kajian ekonomi dan keuangan regional - bi.go.id · grafik 2.10. andil berdasarkan kelompok barang...
TRANSCRIPT
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
TRIWULAN I
website : www.bi.go.id email : [email protected]
2016
KAJIAN EKONOMI DAN
KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
kredibel dan terbaik di regional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA :
1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi
kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien
serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk
mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi
pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan
akses dan kepentingan nasional;
4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta
melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai
untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,
Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan
terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan
ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 dengan penekanan
kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi,
Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan II 2016. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan
bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank
Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, 17 Mei 2016
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Ismet Inono Deputi Direktur
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iv
duduk di rumah memegang amanah
duduk di tanah memegang petuah
duduk di kampung menjadi payung
duduk di banjar bertunjuk ajar
duduk di ladang tenggang menenggang
duduk di negeri tahukan diri
duduk di dusun ia penyantun
duduk beramai elok perangai
apa tanda Melayu bertuah,
tahu berguru pada yang sudah
tahu berbuat pada yang ada
tahu memandang jauh ke muka
apa tanda Melayu terbilang,
dada lapang pandangan panjang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
iv
HALAMAN
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Daftar Tabel ......................................................................................................... vii
Daftar Grafik ........................................................................................................ viii
Daftar Gambar...................................................................................................... xii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih............................................................................ xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................ 1
BAB 1. KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL .............................................. 9
1.
2.
Kondisi Umum...........................................................................
PDRB Sisi Penggunaan...............................................................
9
11
2.1. Konsumsi ..................................................................... 12
2.2 Investasi (PMTB)............................................................. 15
2.3 Ekspor dan Impor ......................................................... 16
2.3.1. Ekspor ................................................................
2.3.2. Impor .................................................................
16
19
3. PDRB Sektoral ........................................................................... 20
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan.................. 21
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian .......................... 23
3.3. Sektor Industri Pengolahan ........................................... 24
3.4. Sektor Perdagangan, Besar dan Eceran, dan Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor...............................................
26
3.5. Sektor Konstruksi.......................................................... 27
Boks 1 Pemanfaatan CPO Supporting Fund
Boks 2 Strategi & Implementasi Dalam Pengembangan Kota Cerdas
DAFTAR ISI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
v
HALAMAN
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ................................................... 29
1. Kondisi Umum........................................................................... 29
2. Perkembangan Inflasi
2.1. Inflasi Kota.........................................................................
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru..............................................
2.1.2. Inflasi Kota Dumai....................................................
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan............................................
2.2. Disagregasi Inflasi...............................................................
2.2.1. Inflasi Inti (Core)........................................................
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.................................................
2.2.3. Inflasi Administered Price..........................................
30
35
35
36
37
38
39
40
41
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH 43
1. Kondisi Umum Perbankan........................................................... 43
2. Perkembangan Bank Umum........................................................ 44
2.1. .................................... 44
2.2. Perkembangan Dana Pihak 46
2.3. 47
3.
4.
Intermediasi dan Risiko Perbankan
49
51
4.1. 51
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah....................... 52
4.3. .......... 54
5. 56
6. . 58
7. Perkembangan Transaksi Pembayara ...... 60
7.1. 60
7.2. 60
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow-
60
61
61
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vi
HALAMAN
7.3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non
............
62
7.3.1 .. .. 62
BAB 4 KONDISI KEUANGAN DAERAH ........................................................... 64
1. Kondisi Umum .......................................................................... 64
2. Realisasi APBD 2015.................................................................. 65
2.1. Realisasi Pendapatan..................................................... 65
2.2. Realisasi Belanja............................................................. 67
Boks 3. Percepatan Penyerapan APBD Riau Tahun 2016
BAB 5 Perkembangan Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Daerah................ 70
1. ....... 70
2.
3.
Ketenagakerjaan... .......
Kesejahteraan Daerah.............................................................
3.1. Nilai Tukar Petani..............................................................
71
75
75
BAB 6 76
1. Prospek Makro ....... 76
2. Perkiraan Inflasi...... ................ 79
3. 81
Daftar Istilah xv
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
vii
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy) ........................... 12
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau ............................ 13
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton) ............... 16
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%) ....... 21
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta) ............ 44
Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar) .. 47
Tabel 3.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau ............. 52
Tabel 3.4 Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw.IV-2015 Menurut Sektor Ekonomi . 55
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tw I-2015 dan Tw-I 2016 .................. 65
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau ........................ 66
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi belanja Daerah Provinsi Riau ............................... 68
Tabel 5.1. Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%) ......................... 71
Tabel 5.2. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama ........................................................... 72
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan
Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I 2016 (dalam%, yoy) ...... 77
Tabel 6.2. Outlook Perekonomian Global ........................................................ 78
Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Tw.I-2016 ...... 79
DAFTAR TABEL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
viii
HALAMAN
Grafik 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) .... 10
Grafik 1.2.Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Provinsi Riau .................... 12
Grafik 1.3.Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini ........................................ 13
Grafik 1.4.Pergerakan Harga CPO Internasional dan TBS Lokal ............................. 13
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Perumahan ....................................................... 14
Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable Goods .................................................. 14
Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna ........................................................ 14
Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ......................................... 14
Grafik 1.9. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau ............................ 15
Grafik 1.10.Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau ............................ 15
Grafik 1.11. Perkembangan Industrial Production Amerika Serikat ........................ 17
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau ...................... 17
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau .......................... 17
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................... 18
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 18
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah
Tujuan .............................................................................................. 18
Grafik 1.17. Growth Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan .... 19
Grafik 1.18. Perkembangan Impor Non Migas Riau ............................................... 20
Grafik 1.19. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau ........... 20
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ............................ 20
Grafik 1.21. Perkembangan Impor Barang Konsumsi ........................................... 20
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian ............................. 22
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit ................................ 22
Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian ......................... 23
Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau ............................. 23
Grafik 1.26. Perkembangan Usaha Sektor Pertambangan dan Penggalian ........... 23
DAFTAR GRAFIK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
ix
Grafik 1.27. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan ........... 25
Grafik 1.28. Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan ............. 25
Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan Berdasarkan Subsektor ............. 26
Grafik 1.30. Realisasi Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Perdagangan ......... 26
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan
Minuman dan Tembakau di Riau ....................................................... 27
Grafik 1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Komoditi
Lainnya di Riau .................................................................................. 27
Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau ....................................................................... 27
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) .............................. 32
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota di Riau (yoy) ................................ 32
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy) .................. 33
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............ 33
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq) ............................... 34
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw I
2016 di Riau (qtq) ............................................................................. 35
Grafik 2.7. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw I
(2011-2015) .................................................................................... 36
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru
Tw I 2016 ......................................................................................... 36
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis
Tw I (2011-2015) .............................................................................. 37
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai
Tw I 2016 .......................................................................................... 37
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan ............................................. 38
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota
Tembilahan Tw I 2016 ........................................................................ 38
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) .............................................. 39
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................... 40
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................. 40
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia .................................................... 40
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable
Goods (yoy) ...................................................................................... 40
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) .............................. 41
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
x
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di
Kota Pekanbaru ................................................................................ 41
Grafik 2.20. Perkembangan inflasi Administered Price .......42
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................ 45
Grafik 3.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok ................ 45
Grafik 3.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ......... 45
Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank ..................... 45
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............. 46
Grafik 3.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan ............... 46
Grafik 3.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan...................... 48
Grafik 3.8. Pertumbuhan KRedit Berdasarkan Jenis Penggunaan ...................... 48
Grafik 3.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta ................ 48
Grafik 3.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta .................. 48
Grafik 3.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau ................................................ 49
Grafik 3.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau ............ 50
Grafik 3.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016............ 50
Grafik 3.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ........... 50
Grafik 3.15. Growth NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Tw I-2016 ......... 50
Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia ..................................... 51
Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia ................................................... 51
Grafik 3.18. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 .............. 52
Grafik 3.19. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016 ................ 52
Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Perumahan .................................................... 53
Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor .................................... 53
Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Multiguna ..................................................... 53
Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Durable Goods ............................................. 53
Grafik 3.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM ............................ 54
Grafik 3.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha ............................... 54
Grafik 3.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM .................................................. 55
Grafik 3.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan I-2016 (%) ....................................... 55
Grafik 3.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah .......................................... 56
Grafik 3.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan ... 56
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xi
Grafik 3.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Jenis
Penggunaan ................................................................................... 57
Grafik 3.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral ............ 57
Grafik 3.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah ........................................... 58
Grafik 3.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah .......................................... 58
Grafik 3.34. Perkembangan Aset BPR/S ............................................................. 58
Grafik 3.35. Perkembangan DPK BPR/S .............................................................. 58
Grafik 3.36. Perkembangan Kredit BPR/S ........................................................... 59
Grafik 3.37. Penyaluran Kredit Sektoral ............................................................. 59
Grafik 3.38. Perkembangan NPL BPR/S .............................................................. 59
Grafik 3.39. Perkembangan LDR BPR/S .............................................................. 59
Grafik 3.40. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau ........................ 60
Grafik 3.41. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Tw.I-2016 .............. 60
Grafik 3.42. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan ........................................ 61
Grafik 3.43. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Riau .............. 62
Grafik 3.44. Perkembangan Nilai dan Volume Transaksi Kliring di Riau .............. 63
Grafik 3.45. Growth Nilai dan Volume Transaksi Kliring di Riau ......................... 63
Grafik 4.1. Realisasi APBD Riau Tw I-2016 dan Tw I-2015 ................................. 66
Grafik 5.1. Perkembangan TPAK Riau Feb-2016 ............................................... 71
Grafik 5.2. Tingkat Pengangguran Terbuka Feb-2016 ........................................ 72
Grafik 5.3. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ............................... 72
Grafik 5.4. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja ................................ 73
Grafik 5.5. Jumlah Jam Kerja Per Minggu Feb-2016 .......................................... 74
Grafik 5.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan ............................................. 74
Grafik 5.7. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan ....................... 74
Grafik 5.8. Perkembangan NTP Riau ................................................................. 75
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen .................................... 77
Grafik 6.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen .................................... 77
Grafik 6.3. Perkembangan Harga Bumbu-bumbuan di Pekanbaru ..................... 80
Grafik 6.4. Perkembangan Harga Daging Segar dan Hasilnya di Pekanbaru. ....... 80
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
xii
HALAMAN
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan
Historisnya (yoy).....................................
31
DAFTAR GAMBAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiii
2016
I II III IV I II III IV I
Indeks Harga Konsumen*) :
- Provinsi Riau 111,51 112,42 115,00 119,90 118,39 120,73 121,55 123,08 123,63
- Kota Pekanbaru 111,13 111,89 114,51 119,56 117,98 120,31 121,04 122,80 123,16
- Kota Dumai 111,27 112,62 115,02 119,60 118,50 120,83 122,16 122,75 124,23
- Kota Tembilahan 116,05 117,61 120,11 124,06 122,58 124,94 125,77 126,62 127,48
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Provinsi Riau 7,75 6,59 5,81 8,65 6,17 7,39 5,70 2,65 4,42
- Kota Pekanbaru 7,38 6,17 5,50 8,53 6,16 7,53 5,70 2,71 4,39
- Kota Dumai 7,26 6,78 5,88 8,53 6,50 7,29 6,21 2,63 4,84
- Kota Tembilahan 12,59 10,64 8,91 10,06 5,63 6,23 4,71 2,06 4,00
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 4,05 2,83 2,61 1,39 (0,01) (2,13) (1,38) 4,45 2,34
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2.988,85 2.833,27 3.075,96 3.162,66 2.596,67 3.009,71 2.558,21 2.670,62 2.220,87
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4.442,86 4.119,36 4.548,42 5.196,40 4.348,07 5.124,68 4.697,82 5.378,39 4.183,82
Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 407,21 351,21 380,77 299,12 304,74 280,97 303,32 195,42 264,90
Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 542,25 585,34 602,44 686,66 723,88 531,30 482,82 390,43 670,17
2016
I II III IV I II III IV I
Bank Umum
Total Aset (dalam Rp Juta) 73.201.701 82.036.875 86.572.336 85.652.213 90.534.888 98.451.429 95.323.470 81.686.208 84.514.141
DPK (dalam Rp Juta) 54.466.287 60.795.211 63.383.834 64.143.197 66.525.297 70.420.859 69.189.487 62.050.178 62.588.183
- Giro 12.556.764 16.863.613 14.828.129 13.723.591 15.108.109 15.301.001 14.785.606 9.874.611 11.909.735
- Tabungan 27.363.917 26.936.859 27.586.835 29.478.220 27.139.376 27.688.804 28.427.087 31.117.804 28.694.078
- Deposito 14.545.606 16.994.736 20.968.870 20.941.386 24.277.812 27.431.054 25.976.795 21.057.764 21.984.370
Kredit (dalam Rp Juta) 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 52.401.716 54.012.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232
- Modal Kerja 14.871.302 15.620.041 15.971.702 16.318.273 16.078.784 16.801.235 16.801.524 17.653.632 17.488.673
- Investasi 15.482.142 16.292.777 16.080.635 16.621.249 16.716.814 17.125.784 17.428.770 17.480.648 17.203.391
- Konsumsi 18.134.236 18.755.434 18.926.530 19.343.915 19.606.118 20.085.465 20.716.283 21.403.968 21.560.168
- LDR (%) 89,02 83,34 80,43 81,51 78,77 76,70 79,41 91,12 89,88
- NPL (%) 3,32 3,54 3,57 3,46 3,64 4,16 4,34 3,71 4,07
Kredit UMKM (dalam Rp Juta) 18.094.921 19.753.458 19.687.770 20.032.690 19.809.940 20.212.276 19.894.360 19.884.668 19.905.368
- Mikro 4.424.699 5.210.241 4.940.401 5.402.536 5.461.112 5.531.045 5.465.328 5.645.990 5.835.773
- Kecil 7.030.433 7.279.402 7.669.811 7.531.647 7.439.193 7.775.301 7.771.320 7.687.958 7.791.884
- Menengah 6.639.789 7.263.815 7.077.558 7.098.507 6.909.635 6.905.929 6.657.713 6.550.721 6.277.711
NPL MKM (%) 5,12 5,82 5,99 5,49 6,20 6,71 7,41 6,76 7,65
BPR
Total Aset (dalam Rp Juta) 1.102.376 1.091.313 1.106.417 1.160.162 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785
DPK (dalam Rp Juta) 748.775 744.336 770.216 809.748 847.560 857.250 881.188 877.171 895.393
- Tabungan 336.569 345.835 352.030 356.075 364.632 349.230 353.742 348.011 347.972
- Deposito 412.206 398.502 418.186 453.673 482.929 508.020 527.447 529.160 547.421
Kredit (dalam Rp Juta) - berdasarkan lokasi proyek 762.700 782.561 815.127 836.111 864.307 911.096 916.504 907.081 916.870
Rasio NPL (%) 15,47 15,78 15,56 13,75 14,45 13,84 14,39 12,92 14,08
LDR (%) 101,86 105,14 105,83 103,26 101,98 106,28 104,01 103,41 102,40
2015
2015
B. PERBANKAN
INDIKATOR
2014
2014
A. INFLASI DAN PDRB
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xiv
C. SISTEM PEMBAYARAN2016
I II III IV I II III IV I
247.524 2.250.641 2.610.379 3.154.898 (111.261) 2.575.811 1.801.608 3.405.622 (868.335)
1.884.781 1.135.202 2.330.869 721.361 1.798.608 1.405.848 2.414.612 1.224.352 2.434.651
2.132.305 3.385.843 4.941.248 3.876.259 1.687.347 3.981.659 4.216.220 4.629.974 1.566.316
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 380.769 317.520 196.336 249.464 185.727 303.590 171.823 185.255 185.727
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) *) 73.538 97.703 90.461 104.120 89.640 109.603 88.477 68.937 -
Volume Transaksi RTGS (lembar) *) 47.244 48.670 48.509 52.078 31.363 32.636 30.853 13.564 -
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1.226 1.656 1.413 1.578 1.446 1.797 1.404 1.094 -
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 787 825 758 789 506 535 490 215 -
Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 7.742 7.672 8.070 8.438 7.881 5.163 8.684 7.366 7.367
Volume Transaksi Kliring (lembar) 261.889 257.996 256.661 274.715 254.005 135.164 237.984 206.110 223.872
Rata-rata Harian Nominal Transaksi Kliring (Rp miliar) 129 130 135 128 127 85 138 117 121
Rata-rata Harian Volume Transaksi Kliring (lembar) 60 59 60 66 62 61 63 63 61
20152014
Inflow (dalam Rp Juta)
Outflow (dalam Rp Juta)
Posisi Kas Gabungan (dalam Rp Juta)
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
I. GAMBARAN UMUM
Perekonomian Riau pada triwulan I 2016 tercatat melambat jika dibandingkan
dengan triwulan IV 2015, yaitu dari 4,45% (yoy) menjadi 2,34% (yoy), namun lebih
baik jika dibandingkan triwulan awal 2015 yang mengalami kontraksi 0,01% (yoy).
Perlambatan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga tercatat
melambat dari 5,02% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 4,92% (yoy) pada
triwulan I 2016. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa migas juga tercatat
Perekonomian Riau pada triwulan I-2016 melambat dibandingkan periode
sebelumnya
RINGKASAN EKSEKUTIF
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2015 yaitu dari 6,20% (yoy)
menjadi 3,52% (yoy). Perbaikan harga komoditas internasional yang masih terbatas,
belum optimalnya realisasi APBD pemerintah daerah, dan kinerja lifting minyak bumi
yang masih melanjutkan kontraksi menjadi penyebab utama melambatnya
pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2016.
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Perlambatan ekonomi dari sisi penggunaan pada triwulan I 2016 utamanya
disebabkan oleh menurunnya konsumsi pemerintah dan ekspor serta
melambatnya investasi. Menurunnya konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh
pola musiman belanja yang relatif terbatas pada awal tahun. Sedangkan
menurunnya kinerja net ekspor utamanya dipicu oleh gejolak ekonomi
negara tujuan ekspor yang berdampak terhadap menurunnya permintaan
komoditas ekspor unggulan baik migas dan non migas. Perlambatan
kegiatan investasi ini dipengaruhi oleh perilaku investor yang masih
cenderung menunggu perbaikan kondisi ekonomi (wait and see) sehingga
turut menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan ekonomi Riau
triwulan I 2016.
Di sisi lain, konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan I 2016
tercatat meningkat jika dibandingkan triwulan IV 2015. Meningkatnya
pertumbuhan konsumsi rumah tangga di awal tahun 2016 didorong oleh
perbaikan daya beli masyarakat seirig dengan peningkatan upah/gaji dan
perbaikan harga komoditas internasional, meskipun masih terbatas.
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 secara
umum menunjukkan perlambatan. Perlambatan kinerja terjadi dari tiga
sektor utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan konstruksi.
Selain itu, beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan
pergudangan, sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor
informasi dan komunikasi juga mengalami perlambatan. Sementara itu,
sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial mengalami
kontraksi sehingga menahan laju pertumbuhan pada triwulan laporan.
Namun demikian, perlambatan yang lebih dalam tertahan oleh kontraksi
yang semakin melandai di sektor pertambangan dan penggalian, serta
Perlambatan ekonomi Riau pada triwulan I 2016 utamanya berasal dari penurunan konsumsi pemerintah dan net ekspor.
Konsumsi rumah tangga cenderung meningkat seiring dengan perbaikan harga komoditas
global.
Perlambatan ekonomi dari sisi sektoral didorong oleh perlambatan kinerja sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas, sektor
perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa
keuangan.
Perlambatan kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada
triwulan laporan terindikasi dari melambatnya subsektor pertanian,
peternakan, perburuan dan jasa pertanian yang memiliki kontribusi terbesar
mencapai 0,94% terhadap total pertumbuhan. Salah satu faktor yang
mendorong perlambatan kinerja di sektor pertanian berasal dari
perlambatan perkebunan kelapa sawit sebagai dampak dari kabut asap yang
terjadi pada akhir tahun 2015 sehingga menyebabkan proses pemupukan
tertunda. Akibatnya, produktifitas sawit pada awal tahun 2016 mengalami
penurunan.
Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan laporan
utamanya didorong oleh perlambatan subsektor industri makanan dan
minuman. Perlambatan kinerja industri makanan dan minuman diperkirakan
terutama bersumber dari industri pengolahan kelapa sawit yang disebabkan
oleh gejolak ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih
berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain
itu, belum stabilnya harga komoditas global turut menggoncang kinerja
perusahaan pada triwulan laporan.
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan I 2016 relatif membaik
dibandingkan triwulan IV 2015, namun masih mencatatkan kontraksi.
Kontraksi pada sektor pertambangan utamanya didorong oleh kontraksi
pada subsektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi akibat semakin
berkurangnya cadangan minyak bumi dan keterbatasan perusahaan untuk
melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak
yang tidak memenuhi nilai keekonomisannya.
