jurnal trakoma

7
JOURNAL READING “PENGOBATAN TRAKOMA SECARA MASSAL MENGGUNAKAN DOSIS TUNGGAL AZITROMISIN” Latar Belakang Trakoma disebabkan oleh infeksi mata berulang oleh bakteri Chlamydia trachomatis,merupakan salah satu penyebab tersering kebutaan, interval dosis azitromisin yang direkomendasikan pada pengobatan massal ini berdasarkan model matematis. Metode Peneliti mengumpulkan usapan konjungtiva untuk diuji dengan uji kuantitatif polymerase-chain-reaction. Sebelum dan pada bulan ke 2, 6, 8, 12, 18 dan 24 setelah pengobatan dengan azitromisin pada satu komunitas Tanzania, yang merupakan daerah endemis Trakoma. Untuk alasan-alasan etis, pada penderita dengan infeksi aktif diberikan obat salep mata tetrasiklin. Hasil Pada awalnya, 956 dari 978 penduduk (97.8 persen) mendapatkan dosis oral azitromisin atau (bila azitromisin merupakan kontraindikasi) diberi obat salep mata tetrasiklin. Prevalensi infeksi turun dari 9,5% sebelum pengobatan menjadi 2,1% pada bulan ke 2 dan 0,1% pada bulan ke 24. Beban kuantitatif dari infeksi mata C.trachomatis sebesar 13,9% pada tingkat pretreatment di bulan ke 2 dan 0,8% di bulan ke 24. Pada setiap kali follow up, lebih dari 90% total beban komunitas terhadap infeksi C,trachomatis ditemukan pada orang yang positif uji sebelumnya. Kesimpulan Prevalensi dan intensitas infeksi turun secara dramatis dan hanya tersisa sedikit selama dua tahun setelah pengobatan. Satu siklus dari pemberian dosis tinggi azitromisin, yang mungkin dibantu

Upload: fadli-hasbi

Post on 18-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jurnal trakoma

TRANSCRIPT

Page 1: jurnal trakoma

JOURNAL READING

“PENGOBATAN TRAKOMA SECARA MASSALMENGGUNAKAN DOSIS TUNGGAL AZITROMISIN”

Latar Belakang

Trakoma disebabkan oleh infeksi mata berulang oleh bakteri Chlamydia trachomatis,merupakan salah satu penyebab tersering kebutaan, interval dosis azitromisin yang direkomendasikan pada pengobatan massal ini berdasarkan model matematis.

Metode Peneliti mengumpulkan usapan konjungtiva untuk diuji dengan uji kuantitatif polymerase-chain-reaction. Sebelum dan pada bulan ke 2, 6, 8, 12, 18 dan 24 setelah pengobatan dengan azitromisin pada satu komunitas Tanzania, yang merupakan daerah endemis Trakoma. Untuk alasan-alasan etis, pada penderita dengan infeksi aktif diberikan obat salep mata tetrasiklin.

Hasil Pada awalnya, 956 dari 978 penduduk (97.8 persen) mendapatkan dosis oral azitromisin atau (bila azitromisin merupakan kontraindikasi) diberi obat salep mata tetrasiklin. Prevalensi infeksi turun dari 9,5% sebelum pengobatan menjadi 2,1% pada bulan ke 2 dan 0,1% pada bulan ke 24. Beban kuantitatif dari infeksi mata C.trachomatis sebesar 13,9% pada tingkat pretreatment di bulan ke 2 dan 0,8% di bulan ke 24. Pada setiap kali follow up, lebih dari 90% total beban komunitas terhadap infeksi C,trachomatis ditemukan pada orang yang positif uji sebelumnya.

Kesimpulan

Prevalensi dan intensitas infeksi turun secara dramatis dan hanya tersisa sedikit selama dua tahun setelah pengobatan. Satu siklus dari pemberian dosis tinggi azitromisin, yang mungkin dibantu oleh penggunaan berkala salep mata tetrasiklin pada penderita engan infeksi aktif, dapat menghambat transmisi infeksi C. trachomatis.

Page 2: jurnal trakoma

LATAR BELAKANG

Trakoma merupakan suatu keratokonjunctivitis kronis yang disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Resolusi dari infeksi mata klamidia mungkin disertai jaringan parut di konjungtiva. Lebih dari bertahun-tahun,kontraksi jaringan parut kelopak mata atas selama infeksi yang berulang menyebabkan bulu mata pasien mengarah kedalam sehingga menggores bola mata. Komplikasi ini dinamakan “trikiasis”, meninggalkan jaringan parut di kornea. Trakoma merupakan penyebab terbanyak kebutaan.

Sampai dengan tahun 1990an usaha untuk mengontrol trakoma dengan antibiotik kebanyakan menghasilkan hasil yang mengecewakan. Pemberian massal sulfonamide secara oral di Amerika utara pada tahun 1930an dan 1940an mengakibatkan insiden tinggi efek yang tidak diharapkan berupa sindrom Steven-Johnson. Pemberian massal salep mata tetrasiklin di beberapa negara pada tahun 1950an dan 1960an pada akhirnya juga tidak berhasil. Karena tetrasiklin tidak enak digunakan dan memerlukan penggunaan dalam beberapa minggu agar efektif, pemenuhan tidak baik. Penemuan bahwa dosis tunggal azitromisin setidaknya sama efektinya dengan pemberian lama tetrasiklin merupakan kemajuan besar.

