(mens rea) dalam tindak pidana korupsi

52
Page 1 of 52 NIAT JAHAT (MENS REA) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Dr.Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum (Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) A. Latar Belakang Selasa 12 April 2014, Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ) menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka mendesak KPK untuk segera mengusut kasus dugaan korupsi dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras. Sementara itu, di waktu bersamaan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tengah diperiksa oleh penyidik KPK. Orang nomor satu di DKI Jakarta itu dimintai keterangan terkait kasus RS Sumber Waras. 1 Kasus ini bermula saat Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) senilai Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Perubahan 2014. BPK menilai bahwa proses pembelian tersebut tidak sesuai dengan prosedur, dan Pemprov DKI membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar 1 http://metro.sindonews.com/read/1100332/170/kpk-diminta- cepat-usut-kasus-dugaan-korupsi-sumber-waras-1460443730 , selasa, 12 April 2016.

Upload: nguyendat

Post on 30-Dec-2016

246 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 1 of 42

NIAT JAHAT (MENS REA) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Dr.Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum(Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

A. Latar BelakangSelasa 12 April 2014, Sejumlah elemen masyarakat yang

tergabung dalam Gerakan Selamatkan Jakarta (GSJ) menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka mendesak KPK untuk segera mengusut kasus dugaan korupsi dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras. Sementara itu, di waktu bersamaan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tengah diperiksa oleh penyidik KPK. Orang nomor satu di DKI Jakarta itu dimintai keterangan terkait kasus RS Sumber Waras.1

Kasus ini bermula saat Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) senilai Rp 800 miliar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Perubahan 2014. BPK menilai bahwa proses pembelian tersebut tidak sesuai dengan prosedur, dan Pemprov DKI membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menemukan enam penyimpangan dalam pembelian lahan Sumber Waras. Enam penyimpangan itu adalah penyimpangan dalam tahap perencanaan, penganggaran, tim, pengadaan pembelian lahan RS Sumber Waras, penentuan harga, dan penyerahan hasil. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdalih belum menemukan niat jahat (mens rea)

1 http://metro.sindonews.com/read/1100332/170/kpk-diminta-cepat-usut-kasus-dugaan-korupsi-sumber-waras-1460443730, selasa, 12 April 2016.

Page 2: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 2 of 42

yang memperkuat tindak pidana korupsi Gubernur DKI dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Meski begitu, Ahok sebenarnya tetap bisa diproses hukum.2

Terdapat beberapa hal yang membuat KPK tidak lantas menetapkan tersangka dan menaikkan status kasus tersebut ke dalam tahap penyidikan. Beberapa di antaranya, KPK belum menemukan adanya indikasi korupsi dalam pembelian lahan tersebut. Selain itu, KPK juga belum menemukan adanya niat jahat (mens rea) penyelenggara negara.

Peristiwa selanjutnya yang cukup mengejutkan dunia akademisi bahwaq Prof. Dr. Fasichul Lisan alias Cak Fasich, mantan rektor Universitas Airlangga (Unair), ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh KPK pada Rabu (30 Maret 2016) yang lalu. Menurut Machfud MD bahwa masyarakat kaget karena selama ini Cak Fasich dikenal sebagai figur yang bersih. Dalam keseharian Cak Fasich selalu hidup sederhana. Kekayaannya juga biasa saja seperti dosen pada umumnya yang tidak punya kegiatan bisnis.

Dengan melihat jalan hidupnya yang sederhana, perilakunya yang tulus, dan ketaatan beragamanya yang tertib memang sulit untuk percaya bahwa Cak Fasich melakukan korupsi atau mempunyai niat jahat untuk melakukan korupsi. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsudin menyatakan akan tampil membela Cak Fasich, minimal memberi dukungan moril, karena dirinya meyakini dari dulu bahwa Cak Fasich tidak terlibat dalam penyelewengan dana RS Unair. Pernyataan Dien mendapat sambutan meluas di media sosial. Mereka yang mengenal Cak

2 http://m.rmol.co/read/2016/03/30/241335/pedoman.php

Page 3: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 3 of 42

Fasich percaya bahwa Cak Fasich tak mungkin mempunyai niat jahat (mens rea) untuk melakukan korupsi.3

“Niat Jahat (Mens Rea) dalam hukum pidana merupakan masuk dalam kajian “pertanggungjawaban pidana”. Ketika terjadi dugaan tindak pidana, maka pertama sekali yang perlu dibuktikan adalah ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum. Setelah terbukti perbuatan melawan hukumnya baru dilihat apakah terdakwa bisa diminta pertanggungjawaban pidananya.

Jadi “niat jahat (mens rea)” ini baru bisa dibuktikan setelah terbukti perbuatan pidananya. Ini adalah konsekuensi logis dari asas dualistis yang kita anut, yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggung jawaban pidana. Pertanggungiawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.

B. Esensi “Niat Jahat (Mens Rea) dalam Suatu Pemidanaan

Istilah “mens rea” merupakan istilah yang dipakai oleh negara-negara common law untuk menandakan “kesalahan” pada perbuatan seseorang. Michael J. Allen menyatakan bahwa “Where a person has perfomed act or brought about consequences which constitute the actus reus of an offence, he will generally be found of

3 http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=2&date=2016-04-02

Page 4: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 4 of 42

the offence only if he had the necessary mens rea at the time he acted.”4

Menurut Chairul Huda, baik di negara-negara civil law, maupun common law, kesalahan atau mens rea, justru dipandang sebagai nilai etis dari pemidanaan. Apakah berdasarkan asas “geen straf zonder schuld” atau dalam istilah latin “actus non est reus nisi mens sit rea”, unsur kesalahan atau mens rea menjadi sangat penting dalam penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan.5

Berbicara tentang “Niat Jahat (Mens Rea)” dalam suatu pemidanaan, maka secara esensinya tidak terlepas dari adanya “kehendak bebas” pada diri manusia. Dalam kajian hukum pidana, “kehendak bebas” melahirkan dua aliran dalam tujuan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana), yaitu aliran klasik (clasical school) dan aliran positif. Aliran (clasical school) memandang bahwa manusia mempunyai kehendak bebas untuk berbuat sesuatu. Ketika perbuatan manusia itu bertentangan dengan hukum (melakukan kejahatan), maka seseorang harus mau bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.

1. Aliran klasik (clasical school)Perkembangan pemikiran Aliran (clasical school) melahirkan

dua teori tujuan pemidanaan, yaitu teori retributif (teori absolut) dan teori relatif (deterrence).a. Teori Retributif

Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed”

4 Michael J. Allen (1991). Textbook on Criminal Law. London: Blackstone Press Limited, hal. 48

5 Chairul Huda (2006). Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana, hal. 74

Page 5: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 5 of 42

(pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.6

Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan di arahkan pada masa lalu dan bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.7 Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya sendiri.8

6 Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, hal. 9.

