kabinet gelora pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/ruu-kpk-pelemahan-penegakkan-korupsi-1.pdf ·...
TRANSCRIPT
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (RUU KPK) di dalam rapat paripurna pada hari Kamis, 5 September 2019.
Setelah mayoritas anggota fraksi yang hadir dalam rapat menyetujui usulan tersebut, Wakil
Ketua DPR, Utut Adianto selaku pemimpin rapat kemudian menyudahi rapat yang
berlangsung selama 20 menit tersebut1. Salah satu anggota DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan
Supratikno menyampaikan bahwa para pengusul RUU KPKadalah Masinton Pasaribu dan
Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar, Ibnu Multazam
dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Achmad Baidowi dari Fraksi PPP, dan Taufiqulhadi
dari Fraksi Partai Nasdem2.
Legalitas dan Permasalahan dalam RUU KPK
Permasalahan pertama yang dapat kita temui dalam RUU KPK ada dalam Pasal 1
angka (3) RUU KPK. Dalam pasa tersebut disebutkan,
“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-
Undang ini.”
Pasal tersebut keabsahannya dapat diperdebatkan secara hukum. Hal ini disebabkan karena
rumusan ketentuan tersebut mengartikan bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif. Status
ini merupakan salah satu hal yang kontroversial beberapa tahun yang lalu. Tetapi secara
hukum kontruksi pasal tersebut dapat dilihat dari Putusan MK. Putusan MK Nomor 36/PUU-
XV/2017. pada halaman 110 menyebutkan,
1 Bayu Septianto, Sidang 20 Menit, DPR Sah Usulkan Revisi UU KPK, https://amp.tirto.id/sidang-20-menit-dpr-sah-
usulkan-revisi-uu-kpk-ehyQ?__twitter_impression=true, diakses tanggal 9 September 2019.
2 Kurnia Yunita Rahayu dan Agnes Theodora, Ini Nama Sejumlah Anggota DPR Pengusul Revisi UU KPK,
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/09/06/ini-nama-sejumlah-anggota-dpr-pengusul-revisi-uu-kpk/, diakses
tanggal 9 September 2019.
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
“Meskipun KPK merupakan komisi yang bersifat independen sebagaimana yang diatur
dalam UU KPK, namun telah jelas bahwa dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya sebagaimana institusi kepolisian dan kejaksaan melaksanakan tugas
dan kewenangan pemerintahan yang masuk dalam ranah eksekutif.”
Sehingga tidak menimbulkan permasalahan secara hukum jika KPK disebut sebagai
Lembaga Pemerintah Pusat.
Yang menjadi permasalahan berkutnya adalah bagaimana dengan statusnya sebagai
lembaga independen yang menegakkan hukum di bidang korupsi. Hal tersebut sebenarnya
terjawab melalui Putusan MK sebelumnya. Dimana dalam Putusan MK No. 012-016-
019/PUU-IV/2006 disebutkan,
“Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan
lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally
important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945;”
Hal tersebut menegaskan bahwa KPK merupakan salah satu lembaga yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Menurut Jimly Ashhidique, hal ini wajar adanya
karena lembaga independen mempunyai status campursari. Dimana fungisnya bisa saja
tidak hanya menjalankan satu cabang kekuasaan, seperti KPK yang bisa menjalankan fungsi
eksekutif dan yudikatif. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di Putusan MK Nomor 36/PUU-
XV/2017 halaman 110 kemudian dimana disebutkan,
“DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK (menunjukkan sifat eksekutif dari KPK) juga bertanggungjawab kepada
publik, kecuali untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yudisial (penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan).” Ditambah, dalam halaman 109 Putusan in casu disebutkan
“Posisinya (KPK) yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen
dan terbebeas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-
016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK
dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.”
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
Melihat dari putusan-putusan dan doktrin diatas dapat disimpulkan bahwa KPK merupakan
lembaga eksekutif saat tidak melakukan tugas yudisialnya (penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan). Sehingga dapat dikatakan KPK semi-legislatif dan semi-eksekutif, dan Pasal 1 angka 3
RUU KPK tidak memiliki permasalahan hukum.
