kabanti sebagai media pembelajaran sastra pada usia dini

16
1 KAБANTI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA PADA USIA DINI 1 Oleh: Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum 2 . A. Pendahuluan Sebagai bentuk kesenian rakyat, kaбanti merupakan salah satu bentuk folklor masyarakat Wakatobi yang tergolong dalam folklor lisan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 21-22) yang mengatakan bahwa folklore lisan adalah yang bentuknya murni lisan, contohnya adalah puisi rakyat. Finnengan (1977) mengatakan bahwa puisi lisan disusun oleh sekelompok orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Menurut Vansinna (1965), Finnengan (1977), Lord (1981), dan Danandjaja (2002), puisi lisan terikat oleh syarat-syarat tertentu, yaitu (1) kalimat yang tidak bebas (free phrase), melainkan terikat (fixed phrase); (2) baik bentuk maupun isinya mempunyai nilai estetik; (3) terikat struktur kebahasaan lain seperti rima, metrum, stilistik, dan repetisi. Finnengan juga menambahkan bahwa puisi lisan dihubungkan dengan bahasa tinggi (bukan bahasa sehari-hari), ekspresi metaforis, dilagukan atau diiringi alat musik, menggunakan pengulangan yang terstruktur, prosodic features (metrum, aliterasi), paralelisme. Sebagai salah satu bentuk folklor, kaбanti diwariskan secara turun-tumurun, tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut La Niampe (1998: 5), kaбanti yang tergolong karya yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah berlangsung sejak lama tersebut 1 Dipresentasikan dalam seminar internasional HISKI, di Malang 12-14 Agustus 2008 2 Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PBS FKIP Unhalu

Upload: sumiman-udu

Post on 12-Jun-2015

1.161 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

1

KAБANTI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SASTRA PADA USIA DINI1

Oleh: Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum2.

A. Pendahuluan

Sebagai bentuk kesenian rakyat, kaбanti merupakan salah satu bentuk folklor

masyarakat Wakatobi yang tergolong dalam folklor lisan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Brunvand (dalam Danandjaja, 2002: 21-22) yang mengatakan bahwa folklore lisan adalah yang

bentuknya murni lisan, contohnya adalah puisi rakyat. Finnengan (1977) mengatakan bahwa

puisi lisan disusun oleh sekelompok orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Menurut

Vansinna (1965), Finnengan (1977), Lord (1981), dan Danandjaja (2002), puisi lisan terikat oleh

syarat-syarat tertentu, yaitu (1) kalimat yang tidak bebas (free phrase), melainkan terikat

(fixed phrase); (2) baik bentuk maupun isinya mempunyai nilai estetik; (3) terikat struktur

kebahasaan lain seperti rima, metrum, stilistik, dan repetisi. Finnengan juga menambahkan

bahwa puisi lisan dihubungkan dengan bahasa tinggi (bukan bahasa sehari-hari), ekspresi

metaforis, dilagukan atau diiringi alat musik, menggunakan pengulangan yang terstruktur,

prosodic features (metrum, aliterasi), paralelisme.

Sebagai salah satu bentuk folklor, kaбanti diwariskan secara turun-tumurun, tidak

diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam masyarakat

pendukungnya. Menurut La Niampe (1998: 5), kaбanti yang tergolong karya yang banyak

jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama dikenal oleh

masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah berlangsung sejak

lama tersebut meliputi seluruh barata3 yang ada di Kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna

dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata Kulisusu di utara dan Barata Kaedupa di

timur Pulau Buton.

Barata Kaedupa—yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dan sekarang telah

dimekarkan menjadi Kabupaten Wakatobi—merupakan salah satu daerah persebaran kaбanti

dalam bahasa Kepulauan Tukang Besi. Masyarakat di daerah ini mengenal kaбanti sebagai

nyanyian rakyat yang paling disukai. Hampir seluruh aktivitas kesenian masyarakat melibatkan

kaбanti sebagai bagian dari pementasannya. Beberapa tarian yang melibatkan kaбanti dalam

1 Dipresentasikan dalam seminar internasional HISKI, di Malang 12-14 Agustus 20082 Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PBS FKIP Unhalu3 Barata merupakan daerah otonom pada masa kesultanan Buton yang berfungsi mempertahankan Buton dari

serangan musuh yang datang dari luar. Dari aspek pemerintahan barata merupakan daerah otonom yang mendapatkan kewenangan yang luas dari pemerintah pusat.