7 Lihat juga C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-London: SAGE Publication, Inc., hal. 16. “ The theory of retribution and justice hold that justification for punishment is “an aye for an aye, a tooth for a tooth”, or that transgressor must be punish because our sense of justice demands it... The theory of retribution is a philosophical and moral position that looks backward to the past behavior of the defendant and nor forward to his future behavior. The theory of retribution has as its basic tenets the following, (1) the criminal act must be a voluntary and morally wrong act; (2) punishment must fit the offense; and (3) punishment must represent a return of suffering to the wrong-doer for his morally wrong act.”

8 J.G. Murphy (1995). Marxism and Retribution. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 47. “Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The

Page 6: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 6 of 42

Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist. Paham non-consequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar atau salah, hakikatnya terletak pada nurani seseorang, dan bersifat bebas dari konsekuensinnya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan yang pantas pada orang yang bersalah tersebut.9

Menurut Andrew Ashworth, teori retributif menyatakan bahwa pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional dengan tingkat kesalahan. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. 10

b. Teori DeterrenceDua orang tokoh utama teori ini adalah Cessare Beccaria

(1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene

violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right. His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.”

9 R.A. Duff and David Garland Ed. (1995). A Reader on Punishment. New York: Oxford University Press, hal. 7.

10 Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology . Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 819-820.

Page 7: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 7 of 42

(1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat.11

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or special deterrence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa “determent is equally applicable to the situation of the already-punished delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention which applies to the delinquent himself; and general prevention which is applicable to all members of the community without exception.”12

General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan in terdiri dari: “(1) Punishment is a massage which intends to say that crime does not pay (deterrence);(2) It is a massage which intends to say that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit formation). 13

Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.

11 C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 17.12 Ibid., hal. 72-73.13 T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A

Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc., hal. 221.

Page 8: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 8 of 42

Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.

Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence, adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitaranism adalah untuk deterrence, incapacitation, and rehabilitation. Murphy menjelaskan sebagai berikut:

“For a utilitarian theory of punishment (Bentham’s paradigm) must involve justifying punishment in terms of its social result- e. g., deterrence, incapatitation, and rehabilitation. And thus even a guilty man is, on this theory, being punished because of this instrumental value the action of punishment will have in future. He is being use as a means to some future good – e. g., the deterrence of others.” 14

Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.15

14 J. G. Murphy, Op. Cit., hal. 48. Baca juga Karl O. Christiansen, Op. Cit., hal. 71.

15 Franklin E. Zimring (1976). Deterrence, The Legal Threat in Crime Control. Chicago: The University of Chicago Press, hal. 71.

Page 9: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 9 of 42

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:16

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dar ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

16 Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 212.

Page 10: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 10 of 42

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

2. Aliran PositifAliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh

Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.17

Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya.

17 Ibid.

Page 11: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 11 of 42

Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untuk menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.

Aliran positif18 melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan sipelaku.19

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.

18 Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition, hal. 59-61.

19 Ibid, hal. 62-63. Lihat juga J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-New Delhi: SAGE Publications, Second Edition, hal. 22-25. Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme. Ferri (1856-1929) melihat akar terjadinya kejahatan dari berbagai faktor, yaitu faktor sosial, ekonomi dan politik. Garofalo melihat kejahatan dari aspek Psychological Equivalent yang disebutnya sebagai moral anomalies.

Page 12: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 12 of 42

Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).20

Secara lebih rinci, Reid mengemukakan ciri-ciri aliran positif ini sebagai berikut: 21

1. Rejected legal definition of crime;2. Let the punishment fit the criminal;3. Doctrin of determinism;4. Abolition of death penalty;5. Empirical research, inductive method;6. Indeterminate sentence.

Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham treatment untuk rehabilitasi dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan.22

20 C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 18.21 Sue Titus Reid. Op. Cit., hal. 76. 22 Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of

Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 352. Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such humanitarian reforms appear desirable, for they set

Page 13: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 13 of 42

Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.

Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan sosial. Oleh karena itu aliran positif bersandarkan pada paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh faktor-faktor tadi. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem “indefinite sentence”, yaitu pidana yang dijatuhkan tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lombroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan, merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda.23

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban sipembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat.

the frame work within which succesfully treatment programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.”

23 Sue Titus Reid, 1985, Crime and Criminology. Fourth Edition, CBS College Publishing, New York, Hal. 97-102. Lihat juga Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung, Hal. 34.

Page 14: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 14 of 42

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya. 24

Menurut Toby, perbaikan terhadap pelaku kejahatan merupakan gelombang besar dari gerakan konformis yang dipengaruhi oleh tuntutan humanisme dan menggunakan pendekatan keilmuan dalam ilmu pemidanaan yang lebih konstruktif dari pada penghukuman. Sebagian besar dari argumen paham ini adalah penentangan terhadap pemenjaraan dan bentuk-bentuk lain dari pemidanaan dalam kepustakaan penjara singkat yang dinyatakan secara tegas bahwa pemidanaan (punishment) bertentangan dengan perbaikan (rehabilitation).25

24 Lihat John M. Wilson (1965). The Role of the Therapeutic Community in Correctional Institutions, dalam The Future of Imprisonment in a Free Society. Journal of Controversial Issues in Criminology, Volume Two, hal. 63. One of the most intresting and potentially significant methodological approaches to the institutional treatment of inmates was formally introduced by Dr. Maxwell Jones in the 1940’s in England. This treatment approach was, and is, known asa the “therapeutic community”. As introduced by Dr. Jones, the therapeutic community was oriented toward the treatment of hospitalized psychosomatic patients. The basic idea involved was that corrective treatment, in a behavioral or social science sense, could not effectivelly administered piecemeal but must be presented as a correlated effprt by all persons acting within the institution – both the patients and the institutional personnel.”

25 Jackson Toby (1970). Is Punishment Necessary, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 366. Tingginya angka resedivis sebagai hasil dari proses pemenjaraan disebutkan sebagai bukti dari pemidanaan yang tidak rasional. Dalam hal ini muncul pertanyaan, mengapa terjadi “prustasi pemenjaraan” dari pelaku kejahatan sehingga menjadi resedivis?. Jika program

Page 15: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 15 of 42

C. Eksistensi “Niat Jahat (Mens Rea)” sebagai bagian Pertanggungjawaban Pidana Ada dua paham yang berhubungan dengan

pertanggungjawaban pidana yang selama ini dianut, yaitu paham indeterminisme (kehendak bebas) dan paham determinisme (tidak punya kehendak bebas). Penganut paham indeterminisme (kehendak bebas) berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak bebas yang tindakannya merupakan sebab dari segala keputusan kehendak tersebut. Kebebasan kehendak ini menentukan suatu kesalahan, karena tanpa adanya kebebasan kehendak, maka tidak ada suatu kesalahan sehingga tanpa kesalahan ini seseorang tidak dapat dipidana

Sedangkan Penganut paham determinisme (tidak punya kehendak bebas) menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan adalah manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan dan tidak dapat dikenakan pidana. Dalam kondisi ini, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepada pelaku, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki.