Dalam RUU KPK terdapat beberapa permasalahan, salah satunya adalah Penyidik
KPK yang tidak lagi menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK. Saat ini,
berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –selanjutnya disebut UU KPK, bahwa penyidik
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Lebih lanjut, dalam Pasal
39 ayat (2) disebutkan bahwa penyidik yang menjadi pegawai Komisi Pemberantasan
Korupsi diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Melihat konstruksi yang demikian menurut
Zainal Arifin Mochtar bahwa pasal a quo harus melihat historis bahwa kala itu KPK belum
memiliki penyidik sendiri. Sedangkan, Pasal 21 ayat (4) menyatakan bahwa pemimpin KPK
juga sebagai penyidik dan penuntut umum, padahal pemimpin KPK bukanlah jaksa maupun
polisi yang harus diberhentikan dulu baru mempunyai fungsi penyidikan dan penuntutan.
Sehingga dalam kondisis sekarang, dapat disimpulkan bahwa Pasal 21 ayat (4) menjelaskan
Pasal 39 ayat (2) hanyalah ketentuan khusus untuk penyidik.
Dalam RUU KPK seperti yang diamanatkan Pasal 1 ayat (7) Pegawai KPK adalah
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara. Terkait penyidik,
diatur dalam Pasal 45 RUU KPK bahwa penyidik KPK diangkat dari Kepolisian, Kejaksaan,
dan penyidik pegawai negeri sipil. Lebih lanjut pada Pasal 45A ayat (1) menyebutkan
persyaratan penyidik diantaranya bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua
tahun serta mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan. Dimana ditentukan pada
Pasal 45A ayat (2) pendidikan dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan instansi yang
membawahi penyidik pegawai negeri sipil yang bekerja sama dengan KPK. Terlebih, dengan
dihapuskannya ketentuan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik sesuai Pasal 21 ayat (4) UU
KPK membuat seluruh sumber daya penyidik berasal dari luar instansi tersebut. Dengan
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
kontruksi yang demikian, menjadi ancaman serius bagi marwah KPK sebagai lembaga
negara independen. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa independensi dapat terwujud
dalam bentuk independensi institusional atau struktural, fungsional, dan administratif yang
di dalamnya tercakup independensi keuangan dan personalia. Dengan status yang demikian,
dimana penyidik KPK berasal dari luar instansi KPK dan juga berstatus aparatur sipil negara
tentu akan mengganggu independensi KPK secara fungsional maupun administratif. Padahal
sejatinya, apabila mengacu pada hakikat KPK sebagai lembaga negara independen salah satu
perwujudan utamanya adalah dalam hal sumber daya penyidik. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Zainal Arifin Mochtar bahwa pengukuhan KPK sebagai lembaga negara
independen memutlakkan kebutuhan agar KPK memiliki penyidik sendiri yang bisa
terwujud dengan diberikannya kesempatan KPK merekrut, mendidik, dan memfungsikan
penyidiknya secara mandiri.
Selain itu berdasarkan Pasal 24 ayat (2) RUU KPK disebutkan bahwa pegawai negeri
sipil (PNS) yang ditarik ke KPK masih memegang statusnya sebagai PNS. Hal tersebut
merupakan pelemahan KPK secara fungsional dan personalia. Hal ini dapat dilihat apabila
pegawai KPK melakukan kritik terhadap pemerintah berpotensi untuk diberhentikan atau
tidak diperpanjang perjanjian kerjanya. Begitupun dengan status ASN ini KPK secara
sumberdaya tak ubahnya terus dibawah pengaruh pemerintah yang mengacaukan
keindependenan lembaga ini. Selain itu pengaruh lain yang mempengaruhi independensi
pegawai KPK ini adalah perihal penggajian dan kenaikan pangkat yang tercakup dalam
manajemen PNS (vide : Pasal 55 UU ASN) akan bersifat sangat subjektif dimana pegawai KPK
ini bisa saja disetir dan diperintahkan tunduk agar bisa mendapatkan kenaikan pangkat dan
penggajian yang setimpal
Permasalahan lain di dalam RUU KPK adalah ketentuan penyelidik KPK hanya
berasal dari kepolisian, hal ini tercantum di dalam Pasal 43 ayat (1) RUU KPK yang berbunyi
“Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut bertentangan dengan semangat dari pembentukan
KPK yaitu untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Pada awalnya, pembentukan KPK
merupakan amanah dari Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001. Dalam pertimbangan ketetapan tersebut
disebutkan
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
”bahwa permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah
sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Kemudian, dalam pertimbangan UU No 30 Tahun 2002 disebutkan
“ ….pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan
nasional.”