METODE

Penelitian disetujui oleh komite etim dari Kilimanjaro Christian Medical Centre, Moshi, Tanzania, dan London School of Hygine and Tropical Medicine, London. Inform konsen tertulis didapatkan dari semua orang tua peserta penelitian.

I. Populasi, Pendaftaran, Pemeriksaan Dasar, dan Pengobatan

Penelitian diadakan di Kahe Mpya subvillage, Rombo District, Tanzania. Pada juli 2000, peneliti memeriksa trakoma pada setiap residen yang setuju, menggunakan sistem sederhana dari WHO. Sistem pengelompokan ini mencakup 5 tanda :

1. Inflamasi trakoma – Folikular Yang ditetapkan bila terdapat 5 atau lebih folikel dengan diameter ± 0.5 mm pada plat sentral

2. Inflamasi trakoma – IntenseYang memperlihatkan penebalan akibat infeksi pada konjungtiva tarsal superior yang menutupi setidaknya setengah dari pembuluh darah dalam konjungtiva tarsal

3. Trakoma Parut4. Trakoma trikiasis5. Opasitas Kornea

Kemudian peneliti mengambil usapan konjungtiva mata kanan dari setiap orang, menggunakan tehnik swab berstandar tinggi. Residen wanita yang tidak hamil dan yang

Page 3: jurnal trakoma

berusia lebih dari atau sama dengan 12 bulan diberikan secara langsung satu dosis oral azitromisin 20mg/kgBB (maksimum, 1 gr). Anak-anakyang berusia kurang dari 12 bulan dan wanita hamil tidak diberikan azitromisin, tetapi diberi 2 tube salep mata tetrasiklin 1% dengan cara pemberian 2 kali dalam seminggu selama 6 minggu.

II. Follow Up

Kami mengadakan sensus ulang bulanan selama 24 bulan setelah pengobatan. Pada setiap tinjauan, peneliti memeriksa status residen dari setiap orang yang terdaftar dan membuka pendaftaran untuk residen baru (orang yang baru datang dan bayi yang baru lahir pada bulan sebelumnya). Usapan konjungtiva diambil dari residen baru pada saat pendaftaran. Untuk semua orang, pemeriksaan follow-up dan usapan dilakukan oleh pemeriksa yang sama pada bulan ke 2, 6, 12, 18, dan 24. Karena inflamasi yang terus-menerus diperkirakan akan menimbulkan jaringan parut pada konjungtiva, untuk alasan etik, pada bulan ke 6, 12 dan 18, peneliti memberikan 2 tube salep mata tetrasiklin kepada orang yang memiliki infeksi aktif (yang ditemukan sebagai inflamasi trakoma- folikular, inflamasi trakoma- intense atau keduanya pada mata yang terinfeksi).

Usapan disimpan kering pada es (4oc) dalam sebuah kotak, dibekukan pada suhu 20oc selama 8 jam setelah pengambilan, kemudian diterbangkan dalam es ke London. Secara singkat, peneliti mengeerjakan screening primer untuk terdapat atau tidaknya DNA C.trachomatis,menggunakan uji kualitatif PCR yang sangat sensitive.

III. Analisa Statistik

Peneliti memasukkan data pada Microsoft Access software (versi 97 SR-2). Peneliti melakukan analisa statistic menggunakan Stata 7 software. Rangkuman statistic untuk beban kuantitatif infeksi C. trachomatis pada komunitas berupa nilai rata-rata geometri yang didapat dengan cara menambahkan 1 copy dari omp1 per milliliter (0.55 copy per usapan) pada setiap usapan konjungtiva.

HASIL

I. Pendaftaran, Pengobatan dan Follow upPada awalnya, peneliti mendapatkan dan menguji usapan konjungtiva sebanyak 956 dari 978 residen di Kahe Mpya (97,8%). Dari 956 orang, sebanyak 916 (95,8% dari subjek dan 93,7% dari total residen) diberi azitromisin, dan sebanyak (4.1% dari subjek dan 4.0% dari total resident) diberikan tetrasiklin. Secara keseluruhan,sebanyak 955 (97.6% dari resident) telah diberikan antibiotic. 1 orang wanita berusia 60 tahun menjalani pengambilan usapan tetapi menolak pengobatan.

Pada periode follow-up selama 24 bulan, 195 resident baru (113 imigrandan 82 bayi baru lahir) telah terdaftar. Jumlah residen baru, bagaimanapun juga, kurang lebih seimbang dengan jumlah emigrasi dan yang meninggal. The number of new residents, however, was approximately balanced by the number of deaths and emigrations. Perkiraan nilai

Page 4: jurnal trakoma

emigrasi adalah 0,23/orang/tahun. Emigrasi yang kembali sebesar 0,62/orang/tahun. Angka partisipasi pada follow up tinggi (Tabel 1).