Pengaruh aliran klasik yang menganut “kehendak bebas” terkait “niat jahat (mens rea)” secara eksistensinya dalam

rehabilitasi didisign untuk membantu pelaku dalam mengatasi rasa prustasi dalam situasi kehidupannya, maka cara yang baik untuk memulainya dengan ikut bertanggung jawab bahwa pemenjaraan yang keras adalah tidak cocok untuknya.

Page 16: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 16 of 42

pertanggungjawaban pidana dengan hadirnya asas kesalahan, berupa kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa).

Menurut Simon bahwa “kesalahan” merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana seorang pelaku kejahatan yang terdapat dalam jiwa pelaku dan hubungannya dengan perbuatannya itu yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaannya itu sipelaku dapat dicela karena kelakuannya itu. Kesalahan merupakan unsur subjektif dari tindak pidana.26

Van Hamel menyatakan "kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (Schuld is de verant woordelijk rechtens)".

Pompe mengatakan antara lain: "Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakekatnya ia, adalah hal dapat dihindarkannya (Vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.a. Kesengajaan (Dolus)

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu Pengajuan

26 S.R. Sianturi (1996). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta; Alumni Ahaem-Petehaem, hal. 159.

Page 17: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 17 of 42

Criminiel Wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), dijelaskan: “Sengaja” diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan perngertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.27

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B.

Menurut Teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori itu menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan sipembuat, ialah apa yang terjadi pada waktu ia berbuat.

27 Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, penerbit Yayasan Sudarto, hal. 102-105. Lihat juga A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.., hal. 282-285.

Page 18: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 18 of 42

Dari kedua teori tersebut, Prof. Moeljatno lebih cendrung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah : “Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.28

Dalam ilmu hukum pidana pada umumnya dibedakan tiga macam kesengajaan, yaitu :1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk),

Bentuk kesengajaan ini merupakan turunan dari teori kehendak (de will). Dalam kesengajaan ini, seseorang melakukan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.29 Menurut van Hattum, opzet alsoogmerk itu hanya dapat ditujukan kepada tindakan-tindakan baik untuk melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu ataupun tindakan untuk menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Para penyusun MvT telah mengartikan kesengajaan itu sebagai

28 Moeljatno (1994) Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta, hal. 172-173.

29 Hamzah Hatrik (1996). Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), RajaGrafindo Persada, Jakarta.hal. 89.

Page 19: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 19 of 42

“melakukan tindakan yang terlarang secara dikehendaki dan dimengerti.”30

Perkataan ”dengan maksud” dalam pasal ini adalah terjemahan dari perkataan ”met het oogmerk” yang berarti bahwa kesengajaan (opzet) pada pasal ini haruslah ditafsirkan sebagai opzet dalam arti sempit atau semata-mata sebagai opzet als oogmerk. Dalam hal ini maksud sipelaku tidak boleh ditafsirkan lain kecuali ”dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum.”31

2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian (Opzet met Bewustheid van Zekerheid of Noodzakelijkheid).

Bentuk kesengajaan ini merupakan turunan dari teori mengetahui atau membayangkan. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian adalah kesengajaan bahwa pelaku dengan perbuatannya itu tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict tetapi si pelaku tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu, kalau hal itu terjadi.

Menurut J. Remmelink, kesengajaan ini dikatakan ada jika maksud tujuan si pelaku tertuju pada hal lain (yang bisa namun tidak harus berbentuk delik), namun pada saat yang sama di dalam diri pelaku ada keyakinan bahwa tujuan dari maksudnya itu tidak mungkin tercapai tanpa sekaligus menimbulkan akibat yang sebenarnya tidak dikehendaki. Dalam hal ini tidak dituntut adanya

30 PAP. Lamintang (2003). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 312.

31 P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir (1983). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, hal. 160.

Page 20: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 20 of 42

kepastian, namun cukup bahwa hal itu dianggap sangat mungkin terjadi.32

Contoh klasik adalah suatu kasus yang terjadi tahun 1875 di Kota pelabuhan Bremerheven (Jerman) . Kasus ini terkait dengan percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Thomas van Bremerheven dengan berencana meledakkan kapal dengan bom dilaut lepas yang diasuransikan. Ini merupakan maksud tujuan perbuatannya. Usaha mendapatkan premi merupakan maksud lainnya, tujuan yang berfungsi sebagai motif untuk melakukan peledakkan. Pelaku sesungguhnya tidak menginginkan matinya anak buah kapal, namun pelaku niscaya memiliki keyakinan tentang kemungkinan akan adanya awak kapal yang mati. Sikap batin menghendaki penghancuran kapal, juga jika perlu mengorbankan nyawa awak kapal, merupakan terkategori kesengajaan (dolus) menurut Mahkamah Tinggi Jerman (Reichgericht).33

3. Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan (Opzet met Waarschjnlijkheid Bewustzinj).

Bentuk kesengajan ini juga merupakan turunan dari teori mengetahui atau membayangkan. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet met waarschijnlijkheid Bewustzinj) bahwa pelaku memandang akibat dari apa yang dilakukannya tidak sebagai suatu hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan bahwa hal pasti terjadi. “waarschijnlijkheid”.

32 J. Remmelink (2014). Pengantar Hukum Pidana Material 1 (Inleding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht). Yogyakarta: Maharsa, hal. 176-177.

33 Ibid.

Page 21: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 21 of 42

Sebagai contoh Yurisprudensi Hooge Raad (MA Belanda) terkenal dengan peristiwa “ de Hoornse Taart”, Arrest Kue Tar tanggal 19 Juni 1911. Kejadiannya adalah seorang pelaku mengirimkan Kue Taar yang sudah diisi dengan racun kepada A dengan maksud untuk membunuh si A dengan memakan kue taar beracun tersebut. Ternyata si A tidak memakan kue Taar tersebut, tetapi justru yang memakannya adalah istri si A sehingga istri si A tersebut meninggal dunia. Hakim memutuskan dalam Putusannya bahwa si pelaku dinyatakan bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap si A dan bersalah secara sengaja membunuh Istri si A. Alasan pertimbangan hakim ialah walaupun kehendak langsung pelaku adalah untuk membunuh (kematian) si A, namun si pelaku dapat dipersalahkan karena tidak mengambil suatu tindakan pencegahan terhadap suatu kejadian yang dapat disadari akan kemungkinan bahwa istri si A atau anggota keluarga lainnya yang mungkin saja memakan kue Taar beracun tersebut. Dalam kondisi ini si Pelaku dianggap dapat menyadari (menginsyafi) bahwa tidak hanya si A saja yang memakan kue tersebut, akan tetapi kemungkinan besar orang-orang lain atau anggota keluarga lainnya yang berada di sekitarnya bisa memakan kue tersebut. Kesalahan si Pelaku tergolong dalam bentuk Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan (Opzet met waarschijnlijkheid Bewustzinj).34

b. Kelalaian (culpa)Tidak ada definisi tentang culpa ini di dalam undang-undang.