Dari dua pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa KPK dibentuk dalam rangka mengatasi
kegagalan lembaga pemerintah yaitu kepolisian dan kejaksaan selaku pemegang kewenangan untuk
menegakkan hukum terutama di bidang korupsi. KPK hadir untuk memberantas korupsi yang sangat
serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah lembaga pemerintah yang kurang
kompeten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 43
ayat (1) RUU KPK bersifat tendensius dan dapat memunculkan potensi ‘permainan kasus’ dalam
penyelidikan kasus korupsi di KPK.
Salah satu perubahan yang lain adalah terkait dengan wewenang KPK. Salah satu wewenang
yang hilang adalah pada bagian mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Sehingga
rumusan Pasal 11 RUU KPK menjadi sebagai berikut,
a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Hal ini mengurangi wewenang KPK dalam UU 30 2002 dimana disebutkan dalam Pasal 11 disebutkan
:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Salah satu kriteria tersebut sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dengan kinerja KPK. Penghapusan
kriteria tersebut malah dapat membuat penegakkan terhadap KPK menjadi lebih jelas. Hal ini
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
disebabkan karena klausula “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” sebenarnya tidak
mempunyai ukuran yang jelas. Bahkan dalam penjelasannya tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hal ini
menyebabkan kriteria tersebut akan sulit digunakan KPK dalam prakteknya.
Selain itu hal diatas dapat membuat KPK sewenang-wenang dalam pengambilalihan kasus
korupsi yang sedang dilakukan oleh Polisi atau Kejaksaan, walaupun Polisi atau Kejaksaan telah
melakukan tugas dan wewenang mereka dengan benar. Oleh karena itu safety net terhadap kasus
yang “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” dapat ditemui pada ketentuan dalam Pasal
10A dimana disebutkan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dan
Kejaksaan dengan kriteria sebagai berikut :
a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak dilanjuti;
b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku Tindak
Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau
e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang
kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Kriteria tersebut lebih menjamin kepastian hukum bagi kriteria penegakkan korupsi. Sehingga tetap
menjamin penegakkan korupsi tanpa mengorbakan kepastian hukum.
Akan tetapi, terkait dengan Pasal 10A RUU KPK yang lebih perlu dikritisi sebenarnya ada
pengurangan kewenangan dalam RUU KPK. Dalam Pasal 9 UU 30 Tahun 2002, pengambilalihan kasus
dari Polisi dan Kejaksaan tidak hanya terbatas dari penyidikan, tetapi juga penuntutan. Sedangkan
dalam RUU KPK, kewenangan tersebut hanya dibatasi pada penyidikan. Untuk membuat safety net
seperti pada Pasal 10A RUU KPK tersebut berjalan dengan efektif seharusnya tidak hanya penyidikan
yang diambil alih. Tetapi juga penuntutannya. Hal ini perlu karena salah satu pengambilalihan kasus
dari Polisi dan Kejaksaan karena ketidakmampuan lembaga-lembaga tersebut. Sehingga seharusnya
penuntutan tidak dikembalikan kepada mereka, tetapi diberikan kepada KPK.