Page 2: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

2

komposisinya adalah tarian pajogi4, tarian lariangi5, drama tradisional kenta-kenta6, dan

beberapa kesenian lainnya. Di samping itu, aktivitas masyarakat yang melibatkan kaбanti

sebagai bagian dari kegiatan itu adalah menidurkan anak, tradisi ritual adat (pakande-kandea),

acara mangania kabuenga7, dan mangania nu uwe8 serta pengobatan tradisional (lagu

lemba).

Aktivitas lain yang melibatkan kaбanti adalah pada saat bekerja. Sebagai nyanyian

kerja, kaбanti dinyanyikan di tempat kerja. Irama, kata-kata, atau frase dalam kaбanti sebagai

nyanyian kerja mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat sehingga

dapat menimbulkan rasa bergairah untuk bekerja. Dalam konteks ini, kaбanti biasanya

dinyanyikan pada saat bekerja di kebun (oleh petani), mendayung sampan (oleh nelayan), dan

bekerja di bangunan (oleh buruh bangunan).

Sebagai pengantar tidur, kaбanti mempunyai irama yang halus dan tenang, berulang-

ulang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai, damai, dan akhirnya rasa kantuk bagi bayi

atau anak yang mendengarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Danandjaja (1994: 146) bahwa

nyanyian sebagai pengantar tidur mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, dan

berulang-ulang sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa

kantuk bagi anak yang mendengarnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kaбanti merupakan salah satu media

pembelajaran sastra yang potensial yang dilakukan pada anak usia dini. Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tentang dampak kaбanti terhadap pembentukan

mental dan kepribadian anak sejak usia dini. Dimana kaбanti sebagai salah satu ragam sastra

berperan sebagai media pembelajaran budaya yang dilakukan sejak usia dini. Cantor dan

Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang

anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibunya. Dengan demikian,

kaбanti merupakan media pembelajaran sastra pada anak usia dini yang diharapkan dapat

4 Pajogi merupakan salah satu bentuk tarian yang diikuti oleh nyanyian. Salah seorang penari menyanyikan kaбanti. Adapun jumlah penari biasanya terdiri atas enam orang wanita atau gadis dan dintari oleh laki-laki yang disebut ngiwi.Tarian ini diikuti dengan musik yang disebut oleh orang Wakatobi dengan gendang pajogi.

5 Lariangi merupakan tarian rakyat yang dipentaskan di kampung-kampung oleh delapan sampai dua belas orang gadis. Salah satu bagian lariangi terdapat pula tari pajogi. Pada saat itulah kaбanti dinyanyikan.

6 Kenta-kenta merupakan tarian tradisional yang menggambarkan kehidupan nelayan atau masyarakat maritim. Di samping gerak, juga terdapat dialog dan disertai dengan tarian.

7 Budaya sesajian pada ayunan yang merupakan sarana berkumpulnya masyarakat guna meneliti hubungan pertunangan dan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat. Jika terjadi hubungan pertunangan yang salah menurut adat, kampung akan dilanda oleh kekeringan atau perkebunan akan diganggu oleh hama, atau ikan akan menjauh dari kampung. Kaбanti digunakan untuk menyindir kesalahan tersebut. Di samping itu, kaбanti digunakan untuk mengungkapkan perasaan muda-mudi yang saling mencintai.

8 Budaya sesajian yang dilakukan di atas air gua yang bertujuan untuk meneliti tindakan masyarakat dalam merusak lingkungan.

Page 3: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

3

memupuk rasa kecintaan pada sastra serta menjadi media transformasi nilai-nilai budaya dari

satu generasi ke generasi berikutnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sosio-etnografi, yaitu

suatu bentuk pendekatan yang melihat hubungan sosial masyarakat berdasarkan sudut

pandang masyarakat setempat. Dengan demikian, pendekatan ini dapat melihat dampak

kaбanti sebagai media pembelajaran sastra di usia dini, yakni lahirnya anak-anak yang cinta

sastra dan budayanya serta memiliki identitas lokal yang kuat.