Di dalam MvT menyatakan bahwa culpa terletak antara sengaja dan kebetulan, sehingga culpa dipandang lebih ringan dari dolus.

34 S.R. Sianturi, Op. Cit., hal 263-264.

Page 22: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 22 of 42

Hazenwinkel-Suringa menyatakan bahwa delik culpa itu adalah delik semu (quasidelict), sehingga diadakan pengurangan pidana. Van Hammel membagi culpa menjadi dua jenis, yaitu: (a) kurang melihat ke depan yang perlu. Hal ini terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan yang (b) kurang hati-hati yang perlu, misalnya seseorang menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya.35

D. Niat jahat (Mens Rea) dalam tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Secara umum bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK dapat dikelompokan sebagai berikut:1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Din Sendiri, Orang

Lain, atau Suatu Korporasi (Pasal 2) 2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan,

Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3)3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau

Menjanjikan Sesuatu (Pasal 5) 4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim Dan Advokat (Pasal 6) 5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan

Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan KNRI (Pasal 7)

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8)

35 Andi Hamzah (2012). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya. Jakarta; PT. Sofmedia, hal. 167.

Page 23: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 23 of 42

7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-Daftar (Pasal 9)

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat, atau Daftar (Pasal 10)

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12)

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal 12B)

12. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan (Pasal 13)

Unsur kesengajaan dirumuskan dalam berbagai istilah, antara lain:a. Dengan sengaja, merupakan perumusan kesengajaan yang

secara jelas terlihat. Hal ini dapat ditemukan dalam pasal-pasal KUHP, antara lain Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354 dan 372 KUHP;

b. Yang diketahuinya, misalnya Pasal 204, 220, dan 419 KUHP. Terdapat juga dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

c. Sedang diketahuinya, terdapat dalam Pasal 110, 250, 275 KUHP;d. Sudah tahu,misalnya pada Pasal 483 ke-2 KUHP;e. Dapat mengetahui,terdapat dalam Pasal 164, 464 KUHP;f. Telah dikenalnya, terdapat dalam Pasal 245 dan 247KUHP;

Page 24: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 24 of 42

g. Telah diketahuinya, terdapat dalam Pasal 282 KUHP;h. Bertentangan dengan pengetahuannya, terdapat pada Pasal 311

KUHP;i. Dengan tujuan yang nyata, Terdapat dalam Pasal 310 KUHP;j. Dengan maksud (pada dasarnya sama dengan tujuan), terdapat

dalam Pasal 378 KUHP, atau bisa juga ditentukandari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana tersebut.

Untuk melihat Mens Rea dalam UUPTPK, Berikut ini diuraikan pasal 2, Pasal 3 dan UU PTPK yaitu:(1). Pasal 2 UU PTPK.

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(2). Pasal 3 UU PTPK adalah sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Page 25: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 25 of 42

Niat jahat (mens rea) berupa kesengajaan di dalam Pasal 2 UU PTPK di atas tidak buat secara jelas, namun dari kalimat “…secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi…”, maka bentuk kesengajaannya adalah termasuk “dengan maksud atau dengan tujuan”. Hal ini secara tersirat bahwa PMH itu dilakukan dengan maksud atau dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Sedangkan Pasal 3 UU PTPK secara jelas dan tersurat mencantumkan kata-kata “dengan tujuan” menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur subjektif yang melekat pada batin si pembuat menurut pasal 3 ini merupakan tujuan si pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan lain-lain tadi yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Unsur tujuan (doel) tidak berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengajaan dalam arti sempit seperti yang ada pada pemerasan, pengancaman, maupun penipuan (368, 369,378 KUHP).

Dengan demikian bentuk mens rea di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK ini adalah opzet als oogmerk atau kesengajaan sebagai maksud. Pada pasal 2 UU PTPK harus dibuktikan adanya hubungan kausalitas bahwa motif perbuatan melawan hukum tersebut bertujuan (dimaksudkan) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sedangkan pada Pasal 3 UU PTPK maka perlu dibuktikan hubungan kausalitas bahwa penyalahgunaan kewenangan atau kesempatan atau sarana karena kedudukan atau jabatan tersebut ditujukan untuk menguntungkan

Page 26: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 26 of 42

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Moeljatno bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa maka konsekuensinya adalah: (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.36

Berikut ini unsur kesengajan yang terdapat dalam berbagai pasal tindak pidana korupsi, yaitu:

1. Pasal 5 ayat (1) huruf (a) tentang tindak pidana korupsi penyuapan aktif, yaitu “Dengan maksud supaya pegawai negeri atau peyelenggara negara berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”

2. Jenis tindak pidana korupsi penyuapan aktif atau memberi suap kepada hakim atau advokat. Pasal 6 ayat (1) huruf a , yaitu “Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.” Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu“Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.”

3. Jenis tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri yang diatur dalam Pasal 13 “dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya”;

4. Unsur “diketahui atau patut diduga” terdapat dalam Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan huruf b serta huruf c, Pasal 12 huruf h;

36 Moeljatno (1994) . Loc. Cit.

Page 27: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 27 of 42

5. Unsur “dengan sengaja” terdapat dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c, Pasal 12 huruf I.

Contoh kasus 1.