III. ASSESMEN INFLASI
Tekanan inflasi Riau pada triwulan I 2016 mengalami peningkatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu dari 2,65% (yoy) menjadi
4,42% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi terutama bersumber dari
kelompok volatile food akibat kenaikan harga pada kelompok bahan
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 2,65%
(yoy).
Perlambatan kinerja subsektor perkebunan kelapa sawit di awal tahun sebagai dampak asap di akhir tahun 2015 lalu.
Masih berlanjutnya gejolak ekonomi global berpengaruh terhadap penurunan kinerja sektor industri pengolahan Riau.
Pertambangan migas relatif membaik namun masih mencatatkan
kontraksi.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-
padian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi
dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih,
beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di
Kota Dumai yaitu mencapai 4,84% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru dan
Tembilahan masing-masing 4,39% (yoy) dan 4,00% (yoy). Tekanan inflasi
pada ketiga kota tersebut menunjukkan peningkatan bila dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Namun demikian, pencapaian inflasi tersebut
juga menunjukkan disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan
dengan Pekanbaru dan Dumai) relatif mengecil.
IV. ASSESMEN KEUANGAN
Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tercermin dari menurunnya
pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun Kredit.
Pada triwulan I-2016 aset perbankan tercatat mencapai Rp85,76 triliun,
mengalami penurunan dari kontraksi 4,49% (yoy) pada triwulan sebelumnya
menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 6,50% (yoy). Sementara, DPK pada
triwulan laporan tercatat sebesar Rp63,48 triliun, juga menurun dari kontraksi
3,12% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar
5,77% (yoy) pada triwulan laporan.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016
mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun
masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun
sebelumnya. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to
Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar 89,88% yang sebelumnya di triwulan IV-
2015 tercatat sebesar 91,12%. Namun demikian, nilai LDR tersebut masih
dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko likuiditas pada kondisi yang
masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan dalam penyaluran
kredit.
Kota Dumai tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu sebesar 4,84% (yoy) diikuti Kota Pekanbaru dan Kota Tembilahan masing-masing 4,39% dan
4,00% (yoy)
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan IV-
2015.
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh
sektor pertanian dan sektor perdagangan yang memiliki pangsa masing-
masing 22,30% dan 21,65% dengan nilai kredit masing-masing sebesar
Rp12,54 triliun dan Rp12,18 triliun. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian
masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit, sedangkan
subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran
makanan, minuman dan tembakau.
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I-2016 melambat jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi
tercermin dari melambatnya pertumbuhan kredit perumahan dan kredit
kendaraan bermotor di Provinsi Riau. Menurunnya realisasi kredit konsumsi
pada triwulan laporan diperkirakan didorong oleh daya beli masyarakat yang
belum membaik ditengah perbaikan harga komoditas yang masih terbatas.
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp19,91 triliun pada
triwulan I 2016, meningkat 0,48% (yoy) jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,74%. Porsi kredit yang
diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi Riau
juga mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari
35,17% menjadi 35,39%.
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat
membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari
meningkatnya pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan
triwulan IV-2015. Aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp4,93 triliun
meningkat sebesar 6,78% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-
2015 yang tumbuh sebesar 6,16% (yoy).
Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp1,24
triliun, melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 5,87%
menjadi 4,82% (yoy). Sementara, DPK BPR/S pada triwulan I-2016 tercatat
sebesar Rp895 miliar, tumbuh 5,64% (yoy) atau melambat dibandingkan
dengan triwulan IV-2015 yang tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Melambatnya
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor perdagangan
Kinerja perbankan syariah tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara, kinerja BPR/S menunjukkan
perlambatan.
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I-2016 melambat jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Penyaluran kredit UMKM pada triwulan I 2016 meningkat dibandingkan triwulan IV 2015.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
DPK BPR/S didorong oleh perlambatan Deposito (pangsa 61,14%) dari
16,64% menjadi 13,35% (yoy), serta terkontraksinya Tabungan (pangsa
38,86%) lebih dalam sebesar 4,57% (yoy).
Keuangan Daerah
Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara
umum mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi
pendapatan, APBD Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu
dari Rp8,7 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp7,6 triliun pada 2016. Di sisi
lain, anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif
meningkat dibandingkan tahun 2015. Peningkatan utamanya berasal dari
anggaran belanja transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah
Kabupaten/Kota.
Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi Riau pada awal tahun 2016 secara umum meningkat dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan I 2016
Anggaran Pendapatan Daerah telah terealisasi sebesar 22,74% dari total
yang dianggarkan, sementara itu realisasi Anggaran Belanja Daerah masih
sangat terbatas yaitu mencapai 4,61% dari total yang dianggarkan.
Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Daerah
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada
awal tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan. Dari indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan
kualitas ketenagakerjaan antara lain menurunnya angka Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di tahun 2015 menjadi 5,94%
di tahun 2016. Sementara perkembangan kesejahteraan di Provinsi Riau juga
membaik terlihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan I-2016
meningkat jika dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yakni dari 95,03
menjadi 97,36.
Realisasi anggaran pendapatan pemerintah Riau di triwulan I 2016 meningkat dibandingkan triwulan I 2015.
Perkembangan ketengakerjaan dan kesejahteraan daerah di awal tahun 2016 terindikasi membaik.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
V. PROSPEK
Perekonomian Daerah
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 secara umum
diperkirakan tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.51+0.5%(yoy)
dengan tendensi ke arah batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi
penggunaan diperkirakan berasal dari seluruh komponen baik konsumsi,
investasi, maupun ekspor yang mengalami perbaikan kinerja dibandingkan
triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara sektoral peningkatan kinerja
diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sektor
industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan
eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh berlanjutnya
penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang
diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I 2016.
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan pada triwulan
II 2016 diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi
rumah tangga. Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan
meningkat jika dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai
meningkatnya realisasi APBD pada triwulan II 2016. Dari sisi eksternal, kinerja
ekspor pada triwulan II 2016 diperkirakan membaik namun masih terbatas.
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang
diperkirakan akan membaik dibandingkan triwulan I 2016. Faktor
pendorong meningkatnya pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor
perkebunan sawit. Sejalan dengan peningkatan kinerja sektor pertanian
Riau, perkembangan sektor industri pengolahan juga diperkirakan akan
meningkat yang didorong oleh meningkatnya industri pengolahan CPO dan
produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri pengolahan pulp and
paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan migas menjadi
faktor yang menahan laju pertumbuhan.
Inflasi
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 diperkirakan tumbuh meningkat pada kisaran
2.51+0.5%(yoy).
Inflasi Riau pada triwulan II-2016 diperkirakan akan cenderung menurun yaitu kisaran 2.66+0.5% (yoy).
Dari sisi penggunaan, peningkatan diperkirakan berasal dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan ekspor. Sementara dari sisi sektoral diperkirakan bersala dari sektor pertanian dan sektor industri
pengolahan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
8
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
mengalami perlambatan, yaitu berada pada kisaran 2.66+0.5% (yoy).
Sedangkan secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 0.26+0.5% (qtq).
Adapun capaian inflasi hingga akhir tahun berada pada kisaran 3,62-4,62%
(yoy) 2015, masih berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016
sebesar 4±1% (yoy).
Faktor pendorong inflasi Riau pada triwulan II 2016 diperkirakan terutama
berasal dari inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan
makanan akibat keterbatasan pasokan seiring dengan berakhirnya masa
panen raya dan gangguan panen di beberapa sentra produksi yang banyak
memasok kebutuhan ke wilayah Riau. Inflasi kelompok administered price,
meski mengalami penurunan tekanan pada awal triwulan II 2016 akibat
penurunan harga BBM bensin dan solar, diperkirakan akan mulai meningkat
didorong oleh rencana peningkatan tarif listrik bulan Mei dan Juni.
Sementara itu, meskipun relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan sedikit
meningkat akibat mulai membaiknya daya beli masyarakat karena
meningkatnya penghasilan (akibat mulai meningkatnya harga TBS lokal).
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati
batas atas kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, El Nino yang
berpotensi menganggu produksi daerah sentra pertanian dan meningkatkan
inflasi bahan makanan. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang
berpotensi membawa inflasi ke batas bawah (upside risks) proyeksi, yaitu
perkembangan harga minyak dunia yang masih belum membaik sehingga
meminimalisir tekanan inflasi dari kelompok administered prices.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
9
1. KONDISI UMUM
Perekonomian Riau pada triwulan I 2016 mengalami pertumbuhan positif, yaitu
sebesar 2,34% (yoy). Pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan
dengan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 4,45% (yoy), namun lebih baik jika
dibandingkan triwulan awal 2015 yang mengalami kontraksi 0,01% (yoy).
Perlambatan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga tercatat
melambat dari 5,02% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 4,92% (yoy) pada
triwulan I 2016. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi provinsi Riau tanpa migas
Bab 1 KONDISI EKONOMI
MAKRO REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
juga tercatat mengalami perlambatan dibandingkan triwulan IV 2015 yaitu dari
6,20% (yoy) menjadi 3,52% (yoy).
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Melambatnya perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 utamanya
disebabkan oleh perlambatan kinerja sektor pertanian, industri pengolahan dan
konstruksi. Selain itu, beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan
pergudangan, sektor penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor
informasi dan komunikasi juga mengalami perlambatan. Seiring dengan
pelambatan sektor-sektor tersebut di atas, sektor administrasi pemerintahan,
pertahanan dan jaminan sosial juga mengalami kontraksi sehingga mendorong
perlambatan pada triwulan laporan. Di sisi lain, perlambatan yang lebih dalam
tertahan oleh kontraksi yang semakin melandai di sektor pertambangan dan
penggalian, serta peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas,
sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa
keuangan.
Faktor yang mendorong perlambatan kinerja di sektor pertanian berasal dari
perlambatan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, perlambatan kinerja sektor
industri pengolahan terutama bersumber dari subsektor industri pengolahan kelapa
sawit, subsektor pengolahan pulp dan kertas serta subsektor industri pengolahan
karet. Di sisi lain, perlambatan di sektor konstruksi terindikasi dari realisasi konsumsi
semen yang belum menunjukkan peningkatan yang signifikan pada awal tahun
2016.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
Dari sisi penggunaan, perlambatan kinerja ekonomi utamanya disebabkan oleh
menurunnya pertumbuhan konsumsi pemerintah dan pertumbuhan ekspor serta
melambatnya investasi selama triwulan I 2016. Pelemahan konsumsi pemerintah
utamanya disebabkan oleh pola musiman belanja pemerintah di awal tahun yang
masih relatif terbatas. Sementara itu, kontraksi pertumbuhan ekspor dipengaruhi
oleh gejolak ekonomi negara mitra dagang yang berdampak terhadap menurunnya
permintaan ekspor. Disamping itu, perilaku investor yang masih cenderung
menunggu (wait and see) berdampak terhadap melemahnya kegiatan investasi.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Perlambatan ekonomi dari sisi penggunaan pada triwulan I 2016 utamanya
disebabkan oleh menurunnya konsumsi pemerintah dan ekspor serta melambatnya
investasi. Konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat mengalami
kontraksi, demikian juga dengan kinerja ekspor yang menunjukkan kontraksi lebih
dalam dibandingkan triwulan sebelumnya. Menurunnya konsumsi pemerintah
dipengaruhi oleh pola musiman belanja yang relatif terbatas pada awal tahun.
Sedangkan menurunnya kinerja net ekspor utamanya dipicu oleh gejolak ekonomi
negara tujuan ekspor yang berdampak terhadap menurunnya permintaan
komoditas ekspor unggulan baik migas dan non migas. Namun pertumbuhan
ekspor yang lebih dalam mampu tertahan oleh ekspor antar daerah yang tercatat
tumbuh positif. Selain itu, kegiatan investasi masih tercatat tumbuh namun
melambat dibandingkan triwulan IV 2015. Perlambatan kegiatan investasi ini
dipengaruhi oleh perilaku investor yang masih cenderung menunggu perbaikan
kondisi ekonomi (wait and see) sehingga turut menjadi faktor yang menahan laju
pertumbuhan ekonomi Riau triwulan I 2016. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga,
yang memiliki pangsa terbesar kedua PDRB dari sisi penggunaan, tercatat
mengalami peningkatan pada triwulan laporan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Sumber: BPS Provinsi Riau
2.1. Konsumsi
Konsumsi rumah tangga Provinsi
Riau pada triwulan I 2016 tercatat
meningkat jika dibandingkan
triwulan IV 2015, yakni dari 5,56%
(yoy) menjadi 6,41% (yoy).
Meningkatnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga terindikasi
pula dari meningkatnya Indeks
Ekspektasi Konsumen (IEK) pada
level 110,8% pada triwulan I 2016 yang mengindikasikan optimisme konsumen
terhadap ekonomi ke depan (diatas batas 100) (Grafik 1.2). Meningkatnya IEK
didorong oleh peningkatan komponen Indeks Penghasilan Konsumen dan Indeks
Kegiatan Usaha seiring dengan adanya kenaikan upah/gaji di awal tahun dan
perbaikan harga komoditas pada triwulan I 2016.
2016
I II III IV I Tw 4 Tw 1
1. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga 7,23 6,00 6,36 5,92 5,56 5,95 6,41 1,88 2,04 2,31
2. Pengeluaran Konsumsi LNPRT 15,44 (0,07) (1,61) 0,70 2,09 0,29 2,89 0,01 0,00 0,01
3. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (3,08) 2,27 1,17 3,30 7,39 3,75 (7,29) 0,32 0,14 -0,22
4. Pembentukan Modal Tetap Bruto 1,81 1,61 2,40 5,31 6,79 4,06 5,17 2,07 1,23 1,65
5. Ekspor Luar Negeri 4,82 (30,63) (17,75) (9,55) 1,96 (15,27) (4,68) 0,64 -4,96 -1,24
6. Impor Luar Negeri (13,01) (7,10) (8,25) (17,42) 4,17 (7,65) (3,47) 0,15 -0,29 -0,14
7. Net Ekspor Antar Daerah 26,49 (83,04) (63,82) (983,21) 15,62 (59,89) (10,81) 0,15 -0,95 -0,46
PDRB 2,70 (0,01) (2,13) (1,38) 4,45 0,22 2,34 4,45 0,22 2,34
2015 2016 2015
Kontribusi Pertumbuhan
(%)
Komponen Pengeluaran
2014 2015
2015
Growth (% yoy)
Grafik 1.2. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Provinsi Riau
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
50
70
90
110
130
150
170
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
Hingga triwulan I 2016 pergerakan harga CPO Internasional menunjukkan
peningkatan sehingga mendorong perkembangan harga TBS lokal. Pada triwulan I
2016, harga CPO rata-rata mencapai $576 USD/MT atau naik sebesar 14,21% (yoy)
jika dibandingkan rata-rata harga triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar $504
USD/MT. Kondisi ini juga mendorong kenaikan harga TBS lokal yang tercatat
mencapai Rp1.387/Kg atau naik sebesar 13,05% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar Rp1.227/Kg (Grafik 1.4). Peningkatan
harga komoditas tersebut berpengaruh terhadap peningkatan penghasilan
masyarakat setempat yang tercermin dari meningkatnya indeks penghasilan
konsumen pada level 109,2 dan indeks kegiatan usaha sebesar 115,4.
Faktor lainnya yang mendorong masih baiknya tingkat konsumsi masyarakat pada
triwulan I 2016 tercermin dari penyaluran kredit konsumsi pada triwulan laporan
yang tercatat mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Total
kredit konsumsi yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai
Rp21,56 triliun atau tumbuh sebesar 9,97% (yoy). Peningkatan penyaluran kredit
konsumsi utamanya didorong oleh peningkatan penyaluran kredit konsumsi untuk
kredit durable goods dan kredit multiguna.
Grafik 1.3. Pergerakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 1.4. Pergerakan Harga CPO Internasional dan TBS Lokal
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Penghasilan Konsumen Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja
INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN ( IEK ) Garis 100
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,000
1,100
1,200
1,300
1,400
1,500
1,600
1,700
1,800
1,900
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
TBS (Rp/Kg) CPO (USD/MT)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
Di sisi lain, kredit konsumsi untuk perumahan tercatat melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya, sementara pertumbuhan kredit kendaraan bermotor tercatat
masih terkontraksi.
Sementara itu, perkembangan konsumsi pemerintah pada triwulan laporan tercatat
mengalami kontraksi dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 7,39% (yoy)
menjadi -7,29% (yoy). Kondisi pelemahan konsumsi pemerintah ini dipengaruhi
oleh pola musiman belanja pemerintah di awal tahun yang masih relatif terbatas.
Realisasi APBD pemerintah secara total tahun 2015 mencapai 67,41% (yoy) atau
mencapai Rp 7,6 triliun pada Triwulan IV-2015. Jika dilihat secara triwulanan, porsi
realisasi tersebut mencapai 6,36% (yoy) dari seluruh realisasi anggaran belanja
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Perumahan
Grafik 1.6. Perkembangan Kredit Durable Goods
Grafik 1.7. Perkembangan Kredit Multiguna
Grafik 1.8. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
Tri
liu
n
Perumahan g - yoy (kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Mili
ar
Durable goods g - yoy (kanan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
. Tr
iliu
n
Multiguna g - yoy (kanan)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
. M
iliar
Kendaraan g - yoy (kanan)
Tabel 1.2. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Provinsi Riau
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2016. Sementara itu, bila dibandingkan
dengan realisasi triwulan I tahun-tahun sebelumnya, realisasi APBD Riau pada
triwulan laporan tercatat paling rendah sebesar 4,61% (yoy). Sedangkan realisasi
tertinggi triwulan I terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 10,62% (yoy).
2.2. Investasi (PMTB)
Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan I 2016 tercatat melambat jika
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 6,79% (yoy) menjadi 5,17% (yoy).
Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya realisasi investasi baik Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) pada triwulan I
2016. Realisasi PMDN Riau triwulan I 2016 tercatat sebesar Rp42,46 miliar,
menurun signifikan dibandingkan triwulan IV 2015 yang mencapai Rp265,27
Miliar. Sedangkan realisasi PMA triwulan laporan tercatat sebesar Rp.1,34 triliun,
lebih rendah dibandingkan realisasi PMA triwulan sebelumnya yang mencapai
Rp2,78 triliun. Jika dilihat dari pertumbuhan, PMDN Riau triwulan I 2016
mengalami kontraksi sebesar 15,91% (yoy), menurun signifikan dibandingkan
dengan PMDN triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh mencapai 93,63%.
Sementara itu, PMA menunjukkan kontraksi yang lebih dalam dari 0,86% (yoy)
pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 20,05% (yoy) pada triwulan laporan.
Kondisi ini dipengaruhi oleh perilaku investor swasta yang masih cenderung
menunggu (wait and see) berdampak pada masih lemahnya kegiatan investasi, di
tengah upaya untuk mempercepat proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
Adapun pendorong PMDN di Riau utamanya bersumber dari kegiatan investasi
konstruksi dan properti, sedangkan PMA di provinsi Riau didominasi oleh investasi
di bidang industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi.
Grafik 1.9. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN di Provinsi Riau
Grafik 1.10. Perkembangan Nilai Realisasi PMA di Provinsi Riau
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
4.500.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
% yoyRp Juta Realisasi PMDN growth (yoy)
-500
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
-
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
% yoyUSD Ribu Realisasi PMA growth (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
2.3. Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor
Kinerja net ekspor Provinsi Riau pada triwulan I 2016 tercatat mengalami kontraksi
sebesar 4,18% (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi triwulan IV 2015 sebesar
0,42% (yoy). Sejalan dengan kinerja net ekspor, perkembangan ekspor luar negeri
Provinsi Riau pada triwulan laporan mengalami kontraksi sebesar 4,68% (yoy),
menurun jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat tumbuh sebesar
1,96% (yoy). Kontraksi kinerja ekspor pada triwulan laporan didorong oleh
perlambatan ekspor migas dan perbaikan kinerja sektor pertambangan dan
penggalian batubara yang belum menunjukkan perbaikan signifikan. Selain itu,
kinerja ekspor non migas juga tercatat melambat seiring dengan melambatnya
kinerja ekspor utama non migas Provinsi Riau yaitu minyak dan lemak nabati.
Berdasarkan komoditasnya, rendahnya pertumbuhan ekspor non migas Riau pada
triwulan laporan didorong oleh perlambatan ekspor CPO, pulp dan kertas serta
penurunan ekspor karet.