B. Fungsi Kaбanti dalam Masyarakat Wakatobi

Sebelum membicarakan dampak kaбanti pada anak-anak Wakatobi, ada baiknya kalau

kita membicarakan fungsi kaбanti dalam masyarakat Wakatobi. Sebagaimana karya sastra

yang lain, kaбanti mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai hiburan dan bermanfaat.

Adapun dalam fungsinya sebagai karya sastra yang berguna, sebagaimana yang dikemukakan

Horace, kaбanti dapat menjadi alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan. Selain itu, juga

dapat berfungsi sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa, misalnya ingatan

kolektif mengenai batas wilayah Wanci dan Mandati, seperti tampak pada syair kaбanti

berikut.

E te wanse-mo te mandati-mo Pe.art.wanse-EMPH art. Mandati-EMPHE ði Endapo nang kaselapaPe.di Endapo art. batas wilayah

Baik (orang) Wanse maupun (orang) MandatiDi Endapo batas wilayahnya

Syair kaбanti di atas, merupakan salah satu syair yang dikutip oleh H. La Morunga (45

tahun) saat membicarakan tentang perselisihan batas wilayah. Dengan mengacu pada isi

kaбanti di atas, maka penentuan batas wilayah Kecamatan Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi

Selatan ketika dimekarkan pada tahun 2003 ditetapkan di atas air Endapo.

Dalam kaitan dengan penggunaannya sebagai pengantar tidur, kaбanti berfungsi

sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi. Hal ini

sesuai dengan pendapat La Ode Nsaha (1978: 235) yang mengemukakan bahwa kaбanti

merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang menyentuh sampai di hati dalam setiap

kesempatan. Lewat syair-syair kaбanti yang mengandung bahasa metafor tersebut seorang

anak dapat memiliki perasaan yang lembut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Hamiruddin

Page 4: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

4

Udu (2006: 175) bahwa kaбanti banyak mengandung metafor. Sehingga tidak heran kalau

masyarakat Wakatobi banyak menggunakan metafor dalam kehidupannya.

Salah satu fungsi sastra dalam masyarakat adalah sebagai penghalus budi, penghalus

rasa. Untuk itu, Nurhayati Rahman (1999: viii) mengatakan bahwa salah satu cara untuk

mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah melalui penciptaan, pembacaan, dan

penghayatan karya sastra. Dalam kasus kaбanti sebagai nyanyian rakyat masyarakat

Wakatobi, syair-syair kaбanti dapat menjadi sarana penghalus budi dan hati nurani

masyarakat Wakatobi. Sejak dini kaбanti telah diperdengarkan sebagai pengantar tidur saat

anak-anak Wakatobi. Mereka mulai menangkap kebudayaannya. Contoh syair kaбanti yang

dapat menghaluskan rasa dan budi tersebut terlihat dalam teks I bait ke- 53 dan ke-54 berikut.

53. E ara no-sangga-ko te miaPe.kalau 2sR-cemburu –2sRpos art. orangE hoto’imani mpuu kitaPe.beriman sungguh kita

Kalau kamu dicemburui orangBerimanlah sunguh-sungguh

54. E te imani-’a ngku-imaniPe.art.beriman-past. 1sR-berimanE ðahani na tumpu balaaPe.tahu art. datang bala

Kalau beriman aku berimanTidak tahu kalau dengan datangnya bala

Kaбanti sebagai pengantar tidur juga berfungsi sebagai sarana transfer budaya dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan empat fungsi nyanyian rakyat,

seperti yang dikemukakan Danandjaja (1994: 152-153).

Pertama, nyanyian rakyat berfungsi untuk (1) merenggut kita dari kebosanan hidup

sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, (2) menghibur diri dari kesukaran hidup

sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau (3) melepaskan diri dari segala

ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Menurut Danandjaja

(1994: 152-153), nyanyian sebagai pengantar tidur merupakan salah satu jenis nyanyian

dengan fungsi seperti itu. Untuk itu, kaбanti merupakan nyanyian yang berfungsi sebagai

pelepas ketegangan dan pemberi kedamaian dalam menghadapi kesukaran hidup. Contoh

syair kaбanti dengan fungsi tersebut dapat dilihat pada tiap-tiap teks dalam bait pertama

hingga bait ketiga berikut.