Pasal 10A RUU KPK sebenarnya juga menimbulkan problematika tersendiri. Problematika
dari Pasal 10A RUU KPK tersebut masih sama yaitu pengurangan kewenangan yang membatasi
hanya pada penyidikan. Hal tersebut membuat KPK terbatas dalam melakukan supervisi. KPK hanya
bisa mengambilalih kasus yang “tidak benar” dari Kepolisian, bahkan penyelidikan tidak dapat
diambilalih. Sehingga apabila terjadi suatu penyelewengan yang terjadi pada Kejaksaan maka KPK
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
tidak dapat mengambilalih kasus tersebut. Hal ini dapat membuat skema korupsi di perpindahan
berkas, dimana berkas korupsi di Kepolisian dapat di “P-21 kan” lebih cepat agar segera diterima
Kejaksaan. Posisi ini menyebabkan berkas korupsi menjadi “aman” dari intevensi KPK jika terjadi
penyelewengan.
Disebutkan dalam RUU KPK bahwa Dewan Pengawas merupakan Lembaga Negara Non-
Struktural yang bersifat mandiri. Status tersebut sebenarnya menimbulkan problem karena tidak
jelas bagaimana posisi LNS yang mandiiri ini terutama check and balances dengan lembaga negara
yang lain jika Dewan ini melakukan kesalahan. Dalam tupoksinya Dewan Pengawas tersebut
mempunyai beberapa tugas yaitu,
a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau
penyitaan;
c. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi
secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
Dua tugas tersebut sangat bermasalah dalam hukum. Hal ini karena kewenangannya diatas
melanggar independensi KPK dalam ranah yudisial, yang sudah ditegaskan dalam 2 putusan
Mahkamah Konstitusi diatas. Pengawasannya secara yudisial seharusnya dilaksanakan melalui
mekanisme hukum, seperti pra-peradilan. Dimana selama ini norma tersebut menjadi
paradigma penegakkan keadilan dan jaminan hak asasi manusia dalam Hukum Pidana di
Indonesia. Jika kita membicarakan pengawasan KPK terkait dengan tugas dan wewenangnya
yang non-yudisial maka seharusnya bisa dilakukan dengan mekanisme angket dari DPR yang
telah diberikan oleh MK setelah putusan MK. Pengawasan etik yang juga menjadi tugasnya juga
seharusnya tidak diperlukan. Hal ini karena etik merupakan mekanisme internal. Dimana hal
tersebut telah dibentuk tim tersendiri dalam internal KPK yang mengurus hal-hal tersebut.
Selain itu tugas Dewan Pengawas yang memberikan izin atau tidak memberikan izin
Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan dikhawatirkan akan memperlambat pengusutan
kasus di KPK. Padahal jika melihat prakteknya pada perumusan hukum acara pidana lainnya seperti
terorisme, izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan Ketua Pengadilan Negeri. - Lalu
dalam pasal 12B draft RUU KPK disebutkan bahwa penyadapan dapat dilakukan dengan seizin
pengawas dalam kurun waktu 3 bulan dan dapat diperpanjang 1 kali dalam waktu yang sama.
Pertanyaan dalam pasal tersebut adalah apabila di masa depan KPK ingin menelusuri kasus yang
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
sama apakah penyadapan masih bisa digunakan karena upaya penyadapan masa berlakunya sudah
habis dipakai sebelumnya.
Selain itu ada satu Pasal dipermasalahkan adalah kewenangan KPK melakukan sp3
dalam kurun waktu 1 tahun proses penuntutan dan penyelidikan belum selesai. Dalam
Pasal 40 disebutkan sebagai berikut,
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak
selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Pasal tersebut sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Pada dasarnya pasal 40 frasa yang
digunakan adalah "berwenang" sehingga tidak menjadi masalah karena semua kewenangan
untuk menghentikan maupun melanjutkan ada di diri KPK.