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
2016
I II III IV I IV-15 I-16 IV-15 I-16
Makanan dan Hewan Bernyawa 426,03 378,30 398,85 530,07 1.733,24 385,27 9,85 9,21 10,48 (9,57)
Tembakau dan Minuman 6,89 9,54 5,53 5,97 27,93 7,47 0,11 0,18 (9,56) 8,38
Barang Mentah 741,56 711,78 737,73 729,47 2.920,53 685,76 13,56 16,39 (14,52) (7,52)
Bahan Bakar Mineral dan Pelumas 28,20 53,34 15,37 22,16 119,06 40,08 0,41 0,96 10,79 42,10
Minyak dan Lemak Nabati 2.613,93 3.403,66 3.004,55 3.541,13 12.563,28 2.455,28 65,84 58,69 11,22 (6,07)
Bahan Kimia 118,96 171,17 114,89 136,84 541,85 172,27 2,54 4,12 (46,35) 44,81
Barang Manufaktur 412,50 396,91 420,91 413,11 1.643,43 437,40 7,68 10,45 (1,06) 6,04
Mesin dan Peralatan - 0,00 0,00 0,00 0,01 0,29 0,00 0,01 (96,31) 0,00
Hasil Olahan Manufaktur 0,00 0,00 0,01 0,00 0,01 - 0,00 - (98,95) (100,00)
Koin, bukan mata uang - - - - - - - - - -
4.348,07 5.124,70 4.697,83 5.378,75 19.549,34 4.183,82 100,00 100,00 3,11 (3,78) Total
Jenis 2015Pangsa (%) yoy (%)2015 (ribu ton)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
Berdasarkan hasil survei dan liaison, perlambatan kinerja subsektor industri
pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di Amerika Serikat,
Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga mengakibatkan menurunnya
permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga komoditas global turut
menggoncang kinerja perusahaan pada triwulan laporan. Sejalan dengan subsektor
industri makanan dan minuman, kinerja komoditas pulp dan kertas juga mengalami
perlambatan karena menurunnya permintaan kertas dari luar negeri sehubungan
dengan masih berlanjutnya politik dumping negara-negara kawasan Amerika
terhadap produk kertas Indonesia. Sementara itu, komoditas karet cenderung
melanjutkan tren penurunan sebagai dampak dari harga komoditas yang belum
menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
(20,0)
(10,0)
-
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(20,00)
(10,00)
-
10,00
20,00
30,00
40,00
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
800,0
900,0
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
Grafik 1.11. Perkembangan Industrial Production Amerika Serikat
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.15. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Berdasarkan negara tujuan ekspornya, perlambatan ekspor non migas pada
triwulan laporan utamanya berasal dari penurunan ekspor ke Eropa yang tercatat
sebesar 501 ribu ton. Volume ekspor tersebut mengalami kontraksi sebesar
15,36% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
kontraksi 0,38% (yoy).
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
(120,0)
(100,0)
(80,0)
(60,0)
(40,0)
(20,0)
-
20,0
40,0
60,0
-
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
400,0
450,0
500,0
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
%
ribu t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
250
-
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
786 762 1.078 1.034
678 759 766 1.024 965 780 869 942 681 891 971 1.188 773
511 481
787 675 835 818 635
920 598
538 651 990
510 798 644
720
524
783 733
842 922 851 662 814
920
691 651 548
518
580
637 606
787
622
734 563
600 901
644 585 658
609
573 432
589
759
592
570 587
756
501
1.343 1.257
1.433 1.457
1.830 1.657 1.558
1.667
1.617 1.717
1.892
1.988
1.985
2.228
1.890
1.928
1.638
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Cina India ASEAN MEE Lainnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
Grafik 1.17. Growth Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
Menurunnya pertumbuhan ekspor non migas ke Eropa utamanya tertahan oleh
peningkatan ekspor ke India. Volume ekspor ke India pada triwulan I 2016
mencapai 524 ribu ton, lebih tinggi jika dibandingkan volume ekspor triwulan yang
sama periode sebelumnya yang tercatat sebesar 510 ribu ton. Kinerja ekspor ke
India pada triwulan laporan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dari
kontraksi sebesar 27,30% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 2,80% (yoy) pada
triwulan laporan seiring dengan pertumbuhan ekonomi India yang menunjukkan
peningkatan.
2.3.2. Impor
Perkembangan impor Riau pada triwulan I 2016 tercatat meningkat dari 3,38%
(yoy) pada triwulan sebelumnya, menjadi 4,89% (yoy) pada triwulan laporan.
Peningkatan impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan bersumber dari
peningkatan impor non migas yang mengalami perbaikan kinerja dari kontraksi
sebesar 43,14% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 7,40% (yoy) pada
triwulan laporan. Jika dilihat dari jenis barang non migas yang diimpor, impor
barang konsumsi mengalami peningkatan yang sangat signifikan, utamanya
bersumber dari peningkatan barang konsumsi durable goods. Hal ini juga
terindikasi dari peningkatan volume impor durable goods dan kredit konsumsi
durable goods. Sementara itu, peningkatan kinerja impor juga didorong oleh
perbaikan kontraksi impor barang modal dan impor barang intermedier pada
triwulan laporan yang masing-masing tercatat sebesar 69,59% (yoy) dan 9,13%
-120
-100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
growth total
(% yoy)
growth per tujuan
(% yoy) Total Cina India ASEAN MEE Lainnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2015 yang masing-masing tercatat
kontraksi 93,11% (yoy) dan 36,34% (yoy). Kondisi ini juga dipengaruhi oleh
penguatan nilai tukar rupiah yang pada triwulan I 2016 secara rata-rata tercatat
sebesar Rp13.527,00/USD, membaik jika dibandingkan rata-rata nilai tukar rupiah
pada triwulan IV 2015 sebesar Rp13.773,00/USD.
Grafik 1.18. Perkembangan Impor Non Migas Riau
Grafik 1.19. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Grafik 1.20. Perkembangan Volume
Impor Barang Intermedier
Grafik 1.21. Perkembangan Impor
Barang Konsumsi
3. PDRB SEKTORAL
Kinerja sektor utama perekonomian Provinsi Riau pada triwulan I 2016 secara
umum menunjukkan perlambatan. Perlambatan kinerja terjadi dari tiga sektor
utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu,
beberapa sektor tersier seperti sektor transportasi dan pergudangan, sektor
penyediaan akomodasi makanan dan minuman, sektor informasi dan komunikasi
juga mengalami perlambatan. Sementara itu, sektor administrasi pemerintahan,
pertahanan dan jaminan sosial mengalami kontraksi sehingga menahan laju
pertumbuhan pada triwulan laporan. Namun demikian, perlambatan yang lebih
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
yoy,%Ribu Ton Volume (ribu ton) growth (rhs)
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
700
800
-
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang Modal(lhs) yoy (rhs)
(50)
(40)
(30)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
50
60
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang intermedier (lhs) yoy (rhs)
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
-
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
%ribu Ton Barang Konsumsi (lhs) yoy (rhs)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
dalam tertahan oleh kontraksi yang semakin melandai di sektor pertambangan dan
penggalian, serta peningkatan yang terjadi pada sektor pengadaan listrik dan gas,
sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan motor dan sektor jasa
keuangan.
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
3.1. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Provinsi Riau pada triwulan I 2016
masih tercatat mengalami pertumbuhan positif sebesar 3,26% (yoy) namun
melambat jika dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat sebesar 8,24% (yoy).
Perlambatan kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan
laporan terindikasi dari melambatnya subsektor pertanian, peternakan, perburuan
dan jasa pertanian yang memiliki kontribusi terbesar mencapai 0,94% terhadap
total pertumbuhan. Pada triwulan I 2016, pertumbuhan subsektor pertanian,
peternakan, perburuan dan jasa pertanian tercatat sebesar 6,01% (yoy), lebih
2015 2016
I II III IV I IV I
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6,21 7,28 -4,54 -7,62 8,24 0,35 3,26 1,85 0,08 0,75
Pertambangan dan Penggalian -5,28 -8,43 -7,62 -6,07 -5,50 -6,91 -2,92 -1,64 -2,12 0,94
Industri Pengolahan 5,63 -0,48 0,94 4,28 9,58 3,61 5,48 2,32 0,86 -0,29
Pengadaan Listrik, Gas 6,81 8,32 8,67 8,51 1,18 6,43 19,55 0,00 0,00 0,00
Pengadaan Air 1,06 -2,90 3,10 2,55 7,01 2,41 2,00 0,00 0,00 -0,85
Konstruksi 8,46 4,59 5,07 8,06 7,69 6,39 3,84 0,63 0,51 -0,61
Perdagangan Besar, Eceran, Rep. Mobil Motor 3,82 1,36 0,57 0,58 3,97 1,63 4,61 0,36 0,14 -0,06
Transportasi dan Pergudangan 7,99 4,29 4,58 5,69 6,85 5,38 4,52 0,05 0,04 0,00
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6,97 1,08 -2,17 -0,03 8,75 1,89 5,47 0,05 0,01 -0,13
Informasi dan Komunikasi 5,64 8,88 7,70 5,26 6,90 7,15 4,21 0,04 0,04 1,33
Jasa Keuangan 4,93 5,84 -3,44 -0,11 -0,69 0,35 1,72 -0,01 0,00 0,04
Real Estate 5,32 7,04 7,91 8,38 9,98 8,34 1,91 0,08 0,07 1,02
Jasa Perusahaan 12,84 6,98 7,09 8,31 8,25 7,67 0,19 0,00 0,00 0,00
Adm Pemerintahan, Pertahanan & Jam. Sos. 1,53 1,38 6,08 5,92 4,21 4,39 -5,07 0,07 0,07 0,00
Jasa Pendidikan 5,90 6,29 6,47 8,91 3,94 6,35 0,63 0,02 0,03 0,00
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 8,40 11,68 8,92 11,06 8,26 9,94 0,17 0,02 0,02 0,00
Jasa lainnya 11,14 8,41 9,55 11,20 11,24 10,14 5,65 0,05 0,04 0,23
2,70 -0,01 -2,13 -1,38 4,45 0,22 2,34 4,45 0,22 0,01
5,92 2,83 -0,57 -0,28 6,20 2,01 3,52 6,20 2,01 0,02
2015
Kontribusi Pertumbuhan (%)
2016
Growth (% yoy)
2015 2015 2014
PDRB
PDRB Tanpa Migas
Uraian
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
rendah dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar 10,88% (yoy). Berdasarkan
informasi dari contact liaison, faktor yang mendorong perlambatan kinerja di sektor
pertanian berasal dari perlambatan perkebunan kelapa sawit sebagai dampak dari
kabut asap yang terjadi pada akhir tahun 2015 sehingga menyebabkan proses
pemupukan tertunda. Akibatnya, produktifitas sawit pada awal tahun 2016
mengalami penurunan. Selain itu, faktor lain yang turut menekan pertumbuhan
sektor pertanian adalah musim hujan yang terjadi pada awal triwulan laporan yang
berdampak terhadap gagal panennya ribuan hektar padi.
Grafik 1.22. Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Pertanian
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.23. Perkembangan Kredit Perkebunan Kelapa Sawit
Sumber : LBU Bank Indonesia
Perlambatan kinerja juga dikonfirmasi oleh perkembangan kredit berdasarkan
lokasi bank yang disalurkan ke sektor pertanian yang tumbuh dari 10,88% (yoy) di
triwulan IV 2015 melambat menjadi 9,57% (yoy) pada triwulan I 2016, atau secara
nominal mencapai Rp. 12,54 triliun. Kredit pertanian tersebut sangat didominasi
oleh kredit yang disalurkan ke perkebunan kelapa sawit (pangsa 91,37%), yang
mengalami perlambatan pertumbuhan dari 15,09% (yoy) pada triwulan IV 2015
menjadi 13,47% (yoy) pada triwulan laporan. Demikian juga dengan kredit yang
disalurkan ke perkebunan karet tercatat mengalami kontraksi yang semakin dalam
dari kontraksi 8,92% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi kontraksi 14,01% (yoy)
pada triwulan I 2016. Hal tersebut mengindikasikan melambatnya kinerja
perkebunan kelapa sawit dan kinerja perkebunan karet di Provinsi Riau yang masih
melanjutkan tren penurunan.
Sejalan dengan subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian,
kinerja subsektor kehutanan dan penebangan kayu turut menekan laju
pertumbuhan karena masih mengalami kontraksi sebesar 7,10% (yoy), lebih dalam
-15,00
-10,00
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
% yoy
Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa Pertanian
Kehutanan dan Penebangan Kayu
Perikanan
0
10
20
30
40
50
60
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Kredit Kelapa Sawit g - yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar 0,01% (yoy). Disisi
lain, subsektor perikanan juga mengalami perlambatan dari 3,01% (yoy) pada
triwulan IV 2015 menjadi 0,09% (yoy) pada triwulan laporan. Perlambatan tersebut
diperkirakan karena cuaca ekstrim pada awal triwulan laporan akibat musim hujan
yang menimbulkan gelombang tinggi sehingga menjadi faktor penghambat untuk
melaut.
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan Riau pada triwulan I 2016 relatif membaik
dibandingkan triwulan IV 2015, yaitu dari
kontraksi sebesar 5,50% (yoy) menjadi
kontraksi 2,92% (yoy). Kontraksi pada sektor
pertambangan utamanya didorong oleh
kontraksi pada subsektor pertambangan
minyak bumi dan gas bumi. Berdasarkan hasil
survei dan liaison, penurunan tersebut
disebabkan semakin berkurangnya cadangan
minyak bumi dan keterbatasan perusahaan
untuk melakukan eksplorasi dan investasi ditengah melemahnya harga minyak
yang tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Kondisi ini juga tercermin dari
pencapaian lifting minyak bumi Provinsi Riau yang hingga triwulan I 2016 masih
cenderung melanjutkan tren penurunan. Pada bulan Januari 2016, total produksi
minyak kondesat di Provinsi Riau sebesar 263,07 ribu barrel per hari, menurun jika
dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 302,81 ribu barrel per hari.
Grafik 1.25. Perkembangan Lifting Minyak Bumi Provinsi Riau
Sumber: Kementerian ESDM
Grafik 1.26. Perkembangan Kegiatan Usaha di Provinsi Riau
Sumber: SKDU Bank Indonesia
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
I II III IV I II III IV I II III IV Tw-I
2013 2014 2015 2016
SBT
Grafik 1.24. Pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sumber: BPS Prov. Riau (diolah)
-100,00
-80,00
-60,00
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
% yoy
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Pertambangan Batubara dan Lignit
Pertambangan Bijih Logam
Pertambangan dan Penggalian Lainnya
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
Kinerja lifting minyak bumi di Riau ke depannya diperkirakan akan semakin
menurun akibat penurunan produktivitas sumur minyak yang sudah tua (natural
declining) dan minimnya penemuan sumber cadangan minyak baru yang produktif
di Provinsi Riau. Beberapa perusahaan pertambangan minyak berusaha menahan
laju penurunan produksi melalui penggunaan alat-alat drilling berteknologi tinggi,
seperti injeksi uap dan mulai melakukan uji coba bahan-bahan kimia seperti injeksi
kuman serta bahan kimia lainnya agar dapat mengambil sisa-sisa minyak bumi
namun tingginya biaya investasi tidak sebanding dengan harga minyak saat ini
sehingga tidak memenuhi nilai keekonomisannya. Selain itu, perusahaan minyak
juga dihadapkan pada permasalahan perijinan antara lain meliputi ijin eksploitasi,
ijin pengembangan sumur dan fasilitas produksi, serta ijin lingkungan (AMDAL)
termasuk terkait pembuangan limbah, dimana terjadi tumpang tindih antara
peraturan beberapa pihak berwenang.
Di sisi lain, perbaikan kontraksi di sektor pertambangan dan penggalian bersumber
dari perbaikan kinerja pertambangan batu bara yang tercatat kontraksi sebesar
24,44% (yoy), membaik dibandingkan kontraksi triwulan sebelumnya yang tercatat
sebesar 73,19% (yoy). Berdasarkan informasi dari contact liaison, kondisi ini
didorong oleh perkembangan harga batubara dunia yang mulai menunjukkan
peningkatan, sehingga perusahaan berupaya untuk terus mempertahankan
produksi dalam rangka menjaga eksistensi perusahaan dan memenuhi kontrak
dengan buyer pada triwulan laporan.
3.3. Sektor Industri Pengolahan
Kinerja sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan I 2016 tumbuh
5,48% (yoy), namun melambat jika dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat
sebesar 9,58% (yoy). Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan
laporan didorong oleh perlambatan subsektor industri makanan dan minuman,
subsektor industri kertas dan barang dari kertas, dan subsektor industri karet,
barang dari karet dan plastik. Pertumbuhan kinerja subsektor industri makanan dan
minuman pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 5,77% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,38%. Perlambatan
kinerja industri makanan dan minuman diperkirakan terutama bersumber dari
industri pengolahan kelapa sawit. Berdasarkan hasil survei dan liaison, perlambatan
kinerja subsektor industri pengolahan kelapa sawit dipengaruhi oleh gejolak
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
25
ekonomi di Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok yang masih berlanjut sehingga
mengakibatkan menurunnya permintaan ekspor. Selain itu, belum stabilnya harga
komoditas global turut menggoncang kinerja perusahaan pada triwulan laporan.
Sejalan dengan subsektor industri makanan dan minuman, subsektor industri kayu
dan barang dari kayu juga mengalami perlambatan dari 10,36% (yoy) pada
triwulan laporan menjadi 7,70% (yoy) pada triwulan laporan. Berdasarkan
informasi dari contact liaison, perlambatan tersebut disebabkan oleh menurunnya
permintaan kertas dari luar negeri sehubungan dengan masih berlanjutnya politik
dumping negara-negara kawasan Amerika terhadap produk kertas Indonesia.
Pertumbuhan subsektor industri karet, barang dari karet dan plastik juga tercatat
melambat 3,65% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015 sebesar
15,74%. Perlambatan ini utamanya disebabkan oleh harga komoditas yang belum
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Berdasarkan hasil survei dan liaison,
minimnya pasokan bahan baku mengakibatkan kinerja perusahaan di subsektor
industri pengolahan karet juga semakin menurun.
Di sisi lain, perlambatan kinerja sektor industri pengolahan tertahan oleh
peningkatan kinerja subsektor industri batubara dan pengilangan migas seiring
dengan perbaikan kinerja perusahaan batubara untuk menjaga eksistensinya
dengan meningkatkan produksi untuk memenuhi kontrak pada triwulan laporan.
Perlambatan kinerja sektor industri pengolahan juga dikonfirmasi oleh hasil Survei
Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia yang menunjukkan perkembangan kegiatan
usaha sektor industri pengolahan pada triwulan I 2016 relatif melambat
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Grafik 1.27 Perkembangan Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan
Sumber : BPS Provinsi Riau
Grafik 1.28. Perkembangan Kegiatan Usaha Sektor Industri Pengolahan
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
-15,00
-10,00
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
% yoy
Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik
Industri Makanan dan Minuman
Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
Industri Batubara dan Pengilangan Migas -7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
I II III IV I II III IV I II III IV Tw-I
2013 2014 2015 2016
SBT
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
26
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor
Kinerja sektor perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda
motor pada triwulan I 2016 tercatat perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya,
yaitu dari 3,97% (yoy) menjadi 4,61% (yoy). Peningkatan pada sektor ini terutama
didorong oleh peningkatan kinerja subsektor perdagangan mobil, sepeda motor
dan reparasinya yang pada triwulan IV 2015 tercatat kontraksi sebesar 0,03%
(yoy), meningkat menjadi 0,14% (yoy) pada triwulan laporan. Kondisi ini sejalan
dengan peningkatan konsumsi rumah tangga yang tercermin dari peningkatan
Indeks Rata-rata Penggunaan Penghasilan Konsumen untuk pengeluaran barang
transpor.
Grafik 1.29. Pertumbuhan Sektor Perdagangan berdasarkan subsektor
Sumber: BPS Provinsi Riau
Grafik 1.30. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: Survei Konsumen BI
Disisi lain, pertumbuhan kinerja subsektor perdagangan besar dan eceran triwulan I
2016 tercatat sebesar 4,27% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan triwulan IV
2015 yang tercatat sebesar 6,11% (yoy). Faktor yang menahan perbaikan kinerja
subsektor tersebut diperkirakan akibat penguatan nilai tukar rupiah yang masih
terbatas hingga triwulan laporan, sehingga harga barang-barang impor dan bahan
baku relatif tinggi. Selain itu, perkembangan perekonomian yang melambat juga
mensinyalir penurunan daya beli masyarakat sehingga kegiatan jual-beli tidak dapat
berjalan optimal.
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
% yoy
Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan Reparasinya Perdagangan Besar dan Eceran
50
70
90
110
130
150
170
190
210
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Pengeluaran Konsumsi Pengeluaran Barang Transpor
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
27
Namun demikian, jika dilihat dari kredit perbankan, peningkatan pertumbuhan
sektor perdagangan juga tercermin dari membaiknya kontraksi kredit subsektor
perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau serta
meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit untuk subsektor perdagangan
eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman, dan tembakau) berdasarkan
lokasi bank di Provinsi Riau. Pada triwulan I 2016, jumlah kredit yang disalurkan ke
subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan tembakau
mencapai Rp2,42 triliun, tumbuh 3,18% atau lebih baik dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat kontraksi sebesar 2,11% (yoy). Sementara itu,
penyaluran kredit ke subsektor perdagangan besar dan eceran komoditi lainnya
juga mencapai Rp728,6 miliar atau tumbuh 13,06% (yoy), meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,93% (yoy).