1. E bue-bue aneðo peiPe. ayun-ayun masih bodohE aneðo te ðitemba-temba

Page 5: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

5

Pe. masih harus art. ditimang-timang

Ku ayun-ayun semasih bodohmasih harus ditimang-timang

2. E ku-bumue-bue nggala-nePe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.E mina aneðo no-бahuliPe.dari masih 3sR-kecil

Aku akan mengayun-ayunnya duluSewaktu ia masih kecil

3. E ku-bumue-bue nggalanePe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.E mondo-mo ku-sala te laroPe. Selesai-past 1sR-salah art.dalam

Aku akan mengayun-ayunnya duluSudah pernah aku menyalahi perasaanya

Tiga bait pembuka pada nyanyian rakyat pada masyarakat Wakatobi tersebut

merupakan pembuka nyanyian pengantar tidur. Seorang ibu mengekspresikan bait pertama

sebagai rasa kasih sayang pada bayinya.

Kedua, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti nyanyian

kerja. Sehubungan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut, kaбanti digunakan oleh

masyarakat pendukungnya sebagai pembangkit semangat pada saat bekerja di laut, di kebun,

dan di bangunan. Syair-syair kaбanti dinyanyikan sambil bekerja sehingga melahirkan

semangat dalam melakukan perkerjaan. Dengan nyanyian yang berisi kisah cinta, mereka akan

selalu memberikan semangat pada orang-orang yang sedang bekerja. Dalam kegiatan

membuka atau menyiangi kebun/ladang, ibu-ibu melakukannya sambil bernyanyi. Mereka

mengekspresikan lagu-lagu yang dapat menciptakan semangat. Mereka kebanyakan

menyanyikan kaбanti yang mengekspresikan kehidupan mereka sehari-hari.

Ketiga, nyanyian rakyat berfungsi untuk memelihara sejarah setempat. Telah

disebutkan di depan bahwa batas Mandati dan Wanci tentang dalam syair kaбanti.

Selanjutnya, masyarakat Wangi-Wangi mengingat kisah migrasi masyarakat Wakatobi

khususnya dan Buton umumnya dengan memasukkan Pulau Buru dan Pulau Seram sebagai

tempat merantau. Ini merupakan sejarah migrasi bangsa Buton pada beberapa puluh tahun

yang lalu. Contoh syair kaбanti yang menggambarkan tentang daerah tujuan migrasi

masyarakat Wakatobi pada zaman dulu diabadikan dalam bait pertama teks II dan III yang

dinyanyikan oleh Wa Radi berikut.

E bue-bue бangka nu-Sera

Page 6: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

6

Pe. ayun-ayun perahu 2sR-SeramE mbali бata na ngko-kombu-noPe.jadi batang kayu art 2sR-tiang-past

Ayun-ayun perahu perahunya SeramTiangnya menjadi batang kayu

Baris pertama pada bait ke-1 merupakan penggambaran perahu yang selalu

membawa masyarakat Wakatobi ke pulau Seram di Kepulauan Maluku. Baris ke-2 merupakan

ekspresi kondisi perahu yang mengantar mereka pada saat itu. Perahu ini menggantungkan

tenaganya pada layar yang dipasang di tiang perahu (kokombu). Perahu yang disebut bangka

pada waktu itu disebut perahu karoro.9 Kaбanti tersebut merefleksikan fungsi kaбanti sebagai

rekaman sejarah migrasi masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku yang telah terjadi dalam

tempo waktu yang panjang (bdk.Rabani, 1997: 23).

Keempat, nyanyian rakyat sebagai protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di

dalam masyarakat. Dalam kaбanti, ekspresi tersebut dapat dilihat pada teks I bait ke-11

hingga bait ke-13 berikut.

11. E na бoha-бoha-nto salimboPe.art. berat-I3ppos. sekampungE te paira na nsababu-noPe.art. apa art. sebab-3spos.

Beratnya kita sekampungApa yang menjadi penyebabnya?