Perkara Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 21/PID.SUS/TPK/2014/PNJKT.PST a/n Budi Mulya)Kronologis Singkat

o Pada tanggal 30 Oktober 2008, dengan alasan mengalami kesulitan likuiditas, PT Bank Century. Tbk rnengajukan fasilitas repo aset kepada Bank Indonesia dengan Surat No. 638/Century/D/X/2008 tanggal 30 Oktober 2008 perihal Permohonan Fasilitas Repo Aset senilai Rp. 1.000 000.000 000,- (satu triliun rupiah).

o Berdasarkan permohonan tersebut, maka diadakan rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada tanggal 13 Nopember 2008 yang dihadiri oleh seluruh aggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yaitu Boediono, S. Budi Rochadi, Terdakwa, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadjrijah, Muliaman Dharmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, dan Ardhayadi Mitroadmodjo dan menyetujui Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT Bank Century, Tbk.

o Pada tanggal 14 Nopember 2008, Budi Mulya dan S. Budi Riyadi memerintahkan Eddy Sulaiman Yusuf untuk untuk melakukan pencairan FPJP tahap I sebesar Rp 356.813.000,000, 00 (tiga ratus lima puluh enam milyar delapan ratus tiga belas juta rupiah). Pencairan FPJP Tahap II tanggal 18 Nopember 2008 sebesar Rp. 187.321.000.000,00 (seratus delapan puluh tujuh miliar tiga ratus dua puluh satu juta rupiah) sehingga jumlah keseluruhan FPJP yang telah dicairkan sebesar Rp. 689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah).

o Pada tanggal 20 Nopember 2008, setelah RDG Bank Indonesia menetapkan PT Bank Century,Tbk sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik yang kemudian ditindaklanjuti oleh Gubernur Bank Indonesia dengan mengusulkan ke Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK agar PT Bank Century, Tbk ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik sesuai Surat

Page 28: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 28 of 42

No. 10/232/GBI/RHS tanggal 20 Nopember 2008. Pada tanggal 21 Nopember 2008 dalam rapat KSSK menetapkan PT. Bank Century, Tbk sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menetapkan penanganan PT Bank Century,Tbk kepada Lembaga Penjamin Simpanan sesuai UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

o Selanjutnya PT Bank Century,Tbk mendapatkan Penyertaan Modal Sementara (PMS) periode 24 Nopember 2008 sampai 24 Juli 2009, keseluruhannya sebesar Rp. 6.762.361.000.000,00 (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah). Dan pada bulan Desember 2013 PT Bank Century Tbk (sekarang PT Bank Mutiara) mendapatkan kembali penambahan PMS sebesar Rp 1.250 000.000.000,00 (satu triliun dua ratus Irma puluh miliar rupiah).

Putusan Hakim1) Menyatakan Terdakwa BUDI MULYA telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA DAN SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT sebagimana dalam dakwaan Primair";

2) Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana Denda sebesar Rp. 500.000.000;00 (lima ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan;

Analisa PutusanBerdasarkan Pertimbangan Majelis Hakim pada kasus a quo maka terpenuhinya unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang atau korporasi telah terpenuhi, pada kasus ini sangat beralasan. Hal ini didukung oleh fakta-fakta bahwa:o Berdasarkan PBI No. 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008,

PT Bank Century, Tbk tidak memenuhi syarat untuk diberikan

Page 29: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 29 of 42

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) karena sesuai ketentuan PBI tersebut disyaratkan CAR minimal 8% dan agunan berupa SBI, SUN dan aset kredit lancar selama 12 (dua belas) bulan; PT Bank Century, Tbk tidak memenuhi persyararatan tersebut (CAR per September 2008 hanya 2,35%).

o Namun Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT Bank Century, Tbk, tetap dilakukan dengan cara merubah PBI No. 10/26/PBI/2008. Dengan demikian persetujuan tersebut diberikan walupun persyaratan kelengkapan dokumen belum dipenuhi dan peraturan yang akan meloloskan atau menjadi payung hukum pemberian FPJP kepada PT Bank Century, Tbk yaitu PBI No.10/30/PBI/2008 tentang Perubahan PBI No. 10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum belum dibuat dan baru selesai dibuat dan ditandatangani pada tanggal 14 Nopember 2008.37

o Pada tanggal 14 Nopember 2008, Terdakwa dan S. Budi Riyadi memerintahkan Eddy Sulaiman Yusuf untuk untuk melakukan pencairan FPJP tahap I sebesar Rp 356.813.000,000, 00 (tiga ratus lima puluh enam milyar delapan ratus tiga belas juta rupiah).38 Pencairan FPJP Tahap I tersebut sudah dicairkan padahal Akte Perjanjian pemberian FPJP antara Bank Indonesia dengan Bank Century belum selesai dibuat dan ditandatangani. Akte Perjanjian Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek No. 176 tertanggal 14 Nopember 2008, Akte Gadai Bank Century Tbk. – Bank Indonesia No. 177 tertanggal 14 Nopember 2008 dan akte jaminan Fidusia Bank Century, Tbk – Bank Indonesia No. 178 tertanggal 14 Nopember 2008 baru selesai dibuat dan ditandatangani pada tanggal 15 Nopember 2008 sekitar jam 01.00 WIB.

o Dalam akte Perjanjian FPJP yaitu Akte Perjanjian Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek No. 176 tanggal 14 Oktober 2008 dan Addendum No. 244 tanggal 18 Nopember 2008 mencantumkan dasar pemberian FPJP adalah PBI No. 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 bukan PBI No. 10/30/PBI/2008 tanggal 14 Nopember 2008.

37 Disetujui Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada tanggal 13 Nopember 2008 yang diadakan sekitar pukul 20.10 WIB, seluruh aggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yaitu Boediono, S. Budi Rochadi, Terdakwa, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadjrijah, Muliaman Dharmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, dan Ardhayadi Mitroadmodjo.

38 Pada pukul 20. 43 WIB Bagian Penyelesaian Transaksi Pengelolaan Moneter (PTMP) melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) terminal mengkredit rekening giro PT Bank Century Tbk di Bank Indonesia sebesar Rp. 356.813.000,00 (tiga ratus lima puluh enam miliar delapan ratus tiga belas juta rupiah).

Page 30: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 30 of 42

o Pencairan FPJB tahap I tanggal 14 Nopember 2008 sebesar Rp. 356.813.000.000,00 (tiga ratus lima puluh enam miliar delapan ratus tiga belas juta rupiah) dan pencairan FPJP tahap II tanggal 18 Nopember 2008 sebesar Rp. 187.321.000.000,00 (seratus delapan puluh tujuh miliar tiga ratus dua puluh satu juta rupiah) dilakukan sebelum hasil Sistem Kliring Nasional (SKN) debet atau sebelum cut off warning.

o Dalam pemberian FPJP kepada PT Bank Century, Tbk, Bank Indonesia masih menggunakan CAR PT Bank Century, Tbk per tanggal 30 September 2008 yang masih bernilai positif 2,35% , padahal CAR PT Bank Century, Tbk per tanggal 31 Oktober 2008 adalah negatif 3,53% yang disebabkan pengawas memacetkan SSB valas USD 11 juta yang telah jatuh tempo tanggal 30 Oktober 2008 dan tidak dibayar.