3.5. Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi pada triwulan
I 2016 melambat dibandingkan
triwulan IV 2015. Pertumbuhan sektor
konstruksi di Provinsi Riau pada
triwulan laporan tercatat sebesar
3,84% (yoy), lebih rendah
dibandingkan triwulan sebelumnya
yang mencapai 7,69% (yoy).
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan,
Minuman dan Tembakau di Riau
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik.1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar & Eceran Komoditi
Lainnya di Riau
Sumber: LBU Bank Indonesia
Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
-50
0
50
100
150
200
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Perdagangan eceran didominasi makanan, minuman dan tembakau
g - yoy (kanan)
-15
-10
-5
0
5
10
15
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Perdagangan eceran komoditi lainnya (bukan makanan, minuman dan tembakau)
g - yoy (kanan)
-20
-10
0
10
20
30
40
50
-
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
%
rib
u T
on
Konsumsi Semen (kiri) g.yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
28
Melambatnya pertumbuhan konstruksi pada triwulan laporan diindikasikan dengan
perlambatan realisasi konsumsi semen yaitu dari 546 ribu ton pada triwulan IV
2015 menjadi 374 ton pada triwulan laporan. Secara tahunan, pertumbuhan
konsumsi semen di Riau tercatat tumbuh sebesar 6,28% (yoy), lebih tinggi jika
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 3,29% (yoy). Perlambatan
investasi PMDN dan PMA di bidang konstruksi diperkirakan mendorong
perlambatan kinerja sektor ini pada triwulan laporan. Selain itu, belum
terealisasinya proyek-proyek pemerintah seiring dengan pola musiman belanja
pemerintah di awal tahun yang masih relatif terbatas turut menjadi faktor yang
menahan pertumbuhan sektor konstruksi1.
1 Pembahasan terkait realisasi APBD dapat dilihat pada Bab IV Buku KEKR ini.
BOKS 1 PEMANFAATAN CPO SUPPORTING FUND
Kelapa sawit merupakan komoditas strategis penyumbang cadangan devisa non migas
terbesar. Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki areal perkebunan terluas di Indonesia.
Total areal perkebunan sawit di Provinsi Riau tercatat sekitar 5,5 juta Ha, terdiri dari 1,5 juta Ha
kebun petani rakyat dengan komposisi 134.212 Ha merupakan kebun plasma petani. Sebagian
besar (80%) dari kebun plasma petani tersebut telah memasuki usia replanting. Kegiatan
replanting seharusnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 2006. Namun realisasi sampai dengan
2016, baru sekitar 60.000 Ha yang sudah direplanting. Pada awal tahun 1990, para petani
berinisiatif untuk melakukan penanaman tanpa memperoleh bimbingan/bantuan teknis dari
pemerintah daerah dan menggunakan sumber daya yang kurang memadai sehingga 65% dari
bibit yang digunakan bukan merupakan bibit unggul (Hasil FGD KPw.Bank Indonesia dengan
asosiasi dan pelaku usaha industri sawit, Februari 2016.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Untuk
mendukung kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.113
Tahun 2105 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDPKS). Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ini bertugas untuk
mengumpulkan dan mengelola dana pungutan atau yang dikenal dengan CPO Supporting Fund
(CSF) dalam rangka mendukung pengembangan industri kelapa sawit berkelanjutan.
Tabel Mandatori Biodiesel
Sumber : Kementerian ESDM
2015 2020 2025 2015 2020 2025
Transportation (PSO) 5% 10% 20% 15% 20% 30%
Transportation (Non PSO) 7% 10% 20% 15% 20% 30%
Industri 10% 15% 20% 15% 20% 30%
Kelistrikan 10% 15% 20% 25% 30% 30%
Mandatori Biodiesel
Permen ESDM No.32/2008
Mandatori Biodiesel
Permen ESDM No.12/2015Sektor
Mempertimbangkan kondisi saat ini, pungutan tersebut dinilai cukup memberatkan petani,
bahkan pada saat produksi mengalami penurunan dan belum stabilnya harga komoditas dunia,
petani tetap dikenakan pajak TBS sebesar 10%. Selain pajak yang dikenakan terhadap Tandan
Buah Segar (TBS), pelaku usaha juga dibebankan dengan pungutan termasuk pajak ekspor CPO
dan turunannya. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang diberlakukan
sejak 10 Juli 2015, menetapkan dana pungutan sebesar US$ 50 per ton produk ekspor CPO dan
US$ 30 per ton ekspor produk turunan CPO. Apabila harga patokan ekspor melampaui US$ 750
ton, pengekspor wajib membayarkan bea keluar sebesar 7,5%.
Tabel Kinerja Crude Palm Oil (CPO) Dunia
Sumber : USDA, Maret 2016
Total CPO Supporting Fund yang dihimpun selama tahun 2015 tercatat sekitar Rp.6,9
Triliun, dengan alokasi sekitar sekitar Rp.544 Miliar untuk subsidi biodiesel. Pada tahun 2016,
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akan mengucurkan dana sebesar Rp.9,5
Triliun dengan rencana alokasi penggunaan Rp.8 Triliun untuk subsidi pembayaran selisih kurang
antara HIP BBM Jenis Minyak Solar dengan HIP BBN Jenis Biodiesel, sisanya sebesar Rp.1,5 Triliun
digunakan untuk kegiatan riset, replanting, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
dengan pelaku usaha dan asosiasi kelapa sawit pada tanggal 29 Februari 2016 lalu, pengenaan
pajak pungutan ekspor CPO dibebankan kembali kepada petani kelapa sawit, namun petani hanya
menerima sebagian kecil dari dana pungutan yang telah terhimpun tersebut. Dalam ekonomi
kerakyatan, pungutan ekspor yang dikembalikan kepada masyarakat akan menghasilkan multiplier
effect yang cukup signifikan bagi perekonomian setempat. Oleh sebab itu, penggunaan alokasi
CPO Fund tersebut perlu direview kembali dan diharapkan dapat dialihkan ke alokasi dana untuk
membantu kebutuhan replanting dan pengembangan petani swadaya serta petani plasma kelapa
sawit.
Disisi lain, kebutuhan biaya replanting tercatat sekitar Rp.60 juta/Ha, namun dana yang
disalurkan kepada petani dari Badan Layanan Umum (BLU) hanya sebesar Rp.35 juta, sedangkan
sisanya ditanggung sendiri oleh pihak petani. Selain itu, dana hibah untuk replanting sampai
dengan tanam dan pemeliharaan 1 tahun pertama tercatat sebesar Rp.25 juta/Ha, sedangkan yang
dibutuhkan adalah sebesar Rp.43,5 juta/Ha sehingga terdapat kekurangan dana sebesar Rp.18,5
juta/Ha. Kekurangan biaya tersebut diharapkan dapat ditutup melalui bantuan dari pemerintah baik
pusat maupun daerah, termasuk support dari alokasi CPO Fund. Demikian juga dengan masalah
pembiayaan bagi petani kelapa sawit, sejumlah petani kelapa sawit mengharapkan agar
mekanisme pemberian kredit perbankan lebih dipermudah. Untuk mendukung optimalisasi
pemanfaatan CPO Supporting Fund diperlukan pula regulasi terkait proteksi harga sawit setempat
agar kesejahteraan petani kelapa sawit tidak terganggu, serta mengingat besarnya kontribusi
subsektor perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian Provinsi Riau.
BOKS 2 STRATEGI & IMPLEMENTASI DALAM PENGEMBANGAN KOTA CERDAS
Secara garis besar, kota cerdas merupakan pengembangan, penerapan, dan implementasi tatanan kota
yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas kehidupan, mengurangi biaya dan
konsumsi sumber daya. Selain itu, implementasi kota cerdas ini dapat membantu meningkatkan
interaksi antar kota dan warganya secara lebih efektif sebagaimana yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pada dasarrnya, sebuah kota/wilayah diklasifikasikan
sebagai kota cerdas jika memiliki 6 kriteria sebagai berikut:
Pengembangan kota cerdas meliputi beberapa tahapan, antara lain;
Ad.Hoc : Pengembangan dasar atau tahap rencana
Opportunistic : Kolaborasi secara proaktif antar departemen dan stakeholder
Repeatable : Terintegrasi, fokus untuk peningkatan hasil pelayanan
Smart Economy (Competitiveness)
•Innovative spirit
•Entrepreneurship
•Economic image & trademarks
•Productivity
•Flexibility of labour market
•International embeddedness
•Ability to transform
Smart People (Social and Human Capital)
•Level of qualification
•Affinity to life long learning
•Social and ethnic plurality
•Flexibility
•Creativity
•Cosmopolitan/Open-mindedness
•Participation in public life
Smart Governance (Participation)
•Participation in decision making
•Public and social services
•Transparent governance
•Political strategies & perspectives
Smart Mobility (Transport and ICT)
•Local accessibility
•(Inter-) national accessibility
•Availability of ICT-infrastructure
•Sustainable, innovative and safe transport systems
Smart Environment (Natural Resources)
•Attractivity of natural conditions
•Pollution
•Environmental protection
•Sustainable resource management
Smart Living (Quality of Life)
•Cultural facilities
•Health conditions
•Individual safety
•Housing quality
•Education facilities
•Touristic attractivity
•Social cohesion
Tabel Kriteria Kota Cerdas
Managed : Sistem yang diperuntukkan mendukung aliran data/informasi dan proses
kerja serta memiliki standar
Optimis : Implementasi yang berkelanjutan dalam mencapai pertumbuhan yang
Berkelanjutan
Berdasarkan hasil pemetaan implementasi di Sumatera, perkembangan kota cerdas masih terfokus pada
smart government. Hal ini mengindikasikan cukup besarnya gap implementasi kota cerdas antar kota di
wilayah Sumatera. Sementara itu, jika dilihat dari tahapan pengembangan kota cerdas, Pekanbaru
berada pada tahapan Opportunistic yang merupakan kolaborasi secara proaktif antar departemen dan
stakeholder.
Untuk mendukung implementasi Kota Cerdas di Pekanbaru, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu
mendapatkan perhatian pemerintah daerah, sebagai berikut:
Penyediaan sarana dan prasarana transportasi dan infrastruktur yang memadai
Pemberdayaan masyarakat termasuk UMKM dan Koperasi
Peningkatan kualitas pelayanan publik dan perbaikan prosedur perizinan
Percepatan masterplan pengembangan kota cerdas
Membentuk komitmen dan dasar hukum pengembangan kota cerdas
Melakukan kerjasama dengan vendor (mitra kerja) pendukung melalui Memorandum of
Understanding
Pengintegrasian dan konektivitas antar aplikasi.
-1,0
1,0
3,0
5,0
SmartEconomy
SmartPeople
SmartGovern…
SmartMobility
SmartEnviron…
SmartLiving
Pekanbaru
(1,00)
1,00
3,00
5,00Smart Economy
Smart People
SmartGovernment
Smart Mobility
SmartEnvironment
Smart Living
SUMATERA
Tabel Klasifikasi Tahapan Kota Cerdas Pekanbaru dan Sumatera
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
29
1. KONDISI UMUM
Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan I 2016 berada pada level di
bawah perkiraan sebelumnya. Meski demikian tekanan inflasi Riau pada triwulan I
2016 (yoy)1 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Peningkatan tekanan inflasi terutama bersumber dari kelompok volatile food akibat
kenaikan harga pada kelompok bahan makanan, terutama berasal dari
subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, ikan segar dan sayur-sayuran.
Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok tersebut ialah cabai merah,
bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai rawit, patin dan buncis.
Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan gangguan produksi selama musim
1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
PERKEMBANGAN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
30
hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa,
serta berakhirnya masa panen padi. Namun demikian, peningkatan laju inflasi
tertahan oleh penurunan harga komoditas pada akhir triwulan seperti daging ayam
ras, telur ayam ras, ikan gabus, daging sapi, kentang dan wortel karena
meningkatnya pasokan sehingga mendorong penurunan harga pada komoditas
tersebut. Sejalan dengan inflasi kelompok volatile food, kelompok administered
price juga mengalami peningkatan inflasi secara tahunan akibat koreksi harga pada
kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang tidak sedalam awal tahun
lalu.
Sebaliknya, pergerakan inflasi kelompok core tercatat mengalami penurunan
sebagai dampak relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai menunjukkan trend
penurunan sejak awal tahun 2016. Disamping itu, penurunan tingkat inflasi ini juga
turut dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan
ekonomi Riau yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum. Selain itu,
pada akhir bulan triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi inti didorong oleh
penurunan harga beberapa bahan bangunan seperti batu bata, semen, dan seng,
serta beberapa obat-obatan. Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan
inflasi inti adalah kenaikan harga komoditas emas perhiasan dan kenaikan harga
sepeda motor seiring dengan kenaikan harga emas di pasar global dan kenaikan
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30%.
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar 4,42% (yoy), lebih tinggi jika
dibandingkan triwulan IV-2015 yang tercatat sebesar 2,65%. Kondisi ini sejalan
dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan peningkatan dari
3,35% pada triwulan IV-2015 menjadi 4,45% pada triwulan I-2016. Namun, jika
dibandingkan dengan rata-rata historisnya 5 tahun terakhir 2011-2015, inflasi Riau
pada triwulan I-2016 masih tercatat lebih rendah.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
31
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw I 2016 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, peningkatan inflasi Riau bersumber dari kelompok volatile food
akibat kenaikan harga cabai merah, bawang merah, bawang putih dan beras pada
akhir triwulan. Kenaikan tersebut terjadi seiring dengan gangguan produksi selama
musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan
Jawa, serta berakhirnya masa panen padi. Disamping itu, tekanan inflasi juga
terjadi pada kelompok administered price bersumber dari kenaikan harga tarif listrik
akibat penyesuaian harga tarif listrik rumah tangga golongan 1.300VA-2.200VA
pada bulan Januari 2016 (meskipun menurun pada 2 bulan berikutnya) dan
penurunan harga BBM yang tidak sedalam dengan penurunan harga pada awal
tahun lalu. Disisi lain, tekanan inflasi inti terutama bersumber dari kenaikan harga
komoditas emas perhiasan yang didorong oleh kenaikan harga emas di pasar
global seiring dengan ketidakpastian peningkatan Fed Fund Rate (FFR) dan
kenaikan harga sepeda motor akibat kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
hingga 30%.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi terjadi di Kota
Dumai yaitu mencapai 4,84% (yoy), diikuti oleh Pekanbaru dan Tembilahan
masing-masing 4,39% (yoy) dan 4,00% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota
tersebut menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Namun demikian, pencapaian inflasi tersebut juga menunjukkan
disparitas inflasi antar ketiga kota (terutama Tembilahan dengan Pekanbaru dan
Dumai) relatif mengecil.
2.65 4.42
6.23
Tw IV Tw I Avg Tw I
2015 2016 2011 - 2015
Riau
3.35 4.45
6.04
Tw IV Tw I Avg Tw I
2015 2016 2011 - 2015
Nasional
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
32
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan
Nasional (yoy)
Grafik 2.2. Perkembangan Inflasi Ketiga Kota
di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei di Provinsi Riau,
sumber peningkatan tekanan inflasi secara tahunan pada triwulan I 2016 terutama
berasal dari peningkatan inflasi kelompok bahan makanan, kelompok makanan
jadi, kelompok perumahan, kelompok transportasi dan komunikasi, serta kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga dengan kontribusi masing-masing sebesar
2,34%, 1,00%, 0,49%, 0,33% dan 0,25% terhadap inflasi Riau. Kelompok bahan
makanan, kelompok transportasi dan komunikasi, kelompok pendidikan, rekreasi
dan olahraga serta kelompok sandang mengalami peningkatan kontribusi
dibandingkan triwulan sebelumnya. Sebaliknya kelompok perumahan, kelompok
makanan jadi dan kelompok kesehatan mengalami penurunan kontribusi
dibandingkan triwulan sebelumnya. Adapun kelompok barang dan jasa yang
memberikan kontribusi terkecil adalah kelompok kesehatan dan kelompok sandang
masing-masing memberikan kontribusi sebesar 0,09% dan 0,15%.
Apabila dilihat level inflasinya, tingkat inflasi tertinggi pada triwulan I-2016 dialami
oleh kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau masing-masing sebesar 9,27% (yoy) dan 4,89% (yoy), diikuti kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga sebesar 2,32% (yoy).
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
% (yoy) Nas Riau Smt
4.39
4.84
4.00
4.42
I II III IV I II III IV I
2014 2015 2016
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
33
Grafik 2.3. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa (yoy)
Sementara itu, perkembangan inflasi Riau secara triwulanan menunjukkan
penurunan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,25%
menjadi 0,45% (qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih turun
jika dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
terakhir yang tercatat sebesar 0,77% (qtq).
Grafik 2.4. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Menurunnya tekanan inflasi Riau secara triwulanan didorong oleh menurunnya
harga subkelompok daging dan hasil-hasilnya; telur, susu dan hasil-hasilnya; bahan
bakar, penerangan dan air; sayur-sayuran dan transpor. Dilihat dari komoditasnya,
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
34
penurunan harga utamanya bersumber dari penurunan daging ayam ras, telur
ayam ras, tarip listrik dan ikan gabus. Penurunan harga daging ayam ras dan telur
ayam ras diperkirakan seiring dengan panen Day Old Chick (DOC) dan
meningkatnya impor jagung yang mampu meredam peningkatan harga pakan
ternak. Selain itu beberapa upaya pengendalian inflasi di Provinsi Riau juga mulai
diintensifkan pelaksanaannya, antara lain operasi pasar oleh Bulog Divre Riau-Kepri,
monitoring tata niaga LPG (dikoordinir oleh Pertamina dan Disperindag), upaya
peningkatan produksi pangan lokal melalui pencetakan sawah baru di beberapa
lokasi dan program urban farming di bebebrapa wilayah perkotaan. Lebih lanjut,
TPID Riau juga memiliki beberapa rencana kegiatan intervensi dalam rangka
stabilisasi harga pangan 2016, antara lain operasi pasar dan pasar murah, sidak
distributor/gudang dengan melibatkan seluruh unsur antar Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD)/Instansi swasta di tingkat Kabupaten/Kota.
Grafik 2.5. Historis Inflasi selama Tw I di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, maka inflasi triwulanan terbesar
terjadi di kota Dumai sebesar 1,21% (qtq), sementara inflasi di Tembilahan dan
Pekanbaru masing-masing sebesar 0,68% (qtq) dan 0,29% (qtq). Inflasi triwulanan
di Pekanbaru tercatat lebih rendah jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebesar 1,45% (qtq), sebaliknya inflasi di Dumai tercatat lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya sebesar 0,48% (qtq). Sementara itu jika dibandingkan dengan historis
5 tahun terakhir, inflasi triwulanan Pekanbaru dan Tembilahan pada triwulan
laporan lebih rendah, sedangkan Dumai menjadi satu-satunya daerah yang
mengalami inflasi lebih tinggi dibandingkan historis 5 tahun terakhir yang sebesar
0,18% (qtq).
1.00
0.770.87
0.18
0.88
0.62
0.45
0.29
1.21
0.68
-0.5
0.5
1.5
Nasional Riau Pekanbaru Dumai Tembilahan
% (qtq) Historis 2011-2015 Tw I-2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, kelompok
transportasi & komunikasi dan kelompok perumahan merupakan kelompok yang
mengalami deflasi sebesar -1,24% (qtq) dan -0,07% (qtq). Kedua kelompok
tersebut memberikan andil pada inflasi triwulan laporan masing-masing sebesar -
0,19% dan -0,02%. Sementara itu, kelompok bahan makanan merupakan
kelompok yang mengalami inflasi triwulanan tertinggi yaitu 1,49% (qtq) sehingga
memberikan andil inflasi secara keseluruhan 0,38%.
Grafik 2.6. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Tw I 2016 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
2.1. Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru
Pada triwulan I-2016, Kota Pekanbaru mengalami inflasi sebesar 4,39% (yoy), lebih
tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 2,71% (yoy).
Peningkatan tekanan inflasi terutama terjadi pada kelompok volatile food, akibat
peningkatan harga komoditas bumbu-bumbuan terutama cabai merah, bawang
merah dan bawang putih seiring dengan gangguan produksi selama musim hujan
di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa. Sumber
peningkatan inflasi juga bersumber dari kelompok core akibat kenaikan harga emas
perhiasan, biaya pendidikan dan harga sepeda motor. Laju tekanan inflasi tertahan
oleh penurunan harga daging ayam ras dan telur ayam ras pada kelompok volatile
food, serta kelompok administered price akibat menurunnya tarif listrik, angkutan
udara dan bensin pada triwulan laporan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa, inflasi tertinggi dialami oleh kelompok
bahan makanan (10,09%, yoy) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok,
tembakau (4,42%, yoy), selanjutnya diikuti oleh inflasi pada kelompok pendidikan,
rekreasi, olahraga (2,94%, yoy), kelompok perumahan (2,37%, yoy), kelompok
transportasi & komunikasi (2,11%, yoy) dan kelompok sandang dan kesehatan
yang masing-masing tercatat sebesar 1,91% (yoy) dan 1,51% (yoy).