12. E sababu te mingku pairaPe. sebab art. sikap apaE ðimai-no kua iakuPe.datang-3spos. bagi saya

Sikap apa yang menjadi penyebabnya?Yang datangnya dariku

13. E no-mingku toumpa namia?Pe.3sR-sikap bagaimana orang?E no-awane na ngkakoбeaPe.3sR-dapatkan art. kebenaran

Bagaimana sikapnya orang?Mereka mendapatkan kebenaran

Tiga bait di atas merupakan kaбanti yang diungkapkan situasi kehidupan masyarakat

yang tidak lagi memperlihatkan persahabatan, tetapi sudah saling menyalahkan dan saling

mencurigai. Kondisi ini diekspresikan dalam bait ke-11 baris pertama yang dilanjutkan dengan

pertanyaan mengenai sebab terjadinya kondisi itu pada baris kedua. Akan tetapi, si aku lirik

9 Perahu yang berlayarkan kain karoro.

Page 7: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

7

terlebih dahulu mempertanyakan kesalahan dirinya, yaitu pada bait ke-12. Setelah itu, si aku

lirik menyalahkan orang lain.

Pada bait ke-13, si aku lirik kembali mempertanyakan sikap orang lain yang

mendapatkan pujian atau kebenaran dari masyarakat. Tiga bait di atas merupakan salah satu

protes yang sangat halus atas situasi di dalam masyarakat yang saling menyalahkan. Si aku lirik

melakukan protes atas sikap masyarakat yang seperti itu.

Selain kaбanti berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Djames Danandjaja di atas,

fungsi kaбanti yang lain adalah untuk menghaluskan kata-kata bagi masyarakat Wakatobi.

Orang-orang yang menguasai kaбanti akan mempunyai perbendaharaan kata yang halus.

Mereka santun dalam berbicara karena mereka menggunakan metafora-metafora yang ada

dalam syair-syair kaбanti. Dengan demikian, anak-anak yang ditidurkan dengan kaбanti sejak

dini mereka akan diperdengarkan dengan bahasa-bahasa yang mempunyai nilai sastra yang

tinggi.

C. Kaбanti sebagai Media Pembelajaran Sastra

Sejak dulu masyarakat Wakatobi mengenal kaбanti sebagai salah satu tradisi yang

diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Udu, 2006: 5 ).

Kehadiran kaбanti sebagai kesenian tradisional yang telah berabad-abad tentunya tidak

terlepas dari model pembelajaran kaбanti dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sebagai pengantar tidur, kaбanti menduduki posisi penting dalam pembelajaran

sastra di dalam masyarakat Wakatobi. Melalui syair-syair kaбanti pengantar tidur, anak-anak

Wakatobi telah diajari tentang sastra, tentang hidup dan kehidupan. Sejak usia dini anak-anak

Wakatobi telah diajari sastra melalui teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur. Mereka

terlelap dalam kelembutan syair kaбanti yang dilantunkan oleh ibunya. Lewat teks-teks

kaбanti anak-anak Wakatobi telah mempelajari tentang berbagai konsep hidup yang ada

dalam masyarakat dan budayanya.

Perkenalan mereka dengan sastra melalui teks-teks kaбanti tersebut, mengantarkan

mereka untuk banyak memahami adat istiadat mereka, budaya mereka, pandangan hidup

mereka, ideologi mereka, sejarah kehidupan masyarakat mereka dan sampai pada impian-

impian mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Yektiningtyas (2008: 25) yang mengatakan

bahwa folklor mempunyai fungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan sesuatu kepada

pendengar, secara sadar atau tidak sadar, bagaimana suatu masyarakat berpikir. Selain itu,

folklor juga mengabadikan segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat

Page 8: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

8

pendukungnya. Folklor juga dapat digunakan sebagai protes sosial mengenai keadilan dan

ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat atau bahkan negara.

Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memposisikan perempuan dalam

ketegangan. Di satu sisi, budaya Waktobi menghargai dan menghormati perempuan, tetapi di

sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan, terutama untuk menduduki

posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat (Schoorl, 2003: 211). Pandangan

budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan perempuan, baik dalam kehidupan

keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.