Namun, KPK menilai bahwa pasal ini dapat menimbulkan masalah baru. KPK menilai jika
mereka diberikan wewenang untuk memberikan SP3 kepada tersangka, maka KPK melihat
bahwa secara psikologis, penyidik KPK sendiri akan mempunyai pola fikir bahwa untuk
menetapkan tersangka tidak lagi perlu hati-hati dikarenakan KPK dapat mengeluarkan SP3 jika
memang kurangnya bukti untuk menuntut tersangka tersebut. Hal ini tentu dapat berpengaruh
dalam peranan KPK terutama dalam aspek hukum yakni dalam penuntutan tersangka,
mengingat juga bahwa KPK sendiri hingga saat ini memiliki conviction rate dengan nilai 100%
dan dikhawatirkan dapat menurun jika KPK memiliki kewenangan memberikan SP3 yang
tentunya membuat tersangka tidak dapat dituntut.
Jika kita lihat secara yuridis, Pasal ini tidak menimbulkan masalah. KPK dan penyidiknya
sudah seharusnya memiliki kompetensi dalam praktek hukum terutama terkait penetapan
tersangka dan penuntutan. Bahwa dengan diberikannya wewenang untuk mengeluarkan SP3
kepada tersangka, tidak seharusnya membuat kompetensi KPK dan penyidiknya menurun
secara psikologis maupun yuridis. KPK tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan
sebelumnya karena pasal ini tidak menghambat KPK dalam segi yuridis dan pasal ini juga
menjamin hak asasi manusia terutama bagi tersangka yang memang dinilai sudah terlalu lama
ditetapkan menjadi tersangkan dan juga belum menghadapi penuntutan lebih dari waktu yang
sudah diwajarkan. Akan tetapi jika kita cermati dari aspek sosiologis, pasal ini juga dapat
menjadi tekanan bagi KPK jika KPK menetapkan tersangka lebih dari 1 (satu) tahun lamanya.
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
KPK yang sekarang sudah memiliki wewenang untuk memberikan SP3 dapat mengalami
penekanan dari masyarakat maupun tersangka untuk memberikan SP3 kepada tersangka
tersebut jika memang sudah ditetapkan lebih dari 1 (satu) tahun karena KPK memiliki
wewenang untuk hal tersebut secara yuridis
Terkait dengan kewajiban KPK sebagai penuntut dalam perkara kasus korupsiuntuk
melakukan koordinasi dengan kejaksaan agung sebelum proses penuntutan bisa menjadi
polemik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12A RUU KPK dimana disebutkan,
“Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf
e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Frasa “Koordinasi” tidak dijelaskan maksud dan atas dasar apa dan apa yang mendikan itu
urgensi untuk dilakukan, sebab jika ini tidak di definisikan terlebih dahulu maka frasa
tersebut tentunya akan menimbukan multitafsir dalam implementasinya. Bayangkan bila
yang dimaksud dalam frasa koordinasi itu juga berarti kejaksaan agung berwenang
memeriksa seluruh data terkait perkara, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kebocoran
data yang bisa digunakan untuk kepentingan diluar perkara. Jika kebocoran data ini sampai
pada kewajiban untuk membuka data penyadapan maka tentu ini berltentangan dengan
pasal 12D yang menyebutkan bahwa hasil penyadapan adalah sifatnya rahasia dan hanya
untuk kepentingan peradilan semata. Lebih dari itu, jika yang dituntut dalam hal ini adalah
orang yang memiliki kepentingan dengan jaksa agung sendiri bukan tidak mungkin penuntut
dari KPK akan menerima tekanan dalam proses penuntutan yang bisa berujung pada jual
beli pasal dsb.
Berkaitan dengan pelaksanaannya, pengaturan mengenai diwajibkannya
berkoordinasi dengan kejaksaan agung juga tdak akan menghapus kewenangan KPK dalam
melakukan penuntutan karena berdasarkan asas “lex specialis derogate legi generalis” yang
artinya peraturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum maka dari itu yang
berlaku dalah penuntutan versi UU KPK.