Sebagian besar kelompok komoditas mengalami inflasi yang lebih tinggi
dibandingkan triwulan sebelumnya, dengan peningkatan terbesar terjadi pada
kelompok bahan makanan dari 5,79% (yoy) menjadi 10,09% (yoy), kelompok
transportasi & komunikasi dari -3,05% (yoy) menjadi 2,11% (yoy), serta kelompok
pendidikan, rekreasi, olahraga dari 1,75% (yoy) menjadi 2,94% (yoy),. Sebaliknya,
kelompok komoditas yang mengalami penurunan laju inflasi yaitu kelompok
kesehatan dari 2,51% (yoy) menjadi 1,51% (yoy), kelompok perumahan dari
3,31% (yoy) menjadi 2,37% (yoy) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok
tembakau dari 4,96% (yoy) menjadi 4,42% (yoy).
Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw I (2011-
2015)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.8. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw I
2016
2.1.2. Inflasi Kota Dumai
Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga
mengalami peningkatan dari 2,63% (yoy) menjadi 4,84% (yoy). Peningkatan inflasi
kota Dumai terutama bersumber dari peningkatan inflasi volatile food akibat
keterbatasan pasokan cabai merah, beras dan bawang merah akibat keterbatasan
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
pasokan, serta peningkatan inflasi kelompok core yang berasal dari kelompok
makanan jadi, minuman, rokok & tembakau akibat kenaikan harga bahan baku.
Peningkatan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price akibat kenaikan
tarip parkir, rokok kretek filter dan bahan pelumas/oli.
Apabila dilihat per kelompok komoditas, peningkatan inflasi tertinggi terjadi pada
kelompok bahan makanan dari -2,23% (yoy) menjadi 5,84% (yoy), diikuti
kelompok transportasi & komunikasi dari -3,23% (yoy) menjadi 2,08% (yoy), serta
kelompok kesehatan dari 3,69% (yoy) menjadi 5,40% (yoy). Sebaliknya penurunan
tekanan inflasi terjadi pada kelompok perumahan dari 4,00% (yoy) menjadi 1,77%
(yoy), kelompok makanan jadi dari 10,45% (yoy) menjadi 8,32% (yoy), kelompok
sandang dari 5,27% (yoy) menjadi 4,39% (yoy) dan kelompok pendidikan, rekreasi,
olahraga dari 7,89% (yoy) menjadi 7,58% (yoy).
Grafik 2.9. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw I (2011-2015)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.10. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw I 2016
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan
Inflasi yang terjadi di Kota Tembilahan tercatat sebagai inflasi terendah di Provinsi
Riau yaitu mencapai 4,00% (yoy) pada triwulan I 2016. Searah dengan kedua kota
lainnya, tekanan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan laporan mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 2,06% (yoy),
terutama akibat kenaikan harga komoditas volatile food seperti bawang merah dan
cabai merah, beras, cabai rawit dan bawang putih. Kenaikan harga ini
menyebabkan peningkatan tekanan inflasi yang signifikan terhadap inflasi
kelompok bahan makanan dari 2,72% (yoy) menjadi 7,51% (yoy).
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0
2
4
6
8
10
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
% (qtq)% (yoy) Inflasi Triwulanan Inflasi Tahunan avg yoy
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
38
Selain itu, tekanan inflasi dari kelompok core berasal dari kenaikan harga emas
perhiasan yang dipengaruhi oleh kenaikan harga emas di pasar global. Disisi lain
tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok administered price yang bersumber dari
kelompok transportasi & komunikasi sehingga meningkatkan tekanan inflasi
dibandingkan dari -3,02% (yoy) menjadi 1,89% (yoy).
Kelompok komoditas lainnya yang mengalami peningkatan inflasi adalah kelompok
sandang dari 1,63% (yoy) menjadi 2,19% (yoy) dan kelompok makanan jadi dari
2,83% (yoy) menjadi 3,26% (yoy). Sedangkan penurunan tekanan inflasi terjadi
pada kelompok perumahan dari 4,15% (yoy) menjadi 2,08% (yoy), kelompok
kesehatan 4,69% (yoy) menjadi 4,14% (yoy) dan kelompok pendidikan, rekreasi,
olahraga dari 4,88% (yoy) menjadi 4,84% (yoy).
Grafik 2.11. Perkembangan Inflasi Kota Tembilahan
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.12. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw I 2016
2.2. Disagregasi Inflasi2 (yoy)
Peningkatan tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan, utamanya didorong oleh
kelompok volatile food akibat kenaikan harga yang terjadi pada kelompok bahan
makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan, padi-padian, ikan
segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi dari kelompok
tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras, jengkol, cabai
rawit, patin dan buncis. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan gangguan
2 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
39
produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera Barat,
Sumatera Utara dan Jawa dan berakhirnya masa panen padi.
Sejalan dengan inflasi kelompok volatile food, peningkatan juga terjadi pada
kelompok core akibat kenaikan harga komoditas emas perhiasan seiring dengan
kenaikan harga emas di pasar global, serta kenaikan harga kendaraan bermotor
akibat kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30% namun peningkatan
tersebut tidak setinggi triwulan sebelumnya.
Sebaliknya, peningkatan laju inflasi tertahan oleh penurunan harga dari kelompok
administered price akibat penurunan tarif listrik dan harga bensin sebagai lanjutan
koreksi harga pada triwulan laporan.
Grafik 2.13. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
2.2.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti pada triwulan I 2016 mengalami penurunan dibandingkan triwulan
IV 2015 sebagai dampak relatif terjaganya nilai tukar rupiah yang mulai
menunjukkan trend penurunan sejak awal tahun 2016. Penurunan tingkat inflasi ini
juga turut dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat akibat perlambatan
ekonomi Riau yang menyebabkan penurunan permintaan secara umum. Selain itu,
pada akhir periode triwulan laporan perlambatan tekanan inflasi inti didorong oleh
penurunan harga beberapa bahan bangunan seperti batu bata, semen, dan seng,
serta beberapa penurunan harga obat-obatan.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
40
Di sisi lain, hal utama yang menahan laju penurunan inflasi inti adalah kenaikan
harga komoditas emas perhiasan yang didorong oleh kenaikan harga emas di pasar
global seiring dengan ketidakpastian peningkatan Fed Fund Rate (FFR). Selain emas
perhiasan, penyumbang inflasi inti terbesar lainnya adalah kenaikan harga sepeda
motor seiring dengan kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) hingga 30%.
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, maka inflasi inti tertinggi terjadi di kota
Dumai yaitu sebesar 4,69% (yoy), lebih tinggi dibandingkan 2 (dua) kota lainnya
yaitu kota Pekanbaru dan Tembilahan masing-masing sebesar 2,67% (yoy) dan
2,44% (yoy). Apabila dilihat pergerakannya, inflasi inti di ketiga kota tersebut
mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Grafik 2.14. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.15. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.16. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.17. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
2.2.2. Inflasi Volatile Food
Perkembangan harga kelompok volatile food pada periode laporan juga mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Meningkatnya
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
20
May
20
13
11
Ju
ly 2
01
3
09
Sep
tem
ber
…
1 N
ove
mb
er
20
13
27
Dec
em
be
r…
21
Feb
ruar
y 2
01
4
17
Ap
ril 2
01
4
16
Ju
ne
20
14
14
Au
gust
20
14
6 O
cto
be
r 2
01
4
26
No
vem
ber
…
21
Jan
uar
y 2
01
5
16
Mar
ch 2
01
5
8 M
ay 2
01
5
2 J
uly
20
15
31
Agu
st 2
01
5
23
Okt
20
15
15
Des
20
15
10
-Fe
b-1
6
5-A
pr-
16
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2014 2015 2016
Harga Emas (LHS) growth (RHS)
0
2
4
6
8
10
12
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3
2013 2014 2015 2016
% (yoy)Tradeable Non Tradeable
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
41
tekanan inflasi volatile food tersebut didorong oleh inflasi yang terjadi pada
kelompok bahan makanan, terutama berasal dari subkelompok bumbu-bumbuan,
padi-padian, ikan segar dan sayur-sayuran. Komoditas utama penyumbang inflasi
dari kelompok tersebut ialah cabai merah, bawang merah, bawang putih, beras,
jengkol, cabai rawit, patin dan buncis. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan
gangguan produksi selama musim hujan di wilayah sentra produksi di Sumatera
Barat, Sumatera Utara dan Jawa dan berakhirnya masa panen padi.
Namun demikian, beberapa harga komoditas mulai menunjukkan penurunan harga
pada akhir triwulan sehingga menahan penurunan laju inflasi kelompok volatile
food pada triwulan laporan. Beberapa komoditas tersebut antara lain daging ayam
ras, telur ayam ras, gabus, daging sapi, kentang dan wortel. Penurunan harga ini
didorong oleh panen Day Old Chick (DOC), meningkatnya impor jagung yang
mampu meredam peningkatan harga pakan ternak dan meningkatnya pasokan
dari daerah sentra produksi sehingga mendorong penurunan harga pada
komoditas tersebut.
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)
Grafik 2.19. Perkembangan Harga Komoditas Bumbu-bumbuan di Kota Pekanbaru
Sumber : BPS, diolah
Sumber: Survei Pemantantauan Harga BI
2.2.3. Inflasi Administered Prices
Jika dibandingkan dengan triwulan IV 2015, inflasi kelompok administered prices
Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan akibat koreksi harga pada
kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan yang tidak sedalam koreksi
yang terjadi pada awal tahun lalu. Jika dilihat per kota, peningkatan inflasi
-8
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
- 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000
MIV MV MIV MIV MV MIV MIV MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16
Rup
iah
Cabe Merah Cabe Rawit
Bawang Merah Bawang Putih
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
42
administered price terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Inflasi
administered price tertinggi dialami oleh Kota Dumai sebesar 4,39% (yoy), diikuti
Tembilahan dan Pekanbaru masing-masing tercatat sebesar 3,31% (yoy) dan
3,24% (yoy).
Grafik 2.20. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
-4
0
4
8
12
16
20
24
28
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
% (yoy) Pekanbaru Dumai Tembilahan RIAU
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
43
1. Kondisi Umum Perbankan
Kinerja perbankan di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang tercermin dari menurunnya
pertumbuhan Aset, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun Kredit. Pada
triwulan I-2016 aset perbankan tercatat mencapai Rp85,76 triliun, mengalami
penurunan dari kontraksi 4,49% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi kontraksi
lebih dalam sebesar 6,50% (yoy). Sementara, DPK pada triwulan laporan tercatat
sebesar Rp63,48 triliun, juga menurun dari kontraksi 3,12% (yoy) pada triwulan
sebelumnya menjadi kontraksi lebih dalam sebesar 5,77% (yoy) pada triwulan
laporan.
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
44
Sejalan dengan perkembangan aset dan DPK yang mengalami penurunan,
penyaluran kredit pada triwulan I-2016 juga melambat dibandingkan triwulan IV-
2015, yaitu dari 8,14% (yoy) menjadi 7,33% (yoy) dengan nilai mencapai Rp57,16
triliun. Disisi lain, kualitas kredit yang disalurkan oleh perbankan semakin turun. NPL
perbankan di triwulan I-2016 tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan NPL di
triwulan IV-2015 dari 3,86% menjadi 4,23%. Sejalan dengan penurunan
pertumbuhan DPK yang diikuti pertumbuhan kredit yang melambat, LDR perbankan
berada pada level 90,05% yang mencerminkan bahwa masih cukup terjaganya
likuiditas perbankan di Provinsi Riau.
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan di Provinsi Riau (RpJuta)
Sumber : Bank Indonesia
2. Perkembangan Bank Umum
2.1. Perkembangan Aset
Pada triwulan I 2016, aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp84,51
triliun mengalami kontraksi sebesar 6,65% (yoy) menurun dibandingkan triwulan IV
2015 yang mengalami kontraksi sebesar 4,63% (yoy). Namun jika dilihat secara
triwulanan aset bank umum mengalami ekspansi sebesar 3,46% (qtq).
2016 (yoy, %)
I II III IV I Tw IV 2015 Tw I 2016
Aset (Rp Juta) 91.724.376 99.637.187 96.510.233 82.914.524 85.760.926 (4,49) (6,50)
- Bank Umum 90.534.888 98.451.429 95.323.470 81.686.208 84.514.141 (4,63) (6,65)
- BPR/S 1.189.489 1.185.757 1.186.762 1.228.315 1.246.785 5,87 4,82
Kredit (Rp Juta) 53.266.023 54.923.581 55.863.081 57.445.328 57.169.102 8,14 7,33
- Bank Umum 52.401.716 54.012.485 54.946.577 56.538.247 56.252.232 8,14 7,35
- BPR/S 864.307 911.096 916.504 907.081 916.870 8,49 6,08
Kredit UMKM (Rp Juta) 19.809.940 20.212.276 19.894.360 19.884.668 19.905.368 (0,74) 0,48
Dana Pihak Ketiga (Rp Juta) 67.372.858 71.278.108 70.070.676 62.927.349 63.483.576 (3,12) (5,77)
- Bank Umum 66.525.297 70.420.859 69.189.487 62.050.178 62.588.183 (3,26) (5,92)
- BPR/S 847.560 857.250 881.188 877.171 895.392,67 8,33 5,64
LDR 79,06% 77,06% 79,72% 91,29% 90,05%
NPL 3,82% 4,33% 4,50% 3,86% 4,23%
- Bank Umum 3,64% 4,16% 4,34% 3,71% 4,07%
- BPR/S 14,45% 13,84% 14,39% 12,92% 14,08%
(yoy, %)2015Indikator
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
45
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.2. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kelompok
Sumber : Bank Indonesia
Berdasarkan kepemilikannya, menurunnya pertumbuhan aset bank umum pada
triwulan laporan terutama bersumber dari terkontraksinya aset kelompok bank
umum pemerintah sebesar 9,64% (yoy), terkontraksi lebih dalam dibanding triwulan
sebelumnya sebesar 6,51% (yoy). Sementara pertumbuhan aset bank swasta
mengalami pertumbuhan sebesar 1,40% (yoy) dibanding triwulan sebelumnya yang
mengalami kontraksi sebesar 0,13% (yoy). Pangsa aset bank umum pemerintah
masih tetap mendominasi dengan share 70,57% meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya dengan share 69,19%.
Grafik 3.3. Perkembangan Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.4. Pangsa Aset Bank Umum Berdasarkan Kegiatan Bank
Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan kegiatannya, aset bank umum konvensional
(pangsa 94,19%) pada triwulan I-2016 tercatat mengalami kontraksi sebesar 7,37%
(yoy) dengan nilai mencapai Rp79,61 triliun. Namun berbeda dengan kinerja bank
umum syariah (pangsa 5,81%), dimana ditengah perlambatan pertumbuhan aset
bank umum konvensional, kinerja bank umum syariah masih tercatat cukup baik
-10-5051015202530
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Aset g - yoy (kanan)
20
40
60
80
100
120
1020304050607080
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp Triliun
Pemerintah Swasta Total (kanan)
1
2
3
4
5
6
10
30
50
70
90
110
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Tri
liu
n
Konvensional Total Syariah (kanan)0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
2013
2014
2015
2016
Konvensional Syariah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
46
dengan aset yang tumbuh sebesar 6,84% (yoy) dengan nilai mencapai Rp4,91 triliun,
dibanding dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,19% (yoy).
2.2. Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Penghimpunan DPK oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat
mengalami kontraksi sebesar 5,92% (yoy). Penurunan kinerja tersebut melanjutkan
perlambatan pertumbuhan DPK yang terjadi mulai triwulan I sampai dengan triwulan
IV 2015. Terkontraksinya DPK pada triwulan laporan bersumber dari Deposito
(pangsa 35,13%) yang terkontraksi lebih dalam yaitu dari tumbuh 0,56% (yoy) di
triwulan IV-2015 menjadi kontraksi sebesar 9,45% (yoy) di triwulan I-2016, dan
komponen Giro (pangsa 19,03%) mengalami kontraksi sebesar 21,17% (yoy), sedikit
membaik dibanding triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar
28,05% (yoy). Sementara itu komponen Tabungan (pangsa 45,85%) mengalami
peningkatan walaupun belum signifikan yaitu tumbuh 5,56% (yoy) pada triwulan IV-
2015 menjadi 5,73% (yoy) di Triwulan I-2016.
Grafik 3.5. Perkembangan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.6. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan
S Sumber : Bank Indonesia
Deposito yang terkontraksi lebih dalam disebabkan oleh Deposito milik Badan Usaha
Milik Negara yang terkontraksi cukup signifikan yaitu dari tumbuh 6,15% (yoy) di
triwulan IV-2015 menjadi kontraksi sebesar 49,21% (yoy) di triwulan I-2016. Kondisi
ini menunjukkan Badan Usaha Milik Negara melakukan penarikan sejumlah dana
yang disimpan dalam bentuk deposito. Sementara itu membaiknya pertumbuhan
Giro disebabkan oleh tumbuhnya Giro sektor Swasta sebesar 7,17% (yoy)
dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,09% dan
membaiknya pertumbuhan giro pemerintah daerah yang pada triwulan sebelumnya
mengalami kontraksi sebesar 54,44% (yoy), membaik pada triwulan I-2016 dengan
5
10
15
20
25
30
35
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Tri
liun
DPK Giro Tabungan Deposito
-40
-20
0
20
40
60
80
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Giro Tabungan Deposito DPK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
47
mengalami kontraksi sebesar 44,81% (yoy). Terjadinya kontraksi giro pemerintah
daerah pada triwulan IV-2015 dan triwulan I-2016 merupakan efek dari
diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.235/PMK.07/2015 perihal
Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum Dalam Bentuk
Non Tunai dimana sejak PMK tersebut diberlakukan, Dana Bagi Hasil (DBH) atau
Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini disalurkan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam bentuk dana tunai berubah kedalam bentuk Surat
Berharga Negara (SBN). Di sisi lain, Tabungan menunjukkan tren pertumbuhan dari
triwulan I-2015 hingga triwulan I-2016 meskipun pertumbuhan di triwulan laporan
relatif belum signifikan. Kondisi ini mencerminkan masih cukup rendahnya daya beli
masyarakat dan ekspektasi kondisi perekonomian yang masih rendah sehingga
masyarakat cenderung berjaga-jaga menyimpan dananya dalam bentuk tabungan di
perbankan.
Tabel 3.2. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (RpMiliar)
Sumber : Bank Indonesia
2.3. Perkembangan Penyaluran Kredit
Pada triwulan I 2016, kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau tercatat
sebesar Rp56,25 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,35% (yoy), sedikit turun jika
dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang tumbuh sebesar 8,14%(yoy).
Penurunan penyaluran kredit menunjukkan masih terbatasnya permintaan kredit
pada triwulan laporan.
I II III IV
Pemerintah 10.846 16.103 17.859 16.726 6.254 9.396 -41,65
Pemerintah Pusat 245 291 294 335 360 431 47,92
Pemerintah Daerah 8.987 13.832 15.818 14.341 4.094 7.634 -44,81
Badan/ Lembaga Pemerintah 56 106 102 114 130 165 55,07
Badan Usaha Milik Negara 1.485 1.820 1.602 1.768 1.525 1.038 -42,99
Badan Usaha Milik Daerah 72 53 43 168 144 129 143,71
Swasta 9.313 8.093 9.256 8.165 9.133 7.734 -4,43
Perusahaan Asuransi 119 84 67 80 85 82 -2,04
Perusahaan Swasta 8.241 7.001 8.189 7.051 7.836 6.561 -6,29
Yayasan dan Badan Sosial 767 793 783 820 922 848 6,98
Koperasi 186 214 218 214 290 242 13,04
Lainnya 3 3 3 3 2 3 -3,99
Perorangan 43.981 42.326 43.302 44.295 46.661 45.455 7,39
2014 2016 g - yoyRpMiliar2015
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
48
Grafik 3.7. Perkembangan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.8. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan
S Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya penyaluran kredit pada triwulan I-2016 bersumber dari melambatnya
penyaluran kredit pada sektor pemerintah yang tumbuh sebesar 13,65% (yoy) lebih
rendah jika dibandingkan triwulan IV-2015 sebesar 15,15 (yoy). Perlambatan kredit
yang lebih dalam tertahan oleh membaiknya penyaluran kredit di sektor swasta yang
mengalami kenaikan walaupun masih mengalami kontraksi sebesar 4,50% (yoy)
pada triwulan laporan, namun masih sedikit lebih baik jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 4,55% (yoy). Sementara itu
melambatnya pertumbuhan kredit menurut jenis penggunaannya bersumber dari
melambatnya kredit investasi (pangsa 30,58%) yaitu dari 5,17% (yoy) di triwulan IV
2015 menjadi 2,91% (yoy) di triwulan I-2016 dengan nilai mencapai Rp21.56 triliun.
Diikuti dengan melambatnya kredit konsumsi (pangsa 38,33%) yaitu dari 10,65%
(yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 9,97% (yoy) di triwulan I-2016 dengan nilai
mencapai Rp21,56 triliun. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penyaluran kredit
produktif di triwulan IV-2015 mencapai Rp34,69 triliun atau tumbuh sebesar 5,78%
(yoy).