Oleh Karena itu, citra perempuan yang dikonstruksikan pada anak-anak melalui syair-

syair kaбanti akan tergantung dari pengalaman ibunya sebagai peletak dasar kebudayaan.

Cantor dan Bernay (1998: 314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi

kepribadian seorang anak, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan

ibunya. Dengan demikian, pengetahuan ibu tentang budaya akan diekspresikan melalui syair-

syair kaбanti pengantar tidur. Contoh pencitraan perempuan dalam syair-syair kaбanti yang

dinyanyikan sebagai pengantar tidur adalah sebagai berikut.

E wa ina ku-biru wajo-moPe PG. Ibu 1sR-hitam bajo-past. E ke mawino keng-koranganoPe KT. lautnya KT.kebunnya

ibu aku sudah hitam seperti Bajokarena di laut dan di kebun

Pencitraan perempuan dalam bait kaбanti di atas merupakan pencitraan perempuan

melalui indra penglihatan. Di samping itu, syair kaбanti di atas merupakan bentuk pencitraan

perempuan yang berpotensi karena perempuan dapat bekerja di laut dan di kebun. Artinya,

perempuan yang dicitrakan dalam kaбanti tersebut merupakan perempuan yang memiliki

kemampuan untuk dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah.

Selanjutnya, citra perempuan di dalam teks kaбanti diekspresikan dalam bentuk syair-

syair berikut: /E wa ina kutuntualoðo/ ‘ibu, lebih baik saya jadi ‘burung’ tuntualo’ /E kuiðo

nggala ngkemasu/ ‘karena saya lahir tanpa ayah’. Pencitraan perempuan dalam syair tersebut

menunjukkan bahwa budaya masyarakat Wakatobi belum dapat menerima pembinaan

keluarga yang hanya dilakukan oleh perempuan tanpa seorang laki-laki. Hal ini berdampak

pada kehidupan perempuan, baik di dalam keluarga maupun di dalam kehidupan sosialnya.

Adapun implikasi sosial dari pencitraan perempuan yang membesarkan anak-anaknya tanpa

ayah telah mempengaruhi kehidupan psikologis anak. Misalnya, Ardin (10 tahun), seorang

Page 9: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

9

anak yang ditinggal oleh ayahnya ke Malaysia, mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang

anak yang hidup tanpa ayah. Karena sering mendengarkan syair tersebut menjelang tidur,

suatu saat Ardin bertanya pada ibunya, “ina, teiyaku ana kutuntualomo da? ’ibu, saya ini

sudah jadi tuntualo-kah?’. Pertanyaan anak tersebut menggambarkan bahwa pikirannya sejak

kecil telah terkonstruksi oleh nyanyian ibunya10.

Pencitraan perempuan, sebagaimana tersebut di atas akan mengkonstruksi pikiran

anak tersebut dan akan mempengaruhi kehidupan mereka berikutnya. Hal ini sesuai dengan

pandangan Fakih (2003: 10) yang mengatakan bahwa proses sosisalisasi budaya sudah

dilakukan sejak bayi sehingga hal tersebut bukan saja berpengaruh pada perkembangan

emosi, visi, dan ideologi kaum perempuan, melainkan juga mempengaruhi perkembangan fisik

dan biologis selanjutnya. Proses sosioalisasi dan konstruksi sifat-sifat gender yang berlangsung

secara turun-temurun dan mapan itu akhirnya sangat sulit untuk dibedakan. Dengan

demikian, teks-teks kaбanti sebagai pengantar tidur anak-anak Wakatobi memiliki dampak

yang luas dalam kehidupan anak-anak berikutnya.

Di sisi yang lain, kaбanti sebagai media pembelajaran sastra bagi anak-anak Wakatobi

juga mengajarkan tentang bagaimana struktur dari kaбanti kepada anak-anak. Sadar atau

tidak sadar proses penurunan kaбanti telah berlangsung lama dari satu generasi ke generasi,

dan dimulai sejak pewarisnya masih berada pada waktu usia dini. Sehingga tanpa disadari

struktur kaбanti sebagai salah satu sastra lisan masyarakat Wakatobi dapat diwariskan dari

satu generasi ke generasi berikutnya sebab kaбanti diperkenalkan sejak anak-anak Wakatobi

belum memahami kehidupan yang lain. Inilah yang menjadikan kaбanti sebagai karya sastra

yang paling diminati dalam masyarakat Wakatobi dari dulu sampai sekarang.

