dibanding triwulan I-2017 yang diperkirakan berada
pada rentang 3,5-3,9% (yoy). Peningkatan diperkirakan terjadi karena dorong infasi
administered prices (harga yang diatur pemerintah) yaitu kenaikan listrik sering
pengurangan subsidi listrik pelanggan 900 VA yang direncanakan kembali dilakukan
pada bulan Mei 2017. Kenaikan juga diperkirakan terjadi pada bulan Juni seiring libur
sekolah dan libur keagamaan yang mendorong adanya kenaikan permintaan dari
masyarakat. Selain itu, momen Idul Fitri juga diperkirakan mendorong harga-harga
komoditas terutama yang dipasok dari pulau Jawa dan Sulawesi, seperti gula pasir dan
beras seiring tingginya permintaan di daerah asal. Momen libur panjang dan Tour De
Flores juga diperkirakan turut mendorong kenaikan tarif angkutan udara.
| Bab VII Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah 124
7.2.2 Inflasi Tahun 2017
Secara tahunan, pertumbuhan inflasi pada akhir tahun 2017 diperkirakan
berada pada kisaran 4,8-5,2% (yoy). Proyek inflasi tahun 2017 tersebut meningkat
dibandingkan realisasi tahun 2016 yang sebesar 2,48% (yoy). Peningkatan terutama
didorong oleh adanya penyesuaian tarif listrik hingga 123% seiring pengurangan
subsidi pada pelanggan berkapasitas 900 VA. Kenaikan sendiri dilakukan secara
bertahap pada bulan Januari, Maret dan Mei. Faktor lainnya adalah adanya kenaikan
tarif biaya STNK dan BPKB, cukai rokok dan tarif ponsel serta potensi kenaikan harga
pada komoditas bahan makanan, terutama beras, sayuran, daging dan hasil-hasilnya
serta ikan segar seiring telah rendahnya tingkat harga pada tahun 2016 dan
diperkirakan menyebabkan penyesuaian harga di tingkat pedagang. Sementara itu,
potensi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) juga dapat terjadi terutama dari faktor
eksternal yaitu adanya kenaikan harga minyak dunia akibat rencana penurunan
produksi minyak dari negara-negara anggota Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) serta kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah seiring ketidakpastian
perekonomian global dan potensi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat.
Namun, adanya perbaikan jaringan irigasi, perbaikan konektivitas melalui tol laut dan
perbaikan dermaga, bantuan benih dan alsistan, program-program operasi pasar Bulog
serta koordinasi TPID diharapkan dapat menjaga tingkat inflasi di kisaran target 4±1%.
Grafik 7.4. Prediksi Inflasi TW II-2017 dan 2017
Sumber: BPS & BI (diolah)
Boks 8 | Perhitungan Potensi Inflasi 2017 125
Boks 8. Perhitungan Potensi Inflasi 2017
Potensi Inflasi tahun 2017 baik secara nasional maupun regional menunjukkan adanya
kecenderungan meningkat dibanding inflasi tahun 2016. Dengan nilai inflasi yang rendah di
tahun 2016, beberapa komoditas berpotensi mengalami peningkatan harga seiring dengan
sudah cukup rendahnya harga komoditas tersebut di tahun 2016.
Berdasarkan hasil inflasi bulan Januari 2017 dan ketetapan pemerintah, didapatkan
bahwa pada tahun 2017, setidaknya terdapat 4 komoditas yang mengalami kenaikan yaitu
biaya perpanjangan STNK, tarif pulsa ponsel, tarif listrik dan bea cukai rokok. Tingginya
kenaikan biaya perpanjangan STNK hingga 102% tersebut tertuang dalam PP No. 60 tahun
2016 menggantikan PP No. 50 tahun 2010 dan efektif diterapkan pada tanggal 6 Januari 2017.
Tujuan dari kenaikan tarif lebih disebabkan oleh adanya komitmen perbaikan pelayanan di
kepolisian dan sudah 6 tahun biaya perpanjangan STNK tidak mengalami perubahan. Tingginya
kenaikan biaya pulsa telepon kemungkinan besar disebabkan oleh mahalnya biaya investasi
komunikasi di NTT, sehingga kenaikan biaya pulsa diduga digunakan untuk mengkompensasi
tingginya biaya investasi yang terjadi. Berdasarkan data realisasi ijin investasi BKPMD didapatkan
tingginya nilai investasi telekomunikasi yang mencapai 738 miliar dan dilakukan oleh 2
perusahaan telekomunikasi.