Grafik 3.9. Perkembangan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Kelompok dan Valuta
S Sumber : Bank Indonesia
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Tril
iun
Modal kerja Investasi Konsumsi Produktif Total
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Modal kerja Investasi Konsumsi
Produktif Total
0
1
2
3
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rptriliun
Pemerintah Swasta Rupiah Valas (kanan)
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
-10
-5
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pemerintah Swasta Rupiah Valas (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
49
Berdasarkan valutanya penyaluran kredit masih didominasi oleh mata uang rupiah
yaitu mencapai Rp55,35 triliun, tumbuh 7,99% (yoy) walaupun relatif menurun jika
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,55% (yoy). Sejalan dengan itu,
pemberian kredit mata uang asing mengalami kontraksi cukup dalam sebesar
21,52% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang terkontraksi sebesar
10,16% (yoy).
3. Intermediasi dan Risiko Perbankan
Fungsi intermediasi bank umum di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 mengalami
penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, namun masih lebih baik jika
dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya. Menurunnya
fungsi intermediasi tercermin dari nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu sebesar
89,88% yang sebelumnya di triwulan IV-2015 tercatat sebesar 91,12%. Namun
demikian, nilai LDR tersebut masih dibawah 100% yang menunjukkan bahwa risiko
likuiditas pada kondisi yang masih terjaga dan adanya sikap kehati-hatian perbankan
dalam penyaluran kredit.
Grafik 3.11. Perkembangan LDR di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
NPL kredit bank umum pada periode laporan menunjukkan peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 3,71% menjadi 4,07%. Tingkat NPL
kredit bank umum yang meningkat menunjukkan trend penurunan kualitas kredit
yang disalurkan bank umum di Provinsi Riau dalam kurun 3 bulan terakhir. Meskipun
memburuknya kualitas kredit di Provinsi Riau masih berada di bawah batas kewajaran
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (5%) namun perlu menjadi perhatian oleh
perbankan, mengingat kecenderungan NPL yang semakin meningkat.
74
76
78
80
82
84
86
88
90
92
94
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
DPK Kredit LDR (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
50
Grafik 3.12. Perkembangan Non Performing Loan (NPL) di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.13. Perkembangan NPL Sektoral di Provinsi Riau Triwulan I-2016
S Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.14. Pangsa NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan I-2016
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.15. Growth NPL Sektoral Bank Umum di Provinsi Riau Triwulan I-2016
S Sumber : Bank Indonesia
Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi
yaitu sebesar 9,48%, meningkat dibandingkan triwulan IV 2015 yang sebesar
8,67%. Beberapa sektor lain yang memilki NPL cukup tinggi pada periode laporan
ini adalah sektor perdagangan sebesar 7,01% dan sektor pengangkutan 4,87%.
Pada kedua sektor tersebut angka NPL juga tercatat menunjukkan peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Rata-rata harga TBS dan CPO dunia masing-masing sebesar Rp1.387/kg dan 579
USD/MT, membaik dibandingkan triwulan IV-2015 masing-masing sebesar
Rp1.190/kg dan 504 USD/MT. Di sisi lain, harga karet di triwulan I-2016 sebesar 1,40
USD/kg lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV-2015 sebesar 1,56 USD/kg.
0 2 4 6 8 10 12 14
1
2
3
4
5
- 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
%
Rp
Tri
liun
Kurang lancar Diragukan Macet NPL (kanan)
0123456789
10
3,92
1,09 1,04 0,64
9,48
7,01
4,87 4,62
2,33
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Listrik, gas dan air
Konstruksi
Perdagangan, resto dan hotel
Pengangkutan, pergudangan
Jasa
Lainnya
21,47
0,17
1,10
0,06
7,18
37,32
3,11
7,59
21,99
-60
-40
-20
0
20
40
60
8060,46
-42,71
23,93
-30,63
-0,16
28,62
-13,39
2,84 1,79
Axis Title
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
51
Grafik 3.16. Perkembangan Harga TBS dan CPO Dunia
Sumber : Bloomberg dan Disbun Provinsi Riau
Grafik 3.17. Perkembangan Harga Karet Dunia
S Sumber : Bloomberg
4. Stabilitas Sistem Keuangan
4.1. Ketahanan Sektor Korporasi Daerah
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor
pertanian dan perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing 22,30% dan
21,65% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp12,54 triliun dan Rp12,18
triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak terlepas dari masih
prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit kepada sektor
pertanian masih didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit dengan pangsa
92,37%dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp11,59 triliun. Sedangkan
subsektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan eceran makanan,
minuman dan tembakau dengan pangsa 19,87% dari total kredit sektor
perdagangan atu sebesar Rp2,42 triliun. Penyaluran kredit kepada sektor pertanian
melambat dari 10,88% (yoy) pada TWIV-2015 menjadi 9,57% (yoy) pada TWI-2016
berbeda dengan sektor perdagangan yang tumbuh dari 7,39% (yoy) menjadi 8,71%
(yoy).
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
TBS (Rp/Kg) CPO (USD/MT)
3,29 3,09
2,73 2,67 2,44 2,37
2,20
1,93 1,83 1,96
1,79 1,56
1,40
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
52
Tabel 3.3. Kredit Lokasi Bank Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (RpTriliun)
Sumber : Bank Indonesia
Disisi lain, meningkatnya penyaluran kredit sektor perdagangan utamanya
didorong oleh peningkatan subsektor perdagangan eceran komoditi lainnya
(bukan makanan, minuman dan tembakau) (pangsa 5,98% dari kredit sektor
perdagangan) dari 7,93% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 13,06% (yoy) di
triwulan I-2016.
Grafik 3.18. Growth Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.19. Pangsa Subsektor Pertanian dan Perdagangan Tw.I-2016
S Sumber : Bank Indonesia
4.2. Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah
Pertumbuhan kredit konsumsi di triwulan I-2016 melambat jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Namun masih lebih baik jika dibandingkan dengan
triwulan yang sama pada tahun sebelumnya.
I II III IV
Pertanian 11,39 11,45 11,87 12,14 12,62 12,54 22,30 9,57
Pertambangan 0,38 0,39 0,50 0,42 0,45 0,36 0,64 (8,28)
Perindustrian 2,03 2,14 2,26 2,28 2,31 2,43 4,32 13,42
Listrik, gas dan air 0,12 0,11 0,10 0,11 0,22 0,21 0,37 83,88
Konstruksi 1,78 1,76 1,88 2,14 1,90 1,73 3,08 (1,32)
Perdag, resto dan hotel 11,21 11,20 11,47 11,48 12,04 12,18 21,65 8,71
Pengangkutan, pergud 1,59 1,62 1,57 1,55 1,51 1,46 2,60 (9,62)
Jasa 4,30 4,08 4,24 4,08 4,05 3,76 6,68 (7,89)
Lainnya 19,48 19,65 20,11 20,74 21,43 21,58 38,36 9,82
Total 52,28 52,40 54,01 54,95 56,54 56,25 100,00 7,35
Pangsa g - yoy2014 2016RpTriliun2015
13,47
-14,01
3,181,60
13,06
-1,09
14,91
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Pe
rse
n (
%)
92,37
3,07
19,87
5,23
5,98
5,21
8,48
0 20 40 60 80 100
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan karet dan getah lainnya
Perdagangan eceran didominasi makanan..
Perdagangan kelapa dan kelapa sawit
Perdagangan eceran komoditi lainnya..
Perdagangan eceran bahan konstruksi
Hotel bintang
Persen %
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
53
Grafik 3.20. Perkembangan Kredit Perumahan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.21. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor
S Sumber : Bank Indonesia
Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi tercermin dari melambatnya
pertumbuhan kredit perumahan dan kredit kendaraan bermotor di Provinsi Riau.
Pada triwulan I-2016, kredit perumahan tercatat sebesar Rp7,77 triliun, menurun
dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 8,33% (yoy) menjadi 5,22% (yoy).
Hal ini bersumber dari penurunan kredit rumah tangga kepemilikan rumah tinggal
tipe 22 s.d 70 sebesar 14,55% (yoy) dan kredit Ruko atau Rumah Toko yang
terkontraksi lebih dalam dari triwulan sebelumnya yaitu dari 2,44% (yoy) menjadi
8,26% (yoy). Menurunnya realisasi kredit perumahan pada triwulan laporan
diperkirakan didorong masih rendahnya permintaan kredit di awal tahun.
Grafik 3.22. Perkembangan Kredit Multiguna
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.23. Perkembangan Kredit Durable Goods
S Sumber : Bank Indonesia
Sementara kredit kendaraan bermotor pada triwulan I-2016 tercatat sebesar
Rp373,33 miliar, mengalami kontraksi yang lebih dalam jika dibandingkan triwulan
sebelumnya yakni kontraksi 6,21% (yoy) menjadi 12,05% (yoy). Melambatnya
pertumbuhan di sektor kendaraan bermotor bersumber dari menurunnya kredit
kendaraan roda empat yang mengalami kontraksi lebih dalam dari kontraksi
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liun
Perumahan g - yoy (kanan)
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
. M
ilia
r
Kendaraan g - yoy (kanan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
2
4
6
8
10
12
14
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
. Tri
liun
Multiguna g - yoy (kanan)
-100
-50
0
50
100
150
200
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Mili
ar
Durable goods g - yoy (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
54
triwulan sebelumnya yaitu 5,71% (yoy) menjadi 12,73% (yoy). Perlambatan kredit
konsumsi sedikit tertahan oleh kredit durable goods yang mengalami peningkatan
yang signifikan yaitu dari 128,46% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi 182,40% (yoy)
di triwulan I-2016 dengan nilai mencapai Rp55,60 miliar. Meningkatnya kredit
durable goods sejalan dengan kredit multiguna yang pertumbuhannya meningkat
dibanding triwulan sebelumnya yaitu dari 11,99% (yoy) menjadi 12,62% (yoy)
dengan nilai kredit sebesar Rp12,70 triliun.
4.3. Ketahanan Sektor UMKM
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) oleh
bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp19,91 triliun pada triwulan I 2016,
meningkat 0,48% (yoy) jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami
kontraksi sebesar 0,74%. Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang
diberikan bank umum di Provinsi Riau juga mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu dari 35,17% menjadi 35,39%. Penyaluran kredit skala
usaha mikro memiliki pertumbuhan tertinggi pada triwulan I 2016 yaitu sebesar
6,86% (yoy), diikuti oleh kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit
UMKM Riau (39,14%) pada triwulan 1 2016 dengan pertumbuhan sebesar 4,74%
(yoy), sementara kredit skala usaha menengah mengalami kontraksi sebesar 9,15%,
lebih dalam dari kontraksi pada triwulan sebelumnya yakni sebesar 7,72%.
Grafik 3.24. Perkembangan dan Pertumbuhan Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.25. Pangsa Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Usaha
S Sumber : Bank Indonesia
Jika dilihat porsinya, kredit UMKM lebih banyak disalurkan pada usaha kecil sebesar
Rp7,79 triliun (pangsa 39,14%), kemudian diikuti oleh kredit usaha menengah
-5
0
5
10
15
20
25
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liun
Kredit UMKM g - yoy (kanan)
Mikro29%
Kecil39%
Menengah32%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
55
(pangsa 31,54%) dan kredit usaha mikro (pangsa 29,32%) masing-masing sebesar
Rp6,28 triliun dan Rp5,84 triliun.
Tabel 3.4. Kredit UMKM di Provinsi Riau TwIV-2015 Menurut Sektor Ekonomi (RpMiliar)
Sumber : Bank Indonesia
Secara sektoral, penyerapan kredit UMKM yang disalurkan oleh bank umum di
Provinsi Riau masih didominasi oleh sektor perdagangan (pangsa 45,49%) dan
pertanian (pangsa 33,62%). Pada triwulan I-2016, kredit UMKM yang disalurkan ke
sektor perdagangan mencapai Rp9,05 triliun atau tumbuh sebesar 7,09% (yoy) di
triwulan I-2016, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 2,23% (yoy).
Sementara itu, kredit UMKM yang disalurkan ke sektor pertanian mencapai Rp6,69
triliun atau tumbuh melambat 0,52% (yoy) dari 2,77% (yoy).
Grafik 3.26. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.27. NPL Sektoral UMKM Triwulan IV-2015 (%)
S Sumber : Bank Indonesia
NPL UMKM tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan IV-2015
yaitu dari 6,76% menjadi 7,65%. Masih tingginya NPL tersebut didorong oleh NPL
sektor konstruksi dan sektor perdagangan yang tercatat cukup tinggi yaitu masing-
masing sebesar 10,56% dan 8,26%. Masih tingginya NPL kedua sektor tersebut
I II III IV pangsa g. yoy
Pertanian 6.589 6.658 6.956 6.952 6.772 6.693 33,62 0,52
Pertambangan 128 158 186 150 161 92 0,46 -41,72
Perindustrian 393 466 391 390 432 415 2,08 -10,94
Listrik, gas dan air 113 107 99 105 38 89 0,45 -17,25
Konstruksi 1.137 1.060 1.060 1.023 1.046 1.078 5,41 1,71
Perdagangan 8.639 8.456 8.634 8.563 8.831 9.056 45,49 7,09
Pengangkutan 749 719 708 662 640 580 2,91 -19,31
Jasa 2.199 2.166 2.168 2.041 1.945 1.888 9,48 -12,84
Lainnya 86 21 12 9 20 17 0,08 -21,42
Total 20.033 19.810 20.212 19.894 19.885 19.905 100 0,48
2014 Tw I 2016Tw I 2016
RpMiliar2015
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Kredit UMKM NPL (kanan)
0
2
4
6
8
10
12
6,68
3,78
6,00
1,49
10,56
8,26
6,06
7,80
4,64
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
56
sejalan dengan masih rendahnya daya beli masyarakat sehingga berpengaruh
terhadap kemampuan membayar hutang jatuh tempo. Di sisi lain, angka NPL
tersebut telah jauh melampaui batas aman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
yaitu sebesar 5%. Oleh karena itu, perlu menjadi perhatian serius perbankan untuk
semakin meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit UMKM.
5. Perkembangan Perbankan Syariah
Kinerja perbankan syariah di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya
pertumbuhan aset, DPK dan pembiayaan dibandingkan triwulan IV-2015. Aset
perbankan syariah tercatat sebesar Rp4,93 triliun meningkat sebesar 6,78% (yoy)
atau lebih tinggi dibandingkan triwulan IV-2015 yang tumbuh sebesar 6,16% (yoy).
Sementara, dana yang dihimpun oleh perbankan syariah tercatat sebesar Rp3,82
triliun atau tumbuh 12,18% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 10,90% (yoy). Peningkatan DPK perbankan syariah didorong oleh
meningkatnya jenis simpanan tabungan (pangsa 53,74%) dibandingkan triwulan III-
2015. Tabungan meningkat dari 0,49% menjadi 5,45% (yoy). Sementara
pertumbuhan giro (pangsa 10,67%) dan Deposito (pangsa 35,39%) masing-masing
tumbuh melambat dari 42,15% (yoy) menjadi 19,16% (yoy) dan dari 22,72% (yoy)
menjadi 21,79% (yoy).
Grafik 3.28. Perkembangan Aset Perbankan Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.29. Perkembangan DPK Perbankan Syariah Menurut Jenis Simpanan
S Sumber : Bank Indonesia
-20
-10
0
10
20
30
40
4,20
4,40
4,60
4,80
5,00
5,20
5,40
5,60
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
Tri
liu
n
Aset g - yoy (kanan)
- 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Mil
iar
Giro Tabungan Deposito Total
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
57
Grafik 3.30. Perkembangan Pembiayaan Perbankan Syariah Menurut Penggunaan
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.31. Penyaluran Pembiayaan Perbankan Syariah Secara Sektoral
S Sumber : Bank Indonesia
Sementara disisi pembiayaan, perbankan syariah pada triwulan I-2016 tercatat
sebesar Rp3,66 triliun meningkat dibandingkan triwulan IV-2015 dari tumbuh 2,32%
(yoy) menjadi 6,22% (yoy). Meningkatnya pembiayaan perbankan syariah didorong
oleh peningkatan pembiayaan konsumsi (pangsa 50,67%) dan modal kerja (pangsa
20,20% (yoy). Pembiayaan konsumsi meningkat dari 7,22% menjadi 11,63% (yoy)
dan pembiayaan modal kerja mengalami perbaikan yang pada triwulan sebelumnya
kontraksi sebesar 17,98%, pada triwulan I 2016 mengalami kontraksi sebesar
9,38%.
Secara sektoral, pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi pada sektor
pertanian (pangsa 14,08%) dan perdagangan (pangsa 12,58%). Pembiayaan sektor
pertanian dan perdagangan pada triwulan IV-2015 masing-masing tercatat sebesar
Rp513 miliar dan Rp458 miliar mengalami peningkatan dibandingkan triwulan
III-2015. Pembiayaan sektor pertanian meningkat dari tumbuh sebesar 7,80%
menjadi 18,87% (yoy), sementara pembiayaan sektor perdagangan meningkat dari
12,32% (yoy) menjadi 16,12% (yoy).
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
- 200 400 600 800
1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Mili
ar
Rp
Mili
ar
Modal Kerja Investasi Konsumsi Total Kanan
Rp
Mili
ar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
58
Grafik 3.32. Perkembangan NPL Perbankan Syariah
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.33. Perkembangan FDR Perbankan Syariah
S Sumber : Bank Indonesia
Selanjutnya, kualitas pembiayaan oleh perbankan syariah pada triwulan laporan
tercatat membaik, hal ini tercermin dari menurunnya NPF yaitu dari 5,70% di
triwulan IV-2015 menjadi 5,53% di triwulan I-2016. Namun demikian, perbankan
syariah tetap perlu meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
pembiayaan. Di sisi lain, FDR perbankan syariah tercatat sebesar 95,80% yang
menunjukkan bahwa risiko likuiditas berada pada kondisi yang masih terjaga.
6. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Aset BPR/S di Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp1,24 triliun,
melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yaitu dari 5,87% menjadi 4,82%
(yoy). Sementara, DPK BPR/S pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp895 miliar,
tumbuh 5,64% (yoy) atau melambat dibandingkan dengan triwulan IV-2015 yang
tumbuh sebesar 5,64% (yoy). Melambatnya DPK BPR/S didorong oleh perlambatan
Deposito (pangsa 61,14%) dari 16,64% menjadi 13,35% (yoy), serta terkontraksinya
Tabungan (pangsa 38,86%) lebih dalam sebesar 4,57% (yoy).
Grafik 3.34. Perkembangan Aset BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.35. Perkembangan DPK BPR/S
S Sumber : Bank Indonesia
0
1
2
3
4
5
6
7
0
50
100
150
200
250
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Nominal NPL (kanan)
75
80
85
90
95
100
105
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
DPK Pembiayaan FDR (Kanan)
012345678910
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Aset g - yoy (kanan)
-
200
400
600
800
1.000
-
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Tabungan Deposito DPK (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
59
Grafik 3.36. Perkembangan Kredit BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.37. Penyaluran Kredit Sektoral
S Sumber : Bank Indonesia
Perlambatan juga terjadi dari sisi penyaluran kredit, pada triwulan I-2016 kredit yang
disalurkan oleh BPR/S tercatat sebesar Rp917 miliar atau tumbuh 6,08% (yoy) atau
melambat dibandingkan triwulan IV-2015 yang sebesar 8,49% (yoy). Melambatnya
penyaluran kredit utamanya bersumber dari perlambatan sektor pertanian (pangsa
28,22%) dari 0,77% (yoy) di triwulan IV-2015 menjadi mengalami kontraksi sebesar
1,82% (yoy) di triwulan I-2016. Sementara penyaluran kredit ke sektor perdagangan
(pangsa 25,37%) tercatat tumbuh melambat dari sebesar 14,93% (yoy) di triwulan IV-
2015 menjadi 12,78% (yoy) pada triwulan I 2016.
Melambatnya pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh BPR/S tercermin pula dari kualitas
kredit yang tercatat memburuk yakni sebesar 14,08% pada triwulan I 2016,
dibandingkan dengan triwulan III-2015 yang tercatat sebesar 12,92%. Selain itu, risiko
likuiditas BPR/S juga perlu menjadi perhatian dimana angka LDR BPR/S pada triiwulan IV-
2015 mencapai 102,40% yang menunjukkan bahwa DPK BPR/S tidak dapat menutupi
jumlah kredit yang disalurkan.
Grafik 3.38. Perkembangan NPL BPR/S
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.39. Perkembangan LDR BPR/S
S Sumber : Bank Indonesia
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Kredit g - yoy (kanan)
-
50
100
150
200
250
300
350
259
1 5 3 13
233
22 39
343
Rp M
iliar
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
-
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Nominal NPL (kanan)
96
98
100
102
104
106
108
110
112
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
60
7. Perkembangan Transaksi Pembayaran
7.1. Kondisi Umum
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan I 2016
mengalami net inflow, tidak jauh berbeda dengan triwulan yang sama pada tahun
sebelumnya. Hal ini utamanya didorong oleh penurunan outflow dan peningkatan
inflow. Menurunnya outflow Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena masih
minimnya realisasi anggaran di awal tahun. Di sisi lain, transaksi non tunai melalui
kliring mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun volume.