Di samping itu, kaбanti juga banyak mengajarkan nilai-nilai budaya dan moral kepada

masyarakat pendukungnya. Sejak dini anak-anak Wakatobi telah diajarkan pola hubungan

anak laki-laki dan perempuan, misalnya / e ara topada mobasamo/ ‘kalau kita sudah sama-

sama besar’ /e mou tetuhanto tomeri/ ‘walaupun saudara kita harus hati-hati’. Dengan

demikian, pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi telah ditorehkan

pada anak-anak sejak mereka masih dalam usia dini.

Oleh karena itu, sebagai sarana pembelajaran budaya dan moral dalam masyarakat

Wakatobi, kaбanti merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran sastra, budaya dan

moral di masa depan. Perkembangan teknologi telah membawa dampak dalam berbagai

bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang sastra. Salah satu dampak teknologi

10 Hasil wawancara dengan Wa Samusiri (38 tahun) tanggal 25 Juli 2008

Page 10: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

10

tersebut adalah lahirlah kecenderungan untuk malas membaca. Masyarakat lebih cenderung

untuk mendengarkan atau menonton suatu berita. Demikian juga dengan dunia sastra,

masyarakat lebih cenderung untuk nonton filem dari pada membaca sebuah novel.

Dengan demikian, kaбanti sebagai salah satu media pembelajaran sastra pada anak

usia dini di dalam masyarakat Wakatobi merupakan satu konsep pembelajaran sastra yang

dapat melahirkan rasa cinta kepada sastra dan budaya bagi masyarakat pendukungnya.

Karena lewat kaбanti pembejalaran sastra dapat dimulai pada anak usia dini. Bahkan kalau

kita menengok jauh ke belakang, kaбanti juga dijadikan sebagai salh satu model pembelajaran

Islam di daerah Kesultanan Buton. Banyak ajaran agama dan budaya ditulis dan disampaikan

dalam bentuk kaбanti.

Sementara kalau kita melihat konsep pembelajaran sastra pada pendidikan modern,

sastra dimulai setelah kelas tinggi di sekolah dasar, sehingga minat orang untuk belajar sastra

merupakan prioritas kesekian. Sastra masih membutuhkan strategi pembelajaran sastra yang

dapat membumikan sastra sehingga sastra masuk ke dalam berbagai kehidupan manusia

sebagai mana kaбanti bagi masyarakat pendukungnya.

D. Penutup

Sebagai media pembelajaran sastra pada anak usia dini, kaбanti memiliki peran dalam

rangka mensosialiasikan mengenai budaya dan moral dalam masyarakat Wakatobi dan Buton

pada umumnya. Banyaknya orang-orang melakukan sinyalemen akan rendahnya mutu

pembelajaran sastra di sekolah dan lemahnya ideologisasi pada masalah-masalah kebangsaan

dan bernegara kita, tentunya harus dirancang suatu metode pembalajaran sastra pada anak

usia dini, misalnya bagaimana model pembelajaran sastra pada anak-anak kelompok bermain,

TK, PAUD, sehingga sejak usia dini anak-anak telah diajarkan mengenai sistem nilai

masyarakat maupun nilai-nilai yang dibutuhkan dalam rangka membangun keindonesiaan dan

kenegaraan kita.

E. Daftar Pustaka

Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo (editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Danadjaja, James. 2002. Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti

Page 11: Kabanti Sebagai Media Pembelajaran Sastra Pada Usia Dini

11

Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Prees bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Finengan, Ruth. 1877. Oral Poetry: its Nature, Significance and Social Context. Bloomington: Indiana University Prees

La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.

La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.

Lord, Albert B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts London, England: Harvard University Press.

Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.

Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.

Udu, Sumiman. 2006. Citra Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: FIB UGM

Yektiningtyas, Wigati. 2008. Helaehili dan Ehabla: Fungsinya dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Sentani Papua. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.