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
Permasalahan terakhir, Spesifik pada pasal 12 ayat (2) RUU KPK yang pada dasarnya
mengatur kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK dalam menjalankan tugasnya. Kewenangan
khusus tersebut hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan sedangkan pada UU 30 tahun 2002
kewenangan tersebut dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pada
dasarnya hal tersebut terkesan tidak bermasalah tetapi jika ditelaah lebih lanjut pembatasan
kewenangan khusus tersebut tentunya dapat menghambat kinerja KPK dalam melakukan tugas dan
tanggungjawabnya. Ambil contoh dalam hal melarang orang keluar negeri. Spesifik pada konteks ini
KPK hanya dapat melarang orang keluar negeri pada saat proses penyidikan, hal tersebut dapat
menjadi celah bagi tersangka untuk melarikan dirinya pada saat perkara dalam proses penyelidikan
dan penuntutan, namun dalam kewenangan lain perlu ditelaah lebih lanjut dimana kewenangan
tersebut sangat erat kaitannya dengan status orang sebagai tersangka. Status tersangka seseorang
tidak akan pernah muncul pada proses penyelidikan sehingga tidak menjadi masalah.
Kesimpulan
Maka dari itu, dari kajian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Permasalahan yang marak dibahas adalah bagaimana dengan statusnya sebagai
lembaga independen menegakkan hukum di bidang korupsi dalam RUU Tindak
Pidana Korupsi. Akan tetapi, menurut putusan MK diatas KPK sendiri bukan hanya
merupakan lembaga eksekutif tetapi merupakan lembaga yudikatif.
2. Salah satunya yang juga menarik dibahas adalah pegawai KPK yang tidak lagi
menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK. Penyidik KPK berasal dari luar
instansi KPK dan apabila mengacu pada hakikat KPK sebagai lembaga negara
independen adalah perwujudan dalam sumber daya penyidik independen.
3. RUU KPK disebutkan bahwa PNS yang direkrut KPK masih memegang statusnya
sebagai PNS. Apabila pegawai KPK melakukan kritik terhadap pemerintah
berpotensi untuk diberhentikan atau tidak diperpanjang perjanjian kerjanya. Status
ASN akan mempengaruhi dan menimbulkan pertanyaan terkait independensi KPK
dan pemerintah.
4. Permasalahan lain adalah penyelidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian. Hal ini
kontradiktif dengan amanah pembentukan KPK yang termaktub dalam Tap MPR
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
Nomor VIII/MPR/2001 sebagai upaya mengatasi kegagalan lembaga pemerintah
yaitu kepolisian dan kejaksaan selaku pemegang kewenangan untuk menegakkan
hukum terutama di bidang korupsi.
5. Dewan pengawas dalam menjalankan tugasnya dikhawatirkan akan memperlambat
pengusutan kasus oleh KPK, sebab pengawasan secara yudisial seperti ini
seharusnya dilaksanakan melalui mekanisme hukum, seperti pra-peradilan.
6. Selanjutnya, harus ada penjelasan frasa “koordinasi” dalam Pasal 12A RUU KPK.
Karena jika untuk kepentingan administratif, maka tidak masalah. Namun, jika
mekanisme terkait perizinan sebelum melakukan penuntutan. Maka, hal tersebut
akan menciderai independensi dari KPK sendiri.
7. Kewenangan KPK dalam melakukan SP3 yang tercantum dalam RUU KPK
sebenarnya tidak menimbulkan permasalahan secara hukum karena kewenangan
tersebut bisa digunakan ataupun tidak.
Melihat kajian di atas walaupun ada pro dan kontra dalam RUU KPK, Dema Justicia
mengambil sikap sebagai berikut :
1. Memohon kepada Presiden RI untuk menolak Rancangan Undang-Undang KPK;
2. Mendesak DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pelemahan kepada KPK RI;
3. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan segenap Organisasi
Masyarakat bersatu untuk menolak RUU KPK; dan
4. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan segenap Organisasi
Masyarakat bersatu untuk mengawal serta menjaga KPK RI dari segala bentuk
pelemahan dalam penegakkan korupsi.
Kabinet Gelora Pembebasan
RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Mochtar, Zaenal Arifin, 2016, Lembaga Negara Independen, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006
Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017
Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014
Dewan Mahasiswa Justicia
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Jalan Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, D. I. Yogyakarta 55281
Telp. 081261445195, 082112599013
Email: [email protected]
Website: www.demajusticia.org
Line: @demajusticia