7.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
7.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Pada triwulan laporan, terjadi peningkatan sisi inflow dari Rp1,22 triliun menjadi
Rp2,43 triliun atau meningkat dibanding triwulan sebelumnya sebesar 98,85% (qtq).
Sementara itu sesuai dengan historisnya, jumlah outflow pada triwulan I 2016
mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu Rp4,63
triliun menjadi Rp1,56 triliun atau turun 66,17% (qtq). Penurunan jumlah outflow
merupakan kondisi musiman dimana setelah pada triwulan sebelumnya terjadi
permintaan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada hari
besar keagamaan dan tahun baru. Tingginya peningkatan inflow dan rendahnya
jumlah outflow pada triwulan laporan telah mendorong terjadinya net inflow sebesar
Rp868 miliar. Relatif rendahnya jumlah outflow dalam kurun 1 (satu) triwulan
diperkirakan karena minimnya realisasi APBD pada triwulan I 2016.
Grafik 3.40. Perkembangan Inflow dan Outflow di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.41. Perkembangan Inflow dan Outflow Bulanan Triwulan I-2016
S Sumber : Bank Indonesia
(2.000)
(1.000)
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Rp
Mili
ar
Inflow Outflow Net Outlflow (1.000)
(500)
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
Inflow Outflow Net Outflow
2.435
1566
(868)
Rp
. M
ilia
r
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
61
7.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Sebagai salah satu bentuk upaya Bank Indonesia dalam memenuhi uang kartal layak
edar (fit for circulation) kepada masyarakat, maka secara berkala Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan kegiatan pemusnahan Uang Tidak Layak
Edar (UTLE). Uang tidak layak edar tersebut diterima dari setoran bank maupun
penukaran uang dari masyarakat.
Grafik 3.42. Perkembangan UTLE yang Dimusnahkan
Sumber : Bank Indonesia
Jumlah UTLE yang dimusnahkan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
pada triwulan I-2016 tercatat sebesar Rp770 miliar meningkat dibanding triwulan
sebelumnya sebesar 146% (qtq) dengan rasio UTLE terhadap inflow sebesar 31,63%.
Meningkatnya pemusnahan uang tidak layak edar pada triwulan I - 2016 sejalan
dengan meningkatnya jumlah inflow pada triwulan laporan sejalan dengan kebijakan
clean money policy Bank Indonesia.
7.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian
uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin melakukan
sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat termasuk
kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang). Dengan adanya
sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat diharapkan terhindar dari penyebaran
uang rupiah tidak asli. Jumlah uang rupiah tidak asli yang ditemukan oleh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau pada triwulan I-2016 tercatat meningkat
dibandingkan dengan triwulan IV-2015. Pada triwulan laporan, jumlah uang rupiah
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Rp
Mili
ar
UTLE Inflow Rasio g - yoy
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
62
tidak asli sebanyak 369 lembar, sementara pada triwulan sebelumnya sebanyak 132
lembar.
Grafik 3.43. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Uang rupiah tidak asli yang dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Riau terdiri dari 143 lembar menyerupai pecahan Rp100 ribu, 211 lembar
menyerupai pecahan Rp50 ribu dan 15 lembar menyerupai pecahan Rp20 ribu.
Penemuan tersebut berdasarkan permintaan klarifikasi perbankan dan masyarakat
serta setoran bank-bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
mengidentifikasi keaslian uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi
Riau secara rutin melakukan sosialisasi keaslian uang rupiah kepada masyarakat
termasuk kalangan perbankan melalui prinsip 3D (Dilihat, Diraba, Diterawang).
7.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
7.3.1. Transaksi Kliring
Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan I 2016 tercatat meningkat baik
dari segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan. Nilai transaksi
kliring pada triwulan I 2016 tercatat sebesar Rp7,367 triliun dengan volume transaksi
mencapai 223.872 lembar, meningkat sedikit jika dibandingkan dengan triwulan IV
2015 yang nilainya tercatat sebesar Rp7,366 triliun dengan volume transaksi 206.110
lembar. Meskipun terjadi kenaikan transaksi pembayaran dengan kliring baik dari
segi nominal transaksi maupun jumlah warkat yang digunakan, namun nilai rata-rata
84 89 94 86 100179
346
543
125 106 104 87 123202
126 132
369
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Per
sen
(%
)
Lem
bar
Uang Rupiah Tidak Asli g - yoy (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
63
transaksi per warkat tercatat menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari
Rp35,74 juta menjadi Rp32,90 juta per warkat.
Grafik 3.44. Perkembangan Volume Transaksi Kliring di Provinsi Riau
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 3.45. Perkembangan Nilai Transaksi Kliring di Provinsi Riau
S Sumber : Bank Indonesia
-45
-40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Wa
rka
t
Warkat yoy - lembar
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
2012 2013 2014 2015 2016
Pe
rse
n (
%)
Rp
. M
ilia
r
Nominal yoy - nominal
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
64
1. Kondisi Umum
Perkembangan Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi
Riau pada awal tahun 2016 secara umum meningkat dibandingkan periode yang
sama pada tahun sebelumnya. Hingga triwulan I 2016 Anggaran Pendapatan Daerah
telah terealisasi sebesar 22,74% dari total yang dianggarkan, sementara itu realisasi
Anggaran Belanja Daerah masih sangat terbatas yaitu mencapai 4,61% dari total
yang dianggarkan.
KONDISI KEUANGAN
DAERAH
Bab 4
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
65
2. Realisasi APBD Triwulan I 2016
Alokasi anggaran pendapatan daerah Provinsi Riau pada tahun 2016 secara umum
mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Dari sisi pendapatan, APBD
Provinsi Riau tercatat menurun sebesar 13% (yoy), yaitu dari Rp8,7 triliun pada tahun
2015 menjadi Rp7,6 triliun pada 2016. Kondisi ini didorong oleh penurunan rata-
rata harga minyak internasional yaitu dari USD 48,68/barel di tahun 2015 menjadi
USD 34,27/ barel di tahun 2016. Penurunan harga minyak dunia tersebut berdampak
terhadap penurunan Dana Bagi Hasil Provinsi Riau hingga 65% (yoy), disamping
karena adanya penurunan lifting minyak bumi akibat natural declining. Di sisi lain,
anggaran belanja pemerintah daerah pada tahun 2016 relatif meningkat
dibandingkan tahun 2015. Peningkatan utamanya berasal dari anggaran belanja
transfer pemerintah Provinsi kepada pemerintah Kabupaten/Kota.
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Triwulan I 2015 dan Triwulan I 2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi APBD pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 2016 relatif meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari realisasi pendapatan
dan belanja pemerintah Provinsi Riau yang masing-masing mencapai 22,74% dan
4,61% pada triwulan I 2016. Realisasi tersebut relatif meningkat dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 19,72% dan 4,57% dari
total yang dianggarkan.
Peningkatan realisasi APBD didorong oleh adanya program percepatan
pembangunan melalui percepatan realisasi APBD yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah Provinsi Riau sejak awal tahun 2016. Selain itu, rendahnya realisasi
belanja pemerintah selama dua tahun terakhir disinyalir juga menjadi dorongan bagi
pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi APBD khususnya dari sisi belanja
daerah.
Anggaran (Rp Miliar) Realisasi % Anggaran (Rp Miliar) Realisasi %
Pendapatan 8,721.57 1,719.83 19.72 7,588.65 1,725.50 22.74
Belanja 10,683.97 487.76 4.57 10,972.07 506.08 4.61
Pembiayaan Daerah 1,962.40 0.07 0.00 3,383.43 3,383.43 100.00
Surplus/ (Defisit) (1,962.40) 1,232.07 (3,383.43) 1,219.42
Triwulan I 2015 Triwulan I 2016Uraian
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
66
2.1. Realisasi Pendapatan
Realisasi pendapatan daerah
Provinsi Riau hingga triwulan I
2016 tercatat sebesar 22,74%,
lebih besar dibandingkan
periode yang sama pada tahun
sebelumnya yang tercatat
sebesar 19,72%. Peningkatan
realisasi pendapatan didorong
oleh peningkatan realisasi
kelompok pendapatan asli
daerah (PAD).
Komponen utama yang mendorong peningkatan realisasi PAD berasal dari
peningkatan realisasi retribusi daerah, yaitu mencapai Rp305,03 miliar, jauh melebihi
target pendapatan retribusi yang dianggarkan sebesar Rp11 miliar. Peningkatan ini
diperkirakan berkenaan dengan peningkatan target pungutan pajak kepada objek
pajak yang selama ini belum membayarkan pajak atau kurang bayar, seperti pajak
sewa gedung pernikahan, ATM, dsb. Hal ini juga merupakan salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah Provinsi Riau dalam rangka menekan penurunan pendapatan
yang berasal dari dana bagi hasil sumber daya alam di tahun 2016.
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Tw I 2015 dan Tw I
2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
PENDAPATAN DAERAH 8,722 1,720 19.72 7,581 1,726 22.76
PENDAPATAN ASLI DAERAH 3,656.36 614.52 16.81 3,495.55 817.14 23.38
Pajak Daerah 2,924.92 577.32 19.74 2,765.55 424.45 15.35
Retribusi Daerah 24.37 5.33 21.85 11.00 305.03 2,773.01
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 208.54 - - 218.00 1.70 0.78
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah 498.52 31.87 6.39 501.00 85.96 17.16
DANA PERIMBANGAN 4,196.34 888.03 21.16 4,085.27 908.37 22.24
Pendapatan Dana Bagi Hasil Pajak 559.67 190.24 33.99 877.34 219.83 25.06
Pendapatan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam 2,903.25 479.72 16.52 1,015.83 204.95 20.18
Pendapatan Dana Alokasi Umum 654.22 218.07 33.33 737.74 184.44 25.00
Pendapatan Dana Alokasi Khusus 79.20 - - 1,454.36 299.15 20.57
PENDAPATAN TRANSFER LAINNYA 868.88 217.28 25.01 5.00 - -
Dana Otonomi Khusus - - - - - -
Dana Penyesuaian 868.88 217.28 25.01 5.00 - -
LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 2.83 - -
Tw I 2015 Tw I 2016Uraian (Miliar Rupiah)
N/A
Grafik 4.1.Realisasi Pendapatan Berdasarkan
Kelompok Pendapatan Tw I 2016 dan Tw I
2015
Sumber: Biro Perekonomian Prov. Riau
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
67
Selanjutnya, realisasi pendapatan yang berasal dari pajak daerah hingga triwulan I
2016 mencapai Rp424,45 miliar atau sebesar 15,35% dari total yang dianggarkan
di tahun 2016. Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya yang
mencapai Rp577,32 miliar atau sebesar 19,74% dari total yang dianggarkan.
Penurunan realisasi pendapatan pajak daerah diperkirakan bersumber dari
penurunan realisasi pajak restoran dan perhotelan di awal tahun 2016. Hal ini
diperkirakan akibat aktivitas ekonomi lokal yang masih terbatas di tengah perbaikan
harga komoditas internasional dan perekonomian nasional yang belum optimal.
Sementara itu, pendapatan yang berasal dari pendapatan transfer hingga triwulan I
2016 tercatat mencapai Rp908,37 miliar atau sebesar 22,24% dari total yang
dianggarkan. Realisasi ini relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada
tahun sebelumnya yang mencapai Rp888,03 miliar atau 21,16% dari total yang
dianggarkan. Peningkatan realisasi pendapatan transfer berasal dari komponen
pendapatan dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak. Adanya peningkatan
pendapatan dari dana alokasi khusus sejalan dengan beberapa proyek pemerintah
pusat di Provinsi Riau, diantaranya proyek jalan tol Pekanbaru-Dumai dan
pembangunan jalur lintas kereta api trans-sumatera. Sementara itu, peningkatan
dana bagi hasil pajak diperkirakan merupakan peningkatan alokasi dari pemerintah
pusat sebagai kompensasi menurunnya dana bagi hasil sumber daya alam yang terus
turun akibat penurunan harga minyak dunia. Penurunan pendapatan daerah yang
berasal dari dana bagi hasil sumber daya alam diperkirakan mencapai 65% pada
tahun 2016 dibandingkan tahun 2015. Kondisi ini terjadi akibat penurunan harga
minyak dunia dan faktor penurunan produksi yang disebabkan oleh kondisi sumur
yang semakin tua (natural declining).
2.2. Realisasi Belanja
Alokasi anggaran belanja langsung pada tahun 2016 secara umum menurun
dibandingkan tahun 2015, khususnya pada komponen belanja barang dan jasa dan
belanja modal. Belanja barang dan jasa pada tahun 2016 dianggarkan sebanyak
Rp2,7 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang dianggarkan sebanyak
Rp3,11 triliun. Sementara itu, belanja modal yang dianggarkan pada tahun 2016
ialah sebesar Rp2,53 triliun, juga menurun dibandingkan tahun 2015 yang
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
68
dianggarkan sebesar Rp2,90 triliun. Penurunan alokasi anggaran diperkirakan akibat
penyesuaian terhadap menurunnya pendapatan di tahun 2016.
Di sisi lain, rencana anggaran kelompok belanja tidak langsung pada tahun 2016
cenderung meningkat dibandingkan tahun 2015, yaitu dari Rp4,4 triliun menjadi
Rp5,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan pada belanja hibah, belanja
bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja
pegawai. Kondisi ini diperkirakan akibat adanya peningkatan UMP dan UMK di
tahun 2016 serta fokus pemerintahan di tahun 2016 yang lebih menitikberatkan
pada percepatan pembangunan di pedesaan.
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Tw I 2015 dan Tw I 2016
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau pada awal tahun 2016 tercatat
sebesar Rp506,08 miliar atau 4,61% dari total belanja sebesar Rp10,97 triliun yang
dianggarkan dalam APBD 2016. Meskipun mengalami peningkatan dari realisasi di
awal tahun 2015 yang tercatat sebesar 4,57%, namun penyerapan anggaran belanja
relatif belum optimal. Hal ini tercermin dari realisasi belanja langsung yang baru
mencapai 1,72%. Sementara itu, realisasi belanja tidak langsung hingga Maret 2016
mencapai 7,61% dari total yang dianggarkan dan cenderung menurun dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 9,50%.
Realisasi belanja modal dan belanja barang dan jasa di awal tahun 2016 tercatat
relatif meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Hingga
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
BELANJA DAERAH 10,683.97 487.76 4.57 10,972.07 506.08 4.61
BELANJA TIDAK LANGSUNG 4,402.19 418.06 9.50 5,388.35 409.96 7.61
Belanja Pegawai 1,122.75 160.77 14.32 1,202.95 111.67 9.28
Belanja Bunga - - - - -
Belanja Subsidi - - - - - -
Belanja Hibah 1,070.65 217.22 - 1,293.61 298.30 23.06
Belanja Bantuan Sosial 7.18 - - 10.00 - -
Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan
Pemerintah Desa1,159.15 - - 1,283.58 - -
Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota,
Pemerintah Desa dan Partai Politik1,032.47 40.07 3.88 1,580.21 - -
Belanja Tidak Terduga 10.00 - - 18.00 - -
BELANJA LANGSUNG 6,281.78 69.70 1.11 5,583.72 96.12 1.72
Belanja Pegawai 272.81 21.32 7.82 340.56 17.53 5.15
Belanja Barang dan Jasa 3,107.85 47.93 1.54 2,711.04 74.89 2.76
Belanja Modal 2,901.12 0.44 0 2,532.12 3.70 0
Uraian (Miliar Rupiah)Triwulan I 2015 Triwulan I 2016
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
69
maret 2016, realisasi belanja modal pemerintah Provinsi Riau tercatat mencapai
Rp3,7 miliar, relatif menigkat dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015
yang mencapai Rp440 juta. Selanjutnya, realisasi belanja barang dan jasa pada awal
tahun 2016 mencapai Rp74,89 miliar, lebih besar dibandingkan realisasi pada
periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai Rp47,93 miliar. Adanya
program percepatan realisasi APBD yang dilakukan pemerintah Provisi Riau
berdampak terhadap peningkatan realisasi belanja di awal tahun 2016 meskipun
belum optimal.
Selanjutnya pada kelompok belanja tidak langsung, anggaran belanja yang baru
terealisasi berasal dari komponen belanja pegawai dan belanja hibah, yaitu masing-
masing sebesar 9,28% dan 23,06% dari total yang dianggarkan. Realisasi belanja
pegawai dalam komponen belanja tidak langsung pada triwulan I 2016 tercatat lebih
rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2015 yang mencapai 14,38%.
Hal ini diperkirakan merupakan tindakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh
pemerintah Provinsi Riau terkait penyesuaian pendapatan daerah. Selanjutnya,
realisasi belanja hibah relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu
mencapai Rp298,30 miliar.
BOKS 3 PERCEPATAN PENYERAPAN APBD RIAU TAHUN 2016
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi
Riau, realisasi APBD dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir terus tercatat lebih rendah
dibandingkan ketersediaan anggaran. Pada tahun 2010, anggaran yang tersedia mencapai Rp.4,26
Triliun dengan realisasi mencapai 95,31% atau sebesar Rp.4,06 Triliun. Jika dibandingkan dengan
realisasi anggaran tahun 2015 sebesar Rp7,38 Triliun, persentase realisasi anggaran tahun 2010
tercatat lebih tinggi dibandingkan 2015 yang hanya mencapai 64,76% dari total anggaran sebesar
Rp11,38 Triliun.
Grafik Anggaran dan Realisasi APBD Riau Tahun 2010-2015
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Riau
Pada tahun 2016, Pemerintah Provinsi Riau menetapkan 5 langkah Percepatan Penyerapan
Anggaran 2016 sebagai berikut:
1. Mempersiapkan perangkat pelaksana (SK Pejabat Pengelola, Susun RUP, Rencana Kas dan
Identifikasi Paket.
2. Memperhatikan jadwal proses pelelangan.
3. Memperhatikan sembilan titik kritis tahapan pelaksanaan APBD.
4. Percepatan realisasi anggaran harus tetap memperhatikan akuntabilitas dan kualitas.
5. Melaporkan secara berkala dan mengambil tindakan perbaikan setiap bulannya.
4,264,79
8,378,91 8,84
11,38
4,064,54
6,848,08
5,73
7,88
-1
1
3
5
7
9
11
13
15
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Rp Triliun
Anggaran (Rp Triliun) Realisasi (Rp Triliun)
Skema Percepatan Penyerapan Anggaran
Sumber : Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Riau
Dengan asumsi telah disahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi
Riau, pemerintah rencana penyerapan anggaran sebagaimana yang tercantum pada skema diatas
dapat dilakukan. Untuk itu, Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran (TEPRA) juga terus
melakukan pemantauan terhadap setiap tahapan pelaksanaan anggaran karena perlambatan pada
setiap fase akan berdampak pada keterlambatan fase selanjutnya.
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
70
1. Kondisi Umum
Perkembangan ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Riau pada awal
tahun 2016 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dari
indikator terkait menunjukkan terjadi peningkatan kualitas ketenagakerjaan antara
lain menurunnya angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau dari 6,72% di
tahun 2015 menjadi 5,94% di tahun 2016. Sementara perkembangan
kesejahteraan di Provinsi Riau juga membaik terlihat dari indikator Nilai Tukar
Petani (NTP) pada triwulan I-2016 meningkat jika dibandingkan dengan triwulan IV-
2015 yakni dari 95,03 menjadi 97,36.
Bab 5 PERKEMBANGAN
KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
71
2. Ketenagakerjaan
Grafik 5.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Feb - 2016
Sumber : BPS
Grafik 5.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Feb - 2016
Sumber : BPS
Provinsi Riau pada periode Februari 2016 menunjukkan bahwa 2,98 juta dari 4,4
juta jiwa penduduk dengan usia 15 tahun ke atas atau 67,01% merupakan
angkatan kerja. Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan
dari periode Februari 2015 yang tercatat sebesar 6,72% menjadi 5,94%. Hal
tersebut menunjukkan terjadi peningkatan kondisi ketenagakerjaan Riau yang
mengindikasikan terjadinya penurunan angka pengangguran. Trend penurunan TPT
Riau yang searah dengan pergerakan TPT Indonesia yang tercatat 5,81% pada
Februari 2015 menjadi 5,50% di periode Februari 2016 mengindikasikan terjadinya
peningkatan ketenagakerjaan secara nasional.
Di tingkat regional, Riau merupakan provinsi dengan angka TPT kelima tertinggi di
Sumatera. Sementara Bengkulu menjadi daerah dengan angka TPT terendah di
Sumatera dengan angka 3,84%. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2015,
Kepulauan Riau, merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami
peningkatan TPT di tahun 2016, yang diperkirakan akibat perlambatan ekonomi
khususnya sektor industri, sehingga banyak pegawai yang di phk atau dirumahkan.
Tabel 5.1 Tingkat Pengangguran Terbuka Pulau Sumatera (%)
Sumber: BPS.