Dari komoditas tarif listrik, kenaikan tarif listrik akan terjadi pada tarif listrik rumah
tangga dengan daya 900 watt. Di NTT, saat ini terdapat lebih dari 130 ribu pelanggan listrik
dengan daya 900 watt yang terdampak kebijakan pengalihan subsidi tersebut. Dengan pangsa
pelanggan mencapai 20% dari total 643 ribu pelanggan, maka dengan dilepasnya subsidi
menyebabkan tarif listrik pada golongan ini akan mengalami kenaikan hingga akhir tahun
mencapai 123,47%, yaitu dari Rp 605,- per kwh menjadi Rp 1.352,- per kwh. Kenaikan
tersebut diperkirakan akan meningkatkan total tarif listrik hingga 25% dan memberikan andil
inflasi tarif listrik hingga sebesar 0,72% (sum-yoy) pada akhir tahun 2017. Kenaikan tarif
tersebut akan dilakukan bertahap yaitu pada bulan Januari, Maret, dan Mei 2017.
Pada komoditas tembakau, potensi kenaikan harga juga terjadi setelah pemerintah
mengeluarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.010/2016 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/3012 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa secara rata-rata akan terjadi kenaikan
tarif cukai rokok sebesar 10,54% dan kenaikan harga eceran penjualan rokok sebesar 12,26%.
Kenaikan tarif cukai rokok tersebut sedikit menurun dibandingkan kenaikan tarif cukai rokok
tahun sebelumnya yang sebesar 11,5%, sehingga kenaikan harga rokok diperkirakan
mengalami perlambatan dibanding tahun 2016 namun masih tetap tinggi seiring dengan
tingginya kenaikan cukai rokok yang dilakukan pemerintah.
Boks 8 | Perhitungan Potensi Inflasi 2017 126
Tabel Boks 8.1. Perhitungan Potensi Inflasi di Kota Kupang dan Kota Maumere Menggunakan
Pendekatan Komoditas Utama Penyumbang Inflasi Daerah
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa kenaikan tarif keempat komoditas
tersebut untuk kota Kupang berpotensi memberikan andil inflasi hingga 1,60% (sum-yoy) dan
1,83% (sum-yoy) untuk Kota Maumere. Apabila ditambahkan dengan potensi kenaikan harga
19 komoditas utama penyumbang inflasi dan deflasi di Kota Kupang, didapatkan perkiraan
inflasi kota Kupang pada tahun 2017 mencapai 5,06% (yoy) dan inflasi Kota Maumere
mencapai 5,50% (yoy). Total potensi inflasi Provinsi NTT berdasarkan komoditas unggulan
penyumbang inflasi menjadi sebesar 5,12% (yoy) masih dalam rentang proyeksi inflasi provinsi
NTT 2017 yang sebesar 4,8% 5,2% (yoy) dengan kecenderungan bias ke atas. Apabila dalam
tahun 2017 terjadi kenaikan harga BBM mengikuti tren kenaikan minyak dunia yang terjadi,
maka inflasi diperkirakan dapat meningkat lebih tinggi.
Dengan kondisi perkiraan kenaikan harga tersebut, maka pengendalian harga
komoditas menjadi langkah besar yang harus dilakukan oleh pemerintah agar dampak
tingginya potensi inflasi yang terjadi dapat diminimalisir. Berdasarkan hasil penelitian di awal
sudah didapatkan bahwa pengendalian pasokan dan harga pada 19 komoditas penyumbang
utama fluktuasi inflasi dapat mengendalikan inflasi di Kota Kupang, demikian pula dengan
pengendalian pasokan dan harga pada 25 komoditas penyumbang inflasi utama Kota
Maumere.Oleh karena itu, upaya pengendalian inflasi di tahun 2017 sekiranya dapat terfokus
pada tercukupinya penyediaan komoditas utama tersebut, agar langkah aksi TPID dapat lebih
tepat sasaran dengan usaha yang relatif lebih terkendali.
Kupang InflasiAndil
InflasiMaumere Inflasi
Andil
Inflasi
Tarip Pulsa Ponsel 9.18 0.16 Tarip Pulsa Ponsel 11.93 0.20
Biaya Perpanjangan STNK 102.93 0.10 Biaya Perpanjangan STNK 102.09 0.10
Tarif Listrik 25.03 0.72 Tarif Listrik 25.03 0.80
Rokok 16.78 0.61 Rokok 13.52 0.73
Sumbangan Inflasi 4 Komoditas 1.60 Sumbangan Inflasi 4 Komoditas 1.83
Inflasi 19 Komoditas 3.47 Inflasi 25 Komoditas 3.67
Perkiraan Inflasi Kupang 5.06 Perkiraan Inflasi Maumere 5.50
Inflasi NTT 5.12