o Persetujuan, pemberian, pencairan dan perpanjangan FPJP tersebut di atas tetap diberikan oleh BI, walaupun persyaratan dokumen kelengkapan aset kredit tidak lengkap. Perbuatan ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) PBI No. 10/26/PBI/2008 Jo. PBI No. 10/30/PB112008 maupun Pasal 25 ayat (1) UU No. 23 tahun 1999 jo UU No. 23 tahun 2004 karena tidak memenuhi prinsip kehati-hatian. Di samping itu terdapat upaya melanggar peraturan peundang-undangan dengan tujuan supaya PT Bank Century, Tbk tetap mendapatkan FPJP, yaitu dengan melakukan perubahan PBI No. 10/26/PBI/2008 menjadi PBI No. 10/30/PBI/2008 yang merubah persyaratan FPJP menjadi sangat ringan sekali. perbuatan ini tentunya merupakan perbuatan tercela.

o Argumentasi bahwa pemberian FPJP pada Nopember 2008 Indonesia dalam kondisi krisis, tidak cukup beralasan. Hal ini karena fakta-fakta menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih kuat kondisi fundamental. Namun pengaruh krisis global mulai terasa dampaknya. Krisis keuangan global yang terjadi memang berpengaruh tetapi tidak membuat Indonesia krisis, hal ini sesuai dengan pendapat ahli Faisal Basri yang pada pokoknya Mengatakan global financial crisis yang dipicu Lehmon Brothers di Amerika Serikat yang bisa bertahan ada 3 (tiga) negara yaitu China, India dan Indonesia. Artinya bahwa alasan pemberian FPJP pada Nopember 2008 Indonesia dalam kondisi krisis tidak bisa dijadikan alasan pembenar yang bisa menghilangkan sifat melawan hukum bagi si Terdakwa.

o Terdapat indikasi bahwa Terdakwa menerima sesuatu berupa uang sebesar Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dari

Page 31: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 31 of 42

pemegang saham PT. Bank Century, Tbk. yang bisa mempengaruhi kebijakan sehingga Terdakwa menyetujui pemberian FPJP kepada PT Bank Century, Tbk. Indikasi ini menguat karena Terdakwa tidak dapat menjelaskan mengapa ia meminjam uang justru dari saksi Robert Tantular, yang adalah pemilik PT. Bank Century, Tbk. yang sudah dalam pengawasan Bank Indonesia sejak Tahun 2005, bukan kepada orang/pihak lain dan kalangan teman/kerabat dekat.

o Kalaupun didalilkan oleh Terdakwa bahwa uang Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dari saksi Robert Tantular tersebut adalah pinjaman (hutang-piutang), maka itupun memunculkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam diri Terdakwa, sebab Terdakwa meminjam uang justu dari pemilik bank yang sedang dalam pengawasan Bank Indonesia, dalam mans Terdakwa adalah Deputi Gubernur Bank Indonesia.

o Dana FPJP yang diberikan kepada PT Bank Century, Tbk oleh Bank Indonesia adalah merupakan keuangan Negara, hal ini tercermin dari undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 6 ayat 1 dimana menyebutkan Modal Bank Indonesia merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Modal Bank Indonesia juga tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) sebagai kekayaan Negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, akibat dari perbuatan melawan hukum di atas, maka muncul kerugian keuangan negara sebesar Rp 689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puiuh sembilan miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah) walaupun kerugian tersebut telah dilunasi oleh Bank Mutiara (dahulu PT Bank Century,Tbk).

o Fakta selanjutnya bahwa pada tanggal 20 Nopember 2008, setelah RDG Bank Indonesia menetapkan PT Bank Century,Tbk sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik dimana Terdakwa ikut menyetujui, kemudian Gubernur Bank Indonesia mengusulkan ke Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK agar PT Bank Century, Tbk ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik (Surat No. 10/232/GBI/RHS tanggal 20 Nopember 2008. Selanjutnya pada tanggal 21 Nopember 2008 dalam rapat KSSK menetapkan PT. Bank Century, Tbk sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menetapkan penanganan PT Bank Century,Tbk kepada Lembaga Penjamin Simpanan sesuai UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Keputusan KSSK No. 4/KSSK/.03/2008 tanggal 21 Nopember 2008).

Page 32: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 32 of 42

o Pada tanggal 21 Nopember 2008 dalam rapat Komite Koordinasi menetapkan penyerahan PT Bank Century,Tbk kepada Lembaga Penjamin Simpanan sesuai UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Keputusan KK No 01/KK.01/2008 tanggal 21 Nopember 2008). Selanjutnya PT Bank Century,Tbk mendapatkan Penyertaan Modal Sementara (PMS) periode 24 Nopember 2008 sampai 24 Juli 2008, keseluruhannya sebesar Rp. 6.762.361.000.000,00 (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu juta rupiah).

o Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas maka terdakwa terbukti melakukan perbuatan secara melawan hokum dengan tujuan memperkaya korporasi yaitu PT Bank Century, Tbk yaitu memperoleh FPJP dari Bank Indonesia sebesar Rp 689.394.000 000.- (enam ratus delapan puluhsembilan miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah) dan memperoleh PMS dari LPS keseluruhan sampai tanggal 24 Juli 2009 sebesar Rp. 6.762.361.000 000,00 (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu juta rupiah) dan ditambah lagi PMS pada bulan Desember 2013 sebesar Rp 1.250.000.000.000,00 (satu triliun dua ratus lima puluh miliar rupiah).

o Dengan demikian akibat perbuatan melawan hukum yang ikut dilakukan oleh Terdakwa itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan miliar tiga ratus Sembilan puluh empat juta rupiah) ditambah sebesar Rp 8.012.221.000.000,00 (delapan triliun dua betas miliar dua ratus dua puluh satu juta rupiah). Akan tetapi dari fakta-fakta hukum yang diperoleh di depan persidangan, uang FPJP sebesar Rp 689.394.000.000,00 (enam ratus delapan putuh sembilan miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah) telah dikembalikan kepada Bank Indonesia pada bulan Februari 2009, sehingga oleh karenanya kerugian keuangan negara dalam perkara ini adalah sebesar Rp 8.012.221.000.000,00 (delapan triliun dua betas miliar dua ratus dua puluh satu juta rupiah).

o Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi pada kasus ini karena majelis Hakim berpandangan bahwa terjadinya kerugian negara adalah pada saat adanya pengeluaran yang seharusnya tidak dikeluarkan. penghitungan kerugian negara ini menggunakan pendekatan pengeluaran. Jadi pada saat terjadinya pengeluaran yang dilakukan secara menyimpang sesuai dengan kriteria dari kerugian negara yang diatur dalam

Page 33: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 33 of 42

Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara, maka pada saat itu telah terjadi penyimpangan dan pelanggaran hukum, dan terjadi kerugian Negara. Mengenai FPJP yang sudah dikembalikan pada saat jatuh tempo, maka pengembalian dana FPJP tersebut tidak menghapus pernah terjadinya kerugian negara dan sumber pengembalian keuangan tersebut juga berasal dari dana Penyertaan Modal sementara atau PMS yang merupakan keuangan negara.