73,59
70,34
70,01
68,87
68,63
68,53
68,06
68,06
67,01
65,58
64,24
58 60 62 64 66 68 70 72 74 76
Bengkulu
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Lampung
Jambi
Bangka Belitung
Indonesia
Riau
Kepulauan Riau
Aceh
9,03
8,13
6,49
6,17
5,94
5,81
5,5
4,66
4,54
3,94
3,84
0 2 4 6 8 10
Kepulauan Riau
Aceh
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Riau
Sumatera Barat
Indonesia
Jambi
Lampung
Sumatera Selatan
Bengkulu
Provinsi Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel BengkuluLampung Babel Kepri
Agt 2014 9,02 6,23 6,50 6,56 5,08 4,96 3,47 4,79 5,14 6,69
Feb 2015 7,73 6,39 5,99 6,72 2,73 5,03 3,21 3,44 3,35 9,05
Agt 2015 9,93 6,71 6,89 7,83 4,34 6,07 4,91 5,14 6,29 6,20
Feb 2016 8,13 6,49 5,81 5,94 4,66 3,94 3,84 4,54 6,17 9,03
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
72
Tabel 5.2 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Sumber: BPS
Berdasarkan sektor ekonomi, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh
sektor pertanian yaitu mencapai 41,44% dari total tenaga kerja, diikuti oleh sektor
perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi dan sektor jasa kemasyarakatan
sosial dan perorangan dengan penyerapan tenaga kerja masing-masing mencapai
22,04% dan 18,26%. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian tercatat
menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 46,09%
menjadi 41,44%. Disisi lain, penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan
rumah makan dan jasa akomodasi mengalami peningkatan, yaitu dari 16,04%
menjadi 22,04%.
Grafik 5.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
2014 2015 2016
Pertanian Perkebunan Kehutanan Perburuan dan Perikanan 42,41 46,09 41,44
Pertambangan dan Penggalian 1,73 1,32 1,91
Industri 5,51 4,91 6,06
Listrik Gas dan Air Minum 0,31 0,12 0,32
Konstruksi 5,54 4,84 5,39
Perdagangan Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 20,5 16,04 22,04
Transportasi Pergudangan dan Komunikasi 3,79 3,85 2,14
Lembaga Keuangan Real Estate Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 2,29 2,98 2,44
Jasa Kemasyarakatan Sosial dan Perorangan 17,91 19,85 18,26
Total 100 100 100
FebruariLapangan Pekerjaan Utama
0 10 20 30 40 50
Pertanian, Pekerbunan..
Pertambangan dan..
Industri
Listrik, Gas..
Konstruksi
Perdagangan, ru..
Transportasi, Per..
Lembaga Keuangan
Jasa Kemasyarakatan
%2016 2015 2014
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
73
Sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Riau memiliki status pekerjaan sebagai
buruh/karyawan/pegawai yaitu sebesar 41,20%. Angka ini cenderung menurun
dibandingkan tahun 2015 yang tercatat sebesar 44,15%. Penurunan penduduk
yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai diperkirakan karena terjadinya
perlambatan ekonomi khususnya di sektor migas yang menyebabkan terjadinya
pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut. Sedangkan penduduk yang
bekerja dengan berusaha sendiri mengalami peningkatan dari 18,63% di tahun
2015 menjadi 21,01% di tahun 2016, hal ini mengindikasikan bahwa penduduk
dituntut untuk kreatif menciptakan lapangan kerja yang sendiri pasca terjadinya
pengurangan karyawan di sektor usaha tersebut.
Grafik 5.4 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama
Dilihat dari jumlah jam kerja perharinya, mayoritas tenaga kerja di Riau
menghabiskan waktu jam kerjanya selama 0 dan lebih dari 35 jam seminggu, yaitu
sebanyak 62,05%. Pekerja dengan waktu lebih dari 35 jam seminggu merupakan
pekerja penuh, sementara pekerja dengan waktu kurang dari 35 jam seminggu
merupakan pekerja tidak penuh. Dengan demikian, mayoritas angkatan kerja yang
bekerja di Riau pada Februari 2015 merupakan pegawai penuh. Hal ini sesuai
dengan jumlah status pekerja terbesar di Riau yang berprofesi sebagai
buruh/karyawan/pegawai. Pekerja tidak penuh di Riau didominasi oleh pekerja yang
berprofesi sebagai wirausaha, pekerja keluarga dan buruh bebas.
21%
12%
5%41%
5%3%
13%
Berusaha Sendiri
Berusaha Dibantu BuruhTidak Tetap / Buruh TidakDibayar
Berusaha Dibantu BuruhTetap / Buruh Dibayar
Buruh /Karyawan/Pegawai
Pekerja Bebas di Pertanian
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
74
Grafik 5.5. Jumlah Jam Kerja per Minggu Februari - 2016
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 5.6. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Grafik 5.7 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah.
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh tenaga kerja di Riau mayoritas
merupakan tamatan SMP kebawah atau sebesar 56,40%. Kondisi ini tidak jauh
berbeda dengan tahun sebelumnya yang mencapai 58,58%dari total angkatan
kerja yang bekerja. Pekerja dengan tingkat pendidikan diploma dan universitas
hanya mencapai 11,43%, sementara pekerja yang menamatkan tingkat pendidikan
SMA dan SMK mencapai 32,17%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
tingkat pendidikan tenaga kerja di Riau masih tergolong rendah.
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) terbesar berada pada kelompok penduduk dengan tingkat pendidikan
3% 7%
13%
15%62%
1 - 7
8 - 14
15 - 24
25 - 34
0 dan 35+
SD kebawah37%
SMP19%
SMA23%
SMK9%
Diploma3%
Universitas9%
SD kebawah
SMP
SMA
SMK
Diploma
Universitas
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
SD KEBAWAH SMP SMA SMK DIPLOMA UNIVERSITAS
2,79
6,237,70
8,48
13,54
8,05
Feb 2015 Feb 2016
KAJIAN EKONOMI REGIONAL Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah
75
Diploma dan Universitas, yaitu mencapai 21,59%kondisi ini menunjukkan bahwa
lapangan kerja yang tersedia di Provinsi Riau belum optimal dalam menyerap
tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
3. Kesejahteraan Daerah
3.1 Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani pada triwulan I-2016 meningkat jika dibandingkan dengan
triwulan IV-2015 yakni dari 95,03 menjadi 97,36. Kenaikan NTP pada triwulan I-
2016 disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani sebesar 3,81%,
lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga yang dibayar petani
sebesar 0,73%. Nilai NTP dibawah 100 secara umum memberikan gambaran
bahwa kegiatan pertanian di Provinsi Riau belum berjalan efisien dan kurang
bernilai tambah untuk meningkatkan taraf hidup petani, tercermin dari besarnya
biaya yang harus dikeluarkan petani dibanding pendapatan yang diperoleh.
Peningkatan nilai tukar petani dicatatkan oleh seluruh sub sektor kecuali sub sektor
tanaman pangan yang menurun dari 115,45 di triwulan IV-2015 menjadi 112,56 di
triwulan I-2016.
Nilai tukar petani terendah dicatatkan oleh subsektor tanaman perkebunan rakyat
sebesar 103,80. Sementara nilai tukar petani tertinggi dicatatatkan oleh subsektor
tanaman pangan sebesar 112,56.
Grafik 5.8 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, data diolah.
90
95
100
105
110
115
120
125
Mar Jun Sep Des Mar Juni Sep Des Mar
2014 2015 2016
Tanaman Pangan Hortikultura
Tanaman Perkebunan Rakyat Peternakan
Perikanan Indeks yang diterima
Indeks yang dibayar Nilai Tukar Petani Umum
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
76
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan II-2016 secara umum diperkirakan
tumbuh meningkat, berada pada kisaran 2.51+0.5%(yoy) dengan tendensi ke arah
batas atas. Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan berasal dari
seluruh komponen baik konsumsi, investasi, maupun ekspor yang mengalami
perbaikan kinerja dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, secara
sektoral peningkatan kinerja diperkirakan berasal dari sektor pertanian, kehutanan,
dan perikanan, sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, sektor perdagangan
besar dan eceran. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi Riau tertahan oleh
berlanjutnya penurunan produksi sektor pertambangan dan penggalian yang
diperkirakan lebih dalam dari kontraksi yang terjadi pada triwulan I 2016.
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 6
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
77
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II-2016 serta 2016 (Dalam %)
*: Data Sementara; ** Data Sangat Sementara:P Proyeksi Bank Indonesia
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan pada triwulan II
2016 diperkirakan ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah
tangga. Kondisi ini sejalan dengan perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
(IKK) bulan April 2016 di Provinsi Riau yang tercatat meningkat. Peningkatan
optimisme konsumen tersebut diperkirakan karena ekspektasi perbaikan ekonomi
sampai dengan 6 bulan yang akan datang, terutama espektasi terhadap
penghasilan dan konsumsi durable goods meskipun masih sangat terbatas. Selain
itu prakiraan pengeluaran 3 bulan yang akan datang juga relatif meningkat
terutama pengeluaran pada kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi,
minuman, rokok, tembakau, kelompok perumahan, dan kelompok pendidikan,
rekreasi, dan olahraga.
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 6.2. Perkembangan Indeks Ekspektasi Konsumen
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan akan meningkat jika
dibandingkan triwulan sebelumnya, terkait dengan mulai meningkatnya realisasi
APBD pada triwulan II 2016.
Dari sisi eksternal, kinerja ekspor pada triwulan II 2016 diperkirakan membaik
namun masih terbatas. Ekspor luar negeri diperkirakan masih mengalami kontraksi
I II III IV I IIP
PDRB 2.70 -0.01 -2.13 -1.38 4.45 0.22 2.34 2.0-3.0 1.9-2.9
Komponen 2016P2014*2015**
2015**2016
0
20
40
60
80
100
120
140
160
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Garis 100
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
2013 2014 2015 2016
Indeks
Indeks Penghasilan Konsumen Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja
Indeks Konsumsi Durable Goods Garis 100
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
78
sejalan dengan masih menurunnya kinerja sektor pertambangan dan penggalian
dari sisi migas, serta masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor perkebunan sawit
dan industri CPO (non migas). Selain itu faktor yang menahan pertumbuhan
ekonomi Riau adalah perbaikan pertumbuhan ekonomi global terutama negara
mitra dagang utama yang diperkirakan masih terbatas pada triwulan mendatang.
Tabel 6.2 Outlook Perekonomian Global
Sumber: Recent Economic Development Bank Indonesia, April 2016
Dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian di triwulan mendatang diperkirakan akan
membaik dibandingkan triwulan I 2016. Faktor pendorong meningkatnya
pertumbuhan diperkirakan berasal dari subsektor perkebunan sawit. Kurang
optimalnya produksi sawit di triwulan I 2016 akibat tertundanya pemupukan pada
saat kondisi asap, diperkirakan akan mulai membaik pada triwulan II 2016. Selain
itu mulai meningkatnya harga TBS lokal dan meningkatnya permintaan domestik
CPO (termasuk penyerapan untuk produk turunan), serta mulai berproduksinya
beberapa lahan replanting mendorong laju pertumbuhan sektor pertanian. Sejalan
dengan peningkatan kinerja sektor pertanian Riau, perkembangan sektor industri
pengolahan juga diperkirakan akan meningkat yang didorong oleh meningkatnya
industri pengolahan CPO dan produk turunannya termasuk biodiesel, serta industri
pengolahan pulp and paper. Di sisi lain, menurunnya kinerja industri pengilangan
migas menjadi faktor yang menahan laju pertumbuhan.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 secara keseluruhan
diperkirakan berada pada kisaran 1,9 2,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan
2015 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017
Dunia 3,1 3,4 3,6 3,2 3,5 3,4 3,7 3,5 4,0 3,50 3,80 3,40 3,60
Negara Maju 1,9 2,1 2,1 1,9 2,0 1,9 2,1 2,2 2,4 2,2 2,2 2,1 2,1
Amerika Serikat 2,5 2,6 2,6 2,4 2,5 2,1 2,5 2,1 2,4 2,7 2,8 2,6 2,5
Kawasan Eropa 1,5 1,7 1,7 1,5 1,6 1,6 1,7 1,5 1,6 1,6 1,7 1,7 1,7
Jepang 0,6 1,0 0,3 0,5 -0,1 1,3 0,7 0,7 0,6 1,0 0,4 1,0 0,4
Negara Berkembang 4,0 4,3 4,7 4,1 4,6 4,7 5,2 4,8 5,4 4,5 4,9 4,3 4,7
Negara Berkembang Asia 6,6 6,3 6,2 6,4 6,3
Tiongkok 6,9 6,3 6,0 6,5 6,2 6,4 6,4 6,4 6,2 6,3 6,0 6,3 6,0
India 7,3 7,5 7,5 7,5 7,5 7,7 7,8 7,6 7,7 7,5 7,5 7,5 7,5
Volume Perdagangan Dunia (barang dan jasa) 2,6 3,4 4,1 3,1 3,8 3,4 3,8 2,9 3,3
Harga Komoditas (U.S.Dollars)
Minyak (Minas&ICP, USD per barel) 50,9 42,0 48,2 34,8 41,1 48 52 37 46
Non bahan bakar (rata-rata berdasarkan bobot
ekspor komoditas dunia) -17,4 -9,5 0,4 -9,4 0,7 -9,90 0,50 -10,10 0,40
Februari 2016 Maret 2016
Bank Indonesia
Januari 2016 Februari 2016
Consensus Forecast WEO IMF
Januari 2016Realisasi
April 2016
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
79
tahun 2015 yang tercatat sebesar 0,22% (yoy), dengan perbaikan yang
diperkirakan terjadi mulai triwulan II 2016. Peningkatan kinerja ekonomi didorong
oleh peningkatan kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan sektor
industri pengolahan. Meningkatnya permintaan ekspor ke negara tujuan utama
dan permintaan domestik terutama produk CPO, pulp dan kertas serta turunannya.
Di sisi lain faktor yang menghambat laju pertumbuhan adalah penurunan kinerja
sektor pertambangan dan penggalian disebabkan oleh penurunan kinerja lifting
minyak bumi akibat natural declining sehingga tingkat produksi turun pada kisaran
6-8%. Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi pada tahun 2016 utamanya
disebabkan oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah,
dan investasi akibat mulai meningkatnya kondisi perekonomian, serta perbaikan
kontraksi kinerja ekspor Riau.
Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan
ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini
utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif (natural
declining), tidak optimalnya penggunaan teknologi injeksi untuk optimalisasi
produksi, serta eksplorasi sumur baru yang terkendala proses perizinan sehingga
diperkirakan berpotensi mengakibatkan kontraksi yang lebih dalam pada sektor
pertambangan migas. Selain itu, potensi pemulihan kinerja sektor pertanian masih
cukup rendah, terutama terhadap subsektor perkebunan kelapa sawit sehubungan
dengan dampak el nino dan la nina yang berpotensi menyebabkan kebakaran
hutan dan lahan, serta kondisi banjir sehingga produksi pertanian relatif terganggu.
2. PERKIRAAN INFLASI
Tabel 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan II 2016
Inflasi Provinsi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
mengalami perlambatan, yaitu berada pada kisaran 2.66+0.5% (yoy). Sedangkan
secara triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar 0.26+0.5% (qtq). Adapun capaian
I II III IV I IIP
Inflasi Tahunan (% yoy) 6.17 7.40 5.70 2.65 4.42 2.16 - 3.16 3.62 - 4.62
Inflasi Triwulanan (% qtq) (1.26) 1.97 0.68 1.25 0.45 -0.24 - 0.76
Keterangan2015 2016P
2016P
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
80
inflasi hingga akhir tahun berada pada kisaran 3,62-4,62% (yoy) 2015, masih
berada di dalam sasaran inflasi nasional tahun 2016 sebesar 4±1% (yoy).
Faktor pendorong inflasi Riau pada triwulan II 2016 diperkirakan terutama berasal
dari inflasi volatile food, bersumber dari kenaikan harga bahan makanan akibat
keterbatasan pasokan seiring dengan berakhirnya masa panen raya dan gangguan
panen di beberapa sentra produksi yang banyak memasok kebutuhan ke wilayah
Riau. Beberapa komoditas seperti beras, cabe merah, bawang merah, daging sapi
mulai menunjukkan peningkatan karena keterbatasan pasokan. Selain itu tekanan
inflasi volatile food juga didorong oleh meningkatnya permintaan masyarakat
memasuki bulan Ramadhan pada akhir triwulan.
Inflasi kelompok administered price, meski mengalami penurunan tekanan pada
awal triwulan II 2016 akibat penurunan harga BBM bensin dan solar, diperkirakan
akan mulai meningkat didorong oleh rencana peningkatan tarif listrik bulan Mei
dan Juni. Sementara itu, meskipun relatif stabil tekanan inflasi inti diperkirakan
sedikit meningkat akibat mulai membaiknya daya beli masyarakat karena
meningkatnya penghasilan (akibat mulai meningkatnya harga TBS lokal). Faktor
yang menahan peningkatan tekanan inflasi inti adalah penguatan nilai tukar rupiah
sehingga menurunkan imported inflation.
Grafik 6.3. Perkembangan Harga Bumbu-Bumbuan di Kota Pekanbaru
Grafik 6.4. Perkembangan Harga Daging Segar & Hasilnya di Kota Pekanbaru
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi melewati batas
atas kisaran proyeksi (downside risk) antara lain, El Nino yang berpotensi
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
MIV MV MIV MIV MV MIV MIV MV MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16
Ru
pia
h
Cabe Merah Cabe Rawit Bawang Merah Bawang Putih
110,000
115,000
120,000
125,000
130,000
135,000
140,000
145,000
-
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
MIV MV MIV MIV MV MIV MIV MV MIV
Aug-15 Sep-15 Okt-15 Nov-15 Des-15 Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16
Ru
pia
h
Ru
pia
h
Daging Ayam Ras (RHS) Telur Ayam Ras Daging Sapi (LHS)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
81
menganggu produksi daerah sentra pertanian dan meningkatkan inflasi bahan
makanan. Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa
inflasi ke batas bawah (upside risks) proyeksi, yaitu perkembangan harga minyak
dunia yang masih belum membaik sehingga meminimalisir tekanan inflasi dari
kelompok administered prices. Pada tingkat regional, koordinasi aktif forum Tim
Pengendalian Inflasi Daerah terus ditingkatkan baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota dengan beberapa fokus program pengendalian inflasi daerah
antara lain: (1) dalam rangka persiapan menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya
Idul Fitri akan dilaksanakan pertemuan dengan mengundang beberapa distributor
besar untuk memantau kecukupan stok dan memberikan himbauan untuk tidak
melakukan tindakan spekulatif, melakukan koordinasi terkait rencana program
operasi pasar, serta sidak pergudangan; (2) Perbaikan tata niaga dan pasar
tradisional di beberapa daerah; (3) penertiban perizinan pasar modern yang
menjamur di kota Dumai dan Pekanbaru; (4) kota Dumai dan Tembilahan
menyepakati untuk menyediakan data harian yang akan di upload dalam PIHPS
nasional sebagai bagian program Pokjanas TPID 2016; (5) peningkatan kegiatan
urban farming di beberapa daerah dan monitoring kegiatan pencetakan lahan
pertanian baru dalam rangka peningkatan produksi pangan lokal (mengurangi
ketergantungan dari daerah lain).
3. REKOMENDASI
Sehubungan dengan upaya pengendalian inflasi, dan upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, maka diusulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Jangka pendek
a. Monitoring dan evaluasi perbaikan infrastruktur pertanian terutama
sarana irigasi yang banyak (sekitar 80%) mengalami kerusakan.
b. Dukungan Kepala Daerah untuk melakukan monitoring dan evaluasi
tindak lanjut Hasil Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID) Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota yang telah disepakati.
2. Jangka panjang
a. Fokus pengembangan kawasan industri dan infrastruktur yang
mendukung industrialisasi seperti sarana jalan, pelabuhan dan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
82
kelistrikan dengan terus melakukan monitoring progress dan evaluasi
secara intensif terutama untuk mendukung program hilirisasi sawit
(menciptakan nilai tambah produk kelapa sawit);
b. Merumuskan rencana pengembangan sektor ekonomi yang berpotensi
untuk menggantikan laju penurunan sektor pertambangan dan
penggalian (natural declining), antara lain sektor pariwisata, jasa dan
perdagangan. Perlu pembuatan blueprint dan milestone
pengembangan yang terperinci yang dimasukkan dalam RPJMD dan
RPJP
c. Meningkatkan kerjasama dengan stakeholder dalam rangka
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) khususnya dalam
sektor pariwisata.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xv
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan
tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran
kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan
risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin
kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah
mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang
diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5
kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvi
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap
dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan
bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan
ekspektasi masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk
dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya
beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvii
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit
kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan
secara nasional.
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung
oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa
menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang
diterima (giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan
10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin
timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP
ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar
PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang
Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi
agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah
100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta
pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring
kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Adalah persentase jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.