II. Perubahan prevalensi infeksi

Prevalensi infeksi C. trachomatis pada konjungtiva menurun secara progresif pada setiap waktu (Tabel 1). Penurunan pada bulan kedua dibanding awalnya sangat signifikan (P<0.001). Pada bulan ke 6, 8, 12, 18 dan 24, prevalensi infeksi tetap sangat rendah disbanding sebelum pengobatan (P<0.001 untuk setiap perbandingan).

III. Perubahan intensitas infeksiSecara garis besar, pada setiap waktu yang penting, temuan chlamydial tertinggi ditemukan pada grup usia muda (Gbr.1). Beban masyarakat dari infeksi mata C. trachomatis turun menjadi 13.9% pada bulan ke 2 setelah pengobatan dan kemudian terus-menerus menurun. Beban sebesar 8.7% pada awal bulan ke 6, 4,7% pada bulan ke 12, 3,6% pada bulan ke 18 dan 0,8% pada bulan ke 24. (Tabel 1 dan Gbr 2A). penurunan ini ditemukan pada semua golongan umur dan jenis kelamin (Fig. 2B).

IV. Perubahan prevalensi infeksi aktifKeseluruhan prevalensi dari trakoma aktif secara signifikan turun pada setiap kali follow up dibanding awalnya (P<0.001 pada setiap perbandingan). Prevalensi keseluruhan pada bulan ke 12 (94 kasus dari infeksi aktif diantara 907 orang, atau 10,4%) secara signifikan lebih tinggi dibanding pada bulan ke 6 (54 kasus diantara 879 orang, atau 6.1%) atau pada bulan ke 18 (54 diantara 889, atau 6.1%; P<0.001 pada setiap perbandingan). Puncak prevalensi dari infeksi aktif terjadi pada usia antara 1 sampai 4 pada setiap waktu (Gbr.3).

V. Intensitas infeksi pada populasi subgroupPenderita dengan infeksi aktif dihitung untuk kekurangseimbangan total bebena chlamydial pada bulan ke 2, 6 dan 12, tetapi pada bulan ke 18 dan 24, ketika terdapat sedikit infeksi, pada subgroup ini terdapat sebanyak 100% (tabel 2). Subjects with clinically active disease accounted for proportionately less of the total chlamydial burden at 2, 6, and 12 months, but at 18 and 24 months, when there were very few infections, this subgroup accounted for 100 percent of the total (Table 2).

VI. Efek antibiotik terhadap transmisi infeksiTerdapat beberapa infeksi baru setelah pengobatan massal. Pada setiap kali waktu follow up, lebih dari 90% dari total beban C. trachomatis ditemukan diantara orang yang positif pada uji sebelumnya, bukan pada peserta baru. Dari 195 orang residen baru, tidak satupun bayi baru lahir fan hanya 2 imigran yang memiliki uji positif pada saat pendaftaran. Dari 195 orang, pada bulan ke 6 sebanyak 54 orang diberikan tetrasiklin termasuk 7 orang yang positif (tabel 2). Pada follow up selanjutnya (bulan ke 12), 54 orang ini tetap terhitung sebagai 15% dari total beban masyarakat. Pada bulan ke 12, 94 orang diberikan tetrasiklin, termasuk 5 orang yang positif (61,9% dari total beban). Pada follow up selanjutnya, infeksi mata pada subgroup ini menunjukkan angka sebesar 99,8% dari total beban. Pada bulan ke 18 54 orang diberikan tetrasiklin, termasuk 3 yang positif

Page 5: jurnal trakoma

menunjukan angka sebesar 99,8% dari beban masyarakat. Pada bulan ke 24, 1 dari 3 yang terinfeksi, masih tetap terinfeksi (dan merupakan satu-satunya yang terinfeksi).

DISKUSI & KESIMPULAN

Pada komunitas Tanzania, yang merupakan endemis Trakoma, prevalensi infeksi mata C. trachomatis turun secara dramatissetelah pengobatan dengan azitromisin. Penurunan prevalensi infeksi ini berlanjut sampai 2 tahun setelah pengobatan, yang pada saat itu hanya terdapat satu yang terinfeksi diantara 842 yang diuji. Pengamatan ini tidak sesuai dengan prediksi dari reinfeksi masayarakat secara acak setelah pengobatan. Orang yang positif pada tes PCR, setelah pengobatan secara relative memiliki intensitas rendah infeksi. Penurunan secara luas dan progresif pada prevalensi dan intensitas infeksi mengesankan bahwa transmisi telah berhenti. Hipotesis ini didukung oleh analisis dari distribusi infeksi: pada setiap evaluasi setelah pengobatan, lebih dari 90% beban infeksi didapat pada orang yang positif pada uji pertama dan kurang dari 10% pada mereka yang tidak dites sebelumnya atau yang hasil tes sebelumnya negative. Alasan yang memungkinkan dari hal tersebut adalah karena pemberian antibiotic dosis tinggi secara ekstrem pada saat pengobatan.