Contoh Kasus 2

Perkara Pelaksanaan Penjaminan Kepada Bank Bali (Putusan PK Mahkamah Agung No. 07K/PID.SUS/2009 a.n Syahril Sabirin)

Kronologis singkatPada tahun 1998, Pemerintah telah mengambil kebijaksanaan

untuk menjamin pembayaran bagi kewajiban Bank Umum kepada krediturnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi terjadinya krisis moneter dan mengembalikan secepatnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah dan perbankan nasional. Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang : Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 tentang : Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Serta Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN tertanggal 06 Maret 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN tertanggal 14 Mei 1999.

Terdakwa Syahril Sabirin, selaku Gubernur Bank Indonesia dan sebagai Pejabat yang diberi otoritas melaksanakan Program Penjaminan Pemerintah, pada tanggal 24 September 1998 ketika memimpin Rapat Dewan Direksi Bank Indonesia Terdakwa telah memberikan klarifikasi tentang perlunya verifikasi oleh Bank Indonesia terhadap klaim dalam rangka pelaksanaan Program

Page 34: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 34 of 42

Penjaminan Pemerintah. Verifikasi ini berupa dari klaim yang masuk akan dilakukan verifikasi oleh Bank Indonesia, selanjutnya bila klaim dapat diterima Bank Indonesia akan memberitahukan BPPN untuk mendapatkan otorisasi pembayaran. Rapat Dewan Direksi Bank Indonesia ini dihadiri pula Pejabat BPPN antara lain Ade Sumantri, Rony Maulana, Pandu Jayanto dan Pejabat urusan Terkait dan Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan (UPPB) Bank Indonesia dalam hal ini Dragono Lisan, Adanan Djuanda.

Klarifikasi tersebut diberikan Terdakwa khususnya tentang verifikasi klaim yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan adanya persyaratan di mana Pemerintah tidak menjamin untuk membayar kewajiban-kewajiban yang diperoleh berdasarkan transaksi perbankan yang tidak sehat atau transaksi yang bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat, di mana yang berhak atau dapat memberikan penilaian terhadap transaksi dilakukan sesuai praktek perbankan yang sehat

Dalam pelaksanaannya, Terdakwa Syahril Sabirin selaku Gubernur Bank Indonesia dan sebagai Pejabat yang diberi Otoritas malaksanakan Program Penjaminan Pemerintah telah diduga telah bekerjasama dengan Pande N. Lubis (Wakil Ketua BPPN), Tanri Abeng, (Menteri Negara BUMN), Erman Munzir (Kepala Ururan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan, Bank Indonesia), Joko S. Tjandra dan Setya Novanto (Direktur PT. Era Giat Prima), dan Rudi Ramly (Direktur Utama PT. Bank Bali, Tbk), untuk memproses pembayaran klaim PT. Bank Bali yang bertentangan dengan ketentuan peraturan yang terkait dengan Program Penjaminan Pemerintah tersebut.

Akibat perbuatan Terdakwa Syahril Sabirin yang telah menguntungkan Rudy Ramli atau PT. Bank Bali dan Joko S. Tjandra atau PT. Era Giat Prima tersebut, secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara sebesar Rp. 904.642.428.369,- (sembilan ratus empat milyar enam ratus empat puluh dua juta empat ratus dua puluh delapan ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah), atau setidak-tidaknya dalam jumlah lain selain jumlah tersebut, dan atau setidak-tidaknya lagi dapat merugikan perekonomian negara khususnya merugikan kebijaksanaan Pemerintah di bidang rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan.

Analisa PutusanBerdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemukan pada kasua a

quo, maka dapat dijelaskan berikut ini, yaitu berupa:

Page 35: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 35 of 42

1. Perbuatan Terdakwa tersebut berawal dengan adanya permintaan PT. Bank Bali kepada PT. BDNI untuk mendaftarkan, melaporkan dan mengajukan klaim atas kewajibannya kepada PT. Bank Bali dalam rangka pelaksanaan Program Penjaminan Pemerintah, karena PT. BDNI sebagai Bank Debitur tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya, permintaan tersebut telah dilaksanakan oleh Tim Pemberesan PT. BDNI dengan mendaftarkan transaksi-transaksi sebagai kewajiban PT. BDNI kepada Bank Indonesia;

2. Setelah dilakukan verifikasi secara off site (on the desk) oleh Tim Penjaminan Bank Indonesia (dalam rangka penelitian persyaratan administrasi penjaminan), klaim PT. Bank Bali dinyatakan tidak dapat di proses lebih lanjut karena tidak memenuhi persyaratan tentang pelaporan, pendaftaran dan pengajuan klaim yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN Nomor : 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998.

I/BPPN/1998

Demikian pula dari klaim diajukan terdapat diantaranya 6 (enam) klaim yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin, yang selengkapnya adalah sebagai berikut :

a. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP I sebesar Rp. 51.600.000.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses/tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim (lamp. SKB Penjaminan butir IV.l.b) ;

b. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP (netting) sebesar Rp. 48.060.000.000,-. Klaim ini Tidak dapat di proses/kewajiban tidak didaftarkan dan tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim (butirIV.I.b). Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin (butir 11. 1.a. 2.c);

c. Klaim atas kewajiban transaksi Money Market (konversi SWAP netting) sebesar Rp. 66.139.139.271.458,-. Klaim ini tidak dapat di proses/kewajiban tidak didaftarkan dan tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim. Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin ;

d. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP (netting) sebesar Rp. 64.754.250.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/kewajiban tidak didaftarkan dan tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim. Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin;

Page 36: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 36 of 42

e. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP sebesar Rp. 461.500.000.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim. Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin;

f. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP sebesar Rp. 57.625.000.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim.

g. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP (netting) sebesar Rp. 61.830.000.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim/kewajiban batas waktu pengajuan klaim kewajiban tidak didaftarkan. - Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin;

h. Klaim atas kewajiban transaksi SWAP sebesar Rp. 82.356.250.000,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/kewajiban tidak didaftarkan, tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim. Netting SWAP tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin;

i. Klaim atas kewajiban transaksi money market (konversi dari SWAP netting) sebesar Rp. 61.977.459.254,-. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/kewajiban tidak didaftarkan, tidak memenuhi batas waktu pemgajuan klaim;

j. Klaim atas kewajiban transaski L/C sebesar DEM 35.000. Klaim ini tidak dapat di proses pembayarannya/tidak memenuhi batas waktu pengajuan klaim.

3. Hasil verifikasi selengkapnya beserta alasan-alasan penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim PT. Bank Bali tersebut telah disampaikan dengan surat Bank Indonesia yang ditandatangani oleh Dragono Lisan Deputi Kepala BPPN kepada Tim Pemberesan PT. BDNI dengan tembusan kepada Ketua BPPN dan Direksi PT. Bank Bali;

4. Terdakwa Syahril Sabirin selaku Gubernur Bank Indonesia setidak-tidaknya sebagai Pejabat yang diberi Otoritas malaksanakan Program Penjaminan Pemerintah telah memproses pembayaran klaim PT. Bank Bali yang bertentangan dengan ketentuan Program Penjaminan Pemerintah yang diatur dalam KEPPRES No. 26 Tahun 1998, Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 26/KMK.017/1998, Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN tertanggal 6 Maret 1998, nomor

Page 37: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 37 of 42

:30/270/KEP/DIR. I/BPPN/1998.

Serta Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN, tanggal 14 Mei 1999 Nomor : 32/46/KEP/DIR;

181/BPPN/0599

5. Berbagai peraturan di atas merupakan langkah kebijakan Pemerintah untuk menjamin pembayaran bagi kewajiban Bank Umum kepada krediturnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi terjadinya krisis moneter dan mengembalikan secepatnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah dan perbankan nasional. Kebijakan pemerintah ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 26 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Aturan Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN Nomor : 30/270/KEP/DIRI/BPPN/1998Surat di atas tertanggal tanggal 6 Maret 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN, tertanggal tanggal 14 Mei 1999, Nomor : 32/46/KEP/DIR

181/BPPN/05996. Hasil verifikasi beserta alasan penolakan terhadap klaimPT.

Bank Bali tersebut, telah diketahui Terdakwa berdasarkan laporan Subarjo Joyosumarto/Anggota Direksi Bidang Perbankan, yang pada tanggal 13 November 1998 telah meneruskan laporan Dragono Lisan tertanggal 11 November 1998 perihal : Perkembangan penanganan klaim atas Kreditur PT. Bank Bali dan perkembangan penanganan klaim Debitur PT. Bank Uppindo. Sehingga dengan demikian Terdakwa seharusnya tidak memproses lagi klaim yang diajukan oleh PT. Bank Bali tersebut, terlebih Iagi sebelum itu ketika Terdakwa

Page 38: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 38 of 42

masih menjabat sebagai Anggota Direksi Bank Indonesia (diangkat dengan KEPPRES No. 352/M tanggal 20 Desember 1997), yang antara lain melalui informasi ketika mengikuti Rapat-Rapat Dewan Direksi Bank Indonesia bulan Desember 1997, bulan Januari 1998 dan bulan Februari 1998 telah mengetahui bahwa transaksi-transaksi SWAP dan Money Market yang dilakukan PT. BDNI dengan PT. Bank Bali tersebut merupakan transaksi yang dilakukan secara bertentangan dengan praktek-praktek perbankan yang sehat. Hal ini karena antara lain dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan valas, PT. BDNI melakukan transaksi menggunakan fasilitas dana talangan (dana over draft) dari Bank Indonesia yang sebelumnya telah dilarang oleh Bank Indonesia. Adanya surat-surat Tegoran Bank Indonesia kepada Direksi PT. BDNI antara lain surat Nomor : 30/1742/UPB2/AdB2 tanggal 11 November 1997, Catatan Risalah Rapat Direksi Bank Indonesia dengan Direksi PT. BDNI tanggal 9 Desember 1997 dan surat Nomor : 30/390/UPB2/AdB2 tanggal 31 Desember 1997. Dengan demikian pula Terdakwa telah mengetahui bahwa klaim PT. Bank Bali tersebut selain tidak memenuhi persyaratan admisnistrasi penjaminan juga klaim tersebut tidak termasuk jenis kewajiban yang dapat dibayar dengan Program Penjaminan Pemerintah atau setidak-tidaknya tidak memenuhi persyaratan untuk dibayar dengan Program Penjaminan Pemerintah.Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka cukup beralasan kalau

Majelis Hakim PK MA menyatakan telah terdapat perbuatan melawan hukum pada diri Terdakwa berupa telah terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Terdakwa sehingga melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

E. PenutupSeseorang yang melakukan perbuatan pidana akan dijatuhi

pidana sesuai dengan yang diancamkan oleh undang-undang, sangat tergantung pada persoalan apakah si pelaku dalam melakukan perbuatan pidana tersebut orang itu mempunyai

Page 39: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 39 of 42

kesalahan berupa kesengajaan(dolus) atau kelalaian (culpa). Hal ini karena adanya asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang secara tegas menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”. Kesalahan ini dilihat dari hubungan batin si pembuat (subjektif) dan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) dan kelalaian/kealpaan (culpa). Dalam hukum pidana dirumuskan unsur-unsur perbuatan pidananya actus reus (unsur objektif) dan unsur pertanggungjawaban pidananya atau mens rea (unsur subjektif). Keduanya harus digabungkan hakim dalam penjatuhan pidana (aliran monoisme), atau keduanya harus dipisahkan dalam penjatuhan pidana (aliran dualisme). Hukum pidana di Indonesia menganut aliran dualisme sesuai yang dianut dalam Pasal 191 KUHAP, yaitu memisahkan unsur subjektif dan unsur objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Michael J. (1991). Textbook on Criminal Law. London: Blackstone Press Limited,

Page 40: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 40 of 42

Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology . Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press.

Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices. London: Addition Weley Longman Limited.

Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate Publishing Limited.

C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-London: SAGE Publication, Inc.

Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition.

Farid, A. Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Huda, Chairul (2006). Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana

Hatrik, Hamzah (1996). Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), RajaGrafindo Persada.

Hamzah, Andi (2012). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya. Jakarta; PT. Sofmedia

J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua.

Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

---------------------, (2014). Pengantar Hukum Pidana Material 1 (Inleding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht). Yogyakarta: Maharsa, hal. 176-177.

Page 41: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 41 of 42

J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-New Delhi: SAGE Publications, Second Edition.

Lamintang, PAP. (2003). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 312.

---------------------, dan C. Djisman Samosir (1983). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru, hal. 160.

Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London: Roatledge & Paul Keagen

Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung

Moeljatno (1994) Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Bina Aksara, Jakarta.

Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press.

Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Reid, Sue Titus, 1985, Crime and Criminology. Fourth Edition, CBS College Publishing, New York, Hal. 97-102

Sianturi, S.R. (1996). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta; Alumni Ahaem-Petehaem.

Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, penerbit Yayasan Sudato;

T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc.

Toby, Jackson (1970). Is Punishment Necessary, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz

Page 42: (mens rea) dalam tindak pidana korupsi

Page 42 of 42

dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.,

Wilson, John M. (1965). The Role of the Therapeutic Community in Correctional Institutions, dalam The Future of Imprisonment in a Free Society. Journal of Controversial Issues in Criminology, Volume Two,

Zimring, Franklin E. (1976). Deterrence, The Legal Threat in Crime Control. Chicago: The University of Chicago Press